Karunia Purna K, S.S., M.Si
PERTANIAN, KARAKTER BANGSA AMERIKA, DAN PERBUDAKAN DI MATA CREVECOEUR DAN THOMAS JEFFERSON
J. Hector St. John de Crevecoeur dikenal sebagai peletak dasar siapa orang Amerika itu. Melalui karyanya Letters from an American Farmer, ia mendefinisikan pertanyaan “What is an American? Karya tersebut menyadarkan masyarakat Eropa tentang kebangkitan bangsa Amerika. Letters… terdiri dari 11 surat yang ditulis oleh tokoh imajiner, James, seorang petani yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat koloni Inggris. Karya yang berbentuk epistolary ini dari judulnya sudah dapat ditebak bahwa karya tersebut berisi tentang kehidupan pertanian. Namun, Crevecoeur melalui James tidak hanya bercerita tentang pertanian saja tetapi juga tentang perbudakan dan Revolusi (Saar dalam Lauter, 1994: 819-820). Thomas Jefferson dengan Declaration of Independence-nya mengantarkan rakyat Amerika Serikat untuk lepas dari kekuasaan Inggris. Sebagai salah seorang Founding Fathers dan presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson banyak menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan negara yang baru saja terbentuk pada waktu itu. Selain Declaration of Independence, ia juga menghasilkan karya yang dibukukan berjudul Notes on the State of Virginia dan sejumlah surat kepada temantemannya. Melalui tulisan-tulisan tersebut kita dapat mengambil buah pemikirannya. Thomas Jefferson memang dikenal sebagai pencetus ide kehidupan Amerika yang didasarkan pada pertanian. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang mengherankan apabila tulisannya diwarnai oleh ide-ide tersebut. Namun, ia juga memberikan pandangan terhadap perbudakan dan pemerintahan. Apabila dicermati, tulisan-tulisan dari kedua tokoh di atas terdapat persamaan dan perbedaan cara pandang. Hal yang dapat diambil yaitu tentang pertanian, perbudakan, dan karakter bangsa Amerika. Oleh karena itu, saya akan berusaha menjabarkan kedua hal tersebut yang tercermin dari tulisan-tulisan kedua tokoh di atas.
1
A. PERTANIAN Ketika para imigran hijrah ke Dunia Baru, selain untuk mendapatkan kebebasan, mereka juga memimpikan emas. Begitu pula harapan rombongan Kapten John Smith ketika mendarat di Jamestown, Virginia. Namun, emas hanya menjadi mimpi belaka, sebaliknya kelaparan dan penyakit menyerang mereka. Banyak diantara mereka yang meninggal karena tidak mampu bertahan. Walaupun demikian, para imigran tetap berdatangan karena keadaan yang sama parahnya di Dunia Lama. Mereka tergoda dengan luasnya tanah yang membentang di Dunia Baru. Mereka berharap dapat mengolah tanah tersebut (O’Callaghan, 1990: 12-13). Dari impian mendapatkan tanah dan mengolahnya, hal yang tidak dapat mereka lakukan di Dunia Lama karena tanah dikuasai oleh para bangsawan dan orang kaya, idealisme pertanian muncul. Kehidupan pertanian seakan-akan berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kesibukan kota dengan kehidupan alam liar. Hal tersebut merupakan simbol dari peradaban Amerika Serikat sejak zaman kolonial. Pertanian merupakan gambaran taman Eden dimana pria dan wanita hidup di alam yang indah, murni, dan tanpa dosa. Dari konsep tersebut muncul suatu premis bahwa kehidupan rural (pertanian) merupakan kehidupan yang ideal diatas bentuk kehidupan lainnya (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001: 249). Hal tersebut terlihat dalam karya Letters from an American Farmer oleh Crevecoeur. Melalui tokoh James, seorang petani, ia bercerita tentang kehidupan pertanian di koloni Inggris di Amerika Serikat. Pada surat ke-2 yang berjudul On the Situation, Feelings, and Pleasures of an American Farmer, dari judulnya saja sudah dapat diraba bagaimana kehidupan para petani di koloni tersebut. Dalam surat tersebut James menceritakan kepada temannya yang berkebangsaan Eropa bahwa ia bersyukur kepada Tuhan dapat menjadi petani Amerika. Sebenarnya ia ragu menjadi seorang petani yang ketika muda ia sempat berpikir untuk menjual tanahnya. Namun, ia membatalkan niat tersebut dan memutuskan untuk mengolah tanahnya, menikah dan membentuk keluarga. Akhirnya kebahagiaan yang ia dapatkan. …when I went to work in my fields; I worked with more alacrity and sprightliness; I felt that I did not work for myself alone, and this encouraged me much. My wife would often come with her knitting in her hand and sit under the shady tree, praising the straightness of my furrows and the docility of my horses; this swelled my heart and made everything light and pleasant, and I regretted that I had not married before (Crevecoeur dalam Lauter, 1994: 821).
2
Terlihat kehidupan pertanian yang tenang, damai, dan menyenangkan. Selain itu, tentu saja ia hidup makmur. Setiap tahun ia menyembelih 1500 sampai 2000 babi, 1200 sapi dan unggas yang selalu tersedia. Ia menyatakan bahwa what can I wish more? Budak mereka pun setia dan sehat. Hal tersebut didukung oleh kebebasan bertindak, berpikir dibawah pemerintahan yang tidak menuntut banyak dari rakyatnya (karena menjunjung kebebasan tersebut) (Crevecoeur dalam Lauter, 1994: 821). Oleh karena itu, menurut Crevecoeur tanah sangat berarti bagi petani karena mereka hidup dari tanah. Tanah “memberi” mereka makan, pakaian serta daging, minuman, bahkan madu juga berasal darinya (Crevecoeur dalam Lauter, 1994: 822). Tampak bahwa tanah dianggap harta yang berharga. Memang Crevecoeur mendasarkan konsep pertaniannya pada filosofi John Locke yang menganggap kepemilikan tanah menjamin kebebasan (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001: 249). Kepemilikan tanah yang menjamin kebebasan tersebut berpengaruh juga terhadap karakter petani (masyarakat) Amerika Serikat. Sebagai freeholder yaitu petani yang sekaligus memiliki tanah pertanian sendiri (yeoman bukan peasant) mereka tumbuh menjadi pribadi yang independen dan dapat mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Ketika para petani mengolah tanah pertanian, mereka menjadi pribadi yang selalu bekerja keras, tenang, dan jujur. Hal tersebut, menurutnya merupakan kunci sukses hidup di Amerika Serikat. Pertanian menjadi “sekolah” pembentukan moral dan karakter masyarakat Amerika Serikat (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001: 249-250). Kepemilikan tanah dan karakter tersebut pada akhirnya membedakan mereka dengan orang-orang dari tempat asal mereka di Dunia Lama. Crevecoeur menyebut mereka the new man. Tidak berbeda jauh dengan Crevecoeur, Thomas Jefferson berpegang teguh pada pertanian. Namun, tidak seperti Crevecoeur yang memandang pertanian sebagai kehidupan masyarakat Amerika Serikat, Jefferson sebagai salah seorang peletak dasar pondasi pemerintahan, memandang pertanian sebagai kekuatan politik dan tanggung jawab publik. Hal tersebut pada akhirnya membawa perdebatan antara Jefferson dengan kelompok Federalis, terutama Alexander Hamilton yang menitikberatkan pada beberapa kelompok individual, seperti pedagang, pemilik pabrik, dll (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001: 250). Ungkapan yang paling terkenal tentang pertanian yaitu “Those who labor in the earth are the chosen people of God” yang tercantum dalam Notes on the State of Virginia. Selain itu, dalam beberapa surat
3
kepada rekan-rekannya terdapat juga pemikirannya tentang pertanian, misalnya dalam surat yang ia tulis untuk John Jay dan James Madison. Dalam suratnya kepada John Jay, ia menulis: “Cultivators of the earth are the most valuable citizens. They are the most vigorous, the most independent, the most virtous, and they are tied to their country, and wedded to its liberty and interests, by the most lasting bonds” (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001: 250). Seperti Carceveour, Jefferson juga dipengaruhi oleh filosofi John Locke. Ia percaya bahwa warga negara mempunyai hak untuk memiliki tanah dan mengolahnya di bawah perlindungan pemerintah. Petani kecil yang memiliki tanah dan mengolahnya bersama keluarga merupakan warga negara yang jujur dan independen. Hal tersebut disebabkan mereka hidup dekat dengan alam sehingga membentuk moral mereka untuk memanfaatkan dan mengolah alam tersebut yang sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Pada akhirnya sifat tersebut menguntungkan pemerintah dimana mereka juga akan turut menjaga pemerintah (Hurt dalam Cayton & Williams, 2001:250-251). Sedangkan untuk James Madison, ia menulis: “Whenever there are in any country uncultivated lands and unemployed poor, it is clear that the laws of property have been so far extended as to violate natural right. The earth is given as a common stock for man to labor and live on…The small landholders are the most precious part of a state” (Jefferson dalam Lemay, 1988: 727). Jefferson mengatakan bahwa tanah disediakan untuk diolah. Oleh karena itu, jika tanah tidak diolah maka sama saja merusak hak-hak alami manusia itu sendiri. Sedangkan petani kecil pemilik tanah dianggap sebagai bagian berharga dalam pemerintah. Jefferson menganggap pemerintah akan tetap kuat selama masih berpegang teguh pada pertanian, tetapi selama tanah juga tersedia untuk diolah. Jefferson takut jika tanah (daerah rural) tersebut berubah menjadi kota maka akan terjadi banyak kerusakan dan kejahatan, seperti apa yang terjadi di Eropa (Jefferson dalam Lemay, 1988: 730). Oleh karena itu, dalam Notes on the the State of Virginia ia menyatakan bahwa “While we have land to labour then, let us never wish to see our citizens occupied at a work-bench, or twirling a distaff. Carpenters, masons, smiths, are wanting in husbandry: but, for the general operations of manufacture, let our workshops remain in Europe” (Jefferson dalam Chinard, 1975: 132). Hal tersebut disebabkan oleh rasa pesimis Jefferson terhadap arah perubahan sejarah. Baginya masa lampau merupakan masa keemasan masyarakat, dalam 4
naungan pemerintahan suci Anglo Saxon yang terdiri dari petani yang dijamin kebebasan dan keadilannya. Sedangkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan perdagangan dan urbanisasi merupakan perusak dan penghancur pemerintahan. Tanah perawan yang luas di daerah barat merupakan masa depan yang cerah bagi petani karena mereka menjamin hasil pertanian berlimpah dan struktur sosial yang tidak berubah (Foner, 1976: 103). Namun, ia akhirnya berubah pandangan. Pada tahun 1790-an, sebagai reaksi atas antusiasme pelaku urban pada Revolusi Perancis, ia memberikan pujian terhadap mereka dengan menyebut mereka “the yeomanry of the city.” Akhirnya, ia menyambut
pandangan
tentang
perekonomian
berimbang
antara
pertanian,
perdagangan, dan industri rumah tangga (Foner, 1976: 102).
B. KARAKTER BANGSA AMERIKA Creveceouer dan Jefferson yang terpengaruh oleh filosofi John Locke menganggap bahwa kebebasan memiliki tanah merupakan hak alami setiap warga negara. Dari kepercayaan tersebut akhirnya membentuk karakter petani (masyarakat) Amerika Serikat yang berbeda dengan masyarakat Dunia Lama (Eropa). Crevecouer menyebut mereka dengan the new man. Hal yang menonjol yaitu kesadaran mereka akan kebebasan dan persamaan hak. Crevecouer menganggap kebebasan dan persamaan hak tersebut diperoleh karena tidak seperti di Eropa yang mengenal susunan hirarki dalam masyarakat dimana orang kaya dan bangsawan memiliki hak lebih, di Amerika tidak ada susunan hirarki seperti itu. Ia menyebutkan bahwa “Here are no aristocratical families, no courts, no kings, no bishops, no ecclesiastical dominion, no invisible power giving to a few a very visible one, no great manufactures employing thousands, no great refinements of luxury. The rich and the poor are not so far removed from each other as they are in Europe” (Crevecouer dalam Lauter, 1994: 824). Oleh karena itu, tanpa ada tekanan dari pihak yang berkuasa, mereka merasa tenang dan damai dalam menjalankan kegiatan sehari-hari mereka. Hal tersebut berdampak dengan kepatuhan mereka terhadap hukum karena mereka sama di mata hukum. Mereka tidak berkewajiban untuk mengabdi kepada pihak berkuasa yang sewenang-wenang seperti yang mereka lakukan di Dunia Lama. Crevecouer menganggap mereka the most perfect society in the world karena mereka bebas dan memiliki hak yang sama. 5
Kesadaran menjadi warga negara yang baik merupakan dampak tidak langsung dari segala hak yang mereka peroleh, seperti kebebasan memiliki tanah dan berbicara. Hukum menjamin hak mereka, tanah yang mereka peroleh membebaskan mereka. Dalam hal ini membebaskan mereka dari kemiskinan. Dengan memiliki tanah, mereka dapat mengolahnya sehingga menjadi pribadi yang independen, pekerja keras, dan kuat. Tirani yang terdapat di Dunia Lama tidak berlaku di Amerika Serikat. Dunia Lama telah membuat mereka menderita karena tidak dapat menjamin dan menjaga mereka. Selain hubungan bahasa dan tali persaudaraan, tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap terikat dengan Dunia Lama karena mengutip Crevecouer tentang definisi bangsa Amerika, He is neither an European nor the descendant of an European; hence that strange mixture of blood, which you will find in no other country. I could point out to you a family whose grandfather was an Englishman, whose wife was Dutch, whose son married a French woman, and whose present four sons have now four wives of different nations. He is an American, who, leaving behind him all his ancient prejudices and manners, receives new ones from the new mode of life he has embraced, the new government he obeys, and the new rank he holds. He become an American by being received in the broad lap of our great Alma Meter (Crevecouer dalam Lauter, 1994: 826) Oleh karena itu, mereka tidak mau diperintah dibawah kekuasaan Inggris atau kerajaan Eropa lainnya karena kerajaan tersebut had no bread for him, whose fields procured him no harvest, who met with nothing but the frowns of the rich, the severity of the laws, with jails and punishment, who owned not a single foot of the extensive surface of this planet (Crevecouer dalam Lauter, 1994: 825). Jefferson tampaknya juga sependapat dengan Crevecouer. Ia menyatakan bahwa Amerika tidak berhutang apapun kepada peradaban Eropa (Dunia Lama) dan merupakan negara yang dibentuk sendiri oleh rakyat Amerika (Chinard, 1975: 61). Hal tersebut mengantarkan kemerdekaan bangsa Amerika untuk terlepas dari kekuasaan Inggris (baca: Eropa). Dalam Declaration of Independence disebutkan bahwa manusia diciptakan sama dan sejajar dan dianugerahi oleh Sang Pencipta hakhak alami yang tidak boleh diganggu gugat yaitu hak untuk hidup, bebas, dan mengejar kebahagiaan (Jefferson dalam Lemay, 1988: 689). Kesadaran akan hak-hak tersebut diatas membentuk karakter bangsa Amerika yang berbeda dengan bangsa lain. Jefferson memang sudah menyadari akan adanya hak-hak alami yang didapatkan dari kebebasan pemilikan tanah. Sistem pertanian
6
menjamin adanya demokrasi. Para petani yang sekaligus sebagai pemilik tanah mempunyai hak untuk memilih sehingga kebebasan menyampaikan pendapat pun dapat tersalurkan. Jefferson menganggap para petani sebagai the chosen people of God. Para petani akan bekerja keras mengolah tanahnya agar dapat memberikan manfaat kepada mereka. Sifat kerja keras tersebut menimbulkan sifat independen, tidak bergantung kepada orang lain karena mereka harus mengolah tanah mereka sendiri. Karena para petani memiliki tanah masing-masing, mereka merasa sejajar dan sama dengan warga negara lainnya. Persamaan ini memberikan kesadaran bahwa semua orang akan mendapatkan hak mereka masing-masing secara adil. Karena kesadaran dan keadaan ini, kecil kemungkinan terjadi pertentangan sehingga mereka bermoral tinggi dan dapat hidup berdampingan secara damai. Oleh karena itu, kerja keras, independen, bebas, adil, dan bermoral menjadi sifat bangsa Amerika sebagai the chosen people of God yang pada akhirnya membawa mereka menuju ke kebahagiaan yang selama ini mereka kejar.
C. PERBUDAKAN Perbudakan tidak dapat dipisahkan dari sejarah Amerika Serikat. Sejak pertama kali koloni terbentuk di Dunia Baru, perbudakan sudah mewarnai kehidupan mereka. Para budak yang didatangkan dari benua Afrika dipekerjakan di daerah pertanian, terutama daerah Selatan. Pada koloni awal, mereka bekerja di perkebunan tembakau. Crevecouer dan Jefferson juga turut menyumbangkan pandangan mereka tentang perbudakan. Pada surat ke-9, Description of Charles Town; Thoughts on Slavery; on Physical Evil; a Melancholy Scene, Crevecouer menceritakan tentang kondisi kehidupan Charles Town yang makmur dan menyenangkan, bahkan penduduknya dijuluki ne plus ultra dimana mereka sudah mencapai puncak kemakmuran. Namun, dibalik keadaan yang serba indah tersebut, terdapat pemandangan yang tidak menyenangkan yaitu perbudakan. Crevecouer menganggap penduduk Charles Town tuli, buta, dan tidak mempunyai perasaan dalam masalah perbudakan. Kondisi para budak berbeda 180 derajat dengan kondisi penduduk Charles Town. Mereka pun memperlakukan budak dengan buruk (Crevecouer dalam Lauter, 1994: 829). Crevecouer jelas menentang dan mengutuk perbudakan. Ia menganggap para pemilik budak tidak seharusnya menikmati hasil yang dikerjakan oleh para budak. 7
Namun, Crevecouer tidak menyalahkan para pemilik budak (manusia) dalam praktek perbudakan tersebut. Ia menanyakan alam atas adanya perbudakan tersebut: “Oh, Nature, where art thou? Are not these blacks thy children as well as we?” Selanjutnya ia menyalahkan alam: “…Even under those mild climates which seem to breathe peace and happiness, the poison of slavery, the fury of despotism, and the rage of superstition are all combined against man!” (Crevecouer dalam Lauter, 1994: 833). Ia menyalahkan alam karena terlalu subur sehingga mengundang manusia untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut semaksimal mungkin yang pada akhirnya dalam usaha mereka memanfaatkan tanah tersebut, mereka juga memanfaatkan tenaga budak untuk mengolahnya (http://www.vcu.edu/engweb/crev.htm). Thomas Jefferson dan perbudakan tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara Jefferson dan perbudakan merupakan hubungan yang kontroversial. Ketika ia membuat Declaration of Independence dengan kalimatnya yang terkenal “All men are created equal”, timbul pertanyaan apakah men disini yang berarti manusia juga termasuk budak dan wanita? Jefferson sendiri sebagai pemilik para budak (slaveholder) dan pemilik perkebunan Monticello mengalami dilema. Dilema yang dialami Jefferson patut untuk dicermati. Jefferson pada dasarnya menentang perbudakan. Ia menganggap keberadaan perbudakan akan merugikan pemilik maupun budak itu sendiri. Perbudakan merusak moral dan industri perbudakan itu sendiri (Chinard, 1975: 131). Bagi para pemilik budak, ia menyebut perbudakan sebagai “unremitting despotism” yang merusak seluruh sistem sosial. Ia menentang perdagangan budak dan terus berusaha melobi Kongres untuk menghentikan perdagangan perbudakan karena bertentangan dengan kebebasan
yang
tercantum
dalam
Declaration
of
Independence.
Namun,
pertentangannya terhadap institusi perbudakan sendiri tidak begitu jelas dan tegas karena ia sendiri mempunyai budak dan memanfaatkan tenaga mereka (Ransom, 1989: 20). Hal tersebut tampaknya dipengaruhi oleh pandangannya bahwa kulit hitam tidak dapat sejajar dengan kulit putih: …I advance it therefore, as a suspicion only, that the blacks, whether originally a distinct race, or made distinct by time and circumstance, are inferior to the whites in the endowment both of body and mind (Chinard, 1975:131). Oleh karena itu, kulit hitam tidak dapat bergabung ke dalam negara Amerika, dan satu-satunya cara setelah mereka mendapat pendididikan yaitu mengolonisasi mereka sampai mereka dapat diterima masyarakat. Keterampilan yang 8
mereka peroleh seperti mengurus rumah tangga, membuat kerajinan, bertanam, beternak, dll dapat dijadikan bekal sampai pada waktunya mereka dibebaskan dan memperoleh perlindungan pemerintah. Namun, budak yang bebas tidak seharusnya “bercampur” dengan kulit putih sehingga kemurnian kulit putih dapat terjaga (Chinard, 1975: 132). Walaupun hanya sebagai kecurigaan, tampak bahwa Jefferson seperti halnya Crecevouer tidak menyalahkan kulit putih (manusia) atas praktek perbudakan. Keduanya menganggap perbudakan merupakan hukum alam. Crevecoure menyalahkan alam dengan kesuburan tanahnya, sedangkan Jefferson beranggapan bahwa kulit hitam dari asalnya sudah diciptakan inferior terhadap kulit putih. Pandangan Jefferson tersebut mungkin dilatarbelakangi oleh kepercayaannya terhadap praktek perbudakan yang berlangsung secara turun-temurun, sehingga institusi tersebut sudah menjadi semacam kebiasaan atau tradisi (Jefferson dalam Lemay, 1988: 610). Namun, ia juga takut dengan apa yang disebut wheel of fortune dimana hubungan antara kulit putih dan kulit hitam dalam perbudakan dapat berbalik 180 derajat. Bukan tidak mungkin kulit putih akan mengalami nasib yang sama dengan para budaknya, sedangkan para budak akan berbalik memperlakukan mereka (kulit putih) sebagai budak mereka (Jefferson dalam Lemay, 1988: 610). Jefferson pada akhirnya tidak berdaya menghadapi tuntutan hidup yang mengharuskan dirinya untuk mempertahankan diri. Monticello, perkebunannya mengalami kebangkrutan yang mengharuskannya mempertahankan para budaknya. Perbudakan juga merupakan aset berharga karena mereka juga diperjualbelikan. Walaupun ia membebaskan lima budak, tetapi ia masih memiliki banyak budak. Pada tahun 1820, ia menulis: “We have the wolf by the ears; and we can nither hold him, nor safely let him go. Justice is in one scale, and self-preservation in the other” (Lemay, 1988: 609).
9
DAFTAR ACUAN
Cayton, Mary Kupiec dan Peter W. Williams. 2001. Encyclopedia of american cultural and intelectual history volume I. New York: Charles Scibner’s Sons. Chinard, Gilbert. 1975. Thomas Jefferson: the apostle of Americanism. Michigan: The University of Michigan Press. Foner, Eric. 1976. Tom Paine and revolutionary America. New York: Oxford University Press. Lemay, J.A. Leo. 1988. An early American reader. Washington: United Sates Information Agency. Lauter, Paul. 1994. The heath anthology of American literature second edition volume I. Lexington: D.C. Heath and Company. O’Callaghan, Bryn. 1990. An illustrated history of the USA. Essex: Longman. Ransom, Roger L. 1989. Conflict and compromise: the political economy of slavery, emancipation, and the American civil war. New York: Cambridge University Press. Woolief, Ann M. “Negotiating Nature/Wilderness: Crevecoueur and American Identity
in
Letters
from
an
American
Farmer.”
http://www.vcu.edu/engweb/crev.htm. Diakses 3 Mei 2008.
10
11