POLA KEBERAGAMAAN KAUM TUNA RUNGU WICARA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Sulthon Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus
Abstract: The purpose of this study were: 1) To determine the pattern of deaf religiosity; 2) To determine the relationship between religiosity patterns and the psychological impact of deafness; 3) To determine the pattern of deaf religiosity towards the disable self-acceptance. This study was expected to find anatomical problems and the factors causing positive self-acceptance to the impacts of disability through a religious approach. Implicitly , this study provided input and awareness for the deaf, while explicitly contributed to parents, teachers, and community in order to treat them properly and humanely. This qualitative study used a phenomenological approach to ethnography type. Moreover, it was applied criterion and snowball sampling. The data collection was managed by observation, interviews and documentation. The data analysis drew on analytic descriptive analysis of the planned steps. The results showed that the pattern of deaf religiosity was influenced by various aspects and religious dimensions, they are as follows; belief dimensions, worship (religious rituals), character, appreciation, and religious knowledge. The deaf religiosity is varied depending on how much knowledge and religious understanding and appreciation, also their own attitudes towards disability. Generally, there are deafs who have strong faith/religiosity because of having deep religious knowledge and understanding, good religiosity because of simply miming without deep religious knowledge and understanding, medium/ordinary religiosity, and very less one (abangan). The pattern of deaf religiosity have a very significant influence on the psychological and social development. The deep religious deaf is supported by the deep religious knowledge and understanding so that it will produce an impact of soft psychological development. Conversely, the lesser religious deaf will greatly make a major impact on the psychological and social development. The deaf’s religious pattern will affect the psychological and social development and the disable suffered self-acceptance. Key words: deaf religiosity , influenced factors
174
A. Pendahuluan Keberagamaan diartikan sebagai suatu aktivitas jasmani dan rohani manusia beragama dalam rangka merespon wahyu atau ajaran agama yang meliputi segenap aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek ubudiyah, sosial, psikologis (pikir, rasa, sikap, perilaku, pribadi), dan seterusnya secara totalitas dalam rangka mencapai pengabdian tertinggi atau menghambakan diri pada Sang kholiqnya. Secara fitrah manusia akan selalu membutuhkan agama sebagai jalan menuju kesuciannya, sebagaimana firman Allah yang artinya sebagai berikut, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Al-Rum, 30:30). Berkaitan dengan kebutuhan akan agama dalam hidup manusia, Nasruddin Razak (1973:24) menjelaskan manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk kebahagiaan di dunia dan setelahnya (mati), dan untuk itu Allah memberikan suatu agama sebagaimana wahyu Allah (QS Syura:13) yang artinya, “Allah telah mensyariatkan kepadamu tentang urusan agama, sebagaimana telah diwajibkan-Nya kepada Nabi Nuh, dan apa yang kami wahyukan kepada engkau, dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim dan Musa, dan kepada Isa; yaitu hendaklah kamu tegakkan agama dengan benar dan janganlah kamu bercerai-berai daripada-Nya.” Keberagamaan seseorang merupakan cerminan dari pola-pola tingkah laku dan perbuatan yang selalu mendasarkan pada nilai-nilai yang diyakini. Terkait dengan perilaku beragama, yang sangat berpengaruh adalah masalah kesadaran. Pengetahuan tentang agama belum secara otomatis menimbulkan perilaku beragama bila tidak dibarengi dengan kesadaran beragama, karena kesadaran beragama merupakan kekuatan internal yang timbul dan dibangun dari keimanan, syukur, dan sabar. Kata Ibnu Qoyyim ( Hasan bin Ali Al-Hijazy, tt:106) keimanan adalah gabungan dari ilmu dan amal, amal merupakan buah dari ilmu sedang amal itu dibedakan menjadi dua yaitu amal hati yang berupa kecintaan dan kebencian dan amal badani yang berupa pengamalan atas perintah dan meninggalkan larangan, dan penopang tegaknya iman adalah syukur dan sabar karena sabar menjadi tiang penopang dalam menjalani ketaatan. Keberagamaan kaum tuna rungu memiliki pola yang spesifik karena Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
175
pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran agama lebih bersifat abstrak. Mereka tidak bisa menghayati hal yang bersifat abstrak seperti apa itu iman, ihsan, surga, neraka, dan sebagainya karena tidak memiliki penguasaan bahasa yang cukup. Dengan demikian hal-hal yang menyangkut kegiatan beragama secara badaniyah seperti sholat, wudlu, haji, dan seterusnya kurang dipahami bagi mereka. Setidaknya perbedaan dalam pemahaman agama pastinya akan memiliki pola-pola yang berbeda. Jika keberagamaan itu dipengaruhi oleh pengetahuan, penghayatan, penyadaran dan pengamalan agama, maka kaum tuna rungu itu tidak akan mampu mengetahui apa itu agama, bagaimana menghayati karena miskin bahasa, bagaimana penyadaranya karena penyadaran itu dimulai dari adanya pengetahuan yang jelas dan penghayatan yang sempurna serta pengamalan agama. Berdasarkan persoalan yang terjadi pada kaum tuna rungu di atas kiranya perlu diteliti tentang ”Pola Keberagamaan Kaum Tuna Rungu dan Penerimaan Diri ” A. 1. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola keberagamaan kaum tuna rungu? 2. Bagaimana dampak psikologis kaum tuna rungu terkait pola keberagamaanya ? 3. Bagaimana penerimaan kaum tuna rungu atas kecacatan yang diderita A.2. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah hanya alur pola keberagamaan kaum tuna rungu dari aspek pengetahuan, penghayatan, penyadaran, dan pengamalan agama yang dipeluk, faktor yang mempengaruhi keberagamaan, dan faktor penghambatnya. A.3. Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut; a. Secara teoritis, secara teoritis penelitian ini memberikan informasi atau pengetahuan baru tentang model keberagamaan kaum tuna rungu yang menyangkut pengetahuan, pemahaman, penyadaran, faktor yang mempengaruhi, dan faktor penghambat keberagamaan kaum tuna rungu. b. Secara praktis, secara praktis penelitian ini memberikan sumbangan ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
176
pengetahuan kepada: 1) Orang tua tuna rungu agar menerima kecacatan yang derita anaknya sebagai suatu yang datang dari Allah SWT. Dan kita sebagai manusia tinggal menerima dengan ikhlas; 2) Kaum tuna rungu agar bertambah imannya dan menerima dirinya secara wajar atas kecacatannya karena mendasarkan diri pada iradah-Nya yang tidak perlu disesali dan dijadikan beban dalam hidupnya sebaliknya menjadi motivasi yang mendorong untuk bertambah bertakwa atau pasrah diri secara baik; 3) Masyarakat terutama yang memiliki warga tuna rungu agar memperlakukan mereka sebagaimana layaknya manusia yang lain, tidak dilandasi oleh rasa kasihan, atau penolakan terhadapnya. B. Landasan Teori B.1. Pola Keberagamaan 1. Pengertian Keberagamaan Kata keberagamaan atau religiusitas berasal dari kata Religius yang berarti bersifat keagamaan: yang bersangkut paut dengan religi. (Depdikbud, 1995). Jadi religiusitas dapat dimaknai dalam hal keagamaan, yaitu polapola keberagamaan seseorang, religiusitas diartikan suatu aktivitas manusia beragama dalam rangka merespon wahyu atau ajaran segenap aspek kehidupan manusia mulai dari aspek pikir, sikap, dan perilakunya. Terkait dengan konsep keberagamaan sebagaimana di atas bahwa aktivitas beragama manusia dalam merespon wahyu tersebut sangat beragam variasinya ada yang beragama secara taat dan patuh benar ada yang sdang-sedang dan ada pula yang hanya sekedar kamulflase dan sebagainya. Perbedaan aktivitas beragama bagi pemeluk agama tersebut disebut dengan pola beragama. 2. Hubungan Keberagamaan dan Perilaku beragama. Model keberagamaan seseorang secara ideal akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam hidup dan kehidupanya. Artinya bahwa semakin baik kehidupan beragama yang dilakukan, maka akan semakin mendekati norma agama dari perilaku yang ditampilkan sebagai aktualisasi diri kehidupan beragamanya. Dalam wujud aktualisasi diri seseorang beragama akan menampilkan diri mereka dengan eksplorasi diri, introspeksi, interaksi dan perenungan diri sesuai dengan pengetahuan dan pengamalan ajaran agamanya. Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
177
Perilaku beragama seseorang selalu didorong oleh dua kekuatan atau daya fisik dan batin. Jika wujud perilaku beragama adalah ibadah, maka orang beribadah kepada Allah SWT. Karena didorong oleh kekuatan untuk mendapatkan imbalan dari Tuhan-Nya seperti pahala, surga, kenikmatan dan sebagainya dan juga oleh adanya dorongan kepuasan dan pujian. Karena dengan beribadah maka akan mendapatkan rasa kepuasan tersendiri dan hatinya merasa senang, tenang, istikomah dan sebagainya. 3. Fungsi Agama dalam Kehidupan Manusia Agama sebagai suatu keyakinan memiliki fungsi mengarahkan agar manusia menjadi terarah, lebih baik, dan sesuai dengan tujuan hidup dalam beragama. Nasiruddin Razaq (1973:31) menjelaskan bahwa manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk kebahagiaan dunia dan akhirat yang berasal dari yang mutlak pula yaitu Allah SWT. Untuk itu Tuhan yang bersifat pengasih dan penyayang memberikan suatu anugrah pada manusia yang bernama agama. Agar manusia tidak tersesat dalam hidupnya, maka mereka harus berpegang teguh pada agama Islam karena hanya Islamlah agama yang diridloi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam (QS.Al-Imran:85) yang artinya,” Barang siapa yang mencari agama selain Islam, tidaklah akan diterima daripadanya dan diakhirat termasuk orang yang merugi.” 4. Model Keberagamaan Tuna Rungu Orang yang mengalami ketunarunguan secara spesifik akan terjadi bias pemahaman, pengertian, konsep yang mereka miliki sebagai akibat dari kuranglengkapnya pembentukan konsep yang hanya mengandalkan sumber dari aspek pendengaran sehingga konsep tentang sesuatu yang masuk pada diri kaum tuna rungu menjadi abstrak termasuk konsep agama. Dari sinilah yang membedakan pemahaman dan pengetahuan orang tuna rungu menjadi sangat abstrak dan kurang seimbang sering terjadi salah persepsi dan sebagainya. Dengan demikian ketunarunguan yang diderita memiliki dampak yang kurang baik pada aspek psikisnya dan model keberagamaan. Berdasarkan hambatan yang dialami sebagaimana diuraikan di atas maka model keberagamaan kaum tuna rungu dibedakan menjadi: 1) model taat karena memahami benar ajaran agama, 2) model taat karena meniru saja tidak didasari pengetahuan agama yang baik, 3) model tidak taat terhadap ajaran agama karena tidak tahu tentang ajaran agama, dan 4) model tidak ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
178
taat ajaran agama karena merasa tidak dapat menerima keadaan dirinya atau menyalahkan tuhan atau menganggap negatif terhadap keberadaan dirinya. B.2. Kaum Tuna Rungu 1. Pengertian Tuna Rungu Tuna rungu adalah seseorang yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendenarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberkan pertolongan dengan alat Bantu dengar masihtetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. (Depdiknas:2004) 2. Ciri-Ciri Tunarungu Secara umum tunarungu ini memilki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Secara nyata tidak mampu mendengar, 2) Terlambat perkembangan bahasa, 3) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, 4) Kurang atau tidak tanggap bila diajak bicara, 5) Ucapan kata tidak jelas, 6) Kualitas suara aneh atau monoton, 7) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, 8) Banyak perhatian terhadap getaran 2) Berat ringanya ketunarunguan akan berpengaruh pada berat ringannya hambatan dalam berkomunikasi, bagi anak yang mengalami hambatan ketunarunguan dalam taraf ringan, maka masih banyak sisa pendengaran yang dimliki sehingga anak dapat berkomunikasi dengan menggunakan sisa pendengaranya.Dan karenamasih adasisa pendngaran, maka perkembangan bahasanya juga lebih baik. 3. Perkembangan Psikologis dan Sosial Tuna Rungu Sulitnya komunikasi akan berpengaruh terhadap aspek-aspek spikologis dan sosial anak tuna rungu antara lain sebagai berikut : a. Perkembangan bahasa dan kominikasi Pendengaran mempunyai arti yang sangat penting dalam perkembangan bahasa, hanya dengan pendengaran, bahasa dapat berkembang secara maksimal, simbul bahasa sangat mudah dan wajar jika dikembangkan lewat suara dari pada dikembangkan lewat bahasa isyarat dan gerakan-gerakan tubuh. Lewat pengalaman bersama-sama, dengan orang di sekitarnya, anak akan belajar berbahasa meskipun tidak dalam proses belajar yang disengaja. Pada anak tuna rungu perkembangan bahasa berbeda, awalnya Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
179
perkembangan sukar menggunakan pendengaran, jadi terutama menggunakan penglihatan untuk mengembangkan bahasanya. Disamping tidak wajar juga akan banyak mengalami kesulitan. Hanya bisa dilakukan pada umur yang lebih tua dibanding dengan anak normal, karena membutuhkan kemampuan yang lebih sukar. Sistem lambang yang digunakan harus visual dinyatakan dengan peragaan. Dengan cara yang demikian perkembangan bahasa menjadi sangata lambat dan sukar mencapai perkembnagan maksimal. Jadi jelas bahwa ketunarunguan mengakibatkan kemiskinan bahasa, kemudian terjadi kesukaran komunikasi dengan orang lain. Karena secara timbal balik, orang tidak dapat menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain secara wajar, tetapi karena komunikasi itu tetap sangat penting, maka dibentuk suatu komunikasi khusus. Sehingga untuk menyelaraskan kebutuhan anak dan orang lainharus melalui komunikasi dengan bahasa isyarat, atau bentuk lain dengan membaca bibir atau ucapan lesan. b. Perkembangan kepribadian dan emosi Kepribadian pada dasarnya merupakan keseluruhan sifat dan sikap pada seseorang yang menentukan cara-caranya yang unik dalam menyesuaikan dengan lingkungan. Oleh karena itu banyak ahli berpendapat perlu diperhatikan masalah penyesuaian seseorang agar kita tahu bagaimana kepribadianya. Perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua (terutama ibu) lebih-lebih pada masa awal perkembangan anak. Dasar-dasar pembentukan kepribadian terjadi pada masa awal dari kehidupan anak. Oleh karena itu kalau kita memperhatikan hubungan antar anak dan ibu kita banyak mendapatkan data-data yang bermanfaat untuk memahami kepribadian seseorang termasuk anak tuna rungu. Ada dua segi yang perlu diperhatikan dalam membahas mengenahi kepribadian dan emosi anak tuna rungu. 1) Penyesuaian anak tuna rungu Jika lingkungan kurang memberikan penilaian yang baik terhadap anak berkelainan, maka anak akan memberikan penilaian kepada dirinya sendiri yang kurang baik. Inilah sebenarnya bisa menimbulkan gangguan psikologis. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan menurut Tien Supartinah (1995:41) sehingga membedakan penyesuaian anak tunarungu dan anak normal pada umumnya:
ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
180
a) Manusia selain mempunyai lingkungan fisik juga dikelilingi lingkungan psikologi, yaitu semua hal yang dipikirkan , dirasakan, dan diketahui sekarang atau pada suatu saat di lingkungan fisiknya akan menjadi pikiran dalam lingkungan psikologisnya b) Anak tuna rungu sering mengalami berbagai macam konflik , kebingungan dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam dua peranan yaitu peran dalam hidup anak tuna rungu dan hidup dalam dunia anak normal. c) Hubungan sosial banyak ditentukan oleh komunikasi antara orang satu dengan lainya, kesulitan komunikasi tidak bisa dihindari anak tuna rungu jika ia berhubungan dengan dengan orang lain. Bahasa sebagai salah satu sarana yang penting akan membuat seseorang terlihat dengan situasi sosial , namun bagi anak tuna rungu kemiskinan bahasa membuat ia tidak mampu terlihat secara baik dalam situasi sosialnya. Ia sulit memahami cara berpikir dan perasaan orang lain. Dan sebaliknya orang lain juga sulit memahami perasaan dan pikiranya. 2) Hubungan anak tuna rungu dengan ibunya. Hubungan antara anak dan ibu merupakan dasar bagi kehidupan kepribadian dan emosi kelak, terutama dalam awal perkembangan anak, semua anak memerlukan kasih sayang dan rasa aman serta diterima oleh lingkunganya. Ibu merupakan figur yang akan menggambarkan kasih sayang dan penerimaan lingkungan. Ibunya kasar dan lingkungan semuanya adalah kasar menurut dia, anak yang kurang mendapat kasih sayang kelak ia akan sulit memberikan dan menerima kasih sayang. c. Penyesuaian tuna rungu dengan lingkungan Sebagaiman sudah diuraikan sebelumnya bahwa penyesuaian anak tuna rungu dengan lingkunganya pada bagaimana lingkungan keluarga dan masyarakat bersikap dan bertingkah laku pada anak tuna rungu, keluarga yang menerima dan bersikap baik dan kasih sayang pada anak, maka anak tuna rungu akan menganggap baik terhadap lingkungan sekitarnya. Tapi sebaliknya bila keluarga bersikap dan berperilaku tidak baik atau menolak keberadaannya, maka anak akan merasa curiga, menganggap lingkunganya jahat kepadanya dan merekapun akan bersikap acuh dan menyendiri. B.3. Landasan Religius Keberadaan Anak Cacat Selain landasan yuridis terkait dengan eksistensi anak berkelainan juga diakomodir oleh ajaran agama yang dalam hal ini akan diuraikan tentang Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
181
hak-hak anak berkelainan yang terdokumentasi dalam ajaran agama Islam. Secara lengkap akan diuraikan sebagai berikut : 1. Qur’an Surat An-Nur: 61 yang artinya sebagai berikut: “Tidak ada halangan bagi orang buta , tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, dan tidak pula bagi dirimu sendiri, makan bersamasama mereka di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudara-saudaramu perempuan, di rumah saudara bapakmu yang lakilaki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.” Ayat ini juga memberikan peringatan kepada kita agar memberikan penghormatan dan menghargai kepada orang yang kurang beruntung seperti golongan orang cacat, (buta, bisu, pincang, dan sebagainya) atau orang sakit yang biasanya disia-siakan orang atau dijauhi karena takut ketularan dan sebagainya. 2. Qur’an Surat ‘Abasa yang artinya, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling(1), Karena telah datang seorang buta kepadanya, (2) Tahukah kamu barang kali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) (3), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya, (4) Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (5), maka kamu melayaninya (6), Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman) (7), Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapatkan pengajaran (8), Sedang ia takut kepada (Allah) (9), Maka kamu mengabaikannya (10), Sekali-kali jangan (demikian)! sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan (11).” Qur’an surat Abasa ayat 1 sampai 11 memberikan peringatan kepada Muhammad karena telah membiarkan (berpaling) dari orang buta yang datang kepada nabi, peristiwa tersebut nabi langsung memberikan teguran agar tidak bersikap seperti itu karena bagaimanapun keadaan orang ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
182
tidak dibedakan dalam ajaran Islam. Dengan demikian mengabaikan orang yang cacat berarti melakukan dosa kepada Allah dan kita harus menghormati dan berperilaku yang baik kepadanya. B.4. Kajian Penelitian Sebelumnya Dalam penelusuran yang saya lakukan hanya menemukan literatur yang berbentuk penelitian walaupun tidak sama persis misalnya: penelitian yang dilakukan Rahmaniar, dkk. (1999:56) yang meneliti tentang “Perkembangan Agama-Agama di Kota Palangkaraya, kesimpulan penelitian mengemukakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pemeluk agama menunjukkan dinamika progresivitas, meskipun tidak terlalu intens. Penelitian selanjutnya oleh Noor Ahmadi (2001:180) tentang “Fenomena Keberagamaan di Kalimantan Profesional Muda dari Kelompok Pengajian Ekskutif Lembaga Dakwah NU Surabaya, ia memaparkan hasil penelitiannya bahwa sikap keberagamaan di kalangan profesional muda cenderung positif dalam prakteknya. Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan belum ada buku atau penelitian yang membahas tentang “Keberagamaan Kaum Tuna Rungu.” B.5. Kerangka Pikir Penelitian Pola keberagamaan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan tentang agama, pemahaman, serta penghayatan terhadap agamanya. Seseorang akan dapat beragama secara baik bila yang bersangkutan tahu betul tentang pengetahuan agama, paham, serta menghayati secara seksama konsekwensiknsekwensi dari ajaran agama yang harus direspon dan dilaksanakan secara baik. Melalui aktivitas ibadah secara benar merupakan bagian dari wujud keimanan (kepercayaan) yang dimanifestasikan dalam bentuk ketundukan dan ketatan ibadah kepada Allah Swt. Dengan iman yang baik dan ibadah secara benar akan mencerminkan penghambaan diri secara totalitas kepada Allah, semua sikap dan tindakanya ditujukan hanya kepada Allah yang menjadi labuhan terakhir bagi orang beriman. Sikap dan penghambaan diri seseorang secara penuh didasari oleh adanya penyadaran dan ketundukan dari seorang hamba kepada sang kholiq. Artinya orang yang sudah mencapai derajat penyadaran dan ketundukan Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
183
yang tinggi akan melahirkan sifat pasrah dan lillahi ta’ala atas seemua kejadian hidup yang menimpanya. Dari pola keberagamaan seseorang yang sampai pada level kepasrahan, maka seseorang akan memandang apa yang terjadi pada dirinya akan di imani dan diterima secara ikhlas bahwa semua itu datangnya dari Allah. Sikap pasrah inilah yang akan mempengaruhi penerimaan diri terhadap apa yang terjadi dalam dirinya. Dengan demikian sikap penerimaan diri kaum tuna netra terhadap kecacatan yang dialami sangat tergantung pada pola keberagamaan yang ada pada kaum tuna netra. Semakin baik keberagamaan kaum tuna netra maka akan semakin baik pula penerimaan dirinya secara positif dan tidak menimbulkan dampak psikologis yang berarti. Sedang semakin kurang baik keberagamaan kaum tuna netra maka akan semakin kurang baik dalam menerima keadaan dirinya secara baik pula berarti terdapat banyak beban psikologis yang dialami akibat kecacatanya itu. Secara konstalasi akan diuraikan di bawah ini: POLA KEBERAGAMAAN KAUM TUNA RUNGU DIMENSI-DIMENSI KEBERAGAMAAN
Dimensi Keyakinan/Keperc ayaan
Dimensi Penghayatan Agama
Dimensi Ibadah/Ritual Keagamaan
DAMPAK PSIKOLOGIS
Keberagamaan yang Kurang Baik
Dimensi Pengamalan/ Akhlak
Dimensi Pengetahuan Agama
Keberagamaan yang baik
SIKAP PENERIMAAN DIRI TUNA RUNGU
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian C. Metode Penelitian Jenis dan Pendekatan 1. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau field research yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengamati dan menyelidiki fenomenafenomena di lapangan untuk dijadikan obyek penelitian yang selanjutnya berdasarkan kajian teori yang mendalam, serta data-data yang lengkap ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
184
dan benar di lapangan akan dijadikan sebagai bahan analisis yang mendalam untuk kemudian disimpulkan berdasarkan fenomenafenomena yang diamati. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah phenomenogik dengan model etnografik, yaitu model penelitian yang mempelajari peristiwa kultural yang menyanjikan pandangan hidup subyek yaitu bagaimana cara mereka berfikir, hidup, berperilaku, dan menghayati tata nilai ( Goetz dan Compte, 1984 ) Etnografi tidak mendeskripsikan kehidupan masyarakat dalam beragam situasi, tetapi sebagaimana adanya bagaimana kehidupan kesehariannya, cara pandang, perilakunya ( Noeng, 2998 ). 3. Definisi Operasional Pola keberagamaan dalam penelitian ini adalah seluruh aktivitas kaum tuna rungu beragama dalam rangka merespon wahyu atau ajaran dalam segenap aspek kehidupan manusia, baik pada lapis pikir, sikap maupun perilaku sehari hari baiksecara individu maupun kelompok. Desain penelitian Penelitian ini hendak mengetahui gambaran tentang tipologi keberagamaan subyek penelitian yang menyangkut pemahaman agama, pelaksanaan ibadah, perilaku keseharian, serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhi dampak psikologis akibat ketunanetraan yang dialmi subyek penelitian. Hal yang dipersoalkan adalah 1) pertanyaan apa yang diteliti, 2) data apa yang mendukung, 3) data apa yang dikumpulkan, 4) bagaimana menganalisis hasilnya. Adapun prosesnya meliputi ; 1) mengidentifikasi subyek penelitian, 2) mencari data yang mendukung kebenaran, (keabsahan data ) yaitu mengorek informasi terkait dengan kasus yang dihadapi subyek, 3) mengumpulkan seluruh data berkaitan dengan subyek penelitian yang menyangkut; pemahaman agma, (bagaimana subyek mengetahui aturan, perintah, larangan agama serta adanya janji dan ancaman dalam agama), kemudian pelaksanaan ibadah yaitu bagaimana subyek melakukan ibadah sehari-hari (taat atau tidak). berikutnya perilakunya sehari-hari yaitu bagaimana subyek hidup dan bersosialisasi dengan komunitas masyarakat, pengamalan agama (akhlak) yaitu bagaimana subyek mampu mengamalkan ajaran agama yang salah satunya adalah berperilaku baik sesama makhluk
Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
185
Tuhan, sesama manusia, dan kepada Tuhan, Penghayatan agama yang meliputi bagaimana subyek mampu memahami, menghayati yang kemudian mampu mengamalkannya. Terakhir faktor pengetahuan agama yaitu seberapa jauh subyek memiliki pengetahuandan pemahaman tentang agama yang dipeluknya, 4) menganalisis hasil, setelah data lengkap selanjutnya dianalisis dengan teknik yang sudah direncanakan. Sampel Sumber Data Penentuan sampel sumber data akan berkembang setelah di lapangan. Pada tahap awal akan dipilih sampel sumber data yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau obyek yang diteliti yaitu para penyandang tuna rungu yang lebih senior yang sudah mengalami pendidikan paling lama. Karena mereka memiliki peranan yang besar terhadap aktivitas social di sekolah. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah bagian penting dalam penelitian kualitatif. Adapun yang menjadi instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dan juga akan dibantu pembimbing asrama dan guru-guru SDLB Negeri Purwosari. Peneliti akan mengupas tentang segi-segi keberagamaan kaum tuna rungu di panti dan di SDLB bagaimana pengetahuannya tentang agama, kekercayaanya, ibadahnya, pengamalanya, serta penghayatan terhadap agamnya. Selain itu peneliti juga akan menggali data tentang segi-segi kejiwaanya yang meliputi; sikap mereka terhadap kecacatan yang disandang, kehidupan emosinya, memandang ke depan dalam menghadapi kehidupan, penerimaan diri terhadap kecacatan, serta pengembangan dirinya. Subyek Penelitian Penelitian ini subyek penelitian kaum tuna rungu yang ada di SDLB se-Kabupaten Kudus untuk dieksplorasi datanya. Namun bila subyek sulit ditemui atau tidak mau diwawancarai, maka teknik snowball dilakukan, yaitu dengan menemui informan kunci. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode yang digunakan dalam mengumpulkan ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
186
data adalah observasi, wawancara dan dokumentasi. a. Observasi, Observasi partisipan dimana peneliti berpartisipasi dalam aktivitas proses penelitian, (Cherry, 2000). Penelitian ini menggunakan pendekatan observasi campuran dimana beberapa partisipan mengetahui identitas peneliti dan mengetahui apa yang dilakukan peneliti sejak awal, sedang beberapa subyek mengetahui setelah ada kedekatan peneliti dengan subyek. . b. Wawancara Bebas, agar diperoleh data dari sumbernya langsung, maka wawancara bebas dalam penelitian mutlak dilakukan. Pertimbangan digunakan teknik ini adalah untuk mengkonstruksi mengenai subyek, kejadian, perasaan, motivasi, tuntutan dan pengaruh lain ( Lincoln chin Guba, 1985. c. Dokumentasi untuk mendapatkan data tentang tingkat ketulian, sejak kapan terjadinya tuna rungu yang dialami, bagaimana sejarah kelahiran, perkembangan kesehatan, dan sebagainya. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dengan menggunakan langkah sebagai berikut: a. Langkah-langkah analisis selama di lapangan yaitu: 1) Mempersempit fokus studi dengan tata pikir holistik dan parsial; 2) Menetapkan tipe studi dengan tata pikir eklektif; 3) Mengembangkan secara intents terus-menerus pertanyaan analitik selama di lapangan peneliti bertanya, mencari jawab, dan menganalisisnya selanjutnya mengembangkan pertanyaan baru begitu secara terus- menerus; 3) Menulis komentar penelitian atau membuat cacatan reflektif; 4) Penjajagan ide dan tema penelitian pada subyek sebagai analisis penjajagan; 5) Membaca kembali kepustakaan yang relevan selama di lapangan; 6) Menggunakan metaphora, analogi dan konsep-konsep. b. Analisis sesudah di lapangan 1. Membuat katagorisasi masalah atau temuan dan menyusun coding dengan cara: 1)menyatakan secara eksplisit pertanyaan-pertanyaan penelitia; b) memilih teks yang relevan untuk analisis lanjut; c). menguak ide-ide yang terulang dengan cara mengumpulkan bersama pesan-pesan yang berhubungan Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
187
dengan teks-teks; d). membangun konstruk teoritis dengan cara mengolah tema-tema ke dalam konsep yang lebih abstrak; e) membuat narasi teoritis dengan menceritakan kembali cerita dalam konstruk teoritis 2. Menata sekuensi atau urutan penelaahan dengan pola pikir triangulasi. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Analisis Data Penelitian dan Pembahasan 1. Pola Keberagamaan Kaum Tuna Rungu di Kudus Hasil wawancara dengan informan tuna rungu didapatkan bahwa Pola keberagamaan kaum tuna rungu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman agama, lingkungan keluarga dan masyarakat dimana mereka tinggal, lingkungan keluarga yang memberikan dorongan dan menerima tuna rungu sebagai bagian dari warganya, kondisi dan situasi di atas akan membentuk tuna rungu merasa nyaman dan aman sehingga akan meningkatkan rasa kemandirian dan kemampuannya serta mendorong rasa percaya dirinya. Dengan rasa percaya diri yang kuat akan meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Pola keberagamaan kaum tuna rungu sangat bervariasi tergantung kapan kecacatan itu terjadi, sejak lahir atau setelah dapat mendengar, itu semua akan berpengaruh terhadap pola keberagamaan tuna rungu, selain itu faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Lingkungan keluarga yang demokratis tidak membeda-bedakan tuna rungu dengan yang lain (normal) maka akan membentuk tuna rungu ini tidak banyak mengalami berbagai problem sehingga akan cepat menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang biasa. Dan juga tergantung dari pengetahuan dan pemahamanya terhadap agama. Bila tuna rungu memiliki pengetahuaan agama dan pemahaman agamanya baik maka akan berdampak pada pola keberagamaan juga baik. ”Saya tidak tahu secara mendalam tentang agama Islam hanya saya tahu salat, puasa, zakat, dan saya bisa belajar tentang agama Islam lewat paman kebetulan guru ngaji, saya juga melaksanakan salat puasa, dan ibadah lainya namun kadang masih banyak yang kurang, saya masih kurang tahu banyak tentang agama saya terkait dengan kepasrahan, ketundukan dan sebagainya hanya yang aku tahu dalam agama tidak boleh menyalahkan tuhan akibat kejadian yang ada pada saya. ” (24, JD) Hasil observasi dan wawancara dengan informan tuna rungu yang ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
188
memiliki pengetahuan dan pemahaman agama secara baik menunjukkan pola keberagamaan sebagai berikut : “Saya tuna rungu yang kebetulan guru di SDLB Sudah hampir 20 tahun saya menjadi guru saya tidak banyak tahu tentang agama Islam saya sedikit tahu dan mengamalkannya, saya sejak kecil sudah dibimbing ngaji oleh orang tua saya,” (47, SL) Sedang tuna rungu yang memiliki pengetahuan dan pemahaman agama yang kurang akan menyebabkan pola keberagamaan juga kurang baik. ”Saya beragama Islam tapi saya tidak pernah salat tidak tahu bacaan salat tidak pernah berdo’a, tidak pernah melakukan ibadah tapi saya beragama Islam saya tidak tahu ajaran agama itu gimana bagaimana salat itu dan sebagainya . (30, DT) Hasil observasi dengan tuna rungu yang pengetahuan dan pemahaman agamanya kurang menunjukkan keberagamaan sebagai berikut: Keberagamaan (perilaku beragama) menyangkut dimensi kepercayaan (iman), pengetahuan agama, praktek ibadah, pengamalan agama, dan penghayatan agama. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Dajamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso (1995) yaitu, ”Perilaku beragama menyangkut sisi dan dimensi yang banyak yaitu dimensi keyakinan, dimensi peribadatan, dimensi penghayatan, dimensi pengalaman, dan dimensi pengetahuan agama. (Djamaluddin Ancok & Fuat Nashori Suroso, 1995) Kelima dimensi di atas menjadi faktor pendorong dan pemicu seseorang beragama dalam berperilaku sesuai dengan agamanya. Dimensi keyakinan atau kepercayaan mendorong manusia untuk mempercayai dan meyakini apa yang menjadi ajaran dalam Islam (bertauhid). Manusia akan selalu mengesakan Tuhanya, tiada yang bersekutu baginya Dialah Yang Maha Kuasa, yang harus disembah dan memiliki otoritas tertinggi. Dimensi peribadatan merupakan dimensi yang berkaitan dengan aktivitas batiniyah manusia beragama (pemujaan). Seseorang yang beragama sebagai wujud dari kepasrahannya pada Sang Kholiq, maka seseorang akan melakukan penyembahan secara totalitas, hanya kepada Allah mereka akan kembali. Hal yang dilakuakn semata-mata untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dimensi penghayatan berhubungan dengan pengharapan-pengharapan Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
189
tertentu. Dimensi penghayatan berkaitan dengan pengalaman keagamaan seseorang, persepsi, sensasi, yang dialami secara pribadi oleh seseorang beragama. Dalam perilaku beragama yang diwujudkan dalam penyembahan dan kepasrahan secara kejiwaan seseorang tersebut akan mendapatkan hubungan batiniyyah yang dekat. Mereka akan merasa damai, dan tenang manakala sedang melakukan beribadah dan seterusnya. Dimensi Pengamalan atau konsekuensi, Dimensi pengamalan menjadi bagian dari konsekuensi beragama. Dalam agama tentunya terdapat aturanaturan yang harus dipedomani, terdapat perintah untuk dijalankan dan ada larangan yang harus ditinggalkan serta adanya harapan-harapan sebagai imbalan bagi umatnya yang taat pada ajaran agama dan seterusnya. Semua ajaran tadi harus diamalkan oleh pemeluknya sebagai konsekuensi beragama. Terakhir dimensi pengetahuan agama. Seseorang beragama harus memiliki pengetahuan agama atau memiliki ilmunya agar dapat melakukan aktivitas beragama sesuai dengan aturan yang disyariatkan. Hasil FGD dengan informan pembimbing asrama dan guru agama didapatkan ada berbagai macam faktor yang dapat menentukan pola keberagamaan kaum tuna rungu yaitu, pengetahuan dan pemahaman agama, tingkat ketuna runguan, sejak kapan tuna rungu itu terjadi dan sikap lingkunagn terhadapnya (lingkungan keluarga dan masyarakat) Berkaitan dengan keberagamaan, anak tuna rungu juga mengalami variasi yang berbeda. Bagi tuna rungu yang memiliki sikap menerima kecacatanya, maka mereka akan memiliki sikap yang baik terhadap agamanya dan mau melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan secara sadar dan tanggungjawab. Dengan demikian tuna rungu yang tergolong ini memiliki perilaku beragama secara baik. Sedang bagi tuna rungu yang bersikap menolak dan belum bisa menerima kenyataan, maka mereka cenderung tidak mau atau acuh tak acuh terhadap agamanya, mereka cenderung tidak mau melaksanakan perintah agama, sedang yang tengah-tengah yaitu antara menerima dan menolak, maka dalam merespon ajaran agama juga tidak begitu baik tapi masih mau melaksanakan perintah agama walaupun tidak penuh atau sempurna. “Sejak kecil saya tidak pernah salat dan saya tidak tahu banyak tentang ajaran agama Islam, karena orang tuaku juga tidak pernah memperhatikan soal agama kepadaku, namun kalau pada bulan romadhon ya aku ikutan puasa rame-rame sahur bareng dan buka bareng teman-teman” (19, SN). ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
190
Disamping sikap penolakan dan penerimaan kaum tuna rungu terhadap kecacatannya, faktor orang tua atau masyarakat terhadap kaum tuna rungu juga dominan mempengaruhi. Lingkungan keluarga yang memperlakukan anaknya yang tuna rungu secara wajar, tidak membedakan dengan anaknya yang lain (normal) maka anak tuna rungu akan merasa dirinya tidak dibedakan atau dikucilka sehingga tekanan jiwanya akibat kecacatannya tidak begitu berarti artinya kaum tuna rungu dalam kondisi ini akan berkembang secara noramal (biasa). Sedang bagi kaum tuna rungu yang terdapat persoalan dalam lingkungan baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat tentang keberadaanya (masyarakat menolaknya) maka kaum tuna netra ini akan mengalami dampak psikologis yang berat. Mereka banyak mengalami teakanan-tekanan yang berat sehingga akan berpengaruh terhadap perkembanganya dikemudian hari. Polarisasi sikap dan perilaku dari lingkungan masyarakat maupun dari lingkungan keluarga terhadap kaum tuna rungu secara sistemik akan mempengaruhi sikap dan perilaku kaum tuna rungu. Pengaruh inilah yang akan mempengaruhi terhadap pola-pola dan atau keragaman kaum tuna rungu terhadap keberagamaanya. Masyarakat yang agamis dan atau lingkungan keluarga yang agamis juga akan berbeda dengan lingkungan masyarakat atau keluarga yang biasa dalam keagamaan pengaruhnya terhadap kaum tuna rungu. “Kalau saat masih kecil saya sering diajak ke masjid sama ayahku dan sampai sekarang saya oleh orang tuaku dianjurkan harus selalu belajar mengaji dengan siapa saja agar wawasan tentang agamanya bertambah dan Alhamdulillah sekarang saya sedikit sudah tahu tentang agama. (ST, 15) Lingkungan keluarga yang agamis akan berpengaruh terhadap keberagamaan kaum tuna rungu juga lebih agamis sedang lingkungan keluarga yang kurang agamis akan berdampak pada keberagamaan kaum tuna rungu juga kurang agamis. Dan seterusnya. Lingkungan keluarga yang agamis cenderung mereka dapat menerima warganya yang cacat dibanding dengan lingkungan keluarga yang kurang agamis, karena pemahaman terhadap agama yang kuat sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan keluarga yang agamis akan memiliki sandaran yang kuat terhadap Tuhan tentang semua yang terjadi dalam hidupnya termasuk memiliki keluarga yang cacat tadi, .keadaan yang demikian inilah yang mendorong sikap Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
191
dan perilakunya menjadi lebih baik dalam menerima anak tuna rungu. Sedang sebaliknya dalam diri seseorang yang kurang terhadap penyadaran dirinya akibat kurangnya pemahaman tentag agamanya, menyebabkan mudah terjadi goncangan atau kurang memiliki sandaran yang kuat pada kuasa Tuhan sehingga ketika terdapat warganya yang cacat, maka sulit menerimanya menganggap ini sebagai kutukan, ujian, dan sejenisnya. Hal ini berakibat timbulnya sikap yang kurang dapat menerima kecacatan yang diderita anaknya atau warga lainya yang cacat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberagamaan orang tuna rungu cenderung tergantung pada sikapnya dari lingkungan keluarga dan masyarakat terhadap kecacatan yang dialaminya. Dan juga karena terbatasnya pemahaman dan pengalaman terhadap agama, maka ada kecenderungan keberagamaanya juga bersifat kurang baik. 2. Dampak Psikologis Kaum Tuna Rungu di Kudus Hasil wawancara dan observasi dengan informan tuna netra di Kudus menunjukkan bahwa ketunarunguan menyebabkan dampak psikologis yang bervariasi tergantung dari beberapa faktor, yaitu faktor kapan terjadinya ketunarunguan, sikap lingkungan (keluarga dan masyarakat), dan sikap diri terhadap kecacatan yang dialaminya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan psikologis dan penyesuaian sosial tuna rungu. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Sikap keluarga Sikap terpenting bagi anak adalah sikap keluarga yaitu sikap orangtua tuna netra. Sikap orang tua menjadi dasar bagi perkembangan psikis anak. Baik yang menyangkut perkembangan emosi, sosial, atau kepribadian anak. Secara kodrati orang tua cenderung memiliki sikap kasih sayang, melindungi, memberi perlindungan memberi nasehat, dan berusaha melakukan yang terbaik bagi anaknya. (ZL, 13), ”Alhamdulillah saya dari keluarga yang demokratis orang tua saya selau mendorong agar saya lebih giat belajar beribadah dan berdo’a tidak boleh bermalas-malasan, karena semua yang kita inginkan tidak akan terwujud bila kita hanya berpangku tangan, kondisi yang ada pada saya yang sungguh-sungguh maka saya tidak pernah merasa minder, kurang percaya diri, rasa tidak puas dan sejenisnya tapi sebaliknya hal yang negatif pada saya justru tidak boleh dijadikan penyebab harus malas, merasa malu rendah diri dan sebagainya, adanya demikian ya sudah yang terpenting bagi kita ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
192
harus berusaha lebih baik lagi dan berdo’a agar Tuhan mempermudah jalanya, ya... arena semua saya pasrahkan pada Tuhan yang penting ada usaha yang sungguh-sungguh”. Secara umum sikap orang tua terhadap anaknya yang cacat ada tiga macam, pertama, sikap demokratis, yaitu sikap orang tua yang memperlakukan anaknya seperti anak yang lain, tidak membeda-bedakan karena dia cacat tetapi sebaliknya selalu menganggap sama, memberi kesempatan yang seluasluasnya pada anaknya untuk mengembangkan segala potensinya, selalu membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi anaknya, kedua, sikap over protection (perlindungan yang berlebihan). Di satu sisi dengan kecacatan yang dialami ana terkadang orang tua merasa kasihan dan sebagainya sehingga selalu melindungi anaknya secara berlebihan, anak tidak boleh main sendiri karena takut terjadi apa-apa, tidak boleh mengerjakan kebutuhan seharihari karena merasa takut anaknya nanti tidak mampu dan seterusnya. Ketiga sikap penolakan, sikap orang tua yang ketiga ini kebalikan dari yang kedua. Sikap penolakan berarti orang tua tidak menginginkan kehadiran anaknya yang cacat sehingga berdampak pada sikap tidak menerima keadaan anaknya yang cacat, sikap ini biasa dalam bentuk menyembunyikan agar tidak dilihat orang lain atau mengasingkan dengan mengirimkan anak ke tempat-tempat panti yang jauh agar tidak bersama dengan keluarga. Effek dari anak yang dengan perilaku orang tua ini tuna netra akan menjadi murung minder dan kuranag percaya diri (ZR, 24), “Saya merasa kurang dan sedikit tertekan, sejak kecil saya sudah tidak diperhatikan sering saya main sendiri jarang sekali aku diajak-ajak orang tuaku mungkin aku dianggap penghalang bagi kebahagiaan mereka aku anak membawa sial, yah, karena saya rasakan demikian setelah saya agak besar saya lalu dikirim ke panti rehabilitasi ini, saya kira orang-orang menganggap saya banyak kekurangan, memalukan akhirnya dengan kesendirianku membuat aku lebih nyaman, ya kalau mereka mau menerima aku ya aku akan berbaik sama mereka, nggak tahu yang aku tahu aku ini tuna netra yang tak mungkin bisa berebuat banyak seperti anak pada umumnya”. Sommers (1944) yang dikutipTien Supartinah (1994:25) telah mengadakan penelitian tentang sikap orang tua terhadap anaknya yang tuna netra, hasilnya sebagai berikut: 1) 8 orang tua jelas secara terbuka menolak, 2) 9 orang tua menolak anaknya Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
193
secara teratur, 3) 13 orang tua memberi perlindungan yang berlebih-lebihan (over protection), 4) 4 orang tua menganggap sama dengan anak awas, 5) 9 orang tua lainya menerima kecacatan dan berusaha memberikan hal yang terbaik bagi anaknya. Berdasrkan hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya sikap orang tua terhadap anaknya yang tuna netra sangat bervariasi hal ini tergantung pada tingkat pendidikan orang tua, agama atau keimanan, pemahaman terhadap anak berkelainan. Orang tua yang pendidikanya tinggi lebih memiliki sikap yang terbuka atau demokratis karena mereka lebih mengerti apa yang seharusnya ia lakukan demi kebaikan anaknya, bukan malah diasingkan atau terlalu dilindungi karena hal tersebut akan berakibat kurang baik untuk kedepanya, agama dan keyakinan juga sangat berpengaruh pada sikap penerimaan atas anaknya yang berkelainan atau berbeda dari yang lainya. Orang yang imanya kuat akan menyerahkan seluruh permasalahan hidup yang dialaminya termasuk karena kecacatan yang dialami anak, bahwa semua itu sudah digariskan oleh Allah Swt. Sehingga tidak ada rasa malu, menyalahkan yang lain, namun sebaliknya diterima semua yang terjadi padanya dengan penuh kesabaran dan lillahi ta’ala. Orang tua anak berkelainan yang memiliki wawasan yang cukup tentang anak berkelainan ini juga akan berpengaruh terhadap sikapnya dengan anak, pengetahuan yang dimiliki dapat memberikan kesadaran dan penerimaan yang baik karena apa yang terjadi pada anaknya itu bukan semata-mata suatu yang jelek tapi semua itu ada hikmah dibalinya, hal ini juga akan menambah sikap yang positif. b. Sikap Masyarakat Ketunanetraan umumnya dipandang sebagai kecacatan yang paling berat oleh masyarakat karena dianggap sebagai anak yang penuh dengan sifat-sifat negatif, seperti kesedihan, keputus-asaan, ketidak berdayaan, kelemahan dan ketergantungan kepada orang lain. Anggapan semacam itu akan menumbuhkan rasa penolakan, rasa kasihan dan merangsang untuk memperhatikan kepada masalah anak tuna netra. Anggapan seperti itu juga akan menimbulkan sikap penolakan terhadap tuna netra, sikap masyarakat yang demikian juga akan berakibat anak tuna netra merasa kurang percaya diri, menyendiri, dan isolasi sosial bahkan anggapan masyarakat yang negatif terhadap anak tuna netra juga bisa timbul karena rasa kasihan c. Sikap Tuna Rungu terhadap Kecacatan ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
194
Sikap anak terhadap kecacatan dapat berupa sikap menolak dan dapat sebaliknya, berupa penerimaan, sikap menolak berarti anak masih mengingkari kenyataan atas kecacatanya. Sikap menerima artinya anak mengakui secara realitas kecacatannya adalah sebagai bagian dari dirinya, dengan penerimaan segala konsekuensinya. (Tien Supartinah (1994:25) (ST, 15),“Saya merasa sedikit kurang dibanding orang normal pada umumnya tapi sedikit demi sedikit rasa itu berkurang karena bertambahnya kemampuan pikir saya bertambah pula penyadaran tentang diri saya bahwa apa yang ada pada diri saya seperti ini tidak akan bertambah baik bila saya tidak berusaha untuk memperbaikinya dan apapun kondisi pada saya tidak terjadi dengan sendirinya tapi ada tujuan-tujuan lain yang saya tidak tahu. Karena itu membuat diri saya harus menjalani hidup ini dengan senang hati dan selalu berusaha untuk hidup yang lebih layak sebagai orang tuna rungu, …. Tidak ya tidak boleh menyalahkan Tuhan kan tadi sudah saya sampaikan bahwa semua itu diciptakan tentunya ada tujuan yang tersembunyi yang saya tidak tahu makanya dibalik kejadian pada diri saya mungkin tersimpan hikmah yang besar buat saya”. 3. Sikap Penerimaan Diri Kaum Tuna Rungu di Kudus Hasil wawancara dan observasi dengan informan tuna rungu di Kudus menunjukkan sikap penerimaan diri kaum tuna rungu tergantung pada penyadaran dirinya dan kepasrahannya terhadap Tuhan sebagai bagian dari keberagamaanya. Tuna rungu yang memiliki pemahaman agama yang baik akan berpengaruh terhadap penyadaran dirinya dengan mengembalikan semua problem yang dihadapi bermuara pada kekuasaan Tuhan dan sebaliknya tuna rungu yang pemahaman agamanya kurang akan menyebabkan penyadaran dirinya juga kurang karena kurang adanya pasrah diri terhadap Tuhan. (RS, 19) “Pada prinsipnya saya dapat menerima kondisi saya secara apa adanya saya hanya berusaha untuk berjuang meningkatkan kemampuan saya agar saya menjadi lebih baik, saya sadar bahwa setiap manusia sudah punya garis sendiri-sendiri tidak perlu menyesali atau membandingkan dengan yang lain aku ya begini ini dengan segala apa adanya. Pernah saat masih kecil aku merasa sangat tertekan, ingin seperti orang lain bisa membaca, bisa menulis, namun sekarang saya sudah gak mikirin yang tidak-tidak yang terpenting buat saya berusaha untuk memperbaiki diri sesuai kemampuanku”. (LB) Tabel 1 Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
195
Data sikap penerimaan diri kaum tuna rungu Observer
: SL,47
Observee
: Peneliti di SDLB Purwosari Kudus
NO
Variabel
Hasil
Rubrik Observasi
Ket
Penyadaran d a n kepasrahan diri
Memiliki penyadaran terhadap agama yang baik
Observer punya kepasrahan diri pada Tuhan yang kuat saat dikonfirmasi kebetulan observer tidak dikaruniai keturunan sudah menikah 30 tahunan dia memberikan jawaban yang santai kalau diberi amanat oleh Allah ya akan dirawat dan dididik dengan baik dan kalau tidak dipercaya ya wallohu a’lam bisshowab hanya tuhan yang tahu, saya hanya bisa menerima qodlo’ qodarnya.
7 agustus 2010
Keberagamaan memiliki hubungan yang kuat dengan sikap penerimaan diri bagi kaum tuna rungu. Keberagamaan sebagai manifestasi keimanan, ketakwaan, kepasrahan, ketaatan, dan pengamalan terhadap suatu agama yang dipeluk, maka semua entitas dalam struktur keagamaan yang berupa dimensi-dimensi yang saling berkaitan dan berhubungan itu akan tampak dalam perilaku beragamanya. Semua itu akan bisa dilihat dari aspek perilaku beragama. Kekuatan iman, aktivitas ibadah, penghayatan, pengamalan, dan pengetahuan agama seseorang akan menentukan tingkat keberagamaannya. Artinya bahwa semakin kuat iman seseorang akan berdampak pada tingginya ketaatan dan aktivitas ibadahnya, demikian pula akan bertambah baik akhlak atau konsekuensi dari keduanya (iman dan ibadah) adalah amal soleh. Dengan demikia keterkaitan antar dimensi keberagamaan di atas akan melahirkan penyadaran dan kepasrahan yang mendalam pada diri seseorang.
ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
196
Kuatnya jalinan antar dimensi keberagamaan tersebut, maka dalam konteks penerimaan kaum tuna rungu terhadap kelainan yang disandang akan memiliki kontribusi yang besar. Dengan kata lain dengan ketunarunguan yang disandang akan dihadapi dengan wajar dan baik manakala kaum tuna rungu tersebut memiliki pondasi agama yang kuat. Tuna rungu yang memiliki lima dimensi dalam beragama sebagaimana dijelaskan di atas yang kuat akan berdampak pada penerimaan dirinya yang baik karena penerimaan diri seseorang akibat kelainan itu tidak mungkin muncul dengan sendirinya bila tidak dibimbing dengan penyadaran agama. Hanya agamalah yang dapat menjadi obat penyejuk hati serta penawar dari kegamangan dan kegelisahan akibat ketunarunguan yang disandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasiruddin Razaq (1973:31) yang menjelaskan bahwa manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk kebahagiaan dunia dan akhirat yang berasal dari yang mutlak pula yaitu Allah Swt. Untuk itu Tuhan yang bersifat pengasih dan penyayang memberikan suatu anugrah pada manusia yang bernama agama Keberagamaan seseorang merupakan manifestasi dari keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan yang diekspresikan melalui aktivitas peribadatan kepada-Nya dengan tulus ikhlas dalam rangka mencapai derajat yang tinggi. Keberagamaan akan melahirkan perilaku beragama yang berupa prestasi ibadah sebagai aktualisasi diri manusia beragama. Beragama yang benar dan presatasi ibadah yang baik akan berpengaruh pada sikap penerimaan diri juga baik karena hal itu akan melahirkan sikap pasrah dan penyadaran pada dirinya. E. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan analisis data yang dilakukan maka peneliti dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pola keberagamaan kaum tuna rungu merupakan kondisi yang sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek dan dimensi beragama yaitu dimensi kepercayaan, pengamalan ibadah (ritual agama), akhlak, penghayatan, dan pengetahuan agama. 2. Keberagamaan kaum tuna rungu di Kudus sangat bervariasi tergantung dari seberapa jauh pengetahuan agama yang dimiliki, pemahaman agamanya, keberagamaan dalam lingkungan keluarga, keberagamaan lingkungan masyarakat sekitar (masyarakat), dan sikap tuna rungu Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
197
sendiri terhadap kecacatannya. 3. Kaum tuna rungu di Kudus secara umum ada yang memiliki keberagamaan yang kuat (baik) dan ada yang (biasa-biasa), dan ada yang sangat kurang (abangan) 4. Pola keberagamaan kaum tuna rungu memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan psikologis dan sosialnya. Tuna rungu yang keberagamaanya baik (kuat) karena didukung oleh pengetahuan dan pemahaman agamnya yang juga kuat akan memiliki dampak perkembangan psikologis yang ringan atau tidak begitu berat. Sebaliknya tuna rungu yang pengetahuan dan pemahaman agamnya kurang akan berdampak besar terhadap perkembangan psikologis dan sosial yang berat. 5. Pola keberagamaan kaum tuna rungu akan berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan sosial serta penerimaan diri. 6. Perkembangan psikologis tuna rungu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; sikap keluarga, sikap masyarakat terhadap tuna rungu, kapan terjadinya kecacatan, serta sikap tuna rungu sendiri terhadap kecacatan yang dialaminya. 7.
Pola keberagamaan tuna rungu yang baik akan melahirkan penghayatan agama yang baik selanjutnya akan tumbuh penyadaran diri dan kepasrahan diri yang totalitas kepada Yang Maha Kuasa sehingga akan melahirkan sikap dan penerimaan diri yang baik
Saran-Saran 1. Kepada kaum tuna rungu 1) Tingkatkan pengetahuan dan pemahaman agama lebih dalam dengan banyak belajar tentang ilmu-ilmu agama dan atau belajar dari para guru agama atau kiyai. 2) Tingkatkan kesadaran dan penyadaran agama dengan melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya yang dilandasi iman yang kuat dan amal yang saleh 3) Tingkatkan kepasrahan diri bahwa semua kejadian di alam ini adalah terjadi karena kehendak Allah swt. sehingga akan menurunkan tekanan mental akibat problem kecacatan yang dialami. 4) Terimalah ketuna runguan
yang dialami dengan tulus dan ikhlas
ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
198
dan janganlah dirasakan sebagai beban yang berkepanjangan dengan mengimani (percaya) bahwa apa yang diterima itu sebagai ujian atau cobaan dari Allah swt. 2. Kepada Orang Tua Tuna Rungu 1) Bimbinglah anak yang tuna rungu dengan baik dan demokratis jangan membedakan dengan anak yang lain baik memperlakukan secara overprotective (beerlebihan) atau rejection (penolakan) 2) Berikan kesempatan mereka untuk berkembang secara baik dan demokratis dengan memberikan motivasi dan simpati kepadanya. 3) Didiklah dan arahkan dengan penanaman agama secara mendalam kepada anaknya yang tuna rungu agar menjadi agamis, taat dan berakhlak karimah. 4) Berikan motivasi secukupnya agar dapat berkembang kepribadiannya secara baik. 3. Kepada lingkungan masyarakat yang memiliki warga tuna rungu 1) Pahami dan berikan kesempatan kepada tuna rungu agar dapat berpartisipasi secara baik dalam masyarakat tanpa adanya tekanan psikologis yang berat. 2) Terimalah kaum tuna rungu sebagai anggota masyarakat secara utuh tanpa dibedakan dari yang lain sehingga akan menimbulkan rasa nyaman dan percaya diri.
Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_
199
DAFTAR PUSTAKA Anastasia Widdjadjantin, Ortopedagogik Tuna Rungu, Jakarta: Depdikbud, 1999. Abu Bakar HM. Perubahan Sosial Keagamaan Di Kalangan Profesional Muda yang tergabung dalam PELDNU, Surabaya, dalam Qualita Ahsana Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Keislaman. Surabaya IAIN Sunan Ampel 2000. Abdul Azis, Identifikasi Kehidupan Keberagamaan Umat Islam di Kabupaten Kapuas Pulau Pisau dan Gunung Mas Kalimantan Tengah, Jurnal Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, Himmah, Vol.V, edisi, MeiAgustus, 2004, STAIN Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dudley, James R, Research Methods hot-Social Work : Becoming Consumero and Producer Qf Research, Boston: Pearson, 2005. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai pustaka, 1995. Goetz, Judith P.,and Le Comte, Margaret.. Ethnography and Qualitative Design Edi.tcational Research, New.Iesey : Academic Press. Inc. 1984. Guba, Egon G, dart Lincoln, Naturalistic Inquiry, California: Sage Publications, Inc. J.B Chitambar, Introductory Rural Sociologi. New Delli: Wiley Eastern Private imited, 1973. Nasruddin Razak, Dinul Islam, Bandung: PT Al-maarif, 1973. Rahmaniar, Perkembangan Agama-Agama di kota Palangkaraya, (tt). STAIN Palangkaraya. 2000. Shepperd. Michael. Appraissing and Using Social Research: an Introduction for Socialwork and Health Professionals. London and Philadelphia. Jesstet Kingsley Publisher. 2004. Suparlan dalam Abdul Rahman, dkk, Identifikasi kehidupan Keberagaman Umat Islam di Kab.Kapuas Kalteng. Jurnal ilmiah. Himmah Vol. V. edisi 1 Mei-agustus 2004-STAIN palangkaraya.
ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
200
Sulthon Meningkatkan Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran IPA melalui Model Mastery Learning untuk Siswa Madrasah_