BENTUK DAN PELAKSANAAN UPACARA “DAYANGO” (Studi Kasus pada Desa Barakati Kecamatan Batudaa )
PENULIS DIANFLORENZA DJUANDA
Oleh
JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2 0 14
1
2
ABSTRAK
3
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan pelaksanaan upacara Dayango melalui studi kasus pada Desa Barakati Kecamatan Batudaa. Masalah yang dikaji dalam penelitian
ini adalah
bagaimana
bentuk dan pelaksanaan upacara
Dayango. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian adalah observasi, dokumentasi dan wawancara. Tahap tahap penelitian meliputi persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Hasil penelitian Ritual dayango pada Desa Barakati berawal dari pemujaan animisme yaitu memanggil roh atau arwah leluhur. Roh-roh yang dipanggil menjadi mediator dalam menyembuhkan penyakit. Roh-roh bekerja dengan telaten atas bimbingan penari dayango terhadap pasien yang sudah didudukan atau dibaringkan di tengah pelaksanaan upacara dan pelaksanaan dayango hanya boleh dilakukan pada bulan ke delapan dilangit atau tepatnya pada bulan rabiulakhir. Kata kunci : Dayango, bentuk dan pelaksanaannya.
PENDAHULUAN Desa Barakati adalah salah satu di Kecamatan Batudaa yang mempunyai ragam budaya yang unik. Ragam budaya ini masih murni sebagai tradisi yang dianut masyarakat secara turun-temurun, diantaranya ragam khazanah animisme yang sampai saat ini masih dipercayai dan dilakukan oleh sebagian masyarakat pada Desa Barakati khususnya yang ada di pedalaman daerah tersebut adalah Dayango. Dayango adalah salah satu bentuk diantara beberapa ragam budaya animisme di Desa Barakati dan pelaksanaan ritual ini adalah sejenis upacara memanggil roh-roh arwah
untuk
dijadikan
mediator
untuk
menyembuhkan
orang
sakit,
yang
penyembuhannya dilakukan dengan gerakan-gerakan tarian yang tidak beraturan Gerakan-gerakan dayango walaupun tidak beraturan namun memperlihatkan ekspresi dan makna yang jika dikaji secara detail adalah aktualisasi dari gerakan roh-roh yang bangkit dan masuk dalam raga si penari dayango. Mengapa dayango masih tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat khususnya pada Desa Barakati hal ini pada mulanya berawal dari kepedulian terhadap sesama yang merasa bahwa penderitaan kerabat keluarga yang sakit adalah bagian dari tanggung jawab masyarakat, maka 4
timbullah kesadaran untuk berusaha menolong serta untuk menyembuhkannya. Usaha ini tidak lain adalah dengan melakukan ritual dayango. Pengertian tentang masyarakat yakni adanya sekumpulan orang yang memiliki kesadaran akan wilayah tertentu, atau kesadaran akan kesamaan tradisi kebudayaan tertentu yang membedakannya dengan kelompok lain. Jika demikian, kategori masyarakat bagi sekelompok orang atau populasi sangat relatif, tergantung wilayah dan ciri ciri apa yang membuatnya merasa satu kelompok. Menurut William A Haviland
(dalam Sundjaya,2008:4)
juga menjelaskan bahwa
masyarakat adalah sekelompok orang yang mendiami daerah tertentu dan memiliki tradisi kebudayaan yang sama. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka masyarakat yang ada di Desa Barakati yang juga merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Batudaa mempunyai ragam budaya yang unik. Ragam budaya ini masih murni sebagai tradisi yang dianut masyarakat secara turun-temurun, diantaranya ragam khazanah animisme yang sampai saat ini masih dipercayai dan dilakukan oleh masyarakat Gorontalo khususnya yang ada di pedalaman pada Desa Barakati yaitu
melakukan upacara ritual.
Secara umum orang yang melakukan kegiatan upacara atau ritual ini disebut petugas agama yang secara khusus bertugas membantu umat atau orang orang tertentu dalam menyalurkan emosi keagamaan dan melaksanakan praktek keagamaan. Dalam Islam petugas keagamaan yang dimaksud adalah para ulama, guru ngaji, khotib, imam shalat. Pada agama Nasrani dikenal dengan sebutan pendeta, pastur, paus, cardinal. Sedangkan dalam agama lokal yang dianut oleh sekelompok kecil masyarakat juga terdapat petugas agama seperti dukun. Dalam antropologi dikenal adanya beberapa teori tentang religi, baik yang menyangkut asal usul terbentuknya religi, symbol-simbol keagamaan, upacara atau ritual keagamaan, hingga hubungan social antar umat agama. Salah satu teori asal usul religi dikemukakan oleh R. R. Marett (dalam Sundjaya, 2008 : 42) bahwa religi muncul disebabkan oleh adanya getaran jiwa atau emosi pada diri manusia manakala menjumpai atau mengalami kejadian-kejadian luar biasa, seperti mimpi, kematian, atau bencana alam. Emosi atau getaran jiwa tersebut dapat berupa perasaan takut maupun kagum. Perasaan seperti itu 5
disebut emosi keagamaan karena mampu membawa pikiran manusia kepada keyakinan adanya kekuatan gaib, tak terlihat, dan tak dapat ditaklukkan di balik kejadian-kejadian yang dialaminya. Tokoh antropologi lainnya yang mengutarakan asal usul religi adalah Andrew Lang (dalam Sundjaya, 2008:45) berpendapat bahwa ketika manusia melihat hal-hal yang tak bisa dicerna oleh akal mereka, maka dalam dirinya muncul suatu kekuatan jiwa yang makin kuat. Jadi menurut teori ini kekuatan jiwa semakin kuat ketika aktivitas pikiran rasionalnya semakin lemah. Terkait dengan hal-hal tersebut diatas maka Dayango yang juga merupakan salah satu bentuk diantara beberapa ragam budaya animisme yang ada pada Desa Barakati , merupakan ritual sejenis upacara memanggil roh-roh arwah untuk dijadikan mediator untuk menyembuhkan orang sakit, yang penyembuhannya dilakukan dengan gerakan-gerakan tarian dan teriakan. Dilihat dari gerakan-gerakannya ritual dayango sepintas mengandung unsurunsur estetik budaya seni tari dan musik sebagai iringan(ritmis). Gerakan-gerakan dayango walaupun tidak beraturan namun memperlihatkan ekspresi dan makna yang jika dikaji secara detail adalah stilisasi dari gerakan roh-roh yang bangkit dan masuk dalam raga si penari dayango. Pelaksanaan upacara dayango berawal dari kepedulian terhadap sesama yang merasa bahwa penderitaan kerabat keluarga yang sakit adalah bagian dari tanggung jawab masyarakat, maka mengantarkan kesadaran untuk berusaha menolong untuk menyembuhkannya. Usaha ini dilakukan dengan ritual dayango, sehingga nampak bahwa dalam ritual ini mengadung nilai-nilai kebudayaan masyarakat Gorontalo. Menurut Ipong Niaga dalam studi kasusnya di desa Liyodu (2013:6) bahwa pelaksanaan Dayango dengan sebutan bakarja (mengerjakan) yang artinya lebih merujuk pada melakukan aktivitas bersama untuk memohon kesuburan atas seluruh tanaman, baik tanaman (agrikultur) maupun tanaman liar di hutan dengan meminta hujan, juga untuk memohon kesehatan bagi manusia dan hewan ternak. Dalam permohonan ini juga disertai dengan proses pemanggilan (motiyango) roh-roh halus 6
yang disebut latti, yang dipercayai oleh masyarakat memiliki tugas untuk merawat seluruh alam semesta, memelihara tanaman dan mengusir penyakit yang menyerang makhluk hidup. Dengan demikian istilah dari motiyango merupakan asal mula istilah Dayango yakni berupa daya-daya yang berarti suatu perjanjian, sedangkan da artinya suatu tempat dan motiyango yang artinya memanggil. Maka daya da motiyango dapat diartikan dengan memanggil sesuatu dengan maksud untuk memenuhi suatu janji di suatu tempat. Dalam bahasa Gorontalo Dayango berarti menggerakkan badan secara cepat atau lincah tanpa aturan-aturan yang jelas. Tetapi gerakan tersebut mempunyai makna yang hakiki yaitu menggerakan sendi-sendi badan. Namun uniknya di Gorontalo kata “dayango” hanya digunakan untuk ritual menyembuhkan orang sakit seperti dalam kajian ini. Memang sering kali manusia dalam memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya, soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib, .sebaliknya relegi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai satu maksud dengan cara menyandarkan diri pada kamauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam. Maka jelaslah bahwa keberadaan seni ritual dayango lebih menekankan nilainilai estetik pada aspek intuisi dari pada akal. “Rasa” atau “hati” dinilai mampu menggantikan logika yang serba terbatas menghadapai kebenaran hidup masyarakat di Desa Barakati. Mereka menempatkan berbagai aspek intuisi sebagai satu dunia yang berada “di atas” yang bersifat rasional, dan masyarakat pada Desa Barakati sangat meyakini hal ini, hal tersebut akhirnya membentuk struktur estetik yang melandasi hidupnya tradisi dan kesenian rakyat yang diminati dan dipercaya masyarakat, masyarakat Desa Barakati
banyak masih mengasumsikan karya seni estetik yang
memiliki makna adalah karya seni estetik yang dapat dipahami oleh mereka dan melibatkan masyarakat banyak. Hal ini sangat mendiskripsikan “estetika timur” dimana keindahan yang tidak dibuat-buat dan mengada-ada mendorong manusia untuk bersikap
7
sederhana dan dan harmonis. Kesatuan dengan nada dan musik alam semesta merupakan rahasia keseimbangan dan ketentraman yang dicerminkan dalam filosofi dan cara hidup orang timur. Dengan demikian kebudayaan kemunduran dari pola pikir
dapat berubah mengikuti tingkat kemajuan dan
masyarakat. Masyarakat yang terbuka tentunya akan
mempunyai peluang yang besar untuk mengembangkan kebudayaannya. Sedangkan masyarakat yang masih tradisional merupakan masyarakat yang aktivitasnya dalam jangka waktu sangat lama tak mengalami perubahan bahkan terus dilakukan secara turun temurun.
METODE PENULISAN
Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang jenisnya adalah penelitian kasus bertujuan untuk mempelajari secara intensif unit sosial yang meliputi individu, kelompok, lembaga dan masyarakat atau memahami siklus kehidupan suatu unit perorangan,keluarga, kelompok, pranata sosial suatu masyarakat. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat desa Barakati Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo Provinsi. Gorontalo selama 3 bulan, mulai bulan November 2013 sampai dengan Bulan Februari 2014. Alasan peneliti mengambil lokasi ini adalah karena peneliti sendiri termasuk dalam populasi/masyarakat
pada
Desa Barakati
Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo. Provinsi. Gorontalo, sehingga dapat memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian ini, disamping itu juga dapat menghemat waktu dan biaya. Data inti atau data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden, sehingga keakuratan data dapat dipercaya. Disamping itu peneliti juga mengetahui tentang seluk beluk pelaksanaan upacara Dayango pada masyarakat Desa Barakati Kecamatan Batudaa Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini berupa data yang diperoleh dari beberapa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian yang bersifat mendukung. Data sekunder yang dimaksud adalah,buku-buku,jurnal dan lainnya yang bersifat mendukung penelitian sehingga memberikan data yang akurat dan bukan dari beberapa informan maupan data yang di peroleh dari lapangan.
8
Instrumen yang akan digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini adalah observasi, dokumentasi dan wawancara. Teknik
observasi ini digunakan untuk
mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan, dimana peneliti disamping bertindak sebagai peneliti juga merupakan bagian objek penelitian (partisipan). Dokumentasi dalam penelitian ini merupakan cara pengumpulan data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap,sah dan bukan berdasarkan perkiraan. Dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk foto dan rekaman video. Dan untuk teknik wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertanyaan yang secara langsung ditanyakan/ disampaikan kepada responden berkaitan dengan indikator penelitian.
HASIL PENELITIAN
Pada awal memulai wawancara tentang adanya dayango kepada narasumber ( Sarifudin Halalutu ) adalah sebagai berikut :.bahwa sejarah tradisi Dayango sudah mulai dilaksanakan di Desa Barakati yakni sejak awal tahun 1936
oleh kakek dari
narasumber yaitu Kalea Halalutu. Menurut narasumber bahwa waktu yang tepat untuk menetapkan hari dan bulan pelaksanakan dayango ini adalah tidak sembarangan sebab dapat membahayakan masyarakat. Sesuai dengan saran serta pendapat dari para narasumber maka pelaksanaan dayango boleh dilakukan pada bulan ke delapan dilangit atau pada bulan rabiulakhir. Dengan demikian maka penelitian ini dilaksanakan pada malam jumat yakni tanggal 06 Pebruari 2014. Seminggu sebelum pelaksanaan Dayango, pelaksana meminta izin secara lisan kepada aparat pemerintah Desa Barakati seperti Kepala Desa (Taudaa), Kepala Dusun (podu) maupun kepada Sekertaris Desa (Julutuli) dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya yang dianggap berpengaruh. Atas persetujuan aparat Desa Barakati maka ditetapkanlah tempat dan waktu pelaksanaannya.
Olehnya
berdasarkan persetujuan
tersebut
maka
penelitian
Dayango ini diadakan didalam rumah serta waktunya adalah pada malam hari. Hal yang dipertimbangkan biasanya dalam hal kondisi pasien, biasanya kalau pasien sudah parah keluarga akan meminta diadakan di halaman rumah mereka.
9
Tepat pada hari kamis beberapa kepala keluarga yang hendak melaksanakan ritual Dayango disibukkan dengan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan yakni berupa telur rebus 31 butir, ayam jantan dan betina, berbagai macam kue khas daerah 5 (lima) macam seperti cucur, apang bale, wapili, balapis, apang coe, pisang, kelapa muda .pelepah pinang muda, bunga poluhungo, selain itu juga ada rempah-rempah seperti bawang putih, pala, gorakah, kunyit, kayu manis dan beras disertai dengan 6 (enam) macam warna kain yakni putih, merah, biru, hijau tua, hijau muda, dan hitam yang panjangnya kurang lebih 2 (dua) meter. Dari persiapan tersebut diatas maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan terkait dengan penggunaan serta manfaat dari bahan – bahan yang telah disiapkan diatas adalah : 1) Walima, 2) Bulele malohihi, 3) Yilonda, 4) Minuman, 5) Lima macam warna kain, 6) Alama, 7) Tabu. Ketika persiapan seperti Bulowe yakni ruangan pucuk pinang yang dibungkus dengan kain merah dan putih, hulante sebagai tempat sesajian, tambati lo wombua adalah ruangan spesial bagi juru kunci atau wombua dayango semua sudah selesai disiapkan maka tepat menjelang pukul 21.00 wita pada hari kamis (malam Jumat) prosesi ritual Dayango segera dimulai yang diawali dengan proses menyanyi (mahewumbungo) yang diiringi oleh musik gambus. Sedangkan wombua (pemimpin upacara dayango) dengan
menggunakan 3 (tiga) macam warna kain yakni merah,kuning dan hijau,
dimana warna merah diikat dikepala, sedangkan warna kuning dan hijau disilangkan didada dan dibelakang. Adapun mereka yang terlibat langsung pada upacara Dayango ini
adalah
sebanyak 8 (delapan) orang yang terdiri dari 4 (empat) orang laki-laki dan 4 (empat) orang perempuan, serta 1 (satu) orang pemain gambusi. Pada acara inti pemimpin Dayango membaca mantra
disertai dengan membakar
kemenyan,lalu menciprat-cipratkan air dengan menggunakan pucuk daun poluhungo yang direndam di dalam baskom yang berisi air dan rempah-rempah, Kegiatan yang dilakukan ini tidak lain adalah untuk memanggil roh leluhur .
10
Wombua terus duduk menabur dupa di atas totabu sembari menyanyikan mohumbungo berulang-ulang kali. Lalu empat sampai enam penari menunggu kemasukan roh. Wombua mulai lagi mohumbungo. Jika terdengar suara teriakan keras maka saat itulah rebana dan gitar gambusi akan mulai berbunyi sebagai panggilan sang pemimpin untuk menari bersama. Mendengar teriakan maka
wombua bangkit dan menari dengan gerakan–
gerakan sebagai berikut : 1) Menggetarkan seluruh badan (posisi penari mengelilingi pasien) 2) Menggetarkan seluruh persendian tubuh (posisi penari tidak beraturan) 3) Gerakan melompat-lompat dengan ujung kaki (posisi penari tidak beraturan) 4)Gerakan Dayango lebih didominasi oleh gerakan kaki sedangkan tangannya hanya sesekali melakukan gerakan. Seluruh sendi-sendi tubuh penari terus bergetar, dan mereka terus kerasukan. Mereka minta pinggo lolunggongo merah atau putih kemudian mereka terus menari dengan gerakan mulai melompat lompat. Daun woka ada ditangan kiri dan kanan serta diayunkan kian kemari dalam ritme yang kadang beraturan kadang tidak serta terus mengikuti petikan gitar gambusi. Menjelang pukul 24.00 wita ketika pelaksanaan Dayango akan diakhiri, maka Wombua akan membacakan mantra didalam ruang kamar/kuil untuk menyuruh para latti segera kembali ketempat asalnya.Saat hal itu dilaksanakan maka tubuh dari Wombua akan bergetar disertai teriakan keras. Setelah latti-latti dirasakan sudah pergi, maka keadaan sudah kembali normal semuanya, maka Dayango dianggap berakhir dan masyarakat kembali kerumahnya masing-masing. Namun keesokan harinya yakni hari Jumat
pagi yang merupakan hari terakhir
dilakukan pembacaan doa hal tersebut dilakukan agar supaya tidak ada lagi penyakit. Setelah itu mereka yang semalam telah melakukan ritual Dayango bergegas menuju sungai dengan membawa yilonda serta bahan sesajen lainnya seperti kain dengan 5 (lima) macam warna dan bunga polohungo, selanjutnya Wombua membaca mantramantra dan mencelupkan kain yang berwarna-warna tadi kedalam air, setelah itu wombua menyiran air kepada penduduk yang sakit dan mendoakan masyarakat lainnya
11
dan diakhiri dengan menghanyutkan seluruh sesajen, dan hal ini sebagai pertanda bahwa segala penyakit telah dibawah pergi bersama sesajen. Setelah kembali dari sungai ,maka
Wombua bersama orang sakit yang
telah
dimandikan disungai tadi menuju dan kembali lagi kerumah tempat acara prosesi Dayango dilaksanakan dengan tujuan untuk mengobati kembali agar benar sembuh. Kemudian dilanjutkan dengan acara menutub pahu, dimana kegiatan ini merupakan kegiatan yang paling terakhir dari prosesi Dayango. Adapun bahan-bahan yang disediakan berupa 5 (lima) macam warna beras yakni putih,kuning,hijau,hitam dan merah. Selain itu juga dibuat sebuah rumah kecil yang didalam rumah kecil tersebut berisi boneka (hilayanga) satu pasang pria dan wanita dan dalam hilayanga tersebut diisi masing-masing 1(satu) butir telur, pinang, sirih beserta daunnya,kunyit. Kemudian setelah
membaca mantra-mantra selanjutnya rumah kecil tadi diletakkan diatas
bumbungan rumah ( pahu) dan beras yang berwarna warni tadi dibuang oleh Wombua keseluruh sudut rumah, hal ini dilakukan agar penghuni rumah terlindungi dari penyakit. Dayango terus dilakukan sampai akhirnya agama Islam masuk ke Gorontalo. Dan sejak Islam masuk hal-hal adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam dibatalkan atau dibatasi kegiatannya kecuali jika ada izin dari pemerintah, hal inipun juga berlaku terhadap masyarakat pada Desa Barakati. Olehnya praktek praktek yang sifatnya ritual agama dapat dikatakan bebas dari penilaian baik atau buruknya, sebab ritual hanya dapat didefinisikan dan dikaji setelah kita mengkaji sistem keyakinannya dengan kata lain praktek-praktek religi akan jelas maksud dan tujuannya setelah diketahui konsep-konsep yang mendasarinya. KESIMPULAN Dengan ritual dayango di Desa Barakati dapat di asumsikan bahwa masyarakat desa tersebut dengan berbagai daya dan upaya menolong seseorang yang dalam keadaan sakit berusaha mencari cara solusi dengan meminta kekuatan dari yang mereka yakini sebagai pencipta, penolong yang dalam hal ini yaitu roh-roh nenek moyang dan roh-roh penguasa alam dapat menghasilkan 12
keyakinan tradisi yang turun-temurun dilaksanakan dan akhirnya membudaya di masyarakat desa Barakati. Dayango merupakan kegiatan ritual masyarakat desa Barakati yang tujuannya merupakan permohonan manusia kepada sang pencipta untuk dapat mengobati penyakit yang diderita masyarakat dan memohon kesuburan seluruh alam semesta. .Dayango dilaksanakan melalui proses pembacaan mantra-mantra, sesajian, ekspresi gerak tari dan nyanyian, iringan musik gambus. Seni ritual dayango, termasuk dalam seni tari primitif, yang diangkat dari perilaku sosial mayarakat yaitu upaya dalam menyembuhkan dan menolong orang sakit. Dalam kandungan estetik sangat mendasar, berbagai unsur-unsur keindahan sebenarnya dapat kita kaji dari seni ritual dayango ini. dari tata cara ritual dayango dapat diyakini bahwa dayango adalah induk dari seluruh tari yang ada di Gorontalo; hal ini cukup beralasan karena jauh sebelum masyarakat mengenal seni tari secara mendalam, termasuk mengembangkan dan menciptakan seni tari yang ada di Gorontalo.
DAFTAR RUJUKAN Buchory Achmad,2010, Budaya, Surakarta; Putra Nugraha Brandom, James R, 2003, Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, Bandung: P4ST ChristopelPaino“Dayangodilarangbanjirpundatang”http//www.lenteratimur.com// dayango-banjir-pun datang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan SULUT, 2003, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara) Faruqi.I, 1984, Islam and Culture,(terjemahan Yustiono),Bandung; Mizan (Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi II, Jakarta; Universitas Indonesia.) Niode, Alim, 2007, Gorontalo Perubahan Nilai-Nilai Budaya dan Pranata Sosial, Jakarta; Pustaka Indonesia Niaga,Ipong,2014,Ritual Dayango Studi kasus desa Liyodu, Gorontalo; Universitas Negeri Gorontalo
13
Riyanto,Yatim,2010. Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya;SIC Riandini,Nursanti,2010, Zamrud Khatulistiwa, Jakarta;Media Indonesia Sundjaya,2008, Dinamika Kebudayaan, Jakarta;Perca Soedarsono, 2010, Seni Pertunjukan Indonesia, Gajah Mada University Press
14
15
16
17