Policy Implications for Improving Infrastructure Resilience and Adaptation Strategies
Pendahuluan
F
enomena perubahan iklim global sudah sangat nyata. Untuk konteks Indonesia, BMKG mencatat bahwa sejak 1997 s/d 2012 telah terjadi perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan periode dan intensitas curah hujan, tidak tentunya permulaan musim hujan/kemarau, serta kenaikan temperatur udara sebesar 0,2 s/d 0,4oC. Hal ini telah berdampak pada kehidupan manusia1, mulai dari perubahan pola tanam, berkurangnya produktivitas pertanian dan perikanan, kenaikan muka air laut yang mengakibatkan banyak wilayah pesisir semakin tenggelam, dan sebagainya. Menyadari fenomena global tersebut, telah banyak inisiatif forum ilmiah, baik di tingkat global, regional, hingga lokal yang mengangkat isu ini ke ranah perdebatan akademik. Tujuannya hanya satu, yakni sharing knowledge dan know-how tentang latar belakang scientific yang menyebabkan perubahan iklim dan dampaknya terhadap manusia di seluruh belahan dunia, sehingga dapat menjadi inspirasi dalam mengambil langkah-langkah strategis untuk memitigasi maupun beradaptasi. Policy Brief ini disusun untuk meng-highlights hasil “International Conference on Climate Change: Impacts and Responses” yang diselenggarakan oleh Knowledge Community Common Ground Publishing bekerjasama dengan Vietnam National University. Conference ini diikuti oleh sekitar 100 pakar, akademisi, dan peneliti dari 25 negara yang berkutat dalam “state of the art of knowledge” tentang perubahan iklim dari berbagai aspek, mulai dari aspek science, dampak terhadap manusia (human impacts), tindakan/respon mitigasi dan adaptasi, serta policy and governance. Policy Brief ini juga mengulas upaya yang telah dan akan dilakukan Vietnam dalam merespon perubahan iklim, serta mengusulkan beberapa hal untuk mewujudkan Infrastructure and Community Resilience di Indonesia.
Beberapa Catatan Penting
Mr. Bruno Angelet, EU Ambassador to Vietnam menjelaskan EU Climate and Energy Framework yang semula dikenal dengan “20-20-20 Package” diperbaharui menjadi “4027-27 Package”. Dalam paket kebijakan tersebut, seluruh anggota EU sepakat untuk : -
Menurunkan emisi GRK yang semula ditargetkan 20% menjadi 40% (dibandingkan tingkat emisi tahun 1990)
-
Meningkatkan bauran energi terbarukan yang semula ditargetkan 20% menjadi 27% pada tahun 2020
-
Meningkatkan efisiensi energi yang semula ditargetkan sebesar 20% menjadi 27% (atau bahkan mencapai 30%)
Paket kebijakan yang terbilang cukup ambisius ini ditetapkan pada Oktober 2014. Agar memiliki kekuatan hukum, paket kebijakan ini juga didukung oleh kalangan legislatif. 1
Beberapa scholars ada yang berpendapat bahwa perubahan iklim ini bersifat antropogenik, artinya manusia menjadi faktor penyebab sekaligus pihak yang terkena dampak. 1
Dalam keynote speech-nya, Prof. Mai Trong Nhuan, Rektor VNU menegaskan bahwa dalam merespon perubahan iklim, mindset yang harus diingat adalah “think global, act regional/local”. Lessons learned/success stories dari negara lain dapat menjadi referensi berharga bagi suatu negara yang sangar rentan (vulnerable) terhadap dampak perubahan iklim, termasuk Vietnam. Untuk itu, sebaiknya kolaborasi antara Government, Academics, Business, dan Society diperkuat dalam menjalankan berbagai program/inisiatif. Bagi peran yang diusulkan adalah sbb :
Gambar 1. Stakeholders yang Berperan Penting dalam Low Carbon Growth
Dalam mengembangkan kebijakan, model, dan start-up bisnis, seluruh stakeholder harus memperhatikan social power dan adanya indigeneous knowledge di tingkat society. Peran penting media dalam membentuk/mentransformasi perubahan sosial juga harus menjadi perhatian agar “low carbon growth” sebagai sebuah paradigma baru pembangunan dapat diterima masyarakat luas.
Beberapa tantangan telah diidentifikasi dalam mengimplementasikan rencana “low carbon growth” ini, diantaranya : -
Menyelaraskan target nasional dengan rencana aksi di tingkat provinsi
-
Memastikan prioritasi aksi agar selain target low carbon development terpenuhi juga tetap dapat berjalan beriringan dengan high economic growth
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Dari beberapa sessions yang diikuti dalam conference ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting, antara lain : -
Hasil penelitian yang mereka lakukan di negara masing-masing yang memiliki tingkat vulnerability, governance and policy setting, serta karakteristik wilayah, kondisi sosial ekonomi, serta resilience/daya lenting masyarakat yang berbedabeda.
-
Hasil yang telah dipaparkan para praktisi dan akademisi dirasa sudah cukup memukau jika dilihat dari aspek scientific saja. Namun PR yang terpenting adalah bagaimana agar hasil riset yang telah dilakukan dapat menjadi bekal untuk “knock the door” dan menjadi referensi yang memadai bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan mitigasi/adaptasi yang tepat.
-
Vietnam menjadi salah satu contoh yang tepat bagaimana perbaikan governance and policy setting telah dilakukan, khususnya dalam konteks perubahan iklim. Pada tahun 2014, Delegasi Vietnam yang saat itu dipimpin Dr. Phan Huang Mai, Director General of MPI-DSENRE (Ministry of Planning and Investment Department of Science, Education, Natural Resources and the Environment) melakukan kunjungan ke Bappenas RI dalam rangka mempelajari pengalaman
2
Indonesia melaksanakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Isu-isu detail tentang pengarusutamaan green economy planning, bagaimana memfasilitasi berbagai sektor dalam merumuskan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), bagaimana mengembangkan dan melaksanakan pembangunan hijau pada tingkat pemerintah lokal (green growth at the local level), dan memonitor serta mengevaluasi pelaksanaan green-growth dipelajari. -
Sejak saat itu, banyak progress telah dilakukan. Misal: analisis dan informasi yang disajikan dari hasil riset telah menjadi masukan kebijakan agar perhatian lebih kepada climate change dilakukan oleh Pemerintah Vietnam. Pemerintah juga meresponnya dengan menyediakan state budget, menyelaraskan kebijakan antara Pusat dengan Daerah (termasuk dengan Socio-economic Development Plan 2020), perbaikan planning and budget system, termasuk dalam hal improving quality of public spending, dsb.
Di saat yang bersamaan dengan 8th International Conference on Climate Change di Hanoi ini, sebanyak 171 negara menandatangani Paris Climate Accord di United Nations headquarter, New York. Dokumen ini sangat penting karena menjadi milestones bagi aksi reduksi emisi seluruh negara (baik negara kaya maupun miskin) yang menyepakati menjaga kenaikan temperatur tidak melebihi 2oC.
Untuk itu, berkaca dari massive improvement yang sedang dilakukan oleh Vietnam di berbagai sektor, beberapa rencana aksi ditawarkan kepada Pemerintah RI untuk memperkuat komitmen Indonesia dalam aksi global melawan dampak perubahan iklim. Improving Infrastructure Resilience -
Dalam beberapa dekade kedepan, kita akan dihadapi oleh 2 (dua) tantangan besar dalam konteks pembangunan infrastruktur, yaitu : menuanya umur infrastruktur (aging infrastructure), dan perubahan iklim yang membuat infrastruktur semakin vulnerable. Aging infrastructure menuntut public spending dalam jumlah besar untuk dialokasikan guna pemeliharaan, revitalisasi, atau bahkan merehabilitasi infrastruktur yang lifecycle-nya hampir habis (atau justru tidak tercapai karena berbagai faktor). Sementara itu, di saat yang sama, vulnerability terhadap perubahan iklim juga menuntut infrastruktur didesain, dibangun, dan dipelihara dengan memperhatikan aspek exposure ini sebagai salah satu kriteria penting. Dan hal ini juga tentunya akan memerlukan pembiayaan yang cukup besar.
-
Skema PPP (Public Private Partnership) dapat menjadi salah satu opsi yang menjanjikan ditengah-tengah keterbatasan pembiayaan pemerintah. Langkah selanjutnya adalah menyediakan kerangka regulasi dan menciptakan lingkungan investasi yang kondusif agar skema ini dapat berjalan.
Improving Mitigation and Adaptation Strategies -
Some responses are from the community (bottom-up), some are directly from the government (top-down). Selain memperkuat infrastructure resilience, yang juga harus dibangun pemerintah adalah community resilience; bagaimana masyarakat dapat “bertahan” dalam exposure dan vulnerability to climate change dengan memaksimalkan social power dan indigenous knowledge. Hal ini menjadi bahan diskusi ketika makalah peneliti PKPT yang berjudul “Community Resilience
3
to Climate Change: The Case of Solor and Semau, Indonesia” dipresentasikan dalam salah satu sesi conference tersebut. -
Langkah mitigasi juga menjadi salah satu opsi yang harus diambil Pemerintah RI. Investasi kepada R & D2 untuk mengembangkan teknologi early warning system to disasters, mengarusutamakan hydropower (serta renewable energy sources lainnya) sebagai salah satu bauran energi terbarukan nasional yang harus diprioritaskan, memberikan perhatian lebih kepada Badan Restorasi Gambut yang baru saja didirikan sebagai respon atas kejadian forest-fire haze3 tahun 2015 lalu agar lebih cepat bekerja di lapangan, dll.
Gambar 2. Emisi Karbon Indonesia Tahun 2015 (Sumber : WRI, 2015) Improving Governance and Institutional Settings -
Pemerintah RI (dalam hal ini adalah para Menteri, Pemprov, dan Pemda) harus menetapkan baseline dan target penurunan emisi yang terukur (memenuhi indikator SMART), sebagaimana EU menetapkan target yang tergolong ambisius tetapi masih dapat dicapai. Baseline dan target yang terukur ini kemudian dijabarkan kedalam kerangka regulasi di level pemerintahan yang lebih rendah disertai dengan instrumen monitoring untuk mengukur capaian progress-nya. Akurasi data baseline dan annual monitoring system menjadi referensi bagi Delegasi Indonesia untuk melakukan lobby dan argumentasi dengan negara lain dalam forum COP (Conference of Parties) yang digelar setiap tahunnya.
-
Perbaikan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan infrastruktur (sebagaimana telah dilakukan oleh Pemerintah Vietnam) menjadi PR selanjutnya bagi Pemerintah RI, karena hal ini sangat terkait dengan semangat Reformasi Birokrasi, serta upaya pemberantasan korupsi.
-
Meskipun DNPI telah “dilebur” kedalam salah satu fungsi struktural di Kementerian LH & Kehutanan, semangat untuk mengarusutamakan perubahan iklim harus menjadi everybody’s business. Bahkan sejak anak-anak masih dalam usia belia, pendidikan dan advokasi tentang sustainability perlu ditanamkan.
2
Balitbang PUPR dapat berkontribusi dalam hal ini dengan meningkatkan intensitas kolaborasi dalam hal penerapan teknologi bersama mitranya (BMKG, BNPB, K/L lainnya, Pemda, dll) 3 Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa emisi karbon yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 di Indonesia bahkan telah melampaui emisi karbon Amerika Serikat (http://www.economist.com/blogs/graphicdetail/2015/11/daily-chart-3). 4
-
Tim MAPI PUPR4 berperan penting dalam “mengawal” pembangunan resilient infrastructure. Disarankan agar Balitbang PUPR berperan aktif dan menjadi “think tank” dalam Tim ini sehingga teknologi-teknologi yang relevan dapat diterapkan secara lebih masif lagi.
*****
4
Sebagai pengganti Permen PU No. 11/2012, saat ini telah disahkan SK Menteri PUPR No. 334/KPTS/M/2016 tentang Pembentukan Tim MAPI dan Pengurangan Risiko Bencana Kementerian PUPR. 5