Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja) YOSERIZAL Jurusan Ilmu Administrasi Publik PSIA Universitas Riau, Kampus Pattimura Jalan Pattimura No. 09 Telp/Fax (0761) 34308
Abstract: The changing of municipal revenue budget system since 2003 has been made significant change to the behaviour both of government and employee and legislative member. Traditional budget (line item) that has been used for years, actually had inefficiency and uneffectiveness that finally shows the greedy of the budget. The implementation of the budget based on activity, gave many problems and barriers especially to the government in Rokan Hilir. This article try describe the problems and the barriers. Keywords: Budget, Line Item, Budget Based on Activity
Rokan Hilir sebagai sasaran penelitian dilakukan atas dasar keberhasilan Pemkab Rokan Hilir menjadi salah satu dari sejumlah kecil instansi pemerintah yang cukup berhasil mengatasi hambatan-hambatan perubahan dan mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja mulai tahun anggaran 2003. Seiring dengan hal tersebut pertanyaan yang diajukan untuk menggambarkan pokok permasalahan tulisan ini adalah: “Permasalahan apa saja yang timbul dengan adanya perubahan sistem Anggaran “Line Item” menjadi Anggaran Berbasis Kinerja di Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi perubahan sistem anggaran line item menjadi anggaran berbasis kinerja di Pemkab Rokan Hilir dan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Batasan yang sederhana dari penganggaran adalah cara yang sistematis untuk mengalokasikan sumberdaya. Selama ini telah dikembangkan bermacam-macam sistem anggaran yang dipergunakan bagi berbagai tujuan; seperti pengendalian biaya, manajemen, perencanaan, menentukan skala prioritas, dan akuntabilitas dari pengguna sumberdaya masyarakat. Karena banyaknya kepentingan yang harus dilayani, maka sulit bagi sebuah sistem
Dalam memperbaharui sistem pemerintahan serta meningkatkan pelayanan pada masyarakat, pemerintah senantiasa mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru yang implementasinya dilakukan oleh instansi-instansi terkait. Salah satu implikasi dari keluarnya kebijakan pemerintah tersebut adalah keharusan instansi pemerintah untuk mengadakan perubahan internal, guna menyesuaikan diri dengan paradigma baru sistem anggaran yang dibutuhkan, guna mengoperasionalkan kebijakan tersebut secara efektif. Sudah barang tentu perubahan internal ini akan menghadapi berbagai stagnan dan mempunyai resiko untuk gagal. Dengan latar belakang demikian, penelitian ini melihat perubahan manajemen keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, sehubungan dengan perubahan sistem anggarannya dari sistem mata anggaran (line item) menjadi anggaran berbasis kinerja (ABK) sebagai implikasi dituangkannya PP 105/2000, KEPMEN 29/2002 dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kebijakankebijakan publik tersebut bukan saja memberikan implikasi perubahan tata cara teknis penganggaran, tapi juga mengharuskan Pemkab Rokan Hilir dan individu-individunya bersikap lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola anggarannya. Pemilihan Pemkab 81
82
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
anggaran untuk dapat memuaskan semua pihak (Hager, et al, 2001: 3). Pada bagian lain Hager menjelaskan bahwa perkembangan dari sistem anggaran yang terdokumentasi di Amerika Serikat menunjukan bahwa seabad yang lalu penganggaran oleh pemerintah di sana bisa dikatakan tidak ada. Dalam praktek pada waktu itu semua instansi pemerintah mengajukan usulan anggaran kepada badan legislatif yang berwenang, yang pada gilirannya kemudian memberikan anggaran pada instansi-instansi pemerintah tersebut dalam bentuk pembayaran sekaligus (lumpsum). Biasanya dana tersebut diberikan hampir tanpa adanya kondisi atau persyaratan apapun, sehingga terjadi dua masalah; yaitu koordinasi dan pengendalian. Dengan kontrol keuangan yang sangat lemah ini, sangat sulit menentukan bagaimana dana publik tersebut dibelanjakan. Sebagai solusi, dikembangkan sistem Anggaran Line Item (mata anggaran tradisional) yang merupakan jumlah alokasi pembelanjaan dari berbagai mata anggaran seperti personalia, biaya operasi, dan peralatan bagi suatu instansi pemerintah. Dengan sistem ini para legislator dapat mengalokasikan sejumlah dana bagi input dari program pelayanan publik untuk jangka waktu tertentu, dan menverifikasi bahwa dana tersebut dibelanjakan sesuai ketentuan. Sistem anggaran line item ini pada esensinya adalah yang disebut sebagai sistem anggaran tradisional (Basri dan Yuswar Zainal, 2003: 19). Kritik yang diberikan pada sistem anggaran tradisional mengatakan sistem ini hanya menuntut orang bertanggung jawab pada apa yang mereka belanjakan. Dalam rezim yang sarat dengan Korupsi, Kolusi dan Nopetisme, karakteristik yang bertujuan untuk melakukan kontrol keuangan seringkali hanya sebatas administratifnya saja. Hal ini mungkin terjadi karena adanya karakter lain, yaitu sangat berorientasi pada input organisasi, tanpa ada informasi mengenai kinerja, sehingga sulit dilakukan kontrol kinerja. Kelemahan lainnya terkait dengan digunakannya “kemampuan
menghabiskan anggaran” untuk indikator keberhasilan dan analisis yang mendalam tentang tingkat keberhasilan program tidak dilakukan. Akibat berbagai kelemahan di atas masalah besar yang dihadapi sistem anggaran line budgeting adalah efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas (Salomo, 2003: 36). Untuk memperbaikinya para reformis anggaran mengajukan konsep anggaran berbasis program atau kinerja yang dibuat dengan maksud untuk membuat para pengguna bertanggung jawab tidak saja terhadap apa yang mereka belanjakan, tapi juga terhadap apa yang mereka telah capai. Berdasarkan sistem anggaran tradisional ini cara menyusun anggaran dan kebutuhan anggaran tidak didasarkan atas pemikiran dan analisis mengenai rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penyusunannya lebih didasarkan pada kebutuhan rutin berdasarkan objek pengeluaran (line-item budgeting) seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan pengeluaran rutin lainnya. Kenaikan anggaran pada umumnya dilakukan secara incremental dan digunakan sebagai dasar pengeluaran, adalah pengeluaran tahun sebelumnya ditambah dengan sejumlah kenaikan, penyesuaian dan perubahan. Anggaran tradisional lebih difokuskan pada aspek pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran, sehingga orientasinya mencakup pada pengawasan serta penyusunan pembukuannya. Mulai tahun 1990-an, usaha reformasi anggaran menaruh perhatian pada sistem Anggaran Berbasis Kinerja. Sistem ini memfokuskan pada hasil dari program; yaitu halhal yang diinginkan masyarakat dari pemerintahnya seperti lingkungan yang aman, pelayanan kesehatan atau sistem sekolah yang baik. Anggaran Berbasis Kinerja didefinisikan sebagai sistem anggaran yang terstruktur dan didasarkan pada pencapaian aktifitas serta program, bukan hanya berdasarkan mata
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
anggaran atau input dari instansi pelaksana. Sistem ini memungkinkan pembuatan keputusankeputusan anggaran berdasarkan pengukuran kinerja dari program yang dilaksanakan dengan membandingkannya terhadap standard yang ditetapkan, dan informasi biaya (Molina, 2002: 9). Dengan demikian para pengguna anggaran bertanggung jawab terhadap apa yang mereka telah capai, dan anggaran dialokasikan berdasarkan program yang akan dilaksanakan serta hasil yang diharapkan. Penjelasan lebih lanjut diberikan oleh Salomo (2003: 37) yang mengatakan bahwa Anggaran Berbasis Kinerja mengalokasikan sumber daya pada program, bukan pada unit organisasi semata dan memakai pengukuran dari output sebagai indikator kerja organisasi. Lebih jauh, sistem anggaran ini mengkaitkan biaya dengan output organisasi sebagai bagian yang integral dalam berkas anggarannya. Dengan demikian, jika diambil contoh sebuah pendidikan dasar, maka yang dibiayai bukanlah sekedar pengeluaran untuk gaji guru, biaya pembangunan sekolah dasar beserta perpustakaannya dan biaya laboratorium; yang merupakan hal-hal yang berkaitan dengan input pendidikan dasar. Dalam Anggaran Berbasis Kinerja orientasi pembiayaan adalah out put yang ingin dicapai. Dengan mengambil contoh, Instansi Pendidikan dan Latihan (Diklat), maka yang ditanyakan adalah tidak sekedar berapa biaya penyelenggarannya, tapi berapa orang yang berhasil mengikuti Diklat dan bagaimana kualitas mereka setelah kembali ke pekerjaan masing-masing? Dengan Anggaran Berbasis Kinerja, seluruh alokasi dana sekecil apapun, harus mempunyai tujuan, sasaran, target kinerjanya, sehingga tidak ada lagi alokasi dana yang tidak jelas peruntukannya. Dengan dicantumkannya ukuran manfaat yang dapat dirasakan langsung atau tidak langsung oleh masyarakat, maka akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan akan lebih berorientasi pada kepentingan publik (Hakim, 2003: 13). Pengukuran menjadi suatu aktifitas yang sangat penting, yang didalam sistem anggaran
83
yang berbasis kinerja dilakukan terhadap input, output, dan manfaat (outcome). Sesuai dengan logika di atas, maka sistem anggaran tersebut selalu harus memperhatikan hasil dan mempunyai elemen-elemen dasar sebagai berikut:
· Sasaran, yang dibuat oleh lembaga pengguna anggaran sesuai dengan rencana strategis dan mencakup apa saja yang ingin mereka capai. Rencana ini harus menyebutkan sasaran kerja yang akan memberi manfaat bagi masyarakat. Namun sebelum sasaran kerja ini dibuat, adanya persetujuan antara legislator dan eksekutif mengenai peran dari lembaga itu sendiri adalah faktor yang sangat penting. Apabila peran dan sasaran ini tidak jelas atau mengandung konflik, maka proses penganggaran selanjutnya akan gagal. · Ukuran kinerja (performance measure), yang dikembangkan berdasarkan rencana strategis dan dibuat spesifik dan sistematis sehingga bisa dipakai untuk mengukur pencapaian sasaran yang ditetapkan. Sebagai contoh dari ukuran kinerja adalah hasil test dan peserta dari sebuah program pendidikan, atau angka kematian (dari sebuah program kesehatan). Sistem Akunting yang ada harus dapat mengkaitkan informasi biaya dengan suatu pencapaian program secara spesifik. · Keterkaitan (linkage) antara sasaran, ukuran kinerja dan proses anggaran. Alokasi anggaran harus dikaitkan dengan hasil yang dicapai oleh pengguna anggaran sehingga dapat diketahui apa hasil yang dicapai dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan. Sejauh mana mereka mencapai sasaran seperti yang tercantum dalam ukuran kinerja? Proses ini tidak mudah karena kadang-kadang alasan suatu program memenuhi atau tidak mencapai sasaran tidak jelas. Apakah anggaran bagi suatu program yang tidak memenuhi ukuran kinerja harus dikurangi? Apa yang harus dibuat bila justru sumber kegagalan tersebut adalah alokasi anggaran yang kurang diawal
84
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
proses penganggaran dulu? Bagaimana penanganannya bila kegagalan disebabkan karena faktor-faktor di luar kendali para administrator? · Adanya akuntabilitas dari para administrator untuk mempertanggungjawabkan hasil dari anggaran yang dibelanjakannya. Usulan anggaran dan laporan-laporan akan menekankan hasil, bukan input. Karena akuntabilitas kini didasarkan pada hasil, maka para administrator diberikan ruang gerak untuk mengalokasikan sumber daya yang diletakkan di bawah kewenangannya untuk mencapai sasaran kerja yang direncana-kan (Hager et. Al., 2001: 10). Sistem anggaran kinerja dapat dikatakan selangkah lebih maju dari sistem anggaran tradisional karena sistem ini lebih berorientasi pada kinerja (prestasi) suatu unit kerja, sehingga penggunaan sejumlah dana tertentu telah mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Besar-kecilnya anggaran tergantung pada besar-kecilnya target yang hendak dicapai oleh suatu unit kerja. Oleh karena itu, dalam anggaran ini perhatian dipusatkan pada bagaimana mengukur efisiensi kegiatan dan menilai hasil akhir. Seluruh jumlah dana yang dipakai dalam pelaksanaan kegiatan suatu unit kerja pada dasarnya meliputi biaya-biaya yang dapat diklasifikasikan dalam objek pengeluaran. Dengan kata lain, jumlah biaya kegiatan sama dengan jumlah biaya menurut objek pengeluaran. Selain mengukur hasil kerja (performance) sistem diharapkan dapat menetapkan suatu standard kerja (standart performance). METODE Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan data yang dikumpulkan dari 40 responden yang ditetapkan secara purposive sampling. Alat yang dipakai dalam pengumpulan data adalah dengan melakukan wawancara mendalam dan juga merujuk pada dokumen-dokumen yang relevan.
HASIL 1. Analisis Proses Penyusunan Anggaran Belanja Daerah Paling tidak terdapat beberapa pihak yang terlibat dalam implementasi penyusunan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah berbasis kinerja di Kabupaten Rokan Hilir. Pertama, pihak eksekutif yang diwakili panitia anggaran eksekutif. Kedua, pihak legislatif yang diwakili panitian Anggaran Legislatif, kemudian Dinas, Badan dan Kantor yang mewakili sektor pekerjaannya masing-masing. Dalam proses penyusunan awal APBD pihak yang terlibat selain aparat desa/kelurahan, juga terdapat tokoh masyarakat dan asosiasiasosiasi pengusaha ditambah dengan LSMLSM. Penyusunan anggaran belanja daerah berbasis kinerja bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang disesuaikan dengan siklus anggaran dan merupakan suatu kegiatan menyeluruh, utuh dan terpadu baik melalui pendekatan top down approach maupun bottom up approach. Proses penyusunan anggaran dengan pendekatan top down approach dilakukan langsung oleh departemen dan lembaga non departemen dari pemerintah atasan/pusat. Bottom up approach merupakan proses penyusunan anggaran yang dimulai dari pemerintahan terendah sampai kepada pemerintahan yang tertinggi. Pendekatan ini mengutamakan aspirasi pembangunan dari masyarakat dalam menyusun usulan kegiatan daerah dan usulan proyek daerah. Proses penyusunan anggaran belanja daerah menurut pendekatan bottom up approach dimulai dari mengidentifikasi dan menginventarisasi kebutuhan masyarakat melalui musyawarah pembangunan desa (Musbangdes). Diteruskan ke tingkat kecamatan melalui temu karya pembangunan, rapat koordinasi pembangunan tingkat kabupaten/ kota, rapat koordinasi pembangunan di tingkat propinsi dan akhirnya rapat koordinasi pembangunan nasional di tingkat nasional. Usulan rencana anggaran belanja pembangunan pada tingkat desa/kelurahan akan
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
dibahas melalui musyawarah pembangunan desa. Hasil pembahasannya diusulkan kepada pemerintahan kecamatan yang akan dibahas dalam temu karya pembangunan. Hasil temu karya pembangunan akan diusulkan kepada pemerintah kabupaten dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang) di tingkat kabupaten. Pada rakorbang di tingkat kota/kabupaten ini akan muncul proyek-proyek yang akan dibiayai dari pendapatan asli daerah dan sumber pembiayaan lainnya, seperti APBD propinsi dan APBN. Usulan rencana anggaran belanja pembangunan yang akan dibiayai oleh pemerintah pusat akan dibahas dalam rapat koordinasi regional tingkat propinsi dan tingkat nasional. Anggaran belanja pembangunan dalam bentuk proyek yang telah disetujui oleh pemerintah pusat serta proyek-proyek yang diprioritaskan pembiayaannya dari pendapatan asli daerah akan dijadikan bahan, pedoman dan acuan dalam penyusunan APBD. Proses penyusunan Anggaran Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir disusun berdasarkan tahap-tahap sebagai berikut: a. Tahap Persiapan · Penyusunan anggaran daerah dimulai dengan pembentukan panitia anggaran eksekutif yang beranggotakan dari unsur pimpinan dan staf yang berkaitan dengan perencanaan anggaran seperti Bupati, Sekretaris Daerah, para Asisten Sekretariat Daerah, Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah, Bagian Keuangan, Bagian Hukum, Bagian Umum dan Bagian Ekonomi Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Rokan Hilir. · Panitia anggaran eksekutif melalui Bagian Keuangan dalam hal ini Sub Bagian Anggaran mengeluarkan surat edaran guna meminta usulan anggaran belanja rutin dari masing-masing dinas/instansi dalam bentuk daftar usulan kegiatan daerah (DUKDA). Daftar usulan tersebut menitikberatkan kepada kebutuhan rutin untuk menunjang penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja barang,
·
·
·
b. ·
85
belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja lain-lain. Sedangkan untuk anggaran belanja pembangunan, surat edarannya dikeluarkan oleh pihak Bappeda yang meminta usulan belanja pembangunan dalam bentuk daftar usulan proyek daerah (DUPDA). Usulan dan rencana kebutuhan tersebut direkapitulasi dengan berpedoman pada arah, sasaran dan tujuan sesuai pola dasar, program pembangunan daerah dan rencana strategis serta pedoman penyusunan APBD, kebijakan Bupati sebagai kepala daerah dan arahan dari pemerintah atasan/pusat serta tugas pokok dan fungsi dinas/instansi yang bersangkutan. DUKDA yang diajukan oleh dinas/ instansi akan diteliti dan dibahas oleh Bagian Keuangan bersama-sama dinas/ instansi yang bersangkutan, sehingga dapat diketahui apa yang sebenarnya dibutuhkan dan apa yang dapat dikerjakan oleh setiap dinas/ instansi berdasarkan skala prioritas dan kemampuan pembiayaan daerah. DUPDA akan dibahas oleh Bappeda, Bagian Keuangan, Bagian Ekonomi dan Pembangunan bersama dengan dinas/instansi yang bersangkutan mengenai rencana yang tertera dalam DUPDA berdasarkan skala prioritas dalam renstra. DUKDA dan DUPDA yang telah selesai diteliti dan dibahas akan disatukan menjadi draft untuk dibahas oleh tim gabungan, kemudian diajukan kepada Bupati Kepala untuk memperoleh persetujuan dan dijadikan RAPBD. Tahap Penyusunan Nota keuangan dan rancangan Peraturan Daerah tentang penetapan APBD bserta lampirannya disampaikan kepada DPRD oleh Bupati Rokan Hilir. Selanjutnya dibahas oleh DPRD dalam sidang paripurna DPRD dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan, pandangan umum dan tanggapan terhadap Nota Ke-
86
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
uangan. Pembahasan ini dilakukan juga melalui konsultasi (hearing) dengan masing-masing dinas/instansi terkait dan panitia anggaran eksekutif. Dalam kesempatan ini panitia anggaran legislatif berpeluang untuk menambah/mengurangi rencana penerimaan dan belanja daerah yang telah diusulkan oleh pihak eksekutif. Setelah pertanyaan, pandangan umum dan tanggapan dijawab oleh Bupati Rokan Hilir (pihak eksekutif), selanjutnya fraksi-fraksi di DPRD memberikan tanggapan akhir untuk menerima atau menolak rancangan APBD. Bila masing-masing fraksi telah menyetujui rancangan APBD tersebut, maka rancangan APBD dapat ditetapkan menjadi APBD dalam bentuk Peraturan Daerah. · Pengesahan Peraturan Daerah tentang penetapan APBD oleh pejabat yang berwenang. 2. Permasalahan yang Muncul dalam Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja a. Permasalahan Pada Musbangdes Musbangdes atau musyawarah pembangunan desa dilaksanakan pada bulan Desember pada akhir tahun, yang dihadiri oleh perangkat Desa/Kelurahan, yaitu, ketua RT/ RW, tokoh masyarakat, seperti tokoh agama, pengurus LKMD, Karang Taruna, PKK, kecamatan, Bappeda maupun instansi terkait. Menurut Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D), Bappeda dan Dinas PMD memberikan pengarahan tentang cara-cara melaksanakan inventarisasi, identifikasi masalah dan penyusunan usulan rencana program/proyek, sehingga diharapkan usulan-usulan tersebut tidak berbentuk daftar keinginan, tetapi betulbetul merupakan usulan program/ proyek yang berlandaskan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa yang bersangkutan. Dalam rapat tersebut dibahas usulan rencana program/proyek pembangunan dan
permasalahan-permasalahan yang ada, sekaligus dicarikan titik temu ataupun saran-saran untuk solusinya. Musbangdes dipimpin oleh Kades/Kepala Kelurahan yang menerima segala usulan rencana pembangunan secara lisan, meskipun sebelumnya telah ada pemberitahuan agar menyampaikan usulan program pembangunan secara tertulis. Semua usulan peserta dihimpun oleh notulen tanpa adanya seleksi. Selesai Musbangdes hasil usulan diseleksi oleh perangkat desa/kelurahan guna menentukan skala prioritas, yaitu melihat kebutuhan yang paling mendesak. Kemudian disusun dalam daftar skala prioritas yang selanjutnya dikirim ke kecamatan untuk dibahas dalam temu karya pembangunan tingkat kecamatan atau rapat Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Untuk waktu yang mendesak atau karena sesuatu hal kadang kala tidak dilakukan Musbangdes, sedangkan bahan usulan program/proyek desa untuk temu karya pembangunan tingkat kecamatan menggunakan usulan tahun lalu dengan beberapa revisi yang perlu oleh pihak desa/kelurahan. Dari data dan uraian ini dapat ditunjukkan betapa masyarakat cukup aktif terlibat dalam proses awal perencanaan pembangunan tetapi sangat disayangkan instansi terkait belum aktif untuk mengikuti kegiatan ini. Hal ini dapat diketahui dari distribusi jawaban responden dimana sebanyak 16 (39 % responden) orang Kepala Dinas, tiga Kepala Badan, dan dua orang Kepala Kantor beserta tim anggaran eksekutif dan legislatif pada saat Musbangdes tidak terlibat secara aktif. Dari unsur eksekutif hanya diwakilkan oleh aparat tingkat Kecamatan, sehingga aspirasi yang disampaikan masyarakat pada saat Musbangdes kurang mendapat respon dari instansi terkait, padahal forum Musbangdes merupakan media awal untuk menangkap aspirasi dan keinginan masyarakat yang untuk seterusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan anggaran yang tersedia. Begitu pula dengan unsur dari legislatif yang juga tidak terlibat pada musbangdes ini yang tentunya berdampak kepada penyelarasan usulan dan aspirasi masyarakat.
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
b. Permasalahan Pada Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan (Diskusi UDKP) Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan Kabupaten Rokan Hilir dilakukan pada bulan Februari/Maret yang dihadiri oleh Tim Kabupaten (Bappeda dan Dinas PMD), para Kades/Lurah, para Ketua I LKMD/LKMK, unsur Muspika, instansi vertikal, Tim Penggerak PKK Kecamatan. Rapat dipimpin oleh Camat yang mendengarkan penyampaian rekapitulasi usulan proyek dari setiap Desa/Kelurahan, kemudian dibahas untuk menentukan skala prioritas tanpa melalui survey ke lapangan. Jadi pada prinsipnya semua usulan proyek dari Desa/Kelurahan tidak ada yang ditolak, hanya dipisahkan menurut skala prioritas. Selanjunya hasil rumusan yang telah disusun berdasarkan skala prioritas tersebut dikirim ke Bappeda Kabupaten Rokan Hilir. Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat secara langsung semakin berkurang, begitupun animo peserta terhadap keberadaan diskusi UDKP juga semakin berkurang, dikarenakan mereka merasa bahwa setiap usulan yang mereka ajukan terlalu lama direalisasikan bahkan terkadang selama 5 tahun diusulkan belum ada wujudnya. Hal ini dapat diketahui dari tanggapan responden dimana sebanyak 31 orang (75%) responden menyatakan bahwa animo masyarakat untuk mengikuti UDKP semakin berkurang. Ini terjadi dikarenakan usulan yang disampaikan melalui UDKP hanya segelintir yang tertampung dan diakomodir oleh Dinas dan instansi terkait. Terjadinya hal ini dikarenakan pada saat pelaksanaan UDKP dinas dan instansi terkait tidak memberikan ketegasan terhadap usulan yang disampaikan apakah selaras dengan program dinas yang bersangkutan. Forum UDKP hanya dijadikan forum menampung aspirasi masyarakat saja tanpa adanya telaahan secara mendalam dari dinas dan instansi terkait. Lagi pula selama ini tidak ada pemberitahuan kepada masyarakat tentang usulan yang disampaikan dan diajukan melalui UDKP, apakah terealisasi atau tidak
87
pada saat pertemuan lanjutan (Rakorbang tingkat Kabupaten). Ketidakpastian inilah yang menyebabkan masyarakat agak kurang interest mengikuti UDKP ini. c. Permasalahan Pada Rakorbang Kabupaten Rokan Hilir Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten dilaksanakan sekitar bulan Juni yang dihadiri oleh seluruh dinas/instansi, BUMD, Muspida, DPRD, seluruh Camat, Asosiasi Jasa dan Konstruksi Kabupaten Rokan Hilir, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Tim Penggerak PKK Kabupaten Rokan Hilir. Keterpaduan program menjadi rumusan final untuk menerima usulan proyek. Usulan yang berasal dari hasil UDKP biasanya ditolak bila tidak sesuai dengan program yang ada. Perumusan hasil Rakorbang Kabupaten dilakukan oleh Bappeda dan Dinas Teknis menyangkut masalah jumlah dana dan sumber dananya (APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten). Kemudian hasil rumusan ini diteliti kembali oleh Bappeda untuk disesuaikan dengan skala prioritas dan standar yang ada. Dalam hal ini Bappeda dapat mengurangi atau menambah jumlah dana tersebut. Penambahan ataupun pengurangan ini dapat juga dilakukan oleh Bupati atau DPRD. Hasil rumusan Rakorbang Kabupaten disusun dalam format Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP) tahun yang bersangkutan yang juga menjelaskan jenis program/proyek, jumlah biaya dan sumber dananya (APBN, APBD Propinsi dan APBD Kabupaten). Kemudian DRUP tersebut dikirim ke Bappeda Provinsi untuk dibahas di dalam Rakorbang Propinsi. Rekapitulasi DRUP ini dikirimkan ke seluruh kecamatan di Kabupaten Rokan Hilir, juga kepada dinas/instansi sesuai dengan usulan program/proyek mereka akan tangani nantinya. Pada Rakorbang beberapa persoalan yang muncul antara lain adalah munculnya ego sektoral masing-masing Dinas dan instansi terkait, hal ini terlihat dari tanggapan 36 orang (87 %responden), bahwa ada kecenderungan masing-masing Dinas, Badan dan
88
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
Kantor lebih mementingkan usulan instansi mereka dan nampak kurang memperhatikan dokumen perencanaan yang sudah ada, seperti Pola Dasar, program pembangunan daerah dan rencana strategis pembangunan daerah. Pada saat Rakorbang Kabupaten ini, Dinas dan Instansi yang hadir berjuang secara maksimal agar usulan yang diajukan dapat diakomodir yang tentunya mengedepankan ego Dinas dan Instansi yang bersangkutan. d. Permasalahan Pada Peran DPRD dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Sejak dimulainya proses perencanaan, DPRD tidak pernah secara langsung terlibat dalam proses perencanaan pembangunan daerah yang diselenggarakan oleh eksekutif. Peran legislatif mulai terlihat pada saat pembahasan RAPBD melalui penyampaian beberapa usulan perubahan ataupun kritikan untuk dipertimbangkan eksekutif. Seharusnya DPRD dalam hal ini panitia anggaran legislatif lebih awal melakukan survey ke lapangan dengan data dasar rekapitulasi DRUP hasil rumusan Rakorbang Kabupaten pada saat sebelum sidang pembahasan RAPBD. Sehingga panitia anggaran DPRD memiliki bahan-bahan yang akurat untuk dijadikan argumentasi dalam mengajukan usulan program yang betul-betul dari bawah. Pada saat pembahasan RAPBD, segala sesuatu yang diragukan dipertanyakan langsung kepada dinas terkait yang mengusulkan program tersebut dan legislatif diberi kesempatan untuk melakukan survey ke lapangan guna menampung aspirasi masyarakat. Bila ada aspirasi masyarakat yang harus diwujudkan karena sangat penting dan sifatnya darurat, maka DPRD dapat melakukan perubahan atas beberapa usulan demi menampung usulan terbaru dari masyarakat, asalkan kondisi keuangan daerah memungkinkan. Inilah yang berdampak kepada terjadinya “tarik-menarik” usulan antara eksekutif dan legislatif. Legislatif menginginkan untuk memasukkan usulannya dengan berargumentasi bahwa usulan yang disampaikan
merupakan aspirasi masyarakat. Sementara pihak eksekutif bertahan dengan usulan yang ada mengingat usulan yang ada telah melalui proses dan mekanisme perencanaan.Tegasnya mengenai “tarik menarik” usulan antara pihak eksekutif dengan legislatif ini dapat dilihat dari jawaban seluruh responden (100 %). Dimana diketahui umumnya pihak eksekutif memandang pihal legislatif tidak memahami sejak awal proses penyusunan APBD, selain itu pihak legislatif juga dinilai banyak memiliki vested interest untuk kepentingan golongan atau pribadinya. Sebaliknya pihak legislatif memandang pihak eksekutif kurang memperhatikan aspirasi rakyat yang paling bawah. Hal ini disukung oleh tokoh masyarakat yang memandang bahwa tarik menarik usulan tersebut terjadi karena aspirasi masyarakat yang tidak diakomodir. 3. Hambatan-Hambatan Struktural dalam Implementasi Performance Based Budgeting (Angaran Berbasis Kinerja) a. Belum Lengkapnya Petunjuk Pelaksanaan dan Peranti Pendukung dari Kebijakan-kebijakan yang Dikeluarkan (UU No. 17 Tahun2003) Kurangnya sosialisasi terhadap petunjuk pelaksanaan dan peranti pendukung dari UU No. 17 Tahun 2003 sangat dirasakan sekali oleh responden, yang umumnya orang-orang yang sudah lama berkecimpung dalam anggaran, hal ini dapat dilihat dari tanggapan seluruh responden (100%) menyatakan bahwa sangat sempitnya waktu dan kurangnya petunjuk pelaksana UU No. 17 Tahun 2003 menjadi salah satu hambatan dari implementasi Performance Based Budgeting. Selain itu diketahui pula bahwa sosialiasinya hanya sampai pada tingkat “elite” politik, belum menyebar pada masyarakat bawah umumnya. b. Belum Adanya Strategi Pengadaan Sistem Teknologi Informasi untuk Menggantikan Cara Manual yang Dilakukan Saat Ini Sistem informasi dan strategi yang mo-
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
dern mutlak diperlukan dalam implementasi Performace Based Budgeting, karena dengan prinsip E-Goverment segala informasi akan mudah diakses. Keluhan ini sangat banyak dirasakan oleh seluruh responden, yang menyatakan bahwa pentingnya penggunaan pranti, strategi dan informasi modern yang akan menunjang pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dan pada saat awal sistem anggaran ini dilaksanakan mereka merasakan pengadaan perangkat modern di Rokan Hilir belum memadai. c. Belum Selesainya Program Pelatihan Khususnya untuk Meningkatkan Kemampuan SDM di Tingkat Kecamatan Pada awal diperkenalkannya Sistem Anggaran Berbasis Kinerja ini, banyak pelatihan dan berbagai training dilaksanakan untuk memberikan skill dalam penyusunan sistem anggaran tersebut, baik di tingkat nasional ataupun di level Propinsi dan Kabupaten, termasuk di Kabupaten Rokan Hilir. Namun pada saat pelatihan ini belum dirampungkan sistem annggaran berbasis kinerja telah dimulai. Oleh karenanya banyak keluhan yang disampaikan oleh seluruh responden. Mereka mengatakan bahwa ketika pelatihan itu masih sedang berjalan di beberapa kecamatan, implementasi sistem anggaran ini sudah dilaksanakan, sehingga banyak dari masyarakat maupun aparat pemerintah mengeluhkan hal ini. Karena dengan latihan yang singkat demikian itu saja belum tentu semua materi dapat dikuasai. d. Perlu Knowledge Management/Best Practice Sharing Diantara Instansi Pemerintah Sistem anggaran berbasis kinerja sangat memerlukan pengetahun manajemen praktis bagi penggunanya dan ini sekaligus menjadi syarat mutlak pelaksanaannya. Apalagi sistem ini menuntut kesamaan visi dari berbagai instansi terkait, sehingga apa yang disebut ego sektoral tidak muncul lagi dalam pelaksanaan sistem anggaran ini. Semua responden sepakat
89
sangat perlunya best practice sharing diantara instansi terkait, agar tidak ada lagi ego sektoral yang timbul dalam pelaksanaan sistem anggaran berbasis kinerja ini. Selain itu masyarakat di tingkat bawah pun sangat menginginkan adanya transparansi dalam penyusunan anggaran dengan sistem ini. SIMPULAN 1. Hasil penelitian menunjukkan permasalahan yang muncul dalam implementasi Anggaran Berbasis Kinerja pada tahap Musbangdes adalah rendahnya keterlibatan instansi terkait dalam forum tersebut, hal ini terlihat dari hampir sebagian besar Kepala Dinas, Badan dan Kantor tidak hadir dalam Musbangdes.Pada hal forum ini sangat penting untuk menangkap aspirasi dari bawah terhadap usulan yang betul-betul dibutuhkan masyarakat. 2. Pada tahap Diskusi UDKP, masalah yang menonjol adalah rendahnya animo masyarakat terhadap forum ini, karena dalam diskusi UDKP ini, proyek-proyek yang diprioritaskan banyak yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat, padahal masyarakat beranggapan dalam forum Musbangdes usulan mereka sudah dianggap masuk dalam prioritas proyek. Namun pihak eksekutif menganggap masyarakat menginginkan proyek yang instans, yang cepat ada realisasinya. 3. Pada tahap Rakorbang Kabupaten Rokan Hilir, permasalahan yang selalu mencuat adalah munculnya ego sektoral, masingmasing Dinas, Badan dan Kantor, hal diperuncing lagi dengan keinginan Asosiasiasosiasi kabupaten dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Anggota DPRD. Pada Rakorbang ini pula muncul keteganganketegangan akibat ego sektoral masingmasing pihak. 4. Dalam Peran DPRD Kabupaten Rokan Hilir terhadap penyusunan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah, permasalahan yang kerap muncul adalah adanya
90
Perubahan Sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Rokan Hilir (Dari Sistem Mata Anggaran Line Item Menuju Mata Anggaran Berbasis Kinerja)
tarik menarik usulan antara pihak eksekutif dengan legislatif terhadap draft usulan proyek. Disini terlihat adanya kepentingan-kepentingan politis anggota dewan untuk memperjuangkan vested interest-nya terhadap beberapa proyek yang diusulkan. DAFTAR RUJUKAN Abe, Alexander, Perencanaan Daerah Partisipatif, Pondok Edukasi, Solo, 2002 Afdhal. A.F, Mengkomunikasikan Kebijakan Publik, Business Week, Edisi Indonesia No.22/II, 3 November 2003 Basri, Yuswar Zainal, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003 Baswir, R., Akuntansi Pemerintahan Indonesia, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta, 1995
Kartasismita, Ginanjar, Administrasi Pembangunan, LP3ES Indonesia, Jakarta, 1996 Kasali, Rhenald, Manajemen Peru-bahan (2) Kontan no.32 Tahun VIII, 17 Mei 2004 Kunarjo, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, UI-Press, Jakarta, 1996 Mandica, Notrida, “Desentralisasi, Anggaran Daerah, dan Akuntabilitas Publik”, Kompas, Juni, No. 338 Tahun ke-36, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2001 Mardiasmo., “Implikasi APBN dan APBD dalam Kontek Otonomi Daerah”, Kompak, April 2000, No. 23, 573-587. ., “Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah untuk Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah 2001”, Makalah Seminar, MEP-UGM, Yogyakarta, 2000.
Berger,L.N Sikora J.M., The Change Management Handbook: A Road Map to Corporate Transformation. Irwin Profesional Publishing Chicago London 1994
Musgrove, A. Richard, dkk, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, Erlangga, Jakarta, 1991
Fuady, Helmi Ahmad, Memahami Anggaran Publik, IDEA Press, Yogyakarta, 2002
Nugroho,D.R, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2003.
Hakim, Lukman, Anggaran Berbasis Kinerja sebagai Reformasi Sistem Keuangan Daerah, Jurnal Forum Inovasi, Vol, 5, Desember-Februari 2003 Halim, Abdul, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 2001 Jones, Rowan and Pendlebury Mauric, Public Sector Accounting, Nitman, London, Second Edition, 1987 Kaho, Yosef Riwis, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1997
Salomo, R.V. Anggaran yang Berorientasi Pada Kinerja dan Kepemerintahan yang Baik, Jurnal Forum Inovasi Vol, 5, Desember-Februari 2003 Shah, Anwar., “The Reform of Inter Governmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economics”, Policy and Research Series No. 23, 1-90, 1994 Yani, Ahmad, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.