NILAI-NILAI DALAM UPACARA ASSUNNA PADA MASYARAKAT JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN THE VALUES OF ASSUNNA CEREMONY IN SOCIETY OF JENEPONTO, SOUTH SULAWESI PROVINCE Fatmawati P Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119, Faksimile (0411) 865166 Handphone: 085242824485 Diterima: 10 Maret 2015; Direvisi: 14 April 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT This study aimed to describe the values of assunna ceremony in Jeneponto society. This study was a qualitative descriptive with data collection techniques were observation, deep interview, and literature study. The results showed that the implementation of assunna ceremony is an islamization process for boys and girls in turning adult. The implementation of ceremonies are different between highborn and ordinary people. For highborn, the ceremony takes place several days with various activities, while for ordinary people, the ceremony is relatively simple and usually just one day. The simple ceremony for ordinary people does not mean reducing the values of the sanctity of the ceremony. In the ceremony, there are number of values as a guide for citizens for their daily life, either in the social environment or in limited family environment. These values are solidarity value, religious value, socialization value and beauty value. Keywords: assuna ceremony, islamization, values. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai dalam upacara assunna pada masyarakat Jeneponto. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data, berupa: pengamatan, wawancara mendalam, dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan upacara assunna merupakan proses pengislaman bagi anak laki-laki dan perempuan untuk memasuki usia dewasa. Pelaksanaan upacara berbeda antara keturunan bangsawan dengan masyarakat biasa. Bagi keturunan bangsawan, pelaksanaan upacara dapat berlangsung beberapa hari dengan berbagai macam kegiatan. Sementara bagi masyarakat biasa, pelaksanaan upacara relatif sederhana dan biasanya berlangsung sehari saja. Pelaksanaan upacara yang relatif sederhana bagi masyarakat biasa tidak berarti mengurangi nilai kesakralan upacara tersebut. Dalam pelaksanaan upacara tersebut, terdapat sejumlah nilai sebagai pedoman bagi warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan sosial masyarakat maupun dalam lingkungan keluarga. Nilai-nilai tersebut adalah nilai solidaritas, nilai keagamaan, nilai sosialisasi dan nilai keindahan. Kata kunci : upacara assunna, pengislaman, nilai-nilai.
PENDAHULUAN Setiap masyarakat memiliki sistem pengetahuan tentang masa-masa peralihan atau perkembangan kehidupan setiap orang, misalnya masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa aqil baliq, penikahan, kehamilan, kelahiran dan kematian. Setiap masa peralihan tersebut dipercaya memiliki momen yang menimbulkan suasana hati yang bermuara pada perasaan gembira, rasa cemas, rasa takut dan sebagainya. Adanya suasana hati tersebut menyebabkan
orang merayakannya dengan berbagai upacara, seperti upacara syukuran, selamatan, tolak bala dan sebagainya. Hal yang sama dipaparkan oleh Koentjaraningrat (1992:255), bahwa setiap manusia dari banyak kebudayaan percaya sekali adanya suasana berbahaya yang ditemui, apabila ia tiba pada saat meninggalkan satu tingkat dan memasuki tingkat kehidupan yang lain. Untuk menolak bahaya itu, manusia menciptakan usaha untuk menyelematkan diri dari bahaya tersebut. Usaha penyelamatan itu berbentuk upacara239
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 upacara yang dilakukan bersama atau sendiri; untuk berkomunikasi dan mengembangkan hubungan baik dengan para kekuatan gaib, hantu, setan, roh dan sebagainya. Upacaraupacara demikian dinamakan crisis rites atau rites de passage atau upacara peralihan, oleh para antropolog juga berfungsi sebagai sarana pengumuman kepada khalayak ramai tentang tingkatan kehidupan yang telah dicapai oleh seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Wiyadi dkk. (1995), menyatakan bahwa upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama dan kepercayaan. Sementara upacara adat adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun temurun yang berlaku di suatu daerah. Upacara adat dengan berbagai jenisnya sangat ditentukan oleh agama dan kepercayaan yang mereka anut. Menurut Gennep (dalam Sumerta dkk., 2013:9), upacara seringkali dimaknai suatu proses perjalanan yang menggambarkan transformasi sosial, seperti dalam upacara inisiasi. Upacara untuk melepaskan seseorang dari masa kanak-kanak kemudian memasuki tahapan antara (liminal), selanjutnya memasuki dunia kedewasaan. Pelaksanaan upacara dengan segala perlengkapannya senantiasa mewujudkan emosi keagamaan, yang menjadi perhatian anggota masyarakat. Pelaksanaan upacara, selain berfungsi komunikatif, juga berfungsi sosialisasi pewarisan nilai-nilai dan norma-norma yang terkait dengan sistem kepercayaan. Sosialisasi dapat ditempuh dengan berbagai cara, tetapi upacara bersama simbol-simbol adalah suatu cara yang mempercepat terjadinya sosialisasi. Oleh karena upacara tidak saja menampilkan materi dan tahap-tahap upacara, melainkan di dalamnya terkandung ungkapanungkapan emosional yang merangsang terciptanya kekukuhan norma dan nilai bersifat kohesif di antara para anggota masyarakat (Yusuf, 1992:3). Dengan demikian, anggota masyarakat yang melaksanakan upacara berarti turut mengukuhkan tata tertib sekaligus menaati aturan-aturan yang sedang berlaku dalam masyarakat. Seperti halnya banyak suku bangsa di dunia pada umumnya dan di seluruh Indonesia pada 240
khususnya, orang Jeneponto juga menganggap setiap tahap peralihan atau perkembangan kehidupan manusia mengandung unsur krisis. Oleh karena itu, manusia menanggapinya dengan pelaksanaan upacara. Salah satu upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat Jeneponto adalah assunna. Upacara assunna merupakan salah satu bagian dalam upacara daur hidup bagi masyarakat Jeneponto, yang pelaksanaannya sangat meriah setara dengan pesta perkawinan. Hal ini dimaksudkan, karena assunna merupakan proses pengislaman yang sangat mendasar bagi setiap orang Jeneponto untuk memasuki usia balig. Pelaksanaan upacara assuna penting artinya bagi warga masyarakat setempat untuk pembinaan sosial budaya. Oleh karena upacara assuna merupakan kegiatan sosial yang melibatkan sebagian besar warga masyarakat untuk menyukseskan pelaksanaan upacara tersebut. Keterlibatan warga masyarakat, utamanya kerabat, shabat, tetangga dan sebagainya merupakan perwujudan nilai solidaritas untuk saling bantu membantu antara sesama warga masyarakat. Adanya saling bantu membantu dalam penyelenggaraan upacara tradsional dapat memprkuat jalinan rasa solidaritas warga masyarakat setempat. Upacara tradisional yang dilakukan oleh warga masyarakat mengandung nilai yang wajib dipatuhi oleh setiap warga masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang secara otomatis dan diwariskan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut Hidayah (2003:3) nilai adalah gagasan-gagasan yang ditentukan oleh manusia untuk menggariskan perilaku yang tepat dan dapat diterima bersama. Karena itu nilai mengandung orientasi kepada apa yang salah dan apa yang benar, apa yang baik dan apa yang buruk; apa yang terpuji dan apa yang tercela menurut budaya yang menjadi kerangka acuannya. Sedangkan Koentjaraningrat (1990:190) membatasi pengertian nilai budaya (cultural value) sebagai konsep abstrak mengenai masalah dasar yang amat bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan warga masyarakat. Hakikat pengertian nilai budaya tersebut menyangkut kompleks idea-
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
idea, gagasan dan pandangan-pandangan yang sifatnya abstrak, lokasinya berada dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan hidup. Masalah dalam penelitian ini difokuskan pada “bagaimana nilai-nilai dalam upacara assuna pada masyarakat Jeneponto”? untuk menjawab pertanyaan tersebut diajukan dua pertanyaan sebagai rincian dari masalah tersebut, yaitu bagaimana prosesi pelaksanaan ritual assunna, dan bagaimana nilai-nilai yang ada dalam upacara tersebut? METODE Penelitian tentang assunna yang diselenggarakan oleh masyarakat Jeneponto merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Maksudnya, penelitian ini ingin mengungkapkan upacara tersebut mulai dari tahap persiapan hingga akhir acara. Penelitian ini akan mengumpulkan data yang tampak maupun yang tidak tampak. Data yang tampak meliputi prosesi upacara dan peralatan upacara yang digunakan. Sedangkan data yang tidak tampak meliputi nilai-nilai yang ada dalam upacara assunna tersebut. Data tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu pengamatan, wawancara dan studi pustaka. Seluruh data yang terkumpul dianalisis berdasarkan tiga alur kegiatan secara bersamaan, yakni reduksi data, menyederhanakan data yang diperoleh dengan mengklasifikasi, penyajian data dengan membuat abstraksi dengan menghubungkan atau dengan membandingkan dengan teori yang ada dan penarikan kesimpulan (Miles,1992:1) PEMBAHASAN Masyarakat Jeneponto Jeneponto merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak sekitar 90 km sebelah selatan Kota Makassar. Warga masyarakat Jeneponto tergolong suku bangsa Makassar, dengan bahasa Makassar sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sehari-hari. Jumlah penduduk pada tahun 2013 (Kantor Statistik Kabupaten Jeneponto) sebanyak 334.175 jiwa, terdiri
atas 161.414 jiwa laki-laki dan 172.761 jiwa perempuan, yang umumnya beragama Islam. Kendati demikian, walaupun sudah beragama Islam kepercayaan lama masih mewarnai alam pikiran mereka, sehingga berbagai upacara tradisional berkaitan dengan keselamatan, tolak bala dan sebagainya masih sering dilakukan. Masyarakat Jeneponto menganut sistem kekerabatan yang bersifat bilateral, yang mana hubungan kekerabatan setiap orang dapat ditelusuri melalui dua jalur, yaitu hubungan kekerabatan dari pihak ayah maupun ibunya. Kelompok-kelompok kekerabatan terbentuk pula dengan dua jalur, yaitu kelahiran dan jalur perkawinan. Dalam bahasa Makassar istilah kekerabatan disebut bija. Bija terbagi dua, yaitu bija pammanakang dan bija passaribattangang. Bija pammanakang adalah kelompok kekerabatan yang terbentuk melalui jalur kelahiran, sedangkan bija passaribattangan terbentuk melalui jalur perkawinan. Kelompok kekerabatan dalam unit sosial paling kecil disebut bija pammanakang sibatu ballak (rumah tangga). Pengertian ini mencakup keluarga batih dan segenap anggota kerabat yang tinggal bersama-sama dalam satu rumah tangga. Konsep ini mempunyai konsekuensi sosial, bahwa setiap individu, setiap orang dalam suatu rumah tangga merupakan suatu kesatuan sosial, budaya, ekonomi, dan religius. Sistem kekerabatan masyarakat Jeneponto mempunyai ikatan solidaritas yang tinggi dan mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Adapun peranan anggota kerabat terutama dalam upaya menegakkan harkat dan martabat serta kehormatan keluarga sebagai suatu kesatuan sosial. Demikian pula dalam kaitannya dengan penanggulangan berbagai tantangan hidup seperti masalah ekonomi dan lapangan kerja, penanggulangan berbagai kegiatan yang harus diselesaikan dengan gotong royong, penanggulangan masalah-masalah sosial yang timbul dalam keluarga, terutama yang bertalian dengan proses perkawinan, pembagian warisan dan sebagainya. Khusus yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara, anggota kerabat mempunyai andil yang sangat besar. Keterlibatan anggota NHUDEDW EXNDQ KDQ\D GDODP EHQWXN ¿VLN DWDX tenaga dan pikiran, tetapi juga berupa materi dan 241
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 moril. Kehadiran mereka biasanya tidak diundang resmi, tetapi hanya sekedar pemberitahuan secara lisan, baik secara langsung maupun melalui perantara dari anggota kerabat lainnya. Prosesi Upacara Assuna Salah satu bentuk sosialisasi yang masih dikenal oleh masyarakat hukum adat adalah upacara adat (custom ceremony). Fungsi upacara adat adalah untuk mengukuhkan norma-norma dan nilai-nilai budaya. Secara umum, upacaraupacara adat atau ritual tradisi budaya masyarakat yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan menunjukkan mentalitas religius-magis, yang diungkapkan secara kolektif melalui upacaraupacara. Upacara adat ini mempererat rasa kebersamaan dan persatuan masyarakat yang mendukungnya. Upacara assunna ini telah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Makassar yang ada di Kabupaten Jeneponto. Pelaksanaan upacara assuna di daerah ini sangat menarik dan mendapatkan perhatian dari masyarakat, baik masyarakat yang ada di daerah Jeneponto maupun yang ada di luar Jeneponto. Oleh Karena prosesi acaranya yang cukup panjang dan juga mempunyai makna-makna tertentu yang dapat dijadikan pedoman kehidupan manusia. Persiapan Upacara Pada masa lalu, upacara adat assunna yang dilakukan oleh masyarakat Jeneponto memerlukan waktu yang relatif lama untuk mempersiapkan acara tersebut. Persiapannya biasanya berlangsung selama satu sampai dua bulan lamanya. Hal ini disebabkan karena banyak hal yang harus disiapkan, misalnya membangun tenda yang relatif besar dan luas untuk tamu. Pembangunan tenda tersebut memerlukan waktu relatif lama, karena selain pengerjaannya, juga menyiapkan bahan-bahan yang disediakan, seperti beberapa batang bambu, atau rumbia dan sebagainya. Selain itu juga kayu bakar yang relatif banyak untuk bahan bakar dalam acara tersebut. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan zaman persiapan pelaksanaan upacara assunna sudah tidak terlalu rumit dan lama seperti halnya pada masa lalu. Ketersediaan alat-alat rumah tangga, seperti kompor gas yang dipakai untuk 242
memasak pada acara tersebut sangat membantu ibu-ibu rumah tangga di dalam melaksanakan aktivitasnya. Begitu pula dengan hadirnya jasa penyewaan tenda yang semakin menjamur, sehingga pihak keluarga sudah tidak perlu lagi membuat tenda dari bambu dan daun nipa. Cukup hanya dengan menelpon kepada perusahaan jasa penyewaan tenda, maka dalam waktu singkat tenda sudah siap berserta kursinya. Tahap persiapan pada upacara assunna juga dilakukan musyawarah bagi anggota kerabat untuk membicarakan tahap pelaksanaan upacara, bahan-bahan kelengkapan upacara, siapa-siapa yang berperanan dalam upacara tersebut, siapa yang akan diundang untuk hadir dalam acara tersebut dan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan upacara assunna. Pada tahap persiapan upacara, seluruh kerabat dan tetangga dekat sudah berpartisipasi aktif, baik fisik maupun moril dalam menyukseskan kelancaran pelaksanaan upacara tersebut. Waktu Upacara Penentuan waktu pelaksanaan upacara assunna dilakukan secara musyawarah dari keluarga dan kerabat yang akan melakukan upacara. Hal itu dilakukan untuk menentukan hari yang baik sesuai kepercayaan masyarakat setempat. Selain itu, juga menghindari terjadinya waktu yang bersamaan dengan kegiatan upacara lainnya yang akan dilakukan oleh kerabat lainnya atau tetangga lainnya. Hal itu disebabkan karena upacara adat assunna senantiasa dilakukan secara besar-besaran dan melibatkan banyak orang, terutama anggota kerabat yang ada di dalam daerah Jeneponto maupun di luar daerah tersebut. Keterlibatan anggota kerabat, sahabat dan tetangga memiliki arti yang sangat besar bagi terselenggaranya acara tersebut. Adapun pelaksanaan upacara adat assunna yang dilaksanakan oleh masyarakat yang ada di Jeneponto mempunyai perbedaan antara masyarakat dari lapisan bangsawan (karaeng) dengan masyarakat biasa. Perbedaan yang sangat mencolok dalam pelaksanaan upacara tersebut dapat dijumpai dalam prosesi yang relatif lama (beberapa hari) dan meriah. Bilamana upacara berlangsung seperti itu, maka pelaksana kegiatan
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
berasal dari lapisan bangsawan. Sebaliknya, bilamana pelaksanaan upacara relatif sederhana dan waktunya juga relatif singkat (satu atau dua hari), dan tidak disertai kegiatan akkorongtigi selama tiga malam berturut-turut, maka pelaksana upacara berasal dari lapisan masyarakat biasa. Tempat Upacara Upacara assunna yang dilaksanakan oleh masyarakat yang ada di Jeneponto, baik itu dilaksanakan oleh masyarakat bangsawan maupun masyarakat biasa, pelaksanaan upacaranya selalu mengambil tempat di rumah kediaman masingmasing penyelenggara acara. Hal ini disebabkan karena sebagian besar prosesi acara atau rangkaian acara dari awal sampai berakhirnya acara semua dilaksanakan di dalam rumah empunya acara. Rumah dengan halaman yang luas diberi tenda untuk menerima tamu. Di kolong rumah (rumah panggung) dijadikan tempat untuk melakukan berbagai aktivitas terutama kaum wanita dalam mengolah konsumsi yang disiapkan untuk peserta upacara dan undangan. Selain rumah kediaman empunya acara, tempat upacara juga dilakukan di pinggir laut untuk membawa sesajen. Sebagai gambaran singkat, berikut ini dipaparkan beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak keluarga, sehingga mengapa rumah dijadikan sebagai tempat upacara adat assunna. Pelaksanaan awal dari rencana pelaksanaan kegiatan adalah musyawarah yang ditandai dengan berkumpulnya keluarga dekat untuk membicarakan hal-hal terkait dengan pelaksanaan assunna. Dalam musyawarah tersebut dibicarakan beberapa hal, antara lain hari yang tepat untuk pelaksanaan assunna; pembentukan panitia yang nantinya diserahi tugas masing-masing demi kelancaran dan kesuksesan acara; dibicarakan pula tahap-tahap persiapan kegiatan termasuk bahan-bahan konsumsi yang akan dipersiapkan, termasuk peralatan upacara; demikian pula dukun atau imam yang akan diundang dalam acara tersebut. Tahapan kegiatan tersebut dilakukan di rumah empunya acara, tanpa melihat besar kecilnya kapasitas rumah tersebut. Hal ini menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar sebagai empunya acara.
Peserta Upacara Dalam pelaksanaan upacara assunna, keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam acara tersebut sangat ditentukan oleh kepribadian si empunya acara, termasuk anggota keluarganya. Kepribadian seseorang, apakah baik atau buruk sangat relatif dan normatif sesuai penilaian masyarakat setempat. Bilamana kepribadian seseorang relatif baik, luwes, sopan, solider, dan sebagainya akan mendapat apresiasi dari masyarakat, terutama dari pihak keluarga, sahabat, tetangga dan sebagainya. Kehadiran mereka ada yang diundang secara tertulis, ada yang diundang secara lisan atau bahkan ada hanya sekedar diinformasikan melalui pihak ketiga. Kehadirannya merupakan apresiasi yang menunjukkan sikap harmonis, keakraban dan persaudaraan di antara mereka dengan si empunya acara. Setiap orang yang hadir dalam upacara assunna memiliki peranan masing-masing. Ada yang hadir secara aktif terlibat langsung dalam berbagai proses kegiatan upacara, yang terlibat dalam kegiatan konsumsi dan ada yang hadir sebagai tamu undangan. Kehadiran mereka baik secara aktif terlibat maupun secara pasif dalam upacara tersebut, memberi andil dan spirit dalam kelancaran dan kesuksesan upacara. Mereka memberikan dukungan moril, memberikan sumbangan berupa pikiran, tenaga dan materi demi suksesnya upacara tersebut. Suatu fakta nyata bahwa masyarakat Jeneponto memiliki empati dan solidaritas yang kuat di antara sesama, terutama yang membutuhkan bantuan. Peserta upacara yang utama adalah anakanak yang akan dikhitan, dia merupakan aktor dalam upacara assunna. Orang tua anak-anak juga merupakan peserta utama, karena dia yang merupakan skenario dan membiayai upacara tersebut. Peserta yang lain yang tidak kalah pentingnya adalah imam atau dukun, karena dia yang akan memimpin pelaksanaan upacara. Seluruh kerabat, sahabat dan tetangga juga merupakan peserta upacara yang penting artinya dalam pelaksanaan upacara, karena mereka sebagai tenaga teknis yang mensuppor jalannya pelaksanaan upacara. Dengan demikian,
243
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 seluruh peserta upacara memiliki peranan yang VDQJDW VLJQL¿NDQ XQWXN PHQFDSDL NHVXNVHVDQ pelaksanaan upacara assunna. Upacara assunna merupakan acara yang tidak lazim lagi bagi orang Makassar pada umumnya dan orang Jeneponto pada khususnya. Perhatian masyarakat setempat terhadap pelaksanaan upacara assunna mendapat apresiasi yang tinggi dan dihormati, apalagi kalau penyelenggaranya berasal dari golongan bangsawan, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Namun demikian, bagi golongan masyarakat biasa, pelaksanaan upacara assunna juga mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat terutama bagi golongan masyarakat yang setara. Pendek kata, upacara assunna mendapat perhatian khusus yang sama halnya dengan upacara appabbuntingang (perkawinan). Hal ini disebabkan karena kedua upacara tersebut merupakan proses peralihan dari tahap kehidupan anak-anak atau lajang ke tahap dewasa atau berumah tangga. Peralihan tahap kehidupan tersebut sangat menentukan untuk langkah kehidupan selanjutnya. Perlengkapan Upacara Setiap pelaksanaan upacara didukung oleh sarana dan prasarana yang disebut dengan perlengkapan upacara. Dilihat dari sifatnya, ada perlengkapan upacara yang memiliki sifat sakral dan ada yang profan. Namun demikian, keduanya memiliki makna dan simbol masingmasing. Dalam upacara assunna, perlengkapan upacara tampaknya hanya memiliki sifat profan yang dapat dijumpai di sekitar pemukiman masyarakat setempat. Perlengkapan tersebut dapat dipersiapkan tanpa sesajen atau ritual khusus. Adapun perlengkapan upacara yang harus dipersiapkan dalam upacara assunna adalah sebagai berikut: 1. Batang pisang Batang pisang merupakan perlengkapan upacara assunna, yang berfungsi sebagai tempat duduk bagi anak-anak yang akan dikhitan. Pertama-tama batang pisang dipilih yang relatif besar, biasanya yang sudah berbuah. Batang pisang tersebut dipotong yang panjangnya sekitar 50 cm, lalu dibuka dan dibuang serat luarnya. Jadi, 244
tinggal serat dan intinya yang berwarna putih. Batang pisang (baca pohong pisang) memiliki makna simbolik sebagai suatu kehidupan yang subur. Daunnya bertingkat-tingkat melambangkan beberapa generasi, yang diharapkan juga terjadi pada manusia terutama pada keluarga yang dikhitan. Pohon pisang memilki kehidupan yang gampang berkembang biak. Setelah induknya berbuah, anak-anaknya bermunculan siap menjadi pewaris kehidupan induknya. Hal ini juga diharapkan bagi keluarga yang dikhitan kelak. Hal senada dinyatakan oleh Asis (2012:102), bahwa pohon pisang melambangkan sesuatu tumbuhan yang tidak akan mati sebelum berbuah. Tumbuhan pisang daunnya berlapislapis belum tua menunjukkan lagi kuncup baru. Hal tersebut ditujukan kepada anak kelak bila sudah berumahtangga dapat mengikuti kehidupan pisang. 2. Abu gosok Abu gosok adalah salah satu perlengkapan upacara yang sangat dibutuhkan oleh seorang imam di dalam menjalankan tugasnya untuk menkhitan anak laki-laki. Abu gosok berfungsi sebagai anti biotik yang dioleskan pada kulit kelamin anak-anak yang telah dipotong agar tidak terjadi pendarahan. Bagi masyarakat tradisional, abu gosok sering pula dijadikan pembersih alatalat dapur. Oleh karena itu, abu gosok dalam upacara assunna selain memiliki fungsi anti biotik juga memiliki makna simbolik sebagai pembersih batinia atau jiwa si anak untuk beralih memasuki tahap kehidupan yang baru, yaitu balig. 3. Ayam Ayam (jantan atau betina) merupakan salah satu perlengkapan upacara assunna. Ayam tersebut tidak untuk dipotong, tetapi darahnya dibutuhkan untuk persembahan upacara. Ayam memiliki makna simbolik dalam kehidupan masyarakat Jeneponto, sebagai salah satu binatan yang sangat agresif untuk mencari kehidupan bagi dirinya sendiri termasuk bagi anak-anaknya. Sejak pagi buta, ayam sudah turun dari kandangnya mencari kehidupan, menjelan magrib baru kembali ke kandang. Hal itu dilakukan secara rutinitas setiap hari, kecuali dalam kondisi sakit. Hal ini memberi makna simbolik agar anak yang
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
dikhitan dapat memiliki sifat disiplin, beretos kerja, dan kasih sayang terhadap anak-anaknya. 4. Pisau silet Dulu, sebelum ada pisau silet, leluhur orang Jeneponto menggunakan saule (kulit bambu) untuk mengiris sesuatu yang relatif halus. Saule atau silet memiliki bentuk yang tajam, sehingga memiliki fungsi dan digunakan oleh imam atau dukun untuk memotong kulit kelamin anak lakilaki pada saat dikhitan. Saule atau silet memiliki makna simbolik agar anak yang dikhitan memiliki ketajaman hati dan pikiran. Maksudnya, anak tersebut memiliki sifat dan perangai yang baik, serta cerdas dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. 5. Daun korongtigi Daun korongtigi (daun pacar) merupakan salah satu perlengkapan upacara assuna yang biasa juga digunakan pada upacara perkawinan. Daun korongtigi ini fungsinya untuk memerahkan kuku agar kelihatan bersih dan indah. Daun korongtigi memiliki makna simbolik, yang berarti bersih atau suci. Hal ini dimaksudkan agar anak yang dikhitan tersebut memiliki hati yang bersih untuk mengarungi kehidupan sehari-hari. 6. Sarung Sarung yang digunakan dalam upacara assunna adalah sarung sutra. Sarung berfungsi sebagai selimut atau penutup aurat. Sarung tersebut diletakkan di atas bantal sebagai penutup atau pelapis tangan anak-anak yang akan dikhitan. Sarung memiliki makna simbolik sebagai penutup, sedangkan sutra bermakna kemuliaan. Hal itu dimaksudkan agar kehidupan anak kelak memiliki harkat dan martabat yang mulia di dalam keluarga dan masyarakat, serta tertutupi atau terhindar dari perbuatan dan sikap yang tercelah. 7. Bantal Bantal adalah pengalas kepala, disimbolkan sebagai harkat/kehormatan yang harus dijaga dan dihormati. Menurut Faisal (2007:83) makna simbolik tersebut merpakan suatu harapan atau cita-cita agar anak tersebut kelak senantiasa dihargai dan dihormati oleh masyarakat sekitarnya.
8. Serbet Serbet juga merupakan peralatan dalam upacara assunna. Serbet ini berfungsi sebagai lap pembersih yang digunakan oleh seorang tamu yang telah membubuhi daun karongtigi kepada anak yang melakukan acara akkorongtigi. Serbet ini mengandung makna sebagai penghapus sifatsifat yang buruk yang dimiliki anak sewaktu masi kanak-kanak, sehingga ke depan diharapkan sifat-sifat baiknya yang lebih dominan dalam kehidupannya sehari-hari. 9. Kemenyan Kemenyan atau dupa secukupnya bermakna suatu keharuman yang berarti pula suatu kerja sama yang baik, baik dalam acara assunna, dalam masyarakat, dan dengan mahluk di sekelilingnya. Menurut Pelras (2006:222) menyatakan, bahwa pembakaran kemenyan dimaksudkan untuk mengundang perhatian makhluk halus dari Dunia Atas. 10. Pinang Buah pinang sebagai lambang cita-cita dan pengharapan. Mereka mengharapkan kesuksesan dan keberhasilan dalam usaha. Selain itu mengharapkan bantuan pada empat penjuru angin hal itu dilambangkan dengan jumlah buah pinang. 11. Lilin Lilin merupakan obor penerang untuk memberi sinar pada jalan yang akan ditempuh oleh anak tersebut, selain itu sebelum ada lilin digunakan pula tai bani yang berasal dari sarang lebah, dikaitkan dengan tata kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai, tidak saling menggangu antara satu dengan yang lainnya. 12. Songkolo Songkolo empat warna merupakan lambang asal kejadian manusia, yaitu air, angin, api, dan tanah. Dengan demikian warna yang diberikan pada songkolo tersebut mewakili unsur kejadian manusia, seperti hitam melambangkan tanah, merah melambangkan unsur api, putih melambangkan unsur air, dan kuning melambangkan unsur anging.
245
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 Jalannya Upacara 1. Akkorongtigi Adapun rangkaian acara akkorongtigi adalah sbb: a. Pelepasan sesajian di laut (ammuntuli) Sehari atau tiga hari sebelum acara khitanan, tepatnya pada sore hari menjelang matahari terbenam, keluarga yang akan melakukan assunna melakukan kegiatan mengunjungi dua tempat yang berbeda, yang disebut ammuntuli. Dalam acara tersebut, keluarga dekat, sahabat dan tetangga berkumpul di rumah pelaksana acara untuk mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk anak yang akan dikhitan. Persiapan yang dilakukan adalah usungan dengan berbagai aksesori; anak yang akan dikhitan mengenakan pakaian pengantin; pendamping atau dayangdayang yang terdiri dari beberapa gadis yang memakai baju bodo dan pemuda yang membawa gendang.
Foto 1. Anak yang akan dikhitan sedang diusung oleh beberapa pemuda menuju ke pinggir laut.
Setelah segala sesuatunya sudah siap, pemimpin upacara dalam hal ini dukun memerintahkan kepada beberapa orang pemuda untuk mengangkat anak yang akan dikhitan lalu dinaikkan di atas usungan. Berbentuk usungan menyerupai perahu, yang bermakna sebagai mengarungi bahtera kehidupan. Pada saat diusung, anak tersebut diarak sepanjang jalan dengan diiringi suara gendang bertalutalu, yang dibawa oleh beberapa pemuda sambil bernyanyi. Setelah rombongan pengantar tiba di suatu tempat, yang mana tempat tersebut merupakan tempat yang sering dikujungi oleh 246
orang-orang yang akan melepaskan hajatan. Anak tersebut secara perlahan-lahan diturunkan dari usungan, kemudian anak tersebut diarahkan agar menginjakkan kakinya di pinggir laut. Setelah itu, seiring rombongan pengantar sudah tiba semua, diadakanlah ritual yang dipimpin oleh seorang dukun. Sesajian yang dibawa dari rumah dilarung ke laut sambil membaca doa. Setelah sesajian dilarung, anak tersebut kembali dinaikkan di usungan oleh beberapa pemuda yang bertugas mengangkat usungan tersebut, lalu rombongan pembawa usungan bergerak dan berjalan sembari bernyanyi. Arah perjalanan rombongan menuju ke suatu tempat, yang mana tempat tersebut sering dikunjungi oleh masyarakat yang akan melaksanakan acara assunna. Dalam kunjungan tersebut, rombongan mengambil daun korongtigi untuk digunakan dalam acara akkorongtigi.
Foto 2. dukun sedang melarung sesajian di pinggir laut.
b. Pembakaran kayu bakar Setelah melakukan acara ammuntuli dengan sasaran melepaskan sesajian di laut dan mengambil daun korongtigi, maka rombongan pengantar usungan kembali ke rumah empunya acara. Setelah itu, rombongan bersiap untuk melanjutkan suatu acara pembakaran kayu bakar yang menyerupai api unggun. Persiapan pun dilakukan dengan menumpukkan potongan kayu di halaman rumah. Setelah semuanya sudah siap, acara dimulai dengan pemukul gendang yang dilakukan oleh dukun, dilanjutkan membakar tumpukan kayu tersebut hingga apinya membesar. Acara tersebut dilakukan di halaman rumah
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
menjelang Magrib. Acara ini relatif ramai dan meriah karena dihadiri oleh banyak orang sambil menari dan menyanyi di seputar api unggun. Prosesi acara tersebut ditandai dengan posisi peserta berdiri sambil bergandengan tangan membentuk formasi melingkar mengelilingi api unggun. Dalam posisi seperti itu, para peserta berjalan mengelilingi api unggun sebanyak sembilan kali ke arah kanan dan sembilan kali ke arah kiri sambil bernyanyi dan diiringi suara gendang dari beberapa orang pemuda yang berpakaian adat. Acara tersebut selesai ketika waktu sudah mulai malam dan akan dilanjutkan dengan acara akkorongtigi pada malam harinya.
Foto 3. Suasana di rumah empunya acara assunna pada saat akkorongtigi.
c. Acara Akkorongtigi Acara akkorongtigi hanya dilakukan bagi masyarakat golongan bangsawan, dalam masyarakat setempat disebut karaeng. Acara ini biasanya berlangsung selama tiga malam berturut-turut dimulai setelah acara ammuntuli pada siang harinya. Acara akkorongtigi yang dilakukan setiap malam, peserta yang diundang selalu berbeda. Pada malam pertama, undangan yang diharapkan hadir dalam acara tersebut adalah tetangga. Pada malam kedua, yang diundang adalah anggota kerabat. Sedangkan pada malam ketiga yang diundang adalah orangorang yang mempunyai status sosial tinggi dalam masyarakat, baik itu dari kalangan bangsawan, pejabat pemerintah, dan pemuka-pemuka agama atau tokoh-tokoh masyarakat yang ada di daerah tersebut. Pelaksanaan acara akkorongtigi yang dilaksanakan selama tiga malam berturut-turut biasanya berlangsung sampai larut malam, dengan berbagai acara yang dimulai setelah salat Isah.
Setelah seluruh undangan berdatangan, acara akkorongtigi awali dengan pembacaan kitab albarazanji, yang dibawakan oleh jamaah masjid di kampung tersebut. Setelah itu dirangkaian acara appamatta (perataan gigi) dengan menggunakan cincin emas milik ibu si anak yang akan dikhitan. Acara akkorongtigi merupakan acara puncak setiap malam. Acara ini diawali dengan menghadirkan anak untuk duduk di pelaminan. Anak tersebut mengenakan pakaian ada ala pakaian pengantin. Mereka duduk bersila sambil meletakkan kedua tangannya di atas bantal, yang ada di hadapannya bagaikan orang berdoa. Setelah semuanya sudah siap, para undangan yang hadir dipilih beberapa orang untuk membubuhi korongtigi di telapak tangan anak. Orang yang pertama diundang untuk membubuhi daun korongtigi biasanya memiliki kedekatan emosional yang lebih akrab dengan keluarga si anak, atau orang yang memiliki kharismatik atau memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Pembubuhan daun korongtigi dilakukan dengan cara mengambil sejemput daun korongtigi yang sudah dihaluskan, lalu dibubuhi di telapak tangan anak. Hal itu dimaksudkan agar anak memiliki kesucian hati untuk mengarungi kehidupan yang lebih baik di masa akan datang.
Foto 4. Seorang Bapak sedang membubuhi daun korongtigi ke telapak tangan anak yang akan dikhitan.
2. Kegiatan Assunna Pelaksanaan assunna dilakukan setelah seluruh rangkaian acara akkorongtigi selama tiga malam berturut-turut usai. Acara assunna (penyunatan) pada anak laki-laki dengan cara membuang sedikit kulit dari alat kelaminnya. 247
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 Sebelum hal ini dilaksanakan terlebih dahulu anak yang akan disunnat dibawa oleh ke dua orang tuanya ke sumur untuk dimandikan. Hal ini dimaksudkan agar segala kotoran dan hal-hal yang dianggap tidak baik yang terdapat dalam diri anak dapat dihilangkan. Acara ini biasanya dilaksanakan pada jam 09.00 pagi, di mana pada saat itu matahari bergerak naik sebagai tanda pergerakan yang positif. Artinya, suatu pergerakan untuk mencapai kesuksesan pelaksanaan kegiatan dan sekaligus harapan atau cita-cita anak dapat tercapai dengan baik. Acara diawali dengan menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, seperti pisau silet, potongan batang pisang sebagai tempat duduk, abu gosok dan seekor ayam. Setelah itu, anak ini diantar oleh pihak keluarganya untuk memasuki kamar yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada saat anak sudah berada dalam kamar, anak tersebut ri’paccidong (didudukkan) di atas batang pisang dalam keadaan telanjang. Imam yang telah berada di kamar tersebut, ditugaskan untuk mengangkat atau memotong sedikit kulit kelamin si anak dengan menggunakan silet. Setelah kulit kelamin diangkat, imam kemudian membubuhi sedikit abu gosok dengan menggunakan rarang (jengger) ayam. Caranya, jengger ayam diiris ujungnya hingga mengeluarkan darah kemudian dibubuhi abu gosok, lalu dioleskan ke kulit kelamin si anak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari pendarahan yang tidak diinginkan. Anak yang sudah disunnat tersebut dibimbing mengenakan baju dan sarung yang bersih. Pada saat itu pula semua anggota keluarga tidak kerkecuali kedua orang tua anak menyambut baik dengan gembira, dan tidak jarang ada di antara mereka sengaja memberikan hadiah kepada anak tersebut. Hal ini dimaksudkan agar si anak tetap semangat dan gembira setelah disunnat. Selanjutnya, anak yang sudah disunnat dibawa kedepan pintu lalu diangkat tinggi-tinggi ke atas sebanyak tiga kali oleh beberapa orang, sambil mengucapkan: “Labbui umurunu, anjari anak saleh, anjariko ana’ agguna ri bangsa siagan negaranu, anjariko rajing assomba ri karaeng Allah Taala ana’ agguna ri keluarga, lammoroki dallenu, tinngi pangkanu”. 248
Artinya: “Panjang umurmu, jadilah engkau anak saleh, jadilah engkau orang yang berguna bagi bangsa dan negara, jadilah engakau orang yang taat beribadah kepada Allah swt., berguna untuk keluarga, mudah rezekimu, tinggi pangkatmu. 3. Resepsi Upacara Assunna Sebagai penutup prosesi upacara assunna, pihak keluarga empunya acara menyelenggarakan acara pesta perjamuan. Dalam acara tersebut anak yang sudah dikhitan duduk bersanding dipelaminan seperti layaknya penganting. Waktu pelaksanaan acara pesta perjamuan dimulai pada jam 12.00 siang hingga sore hari. Namun demikian, bila jumlah tamu relatif banyak, maka acara tersebut dapat berlangsung hingga malam hari. Undangan yang hadir bukan hanya berasal dari anggota kerabat, tetapi juga tetangga, sahabat dan anggota masyarakat lainnya. Menurut Ansaar (2010:193) kehadiran anggota kerabat, tetangga dan sahabat di dalam suatu kegiatan upacara menunjukkan nilai solidaritas yang tinggi atas dasar nilai kekeluargaan dan ketetanggaan. Selain itu, Robertson Smith (dalam Koentjaraningrat, 1985:24) menyatakan, bahwa pelaksanaan upacara dapat mengintensifkan persatuan orang-orang yang hadir dalam wujud solidaritas bersama. Dalam Pelaksanaan acara pesta perjamuan semua peserta yang diundang hadir untuk memberikan doa restu kepada anak yang sudah dikhitan. Semua undangan berbaur bersama peserta lainnya, duduk bersama menyaksikan sekaligus menikmati hidangan yang dipersembahkan oleh pihak keluarga penyelenggara acara. Suatu hal yang menarik dalam sajian yang dihidangkan adalah kuliner dari daging jarang (kuda). Dianggap kurang sempurna suatu upacara assunna kalau tidak ada hidangan dari daging kuda. Kuliner yang paling favorit dalam acara assunna adalah gantala jarang, yang disingkat ganja. Seluruh undangan yang hadir, selain memberikan doa restu juga memberikan sumbangan berupa uang, yang disimpan di dalam amplop. Nilai sumbangan tersebut relatif besarnya tergantung dari kemampuan peserta upacara tersebut. Menurut Durkheim (dalam
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
Ritzer, 2012:145), bahwa pemberian bantuan atau sumbangan yang dapat ia berikan tidak begitu penting dibanding dengan efek moral yang ia hasilkan dan fungsinya untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua orang atau lebih. Selanjutnya Faisal (2014:27) menyatakan, bahwa Nilai solidaritas itu memiliki fungsi sosial sebagai pengikat tali persaudaraan bukan hanya dalam lingkungan keluarga atau kerabat, tetapi juga dalam lingkungan tetangga dan sahabat. Oleh karena itu, setiap orang apapun status dan peranannya dalam masyarakat senantiasa merupakan bagian yang integral dalam masyarakat. Pantangan-pantangan Setiap upacara-upacara adat yang dilaksanakan di setiap daerah mempunyai pantangan-pantangan tersendiri yang harus dihindari. Khusus pada pelaksanaan upacara assunna yang dilaksanakan masyarakat Makassar yang ada di daerah Jeneponto, sebenarnya tidak ada pantangan khusus sehubungan pelaksanaan upacara tersebut. Namun dalam upacara ini hanya terdapat himbauan kepada anak yang baru disunnat. Adapun himbauan yang disampaikan kepada anak laki-laki yang baru saja disunnat ialah “Teyako naung battu rate ballaka gassing ngonjokko tai jangan” artinya “Jangan kamu turun dari rumah nanti kamu injak tai ayam”. Makna yang terkandung dalam himbauan tersebut adalah agar si anak tersebut tidak terlalu banyak bergerak, yang dapat mengakibatkan terjadinya infeksi atau pendarahan. Nilai-nilai dalam Upacara Assunna Nilai Kesucian dan Kebersihan Islam telah mempertegas tentang tujuan pentingnya berkhitan (assunna), yakni untuk EHUVXFL GDQ PHQMDJD NHVXFLDQ 6\D¿DUDKPDQ 2003:78). khitan erat kaitannya dengan pemeliharaan kebersihan kemaluan karena orangf lebih mudah membersihkan kelaminnya sesuadah buang air kecil. Khitan adalah aspek penting dalam thaharah (kesucian dan kebersihan) yang sangat ditekankan dalam syriat dalam Islam. ketika kulit yang menutupi penis tidak dikhitan, maka air kencing dan kotoran yang lain dapat mengumpul dibawah lipatan kulit.
Daerah ini dapat menjadi infeksi dan penyakit kerena menjadi tempat pertumbuhan bakteri (Tarazi, 2001:12) Ilmu kesehatan medern masih tetap berpendirian bahwa kebersihan adalah pangkal kesehatan. Banyak ayat alquran yang menganjukan hidup bersih dan teratur. Tidak heran kalau kebersihan merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan Nabi Muhammad saw. Pada pengikutnya dan dijadikan sendi dasar dalam kehidupan sehari-hari (Senarjo,1993:12). Khitan dipandang kaum muslim sebagai syarat aturan kebersihan. Faedahnya untuk kebersihan alat kelamin, agar mudah dibersihkan dari sisa-sisa air seni. orang yang tidak dikhitan akan bisa bersih kelaminnya, maka dalam Islam khitan sebagai solusi agar manusia terhindar dari kotoran yang bisa mengganggu ibadahnya. Nilai Agama/Kepercayaan Manusia sebagai citptaan Tuhan yang mendiami bumi ini, dengan panca indera dan akalnya dapat melihat dan merasakan betapa kompleksnya kehidupan di alam raya ini. Keanekaragaman kehidupan dalam dunia ini yang dilihat terjadi dengan sendirinya. Kesan pertama manusia ini memberinya jawaban, ada yang mengatur (menguasai) bumi tempatnya berpijak. Berdasarkan doktrin tersebut manusia mencari cara untuk mengadakan hubungan dengan zat (kekuatan) yang menguasai dirinya dan dunia ini. Implementasi doktrin tersebut menimbulkan rasa ingin memberiikan penghormatan tertinggi terhadap nilai kepercayaan pada zat tersebut. Dengan pemberian penghargaan pada supranatural power, manusia mengharapkan balasan berupa perlindungan dari bermacam-macam bencana di ala mini. Balasan merupakan nilai agama, tiap laku perbuatan, yang mendatangkan pahala mengandung nilai dan tiap bernilai itu jadi perintah agama, oleh karenanya penyelenggaraan upacara assunna termasuk perintah agama yang harus dilakukan dalam rangka pengislaman seseorang. Nilai agama/kepercayaan dalam penyelenggaraan upacara assunna ini masih tampak jelas pada saat imam/dukun melakukan pembacaan doa ketika anak tersebut akan dikhitan, begitu pula setelah dikhitan. Begitu pula pada saat acara turun ke laut (ammuntuli), dimana
249
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 seorang dukun sebelum melepaskan sesajian diawali dengan pembacaan doa keselamatan bagi keluarga yang membuat hajatan. Semuanya ini mengandung makna bahwa nilai agama memberi bimbingan dan arahan untuk mengajak manusia untuk menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar keselamatan dan kesuksesan yang diharapkan dapat tercapai. 2. Nilai Solidaritas Nilai solidaritas yang terkandung dalam pelaksanaan upacara adat assunna, antara lain tersirat dalam pemberian bantuan dari pihak keluarga terdekat ketika berlangsung musyawarah persiapan pelaksanaan acara tersebut. Hal ini merupakan lambang keintiman dan keharmonisan hubungan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Persembahan atau pemberian, baik berupa makanan pokok maupun berupa uang memiliki arti sangat penting dalam acara ini, bahkan terjadi hubungan timbal balik antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Hal ini terjadi ketika keluarga lainnya akan mengadakan hajatan. Menurut Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1992:171), bahwa sistem tukar menukar kewajiban dan benda dalam banyak kehidupan masyarakat, baik penukaran tenaga dan benda dalam lapangan produksi dan ekonomi, baik sistem penukaran kewajiban pada waktu upacara-upacara keagamaan, merupakan daya pengikat dan daya gerak dari masyarakat. Sistem menyumbang untuk menimbulkan kewajiban membalas itu merupakan suatu prinsip kehidupan masyarakat pedesaan, yang disebutnya sebagai principle of reciprocity. Pelaksanaan upacara assunna tersebut melibatkan banyak orang, bukan hanya pemilik upacara itu sendiri melainkan juga beberapa komponen masyarakat, seperti perangkat syara, unsur pemuka masyarakat, pihak pemerintah sebagai undangan dan warga pendukung budaya itu sendiri. Partisipasi masyarakat di dalam acara ini lebih tampak ketika mengadakan pelaksanaan acara menuju ke laut (ammuntuli) untuk melarung sesajian, agar supaya acara tersebut dapat berjalan dengan baik. Keterlibatan banyak orang dalam upacara tersebut menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam masyarakat. Koentjaraningrat 250
(1992:171) Menyatakan, bahwa nilai solidaritas yang ada pada setiap komunitas merupakan penggerak dalam masyarakat. Aplikasi nilai solidaritas tidak lahir secara spontanitas untuk berbakti kepada sesamanya, tetapi pada prinsipnya mereka terdorong oleh perasaan saling butuhmembutuhkan. 3. Nilai Sosialisasi Secara umum, sosialisasi diartikan sebagai proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, sosialisasi juga bermakna interaksi manusia yang saling memengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja, tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk ekspresi seni dan teknologi. Fungsi sosialisasi dalam hal ini adalah untuk menginformasikan, mendidik, menghibur dan memengaruhi (Hadi dkk., tanpa tahun:119). Dalam sosialisasi akan terjadi proses penanaman, transfer nilai, dan pembakuan kebaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan upacara assunna, proses sosialisasi terjadi terutama kepada anak-anak dan remaja (generasi muda) sebagai penerus bangsa. Anak-anak dan remaja yang terlibat aktif dalam upacara, dengan sendirinya tidak hanya terlibat membantu atau mengerjakan berbagai kegiatan demi suksesnya pelaksanaan upacara. Akan tetapi, mereka juga belajar tentang budaya dan tradisi tersebut, yang pada akhirnya kelak dapat menggantikan generasi tua. Selain itu, generasi muda dapat mengambil hikmah bahwa pelaksanaan upacara dapat menciptakan, kerukunan, keakraban dan harmonisasi dalam kampung. Mereka juga belajar bahwa di dalam upacara terjadi sifat kebersamaan, persatuan dan solidaritas yang tinggi, bukan hanya sesama anggota kerabat, tetapi juga tetangga dan sekampung tanpa membeda-bedakan latar belakang ekonomi, agama, suku bangsa dan status sosial. 4. Nilai Keindahan Keindahan merupakan salah satu bentuk nilai, seperti halnya nilai moral, nilai pendidikan
Nilai-Nilai dalam Upacara ... Fatmawati P
dan sebagainya. Nilai yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Keindahan bagi manusia merupakan sesuatu yang sangat penting, yang menunjukkan bahwa manusia itu memiliki perasaan yang halus, lembut, serta menghargai kualitas. Tingginya cita rasa artistik seseorang dalam meresapkan karya-karya yang indah, pada gilirannya akan memberikan pengaruh positif terhadap sikap emosi dan sikap moralnya (Marwadi dan Hidayati, 2004:142). Dalam upacara assunna terdapat beberapa peralatan upacara yang mengandung nilai keindahan, yaitu pada bulekang (usungan) berbentuk perahu dilengkapi dengan aksesori yang menarik dengan warna-warni yang indah. Selain itu, lamming (pelaminan) juga sangat indah dengan berbagai aksesoris dan warna-warna yang indah dan bentuk yang menawan. Demikian pula pakaian yang dikenakan anak-anak yang akan dikhitan memiliki model dan bentuk yang menarik. Seni dekorasi pada interior dan eksterior rumah dan tenda tempat upacara juga tidak lupa memberi keindahan tersendiri. Semuanya itu menunjukkan nilai keindahan dalam upacara assunna, agar seuluh peserta termasuk undangan dapat merasakan kebahagiaan dan kesenangan selama mengikuti upacara. Memiliki perasaan senang dan bahagia pada keindahan, berarti memiliki apresiasi terhadap seni. Hal itu berarti memiliki penghargaan, keakraban, dan kecintaan terhadap karya seni itu sendiri. Hal tersebut senada dengan pernyataan Hermsterhuis (dalam Marwadi dan Hidayati, 2004:143), bahwa yang indah itu adalah paling banyak mendatangkan rasa senang, dan yang dalam singkat paling banyak memberikan pengamatan yang menyenangkan. Oleh karena itu, rasa dan sikap batin pada seseorang berangkat dari suatu kemampuan meresap dan menghayati keindahan serta kemapuan memahami makna yang terkandung di dalamnya. PENUTUP Pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat berpengaruh pada aspek sosial dan budaya. Globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial seperti sikap individualistis, materialistik, hedonistik yang seperti virus akan berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya dan budaya masyarakat Jeneponto pada khususnya. Implikasi tersebut, seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, yang akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi melalui kegiatan upacara akan menghalangi virus-virus penghancur tersebut, masa depan bangsa ini dapat terselamatkan. Kegiatan upacara sarat nilai-nilai, terutama nilai kebersamaan, nilai persatuan dan nilai solidaritas yang dijungjung tinggi oleh warga masyarakat pendukungnya. Melalui kegiatan upacara terjadi proses pembentukan karakter dan jati diri bangsa. Budaya yang lahir dari kebiasaan disosialisasikan berulang-ulang sesuai intensitas pelaksanaan upacara di dalam sebuah kampung atau pemukiman. Oleh karena itu, pelaksanaan upacara perlu mendapat perhatian dalam rangka pelestarian, pembinaan, pengembangan dan pemanfaatannya DAFTAR PUSTAKA Ansaar. 2010. “Nilai Budaya yang Mendasari Gotong Royong pada Masyarakat Petani: Kasus di Kelurahan Sapanang Kabupaten Pangkep”. dalam Jurnal Walasuji. Vol. 1. No. 2. BPSNT Makassar. Asis, Abdul. 2012. “Annyorong Lopi: Tradisi Ritual Masyarakat Bontobahari di Kabupaten Bulukumba”. dalam Jurnal Walasuji. Vol. 3. No. 1. BPNB Makassar. Faisal. 2007. “Nilai Ritual Mappacci pada Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan”. dalam Jurnal Walasuji. Vol. 2. No. 1. BPSNT Makassar. Faisal. 2014. “Mepokoaso dalam Sistem Berladang di Desa Eewa, Kabupaten konawe Selatan
251
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 239—252 Provinsi Sulawesi Tenggara. dalam Jurnal Walasuji. Vol. 5. No. 1. Hlm.17-30. Hadi, Abdul. Tanpa Tahun. Strategi Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Hidayah, Zulyani. 2003. Fungsi Keluarga Dalam Menanamkan NilaiBudaya: Sebuah Panduan Konsepsional untuk Penelitian. Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian, Badang Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Disampaikan pada tanggal 12 – 14 Maret di Jakarta. Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat, 1992. Beberapa pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat :Jakarta Marwadi dan Hidayati, Nur. 2004. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Pustaka Setia. Miles, Matteu. B dan Huberman, A, Micheal. 1992, Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tje-
252
tjep Rohidi. Universitas Indonesia, Jakarta. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar. Soenarjo, RHA. 1993. Alquran dan Terjemahannya. Al Wa’ah. Sumerta, I Made dkk. 2013. Upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat di desa Adat Trunyan Kecamatan Kintamani, Kabupaten Banli. Yogyakarta: Ombak. 6\D¿DUDKPDQ$EX+DGLDQHak-hak Anak Dalam Syariat Islam (Dari Janin Hingga Pasca Kelahiran). (Cetakan I). Yogyakarta: Al-Manar. Tarazi, Norma. 2001. Wahai Ibu Kenali Anakmu: Pegangan Orang Muslim Mendidik Anak. (Cetakan I). Yogyakarta: Mitra Pustaka. Widya, Alberths dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yusuf, Wiwik P. 1992. Upacara Kematian Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek P2NB Sulawesi Selatan. Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.