PIDANA MATI INDONESIA: ARAH KEBIJAKAN DAN PENERAPANNYA DI MASA DEPAN
EDITA ELDA Universitas Andalas ABSTRAK Pidana mati di Indonesia sampai saat sekarang masih berlaku dan diterapkan dalam hukum pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP.Pidana mati merupakan jenis pidana pokok terberat. Di KUHP terdapat beberapa tindak pidana yang diancamkan pidana mati. Selain itu juga terdapat ketentuan pidana mati dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Untuk masa mendatang, pidana mati masih diberlakukan di Indonesia. Ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Rancangan KUHP. Tulisan ini membahas mengenai bagaimana kedudukan pidana mati dalam arah kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam penerapan pidana mati. Kajian didasarkan pada tujuan pemidanaan serta penerapannya di masa mendatang berdasarkan Rancangan KUHP. Dalam Rancangan KUHP terbaru 2015, pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Terdapat pergeseran arah kebijakan dalam pidana mati yaitu dengan adanya masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun. Ini sejalan dengan tujuan pemidanaan yang dianut di masa depan, yang didasarkan pada upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Kata kunci:pidana mati
I. Pendahuluan Dalam hukum pidana, dikenal adanya pengelompokan pidana pokok dan pidana tambahan berdasarkan Pasal 10 KUHP. Pidana mati di Indonesia merupakan pidana pokok terberat yang masih berlaku sampai saat sekarang selain pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sementara itu, yang tergolong dalam pidana tambahan yakni pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim. Indonesia masih menerapkan pidana mati sebagai pidana pokok terberat. KUHP Indonesia merupakan warisan dari KUHP Belanda berdasarkan asas konkordansiatau asas kesamaan (Akhiar Salmi, 1985: 13).KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie (Stb 1915 No 732)berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen)pada tanggal 8 Maret 1942. Dalam DinamikaKontemporerHukumanMati di Indonesia -------ISBN 978-602-73912-0-8
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
ketentuan Pasal II Aturan Peralihan dinyatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Penerapan pidana mati selalu tidak terlepas dari perdebatan pro dan kontra. Ini berkaitan dengan pandangan apakah masih tetap mempertahankan pidana mati atau menghapuskannya.Pendapat yang berpandangan setuju dengan adanya pidana mati adalah berdasarkan prinsip pembalasan. Sementara, pihak yang menentang adanya pidana mati selalu berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM). Pidana mati masih menimbulkan kontroversi karena dilatarbelakangi oleh pro kontra alasan dan legitimasi dijatuhkannya hukuman mati. Pendapat yang setuju dengan adanya pidana mati karena beranggapan bahwa pidana mati merupakan hukuman yang setimpal diberikan berdasarkan pembalasan, karena dipandang pelaku sudah tidak dapat diperbaiki moralnya atas kerusakan yang telah ditimbulkan. Sementara itu, pandangan yang menentang pidana mati salah satunya adalah Cesare Beccaria. Menurut Beccaria, negara tidak punya hak untuk mencabut hak hidup seseorang karena hal itu merupakan pelanggaran kontrak sosial (Laporan Akhir Tim Pengkajian, 1999:59). Pidana mati di Indonesia berlaku berdasarkan ketentuan KUHP dan juga ketentuan di luar KUHP. Ada beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam KUHP, begitu juga beberapa undang-undang khusus di luar KUHP. Dalam Rancangan KUHP, pidana mati juga tetap berlaku, hanya saja pengelompokannya bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dalam KUHP, terdapat beberapa tindak pidana yang diancam dengan pidana mati. Ada 10 (sepuluh) tindak pidana, yakni: kesatu, makarmembunuh Kepala Negara; kedua, mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia; ketiga, memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang; keempat, pada waktu perang menganjurkan huru-hara pemberontakan; kelima, membunuhKepalaNegara Sahabat, keenam, pembunuhan yang direncanakanterlebihdahulu; ketujuh, pencuriandengankekerasan;kedelapan,
119
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
pemerasan dengan pemberatan; kesembilan, pembajakan di laut, pesisir, pantai dan kali; serta kesepuluh, kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan. Ketentuan pidana mati yang terdapat di luar KUHP juga terdiri atas beberapa undang-undang khusus, yakni: kesatu, Undang-Undang Nomor 12/DRT/1951 tentang Senjata Api yang merubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 dan Stb 1948 Nomor 17);kedua, Penetapan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan Tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang-Pangan; ketiga, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukuman Terhadap Tindak Pidana Ekonomi; keempat, Undang-Undang Nomor 11/PNPS Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; kelima, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terkait Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan; keenam, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;ketujuh,
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1997
tentang
Psikotropika; kedelapan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi; kesembilan, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; kesepuluh, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; kesebelas, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Dalam Rancangan KUHP, terdapat 15 (lima belas) tindak pidana yang diancamkan pidana mati, yakni: kesatu, makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden;kedua, pengkhianatan terhadap negara dan pembocoran rahasia negara;
ketiga,
tindakpidanasabotase
tindakpidanaterorisme; bahankimia;
keenam,
kelima,
dan
padawaktuperang;
keempat,
terorismedenganmenggunakanbahan-
penggerakan,
pemberianbantuan
kemudahanuntukterorisme,
dan ketujuh,
perbuatanyangmembahayakankeselamatanpenerbangan;
kedelapan,
makarterhadapKepala Negara Sahabat; kesembilan, tindak pidana genosida;
120
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
kesepuluh, tindak pidana kemanusiaan; kesebelas, tindak pidana dalam masa perang atau konflik bersenjata; keduabelas, tindak pidana penyalahgunaan narkotika; ketigabelas, tindak pidana penyalahgunaan psikotropika; keempat belas, tindak pidana terhadap nyawa, pembunuhan berencana, kelima belas, tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana kedudukan pidana mati dalam arah kebijakan pembaharuan hukum pidanadalam penerapan pidana mati ke depan. Kajian didasarkan pada tujuan pemidanaan serta penerapannya di masa mendatang berdasarkan Rancangan KUHP. II. Pembahasan 2. 1 Sejarah Pidana Mati di Indonesia Pidana mati telah dikenal di Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia (Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 1983: 59). Pada awalnya, ketentuan tentang pidana mati terdapat di dalam hukum adat, bahkan pada zaman Majapahit (abad 13-16) sudah dikenal adanya pidana mati dalam undang-undang dan dikategorikan juga sebagai pidana pokok di samping pidana potong anggota badan, denda dan penggantian kerugian (Budiarto, 2001: 6).Tata cara pelaksanaan pidana mati berbedabeda antara setiap daerah. Dalam hukum adat, menurut plakat tertanggal 22 April 1808, pengadilan diperkenankan untuk menjatuhkan pidana dengan cara 1) dibakar hidup pada satu tiang, 2) dimatikan dengan menggunakan keris, 3) dicap bakar, 4) dipukul, dan 5) kerja paksa pada pekerjaan umum(Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 1983: 47). Sistem pemidanaan dalam plakat tersebut masih berlangsung hingga tahun 1848. Pada Tahun 1848, lahir peraturan hukum pidana dengan nama Intermaire Strafbepalingen LNHB 1848 Nr.6.Ketentuan dalam Pasal 1 menyebutkan: ”Peraturan ini meneruskan keadaan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun 1848, terkecuali beberapa perubahan dalam penitensier. Perubahan mendasar dalam peraturan ini adalah tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas
121
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
seperti menurut Plakat 22 April 1808, tetapi dengan pidana gantung”. Setelah KUHP mulai diberlakukan di Indonesia, maka jenisjenis hukuman sebagaimana terdapat dalam plakat adat tanggal 22 April 1808 sudah tidak berlaku lagi. Jenis hukuman sah yang dapat dijatuhkan oleh hakim adalah berdasarkan Pasal 10 KUHP. Hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat memakai hukum pidana adat dan istiadat sebagai dasar untuk memidana(Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 1983: 48).Hal ini berkaitan dengan Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang menyebutkan “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”. Ketentuan ini kemudian dikenal dengan asas legalitas. Pada
mulanya,
pelaksanaan
pidana
mati
di
Indonesia
dilaksanakan dengan cara digantung. Hal ini diatur dalam Pasal 11 KUHP, yakni “hukumanmati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri”.Seiring dengan perkembangan, ketentuan pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung tidak diberlakukan lagi dan diganti menjaditembak.Ketentuan tersebut sesuai dengan adanya Penetapan
Presiden
(Penpres)
Nomor
2
Tahun
1964
yang
ditetapkanolehPresiden Sukarno padatanggal 27 April 1964. Dalam ketentuan ini “Pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama”. Hukuman mati masih diadopsi sebagai salah satu hukuman pokok yang dapat dijatuhkan, sekalipun pelaksanaan itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Masih dibutuhkan sebuah kepastian hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan seseorang. Maka pertimbangan dan keyakinan hakim menjadi satu hal yang sangat penting untuk menjatuhkan hukuman mati di Indonesia (NelvitiaPurba, 2012: 12).
122
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
2.2. Legitimasi Konstitusional Penerapan Pidana Mati di Indonesia Pada tanggal 8 September 2008, Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil yang diajukan oleh terpidana mati Amrozi cs., terkait pengujian atas Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang. Dalam ketentuan ini, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak, menggantikan ketentuan Pasal 11 KUHP. Menurut MK, pelbagai alternatif tentang tata cara pelaksanaan pidana mati selain cara ditembak, berupa digantung, dipenggal pada leher, disetrum listrik, dimasukkan ke dalam ruang gas dan disuntik mati, semuanya menimbulkan rasa sakit meskipun kecepatan kematiannya berbeda-beda. Dalam hal ini MK berpandangan bahwa tidak ada satu cara pun menjamin tiadanya rasa sakit dalam pelaksanaannya. Namun, hal itu bukan merupakan penyiksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, yakni: “Hakuntukhidup, hakuntuktidakdisiksa, hakkemerdekaanpikirandanhatinurani,
hakberagama,
hakuntuktidakdiperbudak, hakuntuktidakdituntutatasdasarhukum yang berlakusurutadalahhakasasimanusia
yang
tidakdapatdikurangidalamkeadaanapa pun”. Oleh karena itu, MK menilai Undang-undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan militer tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun pidana mati masih mengundang perdebatan pro dan kontra, akan tetapi di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pidana mati adalah konstitusional.Putusan MK Nomor 2-3/PUUV/2007
tanggal
30
Oktober
2007,
menolakujimaterihukumanmatidalamUndang-UndangNomor 22 Tahun 1997 TentangNarkotika yang dimohonkanolehekspatriatasal Australia yang
tersangkutkasus
Bali
MyuranSukumarandan
Nine,
yakni
Scott
123
Andrew
Chan, Anthony
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
Rush.Mahkamahdalamputusannyamenyatakanbahwahukumanmatitidakb ertentangandenganhakhidup
yang
dijamin
karenajaminanhakasasimanusiadalam tidakmenganutasaskemutlakan.
UUD
UUD MenurutMahkamah,
1945 1945 hakasasi
yangdijaminPasal 28A hingga 28I UUD 1945 sudahdikunciolehPasal 28J UUD 1945yang berfungsisebagaibatasan, yakni:
Pasal 28 J UUD 1945: Ayat (1) : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Hak asasi dalam konstitusi harus digunakan dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang. “Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan”.MK berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights atau lebih dikenal dengan ICCPR) yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Dalam Pasal 6 Ayat (2) ICCPR memperbolehkan masih diberlakukannya hukuman mati oleh negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius, yakni“In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes”.
124
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menurut MKbahwa undang-undang tersebut juga mengakui adanya pembatasan hak asasi seseorang dengan memberi pengakuan hak orang lain demi ketertiban umum. Dalam hal ini, MK beranggapan bahwa hukuman mati merupakan bentuk pengayoman negara terhadap warga negara terutama hak-hak korban.Dalam pandangan MK, penghapusan pidana mati belum menjadi pandangan moral yang universal dari masyarakat internasional, meski kecenderungan saat ini menunjukkan bertambahnya negara yang menghapus pidana mati dalam kebijakan hukum nasionalnya. Tanpa mengabaikan realitas perkembangan hukuman mati di berbagai negara, MK juga memandang dinamika hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statute of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, ternyata masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati. 2.3. Arah Kebijakan Pidana Mati dalam Pembaharuan Hukum Pidana DalamRancangan
KUHP
terbaru
ketentuanpidanamatimasihmerupakanpidanapokok.
2015, Hanyasaja,
pidanamatimerupakanpidanapokok
yang
diatursecarakhususdanselaludiancamkansecaraalternatif. PerubahankedudukanpidanamatidalamRancangan yaitudengandikenaladanyamasapercobaanselama
KUHP 10
(sepuluh)
tahun.
Ketentuaninidenganmengkaitkanpadatujuanpemidanaan
yang
dianutuntukmasamendatang.
Ada
pergeserandanpembaharuannyadalamhukumpidana. Tujuan pemidanaan sebagaimana tercantum dalam Rancangan KUHP,
dinyatakan bahwa terdapat
2 (dua).
Kesatu, mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.Kedua, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Tujuan dari dijatuhkannya pidana mati secara alternatif adalah sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.Adapun pelaksanaannya sama dengan yang diatur oleh KUHP yakni dengan cara tembak.
125
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
Dalam Rancangan KUHP, terdapat ketentuan yang digunakan dalam menjatuhkan pidana. Ini disebut dengan pedoman pemidanaan yang bertujuan sebagai arah indikator dalam menjatuhkan sebuah hukuman atau pemidanaan yang bermuara pada rumusan dijatuhkannya pidana terhadap pelaku. Dalam pemidanaan, wajib dipertimbangkan beberapa hal, yaitu: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana; h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; serta k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Rancangan KUHP sudah mengakomodir hal-hal yang terkait dengan terjadinya suatu tindak pidana tidak hanya dilihat pada aspek perbuatan, aspek pelaku dan korban semata. Akan tetapi, arah pemidanaannya juga mempertimbangkan tentang bentuk perbaikan yang dapat dilakukan ke depannya berkaitan dengan manfaat yang dapat diambil dari dijatuhkannya sebuah hukuman. Berkaitan dengan masa percobaan yang dimaksud dalam ketentuan Rancangan KUHP selama 10 (sepuluh) tahun adalah berdasarkan faktor eksternal dan internal dari pelaku. Faktor yang berasal dari luar diri pelaku adalah apabila reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar. Sementara, faktor internal berasal dari diri pelaku yaitu berkaitan dengan nilai moral dan kedudukan pelaku pada saat melakukan tindak pidana tersebut. Terkait sisi moral, percobaan dilakukan dengan memperhatikan sisi moral dari terpidana, apakah menunjukkan rasa
126
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
menyesal dan berubah menjadi berkelakuan baik selama dalam menjalani hukuman dan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Sementara itu, berkaitan dengan kedudukan pelaku dalam melakukan tindak pidana, dilihat dalam penyertaan dan dinilai tidak terlalu penting. Selain itu juga terdapat alasan yang meringankan. Pelaksanaan pidana mati hanya dapat dilakukan apabila permohonan grasi bagi terpidana ditolak oleh Presiden. Ini juga menunjukkan bahwa, selain mengakomodir hak terpidana sampai dengan tingkat upaya hukum terakhir untuk melakukan pembelaan dan mencari keadilan, juga adanya perlindungan yang sama dari Presiden sebagai hak prerogatif bagi warga negaranya. Kemudian juga, terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa, pelaksanaan pidana mati harus ditunda sampai dengan wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana pokok dengan ancaman pidana terberat maksimal dalam stelsel pidana, hanya diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu. Pengaturan pidana mati di samping diatur dalam KUHP juga terdapat dalam undang-undang pidana khusus di luar KUHP, serta dalam Rancangan KUHP. Pelaksanaan pidana mati di Indonesia adalah konstitusional dan tidak melanggar. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara tembak. Kedudukan pidana mati dalam arah kebijakan pembaharuan hukum pidana dalam penerapan pidana mati adalah sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Dalam hal ini, berlaku penerapannya secara percobaan dalam masa 10 (sepuluh) tahun yang didasarkan pada sisi moral dan kelakuan baik terpidana. Arah tujuan pemidanaan yang digunakan dalam pidana mati sejalan dengan upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. 3.2 Saran
127
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
Hukuman mati masih diperlukan di Indonesia untuk tindak pidana tertentu yang tergolong dalam kejahatan serius. Hanya saja, bukan lagi berada pada pidana pokok semata. Ia harus menjadi pidana khusus yang diterapkan secara hati-hati, selektif,dikhususkan pada kasus-kasus berbahaya dan harus ditetapkan bulat oleh majelis hakim.
DAFTAR PUSTAKA Budiarto, 2001, PidanaMatiDalamPerspektifPembentukanHukumPidanaNasional (MakalahPada Continuing Legal Education-BPHN), Jakarta, DepartemenKehakimandan HAM. Hamzah, Andi, 1999, Laporan Akhir Tim Pengkajian Tentang Efektivitas Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia, Jakarta, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Hamzah,Andi dan Sumangelipu,A., 1983, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta, Ghalia Indonesia. Salmi,Akhiar, 1985, EksistensiPidanaMati, Jakarta, AksaraPersada. Panjaitan,Edward ML, 2006, Kebijakan Uni Eropa Terhadap Penghapusan Pidana Mati”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Volume II (3). Purba,Nelvitia, 2012, KonstitusionalitasHukumanMati Di Indonesia”, Kultura, Vol. 13 (1) Juni. Peraturan Perundang-undangan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005tentangPengesahanInternational Covenant on Civil and Political Rights. KonvensiInternasionalHakSipildanPolitik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR). Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2015. Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tanggal 30 Oktober 2007.
128
Edita Elda, Pidana Mati Indonesia: Arah Kebijakan dan....
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008tanggal 8 September 2008.
129