8. ANALISIS PERUBAHAN BIAYA LINGKUNGAN
8.1. Latar Belakang Perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terutama debit, volume, sedimentasi dan pencemaran kimiawi air menyebabkan hilangnya kesempatan berproduksi, peningkatan intensitas pemeliharaan peralatan produksi energi listrik PLTA (turbin dan cooler-nya) dan menurunkan umur pakai waduk. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan akibat kenaikan biaya pemeliharaan dan kehilangan kesempatan berproduksi energi listrik PLTA. Bagi PDAM, faktor utama yang menyebabkan peningkatan biaya adalah semakin tingginya sedimen dan pencemaran kimiawi air baku air minum. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan biaya pemeliharaan WTP dan peningkatan biaya pengolahan air karena peningkatan penggunaan bahan kimia. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh perubahan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu terhadap biaya lingkungan atau biaya eksternalitas pengguna air Citarum (PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur, PDAM Purwakarta dan DKI Jakarta).
8.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian perubahan biaya lingkungan dilakukan dengan menggunakan data sekunder di bagian Akuntansi UBP Saguling dan Bagian Keuangan PT. Thames PAM Jaya. Penelitian berlangsung pada bulan April 2006 sampai dengan Juli 2006. Untuk mengetahui kesanggupan masyarakat (willingness to pay) masyarakat, dilakukan survey sosial ekonomi terhadap penduduk yang berada di sekeliling Waduk Saguling (yang paling terikat dengan keberadaan waduk) yang meliputi empat Kecamatan yaitu Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cipongkor, Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cihampelas, di Kabupaten Bandung.
162 8.3. Bahan Dan Metode 8.3.1. Bahan Bahan yang diperlukan untuk menganalisis perubahan biaya lingkungan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : 1. Laporan produksi tahunan PLTA Saguling, PLTA Cirata dan PLTA Jatiluhur (1993-2003). 2. Laporan produksi tahunan PDAM Purwakarta (1999-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (1998-2005). 3. Laporan biaya pemeliharaan peralatan produksi dan harga jual produksi energi 2005 (UBP Saguling). 4. Laporan pemeliharaan peralatan WTP dan penggunaan bahan kimia oleh PDAM Purwakarta (1988-2003) dan PT. Thames PAM Jaya (1998-2005). 5. Laporan hasil penelitian pihak ketiga baik terhadap PLTA maupun PDAM tersebut. 8.3.2. Metode Perhitungan Biaya Marginal Lingkungan PLTA dan PDAM Untuk menghitung potensi kerugian ekonomi yang ditanggung oleh PLTA dan PDAM sebagai akibat kerusakan lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu, maka dilakukan perhitungan dengan rumus : a. Biaya Lingkungan Produksi Listrik (PLTA):
BLPL = BKP + BP,
keterangan :
BLPL = biaya lingkungan produksi listrik (Rp/ MWh) BKP = biaya kehilangan produksi (Rp/ MWh) BP = biaya pemeliharaan (Rp/ MWh) a1. Biaya Kehilangan Produksi
BKP = (P t+1 – P t) x HP, BKP Pt
P t+1
t HP
keterangan :
= biaya kehilangan produksi (Rp/ MWh) = Produksi listrik pada tahun t (MWh) = Produksi listrik pada tahun t+1 (MWh) = tahun = harga penjualan (Rp/ MWh)
163 a.2. Biaya Pemeliharaan (Turbin dan peralatan lain) BPT = JPT x BP, BPT JPT BP
keterangan :
= biaya pemeliharaan turbin (Rp/tahun), = jumlah pemeliharaan turbin (kali/tahun), = biaya pemeliharaan (Rp/kali)
b. Biaya Lingkungan Produksi Air (PDAM): BLPA = BPK / PA,
keterangan :
BLPA = biaya lingkungan produksi air (Rp/ m³), BPK = biaya penggunaan bahan kimia (Rp), PA = produksi air (m³). c. Pendugaan biaya lingkungan denga penggunaan simulasi GR4J hasil validasi. 8.3.3. Metode Perhitungan Kesediaan Membayar Metode contingent valuation method (CVM) digunakan untuk menilai ekonomi barang publik (air) dengan menanyakan langsung kepada masyarakat seberapa besar kesediaan membayar (willingness to pay - WTP) sebagai akibat kerusakan lingkungan. Kesedian membayar merupakan gambaran dari tingkat preferensi dan pendapatan individu (Pearce et al, 1994). Dalam penelitian ini CVM menyangkut dua hal yaitu kesediaan pengguna jasa membayar air (WTP) khusunya pada musim kemarau dan persepsi dari perilaku masyarakat pengguna jasa lingkungan terhadap bentuk kesediaan membayar kompensasi lingkungan. Kuesioner yang digunakan dalam CVM
meliputi :
1. Deskripsi rinci tentang jasa lingkungan yang divaluasi, persepsi penilaian publik, kesedian membayar (WTP) dan alat pembayaran. 2. Karakteristik sosial demografis responden seperti usia, pendidikan, pendapatan, dan lain-lain. Pada CVM ini, masyarakat yang menjadi responden adalah masyarakat di 4 kecamatan (Batujajar, Cipongkor, Cililin dan Cihampelas) Kabupaten Bandung yang berada di sekeliling Waduk Saguling dan dipilih secara purposive dengan jumlah populasi contoh sebanyak 120 responden (30 responden/Kecamatan). Pengolahan data kuesioner menggunakan fungsi logit dengan alat bantu software SPSS dengan rumus-rumus (Jordan dan Elnagleeb, 1993 Pearce et al, 1994).
164 8.4. Hasil dan Pembahasan Analisis Perubahan Biaya Lingkungan 8.4.1. Potensi Kerugian Ekonomi PLTA a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan produksi Untuk mengetahui pengaruh penurunan kualitas lingkungan terhadap biaya produksi PLTA dilakukan perhitungan terhadap (1) besarnya biaya hilangnya kesempatan produksi (opportunity cost) akibat rendahnya volume air waduk, berhenti beroperasi selama pemeliharaan dan keputusan manajemen PJT II, (2) besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan berupa biaya pemeliharaan peralatan utama produksi dan (3) biaya penggunaan bahan kimia terutama dalam penanganan gas H2S dan pencegahan peralatan masinal/pipa dari karat. Pada Tabel 43 disajikan nilai penjualan listrik dan potensi kerugian ekonomi PLTA, selama 10 tahun akibat penurunan produksi listrik. Tabel 43. Nilai penjualan energi listrik di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur (1993-2003 ). No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tahun
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Jumlah Rata-rata Rata-rata penurunan (Rp) Rata-rata penurunan (%) *)
Pendapatan (Rp. Miliar) Saguling Cirata Jatiluhur 450,32 266,28 170,98 476,4 246,57 127,11 373,48 232,33 121,36 402,81 245,44 83,92 219,64 142,13 106,13 488,37 286,85 160,52 383,15 224,82 145,27 374,94 214,04 149,25 463,55 280,17 150,54 375,96 226,91 173,3 289,36 158,5 87,47 4297,98 2524,04 1475,85 390,72 229,45 134,168 16,097 10,776 8,35 4,11 4,69 6,22
Total (Rp. Miliar) 887,58 850,08 727,17 732,17 467,9 935,74 753,24 738,23 894,26 776,17 535,33 8297,87 754,35 35,223 4,67
Diasumsikan harga berdasarkan harga jual energi listrik UBP Saguling kepada P3B yaitu Rp 165,65/kwh (2005).
Dari Tabel 43 diketahui bahwa selama 1993-2003 ketiga PLTA mengalami penurunan penjualan (pendapatan yang hilang) yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 16,097 miliar (PLTA Saguling), Rp. 10,776 miliar (PLTA Cirata), Rp. 8,35 miliar (PLTA Jatiluhur) dan Rp. 35,223 miliar (3 PLTA) setiap tahun. Pendapatan 3 PLTA hasil penjualan energi listrik disajikan pada Gambar 41.
165
Nilai Penjualan di 3 PLTA
800 Saguling
600
Cirata Jatiluhur
400
Total
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
-
1994
200 1993
Pendapatan (Rp Miliar)
1,000
Tahun
Gambar 41. Grafik pendapatan PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur 1993 – 2003. Untuk menduga pengaruh perubahan PEL terhadap pendapatan pada kondisi penutup lahan 1993 dan 2003 dilakukan simulasi perubahan pendapatan dengan menggunakan PEL hasil simulasi dikali dengan harga penjualan PEL UBP Saguling kepada P3B yaitu sebesar Rp. 165,65,-/kWh atau Rp. 165.650,per MWh. Karakteristik pendapatan harian sebagai akibat perubahan PEL harian periode simulasi 1993-2003 disajikan pada Gambar 42, sedangkan hubungan pendapatan hasil simulasi tahun 1993 dan 2003 pada Gambar 43. Dari gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan PLTA UBP Saguling tahun 1993 sebesar Rp 882,323 miliar lebih besar dibandingkan dengan pendapatan tahun 2003 yaitu sebesar Rp 743,926 miliar. Artinya, PLTA UBP Saguling mengalami penurunan pendapatan atau kerugian sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun. Potensi keuntungan yang hilang tersebut merupakan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan produksi energi listrik dengan trend yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis DAS Citarum Wilayah Hulu selama periode 1993-2003 dapat dipertahankan seperti pada kondisi 1993 (tidak mengalami degradasi menjadi seperti tahun 2003) maka PLTA Saguling tidak mengalami kerugian atau kehilangan keuntungan (opportunity benefit) sebesar Rp 138,617 miliar setiap tahun sebagai akibat kehilangan kesempatan berproduksi.
166 Karakteristik Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 20 1993 2003
18
16
Pendapatan ( Rp Miliar)
14
12
10
8
6
4
2
3925
3816
3707
3598
3489
3380
3271
3162
3053
2944
2835
2726
2617
2508
2399
2290
2181
2072
1963
1854
1745
1636
1527
1418
1309
1200
982
1091
873
764
655
546
437
328
219
110
1
-
Hari
Gambar 42. Karakteristik pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003. Keterangan: UBP Saguling meningkatkan kapasitas produksinya dimulai pada tahun 1994.
Millions
Hubungan Pendapatan Harian PLTA Saguling Tahun 1993-2003 20,000 Series1 Linear (Series1)
18,000 16,000 14,000
y = 0.6182x + 5E+08 2 R = 0.753
12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000
20,000
18,000
16,000
14,000
12,000
10,000
8,000
6,000
4,000
2,000
-
-
Millions
Gambar 43. Hubungan pendapatan harian PLTA UBP. Saguling hasil simulasi pada kondisi penutup lahan1993 dan 2003. b. Biaya pemeliharaan Untuk menjaga kontiunitas produksi energi listrik pada tingkat tertentu diperlukan pemeliharaan terhadap peralatan produksi terutama turbin dan water cooler, pembelian bahan kimia tertentu dan pemeliharaan waduk. Pemeliharaan turbin dan water cooler dilakukan satu kali dalam 7-10 tahun dan pemeliharaan
167 waduk dilakukan rutin setiap tahun. Pada Tabel 44 disajikan biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA. Tabel 44. Biaya pemeliharaan peralatan produksi PLTA Saguling yang diduga paling rentan terhadap perubahan kualitas air. No.
Komponen Biaya
Besar ( Rp juta) Tahun
Jumlah
1999-2000
2001-2002
2003-2005
( Rp )
1.869,37
1.143,53
2.882,86
5.895,76
76,82
188,31
237,58
502,71
183,05
1.752,87
245,39
2.181,31
1.200,90
1.310,17
440,43
2.951,50
4.444,15
698,50
5.142,65
Pembersihan sampah dan Gulma, 1
pemeliharaan Trassboom dan penanggulangan erosi
2 3 4
Penelitian Kualitas Air Triwulan I, II, III dan IV Pekerjaan Retubing Air Cooler, Generator dan perbaikannya Pengadaan, Penggantian, dan Perbaikan Air Cooler Generator Pengadaan Oil Cooler Lower/
5
-
Fin Ring Air Cooler, Tube, Belzone
6 7 8
Penggantian spare part dan pemeliharaan turbin Rebuilt Coating Spiral Case Stay Vane& Stay Ring # 2 Pengadaan Tyristor Stack
-
413,80
413,80
-
-
1.887,49
1.887,49
-
dan Toprogge Jumlah
-
3.330,14
Rata-Rata
193,88 9.032,90
6.806,04
193,88 19.169,08 2.738,44
Sumber : Bagian Akutansi UBP Saguling, 2006.
c. Biaya Eksternalitas Biaya eksternalitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (PLTA) untuk mempertahankan kegunaan sumberdaya air pada tingkat tertentu. Besarnya biaya eksternalitas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penghasil sumberdaya air di DAS Citarum Wilayah Hulu. Biaya eksternalitas meningkat apabila terjadi penurunan volume air, peningkatan sedimen yang memasuki partisi cooler (sehingga tidak beroperasi) yang kedua-duanya menyebabkan kesempatan tidak berproduksi PLTA semakin besar, peningkatan biaya pemeliharaan dan kebijakan manajemen PJT II dalam mengalokasikan air. Pada Tabel 45 disajikan biaya eksternalitas 3 PLTA baik berdasarkan pengamatan maupun simulasi (kondisi penutup lahan 1993) dengan asumsi biaya pemeliharaan ketiga PLTA sama dengan biaya pemeliharaan UBP Saguling.
168 Tabel 45. Biaya eksternalitas rata-rata per tahun 3 PLTA. No
Uraian Biaya
Biaya Eksternalitas PLTA (miliar Rp/th) Saguling Cirata Jatiluhur
Perhitungan Kehilangan kesempatan 1. 16,097 10,776 berproduksi Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan 2. 2,738 5,4761* bahan kimia dan pemeliharaan waduk. Total 18,855 16,252 Simulasi perubahan penutup lahan 1993 dan 2003 Potensi kehilangan 1. 138,617 92,770** kesempatan berproduksi Pemeliharaan peralatan produksi, pengadaan 2. 2,738 5,476 bahan kimia dan pemeliharaan waduk. Total 141,355 98,246
Jumlah (Rp)
8,35
35,223
4,080*
12,294
12,43
47,517
71,904**
303,318
4,080
12,294
75,984
315,612
Keterangan : * = biaya pemeliharaan per unit turbin PLTA UP. Cirata dan Jatiluhur didasarkan pada total biaya pemeliharaan UBP. Saguling dibagi dengan jumlah turbin (4 turbin). ** = didasarkan pada hasil simulasi PLTA Saguling secara proporsional. Asumsi biaya pemeliharaan pada simulasi tetap.
Besarnya biaya eksternalitas tersebut diduga akan semakin meningkat pada tahun-tahun mendatang sebagai akibat penurunan pendapatan dan peningkatan biaya pemeliharaan. Penurunan pendapatan disebabkan oleh peningkatan besarnya kehilangan kesempatan berproduksi, baik sebagai akibat penurunan volume air masuk lokal, peningkatan sedimentasi dan waduk maupun peningkatan frekuensi pemeliharaan alat utama produksi (turbin dan cooler). Apabila diasumsikan bahwa biaya perawatan alat utama produksi energi listrik (turbin) di ketiga PLTA adalah sama seperti PLTA Saguling, maka total biaya pemeliharaannya adalah sebesar Rp 12,294 miliar per tahun. Besarnya total kerugian akibat penurunan pendapatan adalah Rp. 47,517 milyar per tahun (Rp. 35,223 miliar + Rp 12,294 miliar). Apabila dibandingkan dengan produksi energi listrik dan volume air yang digunakan masing-masing PLTA diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 45. Dengan demikian, kerugian ekonomi yang di derita 3 PLTA sebagai akibat penurunan produksi energi listrik dan peningkatan biaya pemeliharaan adalah Rp. 47,517 miliar per tahun.
169 Untuk menduga potensi kerugian PLTA sebagai akibat perubahan penutup lahan dilakukan pengurangan pendapatan hasil simulasi penutup lahan (tahun) 1993 dengan penutup lahan (tahun) 2003 dengan hasil sebagaimana pada Tabel 46.
Dari tabel tersebut diketahui bahwa potensi kerugian atau
potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan sangat besar yaitu
Rp.141,355 miliar (PLTA Saguling), Rp.98,246 miliar (PLTA
Cirata), Rp.75,984 miliar (PLTA Jatiluhur) dan Rp.315,612 miliar (3 PLTA) setiap tahun dengan asumsi volume air masuk lokal yang tersedia dan turbin dioperasionalkan secara memaksimal oleh PLTA serta biaya pemeliharaan tetap. Potensi kerugian tersebut merupakan nilai guna (manfaat) sumberdaya air yang hilang sebagai akibat perubahan penutup lahan dari tahun 1993-2003. Dengan kata lain, dengan mempertahankan penutup lahan pada kondisi 1993, ketiga PLTA telah mendapatkan potensi keuntungan (opportunity benefit) yang sangat besar. Besarnya perbedaan antara kerugian menurut perhitungan (aktual) dengan hasil simulasi (model GR4J) diduga disebabkan tidak maksimalnya PLTA beroperasi, penurunan DAML dan VAML dan kebijakan alokasi air oleh manajemen (PJT-II) selama peride 1993-2003. Dengan membagi biaya (kerugian) terhadap produksi energi listrik dan air yang digunakan oleh PLTA, diperoleh biaya marjinal lingkungan (environmental marginal cost) atau biaya eksternalitas bagi pengguna air Citarum. Hasil analisis terhadap Tabel 46 didapatkan informasi bahwa secara umum potensi kerugian ketiga PLTA sebagai akibat degradasi kualitas jasa lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu adalah sebesar Rp. 47,517 - Rp. 315,612 milyar setiap tahun atau sebesar Rp. 2.789,11 - Rp. 10.434,42 per MWh listrik yang dihasilkan atau Rp. 3,60 – Rp. 16,95 per m³ air yang digunakan. Besarnya potensi kerugian yang dialami oleh ketiga PLTA (Rp. 315,612 miliar per tahun) diperkirakan disebabkan oleh perubahan penutup lahan dan karakteristik hidrologis periode 1993 -2003.
170 Tabel 46. Biaya marginal lingkungan PLTA berdasarkan perhitungan per tahun. PLTA Cirata
No
Uraian
1.
Potensi PEL (MWh/th)
2,358,732.49
1,385,191.70
809,946.71
4,553,870.90
2.
Potensi VAML (m³/th)
2,590,570,000
5,092,340,000
5,520,160,000
13,203,070,000
18,835,440,000
16,252,000,000
12,430,000,000
47,517,000,000
7,985.41
11,732.67
15,346.69
10,434.42
7.27
3.19
2.25
3.60
Potensi kerugian 3. (Rp/th) BML per unit output 4. (3 : 1) (Rp/MWh) BML per m³VAML 5. (3 : 2) (Rp/m³) Simulasi 1993
Saguling
3 PLTA
Jatiluhur
PLTA Cirata
No
Uraian
1.
Potensi PEL (MWh/th)
58,611,796.53
34,420,424.71
20,126,246.61
113,158,467.85
2.
Potensi VAML (m³/th)
3,652,598,448.64
7,179,992,505
7,783,201,323.36
18,615,792,277.10
141,355,000,000
98,246,139,840
75,984,823,880
315,611,797,800
2,411.72
2,854.30
3,775.41
2,789.11
38.70
13.68
9.76
16.95
3. 4. 5.
Potensi kerugian (Rp/th) BML per unit output (3 : 1) (Rp/MWh) BML per m³VAML (3 : 2) (Rp/m³)
Keterangan :
Saguling
3 PLTA
Jatiluhur
PEL = Produksi energi listrik, VAML = volume air masuk lokal, BML = Biaya marginal lingkungan.
Dengan kata lain, apabila kondisi penutup lahan dan karakteristik hidrologis tidak berubah (seperti kondisi tahun 1993), maka ketiga PLTA akan mendapatkan potensi keuntungan sebesar potensi kerugiannya. Biaya tersebut merupakan compensation variation dan equivalent variation ketiga PLTA dalam upaya mempertahankan utilitas sumberdaya air sebagai energi pembangkit pada tingkat produksi yang ditetapkan. Dengan kata lain, biaya tersebut merupakan willingness to pay wilayah hilir (pengguna jasa) atas perbaikan kualitas lingkungan wilayah hulu (penyedia jasa). lingkungan 3 PLTA seperti pada Gambar 44.
Secara grafik, biaya marjinal
171
P e rba ndinga n BML S a guling Ta hun 1993 da n 2003
90,000
P e rba ndinga n BML Cira t a Ta hun 1993 da n 2003
140,000
2003
80,000 70,000
2003
120,000
1993
1993
100,000
60,000 50,000
80,000
40,000 30,000
60,000 40,000
20,000 10,000
20,000
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
10
2
3
P e rba ndinga n BML J a t iluhur Ta hun 1993 da n 2003
5
6
7
8
9
10
P e rba ndinga n BML Cit a rum (3 P LTA) Ta hun 1993 da n 2003
400,000
2003
2003
350,000
200,000
4
P roduksi (MWh)
P roduksi ( MWh)
1993
1993
300,000
150,000
250,000 200,000
100,000
150,000 100,000
50,000
50,000 -
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
P r oduksi (MWh)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
P r oduksi (MWh)
Gambar 44. Biaya marginal lingkungan 3 PLTA. 8.4.2. Kerugian Ekonomi PDAM Komponen biaya yang diteliti dalam pengolahan air baku menjadi air bersih (minum) adalah (1) pemeliharaan peralatan produksi dan (2) penggunaan bahan kimia. Tabel 47. Biaya pemeliharaan WTP Ubrug (PDAM Tirta Dharma). No
Tahun
Komponen Biaya
1
1988
Reposisi level pompa intake
Biaya
2
1993
Pencucian pasir di WTP
104.741.000
3
1994
Pengangkutan kapasitor instalasi
814.939.000
2.255.000
pengelolaan air bersih (IPA) PDAM Kab. Purwakarta 4
1995
Pengawasan proyek pengangkutan kapasitor instalasi
49.071.000
5
1996
Pencucian pasir di WTP
5.790.000
6
1998
Pencucian pasir di WTP
11.961.000
7
2002
Evaluasi up-rating WTP, pengawasan pekerjaan
49.500.000
pengelolaan air bersih (IPA) PDAM Purwakarta
up-rating WTP dan assesment WTP Ubrug 8
2003
Up-rating WTP (lanjutan) PDAM Purwakarta
Total Biaya Pemeliharaan WTP Ubrug Rata-rata per tahun
Sumber : Laporan keuangan PDAM Tirta Dharma 1999-2003.
724.725 1.038.981.725 41.559.269
172 Pada Tabel 47 dan 48 disajikan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta (sumber air baku dari Ubrug) setiap tahun sebesar Rp 41.559.000,- (laju kenaikan sebesar 4,0% per tahun). Penggunaan bahan kimia oleh PDAM Tirta Dharma Purwakarta mengalami kenaikan (19992003) antara 0.93% (sodium), -56% (asam sulfat). Penggunaan bahan kimia yang semakin meningkat, menunjukkan penurunan kualitas air yang diproses PDAM. Tabel 48. Pemakaian bahan kimia pembantu umum dalam pengolahan air bersih PDAM Purwakarta. No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Rata-Rata
1999 Chor Kaporit 15 30 30 11 60 95 241 40
Bahan Kimia (Kg) 2001 2003 Shodium Alum Shodium Alum Sulfat 930 4.740 2.520 5.675 1.770 4.865 1.930 6.300 1.810 3.930 2.335 6.955 1.125 6.230 2.375 8.175 1.470 5.515 2.220 7.225 1.465 4.320 2.335 6.325 2.325 3.700 2.330 6.300 2.765 3.823 3.380 6.750 2.520 4.150 1.410 8.400 2.638 4.200 1.500 10.450 2.226 3.850 1.095 10.500 1.974 3.900 1.210 11.100 23.018 53.223 24.640 94.155 1.918 4.435 2.053 7.846
Sumber : Bagian keuangan PDAM Purwakarta.
PT. Thames PAM Jaya mengalami kenaikan komponen biaya bahan kimia sebesar Rp. 87,317 juta per tahun selama kurun waktu (1998-2005) atau laju kenaikan biaya untuk pengadaan bahan kimia sebesar 10,61% per tahun atau Rp 64,00,- per m³ biaya produksi air minum. Peningkatan penggunaan bahan kimia oleh PT. Thames PAM Jaya Jakarta menunjukkan semakin rendahnya kualitas air baku (dari Tarum Kanal Barat/Citarum) yang diproses. Kesediaan PDAM untuk membayar biaya marginal (tambahan) sebesar tersebut merupakan avoid cost untuk mempertahankan utility sumberdaya air pada tingkat tertentu. Biaya
marginal
pendapatannya.
lingkungan
tersebut
dikompensasi
oleh
PDAM
dari
173 Dari Tabel 49, Gambar 45 dan Tabel 50 dapat disimpulkan bahwa tambahan biaya yang harus dikeluarkan oleh PT. Thames PAM Jaya persatuan produksi (m3) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama pada periode 2003-2006, yang mana pada periode tersebut produksi air minum relatif menurun. Kondisi ini mengindikasikan adanya peningkatan pencemaran air baku air minum (air dari Sungai Citarum-Kanal Tarum Barat). Peningkatan pencemaran tersebut terutama disebabkan penurunan kualitas lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Tabel 49. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. No
BLN
1 Jan 2 Feb 3 Mar 4 Apr 5 May 6 Jun 7 Jul 8 Aug 9 Sep 10 Oct 11 Nov 12 Dec Jumlah Rata-rata
1998
1999
Biaya Bahan Kimia / 1000 m³ (Rp juta) 2000 2001 2002 2003
2004
2005
437,44
646,85
689,99
793,88
1.092,85
701,84
1.167,91
1.133,86
460,76
557,98
551,25
566,61
772,11
735,58
901,61
1.189,19
625,63
658,13
654,12
801,45
821,34
811,46
941,26
1.355,27
553,49
638,29
692,18
939,50
1.011,89
764,85
1.262,71
1.140,14
502,54
803,95
783,03
787,49
722,15
824,27
1.122,38
1.044,20
870,54
524,26
686,82
957,57
718,26
692,67
858,63
1.132,02
882,73
544,26
827,95
926,27
826,72
676,36
974,41
1.009,80
850,70
546,63
709,68
718,00
684,84
685,07
916,84
1.026,04
619,51
495,42
627,76
967,81
636,81
693,59
949,98
1.011,83
837,97
821,43
672,22
1.115,08
649,74
907,48
1.071,40
1.389,21 1.188,63
562,45
617,06
779,82
1.001,84
711,76
836,50
1.140,17
599,73
675,06
678,50
781,58
731,48
792,32
1.338,52
1.195,93
7.803,48
7.529,32
8.353,30
10.357,08
9.379,96
9.121,99
12.645,82
13.816,13
650,29
627,44
696,11
863,09
781,66
760,17
1.053,82
1.151,34
1200 1000 (Rp/ m3)
JumlahBiaya BahanKimiahhhh
Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
800 600 400 200 0 1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 45. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi tahun 1998-2005.
174 Peningkatan penggunaan bahan kimia sebagai akibat degradasi kualitas air baku air minum PT. Thames PAM Jaya meliputi pemakaian alum sulfat cair, PAC, gas klor, karbon aktif, kapur padam, proestol TR 611, magnoflok LT 20, dan magnoflok LT 7994. Tabel 50. Biaya bahan kimia dalam pengolahan air bersih per m³ air produksi PT. Thames PAM Jaya tahun 1998-2005. No
Bulan
Januari 1 Februari 2 Maret 3 April 4 Mei 5 Juni 6 Juli 7 Agustus 8 September 9 10 Oktober 11 November 12 Desember Jumlah Rata-rata tahun Laju Laju rata-rata
1998 35,03 39,16 47,57 43,36 38,69 69,26 71,57 65,92 50,77 67,61 46,3 52,29 627,53
1999 57,90 49,82 52,87 53,73 65,32 44,79 46,02 49,44 47,37 77,89 58,74 65,94 669,83
42,3
134,32
Biaya Bahan Kimia ( Rp/m³) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 68,76 65,79 90,25 57,59 87,79 59,36 52,05 74,28 65,99 71,64 66,94 66,62 72,52 67,02 69,81 70,05 81,66 91,56 65,30 100,04 74,86 72,23 63,28 69,83 83,63 67,02 80,51 64,94 60,16 63,20 82,39 74,76 70,96 57,44 71,30 67,07 58,21 57,43 57,40 69,05 62,78 77,34 54,52 57,86 75,84 59,29 90,49 53,30 73,04 77,99 68,59 82,11 60,56 65,12 86,96 57,04 62,89 61,25 58,59 102,51 804,15 864,66 814,85 755,34 959,76 60,51
-49,81
-59,51
204,42
2005 84,46 103,44 103,95 89,64 78,91 88,19 77,90 78,28 80,57 105,09 95,96 89,17 1075,56 821,46
115,8 64,004
Sumber : Bagian keuangan PT. Thames PAM Jaya Unit Pabuaran, 2006.
Tabel 51. Sidik ragam (Anova) penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya. No 1. 2. 3.
Keragaman Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
Jumlah Kuadrat 11.954,764 9.285,734 1.240,498
Derajat Bebas 7 87 94
Nilai Tengah Kuadrat 1.707,823 106,733
F Hitung
Signifikansi
16,001*)
0,000
Keterangan : *) berbeda nyata pada α = 5%
Dari hasil sidik ragam (anova) sebagaimana pada Tabel 53 dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan kimia PT. Thames PAM Jaya berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung yang lebih besar dari F-tabel dan nilai signifikansi lebih kecil dari 5%. Secara grafis biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM ditampilkan pada Gambar 46.
175
BML (Rp)
Biaya Marginal Lingkungan 2 PDAM 700 600 500 400 300 200 100 -
Tirta Dharma Thames PAM Jaya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
Produksi Air Minum (M )
Gambar 46. Biaya marginal lingkungan atau eksternalitas PDAM Tirta Dharma dan PT. Thames PAM Jaya. 8.4.3. Kesediaan Membayar Masyarakat Hulu Untuk mengetahui nilai jasa air bagi masyarakat hulu, dilakukan survey contingent valuation method (CVM) terhadap 120 Kepala Keluarga di 4 Kecamatan yang merupakan wilayah hulu DTA Saguling 8.4.4. Karakteristik Responden Pengguna jasa lingkungan disebut hilir dan penyedia disebut hulu. Dengan definisi tersebut, masyarakat di sekitar waduk Saguling juga merupakan pengguna jasa lingkungan yang disediakan oleh DTA (Sub DAS wilayah hulu) berupa air. Pengguna jasa lingkungan (air) yang lain adalah PLTA, PDAM, industri, hotel dan restoran, rumah tangga, instansi pemerintah, dll. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan di DAS hulu Citarum. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan secara tidak langsung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi untuk rehabilitasi wilayah hulu melalui masyarakat. Menurut Leimona (2004), masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan” (environmental services providers), yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikategorikan sebagai pelindung (guardian) dan pengelola (stewardship). Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan
176 serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan (recognition and reward). Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang telah mereka lakukan, di lain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling tersebar di 4 Kecamatan dengan total responden 120 kepala keluarga (40KK/Kecamatan). Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Karakteristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan dan usia. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitar waduk Saguling. Berikut karakteristik responden masing-masing Kecamatan. a. Jenis kelamin Responden
dalam
penelitian
ini
adalah
para
penduduk
yang
menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari Saguling. Banyaknya responden masing-masing Kecamatan adalah 40 KK dan ternyata lebih dari 95% (115 KK) adalah laki-laki dan perempuan kurang dari 5% (5 KK). Hal ini disebabkan bahwa responden pada umumnya adalah kepala keluarga. b. Tingkat pendidikan Berdasarkan data yang didapat, dapat dilihat bahwa persentase tingkat pendidikan yang paling tinggi adalah SD (97 KK), SMP (15 KK) , SMU (4 KK), tidak sekolah (3KK) dan PT (1KK). Kondisi tersebut dapat dipahami karena 4 Kecamatan wilayah studi adalah wilayah pedesaan yang masih tergolong daerah tertinggal. c. Tingkat pendapatan Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki pendapatan rata-rata Rp 100.000 – Rp 300.000 per bulan
177 (56 KK), Rp 300.000 keatas (40 KK) dan 24 KK berpenghasilan kurang dari Rp 100.000 per bulan. d. Jumlah tanggungan Jumlah tanggungan 2-4 orang/KK merupakan yang tertinggi yaitu 101 KK, 5 - 7 orang/KK (2 KK), kurang dari 2 orang/KK (7 KK). e. Usia Kelompok usia dibagi menjadi 5 golongan yaitu usia dibawah 30 tahun, usia antara 30-40 tahun, usia antara 40-50 tahun, usia antara 50-60 tahun dan usia diatas 60 tahun. Distribusi jumlah KK pada setiap golongan umur dari tertinggi sampai terendah adalah 41 KK (30 - 40 th), 30 KK (<30 th), 22 KK (50 - 60 th), 21 KK (40 - 50 th) dan 6 KK (>60 th). f. Kebutuhan dan sumber air bersih responden Di wilayah studi ditemukan bahwa 72 KK (sebagian besar) masih menjadikan sumur sebagai sumber air minum, 25 KK (mata air), 23 KK (sumur dan mata air) dan tidak ada responden yang menjadikan waduk sebagai sumber air minumnya. Hal ini disebabkan oleh masih tersedianya air tanah permukaan walaupun pada waktu musim kemarau. Kebutuhan air minum per KK responden bervariasi antara ≤ 30 m³/bln - ≥ 90 m³/bln. Sebagian besar responden yaitu 52 KK membutuhkan 71 - 90 m³/bln, 28 KK membutuhkan 51-70 m³/bln, 9 KK membutuhkan ≥ 91 m³/bln dan 6 KK membutuhkan ≤ 30 m³/bln. g. Mata pencaharian responden Sebagian besar yaitu 53 KK responden memiliki mata pencaharian sebagai petani, 21 KK sebagai pedagang, 14 KK sebagai buruh, 10 KK sebagai penambang pasir, 10 KK sebagai pengojek, 9 KK sebagai petambak dan 3 KK sebagai peternak. Walaupun jumlah KJA di waduk Saguling sangat besar (lebih dari 12.000 KJA), namun masyarakat setempat yang memiliki tidaklah banyak hanya sekitar 7%, yang lainnya hanya sebagai buruh KJA. h. Kesediaan membayar masyarakat hulu DTA Saguling Kepada responden ditanyakan berapa rupiah mereka bersedia membayar jika kualitas air ditingkatkan. Hasil kuesioner adalah 72 KK menyatakan sebesar ≤ Rp 20/m³, 28 KK sebesar Rp 20/m³ – Rp 40/m³, 17 KK sebesar Rp 40/m³ – Rp
178 50/m³, dan 3 KK sebesar Rp 80/m³ – Rp 100/m³. Secara umum kesediaan membayar yang dinyatakan adalah rata-rata sebesar Rp 28,33/m³air bersih. 8.4.5. Persepsi Terhadap Jasa Lingkungan a. Dampak perubahan iklim terhadap perubahan hujan. Selama periode 1850 sampai 1990 diperkirakan sebesar 270 Gt karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Sekitar 40% dari karbon yang dilepaskan berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri (67%) dan konversi lahan (33%), sedangkan 60% berasal dari proses alami. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk sekaligus aktivitas manusia dalam mengkonsumsi energi maka akan semakin menigkat pula konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer. Meingkatnya gas rumah kaca di atmosfer, diikuti dengan perubahan penigkatan iklim global. Studi yang dilakukan LAPAN dalam Boer et all (2003), menunjukkan bahwa apabila konsentrasi CO2 dinaikkan 2 kali lipat dari kondisi saat ini, maka diperkirakan kejadian El Nino and Shoutern Oscilallation (ENSO), yang terjadi sekali dalam 3-7 tahun akan menigkat menjadi sekali dalam 2-5 tahun. Kejadian ENSO menyebabkan tingkat resiko terhadap kejadian kekeringan akan semakin besar. Di Indonesia berdasarkan data hujan bulanan historis (1931-1990) yang dibagi menjadi 2 periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990, diperoleh kecenderungan bahwa curah hujan di wilayah selatan Indonesia, khususnya Lampung, Jawa dan sebagian kawasan Timur akan semakin basah, sebaliknya hujan pada musim kemarau akan semakin kering. Berdasarkan data hujan tahunan, secara umum wilayah selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cenderung basah. Berdasarkan kajian Boer dan Subbiah (2003) menunjukkan bahwa dari 43 kejadian kekeringan yang telah terjadi di Indonesia sejak tahun 1844, hanya 6 yang tidak bersamaan kejadian fenomenal ENSO. Hal ini menunjukkan perubahan hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Berdasarkan hasil analisis oleh Boer (2004) menunjukkan bahwa pada tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran per tahun, hampir semua kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami
179 kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya kecamatan yang akan mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatkan tingkat pengambilan air permukaan 10% menjadi 25% sebagaian besar kebutuhan air kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25% dari total sudah jauh melampaui debit andalan sehingga resiko kekurangan air, khususnya pada musim kemarau akan tetap tinggi. Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari Purwakarta dan DKI Jakarta akan terjadi penigkatan terhadap permintaan air minum. Di Kota Purwakarta didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan terhadap air minum mulai tahun 2000 sebanyak 2900 m³. Keadaan ini diproyeksi sampai dengan kebutuhan tahun 2006 sebanyak 5500 m³. Hal ini menunjukkan akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk. Keadaan ini juga terjadi di Kota Jakarta, namun terjadi permintaan akan air minum yang lebih banyak pada Kota Jakarta sebanyak 7500 m³ pada tahun 2006. Pada Tabel 52 disajikan neraca kebutuhan air di DAS Citarum. Tabel 52. Neraca kebutuhan air DAS Citarum. Uraian 1. Sumber Citarum Sungai Lain 2. Kebutuhan Irigasi Industri Air minum Perikanan Penggelontoran Beban puncak listrik
1990 m³/det
106 m³
m³/det
182,33 60,25
5.750,00 1.900,00 7.650,00
182,33 61,83
177,33 7,91 9,77 1,00 2,00 9,51
5.591,71 249,45 308,11 31,54 63,07 300,00
175,00 15,00 21,30 10,00 10,00 3,17
6.543,88 3. Neraca Sumber Kebutuhan
242,58 207,49
Sumber : PJT II Jatiluhur 2002.
7.650,00 6.543,88 1.106,12
2005 106 m³
2025 m³/det
106 m³
5.750,00 1.950,00 7.700,00
182,33 63,42
5.750,00 2.000,00 7.750,00
5.518,80 473,04 671,72 315,36 315,36 100,00
168,00 25,00 45,00 20,00 15,00
5.298,05 788,40 1.419,12 630,72 473,04
7.394,28 244,16 234,47
7.700,00 7.394,28 305,72
8.609,33 245,75 273,00
7.750,00 8.609,33 859,33
180 Jelaslah bahwa permintaan air untuk pertanian, industri dan rumah tangga terus meningkat, sementara suplai air dari Citarum terus menurun. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan meningkat pula. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan akan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo (2001) memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi dapat memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapat dari PJT II Jatiluhur, didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum hulu. Keadaan akan kurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Wilayah Hulu. Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk di Jakarta Utara dan sedang di Purwakarta menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa kurangnya ketersediaan air. Kurangnya ketersediaan air minum khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air minum (Jasa Tirta II, 2002). Sehingga jelaslah untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum, khususnya pada saat musim kemarau perlu dilakukan perbiakan lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. b. Tanggapan responden terhadap keberadaan Waduk Saguling Responden di 4 Kecamatan sebagian besar atau 97% (117 KK) menyatakan keberadaan waduk Saguling sangat penting bagi mereka dan sangat sedikit (3 KK) yang menyatakan tidak penting. Akan tetapi hanya 52 KK (43%) yang selalu berpartisipasi dalam upaya perbaikan lingkungan hulu DTA, sedangkan 68 KK (57%) tidak berpartisipasi. Hal ini, dikarenakan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UBP Saguling dalam upaya peningkatan kualitas lingkungan tidak mengikutkan semua warga/penduduk di wilayah
181 sekitar waduk. UBP Saguling membentuk kader-kader pelestari lingkungan di setiap desa/Kecamatan di seluruh wilayah DTA Saguling. c. Hasil analisa logit kesediaan membayar kompensasi perbaikan lingkungan di hulu DAS Citarum Wilayah Hulu. Intepretasi koefisien untuk model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai resiko oddsnya. Rasio odds adalah ukuran asosiasi yang memperkirakan berapa besar kecenderungan pengaruh peubah-peubah penjelas terhadap respon. Jika suatu peubah penjelas mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif, maka nilai rasio oddsnya akan lebih kecil dari satu. (Hosmer, 1989). Pada hasil analisis regresi logit kesediaan masyarakat dalam membayar perbaikan lingkungan di hulu DTA Saguling ada tiga variabel yang signifikan yaitu kebutuhan air, jumlah tanggungan dan pendapatan, sedangkan pendidikan dan umur tidak signifikan (Tabel 53). Tabel 53. Hasil Analisa Logit WTP. Variabel X1 (Kebutuhan Air ) X2 (Jumlah Tanggungan) X3 (Pendapatan) X4 (Pendidikan) X5 (Umur)
Koefisien 0,05735 -1,1831 0,00065 -0,0749 0,0491
Masyarakat DTA Hulu Signifikansi 0,017** 0,005** 0,000** 0,578 0,437
Rasio Odds 1,06 0,31 1,00 0,93 1,02
**) nyata pada α = 5/2 %, R = 83 %.
d. Persepsi terhadap ketersediaan air minum Koefisien positif pada persepsi seseorang terhadap ketersediaan air minum menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi seseorang maka akan semakin tinggi pula kesediaan dalam membayar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kesediaan membayar sebesar 1,06 kali pada persepsi yang lebih baik. Bentuk kesediaan dalam membayar yang dinyatakan dengan terdapatnya peluang membayar, dapat diartikan sebagai bentuk mulai dirasakannya kurangnya ketersediaan air minum terutama pada saat musim kemarau. Keadaan ini dikarenakan kondisi lingkungan yang semakin memburuk sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi ketersediaan air. Apabila kondisi ini dibiarkan
182 maka akan berakibat defisitnya sumber air sehingga tidak tecukupinya kebutuhan akan air. e. Pendapatan Koefisien
yang
positif
terdapat
pada
pekerjaan.
Keadaan
ini
menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang sebagai petani lebih mempunyai peluang membayar yang lebih besar dibandingkan dengan mata pencaharian lain. Keadaan ini diasumsikan karena masyarakat yang mempunyai pekerjaan sebagai petani mempunyai tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi dan stabil dibandingkan dengan yang mempunyai pekerjaan lain. Dari hasil analisis logit diketahui bahwa peluang membayar sebagai petani 1,00 kali lebih besar dibandingkan dengan profesi lainnya. f. Jumlah tanggungan Lain halnya kondisi jumlah tanggungan yang mempunyai koefisien negatif (-1,1831). Keadaan ini menunjukkan semakin banyak jumlah tanggungan seseorang maka akan semakin rendah keinginan seseorang dalam membayar kompensasi. Nilai ratio odd sebesar 0,31 dapat diartikan semakin sedikit jumlah tanggungan responden maka keinginan membayar akan semakin besar 3 kali. 8.5. Simpulan Kerugian ekonomi yang menjadi tambahan biaya (marginal cost) akibat kerusakan lingkungan DAS Citarum Wilayah Hulu masing-masing PLTA per tahun adalah sebesar Rp. 18,835 miliar atau Rp. 7.985/MWh atau Rp. 7,27/m3 (PLTA Saguling), Rp. 16,252 miliar atau Rp. 11.732/MWh atau Rp. 3,19/m3 (PLTA Cirata), Rp 12,430 miliar atau Rp 15.346/MWh atau Rp 2,25/m³ (PLTA Jatiluhur) dan Rp. 47,517 miliar atau Rp. 10.434/MWh atau Rp. 3,60/m3 (3 PLTA). Biaya bahan kimia yang dikeluarkan oleh PDAM Tirta Dharma adalah sebesar Rp 212,43 per m³ air minum yang diproduksi dan PT. Thames PAM Jaya sebesar Rp 821,46 per m³ air minum yang diproduksi dengan kenaikan (marjinal) per tahun Rp 64,0 per m³. Kesediaan membayar masyarakat hulu Sub DAS Saguling untuk peningkatan kualitas sumberdaya air adalah sebesar Rp 28,33/m³ air yang digunakan.