POLITIK PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Studi Atas Amandemen UU SPN No 2 Th 1989 Menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Th 2003)
Oleh: Ivan Riyadi, S.Pd.I 1420410084
TESIS
Diajukan Kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Untuk memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I) Konsentrasi Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam
YOGYAKARTA
2016
iv
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tesis ini Penulis Persembahkan kepada almamater:
Program Studi Pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
vii
POLITIK PENDIDIKAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Studi Atas Amandemen UU SPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003) IVAN RIYADI, S.Pd.I Prodi : Pendidikan Islam Konsentrasi :Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ABSTRAK Peraturan perundang-undang di bidang pendidikan. Berupa kebijakan pemerintah dalam politik pendidikan, telah diprogram, dibuat dan disosialisasikan untuk dilaksanakan. Undang-undang sistem pendidikan nasional, akan tetapi sejalan dengan itu semua produk dari pendidikan tanpa menafikan keberhasilan yang lain terjadi dekadensi moral di kalangan pelajar setiap kelulusan pendidikan umumnya dan khususnya dalam pendidikan Islam. Kegelisahan akademik yang dirasakan peneliti bahwa pelajar atau juga mahasiswa mestinya menjadi pelopor intelektual dan spritual ternyata masih banyak yang memunculkan fenomena yang memalukan akademik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui amandemen UU SPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 dan dampaknya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang arah pendidikan nasional. Karena penelitian ini banyak menganalis tentang kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam dalam pendidikan nasional yang berkaitan dengan amanden undang-undang sistem pendidikan nasional No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, maka metode pengumpulan datanya melalui dokumen yang relevan dan analisa data kualitatif. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa kebijakan pemerintah yang kurang mendukung proses pendidikan Islam, begitu pula dalam pelaksanaan dan ditemukan sebab-sebab lainnya yang memicu sulitnya pendidikan Islam diantaranya oleh kebijakan yang tidak seimbang, sistem, pola pikir, ketidakdisiplinan dan ketidak konsistenan. Kebijakan yang tidak seimbang artinya suatu perilaku pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang sudah digariskan. Sistem yang kurang tepat, tentang ujian sekolah yang syarat memuat materi sosial, kepribadian dan akhlak mulia selalu diselenggarakan setelah ujian nasional selesai. Dengan diundangundangkannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 bahwa bidang garap pelajar yang beragama islam di satuan pendidikan non Islam belum terlayani sesuai agama yang dianut oleh pelajar tersebut, kalau demikian akan memperpanjang permasalahan dalam pendidikan Islam. Ketidak konsistenan dan kedisiplinan di dalam pendidikan Islam yang sudah terakomodir di dalam kebijakan pemerintah, seperti implementasi sistem evaluasi dalam menentukan kelulusan. Bahwa evaluasi mestinya dilaksanakan oleh guru, satuan pendidikan dan pemerintah ternyata didominasi pemerintah, apalagi evaluasi yang dilaksanakan belum mencerminkan tujuan pendidikan yang sudah digariskan dalam kebijakan. Kata Kunci : Pendidikan Islam, Undang-Undang Sistem Pendidikan, Politik Pendidikan
viii
HALAMAN MOTTO
(QS. Al-Ra’du/13: 11)
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
ix
KATA PENGANTAR
Assalamualikum Wr.Wb Segala puji bagi Allah SWT yang telah mengajarkan manusia dengan perantara Kalam mengenai berbagai pengetahuan, dan juga atas limpahan Taufiq beserta Hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula Penulis haturkan Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan shahabatnya yang telah mengajarkan nilai-nilai penting mengenai persamaan derajat antar setiap manusia tanpa membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin, ras, suku ataupun warna kulit, sekaligus memberikan suri tauladan yang telah menginspirasi generasi-generasi sesudahnya. Sebagai sebuah produk pemikiran, karya Penulis ini telah melibatkan partisipasi dari banyak pihak dalam penyusunannya hingga dalam membantu mempermudah kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan memberikan dukungan secara moril maupun materiil. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun secara khusus Penulis menghaturkan terima kasih kepada: 1. Prof. H. Noorhaidi Hasan, MA, M.Phil.P.hD, selaku Direktur Program Pasca Sarjana (PPs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2015-2020. 2. Dr. Rofiq, MA, selaku Ketua koordinator Program dan Staf pada Studi Pendidikan Islam PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 3. Dr. Sembodo Ardi Widodo, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing Tesis yang telah menginspirasi dan memberikan stimulus mengenai analisis kebijakan pendidikan. Penulis mampu menyelesaikan Tesis ini. 4. Dr. Sangkot Sirait, M,Ag selaku Dosen Penguji Tesis yang telah memberikan kritik kontruktif terhadap proses penelitian ini. 5. Pegawai Perpustakaan Pusat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Perpustakaan PPs UIN Yogyakarta, yang telah membantu dalam menyediakan literatur dan buku-buku penunjang lainnya.
vii
6. Dosen-dosen PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang telah memberikan berbagai perspektif dan pengetahuan sesuai dengan bidang konsentrasi keilmuan masing-masing. 7. Kedua Orang Tua Penulis, Arsyad dan Zamuna beserta kakak-kakak yang telah mendukung, memotivasi dan mendo’akan demi kelancaran dalam penyusunan Tesis ini. 8. Teman-teman seperjuangan PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, MKPI-b Angkatan 2014 dalam berbagi ilmu, pengalaman akademik dan pengetahuan non-akademik, sekaligus wahana untuk saling memotivasi dan menyemangati untuk segera menyelesaikan Tesis ini. 9. Teman-teman Part-Time dalam akademik kehidupan yang merupakan kandidat Doktor bapak Tinggal Purwanto, M.S.I dan isri Ibu Sriyati Dwi Astuti, M.Pd.I, yang memberikan pendidikan kehidupan dan penulis mendapatkan banyak pelajaran berharga dalam kehidupan, khususnya Wulan Kurnia Sari yang telah menyemangati, mendampingi dan juga memotivasi untuk menjadi individu lebih baik dan untuk segera menyelesaikan Tesis ini. 10.
Serta semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu yang telah
banyak membantu atas tersusunnya Tesis ini.
Semoga amal baik dan segala bantuan yang telah diberikan kepada Penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT dan tidak lupa Penulis mohon maaf atas kesalahan dalam penyusunan Tesis ini. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat dan berguna bagi Pembaca sekalian.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Yogyakarta, 05 April 2015 Penulis,
Ivan Riyadi, S.Pd.I
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................... ii NOTA DINAS PEMBIMBING.......................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv ABSTRAK ........................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii HALAMAN MOTTO ......................................................................................... ix LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1 B. BatasandanRumusan Masalah ............................................................ 11 C. TujuandanKegunaanPenelitian........................................................... 12 D. TelaahPustaka .................................................................................... 13 E. LandasanTeori .................................................................................... 16 F. MetodologiPenelitian.......................................................................... 18 G. SistematikaPembahasan ..................................................................... 23
BAB II KONSEP POLITIK PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN NASIONAL A. Konsep Politik Pendidikan ............................................................ 26 1. Pengertian Politik Pendidikan................................................... 26 2. Perilaku Politik ........................................................................ 27 3. Pendidikan Politik ..................................................................... .28
xi
4. Karateristik Pendidikan Politik ................................................. .31 5. Tujuan Pendidikan Politik ........................................................ 33 6. Lembaga-Lembaga Pendidikan politik ..................................... 34 7. Pendidikan Politik di Indonesia ................................................ 37
B. Kosep Kebijakan Pemerintah ........................................................ 39 1. Pengertian ................................................................................. 39 2. Teori dan Keefektifan Kebijakan .............................................. 42 3. Perspektif Teoritik dari Keefektifan Kebijakan ........................ 43 4. Perubahan dan Terminasi Kebijakan Pemerintah ..................... 43
C. Tahap-Tahap Kebijakan dalam Sistem Pendidikan....................... 44 1. Tahap Formulasi Kebijakan Pendidikan ................................... 45 2. Tahap Adopsi Kebijakan .......................................................... 45 3. Tahap Implementasi.................................................................. 45 4. Tahap Evaluasi Kebijakan ........................................................ 46 5. Karakteristik Kebijakan dalam Pendidikan .............................. 46 6. Aspek-Aspek
Yang
Tercakup
Kebijakan
dalam
Pendidikan ................................................................................ 48
BAB III AMANDEMEN UU SPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 A. Gambaran Umum UU SPN No. 2 Tahun 1989 ............................. 53 B. Gambaran Umum UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003.............. 58 C. Amandemen Pasal-Pasal UU SPN No. 2 Tahun 1989 dengan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 ........................................... 71 D. Setting politik dalam Amandemen Pasal-Pasal UU SPN No. 2 Tahun 1989 dengan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003........ 76
x
BAB IV DAMPAK UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003 TERHADAP ARAH PENDIDIKAN NASIONAL A. Dampak Perubahan UUSPN No. 2 Tahun 1989 Menjadi SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. ................................................... 96 B. Kebijakan Pendidikan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terhadap Arah pendidikan Nasional ........................................ 97 C. Dampak UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terhadap Tujuan Pendidikan Nasional ........................................................................ 101 D. Dampak UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Menimbulkan Paradigma Baru Pendidikan Nasional ............................................. 111 E. Implementasi Landasan Politik Pendidikan..................................... 114 F. Kebijakan Politik Pendidikan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. ..................................................................................... 117
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................................... 132 B. Saran ................................................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia sudah mengenal pendidikan sejak Indonesia belum merdeka. Pada masa ini juga Indonesia belum mempunyai sistem pendidikan nasional. Indonesia mempunyai sistem pendidikan secara mandiri ketika dibacakannya teks proklamasi pada tanggal 17 agustus 1945, mulailah Indonesia menyusun sistem pendidikannya secara mandiri. Pada tangal 18 Agustus 1945 Indonesia menetapkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.1 Namun demikian, pemberdayaan masyarakat secara luas, sebagai cermin dari keberhasilan itu, tidak pernah terjadi. Mengapa demkian? Karena orde baru, setelah lima tahun berkuasa, secara sistematis telah menyiapkan skenario pemerintahan yang memiliki visi dan misi utama yang melestarikan kekuasaan dengan berbagai cara dan metode. Akibatnya sistem pendidikan nasional dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk menciptakan pelestarian kekuasaan. Pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum kemerdekaan, namun oleh karena politik pemerintah penjajah, maka di sekolah-sekolah negeri tidak diberikan pendidikan Islam. Politik pendidikan demikian diistilahkan sebagai bersifat netral, artinya pihak pemerintah tidak mencampuri masalah pendidikan Islam. Pendidikan Islam dianggap tanggung jawab keluarga. 1
Suyanto, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indoesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hal 5.
2
Usul wakil-wakil rakyat agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai mata pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh pemerintah Hindia Belanda.2 Pengembangan pendidikan Islam pada sekolah mengacu kepada peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SPN) terutama pada standar ini, standar propses pembelajaran, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan.
Pengembangan
pendidikan
Islam
pada
sekolah
juga
mengimplementasikan peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan Islam, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk. Pertama, pendidikan Islam diselenggarakan dalam bentuk pendidikan Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan Islam tingkat satuan pendidikan. 2
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal 9.
3
Pendidikan Islam yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi harapan, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendididkan agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum diriktorat Jendral Pendidikan Islam. Departemen agama yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan. Artinya kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-keinginan. Dalam hal ini, bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat dan orang tua. Dalam kasus Indonesia, sejak kejatuhan rezim Soeharto, proses politik dipengaruhi oleh pasang surutnya wacana demokrasi dan reformasi. Kebijakankebijakan publik pada masa lalu digugat, sementara kebijakan baru disusun untuk memecahkan persoalan-persoalan yang kini dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Beberapa kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah tersebut mendapat dukungan, namun tidak sedikit yang justru mendorong terjadinya resistensi di kalangan pejabat, kelompok-kelompok dalam masyarakat dan menimbulkan kontroversi. Kebijakan publik dalam hal restrukturasi perbankan menjadi salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini.3 Akan tetapi meskipun kebijakan publik merupakan bidang kajian yang menarik, terlebih 3
Amir Santoso, Analisis Kebijakan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3, (Jakarta: Gramedia, 1993) hal.3.
4
bila dikaitkan dengan kondisi Indonesia, Pendidikan di semua jenjang lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti kecerdasan emosional dan sistem nilai sangat ditelantarkan. Bahkan praktek-praktek moral berbangsa dan bernegara yang terjadi di dalam keseharian belum mencerminkan tingkat moralitas yang tinggi. Kebijakan di Indonesia selalu terjadi dari tahun dan dari presiden ke presiden tersebut terjadi pada segala aspek kehidupan. Baik politik dalam yang menyangkut kebijakan-kebijakan pendidikan yang tertuang dalam undangundang sistem pendidikan yang telah dilakukan oleh menteri pada saat presiden yang menjabat. Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional menjadi acuan untuk membuat kebijakan dan manajemen pendidikan baik pada tingkat nasional, regional, maupun di tingkat sekolah. Sejalan dengan jiwa yang terkandung dalam
SISDIKNAS, pendidikan nasional
bertujuan
menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mampu berperan sebagai subjek pembangunan nasional. Lebih dari itu, pendidikan diharapkan dapat melahirkan SDM yang berkualitas, memiliki kompetensi, berkarakter, dan berdaya saing tinggi, baik pada tingkat regional (ASEAN) maupun internasional di era globalisasi.4 Maka Banyak faktor yang menuntut agar Indonesia dapat kembali menjadi macannya Asia yang pernah maju pendidikan. Salah satu faktornya adalah perkembangan dunia yang telah memasuki era globalisasi. Hal ini menuntut agar negara-negara di dunia. Selain itu juga ada beberapa perubahan-perubahan di negara Indonesia. Ada beberapa 4
hal.iii
Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013),
5
warga asing yang pernah menoreh pengalamannya dalam mengenyam pendidikan di Indonesia. SISDIKNAS mulai berkembang menyesuaikan perkembangan SDM di Indonesia, terbukti pada tanggal 27 Maret 1989 diberlakukan UU No. 2 Tahun 1989 tentang SISDIKNAS yang di dalamnya selain pendidikan sekolah, diberlakukan juga pendidikan luar sekolah guna mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tujuan dari UU tersebut. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang berubah.5 Maka jika dilihat dalam perubahan UU SPN No. 2 Tahun 1989 diganti dengan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 dan berlaku sampai sekarang. Alasan digantinya UU 1989 menjadi UU 2003 terkait tentang bab sistem pendidikan nasional karena UU SPN No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional sudah tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi di Indonesia jika disoroti dari sistem pendidikan Islamnya yang terkesan dualis yaitu memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum karena pengaruh penjajahan kolonial Belanda. Fenomena ini dapat dilihat dari lembaga pendidikan di bawah naungan kementerian agama yang seakan-akan 5
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal 11.
6
di nomor duakan di bawah Pendidikan Nasional (diknas). Pendidikan Islam merupakan sistem tersendiri di antara berbagai sistem di dunia ini, kendatipun ada perincian dan unsur-unsurnya yang bersamaan, dia merupakan sistem tersendiri, baik tentang cakupannya maupun tentang kesadarannya terhadap karsa dan rasa manusia. Pengaruhnya merupakan sistem tersendiri dalam jiwa dan kehidupannya nyata.6 Maka pengaruh tersebut diharapkan mampu memecahkan berbagai permasalahan pendidikan. Baik masalah-masalah konvensional maupun masalah-masalah yang muncul bersamaan dengan hadirnya ide-ide baru/inovatif, otomoni daerah dan desentralisasi pendidikan. Melalui perubahan tersebut, diharapkan terciptanya iklim yang kondusif bagi peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia. Setidaknya ada dua undang-undang sistem pendidikan nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SPN. dan yang kedua undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang
selanjutnya lebih dikenal
dengan nama UU SISDIKNAS, sebelum adanya kedua undang-undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki undang-undang nomor 4 tahun 1950. Adanya perubahan UU SPN No. 2 tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar sistem pendidikan nasional bisa menjadi jauh lebih baik.
6
Muhammad Qutb, Sistem Pendidikan Islam, Terj, Salam Harun, (Bandung: Al-Ma’rif 1993), hal 14.
7
Pendidikan agama di Indonesia sebenarnya sudah ada jauh sebelum kemerdekaan, namun oleh karena politik pemerintah penjajah, maka di sekolah-sekolah negeri tidak diberikan pendidikan agama. Politik pendidikan demikian diistilahkan sebagai bersifat netral, artinya pihak pemerintah tidak mencampuri masalah pendidikan agama. Pendidikan agama dianggap tanggung jawab keluarga. Usul wakil rakyat dalam volksraad agar pelajaran agama dimasukkan sebagai pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh pemerintah Belanda.7 Hal ini menjadi indikasi adanya ketakutan di kalangan Hindia Belanda untuk memasukkan pelajaran agama Islam di perguruan umum tentunya ini menjadi pedoman dalam berakhlak dan berprilaku yang mantap yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Undang-undang UU SPN No. 2 tahun 1989 dan UU SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003 masih berupa rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya UU SPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahanperubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang menyebutkan RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral.
7
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan Cet. Ke-1 (Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal 9.
8
Undang-undang Republik Indonesia No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab IV, pasal 10, ayat 4 menyatakan bahwa: Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga serta mampu memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.8
Maka jika diamati secara mendalam pendidikan agama dan pendidikan keagamaan mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan agama diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Hal tersebut memberikan dampak yang cukup membaik daripada sebelumnya. Pendidikan agama dan pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan nasional cukup mendapatkan tempat yang wajar. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran yang wajib dalam setiap jenjang pendidikan.9 Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Peraturan itu ada pada penjelasan pasal 28 ayat 2 yang menyatakan, tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang dijarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan.” Padahal dalam UU sebelumnya yaitu pasal 20 UU No. 4 Tahun 1950 dinyatakan; dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut. Cara
8
Jusuf Amir Feisal, Reorintasi Pendidikan Islam Cet. Ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hal 20. 9 Said Agil Al Munawar, Aktuallisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam Cet. Ke-2 (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal 27.
9
menyelenggarakan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama-sama dengan menteri Agama. Pendidikan agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan. Dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.10 Maka dalam hal ini untuk mewujudkan persatuan nasional, SISDIKNAS menetapkan beberapa faktor diantaranya bahwa sistem nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan lokal, nasional dan global. Sebagai bangsa yang beragama, sudah saatnya kita membuat penafsiran pendidikan sebagai alat untuk memperjuangkan bangsa yang berakar pada karakter dan budaya sendiri. Pendidikan yang ada juga harus dalam rangka demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi persera didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi waga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.11 Maka sudah selayaknya pemerintah melalui sistem
10
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Disekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal 75. 11 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, 2003), hal 11.
10
pendidikan nasional memperhatikan dengan sungguh-sungguh pendidikan agama termasuk didalamnya pendidikan agama Islam karena pendidikan agama dalam ikut serta mensukseskan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia. Di sisi lain UU sistem pendidikan nasional no. 20 tahun 2003 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam di mana dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS no. 20 tahun 2003 madrasah-madrasah mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UU sistem pendidikan nasional tersebut madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan menetapkan MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan “SD/SMP.” Ratifikasi RUU merupakan peristiwa penting dalam perkembangan Sistem Pendidikan Nasional. Ini masalah mendalam dalam politik pembuat kebijakan pendidikan pada masa orde baru. Untuk pertama kali sejak awal republik ini, DPR RI menetapkan apa yang dinyatakan pemerintah sebagai panduan komprehensif untuk praktek pendidikan di negara Indonesia pada masa mendatang. Di antara semua kelompok yang hadir dalam proses ratifikasi ini, para tokoh muslim-lah yang paling antusias, terlibat secara aktif dan vokal. Sesudah ratifikasi yang memakan waktu tiga bulan, RUU dinyatakan sebagai ketetapan No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (UU
11
SISDIKNAS).12 Keterlibatan para tokoh muslim merupakan bagian integral dari sejarah perjuangan kaum Muslim untuk pendidikan Agama anak-anak muslim dalam politik Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa UU-SPN NO. 2 tahun 1989 yang integratif dan utuh mulai muncul, akan tetapi pada UU-SPN ini pada hakikat pendidikan yang keragaman belum terakomodasi. Sehingga UU-SISDIKNAS mencoba menghadirkan pendidikan yang keragaman tersebut. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa realitas Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional belum bisa lepas dari kepentingan-kepentingan politik (baik kelompok partai, birokrasi pendidikan atau kelompok-kelompok masyarakat), Sehingga terkesan “Mencerdaskan kehidupan bangsa” sebenarnya lebih berfungsi sebagai jargon daripada cita-cita pendidikan. maka berangkat dengan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengangkat masalah bentuk tesis dengan judul “Politik Pendidikan dalam Sistem Pendidikan Nasional (Studi Atas Amandemen UU SPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas muncul masalah pokok yaitu terkait pada persoalan perubahan undang-undang sistem pendidikan nasional yang mengalami 6 kali perubahan tentu saja ini menjadi perhatian yang serius oleh pemerintah dalam menuangkan kebijakan pendidikan apa perubahan tersebut kearah positif atau negatif. Itulah persoalan secara umum, berarti 12
Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989 (Jakarta: INIS, 2004), hal 11.
12
persoalan di atas dapat didistribusikan menjadi masalah yang lebih khusus, sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep politik pendidikan dalam pendidikan nasional? 2. Bagaimana amandemen UUSPN No. 20 tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No 2 Tahun 2003? 3. Apa dampak UU SISDIKNAS No. 2 tahun 2003 terhadap arah pendidikan nasional?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut: a. Untuk mengetahui konsep politik pendidikan dalam pendidikan nasional b. Untuk mengetahui amandemen UUSPN No. 20 tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 2003 c. Untuk mengetahui dampak UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 2003 terhadap arah pendidikan nasional
2. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki dua kegunaan. Pertama, yang bersifat keilmuan, dalam aspek keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan berupa teori-teori yang sangat berguna bagi perkembangan ilmu-ilmu pendidikan.
Selain itu,
diharapkan
penelitian ini dapat memperkuat atau membantu teori-teori sebelumnya
13
yang sudah kurang menjawab permasalahan faktual, dan kemudian dapat merumuskan teori alternatif yang merupakan elaborasi dari teori lama yang selama ini dikembangkan dengan temuan-temuan baru yang didapatkan dari hasil penelitian ini. Kedua, yang bersifat aplikatif. Hasil penelitian ini juga, secara aplikatif akan berguna bagi para pendidikan dan keluarga, yaitu: a) Bagi institusi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perundangundangan sistem pendidikan nasional. b) Bagi guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam merumuskan konsep-konsep mengenai implementasi undang-undang sistem pendidikan nasional. c) Bagi keluarga, informasi yang dihimpun penelitian ini menjadi masukan dalam keluarga khususnya orang tua dalam memahami sistem pendidikan nasional.
D. Kajian Pustaka Setelah dilakukan kajian pustaka, penulis belum menemukan penelitian yang sama dengan judul penelitian penulis, yakni Politik Pendidikan Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Studi Atas Amandemen UU SPN No. 20 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 2003) namun ada beberapa penelitian yang penulis temukan terkait dengan penelitian penulis antara lain, yaitu:
14
1. Mamduh. M. Hanafi, dalam bukunya yang berjudul Manajemen, menjelaskan perubahan tidak berhasil karena dua hal; pertama, orang tidak dapat mengubah atau tidak mau mengubah perilaku dan sikap yang sudah tertanam cukup lama. kedua, pada waktu orang berubah, seringkali perilaku yang baru hanya terjadi pada masa-masa awal perubahan. Sesudah itu ada kecendrungan orang kembali lagi ke perilaku yang lama.13 2. Misbahul Munir, melakukan penelitian kebijakan pemerintah tentang kurikulum pendidikan agama dan implikasinya terhadap kurikulum pendidikan Islam. Dalam pandangannya yang menarik diteliti adalah pertama, bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia. Kedua, bagaimana implikasi perubahan kurikulum pendidikan agama terhadap pendidikan Islam. Ketiga, bagaimana konsep kurikulum pendidikan Islam menyikapi perubahan-perubahan kurikulum mendatang. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yakni menerangkan sesuatu gejala yang terjadi melalui pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Metode yang digunakan adalah teknik berfikir: Pertama, dengan memandang suatu kebijakan merupakan refleksi dari keinginan pembuat kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah, sebagai upaya memperbaiki keadaan dan sekaligus memperkokoh kekuasaan. Kedua, pola pikir historis yang secara metodologis memandang bahwa sebuah peristiwa (termasuk lahirnya kebijakan) yang terkait dengan waktu dan peristiwa. Adapun hasil penelitannya adalah pertama, 13
kebijakan pendidikan agama Islam di
Mamduh M. Hanafi, Manajemen, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen, 2002), hal. 279.
15
Indonesia mengalami beberapa kali perubahan yang lebih banyak dipengaruhi oleh persoalan politis yang melingkari kebijakan itu sendiri. Kedua, implikasi dari kebijakan tersebut terdapat perubahan kurikulum pendidikan islam. Ketiga, kerangka dasar dalam menghadapi kurikulum selanjutnya, maka perlu merumuskan konsep pendidikan Islam yang mengacu pada tujuan pendidikan.14 3. Budi Winarno memaparkan ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dalam analisis kebijakan publik, yakni: Pertama, fokus utamanya adalah mengenai penjelasan kebijakan bukan mengenai anjuran kebijakan yang “pantas”. Kedua, sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari kebijakankebijakan publik diselidiki dengan teliti dan menggunakan metodologi ilmiah. Ketiga, analisis dilakukan dalam rangka mengembangkan teori-teori umum yang dapat diandalkan tentang kebijakan-kebijakan publik dan pembentukannya, sehingga dapat diterapkan terhadap lembaga-lembaga dan bidang-bidang kebijakan yang berbeda.15 4. Satjipto Rohardjo mengemukakan bahwa salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat teoritatif dari rumusan-rumusan
peranturannya.
Namun
demikian,
dalam
bentuk
penulisannya ke dalam bentuk tulisan itu sesungguhnya hanya bentuk saja dari usaha untuk menyampai sesuatu ide atau pikiran tersebut. Ide atau
14
Misbahul Munir, Kebijakan Pemerintah Tentang Kurikulum Pendidikan Agama dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, Tesis (Yogyakarta: PPS UIN Sunan Kalijaga, 2008), hal IV. 15 Budi Wanarno, Kebijakan Publik Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hal 31.
16
pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai dari suatu peraturan. Dari telaah pustaka yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti berkesimpulan bahwa penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian merasa masalah penelitian ini masih layak untuk diteliti.
E. KERANGKA TEORI Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori kebijakan publik sebagai alat untuk menganalisis kebijakan pemerintah terhadap pendidikan yang tertuang dalam undang-undang, Sistem pendidikan nsional, Teori ini digunakan untuk menganalisis kebijakan pemerintah terhadap latar belakang lahirnya undang-undang sistem pendidikan nasional tahun 2003 yang menggantikan UU-SPN 1989, tujuan lahir UU-SPN 2003, bentuk dan ruang lingkup UU-SPN 2003. Sedangkan untuk mengetahui implementasi dan efektivitas serta dampaknya UU-SPN 2003 ini terhadap arah pendidikan nasional, penulis menggunakan pendekatan dengan menggunakan teori kebijakan publik, teori implementasi, teori keefektifan, dan teori tentang mutu pendidikan. Teori-teori yang terkait dengan politik dan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan sebenarnya sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Yakni kebijakan pemerintah berdasarkan hakikat Pendidikan dapat dikatakan sebagai pranata yang dapat menjalankan tiga fungsi sekaligus; Pertama,
17
menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat dimasa datang. Kedua mentransfer pengetahuan sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidup masyarakat dan peradaban.16 Dengan demikian itu bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga sebagai transfer of value sehingga dapat dijadikan “tumpuan” dan penolong bagi manusia yang membutuhkannya. Sistem pendidikan adalah seperangkat atau mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling memeperkuat.17 Dengan demikian sistem pendidikan adalah sarana yang berupa seperangkat alat yang sengaja diciptakan untuk mencapai tujuan pendidkan dan pembelajaran, baik atau tidaknya kualitas sistem pendidikan, tergantung pada keharmonisan interaksi dari berbagai unsurnya, terutama sekali adalah peran serta kerlibatan para pelaku pendidikan (anak didik, pengajar dan kurikulum) dalam proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah serta budaya dalam sekolah itu sendiri. Dalam suatu sistem, setiap unsur memiliki tugas, tanggungjawab dan peran masing-masing sesuai dengan kedudukannnya. Mereka bergerak dalam irama dan dinamika yang selaras, seimbang dan harmonis dalam tatanan gerak keseluruhan menuju tujuan yang sama. Suatu sistem pendidikan dapat
16
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: AlMaarif, 1980), ha 92. 17 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidika Islam dan Umum, (Jakrta: Bumi Aksara, 1993) hal 118.
18
dikatakan mampu melayani tantangan zaman, apabila ia mampu merespon kebutuhan anak didik, kemajuan ilmu dan teknologi serta kebutuhan pembangunan nasional, dalam struktur relevansi cita-cita kehidupan sesuai dengan pandangan hidup bangsa dan ajaran agama yang dipeluknya. Dengan kata lain suatu pendidikan akan sukses apabila output-nya dapat bersaing. Sistem pendidikan Indonesia merupakan salah satu sistem pendidikan yang terbesar di dunia yang meliputi 30 juta peserta didik, 200 ribu lembaga pendidikan dan sekitar 4 juta tenaga pendidik yang terbesar dalam suatu area yang meliputi hampir seluas benua Eropa. Ditambah dengan adanya perbedaan antar-daerah sangat memberikan tantangan di dalam usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Namun demikian, tidak boleh terpaku di dalam situasi yang ruwet tersebut. Pendidikan generasi penerus bangsa tidak dapat menunggu. Pendidikan nasional tentunya bukan hanya berkaitan dengan perubahan-perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi namun kita telah menjadi bagian dari dunia global yang dikuasai oleh teknologi. Maka dari itu pendidikan nasional harus mempunyai “sense of crisis” untuk menghadapi tantangan.
F. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya bersifat kepustakaan. Yang berkaitan dengan undang-undang sistem pendidikan nasional yaitu UU-SPN No. 2 tahun 1989 dan UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, peraturan pemerintah, dan politik dalam pendidikan menjadi sumber
19
primer dalam studi ini, dan akan diteliti secara mendalam. Adapun sebagai sumber sekunder dipelajari pula buku-buku dan jurnal yang membahas pendidikan Islam dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, kemudian dilakukan analisis secara logis rasional dan terarah dengan mengungkapkan sejumlah cara yang diatur secara sistematis terhadap pokok pembahasan yang dimaksud. Sehingga diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusan masalah. 1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berjenis kualitatif. Dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendeskripsian dan penganalisaan fenomena, isu-isu pendidikan Islam dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, penelitian ini dilakukan di pustaka, dokumen, arsip, aktivitas sosial, sikap dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Dengan demikian, dalam penelitian ini tentunya memusatkan perhatian pada kepustakaan dengan tidak mengindahkan fenomenafenomena yang terjadi pada objek kajian, oleh karena itu data sepenuhnya dari hasil literer, dimana mencari referensi terkait dari buku-buku atau naskah-naskah sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 2. Pendekatan Penelitian Agar hasil yang didapatkan lebih komprehensif, maka dilakukan juga perbandingan pendidikan Islam di dalam kedua undang-undang tersebut yaitu UU-SPN No 2 tahun 1989 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, pendekatan yang dipergunakan dalam studi ini adalah pendekatan teori
20
publik. Yaitu pendekatan yang menjelaskan continuou dan change UU SISDIKNAS, causal dan explanation UU SISDIKNAS, penyebaran ide dalam UU SISDIKNAS dan prediksi kedepan UU SISDIKNAS. Sehingga diperlukan deskriptif untuk menguraikan hal-hal tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif.18 Studi deskriptif berusaha mendeskripsi dan menginterpretasi apa yang ada, kondisi hubungan yang ada, pendapat yang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, maupun efek yang terjadi.19 Penelitian ini yang tujuan utamanya utama menerangkan apa adanya atau apa yang ada sekarang. Secara teoritis upaya untuk memecahkan masalah setidaknya perlu mempertimbangkan dua hal yang fundamental yaitu:20 Pertama,bentuk dan sumber informasi yang digunakan untuk menjawab sekaligus cara untuk mendapatkannya. Kedua, bagaimana memahami dan menganalisa informasi itu, kemudian merangkainya menjadi suatu penjelasan yang bulat untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tersebut.
18
Nurul Zuhriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Teori dan Aplikasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal 47. 19 Sanapiah Faisal, Metodologi Penelitan Pendidikan, (Surabaya:Usaha Nasional, 1982), hal 119. 20 M. Atho’ Muzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal 62.
21
3. Metode Pembahasan dan Analisis Data Metode pembahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekploratif, deskriptif, dan analitis.21 Dengan metode ini penulis berupaya menggali sejauh mungkin informasi yang terdapat dalam kedua undang-undang sistem pendidikan nasional tersebut. Analisis data yang digunakan adalah analisis non statistik, yaitu menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam analisis data deskriptif yaitu analisis data yang memberikan predikat pada variabel yang diteliti sesuai dengan kondisi sebenarnya.22 Analis data yang diwujudkan bukan dalam bentuk angka, melainkan dalam bentuk laporan dan uraian deskriptif. Di sini peneliti berusaha untuk mencoba memberikan arti yang signifikanl terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Data kualitatif adalah data yang dikategoikan berdasarkan kualitas objek yang diteliti, seperti baik, buruk dan sebagainya.23 Atau mencari makna adalah merupakan upaya mengungkap dibalik makna yang tersurat maupun tersirat serta mengkaitkan dengan hal-hal yang sifatnya logik, teoritik, pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung atau berkembang. 21
Metode ekploratif adalah sebuah metode penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin ingormasi yang terdapat pada obek penelitian. Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), cet. 1, hal. 22-23. Metode deskriptif adalah metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami dan disimpulkan. Sedangkan metode analitis adalah sebuah metode penelitian yang berusaha mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. Lihat Saifud Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 6. 22 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal 353 23 Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan, Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hal 193.
22
Masalah kebijakan sendiri bersifat kualitatif sehingga proses pemahaman tersebut juga penuh dengan pemikiran yang bersifat kualitatif. Pemahaman terhadap masalah kebijakan dilahirkan dari cara berpikir deduktif-induktif. Deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari wawasan teoritis yang dijabarkan menjadi satuan konsep. Induktif adalah pola pikir dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum ke khusus setelah semua dijabarkan dan dianalisis.24 Memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang fenomena faktual dan akurat mengenai fakta-fakta. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan dan sekaligus menganalisis kebijakan pemerintah dalam pendidikan nasional. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library reseach). Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dimaksudkan untuk mempelajari, mendalami, dan mengutip teori-teori atau konsep dari sejumlah literatur, buku, jurnal, majalah, dan lain lain yang kesemuanya relevan dengan topik bahasan dalam penelitian. Menurut Maryaeni25 yang mengutip pendapat Denzin dan Lincoln, data yang terkumpul mestilah memenuhi kriteria trustworthiness, transferability dan confirmability yang artinya setiap data yang dikumpulkan
seharusnya
dapat
dipercaya,
pemaknaanya
ditransferkan pada fakta lain yang tidak digarap secara langsung.
24 25
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hal. 15 Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan (Jakarta: Bumi Aksara,2005), hal.61.
dapat
23
G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN Secara garis besar sistematika pembahasan dalam penellitian ini adalah: Bab I: Menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pendahuluan: yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan dan manfaat penelitian tesis, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan tesis. Bab II: Deskripsi konsep politik pendidikan dalam pendidikan nasional meliputi: pengertian, karakteristik, politik pendidikan di Indonesia, tahap-tahap kebijakan pendidikan di Indonesia Bab III: Menjelaskan gambaran umum UU SPN No. 2 Tahun 1989, secara umum UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, amandemen UU SPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, setting politik terhadap
amandemen UU-SPN No. 2 tahun 1989 menjadi UU No. 20
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003. Bab IV: Penulis menganalisis dampak UU SISDIKNAS No.2 Tahun 2003 terhadap arah pendidikan nasional yang meliputi: dampak perubahan UUSPN No. 2 Tahun 1989 menjadi SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, kebijakan pendidikan dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terhadap arah pendidikan nasional, dampak UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terhadap tujuan pendidikan nasional, dampak UU-SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 menimbulkan paradigma baru pendidikan nasional, telaah tujuan pendidikan nasional dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003.
24
Bab V: Penutup dalam bab terakhir ini penulis sajikan tentang kesimpulan, saran, dan penutup dalam kaitannya dengan tema dari hasil penelitian.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Politik Pendidikan Dalam Amandemen UU Sistem Pendidikan Nasional Ketika
diundangkannya
UU
Sistem
Pendidikan
Nasional
(SISDIKNAS) No. 2 Tahun 1989 menjadi No. 20 Tahun 2003, maka kedudukan pendidikan agama baik secara umum maupun khusus (Islam) semakin kuat keberadaannya di sekolah-sekolah umum. Konsep politik dalam sistem pendidikan nasional diatur dalam udang-undang SISDIKNAS nomor 20 Tahun 2003. Undang-undang ini cenderung bersikap demokratis dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan menunjukkan yang tinggi terhadap pendidikan agama. Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa: Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
130
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang. 2. Dampak UU SISDIKNAS No.2 tahun 2003 terhadap Pendidikan Islam Dampak Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/keadilan, mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Dampak
tersebut
mengindikasikan
upaya
pembaharuan
sistem
pendidikan Islam baik kandungan, proses maupun manajemen. Karena itu, konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta, dengan langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu akademik dan pengembangan usaha bisnis. Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara Indonesia.
131
B. Saran Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar Pendidikan Islam lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal , maka disampaikan saran sebagai berikut: 1. Undang-undang sistem pendidikan nasional harus diformulasikan melalui pembuatan sebuah sistem independent pendidikan Islam yang disahkan melalui peraturan pemerintah. 2. Sistem Pendidikan Nasional sebaiknya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, dan motivasi hidup sehingga dapat menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah lingkungan keluarga serta masyarakat madani dan era globalisasi saat ini, dan yang lebih penting adalah bagaimana dapat membangun sikap mental peserta didik
DAFTAR PUSTAKA Al Munawar, Said Agil, 2005, Aktuallisasi Nilai-Nilai Qur’an dalam Sistem Pendidikan Islam Cet. Ke-2, Jakarta: Ciputat Press. Alwi, Syafaruddin, Affan Gaffar, dan Budi Winarno, 1993, Ekonomi Politik Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi dalam Negeri Di Indonesia: 1980-1990 Berkala Penelitian Pascasarjana Yogyakarta: UGM, Jilid 6 Amir Feisal, Jusuf, 1995, Reorintasi Pendidikan Islam Cet. Ke-1 Jakarta: Gema Insani Press. Arif, Saiful, 2000, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Arifin, M.1993, Kapita Selekta Pendidika Islam dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara. Arifin, Zainal, 2011, Penelitian Pendidikan, Metode dan Paradigma Baru, Bandung: Rosdakarya. Atho’ Muzhar, M, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Aziz Thaba, Abdul, 1996, Islam dan Negara dalam politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press. Azwar, SaifuL, 1999, Metode Penelitian Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Binbagais, Ditjen, 1988, Kelembagaan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Bp-7 Pusat, Undang-undang dasar, Jakarta: BP-7 pusat, 1990. Cholisin, 2002, Militer dan Gerakan Predemokrasi: Studi Tentang Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana. Depdikbud, 1993, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994, “Departemen Agama” Dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2006, UndangUndang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan dalam “UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” Jakarta: tp.
133
Djohar, 2000, Analisis Kebijakan Pendidikan, Diktat Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijaga. Durn, William, 1999, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Effendy, Bahtiar, 1998, Islam dan Negara: Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam Di Indonesia, Jakarta, Paramadina. F.X Sudarsono, 1996, Desain dan Prosedur Penelitian Evaluasi, Penataran Metodologi Penelitian Evauluasi Program, Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Faisal, Sanapiah, 1982, Metodologi Penelitan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional. Fattah, Nanang, 2013, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. Fattah, Nanang, 2013, Analisis Kebijakan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. George A. Steiner, John B. Miner, 1998, Kebijakan dan strategi Manajemen, Terj. Ticoalu dan Agus Dharma, Jakarta: Erlangga. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Produk Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jedral Departemen Agama RI. Jung, Dian, Manajemen Audit Mengikatkan Efektivitas dan Efisensi Perusahaan Anda Setinggi Mungkin, Peran Audit Kerja Dalam Meningkatkan Efiensi dan Efetivitas Bandung Urban Development Projet Oleh A. Rodi Kartamuija, Jurnal Akuntasi dan Auditing Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Univesitas Islam Indonesia. Karim M, Rusli, 1999, Negara dan peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana. Langgulung, Hasan, 1980, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif. leseter, James P and Joseph Stewart, 2000, Public Policy: An Wvolutionary Approach. Australia: Wadswort, Second Edition. Ludjitno, Ahmad, 1998, Pendidikan Agama Sebagai Subsistem dan Implementasinya Dalam Pendidikan Nasional, Yogkarta: Pustaka Pelajar. M Echols, Jhon, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia.
134
M. Hanafi, Mamduh, 2002, Manajemen, Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen. Maryaeni, 2005, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara Mas’oed, Mohtar, 1989, Ekonomi Dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971 Jakarta: LP3ES. Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya. Muhaimin, 2009, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Muhammad Yunus, 1979, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara. Muhammad, 2004, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran TokohTokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989, Jakarta: INIS. Mulyasa, 2002, Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya. Munir, Misbahul, 2008, Kebijakan Pemerintah Tentang Kurikulum Pendidikan Agama Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam, Tesis Yogyakarta: PPS UIN Sunan Kalijaga. Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, 1994, Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Ditinjau Dari Sudut Hukum Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prihantoro, Agung dan Fuad Arif Fudiyartanto, 2002, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Prihantoro, Agung dan Fuad Arif Fudiyartanto, 2002, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Putra Daulay, Haidar, 2004, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia Jakarta: Prenada Media. Qutb, Muhammad, 1993, Sistem Pendidikan Islam, Terj, Salam Harun, Bandung: Al-Ma’rif. R. William, Liddle, 1992, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik Penerjemah. Ning katjasungkana, Jakarta: LP3ES. Rachman Shaleh, Abdul, 2000, Pendidikan Agama dan Keagamaan Cet. Ke-1 Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa.
135
Rachman Shaleh, Abdul, 2000, Pendidikan Agama Dan Keagamaan, Cet. Ke-1 Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa. Rasyadah, Dede, ,2004 Paradigma Pendidikan Demokratis Jakarta: Prenada Media. Rosyadi, Khoirun, 2004, Pendidikan Profetik, Jakarta: Pustaka Pelajar. S. Truna, Dody, 2002, Islam dan Politik Orde Baru Di Indonesia, Jakarta: logos. Saefuddin, A.M. et.al, 1987, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi dalam “Konsep Pendidikan Agama sebuah Pendekatan Integratif-Inovatif”. Cet. I; Bandung: Mizan. Saidi, Ridwan, 1989, Islam dan Politik di Indonesia menjelang akhir abad ke 20, dalam panji masyarakat, 1989, Yogyakarta: Tiara Wacana. Samego, Indria, 1998, Bila ABRI Menghendaki, Bandung, Mizan. Sanit, Arbi, 1985, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press Santoso, Amir, 1993, Analisis Kebijakan Publik: Suatu Pengantar”, Jurnal Ilmu Politik 3, Jakarta: Gramedia. Sirozi, Muhammad, 2004, Politik Kebijakan Pendidikan Di Indonesia: Peran Tokoh-Tokoh Islam dalam Penyusunan UU No.2/1989, Jakarta: INIS. Slamet, 2000, Manajemen Berbasis Sekolah, Salatiga: Soebijono, 1997, Dwifungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya Dalam Kehidupan Politik Di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soekartiwi, 1995, Monitoring dan Evaluasi Proyek Pendidikan, Jakarta: Kouta Indonesia Dunia Pustakan Jaya. Subarsono, 2009, Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudibjo, 1990, Orde Baru, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 11, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Sundhaussen, Ulif, 1986, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, Jakarta: LP3ES. Suyanto, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Di Indoesia Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
136
Syukron, Fuad, 2011, Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kopertais. Tillar, H.A.R dan Riant Nugroho, 2008, Kebijakan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tjokorminoto, Moeljarto, 1991, “Konsep Pembangunan Berkelanjutan,” dalam Samudra Wibawa (Edt), Pembangunan Berkelanjutan: Konsep dan Kasus Yogyakarta: Tiara Wacana. Umam, Saiful Wahid Hasyim, 1998, Konsolidasi dan Pembelaan Eksistesi,” Dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (Edt), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik Jakarta: PPIM. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab II tentang dasar, fungsi dan tujuan pasal 2,3, dan 4. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, 2003. UU RI No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Kaldera Pustaka Nusantara, 2003. Wahab, Solichin Abdul, 2008, Pengantar Analisis kebijakan Publik, Malang, UMM Press. Wanarno, Budi, 2007, Kebijakan Publik Teori dan Proses Yogyakarta: Media Pressindo. Widodo, Kamus Ilmiah Poluler, Yogyakarta: Absolut. Winarno, Budi, 2003, Komparasi Organnisasi Pedesaan dalam Pembangunan Indonesia, Taiwan, Thailand, dan Filipina, Yogyakarta: Media Pressindo. Zaim, Saidi, 1998, Soeharto Menjaring Matahari: Tarik Ulur Remormasi Ekonomi Orde Baru Pasca 1980, Bandung: Mizan. Zuhriah, Nurul, 2006, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Teori dan Aplikasi, Jakarta: Bumi Aksara. Zusnani, Ida, 2013 Manajemen Pendidikan Berbasi Karakter Bangsa, Yogyakarta: Platinum.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang; c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan; d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mengingat
:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. 3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. 7.Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan. 10.Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 11.Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 13.Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. 14.Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. 15.Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain. 16.Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. 17.Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18.Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah. 19.Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. 20.Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. 21.Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendali an, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. 22.Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. 23.Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 24.Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan. 25.Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. 26.Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 27.Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. 28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat. 29.Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota. 30.Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN Pasal 2 Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 3 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi Marusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
1.
2. 3. 4.
5. 6.
1. 2. 3. 4.
BAB III PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN Pasal 4 Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. BAB IV HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA, ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Warga Negara Pasal 5 Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
5. Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 1. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. 2. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Orang Tua Pasal 7 Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 10 Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB V PESERTA DIDIK Pasal 12 1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama; b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara; f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masingmasing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. 2. Setiap peserta didik berkewajiban: a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan; b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 1. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. 2. Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pasal 14 Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pasal 16 Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua Pendidikan Dasar Pasal 17 1. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. 2. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. 3. Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1. 2. 3.
4.
Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 18 Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 19 1. Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. 2. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka. Pasal 20 1. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. 2. Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. 3. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi. 4. Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 21 1. Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.
2. Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. 3. Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi. 4. Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan. 5. Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan. 6. Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak sah. 7. Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 22 Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Pasal 23 1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi. Pasal 24 1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. 2. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. 3. Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. 4. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25 1. Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. 2. Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya. 3. Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bagian Kelima Pendidikan Nonformal Pasal 26 Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 1. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. 2. Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. 3. Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1. 2. 3. 4.
5. 6.
1. 2.
3. 4.
Bagian Ketujuh Pendidikan Anak Usia Dini Pasal 28 Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedelapan Pendidikan Kedinasan Pasal 29 Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen. Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1.
2.
3. 4. 5.
1. 2.
3.
4.
1.
2.
3.
Bagian Kesembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesepuluh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kesebelas Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Pasal 32 Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VII BAHASA PENGANTAR Pasal 33 1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional. 2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. 3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
1. 2. 3. 4.
BAB VIII WAJIB BELAJAR Pasal 34 Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
.
1.
2.
3.
4.
BAB IX STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Pasal 35 Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan. Ketentuan mengenai standar nasional pendidikansebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB X KURIKULUM Pasal 36 1. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. 3. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: a. peningkatan iman dan takwa; b. peningkatan akhlak mulia; c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; d. keragaman potensi daerah dan lingkungan; e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; f. tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; g. agama; h. dinamika perkembangan global; dan 4. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 37 1. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal. 2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; dan c. bahasa. 3. Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 38 1. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah. 2. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. 3. Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
4. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. BAB XI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN Pasal 39 1. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. 2. Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Pasal 40 1. Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas danhak atas hasil kekayaan intelektual; dan e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana,dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. 2. Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Pasal 41 1. Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah. 2. Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal. 3. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu. 4. Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42 1. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. 2. Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi. 3. Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 43 1. Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan. 2. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. 3. Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 44 1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. 2. Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya. 3. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat. BAB XII SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN Pasal 45 1. Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. 2. Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasrana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1. 2.
3.
1. 2. 3.
BAB XIII PENDANAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab Pendanaan Pasal 46 Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Bagian Kedua Sumber Pendanaan Pendidikan Pasal 47 Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga Pengelolaan Dana Pendidikan Pasal 48 1. Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. 2. Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1.
2. 3.
4.
Bagian Keempat Pengalokasian Dana Pendidikan Pasal 49 Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1. 2. 3.
4.
5. 6. 7.
1.
2. 3.
1. 2.
BAB XIV PENGELOLAAN PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 50 Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri. Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 51 Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 52 Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua Badan Hukum Pendidikan Pasal 53 1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. 4. Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. BAB XV PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 54 1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. 3. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1.
2.
3.
4.
5.
Bagian Kedua Pendidikan Berbasis Masyarakat Pasal 55 Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Bagian Ketiga Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah Pasal 56 Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. BAB XX KETENTUAN PIDANA Pasal 67 Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68 1. Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 4. Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 69 1. Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 70 Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan. Pasal 73 Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undangundang ini diundangkan belum memiliki izin. Pasal 74 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini. Pasal 76 Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 77 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1989 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BAB I
Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang; 2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 3. Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional; 4. Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya; 5. Jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran; 6. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu; 7. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pendidikan; 8. Tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik; 9. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar; 10. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendidikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan oleh keluarga, masyarakat, peserta didik dan Pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama; 11. Warga negara adalah warga negara Republik Indonesia; 12. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional.
BAB II Dasar, Fungsi dan Tujuan Pasal 2 Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pasal 4 Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. BAB III Hak Warga Negara Untuk Memperoleh Pendidikan Pasal 5 Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pasal 6 Setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan tamatan pendidikan dasar. Pasal 7 Penerimaan seseorang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 8 1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. 2. Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. 3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB IV Satuan, Jalur dan Jenis Pendidikan Pasal 9 1. Satuan pendidikan menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah. 2. Satuan pendidikan yang disebut sekolah merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan bersinambungan.
3. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenis. Pasal 10 1. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. 2. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar secara berjenjang dan bersinambungan. 3. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. 4. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan. 5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak menyangkut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 11 1. Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional. 2. Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan. 3. Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. 4. Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental. 5. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen Pemerintah atau Lembaga Pemerintah Non Departemen. 6. Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. 7. Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan. 8. Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. 9. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sampai dengan ayat 8 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V Jenjang Pendidikan Bagian Kesatu Umum Pasal 12 1. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. 2. Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah. 3. Syarat-syarat dan tata cara pendirian serta bentuk satuan, lama pendidikan, dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua Pendidikan Dasar Pasal 13 1. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. 2. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, bentuk satuan, lama pendidikan dasar dan penyelenggaraan pendidikan dasar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 14 1. Warga negara yang berumur 6 (enam) tahun berhak mengikuti pendidikan dasar. 2. Warga negara yang berumur 7 (tujuh) tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat. 3. Pelaksanaan wajib belajar ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1.
2. 3. 4.
Bagian Ketiga Pendidikan Menengah Pasal 15 Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan. Lulusan pendidikan menengah yang memenuhi persyaratan berhak melanjutkan pendidikan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1.
2.
3.
4. 5. 6.
7.
8.
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5.
Bagian Keempat Pendidikan Tinggi Pasal 16 Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi disebut perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas. Akademi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu. Politeknik merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus. Sekolah tinggi merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu tertentu. Institut merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang sejenis. Universitas merupakan perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sejumlah disiplin ilmu tertentu. Syarat-syarat dan tata cara pendirian, struktur perguruan tinggi dan penyelenggaraan pendidikan tinggi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 17 Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Sekolah tinggi, institute dan universitas menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional. Akademi dan politeknik menyelenggarakan pendidikan profesional. Pasal 18 Pada perguruan tinggi ada gelar sarjana, magister, doktor, dan sebutan profesional. Gelar sarjana hanya diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas. Gelar magister dan doktor diberikan oleh sekolah tinggi, institut, dan universitas yang memenuhi persyaratan. Sebutan profesional dapat diberikan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional. Institut dan universitas yang memenuhi persyaratan berhak untuk memberikan gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) kepada tokoh-tokoh yang dianggap perlu memperoleh penghargaan amat tinggi berkenaan dengan jasajasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan ataupun kebudayaan.
6. Jenis gelar dan sebutan, syarat-syarat dan tata cara pemberian, perlindungan dan penggunaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 1. Gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan digunakan oleh lulusan perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memiliki gelar dan/atau sebutan yang bersangkutan. 2. Penggunaan gelar dan/atau sebutan lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan atau dalam bentuk singkatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 20 Penggunaan gelar akademik atau sebutan profesional yang diperoleh dari perguruan tinggi di luar negeri harus digunakan dalam bentuk asli sebagaimana diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan, secara lengkap ataupun dalam bentuk singkatan. Pasal 21 1. Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor. 2. Pengangkatan guru besar atau profesor sebagai jabatan akademik didasarkan atas kemampuan dan prestasi akademik atau keilmuan tertentu. 3. Syarat-syarat dan tata cara pengangkatan termasuk penggunaan sebutan guru besar atau profesor ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 22 1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. 2. Perguruan tinggi memiliki otonomi dalam pengelolaan lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi dan penelitian ilmiah. 3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. BAB VI Peserta Didik Pasal 23 1. Pendidikan nasional bersifat terbuka dan memberikan keleluasaan gerak kepada peserta didik. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 24 Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak berikut : 1. mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; 2. mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; 3. mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
4. pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki; 5. memperoleh penuaian hasil belajarnya; 6. menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; 7. mendapat pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat. Pasal 25 1. Setiap peserta didik berkewajiban untuk : a. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku; b. mematuhi semua peraturan yang berlaku; c. menghormati tenaga kependidikan; d. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. Pasal 26 Peserta didik berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dengan belajar pada setiap saat dalam perjalanan hidupnya sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan masing-masing. BAB VII Tenaga Kependidikan Pasal 27 1. Tenaga kependidikan bertugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. 2. Tenaga kependidikan, meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik pengawas, peneliti dan pengembang di bidang pendidikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar. 3. Tenaga pengajar merupakan tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar, yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan pada jenjang pendidikan tinggi disebut dosen. Pasal 28 1. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada suatu jenis dan jenjang pendidikan hanya dapat dilakukan oleh tenaga pendidik yang mempunyai wewenang mengajar. 2. Untuk dapat diangkat sebagai tenaga pengajar, tenaga pendidik yang bersangkutan harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berwawasan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 serta memiliki kualifikasi sebagai tenaga pengajar. 3. Pengadaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pada dasarnya diselenggarakan melalui lembaga pendidikan tenaga keguruan. 4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29 1. Untuk kepentingan pembangunan nasional, Pemerintah dapat mewajibkan warga negara Republik Indonesia atau meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian tertentu menjadi tenaga pendidik. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 30 Setiap tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan tertentu mempunyai hak-hak berikut : 1. memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial : a. tenaga kependidikan yang memiliki kedudukan sebagai pegawai negeri memperoleh gaji dan tunjangan sesuai dengan peraturan umum yang berlaku bagi pegawai negeri; b. Pemerintah dapat memberi tunjangan tambahan bagi tenaga kependidikan ataupun golongan tenaga kependidikan tertentu; c. tenaga kependidikan yang bekerja pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memperoleh gaji dan tunjangan dari badan/perorangan yang bertanggung jawab atas satuan pendidikan yang bersangkutan; 2. memperoleh pembinaan karir berdasarkan prestasi kerja; 3. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya; 4. memperoleh penghargaan sesuai dengan darma baktinya; 5. menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan yang lain dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 31 Setiap tenaga kependidikan berkewajiban untuk : 1. membina loyalitas pribadi dan peserta, didik terhadap ideologi negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. menjunjung tinggi kebudayaan bangsa; 3. melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian; 4. meningkatkan kemampuan profesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa; 5. menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa dan negara. Pasal 32 1. Kedudukan dan penghargaan bagi tenaga kependidikan diberikan berdasarkan kemampuan dan prestasinya. 2. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Pemerintah. 3. Pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.. 4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Pemerintah.
BAB VIII Sumber Daya Pendidikan Pasal 33 Pengadaan dan pendayagunaan sumber daya pendidikan dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan/atau keluarga peserta didik. Pasal 34 1. Buku pelajaran yang digunakan data pendidikan jalur pendidikan sekolah disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah. 2. Buku pelajaran dapat diterbitkan oleh Pemerintah ataupun swasta. Pasal 35 Setiap satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar. Pasal 36 1. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah. 2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat menjadi tanggung jawab badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan. 3. Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku. BAB IX Kurikulum Pasal 37 Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan. Pasal 38 1. Pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan. 2. Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain, atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri. Pasal 39 1. Isi kurikulum merupakan susunan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. 2. Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikah wajib memuat: a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan agama; dan c. pendidikan kewarganegaraan.
3. Isi kurikulum pendidikan dasar memuat sekurang-kurangnya bahan kajian dan pelajaran tentang : a. pendidikan Pancasila; b. pendidikan agama; c. pendidikan kewarganegaraan; d. bahasa Indonesia; e. membaca dan menulis; f. matematika (termasuk berhitung); g. pengantar sains dan teknologi; h. ilmu bumi; i. sejarah nasional dan sejarah umum; j. kerajinan tangan dan kesenian; k. pendidikan jasmarii dan kesehatan; l. menggambar; serta m. bahasa Inggris. 4. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)diatur oleh Menteri. BAB X Hari Belajar dan Libur Sekolah Pasal 40 1. Jumlah sekurang-kurangnya hari belajar dalam 1 (satu) tahun untuk setiap satuan pendidikan diatur oleh Menteri. 2. Hari-hari libur untuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur oleh Menteri dengan mengingat ketentuan hari raya nasional, kepentingan pendidikan, kepentingan agama dan faktor musim. 3. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat mengatur harihari liburnya sendiri dengan mengingat ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). BAB XI Bahasa Pengantar Pasal 41 Bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia. Pasal 42 1. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan dan sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu. 2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sejauh diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
BAB XII Penilaian Pasal 43 Terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian. Pasal 44 Pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/ atau jenjang pendidikan secara nasional. Pasal 45 Secara berkala dan berkelanjutan Pemerintah melakukan penilaian terhadap kurikulum serta sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan. Pasal 46 1. Dalam rangka pembinaan satuan pendidikan, Pemerintah melakukan penilaian setiap satuan pendidikan secara berkala. 2. Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan secara terbuka. BAB XIII Peranserta Masyarakat Pasal 47 1. Masyarakat sebagai mitra Pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. 2. Ciri khas satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan 3. Syarat-syarat dan tata cara dalam penyelenggaraan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah BAB XIV Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional Pasal 48 1. Keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kebijaksanaan Menteri berkenaan dengan sistem pendidikan nasional diselenggarakan melalui suatu Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat dan yang menyampaikan saran, nasehat, dan pemikiran lain sebagai bahan pertimbangan. 2. Pembentukan Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan pengangkatan anggota-anggotanya dilakukan oleh Presiden.
BAB XV Pengelolaan Pasal 49 Pengelolaan sistem pendidikan nasional adalah tanggung jawab Menteri. Pasal 50 Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan oleh Menteri dan Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah lain yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 51 Pengelolaan satuan dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oloh badan/perorangan yang menyelenggarakan satuan pendidikan yang bersangkutan. BAB XVI Pengawasan Pasal 52 Pemerintah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun oleh masyarakat dalam rangka pembinaan perkembangan satuan pendidikan yang bersangkutan. Pasal 53 Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap penyelenggara satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undangundang ini. BAB XVII Ketentuan Lain-Lain Pasal 54 1. Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri khusus bagi peserta didik warga negara adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. 2. Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional. 3. Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan yang bersangkutan. 4. Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. 5. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
1.
2. 1.
2.
BAB XVIII Ketentuan Pidana Pasal 55 Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 18 (delapan belas) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan. Pasal 56 Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 29 ayat (1) dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau pidana denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
BAB XIX Ketentuan Peralihan Pasal 57 Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikandan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), Undangundang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) yang ada pada saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini. BAB XX Ketentuan Penutup Pasal 58 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80)
dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81) dinyatakan tidak berlaku. Pasal 59 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
CURRICULUM VITAE
DATA PRIBADI BIODATA Nama NIM Jenis Kelamin Tempat Lahir Tanggal Lahir Alamat di KTP
: : : : : :
No. Telp HP Pribadi Email Tempat kerja
: : : :
085311943965/ 087896659622
[email protected] STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung
Riwayat Pendidikan S1 Jurusan Prodi Tahun Lulus S2 Konsenterasi Prodi Tahun Lulus
: : : : : : : :
STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung Tarbiyah Pendidikan Agama Islam 2014 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pendidikan Islam Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam 2016
Ivan Riyadi, S.Pd.I 1420410084 Laki-Laki Makarti Jaya 7-Aug-91 Jln Bandes, Bukit tani, Kec. Gerunggang, Kota PangkalPinang, Prov. Kepulauan Bangka Belitung