POLITIK SEBAGAI PENGAWASAN TUBUH Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan Politik dan Erotik dalam Politeia Plato
F. Budi Hardiman STF Driyarkara, Jakarta Abstract: The political regulations that intervene the private sphere like controlling the female body and eroticism raises the philosophical question on the relation of politics and eroticism in the nature of power. Why do rulers tend to penetrate the private sphere of their people? In this research the author tries to answer philosophically this basic question through critical interpretation on Plato’s classical text Politeia (The Republics). After exploring the deintimization of eroticism in Plato’s text, the author shows how the process of deintimization in Platonic politics of domination turns ironically to the erotization of the politics itself. Finally he draws his conclusion on the consequence of the regime controlling eroticism, i.e. the negation of individual freedom and the affirmation of arbitrary use of power. Keywords: Politik penaklukan, erotik, seks, raja filsuf, tiran, idea, orgasme, erotisasi, deerotisasi, mimesis.
Peraturan-peraturan politis yang mencampuri ruang privat masyarakat, seperti misalnya mengawasi seksualitas manusia dan tubuh perempuan, memunculkan pertanyaan filosofis yang sangat mendasar mengenai hubungan antara politik dan erotik. Fasisme dan Nazisme di era Perang Dunia II dan fundamentalisme religius di era globalisasi memasukkan politik pengawasan tubuh ini dalam agenda politis mereka. Pertanyaan mendasar di sini adalah: Mengapa kekuasaan selalu hendak campur tangan ke dalam ruang privat para individu dan masyarakat? Apakah hubungan intrinksik antara politik dan erotik menurut sifat-sifat hakiki kekuasaan itu sendiri? Pertanyaan ini akan dijawab secara filosofis dalam penelitian teks ini dengan upaya hermeneutis kritis untuk menafsirkan teks klasik yang sentral dalam filsafat Barat, yaitu Politeia atau – dalam judul Inggrisnya – The Republic karya Plato. 34
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Bila kita merunut politik sampai ke akar-akar naluriahnya, kita akan menemukan bahwa politik tidak terletak pada upaya untuk mewujudkan kebebasan semua orang, melainkan pada upaya untuk menaklukkan sebanyak mungkin orang, sebagaimana hewan-hewan yang lebih kuat, gesit, dan besar adalah predator bagi hewan-hewan yang lebih kecil, lamban dan ringkih. Naturalisme politik memandang momen politis par excellence sebagai pengawasan, pengendalian, dan penundukan. Pengertian politik sebagai penaklukan banyak dipikirkan secara filosofis sepanjang sejarah, namun kiranya hal itu terjadi tidak lebih awal daripada filsuf Yunani kuno, Plato. Leluhur politik penaklukan ini, jika boleh dikatakan demikian, menulis pemikiran-pemikirannya dalam bentuk dialog-dialog, dan dialog yang paling lengkap menyentuh konsep politik penaklukan adalah Politeia. Dalam dialog ini kita disuguhi sebuah gambaran tentang negara ideal yang mengutuhkan berbagai fragmen kehidupan manusia, seperti karakter, kelas sosial, nilai-nilai, bentuk pengenalan dst. di dalam sebuah ruang kekuasaan yang ditata rapi dan rapat secara rasional. Negara harus merupakan tiruan atas dunia hakikat-hakikat. Plato mengajari kita untuk tidak terperangkap ke dalam dunia keseharian yang selalu berubah-ubah. Jabatan, harta, hasrat, perkakas, raga dst. yang tercakup dalam dunia yang terlihat ini hanyalah bayang-bayang dari dunia idea yang sempurna dan abadi, yakni dari dunia yang terpikirkan. Kebanyakan manusia tetap tinggal dalam dunia yang terlihat dan tak mampu memandang dunia yang terpikirkan. Plato menulis demikian: Mereka yang besar hasratnya untuk mendengar dan untuk melihat berceloteh tentang suara merdu, warna yang indah dan bentuk-bentuk yang cantik dan segala yang dihasikan oleh seni dari suara, warna dan bentuk itu, namun pikiran mereka tidaklah mampu untuk memandang sendiri hakikat dari yang indah dan berbahagia dengan menatapnya.1
Sekilas tak ada yang politis dan juga tiada yang erotis dalam pandangan yang meninggikan pikiran dan merendahkan raga ini. Akan tetapi jika kita mencermati intensi keseluruhan karya Plato kita akan menemukan pentingnya pertalian politik dan erotik dalam politik penaklukan sebagaimana dipikirkan oleh filsuf Yunani kuno ini. Dengan mudah kita melewatkan kecermatan Plato dalam mengulas gairah-gairah ragawi karena kita, seperti kebanyakan penafsir Plato, berasumsi bahwa bagian itu pantas diremehkan jika dibandingkan dengan keunggulan dunia idea yang sangat sentral dalam filsafat Plato. Plato membangun idenya tentang negara menurut skema tubuh yang disebutnya macros anthropos, manusia besar, suatu gambaran yang 1
Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner, 1923,475 e
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
35
mendominasi filsafat politik sepanjang zaman. Pada tubuh politik itu, pemerintah adalah kepalanya, militer adalah dadanya, dan rakyat kebanyakan adalah perut ke bawah. Dari gambaran itu juga daya-daya jiwa manusia dapat dibayangkan: pikiran pada kepala, kehendak pada dada dan naluri pada perut ke bawah. Teknik membaca Plato pun ikut terpengaruh oleh pandangan Plato sendiri yang memuliakan kepala dan meremehkan bagian-bagian lain. Suatu cara pembacaan yang berbeda akan menampilkan sosok pemikiran Plato yang akan memberi kita tilikan yang berharga untuk memahami kaitan antara ruang dan erotik, erotik dan politik, serta politik penaklukan dan kebebasan alamiah. Cara pembacaan yang kita lakukan di sini akan melihat ajaran tentang idea dari dunia hasat atau – katakanlah – isi kepala akan dilihat dari gelora selangkangan. Plato yang sering dilihat sebagai leluhur pemujaan rasio ini juga sering dianggap musuh erotik. Anggapan itu hanya benar sebagian. Ia memusuhi erotik dalam ruang intim, tetapi tidak demikian dengan erotik dalam wilayah politis, bila erotik dimengerti sebagai peleburan imajiner. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa dalam filsafat politik Plato terdapat proyek erotisasi politis dalam arti bahwa hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai itu ingin dipahami sebagai hubungan-hubungan erotis dalam ruang intim yang bersifat rahasia. Untuk menjelaskan hal itu dalam tulisan ini saya pertama-tama akan menunjukkan bagaimana Plato dalam Politea menyingkirkan yang erotis dari wilayah intim (1.) dan bagaimana penyingkiran itu justru memindahkan yang erotis ke dalam wilayah politis (2.). Pada bagian terakhir saya akan menarik kesimpulan tentang konsekuensi logis erotisasi politik, yaitu kesewenangan kekuasaan. (3.). 1.
Plato dan Strategi Mengusir Intimitas dari Ruang Intim Salah satu konsep yang sangat sentral dalam karya Plato Politeia adalah mimesis. Kata Yunani yang berarti peniruan ini merupakan konsep ruang, karena peranan jarak, kedekatan, tempat, kedalaman dst. sangat penting dalam konsep ini. Kata ‘ruang’ yang akan kita gali di sini tidak terbatas pada ruang geometris, seperti kamar, lapangan, gedung dst. Ruang-ruang geometris itu berdiri di luar sana sebagai fakta yang teramati, stabil dan terukur, tak tergantung dari tafsiran-tafsiran kita tentang mereka. Namun ruang yang dimaksud di sini merupakan sesuatu yang muncul di dalam aku, di luar aku dan di antara aku dan engkau dari melihat, meraba, mendengar, mencecap, membaui dan juga dari berpikir dan berimajinasi. Filsuf Prancis, Henri Lefebre, dalam bukunya The Production of Space menulis: bahwa ruang tidaklah terdiri dari proyeksi suatu bayangan intelektual, tidaklah muncul dari dunia yang terlihat-terbaca, melainkan bahwa ruang pertama-tama
36
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
adalah segala sesuatu yang didengar (didengarkan dari) dan dipentaskan (melalui isyarat dan gerak-gerik fisis).2
Dalam arti ini ruang tak terhingga macamnya, tergantung pada sesuatu yang menghasilkan pengalaman, entah itu pikiran, bayangan, pengindraan atau – seperti yang akan dibicarakan di sini - gerak tubuh. Kita bisa berbicara tentang ruang publik, ruang intim, ruang erotis, ruang rahasia, ruang mental, ruang kuasa, ruang raga, ruang imajinasi, ruang akustik, ruang visual, ruang total dst. Ruang-ruang seperti ini bukanlah objek yang dialami, seperti jika kita melihat sebuah kamar (sebagai objek bagi mata kita), melainkan pengalaman itu sendiri merupakan sebuah peristiwa munculnya ruang (mata mengantar pelihat ke dalam ruang visual). Ruang sesungguhnya tidak eksternal dari pengalaman, melainkan suatu pengalaman peristiwa, maka sebaiknya kita sebut dengan kata kerja meruang atau spasialisasi. Dalam arti inilah kita katakan di atas bahwa mimesis merupakan sebuah konsep ruang: Yang meniru menggerakkan tubuhnya seperti yang ditiru sedemikan rupa sehingga yang meniru itu memasuki ruang yang dihasilkan dari peniruannya. Di dalamnya yang meniru dan yang ditiru seolah satu dan sama, dan ruang itu sendiri adalah sebuah tempat imajiner di antara keduanya, karena mereka tetap merupakan dua hal yang berbeda. 1.1. Rezim Platonis dan Kecurigaan terhadap Mimesis Dalam Politeia Plato menjelaskan bagaimana pemerintahan raja filsuf bersikap terhadap seni yang dalam hal ini diwakili oleh drama-drama tragedi dan tradisi mitologis Yunani. Rezim filsuf yang dibela oleh Plato dalam filsafatnya itu sangat mencurigai seni dan melakukan pengawasan atasnya. Secara spesifik hal itu berarti kontrol atas mimesis, karena mimesis memegang peranan kunci di dalam seni. Di dalam drama tragis mitosmitos dipentaskan kembali, dan para pemirsa yang berada di sekitar panggung itu ikut terhanyut ke dalam kisah-kisah itu. Mereka menempatkan diri seolah-olah berada di tempat tokoh-tokoh karakter yang dimainkan di dalam tragedi itu. ‘Menempatkan diri seolah-olah’ adalah sebuah pengalaman peristiwa ruang yang berlangsung ketika seseorang meniru suatu karakter dalam imajinasinya yang lalu terwujud dalam tindakan dramaturgisnya. Ruang yang dibangkitkan oleh mimesis bersifat imajiner, namun ruang itulah yang memungkinkan mereka yang berada di dalamnya berubah menjadi diri-diri yang lain, misalnya membenci, mendendam, jenaka, penuh kelembutan dst. seperti tokoh-tokoh yang mereka mainkan dalam drama itu. Melalui mimesis itulah fiksi mewujudkan dirinya sebagai kenyataan, yakni menjadi real dalam prilaku penirunya.3 2
Levebre, H., The Production of Space, Berlin: Blackwell , 1984, 200
3
Lih. Kersting, W Platons Politeia, Berlin: Wisenschaftliche Buch-Gesellschaft, 2000., 103
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
37
Jika kita cermati lebih rinci, kita akan menemukan kaitan mimesis dan tubuh, dan karenanya juga menjadi perhatian politik penaklukan. Mimesis dalam seni adalah suatu cara tubuh menyesuaikan diri dengan dikte pesona kekuasaan dalam hal-hal yang indah, dan melaluinya hasrat ragawi dibentuk, diarahkan dan diisap ke dalam ruang kuasa yang tercipta oleh pesona itu. Dalam konteks ajaran politisnya dalam dialog Politeia, kekhawatiran akan mimesis ini bersifat politis, yaitu berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian tubuh-tubuh mereka yang dikuasai. Tubuh yang meniru gerak-gerik tokoh-tokoh yang didengar atau dilihat lewat irama, narasi atau pementasan adalah tubuh yang siap untuk digerakkan, docile body. Kita dapat mengatakan bahwa mimesis adalah suatu cara kaburnya atau bahkan lenyapnya jarak antara aku yang berpikir dan aku yang merasa, antara aku dan tubuhku, dan akhirnya juga antara yang meniru dan yang ditiru. Dengan raibnya jarak ini, individu lebih terpikat pada ruang indrawi yang muncul dari suara, warna, sentuhan, bau, yaitu pada ruang yang terbentuk dari hasrat ragawi. Memasuki ruang yang penuh pesona indrawi itu berarti bukan hanya memasuki pengalaman yang berubah-ubah dan majemuk, melainkan juga siap kehilangan kendali diri karena hasrat ragawi yang berkembang dalam ruang ini mengaburkan posisi ego sendiri. Lalu mengapa rezim Plato mencurigai mimesis? Di dalam sebuah rezim yang menjaga keutuhan kekuasaan lewat hierarkhi sosial, ketakjelasan posisi individu akan membahayakan tatanan itu. Mimesis tak terkendali dapat mengaburkan posisi dan bergulir menjadi anarkhi massa, karena ego menempatkan diri seolah-olah pada posisi yang lain. Tatanan hierarkhis itu sendiri merupakan suatu cara bagaimana suatu rezim mengontrol mimesis, yakni menempatkan ego seolah di tempat yang sesuai dalam sebuah tatanan dengan menghindarkan ego melampaui tempatnya. Marilah kita cermati, mimesis macam manakah yang dimaksud oleh Plato. Bila Homeros, setelah ia bercerita…tidak seolah-olah ia Chryses, melainkan tetap sebagai Homeros hal itu kiranya, seperti kau ketahui juga, bukanlah mimesis, melainkan penceritaan belaka.”4
Mimesis yang dimaksud oleh Plato terjadi, jika seorang penyair bersembunyi di balik kulit tokoh-tokohnya dan berkata-kata seolah-olah bukan dia sendirilah yang berkata-kata, melainkan tokoh-tokoh itu, sehingga tidak lagi jelas siapakah yang sesungguhnya sedang berbicara, tokoh-tokoh itu atau sang penyair itu sendiri. Kita tahu bahwa dalam dunia hewan hal serupa juga terjadi dalam cara yang berbeda. Yang dimaksud adalah mimikri: Warna kulit seekor hewan berubah sesuai lingkungan tempat ia berada. Menurut Roger Caillois5 tidak seperti lazimnya dikira, 4
Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner, 1923, 393d.
5
Lih. Grosz, E Space, Time and Perversion, London: Routledge, 1995.. 88
38
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
mimikri dilakukan oleh hewan bukan untuk adaptasi dengan mengecoh predatornya, sebab pemangsa ini lebih menyandarkan diri pada penciuman daripada pada penglihatan. Mimikri terjadi karena hubungan antara organisme dan lingkungannya kabur, sehingga lingkungan itu menjadi komponen aktif identitas organisme itu. Jadi, yang berlangsung di sini bukanlah suatu subjek sadar yang mengenakan topeng untuk mengelabui lawannya, melainkan suatu ketidaksadaran akan subjektivitas dan identitasnya sendiri. Mimikri seperti itulah yang juga berlangsung dalam dramaturgi: Sang pencerita bertindak seolah-olah dia adalah yang lain, dan para pendengarnya pun terdorong untuk melakukan yang sama. Di sini mimikri yang dilakukan oleh pencerita mendorong mimikri penontonnya, karena mimesis juga terjadi lewat mimesis, dan mimesis yang satu mendorong mimesis yang lain. Kaitannya dengan politik lalu menjadi jelas: Seorang anggota kasta bawah meniru prilaku tokoh yang bukan kastanya, dan dengan menempatkan diri seolah-olah di tempat yang lain ia lupa akan posisinya. Hal ini berbahaya untuk rezim Plato yang menekankan posisi yang jelas bagi setiap orang, karena kekaburan posisi dapat membawa tatanan politis pada keruntuhannya.6 Bagi suatu rezim yang menjaga ketat tatanan piramida sosial, simulasi estetis dapat menimbulkan fiksi berbahaya tentang kesamaan sosial. Karena itulah mimesis harus dikendalikan. Menurut Plato Homeros akan menegaskan jati dirinya sebagai pencerita, hanya jika ia mengambil posisi pencerita dengan mengambil jarak dari objek ceritanya. Ego berjarak dari ceritanya sendiri yang merupakan lingkungannya, dan dengan jalan itu tercipta suatu ruang subjektif yang tak tergantikan oleh ruang objektif yang terbentuk dari isi ceritanya. Di sini tubuh dan ruang memainkan peranan, karena ruang – seperti dikatakan di atas – juga muncul dari apa yang didengar dan dipentaskan. Elizabeth Grosz, penulis yang menyoroti hubungan antara mimesis dan ruang, menulis demikian: Mimikri adalah suatu konsekuensi dari representasi ruang, cara ruang dipersepsi.7 Dalam mimikri bukanlah kaburnya batas antara ruang subjektif (tubuh) dan ruang objektif (lingkungan), melainkan tak terbentuknya kedua ruang itu, karena organisme tidak mendiferensiasikan diri dari lingkungannya dengan posisi tubuhnya sendiri. Hal serupa terjadi pada manusia. Grosz melanjutkan: Bagi subjek mengambil posisi sebagai suatu subjek ia harus dapat mensituasikan dirinya sebagai sesuatu yang ditempatkan di dalam ruang yang diduduki oleh tubuhnya.8
6 7
Ada indikasi cukup bahwa Plato mencurigai mimikri karena pengaburan jati diri itu. Lih. Kersting, Platons Politeia, Berlin: Wisenschaftliche Buch-Gesellschaft, 2000, 119 Grosz, E., Space, Time and Perversion, London: Routledge, , 1995, 89
8
Ibid., 89
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
39
Ego menegaskan diri sebagai ego dengan jalan menjangkarkan kesadarannya pada tubuhnya sendiri. Dalam mimikri menurut Grosz ego gagal menempatkan diri dalam tubuhnya, sehingga distingsi antara tubuh dan lingkungan menjadi kabur. Kekaburan ini hanya mungkin, karena ego ditarik dari ruangnya sendiri oleh suatu pesona di luar dirinya, sehingga memasuki ruang yang bukan miliknya. Di dalam erotik mimikri seperti yang djelaskan oleh Grosz itu terjadi: Ego ke luar dari dirinya sendiri dengan ditarik oleh pesona tubuh kekasihnya, dan dalam situasi itu batas-batas antara posisi tubuhnya dan tubuh kekasihnya menjadi kabur oleh adiksi persentuhan yang bahkan melumatkan ego dalam suatu kontinuitas dengan alter. Mimikri erotis memunculkan ruang erotis yang tidak terletak pada ego maupun alter, melainkan pada kontinuitas di antara keduanya. 1.2. Politik Penaklukan dan Permusuhan terhadap Intimitas Politik penaklukan yang digariskan oleh Plato mewaspadai mimikri erotis, bila itu terjadi di antara partner tetap, namun seks dengan partner yang berganti-ganti bukan hanya tidak dilarang, melainkan justru diupayakan dalam sebuah kebijakan politis. Dukungan atas promiskuitas ini kedengaran ganjil sekali bagi kita. Namun jika kita menemukan alasannya, kita dapat mengerti bagaimana politik penaklukan pada dasarnya anti-erotik dalam ruang intim dan melangsungkan erotisasi politis. Di dalam sebuah diskursus filosofis tentang ketelanjangan, alasan itu tersirat. Tubuh perempuan yang telanjang menurut Plato tidak hanya terdiri atas fragmen-fragmen ruang fisik, melainkan juga sesuatu yang melampaui ruang fisik, sesuatu yang melebihi objek erotis yang menimbulkan hasrat ragawi itu. Tubuh indah berbeda dari keindahan tubuh. Sesuatu ‘yang lebih’ itu tak lain daripada keindahan yang bersemayam di dalam tubuh perempuan itu. Laki-laki dan perempuan dari kelas penjaga sama-sama telanjang dalam arena latihan senam mereka, dan pemandangan ini dianggap menggelikan. Namun menertawakan ketelanjangan dianggap lahir dari kepicikan. Plato memberi alasan berikut: …adalah lebih baik telanjang daripada menutup diri dengan balutan-balutan. Dengan busana raiblah juga hal-hal yang menggelikan bagi mata di hadapan pengetahuan yang benar tentang yang baik…Jadi, tak ada hal lain yang ada pada para perempuan penjaga kecuali telanjang – karena sebagai ganti busana mereka mengenakan keutamaan…Laki-laki yang menertawakan perempuan telanjang dalam latihannya akan memetik buah kebijaksanaan yang mentah dari tawanya, karena ia tak tahu mengapa ia tertawa.9
Apa maksudnya di sini? Kita menertawakan ketelanjangan, jika pandangan kita tertumbuk pada tubuh telanjang itu. Menertawakan bisa 9
40
Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner , 1923, 452b dan d.
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
merupakan suatu strategi psikis untuk mengelak dari kuasa keindahan yang menghisap si penatap. Situasinya akan berbeda, jika pandangan kita menembus ketelanjangan itu dan menemukan keindahan atau keutamaan di dalamnya. Yang diacu di sini bukanlah tubuh yang indah yang akan menarik ego untuk menyentuhnya dalam intimitas gairah ragawi, melainkan sang kebaikan atau sang keindahan yang bersemayam di dalam ruang tubuh itu seperti juga dalam tubuh-tubuh lain. Di sini Plato sudah menyiratkan bahwa tubuh mengalami fragmentasi ke dalam ruang-ruang yang dapat kita masuki dalam berbagai cara. Dan cara yang tepat bagi rezim Plato adalah memasuki ruang keindahan - bukan keindahan yang muncul dari intimitas, melainkan dari pikiran atau idea tentang yang indah. Tubuh yang cantik hanyalah anak tangga. Jika idea keindahanlah yang membuat tubuh itu indah, tak ada yang lebih erotis daripada mencintai idea yang abadi dan melampaui segala bentuk, yaitu sang keindahan itu sendiri.10 Itulah ruang mental yang kita bicarakan di atas. Intimitas membentuk ruang erotis (di antara dua orang) yang difragmentasikan dari ruang kuasa rezim Platonis. Di dalam ruang dua orang itu tubuh-tubuh mengakarkan diri, menjadi eksklusif dan rahasia. Intimitas adalah suatu mimesis yang terjadi hanya di antara aku dan kamu di luar dia, sehingga ‘kita berdua’ yang terbentuk di sini seolah disobek dari ‘kita kelompok’. Jadi, intimitas membahayakan loyalitas utuh kepada rezim. Ia menciptakan ruang rahasia bagi dirinya sendiri yang memisahkan diri dari ruang kuasa yang diutuhkan oleh rezim. Karena itu seorang memang boleh mencium seorang gadis dan “menyentuhnya seperti menyentuh seorang anak demi keindahan”11 , namun ciuman itu tidak boleh memasuki ruang intim yang eksklusif, melainkan tetap di dalam ruang kolektif yang inklusif dapat dimasuki orang-orang lain. Tubuh kita sebagai daging menggema dengan situasi tubuh itu berada. 12 Jika tubuh dihindarkan dari situasi intim, tubuh tetap menjadi milik sosial, tubuh sosial, dan tidak dieksklusifkan sebagai tubuh privat. Itulah alasan mengapa promiskuitas diperbolehkan oleh rezim Plato. Dalam promiskuitas seks dipisahkan dari cinta dan erotik. Seks dengan siapa saja secara bergantiganti akan memobilisasi tubuh sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pengakaran tubuh pada satu partner yang akan memunculkan ruang intim berdua yang berakibat pada personalisasi dan juga erotisasi seks. Seks macam ini adalah seks demi seks, seks murni yang dilakukan tidak dengan masuk ke dalam ruang intim, melainkan ruang mental yang berisi hakikathakikat. 10 Bdk. Paz, Octavio The Double Flame. Love and Eroticism, San Diego: Harvest Book, 1995, 47 11 Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner , 1923, 403b 12 Lih. Grange, Joseph“Place, Body and Situation”, dalam: Seamon, David et.al. (ed.), Dwelling, Place and Environtment, Dorfrecht: Nijhoff, , 1985, 74
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
41
Marilah kita simak lagi apa yang terjadi dalam de-intimisasi seks itu. Aku keluar dari ruang intim tubuhku sendiri, jika aku mengarahkan diri pada yang hakiki di dalam tubuh seseorang di hadapanku. Hasrat ragawi yang menyeretku untuk menyentuh tubuhnya dalam gairah yang mengaburkan batas-batas antara diriku dan dirinya harus diatasi lewat hasrat pengutuhan yang mengarahkanku pada ruang mental, yaitu pada ide keindahan dan kebaikan yang dapat ditemukan lewat abstraksi atas tubuh konkret di hadapanku. Dengan cara ini aku meninggalkan ruang intim yang memang sudah melekat dalam setiap penghayatan kemenubuhan. Dengan menyentuh tubuh seseorang seperti menyentuh seorang anak, yakni tanpa hasrat ragawi yang mengintimkan tubuh itu ke dalam ruang berdua yang seolah tunggal itu, aku menyediakan tubuhku untuk suatu “kalian”, dan bukan untuk suatu “engkau”. Karena itu ketelanjangan di hadapan suatu kelompok –berbeda dari ketelanjangan di hadapan seorang alter ego – adalah ketelanjangan yang dibagikan kepada masyarakat. Tubuh telanjang yang telah dikolektivisasikan ini tidak memiliki nilai intim; deintimisasi ini mirip seperti yang dikatakan oleh Walter Benjamin tentang pudarnya aura dalam multiplikasi citra tubuh telanjang lewat reproduksi fotografis. Pengamat tubuh yang dikolektifkan itu akan lebih dibantu untuk melihat yang hakiki di dalamnya. Tawa yang terarah padanya hanya menunjukkan ketidakmampuan akal untuk memasuki yang umum dari ketelanjangan itu. Plato mengira bahwa dengan memandang yang hakiki kita menghindari mimikri, yaitu proses terhisapnya kita ke dalam pesona intim tubuh yang sedang kita pandang. Dengan cara itu pula seluruh diskusi tentang deintimisasi/deindividualisasi tubuh adalah suatu jalan keluar dari ruang intim tubuh. 2.
Yang Erotis dalam Ruang Politis Apakah keluar dari ruang intim tubuh berarti meninggalkan ruang erotis, ruang yang dibentuk dari hasrat pengutuhan? Untuk menjawab ini kita perlu membuat distingsi antara mimikri yang berlangsung dalam ruang politis dan yang berlangsung dalam ruang privat. Plato ingin menyingkirkan yang erotis dalam yang privat dengan mencegah mimikri dalam ruang privat. Namun yang erotis tidak pernah musnah, karena hasrat pengutuhan, suatu hasrat untuk meleburkan diri ke dalam belahan lain dari dirinya, tidak pernah pudar dalam diri manusia. Hasrat pengutuhan itu berpindah dari hubungan-hubungan intim ke dalam hubungan-hubungan sosial. Dengan jalan ini Plato justru memelarkan ruang erotis sampai ke pinggir cakrawala masyarakat. Dengan menjauhkan yang erotis dari intimitas, yang erotis menjadi identik dengan yang politis. Hal ini tampak dalam distingsi Plato antara seks dan cinta. Seks menurut Plato bersifat inklusif, objektif dan umum, maka seks diperbolehkan asal cinta erotis tidak memainkan peranan di dalamnya. Plato menulis:
42
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Jika para perempuan dan para laki-laki melewati usia pembiakan, kita akan memberikan kebebasan penuh kepada para lelaki untuk menyetubuhi perempuan manapun yang mereka sukai, hanya saja dari situ tak boleh dihasilkan anak, ibu atau cucu, dan begitu pula bagi para perempuan tak boleh dihasilkan anak, ayah, keturunan atau leluhur dari semua ini.13
Seperti disinggung di atas, promiskuitas akan membantu individu untuk mencegah intimisasi tubuh partner lewat proses pembiasaan yang menghasilkan klaim pemilikan atas tubuh partner. Cintalah yang mengakarkan tubuhku pada tubuhmu menjadi kita berdua yang memisahkan diri dari kelompok. Bagi Plato negara adalah suatu tatanan hubunganhubungan inklusif yang mengarahkan diri pada kepentingan bersama, maka suatu bentuk kebersamaan yang didasarkan pada cinta dan hubungan eksklusif di antara laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan ada dalam negara idealnya. Hubungan di antara kedua jenis kelamin dibatasi secara ketat pada hubungan seksual melulu demi pemuasan hasrat seks dan pada kebutuhan reproduksi yang dikalkulasi secara eugenik.14 Di dalam kelas penjaga, semua perempuan adalah milik semua laki-laki. Dengan jalan ini semua individu itu mengarahkan diri pada kepentingan bersama. 2.1. Politik dan Deindividualisasi Tubuh Dalam distingsi antara seks dan cinta ini kita melihat bagaimana Plato melakukan fragmentasi ruang penghayatan. Betul bahwa ego harus utuh dalam keseimbangan pikiran, kehendak dan hasratnya, namun dalam hubungan intim tidak boleh mengutuhkan seks dan cinta dalam suatu ketunggalan, karena keutuhan macam ini – menurut Plato – akan mengalihkan loyalitas kepada negara menjadi loyalitas kepada partner. Dalam cinta terjadi suatu proses yang merebut tubuh dari ruang sosial dan menyembunyikannya ke dalam ruang rahasia. Dalam keseharian tubuh kita ini juga diawasi oleh kelompok, sehingga menjadi bagian dari lanskap sosial yang di dalamnya kita tak pernah merasa intim dengan tubuh kita; namun dalam erotik, kita menarik diri dari lanskap itu dan menghadapi tubuh kita sendiri dan tubuh partner. Dalam gelembung ruang intim ini tubuh disadari sebagai tubuh-milik-sendiri. Ini berbahaya untuk hasrat pengutuhan yang merupakan summum bonum (kebaikan tertinggi) dalam negara ideal, karena dikira akan meretakkan negara. Tubuh harus ditempatkan ke dalam ruang politis dengan melancarkan program deindividualisasi tubuh. Tubuh menjadi individual, selama ruang intim masih melingkunginya, maka biotopos intimitas, seperti: perkawinan, keluarga, dan hak milik pribadi, harus dihapus. Seperti pada para pemikir politik
13 Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner , 1923, 462b 14 Lih. Kersting, W. Platons Politeia, Berlin: Wisnschaftliche Buch-Gesellschaft, 2000, 175
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
43
kekuasaan yang masih akan kita bicarakan dalam bab-bab berikut, ‘keluarga’ dan juga ‘masyarakat’ pada Plato dihisap ke dalam ‘negara’. Individualitas tubuh dimungkinkan lewat pengakuan identitas yang tak tertukarkan, dan ini terjadi dalam ruang intim yang di dalamnya beroperasi cinta. Berbeda dari cinta, seks tidak memiliki efek individualisasi, sebab seks dalam pemikiran Plato mencapai taraf kemurniannya sebagai ‘seks demi seks’ yang tidak melibatkan intimitas. Berbeda dengan cinta, seks dapat dibagikan – yaitu difragmentasikan – kepada siapa saja, maka seks tidak melibatkan ruang-ruang internal ego selain hasrat libidinal murni yang dipicu oleh hormon. ‘Seks objektif’ macam ini bagi Plato tidak memiliki efek intimisasi dan individualisasi tubuh, jika partner dipertukarkan terus-menerus secara dinamis. Dengan menyingkirkan cinta erotis lewat de-erotisasi individu dan ruang intimnya, seks dicabut dari ruang intimnya dan menjadi public policy. Di sini erotik dan politik adalah satu dan sama, karena de-erotisasi individu berpadanan dengan erotisasi kolektif. Politik seks itu mencakup bukan hanya kebijakan eugenik untuk pengendalian kualitas populasi, melainkan juga fragmentasi sosial ke dalam kelas-kelas yang dipagari secara ketat. Tubuh adalah resonansi lingkungannya – demikian sudah disinggung di atas-, maka tubuh yang ditempatkan dalam konteks kelas sosial juga menjadi komponen lingkungan ini. Tubuh melakukan mimikri dengan kelasnya. Sementara mewaspadai mimikri dalam seni yang dapat mengaburkan batas-batas posisi individu dalam piramida sosial, Plato membiarkan mimikri tubuh dengan kelas sosialnya. Tubuh yang telah dicabut dari ruang intim itu sekarang telah kehilangan identitasnya sebagai tubuh-subjek15, sebagai tubuh milikku atau sebagai ego. Dalam piramida sosial, tubuh membentuk ruang-ruangnya sendiri: Di dalam kelasnya, tubuh ada dalam ruang kolektifnya, tetapi di hadapan kelas lain tubuh memiliki ruang rahasianya akibat rasa takut bersentuhan yang mengisolasi kelas yang satu dari kelas yang lain. Sementara promiskuitas diizinkan di dalam kelas penjaga, hubungan seks antarkelas dianggap membahayakan keutuhan kolektif. Tubuh yang kehilangan intimitasnya di dalam kelasnya itu meraih kembali pesonanya di hadapan anggota kelas lain, justru pada saat rasa takut bersentuhan berkembang di antara kelas-kelas itu. Jarak, selubung dan keasingan menyimpan pesonanya sendiri. Pesona ini berbahaya bukan karena efek intimisasi belaka, melainkan karena efek metamorfosis yang muncul, bila rasa takut bersentuhan itu berubah menjadi adiksi persentuhan.
15 Maurice Merleau-Ponty memperkenalkan istilah le corps sujet (tubuh-subjek) untuk menjelaskan secara fenomenologis bahwa kesadaran selalu terkait dengan tubuh. Jika demikian, suatu kesadaran kolektif yang muncul karena peleburan individu dalam kelompok dapat dipandang sebagai raibnya tubuh-subjek itu ke dalam tubuh kolektif atau massa.
44
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
Kecemasan rezim Plato akan persentuhan antarkelas memiliki alasan yang mendasar, yakni menghindari persetubuhan antarkelas atau anarkhi massa. Persetubuhan – seperti kata Canetti – adalah cara purba untuk metamorfosis, yaitu penjelmaan suatu status sosial menjadi status sosial lain, suatu pribadi menjadi pribadi lain, dan akhirnya suatu tubuh penghayatan ke tubuh penghayatan lainnya. Dalam naturalisme Canetti kelas dan status sosial mendeterminasi manusia sedemikian hingga relasi antar individu dari kategori sosial yang berbeda mendekati relasi di antara spesies-spesies yang berlainan. Tulis Canetti: Karena setiap makhluk biasanya bersetubuh dengan makhluk dari jenis kelamin lain dari spesies yang sama sangatlah masuk akal bahwa suatu penyimpangan dari kebiasaan itu dirasakan sebagai suatu metamorfosis.16
Larangan metamorfosis dalam negara ideal Plato ini menjamin keutuhan hierarkhi sosial, sehingga dapat dikatakan bahwa fragmentasi sosial membantu hasrat pengutuhan menemukan realisasi politisnya. Secara keseluruhan dapat kita katakan bahwa fragmentasi ruang sosial dalam bentuk hierarkhi sosial bermuara pada fragmentasi dasar ruang kuasa ke dalam yang berkuasa dan yang dikuasai. Izin persetubuhan acak di dalam kelas-kelas dan larangan persetubuhan di antara kelas-kelas membantu terjadinya – katakanlah - persetubuhan kolektif dalam ruang kuasa di antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Kita sebut di sini “persetubuhan kolektif”, karena tujuan tertinggi politik menurut Plato adalah keutuhan tubuh politis, sesuatu yang dibayangkan olehnya sebagai makros anthropos yang utuh. 17 Tentu ada perbedaan cukup besar antara persetubuhan di antara perempuan dan laki-laki di satu pihak dan ‘persetubuhan’ di antara yang berkuasa dan yang dikuasai di lain pihak. Yang pertama bersifat real, sedangkan yang terakhir bersifat virtual. Meski demikian, persetubuhan virtual tidak kurang erotis daripada persetubuhan real, mengingat hasrat pengutuhan dan kerinduan untuk mengalami kontinuitas purba bisa lebih kuat di dalam ruang kuasa ini daripada di dalam ruang intim yang sudah dihancurkan oleh rezim Plato. Ruang kuasa mereproduksi fantasinya sendiri yang mampu mengecoh individu, seolaholah dia merupakan kontinuitas dari kelompoknya. Demikianlah tubuhtubuh yang melakukan seks dalam negara ideal itu tak lebih daripada mesin hasrat yang terasing dari dirinya sendiri. Hasrat seksual itu tak memiliki makna pada dirinya sendiri dan kehilangan daya pengutuhannya, karena ia dihisap ke dalam tujuan-tujuan politis yang dipandang lebih utuh dan menyeluruh. Seks telah mengalami de-erotisasi dan diasingkan dari kebertubuhan. Juga kalau tubuh-tubuh itu bersetubuh, persetubuhan itu 16 Canetti, Elias Masse und Macht, München: Fischer , 1996, 410 17 Lih. . Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner , 1923, 368a-c
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
45
non-erotis, melainkan politis. Seks menjadi ekspresi patriotisme. Berlawanan dengan itu, hasrat pengutuhan di dalam tubuh politik di antara yang berkuasa dan yang dikuasai dipandang sebagai makna dan realitas yang tertinggi. Ruang mental yang menjadi wilayah hakikat-hakikat harus dimasuki oleh setiap individu dan hanya dengan jalan ini setiap orang berada dalam ketunggalan dengan yang lain. Bagaimana masuknya yang erotis ke dalam ruang politis ini bisa dijelaskan? Marilah kita mencermati apa yang dikatakan oleh Bataille tentang pengalaman erotis: Peralihan dari situasi normal ke situasi hasrat erotis mengandaikan suatu penglarutan sebagian dari pribadi sebagaimana ia ada dalam keadaan diskontinuitas…Dalam proses penglarutan itu partner laki-laki pada umumnya memiliki suatu peran aktif, sementara partner perempuan pasif. Sisi pasif dan perempuan itu pada hakikatnya merupakan sisi yang dilarutkan sebagai suatu entitas yang terpisah. Namun bagi partner laki-laki penglarutan partner pasif itu hanya memiliki satu arti: ia meratakan jalan untuk suatu peleburan di mana keduanya bercampur dan akhirnya mencapai taraf penglarutan yang sama.18
Di dalam negara Plato yang berkuasa memegang peranan aktif lakilaki, sedangkan yang dikuasai bersifat pasif seperti partner perempuan. Strategi de-erotisasi/de-intimisasi individu dan fragmentasi ruang sosial ke dalam kelas-kelas adalah suatu cara individu-individu dari pihak yang dikuasai dan yang berkuasa melarutkan sebagian kepribadian mereka. Dalam peleburan akbar di antara keduanya, tidak lagi ditemukan batasbatas antara berkuasa dan dikuasai dalam tubuh politik. Tak ada yang lebih erotis daripada peleburan ini yang membimbing hasrat pengutuhan pada perwujudan politisnya yang paling agung, suatu orgasme kolektif yang dicapai tidak melalui hasrat ragawi, melainkan dengan memasuki ruang mental yang berciri total. Ideologi-ideologi politis, termasuk fundamentalisme agama, beroperasi dengan totalisasi ruang mental ini dengan menyingkirkan singularitas hasrat-hasrat indrawi individu. 2.2. Politik sebagai Hasrat Pengutuhan Distingsi antara orgasme ragawi dan orgasme mental ini dapat kita temukan di dalam kontras yang dibuat Plato antara kuasa akal dalam pemerintahan seorang raja filsuf dan kuasa nafsu dalam pemerintahan seorang tiran. Raja filsuf memasuki ruang mental dengan memandang dunia idea tempat bermukimnya hakikat kenyataan, sementara seorang tiran diombang-ambingkan dalam ruang majemuk yang muncul dari hasrat ragawinya. Seorang filsuf dan seorang tiran sama-sama berkuasa secara absolut atas rakyatnya, dan dengan demikian ruang politis yang 18 Bataille, G., Erotism. Death and Sensuality, San Francisco: City Lights Books, , 1986, 17
46
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
dihasilkan oleh pemerintahan mereka adalah sebuah ruang kuasa yang sarat dengan hasrat pengutuhan dan kenikmatan berkuasa. Namun perbedaan keduanya persis terletak pada jenis hasrat pengutuhan itu sendiri: 19 Hasrat pengutuhan seorang filsuf lahir dari ruang mentalnya tanpa pengantaraan hasrat ragawinya. Hasrat ini adalah suatu hasrat murni pengetahuan untuk memandang hakikat kenyataan lewat pikiran dengan cara pengendalian hasrat itu sendiri. Hannah Arendt memberi komentar berikut atas Plato: Penaklukan diri bagi Plato menjadi kriterium tertinggi untuk kemampuan menaklukan orang-orang lain; kekuasaan perintah sang raja filsuf itu legitim, karena jiwa itu mampu memerintah raga, dan karena akal memiliki kemampuan untuk menaklukan nafsu-nafsu.20
Hanya dengan memusatkan diri pada ruang mental, pemerintahan raja filsuf dapat mengutuhkan diri, karena semua individu dinetralisasikan, yaitu ditarik keluar, dari hasrat ragawinya untuk mengalami kontinuitas ideal dengan yang berkuasa. Hasrat pengutuhan murni ini mendorong raibnya batas-batas antara berkuasa dan dikuasai yang di atas kita sebut ‘persetubuhan kolektif’ atau - mungkin di sini lebih tepat disebut‘perserohanian kolektif’, karena rasa kontinuitas itu dialami dalam ruang mental, dan tubuh politis adalah suatu tubuh virtual seperti juga persetubuhan itu lebih bersifat virtual daripada real. Setelah runtuhnya berbagai kediktatoran yang melegitimasikan diri dengan ideologi-ideologi sekular, seperti fasisme dan komunisme, kita tidak lagi memiliki contoh lain yang dekat dengan ‘perserohanian kolektif’ ala rezim filsuf ini kecuali obsesi homogenisasi, standardisasi dan pengawasan iman dalam fundamentalisme agama. Berbeda dari ini semua, hasrat pengutuhan seorang tiran muncul dari kebutuhan-kebutuhan ragawi yang menuntut pemuasan dengan pengantaraan ruang tubuhnya.’Hasrat’ di sini suatu hasrat ragawi yang amat kuat yang disebut Plato ‘eros’,21 yang tak lain adalah hasrat ragawi yang berasal bukan dari dunia idea di atas sana, melainkan dari ruang selangkangan di bawah sini. Begitulah tirani sebagai buah demokrasi dibayangkan sebagai naiknya nafsu-nafsu rendah, seperti juga kelas-kelas bawah, ke ruang atas pemerintahan negara. Dalam hasrat pengutuhannya untuk menguasai semua orang, orgasme ragawi yang dihasilkan lewat pemuasan nafsu-nafsu badaniah berakhir dengan destruksi politis atau anarkhi. Namun hanya melalui tilikan filosofis ke dalam ruang mental menurut Plato orgasme kolektif dialami sebagai sesuatu yang mengutuhkan 19 Bdk. Kersting, W. Platons Politeia, Berlin: Wisnschaftliche Buch-Gesellschaft, 2000, 292 dst. 20 Arendt, H., Vita active. Oder Vom tätigen Leben, München: Piper Verlag, 1996, 284 21 Lih. Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner , 1923, 573e
F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
47
dan melampaui tubuh. Artinya, memandang dunia idea, meraih pengetahuan sejati tentang realitas adalah juga suatu hasrat. Logistikon atau akal adalah hasrat pengutuhan mental. Di sini kendali atas hasrat erotis yang terbatas adalah realisasi suatu hasrat erotis yang melampaui batas. Politik itu erotis – demikian kita sebut pada awal – dan politik yang dimaksud di sini adalah politik penaklukan, yaitu suatu politik yang meletakkan penaklukan atas rakyat pada inti programnya. Dalam politik macam ini hasrat pengutuhan dan hasrat penaklukan itu idem atque unus. Politik penaklukan ini erotis, karena yang berkuasa dan yang dikuasai memasuki suatu hubungan yang saling melarutkan, suatu pemenuhan kerinduan akan kontinuitas purba antara berkuasa dan dikuasai. Tipe politik ini dianut baik oleh pemerintahan raja filsuf maupun oleh pemerintahan tiranis. Keduanya mencerabut yang erotis dari ruang intim dan memelarkannya ke dalam ruang politis. Erotik menyimpan rahasia, dan tegangan pesonanya hanya mungkin, jika ada yang dilindungi dalam ruang rahasia. Politik penaklukan itu erotis, karena sementara intimitas dan eksklusivitas hubungan di dalam rakyatnya diawasi, sebagai sebuah totalitas negara yang mempraktikkan politik seperti itu bersifat eksklusif, yaitu menarik diri dari masyarakat kosmopolitan. Intimitas antarindividu dihancurkan dan ditukar dengan intimitas kolektif sekaligus kolektivitas intim dari yang berkuasa dan yang dikuasai. 3.
Penutup: Politik Anti-Erotik dan Kesewenangan Rezim Ekspansi ruang erotis dari wilayah intim ke wilayah politis memunculkan jenis kebebasan yang sebenarnya ingin dihindarkan oleh Plato dengan konsep keadilannya, yaitu kebebasan alamiah atau kesewenangan. Tatanan hierarkhis kelas-kelas sosial merupakan fragmentasi sosial untuk membatasi ruang gerak individu. Pembatasan spasial itu membendung gairah-gairah anarkhis individu yang selalu ingin menerjang batasbatasnya. Rasa takut untuk bersentuhan di antara anggota kelas yang satu dan yang lain tidak hanya mencegah pengaburan batas-batas spasial kelaskelas, melainkan juga mereproduksi batas-batas spasial itu. Namun dilihat sebagai keseluruhan fragmentasi yang direproduksi lewat rasa takut untuk bersentuhan ini justru membuka ruang utuh kekuasaan. Perbedaan antara seorang filsuf raja dan seorang tiran terletak pada ‘teknik’ penguasaannya: yang pertama dengan mencabut tubuh individu dari ruang intimnya; yang terakhir dengan membiarkan hasrat ragawi melampaui batas-batasnya. Perbedaan ini tidak lebih kuat daripada kesamaan keduanya yang terletak pada kenyataan bahwa baik strategi deintimisasi tubuh dalam rezim filsuf maupun strategi libidinalisasi tubuh dalam rezim tiranis telah menghancurkan ruang intim individu yang memungkinkan kebebasan individualnya. Stabilisasi politis lewat hierarkhi maupun mobilisasi politis
48
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
lewat massifikasi adalah dua teknik yang berbeda untuk memasuki denyut ruang kuasa yang sama, yakni erotisme politis antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Pemerintahan raja filsuf dan tirani adalah dua model ekstrem dua tipe politik penaklukan massa: yang pertama adalah sebuah tatanan kaku, sedangkan yang terakhir adalah sebuah anarkhi. Dua orang penerus Plato di zaman modern akan mengembangkan kedua tipe itu. Machiavelli akan mengikuti tipe terakhir, sedangkan Hobbes tipe pertama. Plato bermaksud menemukan kontras antara kebebasan dan perbudakan dengan mengontraskan negara filsuf dan negara tiran, namun di sini kita justru menemukan kontinuitas keduanya: Sebuah tatanan hierarkhis yang kaku dan menghapus ruang intim individu demi totalitas politis tak kurang tiranis daripada tirani itu sendiri yang memobilisasi massa melampaui batas-batas tatanan hukum. Kebebasan individu dilenyapkan di sini, dan sebagai gantinya muncul kebebasan alamiah, entah dalam bentuk kesewenangan dalam bermain sebagai Allah dalam negara filsuf ataupun dalam bentuk kesewenangan pelepasan hasrat hewani dalam tirani. Manusia-manusia dalam negara filsuf mengasingkan diri dari tubuh milik mereka sendiri dengan menganggap hasrat ragawi itu tidak real. Mereka yang dipesona idea dan menyepelekan raga berada dalam perbudakan mental yang tak kurang mengasingkan daripada perbudakan nafsu yang dipikul oleh mereka yang dipesona raga dan menyepelekan idea. Filsuf raja sebagai unus multorum adalah prototipe seorang ideolog politis ataupun religiusfundamentalistis yang merasa telah meraih visi secara solipsistis dan menjalankan pemerintahan sesuai visinya itu secara monologal. Dapat dibayangkan kesewenangan mana yang muncul dari tangan seseorang yang merasa telah menjentuh hakikat kenyataan dan menjalankan pemerintahan tanpa kontrol dari pihak yang dikuasai. Kesewenangan yang sama dilakukan oleh seseorang yang di pucuk kekuasaannya melepaskan hasrat ragawinya tanpa kendali. Dalam kedua kasus ini yang dikuasai adalah objek pasif di hadapan suatu subjek kekuasaan. Negara adalah suatu institusi dan struktur yang mencakup hubunganhubungan ekonomis, politis dan sosial yang mengatasi individu-individu. Kompleksitas hubungan-hubungan yang tak terperikan banyaknya itu tertata sedemikian rupa sehingga kendati kerumitan dan kemajemukannya negara tetaplah merupakan satu tubuh yang utuh. Bagaimana yang banyak menjadi yang satu? Keutuhan ini hanya mungkin dengan mediasi tertentu, dan mediasi itu adalah bayangan yang beroperasi di dalam kepala individu-individu. Plato menyebutnya idea dengan pengandaian bahwa idea itulah realitas yang sesungguhnya; kita menyebutnya ruang mental dengan pengandaian bahwa ruang mental itu hanyalah salah satu ruang yang mungkin di dalam suatu fragmentasi ruang kenyataan sebagai suatu keseluruhan. Individu memasuki ruang mental itu dengan membayangkan dirinya seolah-olah hanya sebuah fragmen, yakni fragmen kolektif di dalam F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
49
dirinya; fragmen inilah yang berinterseksi dengan fragmen kolektif individu-individu lain, sehingga mereka bersama menyadari diri sebagai ‘rakyat’ sebuah rezim politis.22 Bayangan ini tentu fiktif, karena ego sesungguhnya adalah banyak fragmen di dalam dirinya, dan lewat hubunganhubungan politis salah satu fragmen ego dilebih-lebihkan, sementara fragmen-fragmen intimnya dirahasiakan di luar interseksi sosial. Dengan kata lain ego bertindak seolah-olah memiliki hanya fragmen kolektif itu. Para penjaga yang dicabut dari ruang intimnya dalam negara Plato tak pernah sungguh-sungguh dapat membersihkan dirinya dari intimitas dengan dirinya sendiri. Cinta kepada negara, seperti juga cinta kepada seorang kekasih, tak pernah menghisap seluruh fragmen individu ke dalam interseksi kebersamaan mereka. Dengan sikap seolah-olah ini pulalah rakyat seorang raja filsuf dan massa seorang tiran memasuki hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai dalam suatu ruang erotis politis. Negara dalam pandangan yang berkembang sejak zaman kuno ini adalah representasi ide keutuhan itu sendiri. Dalam keutuhan itu kebebasan adalah kebebasan alamiah penguasa, yakni kemampuannya untuk menaklukkan rakyatnya. Dalam pandangan klasik ini negara dibayangkan sebagai suatu tubuh raksasa, makros anthropos, yang menghisap semua individu ke dalamnya, sementara tirani dibayangkan sebagai ketercabikan tubuh itu ke dalam serpih-serpih hasrat yang tak terarah. Yang satu hidup dari pengendalian total atas hasrat ragawi; yang lain hidup dari pelepasan hasrat itu. Namun baik kontrol maupun pelepasannya sama-sama membuka ruang kebebasan alamiah atau hasrat penaklukan pihak yang berkuasa, dalam negara filsuf lewat obsesi pada idea dan dalam tirani lewat obsesi pada hasrat. Idea menata individu-individu secara hierarkhis dalam kelas-kelas, sehingga aliran dan perpindahan posisi ditabukan. Hasrat membongkar hierarkhi ini lewat alirannya, sehingga individu dibiarkan bergerak dari posisi satu ke posisi lain. Kekakuan mental dan gerak hasrat adalah peluang-peluang bagi denyut kebebasan alamiah penguasa untuk menaklukkan rakyatnya. Dalam politik penaklukan kebebasan adalah milik dan kodrat penguasa, karena kebebasan adalah kekuasaan itu sendiri yang muncul dari hasrat pengutuhan ataupun hasrat penghancuran. Dalam erotik perempuan dan lelaki melihat sesuatu yang tak terlihat dengan gairah mereka yang membara untuk menyentuh yang tak tersentuh, yaitu pesona yang menghisapnya ke dalam apa yang ditatapnya. Hasrat erotis menembus tubuh partner dan melenyapkan tubuh itu untuk melihat sesuatu. Sesuatu inilah pesona erotis yang menarikku keluar dari diriku sendiri menuju kepada partnerku. Dalam pemikiran Plato, pesona erotis itu adalah atau idea atau hasrat yang menarik individu dari ruang intimnya 22 Bdk. Simmel, Soziologie. Untersuchungen über die Formen der Vergesellscahftung, Frankfurt a.M: Suhrkamp,., 1995, 180
50
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009
menuju pada penguasa. Seperti dalam hubungan erotis antarindividu, dalam hubungan politis individu-individu menembus tubuh politis, yakni institusi-institusi sosial, partai-partai, proses-proses ekonomis dst., dan melenyapkan tubuh itu untuk memandang idea yang mengutuhkan semua itu. Tubuh hanyalah sarana untuk meraih pengalaman yang lebih luhur, yaitu pengutuhan dan orgasme. Demikian juga tubuh politis adalah anak tangga yang harus dilepaskan saat perbedaan antara menguasai dan dikuasai raib dalam tindakan akbar peleburan antara penguasa dan partnernya, yakni rakyatnya, ke dalam ruang total penguasaan. Dan seperti dalam tindakan erotis antarindividu, permainan jarak dan kedekatan, rahasia dan keterbukaan meningkatkan hasrat pengutuhan kolektif. Rakyat memberikan loyalitasnya kepada penguasa yang tak pernah merasa pasti akan loyalitas itu. Dalam ketidakpastian itulah tegangan antara percaya dan tidak percaya merupakan generator hasrat pengutuhan yang tak habis-habis mendinamisasi kebebasan alamiah penguasa untuk menaklukan lagi dan lagi, karena keutuhan itu asimptotis, yakni dituju, namun tak pernah dicapai atau sekurangnya dicapai dalam kehampiran. Dahaga akan yang lebih – jika kita dapat mengatakannya demikian – menggiring seorang tiran masuk ke dalam ruang delirium, yaitu ruang yang tercipta manakala orgi dan ekses kekuasaan membawa yang berkuasa dan yang dikuasai dalam kesungguhan kematian. *)
Fransisco Budi Hardiman: Doktor filsafat, Alumnus Hochschule fûr Philosophie Mûnchen. Pengajar filsafat politik dan sejarah filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Email:
[email protected]
BIBLIOGRAFI Arendt, Hannah, Vita active. Oder Vom tätigen Leben, München: Piper Verlag, 1996. Bataille, Georges, Erotism. Death and Sensuality, San Francisco: City Lights Books, 1986. Canetti, Elias, Masse und Macht, München: Fischer, 1996. Casey, Edward S., The Fate of Place. A Philosophical History, Berkeley: University of California Press, 1998. Grange, Joseph, “Place, Body and Situation”, dalam: Seamon, David et.al. (ed.), Dwelling, Place and Environtment, Dorfrecht: Nijhoff, 1985. Grosz, Elisabeth, Space, Time and Perversion, London: Routledge, 1995. Kersting, Wolfgang, Platons Politeia, Berlin: Wisnschaftliche BuchGesellschaft, 2000. Levebre, Henri, The Production of Space, Berlin: Blackwell, 1984. F. Budi Hardiman, Politik Sebagai Pengawasan Tubuh
51
Merleau-Ponty, Maurice, Phenomenology of Perception, London: Routledge & Kegan Paul, 1962. Paz, Octavio, The Double Flame. Love and Eroticism, San Diego: Harvest Book, 1995. Plato, Politeia, dalam: Platon, Sämtliche Dialoge, Leipzig: Meiner, 1923. Simmel, Georg, Soziologie. Untersuchungen über die Formen der Vergesellscahftung, Frankfurt a.M: Suhrkamp, 1995.
52
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No. 1, Maret 2009