Politik Birokrasi di Tatar Sunda Dede Mariana
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
1
Abstrak Politik birokrasi dapat bermakna bagaimana birokrasi dikelola, apakah buat kepentingan kelompok politik atau buat kepentingan publik? Birokrasi sejatinya disusun untuk hadirnya pemerintahan yang efektif, pemerintahan yang bermanfaat dan pemerintahan yang maslahat bagi publik. Tatar Sunda menunjuk ruang wilayah dengan dominasi budaya Sunda dan orang Sunda sebagai pengusung budaya Sunda, karena itu politik birokrasi di tatar Sunda membahas ihwal pengelolaan birokrasi di wilayah tatar Sunda yakni Jawa Barat dan Banten. Selama ini ada anggapan bahwa orang Sunda sebagai etnik kedua terbesar di Indonesia setelah etnik Jawa seharusnya mendapat peluang besar untuk menjadi pemimpin politik di tingkat nasional bahkan ada yang berangapan “harus” menjadi presiden atau menteri. Terhadap anggapan tersebut bisa benar bisa tidak. Benar, bila memang kedudukannya menjadi pemimpin politik diasumsikan terkait dengan besarnya jumlah pemilih dan preferensi etnik merupakan faktor tunggal. Tidak benar, karena kepemimpinan politik meskipun sifatnya terbuka sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemilihan pemimpin politik sangatlah kompleks, preferensi etnik dan entitas hanyalah satu faktor saja. Terlepas dari soal tersebut, pengelolaan urusan publik yang dikelola birokrasi yang diselenggarakan di wilayah tatar Sunda penting untuk diketahui karena asumsinya apabila politik birokrasi di tatar suda output dan outcome-nya bagus bahkan lebih jauh impact-nya dirasakan sangat bermanfaat oleh masyarakat di tatar sunda, maka tidak mustahil para pemimpin dan pengelola birokrasi akan menjadi contoh bagi pengelolaan birokrasi di tempat lainnya di luar tatar Sunda. Namun sebaliknya, bila politik birokrasi di tatar Sunda ternyata sama buruknya dari wilayah di luar tatar Sunda maka sebenarnya kita tak dapat berharap banyak mengenai kemungkinan munculnya putra-putra Sunda yang handal mengelola politik birokrasi yang lebih baik daripada wilayah di luar tatar Sunda. Kata Kunci: Politik Birokrasi, Tatar Sunda, Pemerintahan Efektif
Politik Birokrasi Birokrasi sejatinya disusun untuk hadirnya pemerintahan yang efektif, yakni pemerintahan yang bermanfaat dan maslahat bagi publik.Pemerintahan yang efektif bercirikan bahwa setiap keputusannya merupakan jawaban dan solusi atas kebutuhan publik, kehadirannya tidak menjadi beban bagi publik, dan mampu mengakselerasi inisiatif dan kreativitas publik.Publik di dalam konteks ini adalah warga negara dan nonwarga negara di mana suatu pemerintahan tersebut beroperasi.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
2
Kehadiran birokrasi sebenarnya merupakan gejala umum sebagai konsekuensi dari semakin kompleksnya urusan yang harus ditangani oleh suatu organisasi. Artinya, baik sektor privat maupun publik memerlukan kehadiran birokrasi. Birokrasi di sektor privat, kerapkali dicitrakan lebih efisien, lebih rapih, dan lebih manusiawi. Sementara, birokrasi di sektor publik dicitrakan inefisien, semrawut, hanya memikirkan dirinya sendiri, dan tak manusiawi. Dalam
konteks
Indonesia,
memperbaiki
birokrasi
publik,
yakni
birokrasi
yang
menyelenggarakan urusan-urusan publik bukanlah pekerjaan mudah, semudah membalik tangan, karena birokrasi publik di Indonesia merupakan warisan panjang sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang, masa awal republik, masa pemerintahan Soekarno, dan masa pemerintahan Soeharto. Bahkan, secara kultural keberadaan birokrasi publik di Indonesia kerapkali dikaitkan dengan keberadaan birokrasi kuno yang berlaku di kerajaan-kerajaan Nusantara jauh sebelum masa kolonial Belanda. Hampir semua hasil diagnosis terhadap penyakit birokrasi di Indonesia menunjuk kepada hal yang sama: Sudah terlalu lama birokrasi mengalami sakit. Kemudian segala daya dan upaya dilakukan untuk mengetahui jenis penyakitnya.Semua lembaga yang berkepentingan, kalangan akademisi, dan pihak lain yang memiliki concern terhadap pemulihan kondisi birokrasi di Indonesia, bahu membahu meracik formula untuk dijadikan resep.Resep ini penting karena kenyataan menunjukan, keberadaan birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele (red tape dan bureaucracy pathology).Di era politik desentralisasi dan otonomi daerah, ada indikasi bahwa korupsi juga ikut terdesentralisasikan ke daerah-daerah otonom. Akhirnya otonomi daerah yang diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang baik, efisien, dan cepat malah menimbulkan biaya tinggi (hight cost economy) dan membebani publik.Karena itu, konsep dan praktik otonomi daerah di Indonesia yang selama satu dekade berjalan harus ditinjau kembali implementasinya.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
3
Sebagai gambaran bagaimana buruknya pengelolaan birokrasi di Indonesia, pada semester I, Januari-Juni 2010 dan semester II, Juli-Desember 2010, misalnya, kasus korupsi terbanyak di Sumut1,” Pada semester I, 26 kasus korupsi terungkap di Sumut, kemudian di Jawa Barat dengan 16 kasus, Jawa Tengah 14 kasus, Lampung 10 kasus dan Kaltim 7 kasus. Sedangkan di semester II, Sumut 38 kasus, Bengkulu 23 kasus, Jawa Timur 20 kasus, Riau 20 kasus dan Sulawesi Selatan 20 kasus. Potensi kerugian negara terbesar ada di provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp601 miliar (2 kasus), lalu pada pemerintah pusat, termasuk DKI Jakarta sebesar Rp200 miliar (6 kasus), Sumut sebesar Rp179 miliar (38 kasus) dan Riau sebesar Rp128 miliar (20 kasus). Sementara itu, terdapat sejumlah dugaan pelanggaran dan penyimpangan dana2 di wilayah Jawa Barat.Bentuk penyimpangan tersebut di antaranya, pembayaran honorarium kegiatan pada Sekretariat Daerah (Setda) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab Bogor tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp147.524.500. Selain itu ada kekurangan volume pekerjaan pada pembangunan gedung sekolah, tiga puskesmas dan lapangan tenis dewan senilai Rp90.796.663,73. Melihat kasus-kasus korupsi di daerah sebagaimana data tersebut di atas, maka menjadi sebuah tuntutan agar reformasi birokrasi di daerah harus dirancang, dijalankan, dan ditingkatkan, terutama karena angka korupsi di daerah masih sangat tinggi.
Di dalam situasi demikian, mestinya orientasi birokrasi publik dikembalikan kepada rel yang sebenarnya yakni kepentingan publik (public interest) sebagai patron, bukan kepada kepentingan lainnya, umpamanya kepada kepentingan partai-partai politik ataupun figur politisi yang terpilih sebagai pejabat politik, baik itu presiden/wakil presiden, para menteri, maupun para kepala daerah/wakil kepala daerah. Namun, kenyataannya memang birokrasi publik sangat rentan terhadap intervensi kepentingan partai-partai politik dan para pejabat politik, serta kepentingan bisnis di sektor privat yang bersenanyawa atau bersimbiosis 1
Paparan kordinator investigasi dan informasi publik ICW Agus Sunaryanto dalam jumpa pers ’Trend Penindakan Korupsi Semester II 2010’ di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Rabu (23/2). 2 Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat semester I TA 2010 yang ditanda tangani Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat, Slamet Kurniawan tanggal 20 Juli 2010.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
4
mutualistis antara kepentingan politik dan bisnis swasta. Di dalam konteks ini birokrasi menjadi sapi perahan atau kuda tunggangan kepentingan politik dan bisnis swasta. Karena itu, diperlukan berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan agar birokrasi publik tak mudah diintervensi oleh kekuatan-kekuatan politik dan kekuatan bisnis (corporate bussines power). Birokrasi publik, sejatinya dibentuk untuk menjalankan pemerintahan dan tugas pokoknya memberikan pelayanan publik yang sebaik-baiknya dan tinggi mutunya. Para pejabat birokrasi publik, berfungsi sebagai pelayanan publik (public servan) mereka harus netral, imparsial, dan tidak diskriminatif di dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Agenda terpenting ke depan, bagaimana mentransformasi birokrasi publik yang cenderung berada pada tipologi birokrasi patrimonial yang berpotensi menumbuhsuburkan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) ke birokrasi yang lebih efisien dan profesional yang berorientasi memberikan pelayanan publik secara prima dan anti Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Birokrasi yang lebih peduli melayani warga nya sebagai tujuan dan orientasi keberadaan birokrasi tersebut. Berdasarkan praktik pemerintahan di berbagai negara ditengarai adanya praktik “bad governance”, yang ditandai dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme, yang membuat negara mengarah ke kebangkrutan. Oleh karena itu, diperlukan konsep baru mengenai cara berpemerintahan yang baik (good governance). Karena itu, badan-badan donor dunia yang mensponsori pengelolaan pembangunan di berbagai negara berkembang, seperti Bank Dunia, UNDP, dan badan-badan PBB lainnya, menyaratkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat yang harus disepakati oleh negara-negara calon penerima bantuan sebelum menerima bantuan pembangunan. Bahkan di dalam praktiknya, secara simultan Good Governance menjadi proyek tersendiri yang akan dijalankan di calon penerima bantuan, sejalan dengan diterimanya bantuan untuk pendanaan pembangunan.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
5
Ada kesepakatan umum bahwa sistem birokrasi harus direformasi melalui otonomi daerah yang tidak semu, yang instrumennya ialah Undang-Undang(UU) No. 22/1999 juncto UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 juncto UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, serta berbagai peraturan pelaksanaannya. Karena itu, penyesuaian ulang perlu dilakukan disegala bidang, termasuk juga bagaimana pemerintah pusat mempertimbangkan pengalihan kekuasaan dan sumber dana atau pun bagi hasil pendapatan negara ke pemerintah daerah secara bertahap. Pemerintah dalam arti yang lebih luas dibebani tugas untuk memelihara perdamaian dan keamanan di luar maupun di dalam negara.Singkat kata, pemerintah harus memiliki kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudisial. 3 Perbedaan kekuasaan pemerintahan secara klasik meliputi: kekuasaan legislatif atau pembuat undang-undang, kekuasaan eksekutif atau pelaksana dan jurisdiksionil atau pengadilan. Kekuasaan pertama ialah yang menentukan aturan-aturan umum jang harus dihormati oleh rakyat; yang kedua ialah untuk melaksanakan aturan-aturan umum, sambil menyesuaikannya pada setiap keadaan; ketiga,untuk menyelesaikan perselisihan yang muncul dari cara orang memahami
aturan-aturan tadi (ini termasuk juridiksi sipil) atau untuk
mematahkan perlawanan terhadap aturan-aturan itu oleh beberapa orang.4 Goverment is the most generalized membership unit possessing (a) defined responsibilities maintenance of the system of which it is a part and (b) a practical monopoly of coercive power. Pemerintah itu merupakan satuan anggota yang paling umum yang (a) memiliki tanggungJawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya, itu adalah bagian dan (b) monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan5.
3 4
5
Affandi . 1982. Ilmu-ilmu Kenegaraan Suatu Studi Perbandingan, Unpad, Bandung. Hlm. 207 Maurice Duverger. 1951. Teori dan Praktek Tatanegara, Pustaka Rakyat, Jakarta. Hlm. 37-38 Lihat juga Syafiie. 2009. Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Adiatama, Bandung. Hlm. 20
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
6
Tatar Sunda Tatar Sunda menunjuk ruang wilayah dengan dominasi budaya Sunda dan orang Sunda sebagai pengusung budaya Sunda, karena itu politik birokrasi di tatar Sunda membahas ihwal pengelolaan birokrasi di wilayah tatar Sunda yakni Jawa Barat dan Banten. Dalam konteks birokrasi dan otonomi daerah, Legge (1961) menganalisis latar belakang otonomi daerah bahwa, pertama, kebutuhan memproyeksikan identitas etnis daerahnya sebagai manifestasi dari akar kemerdekaan Indonesia tahun 1945, yang sekaligus juga awal jalan aktualisasi kedaerahan. Kedua, adanya kecemasan akan “imperialisme Jawa”. Penelitian Legge di beberapa daerah menunjukkan adanya keluhan bahwa sejumlah departemen di pemerintahan pusat bahkan juga di daerah didominasi oleh pejabat-pejabat Jawa. Unsur ketiga bersifat lebih rasional, dibeberapa daerah pengekspor, seperti: Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi (juga Irian) memberi sumbangan kepada ekonomi Indonesia yang tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh oleh daerah mereka. Unsur-unsur inilah, menurut Legge, yang menjadi dasar kokoh guna lahirnya “daerahisme” atau desentralisasi penyurutan kekuatan pemerintah pusat (sentral) di daerah6. Dalam kaitan seperti itulah, tidak terlalu salah jika selama ini ada anggapan bahwa orang Sunda sebagai etnik kedua terbesar di Indonesia setelah etnik Jawa
seharusnya
mendapat peluang besar untuk menjadi pemimpin politik di tingkat nasional bahkan ada yang berangapan “harus” menjadi presiden atau menteri. Terhadap anggapan tersebut bisa benar bisa tidak. Benar, bila memang kedudukannya menjadi pemimpin politik diasumsikan terkait hanya dengan besarnya jumlah pemilih dan preferensi etnik merupakan faktor tunggal. Tidak benar, karena kepemimpinan politik meskipun sifatnya terbuka sejalan dengan prinsip-prinsip
6
Leo Agustino. 2009. Politik dan Kebijakan Publik, Bandung: AIPI
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
7
demokrasi, pemilihan pemimpin politik sangatlah kompleks, preferensi etnik dan entitas hanyalah satu faktor saja. Prinsip demokrasi memang sangat terbuka dan parameternya bukan ditentukan oleh faktor etnis.Dalam banyak pemahaman, istilah demokrasi digunakan untuk menunjuk kekuasaan masyarakat (publik). Dalam buku Trust: the Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), Francis Fukuyama membagi dua bentuk masyarakat: Pertama, masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi (high trust society) dan, kedua, masyarakat yang bertingkat kepercayaan rendah (low trust society). Menurut Fukuyama, tingkat kepercayaan masyarakat dapat dibangun melalui social capital. Pertanyaannya adalah apakah birokrasi di Tatar Sunda sudah dapat mendekatkan diri dengan konsep birokrasi ideal versi yang dimodelkan oleh Max Weber misalnya.Prinsip ideal birokrasi Max Weber dimaksudkan untuk menghilangkan tumpang tindih tugas pokok dan fungsi, oleh karena itu syarat menduduki (memangku) jabatan harus menguasai bidang tugas dan berkeahlian.Transformasi birokrasi itu harus disertai pula dengan bidang-bidang kebijakan (policy areas) yang tepat, mempertinggi kemampuan birokrasi7. Bagaimana gambaran pelayanan birokrasi di Jawa Barat?Menurut survei Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2009, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Garut, dan Kota Bekasi masuk dalam daftar kabupaten/kota dengan fasilitas pelayanan publik paling buruk. KPK memberikan skor integritas pelayanan publik terendah kepada 15 pemerintah kabupaten/kota. Menurut Deputi Pencegahan KPK Eko Tjiptadi, seluruh unit pelayanan publik di Jawa Barat harus dilengkapi sarana pengaduan masyarakat. Seperti menyediakan sistem teknologi informasi sesuai standar sertifikasi ISO 9000 untuk menampung keluhan konsumen8.
7
Bay Suryawikarta. 1999. Jurnal Publik, Volume 1, Nomor 1, Oktober 1999. Hlm. 29.
8
VHR media.com 18 Februari 2010.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
8
Sedangkan gambaran pelayanan di skala nasional, sebagaimana temuan Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik, menyatakan hasil survei tahun 2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke 129 dalam hal pelayanan publik. Dari hasil survei yang dilakukan oleh bagian dari World Bank, untuk mendapatkan kemudahan berusaha di Indonesia masih memprihatinkan. Dalam hal pelayanan,
Indonesia masih kalah dengan
India, Vietnam bahkan Malaysia sudah menempati urutan 61 dan Thailand berada di urutan ke 70. Sedangkan hasil survei tahun 2007 lalu terhadap 150 negara, Indonesia menempati urutan ke 135 dalam hal pelayanan publik9. Dengan demikian, berdasar data tersebut di atas birokrasi di wilayah Tatar Sunda yakni Jawa Barat dan Banten, belum dikelola secara baik.Bahkan di wilayah Banten ada kecenderungan praktik Shadow Governmnet di dalam menjalankan tata kelola pemerintahan Provinsi maupun di beberapa Kabupaten/Kota, yang diindikasikan oleh kuatnya kekerabatan para pemimpin pemerintahan maupun anggota legiaslatif lokal di wilayah Banten.Tentu saja gejala kemungkinan terjadinya praktik pemerintahan bayangan (shadow government) menarik untuk di dalami. Karena secara teoritik, praktik tersebut dapat berdampak hadirnya pemerintahan yang efektif, namun dalam jangka panjang akan mematikan partisipasi publik.
Birokrasi, Sunda, dan Kekuasaan Berbicara soal politik birokrasi dan Tatar Sunda pada satu sudut pandang tertentu adalah berbicara soal kekuasaan, atau paling tidak faktor kekuasaan menjadi inheren di dalamnya. Oleh seba itu, penting untuk diingat ulang ketika David Hell10 bertanya: Apakah kekuasaan itu? Pada satu tingkat, menurut pendapat Hell, konsep kekuasaan sangat sederhana yaitu menunjuk kepada kemampuan agen-agen sosial, perwakilan-perwakilan dan institusi-
9
Laporan kantor berita Antara 28 Nov 2011. David Hell. 2004. Demokrasi dan Tatanan Global, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2004: 209-210.
10
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
9
institusi untuk mempertahankan dan mentransformasikan lingkungan mereka, sosial atau fisik kekuasaan berkenaan dengan sumber-sumber yang menekankan kemampuan dan kekuatankekuatan yang membentuk serta mempengaruhi pelaksanaannya. Sedangkan R. H. Tawney dalam buku The Sickness of an Acquisitive Society menulis: The Craving to be a cause, to see things and men move in the fulfilment or our own will;thecapacity of an individual or group to modify the conduct of others in a manner which he desiers, and to prevent his own conduct from being modified in a manner he does not desire”. Dalam pandangan Tanwey, kekuasaan merupakan kehendak yang kuat untuk melihat benda-benda dan orang-orang bergerak melaksanakan keinginan kita; atau suatu kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk merubah tingkah laku orang dan untuk mencegah tingkah lakunya sendiri diubah orang-orang lain menurut cara yang tidak diingininya 11. Jadi, dalam perspektif
Hell dan Tawney, apakah orang Sunda sudah memiliki
kemampuan untuk mentranformasikan nilai-nilai budayanya sehingga menjadi diperhitungkan di tingkat nasional? Bagi saya, jangan terlalu menyalahkan atau mencari kambing hitam di luar “sana”. Apabila ada sebagian orang Sunda yang merasa dimarjinalkan oleh Jakarta atau oleh kekuatan etnis lain, maka pertanyaannya adalah mengapa mau dimarjinalkan? Toh sistem dan prinsip demokrasi bahkan sistem seleksi alam sudah jelas, bahwa siapa yang memiliki kompetensi, kapasitas, kapabilitas, serta memiliki integritas yang mumpuni, maka siapapun ia, akan tampil menjadi pilihan, menjadi bagian yang akan dibutuhkan di tingkat manapun, termasuk di tingkat nasional, melalui sistem politik yang berbasis kepada konstitusi. Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah 11
Affandi. 1982. Ilmu-ilmu Kenegaraan Suatu Studi Perbandingan, Unpad, Bandung. Hlm. 77-78.
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
10
oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik. Karena itu, berbagai praktik tatakelola birokrasi pemerintahan yang baik di wilayah tatar Sunda sebenarnya akan menjadi salah satu input yang akan menjadi preferensi bagi para pemilih di dalam menentukan jabatan-jabatan politik. Pun demikian, bagi para pengguna jabatan-jabatan birokrasi praktik-praktik pemerintahan yang baik pada level kabupaten kota dan provinsi di Tatar Sunda, akan pula menjadi preferensi di dalam menentukan pemilihan jabatan-jabatan birokrasi sebagai preferensi. Karena itu, hal yang mendesak adalah bagaimana publik mampu mendorong agar para pejabat politik dan birokrasi di wilayah tatar Sunda mampu memulai dan menjalankan pengelolaan birokrasi berdasar prinsip-prinsip good governance dan nilainilai lokal yang positif yakni yang anti KKN dan dapat meningkatkan pelayanan publik yang baik serta mampu mendorong inisiatif, kreativitas, dan produktivitas. ***
Konferensi Internasional Budaya Sunda II
11