TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Megawati Atiyatunnajah NIM. E0006172
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Oleh Megawati Atiyatunnajah NIM. E0006172
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
Maret 2010
Dosen Pembimbing Utama
Dosen Co Pembimbing
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H, M. Hum
Ismunarno, S.H., M. Hum
NIP. 195702031985032001
NIP. 196604281990031001
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)
Oleh Megawati Atiyatunnajah NIM. E0006172 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
:……………………………
Tanggal
:……………………………
DEWAN PENGUJI 1. ………………………………………(
Siti Warsini, S.H., M.H. Ketua
)
2. ………………………………………(
Ismunarno, S.H., M.Hum Sekretaris
)
3. ………………………………………(Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum) Anggota
Mengetahui : DEKAN FAKULTAS HUKUM
(Moh. Jamin, S.H., M.Hum) NIP. 196109301986011001
iii
PERNYATAAN
Nama
: Megawati Atiyatunnajah
NIM
: E0006172
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Maret 2010 yang membuat pernyataan
Megawati Atiyatunnajah NIM. E0006172
iv
MOTTO
Berusaha untuk selalu mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT dan beribadah kepada-Nya.
Berusaha
untuk
membahagiakan
orang tua
dengan
bekal ilmu
pengetahuan.
Tiada kesulitan tanpa adanya pengorbanan dan berharap untuk selalu mendapatkan kemudahan dalam menjalani hidup.
Selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang aku inginkan dan tak ada kata untuk menyerah.
Talk less do more, sedikit bicara banyak bekerja.
Selalu berdoa untuk mengawali suatu kegiatan.
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya tulis ini Mega persembahkan kepada:
Allah SWT Yang menciptakan aku untuk berkelana di bumi ini, Engkaulah Maha Pengasih dan Penyayang, Kepada-Mu lah aku selalu memohon kemudahan-Mu
Nabi Muhammad SAW Nabi yang menjadi tauladan bagi seluruh umat Islam, memberikan contoh-contoh yang baik terhadap kita sebagai manusia
Kedua Orang tuaku Haris Mulyadi S.Pd, dan Sri Lestari Aku kagum menjadi anak mereka dan aku selalu bersyukur memiliki mereka
Adik-adikku tersayang Dewi Kartika Sari dan Alvien Okta Rajasa Yang selalu menemaniku dalam mengerjakan karya tulis ini
Kekasihku tercinta Afandi kau selalu memberikan motivasi ke aku, disaat ku lengah
Sahabatku tersayang Nidia Ulfa yang selalu menemaniku selama empat tahun ini
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
REKAN-REKAN MAHASISWA 2006, “VIVA JUSTICIA” ALMAMATERKU
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr,Wb Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan manusia dan memberikan ilmu kepadanya. Maha bijaksana Allah SWT yang telah memilih manusia
dari seluruh makhluk ciptaan-Nya
untuk menjalankan fungsi
kekhalifahan, sebagai wujud ibadah dalam rangka menciptakan kemakmuran di bumi dan menggapai kebahagiaan abadi di akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang mewariskan Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman yang baik dan abadi bagi seluruh umat manusia serta memerikan jaminan sukses bagi siapapun yang konsisten melaksanakan nilai-nilainya. Penulisan hukum ini diajukan untuk melengkapi tugas serta memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selain hal tersebut diharapan akan dapat menambah wawasan atau pengetahuan bagi siapa saja yang membaca karya ilmiah ini. Penulisan hukum ini terwujud karena bantuan dari berbagai pihak baik berupa bimbingan, dukungan moral dan spiritual serta petunjuk yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Oleh karena itu, sudah merupakan suatu kewajiban jika penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Moch. Syamsulhadi Sp. KJ selaku rektor Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum yang telah memberikan ilmu dan kesempatan bagi penulis sehingga penulis dapat menerapkan ilmu yang diperolehnya serta dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum ini.
vii
3. Bapak Prasetyo Hadi P, S.H., M.S, selaku Pembantu Dekan I yang telah memberikan izin kepada penulis untuk dapat melakukan penelitian berkaitan dengan penulisan hukum ini. 4. Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik yang selalu mengarahkan dan memberi motivasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan selama masa studi penulis di Fakultas Hukum. 5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum, selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar, ramah, dan pengertian memberikan dorongan, masukan, dan kemudahan dalam menyusun skripsi ini sehingga skripsi ini berjalan lancar serta memberikan izin untuk menempuh ujian skripsi sekaligus menguji penulisan hukum ini. 6. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Pidana sekaligus sebagai pembimbing skripsi yang bersedia memberikan bimbingan kepada penulis dari awal sampai akhir penulisan ini selesai. 7. Bapak A. Zamroni, S.H., M.Hum, selaku Hakim Anggota Pengadilan Negeri Klaten yang meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan keterangan dan petunjuk mengenai penelitian yang dilakukan penulis. 8. Bapak Jaka Purwanto, S.H., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Klaten yang membantu dalam proses pengambilan data perkara pidana untuk menunjang kelancaran dalam penyelesaian penelitian hukum ini. 9. Bapak Jaka M. Nurhasan, S.H., selaku Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Klaten yang membantu memperlancar, memberikan pengertian serta petunjuk-petunjuk dalam penulis melakukan penelitian ini 10. Bapak Sri Yadi S.H., selaku Panitera Pengadilan Negeri Klaten I B beserta seluruh pegawai Pengadilan Negeri Klaten yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian hukum di Pengadilan Negeri Klaten. 11. Bapak Haris Mulyadi S.Pd., dan Ibu Sri Lestari selaku orang tua penulis yang sangat disayangi dan dicintai. Tanpa kalian berdua, aku tidak tercipta
viii
di dunia ini, dan aku bangga memiliki kalian berdua. Terima kasih telah memelihara aku dari kecil hingga dewasa ini, dan ku berusaha untuk selalu menjadi yang terbaik dan kuserahkan persembahan berupa ilmu pengetahuan kepada Papa dan Mama. 12. Adik-adikku yang kusayang, Dewi Kartika Sari dan Alvien Okta Rajasa, kalian berdua adalah malaikat-malaikat kecilku yang lucu-lucu, yang selalu memberikan keceriaan dalam kehidupan penulis. Rajinlah belajar dan jangan pernah kecewakan Papa dan Mama. Aku sayang Dewi dan Alvien. 13. Kekasihku tercinta, Afandi, yang selalu menemaniku di saat suka dan duka serta selalu memberikan motivasi kepadaku disaat ku lengah dan putus asa dalam penulisan hukum ini. Semoga kau cinta abadiku dan selalu setia menjadi pendampingku sampai akhir hayat nanti. Makasih sayangku! Aku selalu mencintaimu. 14. Keluarga Besar Haji Atmo Diharjo, terima kasih atas doa dan dukungannya. Aku bangga dengan kalian semua, terutama Mbah Kakung dan Mbah Putri, jaga kesehatan ya Mbah! 15. Sahabat sejatiku, Nidia Ulfa yang selalu menemaniku sepanjang perjalanan mencapai gelar Sarjana Hukum, dan saling memotivasi dalam penulisan hukum ini. Terima kasih karena telah menjadi sahabatku yang terbaik selama kuliah di Fakultas Hukum. Kapan lagi kita akan berangkat kuliah berdua lagi?semangat ya sahabatku, perjalanan kita masih panjang! 16. Teman-teman penulis angkatan 2006 yang sangat disayangi, Lupik, Irma, Martha, Tandi, Ratna, Aditya Vol, Terima kasih atas segala dukungannya, jaga pertemanan kita juga, jangan sampai terpecahkan. Semangat buat kalian semua ya! Raihlah cita-cita setinggi mungkin. 17. Erika, Tami, Rendy yang selalu memberikan inspirasi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini. Terima kasih atas segala masukan yang telah kalian berikan.
ix
18. Teman-temanku penjual Pulsa, Eta, Vera, Titin, dan Danisa, terima kasih atas segala bantuannya dalam memperlancar komunikasi penulis dengan kiriman pulsanya. Penulis mendoakan semoga lancar bisnis pulsanya. 19. Sodaraku Jana Kumara, makasih ya atas segala informasi yang telah kau berikan. Semoga bermanfaat buat penulis. Jangan Malas-malas ya di kampus! 20. Buat Mas Wawan bagian PPH, makasih ya telah membantu kelancaran penulis dalam menginput judul penulisan hukum sampai dengan pendaftaran pendadaran. Kata-kata yang selalu kuingat dari Mas Wawan “Sukses ya, dik”! 21. Komputer dan Laptop penulis, yang selalu membantu dalam fasilitas pengetikan penulisan hukum ini akan kurawat kalian dengan baik, meskipun terkadang eror. 22. Mio ku AD 6043 QL dan Jazz ku AD 8968 NB, yang selalu membawaku pulang pergi dari rumah ke kampus hingga selamat dalam perjalanan serta melindungi ku dari panas dan hujan. 23. Mas dan Mbak Fotocopy, terima kasih atas bantuan penjilidan dan fotocopynya selama penulis menyusun penulisan hukum. 24. Warnet di kota Delanggu, terima kasih karena telah menyediakan fasilitas jasa warnet dan hotspot dalam mempermudah mencari bahan-bahan penulisan hukum. 25. Sahabatku dari Universitas Brawijaya Malang, Ayik, terima kasih ya menemaniku satu tahun selama kuterdampar di Brawijaya dulu. 26. Dosen-dosen Fakultas Hukum yang telah mendidik penulis hingga mencapai gelar kesarjanaan. 27. Teman-teman seperjungan di Fakultas Hukum angkatan 2006, teruskan perjuangan kalian,jadilah aparat penegak hukum yang handal, viva justisia kami bangga disini! Beserta teman-temanku KMM di Pengadilan Negeri Klaten Nia, Yaya, Adi, Farid, Caca, Gita , terima kasih atas support nya.
x
28. Bapak satpam dan bapak penjaga sepeda motor, terima kasih atas pengawasan
kendaraan-kendaraan
mahasiswa
selama
mengikuti
perkuliahan di Fakultas Hukum. 29. Ibu kantin dan warung-warung di belakang kampus, Mbak Wied Ceker, Bagor, Kansas, Mbak Pur, steak Mas Mbong yang telah menyediakan jasa penjualan makanan buat penulis ketika penulis merasa perut tidak terisi atau lapar. 30. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu-persatu dalam penulisan hukum ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Adapun penulisan hukum ini dibuat dengan harapan bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kebaikan bersama pada masa yang akan datang.
Wassalamualaikum, Wr, Wb.
Surakarta, Maret 2010 Penulis
Megawati Atiyatunnajah
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
Surat Permohonan Ijin Pra Penelitian
Lampiran II
Surat Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran III
Surat Keterangan Penelitian Riset
Lampiran IV
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Lampiran V
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan Anak Lampiran VI
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948
Lampiran VII
Putusan Hakim Nomor 144/Pid. B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana orang dalam lingkup rumah tangga
xii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL………………………………………………………………i HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii HALAMAN PERNYATAAN……………………………………………………iv HALAMAN MOTTO……………………………………………………………..v HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………………….vi KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..xii DAFTAR ISI…………………………………………………………………….xiii ABSTRAK………...……………………………………………………………xvii ABSTRACT………………………………………………………………...….xviii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………...…….1 B. Perumusan Masalah………………………………………………...4 C. Tujuan Penelitian…………………………………………..……….4 D. Manfaat Penelitian………………………………………………….5 E. Metodologi Penelitian…………………………………..…….…….6 F. Sistematika Penulisan Hukum…….………………………………12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
xiii
1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana (Strafbaar feit) a. Pengertian Strafbaar feit……………………………….……14 b. Tujuan Pidana……………………………………………...…16 c. Unsur Tindak Pidana…………………………...…………….17 d. Penggolongan Tindak Pidana………………………...………19 2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga…...…..……….20 b. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………....21 3. Tinjauan Umum Penelantaran Orang Dalam lingkup Rumah Tangga a. Pengertian Penelantaran Orang……..………..………………22 b. Orang-Orang
Yang
Termasuk
dalam
Lingkup
Rumah
Tangga………………………………………………………..22 4. Tinjauan Umum Tentang Putusan a. Pengertian Putusan………....……………..…………………..24 b. Jenis-Jenis Putusan Hakim………………………..…………..25 5. Tinjauan
Umum
Peraturan
Perundang-undangan
tentang
Penelantaran Orang a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………………..…28 b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak……………………………………………………………29 c. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana………...………………30
xiv
d. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia...…………………….30 B. Kerangka Pemikiran………………………………………………..33
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana
Penelantaran Orang dalam Lingkup Rumah Tangga
dalam Perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten…………………..35 1. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten……………….39 2. Aspek-Aspek yang Kerap Kurang Diperhatikan Hakim Secara Kasuistik Dalam Membuat Putusan Pada Praktik Peradilan..…44 3. Jenis Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga………………………...……………………………….45 4. Pentingnya Interprestasi Oleh Hakim Pidana dalam Menjatuhkan Putusan…..…………………………………………………….46 B. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang Tindak Penelantaran Orang Dalam Rumah Tangga dikaitkan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini…………………………………………………………...…….47 1. Ketentuan-Ketentuan Dalam KUHP Yang Berkaitan Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga……………………………..47 2. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak…...…………………..50
xv
3. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga…………………...……………………………….……53 4. Ketentuan dalam Hak Asasi Manusia……………………...…..56 C. Putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum……………..…..57
BAB IV
PENUTUP A. Kesimpulan………………………………….…….....…………62 B. Saran……………………………………………………………65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xvi
ABSTRAK MEGAWATI ATIYATUNNAJAH, E 0006172. TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia atau belum sesuai dan mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan dilihat dari jenis penelitian termasuk penelitian hukum yuridis normatif. Lokasi Penelitian bertempat di Pengadilan Negeri Klaten. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber data diperoleh melalui studi pustaka, perundangundangan, putusan Hakim Pengadilan Negeri Klaten, bahan-bahan non-hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, ekonomi, sosiologi, Filsafat, Kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal nonhukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang berupa dokumentasi dan data sekunder yang merupakan penelitian kepustakaan, sedangkan untuk menganalisis data, penulis menggunakan model analisis data dengan logika deduktif. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa, tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga merupakan salah satu bentuk dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat dilakukan oleh suami terhadap anggota keluarganya, terutama istri dan anaknya dengan cara tidak memberikan nafkah lahir dan batin terhadap istrinya yang masih dalam ikatan perkawinan yang sah serta kepada pelakunya dapat dikenai sanksi pidana. Majelis Hakim dalam memutus perkara penelantaran isteri dan anak dengan beberapa pertimbangan berdasarkan keyakinan hakim, peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau sosiologis masyarakatnya. Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah memperoleh masukan yang dapat digunakan untuk almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang telah ada, bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum pada khususnya terutama hukum pidana, mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis dalam menulis penulisan hukum ini, sedangkan manfaat praktris penelitian ini adalah hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. Kata kunci : Penelantaran Orang, Rumah Tangga, Lingkup.
xvii
ABSTRACT
MEGAWATI ATIYATUNNAJAH, E 0006172. THE PUNISHMENT ACT PEOPLE NEGLECTED ON THE DOMESTIC HOUSE (WITH MATER NUMBER 144/PID.B/2009/KLATEN of COURT). Law of Faculty Sebelas Maret University. Law of Writing. This thorough purposes to know basic the opinion judge in interrupt the case punishment act people neglected on the domestic house with matter number 144/Pid.B/2009/Klaten court, to know the judge decision number 144/Pid.B/2009/Klaten of court about the punishment act people neglected appropriate with the law regulation be occur in Indonesia or no appropriate and to know the judge decision number 144/Pid.B/2009/Klaten of court about the punishment act people neglected on the domestic house in order to fill justice and the law certainty. This thorough is the detail examination and looking of kinds examination is normative yuridice. The location thorough in Klaten of court. The data kind is secondary. The data source is statute library, act, the judge decision in the Klaten of court, the law material are the book about politic, economyc, sociology, philosophy, culture or journalist of law have relevantion with thorough topic. The data technic used primary data consist of the documentation and secondary data of library approach, and then data analysis, the writer used analysis with deductive logic. The based of thorough it have crop so the punishment act people neglected on the domestic house can doing to husband and their family, especially their wife and childs with manner nothing give necessities of live the born and inner to their wife still union mating legal and duer can struck punishment. The judge council interrupt neglected case wife and child with more legal opinion be based on judge conviction, the law regulation occur or their society. The thorough advantage as theory is obtain input can used to alumnus expand substances study in there, advantages to development the science style general and the law science direction especially such as punishment law, penetrate theories have the curiter result in write the law process of writing, while advantages practical this thorough is crop thorough caused by can give abstract distinct to writer as candidate of law scholar and then stock at the instance or law upholder, although to law practice always struggle of law in the country in order to upright Password key : the people neglected, domestic, range.
xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sebagai arahan pembentukan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) berangkat dari asas bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Pandangan tersebut didasarkan pada Pasal 28 UUD 1945, beserta perubahannya. Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dalam lingkup rumah tangga “rasa aman, bebas dari segala bentuk kekerasan dan tidak adanya diskriminasi” akan lahir dari rumah tangga yang utuh dan rukun. Dengan demikian keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajiban harus didasari dengan agama. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan dan ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
xix
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kalyanamitra tahun 1996 tercatat 37 kasus KDRT dan menurut Biro Pusat Stastitik tercatat jumlah kasus KDRT pada tahun 1998 terdapat 101 kasus, tahun 1999 terdapat 113 kasus dan tahun 2000 terdapat 259 kasus. Di luar catatan ini terdapat cukup banyak kasus yang tidak dilaporkan oleh para korban, karena dianggap hal ini merupakan urusan dalam rumah tangga (Iskandar Hoesin, 2003:16). Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan di dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum. Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh salah satu anggota rumah tangga termasuk tindakan yang dilarang, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.. Menurut Natabangsa Surbakti (2006) dengan menetapkan sebagai tindak pidana aduan, maka hukum pidana
tetap
dipertahankan
sebagai
sarana
terakhir
dalam
upaya
penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (Guse Prayudi, 2009:121). Dalam kenyataannya meskipun kasus KDRT banyak terjadi, tetapi sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, oleh karena itu diperlukan pengaturan tentang tindak
xx
pidana kekerasan dalam rumah tangga secara tersendiri karena mempunyai kekhasan, walaupun secara umum di dalam KUHP telah diatur mengenai penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan. Pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau tersubordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga. Pembaharuan hukum tersebut diperlukan karena undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Mendasarkan pada hal tersebut maka perlunya dibentuk UU PKDRT. Dimana Undang-Undang ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya antara lain KUHP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan konvensi mengenai Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Guse Prayudi, 2007:17). UU PKDRT selain mengatur ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP. Selain itu, UU PKDRT juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, atau pembimbing rohani untuk melindungi korban agar mereka lebih sensitive dan reponsif terhadap kepentingan rumah tanngga yang sejak awal diarahkan pada keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Tindak pidana penelantaran orang dalam rumah tangga yaitu isteri dan anak, dan orang yang menjadi tanggung jawab (ikut dalam rumah tangga tersebut) diatur di dalam UU No.23 tahun 2004 yang mana ancaman hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan kekerasan atau penganiayaan dalam rumah tangga. Hal ini mengakibatkan banyaknya suami yang tidak mengindahkan ancaman hukuman yang tertera dalam pasal 49 UU No 23 tahun
xxi
2004, sehingga mereka dapat memperlakukan penelantaran terhadap isterinya dengan sewenang-wenang atas kekuasaannya sebagai kepala keluarga. Dengan melihat latar belakang permasalahan tersebut, penulis membahas masalah di atas dalam penulisan hukum yang disusun dengan judul “TINDAK PIDANA PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA (STUDI PUTUSAN NO.144/PID.B/2009/PN KLATEN)”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk membahas masalah tersebut lebih lanjut dengan menitik beratkan pada rumusan masalah : 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dalam perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten? 2. Apakah putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia dan ketidaksesuaian dalam hal apa saja? 3. Bagaimanakah sebaiknya putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian, pastilah ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan dari penelitian dalam penulisan penelitian ini adalah :
xxii
1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten. b. Untuk mengetahui putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia atau belum sesuai. c. Untuk mengetahui
putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk mengetahui pengetahuan yang lengkap dan jelas untuk menyusun penulisan hukum, sebagai persyaratan dalam mencapai penyusunan penulisan hukum di bidang Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret. b. Untuk meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis dapatkan khususnya dalam bidang Hukum Pidana.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Untuk memperoleh masukan yang dapat digunakan untuk almamater dalam mengembangkan bahan-bahan perkuliahan yang telah ada. b. Bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum pada khususnya terutama hukum pidana. c. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis dalam menulis penulisan hukum ini.
2. Manfaat Praktis xxiii
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas bagi penulis sebagai calon sarjana hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau institusi penegak hukum, maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, seperti anggota keluarga, para pekerja rumah tangga, masyarakat serta terutama bagi aparat penegak hukum agar lebih memperhatikan segala bentuk kejahatan yang terjadi dalam lingkup yang sangat penting.
E. Metodologi Penelitian Mengadakan suatu penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode, karena ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan. Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasanpembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan. Oleh karena itu, metode ilmiah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu (C.A. van Peursen, 1993:16). Penelitian hukum tentu menggunakan bahasa hukum yang dipahami oleh para sejawat sekeahlian (intersubjektif) dan setiap pengemban hukum. Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos-meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi: penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu (C.A. van Peursen, 1993:16).
xxiv
Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai ilmiah yang dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait. Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni (Johnny Ibrahim, 2008:25-26) : 1. Peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan yang berisi sistem dan ilmunya. 2. Metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut. Peneliti akan mencoba mengetahui hasil temuannya yang tidak terbatas untuk menyampaikan informasi bahwa hal itu ada, tetapi lebih jauh lagi harus mampu menjawab pertanyaan mengapa hal itu ada sebagaimana adanya. Jadi, bukan hanya ingin mengungkapkan fakta-fakta, tetapi juga alasan atau dasar yang memunculkan fakta-fakta tersebut (Lorens Bagus, 1996:635-636). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode meliputi : 1. Jenis Penelitian Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang obyeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, 2008:295). 2. Sifat Penelitian Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat diskriptif. Penelitian diskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah: “Suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan , gejala-gejala lainnya.
xxv
Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusun teori baru”(Soerjono Soekanto, 1986:10). Dalam pelaksanaan penelitian deskriptif ini, analisis data tidak keluar dari lingkup sample. Bersifat Deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain (Bambang Sunggono,1997:35). Dalam penelitian ini, penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga di Pengadilan Negeri Klaten (Studi Putusan Nomor 144/Pidana Biasa/2009/Pengadilan Negeri Klaten). 3. Pendekatan Penelitian Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lima sentral penelitian. Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif. Berbagai pendekatan (approach) terhadap masalah yang ingin dicari pemecahan dan jalan keluarnya akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan tersendiri (Johnny Ibrahim, 2008:295). 4. Tempat dan Waktu Penelitian a. Tempat Penelitian Tempat Penelitian yang akan digunakan adalah di Pengadilan Negeri Klaten. b. Waktu Penelitian
xxvi
Penelitian dilaksanakan setelah pengurusan perijinan selesai. Dengan pertimbangan perijinan menyangkut instansi di luar kampus tentunya akan mempunyai prosedur yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang berbeda dalam kampus. Penelitian dijadwalkan enam bulan dari bulan September 2009 sampai dengan bulan Maret 2010. 5. Jenis Data Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Data Sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara tidak langsung, tetapi melalui penelitian kepustakaan. 6. Sumber Data Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti hukum juga dapat menggunakan bahan-bahan non-hukum apabila dipandang perlu. Bahan-bahan non-hukum dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Politik, ekonomi, sosiologi, Filsafat, Kebudayaan ataupun laporan-laporan penelitian non-hukum dan jurnal-jurnal non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan nonhukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti. Relevan atau tidaknya bahan-bahan non-hukum bergantung dari
xxvii
kajian peneliti terhadap bahan-bahan itu (Peter Mahmud Marzuki,2009:141145). 7. Teknik Pengumpulan Data Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan dikasifikasi dengan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas. Untuk tujuan ini sering digunakan sistem kartu. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterprestasikan hukum yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2008:296). Dalam mencari dan mengumpulkan data-data untuk berhasilnya penulisan hukum, penulis menggunakan : a. Data Primer Adapun data yang diperoleh melalui : 1) Dokumentasi Mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, rapat, legger, agenda dan sebagainya. b. Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan atau library research guna memperoleh landasan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan teori. Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, buku-buku yang berhadapan dengan materi kemudian diselaraskan dengan bahan dari kepustakaan sebagai bahan acuan dari bahan referensi penelitian. Studi kepustakaan ini dilakukan dengan mempelajari dan mengidentifikasikan literaturexxviii
literatur yang berupa buku-buku, perauturan-peraturan, dokumendokumen, artikel-artikel serta hasil penelitian yang dilakukan para ahli. 8. Teknik Analisis Data Analisis data adalah langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah (Johnny Ibrahim, 2008:297). Tentu juga menyangkut kegiatan penalaran ilmu terhadap bahan-bahan hukum yang dianalisis, baik menggunakan penalaran induksi, deduksi, maupun abduksi. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Sidharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Prof. Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik kesimpulan. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Dalam
penelitian
ini,
data
yang
diperoleh
dengan
cara
menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan
perundang-undangan,
putusan-putusan xxix
pengadilan
beserta
dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab studi putusan dalam tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga.
F. Sistematika Penelitian Hukum Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, menganalisa serta menjabarkan isi dari penulisan hukum ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum dengan membagi dalam bab-bab, sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah,
perumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini, penulis akan menguraikan tentang tinjauan umum tentang tindak pidana (Strafbaar feit), tinjauan umum kekerasan dalam rumah tangga, tinjauan umum penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, tinjauan umum tentang putusan hakim, dan tinjauan
umum
peraturan
perundang-undangan
tentang
penelantaran orang. BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang disertai dengan pembahasan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam memutus kasus tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, apakah putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak
xxx
pidana penelantaran orang sudah sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku di Indonesia, dan sebaiknya putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. BAB IV
: PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap permasalahan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xxxi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana (Strafbaar feit) a). Pengertian Strafbaar feit Hukum pidana adalah sebagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : -
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi (Sic) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapai melanggar larangan tersebut.
-
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
-
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Andi Hamzah, 2008:4-5). Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana (Andi Hamzah, 2008:27).
Pidana
merupakan
karakteristik
hukum
pidana
yang
membedakannya dengan hukum perdata. Dalam perkara pidana, pertanyaan timbul seberapa jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum (pidana). xxxii
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Jika seorang anak dimasukkan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya yang buruk (H.B. Vos, 1950:9). Pembentuk undang-undang menggunakan perkatan “strafbaar feit” untuk
menyebutkan apa yang dikenal dengan “tindak pidana” di dalam
suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kata “feit” sendiri dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” dan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” (P.A.F Lamintang, 1997 : 181). Pengertian menurut definisi pendeknya J.E.JONKERS pada hakekatnya menyatakan untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditentukan undang-undang. Menurut Moeljatno istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan perbuatan pidana, perbuatan itu adalah keadaan yang dibuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan (Sudarto, 1990:35). Sedangkan dalam definisi panjang menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungan jawab yang merupakan unsur yang telah dirumuskan secara tegas di dalam setiap delik, atau unsur-unsur yang tersembunyi secara diamdiam dianggap ada (Bambang Poernomo, 1982 : 91). Jika disimpulkan, perbuatan pidana menunjuk pada sifat perbuatan yang dilarang dengan diancam pidana. Adapun istilah perbuatan pidana disamping istilah ilmiah dapat pula dikatakan bagi masyarakat sehari-hari telah menggunakan kata perbuatan, seperti perbuatan jahat, perbuatan dosa, perbuatan tidak senonoh, dan tidak sebaliknya mempergunakan kata peristiwa atau tidak jahat, tidak dosa, tidak senonoh, dan sebagainya. Simon
xxxiii
memberikan perumusan delict atau strafbaar feit adalah “delict atau tindak pidana merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum, perbuatan mana yang dilakukan oleh seorang yang dapat dipersalahkan kepada si pembuatnya”(Abdul Kadir, 1984 : 37). Menurut beliau di dalam beberapa rumusan delik dapat kita jumpai suatu persyaratan tertentu berupa keadaan-keadaan tertentu yang harus timbul setelah sesuatu keadaan semacam itu dilakukan orang, di mana timbulnya keadaan-keadaan semacam itu bersifat menentukan agar tindakan orang tersebut dapat sebagai tindakan yang dihukum. Timbulnya keadaan-keadaan seperti itu merupakan suatu
syarat
yang
juga
disebut
“bijkomende
voorwaarden
van
strafbaarheid” yang bukan “unsur yang sebenarnya” dari suatu delik. b). Tujuan Pidana Dalam literatur berbahasa Inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restraint, dan Restribution, sedangkan satu D adalah Deterrence yang terdiri atas individual
deterrence
dan
general
deterrence.
Reformasi
berarti
memperbaiki atau merehabitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Restribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Yang dipandang tujuan yang berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk (Andi Hamzah, 2008:29) :
xxxiv
1. Penjeraan (detterent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. 2. Perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat. 3. Perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Menurut Lamintang (1984 : 11) pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk membuat orang jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sedangkan menurut Sahetapy dalam Lamintang (1988 : 42) pemidanaan sebaiknya bertujuan pembebasan. Dijelaskan selanjutnya, bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari lama pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu (Guse Prayudi, 2009:112). c). Unsur Tindak Pidana Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku, yang penting tidak hanya bagian-bagian dari perbuatan itu seperti yang diuraikan dalam uraian delik, akan tetapi juga harus diperhatikan syarat-syarat yang muncul dari bagian umum kitab undang-undang atau asas hukum yang umumnya diterima. Syarat ini dinamakan unsur tindak pidana. Perkataan unsur di sini dipakai dalam arti sempit. Dahulu dan juga sekarang ada beberapa sarjana hukum yang menggunakan perkataan unsur untuk bagianbagian dari tindak pidana dan juga mempergunakannya untuk syarat lain untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dan si pelaku. Supaya keadaannya lebih jelas, sebaiknya diadakan perbedaan antara bagian dan unsur. Bagian umum kitab undang-undang mengajukan sebagai syarat untuk dapat dipidananya seorang pelaku yaitu pertama bahwa perbuatan itu
xxxv
dapat
dipertanggung
dipertanggungjawabkan
jawabkan pada
si
padanya pelaku
perbuatan atau
si
itu
pelaku
dapat mampu
bertanggungjawab (pasal 37 Sr.; KUHP Pasal 44). Kedua bahwa perbuatan itu dapat disesalkan pada si pelaku (penyesalan dari perbuatan). Ketiga, bahwa untuk dapat dipidana diperlukan syarat, bahwa perbuatan itu dilakukan secara melawan hukum. Setiap tindak pidana yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada umumnya dapat dijabarkan dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Yang dimaksud unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, dan yang termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur obyektif adalah unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari pelaku itu harus dilakukan. Unsur obyektif ini tidak terdapat dalam uraian delik setiap tindak pidana tersendiri, dan tidak usah dicantumkan dalam tuntutan. Umumnya diterima bahwa syarat ini sudah dipenuhi selama tidak ternyata kebalikannya. Pembuat undang-undang dan karena itu juga hakim, dalam hal ini bertolak dari apa yang ditanggapnya sebagai peristiwa yang sering terjadi yaitu : I.
Ia menduga, bahwa umumnya manusia tidak menderita penyakit jiwa, jadi mampu bertanggung jawab.
II.
Ia menganggap sebagai suatu peristiwa biasa, bahwa si pelaku tindak pidana juga bersalah, jadi kesalahan itu dapat disesalkan padanya atau ada kesalahan dalam arti dapat disesalkan.
III.
Seseorang yang melakukan tindak pidana sekaligus melakukan sesuatu
yang
dapat
disebutkan
Bemmelen, 1979 : 98-100)
xxxvi
melawan
hukum.(J.M.Van
d). Penggolongan Tindak Pidana Penggolongan jenis-jenis tindak pidana di dalam KUHP, terdiri atas
kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan untuk kejahatan di
dalam Buku II KUHP dan pelanggaran di dalam Buku III KUHP. Undangundang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, tetapi tidak memberikan artian yang jelas. Para pembentuk KUHP berusaha untuk menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian yang disebut rechtsdelicten dan wetsdelicten. Sesuai dengan penjelasannya di dalam MVT (Memorie Van Toelichtig) pembagian di atas tersebut didasarkan pada sebuah asas, yaitu : 1) Merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakantindakan yang mengandung suatu “onrecht” hingga orang pada umumnya memandang pelaku-pelakunya pantas untuk di hukum, walaupun tindakan tersebut oleh undang-undang tidak dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang di dalam undang-undang. 2) Tetapi terdapat sejumlah tindakan-tindakan di mana orang pada umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, hingga pelakunya dapat dihukum setelah tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang dilarang di dalam undang-undang. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada penyimpangannya
dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran
mempunyai derajat yang sama. (Bambang Poernomo, 1982 : 96-97). 2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga a). Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga
xxxvii
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Vide Pasal 1 angka 1 UU PKDRT). Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga” (vide, pasal 1 ayat 1 ). Di Negara-negara yang mempunyai Undang-undang khusus kekerasan domestik (dalam rumah tangga) atau kekerasan terhadap perempuan, kejahatan ini dapat dibawa ke pengadilan dan mereka yang menjadi korban difasilitasi dalam proses hukum khusus dalam menuntut hak-hak dan kompensasi yang dibutuhkannya. Dalam usulan rancangan undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disusun oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, pengertian kekerasan dalam rumah tangga dirumuskan sebagai : “Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual dan atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara
xxxviii
ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:108).” b). Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3) Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan 4) Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Guse Prayudi, SH, 2009:37).
3. Tinjauan Umum Penelantaran Orang Dalam lingkup Rumah Tangga a). Pengertian Penelantaran Orang
xxxix
Secara umum yang dimaksud dengan Penelantaran Orang adalah perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Ps 5 jo Ps 9). Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki kebergantungan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:68). Kurangnya menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran. Dalam tindak pidana penelantaran orang ini berupa penelantaran terhadap istri dan anak yang mana tidak memberikan nafkah lahir dan batin sebagaimana kewajiban seorang suami terhadap isterinya dalam ikatan perkawinan. Dalam proses pembentukan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga muncul wacana untuk mengkostruksikan “dalam lingkup rumah tangga” termasuk di dalamnya adalah pasangan atau mantan pasangan di dalam maupun di luar perkawinan yakni seperti tersebut dalam Usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari Komnas perempuan. b). Orang-orang yang termasuk dalam Lingkup Rumah Tangga Mengingat Undang-undang tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
xl
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, adalah : a)
Suami isteri atau mantan suami isteri;
b)
Orang tua dan anak-anak;
c)
Orang-orang yang mempunyai hubungan darah;
d)
Orang yang bekerja membantu kehidupan rumah tangga orangorang lain yang menetap di sebuah rumah tangga;
e)
Orang yang hidup bersama dengan korban atau mereka yang masih atau pernah tinggal bersama (yang dimaksud orang yang hidup bersama adalah pasangan hidup bersama atau beberapa orang tinggal bersama dalam satu rumah untuk jangka waktu tertentu). Yang dimaksud dengan isteri atau suami atau mantan isteri/suami
adalah meliputi isteri atau suami atau mantan isteri/suami de jure yakni seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, serta meliputi isteri atau suami atau mantan isteri/suami de facto yaitu, seseorang yang telah melakukan perkawinan sesuai dengan agama atau adat istiadat pihak-pihak yang berkaitan, walaupun perkawinan itu tidak didaftarkan atau tidak dapat didaftarkan di bawah undang-undang tertulis (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:110). Pelaku adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Korban adalah orang yang mengalami tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sangat bermacam-macam jenisnya, dan dalam penelitian ini akan membahas masalah penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, yaitu isteri dan anak, yang mana dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Dalam UU No. 23 Tahun 2004, terutama pasal 49 diatur ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana penelantaran orang lain dalam lingkup rumah tangga yaitu “ Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
xli
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Rumah tangga menunjuk suatu kelompok yang hidup dalam satu rumah dan satu dapur. Kelompok orang tersebut biasanya terdiri atas ayah/ibu/anak, dan terkadang ditambah dengan seorang pembantu rumah tangga. Rumah tangga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Terciptanya rumah tangga yang bahagia, kekal dan rukun merupakan dambaan semua orang, namun pada tataran aplikatif tidak mudah mewujudkannya. Hal ini terbukti karena sampai saat ini masih banyak ditemui kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan tersebut bisa terjadi terhadap fisik, psikis dan dalam hubungan seksual. 4. Tinjauan Umum Tentang Putusan a). Pengertian Putusan Pengertian “putusan hakim” menurut Leden Marpaung, S.H. bahwa: “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian dimuat dalam buku “Peristilahan Hukum dalam Praktek” yang dikeluarkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia 1985 halaman 221. Rumusan di atas terasa kurang tepat selanjutnya jika dibaca pada buku tersebut, ternyata putusan dan keputusan dicampuradukkan. Ada juga yang mengartikan putusan (vonis) sebagai vonis tetap (difinitief) (Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea). Rumusanrumusan yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemahan ahli bahasa yang bukan ahli hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-
xlii
istilah. Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari ahli vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di siding pengadilan. Ada juga yang disebut : interlocutoir yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan sela dan preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan pendahuluan/ keputusan persiapan, serta keputusan provisionele yang diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara (Leden Marpaung, 1995:406). Selain itu juga putusan pengadilan menurut Bab 1 Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan berlandaskan pada visi teoretik dan praktik peradilan maka “putusan hakim” itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara (Lilik Mulyadi, 2007:121). b). Jenis-jenis Putusan Hakim Dengan mengacu pada batasan sebagaimana di atas maka dapatlah lebih mendetail, mendalam, dan terperinci disebutkan bahwa “putusan hakim” pada hakikatnya merupakan : 1) Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum. Dalam konteks ini putusan diucapkan hakim karena jabatannya (ambthalve) yang diberikan oleh undang-undang untuk mengadili perkara pidana tersebut sebagaimana diintrodusir ketentuan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Selanjutnya agar putusan hakim
xliii
tersebut menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum hukum maka haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004) tentang Kekuasaan Kehakiman. 2) Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya. Hakikat “proses” dan “prosedural” ini penting eksistensinya. Hanya terhadap keputusan hakim yang sudah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya saja mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sah. Pengertian proses disini substansialnya tendensi pada cara prosesuil hakim menangani perkara pidana yang bersangkutan mulai tahapan : siding dinyatakan “dibuka” dan “terbuka” untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (Pasal 153 ayat (3) KUHAP); pemeriksaan identitas terdakwa (Pasal 155 ayat (1) KUHAP); pembacaan dakwaan (Pasal 155 ayat (2) KUHAP). Sedangkan aspek prosedural tendensi pada elemen administratif, yakni mulai tahap prosedural administrasi pelimpahan perkara, pengagendaan, penulisan dan pemberian nomor perkara, pendaftaran surat khusus di kepaniteraan jika terdakwa didampingi oleh penasehat hukum dan sampai penetapan majelis hakim/hakim tunggal yang akan menyidangkan perkara itu. 3) Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum. Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya mempunyai tiga sifat : i. Pemidanaan /verordeling Apabila hakim/pengadilan berpendapat bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan menurut hukum terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). ii. Putusan bebas (vrijspraak/acquittal)
xliv
Jika hakim berpendapat bahwa bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). iii.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum/onslag van alle rechtsvervolging. Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
4) Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis. Pada praktek peradilan maka putusan hakim haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk “tertulis” ini implisit tercermin dari ketentuan Pasal 200 KUHAP bahwa : “Surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan.” 5) Putusan hakim tersebut dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara pidana. Apabila hakim telah mengucapkan putusan, secara formal perkara pidana tersebut pada tingkat pengadilan negeri telah selesai. Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah akan menerima putusan, menolak putusan untuk melakukan upaya hukum banding/kasasi, atau bahkan akan melakukan grasi. Selain itu juga, dapat diperinci lebih intens oleh karena putusan hakim merupakan “mahkota” dan “puncak” dari perkara pidana maka diharapkan pada putusan hakim ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan, diri sendiri, ilmu hukum, hati nurani hakim, dan masyarakat pada umumnya serta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Lilik Mulyadi, 2007:121-126).
xlv
5. Tinjauan Umum Peraturan Perundang-undangan tentang Penelantaran Orang a). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga (Vide Pasal 1 angka 2, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yang berbunyi : (1) “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut”. Sanksi dan ancaman hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49 adalah :
xlvi
“ Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.
Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)”.
b). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik
xlvii
dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. c). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai sanksi dan ancaman pidana bagi orang yang melakukan tindak pidana penelantaran orang terutama di dalam Bab XV tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong, yang berbunyi : Pasal 304 : “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pasal 305 : Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri darinya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. d). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Kewajiban dasar
manusia adalah seperangkat
kewajiban
yang apabila
tidak
dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia
xlviii
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999, dikatakan bahwa Seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama (Vide Pasal 51 ayat 1 UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999). Di dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, berisi bahwa : (1)
Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah
xlix
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya. Sedangkan di dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 berbunyi : (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.
B. Kerangka Pemikiran Untuk mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat dilihat dari kerangka pemikiran sebagai berikut : PUTUSAN No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten
l
PERTIMBANGAN HAKIM
KESESUAIAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
1. fakta hukum 2.hal-hal memberatkan&merin gankan terdakwa 3.dasar hukum KDRT 4. interprestasi hakim 5. jenis tindak pidana
1. UU No 23 Tahun 2004 2. UU No 23 Tahun 2002 3. KUHP 4. DUHAM
Bagan kerangka pemikiran putusan no.144/pid. b/2009/PN Klaten.
Tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga diatur dalam UU khusus yang mengaturnya yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan dasar tersebut dapat digunakan sebagai pijakan yang kuat bagi para penegak hukum dalam melakukan penindakan dengan tegas praktek-praktek kekerasan dalam rumah tangga dan salah satunya adalah penelantaran istri dan anak. Tetapi sampai saat sekarang, baik kekerasan fisik maupun penelantaran istri masih ada di masyarakat sekitar. Jadi apa yang sebenarnya terjadi sehingga penelantaran terhadap istri dan anak, yang sudah tegas dan nyata telah dikualifikasikan sebagai suatu
li
tindak pidana dalam UU No. 23 tahun 2004, yang masih sangat sulit untuk dapat dihilangkan, apalagi untuk dapat dihilangkan ditekan seminim mungkin perkembangannya sangatlah sulit. Dalam peraturan perundangan kita telah ditegaskan dalam UUD 1945 “bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum”, sehingga siapapun juga dan apapun bentuk perbuatannya yang telah melanggar atau melakukan tindak pidana, maka harus ditindak sesuai dengan norma hukum yang ada dan berlaku di Indonesia. Apabila kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita khususnya ini masih berlangsung dalam kehidupan hukum di Negara kita, maka akan menjadikan citra buruk bagi para penegak hukum dan perkembangan hukum di Negara kita pada masa datang. Sehingga akan memberikan kesan baik oleh bangsa lain maupun dari warga Negara Indonesia sendiri, bahwa penegak hukum di Indonesia ternyata tidak mampu untuk menegakkan hukum secara konsekuen dan kurang memperhatikan masalah-masalah hukum yang ada terutama yang menjunjung harkat dan martabat wanita. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana Penelantaran Orang dalam Lingkup Rumah Tangga dalam Perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten. Perihal putusan hakim atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dalam menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim dapat dikonklusikan bahwa disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheids) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian dapat berupa : menerima putusan, melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah “mahkota” dan “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki,
lii
hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007:119). Karena begitu kompleksitasnya dimensi dan substansi putusan hakim, maka tidaklah mudah untuk memberikan rumusan aktual, memadai, dan sempurna terhadap pengertian putusan hakim. Putusan pengadilan dapat diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Bab I Pasal I Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam kasus tindak pidana penelantaran orang dalam rumah tangga khususnya istri dan anak yang diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten, maka Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana yang dilakukan oleh tersangka atau pelaku tindak pidana penelantaran istri dan anaknya sebagai berikut: Kasus Posisi : Pada tanggal 8 juni 2008 terdakwa LUKAS ERI SENO AJI menikah dengan ENDARWATI
CHICHILIA dengan
kutipan
ERLINA Akta
AJENG
Perkawinan
No:
248/CS/2008 tanggal 9 Juni 2008 dan dalam pernikahan itu didasari rasa cinta serta dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama ANGELIA BERTA ERINA. Setelah resepsi pernikahan berakhir, terdakwa tidak tinggal bersama dengan isterinya, tetapi terdakwa tinggal di rumah orang tuanya sendiri di Dk. Sumberagung Rt.01/10, Ds. Jombor, Kec. Ceper, Kab. Klaten. Sedangkan isteri terdakwa dan anaknya tinggal bersama dengan orang tuanya di Dk. Karangwuni Wetan Rt01/Rw02, Ds. Dlimas, Kec. Ceper, Kab. Klaten. Sejak saat resepsi pernikahan itu, terdakwa meninggalkan isterinya dan tidak kembali lagi sampai isterinya melahirkan anaknya hingga berumur 20 hari, yang mengakibatkan kondisi bayi mengalami gangguan pencernaan, mual-mual saat minum air susu ibunya serta kondisi ibunya juga mengalami tekanan batin karena
liii
memikirkan terdakwa yang tidak pernah menjemputnya. Hingga anaknya diopname di RSIA Aisyiyah Klaten selama 3 hari, tetapi terdakwa juga tidak pernah datang untuk menengok kondisi anaknya yang sedang sakit tersebut bahkan terdakwa tidak peduli sama sekali terhadap anak kandungnya tersebut, maka terdakwa selaku suami seharusnya wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada isteri dan anaknya, namun hal tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa, akibat perbuatan terdakwa tersebut beban hidup korban menjadi berat dan batin korban menjadi tersiksa.
Kemudian bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten sebagai berikut:
MENGADILI
Menyatakan Terdakwa Lukas Eri Seno Aji tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya” ; 1. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan; 2. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 3. Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan; 4. Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam perkara ini sebesar Rp 2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah); Demikianlah diputuskan pada Hari Jumat tanggal 19 Juni 2009 dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri oleh kami : SANTUN
liv
SIMAMORA, SH, MH Selaku Hakim Ketua, A. ZAMRONI, SH, M.Hum dan LUCAS PRAKOSO, SH, MH masing-masing selaku Hakim anggota, putusan mana diucapkan pada hari SENIN tanggal 29 JUNI 2009 dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua dan Hakim-hakim Anggota tersebut dengan didampingi oleh SUTOTO, SH, Panitera Pengganti dan dihadiri oleh YUNAIDA KISWANDARI.M, SH Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Putusan yang telah dipaparkan di atas telah memiliki kekuatan hukum in kracht, yang mana Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara tindak pidana penelantaran orang yakni anak dan istri, dengan mengingat dan memperhatikan Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004, Undang-undang No. 4 Tahun 2004, Undang-undang No. 8 Tahun 1986 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perkara ini. Bagi setiap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terutama Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004, adapun ancaman pidananya sebagai berikut : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Dalam perkara penelantaran orang dalam rumah tangga yang terjadi di daerah Klaten ini, mempertimbangkan alasan-alasan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap terdakwa, yang mana dasar pertimbangan hakim ini disebut juga dengan Legal Reasoning. Berpikir yuridis adalah suatu cara berpikir tertentu, yakni terpola dalam konteks sistem hukum positif dan kenyataan kemasyarakatan, untuk memelihara stabilitas dan predikbilitas demi menjamin ketertiban, dan kepastian hukum, untuk menyelesaikan kasus konkret secara impersial, objektif, adil dan manusiawi. Proses penyelesaian
lv
kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban dan khusus untuk perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini dalam penjatuhan putusannya menggunakan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Dengan melalui optik perumusan KUHAP, pandangan doktrina, aspek teoritik dan praktik peradilan maka pada asasnya putusan hakim/pengadilan dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten diklasifikasikan dalam jenis putusan akhir. Putusan akhir ini dalam praktik lazim disebut dengan istilah “putusan” atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat materiil. Pada hakikatnya putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 ayat (3) dan (8), Pasal 197, serta Pasal 199 KUHAP). Menurut DR. H. Muchsin, SH (2007) yang menyatakan bahwa : -
Putusan Hakim sebagai penentu terakhir dalam perkara pidana, terkait dengan
masalah
kekerasan
dalam
rumah
tangga
ini
harus
mempertimbangkan berbagai hal secara matang sebelum memutus perkara ini. Putusan Hakim selain memberi efek jera kepada pelaku juga harus mempertimbangkan kondisi keluarga yang ditinggalkannya khususnya anak dan jangan sampai anak terlantar dan menjadi korban, sehingga berat ringannya hukuman yang diberikan kepada pelaku harus benar-benar telah mempertimbangkan berbagai hal khususnya nasib keluarga yang ditinggalkan. -
Kepada para Hakim yang memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga, harus benar-benar telah memikirkan dan mempertimbangkan secara matang, tidak hanya pertimbangan secara yuridis tetapi secara sosial dan mempertimbangkan kepentingan/nasib korban kekerasan khususnya tentang masa depan anak (Guse Prayudi, 119-120).
1. Pertimbangan-Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan dengan perkara No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten.
lvi
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa LUKAS ERI SENO AJI, mempertimbangkan dengan beberapa pertimbangan berdasarkan keyakinan hakim, Peraturan Perundangundangan yang berlaku, atau sosiologis masyarakatnya yaitu : -
Majelis akan mempertimbangkan apakah berdasarkan fakta-fakta hukum mengenai surat kesepakatan bersama antara terdakwa dengan saksi korban, yang menyatakan bahwa terdakwa masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan, terdakwa dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
-
Menimbang bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
-
Menimbang bahwa terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternative, sehingga akan dipertimbangkan dengan memilih salah satu dakwaan yang dianggap paling erat hubungannya dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, yaitu dakwaan pertama Pasal 49 huruf (a) Jo pasal 9 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
-
Menimbang, bahwa majelis akan mempertimbangkan pasal dakwaan kedua tersebut karena yang menjadi korban dalam dakwaan ini adalah isteri dan anak, bukan anak saja sebagaimana muatan dalam dakwaan pertama dan dihubungkan dengan surat kesepakatan bersama yang senantiasa dijadikan oleh terdakwa dan keluarga terdakwa untuk membenarkan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
-
Menimbang, adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam pasal dakwaan Pasal 49 huruf (a) Jo Pasal 9 (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga antara lain : 1. Unsur setiap orang ;
lvii
2. Unsur menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga ; 3. Unsur wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dan terhadap unsur-unsur tersebut majelis akan mempertimbangkannya sebagai berikut : Ad.1. Unsur setiap orang, unsur ini dimaksudkan subjek hukum baik orang perseorangan atau badan hukum, yang mampu melakukan perbuatan hukum dan mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan tersebut dan diduga telah melakukan tindak pidana ; -
Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap di persidangan pada awal persidangan perkara terdakwa sebelum dakwaan oleh Jaksa Penuntut umum dibacakan Majelis Hakim telah menanyakan kepada terdakwa tentang identitas terdakwa sebagaimana terdapat di dalam dakwaan Jaksa penuntut Umum identitas mana diakui terdakwa sebagai identitasnya yaitu terdakwa seorang laki-laki bernama Lukas Eri Seno Aji itu menunjukkan terdakwa adalah orang perseorangan sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban dan telah berusia/berumur 22 tahun (dua puluh dua) tahun dan telah kawin artinya terdakwa sudah dewasa dalam pengertian mampu melakukan perbuatan hukum dan selama dalam pemeriksaan perkara terdakwa tidak terbukti bahwa terdakwa sedang dalam pengampuan atau perwalian karena cacat mental, oleh karena itu terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan ;
-
Menimbang, bahwa selain itu tidak ada orang lain yang diajukan sebagai terdakwa dalam perkara ini selain terdakwa sendiri, dengan pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat unsur setiap orang dalam dakwan ini telah terbukti ;
Ad. 2. Unsur dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya ;
lviii
-Menimbang, bahwa dalam penjelasan Pasal 13 huruf (c) Undang-undang No.
23
Tahun
2002
tentang
Perlindungan
anak,
perbuatan
menelantarkan adalah termasuk tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, mengurus anak, isteri/suami
sebagaimana
mestinya
dalam
kehidupan
rumah
tangga/keluarga (ibu, bapak dan anak), karena bersifat larangan maka perbuatan tersebut mencakup kesengajaan ataupun kealpaan, sedangkan pengertian lingkup rumah tangga meliputi : a. Suami, isteri, dan anak b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga dan/atau ; c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 2 Undang-undang no.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) ; -Menimbang, bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) ; -Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan pada tanggal 8 juni 2008 telah terjadi perkawinan antara terdakwa dengan saksi korban Chichilia Erlina Ajeng Indarwati yang dilaksanakan di Gereja Santa Theresia Jombor, kec. Ceper, kab, Klaten dnegan kutipan akta perkawinan
No.248/CS/2008
tanggal 9
Juni 2008,
kemudian
dilanjutkan dengan acara resepsi perkawinan di rumah orang tua saksi korban Chichilia Erlina Ajeng Indarwati dan dari perkawinan tersebut pada tanggal 24 Agustus 2008 telah dilahirkan seorang anak perempuan bernama Angelia Bertha Erina atau dua bulan setelah dilangsungkannya
lix
perkawinan antara terdakwa dengan saksi korban dengan demikian perbuatan dalam perkara ini termasuk dalam lingkup rumah tangga ; -Menimbang, bahwa pada acara resepsi perkawinan sedang berlangsung, dimana terdakwa dan saksi korban duduk dihadapan para tamu, terdakwa pergi meninggalkan acara resepsi diajak kakak terdakwa karena orang tua terdakwa sedang sakit dan opname di rumah sakit, selesai menjenguk orang tua di rumah sakit terdakwa tidak kembali ke resepsi perkawinannya yang berlangsung di rumah mertua terdakwa dan sejak itu tidak pernah lagi kembali untuk hidup bersama dengan isteri terdakwa ; -Menimbang, bahwa alasan terdakwa dan keluarga terdakwa untuk tidak kembali ke rumah mertua atau hidup bersama dengan isterinya karena sudah ada surat kesepakatan bersama yang memuat hal-hal mengingat bahwa pihak I (pertama/terdakwa) dan pihak II (kedua/saksi korban) masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan, maka setelah pihak I (pertama/terdakwa)
dan
pihak
kedua
(kedua/saksi
korban)
melangsungkan pernikahan, membuat kesepakatan bersama sebagai berikut : a. Pihak I (pertama/terdakwa) tetap tinggal bersama dengan orang tua Pihak I (pertama/terdakwa), dan semua kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab orang tua Pihak I (pertama/terdakwa). b. Pihak II (kedua/saksi korban) berikut anak yang akan dilahirkan, tetap tinggal bersama orang tua Pihak II (kedua/saksi korban), dan semua kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab orang tua pihak II (kedua/saksi korban). -Menimbang, bahwa membaca dan meneliti isi surat kesepakatan bersama tersebut, maka yang mendasari adalah karena terdakwa dan saksi korban masih kuliah dan belum mempunyai penghasilan artinya lebih ke pertimbangan ekonomi. Oleh karena itu, perbuatan tersebut (tidak tinggal dalam satu rumah dan bantuan ekonomi) diketahui dan dikehendaki oleh terdakwa karena terdakwa menandatangani surat itu
lx
dan terdakwa tidak kembali lagi ke rumah mertua untuk tinggal bersama dengan isteri dan anaknya, melainkan terdakwa sama sekali tidak pernah menjenguk saksi korban sejak dilangsungkannya perkawinan sampai perkara ini diperiksa di Pengadilan ; -Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap sewaktu saksi korban melahirkan anak perempuan bernama Angelica Bertha Erina, yaitu anak terdakwa dan saksi korban terdakwa sebagai suami dan orang tua tidak datang melihat atau menjenguk, sewaktu anak terdakwa dan saksi korban, yaitu Angelica Bertha Erina menderita sakit dan opname di rumah sakit Islam terdakwa tidak datang menjenguk ; -Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis berkesimpulan unsur wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut tidak dilaksanakan oleh terdakwa ; -Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur dari pasal dakwaan kedua sehingga Majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga ; -Menimbang, bahwa dari kenyataan yang diperoleh selama di persidangan dalam perkara ini, Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat melepaskan terdakwa dari pertanggung jawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa harus dipertanggung jawabkan kepadanya ; -Hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan saksi Chihcilia Erlina Ajeng merasa beban hidupnya menjadi berat dan batin korban menjadi
lxi
tersiksa karena semua kebutuhan lahir batin korban dan anaknya ditanggung sendiri oleh korban dan kedua orang tua korban. Hal yang meringankan : Terdakwa mengakui kesalahannya, terdakwa masih muda dan dapat diharapkan di masa yang akan datang memperbaiki sikap dan perilakunya, bahwa perbuatan terdakwa dapat dihindari atau tidak terjadi apabila orang tua terdakwa dan orang tua saksi korban berlaku tegas, bukan melindungi atas perbuatan yang tercela. 2. Aspek-Aspek yang Kerap Kurang Diperhatikan Hakim Secara Kasuistik Dalam Membuat Putusan Pada Praktik Peradilan. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Dengan demikian jika anasir “negative” tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim tersebut hendaknya lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap/sifat “kepuasan” moral jika putusan yang dibuat itu dapat menjadi tolak ukur untuk kasus yang sama. Apabila diperinci secara lebih mendalam, intens, dan detail, aspek-aspek yang kerap muncul dan kurang diperhatikan hakim dalam membuat putusan pada praktik peradilan, lazimnya dapat berupa :
Kelalaian, kekuranghati-hatian, dan kekeliruan/kekhilafan hakim dalam lingkup hukum acara pidana yang tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum, tetapi hanya sekedar “diperbaiki” oleh pengadilan tinggi/ Mahkamah Agung, bagi seorang hakim yang baik. Selain itu terdapat putusan yudex facti dalam menjatuhkan pidana dirasakan tidak adil dan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan terdakwa dan sebagainya (Lilik Mulyadi, 2007:137-138).
3. Jenis Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam Lingkup Rumah Tangga. Menurut Pasal 5 huruf d Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilarang setiap orang melakukan penelantaran rumah tangga, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PKDRT, bahwa :
lxii
a.
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut.
b.
Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di alam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Guse Prayudi, 2009:85).
KUHP sendiri memiliki pasal yang sepadan/sejenis dengan penelantaran rumah tangga yakni diatur dalam BAB XV. Tentang meninggalkan orang yang memerlukan pertolongan, yakni Pasal 304 yang menyatakan : “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Yang dihukum menurut pasal ini ialah orang yang sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib member kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian, misalnya orang tua membiarkan anaknya dalam keadaan sengsara, demikian pun wali terhadap anak peliharaannya (R.Soesilo, 1976:193). 4. Pentingnya Interprestasi Oleh Hakim Pidana dalam Menjatuhkan Putusan. Di Negara Indonesia, Pasal 27 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman mengatakan, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti hakim harus menemukan hukum. Dunia modern tidak lagi dapat menerima secara ketat apa yang dikatakan oleh Montesquieu, bahwa lxiii
hakim hanya menjadi corong undang-undang (qui pronounce les paroles de la Loi) yang mana tidak dapat diterima secara absolute (Andi Hamzah, 2008:7778). Menurut pendapat Andi Hamzah, “hakim menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat” khususnya bagi hukum pidana tidak dapat dipakai untuk menciptakan hukum melalui analogi, tetapi melalui interprestasi, hakim Indonesia dapat menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jenis-jenis interprestasi Undang-undang Pidana (Andi Hamzah, 2008:81-85) : 1. Interprestasi atau penafsiran gramatika, artinya interprestasi ini didasarkan kepada kata-kata undang-undang. 2. Interprestasi atau penafsiran sistematis atau dogmatis, interprestasi ini didasarkan kepada hubungan secara umum suatu aturan pidana. 3. Interprestasi atau penafsiran historis, artinya penafsiran ini didasarkan kepada maksud pembuat undang-undang ketika diciptakan. 4. Interprestasi atau penafsiran teleologis, artinya penafsiran ini mengenai tujuan undang-undang. 5. Interprestasi atau penafsiran ekstensif yaitu penafsiran luas.
B.Putusan
Hakim
No.
144/Pid.B/2009/PN
Klaten
tentang
Tindak
Penelantaran Orang Dalam Rumah Tangga dikaitkan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini. Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya terbatas pada penggunaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 (tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) tetapi juga ketentuan-ketentuan dalam KUHP dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 (tentang Perlindungan Anak). Oleh karena itu aturan-aturan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga berikut ini juga lxiv
akan memaparkan ketiga aturan hukum tersebut dan ditambah dengan DUHAM. 1. Ketentuan-Ketentuan Dalam KUHP Yang Berkaitan Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Seperti disebutkan dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya sudah banyak terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan (pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004). Meskipun pada waktu itu tidak ada kebijakan formulasi terhadap kekerasan dalam rumah tangga, tidaklah berarti perbuatan kekerasan tersebut dapat lolos dari jerat hukum. Sebelum UU PKDRT diundangkan, yaitu tanggal 22 September 2004, aturan-aturan hukum yang dapat dipergunakan oleh aparat penegak hukum untuk memidana pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (G. Widiartana, 2009:33). Adapun pasal-pasal mengenai tindak pidana dalam KUHP yang dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah pasal-pasal yang menentukan adanya syarat khusus untuk dapat terjadinya tindak pidana, seperti adanya hubungan ayah anak atau ibu anak, maupun pasal-pasal yang tidak menentukan adanya syarat-syarat khusus tersebut, misalnya pembunuhan dan penganiayaan. Bertitik tolak dari pendapat Barda Nawawi Arief yang mengatakan bahwa masalah sentral kebijakan hukum pidana terletak pada masalah penentuan atau perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya (Barda Nawawi Arief, 2005:29), maka telaah terhadap ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga juga akan berpijak pada kedua hal itu seperti diuraikan sebagai berikut :
lxv
a. Dalam hal kriminalisasi, ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dapat terapkan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga terutama tindak pidana penelantaran isteri dan anak dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : 1) Ketentuan dalam KUHP yang secara tegas mengharuskan adanya hubungan keluarga antara pelaku dan korban untuk terjadinya tindak pidana. Ketentuan tersebut adalah : -
Pasal 304 mengenai perbuatan menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu (Moeljatno, 2003:113).
2) Ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang tidak menyebut perlu adanya hubungan keluarga antara pelaku dan korban untuk terjadinya tindak pidana, tetapi dapat diterapkan untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya berisi rumusan tentang tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang terhadap orang lain tanpa ada syarat hubungan tertentu antara pelaku dengan korbannya untuk terjadinya tindak pidana, tetapi ketentuan-ketentuan dimaksud dapat juga diterapkan untuk kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, Bab XVI tentang Penghinaan, Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang, Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, dan Bab XX tentang Penganiayaan (G. Widiartana, 2009:35). b. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya antara lain ditentukan sebagai berikut : -
Jenis sanksi pidana yang diancamkan berupa pidana pokok (berupa pidana mati, penjara seumur hidup, penjara untuk sementara waktu atau pidana denda) maupun pidana tambahan (berupa pencabutan hak-hak
tertentu,
perampasan
pengumuman keputusan hakim).
lxvi
barang-barang
tertentu,
dan
-
Sanksi pidana pokok dapat berdiri sendiri. Artinya dapat dijatuhkan tanpa didampingi sanksi pidana tambahan. Sedangkan sanksi pidana itu dapat berdiri sendiri. Artinya harus dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi pidana pokoknya
-
Berat ringannya sanksi pidana yang diancamkan juga bersifat variatif. Hal tersebut antara lain tergantung pada jenis dan kualifikasi tindak pidananya.
-
Sanksi pidana pokok diancamkan baik secara tunggal maupun alternative. Sedangkan untuk pidana tambahan dikumulatifkan dengan pidana pokoknya.
-
Untuk tindak pidana tertentu adanya hubungan keluarga antara pelaku dengan korbannya dijadikan sebagai alasan pemberat pemidanaan.
Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusannya kurang memperhatikan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana) terutama Bab XV tentang tindak pidana penelantaran orang khususnya Pasal 304 dan Pasal 305 KUHP, yang berbunyi : Pasal 304 : “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Pasal 305 : “Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemu, atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri darinya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
lxvii
Sehingga dalam putusan Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten, menurut saya tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena Majelis Hakim tidak menggunakan unsur dalam keadaan sengsara, yang mana tidak menjelaskan bahwa isteri dari terdakwa Lukas Eri Seno Aji setelah menjadi korban penelantaran, dalam keadaan sengsara. Selain itu juga Majelis Hakim tidak mempertimbangkan adanya unsur penelantaran terhadap anaknya. Sedangkan dalam KUHP merupakan suatu peraturan yang bersifat umum dan untuk sekarang ini telah ditetapkan dan diberlakukan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, dan lebih jauh meringankan bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga karena adanya asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. 2. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Dilihat dari isinya, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 ini (selanjutnya disebut sebagai undang-undang perlindungan anak) pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam hukum administrasi. Meskipun demikian di dalam undang-undang ini juga dirumuskan adanya ancaman sanksi pidana untuk perbuatan-perbuatan tertentu, baik dengan kekerasan maupun tidak, yang merusak atau mengganggu terciptanya perlindungan terhadap anak. Jadi upaya “penal” dalam undang-undang ini digunakan untuk menguatkan ketentuan administratif yang menjadi muatan pokoknya. Dengan demikian penggunaan upaya “penal” dalam undang-undang ini dapat dikelompokan dalam kategori hukum pidana administratif. Kebijakan penal yang tertuang dalam undangundang ini antara lain dapat diidentifikasikan secara umum sebagai berikut : a. Dalam hal kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana salah satunya adalah: 1) Penelantaran anak yang mengakibatkan saksi atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial (Pasal 77 b).
lxviii
b. Dalam hal subjek hukum, selain berupa orang-perorangan, undang-undang perlindungan anak juga mengenal subjek hukum berupa korporasi (G. Widiartana, 2009:38). Apabila korporasi itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang dirumuskan, sanksi pidana dapat dijatuhkan kepada : 1) Korporasi, yakni berupa pidana denda ; 2) Pengurus, yakni berupa pidana penjara dan/atau denda ; 3) Pengurus dan korporasi, yakni berupa pidana penjara dan/atau denda (Muladi, 1991:21-22). c. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya, undang-undang perlindungan anak antara lain mengatur salah satunya adalah : 1) Pasal 77 merumuskan ancaman sanksi pidana sebagai berikut : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”. Dari rumusan yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak terutama pasal 77 sampai dengan pasal 80, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemidanaan antara lain mengatur sebagai berikut : 1) Jenis sanksi pidana yang diancamkan berupa pidana pokok, baik pidana mati, penjara seumur hidup, penjara untuk waktu tertentu, dan pidana denda. 2) Sanksi pidana diancamkan baik secara alternatif, kumulatif, maupun secara kumulatif alternatif. 3) Untuk sistem minimal maksimal pengancaman pidana, Kekerasan Dalam Rumah Tangga menggunakan baik sistem minimal khusus maupun minimal umum.
lxix
4) Maksimum beratnya ancaman sanksi pidana ditetapkan secara bervariasi, yaitu : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara untuk waktu tertentu antara 3 tahun sampai dengan 15 tahun. Sedangkan untuk pidana dendanya antara Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 5) Untuk tindak pidana tertentu diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda). 6) Adanya pemberatan pidana untuk pelaku tertentu (orang tua korban dan korporasi). Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusannya dalam kasus penelantaran anak ini tidak menyertakan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Demikian banyaknya aturan hukum yang melindungi hak anak di segala aspek kehidupannya, ternyata masih belum tampak optimal hasilnya. Pemanfaat anak sebagai bahan komoditas untuk kepentingan atau akibat perilaku manusia dewasa masih belum perbaikan yang berarti. Dengan kasat mata masih banyak terjadi penelantaran hak anak secara disadari dan tidak disadari. Keputusan Konvensi Hak Anak PBB yang secara jelas menyebutkan satu per satu hak anak yang harus dipenuhi. Di antaranya adalah memperoleh perlindungan, ketenangan, makanan bergizi, pendidikan, bermain, menyatakan pendapat, berpikir, masa depan dll. Anak harus dilindungi oleh siapapun dari eksploitasi ekonomi dan terhadap pekerjaan yang berbahaya atau mengganggu pendidikan, merugikan kesehatan anak, perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Asah, asih dan asuh anak sebagai modal awal pemenuhan hak anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Semua manusia yang menyandang predikat dewasa di penjuru Indonesia harus ikut bertanggung jawab. Manusia dewasa dalam melakukan aktifitasnya harus memperhatikan dengan cermat akibat yang dapat mengancam hak anak. Dengan berpedoman lurus pada etika dan norma di dalam masyarakat baik secara hukum, agama, budaya
lxx
dan sosial yang berlaku, pasti hak anak pasti tidak akan terabaikan. Anak adalah masa depan bangsa. 3. Ketentuan-Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Seperti undang-undang perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini lebih merupakan hukum administratif, karena norma-norma yang dirumuskan dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut menentukan kewenangan Negara dalam mengatur kehidupan warga negaranya, khususnya yang berkaitan dengan upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Adapun sanksi pidana yang dipergunakan untuk menguatkan ketentuan-ketentuan administratif yang sudah ditentukan dalam bab-bab sebelumnya. Dengan demikian hukum pidana yang terdapat dalam UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itupun merupakan hukum pidana administratif. Kebijakan penal yang tertuang dalam undangundang ini antara lain dapat diidentifikasikan secara umum sebagai berikut : a. Dalam hal kriminalisasi, perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang dikaji dalam penulisan hukum ini adalah : Perbuatan menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) (Pasal 49). Menurut Pasal 9 yang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam pasal 9 itu disebutkan lebih lanjut bahwa termasuk dalam pengertian penelantaran rumah tangga adalah perbuatan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang orang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali pelaku. Berkaitan dengan kriminalisasi tersebut di atas, Undang-
lxxi
Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga menentukan beberapa jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan kategori tertentu, yaitu kekerasan fisik atau psikis yang berderajat ringan, kekerasan seksual diantara suami/isteri, dan penelantaran rumah tangga sebagai delik aduan (Utrecht, 1987:257). Konsekuensi yuridis dari penentuan tersebut adalah aparat penegak hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum apapun terhadap pelaku, meskipun mereka mengetahui bahwa tindak pidana telah terjadi, jika korban dari tindak pidana tersebut melakukan pengaduan (KUHAP, Pasal 1 angka 25). Dengan ditentukannya beberapa jenis kekerasan dalam rumah tangga tersebut sebagai delik aduan, pembentuk undang-undang telah mengakui adanya unsur privat/pribadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. b. Dalam hal kebijakan sanksi pidana dan pemidanaannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menentukan sebagai berikut: Perbuatan penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) (Pasal 49). Disamping menentukan adanya ancaman sanksi pidana pokok, baik pidana penjara maupun pidana denda, terhadap bentuk-bentuk kekerasan rumah tangga tersebut di atas, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga memberikan ancaman pidana tambahan berupa : 1) Pembatasan gerak pelaku; 2) Pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; 3) Penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu (Pasal 50). Menurut pendapat saya, Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam rumah Tangga karena Majelis Hakim dalam menyelesaikan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga
lxxii
khususnya Penelantaran Istri dan Anak mengacu pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang mana mengatur mengenai tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga yaitu dengan tidak memberikan perawatan, pemeliharaan kepada orang tersebut dan tidak memberikan nafka lahir batin dalam suatu ikatan perkawinan. Kemudian sanksi dan ancaman hukumannya disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan yaitu tindak pidana penelantaran orang yang terdapat dalam Pasal 49 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004. Di dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, pelaku seharusnya dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dikenakan denda Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Tetapi Majelis Hakim tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 saja, tetapi berdasarkan keyakinan hakim yang mana dalam penjatuhan hukuman itu sekiranya dapat menciptakan nilai keadilan bagi korban, pelaku, ataupun Majelis Hakim itu sendiri sehingga Majelis Hakim memutuskan pidana penjara 5 (lima) bulan saja dan tanpa dikenakan denda , pidana penjara tersebut yang terpenting tidak melebihi batas maksimal 3 (tiga) tahun seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, karena mengingat bahwa terdakwa masih kuliah sehingga masih memiliki masa depan yang ingin dia raih, sehingga Majelis Hakim disini bukan berfungsi untuk mematikan kehidupan terdakwa tetapi hanya ingin membuat jera terhadap perbuatan yang ia lakukan agar jangan sampai terulang kembali dan sebagai pelajaran bagi masyarakat dalam berumah tangga serta untuk melindungi hak-hak korban. 4. Ketentuan dalam Hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM, 1948) mendefinisikan Hak Asasi Manusia secara luas dengan tujuan agar manusia sedunia menghormati kemanusiaan semua orang. Dalam deklarasi tersebut tidak banyak yang dinyatakan tentang perempuan, tetapi artikel 2 memuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Bila artikel 2 ditinjau berdasarkan pengalaman perempuan, pelanggaran hak perempuan
lxxiii
seperti tindak kekerasan terhadap perempuan dan perkosaan mudah diinterprestasikan sebagai tindakan yang dilarang (“no one shall be subject to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”) (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:1). Perkembangan tersebut menggambarkan bahwa konsep HAM bukan sesuatu yang statis dan juga bukan milik suatu kelompok. Arti HAM akan meningkat dalam suatu kelompok atau dalam diri seseorang sesuai dengan harapan dan kebutuhannya tentang HAM. Dalam semangat ini, para pejuang masalah perempuan telah memasukkan dalam definisi pelanggaran HAM berbagai bentuk pelanggaran yang merendahkan martabat perempuan. Mereka menuntut agar apa yang dialami perempuan menjadi bagian integral dari pendekatan terhadap isu-isu HAM. Tujuannya ialah untuk membuat pengalaman perempuan kelihatan visible dan transformasi konsep dan pelaksanaan HAM dapat meningkatkan kondisi hidup perempuan (Achie Sudiarti Luhulima, 2000:2).
C. Putusan hakim No. 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga agar memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Menurut pendapat saya, majelis hakim dalam memutuskan perkara Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, dengan terpidana Lukas Eri Seno Aji berdasarkan dengan pertimbangan-pertimbangan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam pasal 49 huruf a Juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1986 serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengan perkara ini. Peraturan-peraturan yang digunakan tersebut dirasa telah
lxxiv
sesuai dengan hukum yang berlaku sekarang ini. Karena dilihat dalam putusan tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan pula dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum yang mana menyusun dakwaannya secara alternative, sehingga Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut memilih salah satu dakwaan yang paling meringankan bagi terdakwa, yang man tidak terlalu memberatkan terdakwa dan tidak merugikan bagi korban, keluarga dan masyarakat. Dalam putusan, aspek penelantaran anak tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sehingga dalam putusan tersebut hanya memberatkan kepada penelantaran terhadap isterinya saja. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan ius constitutum yang berlaku di Indonesia saat ini tetapi apabila dilihat dari segi pelaku dan korban, hal itu sangat sesuai karena jika ditelaah perkara KDRT ini merupakan bentuk pidana yang khusus dan berbeda dari tindak pidana yang lainnya. Dalam wawancara dengan salah satu Hakim di Pengadilan Negeri Klaten yaitu Bapak A. Zamroni S.H. M.Hum, beliau mengatakan bahwa tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga berdasarkan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis. Dalam putusan perkara
Nomor
144/Pid.B/2009/PN
Klaten
tentang
tindak
pidana
penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga ini juga terdapat kesesuaian dengan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, meskipun dalam penjatuhan putusan tersebut tidak terpaku dengan peraturan perundangundangan saja tetapi dengan menggunakan unsur-unsur dalam hukum positif. Dalam suatu perkawinan harus ada ikatan antara laki-laki dan perempuan, yang mana ikatan tersebut terwujudkan dalam bentuk ijab dan kabul. Dalam ijab dan kabul terdapat suatu kesepakatan atau perjanjian, apabila tidak dilaksanakan atau dilanggar maka harus dikenakan sanksi bagi orang yang melanggarnya. Apabila dilihat dari bentuk dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum merupakan bentuk dakwaan alternatif, karena dapat dilihat dari susunan dakwaan yang terdapat dalam berkas perkara Nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten adalah terdiri dari banyak pilihan dalam penyusunannya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten berpendapat bahwa
lxxv
Majelis Hakim sependapat dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah ; 1. Menyatakan terdakwa Lukas Eri Seno Aji bersalah melakukan tindak pidana “telah menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut)” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 49 huruf a Juncto Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam dakwaan alternatif Kedua, seperti tersebut dalam lampiran. 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Lukas Eri Seno Aji dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dikurangi selama dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3. Menetapkan supaya terdakwa Lukas Eri Seno Aji dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,-(dua ribu lima ratus rupiah). Jadi apabila dibandingkan antara putusan Majelis Hakim dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maka didapat suatu hubungan yang saling sinkronisasi atau berkaitan sehingga menghasilkan suatu bentuk kesesuaian sehingga terbentuk suatu keadilan dalam menjatuhkan hukuman tersebut. Keadilan hukum tersebut dilihat dari Majelis Hakim yang menjatuhkan suatu keputusan tersebut dengan mempertimbangkan dalam fakta-fakta yang terjadi sehingga timbul suatu tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga tersebut. Kesesuaian putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Klaten tersebut, dalam mejatuhkan putusannya maka harus diterapkan hukumnya dalam Law in Action serta berdasarkan keyakinan hakim. Untuk menyatakan pelaku bersalah atau tidak, maka harus ada unsur dan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan. Dalam hal ini untuk membentuk kepastian hukum, maka hakim memperhatikan pula tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, yang mana dalam
lxxvi
ancaman hukuman itu dijatuhkan seadil-adilnya tanpa merugikan bagi diri terdakwa, masyarakat, ataupun Majelis Hakim itu sendiri. Dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004, pidana pokok yang dijatuhkan minimal 1 (satu) hari sampai dengan maksimal 5 (lima) tahun. Maka dalam penjatuhan putusan tidak harus sama persis dengan Undang-Undang, jadi Undang-Undang tidak harus komulatif. Menurut pendapat dari salah satu hakim anggota Pengadilan Negeri Klaten, A. Zamroni S.H, M.Hum, bahwa perkara nomor 144/Pid.B/2009/PN Klaten ini sangatlah menarik waktu persidangan itu berlangsung, yaitu dilihat dari segi perkaranya yang sebenarnya adalah sederhana tetapi sangat menarik untuk dibahas karena mengenai tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga tetapi tanpa menggunakan kekerasan fisik, yang mana difokuskan terhadap tindak pidana penelantaran istri dan anaknya dengan tidak memberi nafkah lahir dan batin sebagaimana yang menjadi kewajiban suami terhadap isterinya sesuai dengan perjanjian yang diucapkan sewaktu ijab dan Kabul dalam perkawinan. Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.
Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 Tahun 2004 diantaranya Pasal 49 jo Pasal 9 dan Pasal
lxxvii
279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; Pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; Pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasalpasal KUHP (Pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 dan 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); Pasal 81 dan 82 UU No. 23 Tahun 2002 dan Pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini (Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 5 No 3-September 2008). Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyelenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan. Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan (Mitra Perempuan, 2007 : 2). BAB IV PENUTUP
Berdasarkan data-data yang penulis peroleh dari hasil pengumpulan data dan pembahasan hasil penelitian tentang “Tindak Pidana Penelantaran Orang Dalam
Lingkup
Rumah
Tangga
lxxviii
(Studi
Putusan
Nomor
144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten)” maka dapat dirumuskan kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut : A. Kesimpulan 1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga dalam perkara No. 144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten terdiri dari : - Dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa Lukas Eri Seno Aji, hakim dirasa telah menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini terbukti bahwa hakim telah menemukan hukum yang ada dalam masyarakat dengan melakukan pertimbangan terhadap hal-hal yang meringankan terdakwa. - Majelis Hakim mempertimbangkan berdasarkan fakta-fakta hukum mengenai surat kesepakatan bersama antara terdakwa dengan saksi korban. - Terdakwa telah didakwa oleh penuntut dengan dakwaan yang berbentuk alternative, sehingga dipertimbangkan untuk memilih salah satu dakwaan yang dianggap paling erat. - Adanya unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal dakwaan Pasal 49 huruf (a) Jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten menerapkan adanya asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis sehingga dalam penjatuhan putusan
lxxix
terhadap terdakwa dipertimbangkan dengan menggunakan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, menurut penulis telah sesuai dengan peraturan-perundang-undangan yang berlaku sekarang
ini.
Majelis
Hakim
dalam
mengambil
keputusan
mempertimbangkan berdasarkan adanya perubahan peraturan perundangundangan yang baru yang mana dahulu tindak pidana penelantaran orang diatur dalam KUHP tetapi karena diberlakukannya asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis maka Majelis Hakim mempertimbangkan berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta beracuan kepada Dakwaan Alternatif yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka Majelis Hakim memiliki kebebasan untuk memilih dakwaan yang kiranya lebih meringankan bagi terdakwa, korban, anak dan masyarakat sekitarnya. Selain itu juga Majelis Hakim berpedoman terhadap UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 yang berkaitan dengan perkara ini. Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, maka putusan tersebut tidak sesuai, karena penelantaran anak telah mencakup dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. kemudian dalam Pasal 304 dan Pasal 305 KUHP diatur pula mengenai penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, tetapi hakim tidak menerapkan pasal-pasal dalam KUHP ini, karena telah diatur pula dalam Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi : “ Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undangundang ditentukan lain.”
lxxx
Begitu pula dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terdapat ketidaksesuaian, karena dalam DUHAM mencakup mengenai hubungan Internasional, sedangkan dalam kasus posisi yang dibahas adalah masalah yang masih dalam satu wilayah Indonesia. Sedangkan disini wanita hanya dianggap sebagai makhluk lemah yang mana tidak bisa berbuat apa-apa untuk para kaum lelaki. 3. Putusan Hakim No. 144/Pid.B/2009/Pengadilan Negeri Klaten tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga telah memenuhi rasa keadilan tetapi dalam penjatuhan putusan terhadap terdakwa Lukas Eri Seno Aji tidak memenuhi kepastian hukum. Kita bisa melihat sendiri bahwa dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, bahwa pelaku tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga itu diancam dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Tetapi karena Majelis Hakim menerapkan adanya tujuan hukum yaitu keadilan dan kemanfaatan maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara 5 (lima) bulan saja. Hal ini karena dianggap telah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa, keluarga, korban dan masyarakat yang mana hukum pidana itu tidak mematikan hidup seseorang tetapi hukum pidana hanya bertujuan untuk menjerakan terdakwa, agar kedepannya tidak mengulangi lagi perbuatannya. Jadi keadilan itu lebih penting daripada kepastian hukum. Karena hukum itu didirikan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan apabila kepastian hukum itu diterapkan maka keadilan belum tentu akan tercapai dalam kehidupan bermasyarakat, karena hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkadang tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
B. Saran
lxxxi
Saran-saran yang dapat penulis sampaikan tentang tindak pidana penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga di Pengadilan Negeri Klaten antara lain : 1. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Klaten dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa seharusnya mempertimbangkan pula adanya unsur-unsur yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dimana dalam kasus ini, kedudukan anak sebagai korban penelantaran benar-benar diakui dan dipertimbangkan, sehingga anak tersebut mendapatkan perlindungan yang khusus. Selain itu kedua orang tua masing-masing pihak korban dan terdakwa seharusnya lebih bersikap tegas terhadap anakanakanya yang mana menikah karena hamil diluar nikah. 2. Agar mencapai suatu bentuk kesesuaian dalam peraturan perundangundangan.
Majelis
Hakim
harus memperhatikan
nilai-nilai
yang
terkandung dalam masyarakat dan hukum yang berlaku di Indonesia sekarang
ini,
agar
ketidaksesuaian
itu
dapat
dihindarkan.
Dan
dipertimbangkan pula mengenai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3. Dalam tujuan hukum itu sendiri di Indonesia ada 3 macam yaitu untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Seharusnya aparat penegak hukum dalam menerapkan ilmunya di masyarakat, harus mempertimbangkan adanya nilai keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia sehingga tercipta adanya suatu bentuk kemanfaatan yang berguna bagi setiap orang yang mendapatkan keadilan dari penguasa setempat, sedangkan tujuan hukum untuk kepastian hukum itu dapat diabaikan, sepanjang untuk menciptakan keadilan. Jadi ancaman sanksi pidana serta denda itu harus disesuaikan dengan perbuatan dari terdakwa agar memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
lxxxii
Dari Buku Bambang Poernomo. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia. Bambang Sunggono. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Rajawali Pres. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. 1948 Guse Prayudi. 2007. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Merkid Press. J.M. Van Bemmelen. 1979. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Material Bagian Umum). Bandung : Bina Cipta. Lamintang. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung : Armico. Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta. Natabangsa Surbakti. 2006. Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan Hukum di Indonesia. Jakarta : Ghalia Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Sutopo, HB. 2002. Pengantar Kualitatif (Dasar-dasar Teoritis dan Praktis). Surakarta : Pusat Penelitian. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 2009. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Van Bemmelen. 1979. Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil bagian umum). Dordrecht : Binacipta.
Dari Rancangan Undang-Undang
lxxxiii
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan (Pusat Studi Hukum&Kebijakan Indonesia/www.parlemen.net). Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (www.multiple.com) Dari Internet atau Jurnal Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu Tantangan Menuju Sistem Hukum Yang Responsif Gender. http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi/85-penghapusankekerasan-dalam-rumah-tangga-suatu-tantangan-menuju-sistem-hukum-yangresponsif-gender>[20 Januari 2010 pukul 07.18]. Dharmawangsa. Pola Reaksi Emosi Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://pormadi.weebly.com/1/post/2009/04/post-title-click-and-type-toedit1.html > [12 Desember 2009 pukul 20.00]. Fajar
Utomo. Berani Menghapus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://cetak.fajar.co.id/kolom/news.php?newsid=272>[11 Januari 2010 pukul 02.00].
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol 5 No 3-September 2008. Mita
Untari. Penyediaan Fasilitas Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://jurnalnasional.com/show/kolom?page=1&rubrik=Simpul&berita=40620&p agecomment=1 >[12 Desember 2009 pukul 21.00].
Muhamad Hasanah. Kekeraan Dalam Rumah Tangga. http://www.jurnalnasional.com/show/breakingnews?page=469&rubrik=Nasional &berita=1269&pagecomment=1 >[28 Desember 2009 pukul 12.00]. Solar Energi Charity. Pentingnya RUU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://jurnal-hukum.blogspot.com/2007_06_01_archive.html>[01 Februari 2010 pukul 09.00]. Wewen Efendi. Proposal Penelitianku. http://wewenefendi.multiply.com/journal/item/20>[20 Januari 2010 pukul 07.00].
lxxxiv
lxxxv