Prolog
P
EUGEOT 206 itu berputar di halaman Panti Orang Terlantar yang dikelola oleh Yayasan Dharma Kemanusiaan—seakan-akan sedang mencari tempat parkir yang pas—akhirnya berhenti di bawah sebatang pohon angsana yang rindang. Halaman itu luas. Mobil yang parkir hanya beberapa, sementara motor lumayan banyak. Dari mobil keluar 4 wanita cantik yang berpakaian rapi. “Setiap kemari hatiku menangis, jantungku serasa tersumbat, paru-paruku langsung menyesak. Walau dia yang menganiaya Riri telah menerima akibat dari perbuatannya, rasanya tanganku masih terkepal serasa ingin meninju lelaki itu hingga lumat. Riri… Riri… betapa malang nasibmu. Seandainya waktu bisa diputar ulang, aku ingin kamu tak pernah bertemu lelaki jahanam itu.” Seorang perempuan berambut panjang, dengan kostum pekerja kantoran, beralis tebal dengan wajah oriental menatap bangunan itu dengan wajah geram. “Lupakan lelaki itu, Rara, mari kita jenguk Riri,” ucap wanita lain yang berambut lebih pendek. 1
“Baiklah, Tata. Mari kita masuk,” ucap wanita yang dipanggil Rara sambil memimpin rombongan berjalan menuju pintu masuk panti. Mereka melapor pada petugas administrasi bahwa mereka ingin menjenguk Karina Febrianti yang menempati kamar 44. Petugas memberi mereka kunci kamar. Keempat wanita itu berjalan beriringan menuju kamar 44. Panti ini dikelola dengan baik. Kebanyakan pasien operan rumah sakit jiwa yang sudah tak tersembuhkan. Wanita yang dipanggil Tata, yang menerima kunci dari petugas, setibanya di kamar 44 langsung memasukkan kunci dan memutarnya. Pintu terbuka. Tampaklah sebuah ranjang sederhana, sebuah meja tulis, beberapa barang yang tidak berbahaya. Di atas ranjang berbaring seorang wanita yang rambutnya tidak disisir, wajahnya pucat dan kusam, tubuhnya hanya tinggal tulang berbalut kulit. Keengganan hidup jelas terukir pada wajah itu. “Rara, kaukah itu? Kaukah yang datang menjengukku? Aku kangen padamu. Rara, apakah dia ikut datang bersamamu?” seru wanita di ranjang. Wanita yang dipanggil Rara tak mampu membendung air matanya. Begitu juga Tata dan kedua temannya, semua menangis melihat kondisi teman mereka yang mengenaskan. “Betul, Riri. Aku Rara, datang menjengukmu. Aku mengajak Tata, Mimi, dan Nana ikut datang menjengukmu.” Sambil berurai air mata, Rara memeluk tubuh kurus itu tanpa memedulikan pakaiannya bakal kusut. Dulu mereka berlima begitu dekat seakan-akan tak ada jarak. Semua berbagi cerita suka dan duka, pengalaman hidup, masa kecil, keluarga, dan teman-teman pada sesama mereka.
2
“Katakan padaku, katakan padaku, Rara. Apakah dia ikut datang? Katakan padaku apakah ia bersedia bertanggung jawab?” tanya Riri, tangannya meraba tubuh Rara, mirip orang kebingungan. “Jangan mengingatnya lagi, Riri. Aku dan temanteman telah membalas sakit hatimu. Dia telah kami buat cacat selamanya. Kini kamu bisa menikmati hidup kembali, Riri. Kembalilah menjadi Riri seperti sebelumnya. Kami siap menerimamu kembali menjadi bagian dari kami,” ucap Rara dengan hati pedih. “Dia tidak datang, dia tidak datang. Aku hanya mengharap angin menjadi asap tanpa api…. Dia tak datang… dia tak datang…,” guman Riri, melepaskan diri dari pelukan Rara. “Riri, dia tak mungkin datang lagi. Kondisinya sama sepertimu. Dia sudah kehilangan segalanya, bahkan lebih parah darimu. Riri, kami telah membalas sakit hatimu. Kembalilah menjadi Riri kami!” Tata berseru sambil memegang tangan Riri, namun Riri seakan-akan tak mendengar seruan Tata. “Dia tak datang, dia tak datang… dia tak pernah datang lagi…,” guman Riri berkali-kali, berterusan, terusmenerus, tanpa memedulikan teman-temannya. Semua menangis melihat kondisi Riri. Pintu terkuak. Seorang berpakaian seragam panti dengan wajah bijak dan ramah berjalan masuk sambil mengangguk ramah pada pengunjung pantinya. “Selamat sore, saya Laurencia, petugas medis yang baru bertugas bulan ini di panti ini. Saya diberi tahu Nona Karina menderita gangguan kejiwaan akibat stres yang mendalam, melahirkan dalam kondisi fisik yang lemah, dan setelah melahirkan menerima guncangan yang hebat 3
sehingga memengaruhi kesehatannya. Apakah kalian famili Karina?” tanya Laurencia ramah. “Bukan. Kami sahabat-sahabatnya. Namaku Rara, ini Tata, ini Nana, dan ini Mimi,” Rara membalas kesopanan Laurencia. “Kupikir nama-nama kalian sepertinya terkait. Kalian bersaudara?” tanya Laurencia. “Bukan. Itu nama panggilan akrab kami,” jawab Rara. “Oh, ternyata nama panggilan. Kubaca di profil Karina, dalam catatan administrasinya tercatat Karina dibiayai oleh teman-temannya. Ternyata kalian yang membiayai. Sungguh beruntung Karina mendapat teman sebaik kalian. Kalau boleh kutahu, kenapa Karina sampai menderita kehilangan ingatan? Apa yang terjadi pada dirinya?” Rara memandang Tata, Mimi, dan Nana seakanakan meminta mereka bercerita. Sahabat-sahabatnya menundukkan kepala satu demi satu. Mau tak mau Rara yang bercerita. “Panjang ceritanya, kalau diceritakan bisa 2 hari 2 malam, kami tidak memiliki waktu selama itu. Sebentar lagi kami harus pulang. Bagaimana jika lain kali saja kami bercerita?” jawab Rara. “Sebetulnya, saya membutuhkan riwayat penyebab penyakit yang diderita Karina agar bisa menangani pengobatannya secara lebih baik. Tapi, tak ada masalah. Kapan-kapan kalian ada waktu, datanglah ke sini untuk menceritakannya. Saya siap menerima kalian kapan saja,” ucap Laurencia. “Kalian pasti ingin bersamanya tanpa gangguan, maaf, saya telah mengganggu acara kalian. saya permisi,” Laurencia berjalan keluar dari kamar itu. 4
Mimi dari tadi lebih banyak terbengong. Ia meletakkan sebuah plastik di atas meja, mengambil sebuah jeruk dari plastik, mengupasnya, dan menyuapkan ke mulut Riri. Sambil mengunyah Riri masih menggumamkan kata-kata ‘dia tak datang’ berkali-kali. Hati kelima wanita itu seperti diiris dengan pisau silet mendengar racauan Riri. Tata mengeluarkan sekaleng permen Fox dari tasnya. Digenggamkan kaleng itu ke tangan Riri sambil menatap sahabatnya yang terbaring tak berdaya. “Aku janji padamu, Riri. Aku akan memastikan lelaki itu kondisinya sama sepertimu selama-lamanya. Aku akan terus mengawasinya agar ia tak pernah sembuh selama-lamanya!” ucap Tata dengan mata berapi-api. Sebelah tangannya menggenggam tangan Riri yang tidak memegang kaleng permen. Setelah puas menatap temannya, keempat wanita itu pamit pada tubuh tak bermaya itu. Riri tetap menggumamkan kata-kata ‘dia tak datang’ seakan-akan hanya dia yang ada di pikirannya. Siapa lelaki yang menganiaya Riri hingga jadi begini? Apa yang telah diperbuat keempat wanita cantik itu dalam membalas sakit hati sahabat mereka?
5
Satu
D
AUN kelapa bergoyang-goyang seakan-akan ada beruk yang sedang memetik kelapa. Sebuah kepala menguak di sela pelepah, sebelah tangannya memuntir buah kepala yang berwarna kecokelatan. Bukk!!! Bukk!!! Bukk!!! Bukk!!! Bukk!!!” Terdengar suara kelapa jatuh 5 kali. Satu tangkai kelapa ada yang berbuah 3, ada yang 4, paling banyak 8 butir. Ada yang memanen buah kelapa dengan cara menyodoknya menggunakan galah, dikait dengan galah yang ujungnya diikat sabit, atau menggunakan jasa beruk sewaan, dan cara yang terakhir, yang paling jarang digunakan di zaman sekarang adalah dengan memanjat pohon, memetik langsung dengan tangan manusia. Memanjat pohon kelapa jelas bukan pekerjaan yang gampang. Pohon kelapa licin. Banyak lumut. Cara memanjatnya harus memeluk batang pohon, menggenjot naik selangkah demi selangkah, persis seperti yang dilakukan beruk. Turunnya lebih gampang. Kalau ingin cepat, merosotnya sambil memeluk pohon. Dijamin tangan 6
dan dada Anda lecet-lecet. Kalau ingin aman, pakailah baju yang tebal, memasang pelindung di dada, atau turun dengan cara seperti naiknya, merangkak turun perlahanlahan. “Kak Tiela!!! Di mana kamu bersembunyi, wahai kakakku yang mirip monyet!!!” “Hoi, Basikal Tua! Aku di sini! Minta ditimpuk dengan buah kelapa ya?” Tiela menyahut dari atas pohon. Namanya Tiela Tania, tapi sehari-hari ia dipanggil Tiela saja oleh teman-temannya. Adiknya, Lauchia langsung menatap ke atas pohon begitu mendengar suara kakaknya. “Sudah kuduga kakakku sedang bercumbu dengan monyet. Cepat pulang! Mama memanggilmu! Ada tamu dari Jakarta!” teriak Lauchia. Lauchia artinya sepeda tua. Di Malaysia ada sebuah lagu populer yang dinyanyikan Sudirman H. Arsyad, judulnya Basikal Tua. Sepeda dalam bahasa Malaysia disebut basikal. Lauchia dipanggil Basikal Tua sesuai arti namanya. “Pasti Bibi Kim pulang untuk Cheng Beng!” seru Tiela gembira. Ia tak memedulikan rasa sakit, ia tak memedulikan dadanya bakal lecet. Ia merosot turun secepat kilat. Tak sampai 1 menit ia sudah berada di atas tanah. Basikal Tua sudah pulang. Tiela segera mengejar adiknya. Ia tak mau ketinggalan mendengar cerita bibinya tentang Kota Jakarta. Jakarta selalu menarik perhatiannya. Hampir semua anak gadis di Kota Intan memimpikan bekerja di Malaysia atau Singapura, ia memimpikan bekerja di Jakarta. Baginya Jakarta lebih menarik. Tiela telah berusia 18 tahun. Sudah tamat SMA tapi orang tuanya tak mampu menguliahkannya ke perguruan tinggi. Tiela anak tertua dari 4 bersaudara. Wajahnya lumayan cantik, khas gadis oriental dengan lesung pipit dan 7
rambut diponi. Papanya petani merangkap penoreh getah/ karet. Ibunya bekerja di kebun membantu perekonomian keluarga dengan menanam sayuran. Tiela baru tamat SMA, sangat ingin mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya. Ayahnya kawin terlambat. Usia sudah 50 tahun sedangkan Tiela baru berusia 18 tahun. Tan Shengdu menikahi Sumi ketika sudah berusia 30 tahun. “Bibi Kim!!! Tiela kangen Bibi Kim!!!” teriak Tiela begitu tiba di rumah. Ia langsung menerobos masuk ke rumah. Lantai rumah berderak-derak akibat langkahnya. Tiang bergoyang-goyang. Lantai rumahnya terbuat dari papan yang sudah berusia 20 tahun. Sejak papanya menikah rumah ini belum pernah direnovasi. “Tiela! Rumah kita bisa roboh diterpa angin badaimu!” bentak Sumi gerah melihat anak gadisnya berkelakuan mirip lelaki. Tiela memakai baju papanya yang mirip baju rombengan, celana juga celana papanya yang mirip celana Ang Cit Kong (ketua partai pengemis dalam film serial Sia Tiau eng Hiong). “Hehehe, maaf, maaf, Tiela kangen berat sama Bibi Kim. Lupa kalo rumah kita sudah tua,” Tiela cengengesan mendengar teguran ibunya. Ia memeluk Bibi Kim dengan erat dengan baju kotornya. “Bibi Kim, Tiela kangen. Sudah berapa tahun kita tak bertemu?” Tiela meluapkan rasa kangennya. Ia memeluk Bibi Kim seakan-akan sedang memeluk batang kelapa sehingga Bibi Kim sulit bernapas. “Aduh, Tiela, napasku tersumbat!” ucap Bibi Kim seperti tercekik. Tiela melepaskan dekapan. “Maafkan Tiela, Bibi. Abiss, kangen berat sih…,” ucap Tiela malu-malu.
8
Bibi Kim mengamati sekujur tubuh keponakannya. “Kamu, kamu masih memanjat pohon?” Kimi tahu dari kecil hidup keponakannya susah, harus membantu orang tua bekerja. Tapi masa sih anak gadis sudah berusia 18 tahun masih memanjat pohon? Untung di desa, kalau di kota bisa jadi tontonan langka. “Abiss, Basikal Tua pemalas. Kalau disuruh memetik kelapa, dia pergi bermain bola. Tiela kasihan melihat Papa yang sudah tua masih harus mengait kalapa. Biarlah Tiela yang memetik kelapa agar Papa bisa beristirahat,” alasan Tiela. “Lauchia! Betulkah kamu pemalas?!” tanya Bibi Kim pada Basikal Tua. Basikal Tua sudah berusia 16 tahun, malu ditatapi bibinya. Apalagi dikorek boroknya. Ia menundukkan kepala seperti kambing sedang merumput. Ia tak berani menjawab. “Lauchia, pada usia 14 tahun kakakmu sudah membantu papamu mengait kelapa, mencari makanan kambing, menyimpan susu getah. Kamu lelaki, seharusnya kamu lebih sanggup bekerja dibandingkan kakakmu. Mulai sekarang kamu yang mengait kelapa. Kakakmu perempuan, masa harus memanjat pohon kelapa!” omel Bibi Kim. “Baik, Bibi…,” jawab Basikal Tua dengan kepala tertunduk. “Nggak pa-pa, Bibi. Tiela suka kok memanjat kelapa. Lauchia kalau besar ingin jadi pemain bola. Biarlah dia bermain. Siapa tahu suatu saat dia jadi Maradona,” Tiela menengarai. “Tidak. Mulai sekarang dia harus bekerja. Karena aku ingin membawamu ke Jakarta. Sudah saatnya kamu 9
menghasilkan uang untuk membantu orang tuamu. Aku ingin abangku menikmati masa tuanya dengan santai. Jika kalian semua bekerja, papamu tak perlu menoreh getah, ibumu tak perlu berkebun. Mengerti!” bentak Bibi Kim keras. Wajah Tiela kontan berseri-seri. “Baik, Bibi. Aku akan bekerja, menghasilkan uang untuk Papa dan Mama. Makasih, Bibi Kim!” Tiela memeluk Bibi Kim. Bibi Kim merasa ia bagai dibelit ular sanca. Gila, anak gadis sekuat ini? Mau kusuruh kerja sebagai apa di Jakarta nanti, penarik grobak air? “Bau apa ini?” hidung Bibi Kim mengendus seperti kelinci. Tiela tahu diri. Bibi Kim pasti mencium bau keringatnya, apalagi baju yang dipakainya penuh cendawan akibat merosot di pohon kelapa. Cepat-cepat ia melepaskan pelukan dan pergi mengganti baju. Bibinya berpakaian bagus, sedangkan bajunya baju petani. Bibi Kim pasti enggan dipeluk andai tidak terpaksa. Tiela mengode adik-adiknya, meminta Lauchia, Laukok, dan Tieli ikut ke belakang. “Bibi Kim pasti tidur di sini malam ini. Kita harus memasak lauk yang enak agar Bibi Kim betah tinggal di rumah kita. Ayo bantu Cece menangkap ayam,” ajak Tiela, adik-adiknya menganggukkan kepala. Di Pematang Manggis tidak banyak lauk yang tersedia untuk dimasak secara mendadak. Ikan laut hanya tersedia jika nelayan pulang melaut, biasanya di pagi hari. Sore-sore begini jika ingin mencari lauk, paling ketemunya ikan sarden yang dijual di kedai Bo Khek. Tak mungkin orang yang datang dari Jakarta dijamu dengan ikan sarden, nanti dibilang kurang menghormati. Di Jakarta ikan sarden pasti 10