POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)
INDUSTRI PEMINTALAN BENANG SUTERA ALAM
BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax: (021) 3518951, Email :
[email protected]
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2 a. Latar Belakang ..................................................................................................... 2 b. Pengertian, Maksud dan Tujuan ...................................................................... 3 c. Permasalahan ....................................................................................................... 4 2. Kemitraan Terpadu ................................ ................................ ..... 5 a. Organisasi ............................................................................................................. 5 b. Pola Kerjasama .................................................................................................... 7 c. Penyiapan Proyek ................................................................................................ 8 d. Mekanisme Proyek .............................................................................................. 9 e. Perjanjian Kerjasama ....................................................................................... 10 3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ....... 12 a. Prospek Pemasaran .......................................................................................... 12 b. Potensi Pengembangan.................................................................................... 14 c. Penentuan Harga Produk ................................................................................. 16 4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 17 a. Lokasi ................................................................................................................... 17 b. Bangunan dan Peralatan ................................................................................. 17 c. Proses Produksi .................................................................................................. 17 5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 20 a. Pembiayaan ........................................................................................................ 20 b. Kelayakan Finansial .......................................................................................... 20 c. Kredit .................................................................................................................... 21 6. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 22 LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 25
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
1
1. Pendahuluan a. Latar Belakang Sektor kehutanan dinilai cukup strategis dalam pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor ini terhadap PDB menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, selain menghasilkan devisa negara, sektor ini diharapkan mampu menyediakan lapangan dan kesempatan kerja serta pengadaan bahan baku bagi usaha agroindustri. Sektor ini akan terus dipacu untuk meningkatkan perolehan devisa negara dengan jalan meningkatkan volume dan nilai ekspor lebihlebih dalam kondisi sekarang. Salah satu sub-sektor di sektor kehutanan adalah sub-sektor perkebunan. Sub-sektor ini semakin penting dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional, mengingat makin terbatasnya peranan minyak bumi yang selama ini merupakan sumber utama devisa utama negara. Pada tahun tahun 1994/1995, sub-sektor perkebunan menyumbangkan sebesar 12,7 % dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas. Keunggulan komparatif sub-sektor perkebunan dibandingkan dengan subsektor lain dalam sektor non-migas lainnya antara lain disebabkan tersedianya lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal dan berada di kawasan iklim yang menunjang, serta ketersediaan tenaga kerja, sehingga bisa secara kompetitif dimanfaatkan. Kondisi tersebut merupakan hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk perkebunan Indonesia dipasaran dunia. Salah satu komoditas yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara adalah pengembangan ulat sutra dengan perkebunan murbeinya. Sutera alam merupakan salah satu komoditi untuk memenuhi kebutuhan didalam negeri maupun untuk pengembangan ekspor, baik berupa kokon, benang maupun barang jadi. Pada dasarnya persuteraan merupakan suatu rentetan kegiatan berupa penanaman murbei (Morus sp), pemeliharaan ulat, pemintalan benang, usaha kerajinan dan penenunan yang menggunakan bahan benang sutera. Untuk memperoleh hasil yang cukup maksimal kegiatan tersebut perlu di tunjang oleh pengadaan sarana yang cukup, teknik yang memadai dan pemasaran yang terjamin, sehingga keterlibatan pemerintah, swasta maupun petani sangat diharapkan. Produksi benang sutera alam dunia mencapai sekitar 83.393 ton pertahun yang dihasilkan oleh negara-negara produsen terbesar yaitu Cina yang diikuti oleh India, Jepang, Korea dan Brazil, sementara kebutuhan dunia lebih banyak lagi yaitu sekitar 92.743 ton per tahun sehingga masih terdapat kekurangan yang cukup banyak jumlahnya. Hal ini merupakan peluang besar bagi negara lain seperti Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan persuteraan alam, lebih-lebih produksinya baru mencapai tidak lebih 500 ton pertahun jauh dibawah kebutuhan dalam negeri sendiri yaitu sekitar 2.000 ton pertahun. Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
2
Tabel 1. Keadaan Terakhir Persuteraan Alam di Indonesia Rincian Kegiatan
Propinsi Satuan Sumbar Jabar Jateng DIY Jatim Sulsel Lain Jumlah a. Tanaman Murbei Ha 813 1.875 634 120 532 4.019 73 8.066 b. Peneyerapan Boks 612 2.814 2.125 200 2942 13.941 76 22.260 Bibit/telur c. Produksi Kokon Kg 4.500 6.840 46.750 6.912 65.668 265.600 700 458.530 d. Kokon Impor Kg kering e. Produksi Raw Ton 0,5 8,2 6,4 0,8 8,3 46,2 70,4 Silk f. Raw Silk Impor Ton - 65,3 65,3 g. Pembibitan Unit Unit 1 3 4 h. Kebun Bibit Ha 20 20 38 78 Murbei i. Pemintalan - Otomatis Buah 1 1 - Semi Otomatis Buah 1 1 1 3 - Tradisional Buah 30 - 1.250 - 1.280 j. Unit Percobaan Unit 2 8 49 59 k. Pengusaha - BUMN Buah 1 1 1 3 - BUMS Buah 2 4 4 10 - Koperasi Buah 5 18 23 l. Petani Sutera KK 503 1.746 1.250 62 1.175 3.582 133 8.451 m. Kel Tani Ke 62 50 5 10 50 140 272 Prod.Kokon Sumber : Departemen Kehutanan RI 1999
b. Pengertian, Maksud dan Tujuan Pengertian Modal kelayakan usaha adalah suatu konsep model pinjaman (kredit) berdasarkan pendekatan sistem, untuk mempermudah dan mempercepat proses penyaluran dan penyerapan dana yang tersedia di perbankan dalam rangka pengembangan Usaha Kecil melalui Pola Kemitraan Terpadu (PKT) berdasarkan pertimbangan tingkat kelayakan usaha (feasible) dan Kelayakan bank (bankable).
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
3
Maksud dan Tujuan Maksudnya adalah menyusun suatu konsep model pinjaman yang dapat diterima, dilaksanakan dan diyakini bahwa dana pinjaman (kredit) tersebut akan memberi keuntungan bagi semua pihak. Sedangkan tujuannya adalah agar kebijakan pengembangan usaha kecil tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga dapat : 1. Meningkatkan kemampuan kelompok usaha skala kecil agar mencapai kelayakan usaha dan aksesibilitas kepada lembaga perbankan dalam kerangka proyek kemitraan usaha kecil terpadu sehingga tercapai stabilitas pasokan (bahan baku) proses produksi dan terjaminnya pemasaran produk. 2. Meningkatkan kemampuan, pemahaman dan keyakinan penilaian perbankan tentang kelayakan usaha sehingga mempermudah minat menyalurkan berbagai jenis kredit bagi kelompok usaha skala kecil terutama di sektor usaha ulat sutera, sehingga merupakan alternatif persyaratan jaminan. Kegunaan Penyusunan model kelayakan ini akan sangat berguna khususnya bagi program pengembangan agribisnis produksi benang sutera, umumnya bagi semua pihak/lembaga terkait yaitu : 1) Perbankan ; 2) Departemen Pertanian; 3) Departemen Kehutanan, dan 4) Pengusaha benang sutera, dalam mempercepat pemanfaatan dana perbankan untuk agribisnis.
c. Permasalahan 1. Beberapa permasalahan yang selalu dihadapi dalam upaya pengembangan persuteraan alam ini khususnya industri pemintalan benang sutera adalah sebagai berikut : Sumber Daya Manusia, budidaya ulat sutera dan tanaman murbei merupakan hal yang baru sehingga memerlukan pelatihan khusus dan SDM yang sudah ada perlu ditingkatkan keterampilannya, baik untuk budidaya murbei maupun ulat sutera sampai mengolah kokon dan benang. 2. Teknologi/peralatan, dari aspek teknologi/alat yang ada sekarang ini baik jumlah maupun jenisnya masih perlu ditingkatkan. 3. Permodalan, untuk meningkatkan kapasitas produksi kain tenun dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar akan kain sutera saat ini perlu adanya tambahan modal kerja. 4. Bahan baku berupa produksi kokon masih sangat terbatas sehingga harus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan industri pemintalan benang sutera alam.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
4
2. Kemitraan Terpadu a. Organisasi Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien. Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi. Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil, (2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA. Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Petani/usaha kecil merupakan plasma dan Perusahaan Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan diantara semua pihak yang bermitra. 1. Petani Plasma Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu memerlukan bantuan modal. Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
5
Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok. 2. Koperasi Parapetani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya. Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer tidak merupakan keharusan 3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani plasma/usaha kecil. Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor, hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti. Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
6
Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi. Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar pula honor yang diterimanya. 4. Bank Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal kerja pembangunan atau perbaikan kebun. Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya pendapatan bersih petani yang paling besar. Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank. b. Pola Kerjasama Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra, dapat dibuat menurut dua pola yaitu : a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/ Pengolahan Eksportir.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
7
Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan oleh Perusahaan Mitra. b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi (mewakili anggotanya) dengan perusahaan perkebunan/ pengolahan/eksportir.
Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent. Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha, apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan menjadi tanggung jawab koperasi. c. Penyiapan Proyek Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan. mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma, dari :
sebaiknya dan dalam keberhasilan, minimal Kalau PKT ini akan perintisannya dimulai
a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya. Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan persetujuan bersama, yang didapatkan melalui
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
8
pertemuan anggota kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama dengan perusahaan perkebunan/ pengolahan/eksportir dan bersedia mengajukan permohonan kredit (KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha; b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses pemasarannya; c. Dipertemukannya kelompok tani/usaha kecil dan pengusaha perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan oleh pihak petani/usaha kecil; d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra. Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana (executing agent) atau badan penyalur (channeling agent); e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda); f. Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini, harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen Kehutanan dan Perkebunan. d. Mekanisme Proyek Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
9
Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma, kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi, dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai pendapatan bersih. e. Perjanjian Kerjasama Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
10
dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu. Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai berikut : 1. Kewajiban Perusahaan Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai mitra (inti) a. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penaganan hasil; b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta pemeliharaan kebun/usaha; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi; d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan kredit bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma. 2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya; b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami; c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pascapanen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan; d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit; e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan permintaan kredit; f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
11
3. Aspek Pemasaran a. Prospek Pemasaran Industri persuteraan khususnya benang sutera alam merupakan salah satu subsektor agroindustri yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena memiliki berbagai keunggulan-keunggulan sebagai berikut : 1. Bahan baku seluruhnya tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal. 2. Produknya merupakan komoditi ekspor yang merupakan bahan baku industri lain yang tersebar baik di dalam maupun luar negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa, 3. Menyerap tenaga kerja yang cukup banyak, dan 4. Memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor, sub sektor laiinnya. Permintaan akan produk sutera alam, khususnya dalam bentuk lain tidak terlalu dipengaruhi oleh situasi ekonomi, meskipun segmentasi pasar berada pada konsumen kalangan menengah dan atas. Penggunaan produksi benang sutera tidak terbatas pada kebutuhan kain sandang tetapi telah meluas untuk berbagai kebutuhan kain tekstil non sandang seperti kain untuk dekorasi interior dan eksterior perkantoran, perhotelan, restoran dan lainlain. Pada tahun 1994, kebutuhan benang sutera dunia telah mencapai 92.743 ton, sedang produksi dunia pada waktu itu baru mencapai 89.393 ton (Capricorn Indonesia Consult, 1996). Pada waktu itu, Indonesia sendiri hanya mampu menghasilkan produksi benang sutera alam mentah rata-rata sebanyak 144 ton per tahun, sehingga dinyatakan belum mencapai sasaran produksi nasional yang telah ditetapkan pemerintah selama Pelita V yang lalu, sedang kondisi sekarang pun tidak banyak berbeda. Sasaran dan realisasi pencapaian produksi nasional benang sutera Indonesia pada Pelita V yang lalu terdapat Pada Tabel2
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
12
Tabel 2. Target dan Realisasi Produksi Nasional Benang Sutera Indonesia Tahun 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994
Produksi Target 200 300 400 500 600
Realisasi 110 140 135 161 174
Sumber : Capricorn Indonesia Consult, 1996 Data mengenai kondisi impor dan perkembangan ekspor produksi sutera alam di Indonesia terdapat pada Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 3. Besaran Impor Beberapa Jenis Produk Dari Sutera Alam Periode Kokon Tahun 1989 1990 1991 1992 1993
517.582 71.834 71.882 436.373 229.427
Besaran Impor (Kg) Benang Kain 32.139 72.156 9.690 8.900 63.338
3.940 2.400 26.660 1.273 335
Barang Jadi 35 428 2.209 2.131 628
Tabel 4. Volume Ekspor Beberapa Jenis Produk Dari Sutera Alam Periode Kokon Tahun 1989 1990 1991 1992 1993
517.582 71.834 71.882 436.373 229.427
Besaran Impor (Kg) Benang Kain 32.139 72.156 9.690 8.900 63.338
3.940 2.400 26.660 1.273 335
Barang Jadi 35 428 2.209 2.131 628
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1989-1993 (diolah oleh Koperasi Sutera Alam Garut ,1999)
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
13
Tabel 4, menunjukkan data permintaan untuk ekspor dari tahun ketahun yang semakin meningkat selain disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk pertumbuhan ekonomi yang berakibat pada peningkatan daya beli juga disebabkan oleh perkembangan dunia mode di berbagai negara. b. Potensi Pengembangan Potensi pengembangan usaha pemintalan benang sutera alam sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : ketersediaan bahan baku kokon, jenis peralatan dan mesin pemintalan dan sumber daya manusia (tenaga) yang terampil serta permodalan. Pola usaha persuteran alam di Indonesia terdapat di daerah-daerah sentra pengembangan sutera alam yang potensial, pada umumnya masih dalam skala kecil dengan teknologi yang masih sederhana dengan tingkat pemilikan modal yang rendah. Namun demikian jumlah pengusahanya sangat besar dan merupakan mitra usaha yang potensial dalam menggalang usaha bersama. Ditingkat sericultur ini tidak menunjukkan adanya persaingan secara kuantiitas antara petani produk kokon, kecuali pada perbaikan-perbaikan kualitas kokon. Perkembangan ditingkat industri pemintalan benang sutera alam ternyata masih didominasi oleh industri yang bersifat tradisional yang jumlahnya mencapai sekitar 1.354 unit, sedangkan jumlah industri semi mekanik terdapat 6 unit dan hanya satu unit yang menggunakan mesin otomatis, yaitu PT. Indojado Sutera Pratama. Melihat kondisi perindustrian pemintalan sutera alam, maka kapasitas produksi benang untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik belum terpenuhi. Pada Tabel 5, dapat dilihat jumlah industri pemintalan, sedangkan Tabel 6 menunjukkan kondisi ( Jumlah) industri pertenunan yang terdapat di beberapa propinsi di Indonesia. Tabel 5. Jumlah Industri Pemintalan Benang Sutera Berdasarkan Teknologi yang Digunakan
No 1 2 3 4 5 6
Propinsi Sulawesi Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Barat Bali
Jumlah Industri Pemintalan Tradisional Semi Mekanik Otomatis 1.224 4 0 50 0 1 0 1 0 0 1 0 20 0 0 50 0 0
Sumber : Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Laban; Departemen Kehutanan,1999
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
14
Tabel 6. Jumlah Industri Pertenunan Di Beberapa Propinsi Di Indonesia No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Propinsi Sulawesi Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sumatera Barat Bali Sumatera Utara NTB Sulawesi Tenggara NTT Sumatera Selatan
Jumlah Industri Pemintalan Tradisional Semi Mekanik Otomatis 8.676 1.976 10.652 60 0 60 150 0 150 100 0 100 50 0 50 100 0 100 50 0 50 25 0 25 100 0 100 50 0 50 50 0 50
Sumber : Dirjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan; Departemen Kehutanan,1999 Perkembangan industri pertenunan kain sutera alam di Indonesia ternyata lebih berkembang bila dibandingkan dengan industri pemintalan benang sutera alam, hal ini didukung oleh data volume ekspor kain yang relatif besar. Industri pertenunan jumlahnya sekitar 11.387 unit yang terdiri dari hanya 1.976 unit yang menggunakan Alat Tenun Mesin (ATM), sedangkan sisanya adalah Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Rangkaian mata rantai dan tahapan industri persuteraan alam ini tampaknya tidak begitu mulus karena ada tahapan yang perkembangannya terlambat yaitu terutama pada tahapan sericultur atau proses produksi kokon yang dianggap belum mapan sehingga berpengaruh dapat menghambat terhadap perkembangan industri pemintalan benang sutera. Pada Tabel. 7 terdapat data mengenai jumlah volume dan nilai ekspor dan impor produk sutera alam di Indonesia. Tabel 7. Jumlah Volume Dan Nilai Ekspor Dan Impor Produk Sutera Alam Indonesia Tahun 1993 1995 1996 1997
Berat (kg) Ekspor Impor 31.190 419.247 383.490 262.031 451.562 212.834 645.606 433.319
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
Nilai (USD) Ekspor Impor 3.390.186 3.043.984 3.313.470 3.008.226 4.898.631 3.090.535 6.808.686 4.917.181
15
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1998 c. Penentuan Harga Produk Produk hasil usaha industri pemintalan benang sutera alam adalah berupa (Lampiran 3) : 1. Benang Sutera (Raw Silk) Harga benang sutera tergantung dari kualitas yaitu antara Rp.280.000 Rp. 300.000 per kg. Kualitas benang sutera tergantung warna dan ukuran dinernya. Makin tinggi dinernya, makin tinggi kualitasnya, serta makin putih warnanya, makin tinggi harganya. Rendemen benang sutera antara 10 - 20% tergantung dari kualitas kokon. 2. Aval Kokon Harga aval kokon sekitar Rp. 5.000 per kg. Aval ini dijual kepada para pengrajin sebagai bahan hiasan (ornament). Jumlah aval dan kokon afkir pada umumnya sekitar 5% dari berat kokon. 3. Pupa Pupa dijual kepada peternak sebagai pakan ternak, hampir semua ternak termasuk ikan untuk makanan ikan dengan harga Rp. 500 per kg. Berat pupa sekitar 50% dari berat kokon. Lampiran 3. Proyeksi Produksi Dan Pendapatan 250 Hari Kerja Per Tahun No
Uraian
Jumlah
Harga Per Satuan
Jumlah Nilai Per Hari
Jumlah Nilai Per Tahun
1 Benang Sutra
3.30
268,800
887,040
221,760,000
2 Aval Kokon
1.83
4,800
8,784
2,196,000
18.33
480
8,798
2,199,600
3 Pupa Kokon Jumlah
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
904,622
226,155,600
16
4. Aspek Produksi a. Lokasi Lokasi usaha industri pemintalan benang ulat sutera harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Lokasi usaha industri terdapat di daerah petani ulat sutera dengan luas lahan murbei sebanyak 10 - 20 hektar atau total produksi kokon minimum sebanyak 7.500 kg per tahun (30 kg per hari, 1 shift) dan maksimum 22.500 kg per tahun (90 kg per hari, 250 hari kerja per tahun, 3 shift). b. Di lokasi industri terdapat sumber air bersih (sumber air, sumur, PDAM) untuk membersihkan, memanaskan dan reeling kokon, agar warna benang putih. b. Bangunan dan Peralatan Untuk usaha industri pemintalan benang sutera diperlukan tanah, bangunan, drum pemanas air (boiler), bak air pemanas kokon (dari plat besi), alat reeling benang, alat re-reeling benang, lemari, meja kursi, gunting, pisau, sepatu bot karet, pakaian plastik, pompa air dan instalasi listrik dengan total biaya investasi sebesar Rp. 33.010.000 (Tabel Investasi) (Lamp 1) dengan umur ekonomis yang berlainan. Penyediaan tanah, pembuatan bangunan dan pengadaan peralatan pembuatan benang ulat sutera memerlukan waktu sekitar 3 bulan, sehingga memerlukan masa tenggang angsuran kredit selama 3 bulan. c. Proses Produksi Biaya eksploitasi industri pemintalan benang sutera untuk 1 unit kerja selama 25 hari kerja per tahun dengan produksi 30 kokon per hari dapat dilihat pada Tabel Biaya Eksploitasi (Lamp 2). Adapun proses produksi dari kokon sampai menjadi benang sutera meliputi kegiatan sebagai berikut : 1. Pembelian Kokon Dari Petani Ulat Sutera Harga kokon antara Rp. 18.000 - Rp.25.000 per kokon, yaitu tergantung pada kualitas dan atau jumlah butir kokon per kilogram, yaitu : a. Rp 25.000/kg dengan jumlah kokon kurang dari 500 butir/kg b. Rp 21.000/kg dengan jumlah kokon kurang dari 551 - 600 butir/kg c. Rp 19.500/kg dengan jumlah kokon kurang dari 601 - 650 butir/kg d. Rp 18.500/kg dengan jumlah kokon kurang dari 651 - 760 butir/kg
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
17
e. Rp 2.500/kg untuk kokon cacat (afkir) jumlahnya antara 5 - 10 % dari total berat Rp 23.000/kg dengan jumlah kokon kurang dari 501 - 550 butir/kg f. Kokon kualitas No 1 s/d 5 adalah kokon yang dipintal untuk dijadikan benang sutera, sedangkan kualitas No 6 dijadikan sebagai bahan kerajinan. 2. Sortasi Dan Pengupasan Kulit Kokon Selanjutnya kokon disortasi dan dikupas kulitnya untuk memudahkan pengambilan ujung benang pada saat reeling. Kokon disortasi berdasarkan ukurannya dan bila ada yang cacat dikeluarkan atau di afkir. 3. Penyimpanan Kokon Dalam Bag Kokon yang sudah disortasi dan dikupas dimasukkan dalam bag yang disesuaikan masa panennya. Karena kokon maksimum 6 hari setelah panen harus di rebus dan direeling. 4. Perebusan Kokon Kokon yang berukuran sama direbus dalam air panas (100oC), perebusan dengan kompor minyak tanah selama 10 menit dan selanjutnya di bilas dengan air dingin. 5. Pengambilan Ujung Benang Selanjutnya kokon yang telah direbus dimasukkan kedalam bak air panas (80 - 90oC) dan dicari ujung benangnya dan setelah diketemukan ujungnya kemudian kokon tersebut dimasukkan bak air dingin (30 - 40oC) selama 5 - 10 menit. 6. Reeling Benang Kemudian kokon yang ditemukan ujungnya dimasukkan dalam bak berisi air hangat (50 - 60oC) pada mesin reeling. Mula-mula beberapa ujung benang (13 - 29 kokon) digabungkan dan dipelintir dengan tangan sepanjang 5 - 7 cm dan terus dimasukkan ke peluncur pembagi dan kemudian dimasukkan ke haspel. Selanjutnya mesin digerakkan dengan kecepatan 1.200 RPM oleh tenaga listrik 240 watt (0,25 PK) dengan 2 orang operator. Operator menambahkan kokon yang habis benangnya. Mesin dihentikan setelah tabel benang pada haspel 1 cm, kemudian haspel dikeluarkan dan diganti dengan haspel baru, hasilnya berupa benang basah. Ukuran benang yang dinyatakan dengan "denier" berdasarkan jumlah benang kokon disesuaikan dengan permintaan, yaitu dengan ukuran seperti pada Tabel 8
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
18
Tabel 8. Ukuran Benang Dan Jumlah Benang Kokon Ukuran Benang (Denier) 22 Dinier 28 Dinier 32 Dinier 35 Dinier 40 Dinier
Jumlah Benang Kokon 13 - 16 18 - 20 21 - 23 24 - 26 26 - 29
7. Re- reeling Benang Benang hasil reeling dimasukkan kembali dalam mesin re-reeling, yaitu untuk mengeringkan benang dan menggabungkan kembali beberapa benang hasil dari mesin reeling menjadi ukuran yang disesuaikan dengan denier yang diminta konsumen. Selanjutnya benang (raw - silk) tersebut dikeringkan dengan diangin-anginkan. 8. Pengepakan Benang sutera tiap haspel besar kemudian dilepas menjadi suatu ikal benang dengan berat sekitar 100 gram. Selanjutnya 10 ikal benang dipress menjadi 1 pak dengan beratnya sekitar 1 kg yang siap untuk dijual. Benang sutera (raw silk) produksi industri kecil ini selanjutnya oleh konsumen di proses lagi twisted silk yang siap digunakan untuk ditenun menjadi kain. Rendemen benang sutera (raw silk) antara 10 - 12%, tergantung ukuran kokon. Makin besar ukuran kokon, maka makin besar rendemennya. Kapasitas olah industri ini sebanyak 30 kg per shift per 8 jam dan maksimum bisa mencapai 3 shift yaitu dengan jumlah kokon 90 kg per hari (lihat Tabel Proyeksi Produksi dan Pendapatan) (Lampiran 3).
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
19
5. Aspek Keuangan a. Pembiayaan Analisa keuangan ini diharapkan dapat dijadikan petunjuk baik bagi perbankan sebagai pemberi kredit untuk penilaian permohonan kredit maupun bagi pengusaha kecil atau koperasi yang akan mengajukan permohonan kredit untuk usaha industri pemintalan benang ulat sutera, Pembiayaan usaha ini mencakup 2 jenis biaya, yaitu : 1. Modal investasi untuk pembelian tanah, pembuatan bangunan, pembelian peralatan seperti alat water boiler (pemanas air), perebus kokon, bak air panas dari besi, alat reeling, alat re-reeling, pompa air, meja, kursi, lemari, sepatu boot karet, pakaian plastik, pisau dan gunting (Tabel Investasi) (Lampiran 1). 2. Modal kerja untuk pembelian kokon, upah tenaga kerja (manajer dan karyawan), listrik untuk penerangan dan pompa air, minyak tanah dan biaya pemeliharaan alat dan bangunan (Tabel Biaya Eksploitasi) (Lampiran 2). Pembiayaan dalam usaha industri pemintalan benang ulat sutera ini berdasarkan informasi berbagai pihak dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Usaha ini merupakan usaha kecil dengan luas tanah 75 m2, yaitu 50 m2 untuk bangunan industri dan 25 m2 untuk pekarangan, tempat sampah dan sumur pompa listrik. 2. Harga-harga untuk semua biaya produksi dan penjualan produk di asumsi konstant. 3. Pembuatan bangunan dan pengadaan peralatan selama 3 bulan, dan baru kemudian berproduksi. 4. Industri berjalan selama 250 hari kerja per tahun 5. Dengan bahan baku 7.500 kg kokon per tahun (1 shift per hari). Rendemen benang sutera (raw silk) sebesar 11% dari berat kokon. Modal investasi sebesar Rp 33.010.000 dan modal kerja Rp. 8.812.938 b. Kelayakan Finansial 1. Laba-Rugi Usaha Dengan tingkat bunga 24% per tahun, ternyata bahwa usaha ini cukup menguntungkan, yaitu dengan ROI sebesar 34,8% dan rata-rata laba bersih sebesar Rp. 16.383.336 per tahun (Tabel Laba Rugi) (Lampiran 6.)
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
20
Analisa sensitivitas : bila harga benang sutera turun 4%, maka akan diperoleh nilai ROI = 22,4% dan rata-rata laba Rp. 6.960.186. Hasil analisa laba rugi usaha produksi benang sutera dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Analisa Laba - Rugi Selama 5 tahun
Uraian
Tahun Ke – 1 2 3 4 5 235,578,750 235,578,750 235,578,750 235,578,750 235,578,750
Pendapatan Pengeluaran 1. MK/Eksploitasi 211,510,500 211,510,500 211,510,500 211,510,500 211,510,500 2. Bunga 7,404,977 6,907,056 2,687,539 3. Penyusutan 4,285,000 4,285,000 4,285,000 4,285,000 4,285,000 Jumlah (B) 223,200,477 222,702,556 218,483,039 215,795,500 215,795,500 Laba (A-B) 12,378,273 12,876,194 17,095,711 19,783,250 19,783,250 2. Analisa Finansial I.R.R Berdasarkan analisa Struktur Biaya (Lampiran 4.) ternyata bahwa usaha ini cukup layak untuk dikembangkan, yaitu dengan Financial IRR = 49.76% dan NPV pada d.f. 24% = Rp. 30.984.209 serta pay back period = 1,7 tahun. Analisa sensitivitas : Bila harga benang turun 4%, maka diperoleh nilai Finansial I.R.R = 21,8% dan NPV pada d.f 24 % Rp.5.112.951 serta payback period 2,9 tahun c. Kredit Jumlah kredit yang diperlukan untuk 1 unit usaha pemintalan benang sutera dalam PKT ini adalah sebesar Rp. 41.822.938,- yang terdiri dari KI sebesar Rp. 33.010.000,- dan KMK sebesar Rp. 8.812.938. Sedangkan jangka kredit adalah selama 3 tahun, dengan masa tenggang 3 bulan, yaitu pembuatan bangunan dan penyediaan peralatan produksi (Tabel Angsuran Kredit) (Lampiran 7).
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
21
6. Aspek Sosial Ekonomi Kegiatan usaha industri kecil sangat berkaitan dengan aspek sosial ekonomi, bukan saja bagi pelaku kegiatan usaha itu sendiri, tapi juga bagi lingkungannya. Diantaranya faktor ketenagakerjaan, sumber bahan baku, sarana transportasi, pasar dan harga serta dukungan pemerintah. Sumber Bahan Baku Bahan bake Lokasi yang dipilih untuk penanaman tanaman murbei dan industri pemintalan benang sutera, pemilikannya harus jelas, sehingga tidak berbenturan dengan kepentingan instansi lain atau lembaga lain di kemudian hari. Peruntukan lokasi harus jelas dan pasti, sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah setempat. Peruntukkan lahan yang jelas ini sangat penting untuk menghindari terjadi kerugian yang tidak terduga sewaktuwaktu. Transportasi Lokasi proyek sebaiknya mudah dijangkau, agar pengadaan bahan baku, peralatan dan pemasaran hasil produksi dapat berjalan lancar. Sarana transportasi harus memadai, hal ini penting untuk menekan pengeluaran biaya yang sangat besar serta waktu pengangkutan bahan baku dan hasil produksi ( benang sutera ) dari dan ke lokasi harus seefisien mungkin. Tenaga Kerja Tenaga kerja pada industri benang sutera ini merupakan faktor yang sangat penting sejajar dengan faktor-faktor penting lainnya. Para tenaga kerja hendaknya direkrut atau didahulukan tenaga kerja lokal, karena selain mereka membutuhkan biaya transportasi menuju lokasi usaha, juga dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal, berarti usaha yang dilakukan membawa manfaat bagi penduduk di sekitar lokasi usaha. Sedangkan tenaga kerja ahli akan disediakan perusahaan inti atau koperasi. Bagi tenaga kerja biasa yang belum profesional masih diperlukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Dukungan Pemerintah Dukungan pemerintah dalam usaha ini sangat diperlukan terutama dalam hal perijinan yang berkaitan dengan kegiatan usaha, perlindungan dan keamanan kerja.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
22
Aspek-aspek Yang Timbul Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan terutama dalam hal perijinan yang berkaitan dengan kegiatan usaha, perlindungan dan keamanan kerja a. Aspek Sosial Dengan terjalinnya kerjasama antara pengrajin dengan Bapak Angkat, akan memberikan keuntungan bagi berbagai pihak. Usaha diatas akan membantu pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja baru bagi pencari kerja yang selama ini belum memperoleh tempat sekaligus untuk mendukung Program Proyek Padat Karya yang dicanangkan Pemerintah. b. Aspek Ekonomi Melalui proyek industri kecil pemintalan benang sutera yang sifatnya massal dengan pola PKT ini, maka peningkatan kemakmuran perajin dan anggota koperasi primer di pedesaan akan menjadi kenyataan. Selain itu secara langsung akan turut memberikan kepastian kegiatan usaha para petani/peternak ulat sutera yang menjadi penyuplai kokon (bahan baku industri pemintalan benang sutera). c. Aspek Profesionalisme Dengan adanya kerjasama PKT, maka pembentukan saluran distribusi penjualan hasil benang sutera akan menjadi ampuh dengan menggabungkan fasilitas yang telah ada dan memperbaiki pola berpikir dan manajemen, terpadu maka oposisi Gerakan Koperasi sebagai Lembaga Ekonomi Masyarakat dapat ditingkatkan dan menjadi nyata. Dengan direalisasikannya proyek ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Meningkatkan pendapatan bagi para anggota Koperasi, karena adanya lapangan kerja atau tambahan modal kerja bagi mereka dapat meningkatkan produktivitasnya. 2. Usaha yang dikelola dengan baik oleh kelompok dengan iktikat menjunjung kebersamaan dalam meningkatkan usaha anggota koperasi maka program pengentasan kemiskinan akan tercapai. 3. Peningkatan usaha anggota koperasi jelas akan meningkatkan pula peluang bagi tenaga kerja di wilayah proyek dan sekitarnya. 4. Dapat meningkatkan pendapatan asli daerah setempat dengan retribusi/pajak daerah. 5. Meningkatkan kegiatan perekonomian dipedesaan ini akan mengurangi tekanan kemiskinan, pengangguran, ketertinggalan, kesenjangan dan perbedaan tingkat partisipasi dalam pembangunan antara desa dengan kota, antara sektor tradisional dan modern. Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
23
6. Pemanfaatan lahan tidur untuk menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar proyek guna mensejahterakan kehidupan mereka sendiri. 7. Mengimplementasikan Pola Kemitraan Terpadu (PKT) Koperasi Primer dengan perusahaan inti yang dikoordinir oleh Koperasi Primer dengan Perusahaan Inti.
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
24
LAMPIRAN
Bank Indonesia – Pemintalan Benang Sutera Alam
25