PERTUKARAN GAS CO 2 UDARA-LAUT DI PERAIRAN PESISIR: STUDI KASUS DI SELAT NASIK, BELITUNG DAN ESTUARI DONAN, CILACAP
AFDAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pertukaran gas CO 2 Udara–Laut di Peraian Pesisir: Studi Kasus di Selat Nasik Belitung dan Estuari Donan Cilacap adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Afdal C551080171
ii
ABSTRACT AFDAL. Air-Sea CO 2 Gas Exchange In Coastal Waters: A Case Study In Nasik Strait, Belitung and Donan Estuary, Cilacap. Under supervised by RICHARDUS F. KASWADJI, ALAN F. KOROPITAN. Marine carbonate system plays an important role in the air-sea CO 2 gas exchange. Aim of the present study is to investigate the air-sea flux of CO 2 in Nasik Strait, Belitung and Donan Estuary, Cilacap. Field observation was carried out during April and June, 2010, where the observed parameters consisted of temperature, salinity, pH, dissolved inorganic carbon (DIC), total alkalinity (TA), primary productivity of phytoplankton and nutrients (phosphate and silicate). Particularly the partial pressure of CO 2 (pCO 2 ) in sea surface, it was calculated using ABIOTIC model of the ocean carbon cycle model intercomparison project phase2. Analysis results of the marine carbonate system showed that generally Nasik Strait waters and Donan Estuary act as a source (release) of CO 2 to the atmosphere. The CO 2 flux in Donan Estuary, mangrove waters, coral reef waters and coastal waters (non mangrove and coral reef) vary between 6.76–7.72, 3.06– 3.19, 0.96–1.45 and 2.77–2.98 mmolC.m-2.d-1, respectively. The present study found that the CO 2 uptake by phytoplankton (photosynthesis) is not significantly affect the CO 2 flux. In this case, the decomposition of particulate organic carbon tends to give significant contribution to the CO 2 flux. Keywords: CO 2 flux, pCO 2 , DIC, phytoplankton, photosynthesis, decomposition
iii
RINGKASAN AFDAL. Pertukaran Gas CO 2 Udara-Laut di Perairan Pesisir: Studi Kasus di Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap. Dibimbing oleh RICHARDUS F. KASWADJI, ALAN F. KOROPITAN. Penelitian dengan topik pertukaran gas CO 2 udara-laut di perairan pesisir: studi kasus di Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji fluks CO 2 udara–laut di perairan Selat Nasik Belitung dan perairan Estuari Donan Cilacap. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan kelautan di Indonesia, khususnya mengenai peranan perairan pesisir tropis dalam mengontrol fluks CO 2 . Pengambilan contoh air dilakukan di perairan Selat Nasik, Kabupaten Belitung pada bulan April 2010 dan di perairan Estuari Donan, Cilacap pada bulan Juni 2010. Di perairan Selat Nasik, pengukuran dan pengambilan contoh air laut dilakukan di 3 stasiun pada lokasi yang berbeda yaitu: Stasiun 1 pada lokasi di sekitar ekosistem mangrove, Stasiun 2 pada lokasi sekitar terumbu karang dan Stasiun 3 pada lokasi yang tidak ada pengaruh mangrove dan terumbu karang (perairan laut pesisir). Pengambilan sampel dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi (06:35–08:15) dan siang hari (12:00–13:25) untuk Stasiun 1 dan 2, sedangkan pada Stasiun 3 pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali (pagi, siang dan malam hari (19:00) untuk melihat sejauh mana peranan produktivitas primer fitoplankton dalam menurunkan CO 2 dalam air laut. Di perairan Estuari Donan Cilacap, pengukuran dan pengambilan contoh air laut di lakukan pada 5 stasiun dari muara menuju sungai. Parameter yang diukur adalah suhu, salinitas, produktivitas primer, fosfat, silikat, CO 2 atmosfir dan sistem CO 2 (pH, total alkalinitas, DIC dan tekanan parsial CO 2 ). Pengukuran total alkalinitas, produktivitas primer dan nutrien dilakukan di laboratorium produktivitas primer dan kimia hara Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jakarta. Pengukuran konsentrasi DIC dilakukan di laboratorium pengujian pusat aplikasi teknologi isotop dan radiasi BATAN, pasar jumat Jakarta. Hasil menunjukkan bahwa pH di perairan Selat Nasik berkisar antara 7,71–8,03. Di perairan Estuari Donan, Cilacap pH berkisar antara 7,65–7,95 dengan rata-rata 7,83±0,117. Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik berkisar antara 1912,15–2119,03 µmol/kg. Di perairan Estuari Donan konsentrasi DIC berkisar antara 1842,25–1957,82 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Total alkalinitas di perairan Selat Nasik berkisar antara 2130,28– 2247,28 µmol/kg. Di perairan Estuari Donan Cilacap total alkalinitas berkisar antara 1954,27–2032,44 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Tekanan parsial CO 2 kolom air di perairan Selat Nasik berkisar antara 591,80– 1002,01 µatm, sedangkan tekanan parsial CO 2 atmosfir berkisar antara 307–409 µatm dengan rata-rata 373,38±25,95 µatm. Tekanan parsial CO 2 kolom air di perairan Estuari Donan berkisar antara 1018,53–1152,52 µatm dengan rata-rata 1077,08±32,70 µatm, sedangkan tekanan parsial CO 2 atmosfir berkisar antara 340–376 µatm dengan rata-rata 358,20±15,27 µatm. Laju fotosintesis dan respirasi di perairan Selat Nasik masing-masing berkisar antara 0,069–0,094 mgC/m2/hari dan 0,082–0,092 mgC/m2/hari. Laju fotosintesis dan respirasi di
iv
perairan Estuari Donan masing-masing berkisar antara 0,022–0,070 mgC/m2/hari dan 0,015–0,045 mgC/m2/hari. Fluks CO 2 di perairan Selat Nasik berkisar antara 0,96–3,19 mmolC/m2/hari, sedangkan fluks CO 2 perairan Estuari Donan berkisar antara 6,76–7,72 mmolC/m2/hari.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB
vi
PERTUKARAN GAS CO 2 UDARA-LAUT DI PERAIRAN PESISIR: STUDI KASUS DI SELAT NASIK, BELITUNG DAN ESTUARI DONAN, CILACAP
AFDAL
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tri Prartono, MSc
viii
Judul Tesis Nama NRP
: Pertukaran Gas CO 2 Udara-Laut di Perairan Pesisir: Studi Kasus di Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap : Afdal : C551080171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc Ketua
Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 14 Juli 2011
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah (tesis) dengan judul “Pertukaran Gas CO 2 Udara–Laut di Perairan Pesisir: Studi Kasus di Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap” . Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Richardus F. Kaswadji, M.Sc dan Bapak Dr. Alan F. Koropitan, S.Pi, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang telah penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan hingga penyusunan tesis ini selesai. 2. Bapak Dr. Ir. Tri Prartono, MSc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Dr. Ir. Iwayan Nurjaya, M.Sc selaku perwakilan dari Program Studi IKL yang telah memberikan koreksian dan saran dalam penulisn tesis ini. 4. Ibu Dr. Suhartati M. Nasir dan Ibu Lily M.G. Panggabean, MSc., yang telah mengikutkan penulis dalam kegiatan penelitian di perairan Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap. 5. Bapak Sumidjo Hadi Riyono (Teknisi Laboratorium Produktivitas Primer, P2O-LIPI) atas bantuannya selama penulis kuliah di pascasarjana IPB. 6. Ibu Ristin (Peneliti Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta) atas bantuannya dalam analisis DIC. 7. Isteri tercinta Ade Wirma Yulia dan anak-anakku tersayang Nabil Zahra Aldenda dan Gahzy Firjatullah Aldenda yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam menyelesaikan tesis ini. 8. Ibunda tercinta Wisnimar atas do’a dan dukungannya. 9. Kembaranku Afdil, SPt yang telah memberikan bantuan moril dan materil selama kuliah di pascasarjana IPB. 10. Saudara-saudaraku Dra. Delwita, MPd, Dra. Delinoviar, Pentri Desmon, Nelma Eriyanti, Toni Irfan dan Ade Suryani, SPd yang telah memberikan dukungan selama penulis kuliah di Pascasarjana IPB. 11. Rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Kelautan angkatan 2008 (Ratno, Agung, Sabam, Sayyid, Ayu) dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Juli 2011
Afdal
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 16 Maret 1979 dari Ayah Alm. Djalius dan Ibu Wisnimar. Penulis merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Mempunyai istri bernama Ade Wirma Yulia dan dikaruniai sepasang buah hati bernama Nabil Zahra Aldenda dan Gahzy Firjatullah Aldenda. Pendidikan SD, SMP dan SMA ditempuh di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam Sumatera Barat. Pada tahun 1997 penulis meneruskan pendidikan sarjana di Universitas Andalas pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Program Studi Biologi dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2003 Penulis diterima sebagai staf peneliti di laboratorium plankton dan produktivitas primer, Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI. Semenjak tahun 2008 penulis menjalani studi di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB. Selama menjadi staf di P2O-LIPI penulis telah mengikuti beberapa pelayaran dengan menggunakan kapal riset Baruna Jaya VII dan VIII, diantaranya Pelayaran Selat Makassar, Pelayaran Laut Jawa, Ekspedisi Kawasan Timur Indonesia dan Ekspedisi Tsunami di perairan Aceh dan Sumatera Utara. Penulis juga telah menghasilkan beberapa karya ilmiah yang dimuat di jurnal nasional diantaranya: Klorofil-a, Kaitannya dengan Kondisi Hidrologi di Selat Makassar (Oseanologi dan Limnologi di Inonesia 36:69-82); Kondisi Perairan Teluk Kelabat ditinjau dari Kandungan Klorofil-a Fitoplankton (Oseanologi dan Limnologi di Inonesia 39:55-73); Kualitas Perairan Teluk Banten pada Musim Timur dilihat dari konsentrasi Klorofil-a dan Indeks Autotropik (Oseanologi dan Limnologi di Inonesia 33(3):339-352); Sebaran klorofil Fitoplankton dan seston di perairan pantai timur pulau Bangka (Jurnal IPTEK 1(1):31-40); Sebaran Klorofila dan Hubungannya dengan Eutrofikasi di Perairan Teluk Jakarta (Oseanologi dan Limnologi di Inonesia 34(3):333-351).
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI............................................................................................ xii DAFTAR TABEL................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR.............................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................... xvii 1 PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang........................................................................ 1 1.2 Pendekatan masalah................................................................. 2 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................ 3 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4 2.1 Sistem karbonat laut................................................................. 4 2.2 Siklus karbon dan pertukaran CO 2 udara-laut........................... 6 2.2.1 Laut global........................................................................ 6 2.2.2 Perairan pesisir................................................................. 9 2.2.2.1 Perairan estuari................................................... 11 2.2.2.2 Perairan sekitar mangrove................................. 12 2.2.2.3 Perairan sekitar terumbu karang........................ 13 3 METODE PENELITIAN.................................................................... 15 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian................................................... 15 3.2 Bahan dan Alat Penelitian....................................................... 17 3.3 Prosedur Penelitian................................................................. 17 3.3.1. Sistem CO 2 .................................................................... 17 3.3.2. Produktivitas Primer....................................................... 18 3.4 Analisis data............................................................................ 18 3.4.1 Sistem CO 2 .................................................................. 18 3.4.2 Pertukaran CO 2 udara-laut......................................... 19 3.4.3 Produktivitas Primer..................................................... 20 4 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 21 4.1 Sistem CO 2 ............................................................................. 21 4.1.1 Selat Nasik................................................................... 21 24 4.1.2 Estuari Donan.................................................. 4.2 Produktivitas Primer................................................................ 27 4.2.1 Selat Nasik................................................................... 27 4.2.2 Estuari Donan............................................................ 4.3 Pertukaran CO 2 udara-laut..................................................... 4.3.1 Selat Nasik.................................................................. xii
28 29 29
4.3.2 Estuari Donan............................................................. 4.4 Pembahasan.............................................................................. 4.4.1 Selat Nasik................................................................... 4.4.2 Estuari Donan............................................................. 5 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ DAFTAR PUSTAKA............................................................................. LAMPIRAN.............................................................................................
xiii
30 31 31 36 40 41 46
DAFTAR TABEL Halaman 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian......................................................17
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Skema pendekatan masalah......................................................................
3
2.
Siklus karbon global. Panah menunjukkan fluks (dalam PgC/th) antara atmosfir dan darat, dan atmosfir dan laut. Angka dalam kotak menunjukkan stok (PgC). Panah hitam = fluks alami; Panah merah = fluks antropogenik (Sarmiento and Gruber, 2002).................................
7
Skema pompa fisis dan sirkulasi termohalin yang membawa CO 2 , yang menggambarkan interkoneksi perairan laut dunia (Hansell and Carlson, 2001) .......................................................................................................
8
3.
4.
Lokasi penelitian di perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010.............
15
5.
Lokasi penelitian di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010.......................................................................................................... 16
6.
Nilai pH di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010............................................................................ 21
7.
Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010....................................................................
22
8.
Konsenrasi total alkalinitas di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari..................................................................... 23
9.
Tekanan parsial CO 2 di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari............................................................................... 24
10. Distribusi nilai pH di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010............
25
11. Distribusi konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010 25 12. Distrbusi Total Alkalinitas di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010......................................................................................................... 26 13. Distribusi tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010.......................................................................................................... 27 14. Laju fotosintesis (GPP), respirasi, dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Selat Nasik, April 2010. [A=pagi (6:35–8:15), B=siang (12:00–13:25)].......................................................................................... 28 15. Laju fotosintesis (GPP), respirasi dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Estuari Donan, Cilacap, Juni 2010............................................. 28
xv
16. Fluks CO 2 di perairan Selat Nasik, April 2010........................................ 17. Fluks CO 2 di perairan 2010..........................
Estuari
Donan
Cilacap,
30
Juni 31
18. Skema siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari...................................... 32 19. Skema siklus karbon pada Stasiun 2 (perairan sekitar terumbu karang) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari....................... 34 20. Skema siklus karbon pada Stasiun 3 (perairan laut) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari............................................. 36 21. Skema siklus karbon di perairan Estuari Donan. FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari...................... 38
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Paramater fisika-kimia dan sistem CO 2 di perairan Selat Nasik.............
46
2. Data produktivitas primer perairan Selat Nasik......................................
47
3. Paramater fisika-kimia dan sistem CO 2 di perairan Estuari Donan........
47
4. Data produktivitas primer perairan Estuari Donan..................................
48
xvii
1
1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Pemanasan global merupakan isu yang paling banyak mendapat perhatian
akhir-akhir ini. Gas rumah kaca diantaranya, CO 2 , CH 4 , dan N 2 O merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (IPCC 2001). Hal ini diyakini bahwa dengan meningkatnya kadar gas-gas rumah kaca di atmosfir bumi menyebabkan kenaikan suhu global serta perubahan pola curah hujan (IPCC 2007). CO 2 sebagai gas rumah kaca utama mendapat perhatian yang lebih besar di seluruh dunia, karena keterlibatannya dalam siklus biogeokimia wilayah pesisir dan laut terbuka (Takahashi et al., 2002; Borges, 2005; Borges et al., 2005). Perairan wilayah pesisir memainkan peranan utama dalam siklus biogeokimia di laut meskipun hanya mempunyai luas <7% luas lautan dunia dan mempunyai volume <0,5% volume lautan global (Gattuso et al., 1998). Hal ini disebabkan oleh perairan pesisir mempunyai laju produksi primer baru secara signifikan lebih tinggi daripada di lautan terbuka akibat besarnya pasokan nutrien dari sungai dan proses upwelling, dan tingginya proses dekomposisi material organik (Chen dan Borges, 2009). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perairan pesisir, khususnya perairan sekitar mangrove dan estuari merupakan net source CO 2 ke atmosfir (Chen dan Borges, 2009), demikian juga dengan perairan sekitar terumbu karang (Gattuso et al., 1996). Beberapa peneliti lainnya menyatakan bahwa perairan pesisir di daerah temperate dan lintang tinggi berperan sebagai sink CO 2 dari atmosfir, sedangkan perairan pesisir di daerah subtropis dan tropis berperan sebagai source CO 2 ke atmosfir (Cai et al., 2003; Wang and Cai, 2004; Borges, 2005). Namun penelitian lainnya juga mencatat ada perairan pesisir di daerah tropis yang berperan sebagai sink CO 2 dari atmosfir, seperti yang ditunjukkan oleh Cai et al. (2003) bahwa muara sungai Mississippi adalah sink CO 2 dari atmosfir dan begitu juga dengan muara sungai Amazone (Ternon et al. 2000). Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem perairan pesisir memainkan peranan yang penting dalam menentukan apakah perairan laut berperan sebagai source atau sink CO 2 . Namun, data tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ) yang tersedia di perairan pesisir
2
terutama di perairan Indonesia masih langka, dan masih banyak dibutuhkan untuk menilai secara kuantitatif peran laut dan pesisir dalam siklus karbon global. 1.2. Pendekatan Masalah Skema pendekatan masalah ditampilkan dalam Gambar 1. Pertukaran CO 2 antara atmosfir dan laut, yang diatur oleh proses-proses fisik dan biologis tidak terdistribusi secara merata terhadap ruang dan waktu, sehingga perbedaan kharakteristik pada ekosistem perairan pesisir dan laut yang menyebabkan faktorfaktor yang mengontrol fluks CO 2 udara-laut pada masing-masing ekosistem (perairan sekitar mangrove, perairan sekitar terumbu karang, laut peisisr dan estuari) juga berbeda. Perairan sekitar mangrove dan estuari dicirikan oleh tingginya pasokan karbon organik baik yang berasal dari sungai maupun dari ekosistem mangrove yang akan menyumbang CO 2 ke kolom perairan melalui proses dekomposisi, sedangkan penyerapan CO 2 dilakukan oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Perairan sekitar terumbu karang dicirikan oleh adanya proses kalsifikasi yang menyumbang CO 2 ke dalam kolom perairan, sedangkan penyerapan CO 2 melalui proses fotosintesis dilakukan oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga. Di perairan laut, fitoplakton memegang peranan utama dalam penyerapan CO 2 . Perbedaan dari proses-proses yang mempengaruhi siklus karbon tersebut akan menyebabkan perubahan pada sistem karbonat laut yang dapat dilihat dari 4 parameter yaitu pH, Dissolved Inorganic Carbon (DIC), total alkalinitas (TA) dan tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ). Empat parameter yang saling mempengaruhi tersebut akan menentukan fluks CO 2 udara-laut di perairan pesisir.
3
PERAIRAN EKOSISTEM PESISIR
Perairan sekitar Mangrove
- Produktivitas Primer - Pasokan karbon organik dari serasah mangrove
Perairan sekitar Terumbu karang
- Produktivitas Primer - Kalsifikasi
Perairan Laut pesisir
- Produktivitas Primer
Perairan estuari
- Produktivitas Primer - Pasokan karbon organik dari sungai
Sistem Karbonat Laut (pH, DIC, TA, pCO2)
Fluks CO2 Gambar 1. Skema pendekatan masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengkaji fluks CO 2 udara–laut di perairan Selat Nasik Belitung dan perairan Estuari Donan Cilacap. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu
pengetahuan kelautan di Indonesia, khususnya mengenai peranan perairan pesisir tropis dalam mengontrol fluks CO 2 .
4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem karbonat laut Karbon dioksida (CO 2 ) termasuk gas yang reaktif dan banyak terdapat dalam air laut. Keberadaan karbon dioksida di laut pada umumnya berasal dari udara melalui proses difusi, aktivitas metabolisme dari organisme laut terutama respirasi dan hasil penguraian zat organik oleh mikroorganisme. Total jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfir, dan pertukaran karbon laut dan atmosfir terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun (IPCC, 2001). Karbon dioksida yang terlarut di dalam air laut ditemukan dalam tiga bentuk anorganik yang berbeda, yaitu CO 2 bebas (≈0,5%) , bikarbonat (86,5%) dan ion karbonat (13%), penjumlahan dari ketiganya disebut sebagai dissolved inorganic carbon atau yang dikenal dengan DIC atau ƩCO
2
(Zeebe and Wolf-
Gladrow, 2001). Dalam berbagai literatur DIC juga disimbolkan dengan TCO 2 dan C T (Dickson et al. 2007). Persamaannya adalah sebagai berikut: DIC ≡ ƩCO 2 ≡ C T = [CO 2 ] + [HCO 3 -] + [CO 3 2-]............................................... (1) Selanjutnya menurut Zeebe and Wolf-Gladrow (2001), di dalam air laut, CO 2 berpartisipasi dalam reaksi kesetimbangan yang dikenal sebagai sistem karbonat. Keseimbangan antara CO 2 terlarut, bikarbonat, ion karbonat, dan ion H+ memberikan suatu sistem pengaturan pH di laut. Reaksi keseimbangan ini dapat ditulis sebagai berikut: CO 2 + H 2 O
H 2 CO 3
HCO 3 - + H+
CO 3 = + 2H+...... (2)
Arah reaksi keseimbangan ini sangat tergantung pada pH air laut sehingga nilai pH dapat mengendalikan konsentrasi dan proporsi relatif dari spesies karbonat di laut, namun sebaliknya sistem karbonat adalah buffer alami untuk pH air laut. Apabila pH air laut turun maka reaksi keseimbangan akan bergeser kearah kiri yang menyebabkan karbonat dan bikarbonat akan terurai menjadi CO 2 . Sebaliknya bila pH air laut naik maka reaksi keseimbangan bergeser kekanan dan bikarbonat dan karbonat banyak terbentuk (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001).
5
Persamaan dalam sistem karbonat melibatkan enam variabel yaitu [CO 2 ], -
[HCO 3 ], [CO 3 2-], [H+], DIC, dan Alkalinitas karbonat, ketika dua dari enam variabel diketahui, maka semua komponen lainnya dapat dihitung (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001; Dickson et al. 2007). Variabel yang cukup penting dalam sistem karbonat adalah total alkalinitas (TA) yang berkaitan erat dengan keseimbangan muatan dalam air laut. Dickson (1981) dalam Dickson et al. (2007) mendefinisikan TA sebagai "jumlah mol ion hidrogen yang setara dengan kelebihan akseptor proton (basa yang terbentuk dari asam lemah dengan konstanta disosiasi (K) ≤ 10 - 4,5 pada suhu 25°C) atas donor proton (asam dengan K > 10 4,5) dalam 1 kilogram sampel. Persamaannya adalah sebagai berikut: TA = [HCO 3 -] + 2[CO 3 2-] + [B(OH) 4 -] + [OH-] + [HPO 4 2-] + 2[PO 4 3-] + [SiO(OH) 3 -] + [NH 3 ] + [HS-] – [H+] – [HSO 4 -] – [HF] – [H 3 PO 4 ]........... (3) Sistem karbonat di laut di pengaruhi oleh proses-proses metabolisme organisme seperti fotosintesis, respirasi, kalsifikasi dan dekomposisi, dimana perubahan pada sistem karbonat tersebut paling baik digambarkan oleh perubahan konsentrasi DIC dan TA (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Proses fotosintesis akan mengurangi konsentrasi DIC. Selanjutnya pembentukan CaCO 3 dalam proses kalsifikasi menyebabkan turunnya konsentrasi DIC dan TA. Untuk setiap mol CaCO 3 yang terbentuk atau diendapkan dari satu mol karbon dan satu mol ion positif Ca2+ akan mengarah kepada penurunan DIC dan TA dengan rasio 1:2. Hasil dari berbagai proses tersebut juga akan mempengaruhi spesies karbonat dan pH air laut. Disamping proses-proses metabolisme, sistem karbonat dalam air laut juga dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan tekanan dimana suhu, salinitas dan tekanan akan mempengaruhi nilai konstanta kesetimbangan (pK) (Zeebe and WolfGladrow, 2001). Perubahan dari nilai pK menyebabkan perubahan dalam proporsi relatif CO 2 , HCO 3 -, dan CO 3 2-. Sebagai contoh dari nilai referensi pK pada suhu (T) = 25oC, Salinitas (S) = 35 psu, dan tekanan (p) = 1 atm, ketika diturunkan suhu dan salinitas pada T = 0 dan S = 0 akan menghasilkan peningkatan nilai-nilai pK. Air laut pada S = 35 dan air tawar pada S = 0 pada pH dan temperatur yang sama, mempunyai proporsi relatif dari ion [CO 3 2-] dibandingkan dengan [CO 2 ] dan [HCO 3 -] lebih tinggi di air laut daripada di air tawar.
6
Contoh lain ketergantungan sistem karbonat terhadap suhu dan tekanan adalah air yang didinginkan dari suhu 25 sampai 0oC dan kemudian tenggelam dari permukaan (S = 35, dan p = 1 atm) ke laut dalam (S = 35 dan p = 300 atm pada kedalaman 3 km). Dalam contoh ini hanya ada hipotetis abiotik, karena proses biologis seperti produksi primer dan kalsifikasi yang merubah DIC dan TA di laut diabaikan. Penurunan suhu dari 25 sampai 0oC menyebabkan peningkatan besar dalam nilai-nilai pK, sedangkan perubahan tekanan dari 1 sampai 300 atm hanya menyebabkan peningkatan nilai pK yang kecil. 2.2 Siklus karbon dan pertukaran CO 2 udara-laut 2.2.1 Laut global Siklus karbon global ditampilkan dalam Gambar 2. Konsentrasi CO 2 di atmosfer saat ini telah meningkat lebih dari 30% semenjak awal periode industri di akhir abad ke 18 yaitu 280 ppm menjadi 365 ppm yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan (Sarmiento and Gruber, 2002). Pelepasan dan penyerapan CO 2 diyakini telah berada dalam kesetimbangan di masa praindustri. Sejak revolusi industri, penambahan emisi antropogenik secara dramatis telah mengakibatkan laut menjadi penyerap bersih (net sink) bagi CO 2 atmosfir (Feely et al., 2001). Sarmiento dan Gruber (2002) mengemukakan bahwa sekitar 5,4 PgC/th (petagram karbon per tahun) dilepaskan ke atmosfir sebagai hasil dari pembakaran bahan bakar fosil, sedangkan perubahan penggunaan lahan menyumbang 1,7 PgC/th. Sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi atmosfirik ini, gradien tekanan parsial antara atmosfir dan laut mengalami perubahan. Hal ini telah mengakibatkan penenggelaman alami (natural sinks) menjadi sedikit lebih kuat dan sumber (sources) menjadi sedikit lebih lemah. Akibatnya penyerapan CO 2 bersih oleh laut telah meningkat sekitar 1,9 PgC/th (Sarmiento and Gruber, 2002) yaitu sekitar sepertiga dari emisi total karbon antropogenik.
7
Atmosfir 590 +161 5,4
Bahan bakar fosil 3700 -220
59,6
60
1,9 1,7 Sink perubahan daratan lahan
Vegetasi, tanah dan detritus 2300 +65 -124 fluks dari sungai `0,8
70,6 70
21,9
20
Permukaan laut 900 +18 90,2
101
50 39
Biota laut 3
1,6 11
Termoklin & laut dalam 37 100 +100 0,2 Permukaan sedimen 150 Gambar 2. Siklus karbon global. Panah menunjukkan fluks (dalam PgC/th) antara atmosfir dan darat, dan atmosfir dan laut. Angka dalam kotak menunjukkan stok (PgC). Panah hitam = fluks alami; Panah merah = fluks antropogenik (Sarmiento and Gruber, 2002).
8
Fluks CO 2 udara-laut global merupakan fungsi terintegrasi dari pompa daya larut dan penyerapan biologis, proses-proses yang telah berjalan selama ribuan tahun (Hasell and Carlson, 2001). Kedua proses ini bertindak meningkatkan konsentrasi CO 2 di dalam interior laut. Pompa fisis dibangkitkan oleh sirkulasi balik laut yang lamban dan lebih mudah terlarutnya CO 2 di air dingin daripada di air hangat. Massa air yang dingin dan rapat (dense) di laut lintang tinggi, terutama di Atlantik Utara dan Laut Selatan (Southern Ocean), menyerap CO 2 atmosfirik sebelum tenggelam (sink) ke interior laut. Air yang tenggelam ini akan diimbangi oleh transpor vertikal (upwelling) di bagian laut lainnya. Air yang naik ke atas ini akan menjadi hangat ketika mencapai permukaan sehingga CO 2 menjadi kurang dapat larut dan sebagian diantaranya akan terlepas kembali ke atmosfir (melalui sebuah proses yang disebut pelepasgasan atau outgassing). CO2
CO2 Vertikal Upwelling
Pembentukan air dalam
CO2 Gambar 3. Skema pompa fisis dan sirkulasi termohalin yang membawa CO 2 , yang menggambarkan interkoneksi perairan laut dunia (Hansell and Carlson, 2001). Proses biologi yang ikut memandu distribusi regional dan musiman dari fluks CO 2 adalah produksi primer kotor (GPP) oleh fitoplankton laut yang telah diperkirakan oleh Sarmiento and Gruber (2002) sebesar 50 PgC/th. Sebagiannya (39 PgC/th) dikembalikan ke DIC melalui respirasi autotrofik, dan sisanya menjadi produksi primer bersih yang diperkirakan sekitar 11 PgC/th (Sarmiento
9
and Gruber, 2002). Hasil karbon organik kemudian dikonsumsi oleh zooplankton atau menjadi detritus. Beberapa karbon organik dilepaskan dalam bentuk terlarut (DOC) dan oksidasi oleh bakteri dengan produksi DOC bersih yang masuk ke reservoir samudera. Penenggelaman partikel organik karbon (POC) yang terdiri dari organisme yang telah mati dan detritus bersama-sama dengan transfer vertikal DOC menciptakan suatu fluks karbon organik yang mengarah ke bawah dari permukaan samudera yang dikenal sebagai "produksi ekspor". Perkiraan untuk produksi ekspor global berkisar antara 10-20 PgC/th (Falkowski et al., 1998). Hanya sebagian kecil (±0,2 PgC/th) produksi ekspor yang mengendap pada sedimen (Sarmiento and Gruber, 2002). 2.2.2 Perairan Pesisir Perairan pesisir didefinisikan sebagai wilayah yang membentang dari pantai ke landas kontinen, termasuk lereng benua dan inner estuari, sisa masa perairan laut disebut sebagai laut terbuka (Borges, 2005). Komponen perairan pesisir terdiri dari 6 ekosistem pesisir utama yaitu perairan estuari, mangrove, salt marsh, terumbu karang, sistem upwelling, dan continental shelf. Perairan pesisir merupakan daerah yang mempunyai siklus biogeokimia paling aktif di biosfer karena menerima masukan bahan organik dan nutrien yang besar dari daratan, dan adanya pertukaran materi dan energi dalam jumlah yang besar dengan laut terbuka (Gattuso et al 1998). Perairan pesisir menyumbang sekitar 20% dari total produksi bahan organik samudera, 90% dari total sedimen laut, dan menyumbang 30% dan 50% dari total produksi dan akumulasi partikel karbon anorganik (Gattuso et al., 1998; Wollast, 1998). Penelitian mengenai siklus CO 2 di perairan pesisir yang dilakukan oleh Tsunogai et al. (1999) di Timur Laut Cina menunjukkan bahwa perairan pesisir adalah sink CO 2 dari atmosfir yaitu sekitar 2,92 molC/m2/th, jika diekstrapolasi ke luas pesisir dunia menghasilkan sink untuk CO 2 atmosfir sebesar 0,95 PgC/th. Hal ini didorong oleh pendinginan perairan lapisan permukaan yang menjadi lebih rapat (dense) sehingga menyebabkan peningkatan penyerapan CO 2 bersama-sama dengan produksi primer yang tinggi. Jika fluks CO 2 perairan pesisir yang dirumuskan oleh Tsunogai et al. (1999) dikonfirmasi di seluruh dunia, maka kemampuan laut global dalam menyerap CO 2 akan meningkat 61% dari
10
penyerapan CO 2 oleh samudera yang diperkirakan 1,6 Pg C/th (Takahashi et al. 2002). Chen (2004) mengemukakan bahwa secara umum perairan pesisir cenderung untuk menyerap CO 2 pada musim dingin, sebagai konsekuensi dinginnya air permukaan dan dari proses biologi. Pada musim panas dan musim gugur, proses pemanasan menyebabkan proses respirasi dan dekomposisi organisme laut melepaskan kembali CO 2 ke atmosfir, demikian juga dengan bakteri yang terlibat dalam proses produksi CH 4 (gas metan) serta dalam produksi biologis dimetil sulfida (DMS) juga melepas gas rumah kaca ke atmosfir. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa perairan pesisir adalah source CO 2 ke atmosfir (Ver et al. 1999). Hal ini didasarkan pada ketidakseimbangan antara angkutan sungai total sekitar 0,4 PgC/th dengan karbon organik yang terkubur di dasar perairan sekitar 0,14 PgC/th, jadi ada perbedaan 0,26 PgC/th yang mungkin dikembalikan ke atmosfir. Selanjutnya Fasham et al. (2001) melaporkan bahwa perairan pesisir adalah source CO 2 ke atmosfir, dimana fluks CO 2 udara laut sekitar 0,5 PgC/th. Mackenzie et al. (2000) menyatakan bahwa sebelum kegiatan antropogenik, perairan pesisir global adalah sistem autotrofik bersih dengan ekspor bersih dari karbon organik ke sedimen laut terbuka adalah 20 TmolC/th. Namun, hasil penelitian mereka berikutnya menyimpulkan bahwa meskipun zona pesisir yang dekat dengan daratan adalah source CO 2 (8,4 x 1012 molC/th), zona pesisir yang jauh dari daratan adalah sink CO 2 (28,4 x 1012 molC/th). Akibatnya perairan pesisir ditemukan sebagai net sink CO 2 sekitar 20 x 1012 molC/th (0,24 PgC/th). Penelitian dari Global Ocean Flux Study (JGOFS) menunjukkan bahwa perairan pesisir adalah sink CO 2 (Chen et al., 2003.). Sintesis Ini mencerminkan beberapa perkembangan terakhir yang menunjukkan bahwa rata-rata global produksi baru fitoplankton di perairan pesisir adalah 0,78 PgC/th partikulat karbon
organik
(POC)
dan
0,25
PgC/th
partikulat
karbon
anorganik
(PIC). Produksi baru ini hanya 13 persen dari tingkat rata-rata produksi primer pada daerah upwelling. Meskipun produktivitas bersih cukup tinggi di perairan pesisir global, hanya sekitar 0,2 PgC/th dari PIC dan jumlah yang sama dari POC dari total produksi (0,48 PgC/th PIC dan 6,2 PgC/th POC) yang terkubur dan
11
disimpan pada dasar perairan (Chen et al., 2003). Studi terbaru berdasarkan pengukuran C13, C14 dan N15 menunjukkan bahwa sebagian besar dari transportasi material organik ke perairan pesisir berasal dari daratan (Chen et al., 2003). Transportasi bersih DOC ke perairan pesisir adalah 0,60 PgC/th, dimana 0,32 PgC/th berasal dari darat, 0,28 PgC/th sisanya diproduksi di perairan pesisir dan mewakili 35 persen dari produksi karbon organik baru, atau 27 persen dari total produksi karbon baru (Cai et al., 2003). 2.2.2.1 Perairan Estuari Cameron dan Pritchard (1963) mendefinisikan perairan estuari sebagai suatu badan perairan yang semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut terbuka, dan di mana air laut diencerkan oleh air tawar yang berasal dari daratan. Batas hulu dari perairan estuari adalah batas pengaruh pasang surut (sungai pasang surut), di mana arus air dan proses sedimentasi menjadi sangat berbeda dibandingkan sungai, batas bawah dari perairan estuari adalah batas geografis pantai sesuai dengan mulut sungai. Perairan estuari mempunyai keragaman yang besar dalam hal geomorfologi, geokimia dan luas permukaan daerah aliran sungai, debit air tawar, dan pengaruh pasang surut, sehingga sangat mempengaruhi siklus biogeokimia karbon dan nutrien, stratifikasi vertikal, dan waktu tinggal air tawar (Borges 2005). Perairan estuari menerima bahan terlarut dan partikulat dalam jumlah besar, terutama karbon organik dan anorganik, dan nutrien yang dibawa oleh-sungai. Ini adalah sistem yang sangat dinamis yang dicirikan oleh gradien kuat dari senyawa biogeokimia, proses produksi dan degradasi bahan organik yang tinggi, dan adanya proses sedimentasi dan resuspensi yang intensif (Borges 2005). Perairan estuari adalah sistem heterotrofik bersih (source CO 2 ), dimana jumlah respirasi oleh autotrof dan heterotrof di kedua kompartemen bentik dan pelagis melebihi produksi primer kotor (GPP), dan produksi ekosistem bersih (NEP) kecil dari nol (Borges 2005). Fluks CO 2 udara laut di perairan estuari dikontrol oleh pasokan DIC, tingkat metabolisme ekosistem, stratifikasi kolom air dan waktu tinggal massa air tawar (Borges, 2005). Disamping itu emisi CO 2 ke atmosfir juga sangat dipengaruhi oleh kecepatan transfer gas (Borges et al., 2004). Perairan estuari dicirikan oleh gradien spasial yang kuat dan variabilitas musiman
12
yang berkaitan dengan perbedaan dalam kontribusi relatif kecepatan transfer gas terhadap turbulensi antarmuka perairan, kecepatan angin, arus air, dan topografi (Borges et al., 2004) Berdasarkan hasil review dari Borges (2005) menunjukkan bahwa hampir semua perairan estuari adalah sumber bersih CO 2 ke atmosfir. Di antara perairan estuari di Eropa, Scheldt dan Randers Fjord berada di batas tinggi dan rendah untuk fluks CO 2 udara-laut. Estuari Randers Fjord adalah tipe estuari microtidal yang dicirikan oleh stratifikasi permanen yang kuat, sedangkan estuari Scheldt adalah estuari macrotidal yang ditandai oleh kolom air tercampur permanen. Meskipun secara keseluruhan Randers Fjord adalah sistem heterotrofik bersih, lapisan tercampur adalah autotrofik bersih sedangkan lapisan bawah adalah sangat heterotrofik. Emisi CO 2 dari estuari Scheldt hampir 15 kali lebih tinggi dibanding Randers Fjord, meskipun NEP nya hanya 2 kali lebih rendah di Scheldt dibanding estuari Randers Fjord. Hal ini berhubungan dengan tingginya produksi bahan organik pada lapisan tercampur dan degradasi di lapisan bawah. Dengan cara ini CO 2 hasil degradasi tidak langsung kembali ke atmosfir. Disamping itu lamanya waktu tinggal air tawar di estuari Scheldt (30-90 hari) dibanding estuari Randers Fjord (5-10 hari) menyebabkan pengayaan DIC di perairan estuari Scheldt lebih intensif. 2.2.2.2 Perairan Sekitar Mangrove Ekosistem mangrove, meskipun hampir keseluruhan ekosistem (di atas permukaan tanah) adalah autotrofik bersih dan sink untuk CO 2 atmosfir karena fiksasi karbon yang besar sebagai biomassa tanaman, perairan di sekitarnya merupakan sumber signifikan CO 2 ke atmosfir (Borges, 2005; Kone and Borges, 2008). Sedimen dan kolom air dapat menerima masukan bahan organik yang tinggi, baik secara langsung sebagai serasah daun dan kayu maupun tidak langsung sebagai karbon organik terlarut yang mengakibatkan status metabolisme adalah heterotrofik dan secara signifikan melepas CO 2 ke atmosfir (Borges et al., 2003; Borges, 2005). Potensi signifikan dari mineralisasi dan dekomposisi material organik di perairan sekitar mangrove baru-baru ini mendapat perhatian karena perairan tersebut menunjukkan tingkat kejenuhan yang tinggi terhadap CO 2 (Borges et al., 2003; Bouillon et al., 2003; 2007). Selanjutnya Borges
13
(2005) mengemukakan bahwa disamping proses dekomposisi material organik, dinamika DIC di perairan sekitar mangrove juga dipengaruhi oleh air poros dalam sedimen yang kaya dengan DIC, TA dan CO 2 dan miskin oksigen yang dipompa oleh arus pasang surut. Fluks CO 2 udara-laut pada ekosistem mangrove global telah diperkirakan oleh Jennerjahn dan Ittekkot (2002). Jika ekspor bahan organik dari sistem perairan yang berdekatan dimasukkan maka fluks CO 2 udara laut di perairan sekitar mangrove adalah 18,7 molC/m2/th. Jika ekspor bahan organik dengan sistem perairan yang berdekatan tidak dimasukkan maka fluksnya akan berkurang sekitar 50% (9,8 molC/m2/th). Dalam perhitungan ini diasumsikan bahwa fluks CO 2 udara-laut hanya berhubungan dengan degradasi bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove, sedangkan pasokan karbon dari tempat lain seperti ekspor DIC dari sistem perairan yang berdekatan, emisi CO 2 dari sedimen, dan masukan allochthonous tidak diperhitungkan. 2.2.2.3 Perairan Sekitar Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis dan sub tropis yang terdiri dari struktur karbonat yang didominasi oleh karang Scleractinia dan mikroalga (Borges, 2005). Ekosistem terumbu karang mewakili sekitar 2% dari luas permukaan continental shelf dan menyumbang sekitar 83% dan 50% dari produksi dan akumulasi partikel karbon anorganik ekosistem pesisir (Milliman, 1993). Terumbu karang berkembang pada tingkat kekeruhan rendah, perairan yang oligotrofik dengan suhu tahunan minimum 18oC dan mempunyai tingkat metabolisme karbon organik dan kalsifikasi yang tinggi (Gattuso et al., 1998). Meskipun perairan terumbu karang mempunyai laju fotosintesis dan respirasi yang tinggi, produksi ekosistem bersih di perairan tersebut mendekati nol (Gattuso et al., 1998). Proses kalsifikasi dan fotosintesis merupakan proses utama yang mempengaruhi siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang. Fiksasi CO 2 oleh produksi ekosistem bersih (NEP) biasanya rendah tetapi tingkat kalsifikasi tinggi sehingga menyebabkan proses kalsifikasi melepas CO 2 ke perairan sekitarnya, sebagaimana dalam persamaan berikut: Ca2+ + 2HCO 3 -
CaCO 3 + CO 2 + H 2 O..................................................... (4)
14
Konsentrasi CO 2 meningkat sebesar 0,6 mol untuk setiap pengendapan 1 mol kalsium karbonat (CaCO 3 ) dalam standar air laut (salinitas=35, suhu=25, TA=2370 µmol/kg, pCO 2 =365 ppm) (Gattuso et al., 1999). Rasio antara produksi CO 2 dengan presipitasi CaCO 3 pada umumnya tergantung pada keseimbangan termodinamika khususnya suhu dan salinitas (Ware et al., 1992; Frankignoulle et al., 1994). Berdasarkan perkiraan global dari kalsifikasi bersih dan NEP, Ware et al. (1992) menghitung potensi pelepasan CO 2 ke perairan sekitarnya dari kesetimbangan metabolisme organik dan kalsifikasi berkisar antara 3-11,3 mmolC/m2/th. Fluks CO 2 udara laut di perairan sekitar terumbu karang sangat tergantung pada waktu tinggal massa air, bentuk geomorfologi terumbu karang (karang tepi, penghalang, atau sistem terumbu karang atol) dan pola arus air laut di perairan sekitarnya. Di samping proses metabolisme yang terjadi dalam sistem terumbu karang dan waktu tinggal dari massa air, fluks CO 2 udara-laut juga dimodulasi oleh ΔpCO 2 air laut yang masuk. Pada skala tahunan, perairan laut tropis dan subtropis merupakan source CO 2 (0,35 mol C/m2/th, ΔpCO 2 = 11 ppm, Takahashi et al., 2002). Berdasarkan perbedaan pCO 2 antara perairan samudera dan terumbu yang disusun oleh Suzuki dan Kawahata (2003) di 9 sistem terumbu dan menambahkan data dari Bates (2002) di Hog Reef dapat diperkirakan bahwa air laut yang masuk ke perairan terumbu karang diperkaya rata-rata sebesar 12 ppm selama transit melalui sistem terumbu karang. Borges (2005) memperkirakan emisi CO 2 global dari sistem terumbu karang sekitar 0,73 molC/m2/th.
15
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian telah dilakukan di perairan Selat Nasik Kabupaten Belitung pada bulan April 2010 dan di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni 2010. Gambar lokasi penelitian dapt dilihat pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Lokasi penelitian di Perairan Selat Nasik, Belitung, April 2010. Di perairan Selat Nasik, pengukuran dan pengambilan sampel air laut dilakukan di 3 stasiun pada lokasi yang berbeda yaitu: Stasiun 1 pada lokasi di sekitar ekosistem mangrove, Stasiun 2 pada lokasi sekitar terumbu karang dan Stasiun 3 pada lokasi yang tidak ada pengaruh mangrove dan terumbu karang (perairan lepas pantai). Pengambilan sampel dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi (06:35–08:15) dan siang hari (12:00–13:25) untuk Stasiun 1 dan 2, sedangkan pada Stasiun 3 pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali (pagi, siang dan malam hari (19:00). Pengambilan sampel sebanyak 3 kali di perairan laut dimaksudkan untuk melihat sejauh mana peranan produktifitas primer
16
fitoplankton dalam menurunkan CO 2 dalam air laut, karena di perairan laut fitoplankton merupakan satu-satunya organisme yang menyerap CO 2 sedangkan di perairan sekitar mangrove dan terumbu karang ada organisme lain yang menyerap CO 2 diantaranya lamun, makroalga, dan zooxanthella sehingga untuk melihat peranan fitoplankton dalam penyerapan CO 2 hanya dilakukan di perairan laut. Di perairan Estuari Donan Cilacap, pengukuran dan pengambilan sampel air laut di lakukan pada 5 stasiun dari muara menuju sungai. Kelima stasiun mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu Stasiun 1 berada di depan mulut sungai yang berhadapan langsung dengan samudera Hindia, Stasiun 2 dekat ekosistem mangrove, Stasiun 3 dekat pelabuhan, Stasiun 4 dekat pertamina dan Stasiun 5 dekat lokasi budidaya.
Gambar 5. Lokasi penelitian di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010
17
3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi : 1.
Bahan kimia untuk analisis karbon, terdiri dari HgCl 2 sebagai pengawet atau untuk menghentikan aktifitas biologi, HCl dan NaOH untuk analisis alkalinitas dan DIC.
2.
Bahan kimia untuk analisis Produktifitas Primer fitoplankton terdiri dari: MnSO 4 , NaI-Azida, H 2 SO 4 dan Natrium Thiosulfat.
3.
Bahan kimia untuk analisis fosfat dan silikat: ammonium molibdate, asam sulfat, asam ascorbate, kalium antimonyl tartrat, methol sulfit dan asam oksalat.
Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian. No. 1 2 3 4 5 6 7
Nama Alat CTD Nansen water sampler pH meter CO 2 meter Light meter Cool Box Alat saring dan Vacum pump
8 9 10 11
Kertas saring CNM 0,45μm Mikro titrator Alat-alat gelas Spectrophotometer
Kegunaan Pengukuran suhu dan salinitas Pengambilan sampel air Pengukuran pH Pengukuran CO 2 atmosfir Pengukuran intensitas cahaya Untuk penyimpanan sampel air Membantu proses penyaringan sampel Untuk menyaring sampel air Untuk titrasi Pengukuran fosfat dan silikat
3.3 Prosedur penelitian 3.3.1 Sistem CO 2 Parameter sistem CO 2 yang diukur adalah DIC, pH dan alkalinitas. Pengambilan sampel dilakukan pada lapisan permukaan (0–1 meter) untuk semua stasiun dengan menggunakan Nansen water sampler. Untuk parameter sistem CO 2 (DIC, alkalinitas dan pH), sesaat setelah pengambilan sampel ditambahkan HgCl 2 pada sampel air untuk menghentikan aktivitas biologi dan sampel disimpan dalam coolbox yang selalu ditambahkan es batu agar suhu tetap rendah untuk mencegah terlepasnya CO 2 ke udara. Analisa lebih lanjut dilakukan di laboratorium.
18
3.3.2
Produktifitas primer Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan VanDorn water
sampler pada lapisan permukaan (0–1 meter). Pada waktu sampling, sampel air langsung dipindahkan ke plastic container (jerigen) 5–10 liter. Sampel kemudian dialirkan melalui ‘plankton gauze’ (mesh size 200 μm) ke dalam 2 botol terang dan 1 botol gelap. Untuk menentukan kandungan O 2 pada permulaan inkubasi dilakukan dengan metode titrasi Winkler. Pada saat yang bersamaan, 1 botol terang + 1 botol gelap diinkubasi di bawah sinar matahari selama ±4 jam. Proses inkubasi dilakukan dengan cara menggantungkan botol pada pelampung sehingga botol terendam pada lapisan permukaan. Setelah inkubasi, konsentrasi oksigen yang terdapat dalam botol gelap dan botol terang tersebut diukur kembali dengan metode titrasi Winkler. 3.4 Analisis data 3.4.1 Sistem CO 2 Sistem CO 2 di perairan dapat dikaji melalui empat parameter yang dapat diukur, yaitu DIC, total alkalinitas (TA), pH dan pCO 2 (tekanan parsial CO 2 ) (Lewis dan Wallace, 1997). Pada studi ini DIC diukur menggunakan metode “Titrasi” (Giggenbach & Goguel, 1989), dengan prinsip mendasarkan pada perubahan pH setelah ditambahkan HCl dan NaOH. DIC didapatkan dari penjumlahan HCO 3 - dan CO 3 2- dalam satuan μmol/kg. ................................... (5)
........................... (6) Keterangan: A dan B
= Volume HCl yang digunakan untuk menurunkan pH.
C dan D
= Volume NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH.
Vs
= Volume sampel air laut yang dianalisa
Hasil pengukuran DIC dengan metode ini kemudian dikoreksi dengan hasil pengukuran certified sample/Certified Refference Material (RCM) dari Marine Physical Laboratory, University of California, San Diego.
19
Nilai RCM = 2021±0,65 µmol/kg, sedangkan hasil pengukuran RCM oleh BATAN = 1657,20 µmol/kg, jadi nilai koreksinya adalah 364,45 µmol/kg. Total Alkalinitas diukur dengan menggunakan metode “Titrasi” (Grasshoff, 1976). Prosedurnya meliputi: Kedalam 50 ml sampel air laut ditambahkan 5 ml HCl 0,025 M dan dididihkan selama ±5 menit, kemudian didinginkan dalam water bath. Setelah dingin kedalam sampel ditambahkan 3–5 tetes bromothymol blue sebagai indikator, kemudian sampel dititrasi dengan NaOH 0,02 M, selama titrasi kedalam sampel dialirkan gas bebas CO2 (Nitrogen atau Helium). Proses titrasi dihentikan setelah sampel bewarna biru, dan volume NaOH yang terpakai dicatat dan dimasukkan kedalam rumus berikut: ..................................... (7) Keterangan: V
= Volume HCl dan NaOH
t
= Molaritas HCl dan NaOH
Vb
= Volume sampel
Tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ) kolom air dihitung dengan menggunakan Model OCMIP (Ocean Carbon Cycle Model Intercomparison Project) yang dikembangkan oleh Orr et al. (1999). Parameter yang digunakan dalam model ini adalah: suhu, salinitas, kisaran pH, pH insitu, DIC, alkalinitas, fosfat dan silikat. pCO 2 atmosfir diukur pada waktu pengambilan sampel dengan menggunakan CO 2 meter. 3.4.2
Pertukaran CO 2 udara-laut Secara umum fluks atau pertukaran aliran gas CO 2 antara udara dan laut
dihitung dengan menggunakan rumus berikut: Fluks CO 2
= K. α. Δ pCO 2 air–atm
ΔpCO2
= pCO 2 air -pCO 2 atm
............................................................. (8) ................................................................. (9)
Keterangan: K
= kecepatan transfer gas (fungsi dari kecepatan angin)
α
= koefisien daya larut (fungsi dari suhu dan salinitas)
20
ΔpCO 2air–atm = perbedaan (selisih) antara tekanan parsial CO 2 permukaan air dengan atmosfir Berdasarkan nilai pCO 2 laut dan atmosfir dapat ditentukan apakah suatu perairan penyerap (sink) atau pelepas (source) CO 2 . Suatu perairan berperan sebagai ‘source’ atau pelepas CO 2 ke udara/atmosfir jika nilai pCO 2 -nya lebih tinggi dari nilai atmosfir (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO 2 dari air ke atmosfir. Sebaliknya berperan sebagai penyerap/‘sink’ CO 2 dari atmosfir jika nilai pCO 2air -nya lebih rendah dari pCO 2atm (nilai negatif). 3.4.3
Produktifitas Primer Pengukuran produktifitas primer dilakukan dengan menggunakan botol
gelap dan botol terang dengan metode winkler modifikasi azida (Strickland & Parsons, 1968; APHA, 1980). Laju fotosintesis dan respirasi dalam satuan mgC/l/jam dihitung dengan menggunakan rumus: LB (ppmO 2 ) – DB (ppmO 2 ) GPP (mgC/l/jam) = 0,375
........................... (10) N x PQ LB (ppmO 2 ) – IB (ppmO 2 )
NPP (mgC/l/jam) = 0,375
.......................... (11) N x PQ IB (ppmO 2 ) – DB (ppmO 2 )
Respirasi (mgC/l/jam) = 0,375
RQ ................. (12) N
Keterangan: GPP = Produksi Primer Kotor NPP = Produksi Primer Bersih 0,375 = faktor konversi dari oksigen ke karbon LB
= Botol terang (Light bottle), Kandungan O 2 pada botol terang setelah inkubasi
DB
= Botol gelap (Dark bottle), Kandungan O 2 pada botol gelap setelah inkubasi
IB
= Kandungan O 2 awal sebelum inkubasi
PQ
= Photosynthesis Quotient (1,2)
21
RQ
= Respiration Quotient (1)
N
= Lama inkubasi (4 jam)
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sistem CO 2 4.1.1 Selat Nasik Parameter sistem CO 2 yang diukur terdiri dari pH, DIC, total alkalinitas dan tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ). Gambar 6 menunjukkan nilai pH pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. pH merupakan parameter penting dalam sistem CO 2 karena sangat mempengaruhi keseimbangan karbonat dalam laut. Nilai pH yang rendah akan menggeser keseimbangan ke arah kiri yang menyebabkan HCO 3 - dan CO 2 bebas lebih banyak terbentuk, sebaliknya pada kondisi pH yang tinggi keseimbangan akan bergeser ke kanan sehingga ion karbonat lebih banyak terbentuk. Selanjutnya perubahan keseimbangan karbonat tersebut akan berpengaruh terhadap pCO 2 dalam air laut. 8,10 8,00
pH
7,90 7,80
6:35-8:15
7,70
12:00-13:25 19:00
7,60 7,50 1
2
3
Stasiun
Gambar 6. Nilai pH di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010 pH perairan Selat Nasik berkisar antara 7,71–8,03. Nilai pH yang tinggi ditemukan pada Stasiun 3 (perairan laut) dan rendah pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove). Variabilitas pH di wilayah studi diduga disebabkan oleh pengaruh pasang surut yang mendistribusikan massa air tawar ke arah laut. pH
22
yang tinggi cenderung ditemukan pada saat pasang dan rendah pada saat surut. Hal ini disebabkan oleh masuknya massa air laut dengan pH yang tinggi pada saat pasang sehingga perairan pesisir didominasi oleh massa air laut, sedangkan pada saat surut perairan pesisir didominasi oleh air tawar dengan pH yang rendah. Secara umum pH yang tinggi ditemukan pada pagi hari dan rendah pada siang hari. Khusus di Stasiun 3 pH yang rendah ditemukan pada malam hari. Rendahnya pH pada malam hari disebabkan oleh aktivitas organisme yang melakukan respirasi pada malam hari. Karbon dioksida yang dihasilkan dalam proses respirasi bereaksi dengan air laut menghasilkan H 2 CO 3 yang bersifat asam sehingga pH air laut menjadi turun. Gambar 7 menunjukkan konsentrasi DIC pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. Konsentrasi DIC menggambarkan total konsentrasi CO 2 dalam air laut. Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik berkisar antara 1912,15– 2119,03 µmol/kg. Secara umum konsentrasi DIC yang tinggi ditemukan pada Stasiun 1 yang dekat dengan ekosistem mangrove dan yang paling rendah pada Stasiun 2 di perairan sekitar terumbu karang. Secara umum konsentrasi DIC pada pagi hari lebih tinggi dibanding siang hari.
konsentrasi DIC (µmol/kg)
2150 2100 2050 2000 6:35-8:15
1950
12:00-13:25
1900
19:00
1850 1800 1
2
3
Stasiun
Gambar 7. Konsentrasi DIC di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari, April 2010. Gambar 8 menunjukkan konsentrasi total alkalinitas (TA) pada pagi, siang dan malam hari di perairan Selat Nasik. TA menggambarkan perbedaan muatan antara kation-kation dan anion-anion konservatif dalam air laut, sehingga TA akan
23
berubah dengan perubahan ion-ion konservatif yang bervariasi terhadap salinitas. Total alkalinitas di perairan Selat Nasik berkisar antara 2130,28–2247,28 µmol/kg. Sebaran TA di perairan selat Nasik mirip dengan sebaran pH dan salinitas, dimana secara umum total alkalinitas yang tinggi ditemukan pada Stasiun 3 dan rendah pada Stasiun 1. Hal ini disebabkan oleh alkalinitas yang cenderung bersifat basa sehingga dengan meningkatnya pH, TA juga meningkat. 2250 konsentrasi TA (µmol/kg)
2200 2150 2100 2050 6:35-8:15
2000 1950
12:00-13:25
1900
19:00
1850 1800 1
2
3
Stasiun
Gambar 8. Konsentrasi total alkalinitas di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Berdasarkan Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa pada Stasiun 2 di perairan sekitar terumbu karang, konsentrasi DIC cenderung rendah sedangkan TA relatif lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi DIC dan TA berbeda meskipun di perairan sekitar terumbu karang kedua parameter tersebut dipengaruhi oleh laju kalsifikasi (TA lebih banyak diserap dibanding DIC). Konsentrasi DIC berubah oleh perubahan CO 2 akibat keseimbangan udara dan laut atau akibat fotosintesis dan respirasi, sedangkan TA tidak berubah (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Rendahnya konsentrasi DIC di Stasiun 2 diduga karena laju fotosintesis oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga lebih dominan dibanding laju kalsifikasi.
24
tekanan parsial CO2 (µatm)
1050 900 750 600 6:35-8:15
450
12:00-13:25
300
19:00
150 0 1
2
3
Stasiun
Gambar 9. Tekanan parsial CO 2 di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Gambar 9 menunjukkan tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ) di perairan Selat Nasik pada pengamatan pagi, siang dan malam hari. Perbedaan tekanan parsial CO 2 antara kolom air dan atmosfir akan menentukan peranan perairan tersebut sebagai penyerap atau pelepas CO 2 . Tekanan parsial CO 2 kolom air di perairan Selat Nasik berkisar antara 591,80–1002,01 µatm. Nilai tekanan parsial CO 2 dalam kolom air ini lebih tinggi dibanding tekanan parsial CO 2 di udara yang berkisar antara 307–409 µatm dengan rata-rata 373,38±25,95 µatm. Distribusi tekanan parsial CO 2 dalam kolom air mirip dengan sebaran DIC yaitu cenderung lebih tinggi di Stasiun 1 dan rendah di Stasiun 2. 4.1.2 Estuari Donan Sebaran parameter sistem CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 10–13). Gambar 10 menunjukkan sebaran pH di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni 2010. Nilai pH perairan Estuari Donan Cilacap relatif lebih rendah dibanding perairan Selat Nasik yaitu berkisar antara 7,65–7,95 dengan rata-rata 7,83±0,117. pH yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat dengan laut atau mulut sungai dan semakin rendah pada stasiun bagian hulu sungai. Rendahnya nilai pH pada stasiun bagian hulu sungai berhubungan dengan rendahnya salinitas (23 psu) karena besarnya massa air tawar yang berasal dari darat.
25
7,95 7,90 7,85
pH
7,80 7,75 7,70 7,65 7,60 7,55 7,50 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 10. Distribusi nilai pH di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Gambar 11 menunjukkan sebaran konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan Cilacap pada bulan Juni 2010. Konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan berkisar antara 1842,25–1957,82 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Sebaran konsentrasi DIC berbanding terbalik dengan sebaran pH, dimana konsentrasi DIC yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat ke arah sungai dan relatif lebih rendah pada stasiun yang dekat ke arah laut. Namun pada stasiun 2 yang dekat dengan laut juga ditemukan konsentrasi DIC yang tinggi.
konsentrasi DIC (µmol/kg)
1950 1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 11. Distribusi konsentrasi DIC di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010.
26
Total alkalinitas di perairan Estuari Donan Cilacap berkisar antara 1954,27–2032,44 µmol/kg dengan rata-rata 1901,57±49,76 µmol/kg. Sebaran parsial total alkalinitas di perairan Estuari Donan mirip dengan sebaran DIC dimana total alkalinitas yang tinggi cenderung ditemukan di perairan sungai dan semakin rendah pada stasiun yang mengarah ke laut (Gambar 12). Tingginya TA dan DIC di perairan estuari yang mengarah ke sungai berhubungan dengan adanya disolusi/larutnya kalsium karbonat pada sedimen estuari yang ditandai dengan keruhnya perairan. Hal yang sama juga terjadi di perairan estuari Changjiang Cina (Zai et al. 2007)
Total Alkalinitas (µmol/kg)
2050 2000 1950 1900 1850 1800 1750 1700 1650 1600 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 12. Distribusi Total Alkalinitas di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Gambar 13 menunjukkan bahwa sebaran pCO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap juga sangat mirip dengan pola sebaran DIC, dimana pCO 2 cenderung lebih tinggi pada stasiun yang lebih dekat dengan sungai dan rendah pada stasiun yang dekat dengan laut. Tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan berkisar antara 1018,53–1152,52 µatm dengan rata-rata 1077,08±32,70 µatm. pCO 2 dalam kolom air lebih tinggi daripada pCO 2 atmosfir yang berkisar antara 340–376 µatm dengan rata-rata 358,20±15,27 µatm.
27
tekanan parsial CO2 (µatm)
1200 1000 800 600 400 200 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 13. Distribusi tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. 4.2 Produktifitas Primer 4.2.1 Selat Nasik Produktifitas primer perairan Selat Nasik cukup bervariasi antar lokasi dan waktu penelitian. Laju produksi primer kotor/fotosintesis (GPP), respirasi, dan produksi primer bersih (NPP) disajikan dalam Gambar 14. Secara umum aktifitas biologi di perairan Selat Nasik lebih tinggi pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove). Hal ini ditunjukkan oleh nilai laju fotosintesis, respirasi dan produktifitas primer bersih yang lebih tinggi pada Stasiun 1. Laju fotosintesis dan respirasi di perairan Selat Nasik masing-masing berkisar antara 0,069–0,094 mgC/m2/hari dan 0,082–0,092 mgC/m2/hari. Fitoplankton pada Stasiun 1 cenderung bersifat autotrofik (laju fotosintesis lebih tinggi daripada laju respirasi), sedangkan pada Stasiun 2 dan 3 cenderung bersifat heterotrofik (laju respirasi lebih tinggi dibanding laju fotosintesis). Secara umum laju fotosintesis dan respirasi meningkat pada siang hari.
Produktifitas primer (mgC/m2/hari)
28
(A)
0,100 0,090
0,090
0,080
0,080
0,070
0,070
0,060
0,060
0,050
0,050
0,040
0,040
0,030
0,030
0,020
0,020
0,010
0,010
0,000
0,000 1
(B)
0,100
2
GPP Respirasi NPP
3
1
Stasiun
2
3
Stasiun
Gambar 14. Laju fotosintesis (GPP), respirasi, dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Selat Nasik, April 2010. [A=pagi (6:35–8:15), B=siang (12:00–13:25)] 4.2.2 Estuari Donan Sebaran laju fotosintesis (GPP), repirasi dan produktifitas primer bersih
Produktifitas primer (mgC/m2/hari)
(NPP) di perairan Estuari Donan disajikan dalam Gambar 15. 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04
GPP
0,03
Respirasi
0,02
NPP
0,01 0 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 15. Laju fotosintesis (GPP), respirasi dan produksi primer bersih (NPP) di perairan Estuari Donan, Cilacap, Juni 2010. Sebaran produktifitas primer di perairan Estuari Donan cukup berfluktuasi. Secara umum perairan Estuari Donan bersifat autotrofik dimana laju fotosintesis lebih tinggi dibanding laju respirasi. Sebaran laju fotosintesis di perairan Estuari Donan berbanding terbalik dengan sebaran DIC dan pCO 2 . Berdasarkan Gambar
29
15 terlihat bahwa semakin ke arah laut laju fotosintesis dan respirasi semakin tinggi, namun laju fotosintesis selalu lebih tinggi dibanding laju respirasi kecuali di Stasiun 4. Perairan di Stasiun 4 cenderung bersifat heterotrofik karena laju respirasi lebih tinggi dibanding fotosintesis. Hal ini diduga karena stasiun empat mempunyai suhu yang relatif lebih tinggi (29,6oC). Suhu dapat mempengaruhi fotosintesis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh suhu secara langsung yakni untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan pengaruh secara tidak langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al. 1997). Suhu yang tinggi dapat menaikkan laju maksimum fotosintesis (P max ). Secara umum, laju fotosintesis fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu perairan, namun laju respirasi meningkat lebih cepat dibanding fotosintesis pada suhu tinggi. Laju fotosintesis dan respirasi di perairan Estuari Donan masing-masing berkisar antara 0,022–0,070 mgC/m2/hari dan 0,015–0,045 mgC/m2/hari. 4.3 Pertukaran CO 2 udara-laut 4.3.1 Selat Nasik Fluks atau pertukaran aliran gas CO 2 antara udara dan laut merupakan fungsi 2 parameter yaitu perbedaan konsentrasi CO 2 antara laut dan udara yang merupakan fungsi daya larut dan kecepatan transfer gas CO 2 di permukaan laut. Gambar 16 menunjukkan bahwa secara umum perairan Selat Nasik merupakan pelepas (source) CO 2 ke atmosfir yang ditunjukkan oleh fluks CO 2 positif. Source atau pelepasan CO 2 ke atmosfir ini disebabkan oleh tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ) dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial CO 2 di atmosfir sehingga terjadi aliran gas CO 2 dari air ke atmosfir.
30
fluks CO2 (mmol/m2/hari)
3,50 3,00 2,50 2,00 1,50
6:35-8:15
1,00
12:00-13:25
0,50
19:00
0,00 -0,50 1
2
3
Stasiun
Gambar 16. Fluks CO 2 di perairan Selat Nasik, April 2010. Emisi CO 2 di perairan Selat Nasik berkisar antara 0,96 mmolC/m2/hari atau 0,35 molC/m2/th sampai 3,19 mmolC/m2/hari atau 1,17 molC/m2/th. Secara umum emisi CO 2 yang tinggi ditemukan pada Stasiun 1 di sekitar perairan mangrove dan rendah pada Stasiun 2 di sekitar perairan terumbu karang. Tingginya fluks CO 2 di perairan sekitar mangrove disebabkan oleh tingginya konsentrasi DIC dan tekanan parsial CO 2 dalam kolom perairan dan rendahnya pH. 4.3.2 Estuari Donan Gambar 17 menunjukkan bahwa perairan Estuari Donan pada pengamatan Juni 2010 juga berperan sebagai pelepas (source) CO 2 ke atmosfir yang ditunjukkan oleh fluks CO 2 positif. Fluks CO 2 di perairan Estuari Donan tidak begitu berfluktuasi, namun cenderung lebih tinggi pada Stasiun 2 dan Stasiun 5. Stasiun 2 adalah stasiun yang berada dekat ekosistem mangrove, sedangkan stasiun 5 berada pada bagian paling hulu dari lokasi penelitian.
31
Fluks CO2 (mmol/m2/hari)
8 7 6 5 4 3 Fluks CO2
2 1 0 -1 1
2
3
4
5
Stasiun
Gambar 17. Fluks CO 2 di perairan Estuari Donan Cilacap, Juni 2010. Fluks
CO 2
mmolC/m2/hari
atau
perairan
Estuari
2,47–2,72
Donan
molC/m2/th
berkisar dengan
antara
6,76–7,72
rata-rata
7,14±0,43
mmolC/m2/hari atau 2,54±0,11 molC/m2/th. Nilai fluks CO 2 di perairan Estuari Donan ini relatif lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik. 4.4 Pembahasan 4.4.1 Selat Nasik Hasil di atas menunjukkan bahwa secara umum perairan Selat Nasik (perairan sekitar mangrove, terumbu karang dan laut) adalah source CO 2 ke atmosfir. Hasil ini menegaskan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa perairan laut dan pesisir di daerah tropis adalah source CO 2 ke atmosfir (Cai et al., 2003; Wang and Cai, 2004; Borges, 2005; Fagan and Mackenzie, 2007; Chen and Borges, 2009). Fluks CO 2 yang tinggi di perairan Selat Nasik ditemukan pada Stasiun 1 yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang disebabkan oleh tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom perairan. Tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom air di perairan sekitar mangrove, dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi DIC dan rendahnya pH dan salinitas. Tingginya konsentrasi DIC diperairan sekitar mangrove diduga disebabkan oleh pasokan karbon organik dan anorganik baik yang berasal dari ekosisitem mangrove maupun yang berasal dari luar ekosistem mangrove yang dibawa oleh arus pasang surut.
32
Gambar 18 menunjukkan siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan ekosistem mangrove ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan, karena pertukaran CO 2 udara-laut terjadi pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO 2 . Fitoplankton mengambil nutrien dan CO 2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO 2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO 2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO 2 .
(A)
CO2 atm
FCO 2 GPP + 3,19 0,094 DIC
(B)
CO2 atm
NPP 0,02 Fitoplankton
Respirasi 0,089 Dekomposisi 3,121
FCO 2 GPP +3,06 0,087 POC
DIC
NPP 0,015 Fitoplankton
POC
Respirasi 0,087 Dekomposisi 2,988
Gambar 18. Skema siklus karbon pada Stasiun 1 (perairan sekitar mangrove) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari. Siklus karbon di perairan sekitar mangrove menunjukkan bahwa dekomposisi karbon organik diperkirakan memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO 2 ke atmosfir yaitu 3,121 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 2,988 mmolC/m2/hari pada siang hari. Kemampuan fitoplankton dalam menyerap CO 2 sangat kecil yaitu 0,02 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 0,015 mmolC/m2/hari pada siang hari. Hal ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Gattuso (1998) bahwa fluks CO 2 udara-laut yang heterotrofik bersih di perairan sekitar mangrove di dorong oleh tingginya pasokan sedimen yang sebagian besarnya adalah bahan organik yang berasal dari ekosistem mangrove, sedangkan produksi primer biasanya rendah tergantung kepada geomorfologi, waktu tinggal massa air, kekeruhan, dan pasokan nutrient. Menurut Bouillon and
33
Boskher (2006), masukan karbon organik ke perairan sekitar mangrove bisa bersifat autochtonous (berasal dari perairan itu sendiri) atau allochtonous (berasal dari luar). Masukan karbon organik yang autotochtonous berupa detritus mangrove dan mikrofitobentos, sedangkan yang allochtonous berupa fitoplankton, material yang berasal dari ekosistem lamun, dan karbon organik yang berasal dari daratan. Karbon organik yang masuk ke perairan sekitar mangrove kemudian mengalami
dekomposisi
dan
remineralisasi
menjadi
karbon
anorganik.
Selanjutnya Borges et al. (2003) menyatakan bahwa pengayaan DIC di perairan sekitar mangrove juga disebabkan oleh masukan air poros yang kaya CO 2 pada saat surut. Pasang surut memompa air poros yang ada dalam sedimen yang kaya akan karbon organik (Bouillon et al. 2008). Jennerjahn dan Ittekkot (2002) memperkirakan bahwa ekosistem mangrove menyumbang >10% dari total karbon organik sungai yang masuk ke laut. Berdasarkan nilai fotosintesis dan respirasi menunjukkan bahwa fitoplankton di perairan sekitar mangrove cenderung bersifat autotrofik karena laju fotosintesis lebih tinggi dibandingkan laju respirasi, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan emisi CO 2 ke atmosfir. Hal ini disebabkan oleh laju dekomposisi material organik baik yang berasal dari fitoplankton sendiri ataupun dari sumber autochtonous dan allochtonous, lebih dominan dibanding laju produktifitas primer fitoplankton. Nilai pCO 2 di perairan sekitar mangrove Selat Nasik masih dalam kisaran pCO 2 yang ditemukan pada perairan sekitar mangrove lain di wilayah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan sekitar mangrove Nagada Creeks Papua New Guinea tekanan parsial CO 2 berkisar antara 540 – 1680 µatm (Borges et al. 2003), di Kieng Vang Vietnam berkisar antara 1435 – 8140 µatm (Kone and Borges 2008), dan di Tam Giang creeks India 770 – 11480 µatm (Kone and Borges 2008). Menurut Kone dan Borges (2008) tingginya tekanan parsial CO 2 pada perairan sekitar mangrove terkait dengan 2 mekanisme yaitu (a) massa air di perairan sekitar mangrove mempunyai waktu tinggal (residence time) yang lama sehingga menstimulasi aktivitas biologi dan kimia dengan mendegradasi bahan organik lokal yang disediakan oleh kanopi mangrove dan sumber allokhtonus, (b) masuknya air poros yang bercampur dengan air sungai juga mempengaruhi sifat-
34
sifat kimia dalam mendegradasi bahan organik dan ditunjang oleh volume air yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih lama. Fluks dan tekanan parsial CO 2 yang paling rendah ditemukan pada Stasiun 2 yaitu di perairan sekitar terumbu karang. Rendahnya fluks CO 2 pada Stasiun 2 disebabkan oleh rendahnya konsentrasi DIC. Konsentrasi DIC di perairan sekitar terumbu karang secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perairan sekitar mangrove dan laut baik pada pagi maupun siang hari. Hal ini disebabkan oleh proses metabolisme terumbu yang menyebabkan pergeseran dalam sistem karbon anorganik yang menyebabkan perubahan besar dan arah gradien pCO 2 antara air laut dan atmosfer. Gambar 19 menunjukkan siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang. Siklus karbon di perairan sekitar terumbu karang relatif lebih kompleks dibandingkan perairan sekitar mangrove dan laut, karena banyaknya organisme yang terlibat dengan siklus karbon, diantaranya proses fotosintesis oleh fitoplankton, zooxanthella dan makroalga, proses respirasi dan kalsifikasi oleh terumbu karang dan dekomposisi oleh bakteri, namun dalam Gambar 19 hanya dibatasi pada lapisan permukaan yang hanya melibatkan fitoplankton dalam penyerapan CO 2 .
(A)
CO2 atm
FCO 2 GPP +1,45 0,080 DIC
NPP 0,009 Fitoplankton
Respirasi 0,086 Dekomposisi ?
(B)
CO2 atm
FCO 2 GPP +0,96 0,080 POC
DIC
NPP 0,010 Fitoplankton
POC
Respirasi 0,084 Dekomposisi ?
Gambar 19. Skema siklus karbon pada Stasiun 2 (perairan sekitar terumbu karang) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari. Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa penyerapan CO 2 oleh fitoplankton relatif kecil yaitu 0,009 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 0,010 mmolC/m2/hari pada siang hari. Fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang
35
cenderung bersifat heterotrofik karena laju respirasi lebih tinggi dibanding fotosintesis. Tingginya laju respirasi fitoplankton di perairan sekitar terumbu karang seharusnya meningkatkan fluks CO 2 ke atmosfir, karena proses respirasi akan menyumbang CO 2 kedalam kolom perairan dan meningkatkan tekanan parsial CO 2 . Namun hal ini tidak terlihat di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik karena fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang lebih rendah dibanding perairan sekitar mangrove dan laut dan fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik lebih rendah dibanding emisi CO 2 global dari sistem terumbu karang yang diperkirakan oleh Borges (2005) yaitu sekitar 2 mmolC/m2/hari. Rendahnya fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik diduga disebabkan oleh tingginya konsumsi CO 2 oleh makroalga. Seperti yang dikemukakan oleh Gattuso et al., (1996) bahwa terumbu tepi di bawah pengaruh tekanan manusia telah bergeser dari dominasi karang ke dominasi makroalga, seperti yang terjadi di terumbu Shiraho, pulau Ryukyu. Hal ini akan menyebabkan peningkatan
produksi
ekosistem
bersih
dan
penurunan
kalsifikasi
dan
memungkinkan pergeseran peran ekosistem terumbu karang dari source ke sink untuk CO 2 atmosfir. Fluks CO 2 di perairan sekitar terumbu karang Selat Nasik juga di pengaruhi oleh proses kalsifikasi oleh terumbu karang. Gattuso et al. (1996) mengemukakan bahwa di perairan terumbu karang, produksi primer kotor dan respirasi oleh zooxanthella hampir seimbang dan produksi bersih mendekati nol, sehingga kalsifikasi bersih merupakan proses utama yang mempengaruhi sistem CO 2 air laut pada ekosistem terumbu karang. Bukti terjadinya kalsifikasi di sekitar perairan terumbu karang terlihat pada adanya perbedaan yang mencolok dari nilai TA dan DIC pada pagi dan siang hari. Nilai TA dan DIC pada siang hari jauh lebih rendah dibanding pagi hari. Hal ini disebabkan oleh tingginya konsumsi TA dan DIC dalam proses kalsifikasi pada siang hari. Menurut Gattuso et al. (1996) bahwa laju kalsifikasi meningkat dengan meningkatnya intensitas cahaya pada siang hari. Pembentukan kalsium karbonat meningkatkan konsentrasi CO 2 , tapi pada saat yang sama proses ini menkonsumsi 2 mol bikarbonat (HCO 3 -). Perilaku berlawanan tersebut menyebabkan berkurangnya total alkalinitas (TA) dan DIC dengan perbandingan 2:1 (Zeebe and Wolf-Gladrow, 2001). Ware et al.
36
(1992) menunjukkan bahwa proses kalsifikasi berpengaruh terhadap sistem karbon anorganik air laut dan menyebabkan terumbu karang adalah sedikit source CO 2 ke atmosfir. (A)
CO2 atm
FCO 2 GPP +2,98 0,069 DIC
NPP 0,001 Fitoplankton
Respirasi 0,081 Dekomposisi 2,90
(B)
CO2 atm
FCO 2 GPP +2,81 0,080 POC
DIC
NPP 0,004 Fitoplankton
POC
Respirasi 0,092 Dekomposisi 2,722
Gambar 20. Skema siklus karbon pada Stasiun 3 (perairan laut) pada pengamatan pagi (A) dan siang hari (B). FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari. Gambar 20 menunjukkan bahwa di perairan laut Selat Nasik laju dekomposisi memberikan sumbangan paling besar terhadap fluks CO 2 yaitu 2,973 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan 2,802 mmolC/m2/hari pada siang hari. Fitoplankton merupakan satu-satunya organisme yang menyerap CO 2 di perairan laut, namun penyerapan CO 2 oleh fitoplankton di perairan laut Selat Nasik sangat kecil yaitu 0,0001 mmolC/m2/hari pada pagi hari dan meningkat pada siang hari menjadi 0,0003 mmolC/m2/hari sehingga produktivitas primer memberikan kontribusi yang kecil terhadap pengurangan fluks CO 2 ke atmosfer. Penyerapan dan pelepasan CO 2 di perairan laut Selat Nasik diduga lebih dipengaruhi oleh konsentrasi DIC dan faktor fisis (suhu permukaan laut). Seperti yang dikemukakan oleh Wang et al. (2006) bahwa konsentrasi DIC dan suhu permukaan laut memainkan peranan utama dalam mengontrol fluks CO 2 di perairan laut tropis. 4.4.2 Estuari Donan Berdasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa perairan Estuari Donan adalah source atau pelepas CO 2 ke atmosfir. Secara umum fluks CO 2 di perairan Estuari Donan lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik. Tingginya fluks CO 2 di perairan Estuari Donan disebabkan oleh tingginya kecepatan angin pada lapisan permukaan (2,50 m/s) dan tingginya tekanan parsial CO 2 dalam kolom air. Source
37
atau pelepasan CO 2 ke atmosfir ini disebabkan oleh tekanan parsial CO 2 (pCO 2 ) dalam kolom air lebih tinggi dibandingkan tekanan parsial CO 2 di atmosfir sehingga terjadi aliran gas CO 2 dari air laut ke atmosfir. Tingginya pCO 2 kolom air berhubungan dengan konsentrasi DIC, salinitas dan laju fotosintesis fitoplankton. Tekanan parsial CO 2 meningkat dengan meningkatnya konsentrasi DIC dan menurun dengan meningkatnya salinitas dan laju fotosintesis. Sebaran pCO 2 di Estuari Donan sangat mirip dengan sebaran DIC, pCO 2 dan konsentrasi DIC yang tinggi cenderung ditemukan pada stasiun yang dekat ke arah sungai dan relatif lebih rendah pada stasiun yang dekat ke arah laut. Hal yang serupa juga terjadi di perairan estuari Changjiang Cina (Chen et al., 2008), Godavari India (Bouillon et al., 2003) dan Chilka India (Gupta et al., 2008). Namun pada stasiun 2 yang dekat dengan laut juga ditemukan konsentrasi DIC yang tinggi. Hal ini disebabkan karena stasiun 2 berada pada lokasi yang berada dekat dengan ekosistem mangrove. Tingginya konsentrasi DIC pada lokasi ini diduga karena adanya pasokan karbon organik dan anorganik dari sungai dan ekosistem mangrove. Seperti yang dikemukakan oleh Cai and Wang (1998) bahwa perairan estuari menerima pasokan DIC yang berasal dari eksternal dan internal estuari. Pasokan eksternal berasal dari air tawar dari sungai, air laut dari pantai, tidalflush, dan perairan sekitarnya. Sedangkan pasokan internal berasal dari degradasi material organik (repirasi aerobik dan fotodegradasi). Gambar 21 menunjukkan siklus karbon di perairan Estuari Donan yang ditampilkan secara sederhana dari kondisi sesungguhnya yang rumit. Pembahasan mengenai siklus karbon di perairan Estuari Donan ini dibatasi hanya pada lapisan permukaan. Kajian siklus karbon dalam penelitian ini lebih ditekankan kepada peranan fitoplankton dalam penyerapan CO 2 . Fitoplankton mengambil nutrien dan CO 2 melalui proses fotosintesis, laju dimana proses ini terjadi disebut produktivitas primer. Fitoplankton pada waktu yang sama juga melakukan respirasi yang meningkatkan konsentrasi CO 2 dalam kolom air. Peningkatan konsentrasi CO 2 dalam kolom air juga disebabkan oleh adanya proses dekomposisi (diremineralisasi) karbon organik menjadi CO 2 .
38
CO2 atm
FCO 2 +7,14 DIC
GPP 0,051
NPP 0,028
Respirasi 0,027
Fitoplankton
POC
Dekomposisi 7,14 Gambar 21. Skema siklus karbon di perairan Estuari Donan. FCO 2 , GPP, NPP, Respirasi dan Dekomposisi dalam satuan mmolC/m2/hari. Gambar
21
menunjukkan
bahwa
laju
dekomposisi
memberikan
sumbangan paling besar terhadap fluks CO 2 di perairan Estuari Donan yaitu 7,14 mmolC/m2/hari. Laju dekomposisi material organik di perairan Estuari Donan jauh lebih tinggi dibanding perairan Selat Nasik, demikian juga dengan laju produktivitas primer fitoplankton. Tingginya laju dekomposisi di perairan Estuari Donan diduga disebabkan oleh besarnya pasokan material organik dari sungai. Gattuso et al. (1998) mengemukakan bahwa tingginya beban nutrien yang masuk ke perairan estuari menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ekosistem bersih, sedangkan degradasi karbon organik antropogenik menurunkan produksi ekosistem bersih. Secara keseluruhan, ekosistem estuari adalah sumber bahan organik, nutrien dan karbon anorganik untuk perairan sekitarnya dan berpotensi sebagai sumber CO 2 ke atmosfir (Borges 2005). Sebaran laju fotosintesis di perairan Estuari Donan menunjukkan bahwa laju fotosintesis cenderung meningkat ke arah mulut sungai (laut). Hal ini berbanding terbalik dengan sebaran DIC dan pCO 2 . Meningkatnya laju fotosintesis ke arah laut disebabkan karena jumlah material organik terestrial yang tersedia untuk dekomposisi telah berkurang, dan kondisi cahaya yang lebih baik setelah terjadi pengendapan partikel tersuspensi. Meningkatnya aktifitas biologis pada stasiun yang lebih dekat ke arah laut menyebabkan pCO 2 lebih rendah. Selanjutnya, karena ada pencampuran dengan air laut yang lebih rendah pCO 2 , maka pCO 2 air permukaan dengan cepat turun ke dekat titik jenuh. Lebih jauh, air
39
permukaan dapat menjadi net autotrofik jika CO 2 lebih banyak dikonsumsi oleh produksi biologis (Chen et al., 2008). Nilai pCO 2 yang ditemukan di perairan Estuari Donan masih dalam kisaran tekanan parsial CO 2 yang ditemukan di perairan estuari yang lain di daerah tropis, namun sedikit lebih rendah. Di perairan estuari sungai Hooghly India tekanan parsial CO 2 berkisar antara 80 – 1520 µatm (Mukhopadhyay et al. 2002), sedangkan di estuari Mandovi-Zuari India pCO 2 berkisar antara 500 – 3500 µatm (Sarma et al. 2001). Rendahnya tekanan parsial CO 2 di perairan Estuari Donan juga berhubungan dengan tingginya salinitas, karena pengambilan sampel dilakukan pada saat pasang, sehingga perairan estuari masih didominasi oleh air laut. Pada stasiun 5 yang sudah berada di bagian hulu masih ditemukan salinitas 23 psu. Seperti yang dikemukakan oleh Gupta et al. (2008) dari hasi penelitiannya di Chilka Lake India, bahwa pasang surut dan salinitas mempengaruhi tekanan parsial CO 2 di perairan estuari, pada saat surut dimana nilai salinitas rendah pCO 2 di perairan Chilka bisa mencapai 1900 µatm sedangkan pada saat pasang pCO 2 hanya mencapai 1050 µatm. Korelasi negatif antara salinitas dan laju fotosintesis dengan pCO 2 juga ditemukan di estuari Changjiang (sungai Yangtze) Cina (Zhai and Dai, 2009).
40
5 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa perairan Selat Nasik, Belitung dan Estuari Donan, Cilacap mempunyai tingkat kejenuhan yang tinggi terhadap CO 2 sehingga berperan sebagai pelepas (source) CO 2 ke atmosfir. Perairan estuari menyumbang emisi CO 2 paling besar diikuti oleh perairan sekitar ekosistem mangrove, laut pesisir (non mangrove dan terumbu karang) dan perairan sekitar terumbu karang. Dalam studi ini penyerapan CO 2 oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis tidak berpengaruh signifikan terhadap fluks CO 2 . Dalam kasus ini, laju dekomposisi karbon organik partikel cenderung memberikan pengaruh yang signifikan terhadap fluks CO 2 . Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji mengenai sumbangan laju dekomposisi material organik terhadap fluks CO 2 dan pengaruh pengadukan massa air terhadap fluks CO 2 di perairan pesisir.
41
DAFTAR PUSTAKA APHA 1980. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. APHA, AWWA, WPCF. 15 th eds.: 388–389. Bates, N.M., 2002. Seasonal variability of the effect of coral reefs on seawtare CO 2 and air-sea CO 2 exchange. Limnol Oceanogr, 47:43–52. Borges, A.V., J.P. Vanderborght, L.S. Sciettecatte, F. Gazeau, S. Ferron-Smith, B. Dellie and M. Frankignoulle. 2004. Variability of the gas transfer velocity of CO 2 in macrotidal estuary (the Scheldt). Estuaries, 27:593– 603. Borges, A.V., 2005. Do we have enough pieces of the jigsaw to integrate CO 2 fluxes in the coastal ocean? Estuaries, 28 (1):3–27. Borges, A. V., B. Delille and M. Frankignoulle, 2005. Budgeting sinks and sources of CO 2 in the coastal ocean: Diversity of ecosystems counts. Geophys Res Lett 32:L14601. doi:10.1029/2005GL023053 Borges, A.V., S. Djenidi, G. Lacroix, J. Theate, B. Delille, and M. Frankignoulle, 2003. Atmospheric CO 2 flux from mangrove surrounding waters. Geophys Res Lett, 30(11):1558. doi:10.1029/2003GL017143 Bouillon, S., A.V. Borges, E. Castaneda-Moya, K. Diele, T. Dittmar, N.C. Duke, E. Kristensen, S.Y. Lee, C. Marchand, J.J. Middlburg, V.H. RiveraMonroy, T.J. Smith III, and R.R. Twilley, 2008. Mangrove production and carbon sink: A revision of global budget estimates. Glob Biogeochem Cyc, 22: GB2013, doi:10.1029/2007GB003052. Bouillon, S., F. Dehairs, B. Velimirov, G. Abril, and A.V. Borges. 2007. Dynamics of organic and inorganic carbon across contiguous mangrove and seagrass systems (Gazi Bay, Kenya). J Geophys Res, (112): G02018, doi:10.1029/2006JG000325 Bouillon, S. and H.T.S. Boschker, 2006. Bacterial carbon sources in coastal sediments: a cross-system analysis based on stable isotope data of biomarkers. Biogeosciences, 3:175–185. Bouillon, S., M. Frankignoulle, F. Dehairs, B. Velimirov, A. Eiler, G. Abril, H. Etcheber and A.V. Borges, 2003. Inorganic and organic carbon biogeochemistry in the Gautami Godavari estuary (Andhra Pradesh, India) during pre-monsoon: the local impact of extensive mangrove forest. Glob Biogeochem Cyc, 17(4):1114. Caffrey, J.M. 2004. Factors controlling net ecosystem metabolism in U.S. estuaries. Estuaries, 27:90–101. Cai, W.J. and Y. Wang, 1998. The chemistry, fluxes and sources of carbon dioxide in the estuarine waters of the Satilla and Altamaha Rivers, Georgia. Limnol Oceanogr, 43(4):657–668.
42
Cai, W.J., Z.A. Wang, and Y. Wang, 2003. The role of marsh-dominated heterotrophic continental margins in transport of CO 2 between the atmosphere, the land–sea interface and the ocean. Geophys Res Lett, 30:1849. Cameron, W.M. and D.W. Pritchard, 1963. Estuaries, P. 306 – 324. In M. N. Hill (eds). The sea, Volume 2. John Wiley & Sons. New York. Chen, C.T.A., W. Zhai, and M. Dai, 2008. Riverine input and air-sea CO 2 exchanges near the Changjiang (Yangtze River) estuary: Status quo and implication on possible future changes in metabolic status. Continent Shelf Res, 28:1476–1482. Chen, C.T.A. and A. V. Borges, 2009. Reconciling views on carbon cycling in the coastal ocean: Continental shleves as sinks and near-shore ecosystem as sources of atmospheric CO 2 . Deep-Sea Res II, 56:578–590. Chen C.T.A., K.K. Liu and R. Macdonald, 2003. Continental margin exchanges, p. 53 – 97. In M.J.R. Fasham (ed.). Ocean biogeochemistry: A synthesis of the Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS). Springer-Verlag. Berlin. Germany. Chen, C.T.A., 2004. Exchange of carbon in the coastal seas. In: Field, C.B., M.R. Raupach (Eds.), The Global Carbon Cycle: Integrating Human, Climate and the Natural World. SCOPE, Washington, DC, pp. 341–351. Dickson, A.G., C.L. Sabine, and J.R. Christian, 2007. Guide to best practices for ocean CO2 measurements. Pices special publication 3. IOCCP Report 8: 176. Fagan, K.E and F.T. Mackenzie, 2007. Air-sea CO2 exchange in a subtropical estuarine-coral reef system, Kaneohe Bay, Oahu, Hawaii. Mar Chem, 106:174–191. Falkowski, P.G., R.T. Barber and V. Smetacek, 1998. Biogeochemical controls and feedbacks on ocean primary production. Science, 281:200-206. Fasham, M.J.R., B.M. Balin, C. Bowles (Eds), 2001. A new vision of ocean biogeochemistry after a decade of the Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS). Ambio Special Report:4–31. Feely R.A., C.L. Sabine, T. Takahashi, and R. Wanninkhof, 2001. Uptake and storage of carbon dioxide in the ocean. Oceanography. Vol. 4: 17 – 32. Frankignoulle, M., C. Canon, and J.P. Gattuso, 1994. Marine calcification as a source of carbon dioxide: Positive feedback to increasing atmospheric CO 2 . Limnol Oceanogr, 39:458–462. Gattuso, J.P., M. Frankignoulle and S.V. Smith, 1999. Measurement of community metabolism and significance in the coral reef CO 2 sourcesink debate. PNAS 96(23):1317–1322. Gattuso, J.P., M. Frankignoulle and R. Wollast, 1998. Carbon and carbonate metabolism in coastal aquatic ecosystems. Ann Rev Ecol Sys, 29:405434.
43
Gattuso, J.P., M. Pichon, B. Delesalle, C. Canon and M. Frankignoulle, 1996. Carbon fluxes in coral reefs. I. Lagrangian measurement of community metabolism and resulting air-sea CO 2 disequilibrium. Mar Ecol Prog Ser, 145:109–121. Giggenbach, W. F. And R.L. Goguel, 1989. Collection and Analysis of Geothermal and Volcanic Water and Gas Discharges. Chemistry Division. Department of Scientific and Industrial Research. Petone. New Zeland. Grasshoff, K., 1976. Methods of Seawater Analysis. Verlag Chemie, Weinheim. New York. Gupta, G. V. M., V. V. S. S. Sarma, R. S. Robin, A. V. Raman, M. Jai Kumar, M. Rakesh, and B. R. Subramanian, 2008. Influence of net ecosystem metabolism in transferring riverine organic carbon to atmospheric CO 2 in a tropical coastal lagoon (Chilka Lake, India). Biogeochemistry, 87:265– 285. Hansell, D.A. and C. A. Carlson, 2001. Marine dissolved organic matter and the carbon cycle. Oceanography, (4):41–49. IPCC, 2001. The carbon cycle and atmospheric carbon dioxida. The Scientific Basis. In Climate change 2001:185–237. IPCC, 2007. Climate Change: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. Jennerjahn, T. C., and V. Ittekkot (2002), Relevance of mangroves for the production and deposition of organic matter along tropical continental margins. Naturwissenschaften, 89:23–30. Kone,Y.J.-M. and A.V. Borges, 2008. Dissolved inorganic carbon dynamics in the waters surrounding forested mangroves of the Ca Mau Province (Vietnam). Estu Coas Shelf Sci, 77(3):409–421. Lewis, E and D.Wallace, 1997. CO2SYS. Program Developed for CO 2 System Calculations. Department of Applied Science, Brookhaven National Laboratory, Upton, New York. Mackenzie, F.T., L.M.B. Ver and A. Lerman, 2000. Coastal zone biogeochemical dynamics under global warming. Internat Geol Rev, 42:193–206. Milliman, J.D. 1993. Production and accumulation of calcium carbonat in the ocean: Budget of a non steady state. Glob Biogeochem Cyc, 7:927–957. Mukhopadhyay, S.K., H. Biswas, T.K. De, S. Sen, and T.K. Jana, 2002. Seasonal effects on the air–water carbon dioxide exchange in the Hooghly Estuary, NE coast of Gulf of Bengal, India. J Environ Monit, 4(4):549–552. Orr, J.C., R. Najjar, C.L. Sabine and F. Joos, 1999. Internal OCMIP report. Lab. Des. Sci. Du Clim. et de I’Environ./Comm. a I’Energie Atom, GifSuryVette. France. 29 pp.
44
Sarma, V.V.S.S., M.D. Kumar, and M. Manerikar, 2001. Emission of carbon dioxide from a tropical estuarine system, Goa, India. Geophys Res Lett, 28(7):1239–1242. Sarmiento, J.L. and N. Gruber, 2002. Sinks for Anthropogenic carbon. Physics Today. American Institute of Physics: 30 – 36. Strickland, J.D.H. Dan T.R. Parsons, 1968. A practical handbook of seawater analysis. Fish. Res. Board Canada, Bull. 167: 311 pp. Suzuki, A. and H. Kawahata, 2003. Carbon budget of coral reef systems: An overview of observations in fringing reef and atolls in the Indo-Pasific regions. Tellis Series B, 55: 428 – 444. Takahashi, T., S.C. Sutherland, C. Sweeney, A. Poisson, N. Metzl, B. Tilbrook, N. Bates, R. Wanninkhof, R.A. Feely, C. Sabine, J. Olafsson and Y. Nojiri, 2002. Global sea–air CO 2 flux based on climatological surface ocean pCO2, andseasonal biological and temperature effects. Deep-Sea Res II, 49:1601–1622. Ternon,J.F., C. Oudot, A. Dessier, and D. Diverres, 2000. A seasonal tropical sink for atmospheric CO 2 in the Atlantic Ocean: The role of the Amazon River discharge. Mar Chem, 68:183–201. Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji, & M. K. Moosa, 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two. The Ecology of Indonesian Series. Vol8. Periplus Editions (HK) Ltd: 1388 pp. Tsunogai, S., S. Watanabe and T. Sato, 1999. Is there a “continental shelf pump” for the absorption of atmospheric CO 2 . Telkish Series B, 51:701–712. Ver, L.M.B., F.T. Mackenzie and A. Lerman, 1999. Biogeochemical responses of the carbon cycle to natural and human perturbations: Past, present and future. Am J Sci, 299:762–801. Wang, X., J.R. Christian, R. Murtugudde and A.J. Busalacchi, 2006. Spatial and temporal varaiability of the surface water pCO 2 and air-sea CO 2 flux in the equatorial Pasific during 1980 – 2003: A basin-scale carbon cycle model. J geophys res, 3:1–18. Wang, Z.A. and W.J. Cai, 2004. Carbon dioxide de gassing and inorganic carbon export from amarsh-dominated estuary (the Duplin River): amarsh CO 2 pump. Limnol Oceanogr, 49(2):341–354. Ware, J.R., S.V. Smith and M.L. Reaka-kudla, 1992. Coral reefs: Sources or sinks of atmospheric CO 2 ? Coral reefs 11:127–130. Wollast, R. 1998. Evaluation and comparison of the global carbon cycle in the coastal zone and in the open ocean, p. 218-252. In K. H. Brink and A. R. Robinson (eds.). The Global Coastal Ocean, Volume 10. John Wiley & Sons, New York. Zeebe, R.E., D. Wolf-Gladrow, 2001. CO 2 in Seawater: Equilibrium, Kinetics, Isotopes. Elsevier Science B.V, Amsterdam. 346 pp.
45
Zhai, W. and M. Dai, 2009. On the seasonal variation of air – sea CO 2 fluxes in the outer Changjiang (Yangtze River) Estuary, East China Sea. Mar Chem, 117:2–10. Zhai, W., M. Dai and X. Guo, 2007. Carbonate system and CO 2 degassing fluxes in the inner estuary of Changjiang (Yangtze) River, China. Mar Chem, 107:342–356.
46
47
Lampiran Lampiran 1. Paramater fisika-kimia dan sistem CO 2 di perairan Selat Nasik Stasiun/
Suhu
Salinitas
fosfat
Silikat
Jam Stasiun 1 6:35 12:00 Stasiun 2 8:15 13:25 Stasiun 3 7:40 12:40 19:00
(oC)
(psu)
(µg A/l)
(µg A/l)
29,65 30,02
32,68 32,64
7,82 7,71
0,180 0,130
0,590 0,590
2119,03 2108,66
2188,91 2169,37
29,95 30,31
32,76 32,67
8,00 7,95
0,009 0,270
0,590 0,400
1998,08 1912,15
29,83 30,25 29,79
32,80 32,77 32,78
8,03 8,02 7,94
0,090 0,180 0,450
0,590 0,890 0,990
2119,03 2068,19 2018,55
pH
DIC
TA
pCO 2 atm (μatm)
pCO 2 air
Kecepatan
fluks CO 2
(μatm)
angin (m/s)
(mmol/m2/hari)
356,00 368,00
1001,66 999,05
1,29 1,29
3,19 3,06
2228,00 2169,37
387,00 390,00
685,81 591,80
1,29 1,29
1,45 0,96
2247,54 2247,54 2130,28
393,00 371,00 390,00
1002,01 957,98 954,24
1,29 1,29 1,29
2,98 2,81 2,77
(μmol/Kg) (μmol/Kg)
48
Lampiran 2. Data produktifitas primer perairan Selat Nasik Stasiun/ Jam Stasiun 1 6:35 12:00 Stasiun 2 8:15 13:25 Stasiun 3 7:40 12:40 19:00
Intensitas Cahaya (mol q/m2/hari)
GPP Respirasi (mgC/m2/hari) (mgC/m2/hari)
NPP (mgC/m2/hari)
Klorofil-a (mg/m3)
29,170 1761,500
0,094 0,087
0,089 0,087
0,020 0,015
0,283 0,283
421,400 1142,000
0,080 0,080
0,086 0,084
0,009 0,010
0,283 0,283
252,700 1274,700 _
0,069 0,080 _
0,081 0,092 _
0,001 0,004 _
0,566 0,566 0,566
Lampiran 3. Paramater fisika-kimia dan sistem CO 2 di perairan Estuari Donan Stasiun 1 2 3 4 5 rata-rata Stdv
Suhu (oC) 28,20 27,80 27,80 29,60 28,80 28,44 0,77
Salinitas (psu) 28,00 28,00 29,00 26,00 23,00 26,80 2,39
pH 7,91 7,95 7,83 7,79 7,65 7,83 0,12
Fosfat (µg A/l) 0,05 0,08 0,07 0,08 0,24 0,10 0,08
Silikat (µg A/l) 33,63 45,42 45,90 57,05 60,11 48,42 10,55
DIC (μmol/Kg) 1860,56 1940,45 1842,25 1906,78 1957,82 1901,57 49,76
TA (μmol/Kg) 1954,27 1973,81 1954,27 2032,44 1993,36 1.981,630 32,701
pCO 2 atm (μatm) 340 350 353 372 376 358,200 15,271
pCO 2 air (μatm) 1039,78 1081,61 1018,53 1094,82 1152,52 1077,45 52,07
Kecepatan angin (m/s) 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50 0,00
fluks CO 2 (mmol/m2/hari) 7,00 7,46 6,76 6,79 7,72 7,14 0,43
49
Lampiran 4. Data produktifitas primer perairan Estuari Donan Stasiun 1 2 3 4 5 rata-rata stdv
GPP (mgC/m3/hari) 0,070 0,063 0,068 0,032 0,022 0,051 0,022
Respirasi (mgC/m3/hari) 0,045 0,025 0,015 0,034 0,017 0,027 0,013
NPP (mgC/m3/hari) 0,032 0,042 0,055 0,003 0,008 0,028 0,022
Klorofil-a (mg/m3) 0,566 4,526 4,526 7,355 1,132 3,621 2,789
WOLLI~T, R. 1998. Evaluation and comparison of the global cm~ ban c?de in the coastal zone and in the upen ocean, p. 218252. I~, K. H. Brink and A. R. Robinson (ads.), The Global Coastal Ocean, ?;_,hone 10. John Wiley & Sons, New Yoik WOLLI~T, R. 1998. Evaluation and comparison of the global cm~ b