Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Perubahan Lingkungan Sedimentasi Delta Kapuas Berdasarkan Data Polen Winantris1 Yudi Darlan2 1 2
Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan email:
[email protected] [email protected]
Abstrak Delta Kapuas adalah sistem delta aktif yang terbentuk dalam kondisi lingkungan tropik, berada di Kabupaten kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Wilayah sekitar delta ditumbuhi oleh vegetasi rawa dan vegetasi mangrove. Lokasi penelitian berada diantara 0º 00' 00'' - 0º 25' 00'' LS dan 108º 57' 0''- 109º 15' 00'' BT. Penelitian bertujuan untuk melakukan studi lingkungan pengendapan berdasarkan data polen. Bor pertama diambil di Muara Kakap ( DK2) sedalam 50 meter, dari inti bor tersebut dianalisis 7 sampel, dan bor ke dua diambil di Pulau Sepuk Laut ( DK3) sedalam 45 meter, dari inti bor tersebut dianalisis 10 sampel. Pemisahan polen/spora dari sedimen dan material lainnya menggunakan metode hydoflouric acid. Analisis umur absolut sedimen menggunakan carbon dating (C14). Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel sedimen DK2 diendapkan dalam dua sub-lingkungan. Interval pertama dari kedalaman 50 m sampai 30 meter diendapkan di sub-lingkungan flood plain, interval ke dua dari kedalaman 20 m sampai 2 m diendapkan di sub-lingkungan alluvial swamp. Seluruh proses pengendapan berlangsung dalam kurun waktu 20.840 tahun. Sedimen DK3 diendapkan dalam dua sub-lingkungan, pertama diendapkan di sub-lingkungan tidal channel dari kedalaman 50 m-35 m, ke dua diendapkan di sub-lingkungan mangrove swamp dari kedalaman 30 m- 2 m, seluruh pengendapan berlangsung dalam kurun waktu 16.610 tahun. Laju sedimentasi di Muara Kakap relatif lebih tinggi dibandingkan di Pulau Sepuk Laut. Kata kunci: Delta Kapuas, sedimentasi, polen, lingkungan pengendapan, carbon dating
Pendahuluan Pendahuluan Delta Kapuas terbentuk di sekitar Muara Sungai Kapuas akibat dari pelepasan sedimen dari Sungai Kapuas ke arah Laut China Selatan. Wilayah sekitar delta membentuk rawa berlumpur yang menyediakan habitat mangrove dan hutan rawa dataran rendah. Polen dan spora yang dihasilkan oleh vegetasi mangrove dan vegetasi rawa air tawar adalah indikator
efektif untuk mengungkap perubahan lingkungan pengendapan berkaitan dengan pembentukan Delta Kapuas. Tujuan dari analisis polen adalah untuk mengkaji perubahan lingkungan pengendapan. Klasifikasi lingkungan pengendapan delta berdasarkan vegetasi dibagi ke dalam empat zona lingkungan meliputi: alluvial plain, upper deltaic plain, lower deltaic plain dan delta front (Morley, 1977; Allen dan Chamber 1988). Pembagian zona lingkungan
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
tersebut dicirikan oleh asosiasi tumbuhan yang terdapat pada zona tersebut (tabel 1). Tabel 1. Zonasi lingkungan pengendapan delta (Morley, 1977; Allen & Chamber 1988) Deltaic province
Type subenvironment
Alluvial plain
Meander belts, flood plain, alluvial swamp,fresh water, non tidal channel
Upper deltaic plain
Lower deltaic plain Delta front platform
Meander belt, peatswamp, fresh water channel,
Mangrove swamp, brackish tidal channel,tidal flat, smaller estuaries Tidal flats, mouth of distributaries and estuaries, subaquaeous environment. lagoons
Major plant association Alluvial swamp communities Riparian association, minor peat swamp forest communities Peat swamp forest association,riparian association, minor mangrove/back mangrove, depelovment alluvial swamp forest communities Mangrove forest, back mangrove forest
No fascular vegetation
Berdasarkan posisi geografi distribusi vegetasi mangrove berada paling depan menghadap ke arah laut yang diikuti langsung dibelakngnya oleh vegetasi rawa dataran rendah. Perubahan dominasi polen dari kedua vegetasi tersebut merupakan petunjuk kuat dari pergeseran lingkungan pengendapan. Morfologi Delta Kapuas dengan lima lengan membentuk kipas aluvial, tersusun atas dataran delta atas, dataran delta bawah, muka delta dan prodelta (Kurnio, 2011). Lokasi penelitian secara geografis dibatasi oleh koordinat 0º 00' 00'' - 0º 25' 00'' LS dan 108º 57' 0''- 109º 15' 00''BT (gambar 1. Lokasi Penelitian)
Bahan dan metode Satu bor telah diambil di kawasan Muara Kakap, Kecamatan Sungai Kakap (DK2) sedalam 50 meter. Kondisi sekarang lokasi sampel DK2 adalah area sekitar mura Sungai Kakap yang merupakan dataran pesisir pantai, dengan litologi lanau pasiran. Satu bor diambil di pulau Sepuk Laut (DK3) sedalam 45 meter. Posisi inti bor DK3 berada di Sepuk Laut keadaanya lebih menjorok ke arah laut dibandingkan dengan sampel DK2, merupakan dataran delta (Delta plain). Area dataran delta ditumbuhi oleh vegetasi rawa dan mangrove. Dari DK2 diambil 7 sampel pada kedalaman 50 m, 40 m, 30 m, 20 m, 10 m, 5 m dan 2 m. Dari DK3 diambil 10 sampel pada kedalaman 45 m, 40 m, 35 m, 30 m, 25 m, 20 m, 15 m, 5 m dan 2 m. Untuk memisahkan polen maupun spora dari sedimen dan material lainnya, proses preparasi digunakan metode Hydoflouric acid. Metode tersebut dipandang sangat cocok untuk minerogenic material , yaitu endapan pasir, lanau, lumpur, dan komponen lempung dari tanah atau sedimen. Karakteristik sampel-sampel yang dianalisis terdiri dari lumpur, lanau, pasir dan lempung. Untuk mengetahui umur absolut sedimen dilakukan analisis radiocarbon dating C14 dari bagian dasar dari masingmasing inti bor. Analisis lingkungan pengendapan Analisis polen terhadap tujuh sampel DK2 diperoleh 71 takson polen, 16 takson spora paku dan satu takson alga air tawar, sedangkan dari 10 sampel DK3 diperoleh 74 takson polen, 16 takson spora paku dan satu takson alga air tawar. Untuk keperluan analisis lingkungan pengendapan polen dan spora tersebut dikelompokan menjadi lingkungan mangrove, swamp forest, lowland, upland dan non spesific ecology.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Inti Bor DK2 Muara Kakap Kuantitas polen/spora dari seluruh sampel DK2 termasuk dalam kategori kaya karena lebih dari 150 butir/sampel (Hillen, 1984). Jumlah terkecil yaitu 612 terjadi pada sampel dengan kedalaman 20 meter (DK2-20), sedangkan jumlah terbesar terjadi pada sampel kedalaman 30 meter DK2-30 sebanyak 1412 butir . Dengan memperhatikan fluktuasi jumlah polen berdasarkan asal habitatnya yang terdiri atas mangrove, swamp forest,dan riparian, sampel inti Bor DK2 menunjukkan adanya dua fase pengendapan pada lingkungan yang berbeda sebagai berikut: DK2 interval kedalaman 50-30 metar Interval ini meliputi sampel DK2-50, DK2-40 dan DK2-30. Berdasarkan komposisi jenis-jenis polen, pada interval ini didominasi oleh polen dari komunitas tumbuhan rawa yang berasosiasi dengan polen asal riparian dan polen dataran rendah hal ini merujuk kepada wilayah alluvial plain. Sedimen pada sampel DK2-50, DK2-40 terdiri atas lanau berwarna abu-abu gelap, terdapat bahan organik sisa-sisa tumbuhan, sedangkan sampel DK2-30 berupa lempung abu-abu, terdapat bahan organik sisa-sisa tumbuhan. Karakter sedimen tersebut adalah gambaran lingkungan dengan energi rendah pada zona transisi antara lingkungan fluvial dengan paralik pada area floodplain. Daerah seperti itu ditumbuhi komunitas tumbuhan rawa aluvial (Morley, 1977, Allen & Chamber 1988). Polen Elaeocarpus, Campnosperma, Callophylum, Shorea, Gonystilus dan Palaquium adalah jenis-jenis yang umum ditemukan pada lingkungan rawa air tawar. Polen dari lingkungan rawa mencapai lebih dari 27 %. Elaeocarpus merupakan jenis yang mendominasi, jenis polen tersebut juga banyak ditemui pada batubara yang berasal dari Formasi Sajau yang terbentuk dalam lingkungan rawa (Agusta dkk, 2015). Di
dalam interval ini didapati spora yang berasal dari lingkungan hutan rawa meliputi Lygodium microphyllum, Stenochlaena areolaris, Stenochlaena usmensis dan Cyathea. Hutan rawa (lowland swamp forest) secara alami tumbuh di daerah pesisir yang merupakan hutan rawa dataran rendah. Ciri yang menonjol dari hutan rawa umumnya tumbuh di area dekat sungai yang mengalami penggenangan secara periodik pada saat musim hujan, sehingga daerah tersebut merupakan daerah dataran limpah banjir (flood plain). Hutan demikian tumbuh tepat di belakang hutan mangrove, oleh karena itu kehadiran polen mangrove dalam kuantitas yang sangat kecil kurang dari 3,3 %, terutama Exoecaria dan Camtostemon menandakan bahwa zona rawa air tawar ini berada tepat di belakang mangrove (Backer and Bakhhuizen, 1965). Polen mangrove tersebut hasil transpor yang dibawa oleh gelombang pasang naik tertinggi dari habitat mangrove yang berbatasan dengan hutan rawa air tawar di pesisir pantai. Berdasarkan komposisi polen dan ciri-ciri sedimen, menunjukkan bahwa interval kedalaman 50-30 metar diendapkan di wilayah alluvial plain khususnya sublingkungan limpah banjir (flood plain). Hasil carbon dating pada bagian dasar bor DK2 pada kedalaman 50 m adalah 20.840 tahun, berdasarkan data ini diperoleh kecepatan rata-rata sedimentasi di kawasan daratan Muara Kakap sekitar 0,24 cm/tahun. Posisi DK2 pada kedalaman 30 meter, berada 20 meter di atas posisi dasar DK2-50. Apabila diasumsikan kecepatan sedimentasi di Muara Kakap sekitar 0,24 cm/tahun, maka selama sekitar 8333 tahun proses pengendapan berlangsung pada wilayah limpah banjir. DK2 interval kedalaman 20-2 metar Sampel yang masuk ke dalam interval ini adalah DK2-20, DK2-10, DK2-5 dan DK2-2. Terjadi lonjakan yang signifikan dari polen mangrove, terutama dari Rhizophora yang merupakan indikasi perubahan lingkungan (gambar 2). Persentase polen
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
mangrove terendah sebesar 14,8 % dari total polen pada DK2-10, dan mencapai maksimum 67,9% pada DK2-20. Mangrove tumbuh subur pada lingkungan rawa berlumpur (Robert, et al. 2015). Daerah muara sungai atau daerah pasang surut yang cocok untuk Rhizophora adalah tipe medium high tides, yaitu daerah yang mengalami penggenangan selama 15 hari perbulan dengan salinitas 30 ppt (Watson,1928), dengan penggenangan berkisar 400-530 kali dalam satu tahun (Chapman, 1944). Pada posisi ini ditemukan Shorea dalam frekuensi kecil yang sebelumnya sempat hadir cukup besar pada tahap pertama pengendapan tepatnya di DK2-30. Berbeda dengan di Malaysia, Sarawak Barat jenis tersebut merupakan penyumbang utama tumbuhan rawa yang menyusun kubah gambut (Zulkifley dkk, 2015). Cephalomappa hanya muncul pada interval kedalaman 2 dan 10 meter. Polen dari genus Calamus mencapai maksimum pada kedalaman 10 m. Di Asia Tenggara Calamus merupakan genus dengan spesies terbanyak dari palmae (Couvreur et.al. 2014). Calamus juga dapat hidup di rawa pantai dan hutan pedalaman sejak Kala Oligosen (Akgun et al, 2015). Ditinjau dari asosiasi polen pada zona ini yang terdiri dari polen mangrove, polen swamp forest dan polen yang berasal dari dataran rendah di sekitar pantai, hal ini mengindikasikan zona garis pantai yang terkena pengaruh arus pasang. Polen dan spora yang diendapkan di lingkungan rawa berasal dari tumbuhan setempat dan daerah sekitarnya (Harrington, 2007). Hal ini sesuai hasil dengan hasil penelitian di Delta Mahakam, bahwa akumulasi polen dalam sedimen semakin tinggi pada daerah yang semakin dekat dengan sumber polen (Winantris dkk, 2013). Interval ini dicirikan oleh sedimen halus berupa lumpur bercampur dengan lempung abu-abu berwarna terang-gelap, agak kompak, lengket, terdapat sisa-sisa tumbuhan, kondisi tersebut merujuk pada wilayah alluvial plain pada sub-lingkungan alluvial swamp.
Penurunan polen rawa air tawar yang posisinya digantikan oleh polen mangrove mengindikasikan terjadi perubahan sublingkungan flood plain menjadi alluvial swamp, namum demikian masih berada di wilayah alluvial plain (gambar 2,3,4) Proses pengendapan di lingkungan alluvial swamp ini berlangsung sekitar tahun 12507 tahun. Inti Bor DK3 Sepuk Laut Posisi bor DK3 berada di bagian dataran delta bawah (lower delta plain). Bentang alam pada saat pengambilan sampel berupa hutan rawa. Kuantitas polen/spora secara keseluruhan dari inti bor DK3 jauh lebih sedikit dari pada DK2. Termasuk dalam kategori sedang hingga kaya. Sampel dengan kuantitas polen terbesar terjadi pada kedalaman 45 meter DK2-45 sejumlah 338 butir, sedangkan kuantitas terkecil pada sampel dengan kedalaman 15 meter sebanyak 90 butir. Berdasarkan komposisi jenis polen, lingkungan asal dan kuantitasnya sampel yang berasal dari DK3 dapat dikelompokan menjadi dua interval sebagai berikut: DK3 interval kedalaman 45-35 metar Interval pertama ini melibatkan sampel DK3-45, DK3-40,DK3-35, Ciri-ciri sedimen dasar inti bor pada kedalaman 45 m hingga 30 m, memperlihatkan dominasi sedimen berukuran pasir halus, terdapat material organik berupa sisa tumbuhan, berseling dengan lumpur. Karakter tersebut umum terdapat dalam endapan channel, ditemukannya cangkang moluska dari lingkungan laut hal ini menambah bukti bahwa channel yang dimaksud adalah tidal channel. Hasil analisis polen memperlihatkan asosiasi antara polen peat swamp, riparian dan mangrove. Salah satu dari polen peat swam adalah Oncosperma tigillarium. Terdapat kesamaan dengan Delta Mahakam, polen Oncosperma tigillarium juga merupakan polen yang umum ditemukan di seluruh sampel dataran delta (Winantris, 2014). Retimocolpites yang merupakan fosil
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
dari botanical affinity Oncosperma tigillarium juga ditemukan di Delta Niger dari batuan sedimen berumur Oligosen Akhir-Miosen (Adebayo, et.al, 2012). Berdasarkan buktibukti tersebut polen Oncosperma tigillarium dapat dijadikan salah satu penciri lingkungan pengendapan delta. Polen mangrove hadir dalam jumlah sangat kecil, terdapat polen yang berasal dari riparian yang dicirikan oleh asosiasi polen-polen Calophyllum sp., Pandanus sp., Ilex, Malvaceae, Myrtaceae dan Pometia sp. Berdasarkan karakteristik sedimen dan polen/spora dapat diketahui bahwa sedimen diendapkan pada wilayah lower delta plain khususnya lingkungan tidal channel ( Morley, 1977, Allen and Chamber 1988). Bagian dasar inti bor DK3 berdasarkan hasil carbon dating menunjukkan umur 16610 tahun, dengan kedalaman 45 m maka laju sedimentasi di dataran delta bawah yang berada Pulau Sepuk laut sekitar 0,27 cm/tahun, realtif lebih cepat daripada kecepatan sedimentasi di dataran aluvial di Muara Kakap. Pengendapan di tidal channel berlangsung sekitar 416 tahun. Interval kedalaman 30-2 metar Interval ke dua, melibatkan sampel DK3-30, DK3-25, DK3-20, dan DK3-15, DK3-10, DK3-5 dan DK3-2. Sedimen pada interval ini didominasi oleh ukuran butir halus, yaitu lempung dan lumpur dengan perselingan pasir halus dan ditemukan bahan organik sisa tumbuhan, karakteristik endapan demikian cerminan dari endapan dataran delta bawah. Dominasi polen rawa tampak jelas dengan rata-rata diatas 25% dari total polen, sementara polen mangrove rata-ratanya hanya 9,8%. Polen mangrove jenis Sonneratia alba (gambar 5,8) meningkat signifikan pada kedalaman 5 m (DK3-5), polen tersebut merupakan jenis yang dihasilkan oleh tumbuhan yang habitatnya langsung berhadapan laut dalam area yang terbatas
(Mao & Foong, 2013). Adapun spora Acrostichum secara konsisiten ditemukan pada semua sampel meskipun terjadi fluktusi. Acrostichum adalah paku-pakuan yang merupakan tumbuhan utama backmangrove. Berdasarkan komposisi polen, spora dan karakteristik sedimen interval kedalaman 30-2 metar berasal dari lower delta plain khususnya lingkungan mangrove swamp (gambar 5,6,7), pengendapan di lingkungan ini berlangsung 16194 tahun. Kesimpulan Muara Kakap merupakan wilayah alluvial plain, adapun proses pengendapan berlangsung dalam dua sub-lingkungan yang berbeda, episode pertama diendapkan di sublingkungan flood plain selama 8333 tahun, episode ke dua dari tahun 12.507 tahun yang lalu hingga sekarang diendapkan di sublingkungan alluvial swamp. Kondisi yang hampir sama serupa terjadi di Pulau Sepuk Laut, proses pengendapan berlangsung dalam dua episode. Episode pertama selama sekitar 416 tahun pengendapan berlangsung di lingkungan tidal channel, episode berikutnya berlangsung dari 16194 tahun yang lalu hingga sekarang di sub-lingkungan mangrove swamp kedua sub-lingkungan tersebut berada di wilayah dataran delta bawah (lower delta plain). Kecepatan sedimentasi di Pulau Sepuk Laut relatif lebih tinggi daripada di Muara Kakap. Pustaka
Adebayo,OF; Orijemie,AE; Aturamu; AO. 2012. Palynology of Bog-1 Well, Southeastern Niger Delta Basin, Nigeria. International Journal of Science and Technology. Volume 2 No.4 Agusta,V.C; Hamdani, A.H; Winantris (2015) Pliocene pollen and spores from Sajau Coal, Berau Basin, Northeast
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Seminar Fakultas
Nasional Ke – III Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
Kalimantan, Indonesia: Environmental and Climatic. International Journal of Science and Research (IJSR) ISSN (Online): 2319- 7064 Akgun,F; Akkiraz, M.S;Ucbas,S.D; Bozcu,M; Yesilyurt.S.K; Boscu.A, 2013. Oligocene vegetation and climate characteristics in north-west Turkey: data from the south-western part of the Thrace Basin. Turkish J Earth Sci. 22: 277-303 Backer, C.A. and Bakhhuizen v.d. Brink, R.C; 1965. Flora of Java, Vol. II. N.V.P, Noordhoff, Groningen. The Netherlands. 641 pp. Couvreur,T.L.P; Kissling,W.D; Condamine, F.L; Svenning,J-C; Rowe,N.P; and Baker,W.J 2015. Global diversification of a tropical plant growth form: environmental correlates and historical contingencies in climbing palms. Front Genet. 2014; 5: 452. Published online 2015 Jan 8. doi: 10.3389/fgene.2014.00452 Hillen. R. 1984. A Paleontological Technique to Delineate Tropical Lowland Depositional Environments of Quarternary Age, CCOP Project,United Nation Development Programme, Technical Support for Regional offshore Prospecting in East Asia Harrington, G.J. 2007, Comparation Between Paleocene-Eocene Paratropical Swamp And Marginal Marine Pollen Floras From Alabama and Mississippi, USA. Paleontologi, vol.51, part Paleontologi, vol.51, part 3, 2008, pp611-622 Kurnio, H; 2011. Gas Biogenik Kawasan Pesisir Muara Kakap sebagai Sumber Energi Alternatif. M & E, Vol. 9, No. 1, Maret 2011
Mao, L.M and Foong, S.Y. 2013. Tracing ancestral biogeography of Sonneratia based on fossil pollen and their
probable modern analogue. Palaeoworld 22 (2013) 133–143 Morley, 1977, In Allen and Chamber
1988.
Modern and Miocene Mahakam Delta, 24th Indonesian Petroleum Association Proceeding, Jakarta. p.225 – 231. Noor,Y.R; Khazali,M; Suryadipura,INN; 1999. Panduan Pengenalan Indonesia, Wetland Indonesia Proggrame
Mangrove di Internasional,
Robert, E.M.R; Oste.J;Van der Stocken,T;De Ryck, D.J.R; Quisthoudt, K; G. Kairo, J.G;Dahdouh-Guebas,F; Koedam, N;Schmit. 2015.Viviparous mangrove propagules of Ceriops tagal And Rhizophora mucronata where both Rhizophoraceae show different dispersal and establishment strategies. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 468 (2015) 45-54 Watson, J. O. 1928. Mangrove forests of the Malay peninsula. Malayan Forest Records 6: Federated Malay State Goverment, Singapore, 275 pp Winantris, 2013 Hubungan Jarak Transpor Polen, Ukuran Butir Sedimen Dan Kuantitas Polen Dalam Sedimen Resen Delta Indonesian Journal of Applied Sciences Vol. 3 No. 1 April 2013 Winantris; Sudradjat, A; Syafri,I; Rahardjo, AT, 2014. Diversitas Polen Palmae Pada Endapan Delta Mahakam Resen. PIT IAGI K2-43, Jakarta
Zulkifley, M.T.M, Fatt, N.T; Abdullah, Raj, J.K; Shuib, M.K; Ghani, A.B; Ashraf, M.A.2015.Geochemical characteristics of a tropical lowland peat dome in the Kota SamarahanAsajaya area, West Sarawak, Malaysia Environ Earth Sci (2015) 73:1443– 1458.
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”