PERWATAKAN TOKOH DALAM CERPEN UPACARA HITAM DAN UPACARA MENATAP MATAHARI THE CHARACTER OF TWO OLD MEN IN UPACARA HITAM AND UPACARA MENATAP MATAHARI Rukmini Kantor Bahasa Provinsi Banten Jalan Bhayangkara, No. 129, Cipocok Jaya, Serang Pos-el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 13 Maret 2014—Disetujui tanggal 6 April 2014) Abstrak: Tulisan ini membahas intertekstualitas antara tokoh laki-laki tua dalam cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra dan tokoh laki-laki tua dalam cerpen Upacara Menatap Matahari karya Indra Tranggono dari segi personifikasi/perwatakan dan stereotip kedua tokoh tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pustaka. Langkah pertama yang dilakukan adalah membaca dan menelaah dua cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra dan Upacara Menatap Matahari karya Indra Tranggono. Data yang terkumpul dideskripsikan dengan teknik seleksi, identifikasi, dan klasifikasi lalu dianalisis. Dari beberapa paparan mengenai penokohan dan personifikasi tokoh laki-laki tua dalam kedua cerpen tersebut, terdapat intertekstual dalam hal stereotip tokoh laki-laki tua (mantan pejuang, dan tokoh masyarakat) dan dalam hal penggambaran keadaan lahiriah tokoh. Persamaan dan perbedaan yang ditemukan dalam kedua cerpen tersebut menunjukkan adanya intertekstual dimana cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra sebagai hipogramnya dan Upacara Menatap Matahari karya Indra Tranggono merupakan transformasinya. Sedangkan perbedaan keduanya menunjukan kretifitas Indra terhadap teks sebelumnya. Kata Kunci: intertekstual, cerpen, tokoh Abstract: This paper discusses the intertextuality between the character of two old man in Abrar Yusra’s short story, Upacara Hitam and in Indra Tranggono’s short story, Upacara Menatap Matahari in terms personification/disposition and stereotypes of both figures/characters. The method used in this paper is descriptivequalitative. Data collection was done by the library method. The first step to do is reading and studying the works of two short stories Upacara Hitam and Upacara Menatap Matahari. The data collected, are described by using selection, identification, and classification then they are analyzed. From some views about the characterizations and the personification of the old male figures in the second story, there is an intertekstual in the case of stereotype older male figures (former combatants, and community leaders) and in the case of shooting the flesh figure. Similarities and differences were found in both short story shows the intertextual, where Upacara Hitam Abrar Yusra as hipogram and Upacara Menatap Matahari Indra Tranggono is the transformation of his hipogram, Upacara Hitam. While the differences in both stories show Indra’s creativity of the text before. Keywords: intertekstuality, shortstory, character
PENDAHULUAN Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik yang berupa persamaan atau pertentangan. Dengan demikian, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubungannya dengan
karya sezaman, sebelum atau sesudahnya. (Pradopo, 2003:167). Mengenai hubungan kesejarahan ini diperkuat pula oleh pendapat Riffaterre (yang dikutip oleh Pradopo, 2003:167) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Kapan pun sebuah karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan
BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 113—122
budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat dalam wujudnya yang berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumnya. Keterkaitan antarteks atau intertekstual dalam sastra Indonesia telah ditunjukan dalam kajian-kajian sebelumnya. Pradopo (2003, 181—183) melihat Azab dan Sengsara telah menjadi acuan (hipogram) bagi novel-novel Indonesia tradisi Balai Pustaka lainnya, seperti Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung, dan Di Bawah Lindungan Kabah, khusunya dalam struktur cerita dan pokok gagasan adat kawin paksa. Novel Di Bawah Lindungan Kabah, Atheis, dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati menunjukan intertekstualitas dalam hal pusat pengisahan dan struktur ceritanya (Pradopo, 2003: 168), sedangkan Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu menunjukan kaitan interteks dalam hal emansipasi perempuan. Kajian intertekstual ini juga dibahas dalam Dialog Antarteks Toenggoel dan Ronggeng Dukuh Paruk: Melawan atau Mengukuhkan Tradisi (Yulitin Sungkowati. 2010. Bahasa dan Seni, tahun 38, nomor 1, Februari 2010). Dari hasil penelitian dan pembahasan, Yulitin menyimpulkan bahwa novel Toenggoel berhubungan intertekstual dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dan menjadikan novel ini acuan atau hipogramnya. Hubungan intertekstual itu berada dalam tataran fisikal dan abstrak. Pada tataran fisikal terlihat adanya penyebutan teks hipogram dan secara abstrak tampak dari gagasan yang dikemukakan. Pada tulisan ini akan dibahas dialog antarteks antara tokoh Ayah dalam cerpen Upacara Hitam (UH) karya Abrar Yusra dan Tokoh kakek (laki-laki renta) dalam cerpen Upacara Menatap Matahari (UMM) karya Indra Tranggono dari segi personifikasi/perwatakan dan stereotip kedua tokoh tersebut.
KAJIAN LITERATUR Intertekstualitas Sastra Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks yaitu melalui proses proposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara mencari hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluasluasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Interteks dapat dilakukan antara novel dengan novel, novel dengan puisi, novel dengan mitos. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi (Ratna, 2004: 173). Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, gaya bahasa, dan lain-lain di antara teks-teks yang dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. (Nurgiyantoro, 1995: 50) Konsep interteks pada awalnya berasal dari aliran strukturalisme. Interteks ini lalu dikembangkan oleh Julia Kristeva (Teeuw, 1984: 145). Menurut Kristeva ”Setiap teks itu merupakan mosaik, kutipan-kutipan, penyerapan, dan transformasi teks-teks lain”. Dalam prinsip interteks ini, Kristeva menegaskan bahwa setiap teks sastra harus dipahami dengan latar belakang teks-teks lain karena tidak ada sebuah teks yang 114
Perwatakan Tokoh dalam Cerpen … (Rukmini)
mandiri. Dengan kata lain, sebuah karya sastra itu lahir dari situasi kosong budaya (Teeuw, 1980: 11). Lebih lanjut, Pradopo (1987: 227-228) menerangkan bahwa pengertian prinsip mosaik Kristeva adalah suatu teks mengambil hal-hal yang bagus dari teks lain kemudian teks-teks itu diolah kembali dalam karyanya tersebut, atau karya yang ditulis oleh sastrawan kemudian. Dengan demikian, sastrawan itu memperoleh gagasan, inspirasi, atau ide setelah membaca, melihat, meresapi, menyerap, mengutip bagianbagian tertentu dari teks-teks ke dalam karyanya itu. Pradopo, sebagaimana dikutip oleh Endaswara (2003:133) menyatakan bahwa prinsip dasar intertekstual adalah karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya teks lain yang menjadi hipogramnya. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan harapannya sendiri. Menurut Hutomo (1993: 14), hipogram adalah unsur cerita baik berupa ide, kalimat, ungkapan, dan peristiwa yang terdapat di dalam suatu teks sastra pendahulu yang kemudian dijadikan model, acuan, atau latar teks yang lahir kemudian (teks sastra yang dipengaruhinya). Jika menggunakan teori interteks, seorang peneliti harus terlebih dahulu memahami makna hipogram. Menurut Rifaterre (dalam Hutomo, 1993: 14) hipogram dapat berupa: 1. Ekspansi, yakni perluasan atau pengembangan hipogram 2. Konversi, yakni berupa pemutarbalikan hipogram
115
3. Modifikasi, yakni manipulasi kata dan kalimat atau manipulasi tokoh dan plot cerita 4. Ekserp, yakni intisari dari hipogram Cerita Pendek (Cerpen) Cerita pendek (cerpen) merupakan salah satu bentuk karya sastra yang disebut fiksi, selain novel. Edgar Allan Poe (Nurgiyantoro, 1995: 10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Cerpen memiliki unsur pembangun, intrinsik dan ekstrinsik. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas. Tema yang disajikan pun hanya satu tema, tunggal. Hal ini berkaitan juga dengan plot dan tokoh yang terbatas. Tokoh-tokoh dalam sebuah cerpen sangat terbatas, baik jumlah mau pun datadata jati diri tokoh, khususnya yang berkaitan dengan pewatakan sehingga pembaca harus merekonstruksi sendiri gambaran yang lebih lengkap tentang tokoh tersebut. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku di dalam suatu cerita, sedangkan penokohan atau perwatakan adalah pelukisan personalitas manusia yang mengambil peranan dalam setiap peristiwa. Bukan hanya tingkah laku, namun sifat menyeluruh tokoh disorot, termasuk keinginan, perasaan, pikiran, cara hidup tokoh, dan lain sebagainya. Semua tokoh pada hakikatnya adalah rekaan pengarang, tak ada yang sama persis dengan kehidupan nyata. Adanya hanya kemiripan. Seandainya tokoh-tokoh dalam cerita itu tepat sama dengan kehidupan seseorang sehari-hari atau dalam suatu waktu, misalnya, ia menjadi riwayat hidup seseorang. Menurut Nurgiyantoro (1995: 178), jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan/bawahan, dilihat dari fungsi
BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 113—122
penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Berdasarkan penampilannya, Nurgiyantoro juga mengetengahkan adanya tokoh absurd, yaitu tokoh yang tak dapat dirujukkan kepada satu identitas yang jelas atau dapat dikatakan tak memiliki kedirian yang khas. Sementara itu mutlak bagi tiap tokoh untuk memiliki watak. Watak adalah kualitas tokoh, nalar, dan jiwa yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citranya di dalam cerita disebut sebagai penokohan. Pembahasan tokoh dan penokohan Iblis ini dibatasi hanya pada: jenis tokoh, segi-segi penokohan yang mencakup asal usul, keadaan lahiriah, serta watak tokoh Iblis dalam cerpen ini. Cerpen Upacara Hitam dan Pengarangnya Cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra ini bercerita tentang tokoh Aku yang harus menentukan pilihan ketika dihadapkan pada proses sakaratul maut ayahnya yang teramat sulit disebabkan oleh sang ayah yang merupakan tokoh masyarakat dan mantan pejuang gerilya ternyata selama hidupnya berguru ilmu kebatinan, ilmu hitam yang menyebabkan maut menolak kematiannya. Tokoh Aku sebagai anak kandung sang ayah mempunyai dua pilihan, membiarkan ayahnya kesakitan dipermainkan ”makhluk peliharaannya, Si Hitam” atau membebaskan ayahnya dengan satu-satunya cara memungut dan menerima ”makhluk” itu masuk dalam tubuhnya. Tokoh Aku memilih membebaskan ayahnya dari penderitaan panjangnya walaupun di akhir cerita tokoh Aku menyesali dan meratapi takdirnya yang terkutuk sebagai pewaris biang dosa ayahnya. Cerpen Upacara Hitam ini ditulis pada tahun 1992 di Jakarta. Penulis mendapatkan cerpen dari sebuah blog cerpen dengan alamat lamannya di
http://cerpene.blogspot.com/2009/03/upacar a-hitam.html. Sampai tulisan ini rampung, penulis belum menemukan cerpen ini dalam bentuk buku cetak dan masih dalam proses pencarian. Abrar Yusra (lahir di Agam, Sumatera Barat, 28 Maret 1943; umur 70 tahun) adalah seorang wartawan dan penulis biografi Indonesia. Abrar Yusra telah menulis banyak buku biografi para tokoh Indonesia, diantaranya biografi Selo Soemardjan, Azwar Anas, Amir Hamzah, A.A. Navis serta biografi Hoegeng yang dia tulis bersama Ramadhan K.H. dan biografi tokoh-tokoh Indonesia lainnya. Sebelum menjadi penulis biografi, Abrar dikenal sebagai jurnalis. Ia pernah jadi managing editor selama sembilan tahun di Harian Singgalang yang terbit di Padang, Sumatera Barat. Dia juga pernah menjadi guru di sekolah INS Kayutanam, Sumatera Barat, sebelum menjadi wartawan. Cerpen Upacara Menatap Matahari dan Pengarangnya Cerpen ini merupakan satu dari 15 cerpen terbaik Indra Tranggono yang terangkum dalam antologinya Iblis Ngambek. Cerpen Upacara Menatap Matahari yang ditulis di Jogjakarta tahun 2002, ini bercerita tentang tokoh laki-laki tua yang berkarier sebagai gerilyawan dan sukses terjun di dunia politik sebagai seorang gubernur yang sangat mencintai matahari. Setiap pagi hari, lakilaki tua itu melakukan ritualnya menatap matahari dan merasakan energinya bertambah karena laki-laki itu meyakini matahari memberinya kekuatan. Laki-laki ini sangat yakin bahwa saat ajalnya tiba nanti, dari sinar matahari sebuah kereta kencana putih dan sais berkain serba putih dengan kuda-kuda putihnya akan membawa ruhnya terbang menuju keabadian. Laki-laki tua ini memiliki empat orang anak yang sukses di bidangnya masing-masing dan semua itu berkat ayah mereka yang sangat powerfull dan memiliki koneksi luas dengan tokoh-tokoh negaranya. Namun tenaga 116
Perwatakan Tokoh dalam Cerpen … (Rukmini)
matahari yang diresapnya ternyata tidak mampu menolongnya ketika ia terlibat perkara korupsi dan politik kotor yang membuatnya harus mundur dari jabatannya, tetapi meskipun begitu tangan-tangan hukum tetap tak mampu menjamahnya. Hingga pada suatu sore, laki-laki tua yang sedang menatap matahari itu terkejut karena tiba-tiba dari balik awan hitam muncul kereta hitam yang ditarik puluhan serigala hitam dengan sais berkain serba hitam menyeret dan melempar laki-laki itu ke dalam kereta, bukan sebuah kereta kencana dengan kuda putih seperti bayangannya selama ini. Indra Tranggono, dalam khazanah sastra tanah air, seorang penulis yang cukup aktif yang memandang bahwa sastra adalah media untuk mengomunikasikan ide-idenya dan seluruh kegelisahan kreatifnya yang tidak dapat diungkapkan ke dalam media lain. Dan cerpen ini pun lahir berlatar keguncangan sosial akibat kepemimpinan orde baru. Sebagai seorang jurnalis dan sastrawan, Indra menuangkan kegelisahan dan kritiknya ke dalam sebuah cerpen yang merupakan cermin dari kondisi sosial saat itu. Indra lahir di Yogyakarta 23 Maret 1960. Indra mulai menekuni jagat penulisan tahun 1980 dengan tulisan-tulisan yang menghiasi media massa yang terbit di kota kelahirannya seperti Harian Masa Kini, Bernas, Kedaulatan Rakyat, yang kemudian meluas ke berbagai media massa berskala nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Suara Pembaruan, Media Indonesia, dan Republika. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode pustaka. Langkah pertama yang dilakukan adalah membaca dan menelaah dua cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra dan Upacara Menatap Matahari karya Indra Tranggono. Kemudian data yang terkumpul 117
dideskripsikan dengan teknik seleksi, identifikasi, dan klasifikasi. Langkah selanjutnya adalah analisis data-data tersebut. Dengan metode deskriptif kualitatif ini, penulis mengumpulkan data. Data dianalisis dengan menggunakan teori struktural untuk mengetahui unsur pembangun kedua cerpen tersebut. Kemudian penulis menganalisis intertekstualitas kedua cerpen itu. HASIL DAN PEMBAHASAN Intertekstualitas antara Tokoh Ayah dalam Cerpen Upacara Hitam Karya Abrar Yusra dan Tokoh Ayah/Kakek dalam Upacara Menatap Matahari Karya Indra Tranggono dari Segi Personifikasi/Perwatakan Tokoh. Tulisan ini membahas tokoh ayah dan kakek dengan perwatakannya. Dan akan diambil beberapa fokus pembahasan yang menyangkut personifikasi seorang laki-laki tua yang merupakan seorang ayah dari anakanaknya dan seorang yang sudah lanjut usia yang berperan sebagai seorang yang sangat sukses di bidang politik, tokoh masyarakat yang dikagumi tapi ternyata memiliki dosa besar selama masa jayanya. Penulis mengambil fokus yakni mengenai keadaan lahiriah dan stereotip kepemimpinan kedua tokoh ini.
Keadaan Lahiriah Dalam cerpen Upacara Hitam (UH), Abrar Yusra menggambarkan tokoh ayah yang bertubuh gemuk dan sehat. Masyarakat mempercayai bahwa tubuh yang gemuk menandakan kemakmuran, bahwa tokoh ayah adalah seorang yang berhasil secara finansial dan dihormati masyarakat mengingat dalam cerpen disebutkan bahwa sang ayah adalah pemimpin beberapa yayasan sosial. Namun, di sisa hidupnya, tokoh ayah mengalami penderitaan karena
BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 113—122
penyakitnya yang misterius sehingga membuat tubuhnya menderita dan keropos. ”Masih terbayang di ingatanku bagaimana mulanya. Tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu terbaring sehat-sehat saja.” ”Makin lama muka tua itu makin berkerumuk. Makin cekung dan sepi. Penyakit itu menganiaya ayah dengan semena-mena benar, sehingga membuatnya capek. Maka hidup ayah jadi aneh. Ia lebih banyak tidur dan makin lama hanya terjaga bila rasa sakit menyerang lagi tanpa ampun. ” ”Setelah berbulan-bulan maka seakan baru benar-benar kusadari bahwa tubuh ayah yang gemuk seperti ulat itu kini sudah keropos seperti kepompong busuk. Seperti digerogoti setan, tinggal tulang-tulang dibalut kulit keriput. Muka cekung ayah sudah menghitam. Sinar hidup dari matanya sudah padam!” (UH: 1992)
Serupa dengan tokoh ayah dalam UH, tokoh ayah dan kakek dalam cerpen Upacara Menatap Matahari (UMM) karya Indra Tranggono digambarkan sebagai laki-laki renta, bungkuk, dan berpenyakitan. ”Rosewati dan tiga saudaranya telah dua kali membawa laki-laki tua itu ke Amerika untuk pengobatan stroke. Yang pertama ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah di kepala dan yang kedua ketika terjadi pendarahan otak. Sebagai mantan gerilyawan pada masa revolusi fisik, tubuh laki-laki itu ternyata sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari penyakitnya.” (UMM: 84)
Tokoh laki-laki dalam UMM memiliki kharisma yang mampu membuat siapa pun yang berhadapan dengannya merasa minder, tidak berdaya, dan menuruti apapun perintahnya. ”Setiap menghadapi laki-laki itu, petugas kejaksaan merasa keder. Seluruh keyakinan dirinya mendadak lumer dan mencair menjadi butir-butir keringat dingin.... Jaksa itu mencoba mengejar jawaban dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Tapi, mendadak ada semacam kekuatan yang membekap mulutnya. Ia merasakan aura kewibawaan laki-laki tua itu masih terpancar di balik sorot matanya yang tajam dan nanar. Setiap kata yang hendak diucapkan jaksa
tersendat dan tercekat di tenggorokannya. Jadilah pemeriksaan itu sekadar ramah-tamah biasa dan tak pernah menyentuh inti persoalan. ” (UMM: 86)
Dalam UH dan UMM, kedua tokoh digambarkan sebagai tokoh masyarakat yang sukses tapi di akhir hidup mereka merasakan penderitaan yang sangat lama dimulai dengan penyakit yang mereka miliki yang menggerogoti tubuh mereka secara perlahan. Segala yang terjadi pada diri seseorang bukanlah suatu kebetulan semata, segala akibat pasti memiliki sebab. Begitu pun yang dirasakan tokoh ayah, penderitaan yang teramat panjang ia rasakan antara hidup dan mati disebabkan oleh ulahnya sendiri memelihara iblis dalam dirinya. Setelah iblis itu pergi (atau berpindah tempat), barulah tokoh ayah dapat meninggalkan dunia ini dengan mudah, sedangkan tokoh kakek dalam UMM berharap mengalami akhir hidup yang indah, tapi harapan tinggal harapan yang didapatkannya adalah kematian yang mengerikan. Gambaran kematian kedua tokoh ini, dalam Islam disebut dengan su’ulkhotimah (akhir kehidupan yang buruk). Dan salah satu penyebabnya adalah karena kedua tokoh ini sudah melakukan dosa besar yaitu menyekutukan Allah SWT dengan cara bersekutu dengan iblis dan mempercayai adanya kekuatan lain selain Allah SWT. Stereotip Tokoh dalam Upacara Hitam dan Upacara Menatap Matahari Tokoh laki-laki tua yang disebut ayah adalah tokoh bawahan karena cerpen ini menceritakan tokoh utamanya yaitu sang anak, tokoh Aku yang jalan hidupnya berubah drastis akibat penyakit aneh ayahnya sehingga sejak ayahnya meninggal tokoh Aku ini tidak akan pernah lagi merasa damai, bahkan ia merasa sangat terkutuk karena mewarisi dosa besar ayahnya. ”Dengan datangnya kematian ayah kami maka kesedihan besar pun berlalu bagi adik-adikku.
118
Perwatakan Tokoh dalam Cerpen … (Rukmini)
Sebaliknya justru merupakan permulaan bagi kesedihan besarku.” ”Aku sendiri, betapa terkutuk, justru tidak sedih atas kematian ayahku. Sebab aku tidak pernah membayangkan bahawa kematian ayahku harus kutebus dengan mewarisi keiblisan dan iblis ayahku dalam suatu upacara paling gila malam itu. Cara mati ayahku yang terkutuk itu hanya menjanjikan bahwa masa depanku tidaklah lebih dari pengulangan atau pelanjut kebusukan ayahku sendiri, betapa terkutuk! Ternyata aku tidak siap untuk itu.” (UH: 1992)
Sang ayah diceritakan adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani dan dihormati, bahkan seorang walikota pun ikut berkabung dan menghadiri pemakaman tokoh ayah ini. Sampai saat pemakamannya pun beliau masih sebagai pimpinan beberapa yayasan. Penulis mengambil kesimpulan bahwa tokoh ayah ini adalah seorang yang sangat hebat, sangat mapan dan kaya, dan sangat dermawan terlihat dari banyaknya yayasan yang dipimpinnya selama masa hidupnya dan banyak masyarakat yang menghadiri pemakamannya. ”Ayahku bukan pejabat atau tokoh politik. Namun ia adalah salah seorang tokoh masyarakat yang begitu dihormati di kota pantai yang berpenduduk sekitar 400.000 jiwa itu. Ketika meninggal ia masih pimpinan beberapa yayasan. Lihatlah di bawah matahari silau para pelayat datang dari mana-mana untuk menghadiri pemakamannya. Maka bukit-bukit kuburan seperti jadi lautan manusia. Walikota pun ikut berjubal di tengah khalayak dan kini di panas terik ia dengan takzim sedang menyampaikan pidato kematian yang panjang dan entah kapan habisnya.” (UH: 1992)
Namun, tokoh ayah yang selama ini diidolakan Aku ternyata menempuh caracara kotor yang tidak masuk akal untuk mendapatkan segala penghormatan itu. Hal itu sangat melukai tokoh Aku dan membuatnya balik jadi membenci sang ayah bahkan mengutukinya. ”Sebelumnya aku selalu mengagumi ayahku dan membayangkannya sebagai tokoh yang
119
terhormat, apa pun artinya. Bahkan aku ingin seperti itu! Ternyata ayahku memberdayakan orang-orang yang mengaguminya dan menjahanamkan aku, anaknya, karena aku kasihan padanya!” (UH: 1992)
Tidak sedikit beredar berita di masyarakat bahwa banyak calon-calon wakil rakyat yang menggunakan ilmu gaib dan kebatinan untuk memuluskan mereka mencapai tujuan. Sekalipun fakta sosial telah memasuki zaman modern dengan melewati beberapa rezim pemerintahan– Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi– namun perilaku yang mencerminkan kepercayaan mistis masih terjadi, termasuk menggunakan jasa gaib melalui praktik perdukunan untuk memperoleh kedudukan dan jabatan politis. Terungkapnya rahasia tokoh ayah ini karena kondisi sang ayah yang semakin menjadi-jadi sakitnya hingga pada suatu malam seorang kakek yang adalah kawan sang ayah datang dan menjelaskan kondisi tokoh ayah yang berada antara hidup dan mati. “Harus kau lakukan sesuatu, Nak!” suara si kakek lagi.“Saya bisa membantumu.” “Kamu kenal siapa ayahmu. Bagimu mungkin ia seseorang yang hebat. Yang gereseh-peseh bahasa Inggris, punya mobil, pemimpin masyarakat yang modern.Tapi aku lebih kenal ayahmu sebab dulu kami pejuang gerilya yang harus mencari senjata dan bertempur. Segala cara kami lakukan untuk itu. Termasuk berguru ilmu-ilmu kebatinan, bahkan ilmuilmu hitam, ya ndak! Tahu apa itu ilmu hitam?” Aku hanya melongo.Tak tahu aku, apakah harus menerima atau membantah kisahnya. “Sederhananya itu ilmu iblis. Seseorang yang memelihara ilmu hitam sebenarnya memelihara iblis dalam dirinya, itulah yang diseru dengan mantra-mantra dengan nama Si Bujang Hitam atau Si Anjing Hitam.” (UH: 1992)
Dalam cerpen Upacara Menatap Matahari, tokoh kakek juga digambarkan sebagai seorang mantan gerilyawan, mantan pejuang. Lalu tokoh ini mengambil jalur politik dan sukses dalam kariernya sampai
BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 113—122
menjabat sebagai gubernur daerah. Posisinya yang sangat strategis itu ia manfaatkan untuk memuluskan jalan karir anak-anaknya. “Ketika Rosewati menjadi mahasiswa, ayahnya telah menjadi gubernur. Posisi ayahnya yang cukup penting itu mampu meratakan jalan bagi dirinya dan adik-adiknya dalam berkarier. Jaringan ayahnya cukup luas. Ia punya hotline kepada tokoh-tokoh penting di Republik ini. Waktu itu Rosewati sampai menganggap ayahnya punya ludah api: apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Ia membuktikan sendiri, hanya sekali telepon ayahnya mampu memberikan sejumlah proyek kepada dirinya: jalan tol, pom bensin, pasar swalayan, hotel, bisnis instant food, dan lainlainnya. Begitu pula adik-adiknya yang mengikuti jejak bisnisnya.” (UMM: 85)
Tokoh kakek yang juga ayah Rosewati melakukan ritual harian yaitu menatap matahari pada pagi dan sore hari. Menurut beliau, matahari memberikan energi dalam hidupnya. Dan semua hal yang mampu diraih sang ayah (tokoh kakek) menurut keyakinannya adalah berkat kecintaannya pada matahari. “Laki-laki itu memang sangat mencintai matahari. Pagi dan sore ia selalu setia menjumpai matahari. Menatapnya lekat-lekat tepat di pusatnya dalam beberapa detik, kemudian mengisap udara dan mengembuskannya kembali. Upacara itu dilakukannya berulangkali.” (UMM: 80) “Matahari itu pusat tenaga hidup. Kalau engkau mampu menguasainya, engkau pun akan menguasai dunia, menguasai hidup,” ujar ayahnya…. “Ucapan itu kembali terngiang di telinga Rosewati. Ia sangat yakin, pendapat ayahnya itu benar. Terbukti karier ayahnya begitu melesat. Tidak hanya sukses di bidang keprajuritan, tapi juga sukses di bidang politik….” …. “Semua itu karena aku setiap pagi dan sore menatap dan mengisap tenaga matahari,” ujar ayahnya waktu itu. (UMM: 85)
Tokoh kakek ini meyakini bahwa dari matahari akan muncul kereta kencana bercahaya emas dengan sais berpakaian serba putih, dan ditarik kuda-kuda putih.
Dan ia meyakini bahwa sais itu adalah malaikat yang akan membawanya ke alam surga meninggalkan tubuh keroposnya. Tapi ternyata tenaga matahari tak mampu menolongnya ketika ia kemudian menjadi tersangka kasus korupsi yang membuatnya harus meninggalkan posisi pentingnya sebagai gubernur dan membuatnya harus menghadapi ancaman hukuman dan persidangan-persidangan atas dosa-dosanya. Namun walaupun begitu, tokoh kakek tidak mampu tersentuh tangan hukum, ia hanya dikenai wajib lapor. “Meskipun telah menjadi tersangka kasus korupsi dan persekongkolan pembunuhan, laki-laki itu tidak ditahan. Hotline laki-laki itu kepada pejabat penting ternyata lebih kuat dibanding hukum. Ia hanya dikenai wajib lapor ke kejaksaaan setiap minggunya.” (UMM: 86)
Antara tokoh kakek dalam Upacara Menatap Matahari (UMM) dan tokoh ayah dalam Upacara Hitam, ditemukan persamaan akhir kisah hidup mereka. Keduanya sama-sama memulai karier sebagai pejuang, kemudian keduanya sukses sampai menjadi tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati, lalu keduanya menderita penyakit yang bisa dikategorikan tidak masuk akal karena penyakitnya itu datang dan pergi secara mendadak, sampai akhirnya keduanya meninggal dengan sangat memprihatinkan. Tokoh kakek dalam UH meninggal setelah sebelumnya mengalami penderitaan yang amat sangat memilukan dan setelah iblis yang berdiam dalam dirinya dipindahkan ke anaknya, sedangkan tokoh kakek dalam UMM, meninggal tidak sesuai dengan angannya selama ini, sebaliknya sang kakek dijemput oleh sais berpakaian serba hitam yang menaiki kereta hitam yang ditarik puluhan serigala hitam. Dan di dalam kereta itu ratusan ular mematuki tubuh laki-laki tua itu, yang menurut diagnosis dokter adalah serangan jantung.
120
Perwatakan Tokoh dalam Cerpen … (Rukmini)
Tokoh Rekaan Versus Tokoh Nyata Baik Abrar Yusra atau pun Indra Tranggono merasa tidak perlu untuk memberikan penamaan pada tokoh laki-laki tua yang mereka ciptakan. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai tokoh laki-laki tua ini. Jika dilihat latar belakang kedua penulis ini, mereka sama-sama berlatar belakang seorang jurnalis. Mereka menulis berita secara faktual dan mengarang sebuah cerita berdasarkan kejadian faktual. Kedua cerpen ini, Upacara Hitam dan Upacara Menatap Matahari, mengangkat tokoh cerita yang mengambil bentuk personifikasi tokoh dari kehidupan nyata. Tokoh ayah dan kakek (laki-laki tua) yang stereotip itu merupakan personifikasi tokoh penguasa Orde Baru. Tokoh ini walau berpersonifikasi pada tokoh nyata, tetap merupakan tokoh rekaan, dan sama sekali tak berhubungan langsung secara pribadi dengan tokoh yang dipersonifikasikan. Dalam cerpen Upacara Hitam (UH) ini, penulis meyakini bahwa tokoh ayah yang dimaksudkan Abrar Yusra adalah personifikasi dari penguasa Orde Baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penguasa Orde Baru saat menjabat sebagai RI-1 melakukan hal-hal mistis untuk melanggengkan kedudukannya. Pemimpin negeri ini selalu memiliki interaksi dengan kekuatan gaib baik sejak Soekarno, Suharto, bahkan Abdurahman Wahid. Beberapa media sosial menuliskan sejumlah tempat yang pernah disambangi Presiden Sukarno untuk bertapa. Bahkan pemilihan tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan pun dihubungkan dengan kepercayaan mistis (http://m.merdeka.com/pemilu2014/perdukunan-dalam-politik-indonesiaorang-sakti-dan-politik-1.html). Berbeda dengan Presiden Suharto. Presiden Suharto bukan hanya memiliki kebiasaan lelaku mistis sebagai bagian dari alam pikir orang Jawa, namun beliau pun membentengi dirinya dengan sejumlah paranormal atau dukun dalam jumlah yang 121
banyak. Artha (2007: 31) menyatakan, “Belakangan orang tahu, hal itu bukan lagi rahasia: selama 32 tahun, Soeharto punya lebih dari seribu dukun, paranormal, wong pinter serta guru spiritual”. Jika sudah berbicara soal kultur (kebudayaan), maka tidak mudah untuk berharap keberadaan dukun politik akan lenyap dalam kancah perpolitikan, karena kultur merupakan bagian dari jati diri seseorang dan cara seseorang untuk menidentifikasikan dirinya sebagai pewaris sebuah kultur. Begitu pun Indra Tranggono dalam Upacara Menatap Matahari (UMM), mengangkat tokoh laki-laki tua (tokoh kakek) yang mengambil bentuk personifikasi dari penguasa Orde Baru yang kala itu dikenal suka melakukan ritual-ritual gaib. Tokoh rekaan Indra begitu mirip dengan sang penguasa Orde Baru mengingat tokoh ini juga melakukan usaha-usaha menyejahterakan keluarganya saja, begitu mirip seperti tokoh nyatanya yang memiliki banyak perusahaan atas nama anak-anak dan keturunannya. SIMPULAN Dari beberapa paparan mengenai penokohan dan personifikasi tokoh laki-laki tua dalam cerpen Upacara Hitam karya Abrar Yusra dan tokoh laki-laki tua dalam cerpen karya Indra Tranggono, diketahui bahwa terdapat intertekstual dalam hal stereotip tokoh lakilaki tua (mantan pejuang, dan tokoh masyarakat) dan dalam hal penggambaran keadaan lahiriah tokoh. Persamaanpersamaan yang ditemukan dalam kedua cerpen tersebut menunjukkan adanya hipogram karya sastra yaitu modifikasi atau manipulasi tokoh dan plot cerita dalam hipogram yang diresepsi Indra, sedangkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalamnya juga menunjukkan bahwa karya sesudahnya terdapat pengembangan yang sifatnya berupa kreativitas dari Indra (UMM: 2002) mengenai fenomenafenomena yang timbul dari karya
BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 113—122
sebelumnya (UH: 1992). Sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan karya sastra yang serupa tapi tak nampak sama. Indra dalam cerpennya, UMM mengukuhkan kondisi seorang tua yang di masa mudanya hidup dalam kemewahan, kemudahan, dan kemakmuran yang di dapat dari usaha yang tidak halal, pada hari tuanya akan merasakan kesengsaraan dan mengalami proses kematian yang menyakitkan. Hal itu sejalan dengan ajaran agama Islam, siapa saja yang menjalankan kebaikan di muka bumi ini maka akan mendapatkan kematian yang husnul khotimah, dan siapa saja yang menjalankan kemaksiatan di atas muka bumi ini maka akan mendapatkan kematian yang su’ul khotimah.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tranggono, Indra. 2003. Iblis Ngambek. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Islahudin (Reporter). Perdukunan dalam Politik Indonesia.http://m.merdeka.com/pem ilu-2014/perdukunan-dalam-politikindonesia-orang-sakti-dan-politik1.html. Yusra, Abrar. 1992. Cerpen Upacara Hitam. http://cerpene.blogspot.com/2009/03 /upacara-hitam.html.
DAFTAR PUSTAKA Artha, Arwan Tuti. 2007. Dunia Spiritual Soeharto: Menelusuri Laku Ritual, Tempat-Tempat, dan Guru Spiritualnya. Yogyakarta: Galang Press. Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Merambah Matahari: Sastra dalam Perbandingan. Surabaya: Gaya Masa. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. Pradopo, Rahmat Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 122