Politik Dirgantara: Sengketa Kedaulatan Udara Indonesia-Singapura oleh: Mochammad Syarif Iqbal 208000364
Makalah ini disusun untuk memenuhi jurnal akhir
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN UNIVERSITAS PARAMADINA 2014
1
Pendahuluan Secara letak geografis, Indonesia berada di antara pesatnya peradaban benua Asia dan Australia serta derasnya pusaran Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Keadaan geografis Indonesia mendapat legitimasi hukum dunia internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Conference on the Law of the Sea/UNCLOS) III 19821, yang berlaku dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Hal ini menjadikan posisi Indonesia sangat strategis ditengah jalur transportasi pelayaran dan penerbangan global. Dengan keadaan yang sedemikian rupa, secara geopolitik maupun geostrategis Indonesia dapat memainkan perannya dalam hubungan internasional. Sebagai negara dengan konsep kepulauan (archipelagic state), Indonesia terdiri dari 17.580 pulau dengan luas wilayah termasuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebesar ± 5,5 Juta km2.2 Hal tersebut merupakan perwujudan dari konsep Wawasan Nusantara yang merupakan suatu kesatuan tanah, daratan, dan perairan dalam perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, kesaatuan sosial, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan keamanan.3 Namun pada kenyataanya, tidak semua wilayah Republik Indonesia terjamah dalam yurisdiksi hukum kedaulatan negara semestinya. Khususnya pada wilayah yang mencakup Kepulauan Riau, dimana ruang udara di atasnya dikontrol oleh Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (Civil Aviation Authority of Singapore/CAAS).4 Secara historis pendelegasian ruang udara tersebut dimulai sejak tahun 1946 dengan diadakannya pertemuan Regional Air Naviagtion (RAN) bertempat di Dublin, Republik Irlandia. Pertemuan yang diselenggarakan oleh (International Civil Aviation Organization) ICAO, menghasilkan rumusan awal dalam penetapan (Flight Information Region) FIR pada masing-masing regional di belahan dunia.5 Namun hasil dari pertemuan tersebut tidak menguntungkan bagi Indonesia, sebab keputusan ICAO menunjuk Singapura yang mempunyai otoritas dan kuasa penuh dalam mengontrol wilayah ruang udara di atas Kepulauan Riau berdasarkan pada ketentuan Annex 11 Konvensi Chicago 1944. ICAO beralasan bahwa Indonesia belum berkemampuan 1
United Nations Convention on the Law of the Sea III 1982 mulai berlaku efektif pada 16 November 1994 satu Suradinata, Ermaya, Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI, Suara Bebas, Jakarta 2005, hlm. 35. 3 Garis-Garis Besar Haluan Negara, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1993. 4 “KSAU : Udara Natuna Kini Milik Singapura”, Dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/10/31/173526108/KSAU-Udara-Natuna-Kini-Milik-Singapura, diakses pada 8 Maret 2014, pukul 20.21 WIB. 5 “1946: PICAO’s First Regional Air Navigation Meetings”, Dalam http://www.icao.int/secretariat/PostalHistory/1946_picao_first_regional_air_navigation_meetings.htm, diakses pada 21 Januari 2014, pukul 11.25 WIB. 2
2
mengelola wilayah udaranya sendiri yang saat itu yang masih berfokus pada revolusi fisik, sehingga harus mendelegasikan ruang udaranya tersebut kepada Singapura.6 Gambar 1.1. Flight Information Region (FIR) Singapura
(Sumber: Singapore Aeronautical Information (AIP): 2013)
Pemerintah Indonesia acap kali berusaha untuk mendapatkan kembali wilayahnya yang masuk kedalam FIR Singapura, seperti yang dilakukan dalam pertemuan RAN III di Bangkok pada tahun 1993. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan bahwa ICAO yang merekomendasikan agar permasalahan tersebut diselesaikan secara bilateral oleh kedua negara, dalam pertemuan sepenting itu Indonesia hanya mengirim pejabat operasional, sedangkan Singapura mendelegasikan Jaksa Agung, Sekjen Kementrian Perhubungan, serta para penasihat hukum laut internasional.7 Dan pada tahun 1995 Indonesia mencapai kesepakatan dengan Singapura tentang penyusunan batas wilayah udara FIR Singapura dengan FIR Jakarta. Kesepakatan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden di tahun 1996 dengan isi perjanjian tersebut tertuang dalam Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region, yang intinya:8
6
Hakim, Chappy, Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia? Tragedi Aru, Insiden Bawean, dan..., Red and White Publishing, Jakarta 2012, hlm. 186-187. 7 Ibid., 197. 8 Ibid., 187-188.
3
1. Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan laut sampai pada ketingguan 37.000 feet (kaki). 2. Indonesia mendelegasikan tenggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sektror B kepada Singapura dari permukaan laut sampau tidak terbatas (unlimited hight). 3. Sektor C tidak termasuk di dalam perjanjian. 4. Atas nama Indonesia, Singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Route Air Navigation Services (RANS) Charges di wilayah udara yurisdiksi Indonesia pada sektor A, selanjutnya diserahkan ke pemerintah Indonesia, sedangkan sektor B dan C tanpa RANS Charges karena masih merupakan permasalahan Indonesia dan pemerintah Malaysia. Dengan luas wilayah negara dan jumlah penduduk tidak lebih besar dari Jakarta, tentu Singapura tidak seberapa jika dibandingan dengan luas dan besarnya Indonesia. Namun jika melihat zona wilayah udara di atas Kepulauan Riau dikendalikan serta termasuk kedalam FIR Singapura, fakta tersebut bertentangan dengan pemahaman Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara Republik Indonesia9, serta Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanankan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara.10 Tinjauan Yuridis Kedaulatan Udara Internasional Istilah hukum internasional memiliki padanan yang sama dengan istilah hukum bangsa-bangsa (the law of nations, droit den gens). Hukum internasional secara sederhana dapat dipahami sebagai seperangkat aturan yang ditujukan dan dibuat oleh negara-negara berdaulat secara ekslusif. Negara merupakan subjek hukum internasional dalam arti klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional. Bahkan hingga saat ini masih ada yang meyakini bahwa hukum internasional itu pada hekikatnya adalah hukum antar negara.11 9
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 11 Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta 1976, hlm. 70. 10
4
Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional ialah negara memiliki apa yang disebut kedaulatan atau sovereignty yang mempunyai makna kekuasaan tertinggi. Manifestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan ekstern. Sisi intern berupa kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk mengatur masalah intern dalam negeri. Dan ekstern berupa kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubunganhubungan internasional dengan negara lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.12 Pembahasan mengenai kedaulatan ruang udara dimulai dengan munculnya dalil hukum Romawi kuno yang berbunyi “Cujus est solum, ejus est usque ad coelum”, yang mempunyai arti barang siapa yang memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai kelangitdan segala apa yang berada di dalam tanah.13 Sebagaimana yang diketahui, menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut dan udara. Jika wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan laut.14 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan kwajiban negara, yang sebenarnya hanya merupakan konvensi regional kawasan Amerika, senantiasa menjadi rujukan pertanyaan kapan suatu entutas politik dapat dikatakan sebagai negara. Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 menyatakan bahwa karakteristik dari negara dijelaskan sebagai berikut:15 1. Memiliki a defined territory 2. Memiliki a permanent population 3. Memiliki pemerintahan (goverment) 4. Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internatonal dengan negara lain (capacitu to enter into relations with other states) Rumusan tentang kedaulatan ruang udara pada Pasal 1 Konvensi Chicago194416 tidak menunjukan secara eksplisit sampai pada ketinggian berapa negara mempunyai kekuasaan atas delimitasi wilayahnya, hal ini menumbulkan banyak penafsiran-penafsiran berbeda, yang 12
Parathiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar maju, Bandung 1990, hlm. 60. Thontowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto, Hukum Internasional Kontenporer, Refika Aditama, Bandung 2006, hlm. 190. 14 Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Jakarta 1976, hlm. 70. 15 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2010, hlm. 103. 16 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 “The contracting States recognize that every Stete has complete and exclusive sovereignty over the air- space above its territory.” 13
5
dimana pada saat konvensi tersebut dilasanakan, dunia penerbangan masih dalam tahap pengembangan dan teknologi masih belum memadai. 17 Pada mulanya ketentuan Pasal 1 dimaksudkan untuk mengurangi sengketa di antara negara-negara mengenai hak dan kewajiban negara bertalian dengan kedaulatan di ruang udara, tetapi apa yang dimaksudkan dengan sebagai suatu ketentuan yang membawa ketegasan akhirnya menjadi sumber keraguraguan yang baru pula.18 Lalu bagaimana dengan batas-batas horizontal antar negara di udara? Dalam Pasal 2 Konvensi Chicago 194419 , menjelaskan yang dimaksud dengan “territory” adalah batas wilayah darat dan perairan laut teritrorial yang terlekat padanya berada dibawah kedaulatan negara (state territory). Memang dalam Pasal 1 tidak secara tegas menjabarkan defenisi dari wilayah itu sendiri, tetapi semua negara bersepakat tidak ada satu negara manapun yang berdaulat di laut lepas (high seas).20 Walapun demikian khusus tentang masalah kedaulatan negara diruang udara negara-negara telah sepakat bahwa kedaulatan ini telah merupakan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional telah dipertegas dalm konvensi.21 Dalam menyikapi hal tersebut, banyak negara yang sepakat secara bilateral atau pun multilateral dengan menggunakan batas laut teritorialnya untuk dipergunakan dalam delimitasi ruang udara wilayah kedaulatan. Jalan panjang di tempuh oleh dunia internasional dalam menentukan batas-batas wilayah udara teritorialnya melalui serangkain pertemuanpertemuan yang melelahkan dan memakan waktu cukup lama guna mendapatkan sebuah kesepahaman. Flight Information Region (FIR) Dalam Rejim Udara Internasional ICAO merupakan salah satu produk yang dihasilkan dalam Konvensi Chicago 1944 yang berdiri pada tanggal 4 April 1947. Dan pada tanggal 13 April 1947 terjalin perjanjian bersama PBB yang menjadikan ICAO sebagai badan khusus terhitung pada tanggal 13 Mei
17
Tobing, Raida L, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Dirgantara, Departemen Kehakiman, Jakarta 1995, hlm. 38. 18 Ibid. 19 Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 “For the purposes of this Convention the territory of a State shall be deemed to be the land areas and territorial waters adjacent thereto under the sovereignty, suzerainty, protection or mandate of such State”. 20 Martono, H.K, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2007, hlm.19. 21 Abdurrasyid, H. Priyatna, Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hlm. 97.
6
1947. 22 Dalam perjalanannya, tugas-tugas yang dilaksanakan oleh ICAO berfokus pada aspek-aspek teknis serta hukum dari penerbangan sipil internasional. 23 Badan ini juga berfungsi sebagai pengawas dan pengendali dengan melakukan audit terhadap negara-negara anggota, yang dengan sendirinya harus menyesuaikan diri demi keamanan penerbangan internasional bersama.24 Perkembangan FIR tidak lepas dari sejarah penerbangan itu sendiri. Manusia selalu terobsesi dengan hal-hal yang berbau di udara, di langit, di angkasa atau bagi sebagian kebudayaan menyebutnya di surga sebagai representasi dari sesuatu yang keberadaanya berada di atas kepala. FIR termasuk dalam kesatuan Pelayanan Navigasi Penerbangan (Air Navigation Services/ANS) yang diberikan selama semua fase operasi penerbangan. ANS meliputi manajemen lalu lintas udara (Air Traffic Management/ATM), komunikasi, navigasi dan surfeilens (CNS), pelayanan metereologi, Search and Rescue (SAR) dan pelayanan informasi aeronautika.25 Gambar 1.2. Pelayanan Navigasi Penerbangan
(Diambil dari Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil: 2010: halaman 28)
ICAO menetapkan International Standards and Recommended Practices (SARPs), yang dimuat dalam sembilan belas Annexes (Lampiran-lampiran) untuk diterapkan secara universal. Annexes tersebut bertujuan dalam keseragaman teknis dari penerbangan sipil internasional, yang dikembangakan dengan cara yang aman, tertib serta efisien melalui komisi 22
Majid, Suharto Abdul dan Warpani, Eko Probo D., Ground Handling Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan Penerbangan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2010, hlm. 299. 23 Ibid., hlm. 300. 24 Desmond, Hutagaol Capt., Pengantar Penerbangan: Perspektif Profesional, Penerbit Erlangga, Jakarta 2013, hlm. 9. 25 Cholid, Christian dan Basuki, Adi, Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil, Rajawali Pers, Jakarta 2010, hlm. 28.
7
dan komite yang bersangkutan.26 FIR merupakan unsur yang dikembangkan oleh ICAO melalui Annex 11 Air Traffic Services. Flight Information Region (FIR) dibedakan kembali menjadi dua pembagian, pelayanan bagi penerbangan yang terdapat sampai pada lapisan 20.000 kaki (feet) dimaksud dengan FIR, sedangkan untuk ketinggian diatasnya yang melebihi dari 20.000 kaki merupakan Upper Flight Information Region (UIR). Pembedaan antara FIR dan UIR hanya didasari pada kemampuan daya jelajah ketinggian dari pesawat terbang yang berbeda-beda. 27 Menurut Yuwono Agung nugroho, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan dimensi FIR, ialah:28 1. Organisasi ruang udara. Untuk memudahkan pelayanan navigasi udara, ditinjau dari sifatnya ruang udara dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1.1 Wilayah udara terkontrol (controlled airspace). Suatu wilayah udara dimana pesawat yang beroperasi di dalamnya mendapatkan Air Traffic Control Service (ATCS) yang meliputi: a. Control Area (CTA). Suatu wilayah terkontrol dalam memberikan pemanduan lalu lintas pada pesawat terbang dalam posisi cruising level; b. Terminal Control Area (TMA). Suatu wilayah udara terkontrol dalam memberikan pemanduan lalu lintas udara pada saat pesawat terbang dalam posisi crusing level dan atau dalam psroses climb atau descend menuju ketinggian tertentu; c. Control Zone (CTZ). Suatu wilayah udara terkontrol dalam memberikan pemanduan lalu lintas udara pada saat posisi pesawat udara dalam proses descend untuk melaksanakan landing dan atau climb dari lepas landas menuju ketinggian tertentu; dan d. Aerodrome Traffic Zone (ATZ). Suatu wilayah udara terkontrol dalam pemanduan lalu lintas udara bagi pesawat udara yang berada di sekitar bandar udara (manoeuvering area), scara visual.
26
“Annex 2Rulles of The Air”, Dalam http://www.icao.int/secretariat/PostalHistory/annex_2_rules_of_the_air.htm, diakses pada 26 Februari 2014, pukul 12.14 WIB. 27 Likadja, Frans, Masalah Lintas di Ruang Udara, Bina Cipta, Jakarta 1987, hlm. 31. 28 Nugroho, Yuwono Agung, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta 2006, hlm. 112.
8
1.2 Wilayah udara tak terkontrol (uncontrolled airspace). Suatu wilayah udara dimana pesawat udara yang beroperasi di dalamnya hanya mendapatkan information service dan alerting service, meliputi: a. Flight Information Region (FIR). i. ruang udara FIR nasional. Adalah suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu di atas suatu negara. Bagi pesawat militer dan sipil wajib mengikuti aturan-aturan yang berlaku secara internasional maupun atruran yang diberikan oleh negara tersebut. Hal ini berkaitan dengan keselamatan penerbnagan maupun pertahanan dan keamanan. ii. ruang udara FIR internasional. Suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu di atas lautan bebas (bukan wilayah suatu negara). Dalam ruang udara ini tanggung jawab pelayanan navigasi penerbangan dapat di delegasikan kepada negara lain yang berdekatan melalui kesepakatan internasional. Terdapat pendapat yang bertentangan di ruang udara ini yaitu pendat yang memposisikan pesawat militer terbang di dalamnya. b. Upper Flight Information Region (UIR). Pengertian UIR adalah suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu yang terletak di atas ruang udara FIR dengan batas bawah berhimpitan dengan batas atas ruang udara FIR. UIR yang terdapat bersifat nasional dan internasional, sebab UIR dibentuk semata-mata untuk menampung pesawat udara dengan ketinggian tertentu, biasanya jumlah UIR lebih sedikit dari jumlah FIR nasional. 2. Jalur penerbnagan (airways). Ditujukan untuk menampung arus lalu lintas udara agar aman, lancar, teratur dan efisien. Disamping itu jalur penerbangan juga digunakan untuk memisahkan penerbanagan domestik dan internasional yang biasanya tidak melewati objek vital nasional. Beberapa sifat pada jalur penerbangan antara lain: 2.1 two way track (jalur dua arah). Jalur yang diperuntukan sebagai jalur penerbangan secara dua arah dengan pertimbangan: a. rute tersebut dapat menampung lalu lintas penerbangan yang ada; b. pembuatan jalur lain tidak memungkinkan dengan lasan bahwa di sekitar jalur tersebut menunjukan daerah terbatas (restricted area); dan c. efisiensi dan efektifitas dari suatu penerbangan masih dapat dicapai dengan kondisi kegiatan penerbangan tetapa aman. 2.2 one way track (jalur satu arah). Jalur yang diperuntukan sebagai jalur penerbangan secara satu arah, dengan pertimbangan:
9
a. rute tersebut sudah tidak dapat menampung lalu lintas yang ada; b. penerbangan jalur lain masih dimungkinkan, karena daerah disekitarnya bukan merupakan daerah terbatas maupun daerah terlarang; dan c. didukung dengan alat navigasi yang cukup memadai 2.3 jalur khusus, jalur penerbangan yang bersifat khsusus, berarti bahwa jalur penerbangan yang dibuat berdasarkan kebutuhan sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnya: a. rute RVSM (Reduced Vetical Separation Minima). Rute ini dibuat untuk menampung pesawat udara yang lebih banyak pada ketinggian tertentu, dengan teknis memperkecil jarak secara vertikal antara pesawat satu dengan lainnya; dan b. flax track atau flexibility track. Diperuntukan bagi penerbangan untuk mencapai
efisiensi waktu, jarak dan biaya. Dalam hal ini pesawat
diperbolehkan untuk keluar jalur yang semestinya dengan ketentuan terbang dalam ruang udara yang diizinkan oleh ATC, dan kondisi lalu lintas memungkinkan
dan
diperlengkapi
dengan
peralatan
navigasi
yang
dipersyaratkan. Ruang Udara Sebagai Kepentingan Nasional Indonesia Usaha pemanfaatan ruang udara di dalam wilayah Indonesia secara langsung mewajibkan negara untuk mengembangkan kekuatan di ruang udara semaksimal mungkin sehingga efektif dan dapat diandalkan.29 Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat30, bunyi kalimat tersebut mempunyai pesan bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas kedudukan, peran dan fungsi ruang udara nasional Indonesia dengan kewenangan Pemerintah yang berwujudannya meliputi pengaturan, pengurusan, pembinaan dan pengawasan.31 Untuk menjalankan roda pemerintahan, suatu negara membutuhkan unsur wilayah sebagai tempat dalam melaksanakan kedaulatan. Dapat dikatakan bahwa kedaulatan merupakan keharusan yang tidak terpisahkan dari komponen dari apa yang dimaksud dengan 29
Kantaatmadja, Mieke Komar, Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Penerbit Remadja Karya, Bandung 1988, hlm. 3. 30 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3). 31 Nugroho, Yuwono Agung, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta 2006, hlm. 42.
10
negara itu sendri. Secara umum kedaulatan memiliki defenisi sekumpulan hak-hak dan kompetensi yang melekat pada negara.32 Melalui pandangannya, Jean Bodin melihat bahwa satu-satunya jaminan stabilitas politik dan sosial ialah dengan kedaulatan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam artian bahwa hukum tesebut mencerminkan “kemauan” dari penguasa.33 Kepentingan nasional dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dalam merumuskan kebijakan luar negerinya, hal tersebut membentuk unsur-unsur kebutuhan negara yang paling vital seperti, pertahanan, keamanan, militer, dan kesejahteraan ekonomi.34 Hans J. Morgenthau, melihat kepentingan nasional sama dengan pencarian power bagi negara. Dimana konsep power dapat diartikan sebagai hal apapun untuk dapat mengatur dan mengontrol suatu negara atas negara lainnya, hubuganan antara power dengan mengontrol negara lain dapat tercapai dengan cara paksaan atau dengan jalan kerjasama antar negara.35 Penguasaan kontrol ruang udara diatas Kepulauan Riau oleh FIR Singapura, tentu saja bertentangan dengan prinsip kedaulatan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri. Setiap jengkal dari tanah, laut maupun udara sekalipun, direbut oleh para pendahulu kita dengan darah, air mata dan nyawa mereka sebagai taruhan demi berkibarnya Merah Putih di bumi Pertiwi. Persoalan tentang kedaulatan ini seyogyanya dikaitkan dengan aspek-aspek fundamental seperti politik, sosial, ekonomi, dan keamanan. Oleh karena itu keberadaan FIR Jakarta merupakan salah satu elemen yang dapat dijadikan sebagai esensi bagaimana suatu negara melihat kepentingan nasionalnya. Dengan posisi geopolitik yang selalu diikuti dengan pemahaman geostrategi, menjadikan bangsa Indonesia berlimpah dengan kekayaan yang dimilikinya merupakan anuggerah terindah dari Tuhan Yang Maha Esa yang sudah tentu harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Konflik Kepentingan Indonesia-Singapura Sejak periode kolonial Inggris, Singapura telah memberikan dan melakukan pelayanan navigasi penerbangan di ruang udara di atas Kepulauan Riau. Pengelolan tersebut berdasarkan mandat yang diberikan oleh ICAO pada tahun 1946 yang kembali ditetapkan dalam sidang 32
Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta 2003, hlm.29. 33 Heywood, Andrew, Global Politics, Palgrave Macmillan, New York 2011, hlm. 113. 34 Banyu, A. A. Perwita dan Yani, Yanyan Mochamad, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Remaja Rosdakarya, Bandung 2005, hlm 35. 35 Couloumbis, Theodore A. and Wolfe, James H., Introduction To International Relations Power and Justice, Prentica-Hall, New Jersey 1990, hlm. 103.
11
ASPAC - RAN I di Honolulu tahun 1973 serta sidang ASPAC - RAN II di Singapura di tahun 1983. Dalam sidang ASPAC - RAN III di Bangkok 1983, Pemerintah Indonesia menyampaikan working paper mengenai Realigment of Indonesian FIR. Penataan kembali FIR ini didasarkan pada perubahan batas wilayah Indonesia setelah berlakunya UNCLOS 1982. Namun Singapura melakukan Counter Proposal terhadap usul Indonesia dengan alasan bahwa batas wilayah yang diajukan tidak sesuai dengan data batas wilayah Indonesia yang telah didepositkan kepada PBB. Kemudian, ICAO meminta kedua negara untuk mengadakan perundingan untuk menentukan batas FIR masing-masing.36 Dan pada tahun 1995, barulah pemerintah Indonesia mencapai kesepakatan dengan Pemerintah Singapura tentang penyusunan batas FIR Singapura dengan FIR Jakarta, kesepakatan tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden di tahun 1996. Isi perjanjian tersebut tertuang dalam Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region.37 Sampai saat ini wilayah udara FIR Jakarta yang bersinggungan dengan FIR Singapura belum mengalami perubahan atau dengan lain kata disebut sebagai status quo. Pada tahun 2003 Pemerintah Indonesia secara sepihak membatalkan salah satu poin dalam perjanjian 1995 dengan Singapura terkait penggunaan sebagian wilayah di atas Kepulauan Riau sebagai tempat pelatihan militer bagi Angkatan Udara Singapura (Republik Singapore Air Force/ RSAF).38 Namun berdasarkan berita terakhir, Raj Kumar, Konsulat Jeneral Singapura di Batam, mengatakan bahwa pemerintah Singapura tidak mempermaslahkan jika Indonesia ingin kembali mengambil alih kembali ruang udara yang telah didelegasikan, namun dengan persetujuan dari ICAO sebagai syarat utamanya. Pada prinsipnya pihak Singapura menunggu Indonesia untuk segera meningkatkan sumber daya manusia dan perangkat pendukung dan Singapura bersedia untuk membantu Indonesia dalam mewujudkannya.39 36
Martono, H.K, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta 2007, hlm. 66. 37 Hakim, Chappy, Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia? Tragedi Aru, Insiden Bawean, dan..., Red and White Publishing, Jakarta 2012, hlm 187. 38 Nugroho, Yuwono Agung, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta 2006, hlm. 11. 39 “Singapore Willing To Retrun Riau Islands Airspace” dalam, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/18/singapore-willing-return-riau-islands-airspace.html, diakses pada 31 Mei 2014, pukul 14.12 WIB.
12
Langkah Pendekatan Indonesia Terhadap ICAO Diplomasi menjadi langkah strategis bagi Indonesia dalam politik penerbangan khususnya perihal sengketa kedaulatan udara antara Indonesia dengan Singapura. Dan dalam permasalahan ini menuntut Indonesia untuk berhadapan secara bilateral dan multilateral baik dengan Singapura maupun ICAO. Indonesia merupakan negara anggota (contracting state) dari International Civil Aviation Organization (ICAO). ICAO merupakan sebuah Organisasi Internasional yang merupakan badan khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dengan memfokuskan pada penerbangan sipil dunia dan juga sebagai rezim udara internasional. Indonesia masuk menjadi anggota ICAO pada tanggal 27 April 1950,40 Berdasarkan konstitusi, keanggotaan ICAO dapat dibedakan hak serta kewajibannya menurut kedudukan. Dalam wawancara dengan Bapak Aries Martono, Attaché Perhubungan Republik Indonesia di Montreal yang juga wakil tetap Indonesia untuk ICAO (2004-2006), menjelaskan apa yang dimaksud dengan kedudukan dalam ICAO, ialah adanya status suatu negara (contracting States) yang menjadi anggota Council (Dewan) dan atau negara itu hanya menjadi anggota biasa dalam ICAO.41 Dalam perjalanannya, Indonesia menjadi anggota Dewan (Council) dari Kategori III sejak tahun 1962. Pada kurun waktu 10 kali periode pemilihan, posisi Indonesia terus duduk dalam Dewan ICAO sampai pada tahun 1998. Pemerintah Indonesia acap kali terus berusaha untuk memperbaiki posisi menjadi anggota Dewan kembali, namun Indonesia tidak terpilih menjadi anggota Dewan pada periode 2001, 2004 dan 2007.42 Pendekatan strategis lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada ICAO ialah dengan membuka kembali kantor kepentingan Indonesia di Montreal, Canada. Kantor perwakilan tersebut kembali dibuka pada tanggal 2 Februari 2012, yang ditandai oleh pengguntingan pita yang dilakukan oleh Wakil Menteri Perhubungan Republik Indonesia Bambang Susanto, Presiden ICAO Roberto Gonzales, serta Sekretaris Jendral Raymond Benjamin. Ada dua manfaat dengan membuka kembali kantor perwakilan tersebut. Pertama, memberi komitmen ke dunia bahwa Indonesia ingin memperbaiki penerbangan nasional
40
“Kantor Kepentingan Indonesia pada ICAO diresmikan”, dalam http://m.dephub.go.id/read/berita/direktoratjenderal-perhubungan-udara/kantor-kepentingan-indonesia-pada-icao-diresmikan-9268, diakses pada 9 Maret 2014, pukul 13.02 WIB 41 Martono, Aries, Wawancara 5 Maret 2014. 42 “Multilateral Realtions Indonesia and International Civil Aviation Organization (ICAO)”, dalam http://www.indonesia-ottawa.org/multilateral-relations/, diakses pada 9 Maret 2014, pukul 18.29 WIB.
13
sehingga menjadi referensi dunia. Kedua, industri penerbangan nasional dapat meningkatkan daya saing atau daya tawar di penerbangan internasional.43 Terakhir, Indonesia kembali berupaya mencalonkan diri menjadi anggota Dewan ICAO untuk periode 2013-2016 pada Kategori III. Untuk dapat terpilih, Indoneisa perlu melakukan diplomasi dan menunjukan kinerja/capaian/prestasi teknis/operasional/dibidang penerbangan. Diplomasi yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan dan para pemangku kepentingan lainnya merupakan kepanjangan yang dilakukan di dalam negeri. Dalam melakukan diplomasi untuk mencari dukungan terhadap pencalonan Indonesia menjadi anggota Dewan ICAO Kategori III, Kementerian Luar Negri dan Perwakilan Indonesia di luar negeri harus memberikan bukti-bukti kinerja teknis/operasional yang sudah tercapai.44 Meskipun Indonesia gagal kembali untuk menjadi anggoa Dewan untuk kategori III, namun hal ini merupakan upaya yang sudah menjadi keharusan bagi Indonesia dalam memenuhi salah satu kepentingan nasionalnya. Kesimpulan Dalam kesimpulannya, penelitian ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana institusi internasional tidak serta merta menjadikan negara-negara yang tergabung didalamnya dapat bersikap sepenuhnya patuh dan tunduk terhadap hukum-hukum yang telah disepakati ketika hukum tersebut ternyata merugikan. Dalam kasus Penguasaan ruang udara di atas Kepulauan Riau oleh otoritas Singapura, menunjukan sebuah indikasi yang sangat jelas bahwa isu mengenai kedaulatan masih menjadi bahasan yang sangat sensitif untuk dapat diatur dan dikelola selain daripada negara itu sendiri. Semenjak berdirinya, ICAO berfokus pada aspek-aspek teknis serta hukum dari penerbangan sipil internasional. Termasuk di dalamnya penentuan batas wilayah ruang udara suatu negara yang disebut sebagai Flight Information Region (FIR). Namun demikian, kekuasaan ICAO sebagai sebuah institusi yang menaungi negara-negara anggota dalam menentukan FIR tersebut bersinggungan dengan kedaulatan udara yang dimiliki sebagai suatu kepentingan nasional dari suatu negara. Dalam contoh kasus Indonesia dengan Singapura dapat dilihat bagaimana FIR yang ditentukan melalui ICAO justru berdampak pada persinggungan wilayah negara yang menjadi 43
“ Dewan ICAO: Indonesia Buka Kantor Perwakilan di Kanada”, dalam http://industri.bisnis.com/read/20120203/98/62388/dewan-icao-indonesia-buka-kantor-perwakilan-di-kanada, diakses pada 22 Mei 2014, pukul 22.30 WIB. 44 Ibid.
14
kepentingan antara Indonesia dan Singapura. Persingungan tersebut terjadi ketika ruang udara yang termasuk dalam FIR Jakarta ternyata tidak sesuai dengan batas kedaulatan wilayah nasional perairan Indonesia. Sebagian wilayah udara Indonesia khususnya yang berada di atas Kepulauan Riau harus menjadi bagian kedalam FIR Singapura berdasarkan keputusan ICAO. Meskipun
demikian,
Indonesia
tetap
mengupayakan
pembagian
FIR
yang
proporsional, sesuai dengan batas-batas wilayah darat dan lautnya. Hal itu dilakukan oleh Indonesia sebagai tindakan antisipatif Indonesia yang merasa terancam ketika negara lain atau aktor lain menguasai sebagian wilayah kedaulatannya. Meskipun wilayah udara tidak dapat memberikan input kepentingan nasional yang terlalu signifikan dalam konteks ini, akan tetapi disitu justru terlihat bahwa sistem anarkis merupakan faktor mendasar yang memengaruhi tindakan antisipatif Indonesia. Meskipun FIR ditujukan untuk kepentingan penerbangan sipil, bagi Indonesia hal itu justru mengarah kepada penguasaan kedaulatan serta mengandung proporsi ancaman secara militer. Terbukti pula ketika Singapura sempat melakukan latihan militer di ruang udara Indonesia yang sudah menjadi bagian dari FIR Singapura. Pada akhirnya penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kedaulatan merupakan harga mati bagi Indonesia terlebih ketika melihat relativitas power yang dimiliki oleh Indonesia dan Singapura secara fisik. Bagi Indonesia, penguasaan sebagian ruang udara oleh Singapura merupakan ancaman sekaligus bentuk dari kemerosotan citra dari sebuah negara yang besar yang dianggap tidak mampu mengelola wilayah kedaulatannya meskipun hal itu ditujukan untuk kepentingan penerbangan sipil. Rekomendasi yang dapat disampaikan melalui penelitian singkat ini kepada para pengambilan keputusan, terletak pada posisi bahwa penelitian ini juga berupaya untuk memberikan sebuah perspektif dalam melihat bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia mengawasi dan mengelola wilayah kedaulatan disetiap sudutnya. Meskipun ruang udara yang ditujukan untuk kepentingan penerbangan sipil tersebut belum terlihat signifikansinya bagi input kepentingan nasional terutama secara ekonomi, namun hal tersebut penting untuk memperlihatkan citra Indonesia sesungguhnya sebagai negara-bangsa yang besar dan mampu untuk mengelola setiap sudut ruang kedaulatannya. Terlebih lagi ketika Singapura merupakan negara yang secara fisik sangatlah kecil dibanding luas wilayah Indonesia. Seharusnya Indonesia mampu untuk lebih memiliki posisi tawar yang sangat jauh dibandingkan Singapura. Diplomasi dengan Singapura saja tidak cukup untuk membuktikan kebesaran bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia juga harus memberikan dukungan penuh terhadap aspek-aspek pembangunan di sektor penerbangan
15
sipil, karena penerbangan sipil menjadi alternatif yang diutamakan bagi akses mobilitas masyarakat Indonesia dikemudian hari ketika Indonesia telah mengalami transformasi globalisasi sepenuhnya.
16
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Abdurrasyid, H. Priyatna. (1972). Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Jakarta: Pusat Penelitian Hukum Angkasa. Banyu, A. A. Perwita dan Yani, Yanyan Mochamad. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Cholid, Christian dan Basuki, Adi. (2010). Pengertian dan Istilah Penerbangan Sipil. Jakarta: Rajawali Pers. Couloumbis, Theodore A. and Wolfe, James H. (1990). Introduction To International Relations Power and Justice. New Jersey: Prentica-Hall. Desmond, Hutagaol Capt. (2013). Pengantar Penerbangan: Perspektif Profesional, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hakim, Chappy. (2012) Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia? Tragedi Aru, Insiden Bawean, dan.... Jakarta: Red and White Publishing. Heywood, Andrew. (2011). Global Politics. New York: Palgrave Macmillan. Kantaatmadja, Mieke Komar. (1988). Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa. Bandung: Penerbit Remadja Karya. Kusumaatmadja, Mochtar. (1976). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta. Likadja, Frans (1987). Masalah Lintas di Ruang Udara. Jakarta: Bina Cipta.
17
Martono, H.K. (2007). Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional Bagian Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Majid, Suharto Abdul dan Warpani, Eko Probo D. (2010). Ground Handling Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan Penerbangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Mas’oed, Mochtar. (1994). Ilmu Hubungan internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Nugroho, Yuwono Agung. (2006). Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera. Parathiana, I Wayan. (1990). Pengantar Hukum Internasional. Banung: Mandar maju. Sefriani. (2010). Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Suherman, Ade Maman. (2003). Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sukrakhmad, Winarno. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Suradinata, Ermaya. (2005). Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas. Thontowi, Jawahir dan Iskandar, Pranoto. (2006). Hukum Internasional Kontenporer. Bandung: Refika Aditama. Tobing, Raida L. (1995). Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional Tentang Hukum Dirgantara. Jakarta: Departemen Kehakiman.
18
WEBSITE: “1946: PICAO’s First Regional Air Navigation Meetings”. dalam http://www.icao.int/secretariat/PostalHistory/1946_picao_first_regional_air_navigation_meeti ngs.htm. diakses pada 21 Januari 2014, pukul 11.25 WIB. “Annex 2- Rulles of The Air”. dalam http://www.icao.int/secretariat/PostalHistory/annex_2_rules_of_the_air.htm. diakses pada 26 Februari 2014, pukul 12.14 WIB. “Dewan ICAO: Indonesia Buka Kantor Perwakilan di Kanada”. dalam http://industri.bisnis.com/read/20120203/98/62388/dewan-icao-indonesia-buka-kantorperwakilan-di-kanada. diakses pada 22 Mei 2014, pukul 22.30 WIB. “Multilateral Realtions Indonesia and International Civil Aviation Organization (ICAO)”. dalam http://www.indonesia-ottawa.org/multilateral-relations/. diakses pada 9 Maret 2014, pukul 18.29 WIB. “Kantor Kepentingan Indonesia pada ICAO diresmikan”. dalam http://m.dephub.go.id/read/berita/direktorat-jenderal-perhubungan-udara/kantor-kepentinganindonesia-pada-icao-diresmikan-9268. diakses pada 9 Maret 2014, pukul 13.02 WIB. “KSAU : Udara Natuna Kini Milik Singapura”. dalam http://www.tempo.co/read/news/2013/10/31/173526108/KSAU-Udara-Natuna-Kini-MilikSingapura. diakses pada 8 Maret 2014, pukul 20.21 WIB. “Singapore Willing To Retrun Riau Islands Airspace”. dalam http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/18/singapore-willing-return-riau-islandsairspace.html. diakses pada 31 Mei 2014, pukul 14.12 WIB.
19
DOKUMEN LAIN: Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (3). Garis-Garis Besar Haluan Negara, Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1993. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 6. Konvensi Penerbangan Sipil Internasional Chicago 1944 Pasal 1. Konvensi Penerbangan Sipil Internasional Chicago 1944 Pasal 2. WAWANCARA: Martono, Aries. Attaché Perhubungan Indonesia di Montreal yang juga merupakan Wakil Tetap Indonesia Untuk ICAO (2004-2006). Wawancara pada 5 Maret 2014.