PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH: Studi Kasus Kabupaten Bandung Dan Kota Bogor
Editor : Syarif Hidayat dan Erwiza Erman
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2009
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd i
LIPI
6/22/2010 6:34:22 PM
©2009 Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI)
KATALOG DALAM TERBITAN PUSAT DOKUMENTASI DAN INFORMASI ILMIAH LIPI
Pilkada dan pergeseran sistem perencanaan pembangunan daerah : studi kasus Kabupaten Bandung dan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat / editor Syarif Hidayat, Erwiza Erman. - [Jakarta] : Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2009.
i-xii + 176 hlm: 15 cm x 21 cm
324 ISBN : 978-602-8659-12-3
Penerbit:
LIPI
LIPI Press, anggota Ikapi Pusat Penelitian Ekonomi (LIPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Widya Graha Lt. 4 - 5 Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710 Telp: 021-5207120 Fax: 021-5262139
ii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd ii
6/22/2010 6:34:38 PM
KATA PENGANTAR Penelitian dengan tema PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ini dirancang untuk dilaksanakan selama 5 (lima) tahun. Mengingat tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengkaji implikasi dari Pilkada terhadap sistem perencanaan pembangunan daerah—sementara, Pilkada itu sendiri dilaksanakan secara terpisah pada masing-masing tingkatan pemerintahan daerah—maka sejumlah provinsi, kabupaten, dan kota, telah dipilih sebagai sampel untuk diteliti pada kurun waktu lima tahun yang direncanakan. Pada tahun anggaran 2009 merupakan tahun pertama aktivitas penelitian. Untuk itu telah dipilih Kota Bogor dan Kabupaten Bandung sebagai lokasi penelitian. Ada empat pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini: 1) Apakah Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada relatif telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki oleh daerah, mengingat proses penyusunan Visi/ Misi itu sendiri lebih merupakan hasil kerja Tim Sukses ketika Pilkada berlangsung; 2) Sejauh mana telah terjadi konsistensi antara Visi/ Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Rencana Pembangunan Daerah; 3) Apakah tiga fungsi utama Gubernur sebagai ”Wakil Pemerintah Pusat” (fungsi Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan) telah bekerja cukup efektif dalam menciptakan “sinergi” perencanaan pembangunan antar pemerintah daerah, mengingat baik pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, masing-masing melaksanakan Pilkada secara langsung; dan 4) Bagaimana sebaiknya mekanisme perencanaan pembangunan daerah dalam kaitannya dengan praktik Pilkada secara langsung? Namun demikian, mengingat pada tahun 2009 merupakan tahun pertama penelitian, maka fokus utama studi lebih diarahkan pada upaya menjawab tiga pertanyaan yang disebut pertama. Sedangkan pertanyaan keempat, diharapkan akan terjawab pada tahun terakhir penelitian. i
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:i
6/22/2010 6:34:38 PM
Penelitian ini tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak, baik instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat di lokasi penelitian yaitu Kota Bogor dan Kabupaten Bandung. Berkenaan dengan itu, kami mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan dukungan yang diberikan. Harapan kami semoga laporan ini mampu memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengambilan keputusan atau kepentingan praktis lainnya. Laporan ini telah diuji melalui berbagai tahapan yang sangat ketat dalam bentuk diskusi, dan seminar-seminar di P2E-LIPI. Walaupun demikian, kami menyadari bahwa laporan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran-saran konstruktif guna menyempurnakan laporan penelitian ini pada masa yang akan datang.
Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI
Drs. Darwin Syamsul Bahri, MA, APU
ii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:ii
6/22/2010 6:34:38 PM
ABSTRAK Praktik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung telah menorehkan catatan penting dalam rentang perjalanan sejarah reformasi sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Bagi kalangan yang optimistik, Pilkada telah diartikulasi sebagai bagian dari langkah penting. Satu diantara issu penting yang menarik untuk disimak seiring dengan dilaksanakannya Pilkada secara langsung tersebut adalah, adanya pergeseran sistem perencanaan pembangunan daerah. Bila pada periode sebelumnya, “landas-pijak” dalam menyusun perencanaan pembangunan adalah Pola Dasar Pembangunan Daerah”, maka dengan diterapkannya sistem Pilkada, kosep perencanaan pembangunan daerah tidak lagi merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah, tetapi diturunkan dari Visi/Misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada. Pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana Visi/Misi itu sendiri telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki daerah, serta telah melibatkan masyarakat dalam penyusunannya?, mengingat visi/misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah lebih banyak merupakan hasil kerja dari ”Tim Sukses” ketika Pilkada berlangsung. Pertanyaan inilah, selanjutnya, menjadi fokus utama dari penelitian dengan tema PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ini. Hasil penelitian di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, mengindikasikan, bahwa visi/misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung telah banyak merujuk pada potensi yang dimiliki oleh daerah (utamanya potensi Sumber Daya Manusia/SDM). Bahkan pada tingkat tertentu, isu SDM, khususnya terkait dengan persoalan ”penyerapan tenaga kerja” dan ”kemiskinan”, telah dijadikan sebagai ”iklan politik” yang dikemas dalam ”janji politik” untuk menarik dukungan suara
iii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:iii
6/22/2010 6:34:38 PM
pada kampanye Pilkada. Namun demikian, sangat menarik untuk dicatat, bahwa terdapat beberapa potensi ekonomi penting lainnya yang nyaris terlupakan. Kesimpulan umum berikutnya yang menarik untuk digaris bawahi adalah, kenyataan tentang adanya beberapa inkonsistensi dalam proses penurunan ”misi” yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung kedalam ”misi pemerintah daerah” pada periode pasca Pilkada. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh ”tidak kentaranya” atau bahkan ”hilangnya” beberapa butir misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada, tatkala diturunkan kedalam misi pemerintah daerah sebagaimana tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dengan mempertimbangkan dua kesimpulan umum di atas, maka cukup beralasan bila kemudian penelitian ini mengajukan proposisi umum yang menyebutkan: Bahwa implementasi sistem Pilkada langsung di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor, baru berhasil dalam mendorong lahirnya para pasangan kandidat Kepala dan Wakil Kepala Daerah untuk memiliki Visi dan Misi. Namun demikian, mengingat proses penyusunan Visi dan Misi itu sendiri lebih didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan politik praktis daripada mempertimbangkan potensi daerah, maka secara substansial, masih terlalu dini untuk mengartikulasi Visi dan Misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah terpilih sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi kuat untuk dikonversi menjadi Visi/Misi Pemerintah Daerah pada periode pasca Pilkada, dan selanjutnya berperan sebagai rujukan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Daerah.
iv
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:iv
6/22/2010 6:34:38 PM
ABSTRACT The practice of socalled Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung/PILKADA (direct election for local government heads) has, somehow, brought with a distinctive historical marking in the process of political reform in Indonesia. However, the execution of Pilkada has likewise brought with the shifting pattern of regional development planning. Preceding to Pilkada system, the formulation of regional development planning was officially referring to the socalled Pola Dasar Pembangunan Daerah (regional development blueprint). However, soon upon the execution of the Pilkada system, by regulation, regional development planning has to be formulated on the basis of the socalled vision and missions of elected local government head. While the formulation of that vision and missions were more likely conducting by a “political team” of elected local government head only a few days before the commencement of the Pilkada, the question then, to what extent that of the vision and missions owned by elected local government head, have reflected regional economic, social, and political resources? This issue has subsequently become the main focus of this study, and in so doing, there is also another main sub-questions that attempt to be explored, namely: Whether or not there has been a strong consistency between the vision/missions owned by elected local government head and regional development planning. In general view, research findings in the district of Bandung and the city of Bogor indicate that the vision and missions of the elected local government head, to a lesser extent, seemed to have been attached to the regional potency. Moreover, the research findings also suggest that some critical issues in regard with human resources development and social welfare had, somehow, received a greater attention in the substance of both vision and missions of the elected
v
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:v
6/22/2010 6:34:38 PM
local government head, as these issues could have a great impact on generating societal political support. However, it is intriguing to be noted, while human resource development and social welfare issues have dominated the substance of both vision and missions of local government head during the Pilkada, on the other side, a series of crucial issues regarding the efforts to develop regional economic potency had surprisingly received a few attention. This tendency is quite understandable, as the formulation of that vision and mission was only a few days before the commencement of the Pilkada, this had consequently not allowed the candidate of local government head and his/her “political team” to assume enough time for conducting a deep and comprehensive analysis upon regional economic potency. Another significance research finding to be emphasized here is fact that in some cases there are a number inconsistencies, or even “miss-link”, between the missions stated by the local government head during the Pilkada comparing to local government’s missions printed in the Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD (the medium term for regional development planning). This phenomenon has been reflected by, for instance, the reformulation and the abolition of some Pilkada’s missions when they were converted into local government’s mission as stated in the RPJMD. Overall, by taking into consideration the above research findings, it is quite legitimate if this study has eventually proposed a final proposition which says: “the implementation of the Pilkada system in the two research location seems to have been successfully to encourage the candidate of local government head for having the so called Vision and Missions. Nevertheless, since the formulation of that vision and mission were much more dominated by political considerations—rather than the efforts to develop regional potency— it is too early to assume that the vision and missions owned by elected local government head are legitimate enough to be converted into local government’s vision and missions in post-Pilkada.
vi
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:vi
6/22/2010 6:34:38 PM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................. i ABSTRAK .........................................................................................iii ABSTRACT ......................................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................vii DAFTAR TABEL .................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xii BAB 1 PENDAHULUAN: ..................................................................1 Oleh : Syarif Hidayat 1.1 Latar Belakang Masalah: ...........................................................1 1.2 Pertanyaan Penelitian ................................................................3 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ...............................................4 1.4 Landasan Konseptual ................................................................5 1.5 Alur Pikir Penelitian ................................................................. 10 1.6 Metoda Penelitian: ................................................................... 12 1.7 Lokasi Penelitian ....................................................................... 14 BAB 2 POTENSI DAERAH DI LOKASI PENELITIAN ......................17 Oleh : Sairi Erfanie 2.1 Pendahuluan ............................................................................. 17 2.2 Potensi Sumber Daya Manusia ........................................... 18 2.3 Potensi Sumber Daya Alam .................................................. 28 2.4 Potensi Geografis ..................................................................... 37 BAB 3
HARAPAN VERSUS KEKUASAAN : ”VISI/MISI PILKADA” DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK JANGKA PENDEK..............................................................................45 Oleh : Erwiza Erman 3.1 Pengantar ................................................................................... 45 3.2 Proses Penyusunan Visi/Misi ............................................... 46
vii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:vii
6/22/2010 6:34:38 PM
3.3 3.4
Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ........................ 67 Penutup .................................................................................... 69
BAB 4
KONSISTENSI ANTARA “VISI/MISI PILKADA” DENGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ....................73 Oleh : Syarif Hidayat 4.1 Pengantar .................................................................................. 73 4.2 Pilkada dan Visi/Misi Pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah......................................................................................... 74 4.3 Mekanisme Formal Penyusunan RPJMD......................... 75 4.4 Proses Penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung.............................................................. 76 4.5 Proses Penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung.............................................................. 77 4.6 “Visi/Misi Pilkada” Vs Visi/Misi Pemerintah Daerah: Kompromi Kepentingan Ekonomi-Politik? .................... 89 4.7 Penutup ...................................................................................... 95
BAB 5
PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT ................................................................................99 Oleh : R. Siti Zuhro 5.1 Pengantar .................................................................................. 99 5.2 Fungsi Koordinasi, Pembinaan dan Pengawasan......100 5.3 Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat ....109 5.4 Masalah Perencanaan Daerah ..........................................114 5.5 Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah ..............116 5.6 Penutup ....................................................................................123
BAB 6
IMPLIKASI PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI ........127 Oleh : Hari Susanto 6.1 Pengantar ................................................................................127 6.2 Proses Pergeseran Visi dan Misi ......................................131 6.3 Kasus Kota Bogor ..................................................................134
viii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:viii
6/22/2010 6:34:39 PM
6.4 6.5 BAB 7
Kasus Kabupaten Bandung...............................................142 Penutup ...................................................................................151
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................155 7.1 Kesimpulan.............................................................................155 7.2 Generalisasi ............................................................................164 7.3 Saran-Saran ............................................................................166
LAMPIRAN 1 Panduan Wawancara Mendalam (Untuk Tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota) ..........................................................................167 I. Potensi Daerah ..............................................................................167 II. Keterkaitan Visi/ Misi dengan Potensi Daerah..................167 III. Konsistensi Visi/ Misi dengan Perencanaan Daerah .......169 IV. Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat ...........172 Referensi ......................................................................................174
ix
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:ix
6/22/2010 6:34:39 PM
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 2.4 Tabel 2.5 Tabel 2.6 Tabel 2.7 Tabel 2.7 Tabel 2.8 Tabel 2.9 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 5.1 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4
Alasan Pemilihan Sampel ............................................................ 15 Jumlah Penduduk di Jawa Barat 2004 – 2007 ..................... 20 Angkatan Kerja Jawa Barat, 2005 dan 2008 ......................... 22 Pengangguran Terbuka di Jawa Barat, 2006-2008............. 23 Jumlah Penduduk Miskin menurut Kabupaten dan Kota . 26 Penggunaan Lahan di Jawa Barat ............................................ 29 Luas Lahan Sawah di Jawa Barat .............................................. 30 Luas Lahan Kering di Jawa Barat .............................................. 31 Luas Lahan Perkebunan di Jawa Barat ................................... 32 Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat ......................................... 33 Produksi Pertambangan di Jawa Barat .................................. 35 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Walikota Terpilih dengan Visi/Misi Kota Bogor ...................................................... 59 Perbandingan Visi/Misi Walikota dan Calon Walikota Terpilih dengan Empat pasangan lainnya ............................ 60 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Ketika Pilkada Dan Visi/Misi Pemerintah Kota Bogor dalam RPJMD...................................................................... 91 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dan Visi/Misi Pemerintah Kabupaten Bandung ............................................................................................ 92 Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat ...........107 Gambaran Penduduk dan Geografi Kota Bogor ...............135 Perkembangan PDRB Kota Bogor 2002-2006 Berdasarkan Harga Konstan 2000 ..........................................137 Perkembangan Pendapatan per Kapita Kota Bogor 2002-2006 Berdasarkan Harga Berlaku ................................137 Perkembangan Penduduk Miskin Kota Bogor 2005-2009 .......................................................................................140
x
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec2:x
6/22/2010 6:34:39 PM
Tabel 6.5 Misi, Kenyataan yang Terjadi dan Pertanyaan yang Diajukan ..........................................................................................141 Tabel 6.6 Koefisien Gini, Penerimaan Penduduk Miskin dan Kesenjangan Antar Daerah Di Kabupaten Bandung, 2008 ..................................................................................................145 Tabel 6.7 Gambaran Penduduk dan Geografi Kabupaten Bandung dan Kota Bogor..........................................................147 Tabel 6.8 Perkembangan PDRB Kabupaten Bandung 2002-2006 Berdasarkan Harga Konstan 2000 ..........................................148 Tabel 6.9 Perkembangan Pendapatan per Kapita Kabupaten Bandung 2002-2006 Berdasarkan Harga Berlaku ............150 Tabel 6.10 Misi, Kenyataan yang Terjadi dan Pertanyaan yang Diajukan ..........................................................................................150
xi
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec1:xi
6/22/2010 6:34:39 PM
DAFTAR GAMBAR Diagram 1
Alur Pikir Penelitian : Pilkada Dan Pergeseran Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah ................................ 10
Gambar 2.1
Tingkat Kesempatan Kerja, Pengangguran dan TPAK Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 ................................................................................. 24
Skema 3.2
Komposisi Tim Penyusun Visi/Misi Pasangan Walikota/Wakil Walikota Bogor Pada Pilkada, April 2008 .................................................................................... 56
Skema 3.3
Komposisi Tim Penyusun Visi/Misi Pasangan BupatiWakil Bupati Kabupaten Bandung Pada Pilkada Oktober 2005 ............................................................................ 66 Diagram 4.1 Mekanisme Penyusunan RPJMD ......................................... 76
xii
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd Sec1:xii
6/22/2010 6:34:39 PM
Pendahuluan
BAB 1 PENDAHULUAN Syarif Hidayat
1.1 Latar Belakang Masalah: Secara substansial, satu diantara perubahan penting yang telah dilakukan melalui UU No. 32 Tahun 2004 adalah diterapkannya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Dalam rangka menindaklanjuti amanah konstitusi ini, pemerintah pusat memutuskan untuk segera melaksanakan Pilkada-langsung, terhitung mulai pertengahan tahun 2005. Secara konseptual, urgensi diterapkannya sistem Pilkada Langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan tujuan hakiki dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, yaitu terciptanya pemerintahan daerah yang demokratis dan terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hanya menyebut beberapa contoh, Brian Smith (1985), secara tegas mengatakan bahwa pemilihan secara langsung bagi para Kepala Daerah (Local Government Heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Local Representative Council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntable dan responsif, serta terbangunnya apa yang ia sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal. Argumentasi teoretis yang hampir sama juga dikemukan oleh Arghiros (2001). Menurut Arghiros, melalui kebijakan desentralisasi, dapat dikurangi sentralisasi kekuasaan di tangan pemerintah pusat. Sementara, melalui Pilkada langsung, akan dapat tercipta pemerintah daerah yang akuntabel, dan responsif terhadap tuntutan masyarakat.
1
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 1
6/22/2010 6:34:39 PM
Syarif Hidayat
Pada konteks Indonesia, benang merah keterkaitan antara Pilkada langsung dan upaya untuk menciptakan pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif tersebut, antara lain direfleksikan oleh adanya ”pergeseran” sistem perencanaan pembangunan daerah seiring dengan mulai dilaksanakannya Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pilkada secara langsung. Pada tingkat nasional, sebagai konsekuensi dari diterapkannya sistem Pilpres secara langsung, maka sistem perencanaan pembangunan nasional pun tidak lagi sepunuhnya merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Nasional (sebagaimana dilakukan pada periode sebelumnya), tetapi diturunkan dari Visi/Misi Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Logikanya cukup sederhana, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh masyarakat, maka secara otomatis Visi/Misi yang mereka miliki telah mendapat legitimasi sebagai Visi/Misi negara. Kendati dalam proses penyusunan Visi/Misi itu sendiri tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Atau dengan kata lain, Visi/Misi tersebut lebih merupakan hasil kerja dari Tim Sukses Presiden/Wakil Presiden terpilih ketika Pilpres berlangsung (Matsui, 2007). Terlepas dari sejumlah kelemahan yang dimiliki, Visi/ Misi Presiden dan Wakil Presiden kemudian dijadikan sebagai ”landaspijak” dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, yang selanjutnya dituangkan pada konsep perencanaan yang lebih operasional dalam bentuk Rencana Stragegis Nasional (Renstranas) dan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) nasional. Mekanisme penyusunan rencana pembangunan yang sama, tentunya, juga berlaku pada tingkat pemerintahan daerah. Sebagai kosekuensi dari diterapkannya sistem Pilkada secara langsung, maka Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada dengan sendirinya menjadi Visi/Misi daerah, dan oleh karenanya memiliki legitimasi yang kuat untuk dijadikan sebagai ”rujukan utama” dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya, RPJMD yang telah disusun berdasarkan Visi/ 2
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 2
6/22/2010 6:34:39 PM
Pendahuluan
Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih tersebut, dijadikan sebagai ”landas-pijak” dalam menyusun Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Mengingat begitu krusialnya peran Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam penyusunan Rencana Pembangunan Daerah, pertanyaannya sekarang adalah sejauh mana Visi/Misi itu sendiri telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki daerah, serta telah melibatkan masyarakat dalam penyusunannya?
1.2 Pertanyaan Penelitian Untuk lebih spesifiknya, diantara pertanyaan pokok yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada relatif telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki oleh daerah, mengingat proses penyusunan Visi/Misi itu sendiri lebih merupakan hasil kerja Tim Sukses ketika Pilkada berlangsung
2.
Sejauh mana telah terjadi konsistensi antara Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Rencana Pembangunan Daerah (RPJMD, RENSTRADA, dan RKPD)
3.
Apakah tiga fungsi utama Gubernur sebagai ”Wakil Pemerintah Pusat” (fungsi Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan) telah bekerja cukup efektif dalam menciptakan “sinergi” perencanaan pembangunan antar pemerintah daerah, mengingat baik pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, masing-masing melaksanakan Pilkada secara langsung
3
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 3
6/22/2010 6:34:39 PM
Syarif Hidayat
4.
Bagaimana sebaiknya mekanisme perencanaan pembangunan daerah dalam kaitannya dengan praktik Pilkada secara langsung?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Secara umum, maksud dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi dan analisis atas praktik Pilkada dalam kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil evaluasi dan analisis ini akan memberikan gambaran tentang apakah Visi/Misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada—yang selanjutnya diturunkan dalam bentuk RPJPD, RPJMD, RENSTRA, dan RKPD—telah disusun sesuai (atau sebaliknya) dengan potensi, kemampuan dan kebutuhan daerah. Adapun secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Mengevaluasi substansi Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam kaitannya dengan potensi dan kemampuan riil daerah
2.
Menganalisis konsistensi antara Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan, RPJMD, RENSTRADA, dan RKPD.
3.
Mengkaji efektifitas peran Gubernur “Sebagai Wakil Pemerintah Pusat” dalam menciptakan “sinergi” perencanaan pembangunan antar pemerintah daerah
4.
Menyusun konsep perencanaan pembangunan daerah dalam kaitannya dengan praktik Pilkada secara langsung.
4
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 4
6/22/2010 6:34:39 PM
Pendahuluan
1.4 Landasan Konseptual Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa secara konseptual, urgensi diterapkannya sistem Pilkada Langsung sangat erat terkait dengan upaya untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis, atau dalam bahasa yang lebih populer dikenal dengan sebutan ”tata kelola pemerintahan yang baik” (good governance). Kendati pada tataran teoritis, hingga saat ini keterkaitan secara langsung antara kebijakan desentralisasi dengan upaya untuk mewujudkan demokratisasi dan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal masih terus diperdebatkan (Oyugi, 2000), namun para akademisi tetap percaya bahwa diterapkannya sistem Pilkada Langsung merupakan suatu keniscayaan bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang baik (local good governance), dan dalam rangka menegakkan kedaulatan rakyat. Brian Smith (1985), misalnya, secara tegas mengatakan bahwa pemilihan secara langsung bagi para Kepala Daerah (Local Government Heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Local Representative Council), merupakan salah satu syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta terbangunnya apa yang ia sebut dengan political equality (persamaan hak politik) di tingkat lokal. Logika teoritis yang dikemukakan oleh Smith (1985) tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa melalui pemilihan secara langsung, diharapkan para kepala daerah dan anggota DPRD akan lebih memberikan loyalitasnya kepada masyarakat. Bila tidak, maka masyarakat (pemilih) akan mendaulat para “petinggi daerah” tersebut sebagai “insan” yang ingkar terhadap komitmen, dan selanjutnya akan mendapat kredit point negatif pada pemilihan berikutnya. Argumentasi teoritis yang hampir sama juga dikemukan oleh Arghiros (2001). Menurut Arghiros, ketika desentralisasi didudukkan sebagai alat (mean) dan demokratisasi di tingkat lokal diartikulasi
5
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 5
6/22/2010 6:34:39 PM
Syarif Hidayat
sebagai tujuan (goal), maka sangat jelas bahwa Pilkada langsung merupakan paket yang tak terpisahkan dari dua konsep tersebut. Melalui kebijakan desentralisasi, dapat dikurangi sentralisasi kekuasaan ditangan pemerintah pusat. Sementara, melalui Pilkada langsung, akan dapat tercipta pemerintah daerah yang akuntabel, dan responsif terhadap tuntutan masyarakat. Walaupun pada tingkat realitas, lanjut Arghiros (2001), tidak selamanya Kepala Daerah yang dipilih secara langsung akan lebih akuntabel dan responsif bila dibandingkan dengan Kepala Daerah yang ditunjuk secara langsung. Tetapi, paling tidak, secara prosedural sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung (direct election) akan lebih baik dari sistem penunjukan (non-elected). Dengan menyimak serangkaian argumentasi teoritis yang dikemukakan oleh Smith (1985) dan Arghiros (2001) di atas, kiranya cukup jelas tergambarkan tentang urgensi dari diterapkannya sistem Pilkada langsung dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah, pada umumnya, serta dalam upaya mewujudkan local good governance, pada khususnya. Secara akademis, apa yang telah dikemukakan oleh Smith dan Arghiros tersebut, sulit untuk dipungkiri kebenarannya. Namun demikian, perlu disadari, bahwa relasi antara Pilkada dengan terwujudnya pemerintahan daerah yang demokratis bukanlah bersifat langsung. Tetapi, lebih merupakan relasi antara dua variabel yang bersifat tidak langsung. Seperti diketahui, bahwa diterapkannya sistem Pilkada Langsung hanya merupakan salah satu dari prasyarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tata pemerintahan daerah yang demokratis. Ini berarti, masih terdapat sejumlah varibel penentu (determinant variables) lainnya yang dapat mempengaruhi tercapai atau tidaknya sistem pemerintahan daerah yang di idamkan tersebut, kendati Pilkada Langsung telah diterapkan.
6
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 6
6/22/2010 6:34:39 PM
Pendahuluan
Satu diantara variabel diterminant yang dimaksud adalah, apa yang disebut oleh Ostrom (1991) dan Oyugi (2000) sebagai democratic behaviour (perilaku demokrasi). Dua analis ini sepakat mengatakan bahwa, untuk dapat terwujudnya sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan menghadirkan dan membenahi democratic institutions (institusi demokrasi), tetapi harus disertai oleh kehadiran dari democratic behaviour. Inilah sesungguhnya, tegas Ostrom (1991), roh dari demokrasi. Perilaku demokrasi harus eksis baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu sendiri, maupun pada tataran masyarakat. Bila praktik demokrasi hanya sampai pada menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, tulis Case (2002), maka tipe demokrasi seperti ini lebih bersifat procedural democracy (demokrasi prosedural), dan belum sampai pada tingkat substantive democracy (demokrasi substantif ). Pada konteks perencanaan pembangunan daerah, arti penting dari praktik Pilkada secara langsung, antara lain Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih merupakan representasi figur yang dikehendaki sebagian besar masyarakat. Dengan demikian menjadi jelas, pemimpin tersebut logikanya akan mendapat dukungan dari masyarakat. Dukungan masyarakat ini penting sebab pembangunan daerah tidak akan berjalan mulus tanpa dukungan dari masyarakat. Selain itu, dalam kampanye Pilkada setiap calon pemimpin daerah dituntut untuk menyusun Visi/Misi bagi pembangunan daerahnya. Tanpa mempunyai prasangka tertentu, langkah ini mengindikasikan bahwa setiap calon Kepala dan Wakil Kepala Daerah memahami benar karakteristik dan potensi daerahnya sehingga kalau mereka terpilih maka kesejahteraan masyarakat sebagai sasaran pembangunan diharapkan akan meningkat. Namun demikian, dalam konteks pembangunan daerah, pemahaman bahwa daerah merupakan bagian yang terpisah dari dunia luar sudah ketinggalan jaman (Helmsing, 2002). Dengan perkembangan yang demikian cepat Kepala dan Wakil Kepala Daerah harus mendu7
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 7
6/22/2010 6:34:39 PM
Syarif Hidayat
dukan daerahnya sebagai bagian dari sistem produksi internasional. Ini mempunyai arti bahwa setiap daerah harus membuka diri dalam interaksinya dengan dunia luar. Berbagai bukti menunjukkan dengan jelas bahwa daerah yang menutup diri terhadap dunia luar akan menanggung kerugian sebab sebenarnya dalam keterbukaan tersebut terdapat peluang yang dapat memberikan manfaat bagi daerah. Karena itu dalam konteks globalisasi masalahnya sebenarnya sederhana, bagaimana peluang yang ada ini dimanfaatkan secara optimal bagai kepentingan daerah. Inilah salah satu tantangan pembangunan daerah dalam kaitannya dengan globalisasi. Pembangunan ekonomi yang selama ini terjadi memberikan peringatan akan arti penting tata ruang sebagai pendukung kegiatan ekonomi. Dalam konteks nasional, sistem tata ruang nasional telah disusun dengan maksud agar tercipta suatu sistem pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Sistem tata ruang nasional ini disusun dengan maksud agar dijadikan pedoman dan sekaligus acuan oleh daerah dalam menyusun sistem tata ruang daerah. Sistem tata ruang nasional tidak akan terwujud tanpa dukungan sistem tata ruang daerah. Ketidaksinkronan antara tata ruang nasional dan daerah jelas akan mempengaruhi daya dukung daerah (carrying capacity) dan ini pada gilirannya akan menghambat kegiatan ekonomi. Dengan perkataan lain, sedikit banyak pembangunan daerah akan terganggu dengan adanya ketidaksinkronan ini. Perencanaan pembangunan daerah seharusnya didasarkan pada karakteristik dan potensi daerah. Dikandung maksud, kalau perencanaan tersebut diimplementasikan dengan benar maka potensi daerah akan dapat dimanfaatkan secara optimal. Berbagai tantangan yang ada harus dimasukkan kedalam perencanaan pembangunan, termasuk keterkaitannya dengan daerah lain (baik dalam bentuk kerjasama maupun persaingan). Salah satu sasaran yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan perencanaan pembangunan adalah bagaimana meningkatkan daya saing daerah. Daya saing menjadi sa8
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 8
6/22/2010 6:34:40 PM
Pendahuluan
lah satu fokus dalam pembangunan sebab semakin dirasakan bahwa persaingan akan semakin ketat. Persaingan ini tidak harus diartikan dengan negara lain tetapi dalam konteks nasional persaingan dapat terjadi antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dengan memperhatikan uraian di atas dan dihadapkan dengan Visi/Misi yang disusun oleh Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih, adalah wajar kalau muncul pertanyaan apakah Visi/Misi yang disusun telah benar-benar memperhatikan permasalahan yang dihadapi daerah, untuk waktu sekarang dan masa mendatang? Kalau ”ya” maka terdapat harapan bahwa pembangunan daerah akan berjalan dengan baik sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Harapan ini didasarkan pada dua pertimbangan berikut. Pertama, pemerintahan mendapat dukungan dari masyarakat. Kedua, pembangunan didasarkan pada kondisi riil serta didudukan pada posisi yang tepat sehingga arah pembangunan akan mantap. Kalau hal ini terwujud, maka tidak salah kalau dikatakan bahwa Pilkada akan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat daerah secara khusus dan masyarakat Indonesia secara umum. Namun demikian, apakah Visi/Misi yang disusun oleh Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih benar-benar didasarkan pada berbagai pertimbangan di atas? Dalam praktiknya tidak sedikit Visi/Misi ini dikerjakan oleh tenaga-tenaga dari calon pemimpin daerah (konsultan), dikerjakan berdasarkan perintah dan dilakukan dalam waktu singkat serta dalam penyusunannya tidak atau, paling tidak, sedikit memperhatikan berbagai pertimbangan di atas. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada jaminan bahwa Visi/Misi yang disusun didasarkan pada kondisi riil daerah serta didudukkan pada posisi yang tepat. Sebagai akibat dari hal ini maka implementasi Misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih akan tidak sesuai dengan potensi daerah serta tidak berada pada posisi yang tepat. Jelaslah, sasaran pembangunan
9
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 9
6/22/2010 6:34:40 PM
Syarif Hidayat
yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan sulit terwujud. Selain itu, berbagai kerugian seperti rusaknya lingkungan, lemahnya daya saing daerah, akan muncul.
1.5 Alur Pikir Penelitian Sejalan dengan empat rumusan masalah penelitian di atas, maka selanjutnya telah dirancang ”Alur Pikir” penelitian ini, sebagaimana divisualisasikan pada Diagram 1 berikut:
Diagram 1.1 Alur Pikir Penelitian: PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
10
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 10
6/22/2010 6:34:40 PM
Pendahuluan
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa, sedikitnya ada tiga variabel utama yang dapat mempengaruhi apakah Visi/Misi Kepala/ Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada—yang selanjutnya ”diturunkan” dalam bentuk Perencanaan Daerah (RPJMD, RENSTRA, dan RKPD)—secara relatif telah mencerminkan (atau sebaliknya) kemampuan dan kebutuhan riil dari daerah yang bersangkutan. Tiga variabel yang dimaksud adalah: Pertama, data dan informasi yang dijadikan rujukan, khususnya dalam penyusunan Visi/Misi, dan RPJMD. Data rujukan yang dimaksud di sini, tidak lain adalah data dan informasi tentang potensi daerah, yang meliputi, antara lain, potensi ekonomi, sosial, dan politik. Variabel kedua yang dapat mempengaruhi tingkat “realibilitas” Visi/Misi Kepala/Wakil Kepala Daerah dan Perencanaan Daerah adalah faktor teknis dan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik, yang meliputi, antara lain: kompetensi Tim Penyusun, dan kepentingankepentingan ekonomi-politik jangka pendek dari Partai Politik pengusung dan Tim Sukses pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada. Sedangkan variabel ketiga adalah, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang antara lain meliputi: kompetensi anggota DPRD, data rujukan yang digunakan menilai Visi/ Misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah, dan mekanisme dalam menilai Visi/Misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah maupun dalam menetapkan RPJMD, dan RENSTRADA. Tiga variabel sebagaimana dikemukakan di atas, diasumsikan berlaku sama, baik pada tingkat Pemerintah provinsi maupun pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara, untuk melihat sejauh mana telah terjadi “sinergi” antara perencanaan pembangunan daerah pada tingkat pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/ Kota, maka variabel yang digunakan adalah “Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat”. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004, maka peran Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tersebut meliputi tiga peran utama, yaitu: Koordinasi, Pembinaan, dan Pengawasan. 11
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 11
6/22/2010 6:34:40 PM
Syarif Hidayat
Secara keseluruhan, secara substansial, penelitian ini akan difokuskan pada upaya melihat keterkaitan antara tiga varibel tersebut dengan Visi/Misi Kepala/Wakil Kepala Daerah, dan Perencanaan Pembangunan Daerah (RPJMD, RENSTRADA, dan RKPD). Dengan melakukan eksplorasi dan analisis akan hal tersebut, maka diharapkan hasil akhir dari penelitian ini akan mampu menyodorkan Konsep/Model “interdependensi” Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana divisualisasikan pada Diagram 1.
1.6 Metoda Penelitian: 1.6.1 Pendekatan Studi Pendekatan studi adalah ekonomi dan politik. Pendekatan ekonomi digunakan untuk menganalisis perencanaan pembangunan dalam lingkup ekonomi, misi Kepala dan Wakil Daerah terpilih yang telah disusun serta kemungkinan adanya pergeseran dalam perencanaan pembangunan. Termasuk ke dalam pendekatan ini adalah hasil-hasil yang selama ini telah dicapai dihadapkan dengan sasaran pembangunan yakni, meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara pendekatan politik digunakan karena masalah Pilkada adalah ”wilayah” politik. Karena itu, tahapan dalam Pilkada sampai pada operasionalisasi dari hasil Pilkada berupa langkah konkrit dari misi Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih merupakan salah satu fokus dari studi ini. 1.6.2 Unit Analisis Unit analisis dari studi ini adalah pemerintah kabupaten dan/ atau kota. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, wilayah administrasi dari Pilkada yang paling kecil adalah kabupaten atau kota. Kabupaten atau kota ini dipilih sebab Pilkada pada tingkat ini adalah yang lebih dulu dilakukan, dibanding tingkat provinsi.
12
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 12
6/22/2010 6:34:40 PM
Pendahuluan
1.6.3 Kebutuhan Data Secara umum data yang dibutuhkan dalam studi ini terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif berasal dari data sekunder sementara data kualitatif lebih didasarkan pada data primer. Selain menjaring data sekunder, tim peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan responden yang dipandang memahami Pilkada serta kondisi riil daerah. 1.6.4 Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, langkah-langkah yang dilakukan antara lain: Studi Literatur. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi yang berhubungan dengan topik penelitian, antara lain: konsep tentang essensi Pilkada dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah; serta konsep-konsep Perencanaan Daerah. Pengumpulan Data Sekunder. Data sekunder dikumpulkan dengan cara mengunjungi instansi-instasi pemerintah dan non-pemerintah di daerah yang memiliki relevansi dengan kegiatan penelitian yang sedang dilakukan. Selain dari itu, data sekunder juga dikumpulkan dari beberapa departemen pemerintah pusat dan lembaga-lembaga lain yang terkait, seperti: Departemen Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, dan BPS. Pengumpulan Data Primer. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam, in-depth interviews, terhadap para narasumber yang terpilih sebagai responden. Para narasumber yang dimaksud, antara lain: Penyelenggara Pemerintah Daerah (Birokrat Daerah), para anggota DPRD, Tokoh-tokoh Masyarakat, para Pengusaha, Akademisi, Aktivis Partai Politik (khususnya yang terlibat sebagai “Tim Sukses” Kepala Daerah dalam Pilkada), para Aktivis LSM, dan para Jurnalis di daerah (Panduan Wawancara Mendalam dapat dilihat pada Lampiran 1) 13
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 13
6/22/2010 6:34:40 PM
Syarif Hidayat
1.7 Lokasi Penelitian Penelitian ini dirancang akan dilakukan di 6 (enam) provinsi yang telah melaksanakan Pilkada pada kurun waktu antara tahun 2005-2008. Selanjutnya, pada masing-masing provinsi tersebut, dipilih satu kabupaten dan satu kota yang juga telah melaksanakan Pilkada pada kurun waktu 2005-2008. Penetapan kurun waktu Pilkada antara tahun 2005-2008 tersebut, tentunya, didasarkan atas sejumlah pertimbangan, antara lain, untuk memungkinkan penelitian ini memperoleh informasi dan data empiris yang memadai berkaitan dengan konsep dan implementasi “Perencanaan Pembangunan Daerah” pada periode pasca Pilkada. Selanjutnya, lima kriteria telah digunakan dalam pemilihan lokasi penelitian (Provinsi, Kabupaten, dan Kota), sebagaimana dikemukakan di atas. Kriteria penetapan lokasi penelitian yang dimaksud adalah: a)
Pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) yang telah melaksanakan Pilkada pada kurun waktu tahun 2005-2008;
b)
Keragaman dalam hal latar belakang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih (incumbent, politisi, dan pengusaha/ selebriti);
c)
Keragaman dalam hal potensi ekonomi yang dimiliki;
d)
Keragamanan dalam hal kemampuan keuangan daerah; dan
e)
Keragaman dalam lokasi geografis.
Dengan merujuk pada lima kriteria di atas, akhirnya ditetapkan 6 (enam) provinsi sebagai lokasi penelitian, dengan perincian sebagai berikut:
14
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 14
6/22/2010 6:34:40 PM
Pendahuluan
Tabel 1.1 Alasan Pemilihan Sampel Alasan Pemilihan Latar Kemampuan No Provinsi Pelaksanaan Belakang Potensi Keuangan Pilkada Kepala Ekonomi Daerah Daerah 1 Bengkulu 2005 Pengusaha Pertanaian Rendah 2 Riau 2005 Pengusaha SDA Tinggi 3 Banten 2006 Incumbent Industri Sedang 4 Sulawesi 2007 Incumbent Pertanian Sedang Selatan 5 Gorontalo 2007 Pengusaha Pertanian Tinggi 6 Jawa 2008 Politisi & SDA & Tinggi Barat Selebriti SDM
Letak Geografis Ind. Barat Ind. Barat Ind. Barat Ind. Tengah Ind. Timur Ind. Barat
Kegiatan penelitian di tahun 2009 hanya dilaksanakan di satu provinsi, yaitu provinsi Jawa Barat, dengan sampel satu pemerintah Kota dan satu pemerintah Kabupaten, yakni, Kota Bogor dan Kabupaten Bandung.
15
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 15
6/22/2010 6:34:40 PM
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 16
6/22/2010 6:34:40 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
BAB 2 POTENSI DAERAH DI LOKASI PENELITIAN Sairi Erfanie
2.1 Pendahuluan Propinsi Jawa Barat mempunyai potensi besar dalam membangun daerahnya. Potensi ini terdiri dari SDM, SDA dan geografi. Dari aspek SDM, pendidikan dan kesehatan yang terus membaik di propinsi ini mampu meningkatkan kualitas penduduknya. Ini terlihat dari terus meningkatnya rata-rata pendidikan penduduk di Jawa Barat, semakin idealnya rasio guru dan murid, berkembangnya jumlah dan kualitas perguruan tinggi. Ditambah dengan meningkatnya anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan semakin memperkaya sarana dan prasarana pendidikan di propinsi ini. Sementara itu, meningkatnya pelayanan kesehatan telah mampu meningkatkan usia harapan hidup penduduk, tenaga medis dan para medis terus meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam lingkup Jawa, IPM Jawa Barat menduduki kedudukan ketiga setelah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Dalam kaitannya dengan SDA, propinsi ini termasuk propinsi dengan lahan pertanian yang subur. Banyaknya gunung di propinsi ini memberikan manfaat positif pada kesuburan tanah melalui endapan vulkanik yang terjadi beberapa abad lalu. Di sebelah utara, cocok untuk pertanian pangan mengingat tanahnya relatif datar dan ditopang oleh irigasi yang baik. Di bagian tengah, sebagian tanahnya adalah dataran tinggi, cocok untuk tanaman holtikultura, bunga dan lain-lain. Sementara di bagian selatan, tanahnya cocok untuk tanaman perkebunan. Walaupun tidak melimpah, tetapi kandungan tambang di Jawa Barat cukup bervariasi.
17
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 17
6/22/2010 6:34:40 PM
Sairi Erfanie
Dari aspek geografi, kedekatannya dengan DKI Jakarta telah dimanfaatkan oleh Jawa Barat. Bahkan dalam batas-batas tertentu terdapat hubungan ketergantungan antara DKI Jakarta dengan Jawa Barat. Banjir yang terjadi di DKI Jakarta, sedikit banyak sebagai akibat dari rendahnya daya resap air di Jawa Barat. Pada sisi lain, perkembangan transportasi di DKI Jakarta sedikit banyak membantu keruwetan lalu lintas di Jawa Barat, utamanya di kota-kota sekitar DKI Jakarta. Keterkaitan ekonomi antara Jawa Barat dengan DKI Jakarta terlihat dari ketergantungan DKI Jakarta terhadap hasil pertanian Jawa Barat. Sementara keterkaitan transportasi terlihat dari ketergantungan Jawa Barat terhadap Tanjung Priok dan Soekarno Hatta. Bab ini menyajikan potensi Jawa Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Bogor dalam beberapa tahun terakhir. Dinamika potensi lokasi studi ini pada dasarnya merupakan landasan bagi pembangunan daerah lokasi studi. Dengan perkataan lain, potensi yang tersedia harus dimanfaatkan secara tepat bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan ini visi dan misi yang telah dikemukakan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur dan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota terpilih akan diterapkan dengan landasan potensi yang ada sehingga akan terlihat apakah visi dan misi tersebut dapat dijalankan dengan maksimal atau tidak.
2.2 Potensi Sumber Daya Manusia 2.2.1 Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia dengan pertumbuhan jumlah penduduk relatif tinggi. Kalau laju tumbuh penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah 1,3 persen, maka Jawa Barat pada periode yang sama mencapai 1,9 persen. Terdapat dugaan bahwa tingginya laju tumbuh penduduk ini sebagai akibat dari masuknya penduduk dari daerah lain ke kota dalam
18
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 18
6/22/2010 6:34:40 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
propinsi yang sama (urbanization) dan dari propinsi lain ke propinsi ini (in migration). Ini dapat dilihat dari melonjaknya jumlah penduduk di kotakota di Jawa Barat (lihat Tabel 2.1). Kiranya mudah dimaklumi bahwa tingginya pertumbuhan penduduk di Jawa Barat bukan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk secara alami tetapi lebih karena masuknya migrasi dari daerah-daerah lain. Untuk menekan melonjaknya pertumbuhan penduduk secara alami maka program keluarga berencana dipandang sebagai salah satu langkah efektif. Namun kalau penyebabnya adalah migrasi masuk, maka pembangunan ekonomi dan sosial serta keamanan adalah langkah yang efektif. Menurut Nelson, migrasi masuk disebabkan oleh 2 faktor, kondisi ekonomi di daerah asal dan daerah tujuan. Ternyata pengujian yang dilakukan oleh Lowry menunjukkan bahwa kondisi daerah tujuan merupakan faktor penentu dari migrasi masuk sementara kondisi daerah asal tidak mempunyai korelasi kuat. Adi juga menguji untuk kasus Indonesia, dan hasilnya sama yakni, faktor daerah tujuan merupakan variabel yang memberikan pengaruh kuat pada keingingan orang untuk melakukan migrasi, sementara daerah asal bukanlah faktor penentu migrasi. Bertitik tolak dari beberapa hasil studi di atas, dapat diperkirakan bahwa selama ini terdapat ketimpangan pembangunan di antara daerah di Indonesia. Sebagai akibatnya, beberapa daerah mampu tumbuh cepat sementara beberapa daerah lain semakin tertinggal. Untuk mengurangi gencarnya migrasi ke beberapa daerah di Jawa, maka upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Secara khusus, jumlah penduduk di Kabupaten Bandung pada tahun 2007 mengalami penurunan, dari 4.399.128 orang pada tahun 2006 menjadi 3.038.038 pada tahun 2007. Ini disebabkan karena terjadi pemekaran dari Kabupaten Bandung menjadi Kabupaten 19
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 19
6/22/2010 6:34:40 PM
Sairi Erfanie
Bandung dan Bandung Barat. Pada tahun 2007 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat adalah 1.493.225 orang sehingga kalau kedua kabupaten ini dijumlahkan maka jumlah penduduk menjadi 4.531.263 orang. Sementara itu jumlah penduduk Kota Bogor sedikit meningkat, dari 833.523 orang pada tahun 2004 menjadi 866.034 orang pada tahun 2007. Tabel 2.1 Jumlah Penduduk di Jawa Barat 2004 – 2007 Kabupaten/Kota
2004
2005
2006
2007
01. Bogor
3 945 411
4 100 934
4 216 186
4 316 236
02. Sukabumi
2 210 091
2 224 993
2 240 901
2 258253
03. Cianjur
2 079 306
2 098 644
2 125 023
2 149 121
04. Bandung
4 002 290
4 263 934
4 399 128
3 038 038
05. Garut
2 260 478
2 321 070
2 375 725
2 429 167
06. Tasikmalaya
1 569 292
1 693 479
1 743 324
1 792 092
Kabupaten
07. Ciamis
1 522 928
1 542 661
1 565 121
1 586 076
08. Kuningan
1 073 172
1 096 848
1 118 776
1 140 777
09. Cirebon
2 084 572
2 107 918
2 134 656
2 162 644
10. Majalengka
1 184 760
1 191 490
1 197 994
1 204 379
11. Sumedang
1 043 340
1 067 361
1 089 889
1 112 336
12. Indramayu
1 749 170
1 760 286
1 778 396
1 795 372
13. Subang
1 406 976
1 421 973
1 441 191
1 459 077
760 220
770 660
784 797
798 272
14. Purwakarta 15. Karawang
1 939 674
1 985 574
2 031 128
2 073 356
16. Bekasi
1 917 248
1 953 380
1 991 230
2 032 008
-
-
-
1 493 225
833 523
844 778
855 846
866 034
17. Band. Barat Kota 18. Bogor 19. Sukabumi 20. Bandung
278 418
287 760
294 646
300 694
2 290 464
2 315 895
2 340 624
2 364 312
20
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 20
6/22/2010 6:34:41 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
21. Cirebon
276 912
281 089
285 363
290 450
22. Bekasi
1 931 976
1 994 850
2 040 258
2 084 831
23. Depok
1 353 249
1 373 860
1 393 568
1 412 772
24. Cimahi
482 763
493 698
506 250
518 985
25. Tasikmalaya
579 128
594 158
610 456
624 478
26. Banjar
116 868
173 576
177 118
180 744
Jawa Barat 39 140 812 39 960 869 40 737 594 Sumber : Suseda 2007, Badan Pusat StatistikProvinsi Jawa Barat
41 483 729
2.2.2 Perkembangan Angkatan Kerja Agak mengherankan, dalam Buku Jawa Barat Dalam Angka, klasifikasi penduduk yang masuk kedalam Angkatan Kerja dimulai dari usia dari usia 10 tahun. Untuk kondisi beberapa dekade lalu, dimana angka putus sekolah pada usia SD cukup tinggi, mungkin batasan tersebut dapat dimengerti. Tetapi ketika tuntutan akan keahlian kerja serta diberlakukannya wajib belajar 9 tahun, tampaknya batasan Angkatan Kerja dimulai dari 10 tahun tidak relevan lagi. Dengan perkataan lain, Angkatan Kerja dengan batasan minimal 15 tahun adalah yang paling sesuai. Untuk itu, penulisan ini terpaksa mendasarkan pada buku lain dalam mengkaji Angkatan Kerja. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Jawa Barat, angkatan kerja di Jawa Barat juga mengalami perubahan berarti. Seperti sudah disebut sebelumnya, laju tumbuh penduduk Jawa Barat lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Sebagai akibatnya, pertumbuhan Angkatan Kerja Jawa Barat jauh lebih tinggi dibanding nasional (pada periode 2005 sampai 2008, laju tumbuh angkatan kerja Jawa Barat mencapai 9,3 persen sementara nasional 5,8 persen). Demikian halnya dengan Bukan Angkatan Kerja. Pada periode yang sama, laju tumbuh Bukan Angkatan Kerja di Jawa Barat mencapai 8,9 persen sementara pada tingkat nasional mencapai 7,1 persen.
21
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 21
6/22/2010 6:34:41 PM
Sairi Erfanie
Total Partisipasi Angkatan Kerja,TPAK, adalah beban dari Angkatan Kerja terhadap Bukan Angkatan Kerja. Semakin tinggi persentase TPAK dan semakin rendah pengangguran maka beban akan semakin ringan. Seperti terlihat di Tabel 2.2, beban Angkatan Kerja untuk Jawa Barat semakin menurun. Ini sebagai akibat dari meningkatnya persentase TPAK, dari 62,88 persen pada tahun 2005 menjadi 63,09 pada tahun 2008. Dalam lingkup nasional ternyata beban ini justru meningkat, dari 68,02 persen menjadi 67,18 persen, pada periode yang sama. Kiranya menjadi jelas, walau persentase pengangguran semakin menurun pada tingkat nasional tetapi sebenarnya beban Angkatan Kerja terhadap Bukan Angkatan Kerja semakin meningkat. Tanpa disertai dengan meningkatnya upah riil, terdapat dugaan kuat bahwa kesejahteraan Bukan Angkatan Kerja menurun selama periode tersebut. Tabel 2.2 Angkatan Kerja Jawa Barat, 2005 dan 2008 Daerah Ja-bar ’05
Bekerja
Pengang. Terbuka
14.629,3
2.527,8
(%) 14,73
Angkatan Kerja 17.157,1
Bukan Angk. Kerja 27.286,2
(%) TPAK 62,88
Ja-bar ’08
16.480,4
2.263,6
12,08
18.744,0
29.710,1
63,09
In’sia ’05
94.948,1
10.854,2
11,26
105.802,4
155.549,7
68,02
In’sia ’08
102.552,8
9.394,5
8,39
111.943,3
166.641,0
67,18
Sumber: BPS, berbagai penerbitan
Data Suseda menunjukkan bahwa TPAK Kabupaten Bandung mengalami peningkatan walau hanya sedikit, dari 51,03% pada tahun 2006 menjadi 52,48% pada tahun 2008. 2.2.3 Jumlah Penganggur Dalam pasar tenaga kerja dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, jumlah pencari kerja di Jawa Barat jauh lebih besar 22
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 22
6/22/2010 6:34:41 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
dibanding kemampuan menyerap tenaga kerja. Sebagai akibatnya, jumlah pengangguran terbuka cukup tinggi. Kedua, kemampuan menyerap tenaga kerja dibanding jumlah pencari kerja pada tingkat nasional lebih besar sehingga pengangguran terbuka lebih rendah manakala dibandingkan dengan Jawa Barat. Pada tahun 2005, pengangguran terbuka di Jawa Barat mencapai 14,73 persen, tertinggi di Indonesia, sementara pada tingkat nasional mencapai 11,26 persen. Pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah penganggur terbuka. Pada tahun ini penganggur terbuka di Jawa Barat adalah 12,08 persen sementara pada tingkat nasional adalah 8,39 persen (lihat Tabel 2.2). Selanjutnya, dari Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa persentase jumlah penganggur terbuka terhadap Angkatan Kerja terus mengalami penurunan, dari 14,6 persen pada tahun 2006 menjadi 12,1 persen pada tahun 2008. Walaupun terjadi penurunan tetapi angka tersebut sebenarnya adalah angka tertinggi di semua propinsi di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi di Jawa Barat belum mampu menyerap tambahan Angkatan Kerja. Mengapa pengangguran terbuka di Jawa Barat tinggi? Penyebab utamanya adalah tingginya migrasi masuk ke propinsi ini. Apakah ini disebabkan karena tingginya laju tumbuh perekonomian di Jawa Barat? Belum tentu. Dengan mendasarkan pada tingginya laju tumbuh penduduk di kota-kota sekitar DKI Jakarta, seperti Bogor, Bekasi, Depok, dan lain-lain, terdapat dugaan kuat bahwa fenomena ini disebabkan karena kuatnya daya tarik DKI Jakarta. Tabel 2.3 Pengangguran Terbuka di Jawa Barat, 2006-2008 Uraian
Agustus ’06
Bekerja 14.997.578 Pengangguran 2.561.525 Terbuka (14,6 %) Total 17.559.103 Sumber: BPS, berbagai penerbitan
Agustus ’07 15.853.822 2.386.214 (13,1%) 18.240.036
Agustus ’08 16.480.395 2.263.584 (12,1%) 18.743.979
23
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 23
6/22/2010 6:34:41 PM
Sairi Erfanie
Dinamika angkatan kerja ini ternyata juga terjadi di Kabupaten Bandung. Seperti terlihat di gambar 1, jumlah penganggur perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Gambar 2.1 Tingkat Kesempatan Kerja, Pengangguran dan TPAK Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Bandung, Tahun 2008 Sumber: BPS Kabupaten Bandung, Suseda 2008
2.2.4 Jumlah Penduduk Miskin Masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi Indonesia semenjak kemerdekaan. Selama Orde Baru memang persentase penduduk miskin mengalami penurunan tetapi kemudian meningkat kembali, secara tajam, semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Berbagai upaya telah dilakukan tetapi sejauh ini terkesan bahwa hasilnya masih jauh dari menggembirakan. Salah satu harapan yang diandalkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan ekonomi. Tetapi sejauh ini, walau pertumbuhan ekonomi sudah mendekati kondisi normal, ternyata jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Dalam persentasenya, penduduk miskin Jawa Barat
24
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 24
6/22/2010 6:34:41 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
cenderung berfluktuasi, berturut-turut dari tahun 2002 sampai 2007 adalah: 13,4; 12,9;12,1; 13,1; 14,5 dan 13,6. Kalau didasarkan pada tahun 2002 dan tahun 2007, persentase penduduk miskin di Jawa Barat tidak mengalami perubahan berarti, bahkan sedikit menaik sebesar 0,2 persen (dari 13,4 persen pada 2002 menjadi 13,6 persen pada 2007). Dalam konteks kabupaten/kota, ternyata persentase penduduk miskin di Jawa Barat sangat bervariasi. Secara umum terlihat bahwa persentase penduduk miskin di perkotaan lebih rendah dibanding di pedesaan. Pada tahun 2005, hanya ada satu kota dimana persentase penduduk miskin berada di atas 10 persen, yakni Banjar. Namun pada tahun 2006 persentase ini menurun menjadi 8,0 persen. Penurunan sebesar 2 persen ini merupakan hasil yang menggembirakan. Tetapi pada tahun 2006 ada satu kota, Tasikmalaya, yang persentase penduduk miskinnya berada di atas 10 persen, walau angka ini kemudian turun kembali pada tahun 2007 menjadi 9,3 persen. Pada tahun 2007 tidak ada satu pun kota di Jawa Barat yang persentase penduduk miskinnya berada di atas 10 persen. Pada sisi lain dijumpai bahwa hampir semua kabupaten di Jawa Barat persentase penduduk miskinnya berada di atas 10 persen. Hanya ada satu kabupaten di Jawa Barat dimana persentase penduduk miskinnya berada di bawah 10 persen, yakni Bekasi. Kalau pada masa krisis ekonomi, tekanan kemiskinan berada di perkotaan tetapi berdasar Tabel 2.4 harus dikatakan bahwa tekanan kemiskinan telah bergeser ke pedesaan. Majalengka, Indramayu dan Kuningan adalah kabupaten dengan persentase penduduk paling tinggi, sekitar 20 persen. Seperti diketahui bersama bahwa Jawa Barat mempunyai potensi sebagai produsen hasil pertanian. Namun dengan relatif tingginya penduduk miskin di propinsi ini, khususnya di pedesaan, tampaknya pemerintah daerah perlu merumuskan ulang upaya untuk mengentaskan kemiskinan.
25
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 25
6/22/2010 6:34:41 PM
Sairi Erfanie
Dalam halnya Kabupaten Bandung, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, dari 15,2% pada tahun 2006 menjadi 13,1%. Namun demikian perlu kiranya dimengerti bahwa penurunan drastis ini sebagai akibat pemekaran Kabupaten Bandung Barat (penduduk miskin Bandung Barat adalah 18,7%, sehingga kalau jumlah penduduk miskin kedua kabupaten ini dijumlah akan terlihat bahwa jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan). Sementara untuk Kota Bogor, terlihat bahwa dalam jumlahnya jumlah penduduk miskin di kota ini mengalami kenaikan, dari 89,2 ribu pada tahun 2006 menjadi 91,4 ribu pada tahun 2007. Namun demikian, dalam persentasenya mengalami sedikit penurunan, dari 9,6% menjadi 9,5% pada tahun yang sama. Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Miskin menurut Kabupaten dan Kota No.
Kab./Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Bdg. Barat Bogor
20 Jumlah 476,7 364,9 369,4 550,1 386,1 296,2 228,6 196,7 386,1 227,4 137,5 312,1 232,7 111,1 285,6 137,5 79,3
05 20 % Jumlah 12,5 536,4 16,6 384,6 17,6 415,7 13,3 619,0 17,4 434,5 18,2 331,3 15,1 244,1 18,7 196,7 18,6 434,5 19,4 225,9 13,3 154,7 18,4 351,2 16,7 261,9 14,4 125,0 14,9 321,4 7,0 154,7 8,3 89,2
06 20 % Jumlah 13,8 519,5 17,7 352,3 19,8 394,6 15,2 365,3 19,0 435,5 20,3 302,4 16,1 213,1 18,7 187,7 21,1 398,0 21,8 234,4 15,1 161,8 20,7 361,7 18,9 235,8 16,3 114,5 16,5 294,4 7,6 141,7 261,7 9,6 91,4
07 % 13,1 16,0 18,5 13,1 19,3 18,2 13,9 17,6 19,1 19,8 15,6 21,0 16,8 14,7 14,8 6,7 18,7 9,5
26
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 26
6/22/2010 6:34:41 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
19 20 21 22 23 24 25 26 27
Sukabumi Bandung Cirebon Bekasi Depok Cimahi Tasikmalaya Banjar Jawa Barat
21,9 84,6 21,2 71,5 39,6 50.8 52,9 17,1 5.137,6
7,1 3,7 6,9 3,4 2,9 8,4 9,1 10,1 13,1
24,6 95,2 27,4 104,4 35,3 42,7 59,5 13,0 5.712,5
8,2 4,1 8,7 5,1 2,5 7,4 10,2 8,0 14,5
22,6 87,2 28,3 106,9 35,9 43,7 54,5 12,9 5.457,9
7,3 3,7 8,7 5,0 2,4 7,3 9,3 7,9 13,6
Sumber: BPS keterangan: nomor 1 sampai 17 adalah kabupaten, nomor 18 sampai 27 adalah kota.
2.2.5 Perkiraan ke Depan Dari uraian sebelumnya timbul pertanyaan, bagaimanakah permasalahan Sumber Daya Manusia di Jawa Barat ke depan? Pertama, tidak terdapat petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk memperkirakan bahwa ketimpangan antar daerah di Indonesia akan melunak. Dengan perkataan lain, daerah yang mampu tumbuh cepat akan semakin meninggalkan daerah yang lambat tumbuh. Dengan perkataan lain, ketimpangan antar daerah di Indonesia akan tetap berlangsung. Akibat dari kondisi ini adalah, migrasi masuk ke Jawa Barat akan tetap tinggi. Permintaan akan lahan untuk industri, pemukiman, rekreasi dan lain-lain akan tetap tinggi. Dalam hal ini pemerintah daerah harus cerdas dalam mengatasi permasalahan tanah. Kalau tidak, permasalahan tanah akan merembet pada berbagai bidang sehingga dikhawatirkan permasalahan tanah akan semakin kompleks. Kedua, pemerintah daerah harus dapat menyusun kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Pengertian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah suatu pertumbuhan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja dan mengentaskan jumlah penduduk miskin. Selama ini pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada konsumsi ternyata kurang memberikan dampak nyata pada
27
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 27
6/22/2010 6:34:41 PM
Sairi Erfanie
kesempatan kerja dan kemiskinan. Kalau masalah pengangguran dan kemiskinan dapat diatasi maka SDM di Jawa Barat dapat dipandang sebagai modal pembangunan. Tetapi kalau tidak, maka SDM di Jawa Barat cenderung akan menjadi beban pembangunan. Kalau ini sampai terjadi, jelas bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat, walaupun tinggi, tetapi kurang memberikan manfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, terdapat kecenderungan bahwa rata-rata para penganggur mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi dibanding kondisi beberapa dekade sebelumnya. Karena itu, lapangan pekerjaan yang diciptakan harus dikaitkan dengan pendidikan para penganggur. Dalam kaitan ini sektor pertanian dipandang kurang cocok bagi mereka yang berpendidikan tinggi. Dengan demikian lapangan pekerjaan yang akan diciptakan seyogyanya bukan pada sektor pertanian tetapi sektor-sektor dengan tuntutan tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Inilah salah satu tantangan yang dihadapi pemda Jawa Barat umumnya dan Kabupaten Bandung serta Kota Bogor pada khususnya.
2.3 Potensi Sumber Daya Alam 2.3.1 Pemanfaatan Lahan Secara umum lahan di Jawa Barat digunakan untuk 16 kegiatan utama (lihat Tabel 2.5). Dari semua kegiatan tersebut, perentase terbesar digunakan untuk sawah irigasi sebesar 20,9 persen, kebun sebesar 22,1 persen serta hutan 18,6 persen. Adapun kegiatan paling kecil adalah tanah rusak/kosong sebesar 0,3 persen dan jasa sebesar 0,6 persen. Dengan bertambahnya jumlah penduduk serta meningkatnya kegiatan, dapat dipastikan bahwa penggunaan lahan di Jawa Barat akan mengalami perubahan berarti. Sayang sekali data seperti yang tertulis di Tabel 2.5 hanya dipublikasikan 5 tahun sekali, sehingga tidak dapat menyajikan perkembangan tahunannya.
28
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 28
6/22/2010 6:34:41 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
Tabel 2.5 Penggunaan Lahan di Jawa Barat No 1 2 3 4 5
Penggunaan lahan Pemukiman Jasa Tegal Industri Sawah terdiri dari: - Irigasi - Tadah hujan 6 Kebun 7 Perkebunan 8 Hutan 9 Perairan 10 Tambak/kolam 11 Tanah rusak/kosong 12 Semak alang-alang 13 Lain-lain 14 Jumlah Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
Luas lahan 284,3 22,2 274,2 13,4 757,5 211,9 800,9 309,2 674,6 23,9 40,8 12,2 85,2 116,5 3.631,9
% 7,8 0,6 7,6 0,4 20,9 5,8 22,1 8,5 18,6 0,7 1,1 0,3 2,4 3,2 100,0
2.3.2 Luas Lahan Sawah Propinsi Jawa Barat merupakan salah satu lumbung padi nasional. Dengan tanah yang relatif subur serta pengairan yang cukup baik, setiap tahun produksi padi di propinsi selalu lebih besar dari 9 juta ton padi. Seperi terlihat di Tabel 2.6, produksi padi selama 3 tahun cenderung meningkat, walau pada tahun 2006 mengalami sedikit penurunan. Sungai Citarum merupakan salah satu sungai utama dalam kaitannya dengan irigasi sawah di propinsi, mengingat sungai ini melayani 4 kabupaten penghasil padi di Jawa Barat. Penambahan lahan sawah di propinsi ini tampaknya sulit dilakukan mengingat kebutuhan tanah untuk keperluan lain yang meningkat terus sepanjang waktu. Studi yang dilakukan oleh Adi dan kawan-kawan menunjukkan bahwa kebutuhan air dari DAS Citarum untuk irigasi terus menurun dimana penyebab utamanya adalah berkurangnya sawah yang harus diairi. Peralihan fungsi lahan ini diakibatkan oleh 29
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 29
6/22/2010 6:34:41 PM
Sairi Erfanie
meningkatnya perumahan, kawasan industri serta kebutuhan lainnya. Kiranya menjadi jelas, ke depan pemda Jawa Barat harus benarbenar memperhatikan luas sawah beserta irigasinya kalau hendak mempertahankan produksi padi. Tabel 2.6 Luas Lahan Sawah di Jawa Barat No. Jenis penggunaan 2005 1 Irigasi teknis 389.996 2 Irigasi setengah teknis 116.393 3 Irigasi sederhana 92.525 4 Bukan PU 174.060 5 Tadah hujan 157.304 6 Lebak 7 Pasang surut 8 Lainnya 9 Jumlah 924.832 10 Produksi padi/tahun (ton) 9.787.217 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
2006 380.348 116.544 102.501 151.094 172.932 13 923.432 9.418.572
2007 374.850 128.465 108.583 149.126 174.744 33 471 2.956 939.228 9.914.019
2.3.3 Luas Lahan Kering Luas lahan kering menurut penggunaannya cenderung berfluktuasi setiap tahunnya. Tidak diketahui dengan pasti penyebab atas berflusktuasinya luas lahan ini. Namun begitu, dalam totalnya luas lahan kering mengalami penyusutan cukup berarti. Pada tahun 2006, luas lahan kering menyusut sebesar 1,5 persen sementara pada tahun 2007 menyusut sebesar 0,7 persen. Dengan demikian selama 2 tahun saja luas lahan kering telah menyusut sebesar 2,2 persen. Kalau proses penyusutan lahan ini terus berlanjut pada tingkat yang sama, diperkirakan dalam 10 tahun ke depan luas lahan kering akan menyusut sebesar 10 persen. Jelas angka ini cukup mengkhawatirkan mengingat pertambahan jumlah penduduk yang cukup tinggi di Jawa Barat serta meningkatnya kegiatan yang lain.
30
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 30
6/22/2010 6:34:42 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
Penyusutan paling besar terjadi pada pekarangan. Pada tahun 2005 luasnya adalah 390 ribu HA, tetapi pada tahun 2007 menyusut menjadi 213 ribu HA, menyusut sebesar 177 ribu HA. Adanya perubahan ini menunjukkan adanya pengalihan fungsi lahan. Tetapi penyebab atas menyusutnya luas sebesar 177 ribu HA tidak diketahui dengan pasti. Terdapat dugaan bahwa penyusutan lahan pekarangan ini digunakan untuk ladang, sawah, perumahan dan kebutuhan lainnya. Menurunnya luas lahan kering ini merupakan pertanda akan menurunnya daya dukung lahan di Jawa Barat untuk menopang kehidupan penduduknya (carrying capacity). Tabel 2.7 Luas Lahan Kering di Jawa Barat No. Jenis penggunaan 2005 1 Pekarangan 390.312 2 Tegal 605.973 3 Ladang 183.424 4 Padang rumput 31.597 5 Lahan menganggur 28.989 6 Jumlah 1.240.295 Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
2006 387.327 548.182 243.435 31.615 11.447 1.222.006
2007 213.314 561.693 304.635 71.249 62.733 1.213.624
2.3.4 Luas Lahan Perkebunan Perkebunan merupakan salah satu produk pertanian yang cocok dikembangkan di Jawa Barat, utamanya untuk produk pertanian dengan dataran tinggi. Tabel 2.7 menunjukkan bahwa luas lahan perkebunan di Jawa Barat cenderung menurun. Pada tahun 2006, luas lahan perkebunan adalah 1.375 ribu HA, tetapi angka ini menurun menjadi 1.116 ribu HA pada tahun 2007, atau menurun sebesar 16 persen. Penurunan ini sangat tinggi sebab kalau trend ini terus berlanjut diperkirakan 3 tahun ke depan luas lahan perkebunan akan menyusut sebesar 50 persen. Tidak sampai 10 tahun lahan perkebunan di Jawa Barat akan habis. Kiranya jelas, pemda Jawa Barat harus berupaya untuk mengerem penyusutan luas lahan perkebunan.
31
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 31
6/22/2010 6:34:42 PM
Sairi Erfanie
Seperti terlihat di Tabel 2.7, semua jenis perkebunan mengalami penurunan luas lahan atau menyusut. Penyusutan tertinggi terjadi pada hutan tanaman rakyat, dari 248 ribu HA pada tahun 2006 menjadi 190 ribu HA pada tahun 2007, atau menyusut sebesar 58 ribu HA. Demikian juga dengan penggunaan lainnya, pada tahun 2006 luasnya adalah 211 ribu HA, pada tahun 2007 telah menyusut menjadi 132 ribu HA, atau menyusut sebesar 78 ribu HA (sekitar 37 persen). Kalau trend ini terus berlanjut maka dalam 3 tahun ke depan luas lahan lainnya akan hilang. Kiranya menjadi jelas, proses penyusutan lahan perkebunan di Jawa Barat berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Penyusutan luas lahan ini tidak hanya berkaitan dengan daya dukung lahan dan pelestarian lingkungan, tetapi juga merupakan salah satu potensi untuk menyerap tenaga kerja. Kalau lahan perkebunan terus menurun, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa penganggur dari sektor ini akan meningkat. Tabel 2.7 Luas Lahan Perkebunan di Jawa Barat No. Jenis penggunaan 1 Hutan tanaman rakyat 2 Hutan negara 3 Perkebunan 4 Lainnya 5 Jumlah Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
2006 248.234 601.118 314.641 211.016 1.375.009
2007 189.524 570.334 263.127 132.859 1.155.844
2.3.5 Luas Kawasan Hutan Agak berbeda dengan penggunaan lahan-lahan yang lain, pengalihan fungsi lahan di sektor kehutanan relatif sulit terwujud, utamanya untuk kawasan konservasi. Pengawasan atas kawasan konservasi relatif ketat, karena itu seperti terlihat di Tabel 2.8, luas kawasan konservasi justru cenderung meningkat, walau tidak terlalu signifikan. Bahkan dalam totalnya, luas kawasan hutan mengalami kenaikan dari 783 ribu HA pada tahun 2004 menjadi 808 ribu HA pada tahun 2006, atau meningkat sebesar 24 ribu HA. Walau dari sisi produksi 32
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 32
6/22/2010 6:34:42 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
atau pendapatan peningkatkan luas kawasan konservasi tidak banyak memberikan kontribusi tetapi dari sisi pelestarian lingkungan hal ini cukup menggembirakan. Kawasan konservasi tidak hanya berkaitan dengan penyerapan polusi tetapi juga berkaitan dengan penyerapan air, kehidupan satwa, dan lain-lain. Secara umum Jawa Barat bukanlah produsen hasil hutan yang potensial di Indonesia. Karena itu produksi hutan di Jawa Barat tidak memberikan kontribusi banyak pada PDRB. Terlebih dari itu, pemanfaatan hasil hutan yang berlebihan justru akan menimbulkan kerugian daripada mendatangkan keuntungan. Karena itu, ke depan pemda Jawa Barat harus secara cerdas mengelola hutannya untuk kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan. Apalagi kalau konsep green GRDP (PDRB hijau) telah diterapkan, hutan harus dikelola dengan sangat bijaksana, tidak hanya untuk kepentingan saat ini tetapi lebih dari itu, untuk kepentingan generasi berikutnya (inter generational equity). Tabel 2.8 Luas Kawasan Hutan di Jawa Barat No. Kawasan 1 Kawasan Produksi & Lindung: Hutan produksi Hutan produksi terbatas Hutan lindung 2 Kawasan Konservasi Cagar alam Suaka margasatwa Taman wisata alam Taman buru Taman nasional Taman hutan raya Jumlah Sumber: Jawa Barat Dalam Angka, 2008
2004 611.963 206.900 182.320 222.745 171.544 46.445 13.577 3.550 12.420 94.982 569 783.508
2005 591.707 195.736 167.245 228.727 172.680 47.405 13.578 3.725 12.420 94.982 570 764.388
2006 635.216 216.048 158.727 260.441 173.030 47.529 13.578 3.951 12.421 94.982 570 808.246
33
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 33
6/22/2010 6:34:42 PM
Sairi Erfanie
2.3.6 Produksi Pertambangan Hasil tambang di Jawa Barat secara ekonomis terdiri dari 21 macam (lihat Tabel 2.9). Namun demikian, kandungan hasil tambang tersebut pada umumnya tidak besar. Ini demikian sebab Jawa Barat memang bukan produsen hasil tambang potensial di Indonesia. Kontribusinya dalam pembentukan PDRB hanya 0,07 persen pada tahun 2006 dan tidak berubah pada tahun 2007 (BPS). Dari sisi penyerapan tenaga kerja, produksi tambang tidak banyak menyerap tenaga kerja. Pada umumnya tenaga kerja adalah pekerja lokal (kecuali pekerja PETI, Pertambangan Tanpa Ijin). Salah satu masalah dalam pemanfaatan hasil tambang berkaitan dengan kondisi lingkungan. Tidak jarang proses eksploitasi yang dilakukan oleh para penambang mengakibatkan dampak negatif pada lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi akan mengarah pada berkurangnya daya dukung (carrying capacity). Padahal seperti diketahui, untuk mengembalikan kondisi lingkungan pada umumnya membutuhkan biaya yang tidak kecil. Apakah penerimaan dari hasil tambang sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki lingkungan, sejauh ini belum ada studi yang membahas masalah ini. Selain itu, kandungan tambang di Jawa Barat relatif sedikit. Padahal seperti diketahui, hasil tambang merupakan sumber daya yang tak terbarukan (habis sekali pakai). Kalau hasil tambang ini dimanfaatkan terus menerus dipastikan suatu saat pasti akan habis. Masalahnya adalah, apakah pada saat dieksploitasi hasil tambang tersebut berada pada posisi yang paling menguntungkan, dimana syaratnya adalah MR = MC. Kalau tidak, terdapat kekhawatiran bahwa hasil tambang yang tidak melimpah tersebut dimanfaatkan secara boros. Atas dasar ini, tampaknya perlu dipikirkan bagaimana caranya agar pemanfaatan hasil tambang tersebut digeser sehingga ketersediaannya tetap terpelihara.
34
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 34
6/22/2010 6:34:42 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
Memperhatikan pada dampak yang ditimbulkan dari pemanfaatan hasil tambang di Jawa Barat, tampaknya masalah ini tidak hanya terbatas pada Jawa Barat saja. Ini demikian sebab kerusakan lingkungan yang terjadi di Jawa Barat tidak hanya diterima oleh Jawa Barat saja, tetapi juga oleh DKI Jakarta dan Banten. Salah satu contohnya adalah pasokan air dari Jawa Barat ke DKI Jakarta dan Banten, sedikit banyak akan terganggu manakala aliran sungai dan aliran resapan air dari Jawa Barat terganggu. Tabel 2.9 Produksi Pertambangan di Jawa Barat No. Jenis tambang 2005 1 Andesit 196.098 2 Batu kapur 7.519 3 Bentonit 47.978 4 Feldspar 2.050 5 Fosfat 6 Marmer 41.466 7 Pasir 464.598 8 Sirtu 26.791.073 9 Pasir kuarsa 226.158 10 Tanah liat 62.732 11 Lempung 12 Pasir/tanah urug 3.000 13 Trass 165 14 Zeolit 5.284 15 Batu bukat/kali 8.241 16 Pasir besi 222.256 17 Batu setengah permata 2 18 Dacite 19 Emas 2.160 20 Perak 21 Mangaan 3.935 Sumber: Dinas Pertambangan Jawa Barat
2006 215.708 8.271 50.377 2.050 41.466 464.598 26.791.073 226.158 62.732 24.637 3.000 165 5.284 8.241 222.256 2 165 2.160 3.935
2007 495.932 1.401.738 35.918 16.234 165 293.264 3.248 88.379 314.061 12.675 7.138 2.324 2 -
35
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 35
6/22/2010 6:34:42 PM
Sairi Erfanie
2.3.7 Perkiraan ke Depan Seperti sudah disebutkan sebelumnya, laju tumbuh penduduk di Jawa Barat relatif tinggi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat termasuk tinggi di antara propinsi-propinsi di Indonesia. Jelas hal ini menuntut kebutuhan lahan yang semakin luas. Konsekuensi dari hal ini adalah, kebutuhan akan lahan semakin besar, bahkan kadang-kadang sulit dikendalikan. Inilah yang sekarang sedang di Jawa Barat. Beberapa hal yang dapat dicatat sehubungan dengan SDA adalah sebagai berikut. Pertama, terdapat kecenderungan bahwa luas lahan di Jawa Barat untuk pertanian mengalami penyusutan. Untuk lahan yang produktif, penyusutan ini merupakan petunjuk bagi dua hal berikut: (1) produksi hasil pertanian akan cenderung menurun dan (2) penyerapan tenaga kerja akan menurun. Kedua, penyusutan luas lahan pertanian harus dipandang sebagai menurunnya daya dukung lahan bagi kehidupan di atasnya. Dengan perkataan lain, tanpa disertai dengan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan maka daya dukung lahan akan menurun dan ini berarti kualitas lingkungan akan mengalami degradasi. Ketiga, hasil tambang merupakan sumber daya tak terbarukan (non renewable resources). Eksploitasi yang berlebihan akan hasil tambang akan mempercepat habisnya sumber daya tersebut. Dalam kaitan ini, penggeseran pemanfaatan sumber daya ini dapat dipandang sebagai langkah yang bijaksana. Keempat, eksploitasi hasil tambang pada umumnya tidak akrab lingkungan. Karena itu, eksploitasi yang berlebihan cenderung merugikan dari sisi lingkungan. Dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas dan dikaitkan dengan pembangunan yang berkelanjutan, dua pertanyaan penting kiranya perlu diperhatikan dalam hal ini. Pertama, dapatkah pemda Jawa Barat menjamin inter generational equity dapat terwujud? Inter generational equity pada dasarnya adalah paham yang menekankan pentingnya generasi sekarang memberikan ”warisan” lingkungan
36
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 36
6/22/2010 6:34:42 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
yang kurang lebih sama kepada generasi berikutnya. Kedua, dapatkah pemda Jawa Barat menjamin inter regional equity terwujud? Inter regional equity pada dasarnya adalah paham yang menekankan pentingnya kondisi lingkungan di suatu daerah (kabupaten/kota) sama dengan kondisi lingkungan di daerah (kabupaten/kota) yang lain.
2.4 Potensi Geografis 2.4.1 Lokasi Geografis Secara geografis Jawa Barat terletak pada 5 derajat – 7 derajat Lintang Selatan dan 104 derajat – 108 derajat Bujur Timur, dengan batas-batas sebagai berikut (Jawa Barat Dalam Angka, 2008): -
sebelah utara, Laut Jawa dan DKI Jakarta
-
sebelah timur, Propinsi Jawa Tengah
-
sebelah selatan, Samudra Indonesia
-
sebelah barat, Propinsi Banten.
Secara umum Jawa Barat dapat dibagi menjadi 3 kawasan, sebelah utara berdataran rendah, bagian tengah dataran tinggi bergununggunung dan bagian selatan berbukit-bukit. Selain itu, tanah di Jawa Barat termasuk lahan subur sebagai akibat dari endapan vulkanis sehingga propinsi ini sangat cocok untuk lahan pertanian. Namun begitu, dalam beberapa tempat bagian selatan termasuk kedalam daerah Jawa Bagian Selatan dimana salah satu karakteristiknya adalah daerah kurang berkembang. Ini berbeda dengan Jawa Bagian Utara dimana perkembangan ekonomi secara umum tumbuh pesat. Secara geografis Kota Bogor terletak diantara 106’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan gegrafis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan 37
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 37
6/22/2010 6:34:42 PM
Sairi Erfanie
potensi strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan 26’ C dengan suhu terendah 21,8’ C dengan suhu tertinggi 30,4’ C. Kelembaban udara 70%. Curah hujan rata-rata setiap tahunnya sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan tersebut pada bulan Desember dan Januari. Luas wilayah Kota Bogor 11.850 Ha terdiri dari 6 (enam) kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa1, 210 dusun dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor yaitu; Sebelah Utara berbatasa dengan wilayah kecamatan Kemang, kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor. Sebelah Barat, berbatasan dengan wilayah kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor. Sebelah Timur, berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor. Dari luas wilayah tersebut terdistribusi kedalam lahan permukiman seluas 8.296,63 Ha atau 70% dan pada umumnya wilayah pemukiman ini berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan yang ada, sehingga berpotensi dalam menambah laju tingkat perkembangan wilayah Kota Bagor. Penggunaan lahan untuk pertanian baik sawah maupun ladang seluas 1.288,66 Ha atau 10,87% dan penggunaan untuk kebun campuran mencapai 154,55 Ha atau 1,30%. Sedangkan pengunaan lahan untuk hutan kota seluas 141,50 Ha atau 1,19%, dan sisanya untuk kegiatan lainnya seperti fasilitas sosial, perdaganagn dan jasa, perkantoran, kuburan, taman dan lapangan olah raga yang lokasinya tersebar diwilayah kota Bogor. Berdasarkan Perda No.1 Tahun 2000 tentang rencana tata ruang wilayah (tahun 1999-2009) fungsi Kota Bogor; (1) sebagai kota perda1
Lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu; desa Pamoyanan, Genteng,Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangsari.
38
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 38
6/22/2010 6:34:43 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
gangan.(2) Kota Industri (3) Kota pemukiman (4) Wisata Ilmiah dan (5) Kota Pendidikan. Dalam kontek dengan regional Kota Bogor adalah: 1.
Kabupaten Bogor, bahwa Kota Bogor sebagai pusat pengembangan di wilayah yang melayani areal Kota Bogor dan areal sekitar Kota Bogor.
2.
Jabodetabek, bahwa Kota Bogor merupakan kota yang diarahkan untk menampung 1,5 juta jiwa pada tahun 2009
3.
Negara, Kota Bogor merupakan kota yang menampung kegiatan yang jenih di ibu kota.
Dalam konteks internasional Kota Bogor merupakan pusat kegiatan-kegiatan internasional antara lain: Jakarta Informal Meeting untuk APEC yang dihadiri oleh para pemimpin negara di Asia Pasifik. Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga, juga menjadi tuntutan utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga terhadap barang dan jasa. Implikasi semua ini adalah meningkatnya kebutuhan pengadaan sarana transportasi masyarakat kota. Timbulnya kemacetan, meningkatnya jumlah pedagang kaki lima secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin menurunnya kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan adalah beberapa akibat dari berkembangnya Kota Bogor yang kurang terkendali. Prasarana transportasi darat berupa jalan di Kota Bogor berupa jalan negara, jalan Propinsi, jalan kota, dan jalan lingkungan sebagai berikut: •
Jalan negara dengan ruas jalan sepanjang 30.199 Km, dari panjang jalan tersebut kondisinya pada tahun 2003 adalah baik 17.633 Km, sedang 10.150 Km, dan keadaan rusak 2.416 Km.
39
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 39
6/22/2010 6:34:43 PM
Sairi Erfanie
•
Jalan Propinsi dengan ruas jalan sepanjang 26.759 Km, dengan kondisi baik 10.596 Km, sedang 8,388 Km dan keadaan rusak sepanjang 76,094 Km dan rusak berat 73,878 Km.
•
Jalan kota dengan ruas jalan sepanjang 564,193 Km, dengan kondisi baik 129,573 Km, keadaan sedang 284,648 Km dan rusak 76,094 Km dan rusak berat 73,878 Km
•
Jalan Lingkungan dengan ruas jalan sepanjang 212,704 Km yang tersebar di berbagai lingkungan pemukiman.
Batas wilayah administrasi pemerintah Kabupaten Bandung di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Purwakarta, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Sumedang, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Cianjur dan dibagian tengah terletak Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung memiliki banyak sumber daya air, baik air tanah maupun air permukaan. Air permukaan terdiri dari 4 (empat) danau alam, 3 (tiga) danau buatan, serta 172 buah sungai. Sumber air permukaan umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik pertanian, industri, dan lain-lain. Sementara air tanah dalam (kedalaman dari 60 sampai 200 meter) umumnya dipergunakan untuk keperluan industri, non industri dan sebagian kecil untuk rumah tangga, sedangkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga memanfaatkan air tanah bebas (sumur gali) dan air tanah dangkal (kedalaman 24 sampai 60 meter), serta sebagian menggunakan fasilitas dari PDAM. Basis ekonomi pertanian berada di bagian selatan Bandung yang sebagian besar wilayah merupakan kawasan perkebunan dan hutan (produksi dan konservasi) misalnya di Kecamatan Pangalengan, Kertasari, Pasir Jambu, dan Rancabali. Di bagian tengah, sebagian besar wilayahnya merupakan lahan pertanian sawah dan ladang, seperti di Kecamatan Pacet, Ibun, Paseh 40
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 40
6/22/2010 6:34:43 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
Solokanjeruk, dan Ciparay. Sedang di wilayah Industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), basis terbesar berada di Kecamatan Majalaya, Dayeuh Kolot dan Rancaekek (Bandung Dalam Angka). Industri memegang peran yang dominan, baik dari sisi sumbangannya terhadap PDRB maupun serapan tenaga kerja. Sekitar 469 dari 824 perusahaan TPT skala menengah-besar di Jawa Barat yang berlokasi di Kabupaten Bandung pada tahun 2007. Sektor perdagangan, hotel dan restoran serta pertanian di Kabupaten Bandung menempati urutan berikutnya. Sedangkan jika dilihat dari struktur pemanfaatan lahannya, sebagian besar penggunaannya adalah lahan kering baik sebagai tegalan, hutan, maupun perkebunan. 2.4.2 Infrastruktur Infrastruktur merupakan salah satu pendukung utama kegiatan, utamanya kegiatan ekonomi. Infrastruktur dalam hal ini adalah jalan, jembatan, simpul transportasi (seperti terminal, pelabuhan, bandara), telpon, listrik, komunikasi dan lain-lain. Secara umum kondisi infrastruktur di Jawa Barat berada dalam posisi cukup baik. Salah satu masalah yang dihadapi oleh infrastruktur yang berkaitan dengan transportasi di Jawa Barat adalah rusaknya jalan dan jembatan karena bencana alam seperti tanah longsor. Keadaan sering terjadi di daerah perbukitan di Jawa Barat sehingga dalam batas-batas tertentu akan menganggu kelancaran lalu lintas. Masalah lain yang dihadapi adalah mulai terjadinya kemacetan di kota-kota di Jawa Barat sebagai akibat dari tidak sepadannya pertambahan jumlah kendaraan dengan panjang dan jalan. Sarana komunikasi di kota-kota di sekitar DKI Jakarta berada dalam kondisi cukup baik, salah satunya karena kedekatannya dengan DKI Jakarta. Dengan sistem pelayanan regional maka beberapa kota tersebut pelayanannya disatukan kedalam DKI Jakarta. Sebagai sebuah ibukota negara, pelayanan yang ada di DKI Jakarta perlu
41
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 41
6/22/2010 6:34:43 PM
Sairi Erfanie
dalam kondisi yang tidak memalukan. Sebagai dampak positif atas hal ini, kualitas infrastruktur di Jawa Barat juga dalam kondisi yang relatif baik. Salah satu pertimbangan investor dalam melakukan investasinya adalah tersedianya infrastruktur yang memadai. Dalam kaitan ini, Jawa Barat mendapat manfaat dari kedekatannya dengan DKI Jakarta. Sebenarnya tidak hanya Jawa Barat saja sebab Banten juga mendapat manfaat atas ketersediaan infrastruktur yang tersedia. Salah satu kekurangan Jawa Barat dalam kaitannya dengan infrastruktur adalah layanan pelabuhan dan bandara. Sejauh ini gagasan untuk membangun pelabuhan internasional masih sebatas gagasan. Padahal peran pelabuhan sangat penting bagi Jawa Barat sebab sebagian dari produknya diekspor, misalnya garment, tekstil, elektronik dan lain-lain. Namun begitu, kekurangan ini dapat ditutup oleh Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Soekarno Hatta. Salah satu langkah yang perlu dipertahankan oleh Jawa Barat adalah menjaga agar akses ke Tanjung Priok dan Soekarno Hatta tetap terjamin kelancarannya. 2.4.3 Kawasan Industri Salah satu penyebab atas berubahnya fungsi lahan di Jawa Barat adalah berkembangnya kawasan pemukiman dan industri. Kalau pada awalnya penduduk ulang alik (commuters) dari daerah penyangga mendominasi kawasan pemukiman di sekitar DKI Jakarta, dewasa ini penduduk yang bermukim di Jawa Barat juga bekerja di kawasan industri di Jawa Barat. Dari pertimbangan transportasi, berkembangnya kawasan industri di Jawa Barat tidak memberikan pengaruh banyak pada kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta. Namun dari sisi Jawa Barat, berkembangnya kawasan industri yang disertai dengan kawasan pemukiman akan mengurangi lahan pertanian di Jawa Barat. Kawasan industri dan pemukiman yang berkembang di Bekasi, Bogor, Purwakarta, dan lain-lain, adalah beberapa contoh. Salah satu
42
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 42
6/22/2010 6:34:43 PM
Potensi Daerah Di Lokasi Penelitian
syarat dari berkembangnya kawasan industri adalah pasokan air yang memadai. Kiranya menjadi jelas, limpahan industri dari DKI Jakarta telah menyebabkan daerah di sekitarnya berkembang cukup cepat. Selama ini terlihat adanya balapan antara perencanaan kota dengan perkembangan kota. Sebelum perencanaan dilaksanakan dengan benar ternyata realisasi telah mendahului perencanaan yang telah ditetapkan. Ini terjadi sebab pemda Jawa Barat tidak konsisten dalam menerapkan perencanaan yang telah disusun. Sebagai akibatnya, perencanaan harus mengalami revisi disesuaikan dengan realisasi yang terjadi. Balapan seperti ini pada gilirannya mengakibatkan perencanaan yang telah disusun tidak dapat direalisasikan dengan tepat. Terlebih dari itu, penyusutan lahan pertanian dan lahan lainnya berjalan sangat cepat. 2.4.4 Perkiraan ke Depan Bagaimanakah kira-kira kondisi Jawa Barat ke depan? Pertama, penduduk tetap akan bertambah walau mungkin dengan percepatan yang sedikit menurun. Menurunnya pertambahan jumlah penduduk ini disebabkan oleh menurunnya migrasi masuk ke propinsi ini dan menurunnya pertambahan penduduk alami. Menurunnya migrasi masuk dapat terjadi kalau pertumbuhan ekonomi di daerahdaerah lain relatif tinggi. Perkiraan ini didasarkan pada pelaksanaan otonomi daerah yang tercermin dalam membaiknya pembangunan ekonomi daerah. Sementara menurunnya pertambahan penduduk alami disebabkan oleh membaiknya kualitas kesehatan masyarakat serta keluarga berencana. Dengan berambahnya jumlah penduduk sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada kondisi geografi Jawa Barat. Perencanaan tata ruang Jawa Barat telah disusun tetapi besar kemungkinan realisasinya tidak akan sepenuhnya mengikuti perencanaan yang telah disusun. Ini terjadi salah satunya karena lemahnya pengawasan pemerintah daerah.
43
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 43
6/22/2010 6:34:43 PM
Sairi Erfanie
Kedua, maraknya pembangunan kawasan industri di Jawa Barat membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Singkatnya, akan terjadi alih fungsi lahan dari non industri ke industri. Tanpa pengawasan yang ketat alih fungsi lahan ini dapat menurunkan luas lahan produktif. Pengurugan lahan membutuhkan tanah. Pembangunan jalan tol, kawasan industri, dan lain-lain jelas membutuhkan tanah urugan. Sumber urugan tanah ini pada umumnya diambil dari bukit-bukit yang ada di Jawa Barat. Sebagai akibatnya, bukit di Jawa Barat akan berkurang. Sedikit banyak hal ini akan berpengaruh pada kualitas lingkungan. Tanpa pengawasan dan pengendalian yang ketat dikhawatirkan daya tampung akan menurun. Sebelum akibat paling parah terjadi akan lebih bijaksana kalau langkah antisipasi dilakukan. Ketiga, kalau konsep Megapolitan jadi diterapkan maka sebagian wilayah Jawa Barat akan masuk kedalam konsep pengembangan ini, khususnya Kota Bogor. Tidak dapat tidak keterkaitan Jawa Barat dengan DKI Jakarta akan semakin erat. Pemerintah daerah Jawa Barat harus jeli dalam mengambil manfaat dari peluang ini. Jangan sampai perkembangan Megapolitan justru menyebabkan hubungan intra Jawa Barat menjadi melemah. Memang konsep Megapolitan tidak menghendaki wilayah Jawa Barat secara administrasi masuk kedalam DKI Jakarta sebab yang terjadi adalah keterkaitan fungsional. Namun begitu melemahnya keterkaitan intra Jawa Barat dapat saja terjadi kalau ternyata wilayah Jawa Barat yang masuk kedalam Megapolitan semakin tertarik ke DKI Jakarta dan melepaskan keterkaitannya dengan daerah induk.
44
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 44
6/22/2010 6:34:43 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
BAB 3 HARAPAN VERSUS KEKUASAAN : ”VISI/MISI PILKADA” DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK JANGKA PENDEK Erwiza Erman
3.1 Pengantar Identifikasi potensi ekonomi dan potensi sosial-politik kota Bogor dan kabupaten Bandung telah dijelaskan dalam Bab 2. Penjelasan mengenai potensi ekonomi baik berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya keuangan diturunkan dalam Bab 2, demikian juga mengenai potensi sosial-politik dan budaya. Dengan Pemilihan Kepala Daerah langsung (Pilkada), Bupati dan Wakil Bupati kabupaten Bandung serta Walikota Wakil Walikota kota Bogor, maka masing-masing pasangan calon akan membuat Visi/Misi-nya masing-masing yang seharusnya disesuaikan dengan Visi/Misi Daerah dan RPJPD 20 tahun. Bab 3 ini mencoba menjawab pertanyaan tentang sejauh mana terjadi konsistensi Visi/Misi pasangan Kepala Daerah terpilih dengan data potensi daerah, baik potensi ekonomi maupun sosial-politik. Sejauhmana pembuatan Visi/Misi pasangan terpilih mencerminkan kepentingan, keinginan atau aspirasi masyarakat dan kondisi riil di lapangan? Apa data rujukan yang digunakan Tim Penyusun Visi/ Misi? Bagian kedua, akan melihat faktor-faktor teknis dan non-teknis atau faktor-faktor kepentingan ekonomi politik yang mempengaruhi penyusunan dan perumusan Visi/Misi pasangan terpilih. Siapa aktoraktor yang menyusun Visi/Misi tersebut, bagaimana latarbelakangnya, berapa banyak diskusi kelompok terfokus dilaksanakan untuk 45
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 45
6/22/2010 6:34:43 PM
Erwiza Erman
menggodok Visi/Misi tersebut? Aktor atau kelompok penyusun mana yang berperan dominan memasukkan ide dan merumuskan Visi/Misi itu? Bagaimana peran anggota DPRD Kota Bogor dan Kabupaten Bandung dalam mengkritisi pemaparan Visi/Misi yang disampaikan dalam sidang paripurna DPRD?
3.2 Proses Penyusunan Visi/Misi Bagian ini akan menjelaskan data rujukan yang dipakai untuk menyusun Visi/Misi Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih dan lalu bagaimana mekanisme penyusunannya baik di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. 3.2.1 Data Rujukan Visi kota Bogor adalah “Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah”. Tekanan pada sektor Jasa, sudah mulai diperkenalkan pada periode pertama pemerintahan Diani Budiarto (2004-2009). Nampaknya tekanan pada sektor ini memang bukan tanpa alasan. Kota Bogor yang terbatas wilayahnya mustahil mengharapkan sumberdaya alam untuk inkam pemerintah kota. Sesuai dengan wilayah dan sumber alamnya yang terbatas, kota ini berfungsi menampung dan menyerap pendatang dari berbagai penjuru baik untuk tujuan pendidikan, perdagangan dan berbagai kegiatan pertemuan. Karenanya tidak mengherankan, bila Pendapatan Asli Daerah kota Bogor bertumpu pada sektor jasa. Visi Bogor sebagai kota Jasa berbeda dengan Visinya sebelumnya di mana dititikberatkan pada ”Kota Bogor yang bermakna Internasional”, yang dalam kenyataannya telah gagal diwujudkan. Visi/Misi Kota Bogor yang menjadi acuan penyusunan RPJPD ini tidak berbeda dengan Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil
46
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 46
6/22/2010 6:34:43 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Walikota terpilih, Diani Budiarto-Achmad Ru’yat.2 Kenyataan ini mengindikasikan bahwa pasangan terpilih ini memang telah mengikuti prosedur, mengikuti Visi Kota Bogor untuk menyusun Visinya untuk kampanye. Alasan lain adalah bahwa kandidat Walikota adalah incumbent, mantan Walikota pada periode sebelumnya (20042008) yang di bawah kepemimpinannya telah disusun Visi/Misi Kota Bogor dan RPJPD. Karena itu, hampir tidak ada perbedaan yang berarti antara Visi Kota Bogor dengan Visi pasangan Walikota/Wakil Walikota terpilih. Dari Visi ini kemudian diturunkan empat Misi-nya, yaitu; 1) Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada; 2) Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan; 3)Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan berketerampilan; 4) Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Visi “Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah” bermakna:1) Kota Bogor akan diarahkan untuk menjadi suatu kota yang aktivitas masyarakatnya bergerak terutama di sektor jasa. Aktivitas-aktivitas lainnya yang ada di masyarakat baik aktivitas budaya ekonomi, penataan fisik kota, maupun penanganan masalah kota harus merupakan pendukung bagi berkembangnya sektor jasa. Sektor jasa yang perlu diprioritaskan untuk mendorong perekonomian Kota Bogor terutama pada sektor tersier pada jasa perdagangan, hotel dan restoran; jasa angkutan dan komunikasi; jasa keuangan;persewaan 2
Ada lima pasangan kandidat Pilkada Kota Bogor yang terdiri dari dua dari jalur independen, dan tiga diusung oleh partai politik. Urutan ke 5 pasangan sesuai ketetapan KPUD Kota Bogor a Ada lima pasangan kandidat Pilkada Kota Bogor yang terdiri dari dua dari jalur independen, dan tiga diusung oleh partai politik. Urutan ke 5 pasangan sesuai ketetapan KPUD Kota Bogor adalah sebagai berikut. H Syafei Bratasendjaja - Drs H Akik Darul Tahkik (Syafei-Akik); H Iman Santoso (Ki Gendeng Pamungkas)-H Ahmad Chusaeri, MM,MA (KGP CS); Dra Iis Supriatini, MPd - dr H Ahani, SpPD (Iis-Ahani);H Dody Rosadi, MEng - H Erik Irawan Suganda, MA (Dody-Erik atau Do’A); Drs H Diani Budiarto - Drh H Achmad Ru’yat, MSi (Diani-Ru’yat).
47
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 47
6/22/2010 6:34:43 PM
Erwiza Erman
dan jasa perusahaan; jasa pendidikan serta jasa-jasa lainnya. 2). Kata Masyarakat Madani berarti bahwa masyarakat Kota Bogor harus memiliki derajat kualitas kehidupan yang tinggi baik dari segi keimanan, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, dan daya beli masyarakat, yang tercermin dari tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terutama dari Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), dan daya beli masyarakat; 3). Pemerintahan amanah yaitu kepemerintahan yang baik yang senantiasa mengacu kepada kepentingan masyarakat. Hal ini ditandai dengan terwujudnya pelayanan publik yang prima di segala bidang dengan indikator menurunnya pengaduan atas pelayanan. Siapakah aktor atau partai politik yang berperan membidani rumusan Visi kandidat terpilih ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya. Penyusunan Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan beberapa tipe data rujukan. Rujukan pertama adalah pada RENSTRA 2004-2008, sedangkan rujukan kedua dengan menggunakan data potensi daerah seperti Bogor dalam Angka dan PDRB. Rujukan ketiga adalah hasil kajian Tim Walikota dan Laporan Pertanggungjawab Walikota periode 2004-2008. Data potensi daerah mengenai tata pemerintahan, infrastruktur, sektor informal (PKL), menurut Tim Penyusun sangat tidak memadai. Data potensi daerah yang dimiliki kota Bogor mengandung banyak kelemahan dan banyak data yang kurang. Oleh karena itu, Tim Penyusun melakukan survei sendiri sampai ke tingkat desa sebagaimana dijelaskan oleh IN sebagai berikut: “Tidak cukup data potensi daerah. Kita membikin survey sendiri. Misalnya mengenai tata pemerintahan, anggota tim mensurvey pelayanan publik. Kerja pertama ini agak berat”(Wawancara dengan IN, 4 Agustus 2009). Selain data potensi daerah, data survei, tim juga juga melakukan dialog langsung dengan masyarakat dan para kepala pejabat daerah,
48
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 48
6/22/2010 6:34:43 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Camat, Lurah dan bahkan RT untuk menggali aspirasi masyarakat bawah. Cara seperti itu dikenal dengan istilah“Jaring Asmara”(Penyaringan Aspirasi Masyarakat). Dengan menggunakan “Jaring Asmara”, Tim dapat mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian --menurut beberapa narasumber yang masuk dalam tim ini—rencana pembangunan yang akan dilaksanakan akan menemukan sasaran yang tepat. Selain itu, data rujukan di atas, data diskusi kelompok diskusi terfokus (Focus Group Discussion) dijadikan bahan untuk menyusun Visi/Misi dan program-program untuk pasangan kandidat. Kombinasi dari berbagai data rujukan itu, akhirnya dibuat sebuah buku rancangan awal, termasuk menganalisis potensi, kelemahan dan kekuatan setiap SKPD. Dari buku inilah keluar Visi/Misi Walikota/Wakil Walikota terpilih untuk kemudian menjadi bahan kampanyenya untuk merebut suara. Sejauhmana Visi/Misi yang disusun merefleksikan kepentingan dan potensi Kota Bogor? Menurut beberapa narasumber bahwa Visi/ Misi yang disusun sudah memiliki fondasi yang kokoh, karena berdasarkan materi dan bahan baku yang cukup kuat, merujuk ke potensi daerah dan ke jaringan informasi mulai dari akar rumput sampai ke pihak pebisnis. Dilihat dari personel penyusun, nampaknya mereka memiliki kompetensi yang dapat dipercaya. Artinya para akademisi yang bertanggungjawab di level konseptual dan ahli di bidangnya masingmasing, anggota partai politik dan stakeholder lain yang memberikan masukan berdasarkan pengalaman praktis mereka. Konsep Visi/Misi cukup dipercaya menurut pandangan narasumber, karena sudah melalui beberapa tahapan diskusi dengan cara FGD di kalangan partai pendukung, birokrat, pimpinan informal, masyarakat dan berbagai kategori pengusaha untuk kemudian baru dipaparkan di DPRD. Sebelum Visi/Misi dipaparkan di hadapan Dewan DPRD, diadakan lagi FGD dengan mengundang berbagai kategori pengusaha, mulai dari pengusaha jasa (hotel) sampai ke pengajin untuk sektor jasa di bidang pariwisata. Sementara di bidang pendidikan, diundang para 49
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 49
6/22/2010 6:34:43 PM
Erwiza Erman
pendidik dari berbagai Universitas. FGD yang terpisah-pisah menurut sektor kegiatannya memang dibuat demikian, khususnya untuk menghindari ego sektoral dan konflik sebagaimana dijelaskan oleh seorang informan berikut ini. “Jadi sebelum dipaparkan ke DPRD itu ada semacam FGD itu. Untuk sektor pariwisatanya mengundang orang2 manajer hotel kemudian juga guide, kemudian pengrajin dan lain sebagainya. Kemudian juga untuk sektor pendidikan diundang orang-orang universitas. Jadi memang dipilah-pilah karena kalau tidak seperti itu mereka ribut di dalam (ngadu), kemudian ingin menang sendiri, kita nggak dapat pointnya (hasilnya) maka dipilah-pilah berdasarkan bidang2 profesi tadi”(Wawancara dengan IN, fraksi PKS, 6 Juli 2009). Untuk sampai ke tahap penyusunan Visi/Misi, di dalam FGD muncul tarik menarik kepentingan. Misalnya, kelompok yang berasal dari pariwisata lebih menekankan sektor jasa dari wisata, sedangkan kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat lebih menginginkan Kota jasa yang aman” diartikan sebagai apa yang disebut “green city”. Bagaimana tarik menarik kepentingan dalam FGD untuk sampai pada perumusan Visi/Misi itu diungkapkan oleh salah seorang narasumber berikut ini : ”Orang kalangan pariwisata maunya sektor jasa, sementara orang-orang yang peduli dengan lingkungan, kemudian orang yang LSM itu harus ada apa istilahnya green city. Kota yang berwawasan lingkungan kalaupun ada pembangunan, pembangunan itu harus berorientasi pada penyelamatan lingkungan (termasuk pengendalian limbah, sampah). Ada lagi orang-orang dai sektor informal, seperti pedagang kaki lima. Mereka maunya jalannya itu dibebaskan, boleh dagang dimana saja. Jadi memang ada tarik menarik kepentingan dalam proses perumusan Visi dan Misi (Wawancara dengan IN, fraksi PKS, 6 Juli 2009).
50
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 50
6/22/2010 6:34:43 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Tarik menarik kepentingan kadangkala atau malah sering bertolak belakang satu sama lain, termasuk kepentingan partai pengusung. PKS yang bertindak membuat platform Visi/Misi juga memiliki kepentingan yang berbeda dengan pengusaha. Walaupun demikian, perbenturan kepentingan dalam penyusunan Visi dan Misi itu akhirnya dijembatani oleh Cawakot yang memberikan garansi politik yang bisa meredam konflik-konflik kepentingan yang saling bertolakbelakang dari berbagai stakeholder. Jika Walikota Bogor terpilih dalam Pilkada adalah incumbent yang lebih banyak melanjutkan Visi/Misi daerah periode sebelumnya dari kepemimpinannya, lalu bagaimamana halnya penyusunan Visi/ Misi Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Bandung melalui Pilkada langsung pada tahun 2005? Berbeda dengan Visi kota Bogor yang pendek, Visi Kabupaten Bandung sangat panjang, yaitu: Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertarahardja melalui akselerasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, kultural dan berwawasan lingkungan dengan berorientasi pada Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa. Masing-masing kata dalam Visi yang panjang itu memiliki tujuannya sendiri-sendiri. Kata Repeh Rapih Kertaraharja merujuk ke suatu kondisi masyarakat Kabupaten Bandung yang hidup dalam keadaan aman, tertib, tenram, damai, sejahtera, senantiasa berada dalam lindungan, bimbingan dan rahmat dari Allah SWT. Akselerasi Pembangunan atau percepatan pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di Kabupaten Bandung.
51
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 51
6/22/2010 6:34:43 PM
Erwiza Erman
Kata Partisipatif dalam Visi itu merupakan pendekatan yang diterapkan dalam upaya pencapaian tujuan dengan pengertian bahwa masyarakat mempunyai ruang yang sangat luas untuk berperan aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan dan pengawasan. Sesuai dengan paradigma ke pemerintahan yang baik, bahwa kedudukan masyarakat dalam pembangunan adalah sebagai subjek yang turut membantu mengarahkan pembangunan sesuai dengan prakarsa, tuntutan, kehendak dan kebutuhannya secara proporsional dan bertanggungjawab. Religius mengandung pengertian bahwa nilainilai, norma, semangat dan kaidah agama khususnya Islam yang diyakini dan dianut serta menjadi karakter dan identitas mayoritas masyarakat Kabupaten Bandung harus menjiwai, mewarnai, menjadi roh dan pedoman seluruh aktivitas kehidupan, termasuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dengan tetap menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan hidup beragama. Kata Kultural mengandung pengertian bahwa nilai-nilai budaya Sunda yang baik, melekat dan menjadi jati diri masyarakat Kabupaten Bandung harus tumbuh dan berkembang seiring dengan laju pembangunan, serta menjadi perekat keselarasan dan stabilitas sosial. Pengembangan budaya Sunda tersebut dilakukan dengan tetap menghargai pluralitas kehidupan masyarakat secara proporsional. Kata Berwawasan Lingkungan mengandung pengertian perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan yang didasari oleh kesadaran akan fungsi strategis lingkungan terhadap keberlangsungan hidup manusia. Daya dukung dan kualitas lingkungan harus menjadi acuan utama segala aktivitas pembangunan agar tercipta tatanan kehidupan yang seimbang, nyaman dan berkelanjutan. Terakhir adalah kata Peningkatan Kinerja Pembangunan Desa mengandung pengertian, bahwa pembangungan di Kabupaten Bandung memberikan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh 52
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 52
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
terhadap pembangunan desa, peningkatan kualitas kinerja pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Desa yang dalam susunan pemerintahan merupakan unit pemerintahan terendah adalah ujung tombak pembangunan Daerah dan locus yang menjadi muara seluruh aktivitas pembangunan. Untuk mewujudkan Visi sebagaimana dikemukakan di atas, dirumuskan 8 (delapan) Misi utama Kabupaten Bandung, yaitu:1) Mewujudkan Pemerintah yang baik;2) Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis; 3) Meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia; 4) Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; 5) Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan taqwa; 6) Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda; 7) Memelihara keseimbanga lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan; 8) Meningkatkan kinerja pembangunan desa.3 Sama halnya dengan kasus Kota Bogor bahwa secara substansial Visi/Misi pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung pada Pilkada 2005, dalam banyak hal, merupakan kelanjutan Visi/Misi periode sebelumnya (2001-2005). Hal ini disebabkan karena Bupati adalah incumbent, menduduki jabatan Bupati di Kabupaten Bandung pada periode 2001-2005, dan mengalami pertambahan dari 5 menjadi 8 point dengan menambahkan point-point baru, yakni nomor 6 (Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan taqwa; 7 (Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda; dan 8 (Meningkatkan kinerja pembangunan desa).
3
Bandingkan dengan Visi/Misi pemerintah Kabupaten Bandung periode pertama kepemim-pinan Obar. Visi tetap sama, yaitu mewujudkan masyarakat Kabupaten Bandung yang repeh, rapih, kertaraharja melalui pembangunan partisipatif berbasis religius, kultural, dan berwawasan lingkungan. Sementara jumlah Misi lebih sedikit dari Misi yang ditawarkan pasangan kandidat Pilkada Bupati 2005 yang terdiri dari lima point yaitu; Pertama, menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Kedua, menciptakan kondisi yang aman tertib, damai, dan dinamis. Ketiga, memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Keempat, memberdayakan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia berlandaskan iman dan takwa (imtak). Kelima, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan potensi ekonomi daerah. Lihat Pikiran Rakyat, 22 dan 23 April 2003.
53
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 53
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
Lalu apa rujukan yang dipakai untuk menyusun Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih (Obar Sobarna - Yadi Srimulyadi) pada masa Pilkada Bupati Bandung? Karena kandidat Walikota periode 2005-2009 adalah incumbent, maka sumber rujukan penyusunan Pilkada juga mengaju pada Rencana Strategis (Renstra), dan data-data yang disiapkan oleh Bappeda dan para Kepala Dinas. Menurut beberapa narasumber, tentu saja suplai data yang diberikan Bappeda dan para Kepala Dinas adalah kuat dalam menopang Visi/ Misi dan program-program prioritas yang akan digelar pada waktu kampanye. Lalu jika dibuat perbandingan dengan Bogor dalam penyusunan Visi/Misi kandidat Walikota Bogor yang juga incumbent, telah dikombinasikan dengan data survey dan FGD di lapangan dalam rangka menjaringan aspirasi masyarakat, maka di Bandung, metode pengumpulan data lapangan tidak terjadi. Dengan demikian, pertanyaan mengenai sejauhmana Visi/Misi pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih merefleksikan keinginan dan kebutuhan serta sesuai dengan potensi sosial-ekonomi daerah menurut beberapa narasumber belum terealisir, dan bahkan rumusannya sangat panjang, bertele-tele, kabur, sulit diukur, tidak realistis serta merupakan ”copy and paste” daerah lain yang tidak disesuaikan dengan kondisi lokal. Dalam kaitan ini, patut disimak pandangan salah seorang narasumber sebagai berikut: “Kertaraharja kan kesejahteraannya. Repeh, rapih kertaraharja, kan kemakmuran. Kalau kemakmuran kan sangat sulit untuk dicapai ya, makmur itu seperti apa. Tugas-tugas sosial itu semakin abstrak, karena kertaraharja itu yang segala ada itu kapan akan dicapai, gitu kan? Susah ukurannya, kesejahteraan sosial seperti apa? Lalu bagaimana mengukur keshalehan sosial, berjilbab atau membaca AlQuran saja? Bagaimana dengan pelayanan publik yang masih lambat?(TR, 18 Agustus 2009).
54
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 54
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul seputar data rujukan, ternyata Visi/Misi yang ditawarkan dalam kampanye Pilbup Bandung, Oktober 2005, pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih (Obar Subarna-Yadi Srimulyadi) yang diusung Koalisi Karya Pembangunan Bangsa, memperoleh kemenangan tipis dari pesaingnya (50,854), Dudin-Ridho yang diusung Koalisi Poros Umat (KPU) dengan perolehan suara 49,651%.4 Bagaimana kompetensi dan proses penyusunan Visi/Misi dan program prioritas yang ditawarkan pasangan kandidat terpilih? Apakah sudah melewati tahap-tahap yang ditentukan dan sejauhmana kepentingan ekonomi politik dalam proses penyusunan Visi/Misi tersebut, akan dijelaskan dalam uraian di bawah ini. 3.2.2 Proses Penyusunan Visi/Misi Penyusunan Visi/Misi pasangan kandidat Kepala/wakil Kepala Daerah terpilih tidak saja mengikuti tahapan-tahapan dari awal sampai akhir, tetapi dan yang lebih penting dicatat adalah bahwa perumusan Visi/Misi tersebut sebetulnya hasil proses negosiasi berbagai kelompok penyusun Visi/Misi; partai-partai pendukung dan tim sukses dengan tingkat kedekatan dan pengaruhnya terhadap pasangan kandidat terpilih. Dari rumusan Visi/Misi akan tampak warna penyusun/pemberi ide, ideologi partai, dan sekaligus pengaruhnya yang lebih dominan daripada pengaruh anggota penyusun yang lain. Lalu bagaimana halnya dengan proses penyusunan Visi/ Misi Walikota/wakil Walikota Bogor terpilih dalam Pilkada 2008? Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa sebagai incumbent, Walikota/wakil Walikota Bogor terpilih melanjutkan Visi/Misinya sebelumnya (2004-2009) yang kemudian diikuti dengan 4 (empat) Program Prioritas yang merupakan ’Janji Politik”. Empat program tersebut adalah:1) Pemberantasan Kemiskinan; 2) Kebersihan Kota; 3) Mengatasi Masalah Transportasi Kota; 4)Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Bagaimanakah proses Visi/Misi dan 4 Prioritas Program tersebut 4
Suara Karya, 31 Oktober 2009.
55
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 55
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
sampai ke dalam bentuknya yang kongkret yang kemudian disampaikan oleh pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih dalam kampanye mereka? Dari sejumlah wawancara dengan para narasumber proses penyusunan Visi/Misi dan 4 empat program prioritas digodok oleh beberapa kelompok dalam lingkaran yang terdapat dalam skema di bawah ini (skema 1). Semakin dekat lingkaran tersebut ke arah pusatnya (Walikota) semakin besar pengaruhnya dalam perumusan Visi/ Misi dan program prioritasnya. Kelompok pertama disebut Tim Inti yang beranggotakan antara lain: AY, Hs, Br, RM dan FP. Disamping Tim INTI, terdapat dua Tim lainnya yang berperan sebagai mitra, yaitu Tim Birokrat yang beranggotakan antara lain AF, YM, KS dan IR; dan Tim Sukses Pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih pada umumnya beranggotakan para kader politik pengusung pasangan calon. Hubungan sosial antara anggota kelompok-kelompok dengan Walikota nampaknya bukanlah hubungan yang dibentuk seketika. Artinya, orang-orang yang masuk dan berperan dalam merumuskan Visi/Misi dan 4 prioritas program telah menjalin hubungan sejak lama baik melalui aliansi vertikal maupun horizontal. Melalui aliansi vertikal, yakni
Skema 3.2 Komposisi Tim Penyusun Visi/Misi Pasangan Walikota/Wakil Walikota Bogor Pada Pilkada, April 2008
56
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 56
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Melalui hubungan Atasan-Bawahan periode pertama kepemimpinan Walikota. Keempat anggota Tim dari Birokrasi adalah kolega Walikota, baik sewaktu menjabat sebagai Kepala Dinas maupun sewaktu menjabat sebagai Walikota Periode 2004-2008. Kecuali IR, ketiga orang anggota dari birokrasi sudah menjalani masa pensiun. Sementara itu, hubungan sosial berdasarkan pertemanan (aliansi horizontal) sekelas, se-almamater ditemukan dalam Tim Inti yang beranggotakan AY, Hs, Bn. Hubungan sosial antara Tim Inti dengan Walikota terpilih adalah yang paling dekat dibanding dengan kelompok-kelompok lain. Sejauhmana Tim Sukses dan Partai Pengusung memiliki kepentingan dalam penyusunan Visi/Misi/Program dari Walikota terpilih? Ada 9 partai pendukung pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih, yakni Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Demokrat Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar (PG), Partai Patriot, Partai Kebangsaan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Sarekat Indonesia (PSI), Partai Buruh Sosiall Demokrat (PBSD), dan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK). Dari 9 partai pendukung ini, yang paling berpengaruh dalam menentukan Visi/Misi dan Prioritas Program adalah PKS dan baru PDI-P dan Golkar. PKS yang merupakan partai Walikota terpilih telah memasukkan ide-ide mengenai Visi/Misi Walikota terpilih. Ini terlihat dari kata madani dan amanah suatu ide yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh PKS Bogor. Sementara itu, ide PKS5 dalam penentuan prioritas program muncul dalam masalah Pemberantasan Kemiskinan, sedangkan PDI-P mengajukan usulannya dengan program penataan Pedagang Kaki Lima.Walaupun muncul berbagai usulan dari berbagai kelompok baik Birokrat, Tim Sukses dan Partai Pendukung, Tim Inti berperan lebih dominan dalam mengakomodir dan menjahit konsep yang diajukan untuk kemudian didiskusikan dengan pasangan Walikota dan Wakil 5
Wawancara dengan Yosie/Ketua DPD PKS Kota Bogor), Juli 2009.
57
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 57
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
Walikota terpilih. Menurut berbagai narasumber, bahwa perspektif dan ide-ide pasangan Walikota terpilih tetap berperan sebagai rujukan utama dan menentukan. Hampir tidak ada perbedaan makna dari Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih dengan Visi dan Misi kota Bogor, kecuali dalam hal perumusan kata-kata. Kecuali Misi nomor 4 (tiga), Misi 1,2, 3 pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih secara redaksional mengalami beberapa perubahan kalimatnya yang nampak lebih padat, singkat dari pada kalimat-kalimat yang terdapat dalam Misi Kota Bogor. Selain dilakukan oleh tiga Tim di atas, proses penyusunan Visi/ Misi pada Pilkada Walikota Oktober 2008 ini juga melibatkan sejumlah akademisi, dan pengusaha antara lain adalah In, seorang doktor di bidang ekonomi dari Universitas Pakuan, Md, ahli di bidang pembangunan infra-struktur, dan Lf (IPB). Para akademisi memiliki hubungan personal yang sangat dekat dengan Walikota dan para petinggi birokrat lainnya. Menurut informasi yang diperoleh dari beberapa narasumber diketahui, bahwa pihak akademisi ini sebenarnya sudah memiliki hubungan sosial yang lama dengan Pemda dalam pengerjaan sejumlah proyek. Sementara itu, dari pihak pengusaha antara lain adalah RT. Ia yang menjabat sebagai Ketua Kadin, berasal dari luar kota Bogor dan sudah lama bermukim di Bogor. Ia adalah doktor di bidang ekonomi dari Institut Pertanian Bogor, yang menurut berbagai sumber memiliki kedekatan langsung dengan Walikota. 6 Seberapa jauh pengaruh RT dalam penyusunan Visi/Misi dan program prioritas Walikota dapat dilihat dari komentar salah seorang informan berikut ini: ”Ada skenario dibalik itu jadi menurut saya pak walikota itu presure groupnya bukan cuma partai, mereka menekan tapi tidak terasa 6
Tokoh ini memiliki perhatian besar terhadap Pedagang Kali Lima dan kini beredar isu bahwa ia akan menjadi Ketua Pasar Bogor.
58
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 58
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
menekan jadi dengan begitu pengaruhnya itu masuklah interaksi dan Bogor ini disulap menjadi sesuai dengan keinginan dia, kira-kira begitu kalau saya melihatnya. Menjadikan yang tidak punya karakter, kota bisnis yang bukan bisnis.(Wawancara dengan DD, 6 Juli 2009). Visi/Misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih ini sudah mulai disiapkan jauh sebelum Pilkada berlangsung. Setelah melalui pengumpulan beberapa data rujukan, baik dari yang disediakan oleh Pemda, data survey lapangan, ’jaring asmara’ dan sejumlah Focus Group Discussion dengan berbagai stakeholders, maka akhirnya keluarlah Visi/Misi pasangan Walikota terpilih dengan kalimat-kalimat yang sudah dipadatkan yang tidak berbeda jauh maknanya dari Visi/ Misi pemerintahan Kota Bogor selama 5 tahun sebelumnya disertai dengan 4 prioritas program. Tabel 3.1 di bawah ini memperlihatkan perbandingan Visi/Misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih dengan 4 pasangan lainnya. Tabel 3.1 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Walikota Terpilih dengan Visi/Misi Kota Bogor Pasangan Walikota terpilih Visi Kota Jasa yang nyaman dengan No masyarakat yang madani dan pemerintahan amanah
1.
2.
Kota Bogor Visi Kota Jasa yang nyaman dengan masyarakat Madani, yang didukung oleh pemerintahan yang amanah Misi Misi Mengembangkan perekonomian Mengembangkan perekonomian mamasyarakat dengan titik berat pada syarakat dengan titik berat pada jasa sektor jasa yang berbasiskan potensi yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal sumber daya yang ada Mewujudkan kota yang bersih, indah, Mewujudkan kota yang bersih, tertib nyaman dan aman dengan sarana dan dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan prasarana yang berwawasan lingkungan. berwawasan lingkungan
59
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 59
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
3.
Meningkatkan sumberdaya manusia yang berakhlak, kreatif, inovatif, dan bermental wirausaha. 4. Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Sumber: Radar Bogor, 24 November 2008.
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang beriman dan berketrampilan Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum.
Tabel 3.2 Perbandingan Visi/Misi Walikota dan Calon Walikota Terpilih dengan Empat pasangan lainnya No 1.
Pasangan Kandidat Diani Budiato Achmad Ru’yat (Diani-Ru’yat)
Visi/Misi
2.
1) Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada sektor jasa yang berbasiskan potensi sumberdaya lokal; 2) Mewujudkan kota yang bersih, indah, nyaman dan aman dengan sarana dan prasarana yang berwawasan lingkungan; 3) Meningkatkan sumberdaya manusia yang berakhlak, kreatif, inovatif, dan bermental wirausaha; 4) Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Dodi RosadiMenciptakan Bogor sebagai kota perdagangan yang bermartaErik Irawan Su- bat dan berwawasan lingkungan ganda (DO’A) 1) Mengurangi pengeluaran masyarakat untuk hal-hal yang prinsip; 2) Memberikan pengetahuan tambahan bagi masyarakat yang tidak mampu agar dapat mandiri; 3) Membiasakan hidup ramah lingkungan; 4) Melaksanakan pembangunan secara efektif dan efisien berdasarkan skala prioritas
Kota Jasa yang nyaman dengan masyarakat yang madani dan pemerintahan amanah.
60
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 60
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek 3.
Iis SupriatiniAhani (INI)
4.
Syafei Bratasenjaya-Akik Darul Tahkik (SADAR)
Menata kota menuju masyarakat cerdas, sehat, sejahtera dan bermartabat 1) Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memperoleh layanan pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan; 2) Melaksanakan pembangunan berkelanjutan disegala bidang; 3) Menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih; 4) Meningkatkan kerjasama disegala bidang dengan pelayanan masyarakat yang baik. 5) Meningkatkan pemberdayaan dan partisipatif masyarakat dalam bidang politik dan pembangunan demokrasi dalam kerangka otonomi daerah. Pasangan SADAR membangun Kota Bogor
1) Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa ( clean and good government). 2) Kembalikan wibawa Pemerintah Kota Bogor dimata masyarakat untuk mengatasi permasalahan di Kota Bogor. 3) Prioritaskan penanganan masalah Kebersihan, PKL, transportasi dan kemiskinan. 4) Mewujudkan kota Bogor yang aman dan nyaman. 5.
Ki Gendeng PamungkasAchmad Chusaeri
Kota tertib, aman, nyaman dan berwatak manusiawi
1) Memotong satu generasi pejabat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. 2) Hilangkan Birokasi KKN, Berikan Otonomi Lurah dan Camat. 3) Pelayanan pendidikan dan Kesehatan Gratis, Prioritaskan Siswa Kota Bogor. 4) Bangun Kawasan Khusus Bagi Pedagang Kaki Lima (PKL).
Sumber: Radar Bogor, 24 November 2008.
Terdapat beberapa titik persinggungan Visi/Misi pasangan Walikota/Wakil Walikota terpilih dengan ke empat pasangan lainnya. Misalnya masalah pemerintahan yang efisien, efektif, bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), kota jasa yang aman dan nyaman, termasuk pengaturan masalah Pedagang Kaki Lima. Visi dan Misi ini kemudian disampaikan dalam debat Visi/Misi oleh ke 5 pasangan calon. 61
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 61
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
Lalu mekanisme apa yang harus dilalui untuk kemudian Visi/Misi itu dipaparkan di DPRD dan kepada publik? Mekanisme penyusunan Visi/ Misi memang mengikuti aturan-aturan formal yang semestinya dijalankan. Ini terbukti diadakannya sejumlah diskusi internal baik yang diadakan oleh Tim Inti, Tim Sukses dan Tim Birokrasi. Menurut beberapa nara sumber, meskipun diskusi-diskusi internal diadakan begitu intensif, akan tetapi dalam sejumlah pertemuan pembahasan Visi/Misi tersebut lebih banyak bersifat teknis daripada substansial. Misalnya, hanya mendiskusikan masalah redaksional (penggunaan kata-kata) atau masalah penampilan seperti soal pakaian. Penyampaian Visi/Misi kelima kandidat Walikota dan Wakil Walikota Bogor dihadapan sidang Paripurna istimewa DPRD Kota Bogor yang dipimpin oleh Ketuanya H.Tb Tatang Muchtar, di Gedung Kemuning Gading Bogor pada 8 Oktober 2008. Sidang Paripurna dihadiri pejabat sementara (pjs)Walikota Bogor H Bambang Gunawan Suganda, jajaran Muspida, pimpinan partai politik, organisasi massa, dan pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Kota Bogor. Penyampaian Visi/Misi kelima kandidat walikota dan wakil walikota Bogor dipandu oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bogor H. Radjab Tampubolon. Kesempatan penyampaian Visi/Misi dilakukan secara bergiliran sesuai urutan nomor Kandidat calon walikota/wakil walikota Bogor. Dalam menyampaikan visi dan misinya lima kandidat hanya diberikan kesempatan waktu memaparkan visi dan misinya selama 20 menit. Berbeda dengan keempat pasangan kandidat lain, pasangan Walikota/Wakil Walikota terpilih lebih banyak menyampaikan keberhasilan yang telah dicapainya selama memimpin Kota Bogor sejak tahun 2004. Calon walikota dari incumbent ini memaparkan berbagai kemajuan program pembangunan yang telah dilakukannya, antara lain sarana dan prasarana kota yang mengalami perkembangan yang meningkat dengan dibangunnya berbagai jalan tembus baru, seperti Bogor Outer Ring Road (BOOR), under-pass di jalan Sholeh Iskandar. 62
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 62
6/22/2010 6:34:44 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Pembangunan jalan tembus ini telah membuka akses ke beberapa daerah terisolir dan mengurangi kemacetan transportasi di Kota Angkot, Bogor. Program lainnya yang mendapat respon positif dari masyarakat adalah SD gratis, dan program block grant, serta berbagai program lainnya yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pasangan ini kemudian menetapkan empat skala prioritas pembangunan yang berfokus pada permasalahan kemiskinan, transportasi, Pedagang Kaki Lima (PKL), dan kebersihan.7 Debat kandidat Walikota Bogor mendapat sorotan dari para pengamat. Beddy Iriawan Maksudi, pengamat politik dari Universitas Djuanda (Unida) Bogor mengatakan bahwa karena keterbatasan waktu, penyampaian Visi/Misi dan Program tidak begitu baik. Menurutnya: ”...para kandidat tidak kongkrit menjelaskan program politik mereka. Semua yang dilontarkan masih sangat abstrak. Jadinya masyarakat bingung dengan paparan program mereka. ...’komunikasi yang buruk berakibat tidak terdistribusikannya Visi/Misi untuk masyarakat Bogor. Penyampaian janji seperti memberantas korupsi, mengurangi pengangguran dan mengatur pedagang kaki lima (PKL) masih pada tataran wacana”(Radar Bogor, 9 Oktober 2009). Selain kritik terhadap cara penyampaian keseluruhan Visi/Misi yang tidak komunikatif oleh kelima pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota, kritik yang tajam juga diarahkan oleh berbagai pihak terhadap pengertian Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Visi Kota Jasa yang Nyaman... menurut berbagai narasumber harus dipahami secara komprehensif, tidak melihat pada masalah pembangunan fisik saja atau menjadikan rumah-rumah kuno di sepanjang jalan utama berubah fungsi sebagai outlet atau restoran 7
Radar Bogor, 9 Oktober 2008. Menurut mass media, penyampaikan visi dan misi lima pasangan calon walikota dan wakil walikota Bogor, standar, tidak ada yang lebih istimewa. Kelima pasangan kandidat calon walikota dan wakil walikota Bogor ini lebih banyak memaparkan Visi/Misi-nya mengenai permasalahan klasik yang dihadapi Kota Bogor seperti transportasi, kebersihan, Pedagang Kaki Lima (PKL), Kemiskinan, pengangguran, lingkungan, kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastuktur.
63
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 63
6/22/2010 6:34:44 PM
Erwiza Erman
ataupun membangun hotel-hotel tanpa memperhatikan RTRW Bogor yang luasnya hanya 11.000 ha. Bagi pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih, tekanan pada sektor jasa juga mendapat dukungan dari publik, walaupun terkesan ada perbedaan antara Pemda dan masyarakat dalam mengoperasional-kan definisi sektor ini.8 Walaupun tekanan pada sektor jasa mendapat dukungan publik, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh alasan-alasan ’implisit’ dibalik formulasi visi Kota Bogor tersebut, ternyata memiliki tujuan ganda. Pengembangan sektor jasa selain bertujuan untuk memobilisasi PAD Kota melalui pajak dan retribusi, juga untuk kepentingan ’pemerintah’(elit lokal) daerah. Bagaimana halnya dengan proses penyusunan Visi/Misi pasangan kepala/wakil kepala daerah terpilih di Bandung? Seperti di daerah lain, ada tiga rumusan Visi/Misi Kabupaten Bandung. Pertama adalah Visi/Misi Kabupaten Bandung yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Kedua, Visi/Misi pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang dikampanyekan pada masa Pilbup bulan Oktober 2005. Ketiga, adalah Visi/Misi pemerintah Kabupaten Bandung yang merupakan turunan dari Visi/Misi pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih yang telah didiskusikan dan dituangkan dalam 5 tahun pemerintahannya, yakni dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk periode 2005-2009. Visi/Misi pemerintah daerah yang dituangkan dalam RPJMD dalam kasus Kabupaten Bandung mengalami perubahan pada tahun 2007. Perubahan ini disebabkan adanya pemekaran Kabupaten, yakni Kabupaten Bandung Barat yang memisahkan diri dari induknya, Kabupaten Bandung.
8
Pengembangan sektor jasa tidak terlepas dari kritik, terutama dari kalangan yang ingin melestarikan warisan budaya Kota Bogor. Pengalihan fungsi rumah-rumah kuno menjadi outlet-outlet yang dimaksudkan untuk menyerap dan mengalihkan pengunjung dari Bandung ke Bogor menurut mereka selain menganggu kenyamanan dan keindahan kota, tujuan itupun juga tidak tercapai. Wawancara dengan Baihaqi, Uka Candra, Juli 2009.
64
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 64
6/22/2010 6:34:45 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Dilihat dari komposisi Tim Penyusun Visi/Misi, setidaknya ada tiga kelompok di luar kandidat Bupati. Visi/Misi itu tahap pertama sebenarnya datang dari kandidat Bupati, militer, tokoh lama Golkar, mantan Ketua DPRD (tahun 2000), incumbent dan kini menjabat sebagai Ketua DPD Golkar. Sebelum dibahas di Tim birokrat, Bappeda dan dinas-dinas terkait, Visi/Misi digodok oleh Litbang Golkar. “Meskipun incombent, beliau punya litbang sendiri, litbang Golkar. Jadi yang menyusun Visi, Misi Bupati Obar yang kedua bukan Bapeda, tapi dari litbangnya Golkar”. Tim birokrat tidak begitu berperan dalam perumusan. Mereka lebih berfungsi sebagai pensuplai data, daripada membahas secara detil konsep Visi/Misi dan program. Selain itu, ada kelompok akademisi yang berasal dari Universitas (Pajajaran) yang juga berperan mendiskusikan Visi/Misi yang berada di bawah Tim Birokrat. Selain kelompok ini, ada Tim Sukses dan Partai Politik Pendukung yang berada di lingkaran yang lebih luar daripada lingkaran Tim Birokrat. Partai politik pendukung pasangan Bupati dan Wakil Bupati adalah PDI-P, PKB. Baik Tim Sukses maupun Partai Politik pendukung nampaknya tidak begitu berperan dalam merumuskan Visi/Misi dan programprogram prioritas yang akan ‘dijual’ untuk kampanye merebut massa. Melihat latar belakang tim penyusun Visi/Misi pada skema di bawah ini, maka kekuatan utama dan memutuskan, diperankan oleh Bupati terpilih yang berpengalaman lama di bidang militer. Ia juga merupakan tokoh Golkar, golongan tua yang memegang posisi kunci baik di kepartaian, berpengalaman lama di legislatif dan eksekutif dan dalam banyak hal masih mewarisi tradisi politik dan gaya pemerintahan ‘Orde Baru’.9 Perannya begitu kuat, membentuk kelompok dan aliansi sendiri, baik dalam hubungan partai, keluarga maupun hubungan “Bapak-Anak buah” dalam birokrasi. Perannya 9
Partai Golkar di Kabupaten Bandung sebenarnya terdiri dari dua kelompok; kelompok tua yang masih meneruskan tradisi politik dan pemerintahan gaya “Orde Baru” dan kelompok muda yang sudah lebih demokratis. Wawancara dengan narasumber dari kelompok muda partai Golkar, 18 Agustus 2009.
65
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 65
6/22/2010 6:34:45 PM
Erwiza Erman
lebih kuat dan menentukan dalam perumusan Visi/Misi dan program yang akan ‘dijual’nya dalam kampanye Pilkada 2005. Menurut beberapa narasumber, bahwa pergeseran dalam perumusan Visi/Misi tersebut pada periode Pilkada Bupati periode 2005-2009 ini tidak begitu siknifikan, sebagaimana diungkapkan oleh salah narasumber berikut ini. “Terjadi sedikit pergeseran [perubahan, pen] dalam [perumusan] Visi/Misi; yang pertama berorientasi pembangunan masyarakat pedesaan, kini berorientasi kultural dan relijius. Pergeseran ini juga disebabkan munculnya dua partai pendukung, yakni PKB dan PDI-P”( (TB R, 18 Agustus 2009). Perubahan adalah pada penambahan 3 point, sebagaimana sudah dijelaskan di atas yang berasal dari dua partai besar PKB dan PDI-P, terutama masalah relijius, budaya dan pembangunan masyarakat desa.
Skema 3.3 Komposisi Tim Penyusun Visi/Misi Pasangan Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bandung Pada Pilkada Oktober 2005
66
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 66
6/22/2010 6:34:45 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
Diskusi-diskusi mengenai Visi/Misi baru terjadi setelah keluar dari hasil godokan internal partai Golkar. Diskusi dengan PDI-P dan PKB serta Tim Sukses memang ada, akan tetapi hanya sekedar memenuhi syarat. Oleh karena itu, proses pembuatan Visi/Misi itu menurut salah seorang narasumber “lebih oligarkhis sifatnya, dan ada kelompokkelompok tertentu yang mendominasi pemikiran-pemikiran yang tidak jelas dari mana asal usulnya”.10
3.3 Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sejauhmana peran DPRD dalam penilaian Visi/Misi pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung? Tak ada perbedaan yang siknifikan dalam kaitan dengan peran anggota DPRD dalam hal pemaparan Visi/Misi pasangan Kepala/ wakil Kepala daerah. Baik pemaparan Visi/Misi kandidat pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah di Kota Bogor maupun di Kabupaten Bandung, keduanya bersifat monolog. Anggota DPRD praktis hanya mendengarkan pemaparan Visi/Misi setiap pasangan calon. Tak ada hak anggota DPRD untuk menyanggah atau memberikan kritik terhadap penyampaian Visi/Misi tersebut, sebagaimana sudah diatur dalam Undang-undang Pilkada. Pasangan calon hanya bertugas memaparkan Visi/Misi dan programnya di depan anggota dewan (DPRD). Karena itu, jika anggota DPRD memiliki kritikan, pertanyaan dan sanggahan terhadap Visi/Misi dan program yang disampaikan para kandidat, maka satu-satunya jalan adalah melalui jalur partai di luar forum sidang paripurna DPR. Persoalan kompetensi dan tidak kompetensinya anggota DPR tidak menjadi masalah, karena sejak Pilkada langsung ini, anggota DPRD hanya berperan mendengarkan pemaparan Visi/Misi ketiga pasangan calon. Peran DPRD hanya membahas penurunan Visi/Misi ke 10
Wawancara dengan TB RA, 18 Agustus 2009.
67
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 67
6/22/2010 6:34:45 PM
Erwiza Erman
dalam RPJMD. Kondisi ini sebenarnya tidak memuaskan anggota DPRD, akan tetapi mereka dihambat oleh aturan baru masa reformasi. Menurut laporan pandangan mata mengenai penyampaian Visi/Misi tersebut, kelima calon pasangan kandidat Kepala/Wakil kepala daerah Kota Bogor, ternyata menyampaikan program yang hampir sama, akan tetapi berbeda tekanan saja, misalnya pada masalah kemacetan transportasi, pedagang kaki lima, pendidikan dan kebersihan. Perbedaannya terletak pada incumbent atau tidak incumbentnya pasangan, dalam arti bahwa pasangan incumbent seperti Diany-Rukyat lebih banyak memberikan keberhasilan pemerintahan sebelumnya dalam mengatasi masalah ini, ketimbang memaparkan Visi/Misi mereka sendiri seperti halnya empat Cawakot dan Cawalikot lainnya. Peran dan tanggapan anggota DPRD yang sama terhadap Visi/ Misi Kepala dan Wakil kepala Daerah juga dijumpai di Kabupaten Bandung. Komentar-komentar yang sama, seperti pemaparan yang monolog, membosankan dengan lugas diungkapkan oleh para anggota DPRD Kabupaten Bandung dalam menanggapi perannya yang semakin mengecil dibanding dengan sebelum berlakunya Pilkada langsung. Kondisi semacam inilah yang dikritisi anggota dewan yang sekaligus menunjukkan kekecewaan mereka terhadap peran mereka yang sudah menurun. Mari disimak ungkapan salah seorang wakil partai berikut ini: ”Saat ini DPRD praktis hanya mendengarkan pemaparan Visi/ Misi setiap pasangan calon Bupati/wakil Bupati terpilih. “Kami anggota Dewan tidak berbuat apa-apa, kecuali duduk manis mendengarkan visi/misi dari setiap calon. Maka dalam kaitan ini tidak diperlukan lagi kompetensi anggota Dewan. ...Kami sampai mengantuk karena mendengarkan pemaparan Visi/Misi yang sangat monolog itu”, ... Masih lebih bagus tahun 2000 diberi kesempatan kepada dewan untuk
68
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 68
6/22/2010 6:34:45 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
bertanya, sekarang tidak ada kesempatan itu (Wawancara dengan Triska, 12 Agustus 2009) Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya anggota DPRD tidak merasa puas dengan fungsi mereka yang hanya ‘mendengarkan’ pemaparan Visi/Misi itu. Dalam kaitan dengan peran mereka yang monolog itu, muncul pengalaman perbandingannya dalam peran anggota DPRD menanggapi Visi/Misi Kepala dan Wakil Kepala daerah terpilih pada masa sebelumnya.
3.4 PENUTUP Pemilihan langsung Kepala dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) yang diadakan sekali dalam 5 tahun adalah kesempatan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah lama dan meletakkan setumpuk harapan kepada Kepala Daerah terpilih yang mengusung Visi/Misi dan program-programnya yang baru. Dari uraian terdahulu sudah dijelaskan mengenai proses penyusunan Visi/Misi Kepala Daerah, daftar rujukan yang digunakan, komposisi dan kompetensi tim penyusun serta peran DPR. Pertanyaan lebih jauh adalah seberapa jauh proses penyusunan Visi/Misi tersebut dikaitkan dengan potensi dan kemampuan riil daerah? Dilihat dari rujukan, proses-proses yang dilalui sampai kemudian Visi/Misi disampaikan dalam sidang Paripurna DPRD dan juga diperdebatkan di berbagai kesempatan, termasuk melalui mass media (TV), boleh dikatakan telah mengikuti aturan-aturan formal. Walaupun demikian, dilihat dari cara-cara di mana Visi/Misi dan program prioritas yang ditawarkan kandidat, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, nampaknya masih jauh dari harapan. Sebab, penyusunan Visi/Misi bertujuan untuk kepentingan sesaat atau berjangka pendek, kepentingan ekonomi dan politik individu dan kelompok yang memiliki pengaruh yang dominan.
69
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 69
6/22/2010 6:34:45 PM
Erwiza Erman
Sebagaimana ditemukan dalam Visi Kabupaten Bandung, sebagian dari perumusan Visi malah justru bertele-tele, terlalu abstrak dan bahkan dijabarkan dalam pengertian yang sempit. Perumusan kata-kata dalam Visi dan turunannya menjadi Misi dan program prioritas adalah hasil negosiasi antara kelompok-kelompok yang terlibat yang kemudian dimenangkan oleh kelompok yang memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Kepala daerah terpilih. Misalnya perumusan kata-kata dalam Visi adalah hasil negosiasi antar partai politik yang dalam kasus Bogor, lebih banyak diwarnai oleh kepentingan ideologi PKS, dan PDI-P. Berbeda halnya dengan Kabupaten Bandung yang lebih didominasi oleh partai kuning, Partai Golkar dan PDI-P. Kepentingan partai, dominannya pengaruh incumbent, hubungan sosial yang dibentuk para incumbent dengan bawahannya, lebih mewarnai dalam soal bagaimana cara merumuskan kata-kata dalam Visi/Misi tersebut oleh aktor-aktor yang terlibat. Meskipun semua prosedur penyusunan Visi/Misi sudah dibungkus dengan kotak ‘demokratis’, akan tetapi tidak dapat dihindari bahwa cara di dalam mana Visi/Misi dirumuskan, nyata lebih ‘oligarkhis’. Kondisi ini akan berbahaya untuk Pilkada mendatang, jika cara-cara ini masih diteruskan. Visi/Misi yang berjangka pendek demi untuk memenuhi kepentingan sesaat untuk menarik pendukung memenangkan suara dalam Pilkada, mengandung tujuan ganda. Seperti yang terdapat dalam kasus kota Bogor misalnya, Visi “Kota Jasa yang nyaman...” memang memiliki sejumlah harapan, akan tetapi dihadapkan pula pada kepentingan-kepentingan ekonomi elit pemerintahan lokal. “Kota Jasa yang nyaman” sebagaimana indah dibayangkan ketika Visi ini dikeluarkan, akan tetapi dihadapkan pada kepentingan pengusaha (kepentingan ekonomi) membangun mall, hotel, dan menjadikan rumah-rumah kuno di sepanjang jalan utama menjadi outlet. Akibatnya, “kota jasa yang nyaman” menjadi “kota jasa yang tidak nyaman” bagi penduduk kota. Karena itu, baik budayawan maupun 70
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 70
6/22/2010 6:34:45 PM
Harapan Versus Kekuasaan: ”Visi/Misi Pilkada” Dan Kepentingan Ekonomi Politik Jangka Pendek
kelompok pencinta lingkungan melakukan kritik tajam terhadap arti dan makna yang dalam dari Visi ‘nyaman’. Dalam kasus perumusan Visi yang ‘oligarkhis’ oleh pasangan Kepala daerah terpilih di Kabupaten Bandung, dengan kalimat panjang, dan ‘bertele-tele’menurut pandangan beberapa narasumber, tidak mencerminkan potensi dan tantangan yang sesungguhnya. Kalimatnya lebih merupakan “kalimat bangga, gagah, formalitas, akan tetapi miskin makna”.
71
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 71
6/22/2010 6:34:45 PM
Syarif Hidayat
72
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 72
6/22/2010 6:34:45 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAB 4 KONSISTENSI ANTARA “VISI/MISI PILKADA” DENGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH Syarif Hidayat
4.1 Pengantar Bab ini akan berupaya untuk menjelaskan temuan sutdi di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung berkaitan dengan aspek penelitian ketiga, dan/atau pertanyaan penelitian yang kedua, yaitu: sejauh mana telah terjadi konsistensi antara Visi/Misi pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah terlipilih dalam Pilkada dengan perencanaan pembangunan daerah pada pasca Pilkada. Konsistensi antara Visi/Misi pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah dengan perencanaan pembangunan daerah tersebut menjadi sangat krusial untuk diketahui, karena sebagai kosekuensi dari diterapkannya sistem Pilkada secara langsung, maka Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada dengan sendirinya akan menjadi Visi/Misi pemerintah daerah, dan oleh karenanya akan berperan sebagai ”rujukan utama” dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya, RPJMD yang telah disusun berdasarkan Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih tersebut, dijadikan sebagai ”landas-pijak” dalam menyusun Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Pembahasan pada bagian berikut, akan dimulai dengan menyajikan ulasan singkat tentang proses/mekanisme formal penyusunan RPJMD. Kemudian, untuk mengetahui dinamika yang terjadi dalam proses “penurunan” visi/misi kedalam perencanaan daerah, maka pada sub-bagian berikutnya juga akan disajikan temuan penelitian di Kota 73
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 73
6/22/2010 6:34:45 PM
Syarif Hidayat
Bogor dan Kabupaten Bandung, tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses penyusunan RPJMD. Terakhir, pada penghujung Bab ini akan disajikan ”generalisasi” tentang apakah telah terjadi ”konsistensi” antara visi/misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada dengan visi/misi pemerintah daerah pada pasca Pilkada.
4.2 Pilkada dan Visi/Misi Pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah. Secara harfiah, “Visi” dapat diartikan sebagai ide atau cita-cita yang bersifat jangka panjang dan strategis. Oleh karenanya, dapat dapat dimengerti bila visi cenderung bersifat normatif dan idelistik. Sedangkah “misi” adalah langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mewujudkan visi, yang tentunya harus lebih berisifat operasional, realitsi dan jelas sasarannya. Kriteria umum sebagaimana dikemukakan di atas, hampir seluruhnya tercermin pada rumusan visi/misi pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah di lokasi penelitian (Kota Bogor dan Kabupaten Bandung). Di Kota Bogor, misalnya, visi yang diusung oleh pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih ketika Pilkada berlangsung adalah: “Kota Jasa Yang Nyaman, dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah”. Visi ini, kemudian telah diturunkan kedalam 4 (empat) misi utama, yaitu: 1) Pemberantasan Kemiskinan; 2) Kebersihan Kota; 3) Mengatasi Masalah Transportasi Kota; dan 4) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Sementara, di Kabupaten Bandung, visi yang diusung oleh pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih ketika Pilkada berlangsung adalah: Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertarahardja melalui akselerasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, kultural dan berwawasan lingkungan dengan berorientasi pada Peningkaan Kinerja Pembangunan Desa. Selanjutnya, visi ini
74
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 74
6/22/2010 6:34:45 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
telah ditrunkan kedalam 8 (delapan) misi, yaitu: 1) Mewujudkan Pemerintah yang baik; 2) Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis; 3) Meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia; 4) Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; 5) Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan taqwa; 6) Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda; 7) Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan; dan 8) Meningkatkan kinerja pembangunan desa.
4.3 Mekanisme Formal Penyusunan RPJMD Secara teknis, untuk sampai pada tahap penetapan Peraturan Daerah (Perda), proses penyusunan RPJMD, sedikitnya harus melalui 3 (tiga) fase penggodokan, yaitu: penyusunan Rancangan Awal RPJMD; penyusunan Rancangan RPJMD, dan penyusunan Rancangan Akhir RPJMD (lihat Diagram 1) Pada tahap pertama (Penyusunan Rancangan Awal RPJMD), sedikitnya ada tiga pilar utama yang harus dijadikan sebagai basis informasi. Tiga pilar yang dimaksud adalah: a) visi/misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada; b) kemampuan keuangan daerah; dan c) prediksi umum tentang kondisi/potensi daerah, yang meliputi, antara lain: kondisi geografis, perekonomian daerah, kondisi sosial budaya, dan kondisi pemerintahan umum. Berdasarkan asupan data dan informasi inilah, Rancangan Awal RPJMD disusun, dengan substansi utama meliputi, antara lain: Strategi Pembangunan Daerah, Arah Kebijakan Umum, Arah Kebijakan Keuangan Daerah, dan Program Prioritas Kepala Daerah. Rancangan Awal RPJMD yang telah disusun ini, selanjutnya akan berperan sebagai dokumen rujukan bagi penyusunan Rancangan Rencana Strategis (Renstra) masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
75
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 75
6/22/2010 6:34:45 PM
Syarif Hidayat
Diagram 4.1 Mekanisme Penyusunan RPJMD
4.4 Proses Penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung 4.4.1 Mekanisme Penyusunan RPJMD dan Data Rujukan Setelah melalui proses pematangan dan pendalamanpendalaman, Rancangan Awal RPJMD kemudian memasuki fase kedua dengan status sebagai Rancangan RPJMD. Pada fase ini, secara teknis, materi perencanaan daerah, telah semakin konkrit dan lebih 76
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 76
6/22/2010 6:34:45 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
elaboratif. Hal ini ditunjukkan oleh muatan Rancangan RPJMD yang secara substansil menjelaskan empat issu utama, yaitu: a) visi, misi, dan program pemerintah daerah, b) arah kebijakan keuangan daerah, c) starategi pembangunan daerah dan kebijakanan umum, serta d) program pembangunan dan indikasi pendanaan. Untuk mencipatakan sinergi perencanaan pembangunan, antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun dengan pemerintah kecamatan, maka Rancangan RPJMD selanjutnya dibahas dan didiskusikan melalui forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Inilah, secara teknis, fase ketiga dari rangkaian proses penyusunan RPJMD. Tujuan utama dari forum Musrenbang tersebut tidak lain adalah, untuk mendapatkan masukan dan komitmen dari para pemangku kepentingan (stakeholders) berkaitan dengan Rancangan RPJMD, untuk selanjutnya menghasilkan Rancangan Akhir RPJMD. Segera setelah Rancangan Akhir RPJMD selesai disusun pihak pemerintah deaerah (Bappeda), langkah beri kutnya adalah menyerahkan konsep RPJMD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan sebagai dokumen resmi perencanaan daerah melalui Peraturan Pemerintah Daerah (Perda). Secara singkat, rangkaian mekanisme penyusunan RPJMD tersebut dapat divisualisasikan pada Diagram 4.1
4.5 Proses Penyusunan RPJMD di Kabupaten Bandung
Kota Bogor dan
4.5.1 Mekanisme Penyusunan RPJMD dan Data Rujukan Pada dimensi ”teknis-administratif”, terdapat kesamaan dalam hal mekanisme penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung. Kecenderungan ini tentunya, dapat dimengerti, karena rujukan formal—baik Undang-Undang, maupun petujuk pelaksana dan teknis—yang dijadikan sebagai landas pijak dalam penyusunan
77
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 77
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
RPJMD adalah sama. Hasil penelusuran atas dokumen RPJMD di loksi penelitian, diperoleh informasi, yang antara lain menyebutkan: ”Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah disusun melalui pendekatan perencanaan partisipatif dengan mengedepankan proses evaluasi, proyeksi dan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan daerah”. Lebih jauh juga disebutkan, ”penyusunan RPJMD dilakukan melalui berbagai tahap dialog sektoral maupun dialog umum yang melibatkan berbagai pihak terkait”.11 Ilustrasi di atas, secara eksplisit mengisyaratkan bahwa secara prosedural, proses penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung telah dilakukan sesuai dengan mekanisme formal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, serta petunjuk teknis sebagaimana divisualisasikan pada Diagram 1. Hasil wawancara dengan sejumlah narasumber di lokasi penelitian, diperoleh informasi bahwa, secara teknis, draft RPJMD—mulau dari Rancangan Awal RPJM, Rancangan RPJMD, sampai dengan Rancangan Akhir RPJMD—disusun dan disiapkan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bappeda). Segera setelah Rancangan Akhir RPJMD selesai disusun pihak pemerintah deaerah (Bappeda), langkah berikutnya adalah menyerahkan konsep RPJMD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan sebagai dokumen resmi perencanaan daerah melalui Peraturan Pemerintah Daerah (Perda). Lebih jauh, para nara sumber dari kalangan birokrat, di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung, cenderung konsisten menyebutkan bahwa secara substansial, materi utama dari Rancangan Awal RPJMD berisikan, antara lain: a) Starategi Pembangunan Daerah, b) Arah Kebijakan Umum, c) Arah Kebijakan Keuangan Daerah, dan d) Program Prioritas Kepala Daerah. Dalam merumuskan empat substansi utama dari Rancangan Awal RPJMD tersebut, data rujukan yang dijadikan 11
Informasi ini disarikan dari beberapa narasi yang dimuat pada bagian Pendahuluan dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) di lokasi penelitian, khususnya pada RPJMD provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bandung.
78
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 78
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
sebagai acuan adalah: a) visi/misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada; b) kemampuan keuangan daerah; dan c) prediksi umum tentang kondisi/potensi daerah, yang meliputi, antara lain: kondisi geografis, perekonomian daerah, kondisi sosial budaya, dan kondisi pemerintahan umum. Dalam kaitannya dengan data rujukan yang disebut terakhir (potentisi daerah), kiranya cukup menarik untuk menyimak beberapa kutipan hasil wawancara dengan beberapa narasumber berikut: Dalam penyusunan Rancangan Awal sampai dengan Rancangan Akhir RPJMD Kota Bogor, kami merujuk pada sejumlah data. Misalnya saja, data kemiskinan dari BPS (Bogor Dalam Angka), Rencana Tata Ruang Wilyah (RTRW), Data Ekonomi (potensi daerah) kemudian data Pendaptan Domestik Regional Bruto (PDRB) juga kita pakai. Updating data juga kami lakukan ketika akan digunakan dalam penyusunan RPJMD (Wawancara dengan AE, Birokrat di Bappeda, 9 Juli 2009). Kalau RPJMD itu, kita kan ada kajiannya dari P4W-IPB (P4-W, Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pembangunan Wilayah). Mereka ada risetnya, terutama ada analisis SWOTnya, ada analisis komparatifnya, ada analisis kompetitifnya. Jadi, saya kira, dalam hal data dasar dalam penyusunan RPJMD dapat dikatakan sangat kuat. Yang jadi persoalan, menurut saya, bukan terletak pada data dasar yang dijadikan sebagai bahan baku, tetapi lebih pada apakah data-data tersebut betul-betul digunakan, atau tidak, oleh Bappeda dan Tim Ahli yang ditunjuk oleh Bappeda dalam penyusunan Rancangan RPJMD? (Wawancara dengan YF, Anggota DPRD dari Fraksi PKS, 6 Juli 2009). Juga ditegaskan oleh para narasumber dari kalangan Birokrat daerah, bahwa untuk mencipatakan sinergi perencanaan pembangunan, antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun dengan pemerintah kecamatan, maka Rancangan Awal RPJMD selanjutnya dibahas dan diskusikan melalui forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), untuk selanjutnya menghasilkan
79
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 79
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
Rancangan Akhir RPJMD.12 Dalam kaitan ini, salah seorang anggota Tim Ahli yang ditunjuk oleh Bappeda Kota Bogor menjelaskan: Setelah Rancangan Awal RPJMD selesai disusun, maka dilakukanlah beberapa kali Focus Group Discussion (FGD) dengan seluruh Satuan Kerja Pelaksana Pemerintah Daerah (SKPD). Hasil dari masing-masing FGD ini selanjutnya dipadukan dalam suatu pertemuan pleno. Kesepakatan yang dihasilkan dalam Pleno tersebut, dengan sendirinya telah merupakan draft awal RPJMD, yang selanjutnya akan dibicarakan dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Itu nanti, pada forum Musrenbang masing-masing SKPD ditanya lagi, apakah materi yang tertuang dalam draft RPJMD sudah sesuai dengan yang mereka usulkan, atau belum? Ada yang bilang, sudah Pak, ada juga yang bilang belum Pak. Nah, itulah kirakira prosesnya (Wawancara dengan TB, salah seorang anggota Tim Ahli-Bappeda Kota Bogor, 10 Juli 2009) Apa yang menarik untuk digaris bawahi dari ilustrasi singkat diatas? Lagi-lagi ditegaskan di sini, bahwa secara prosedural, proses penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung telah dilakukan sesuai dengan mekanisme formal sebagaimana telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, serta petunjuk petunjuk teknis yang menyertainya. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah pada tingkat realitas, tidak terdapat sejumlah “variabel antara” (intervining variables), yang secara langsung atau tidak langsung dapat berimplikasi pada terjadinya “deviasi” proses penyusunan RPJMD, khususnya dalam penurunan visi/misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada kedalam visi/misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada?. Pada konteks inilah kita sampai pada pemahaman akan arti penting dari menelisik lebih dalam proses penyusunan dan pembahasan RPJMD, serta dinamika politik yang menyertainya. Dengan demikian, sulit dihindari, bila kemudian akan bersinggungan dengan sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar, 12
Wawancara dengan AE, Birokrat di Bappeda, 9 Juli 2009
80
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 80
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
antara lain: siapa saja (selain Bappeda) yang terlibat dalam penyusunan rancangan RPJMD?, dan bagaimana Tim Penyusun mensinergikan antara visi/misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah dengan ”janjijanji politik” yang disampaikan ketika Pilkada berlangsung?
4.5.2 Komposisi Tim Penyusun RPJMD dan Peran DPRD Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa secara formal, diantara lembaga pelaksana pemerintah daerah yang paling berperan dalam penyusunan RPJMD—mulai dari Rancangan Awal hingga Rancangan Akhir RPJM—adalah Bappeda. Namun demikian, hasil penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung, memperlihatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya itu, ternyata, Bappeda tidak bekerja sendiri, tetapi didukung oleh sejumlah akademisi, dan/atau Tim Ahli dari berbagai disiplin ilmu terkait. Temuan penelitian ini secara tegas mengindikasikan bahwa komposisi Tim Penyusun RPJMD tidak saja terdiri dari ”birokrat daerah”, tetapi juga melibatkan sejumlah Tim Ahli. Hal yang menarik untuk dicatat di sini adalah, ketika ditelusuri lebih jauh latarbelakang dari Tim Ahli yang dimaksud, ternyata tidak semua dari mereka berstatus sebagai ”akademisi murni”, tetapi juga terdapat beberapa akademisi yang berstatus ganda, atau dapat disebut sebagai akademisi-praktisi, yaitu para akademisi yang juga merangkap sebagai anggota Tim Sukses, atau mereka yang berafiliasi dengan partai politik pengusung pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah terpilih. Temuan penelitian di Kota Bogor, misalnya, cukup jelas memperlihatkan kecenderungan sebagaimana dikemukakan diatas. Dikatakan demikian karena, komposisi Tim Ahli yang terlibat dalam penyusunan RPJMD adalah: TB (seorang akademisi dari IPB, ahli perencanaan); TP (akademi dari Universitas Pakuan, ahli teknik sipil); IN (akademisi dari Universitas Pakuan, ahli ekonomi); LF (akademisi dari IPB); dan AY (akademisi dari Uversitas Indonesia, Sekretaris Tim Sukses Walikota). Keberadaan AY, dalam hal ini, memiliki fungsi politis yang sangat krusial, karena ia berperan untuk menjembatani kepentingan 81
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 81
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
politik Walikota, pada khususnya, dalam proses penyusunan RPJMD.13 Bagaimana proses penunjukan Tim Ahli tersebut?, adalah cukup menarik untuk menyimak kutipan hasil wawancara berikut: Kami dipanggil oleh Bappeda, dan ada semacam fit and profer test begitu, seperti mau jadi anggota DPR saja, haa... haa... Kami, ditanya-tanya dan akhirnya dipilihlah saya (IN), ibu TP, pak TB, pak LF, dan pak AY. Yang paling muda dalah Pak AY, dia memang salah satu dari anggota tim suksesnya pak Walikota. Dengan keberadaan dari pak AY, maka diharapkan akan dapat terjadi keseimbangan knowlegde dari Walikota dalam proses penyusunan RPJMD Kota Bogor. Jadi peran dari pak AY di sini, lebih sebagai penyelaras proses penurunan visi/misi Pilkada pak Walikota kedalam RPJMD Kota Bogor (Wawancara dengan IN, salah seorang anggota Tim Ahli-Bappeda, 4 Agustus 2009) Pembagian tugas diantara para Tim Ahli tersebut, terlihat cukup jelas. Berdasarkan keterangan dari AE, salah seorang narasumber dari kalangan Birokrat di kantor Bappeda Kota Bogor14, diperoleh informasi bahwa yang berperan sebagai Ketua Tim adalah TB, dimana memiliki fungsi utama, menggkoordinir dan ”menjahit” hasil kerja yang ditugaskan kepada empat empat anggota tim lainnya. Lebih jauh dijelaskan oleh AE, bahwa distribusi tugas dan tanggung jawab kepada anggota Tim Ahli disesuaikan dengan empat misi pemerintah Kota Bogor. Maksudnya adalah, masing-masing anggota Tim Ahli diberikan tugas dan tanggung jawab untuk merumuskan substansi konsep RPJMD sesuai dengan empat misi Kota Bogor yang ada. IN, misalnya memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menurunkan misi Kota Bogor yang pertama, yaitu: mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada. Selanjutnya, TP bertugas merumuskan substansi RPJMD berkaitan dengan misi Kota Bogor yang kedua, yaitu: mewujudkan 13
Wawancara dengan AE, seorang Birokrat di Kantor Bappeda Kota Bogor, wawancara pada tanggal 7 Juli 2009 14 Wawancara dengan AE, pada tanggal 7 Juli 2009
82
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 82
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Sedangkan LF, bertugas menurunkan misi Kota Bogor yang ketiga—meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan berketerampilan. Sementara, AY, memiliki tugas dan tanggungjawab dalam menyusun substansi RPJMD berkaitan dengan misi Kota Bogor yang keempat, yaitu: mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Hasil kerja dari empat anggota Tim Ahli ini, selanjutnya, diintegrasikan oleh TB (sebagai Ketua Tim), sehingga menjadi satu kesatuan konsep RPJMD. Peran sentral dari TB tersebut, sangat eksplisit dijelaskan oleh AE, sebagai berikut: Nah Pak TB itu berperan sebagai simpul akhirnya. Beliau yang akan menghimpun jadi satu hasil kerja dari empat anggota Tim yang lain, untuk kemudian menghasilkan draft konsep RPJMD. Kami [Bappeda] meminta pak TB untuk melakukan itu, karena kami percaya, beliau mengerti tentang perencanaan pembangunan, jadi bisa membantu Bappeda untuk merumuskan perencanaan pembangunan itu seperti apa. Misalnya saja, dalam penamaan program dan lain sebagainya. Pak TB adalah koordinator Tim Ahli, dan beliau sudah berkali-kali membantu berbagai daerah dalam menyusun RPJMD, salah satunya adalah Kota Palembang dalam perencanaan lima tahun ke depan. (Wawancara dengan AE, 7 Juli 2009) Sementara, pada lembaga Legislatif (DPRD) dalam pembahasan RPJMD juga didukung oleh Tim Asistensi dari kalangan Akademisi. Pada konteks inilah terlihat peran P4W (Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pembangunan Wilayah) dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ketika Rancangan Akhir RPJMD memasuki fase pembahasan di DPRD, temuan penelitian mengindikasikan bahwa, telah terjadi perbedaan perspektif antara pihak Eksekutif dan Legislatif (DPRD) dalam mengartikulasikan Visi/Misi pasangan Walikota dan Wakil Walikota Bogor15. Dari pihak Eksekutif, bersikukuh mempertahan Visi/Misi pasangan 15
Wawancara dengan GN, salah seorang anggota DPRD Kota Bogor dari Fraksi Golkar, 10 Juli 2009
83
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 83
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
Walikota/Wakil Walikota ketika Pilkada, yaitu: Kota Jasa Yang Nyaman, dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah. Sementara, dari pihak DPRD (Panitia Khusus/Pansus) mengusulkan agar tekanan tidak pada sektoral—Kota Jasa—tetapi lebih pada mewujudkan KOTA BOGOR YANG NYAMAN dan BERWAWASAN LINGKUNGAN. Usulan dari pihak Pansus DPRD ini didasarkan atas hasil kajian Tim P4W-IPB. Polemik antara dua lembaga tersebut berlangsung cukup hangat, dan walaupun usulan perubahan Visi/Misi dari DPRD miliki argumentasi yang kuat, baik dari dimensi filosofis, ekonomi, sosial, dan budaya—namun pada akhirnya visi/misi usulan eksekutif tetap dipertahankan. Titik kompromi terjadi pada level ”program”. Artinya, usulan pihak Pansus DPRD tentang ”Kota Nyaman Berwawasan Lingkungan” tidak diakomodasi pada tingkat Visi, tetapi diakomodasi pada tingkat Misi dan penjabaran program. Titik kompromi tersebut, antara lain direfleksi pada rumusan Misi kedua Kota Bogor yang berbunyi: mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. Perdebatan antara pihak Bappeda Kota Bogor dengan DPRD yang tidak kalah hangatnya, juga terjadi tatkala membahas materi RPJMD berkaitan dengan kebijakan dan program penangan Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam hal ini, terkesan sangat kuat adanya perbedaan perspektif antara pihak Walikota yang cenderung mengartikulasi PKL sebagai ”masalah”, dengan beberapa anggota DPRD yang lebih mengartikulasi PKL sebagai ”potensi”. Perbedaan perspektif ini, tidak dapat dihindari, telah berimplikasi pada perbedaan pendekatan dan strategi dalam menangani PKL itu sendiri. Salah seorang anggota DPRD yang terlibat dalam perdebatan tersebut adalah GN, dari Fraksi Golkar, secara tegas mengatakan:
84
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 84
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
”Bagi saya, PKL itu adalah potensi”, bukan ”masalah”. Itulah sebabnya mengapa saya selalu bicara keras setiap membahas materi RPJMD berkaitan dengan PKL. Saya katakan, Walikota harus berkomitmen bahwa PKL harus ditata, bukan digusur. Bila PKL dikelola dengan baik, maka akan tercipta kebijakan yang win-win solution. Artinya, pada satu sisi PKL tetap diberi kesempatan berusaha, sementara pada sisi lain, PKL juga bisa memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Derah (PAD) Karena terus bersuara kritis, saya sampai dituduh sebagai ”becking PKL”. Terus terang, saya tidak ada kepentingan dan tidak dapat setoran dari PKL. Cuma saya berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah selam ini terhadap PKL tidak adil. (Wawancara dengan GN, 10 Juli 2009). Sementara, untuk kasus di Kabupaten Bandung memperlihatkan bahwa, RPJPD dan RPJMD telah selesai disusun dan ditetapkan dengan Perda, yakni segera setelah tepilihnya pasangan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bandung pada Pilkada tahun 2005. Proses penyusunan konsep RPJMD itu sendiri dilakukan oleh lembaga eksekutif, dalam hal ini adalah Bappeda, dengan didukung oleh sejumlah akademisi/Tim Ahli dari berbagai disiplin ilmu terkait. Diantara akademisi tersebut adalah, Tim Asistensi dari Universitas Pajajaran. Untuk mendapatkan informasi yang lebih spesifik tentang hal ini, dapat disimak pada kutipan hasil wawancara berikut: Setelah pasangan Bupati-Wakil Bupati Kabupaten Bandung terpilih, maka penurunan visi/misi mereka dilakukan sesuai dengan mekanisme perencanaan daerah. Prosesnya adalah, visi/misi pada waktu Pilkada disampaikan ke Bappeda, kemudian Bappeda menurunkannya kedalam RPJMD. Untuk itu, maka Bappeda membentuk Tim penyusun RPJMD, yang juga melibat pihak-pihak non-birokrat, misalnya teman-
85
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 85
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
teman dari LSM, dan akdemisi dari universitas, kalau tidak salah diantaranya bersal dari Universitas Pajajaran (Wawancara dengan JK, Birokrat Senior di Kantor Bupati Bandung, 19 Agustus 2009) Sedangkan pada lembaga Legislatif (DPRD) dalam pembahasan RPJMD juga didukung oleh Tim Asistensi dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diantaranya adalah LSM Inisiatif, yang dikomandani oleh DS. Peran dari Lembaga Swadaya Masyarakat ini dalam memberikan masukan kepada DPRD Kabupaten Bandung ketika pembahasan RPJMD, diakui oleh DS, dan salah seorang narasumber dari kalangan anggota DPRD Kabupaten Bandung, sebagaimana tercermin pada kutipan wawancara berikut: Pada waktu pembahasan RPJMD di DPRD, kami di undang untuk memberikan masukan. Dalam waktu tiga bulan kami mengkritisi rancangan RPJMD yang ada. Jadi posisinya, kami memberikan masukan ke DPRD, selanjutnya DPRD mengkritisi Bappeda sebagai wakil Eksekutif. Dari hasil analisis yang kami lakukan, ada beberapa kelemahan yang ditemuakan (Wawancara dengan DS, LSM Inisiatif, 18 Agustus 2009) Pada saat pembahasan rancangan RPJMD di DPRD, salah satu LSM yang aktif memberikan masukan adalah LSM Inisiatif. Temanteman dari LSM Inisiatif ini selalu memberikan masukan ke Dewan, baik diminta, maupun tidak. Mereka sangat kritis, dan masukanmasukan yang mereka sampaikan sangat konstruktif, walupun tidak semua dapat dikategorkan realistis (Wawancara dengan DR, Komisi D, DPRD Kabupaten Bandung, 19 Agustus 2009) Dari serangkaian wawancara yang telah dilakukan dengan sejumlah narasumber, diperoleh indikasi bahwa pada saat pembahasan RPJMD di DPRD Kabupaten Bandung, telah terjadi diskusi yang cukup konstruktif antara anggota DPRD dengan pihak eksekutif sebagai penyusun konsep RPJMD16. Menurut keterangan dari JK (salah seorang 16
Antara lain, wawancara dengan JK (seorang Pejabat Struktural di Kantor Bupati Bandung ), 19 Agustus 2009;
86
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 86
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
pejabat struktural di kantor Bupati Bandung), segera setelah RPJMD selesai di susun oleh Bappeda, maka dilakukanlah pembahasan di DPRD, untuk selanjutnya ditetapkan melalu Peraturan Daerah (Perda). Ketika pembahasan di DPRD, telah terjadi perdebatan yang sangat hangat, antara pihak eksekutif (dalam hal ini diwakili Bappeda) dengan para anggota DPRD berkaitan dengan beberapa substansi penting dalam RPJMD. Lebih spesifiknya, JK menjelaskan: Setelah rancangan RPJMD selesai disusun Bappeda, maka selanjutnya diserahkan ke DPRD untuk dibahas dan ditetapkan dengan Perda. Nah, pada saat pembahasan di DPRD terjadi dinamika perdebatan yang sangat hangat, karena dari pihak DPRD punya aspirasi lain. Saya pada waktu itu tanya ke Pak Bupati, apakah Bapak akan tetap mempertahankan visi/misi waktu Pilkada, atau akan kompromi dengan aspirasi Dewan. Teranya pak Bupati memilih jalan tengah, beliau katakan kepada saya, untuk visi/misi tetap konsisten dengan visi/misi Pilkada, tetapi untuk kebijakan dan program silahkan dikembangkan dengan mengakomodasi aspirasi DPRD. Akhirnya, muncullah beberapa kebijakan dan program baru yang mrupakan aspirasi DPRD, tetapi dengan tetap tidak merubah visi/misi pak Bupati pada waktu Pilkada (Wawancara dengan JK, Birokrat Senior di Kantor Bupati Bandung, 19 Agustus 2009) Diantara anggota DPRD dari pihak partai politik pengusung Bupati (partai Golkar), yang relatif kritis dalam menyikapi pembahasan RPJMD adalah DR17. Dalam kaitan ini, DR menegaskan bahwa visi/misi pasangan Bupati-Wakil Bupati pada saat Pilkada, yang selanjutnya akan diadopsi menjadi visi/misi pemerintah daerah sebagaimana tertuang dalam RPJMD, harus tidak bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Untuk itu, maka DPRD harus betul-betul mengawalnya, sehingga kecenderungan tersebut tidak terjadi. Berikut, kutipan wawancara dengan DR: DR (anggota DPRD Kabupaten Bandung), 19 Agustus 2009; dan wawancara dengan DS (LSM Inisiatif ), 18 Agustus 2009. 17 Wawancara dengan DR, Anggota DPRD dari Partai Pengusung Bupati, 19 Agustus 2009
87
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 87
6/22/2010 6:34:46 PM
Syarif Hidayat
Kan tidak boleh visi/misi Bupati yang nantinya akan diadopsi menjadi visi/misi daerah dalam RPJMD harus tidak bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Untuk itu, maka DPRD harus tahu, selaras atau enggak dengan RPJMD. Kalau tiba-tiba ngeloyor begitu saja, DPRD tidak punya alat untuk mengendalikannya. Agar terjadi keselarasan, maka DPRD harus tetap kritis terhadap usulan rancangan yang diajukan oleh pihak eksekutif (Wawancara dengan DR, Anggota DPRD dari Partai Pengusung Bupati, 19 Agustus 2009) Sementara, dari ”kubu” partai politik non-pengusung, diantara politisi anggota DPRD yang relatif kritis dalam dalam menyikapi pembahasan rancangan RPJMD adalah IN, dari Fraksi PPP. Politisi ini, antara lain, mengatakan bahwa secara substansial terdapat beberapa butir misi dan program pemerintah daerah yang dituangkan didalam rancangan RPJMD cenderung mengabaikan potensi riil yang dimiliki oleh daerah. Apa yang ia maksud dengan pengabaian potensi daerah?, berikut adalah cuplkan hasil wawancara dengan IN: Contoh yang paling nyata bahwa RPJMD tidak secara serius mempertimbangkan potonsi daerah adalah, tidak dimasukkannya sektor Agro Wisata sebagai program unggulan daerah. Bagi saya, ini sangat aneh. Coba Bapak jalan-jalan di Bandung Utara, disama banyak sekali petani kita yang bergerak dalam agro bisnis, misalnya perkebunan Strobery. Nah, inikan potensi yang luar bisa untuk dikembangkan, baik dalam hal agro bisnisnya sendiri, maupun dalam hal agro wisatanya. Tapi sayang, pengembangan agro bisnis dan agro wisata tersebut, tidak terakomodasi pada misi pemerintah daerah, maupun pada tingkat program prioritas (Wawancara dengan IN, Anggota DPRD dari Fraksi PPP, 19 Agustus 2009) Pada bagian lain, pihak LSM Inisiatif yang diundang dan sekaligus berperan sebagai mitra DPRD, juga mengajukan sejumlah kritik dan masukan berkaitan dengan substansi RPJMD. Misalnya disebutkan,
88
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 88
6/22/2010 6:34:46 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
bahwa pada konsep RPJMD belum terlihat secara eksplisit, antara lain: a) program prioritas berkaitan dengan Tata Kelola Pemerintahan, dan Modal Sosial, b) tidak adanya jastifikasi yang kuat atas delapan misi pemerintah Kabupaten Bandung yang telah ditetapkan, dan c) tidak adanya indikator pencapaian program. Keganjilan semakin terlihat, tegas DS18 (salah seorang personil LSM Inisiatif ), tatkala data dan analisis situasi Kabupaten Bandung tidak ada, kemudian tiba-tiba muncul sejumlah issu strategi di dalam RPJMD. Menurut perspektif LSM Inisiatif, kecenderungan ini terjadi karena adanya upaya-upaya simplifikasi dalam penyusunan rancangan RPJMD Kabupaten Bandung. Dalam narasi yang lebih utuh, DS menjelaskan sebagai berikut: Jadi metode penyusunan RPJMD Kabupaten Bandung itu hanya melihat pada RPJMD yang lama, yang istilahnya hanya tambalsulam saja dari RPJMD periode lima tahun sebelumnya. Isinya tidak lebih hanya merupakan pengulangan kembali sejumlah misi dan program sebelumnya yang tidak tercapai. Padahal seharusnya, misi dan program yang diturunkan harus berdasarkan kenyataan. Untuk ini, maka perlu data-data aktual berdasarkan hasil survey terakhir (Wawancara dengan DS, 18 Agustus 2009).
4.6 “Visi/Misi Pilkada” Vs Visi/Misi Pemerintah Daerah: Kompromi Kepentingan Ekonomi-Politik? Rangkaian kaian temuan penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung di atas secara implisit mengindikasikan bahwa proses penyusunan RPJMD—khususnya dalam penurunan visi/misi Pilkada kedalam visi/misi pemerintah daerah—tidak sesederhana sebagaimana telah diatur dalam mekanisme formal yang ada (lihat Diagram 1). Pada tingkat realitas, ternyata terdapat suatu dinamika yang berporos pada adanya tarik menarik kepentingan ekonomi dan politik antara pihak-pihak yang terkait, utamnya antara pihak eksekutif (Kepala Daerah) dan pihak Legis Latif (DPRD). 18
Wawancara dengan DS, pada tanggal 18 Agustus 2009
89
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 89
6/22/2010 6:34:47 PM
Syarif Hidayat
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal, bahwa sebagai kosekuensi dari diterapkannya sistem Pilkada secara langsung, maka Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada selanjutnya akan ”dikonversi” menjadi Visi/Misi pemerintah daerah, dan berperan sebagai ”rujukan utama” dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Proses penurunan Visi/Misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih tersebut menjadi Visi/Misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada, antara lain, dilakukan melalui penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dari hasil penelusuran dokumen RPJMD Kota Bogor memperlihatkan bahwa dalam hal ”Visi”, hampir tidak terjadi perbedaan yang mendasar antara Visi yang disampaikan ketika Pilkada berlangsung bila dibandingkan dengan Visi pemerintah daerah yang dituangkan didalam RPJMD. Sedangkan untuk kabupaten Bandung, terlihat telah terjadi sedikit perubahan redaksional visi pasangan Bupati-Wakil Bupati ketika diturunkan kedalam visi pemerintah daerah pada RPJMD. Untuk lebih spesifiknya, di Kota Bogor, misalnya, ketika Pilkada berlangsung, pasangan Walikota dan Wakil Wali Kota mengusung empat misi, yaitu: a) Pemberantasan Kemiskinan; b) Kebersihan Kota; c) Mengatasi Masalah Transportasi Kota; dan d) Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) (lihat Tabel 3). Pada pasca Pilkada, empat misi ini kemudian mengalami sejumlah perubahan ketika dikonversi menjadi ”misi Pemerintah Daerah”, dengan rumusan sebagai berikut: a) Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada; b) Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan; c) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan berketerampilan, dan d) Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum (lihat Tabel 1)
90
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 90
6/22/2010 6:34:47 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
Tabel 4.1 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Ketika Pilkada Dan Visi/Misi Pemerintah Kota Bogor dalam RPJMD Visi Pasangan Walikota dan Wakil Walikota Ketika Pilkada “Kota Jasa Yang Nyaman, dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah” Misi Pasangan WalikotaWakil Walikota Ketika Pilkada 1. Pemberantasan Kemiskinan; 2. Kebersihan Kota; 3. Mengatasi Masalah Transportasi Kota 4. Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL).
Visi Pemerintah Kota Bogor Pasca Pilkada (RPJMD)
“Kota Jasa Yang Nyaman, dengan Masyarakat Madani, yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah”
Misi Pemerintah Kota Bogor (RPJMD)
1. Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada. 2. Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan. 3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan berketerampilan. 4. Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum. Sumber: Tim Peneliti P2E-LIPI, 2009
Kecenderungan yang sama juga terjadi di Kabupaten Bandung. Ketika Pilkada berlangsung, pasangan Bupati dan Wakil Bupati mengusung delapan minisi, yaitu: 1) Mewujudkan Pemerintah yang baik; 2) Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis; 3) Meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia; 4) Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; 5) Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan taqwa; 6) Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda; 7) Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan; dan 8) Meningkatkan kinerja 91
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 91
6/22/2010 6:34:47 PM
Syarif Hidayat
pembangunan desa (lihat Tabel 4). Pada pasca Pilkada, delapan misi ini mengalami sejumlah penyederhanaan, melalui mana dapat dilihat pada rumusan enam misi pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebagai berikut: 1) Mewujudkan Kabupaten Bandung yang Aman dan Tertib; 2) Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik; 3) Meningkatkan Daya Dukung dan Kualitas Lingkungan; 4) Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia; 5) Menciptakan Pemerataan Pembangunan dan Berkeadilan; dan 6) Mewujudkan Perekonomian Masyarakat yang Berdaya Saing (lihat Tabel 4.2). Tabel 4.2 Perbandingan Visi/Misi Pasangan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dan Visi/Misi Pemerintah Kabupaten Bandung Visi
Visi
Pasangan Bupati-Wakil Bupati Ketika Pilkada Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertarahardja melalui akselerasi Pembangunan Partisipatif yang Berbasis Religius, kultural dan berwawasan lingkungan dengan berorientasi pada Peningkaan Kinerja Pembangunan Desa. Misi
Pemerintah Kabupaten Bandung (RPJMD) ”KABUPATEN BANDUNG YANG REPEH RAPIH KERTARAHARJA TAHUN 2025”
Pasangan Bupati-Wakil Bupati Ketika Pilkada
Pemerintah Kabupaten Bandung (RPJMD)
Misi
92
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 92
6/22/2010 6:34:47 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
1. Mewujudkan Pemerintah yang baik; 2. Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis; 3. Meningkatkan kualitas Sumberdaya manusia; 4. Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat; 5. Memantapkan keshalehan sosial berlandaskan iman dan taqwa; 6. Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda; 7. Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan; 8. Meningkatkan kinerja pembangunan desa. Sumber: Tim Peneliti P2E-LIPI, 2009
1. Mewujudkan Kabupaten Bandung yang Aman dan Tertib 2. Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik 3. Meningkatkan Daya Dukung dan Kualitas Lingkungan 4. Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia 5. Menciptakan Pemerataan Pembangunan dan Berkeadilan 6. Mewujudkan Perekonomian Masyarakat yang Berdaya Saing
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa telah terjadi sejumlah perubahan-perubahan mendasar terhadap misi yang diusung oleh pasangan pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada tatkala diturunkan kedalam misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada sebagaimana tertuang pada RPJMD? Tentunya, terdapat sejumlah alasan yang dapat direkatkan dalam menjawab pertanyaan ini. Namun, dari hasil wawancara dengan para narasumber secara umum, diperoleh informasi bahwa peruhan-perubahan tersebut dilakukan atas, sedikitnya tiga pertimbangan. Pertama, untuk menyelaraskan ”Misi Pemerintah Kabupaten/Kota dengan ”Misi Pemerintah Provinsi Jawa Barat”. Kedua, untuk menciptakan ”sinergitas” misi diantara partai politik-partai politik pengusung pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah. Ketiga, alasan-alasan ”politis” terkait dengan probabilitas terpenuhinya ”misi Pilkada”, dan/atu ”janji-janji politik Pilkada”. Tiga alasan mendasar tersebut, cukup transparan terlihat di lokasi penelitian—Kota Bogor, dan Kabupaten Bandung. Kompromikompromi kepentingan pun juga telah terjadi, yang dikemas 93
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 93
6/22/2010 6:34:47 PM
Syarif Hidayat
dengan argumentasi untuk menciptakan sinergitas antara visi/misi pemerintah daerah dalam RPJMD, dengan janji-janji politik pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada, dan visi/misi partai politik pengusung. Secara eksplisit maupun implisit, nuansa kompromikompromi kepentingan tersebut dapat disimak pada bebera cuplikan hasil wawan cara dengan narasumber berikut: Dalam hal intervensi kepentingan Parpol pengusung, kalau secara langsung, itu tidak ada, tapi kalau masukan dari tim sukses, ada, karena salah satu dari anggota Tim Penyusun RPJMD Kota Bogor adalah sekretaris tim sukses, yaitu Pak AY.. Ada banyak masukan dari beliau, tapi terkait dengan sinkronisasi antara janji kampanye dan rumusan misi dalam RPJMD (Wawancara dengan AE, Birokrat Bappeda Kota Bogor, 9 Juli 2009) Walikota kita ini [Walikota Bogor], bekerja cukup sistematis. Bahwa ada catatan-catatan berkaitan dengan janji-janji ketika beliu kampanye diserahkan kepada tim perencana. Diantara janji beliu adalah “empat program prioritas”, yaitu: penanggulanan kemiskinan, kebersihan kota, transportasi kota, pedagang kaki lima (PKL). Jadi sejauh yang saya ingat, kalau pun Tim Sukses dan Partai Politik pengusung memberikan masukan pada saat penyusunan RPJMD, tetapi harus sejalan dengan empat program prioritas paka Walikota tersebut (Wawancara dengan TB, Akademisi, 10 Juli 2009) Pada waktu itu, dari pihak Bappeda [Kabupaten Bandung], yang diwakili oleh Ketua Bappeda, menjelaskan bahwa beberapa program partai politik, terutama yang dari Golkar, harus dikonversi kedalam program-program yang sejalan dengan dokumen-dokumen perencanaan, termasuk nanti untuk mempermudah membuat indikasi anggarannya. Kami dari pihak partai Golkar, yang pada waktu itu dipimpin langsung oleh Wakil Ketua I, setuju aja, dan menyerahkan semuanya pada Bappeda. Akhirnya, oleh Bappeda, beberapa program usulan Golkar dikonversi menjadi satu judul besar, yaitu program
94
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 94
6/22/2010 6:34:47 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bantuan Sosial (Wawancara dengan DR, Politisi Golkar, Anggota DPRD Kabupaten Bandung, 19 Agustus 2009) Walaupun partai Golkar dan PDIP merupakan partai pengusung pangasangan Bupati-Wakil Bupati Bandung pada waktu Pilkada, tetapi pada saat pembahasan RPJMD di DPRD, ada beberapa politisi dari dua partai politik ini yang kritis, atau bahkan berbeda pendapat. Tetapi persoalan ini kemudian dapat diselesaikan karena pak Bupati dan Wakil Bupati kan juga merangkap sebagai ketua partai. Mekanismenya adalah melalui pertemuan ”setengah kamar”, yaitu, kami mengundang politisi Golkar dan PDIP untuk kumpul-kumpul di suatu tempat guna mensinergikan aspirasi dan kepentingan politik mereka (Wawancara dengan JK, Birokrat Bappeda Kabupaten Bandung, 19 Agustus 2009)
4.7 Penutup Apa yang dapat dijelaskan oleh rangkaian temuan penelitian di atas berkaitan dengan proses penyusunan RPJMD dan konsistensi antara ”Visi/Misi Pilkada” dengan ”Visi/Misi Pemerintah” Pasca Pilkada? Secara prosedural, proses penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung telah dilakukan sesuai dengan mekanisme formal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, serta petunjuk teknis yang menyertainya. Konsep RPJMD—mulau dari Rancangan Awal RPJM, Rancangan RPJMD, sampai dengan Rancangan Akhir RPJMD—disusun dan disiapkan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bappeda). Segera setelah Rancangan Akhir RPJMD selesai disusun pihak pemerintah deaerah (Bappeda), langkah berikutnya adalah menyerahkan konsep RPJMD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan sebagai dokumen resmi perencanaan daerah melalui Peraturan Pemerintah Daerah (Perda). Untuk mencipatakan sinergi perencanaan pembangunan, antara
95
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 95
6/22/2010 6:34:47 PM
Syarif Hidayat
pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun dengan pemerintah kecamatan, maka Rancangan Awal RPJMD selanjutnya dibahas dan diskusikan melalui forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), untuk selanjutnya menghasilkan Rancangan Akhir RPJMD. Namun demikian, pada tingkat realitas, ternyata proses penyusunan RPJMD tidak sesederhana seperti digambarkan di atas, karena terdapat sejumlah “variabel antara” (intervining variables), yang secara langsung atau tidak langsung telah berimplikasi pada terjadinya “deviasi” proses penyusunan RPJMD, khususnya dalam penurunan visi/ misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada kedalam visi/misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada. Dalam proses penyusunan konsep RPJMD—mulai dari Rancangan Awal hingga Rancangan Akhir RPJMD—Bappeda tidak bekerja sendiri, tetapi didukung oleh sejumlah akademisi, dan/atau Tim Ahli dari berbagai disiplin ilmu terkait. Hal yang menarik untuk dicatat di sini adalah, berkaitan dengan komposisi dan latar belakang dari anggota Tim Ahli itu sendiri, dimana tidak semua dari mereka berstatus sebagai ”akademisi murni”, tetapi juga terdapat beberapa akademisi yang berstatus ganda, atau dapat disebut sebagai akademisi-praktisi, yaitu para akademisi yang juga merangkap sebagai anggota Tim Sukses, atau mereka yang berafiliasi dengan partai politik pengusung pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah terpilih. Temuan penelitian di Kota Bogor, misalnya, cukup jelas memperlihatkan kecenderungan sebagaimana dikemukakan di atas. Keberadaan AY sebagai salah seorang anggota Tim Ahli, tidak saja karena pertimbangan kompetensi akademis yang dimiliki, tetapi juga berperan untuk menjembatani kepentingan politik Walikota, dalam proses penyusunan RPJMD. Ini sangat memungkinkan terjadi, karena AY juga berstatus sebagai Sekretaris Tim Sukses Walikota ketika Pilkada berlangsung.
96
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 96
6/22/2010 6:34:47 PM
Konsistensi Antara “Visi/Misi Pilkada” Dengan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pada proses penurunan “visi/misi Pilkada”—yaitu visi/misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada—ke dalam “visi/misi pemerintah daerah” (sebagaimana tertuang dalam RPJMD), juga sangat memungkinkan terjadinya “deviasi” dan kompromikompromi kepentingan. Temuan penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung memperlihatkan bahwa dalam hal ”Visi”, hampir tidak terjadi perbedaan yang mendasar antara Visi yang disampaikan oleh pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung bila dibandingkan dengan Visi pemerintah daerah yang dituangkan didalam RPJMD. Namun demikian, pada konteks misi, terdapat bebeberapa modifikasi, atau bahkan kecenderungan ”inkonsistensi” antara ”misi” yang diusung pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung, bila dibandingkan dengan ”misi pemerintah daerah” sebagaimana tertuang didalam RPJMD. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh ”tidak kentaranya” atau bahkan ”hilangnya” bebeberapa butir misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada, tatkala diturunkan kedalam misi pemerintah daerah sebagaimana tertuang didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Sedikitnya ada tiga penjelasan utama dari mengapa kecenderungan tersebut terjadi, yaitu: a) untuk menyelaraskan ”Misi Pemerintah Kabupaten/Kota dengan ”Misi Pemerintah Provinsi Jawa Barat”; b) untuk menciptakan ”sinergitas” kepentingan diantara partai politik-partai politik pengusung pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah; dan c) kalkulasi politik atas probabilitas terpenuhinya ”misi Pilkada” pada periode pasca Pilkada.
97
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 97
6/22/2010 6:34:47 PM
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 98
6/22/2010 6:34:47 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
BAB 5 PERAN GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT R. Siti Zuhro
5.1 Pengantar Bab ini membahas peran gubernur dalam perencanaan pembangunan daerah, khususnya dalam konteks penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) di kota Bogor dan kabupaten Bandung. Masalah ini menarik untuk dikaji dalam mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai penyusunan RPJMD di dua daerah tersebut setelah diterapkannya pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung sejak Juni 2005. Dengan kata lain, apakah dengan pilkada langsung tersebut pembuatan RPJMD sesuai dengan visi/misi kepala daerah dan potensi daerah19 serta melibatkan peran gubernur sebagai koordinator, pembina dan pengawas (korbinwas) ? Pertanyaan yang tersebut terakhir (peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat) akan dibahas dalam bab ini, dengan menguraikan terlebih dahulu hasil temuan lapangan di kota Bogor dan kabupaten Bandung dalam konteks fungsi korbinwas Gubernur. Selain itu, bab ini juga membahas masalah perencanaan daerah. Pembahasan tentang perencanaan daerah dan peran gubernur sebagaimana diuraikan di bawah selain merupakan hasil studi lapangan selama penelitian juga merupakan evaluasi kritis sewindu realisasi desentralisasi dan otonomi daerah (2001-2009). 19
Lihat bab-bab sebelumnya.
99
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 99
6/22/2010 6:34:47 PM
R. Siti Zuhro
5.2 Fungsi Koordinasi, Pembinaan dan Pengawasan Dalam pembangunan daerah, peran serta atau partisipasi masyarakat memiliki arti yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan program-program pembangunan. Pemerintah provinsi menyadari pentingnya partisipasi masyarakat, sebagai refleksi dari rasa memiliki terhadap daerahnya. Tumbuhnya rasa memiliki ini diperlukan agar masyarakat juga memiliki rasa tanggung jawab terhadap berbagai program dan kegiatan pembangunan yang berlangsung. Hal ini merupakan amanat Undang-undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 72 tahun 2005 tentang Tata Cara Perencanaan Pembangunan Daerah. Perencanaan pembangunan tahunan daerah yang diwujudkan dalam bentuk Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat, yang memuat rancangan kerangka ekonomi, isu strategis, prioritas pembangunan, serta rencana kerja dan pendanaan, yang dilaksanakan pemerintah ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. RKPD merupakan pedoman untuk penyusunan Rancangan APBD, sehingga RKPD yang dibuat diupayakan spesifik dan terukur serta dapat dilaksanakan sesuai dengan kemampuan anggaran. Bila dikaitkan dengan perencanaan tahunan kabupaten/kota, RKPD Provinsi merupakan pedoman atau acuan untuk penyusunan RKPD kabupaten/kota. Dalam konteks ini, RKPD Provinsi diposisikan sebagai pedoman perencanaan untuk kabupaten/kota dalam rangka pembinaan dan pengawasan yang dikoordinasikan oleh Gubernur. RKPD Provinsi Jawa Barat disusun untuk mewujudkan sinergi antarwilayah dalam hal perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Selain itu juga dimaksudkan untuk mewujudkan sinergi antarsektor pembangunan, antartingkatan pemerintahan dan untuk efisiensi alokasi sumber daya dalam pembangunan daerah.
100
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 100
6/22/2010 6:34:47 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) telah melaksanakan perencanaan pembangunan daerah untuk tahun 2009, yang diawali dengan Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah di 4 (empat) Bakorwil (3-6 Maret 2008), Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Kabupaten dan Kota se Jawa Barat dan MUSRENBANG Provinsi Jawa Barat yang dilaksanakan tanggal 26-27 Maret 2008, dengan menggelar Pameran Pembangunan Jawa Barat yang menggambarkan sinergi lintas sektor dan lintas pelaku berbasis delapan Common Goals. Pemprov Jabar juga melakukan komunikasi publik melalui media masa, media elektronik dan layanan langsung informasi perencanaan di Bappeda Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan tahapan perencanaan tersebut telah dilakukan penyempurnaan RKPD Provinsi Jawa Barat tahun 2009 yang selanjutnya ditetapkan dalam Peraturan Gubernur. Pemprov Jabar juga telah mengundang partisipasi seluruh masyarakat Jawa Barat untuk mengkritisi dan memberikan masukan terhadap proses maupun substansi RKPD tersebut melalui Angket Perencanaan Partisipatif, dalam rangka peningkatan mutu dan akuntabilitas perencanaan pembangunan Provinsi Jawa Barat. Terlepas dari itu, proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di kota Bogor dan Kabupaten Bandung merupakan salah satu program kerja 100 hari Walikota dan Bupati terpilih. Dari perspektif politik rencana pembangunan merupakan penjabaran dari visi misi dan agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan kepala daerah di saat melakukan kampanye. Asumsinya, ketika kepala daerah tersebut menang dalam Pilkada berarti sebagian besar rakyat pemilih telah “merestui” program mereka tersebut sehingga visi misi kepala daerah terpilih merupakan dasar pijakan dalam penyusunan RPJMD. Masalahnya, berapa besar ruang untuk mengakomodasi pendekatan aspek lainnya? Seperti pendekatan
101
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 101
6/22/2010 6:34:47 PM
R. Siti Zuhro
teknokratik (berdasarkan metode dan kerangka berpikir ilmiah) dan pendekatan partisipatif serta pendekatan bottom-up dan top-down? Apakah ada pembobotan yang proporsional antarpendekatan? Jika terdapat perbedaan pandangan krusial antarpihak aktor di balik setiap pendekatan, seberapa besar tingkat kompromi yang dilakukan? Jangan sampai prosesi penyempurnaan dokumen perencanaan sebatas formalitas atau sosialisasi yang tidak sampai pada sasaran akhir yakni perwujudan visi itu sendiri. Satu hal mendasar dalam RPJMD adalah dimensi waktu yang cukup pendek dilihat dari proses pembangunan itu sendiri, namun disyaratkan harus tetap mengacu pada RPJM nasional. Selain itu, RPJMD provinsi harus menjadi payung bagi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota se-Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat memiliki visi yang ditetapkan dengan Perda No. 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu “Jawa Barat dengan Iman dan Takwa sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010”. Visi tersebut merupakan hasil dari rangkaian dialog sejak 1999 sampai akhir 2000. Ukuran keberhasilan pencapaian visi Jawa Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 80 pada 2010. Visi gubernur terpilih untuk kepemimpinan lima tahun ke depan adalah “Mencapai Masyarakat Jawa Barat Mandiri, Dinamis dan Sejahtera Tahun 2013”. Banyak pihak mempertanyakan ukuran sejahtera. Dalam konteks Jawa Barat diberlakukannya penggunaan IPM yang merupakan indeks komposit yang terdiri dari indeks pendidikan, kesehatan, dan daya beli dianggap memadai sebagai ukuran kesejahteraan. Peletakan IPM sebagai target dari perencanaan dinilai tepat. Sementara itu, sosialisasi IPM sampai ke pedesaan juga tengah berlangsung. Ini dimaksudkan agar ada kesinambungan perspektif dan jangan sampai mengaburkan daerah hanya karena adanya pergantian kepemimpinan.
102
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 102
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Secara makro RPJMD di kota Bogor dan kabupaten Bandung mestinya tidak bertentangan dengan RPJMD provinsi Jawa Barat, meskipun masing-masing kota dan kabupaten ini memiliki kekhasannya. Uraian singkat mengenai RPJM Pemprov Jabar menunjukkan bahwa sebenarnya rumusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kekhasan Jabar, yang notabene juga meliputi kekhasan daerah-daerah di wilayah ini. Untuk mengetahui apakah fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan (korbinwas) pemerintah provinsi (Pemprov) berjalan maksimal atau tidak, studi ini mengkaji kabupaten Bandung dan Kota Bogor dalam membuat perencanaan pembangunan daerah era pilkada langsung. Menarik untuk diketahui juga apakah lokasi, jauh dekatnya daerah dari ibukota provinsi akan berpengaruh terhadap kualitas korbinwas yang dilakukan pemerintah provinsi. Seperti diketahui lokasi kabupaten Bandung relatif cukup dekat dengan ibukota provinsi (Gedung Sate). Sedangkan kota Bogor letaknya relatif cukup jauh dari pusat Pemprov Jabar. Bahkan Bogor secara geografi letaknya lebih dekat ke dan berbatasan langsung dengan Pemprov DKI Jakarta. Dua daerah tersebut dipilih dengan asumsi apakah dengan letaknya yang berbeda tersebut akan memberikan pengaruh yang tidak sama dalam hal Korbinwas yang dilakukan Pemprov Jabar. Lebihlebih lagi setelah kedua daerah itu melaksanakan Pilkada langsung. Apakah dengan sistem perencanaan baru yang diterapkan oleh kedua pemda tersebut yang notabene berasal dari visi dan misi kepala daerah akan bisa menyesuaikan dengan perencanaan pemerintah provinsi? Hal ini tentunya menarik untuk dikaji. Letak kabupaten Bandung yang relatif dekat dengan ibukota Jawa Barat memberikan kesan seolah daerah ini memiliki karakteristik khas dalam konteks Korbinwas yang dilakukan Pemprov dibandingkan dengan kabupaten dan kota lainnya di wilayah Jawa Barat. Namun, 103
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 103
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro
realitasnya tidaklah demikian. Meskipun letaknya tidak jauh dari pusat Pemprov, Korbinwas yang dilakukan Pemprov cenderung kurang maksimal. Hal tersebut antara lain diakui oleh Pemda Bandung yang sejauh ini tidak merasakan adanya realisasi dari Korbinwas yang dilakukan pemerintah provinsi, meskipun secara jarak lokasi Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Bandung cukup dekat. Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan jarak tidak selalu berkorelasi positif terhadap peningkatan peran Pemprov dalam melaksanaka Korbinwas. Hal yang sama juga dialami oleh kota Bogor. Pemerintah Daerah Kota (Pemkot) Bogor mengakui kurangnya koordinasi atau keterlibatan Pemprov Jawa Barat dalam mengawal perencanaan pembangunan Pemda Bogor. Menurut salah satu narasumber: “Ada kecenderungan dekonsentrasi ini tidak menjadi instrumen kunci bagi sektor. Ada kecenderungan yang terjadi adalah hubungan antara menteri dengan bupati (dari sektor)… tidak melalui gubernur karena nggak satupun yang mengatur harus melalui gubernur. Gubernur hanya pertimbangan teknis saja… nggak ada sanksi, nah ini yang bahaya”.20 Sementara itu, narasumber lokal lainnya juga menyatakan bahwa di satu sisi RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) kota Bogor diwajibkan selaras dengan RPJMD pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, di sisi lain harmonisasi bukanlah soal yang mudah sehingga Pemkot Bogor berupaya menyusun RPJMD dengan cara menyesuaikannya dengan perencanaan pembangunan pemerintah provinsi. Ini mau tidak mau harus dilakukan sampai final draft RPJMD selesai dan kemudian dilaporkan kepada Pemprov Jabar.21 “Dalam proses tahap penyusunan pun kita sudah merujuk ke provinsi yang sudah tersusun nanti dalam proses pengesahan menuju perda (peraturan daerah) kita konsultasi dan minta asistensi ke pu20 21
Hasil wawancara mendalam dengan intelektual di Bogor, 9 Juli 2009. Hasil wawancara dengan birokrat (Bappeda) di Kota Bogor, 9 Juli 2009.
104
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 104
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
sat ke Depdagri juga. Baru setelah itu di-acc proses perbaikan segala macam baru kita majukan untuk dijadikan perda dan untuk provinsi belum. Tapi pada waktu proses awal Musrenbang kita sudah pernah menyampaikan ke provinsi apa yang telah kita susun (draft awal).”22 Berkaitan dengan fungsi Korbinwas yang dilakukan pemprov narasumber di kota Bogor mengatakan bahwa: “Pemkot mengundang Premprov dalam pembahasan perencanaan daerah. Kalau respons secara lisan sudah, ada beberapa yang mereka komentari mulai dari masalah bahasa sampai ke program (lebih ke teknis). Kalau dari provinsi menyoroti substansi secara umum, dan memaparkan RPJM Pemerintah Provinsi yang dimaksudkan agar Pemkot bisa menyesuaikan dengan visi dan misi Gubernur yang disampikan secara lisan. Kalau Bappenas memberikan komentar yang cukup detail mulai dari bahasa sampai fokus dan sinkronisasi dengan materi RPJM yang mengatur urusan.”23 Dari uraian yang disampaikan narasumber lokal tersebut menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan pemprov cenderung bersifat verbal daripada nonverbal atau informal daripada formal melalui komentar-komentar makro yang disampaikan sebagai respon atas paparan pemkot. Dengan kata lain, pemprov hanya memberikan penilaian umum atas draft kasar yang disampaikan pemkot. Sementara itu, dari sisi koordinasi pemkot mengkui relatif eksis, meskipun masih dalam konteks pasif karena menunggu undangan pihak pemkot. Dari sisi pengawasan, Pemkot Bogor belum merasakan bentuk konkretnya karena pemprov Jabar sangat kurang dalam melaksanakan fungsi ini. Secara umum, kendala yang dihadapi pemprov dalam melaksanakan fungsinya tersebut adalah kesiapan pihak pemkab dan pemkot dalam menyampaikan perencanaannya. Yang terjadi di Pemkot Bogor, misalnya, draft perencanaan yang disampaikan 22 23
Ibid. Ibid.
105
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 105
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro
bersifat parsial (bidang tertentu saja) dan belum mencakup draft menyeluruh yang meliputi semua bidang, sehingga ini menyulitkan pihak Pemprov memberikan komentar secara komprehensif. Seperti diakui oleh narasumber di Pemkot bahwa sebenarnya Pemprov Jabar telah memaparkan rencana pembangunan yang sudah dirumuskan, tapi Pemprov tidak memberikan pengarahan secara detail tentang bagaimana seharusnya kota dan kabupaten di wilayah Jawa Barat. Kendala lainnya, pihak Pemprov tidak melakukan pembinaan secara intensif. Dari 26 kabupaten dan kota yang ada di wilayah Jawa Barat, tak satupun yang mencantumkan agenda berkaitan dengan Korbinwas Gubernur. Kasus UU 26/2007 tentang Tata Ruang, misalnya, ada seruan agar kabupaten dan kota melaksanakannya, tapi Pemprov sendiri tidak juga menyelesaikan. Padahal penyusunan dan penyelesaian RPJMD tersebut sangat ketat waktunya. Masalahnya, bagaimana pemkab dan Pemkot bisa bekerja efektif bila harus menunggu tuntasnya perencanaan pemprov yang merupakan prekuisit bagi perencanaan pembangunan kabupaten dan kota. Kendala lain yang tak kalah penting adalah posisi dual roles gubernur, baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai kepala daerah otonom, berimplikasi membingungkan bagi gubernur itu sendiri dan membuatnya kurang dihormati oleh bupati dan walikota. Selain itu, harapan Pemerintah Pusat (Departemen Dalam Negeri) agar gubernur mampu menjalan fungsi korbinwas secara nyata, terasa sangat ambigu karena tidak didukung oleh staffing, dana dan sistem yang memadai. Hal-hal penting inilah yang antara lain yang menghambat efektivitas peran Korbinwas gubernur era otonomi daerah. Implikasi yang paling serius dari tidak efektifnya peran gubernur tersebut adalah rendahnya frekuensi koordinasi, pembinaan dan pengawasan
106
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 106
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
yang harus dilaksanakan gubernur; rendahnya substansi koordinasi, pembinaan dan pengawasan; dan rendahnya persentase kehadiran bupati dan walikota dalam rapat-rapat koordinasi dan pembinaan. Tabel 5.1 Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Pemprov Jabar A. Fungsi Koordinasi 1. Frekuensi koordinasi perencanaan pembangunan yang dilakukan 2. Substansi koordinasi perencanaan pembangunan 3. Persentasi kehadiran Bupati/Walikota dalam rapat-rapat koordinasi perencanaan pembangunan 4. Kendala yang dihadapi dalam koordinasi perencanaan pembangunan B. 1.
2. 3.
4.
Fungsi Pembinaan Frekuensi pembinaan perencanaan pembangunan yang dilakukan Substansi pembinaan perencanaan pembangunan Persentasi kehadiran Bupati/Walikota dalam rapat-rapat koordinasi perencanaan pembangunan Kendala yang dihadapi dalam pembinaan perencanaan pembangunan
Kabupaten Bandung
Kota Bogor
1.
Pemkab Bandung cenderung lebih proaktif dalam mengundang Bappeda Pemprov untuk menyampaikan perencanaan pembangunan daerah. Frekuensinya relatif tidak ajeg, dan disesuaikan dengan kebutuhan Pemkab. Pemprov membaca dan member komentar secara lisan. Cenderung diwakilkan kalau tidak terlalu urgent/relevan urusannya. Pemprov tidak memiliki piranti yang memadai untuk melakukan tugas sebagai wakil pemerintah pusat, baik dalam hal supporting staff maupun sistem dan dananya.
1.
Kurang terukur karena sifat pembinaannya sangat longgar. Pembinaan yang dilakukan selama ini berupa konsultasi. Sifatnya masih administratif dan belum maksimal karena pemprov cendrung bersifat pasif. Volume kehadiran Bupati di Depdagri relatif lebih banyak ketimbang kehadirannya di Pemprov. Bupati merasa bahwa Gubernur bukan atasannya langsung, sehingga petunjuk yang diminta selama ini lebih ke Depdagri ketimbang ke Pemprov. Sementara itu Pemprov juga punya kendala internal berkaitan dengan kurang jelasnya posisi dual roles yang diemban selama ini.
1.
2. 3. 4.
1.
2. 3.
4.
2. 3. 4.
2.
3.
4.
Pemkot Bogor cenderung lebih proaktif dan berinisiatif untuk mengundang Bappeda Pemprov untuk menyampaikan rencana pembangunan daerah. Sifatnya masih administratif. Walikota jarang hadir dalam rapat koordinasi. Pemprov tidak memiliki piranti yang memadai untuk melakukan tugas sebagai wakil pemerintah pusat, baik dalam hal supporting staff maupun sistem dan dananya. Kurang terukur karena sifat pembinaannya sangat longgar dan lebih bersifat konsultatif. Sifatnya masih administratif dan belum maksimal karena pemprov cendrung bersifat pasif. Volume kehadiran Bupati di Depdagri relatif lebih banyak ketimbang kehadirannya di Pemprov. Walikota merasa bahwa Gubernur bukan atasannya langsung, sehingga petunjuk yang diminta selama ini lebih ke Depdagri ketimbang ke Pemprov. Sementara itu Pemprov juga punya kendala internal berkaitan dengan kurang jelasnya posisi dual roles yang diemban selama ini.
107
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 107
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro C. 1.
2. 3.
Fungsi Pengawasan Frekuensi pengawasan 1. perencanaan pembangunan yang dilakukan Substansi pengawasan perencanaan pembangunan Kendala yang dihadapi 2. dalam koordinasi 3. pengawasan perencanaan pembangunan
Pengawasan yang dilakukan sejauh ini sangat kurang. Di era otonomi daerah sekarang ini juga menunjukkan bahwa masalah pengawasan merupakan isu yang akut untuk semua lini aktivitas pemerintahan daerah. Masih kurang karena sifatnya cenderung admisnistratif. Kendala yang paling krusial adalah masalah kesiapan perencanaan/ RPJMD yang dibuat oleh pemkab yang acapkali waktunya mendesak sehingga pengawasan terkadang batal dilakukan.
1.
2. 3.
Pengawasan yang dilakukan sejauh ini sangat kurang. Di era otonomi daerah sekarang ini juga menunjukkan bahwa masalah pengawasan merupakan isu yang akut untuk semua lini aktivitas pemerintahan daerah. Masih kurang karena sifatnya cenderung admisnistratif. Kendala yang paling krusial adalah masalah kesiapan perencanaan/RPJMD yang dibuat oleh pemkot yang acapkali waktunya mendesak sehingga pengawasan terkadang batal dilakukan.
Sumber: Diolah dari hasil interview dengan beberapa narasumber lokal, baik dari tataran birokrasi maupun intelektual, pusat kajian dan LSM, penelitian lapangan yang dilakukan selama Maret- Agustus 2009.
Temuan lapangan di kabupaten Bandung dan kota Bogor tersebut menunjukkan bahwa baik dari segi koordinasi, pembinaan dan pengawasan, Pemprov Jawa Barat belum melakukannya secara maksimal. Di satu sisi Pemkab Bandung dan Pemkot Bogor memandang fungsi Korbinwas kurang perlu karena Gubernur bukan atasan langsung. Di sisi lain peraturannya juga tidak jelas dan tidak memberikan sanksi bila fungsi Korbinwas tidak dilaksanakan secara memadai oleh Pemprov. Selain itu, untuk melaksanakan fungsi dan perannya sebagai representasi pemerintah pusat, pemprov tidak dilengkapi dengan supporting staff dan supporting system yang memadai. Demikian juga dengan financial support-nya untuk mendukung agar fungsi dan perannya tersebut bisa diaplikasikan. Temuan lapangan juga menunjukkan bahwa peran Korbinwas yang dilakukan Pemprov Jabar selama ini lebih fokus ke aktivitas yang berkaitan dengan urusan administratif ketimbang substansi. Artinya, kegiatan Korbinwas yang dilakukan pemprov sekadar memenuhi 108
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 108
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
target administratif dan tidak menyentuh ranah substansi yang justru sangat diperlukan oleh pemkab maupun pemkot. Sejauh ini fungsi dan peran korbinwas pemprov sebagaimana ditunjukkan dalam bentuk konsultasi itu, dilakukan baik di Pemprov (Gedung Sate) maupun di kantor Bappeda Pemkab dan Pemkot.
5.3 Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Hasil evaluasi sewindu realisasi desentralisasi dan otonomi daerah menunjukkan bahwa peran gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah selama ini masih sangat terbatas.24 UU No. 32 Tahun 2004 hanya mengatur peran gubernur dalam pasal 37 dan pasal 38, dengan menempatkan gubernur sebagai aparat dekonsentrasi atau wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 38 UU No. 32 Tahun 2004, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki peran pembinaan dan pengawasan (Binwas) untuk penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di kabupaten/kota, dan koordinasi Binwas penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.25 Dalam kenyataannya, peran gubernur sebagaimana disebutkan tadi kurang dapat dilaksanakan/diimplementasikan secara optimal karena berbagai sebab, seperti yang diuraikan berikut ini : 24
25
Lihat antara lain, R. Siti Zuhro, “Sewindu Realisasi Otonomi Daerah: Evaluasi Kritis”, Jurnal Demokrasi & HAM, Vol. 8, No.1, 2008. Mengingat rentang kendali antara pemerintah nasional dengan pemerintahan daerah terlalu luas, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan bahwa perangkat pemerintahan negara yang melakukan pembinaan, pengawasan dan koordinasi atas terselenggaranya pemerintahan daerah dan pemerintahan umum di daerah adalah Gubernur dalam kedudukannya selaku Wakil Pemerintah Pusat. Dengan demikian, Gubernur yang karena jabatannya (Ex-officio) berkedudukan selaku Wakil Pemerintah Pusat adalah juga Kepala Wilayah di wilayah administrasi Provinsi yang bersangkutan. Selaku Wakil Pemerintah dan Kepala Wilayah, Gubernur merupakan penyelenggara pemerintahan tertinggi di wilayah jabatannya dalam menjalankan sebagian urusan pemerintahan negara di daerah, baik yang bersifat “attributed” yang dengan undang-undang melekat kepadanya dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajibannya, maupun yang bersifat “delegated” melalui tugas-tugas yang dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah dalam rangka dekonsentrasi. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang bersifat “attributed” tersebut dinyatakan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004: (a) Membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dalam wilayah jabatannya; (b) Mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam wilayah jabatannya; (c) Mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam wilayah jabatannya.
109
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 109
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro
Pertama, konflik kepentingan sering terjadi ketika gubernur sebagai kepala daerah otonomi memiliki kepentingan yang berbeda dengan Menteri/Kepala LPND dalam berbagai aspek pengelolaan kegiatan pembangunan di daerahnya. Misalnya, dalam pengelolaan kegiatan pertambangan, kehutanan, dan kegiatan lainnya, seringkali posisi gubernur sebagai kepala daerah otonom berbeda dengan posisi yang diambil oleh Departemen/LPND. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, peran ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah yang bertanggungjawab kepada Presiden belum diatur secara jelas, sehingga menimbulkan persepsi yang berbedabeda tentang kedudukan gubernur, sebagai kepala daerah atau sebagai wakil pemerintah pusat. Peran ganda gubernur, sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat, sering menimbulkan konflik peran ketika kepentingan provinsi berbeda dengan kepentingan pemerintah pusat. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur kerap harus mengamankan kebijakan pemerintah pusat, yang kadangkala berbenturan dengan kepentingan daerahnya. Ketika kebijakan departemen/LPND berbeda dengan kepentingan daerah, gubernur mengalami kesulitan untuk mengambil peran sebagai wakil pemerintah pusat. UU No. 32 Tahun 2004 belum mengatur situasi seperti ini, karena itu revisi undang-undang ini perlu mengatur secara lebih jelas mengenai hal ini. Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur melaksanakan tugas dekonsentrasi. Namun, peran gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi tidak diatur dengan jelas. Pasal 10 ayat 4 dan ayat 5 dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak mengatur dengan jelas mengenai tugas yang harus dilakukan gubernur. Pasal tersebut hanya mengatakan bahwa pemerintah pusat dapat melimpahkan penyelenggaraan urusannya kepada gubernur. Selebihnya, pelimpahan urusan pemerintah kepada gubernur tidak diatur dalam undang-undang. Hal
110
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 110
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
ini sering membuat kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menjadi tidak jelas. Ketiga, dalam menjalankan tugas dekonsentrasi, gubernur sebagai wakil pusat di daerah tidak mempunyai perangkat dekonsentrasi sendiri, hanya dibantu oleh perangkat daerah yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi dengan sumber pembiayaan yang kurang jelas. Hal ini sering menimbulkan ketidakjelasan dalam pertanggungjawaban pengelolaan tugas dekonsentrasi. Disamping itu, tidak tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung peran gubernur dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi menjadikan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah tidak efektif. Keempat, ketidakjelasan pengaturan tentang peran gubernur seringkali menimbulkan kerancuan peran dan tugas gubernur dalam melakukan pemantauan terhadap kabupaten/kota. Pelaksanaan tugas pemantauan terhadap kinerja kabupaten/kota sering dilakukan secara campur aduk dalam konteks dekonsentrasi sekaligus desentralisasi. Pasal 37 dan 38 dalam UU No. 32 Tahun 2004 secara jelas memberi tugas kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk melakukan Binwas terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, pasal-pasal tersebut tidak mengatur dengan cukup jelas tentang apakah Binwas ini perlu juga dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi atau hanya terbatas pada pelaksanaan tugas dekonsentrasi. Kelima, hubungan koordinasi antara provinsi dan kabupaten/ kota selama ini masih kurang berjalan secara efektif. Kewenangan dan kapasitas pemerintah provinsi untuk melaksanakan koordinasi dalam perencanaan program pembangunan dan pelayanan publik yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/kota kurang dapat dikelola secara efektif dan sinergis. Pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan yang jelas untuk dapat mengatur kegiatan pembangunan dan pelayanan publik, yang mencakup wilayah lebih dari satu kabupaten/kota agar dapat diselenggarakan secara sinergis. 111
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 111
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro
Pengaturan yang jelas tentang kewenangan provinsi dalam koordinasi perencanaan pembangunan daerah dan penyelenggaraan pelayanan publik perlu dilakukan dengan jelas. Keenam, pelaksanaan tugas pembantuan oleh provinsi kepada kabupaten/kota dan desa belum memiliki pengaturan yang jelas. Akibatnya, pelaksanan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Supaya pemerintah provinsi memiliki dasar yang kuat untuk melaksanakan tugas pembantuan kepada kabupaten/kota dan desa, pengaturan yang jelas diperlukan mengenai kriteria dan konsekuensi dari pelaksanaan tugas pembantuan. Terlepas dari itu, provinsi dan kabupaten/kota merupakan daerah otonom. Namun, kendati keduanya adalah daerah otonom, provinsi memiliki peran ekualisasi, fasilitasi dan pemberdayaan terhadap kabupaten/kota terkait dengan kebijakan yang menggambarkan kekhasan provinsi. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, peran tersebut belum diatur dengan jelas. Karena itu, pelaksanaan berbagai peran tersebut belum dapat dilakukan secara optimal. Rendahnya optimalisasi dari pelaksanaan peran tersebut, sering membuat penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota kurang dapat dikoordinasikan secara efektif dan sinergis untuk mencapai tujuan pembangunan provinsi. Disamping hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, masalah lain yang perlu dicarikan solusinya adalah peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kedudukan gubernur sebagai kepala daerah dan sebagai wakil pemerintah pusat kurang dapat dipisahkan dengan tegas dalam beberapa hal, yang antara lain adalah : Pertama, kapan gubernur harus bertindak sebagai wakil pemerintah pusat dan kapan gubernur harus bertindak sebagai kepala daerah. Hal ini perlu diatur dengan jelas karena memiliki implikasi kelembagaan dan anggaran yang berbeda. Ketidakjelasan 112
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 112
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
pengaturan kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan kepala daerah membuat fungsi ganda gubernur belum dapat berjalan dengan baik karena struktur kelembagaan dan anggaran belum dapat memberi dukungan yang kuat terhadap pelaksanaan fungsi ganda gubernur. Kedua, akibat dari tidak berjalannya secara optimal fungsi ganda itu maka pelaksanaan Binwas dari gubernur belum dapat berjalan dengan baik. Akibat lebih jauh dari tidak berjalannya peran Binwas, penyelenggaraan pemerintahan di daerah selama ini kurang terkoordinasi dengan baik dan kurang sinergis dan pembangunan daerah tidak dapat diwujudkan secara optimal. Jika tidak dilakukan pengaturan yang jelas tentang fungsi ganda gubernur dalam revisi UU No. 32 Tahun 2004, upaya untuk mendorong adanya pembangunan daerah yang sinergis dan berkelanjutan dalam wilayah provinsi akan mengalami banyak hambatan. Pengaturan lebih jelas dan memperkuat peran gubernur dalam melakukan BINWAS, koordinasi, dan penyelarasan kegiatan pembangunan di daerah akan dapat mengurangi ketegangan yang selama ini sering terjadi pada hubungan antara bupati/walikota dan gubernur di daerah. Miskonsepsi dalam memahami pola hubungan tersebut cenderung mempersulit koordinasi dan sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat kabupaten/kota. Lebih dari itu, pengaturan juga diperlukan agar gubernur dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan konflik yang terjadi di antara kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Penguatan fungsi ganda gubernur juga dapat memperkuat hubungan antar tingkatan pemerintahan. Dalam pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, maka hubungan antara gubernur dengan bupati/walikota bersifat bertingkat, di mana gubernur dapat melakukan peran Binwas terhadap kinerja bupati/
113
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 113
6/22/2010 6:34:48 PM
R. Siti Zuhro
walikota dalam penyelenggaraan urusan pemerintah di daerah. Sebaliknya bupati/walikota dapat melapor dan mengadu kepada gubernur apabila terjadi masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, termasuk dalam hubungan antar kabupaten/ kota. Penguatan peran Gubernur sebagai kepala daerah akan dapat memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.
5.4 Masalah Perencanaan Daerah Perencanaan adalah suatu usaha yang terorganisasi yang dilakukan secara sadar dan berkesinambungan untuk memilih alternatif yang terbaik dalam mencapai tujuan; suatu pemikiran masa mendatang; suatu kegiatan mengendalikan masa depan; suatu kegiatan pengambilan keputusan; suatu pengambilan keputusan yang terintegratif; suatu prosedur formal untuk menghasilkan suatu yang telah ditetapkan dalam suatu sistem pengambilan keputusan yang integratif. Alasan utama menyelenggarakan perencanaan adalah (1) untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan, (2) untuk menjamin bahwa situasi di masa mendatang telah diperhitungkan dengan baik, (3) agar selalu bersifat rasional, dan (4) agar mampu di dalam melakukan pengendalian. Singkatnya, tujuan utama dari perencanaan adalah agar kegiatan-kegiatan pemerintah dapat terselenggara dengan efisien, efektif, adil dan saling komplemen dan berkesinambungan. Di negara-negara sedang berkembang, less-developed counries, seperti Indonesia, upaya mengurangi ketertinggalan dan keterbelakangan mendapat perhatian utama dari pemerintah sehingga penyelenggaraan kegiatan perencanaan pemerintah dikenal dengan nama perencanaan pembangunan.
114
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 114
6/22/2010 6:34:48 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Pembangunan secara umum diartikan sebagai terencana ke arah yang lebih baik. Secara khusus, pembangunan diartikan sebagai perubahan yang menjamin kelangsungan hidup (lifesustenance), harga diri (self-esteem) dan kebebasan/kemerdekaan (freedom); perubahan yang mengarah kepada kebebasan berpolitik (political freedom), peluang mendapatkan fasilitas ekonomi, fasilitas sosial, jaminan transparansi dan perlindungan; perubahan indikator mulai dari angka pertumbuhan GNP/GDP ke angka ketimpangan, pengurangan kemiskinan, pengangguran, kualitas manusia, keberlanjutan (sustainability), dan dewasa ini digambarkan dalam tingkat kesejahteraan, yang diamati dari situasi dan kondisi pendidikan, kesehatan dan perekonomian (daya beli) sebagaimana tercermin dalam Human Development Index (HDI). Dari uraian diatas, tujuan akhir dari perencanaan pembangunan adalah untuk kesejahteraan masyarakat yang diukur dari Human Development Index. Hal ini telah diatur dalam konsiderans UU No.32 Tahun 2004. Lepas dari itu, tak dapat disangkal bahwa praktek perencanaan pembangunan daerah di Indonesia masih bersifat subyektif. Perencanaan publik sering dinilai lebih mendatangkan masalah dari pada memecahkannya. Praktek perencanaan pembangunan daerah selama ini cenderung mengikuti atau memperhatikan apa kata pimpinan (paternalistik) atau pihak yang memiliki kedudukan atau jabatan yang lebih tinggi, dari pada didasarkan pada tinjauan akademik atau hasil olahan data yang rasional dan obyektif. Akibatnya, banyak program dan kegiatan pembangunan yang diusulkan pada akhirnya tidak memecahkan masalah publik di daerah. Kesalahan (error) mungkin terletak pada pendefinisian masalah atau kebutuhan (masalah yang salah atau palsu), atau mungkin terletak pada cara pemecahannya (melalui program/kegiatan) yang diusulkan. Kelemahan terletak dalam tiga sisi, yaitu dominasi struktur yang lebih
115
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 115
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
tinggi, keterbatasan kemampuan perencana, dan dukungan data dan informasi yang sangat minim. Di masa mendatang, proses dan kualitas perencanaan pembangunan daerah seharusnya diperbaiki agar rencana yang dihasilkan lebih obyektif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat di daerah. Obyektivitas dan relevansi perencanaan harus menjadi indikator atau aspek penting dalam penyusunan peraturan perundangan yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah. Peraturan perundangan ini harus membatasi dominasi struktural, memberikan ruang partisipasi masyarakat yang lebih besar, dan mengakomodasikan sistem pendataan dan informasi yang lebih rasional dan obyektif.
5.5 Prinsip Perencanaan Pembangunan Daerah Perencanaan pembangunan daerah merupakan proses menentukan apa yang harus diprioritaskan untuk dibangun di daerah berdasarkan prinsip rasionalitas dan akseptabilitas. Prioritas harus diarahkan pada meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang langsung berkaitan dengan indikator Human Development Index yang meliputi sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Prinsip rasionalitas dalam perencanaan pembangunan daerah harus didasarkan pada kajian akademik yang obyektif tentang kebutuhan riil yang dirasakan atau tentang masalah yang benar-benar dihadapi oleh masyarakat. Cara atau metode untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan riil tersebut adalah dengan mengumpulkan data di masyarakat, menganalisis data tersebut, dan kemudian membuat kesimpulan tentang apa yang harus segera dipenuhi atau dipecahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, para perencana publik di daerah harus benarbenar memperhatikan keterkaitan internal dan eksternal dari bidang116
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 116
6/22/2010 6:34:49 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
bidang yang direncanakan untuk kemudian dilakukan integrasi dan koordinasi agar jangan sampai terjadi tumpang tindih, pengulangan, saling menghapus atau bertentangan (negasi), atau bahkan terjadi kekosongan. Para perencana juga harus profesional dalam melakukan tugas dan fungsi perencanaan, berorientasi enterpreneurship, selalu mengambil prakarsa atau inisiatif, kreatif, dan akuntabel baik terhadap keputusan yang dibuat maupun hasil yang dicapai. Karenanya, dibutuhkan sistem perencanaan dan kualitas perencana yang berorientasi pada paradigma New Public Management atau Reinventing Government. Salah satu turunan dari paradigma ini adalah Reinventing Planning yang dikumandangkan oleh World Planners Congress pada bulan Juni tahun 2006 di Vancouver, yang memberikan 10 prinsip yaitu a)
Sustainability,
b)
Iintegrated planning,
c)
Integrated budgets,
d)
Planning with partners,
e)
Subsidiarity,
f)
Market responsiveness,
g)
Access to land,
h)
Appropriate tools,
i)
Pro-poor and inclusive, dan
j)
Cultural variation.
117
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 117
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
Dalam perencanaan pembangunan di daerah, prinsip-prinsip ini sangat tepat untuk dipertimbangkan. Prinsip akseptabilitas dalam perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada tingkat penerimaan atau dukungan dari berbagai kelompok kepentingan tentang apa yang hendak dikerjakan atau dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat. Prinsip ini sangat bersifat politis karena selalu berkenaan dengan siapa mendapat apa, berapa banyak, dengan cara apa mendapatkannya, dan mengapa? Di dalam prinsip ini, selalu diingatkan untuk memperhatikan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan publik yang layak dari negara. Karena itu, cara atau metode yang paling tepat adalah memanfaatkan partisipasi atau melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terutama yang langsung berkaitan dengan nasib atau kepentingan mereka. Dalam konteks ini, dibutuhkan para perencana publik di daerah yang benar-benar berpihak kepada masyarakat daerah khususnya masyarakat yang paling membutuhkan uluran tangan. Orientasi pada paradigma New Public Service (NPS) sangat diutamakan dalam proses perencanaan pembangunan di daerah. Kedua prinsip di atas dalam literatur perencanaan publik selalu diperhitungkan bersama-sama sebagai dimensi teknis di satu sisi, dan dimensi politis di sisi yang lain. Karenanya dalam praktek perencanaan pembangunan daerah di Indonesia, kedua aspek ini harus sama-sama diakomodasikan. Untuk memenuhi tuntutan kedua aspek ini maka para perencana harus benar-benar orang yang profesional dalam perencanaan bidang-bidang pembangunan daerah, dan memiliki political skills agar selalu sensitif untuk berpihak kepada masyarakat di daerah termasuk kelompok yang paling tidak beruntung seperti kaum miskin dan tertindas.
118
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 118
6/22/2010 6:34:49 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Dewasa ini, sebagaimana disampaikan dalam Reinventing Planning, diperlukan prinsip sustainability, dan memang telah menarik perhatian berbagai kalangan. Artinya, kegiatan-kegiatan atau program-program pembangunan hendaknya disusun dengan memperhatikan dampak sosial dan fisik. Apabila dianalisis isi dari bab mengenai perencanaan pembangunan daerah, maka yang telah diatur adalah tujuan, pelaku, tingkatan dan ruang lingkup, proses, dan kedudukan/kekuatan hukum. Akan tetapi tingkatan dan ruang lingkup ini juga telah diatur dalam UU No. 25/2004 mengenai Sistem Perencanaan Nasional. Barangkali masalah ini perlu diatur oleh salah satu UU saja. Pasal-pasal tentang bab “Perencanaan Pembangunan Daerah” terdapat pada pasal 150 UU 32/2004, yang intinya mencakup : (1)
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. (Tujuan).
(2)
Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. (Pelaku)
(3)
Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disusun secara berjangka meliputi: a.
Rencana pembangunan jangka panjang daerah disingkat dengan RPJP daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional; (Sudah Diatur dalam pasal 5 UU 25 / 2004)
b.
Rencana pembangunan jangka menengah daerah yang selanjutnya disebut RPJM daerah untuk jangka waktu 5 119
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 119
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
(lima) tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional. c.
RPJM daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif;
d.
Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD, merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah.
e.
RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah. (Kekuatan Hukum)
Selanjutnya pasal pasal 151 menyatakan beberapa hal sebagai berikut : (1)
Satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana stratregis yang selanjutnya disebut Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, berpedoman pada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
120
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 120
6/22/2010 6:34:49 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk rencana kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Sedangkan pasal 152 menggambarkan beberapa hal sebagai berikut : (1)
Perencanaan pembangunanan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2)
Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
(3)
a.
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
b.
organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah;
c.
kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah;
d.
keuangan daerah;
e.
potensi sumber daya daerah;
f.
produk hukum daerah;
g.
kependudukan;
h.
informasi dasar kewilayahan; dan
i.
informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya daya guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan
121
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 121
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi daerah yang terintegrasi secara nasional. Sedangkan pasal 153 berbunyi sebagai berikut : Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. (Apakah pasal ini tentang tujuan/maksud dari Perencanaan Pembangunan?) Dan pasal 154-nya adalah sebagai berikut : Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yang berpedoman pada perundang-undangan Berdasarkan permasalahan yang dihadapi selama ini dan prinsip perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diuraikan diatas, maka elemen yang perlu dipertimbangkan untuk diatur dalam perencanaan pembangunan di daerah adalah (1)
Perlunya arah, visi dan misi perencanaan pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan harus dituntun oleh suatu visi dan misi tertentu. Elemen ini telah diatur dalam pasal yang mengatur RPJP dan RPJM. Hanya saja hal ini juga diatur dalam UU no.25/2004 dan isinya relatif sama. Seharusnya salah satu saja yang mengaturnya.
(2)
Tingkatan dan jangkauan perencanaan pembangunan daerah Karena pemerintah daerah terdiri atas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota maka unsur ini perlu diatur. Akan tetapi elemen ini juga sudah diatur dalam UU no.25/2004.
122
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 122
6/22/2010 6:34:49 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
(3)
Prioritas perencanaan pembangunan daerah Prioritas perencanaan pembangunan ini harus didasarkan pada naskah RPJP dan RPJM yang sudah disahkan. Prioritas ini sangat diperlukan agar perencanaan lebih diarahkan pada bidang-bidang yang strategis yang mempengaruhi kinerja pemerintahan daerah. Disarankan agar prioritas diberikan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.
(4)
Proses perencanaan pembangunan daerah Proses perencanaan melibatkan para ahli, praktisi dan pemangku kepentingan, khususnya melalui partisipasi masyarakat.
(5)
Siapa yang bertanggungjawab terhadap Manajemen dan organisasi perencanaan pembangunan daerah Siapa yang mengelola atau mengorganisir perencanaan pembangunan harus disebutkan secara jelas. Dalam hal ini Bappeda merupakan lembaga yang telah ditetapkan untuk melaksanakan fungsi ini
(6)
Perlunya evaluasi perencanaan pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah sebaiknya dievaluasi sebelum diimplementasikan dengan memperhatikan relevansinya, kelayakannya dan tingkat akseptabilitasnya.
5.6 Penutup Studi tentang fungsi korbinwas Gubernur dalam perencanaan pembangunan daerah sebagaimana diuraikan di atas memberikan beberapa catatan penting. Ketidakjelasan peran gubernur mensyaratkan bahwa ke depan ada enam hal yang perlu dipenuhi: Pertama, gubernur mampu mengkoordinasi kabupaten/kota yang 123
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 123
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
ada di wilayahnya agar terjadi sinergi dalam mengembangkan ekonomi regional. Sinergi diperlukan karena bila kabupaten/kota jalan masing-masing maka mereka tidak akan cukup skala dan bahkan bisa saling melemahkan. Hal itu bisa dilakukan dengan komunikasi intensif sampai pada tingkat perumusan bersama dan menghasikan RTRW dan RPJPD/RPJM kabupaten/kota. Kedua, selaku koordinator, pengawas dan pembimbing, gubernur ikut mengelola anggaran pusat yang ke dan atau di kabupaten/ kota melalui DAU dan DAK atau dalam bentuk lain seperti “dana tugas pembantuan” dan “hibah”. Dalam kaitan ini, DAU dimaksudkan sebagai dana alokasi dari pusat yang diberikan berdasarkan rumus tertentu yang pemanfaatannya dikoordinasikan agar lebih bororientasi kinerja. Sebagai contoh dana tersebut bukan untuk membeli mobil atau rumah dan jabatan tapi untuk benih dan obat. Sedangkan DAK dimaksudkan sebagai dana alokasi khusus untuk urusan yang sudah menjadi otonomi daerah untuk daerah tertentu seperti untuk dana fisik (rehab jalan, sekolah dan rumah sakit). DAK ini direncanakan sampai rinci (satuan III) oleh Biro Perencanaan Kementerian/Lmbaga di Pusat. Namun realitasnya dana tersebut sering salah sasaran dan kurang aspiratif dan tidak sesuai dengan yang diharapkan kabupaten/kota. Oleh karena itu, ke depan DAK tidak hanya berwujud fisik tapi juga non-fisik, misalnya untuk meningkatkan kualitas lulusan Dikdasmen, juga bisa untuk dana transportasi guru, peningkatan kualitas guru, gizi murid, armada ikan, kebun dan ternak yang tiap-tiap kabupaten/kota mungkin berbeda. DAK tidak tidak perlu secara rinci direncanakan oleh pemerintah pusat, tapi diserahkan dalam bentuk “blok” dengan arahan umum kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur bersama-sama dengan Bupati dan Walikota menyusun rencana rincinya. Begitu juga dengan perencanaan dana tugas pembantuan dan hibah, Gubernur selain melaksanakan fungsi Binwas, juga koordinasi di wilayahnya.
124
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 124
6/22/2010 6:34:49 PM
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat
Ketiga, dalam hal SDM aparatur Kabupeten/Kota, Gubernur mengkoordinasikan dan berwenang memindahkan pejabat eselon III antarkabupaten/kota. Mestinya tidak ada pejabat eselon III bisa naik ke eselon II tanpa pindah terlebih dahulu. Ini dimaksudkan agar terbangun aparatur yang tidak semata-mata menonjolkan ego kedaerahan dan berpengalamanan sempit. Keempat, Binwas dilakukan Gubernur kepada kabupaten/kota untuk menjaga agar otonomi daerah yang dilaksanakan kabupaten/ kota sesuai dengan NSPK yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini juga dimaksudkan agar tata cara mengelola hutan, misalnya, sesusia dengan NSPK dari departemen Kehutanan agar pelaksanaan urusan Dikdasmen, kesehatan, dll sesuai dengan NSPK, baik secara teknis maupun managerial, termasuk kompetensi pejabat yang diangkat. Kelima, Binwas juga dilakukan dalam menyiapkan Perda terutama agar Perda tidak melawan perundang-undangan yang lebih tinggi. Gubernur selaku wakil pemerintah pusat mewakili Presiden dapat membatalkan Perda. Keenam, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berwenang melakukan evaluasi kinerja kabupaten/kota dan melaporkannya kepada Presiden. Hasil evaluasi, baik atau buruk metinya akuntabel dan transparan. Dalam kasus fungsi Korbinwas yang dilaksanakan Gubernur Jawa Barat terhadap Kota Bogor dan Kabupaten Bandung cenderung masih belum memadai karena yang dilakukan Gubernur selama tersebut hanya kunjungan dan belum dalam bentuk komunikasi intensif seperti merumuskan rencana secara bersama. Selain itu, empiric selama ini menunjukkan bahwa yang turun ke kabupaten/ kota adalah Bappeda, SKPD, alat daerah dan bukan perangkat pemerintah pusat. Realitasnya, Gubernur belum memiliki perangkat pemerintah pusat, yang dalam rancangan revisi UU 32/2004 Gubernur akan dilengkapi dengan 2 sampai 3 Deputi beserta pejabat fungsional senior yang kompeten untuk melaksanakan fungsi Korbinwas.
125
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 125
6/22/2010 6:34:49 PM
R. Siti Zuhro
126
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 126
6/22/2010 6:34:49 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
BAB 6 IMPLIKASI PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN DAERAH TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI Hari Susanto
6.1 Pengantar Sangat menarik kalau disimak arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2006 tentang pentingnya suatu perencanaan26. Beliau mengatakan suatu falsafah tentang pentingnya perencanaan, yaitu “jangan kumaha engke tetapi engke kumaha" (jangan bagaimana nanti tapi nanti bagaimana) Suatu pembangunan itu bukan dijalankan dengan falsafah kumaha engke (bagaimana nanti) tetapi harus berdasarkan suatu pengetahuan yang dalam terhadap suatu masalah sehingga tercipta suatu perencanaan yang baik. Disini falsafah suatu pembangunan harusnya menjadi engke kumaha (nanti bagaimana). Beliau juga menekankan bahwa perencanaan yang baik merupakan separuh dari kemenangan. Falsafah kumaha engke ini dalam pelaksanaannya sangat banyak terjadi di Indonesia, baik pada peringkat nasional maupun pada peringkat provinsi, kabupaten dan kota. Sebagai contoh adalah perkembangan atau pembangunan suatu perkotaan, falsafah kumaha engke ini sangat jelas terjadi, dimana perencanaan yang dilakukan hanya sebagai suatu kegiatan yang bersifat reaktif dari permasalahan yang ada. 26
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Arahan pada Pembukaan Musrenbang Nasional Tahun 2006 , Jakarta, Hotel Bidakara, 13 April 2005.
127
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 127
6/22/2010 6:34:49 PM
Hari Susanto
Kebanyakan kegiatan reaktif inipun bersifat jangka pendek. Pembangunan kota Bandung, sebagai ibu provinsi Jawa Barat, yang didukung oleh wilayah sekitarnya terutama pembangunan jaringan jalannya mencerminkan falsafah ini. Bisa dilihat, misalnya, bagaimana jalan-jalan menuju kota Soreang, ibu kabupaten Bandung, terutama di sekitar jalan Sukarno-Hatta tidak didisain untuk menampung perkembangan lalu lintas yang tinggi antara dua daerah, sehingga terjadilah kemacetan yang semakin parah. Kalau dilihat keadaan Jakarta dan Bandung 20 atau 30 tahun lalu, maka lihatlah kota-kota besar di luar Pulau Jawa sekarang. Kalau perkembangan kota-kota tersebut secepat Jakarta dan Bandung, dapat dipastikan bahwa kemacetan seperti yang terjadi di Jakarta dan Bandung saat ini akan terjadi pada kota-kota tersebut. Jadi jarang sekali terlihat suatu kota mengambil pelajaran atau pengalaman dari suatu kota yang lebih maju. Secara hukum, perencanaan pembangunan di Indonesia diwadahi oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU 25/2004). Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang dimaksud adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Secara umum Undang-Undang ini berisikan cakupan Perencanaan Pembangunan Nasional yang menghasilkan rencana pembangunan jangka panjang yang berisikan visi, misi, dan arah pembangunan nasional, rencana pembangunan jangka menengah yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden atau Kepala Daerah, dan rencana pembangunan tahunan yang merupakan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
128
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 128
6/22/2010 6:34:49 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) merupakan penjabaran dari tujuan terbentuknya pemerintahan Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/ Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan serta kerangka ekonomi makro termasuk arah kebijakan fiskal. Rencana Pembangunan Tahunan yang dijabarkan dalam Rencana Kerja Tahunan memuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro serta program Kementerian/Lembaga dan kewilayahan. Kaitan rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Rencana Kerja Pemerintah Daerah tahunan (RKPD) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Undang-Undang ini juga mengatur tahapan perencanaan pembangunan nasional yang meliputi penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan rencana, dan evaluasi pelaksanaan rencana. Selanjutnya Undang-Undang ini dijabarkan dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (PP 40/2006). Memang dalam UU 25/2004 dan PP 40/2006 telah disinggung kaitan antara RPJP, RPJM, RKP dengan mitranya di daerah, kemudian juga melaksanakan musyawarah perencanaan dan pembangunan
129
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 129
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
(musrenbang) daerah dan nasional yang salah satu tujuannya adalah mensinkronkan dan mengkoordinasikan perencanaan antar lembaga di pusat dan di daerah, tetapi sistem yang telah dibangun tersebut belum mencapai pada peringkat yang krusial yang menjadi referensi bagi setiap lembaga yang terlibat. Dalam kaitannya dengan proses perencanaan pembangunan di masa Orde Baru, Bratakusumah27 menggambarkan sebagai berikut : „...dalam rangka memulihkan kondisi perekonomian nasional yang carut marut akibat pemberontakan G 30 S/PKI tersebut, melalui Instruksi Presidium Kabinet No 15/EK/IN/1967, Bappenas telah ditugasi untuk membuat rencana pemulihan ekonomi, rencana yang dihasilkannya bernama Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973. Era Repelita telah berlangsung sampai dengan Repelita ke VI yang berakhir pada tahun 1998. Proses perencanaan pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali...“ Telah disebutkan sebelumnya bahwa kaitan rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan penjabaran visi, misi, dan program Kepala Daerah yang harus memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Rencana Kerja Pemerintah Daerah tahunan (RKPD) mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pergeseran sistem perencanaan pembangunan daerah selama satu dasawarsa belakangan ini tentu mempunyai implikasi yang berbeda. Sewaktu era Orde Baru, perencanaan pembangunan 27
Deddy Supriady Bratakusumah Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Forum Regional Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pascasarjana IPB bekerjasama dengan Himpunan Perencana Wilayah dan Perdesaaan, di Jakarta, 2 Juli 2003.
130
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 130
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
nasional maupun daerah didasarkan pada pola dasar pembangunan yang dihasilkan dari sidang MPR/DPR-RI. Sementara itu, perencanaan pembangunan daerah selama reformasi belakangan ini diilhami dari visi/misi kandidat yang terpilih menjadi gubernur, bupati maupun walikota, tentunya.
6.2 Proses Pergeseran Visi dan Misi Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, tujuan dari pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks daerah, pembangunan diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan ini? Secara ringkas upaya ini adalah dengan mengolah potensi yang ada di daerah secara efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Secara efisien diartikan bahwa pemanfaatan potensi tidak dilakukan secara sembrono dan membabi buta tetapi mengacu pada konsep optimalisasi (Marginal Cost = Marginal Benefit). Sementara pemahaman keadilan perlu mengacu pada keadilan antar daerah dan antar generasi (interregional equity dan interregional generation). Keadilan antar daerah diartikan sebagai suatu kondisi dimana kesejahteraan satu daerah kurang lebih sama dengan kesejahteraan di daerah-daerah lainnya. Adapun keadilan antar generasi diartikan bahwa kualitas lingkungan generasi sekarang kurang lebih sama dengan kualitas lingkungan generasi berikutnya. Sementara berkelanjutan diartikan sebagai suatu proses pembangunan yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi tetap memelihara kualitas lingkungan.
131
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 131
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
Secara umum potensi daerah dapat digolongkan ke dalam dua bagian besar, yakni keras dan lunak. Potensi keras pada umumnya berkaitan dengan SDA, infrastruktur dan lain-lain. Sementara itu, potensi lunak misalnya SDM, modal sosial, dan lain-lain. Selanjutnya, sebelum pembangunan dilakukan data tentang potensi daerah perlu diketahui secara lengkap, akurat dan mutakhir. Data ini penting sebab langkah konkrit yang akan dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan diketahuinya potensi yang ada maka langkah yang disusun akan terarah dan mempunyai sasaran jelas. Dengan perkataan lain, pemanfaatan secara efisien, berkeadilan dan berkesinambungan akan dapat dilakukan dengan tepat. Hal lain yang perlu diketahui adalah kondisi terakhir (current condition) dari daerah, termasuk didalamnya peluang, hambatan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi ini berkaitan dengan fisik dan non fisik yang ada di daerah. Siapakah aktor yang paling bertanggung jawab atas jalannya pembangunan daerah? Pimpinan daerah? Pada tingkat provinsi, aktor ini adalah gubernur dan wakil gubernur. Pada tingkat kabupatan/ kota, aktor ini adalah bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota. Semenjak Otonomi Daerah ditetapkan, pimpinan daerah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Karena itu setiap calon pimpinan daerah harus bersaing dengan calon lain agar dapat dipilih oleh masyarakat. “Senjata” yang digunakan untuk bersaing oleh setiap calon adalah visi dan misi yang harus dikemukakan sebelum pemilihan dilakukan. Kiranya menjadi jelas, visi dan misi merupakan hal yang strategis bagi calon pimpinan daerah. Memperhatikan uraian di atas, seharusnya visi dan misi yang dikemukakan oleh setiap calon harus 132
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 132
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
mendasarkan pada kondisi terakhir daerah. Dalam hal ini terlihat jelas bahwa setiap calon dituntut untuk mempunyai pemahaman yang lengkap, akurat dan mutakhir tentang kondisi daerah. Namun demikian perlu kiranya dimengeri bahwa visi dan misi yang dikemukakan harus “laku jual”. Dalam kaitan ini, visi dan misi yang dikemukakan oleh setiap calon harus “dibungkus” sedemikian rupa sehingga masyarakat tertarik dengan visi dan misi tersebut dan pada gilirannya masyarakat akan memilih calon tersebut. Setelah calon pimpinan terpilih, apakah ada keharusan bagi calon untuk menjalankan visi dan misi sesuai dengan visi dan misi awal? Tidak. Sebelum visi dan misi diterjemahkan ke dalam langkah operasional, terdapat toleransi untuk merubah visi dan misi awal. Inilah yang disebut sebagai pergeseran visi dan misi. Pertanyaannya adalah, apakah pergeseran visi dan misi ini memberikan keuntungan atau kerugian bagi masyarakat? Keuntungan dan kerugian pergeseran tersebut adalah sebagai berikut: a)
Pada saat visi dan misi disusun, biasanya waktunya cukup singkat. Sebagai akibatnya, data tentang daerah yang digunakan kurang lengkap dan akurat. Dengan adanya waktu untuk merubah visi dan misi maka pimpinan terpilih dapat menyusun visi dan misi baru dengan data yang lebih lengkap dan akurat. Inilah salah satu keuntungan perubahan visi dan misi,
b)
Pada saat visi dan misi disusun, calon pimpinan pada umumnya akan dibantu oleh tim penyusun. Mungkin saja tim penyusun ini kurang memahami karakteristik daerah. Dengan adanya waktu untuk merubah visi dan misi maka pimpinan terpilih dapat menggunakan tenaga ahli yang benar-benar memahami karakteristik daerah sehingga visi dan misi lebih tepat dan terarah,
133
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 133
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
c)
Pada saat visi dan misi disusun, tim penyusun akan membungkus dengan hal-hal yang dipandang laku dijual dengan tujuan untuk menarik masyarakat. Dengan adanya waktu untuk merubah visi dan misi diharapkan hal-hal yang bersifat menarik pemilih dapat dihilangkan. Dengan demikian visi dan misi pada akhirnya benarbenar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang ada,
d)
Sebelum visi dan misi disusun oleh calon pimpinan daerah, sebenarnya daerah telah melakukan pembangunan. Dengan adanya visi dan misi baru, terdapat kemungkinan bahwa visi dan misi baru bukan kelanjutan dari pembangunan yang telah dilakukan. Kalau ini terjadi, sumber daya yang telah digunakan untuk menjalankan pembangunan akan terbuang sia-sia. Inilah kerugian dari visi dan misi yang bukan kelanjutan dari program pembangunan sebelumnya, dan
e)
Pada saat masyarakat memilih salah satu pimpinan, salah satu perimbangannya adalah visi dan misi yang akan dilakukan. Karena adanya pergeseran visi dan misi maka masyarakat harus menerima visi dan misi baru. Kalau visi dan misi baru yang digunakan mungkin saja masyarakat lebih memilih calon pimpinan lain. Dalam batas-batas tertentu hal ini dapat disebut sebagai pembohongan terselubung.
6.3 Kasus Kota Bogor Bogor merupakan pintu gerbang propinsi Jawa Barat, berjarak 60 km dari Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia dan 120 km ke Bandung sebagai Ibu kota Propinsi Jawa Barat yang dijuluki sebagai kota hujan karena curah hujan sangat tinggi antara 3000 hingga 4000 mm per tahun.
134
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 134
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
Bogor (berarti “enau”) telah lama dikenal dijadikan pusat pendidikan dan penelitian pertanian nasional. Di sinilah berbagai lembaga dan balai-balai penelitian pertanian dan biologi berdiri sejak abad ke-19. Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT - 106°51’00”BT dan 30’30”LS – 6°41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter, maksimal 350 meter dengan jarak dari ibu kota sekitar 60 km. Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118,5 km2 dan mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan dataran, yaitu: Ci (Sungai) Liwung, Ci Sadane, Ci Pakancilan, Ci Depit, Ci Parigi, dan Ci Balok. Topografi yang demikian menjadikan kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir alami. Kota Bogor berbatasan dengan kecamatan-kecamatan dari Kabupaten Bogor sebagai berikut: Utara : Sukaraja, Bojonggede, dan Kemang. Timur : Sukaraja dan Ciawi. Selatan : Cijeruk dan Caringin. Barat : Kemang dan Dramaga Tabel 6.1 Gambaran Penduduk dan Geografi Kota Bogor NO KETERANGAN SATUAN KOTA BOGOR (01) (02) (03) (05) 01 Ibu kota Unit Bogor 02 Luas km2 118,5 03 Penduduk Jiwa 834.000 04 Kepadatan Geografis km2 38.661 jiwa 05 Kecamatan Unit 6 06 Desa/kelurahan Unit 68 Sumber : Diolah dari BPS dan Bappeda Kota Bogor, Kota Bogor dalam Angka.
Kedudukan geografi kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara, Jakarta, membuatnya strategis dalam perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Kebun Raya dan Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang menarik. Kedudukan Bogor di antara jalur tujuan Puncak/Cianjur juga merupakan potensi strategis bagi pertumbuhan ekonomi. 135
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 135
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
Visi/misi yang dilontarkan oleh kandidat walikota/wakil walikota terpilih kota Bogor merupakan lanjutan dari visi/misi yang dituangkan pada periode 2004-2009. Alasannya adalah bahwa kandidat walikota terpilih di tahun 2008 itu adalah incumbent, yakni walikota yang menduduki jabatan pada periode sebelumnya. Visi kota Bogor adalah Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani yang didukung oleh Pemerintahan yang Amanah. Dari visi tersebut, diturunkanlah 4 (empat) misi yang diprioritaskan, antara lain adalah sebagai berikut : a.
Pemberantasan kemiskinan,
b.
Kebersihan kota,
c.
Mengatasi masalah transportasi kota, dan
d.
Penataan pedagang kaki-lima (K-5)
Gambaran perekonomian kota Bogor selama kurun waktu 20022006 mengalami peningkatan, yakni dari 100 persen di tahun 2002 kemudian menjadi 126,65 persen di tahun 2006. Artinya dalam kurun waktu 2002-2006 terjadi peningkatan perekonomian kota Bogor sebesar 26,65 persen. Artinya, pertumbuhan ekonomi kota Bogor setiap tahunnya, apabila dirata-ratakan, telah mencapai 6,67 persen. Pertumbuhan yang hampir mencapai 7 persen setiap tahunnya di kota Bogor tersebut bisa dikatakan pada kurun waktu 2002-2006 tersebut sangatlah tinggi bila dibandingkan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi nasional28.
28
Pertumbuhan ekonomi nasional di paruh pertama awal milenium ketiga berkisar antara 3 persen hingga 5,5 persen setiap tahunnya. Rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional karena perekonomian nasional pada saat itu masih dihadapkan oleh usaha memperbaiki perekonomian dari krisis yang terjadi pada paruh kedua dasawarsa 1990-an
136
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 136
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
Tingginya pertumbuhan ekonomi kota Bogor tersebut tidak terlepas dari fungsi kota Bogor dalam pengembangan sektor jasa, seperti angkutan, perhotelan maupun pariwisata. Tentu, dalam situasi seperti hal tersebut, jasa pelayanan menjadi penting – apalagi kota Bogor adalah kota penyangga wilayah wisata di BOPUNJUR maupun ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tabel 6.2 Perkembangan PDRB Kota Bogor 2002-2006 Berdasarkan Harga Konstan 2000 NO TAHUN NILAI NOMINAL (Rp. Juta) PERKEMBANGAN (2002 = 100%) (01) (02) (03) (04) 2002 2.986,34 100,00 2003 3.168,19 106,09 2004 3.361,44 112,56 2005 3.567,23 119,45 2006 3.782,27 126,65 Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2002-2006, Jakarta, BPS, 2007, halaman 45
Tabel 6.3 Perkembangan Pendapatan per Kapita Kota Bogor 2002-2006 Berdasarkan Harga Berlaku NO TAHUN NILAI NOMINAL (Rp) PERKEMBANGAN (2002 = 100%) (01) (02) (04) (06) 2002 4.455.667,75 100,00 2003 4.946.736,04 111,02 2004 4.975.404,54 111,66 2005 6.001.076,12 134,84 2006 6.828.264,11 153,25 Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2002-2006, Jakarta, BPS, 2007, halaman 45
Lemahnya perkembangan ekonomi dan pendapatan per kapita kota Bogor, pada dasarnya, kota Bogor ini dihadapkan oleh jumlah pengangguran menjadi 17,7 persen dari total jumlah penduduk di tahun 2007, walaupun hal itu berarti berarti menurun dibanding
137
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 137
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
proyeksi tahun 2006 yang besarannya masih 18,5 persen29. Penurunan tersebut diprediksi terjadi akibat pengaruh eksternal positif, yaitu situasi perekonomian nasional yang diperkirakan akan membaik, Di sidang Paripurna DPRD ketika Walikota Kota Bogor menyerahkan rancangan kebijakan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bogor tahun 2007, di Gedung DPRD Kota Bogor30, bahwa berdasarkan pengamatan terhadap kondisi perekonomian regional serta hasil analisis terhadap kondisi lokal, maka pada tahun 2007 PDRB (Produk Regional Bruto) Kota Bogor diproyeksikan mencapai Rp. 5,58 trilyun. Prediksi membaiknya perekonomian nasional juga diharapkan akan berpengaruh terhadap perkembangan jumlah keluarga miskin, sehingga diperkirakan jumlah keluarga miskin Kota Bogor akan menjadi 21 persen dari total jumlah keluarga -- yang berarti turun 1 persen dari kondisi tahun 2006 yang masih 22 persen. Seluruh indikator makro tersebut diharapkan bermuara pada pencapaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kota Bogor yang sebesar 78,21 pada tahun 2007, yang dipengaruhi indeks pendidikan sebesar 89,42, indeks kesehatan sebesar 82,12 dan indeks daya beli sebesar 63,09. Proyeksi pencapaian indikator makro tersebut adalah sebuah harapan sekaligus target yang harus dicapai, yang pada dasarnya, berlandaskan pada optimisme membaiknya situasi perekonomian nasional. Lebih lanjut dijelaskan, penyusunan kebijakan umum APBD Kota Bogor tahun 2007, juga telah mengkaji kecenderungan-kecenderungan yang terjadi sepanjang tahun 2003 sampai tahun 2006, karena sejak tahun 2003 itulah penyusunan APBD Kota Bogor berbasis pada anggaran kinerja. Berdasarkan kajian tersebut dapat diketahui bahwa pendapatan Kota Bogor yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah 29
http://radensbuitenzorg.wordpress.com/2008/09/26/kota-bogor-yang-tambah-semraut-amburadul/ September 26, 2008 Monitor Bogor, 4 Juli 2007.
30
138
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 138
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
(PAD) dan dana perimbangan dalam kurun waktu tersebut mengalami pertumbuhan 16,30 persen. Kontribusi PAD dan dana perimbangan di dalam pendapatan kota Bogor mencapai 97,42 persen. Sementara lain-lain yang sah hanya memberikan kontribusi 2,58 persen. Selanjutnya, pada sektor belanja juga mengalami kecenderungan naik rata-rata sebesar 16,31 persen. Jika dilihat secara rinci bahwa belanja aparatur rata-rata naik 28,43 persen. Sedangkan belanja publik rata-rata naik 61,39 persen, dan belanja bantuan keuangan rata-rata naik 8,03 persen. Belanja tidak tersangka rata-rata naik 2,15 persen. Sementara didalam kurun waktu yang sama telah terjadi peningkatan pembiayaan rata-rata 51,11 persen per tahun, dan peningkatan pengeluaran pembiayaan sebesar 31,12 persen. Kebijakan Umum APBD kota Bogor tahun 2007 masih memproyeksikan pencapaian penanganan empat masalah prioritas, yaitu transportasi, kemiskinan, PKL, dan kebersihan. Disamping, proyeksi pencapaian program dasar yang antara lain meliputi pelayanan bidang pendidikan, kesehatan dan pembangunan infratruktur. Terkait dengan visi dan misi sebagai kota jasa, punya implikasi terhadap perubahan fungsi lahan. Sebagai missal pernyataan dari salah satu narasumber, antara lain, adalah sebagai berikut31 : “…perubahan-perubahan dari Rencana ata Ruang itu sekitar 33 persen penyimpangannya … utamanya terkait dengan HGU danperubahan-perubahan lahan-lahan produktif menjadi pemukiman….banyak sawah-sawah di Bogor, bila kita amati sepanjang jalan, menjadi pemukiman tanpa proses public yang jelas…” Pengalihan fungsi tersebut semakin dipertegas oleh narasumber lainnya yang mempertanyakan bahwa dengan diperankannya kota Bogor sebagai kota jasa apakah kawasan lindung atau kawasan budidaya untuk pengembangan pertanian itu bisa dirubah menjadi pusat-pusat kegitan pariwisata ? 31
Wawancara dengan H, dosen IPB, Bogor, 9 Juli 2009
139
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 139
6/22/2010 6:34:50 PM
Hari Susanto
Dalam konteks itu, narasumber menyatakan keprihatinan proses pengalihan fungsi lahan sebagai berikut32 : “…dengan dijadikannya kota Bogor sebagai kota jasa, apakah lahan-lahan produktif itu bisa dijadikan sebagai bangunan untuk kegiatan wisata seperti pembangunan hotel, villa dan sebagainya…” Sementara itu, kaitannya dengan visi akan “kota jasa yang nyaman” tentu harus ditunjukkan dengan misa pertama, yakni “pemberantasan kemiskinan”. Tentu perlu dilihat realisasinay dalam kurun waktu pemerintahannya selama setahun (atau sebagai incumbent harus dilihat semenjak 6 tahun sebelumnya). Fakta memperlihatkan bahwa tingkat kemiskinan dan pengangguran di kota Bogor cenderung meningkat dalam kurun waktu 2005 hingga 200933. Kemiskinan cenderung meningkat dalam kurun waktu 2005-2009, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 6.4. berikut ini. Tabel 6.4 Perkembangan Penduduk Miskin Kota Bogor 2005-2009
NO (01) 01 02 03 04 05
KETERANGAN (02) Jumlah Penduduk miskin (000 Jiwa) Propors Penduduk Miskin (%) P1 P2 Garis Kemiskinan (Rp/Kap/bulan)
2005 (03) 79,3 8,31 1,44 0,35 169.570
2009 (04) 91,4 9,47 1,66 0,47 200.888
Sumber : BPS, beberapa seri publikasi
Kemiskinan di Kota Bogor, pada dasarnya, dipengaruhi oleh oleh tingkat pengangguran yang tinggi, rendahnya penyerapan tenaga kerja, dan rendahnya tingkat keterampilan kerja. Selain itu juga Kondisi Ekonomi yang tidak sehat. Bahkan, sejumlah institusi yang bergerak dalam upaya penghimpunan dana untuk masyarakat miskin belum 32 33
Wawancara dengan Y, anggota DPRD, 6 Juli 2009. Lihat publikasi Badan Pusat Statistik tentang Kota Bogor beberapa tahun terakhir.
140
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 140
6/22/2010 6:34:50 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
mampu berperan secara optimal antara lain kerana tingkat partisipasi yang masih rendah dan belum meluas data mutahir BPS menunjukkan jumlah keluarga yang menerima dana Kartu Kompensasi BBM langsung tunai (KKBLT) mencapai jumlah 38.27534. Penanganan kemiskinan tersebut ditempuh antara lain melalui aktivitas Kelompok Usaha Bersama Ekonomi (KUBE), P2KP, Program Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (PROKSIMANTAP), pemanfatan lahan pekarangan dan latihan-latihan yang secara keseluruhan menyerap dana sebesar Rp 2,38 milyar. Seluruh program melibatkan 4.363 jiwa, dari target 4.363 jiwa atau sekitar 92,75 %. Sedangkan aksesibilitas pelayanan kesehatan deitempuh dengan pelayanan pengobatan katarak (terealisasi 58 jiwa dari target 100 jiwa atau 58 %), Pelayanan kesehatan rujukan keluarga miskin (terealisasi 26 ribu jiwa dari target 512 jiwa atau 5 %) dan pelayanan KB WUS (Wanita Usia Subur) terelaisasi 1.841 jiwa dari target 2.180 jiwa atau 84,45%. Keseluruhan dalam pelayanan kesehatan menghabiskan dana Rp 1,064 milyar. Meskipun berbagai program telah dilakukan untuk memperbaiki adanya peningkat penganguran yang menyebabkan kemiskinan jugameningkat adalah “seberapa jauh efektivitas program yang dilontarkan tersebut ?”. Jelas visi dan misi yang diemban oleh kota Bogor tidaklah bekerja seperti yang diharapkan. Tabel 6.5 Misi, Kenyataan yang Terjadi dan Pertanyaan yang Diajukan NO MISI (01) (02) 01 Pemberantasan Kemiskinan
34
DINAMIKA YANG TERJADI (03) Tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat secara absolut maupun relatif
PERTANYAAN YANG DIAJUKAN (04) Seberapa efektif program-program yang dilontarkan mampu menurunkan tigkat pengangguran dan kemskinan ?
http://www.kotabogor.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=746
141
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 141
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
02
Kebersihan Kota
Observasi di lapangan memperlihatkan tidak adanya perubahan
03
Mengatasi Transportasi
Observasi di lapangan memperlihatkan tidak adanya perubahan
04
Penataan Pedagang Kaki Lima
Observasi di lapangan memperlihatkan tidak adanya perubahan
Seberapa efektif program-program yang dilontarkan mampu menurunkan tigkat pengangguran dan kemskinan ? Seberapa efektif program-program yang dilontarkan mampu menurunkan tigkat pengangguran dan kemskinan ? Seberapa efektif program-program yang dilontarkan mampu menurunkan tigkat pengangguran dan kemskinan ?
6.4 Kasus Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi menjadi 275 desa dan kelurahan (pasca-pemekaran). Pusat pemerintahan terletak di Kecamatan Soreang. Sebagian besar wilayah kabupaten Bandung adalah pegunungan. Sementara itu, kecamatankecamatan yang terdapat di kabupaten Bandung antara lain adalah Arjasari, Baleendah, Banjaran, Bojongsoang, Cangkuang, Cicalengka, Cikancung, Cilengkrang, Cileunyi, Cimaung, Cimenyan, Ciparay, Ciwidey, Dayeuhkolot, Ibun, Katapang, Kertasari, Kutawaringin, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Nagreg, Pacet, Pameungpeuk, Pangalengan, Paseh, Pasirjambu, Rancabali, Rancaekek, Solokan Jeruk dan Soreang. Visi/misi pasangan kandidat bupati/wakil bupati kota Bandung antara lain adalah Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Bandung yang Repeh, Rapih, Kertaraharja melalui akselerasi Pembangunan Parttisipatif yang berbasis Religius, Kultural dan Berwawasan Lingkungan dengan Berorientasi pada Peningkatan Pembangunan Desa. Repeh, Rapih Kertarajasa adalah tujuan yang ingn dicapai – yakni, suatu kondisi masyarakat kabupaten Bandung yang hidup dalam
142
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 142
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
keadaan aman, tenteram, damai, sejahtera, senantiasa berada dlam lindungan, bimbingan dan rahmat dari Allah yang maha kuasa. Di lain sisi, akselerasi pembangunan atau percepatan pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh asyarakat. Sedangkan partisipatif dimaksudkan sebagai pendekatan di dalam percepatan pembangunan dengan melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam keseluruhan proses pembanguna, yakni mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Kata religious mengandung pengertian bahwa nilai-nilai, norma, semangat dan kaidah agama yang diyakini dan dianut menjadi karakter dan identitas mayoritas masyarakat kabupaten Bandung harus menjiwai, mewarnai, menjadi roh dan pedoman seluruh aktivitas kehidupan, termasuk penyelenggara pemerintahan dan pembangunan, dengan tetap menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan hidup beragama. Sementara itu kata kultural mengandung pengertian bahwa nilai-nilai budaya yang baik harus tumbuh dan berkembang seiring laju pembangunan. Sedangkan berwawasan lingkungan dimaksudkan sebagai perhatian dan keperdulian terhadap keseimbangan eko-sistem. Terakhir, kata peningkatan kinerja pembangunan desa mengandung pengertian bahwa pembangunan harus memberikan perhatian besar terhadap pemangunan dan pemberdayaan pemerintahan desa. Berdasarkan visi yang diemban tersebut, misi yang dikembangkan oleh kabupaten Bandung terdapat 8 (delapan) hal, yang antara lain adalah sebagai berikut : a.
Mewujudkan pemerintahan yang baik,
b.
Memelihara stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis,
143
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 143
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
c.
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
d.
Meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat,
e.
Memantapkan kesalehan sosial berdasarkan iman dan taqwa,
f.
Menggali dan menumbuhkan budaya Sunda,
g.
Memelihara keseimbangan lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan, dan
h.
Meningkatkan kinerja pembangunan desa.
Dari visi dan misi yang diemban kabupaten Bandung, nampaknya untuk melihat implikasinya terhadap pembangunan ekonomi bisa dilihat dari sisi perkembangan ekonomi, struktur ekonomi, pendapatan per kapita, kesenjangan pendapatan maupun perkembangan ketenaga-kerjaan dan kemiskinan yang terjadi. Distribusi pendapatan penduduk di kabupaten Bandung sangatlah merata karena koefisien Gininya sebesar 0,2423, low income inequality.35 Sementara itu, kelompok 40 persen penduduk yang menerima pendapatan terendah, yang dikategorikan sebagai penduduk miskin, di kabupaten Bandung mencapai 22,84 persen. Artinya angka tersebut masih di atas proporsi 19 persen.36 Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 6.6. 35
36
Koefisien Gini mengindikasikan apabila nilanya kurang dari 0,4 bisa dikatakan bahwa tingkat distribusi pendapatan diantara kelompok-kelompok masyarakat relatif lunak, low income inequality; kemudian apabila nilainya berkisar antara 0,4 hingga di bawah 0,5 bisa dinyatakan bahwa tingkat distribusi pendapatannya dalam kesenjanganan moderat, moderate income inequality dan apabila nilai sebesar 0,5 atau lebih maka tingkat kesenjangan diantara kelompok-kelompok masyarakat dianggap sangat timpang, high income inequality. Ukuran Bank Dunia adalah apabila 40 persen penduduk berpendapatan terendah atau berpendapatan tetap, fixed income group, menerima total pendapatan sebesar kurang dari 12 persen,maka tingkat ketimpangan pendapatan dikategorikan tinggi, high income inequality; kemudian apabila porsi total pendapatan yang diterima oleh 40 persen masyarakat berpendapatan terendah menerima 12 hingga 19 persen, maka tingkat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat dianggap moderat, moderate income inequality dan apabila total pendapatan yang diterimanya masih di atas 19 persen maka tingkat kesenjangan pendapatan diantara kelompok masyarakat dikategorikan rendah, low income inequality.
144
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 144
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
Tabel 6.6 Koefisien Gini, Penerimaan Penduduk Miskin dan Kesenjangan Antar Daerah Di Kabupaten Bandung, 2008 NO KETERANGAN KOEFISIEN (01) (02) (03) A Koefisien Gini 0,2423 B Distribusi Pendapatan 1 40 Persen Penerima Terendah 22,84 2 40 Persen Penerima Menengah 40,99 3 20 Persen Penerima Tertinggi 36,17 C Indeks Kesenjangan antar Daerah 1 2005 0,6926 2 2006 0,6887 3 2007 0,6873 4 2008 0,6938 Sumber : Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Bandung, Gini Ratio Kabupaten Bandung 2008, Soreang, 2009.
Program Penanggulangan kemiskiknan di perkotaan (P2KP) dilaksanakan sejak tahun 1999 sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan secara mandiri. Program ini sangat strategis karena menyiapkan landasan kemandirian masyarakat berupa institusi kepemimpinan masyarakat yang representatif, mengakar, dan menguat bagi perkembangan modal sosial (social capital) masyarakat di masa mendatang serta menyiapkan kemitraan masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat37. Lembaga kepemimpinan masyarakat yang mengakar, representative dan dipercaya (secara generik di sebut Badan Keswadayaan Masyarakat/BKM) tersebut dibentuk melalui kesadaran kritis masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan dan nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pondasi modal sosial kehidupan masyarakat. 37
http://www.bandungkab.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1195&Itemid=271
145
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 145
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
Dengan demikian, BKM selain diharapkan mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin dalam menyuarakan aspiarsi dari kebutuhan mereka, sekaligus menjadi motor bagi uapaya penanggulangan kemiskinan yang dijalankan oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan, mulai dari proses penentuan kebutuhan, proses penyusunan program, pelaksanaan program hingga pemanfaatan dan pemeliharaan. Tiap BKM bersama masyarakat telah menyusun Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis) secara partisipatif, sebagai prakarsa masyarakat untuk menggulangi kemiskinan di wilayahnya secara mandiri. Atas fasilitas pemerintah dan prakarsa masyarakat, BKM-BKM ini mulai menjalin kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Indeks pembangunan manusia, human development index, kabupaten Bandung cenderung membaik dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini38. Hal ini bisa diintepretasikan bahwa perkembangan pendidikan di kabupaten Bandung relaif cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Keberhasilan ini tentu sangat terkait dengan program Pmda Provinsi Jawa Barat, seperti yang diutarakan oleh salah sau narasumber, yakni sebagai berikut39 : “…Selambat-lambatnya tahun 2010 terbebas dari buta aksara… tidak boleh putus sekolah yaitu semua lulusan SD harus diterima di SMP, demikian juga semua lulusan SMP harus diterima di SMA.. (selanjutnya) pembangunan di Jawa Barat harus diupayakan kea rah pengembangan RISTEK dan IPTEK dimana kampus harus bergerak lebih sinkron supaya lebih bermakna…”
38
39
Pemda Kabupaten Bandung dan BPS Kabupaten Bandung, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Bandung, Soreang, 2008. Wawanara dengan DJ, ketua Bappeda Provinsi Jawa Barat, 11 Maret 2009
146
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 146
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
Sementara itu, indeks ketimpangan antar wilayah di kabupaten Bandung cenderung semakin tinggi karena koefisiennya menunjukkan semakin membesar menuju angka satu. Tentu, hal ini terjadi karena sifat kegiatan ekonomi yang semakin ke kota akan semakin mendekati sektor jasa, sebaliknya yang terjadi pada sektor pertanian yang menjauhi daerah pusat kota karena alasan-alasan harga lahan dan jarak dengan pusat pengambilan keputusan. Tabel 6.7 Gambaran Penduduk dan Geografi Kabupaten Bandung dan Kota Bogor NO KETERANGAN SATUAN KABUPATEN BANDUNG (01) (02) (03) (04) 01 Ibu kota Unit Soreang 02 Luas km2 2.000,91 03 Penduduk Jiwa 4.134.504 04 Kepadatan Geografis km2 2.066 jiwa 05 Kecamatan Unit 31 06 Desa/kelurahan Unit 275 Sumber : Diolah dari BPS dan Bappeda Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung dalam Angka
Produk domestik bruto regional (PDBR) kabupaten Bandung nampaknya mencapai 6 (enam) hingga 7 (tujuh) kali lipat bila dibandingkan dengan PDBR kota Bogor. Seperti terlihat pada Tabel 6.10. di halaman berikut ini memperlihatkan bahwa PDRB Kabupaten Bandung pada tahun 2002 hampir mencapai Rp. 20 milyar. Namun di tahun 2006 mengalami penurunan menjadi sekitar Rp 17 milyar lebih. Untuk meningkatkan PDRB kabupaten Bandung di masa mendatang, perlu dibangun kondisi yang obyektif agar masyarakat bisa berkompetisi dan meningkatkan spirit juangnya. Kondisi yang diharapkan itu diungkapkan oleh slah satu narasumber sebagai berikut40 : 40
Waancara dengan DJ, Ketua Bappeda Pemda Provinsi Jawa Barat, 11 Maret 2009.
147
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 147
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
“…di tahun 2013, yang diinginkan (agar) tercapai adalah (a) memiliki spirit juara dan (b) berkompetisi. Dua hal ini di-Perda-kan agar jangnsampai ada yang merasa tidak diperhatikan. Misalnya, karena meraa tidak diperhatikan, maka kabupaten XXX ingin berpisah…” Menarik untuk diperhatikan adalah perkembangan PDRB Kabupaten Bandung yang meningkat sepanjang kurun waktu 20022005 dengan nilai total di atas Rp. 20 milyar setiap tahunnya, namun pada tahun 2006 turun drastis menjadi hanya sebesar sekisar Rp. 17 milyar. Tentu,gambaran ini menjadi sebuah pertanyaan yang membingungkan, tentunya. Tabel 6.8 Perkembangan PDRB Kabupaten Bandung 2002-2006 Berdasarkan Harga Konstan 2000 NO TAHUN NILAI NOMINAL (Rp. Juta) PERKEMBANGAN (2002 = 100%) (01) (02) (03) (05) 2002 19.292,45 100,00 2003 20.248,97 104,96 2004 21.388,13 110,86 2005 22.579,93 117,04 2006 17.439,99 90,40 Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2002-2006, Jakarta, BPS, 2007, halaman 45
Kiranya, jawabannya yang masuk akal adalah bahwa pada tahun 2006 itu ada kabupaten pemekaran yang melepaskan dirinya dari kabupaten induknya. Kabupaten Bandung pada awal milenium ketiga telah kehilangan wilayahnya karena dimekarkan menjadi kota Cimahi, namun pada tahun 2006 lalu bahwa kabupaten Bandung juga juga kehilangan beberapa wilayahnya karena dimekarkan menjadi kabupaten Bandung Barat. Tentu, dengan terjadinya pemekaran wilayah di kabupaten Bandung ini akan berimplikasi terhadap wilayah kabupaten Bandung itu sendiri. Implikasi yang terjadi adalah antara lain sebagai berikut, 148
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 148
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
tentunya : •
Luas wilayah, secara geografis, menjadi mengecil,
•
Sejalan dengan mengecilnya wilayah geografis, tentu jumlah penduduknya juga terbawa mengecil pula jumlahnya karena sebagian telah menjadi penduduk di kabupaten/kota baru tersebut, dan
•
Mengecilnya wilayah dan jumlah penduduk, tentu hal ini juga berimplikasi terhadap semakin berkurangnya berbagai aktivitas ekonomi. Implikasinya adalah bahwa produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Bandung juga cenderung menurun pada saat terjadinya pemisahan wilayah pemekaran dengan wilayah induknya.
Perkembangan tersebut dapat diperlihatkan secara tegas pada Tabel 6.10. khususnya kolom 5 yang memperlihatkan kenaikan PDRB kabupaten Bandung dari 100 persen di tahun 2002 kemudian meningkat hampir mencapai 120 persen di tahun 2005, selanjutnya di tahun 2006 nampaknya mengalami penurunan menjadi sekitar 90 persen saja. Artinya,selama kurun waktu 2002-2005 pertumbuhan ekonomi kabupaten Bandung yang telah mencapai sekitar 17 persen, atau setiap tahunnya mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 6,67 persen – namun tiba-tiba di tahun 2006 mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup drastis bila dibandingkan dengan tahun 2006, yakni mencapai 27 persen (-27%).
149
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 149
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
Tabel 6.9 Perkembangan Pendapatan per Kapita Kabupaten Bandung 20022006 Berdasarkan Harga Berlaku NO TAHUN NILAI NOMINAL (Rp) PERKEMBANGAN (2002 = 100%) (01) (02) (03) (04) 2002 6.124.326,24 100,00 2003 6.531.792,76 106,65 2004 7.167.900,48 117,04 2005 8.628.967,85 140,90 2006 10.763.893,29 175,76 Sumber : Diolah dari Badan Pusat Statistik, Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2002-2006, Jakarta, BPS, 2007, halaman 45
Tabel 6.10 Misi, Kenyataan yang Terjadi dan Pertanyaan yang Diajukan NO MISI (01) (02) 01 Wujudkan pemerintahan yang baik 02
03
Plihar stabilitas kehidupan masyarakat yang aman, tertib, tenteram dan dinamis Tingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
DINAMIKA YANG TERJADI (03) Usaha menuju good governance telahnampak dilakukan melalui berbagai perombakan organisasi Aksi demonstrasi menuntut kontrak kerja dan kenaikan UMR terus berlangsung
PERTANYAAN YANG DIAJUKAN (04) Seberapa efektif perombakan organisasi itu mampu meningkatkan efisiensi kerja ? Seberapa jauh peran TRIPARTIET berjalan di kabupatenBandung ?
Indeks pembangunan Apakah meningkatnya pendidimanusia (IPM) venderung kan itu juga mampu meningkatmeningkat, sehingga bisa kan keimanan dan ketaqwaan ? diantisipasi bahwa pendidikan membaik
150
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 150
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
04
05
06
07
Tingkatkan kesejahreraan sosial ekonomi masyarakat
1. Pendapatan per kapita meningkat signifikan, 2. Ketimpangan pendapatan relatif rendah, 3. Proporsi pendapatan yang diterima kaum miskin relatif masih besar Mantapkan Indeks pembangunan kesalehan so- manusia (IPM) venderung sial berdasar- meningkat, diduga juga kan iman dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan taqwa Pelihara keMasalah limbah industri seimbangan tekstil yang mencemari lingkungan beberpa sungai masih terus berjalan dari dahulu dan pembangu- hingga sekarang nan berkelanjutan Tingkatkan Meningkatnya indeks ketimpangan antar kinerja pembangun- wilayah memperlihatkan an desa bahwa wilayah desa semakintertinggal bila dibandingkan wilayah kota.
Kondisi perbaikan kesejahteraan sosial itu apa bisa dipertahankan di masa mendatang ?
Kemaksiatan di kota Bandung apakah tidak akan diimpor ke kabupaten Bandung ?
Seberapa efektif usaha penanggulangan pencemaran limbah industri yang dilakukan ?
Seberapa jauh kebijakan pembangunan pedesaan itu tlah membuahkan hasil pembangunan pedesaan yang baik ?
6.5 Penutup Ada beberapa permasalahan yang menyebabkan tidak bekerjanya perencanaan pembangunan daerah provinsi kota bogor dan kabupaten Bandung. Catatan-catatan tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1.
Terlalu banyaknya indidkator/kriteria visi/misi yang harus diakomodasikan ke dalam perencanaan pembangunan daerah kota Bogor maupun kabupaten Bandung, 151
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 151
6/22/2010 6:34:51 PM
Hari Susanto
2.
Banyaknya muatan dari elit (baik partai politik, birokrasi dan lainnya) yang harus diakomodasikan di dalam perencanaan pembangunan daerah kota Bogor dan kabupaten Bandung, dan
3.
Program yang terkait di dalam perencanaan pembangunan daerah masih belum mengacu pada potensi yang terkandung di wilayah.
Sementara itu, dalam melihat kota dan kabupaten, nampaknya perlu melihat tipologi suatu kabupaten dengan kota. Pembedaannya antara lain dapat diklasifikasikan sebagai berikut: •
Secara geografis, daerah kabupaten cenderung lebih luas bila dibandingkan dengan daerah perkotaan,
•
Struktur perekonomian di daerah kabupaten didominasi oleh sektor pertanian maupun sektor pertambangan, sementara itu struktur perekonomian di daerah perkotaan cenderung didominasi oleh sektor perdagangan dan sektor jasa lainnya,
•
Letak daerah perkotaan cenderung mendekati daerah-daerah pengambilan keputusan, central business district (CBD), sebaliknya untuk daerah kebupaten cenderung menjauhi CBD, dan
•
Harga lahan per satuannya di daerah kabupaten cenderung lebih murah bila dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Hal ini tercermin apabila membandingkan antara kabupaten Bandung dengan kota Bogor yang dijadikan sampel penelitian ini. Namun yang lebih menarik untuk diperhatikan lagi adalah perbedaanperbedaan yang mencolok antara daerah kabupaten Bandung dengan kota Bogor dalam realisasinya. Perbedaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
152
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 152
6/22/2010 6:34:51 PM
Implikasi Pergeseran Sistem Perencanaan Daerah Terhadap Pembangunan Ekonomi
•
Perekonomian kabupaten Bandung lebih besar omzetnya bila dibandingkan dengan kota Bogor,
•
Tingkat pengangguran cenderung lebih tinggi di kota Bogor bila dibandingkan dengan kabupaten Bandung,
•
Tingkat pendapatan per kapita penduduk kabupaten Bandung relatif lebih baik bila dibandingkan dengan kota Bogor, dan
•
Tingkat kesenjangan pembagian kesejahteraan nampaknya lebih bagus di kabupaten Bandung bila dibandingkan dengan kota Bogor.
153
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 153
6/22/2010 6:34:51 PM
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 154
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN Anggota Tim
7.1 Kesimpulan Apa yang dapat dijelaskan oleh temuan penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung, berkaitan dengan PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH?. Lebih khusus lagi, apa yang dapat disimpulkan dari temuan studi terkait dengan tiga pertanyaan pokok penelitian, yaitu: 1) Apakah Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada relatif telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki oleh daerah; 2) Sejauh mana telah terjadi konsistensi antara Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)?, dan 3) Apakah peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat telah cukup efektif dalam men-sinergikan antra perencanaan pembangunan permerintah provinsi dengan pmerintah kabupaten/kota. Secara umum, jawaban atas pertanyaan ini dapat disimak pada butir-butir ”Kesimpulan Sementara” hasil penelitian berikut: 7.1.1 Potensi Daerah Di Kabupaten Bandung, selama periode 2003–2008 angka harapan hidup cenderung mengalami peningkatan. Angka harapan hidup Kabupaten Bandung meningkat dari 65,40 pada tahun 2003, menjadi 68,42 tahun pada tahun 2008. Namun demikian, bila dilihat dari data tingkat kematian bayi yang terjadi pada tahun 2008, Kabupaten Bandung masih termasuk kategori: daerah intermediate-rock, yang memerlukan perubahan sosial untuk menurunkan AKB-nya. Pada bidang pendidikan, bila melihat kemajuan pencapaian IPM di Kabupaten Bandung selama tiga tahun terakhir (periode tahun 155
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 155
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
2006-2008), kontribusi pencapaian komponen indeks pendidikan relatif paling tinggi dibandingkan dua komponen IPM lainnya, yaitu kesehatan dan daya beli. Menurut data BPS Kabupaten Bandung, pencapaian IPM Kabupaten Bandung telah mencapai angka 84,44 di tahun 2003, dimana indeks pendidikan mencapai sebesar 79,59. Kondisi pendidikan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan indeks kesehatan yang baru mencapai 69,28, maupun indeks daya beli yang mencapai sebesar 59,18. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung masih memiliki tugas besar untuk meningkatkan percepatan/akselerasi pembangunan dibidang kesehatan dan perekonomian masyarakat guna mendukung daya beli. Berdasarkan Suseda tahun 2008 tingkat pengangguran terbuka di Kabupaten Bandung sebesar 13,19 persen. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun 2007 yang mencapai 14,64 persen. Mengingat masih tingginya angka pengangguran, maka harus terus diupayakan penyediaan lapangan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka umumnya didominasi oleh penduduk perempuan yang mencapai sebesar 19.69 persen. Kondisi tersebut lebih banyak disebabkan karena lapangan kerja yang ada belum sesuai dengan ketersediaan kualitas tenaga kerja perempuan di Kabupaten Bandung. Dalam hal kemiskinan, berdasarkan data BKBD tahun 2007, sekitar 289.299 KK (40,65%) di Kabupaten Bandung termasuk dalam katagori KK miskin. Saat ini orang miskin terkonsentrasi di kantongkantong wilayah seputar perkebunan, hutan negara, sentra-sentra produksi pertanian dan wilyah industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Bagaimana halnya dengan potensi daerah di Kota Bogor?. Berdasarkan Perda No.1 Tahun 2000 tentang rencana tata ruang wilayah (tahun 1999-2009) fungsi Kota Bogor adalah; (1) sebagai kota perdagangan.(2) Kota Industri (3) Kota pemukiman (4) Wisata Ilmiah
156
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 156
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
dan (5) Kota Pendidikan. Dalam konteks dengan regional Kota Bogor adalah: 1.
Kabupaten Bogor, bahwa Kota Bogor sebagai pusat pengembangan di wilayah yang melayani areal Kota Bogor dan areal sekitar Kota Bogor.
2.
Jabodetabek, bahwa Kota Bogor merupakan kota yang diarahkan untk menampung 1,5 juta jiwa pada tahun 2009
3.
Negara, Kota Bogor merupakan kota yang menampung kegiatan yang jenih di ibu kota.
Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga, juga menjadui tuntutan tama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga terhadap barang dan jasa. Implikasi semua ini adalah meningkatnya kebuthan pengadaan sarana transportasi masyarakat kota. Timbulnya kemacetan, meningkatnya jumlah pedagang kaki lima secara berlebihan, rusaknya tata kota, semakin menurunnya kualitas kebersihan kota sebagai akibat dari kelebihan penduduk dan segala aktivitasnya yang melebihi daya dukung lingkungan. Prasarana transportasi darat berupa jalan di Kota Bogor berupa jalan negara, jalan Propinsi, jalan kota, dan jalan lingkungan sebagai berikut: •
Jalan negara dengan ruas jalan sepanjang 30.199 Km, dari panjang jalan tersebut kondisinya pada tahun 2003 adalah baik 17.633 Km, sedang 10.150 Km, dan keadaan rusak 2.416 Km.
•
Jalan Propinsi dengan ruas jalan sepanjang 26.759 Km, dengan kondisi baik 10.596 Km, sedang 8,388 Km dan keadaan rusak sepanjang 76,094 Km dan rusak berat 73,878 Km.
•
Jalan kota dengan ruas jalan sepanjang 564,193 Km, dengan kondisi baik 129,573 Km, keadaan sedang 284,648 Km dan rusak 76,094 Km dan rusak berat 73,878 Km 157
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 157
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
•
Jalan Lingkungan dengan ruas jalan sepanjang 212,704 Km yang tresebar di berbagai lingkungan pemukiman.
Kota Bogor berpenduduk 820.707 jiwa dengan komposisi 419.252 jiwa laki-laki dan perempuan 401.455 jiwa. Ciri-ciri daerah perkotaan adalah kepadatan penduduk per kilometer persegi sangat tinggi diatas 5.000 Jiwa per Km2. Kota Bogor rata-rata per kilometer ditempati sebanyak 6.662 jiwa penduduk. Kepadatan tertinggi di Kecamatan Bogor Tengah sebesar 11.770 jiwa per km2 dan terendah ada di Kecamatan Bogor Selatan sebesar 5.019 jiwa per km2. 7.1.2 Konsistensi Visi/Misi Pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah dengan Potensi Daerah Dilihat dari rujukan, proses-proses yang dilalui sampai kemudian Visi/Misi disampaikan dalam sidang Paripurna DPRD dan juga diperdebatkan di berbagai kesempatan, termasuk melalui mass media (TV), boleh dikatakan telah mengikuti aturan-aturan formal. Walaupun demikian, dilihat dari cara-cara di mana Visi/Misi dan program prioritas yang ditawarkan kandidat, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, nampaknya masih jauh dari harapan. Sebab, penyusunan Visi/Misi bertujuan untuk kepentingan sesaat atau berjangka pendek, kepentingan ekonomi dan politik individu dan kelompok yang memiliki pengaruh yang dominan. Perumusan kata-kata dalam Visi dan turunannya menjadi Misi dan program prioritas adalah hasil negosiasi antara kelompokkelompok yang terlibat yang kemudian dimenangkan oleh kelompok yang memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Kepala daerah terpilih. Misalnya perumusan kata-kata dalam Visi adalah hasil negosiasi antar partai politik yang dalam kasus Bogor, lebih banyak diwarnai oleh kepentingan ideologi PKS, dan PDI-P. Berbeda halnya dengan Kabupaten Bandung yang lebih didominasi oleh partai kuning, Partai Golkar dan PDI-P. Kepentingan partai, dominannya pengaruh incumbent, hubungan sosial yang dibentuk para incumbent dengan 158
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 158
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
bawahannya lebih mewarnai dalam soal bagaimana cara merumuskan kata-kata dalam Visi/Misi tersebut oleh aktor-aktor yang terlibat. Meskipun semua prosedur penyusunan Visi/Misi sudah dibungkus dengan kemasan ‘demokratis’, akan tetapi tidak dapat dihindari bahwa cara di dalam mana Visi/Misi dirumuskan, nyata lebih ‘oligarkhis’. Kondisi ini akan berbahaya untuk Pilkada mendatang, jika cara-cara ini masih diteruskan. Visi/Misi yang berjangka pendek demi untuk memenuhi kepentingan sesaat untuk menarik pendukung memenangkan suara dalam Pilkada, mengandung tujuan ganda. Seperti yang terdapat dalam kasus kota Bogor misalnya, Visi “Kota Jasa yang nyaman...” memang memiliki sejumlah harapan, akan tetapi dihadapkan pula pada kepentingan-kepentingan ekonomi elit pemerintahan lokal. “Kota Jasa yang nyaman” memang indah dalam narasi, akan tetapi sarat “delimatis” dalam substansi, karena akan dihadapkan pada kepentingan pengusaha (kepentingan ekonomi) membangun mall, hotel, dan menjadikan rumah-rumah kuno di sepanjang jalan utama menjadi outlet. Akibatnya, “kota jasa yang nyaman” menjadi “kota jasa yang tidak nyaman” bagi penduduk kota. Karena itu, baik budayawan maupun kelompok pencinta lingkungan melakukan kritik tajam terhadap arti dan makna yang dalam dari Visi ‘nyaman’. Dalam kasus perumusan Visi yang ‘oligarkhis’ oleh pasangan Kepala daerah terpilih di Kabupaten Bandung, dengan kalimat panjang, dan ‘berteletele’menurut pandangan beberapa narasumber, tidak mencerminkan potensi dan tantangan yang sesungguhnya. Kalimatnya lebih merupakan “kalimat bangga, gagah, formalitas, akan tetapi miskin makna”. 7.1.3 Konsistensi Visi/Misi Pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah dengan Perencanaan Pembangunan Daerah (RPJMD) Temuan penelitian mengindikasikan bahwa secara prosedural, proses penyusunan RPJMD di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung telah
159
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 159
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
dilakukan sesuai dengan mekanisme formal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, serta petunjuk teknis yang menyertainya. Konsep RPJMD—mulai dari Rancangan Awal RPJM, Rancangan RPJMD, sampai dengan Rancangan Akhir RPJMD—disusun dan disiapkan oleh Badan Perencanaan Daerah (Bappeda). Segera setelah Rancangan Akhir RPJMD selesai disusun pihak pemerintah deaerah (Bappeda), langkah berikutnya adalah menyerahkan konsep RPJMD kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk dibahas dan ditetapkan sebagai dokumen resmi perencanaan daerah melalui Peraturan Pemerintah Daerah (Perda). Untuk mencipatakan sinergi perencanaan pembangunan, antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun dengan pemerintah kecamatan, maka Rancangan Awal RPJMD selanjutnya dibahas dan diskusikan melalui forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), untuk selanjutnya menghasilkan Rancangan Akhir RPJMD. Namun demikian, pada tingkat realitas, ternyata proses penyusunan RPJMD tidak sesederhana seperti digambarkan di atas, karena terdapat sejumlah “variabel antara” (intervining variables), yang secara langsung atau tidak langsung telah berimplikasi pada terjadinya “deviasi” proses penyusunan RPJMD, khususnya dalam penurunan visi/ misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada kedalam visi/misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada. Dalam proses penyusunan konsep RPJMD—mulai dari Rancangan Awal hingga Rancangan Akhir RPJMD—Bappeda tidak bekerja sendiri, tetapi didukung oleh sejumlah akademisi, dan/atau Tim Ahli dari berbagai disiplin ilmu terkait. Hal yang menarik untuk dicatat di sini adalah, berkaitan dengan komposisi dan latar belakang dari anggota Tim Ahli itu sendiri, dimana tidak semua dari mereka berstatus sebagai ”akademisi murni”, tetapi juga terdapat beberapa akademisi yang berstatus ganda, atau dapat disebut sebagai akademisi-praktisi, yaitu para akademisi yang juga merangkap sebagai anggota Tim 160
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 160
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
Sukses, atau mereka yang berafiliasi dengan partai politik pengusung pasangan Kepala-Wakil Kepala daerah terpilih. Temuan penelitian di Kota Bogor, misalnya, cukup jelas memperlihatkan kecenderungan sebagaimana dikemukakan diatas. Keberadaan AY sebagai salah seorang anggota Tim Ahli, tidak saja karena pertimbangan kompetensi akademis yang dimiliki, tetapi juga berperan untuk menjembatani kepentingan politik Walikota, dalam proses penyusunan RPJMD. Ini sangat memungkinkan terjadi, karena AY juga berstatus sebagai Sekretaris Tim Sukses Walikota ketika Pilkada berlangsung. Pada proses penurunan “visi/misi Pilkada”—yaitu visi/misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada—ke dalam “visi/misi pemerintah daerah” (sebagaimana tertuang dalam RPJMD), juga sangat memungkinkan terjadinya “deviasi” dan kompromikompromi kepentingan. Temuan penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung memperlihatkan bahwa dalam hal ”Visi”, hampir tidak terjadi perbedaan yang mendasar antara Visi yang disampaikan oleh pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung bila dibandingkan dengan Visi pemerintah daerah yang dituangkan didalam RPJMD. Namun demikian, pada konteks misi, terdapat beberapa modifikasi, atau bahkan kecenderungan ”inkonsistensi” antara ”misi” yang diusung pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung, bila dibandingkan dengan ”misi pemerintah daerah” sebagaimana tertuang di dalam RPJMD. Hal ini, antara lain, ditunjukkan oleh ”tidak kentaranya” atau bahkan ”hilangnya” bebeberapa butir misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah pada saat Pilkada, tatkala diturunkan ke dalam misi pemerintah daerah sebagaimana tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Sedikitnya ada tiga penjelasan 161
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 161
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
utama dari mengapa kecenderungan tersebut terjadi, yaitu: a) untuk menyelaraskan ”Misi Pemerintah Kabupaten/Kota dengan ”Misi Pemerintah Provinsi Jawa Barat”; b) untuk menciptakan ”sinergitas” kepentingan diantara partai politik-partai politik pengusung pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah; dan c) kalkulasi politik atas probabilitas terpenuhinya ”misi Pilkada” pada periode pasca Pilkada. 7.1.4 Implikasi Terhadap Pembangunan Daerah Pembangunan daerah yang ideal sebenarnya merupakan pembangunan daerah yang berkelanjutan. Maksudnya, terdapat rangkaian tahapan pembangunan dari satu tahap ke tahap berikutnya. Seperti diketahui bersama, pada tahap sebelum sistem Pilkada langsung dilakukan, salah satu misi Jawa Barat adalah mengembangkan masyarakat Jawa Barat. Tetapi pada tahap berikutnya misi ini tidak muncul sebab yang muncul adalah pembangunan infrastruktur. Rangkaian yang terputus ini jelas mrupakan pemborosan sebab pada periode sebelumnya berbagai langkah, dengan konsekuensi mengeluarkan dana, tenaga, pikiran dan waktu, telah dikeluarkan untuk meningkatkan masyarakat Jawa Barat. Secara hirarkhis, program pembangunan Jawa Barat idealnya dijadikan acuan oleh kabupaten dan kota di Jawa Barat dalam menyusun program pembangunan. Pertanyaannya adalah, apakah telah terjadi sinkronisasi antara program pembangunan pada tingkat provinsi dengan kabupaten dan kota? Pada tingkat provinsi jelas tertulis bahwa salah satu misi adalah mewujudkan SDM Jawa Barat yang produktif dan berdaya saing. Tetapi misi ini sama sekali tidak muncul pada misi Kota Bogor. Yang muncul adalah pemberantasan kemiskinan. Padahal pemberantasan kemiskinan dengan SDM produktif dan berdaya saing adalah “binatang” yang berbeda. SDM produktif dan berdaya saing akan mengarah pada peningkatan pendapatan sementara pemberantasan kemiskinan hanya akan meningkatkan 162
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 162
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
pendapatan golongan penghasilan rendah. Sebagai akibatnya akan terjadi ketimpangan pendapatan antara Kota Bogor dengan Jawa Barat pada umumnya. Misi Kabupaten Bandung tidak memuat pengembangan infrastruktur. Padahal pada tingkat nasional sekali pun pembangunan infrastruktur mendapat prioritas utama. Kalau Jawa Barat berhasil mengembangkan infrastruktur seperti yang tertuang dalam salah satu misinya, maka kondisi infrastruktur Kabupaten Bandung akan tertinggal dibanding daerah-daerah lain di Jawa Barat. Ini demikian kerana Kabupaten Bandung sama sekali tidak memasukkan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu prioritas. Pada dasarnya infrastruktur merupakan suatu jaringan yang kait mengkait antar daerah. Karena kondisi infrastruktur Kabupaten Bandung berada pada posisi rendah maka dapat dikatakan bahwa infrastruktur Kabupaten Bandung akan mengganggu infrastruktur Jawa Barat pada umumnya. Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa sistem pembangunan provinsi Jawa Barat kurang didukung oleh pembangunan kabupaten dan kota sebagai sub sistem yang berada di bawahnya. Ini terjadi karena tidak terjadi harmonisasi perencanaan pembangunan antara tingkat provinsi dengan kabupaten dan kota. Awal dari hal ini adalah Pemilihan Kepala Daerah yang mengharuskan setiap calon merumuskan visi dan misinya dan dari misi ini kemudian diturunkan menjadi program pembangunan. Ke depan perlu dipikirkan langkah yang lebih cerdas yang bisa menjamin adanya harmonisasi pembangunan pada tingkat provinsi dan kabupaten dan kota serta kesinambungan dari pembangunan. 7.1.5 Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat Secara umum, temuan penelitian mengindikasikan bahwa fungsi Gubernur dalam melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan
163
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 163
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
dalam penyusunan RPJMD (pada khususnya) di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung, relatif telah dilakukan, kendati terkesan lebih bernuansa ”administratif” daripada ”substansial”. Diantara bentuk kongkrit dari koordinasi dan pembinaan tersebut adalah adanya konsultasi antara Bappeda Kota Bogor dan Kabupaten Bandung dengan Bappeda Provinsi berkaitan dengan draft RPJMD. Aktivitas konsultasi ini bisa dalam bentuk kunjungan Bappeda Kota Bogor dan Kabupaten Bandung ke Bappeda Provinsi atau sebaliknya. Bentuk lain dari koordinasi perencanaan pembangunan daerah adalah melalui forum Musrenbang (Musyawarah Pembangunan)
7.2 Generalisasi Apa yang dapat dijelaskan oleh temuan penelitian di Kota Bogor dan Kabupaten Bandung berkaitan dengan PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH?. Lebih khusus lagi, apa yang dapat disimpulkan dari temuan studi terkait dengan dua pertanyaan pokok penelitian yang pertama, yaitu: 1) Apakah Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada relatif telah mencerminkan potensi dan kemampuan riil yang dimiliki oleh daerah, dan 2) Sejauh mana telah terjadi konsistensi antara Visi/Misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)?. Secara umum, jawaban atas pertanyaan ini dapat disimak pada butir-butir ”Kesimpulan Akhir” hasil penelitian berikut: Pertama, visi/misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah ketika Pilkada berlangsung relatif telah mengakomodasi potensi yang dimiliki oleh daerah, utamanya potensi Sumber Daya Manusia/SDM. Bahkan pada tingkat tertentu, issu SDM, khususnya terkait dengan persoalan ”penyerapan tenaga kerja” dan ”kemiskinan”, telah dijadikan sebagai ”iklan politik” yang dikemas dalam ”janji politik” untuk menarik dukukungan suara pada kampanye Pilkada. 164
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 164
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
Namun demikian, sangat menarik untuk dicatat, bahwa terdapat beberapa potensi ekonomi penting lainnya yang nyaris terlupakan dalam perumusan visi dan misi pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Kedua, kurang diberikannya perhatian khusus pada beberapa potensi ekonomi tersebut tidak sulit untuk dipahami. Diantara faktor penjelas dari kecenderungan ini adalah: a) karena waktu yang dimiliki dalam penyusunan visi/misi Pilkada sangat terbatas, sehinggu kurang memungkinkan ”Tim Penyusun” untuk melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam; b) karena potensi ekonomi tersebut ”kurang seksi” untuk dijadikan ”iklan politik” dalam kampanye Pilkada”. Ketiga, kesimpulan umum berikutnya yang menarik untuk digaris bawahi adalah, kenyataan akan adanya beberapa inkonsistensi dalam proses penurunan ”misi” yang diusung ketika Pilkada berlangsung kedalam ”misi pemerintah daerah” pada periode pasca Pilkada. Dengan mempertimbangkan dua kesimpulan umum di atas, maka cukup beralasan bila kemudian penelitian ini mengajukan proposisi umum yang menyebutkan: Bahwa implementasi sistem Pilkada langsung di lokasi penelitian, baru berhasil dalam mendorong lahirnya para pasangan kandidat Kepala dan Wakil Kepala Daerah untuk memiliki Visi dan Misi. Namun demikian, mengingat proses penyusunan Visi dan Misi itu sendiri lebih didominasi oleh pertimbanganpertimbangan politik praktis daripada mempertimbangkan potensi daerah, maka secara substansial, masih terlalu dini untuk mengartikulasi Visi dan Misi pasangan Kepala-Wakil Kepala Daerah terpilih sebagai sesuatu yang memiliki legitimasi kuat untuk dikonversi menjadi Visi/Misi Pemerintah Daerah pada periode pasca Pilkada, dan selanjutnya berperan sebagai rujukan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Daerah. Proposisi ini sekaligus berperan sebagai jawaban sementara 165
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 165
6/22/2010 6:34:52 PM
Kesimpulan Dan Saran
atas tema utama dari penelitian ini, yaitu: ”PILKADA DAN PERGESERAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH”.
7.3 Saran-Saran Proposisi di atas, bukan sama sekali bermaksud menyodorkan perspektif pesimistik dan ”menihilkan” arti penting Pilkada sebagai salah satu instrumen demokratisasi di tingkat lokal. Justru sebaliknya, proposisi tersebut bertujuan mengungkap realitas yang terjadi, untuk dijadikan sebagai bahan asupan guna mencari dan merumuskan ”konsep” maupun ”kebijakan” yang tepat dalam memciptakan sinergitas antara Pilkada dan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah. Mengingat Visi/Misi yang diusung oleh pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih dalam Pilkada, selanjutnya, akan dikonversi menjadi Visi/Misi pemerintah daerah pada periode pasca Pilkada, maka seharusnya secara substansial, ”Visi/Misi Pilkada” telah mencerminkan kebutuhan, potensi dan kempuan yang dimiliki daerah. Untuk itu, maka niscaya menghendaki adanya basis data dan informasi yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Sehingga dengan demkian, Visi/Misi yang rumuskan ketika Pilkada tidak hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan administrasi Pilkada, tetapi betul-betul mencerminkan konsepsi dan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih dalam memimpin daerah, berdasarkan kebutuhan, potensi, dan kemampuan riil daerah.
166
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 166
6/22/2010 6:34:53 PM
Kesimpulan Dan Saran
LAMPIRAN 1 Panduan Wawancara Mendalam Pemerintah Kabupaten/Kota) I.
(Untuk
Tingkat
Potensi Daerah 1)
Sepengetahuan Bapak/Ibu, apa saja SDA yang paling potensial di Kabupaten/Kota… ini? Tanyakan pengetahuan narasumber tentang, antara lain: a) Panjang jalan; b) Luas hutan produksi; c) Luas tanaman pangan; c) Luas area perkebunan; e) Jumlah area tambak
2)
Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang, potensi SDM di provinsi Jawa Barat? Gali pengetahuan narasumber tentang, antara lain: (a) alokasi anggaran pemerintah untuk pendidikan; b) Jumlah Sekolah; c) Rasio Guru dan Murid; d) Rasio penduduk usia sekolah; e) Jumlah Vertilitas dan Mortalitas
3)
Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang, potensi Sumber Daya Keuangan (SDK) di provinsi Jawa Barat? a) Jumlah lembaga keuangan; b) Nilai Pagu Kredit; c) Nilai Tabungan masyarakat
4)
II.
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, seberapa kuat ikatan keagamaan dan etnis berpengaruh dalam kehidupan sosial dan politik di provinsi Jawa Barat?
Keterkaitan Visi/ Misi dengan Potensi Daerah 1)
Menurut Bapak/ Ibu, apakah Visi/ Misi Bupati/Walikota terpilih sudah mencerminkan potensi daerah?
167
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 167
6/22/2010 6:34:53 PM
Kesimpulan Dan Saran
2)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, apa data/ informasi yang telah dijadikan rujukan oleh Tim ketika menyusun Visi/ Misi Bupati/Walikota ketika Pilkada berlangsung? Ekplorasi pemanfaatan data Potensi Daerah (SDA, SDM, SDK, SOSPOL);
3)
4)
Bagaimana Kompetensi Tim Penyusun Visi/ Misi Bupati/ Walikota ketika Pilkada berlangsung? •
Latarbelakang pendidikan
•
Pengalaman akademis dan teknis
Sejauh mana keterlibatan Tim Sukses dan Parpol pengusung kandidat Bupati/Walikota dalam penyusunan Visi/ Misi? • • •
5)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, bagaimana mekanisme penyusunan Visi/ Misi? • •
6)
Usulan-usulan dari Tim Sukses terhadap materi/ substansi Visi/ Misi Usulan-usulan dari Parpol pengusung pasangan kandidat Kepala/ Wakil Kepala Daerah terhadap materi/ substansi Visi/ Misi Bentuk-bentuk aliansi, dan/atau ikatan primordial antara Pasangan Kandidat Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan Tim Sukses dan Tim Penyusun Visi/ Misi
Jumlah Diskusi dan FGD dalam proses penyusunan Visi/ Misi
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, apa data/ informasi yang telah dijadikan rujukan oleh DPRD dalam menilai Visi/ Misi Bupati/Walikota ketika Pilkada berlangsung?
168
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 168
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
Ekplorasi pemanfaatan data Potensi Daerah (SDA, SDM, SDK, SOSPOL);
7)
Bagaimana Kompetensi anggota DPRD dalam menilai Visi/ Misi Bupati/Walikota? • • •
8)
Latarbelakang pendidikan Pengalaman profesional Keterlibatan Tim Ahli
Sejauh mana keterlibatan aliansi antara Parpol pengusung kandidat Bupati/Walikota dengan anggota DPRD dalam penilaian Visi/ Misi? Bentuk-bentuk aliansi, dan/atau ikatan primordial antara Pasangan Kandidat Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan anggota DPRD
9)
10)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, bagaimana mekanisme penilaian Visi/ Misi oleh DPRD? •
Jumlah sidang-sidang DPRD dalam membahas Visi/ Misi
•
Prosedur penetapan keputusan akhir atas Visi/ Misi oleh DPRD
Menurut Bapak/ Ibu, apa implikasi dari Visi/ Misi terhadap pengembangan potensi daerah? a) Pertumbuhan ekonomi; b) Ketersediaan Lapangan Kerja; c) Konflik kepentingan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/ kota
III.
Konsistensi Visi/ Misi dengan Perencanaan Daerah 11)
Menurut Bapak/ Ibu, apakah terdapat konsistensi antara Perencanaan dengan Visi/ Misi Bupati/Walikota terpilih?
169
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 169
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
Perencanaan Daerah: 1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 3) Rencana Strategi Daerah (RENSTRADA) 4) Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
12)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, apa data/ informasi yang telah dijadikan sebgai rujukan dalam penyusunan perencanaan daerah? Ekplorasi pemanfaatan data Potensi Daerah (SDA, SDM, SDK, SOSPOL);
13)
Bagaimana Kompetensi Tim Penyusun perencanaan pembangunan daerah? • •
14)
Apakah Tim Sukses dan Parpol pengusung kandidat Bupati/ Walikota masih terlibat dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah? • • •
15)
Latarbelakang pendidikan Pengalaman akademis dan teknis
Usulan-usulan dari Tim Sukses terhadap materi/ substansi Perencanaan Pembangunan Usulan-usulan dari Parpol pengusung pasangan kandidat Kepala/ Wakil Kepala Daerah terhadap materi/ substansi perencanaan pembangunan daerah Bentuk-bentuk aliansi, dan/atau ikatan primordial antara Tim Sukses dan Parpol dengan Tim Penyusun perencanaan pembangunan daerah
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, bagaimana mekanisme penyusunan dan penetapan Perencanaan Pembangunan Daerah?
170
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 170
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
• • •
16)
Jumlah Diskusi dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah Jumlah/ intensitas FGD dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan daerah Bentuk-bentuk kepentingan poltik dan ekonomi para Birokrat daerah dan politisi (DPRD) pada saat penyusunan dan penetapan Perencanaan Pemb.
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, apa data/ informasi yang telah dijadikan rujukan oleh DPRD dalam menilai Perencanaan Pembangunan Daerah? Ekplorasi pemanfaatan data Potensi Daerah (SDA, SDM, SDK, SOSPOL);
17)
Bagaimana Kompetensi anggota DPRD dalam menilai Perencanaan Pembangunan Daerah? • • •
18)
Latarbelakang pendidikan Pengalaman profesional Keterlibatan Tim Ahli
Sejauh mana keterlibatan aliansi antara Parpol pengusung Bupati/Walikota dengan anggota DPRD dalam menilai Perencanaan Pembangunan Daerah? Bentuk-bentuk aliansi, dan/atau ikatan primordial antara Pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan anggota DPRD
19)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, bagaimana mekanisme penilaian penilaian perencanaan pembangunan daerah oleh DPRD?
171
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 171
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
• •
20)
Jumlah sidang-sidang DPRD dalam membahas Perencanaan Pembangunan Daerah Prosedur penetapan keputusan akhir atas perencanaan pembangunan daerah oleh DPRD
Menurut Bapak/ Ibu, apa implikasi dari perencanaan pembangunan daerah terhadap pengembangan potensi daerah? a) Pertumbuhan ekonomi; b) Ketersediaan Lapangan Kerja; c) Konflik kepentingan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/ kota
IV.
Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat 21)
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, sejauh mana Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat telah melaksanakan fungsi KOORDINASI Perencanaan Pembangunan Daerah? • • • •
22)
Frekwensi Koordinasi perencanaan pembangunan yang dilakukan Substansi Koordinasi perencaan pembangunan Persentasi kehadiran Bupati/ Walikota dalam rapat-rapat koordinasi perencanaan pembangunan Bentuk-bentuk kendala yang dihadapi dalam koordinasi perencanaan pembangunan
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, sejauh mana Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat telah melaksanakan fungsi PEMBINAAN Perencanaan Pembangunan Daerah?
172
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 172
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
• • • •
23)
Frekwensi Pembinaan perencanaan pembangunan yang dilakukan Substansi Pembinaani perencaan pembangunan Persentasi kehadiran Bupati/ Walikota dalam rapat-rapat Pembinaan perencanaan pembangunan Bentuk-bentuk kendala yang dihadapi dalam Pembinaan perencanaan pembangunan
Sepengetahuan Bapak/ Ibu, sejauh mana Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat telah melaksanakan fungsi PENGAWASAN Perencanaan Pembangunan Daerah? • • •
Frekwensi Pengawasan perencanaan pembangunan yang dilakukan Substansi Pengawasan perencaan pembangunan Bentuk-bentuk kendala yang dihadapi dalam koordinasi Pengawasan pembangunan
173
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 173
6/22/2010 6:34:53 PM
Lampiran
REFERENSI
Abukhater, Ahmed B. E, (2009), “Rethingking Planning Theory and Practice: A Glimmer of Light for Prospects of Integrated Planning to Combat Complex Urban Realities”, in Theoretical and Empirical Researches in Urban Management, Number 2 (11)/May 2009, University of Texas at Austin United States of America Arghiros, Daniel (2001), Democracy, Development and Decentralisation in Provincial Thailand, Surrey: Surzon Badan Pusat Statistik (2007), Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/ Kota di Indonesia, 2002-2006 (Jakarta : BPS) Badan Pusat Statistik (2008), Produk Domestik Bruto Provinsi-provinsi di Indonesia, 2003-2008 (Jakarta : BPS) Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Bandung (2009), Gini Ratio Kabupaten Bandung 2008 (Soreang : BPS dan Bappeda Kabupaten Bandung) Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung dalam Angka (Soreang : Beberapa Publikasi) Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kota Bogor, Kota Bogor dalam Angka (Bogor : Beberapa Publikasi). Bappenas (2004), Strategic Development Region (Jakarta : Kajian Deputi Regional Tahunan. tidak dipublikasikan) Bratakusumah, D. S., (2003), Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, (Jakarta :Forum Re174
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 174
6/22/2010 6:34:53 PM
Referensi
gional Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pascasarjana IPB bekerjasama dengan Himpunan Perencana Wilayah dan Perdesaaan) Case, Williams (2002), Politics in Southeast Asia: Democracy or Less, Mitcaham, Surrey: Curzon Eldersveld, S.J, at.al (1995), Local Elites in Western Democracies: A Comparative Analysis of Urban Political Leaders in U.S., Sweden, and the Netherlands, Oxford: Westview Press. FLYVBJERG, BENT (2001), “Beyond the Limits of Planning Theory: Response to My Critics”, in International Planning Studies, Vol. 6, No. 3, 285–292, 2001 Halim, A., ed. (2004), Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, edisi revisi) Hidayat, S. dan H. Susanto, eds. (2007), Bisnis & Politik di Tingkat Lokal : Pengusaha, Penguasa & Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca PILKADA (Jakarta : P2E-LIPI) Hidayat, Syarif (2003), “Desentralisasi dalam Perspektif State-Society Relation: Rekonstruksi Konsep dan Pendekatan Kebijakan”, dalam Tim LIPI, Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Naskah Akademik dan RUU Usulan LIPI, Jakarta: Kerjasama Pusat Penelitian PolitikLIPI dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Hudson, Barclay M. (1979), “Comparison of Current Planning Theories: Counterparts and Contradictions”, in APA JOURNAL, October 1979 Ida, L. (2000), Otonomi Daerah, Demokratisasi & Clean Government (Jakarta : PSPK)
175
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 175
6/22/2010 6:34:53 PM
Referensi
Kartasasmita, G. (1996), Perencanaan Pembangunan di Indonesia (Jakarta : LP3ES) Matsui, Kazuhisa (ed) (2007), Regional Development Policy and Direct Local-Head Election in Democratizing East Indonesia, Japan: Institute of Developing Economies. Nordholt, H.S. (2003), “Renegotiating Boundaries: Access, Agency and Identity in Post-Soeharto Indonesia”, in Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania, 159-4 (pp. 550589) Ostrom, Vincent (1991), The Meaning of American Federalism: Constituting a Self-Governing Society, San Francisco: Institute for Contemporary Studies Press Oyugi, O.W. (2000), “Decentralisation for Good Governance and Development: The Unending Debate”, Regional Development Dialogue, Vol. 21, No. 1, Spring 2000 Presiden RI. (2005), Arahan pada Pembukaan Musrenbang Nasional Tahun 2006 Robison, R. and Hadiz, V. (2004), Reorganising power in Indonesia: the politics of oligarchy in an age of markets, London: RoutledgeCurzon Smith, B.C. (1985), Decentralization: The Territorial Dimension of The State. London: Asia Publishing House
176
Laporan Akhir_DIKTI_Syarif Hidayat Revisi.indd 176
6/22/2010 6:34:53 PM