Menggali Kehancuran di Sunda Kecil Pantauan Masyarakat Sipil atas Korsup Minerba di NTT dan NTB Koalisi Anti-Mafia Tambang, Kupang 3 Juni 2015
Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi yang Dibebani Izin Tambang • Terdapat 255.273,39 hektar wilayah pertambangan masuk di kawasan hutan lindung di 2 provinsi (NTB dan NTT) dengan total IUP sebanyak 111 (96 di NTT dan 35 di NTB) dan 2 Kontrak Karya (KK) di NTB. • Terdapat 11.181,61 hektar wilayah pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 22 IUP (13 di NTB dan 9 di NTT) dan 1 KK di NTB. Tabel 1. Jumlah Luasan Izin Pertambangan yang diindikasikan berada pada Hutan Konservasi dan Lindung (Data Ditjen Planologi, 2014)
FUNGSI KAWASAN HUTAN
NO
DAERAH
HUTAN KONSERVASI (Ha)
HUTAN LINDUNG (Ha)
TOTAL (Ha)
1
NTB
5.561,35
189.410,52
194.971,87
2
NTT
5.620,26
65.862,87
71.483,13
Total
11.181,61
255.273,39
266.455
Sumber : Dirjen Planologi, Kementerian KLHK, 2014
Maraknya IUP NON-CnC di NTT dan NTB • Ada 63% dari total IUP di 2 provinsi (NTB dan NTT) masih berstatus nonClean and Clear (CnC). Untuk NTB, wilayah yang memiliki IUP non CnC dengan prosentase tertinggi yaitu, 77% dari total seluruh IUP. Sedangkan, di NTT sebanyak 56% IUP berstatus non-CnC. Tabel 2. Jumlah IUP yang CnC dan non-CnC di 2 Provinsi (Data Ditjen Minerba 2014) CNC NO
PROVINSI
Non CNC
Eksplorasi
Operasi Produksi
TOTAL IUP CNC
Eksplorasi
Operasi Produksi
TOTAL IUP Non CNC
JUMLAH IUP
1
NTB
24
10
34
51
65
116
150
2
NTT
66
68
134
145
27
172
306
TOTAL
90
78
168
196
185
288
456
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
Penyebab IUP Non-CnC • Di NTT dan NTB, terdapat 89,5% IUP yang non CnC bermasalah secara administratif. • Ada sekitar 258 IUP dari total 288 IUP Non-CnC di 2 Provinsi (NTB & NTT) yang belum menyelesaikan administrasi sebagai persyaratan untuk memperoleh CnC antara lain kepemilikan NPWP dan kelengkapan dokumen perusahaan. Di NTT sendiri terdapat sekitar 91,22% IUP yang bermasalah secara administratif disusul Provinsi NTB sebesar 87,9%. IUP Non CNC IUP NON CNC No
Provinsi
PERMASALAHAN ADMINISTRASI
PERMASALAHAN WILAYAH
MINERAL
BATUBARA
MINERAL
BATUBARA
MINERAL
BATUBARA
1
NTB
116
0
102
0
14
0
2
NTT
171
1
156
0
28
1
258
0
TOTAL
288
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
43
Tidak Ada Komitmen Jaminan Reklamasi dan Pasca Tambang dari Perusahaan Pemilik IUP •
Hampir seluruh pemegang izin pertambangan di 2 provinsi (NTB dan NTT) belum memiliki jaminan reklamasi dan pasca tambang. menunjukkan bahwa komitmen dan pengawasan pemerintah daerah dan pusat dalam pemulihan lingkungan pertambangan sangat rendah. Kerugian negara yang ditimbulkan atas ketiadaan data dan rendahnya pemenuhan kewajiban akan semakin meningkat mengingat dampak ekologis atas absennya kewajiban IUP tersebut bisa menyebabkan banjir dan dampak sosial ekonomi lainnya bagi masyarakat.
NO
PROVINSI
JUMLAH IUP
JAMINAN REKLAMASI
BELUM ADA PASCA TAMBANG
1
NTT
306
13
TIDAK ADA DATA
2
NTB
150
TIDAK ADA DATA
TIDAK ADA DATA
Sumber : Dirjen Minerba, Kementerian ESDM, 2014
Potensi Kerugian dan Minimnya Transparansi dari Pemda • Potensi Kerugian Penerimaan Negara dari Land Rent Mencapai Rp 64,47 Miliar Rupiah. Koalisi anti Mafia Tambang melakukan perhitungan potensi kerugian negara dari iuran land rent yang mengacu pada PP Nomor 9/2012 tentang Tarif dan Jenis Penerimaan Bukan Pajak. Hasil perhitungan Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan bahwa sejak tahun 2010-2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan mencapai total Rp64,47 miliar, dengan rincian di Provinsi NTT sebesar Rp43,07 dan di Provinsi NTB sebesar Rp21,4 miliar. • Minimnya Transparansi dan Keterlibatan Masyarakat Sipil di Sektor Pertambangan Minerba. Pengalaman Koalisi Anti Mafia Tambang di NTT dan NTB menujukkan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki komitmen keterbukaan informasi publik dan memilih menutup atas data dan informasi yang terkait dengan dokumen izin usaha pertambangan, tahap-tahap kerja, peta kerja dan hasil kerja perusahaan dengan alasan bukan wewenang mereka dan alasan lain yang terkadang tidak logis.
Temuan Kasus di NTT #1 Penambangan Mangan di Hutan Lindung •
Berdasarkan temuan, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi Sumberdaya Alam NTT, PT Sumber Jaya Asia (SJA) melakukan aktivitas pertambangan terbuka untuk komoditas mangan di kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Aktivitas pertambangan perusahaan ini didasarkan surat keputusan (SK) Bupati Manggarai No HK/287/2007 tanggal 5 Oktober 2007 tentang Izin Pemindahan dan Perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi Bahan Galian Mangan KW 9 PP 0208 di Kecamatan Reok dari PT Tribina Sempurna kepada PT SJA.
•
Namun, dalam surat Menteri Kehutanan No. S.40/Menhut-VII/2009 tanggal 27 Januari 2009 yang ditujukan kepada Gubernur NTT, PT Sumber Jaya Asia tidak termasuk dalam 13 perusahaan tambang yang diizinkan beroperasi dalam kawasan hutan lindung sesuai Keppres No.41 Tahun 2004. Namun demikian, PT SJA telah melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada Kawasan Hutan Lindung RTK 103 Nggalak Rego meskipun permohonan IPPKH ditolak oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2009.
Lanjutan.. • Berdasarkan perhitungan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai, eksploitasi pertambangan mangan oleh PT Sumber Jaya Asia di kawasan Hutan Lindung Nggalak Rego RTK 103 telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 11.143.440.000,- (sebelas milyar seratus empat puluh tiga juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) sebagaimana dinyatakan dalam Surat Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai No.DKP.522/1571/X/2010 tanggal 2 Oktober 2010 yang ditujukan kepada Koordinator JPIC Ruteng • Hasil pemeriksaan saksi dan didukung dengan barang bukti, Polres Manggarai sebenarnya telah menetapkan 3 (tiga) orang sebagai tersangka, yaitu 1). Sdr. Supriyadi, ST (selaku Kepala Teknik Tambang PT Sumber Jaya Asia) 2) Sdr. A.D. Magung (selaku Kepala Perwakilan PT Sumber Jaya Asia yang berkedudukan di Reo, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT 3) Sdr. Herman Jaya (selaku Komisaris PT Sumber Jaya Asia). Namun, sampai dengan saat ini berkas hasil penyidikan dari ketiga orang tersangka tersebut tidak pernah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Ruteng untuk kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Ruteng untuk diadili.
Temuan Kasus di NTT #2 • Penambangan Mangan di Hutan Lindung • Berdasarkan SK 270 tahun 2013 tentang IUP PT Elgary Resources Indonesia (ERI) yang berstatus Operasi Produksi di Desa Oenbit, Kecamatan Insana, atas temuan dari WALHI NTT, PT ERI yang memiliki luasan 1.623 hektar sebanyak 900 hektare lebih terindikasi masuk dalam kawasan hutan lindung. Menariknya, pada tahapan eksplorasi PT ERI status IUPnya tidak lolos CnC. • Hal ini diperparah dengan tidak koperatifnya Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara yang cenderung menutup semua informasi berkaitan dengan keberadaan PT ERI. Padahal, informasi berkaitan dengan status kawasan hutan, AMDAL, dan IUP harusnya menjadi dokumen publik. Namun, hal itu tidak terjadi di TTU. Padahal, UU keterbukaan informasi publik (KIP) No 14 Tahun 2008 sudah mengatur dengan jelas dan terang benderang.
Temuan Kasus di NTB Tolak Penambangan Pasir Laut di Lombok Timur • Rencana penambangan pasir laut di Lombok Timur harus segera dihentikan karena mengancam kerusakan ekologi dan ekonomi. Ribuan nelayan yang ada di Lombok Timur dan Sumbawa Barat telah menolak rencana penambangan tersebut. Menurut para nelayan jika penambangan di Selat Alas itu terjadi akan mengakibatkan kerusakan ekologi karena posisi Selat Alas sebagai fishing ground. • Rencananya hasil pengambilan material pasir laut itu akan digunakan untuk pembangunan reklamasi Teluk Benoa dengan seluas 700 hektar yang dilakukan oleh PT Trita Wahana Bali Indonesia (TWBI). Sumber material pengerukan berasal dari Teluk Benoa dan sumber material pasir laut dari Lombok Timur dengan kisaran volume total kurang lebih 25 juta meter kubik. • Tapi Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi sudah menolak rencana pengerukan pasir di wilayahnya karena akan merusak ekosistem lingkungan. Adapun proyek reklamasi Benoa ditolak masyarakat Bali.
REKOMENDASI 11 (Sebelas) hal yang direkomendasikan oleh Koalisi Anti Mafia Tambang adalah sebagai berikut : 1.
2.
3.
Pemerintah selaku pemberi izin untuk segera menghentikan pertambangan di Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi dalam pemberian izin di Kawasan Konservasi dan Lindung. Mendesak Dirjen Minerba untuk memperluas kriteria CnC dalam kegiatan usaha pertambangan untuk memperhatikan aspek Hak Asasi Manusia, hak-hak sosial ekonomi masyarakat dan perlindungan lingkungan hidup. Mendesak pejabat penerbit izin untuk mencabut izin-izin pertambangan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, termasuk yang non-CnC (belum menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang) dengan tetap memproses penegakan hukum atas pelanggaran yang dilakukan (pajak, kerusakan lingkungan, dll) serta mendesak KPK menyelidiki kemungkinan adanya kasus korupsi pada pemberian IUP yang bermasalah tersebut.
REKOMENDASI 4. 5.
6.
7. 8.
Meminta pemerintah untuk melakukan moratorium dan sekaligus mereview seluruh izin-izin pertambangan yang telah diterbitkan agar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tim Korsup Minerba KPK dan pemerintah pusat serta pemerintah daerah wajib untuk mempublikasikan izin yang telah dicabut melalui media yang murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat agar bisa dilakukan pengawasan pasca-pencabutan. Mendesak pemerintah untuk melakukan fungsi pengawasan dan penegakan hukum secara maksimal untuk memastikan tak ada alih fungsi lahan atau kejahatan di sektor hutan dan lahan dengan melibatkan masyarakat sipil. Aparat penegak hukum baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memperbanyak penanganan dan penyelesaian kasus yang terkait dengan kejahatan dan pelanggaran HAM di sektor mineral dan batubara. Pemerintah perlu mengembangkan skema blacklist (daftar hitam) dan dipublikasikan ke publik bagi perusahaan dan pemilik usahanya yang melakukan pelanggaran terhadap penggunaan izin dan merugikan negara serta menginformasikan kepada publik dan pihak perbankan.
REKOMENDASI 9.
Meminta Korsup Minerba KPK dan pemerintah mengakomodir aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam penertiban, penataan izin dan penegakan hukum. 10. Mendesak pemerintah untuk memperbaiki mekanisme pengelolaan PNBP yang berpotensi terhadap kehilangan penerimaan negara dari iuran land rent dan royalti termasuk perlu adanya penertiban, sebagai bagian dari optimalisasi penerimaan negara. KPK diminta untuk mengembangkan penyidikan atas temuan dari potensi kerugian negara dari iuran land rent dan royalti. 11. Pemerintah untuk memperjelas status wilayah pertambangan pasca-pencabutan IUP, harus dipastikan mekanismenya dilakukan secara transparan serta terlebih dahulu dilakukan rehabilitasinya. TERIMA KASIH….