PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKTUR PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS)
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg)
JURNAL
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: MUHAMMAD TOMMY UMARO TARIGAN 130200389 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
JURNAL Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum MUHAMMAD TOMMY UMARO TARIGAN 130200389 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH: PENANGGUNG JAWAB
Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP. 195703261986011001 EDITOR
Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H, M.S. NIP :196209071988112001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
A. PENDAHULUAN Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk hidup yang lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar kawan hidup yang hidup secara bersama dan netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka, tanpa mereka manusia tidaklah dapat hidup. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Selain makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tidak hidup di dalamnya disebut lingkungan hidup.1 Lingkungan hidup diatur didalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Menurut Pasal 1 ayat 1 UUPPLH Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.2 Sebagai suatu kesatuan ruang, maka lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang dimaksud 1
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta:Djambatan, 2004), hal.51-52 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (1)
adalah lingkungan hidup Indonesia. Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat Negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya. 3 Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.4 Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi) yang luas dan tajam jauh kedepan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan
program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma,
mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang ketahanan lingkungan.5 Dalam pengelolaan lingkungan hidup ini menjadikan dasar terhadap pengelolaan oli bekas yang harus dilakukan oleh korporasi melalui pengurus atau pimpinan dari korporasi tersebut ataupun perorangan yang usahanya berkaitan dengan pengelolaan oli bekas. Oli bekas merupakan bagian dari limbah B3, oleh karena itu dalam pengelolaan oli bekas harus mengikuti ketentuan dalam pengelolaan limbah B3 tersebut. Pengelolaan oli bekas adalah pengelolaan yang meliputi beberapa kegiatan yaitu Pengurangan, Penyimpanan, Pengumpulan, Pengangkutan, Pemanfaatan, Pengolahan, dan/atau Penimbunan. 3
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005), hal.43 4 Ibid., hal.44 5 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hal.2
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain- lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan berkelanjutan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 6 Pengelolaan oli bekas hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan, apabila administrasi pemerintah berfungsi secara efektif dan terpadu. Salah satu sarana yuridis administrasi untuk melindungi dan mengelola lingkungan dalam pengelolaan oli bekas harus melalui sistem perizinan.7 Dalam UUPPLH, perizinan merupakan instrument preventif dalam pengendalian pengelolaan lingkungan hidup. Namun, tata prosedur perizinan pengelolaan oli bekas yang telah ditetapkan pemerintah, tidak serta merta ditaati oleh korporasi yang melakukan pengelolaan oli bekas. Oleh karena itu, kasus pencemaran limbah B3 yang umum di Indonesia adalah kasus pembuangan oli
6
Siswanto Sunarso, Op.cit., hal.45 Achmad Faishal, Hukum Lingkungan Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2016), hal.60 7
bekas sebagai limbah B3 secara ilegal. Hal ini tentunya menimbulkan resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 8 Pencemaran oli bekas memang mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan hidup, BLH (Badan Lingkungan Hidup) mencatat terdapat 81 kasus pencemaran minyak dan oli bekas yang terjadi di Kota Surabaya, Pada tahun 2013 kasus yang paling besar ialah pencemaran sisa pengolahan minyak goreng di Pabrik Karang Pilang Surabaya. Selain itu, Kasus yang terbesar selanjutnya ialah mengenai pencemaran oli bekas yang pernah terjadi di daerah pesisir pantai barat Kota Surabaya. Mayoritas warga sekitar merupakan penambak ikan dan nelayan, kehidupan mereka harus bergantung terhadap hasil laut. Dampak pencemaran oli bekas tersebut menyebabkan banyaknya ikan mati, sehingga warga sekitar banyak mengalami kerugian secara materiil. Kerugian tidak saja hanya dirasakan oleh warga sekitar pantai, namun terhadap makhluk hidup yang ada disekitar lingkungan pantai tersebut. Nilai estetika dari pantai menjadi sangat rendah dan selain ikan banyak juga makhluk biota laut yang rusak dan mati. Dari hasil penyelidikan oleh petugas BLH (Badan Lingkungan Hidup), pencemaran oli bekas tersebut berasal dari Pabrik yang dikelola oleh PT. Mitra Cahaya yang tidak mempunyai sarana pembuangan limbah yang sesuai prosedur dan izin. Pihak PT. Mitra Cahaya melakukan pembuangan melalui saluran yang langsung menuju laut barat Kota Surabaya. 9
8
Dr.Sukandar,S.Si,M.T: Efektivitas Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Indonesia Perlu Ditingkatkan, www.itb.ac.id diakses pada tanggal 9 september 2016 9 www.pressreader.com, Jawa.Pos - Oli Bekas Cemari Tambak Dan Pantai, diakeses pada tanggal 17 Desember 2016
Pencemaran limbah B3 jenis oli bekas ini tidak hanya terjadi di Surabaya Namun terjadi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti kasus pencemaran limbah B3 jenis oli bekas yang terjadi di Daerah Kota Parepare Sulawesi selatan. Pencemaran oli bekas ini disebabkan oleh Bengkel Elnusa Pertamina yang merupakan anak cabang PT (Persero) Pertamina. Pencemaran oli bekas yang dilakukan oleh Bengkel Elnusa Pertamina ialah tidak adanya tempat penampungan sisa oli bekas yang dihasilkan dan hanya melakukan penimbunan oli bekas di dalam tanah. Hal ini akan berdampak terhadap pencemaran tanah yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup sekitar termasuk juga manusia.10 Korporasi merupakan subjek yang paling diperhatikan dalam pencemaran oli bekas ini khususnya perusahaan berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas, karena setiap tindakan pencemaran oli bekas seperti kasus PT. Mitra Cahaya dan Bengkel Elnusa Pertamina yang dilakukan pelaku pencemaran merupakan suruhan pihak pengurus atau pimpinan Perseroan Terbatas. Pimpinan Perseroan Terbatas ialah Direksi yang mempunyai tanggung jawab terhadap Perseroan. Mengenai pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 116 (ayat 1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.11 oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan
10
www.regional.kompas.com, Limbah Pertamina Cemari Tanah, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2016 11 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta:Sofmedia, 2011), hal.64
Penelitian mengenai hal tersebut dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Oli Bekas). Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/Pn.Smg”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (oli bekas)? 2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (oli bekas)? 3. Bagaimana penerapan hukum terhadap perbuatan pengelolaan oli bekas sebagai limbah B3 (Studi Putusan Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg)? C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dan diajukan pada berbagai sumber peraturan perundangundangan. 2. Sifat Penelitian Dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaanya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.
3. Sumber data Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka dan data sekunder yang terdiri dari: A. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti seperti: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. B. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan bahan hukum primer seperti Putusan Pengadilan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasilhasil penelitian yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). C. Bahan Hukum Tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus hukum, ensiklopedia, majalah popular dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), maka kepustakaan yang dicari dan dipilih ialah data yang relevan dan mutakhir.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku, serta karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. 5. Analisis Data Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Ketika bahan hukum terkumpul dan dipandang telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengelola dan menganalisa bahan hukum. Teknis analisis bahan hukum yang dipakai adalah teknis analisis kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak bergantung dari jumlah berdasarkan angkaangka, melainkan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Pengaturan Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) Perkembangan kondisi lingkungan hidup di Indonesia pada saat sekarang dapat dikatakan semakin parah keadaannya dari waktu ke waktu 12 seiring dengan meningkatnya sektor industri skala rumah tangga maupun berbadan hukum besar. Dan akan meningkatkan pula ketergantungan lingkungan dari limbah-limbah yang
12
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.151
dihasilkannya baik pada proses produksi maupun penggunaan barang hasil produksi. 13 Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung atau maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia. Bahan-bahan termasuk limbah B3 adalah yang memiliki salah satu atau lebih dari karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksido dapat diketahui termasuk limbah B3.14 Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan lingkungan merupakan kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung dapat membahayakan kehidupan dan jiwa manusia. Perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melanggar hukum khususnya dalam hal hukum pidana.
15
Tindak pidana
lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia. Oleh sebab itu, dengan pengertian ini, tindak pidana lingkungan hidup tidak hanya ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang
13
Achmad faishal, Op.cit., hal.39-85 Ibid., hal.146 15 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal.222 14
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian-bagiannya.16 Di dalam perkembangan akhir-akhir ini, terutama di dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum seperti pelanggaran hukum pidana khususnya terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun Negara. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di setiap negara termasuk juga di Indonesia. Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana, dapat dilihat terutama di dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP 17 seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 18 “Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Dengan demikian jelaslah bahwa badan hukum adalah salah satu subjek hukum di samping orang/manusia dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup. Dengan kata lain badan hukum dapat dijadikan sebagai subjek hukum pidana dan
16 17
Ibid., hal.221 Mohammad Eka Putra, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Medan:USU Press, 2013),
hal.28-29 18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (32)
oleh karenanya dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana apabila melakukan pencemaran/perusakan lingkungan hidup.19 Dalam hal badan hukum yang menghasilkan limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3, mengenai pengelolaan limbah B3, Pasal 59 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menentukan bahwa:20 1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. 2. Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3. 3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. 4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. 5. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin. 6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan. 7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dan setiap ketentuan-ketentuan pidana terhadap pengelolaan limbah B3 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Ketentuan-ketentuan Pidana tersebut telah diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:21 Pasal 102 UUPPLH: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dipidana dengan pidana 19
M.Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung:Mandar Maju, 2000), hal.67 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 59 21 Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH, Ketentuan Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, Alvisyahrin.blogspot.co.id, diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2016
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 UUPPLH: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 106 UUPPLH: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 UUPPLH: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang–undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 117 UUPPLH: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 119 UUPPLH: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Oli bekas yang merupakan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) juga memerlukan pengelolaan dan penanganan khusus. Bahan-bahan yang terkandung dalam oli bekas ataupun pelumas bekas tersebut memiliki satu atau lebih karakteristik yang dinyatakan sebagai bahan yang berbahaya dan beracun yaitu sebagai berikut: bersifat reaktif, bersifat korosif, mudah terbakar, menyebabkan infeksi dan lain-lain, yang bila diuji dengan toksilogi dapat diketahui termasuk limbah B3.22 Pengertian Oli Bekas menurut Pasal 1 ayat 1 Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 255 tahun 1966 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Penyimpanan Dan Pengumpulan Minyak Pelumas Bekas yaitu Oli bekas atau Minyak Pelumas Bekas selanjutnya disebut Minyak Pelumas Bekas adalah sisa pada suatu kegiatan dan/atau proses produksi. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 23 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang memberikan penjelasan tentang pengelolaan limbah B3.
23
Penjelasan tersebut menjadikan
dasar terhadap kegiatan-kegiatan dalam melakukan pengelolaan oli bekas yang meliputi hal-hal yang mencakup penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan.24 Memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai pengelolaan limbah B3 tersebut, maka dapat di sebutkan bahwa pengaturan terhadap tindak pidana dan sanksi pidana dalam pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat didasarkan juga
22
Achmad Faishal, Op.cit., hal.146 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (23). 24 Takdir Rahmadi, Op.cit., hal.153 23
di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu sebagai berikut: 1. Melakukan perbuatan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tanpa izin dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 102 UUPPLH); 2. Melakukan perbuatan menghasilkan limbah B3 jenis oli bekas dan tidak melakukan pengelolaannya dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 3 tahun serta denda paling sedikit 1 miliar rupiah dan paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 103 UUPPLH); 3. Melakukan perbuatan dumping limbah B3 jenis oli bekas dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara paling lama 3 tahun serta denda paling banyak 3 miliar rupiah (Pasal 104 UUPPLH); 4. Melakukan perbuatan memasukkan limbah B3 jenis oli bekas ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sanksi pidana yang diberikan ialah dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit 5 miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah (Pasal 106 UUPPLH); 5. Melakukan perbuatan memasukkan B3 jenis oli bekas yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sanksi pidana yang diberikan ialah pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda
paling sedikit 5 miliar rupiah dan paling banyak 15 miliar rupiah (Pasal 107 UUPPLH). 2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dijadikan sebagai payung hukum (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak tersebut diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang sektoral lainnya.25 Dalam UUPPLH, mengenai ketentuan pertanggungjawaban pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120. Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat di terapkan beberapa prinsip atau teori. Seperti berdasarkan prinsip “vicarious liability” dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).26 Maksudnya ialah pimpinan korporasi atau siapa saja memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya. Tanggungjawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-
25
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum.....,Op.cit.,hal. 21 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta;Sofmedia, 2012), hal.232 26
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian siapa saja yang bekerja dan dalam hubungan apa saja pekerja itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan korporasi, menjadi tanggungjawab korporasi.27 Selain prinsip “vicarious liability” dalam pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi juga dikenal dengan Teori Identifikasi atau Doktrin Direct Liability. Doktrin direct liability merupakan dasar pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana. Oleh karena itu korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat senior di dalam korporasi, sepanjang ia melakukannya dalam ruang lingkup kewenangan atau dalam urusan transaksi korporasi. Doktrin identifikasi atau direct liability doctrine ini di samping dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan korporasi di bidang hukum pidana, pada sisi lain juga dapat membatasi pertanggungjawaban korporasi. Apabila kejahatan dilakukan oleh karyawan atau agen yang tidak mempunyai status sebagai pejabat senior, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali undang-undang menetapkan dasar pertanggungjawaban yang lain. Doktrin direct liability, secara khusus dikembangkan demi menerapkan tanggung jawab korporasi, dan pada dasarnya bertujuan untuk meniru pembebanan tanggung jawab terhadap manusia. Doktrin direct liability ini bergantung pada personifikasi badan hukum. Doktrin ini mengidentifikasi pola tindakan dan pikiran dari individu tertentu dalam korporasi - yang disebut dengan istilah organ korporasi -
27
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam......, Op.cit., hal.80-81
yang bertindak dalam ruang lingkup kewenangan mereka dan atas nama badan korporasi, sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri. 28 Di dalam pokok pemikiran tentang pertanggungjawaban pidana juga terdapat konsep kesalahan Gen Starf Zonder Schuld (Tiada Pidana Tanpa Kesalahan) sebagai dasar untuk meminta pertanggungjawaban terhadap seseorang dan sesuatu badan hukum yang dikenal di Indonesia.
29
Kesalahan itu
mengandung unsur pencelaan terhadap si pelaku karena telah melakukan tindak pidana (yang telah dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan) dan mengandung unsur pertanggungan jawab dalam hukum pidana.30 Mengenai kesalahan terhadap suatu badan hukum dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dilihat dari konsep pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi tersebut itu sendiri. 31 Mengenai penerapan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dalam UUPPLH dapat dilihat dalam beberapa pasal, seperti Pasal 101 UUPPLH tentang perbuatan melepaskan atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan, dan yang berhubungan dengan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat dilihat dalam Pasal 102 UUPPLH mengenai pengelolaan limbah B3 tanpa izin, dan Pasal 103 UUPPLH tentang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan, Pasal 106 UUPPLH mengenai memasukkan limbah B3 ke wilayah Indonesia. Berdasarkan pasal tersebut dapat dilihat bahwa kesalahan dalam melakukan pengelolaan lingkungan 28
Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasi-oleh.html diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2016. 29 Erdianto, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Pekan Baru:Alaf Riau, 2010), hal.62 30 M.Hamdan, Op.cit., hal.74 31 Mohammad Eka Putra, Op.cit., hal.26
hidup khususnya pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat berbentuk kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) yang menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup 32 Dari penerapan pertanggungjawaban pidana dalam UUPPLH dapat dijelaskan bahwa konsep kesalahan mempunyai hubungan erat dengan pengelolaan lingkungan hidup termasuk juga pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas. Oleh karena itu, Korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam UUPPLH dapat dipersalahkan dan dimintai pertanggungjawaban pidananya atas kesalahan dalam melakukan tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas. Mengenai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban atau tidak ditentukan dengan cara negatif yang telah diatur secara umum dalam KUHpidana, yaitu dalam ketentuan mengenai pengecualian hukuman. Dengan kata lain, apabila orang yang melakukan tindak pidana itu tidak termasuk dalam golongan orang-orang
yang
dikecualikan
dari
hukuman,
maka
ia
dapat
dipertanggungjawabkan.33 Dalam alasan penghapus pidana dalam KUHP dikenal dua alasan yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Dari kedua alasan tersebut dapat dilihat bahwa alasan penghapus pidana hanya berlaku terhadap manusia pribadi yang 32
NiKadek Ayu, dkk, Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, (JurnalHukumUdayana.portalgaruda.org) diakses pada tanggal 07-november2016 33 M.Hamdan, Op.cit., hal.79
mempunyai kejiwaan sedangkan korporasi ataupun badan hukum tidak mempunyai kejiwaan sehingga tidak mungkin alasan penghapus pidana berlaku terhadap korporasi atau badan hukum. Alasan yang dapat digunakan badan hukum adalah dengan cara kembali kepada undang-undang yang mengatur atau yang menyatakan bahwa suatu badan hukum itu dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana atau kembali kepada ajaran/teori yang mengatur tentang hal tersebut. 34 Jika alasannya bertitik tolak pada ajaran/doktrin vicarious liability, maka syarat pertanggungjawaban badan hukum adalah berdasarkan adanya hubungan kerja dan pekerjaan yang dilakukan seseorang itu masih dalam ruang lingkup usaha dari badan hukum itu. Dengan demikian alasan yang dapat diajukan oleh badan hukum untuk mendapatkan pengecualian atau penghapusan pidana adalah didasarkan kepada tidak adanya hubungan kerja dan atau pekerjaan itu dilakukan seseorang di luar dari ruang lingkup usaha dari badan hukum tersebut.35 Oleh karena itu, badan usaha atau korporasi yang melakukan tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dianggap tidak bersalah, jika ia (korporasi) mempunyai alasan untuk penghapusan pidana dengan membuktikan bahwa korporasi tidak melakukan suatu kesalahan, berhubung orang-orang yang melakukan perbuatan itu tidak ada hubungan kerja atau hubungan lainnya dengan korporasi, atau perbuatan itu dilakukan oleh seseorang di luar lingkungan akivitas usaha korporasi itu.36 Perseroan sebagai korporasi yang berbentuk badan hukum mempunyai suatu ensitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya 34
Ibid., hal.96 Ibid., hal.97 36 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam......, Op.cit., hal.65-66 35
manajemen dibawah struktur dewan direksi. Keberadaan direksi dalam Perseroan Terbatas merupakan bagian penting dalam perseroan.37 Mengenai tindakan direksi terhadap perseroan mempunyai tanggungjawab secara keperdataan maupun secara pidana. Dalam pertanggungjawaban secara pidana harus terdapat unsur kesalahan yang merupakan unsur utama dalam pertanggungjawaban pidana. Ketentuan pidana terhadap direksi diatur dalam Pasal 155 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal tersebut menjelaskan bahwa tanggung jawab direksi atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam KUHPidana maupun di luar KUHPidana. Perseroan yang menjalankan usahanya di bidang lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas setiap kegiatannya harus sesuai dengan UUPPLH. kewajiban setiap penanggungjawab usaha (Direksi) untuk melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas. Direksi dalam hal mengurus perseroan mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tersebut, oleh karena itu setiap tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya terhadap direksi sesuai dengan ketentuan pidana lingkungan yang berlaku. Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari akibat pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tersebut,
37
Hasbullah F.Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hal.267
hal ini disebabkan karena direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup.38 3. Penerapan Hukum Dalam Perbuatan Pengelolaan Oli bekas Sebagai Limbah B3 (Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/Pn.Smg) Dalam
putusan
pengadilan
negeri
semarang
nomor
291/Pid.Sus/2014/Pn.Smg dijelaskan bahwa PT.Jogiarto Makmur Abadi yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan hidup khususnya dalam pengumpulan dan pemanfaatan limbah B3 solid dan liquid untuk dijual dalam bentuk oli bekas dan juga dalam bentuk bahan bakar alternatif. PT. Jogiarto Makmur Abadi dipimpin oleh terdakwa Onward Joko Prasetyo,SH selaku pimpinan atau Direktur PT. Jogiarto Makmur Abadi. Dalam menjalankan usahanya dibidang pengumpulan dan pemanfaatan limbah B3 jenis oli bekas, terdakwa hanya memiliki izin berbentuk SIUP-HO dan perijinan lainnya UPL-UKL berikut surat rekomendasi UPL-UKL izin lingkungan atas kegiatan pengumpulan dan penyimpanan oli bekas, namun tidak memiliki izin pengumpulan limbah B3. Hal tersebutlah yang menjadikan pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan izin menurut Pasal 59 ayat (4) UUPPLH. Oleh karena itu jaksa penuntut umum mendakwa Onward Joko Prasetyo,SH dengan Pasal 102 Jo Pasal 116 Undang-Undang
38
Alvi Syahrin: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan
PerusakanLingkunganHidup,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15347/1/huk-2005%20%285%29.pdf, diakses pada tanggal 11 Desember 2016. (Keterangan: Jurnal Hukum)
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dalam putusannya majelis hakim memutuskan amar putusan dengan hal sebagai berikut: 1. Menyatakan Terdakwa ONWARD JOKO PRASETYO,SH bin ABDUL ROSYID telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pengelolaan limbah B3 tanpa izin; 2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa ONWARD JOKO PRASETYO,SH bin ABDUL ROSYID dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) Subsidair 10 hari kurungan; 3. Menetapkan barang bukti berupa: a. 24.000 liter limbah B3 jenis minyak pelumas (di gudang PT. JOGIARTO MAKMUR ABADI); b. 6.000 liter limbah B3 jenis minyak pelumas bekas (di kantor PT. JOGIARTO MAKMUR ABADI); c. 1 buku catatan pembelian oli bekas; d. 4 lembar surat jalan penjualan limbah B3 oli bekas dari PT. JOGIARTO MAKMUR ABADI ke PT. ALP PETRO INDUSTRI (d/h PT. AGIP LUBRINDO PRATAMA (tanggal 11 Februari 2014); e. 1 lembar manifes Pengangkutan limbah B3 No: 005257 tanggal 04 Februari 2014; f. 1 Bendel Company Profil PT. JOGIARTO MAKMUR ABADI; g. 1 lembar surat jalan No.0000015/JMA/XI/2013 tanggal 30 November 2013 perihal pengiriman bahan bakar alternatif 2.000 liter; h. 1 lembar surat jalan No.0000019/JMA/XI/2013 tanggal 15 Desember 2013 perihal pengiriman bahan bakar alternatif 8.000 liter; i. 1 lembar surat jalan No.0000015/JMA/XI/2013 tanggal 30 Desember 2014 perihal pengiriman bahan bakar alternatif 8.000 liter. Seluruhnya dirampas untuk dimusnahkan.
4. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500, (Dua ribu lima ratus rupiah); Putusan ini telah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Dan berdasarkan unsur-unsur pidana dalam Pasal 102 Jo Pasal 116 UUPPLH juga telah terpenuhi, adapun unsur-unsur dalam Pasal 102 UUPPLH ialah: -
Setiap Orang
-
Unsur Melakukan Pengelolaan Limbah B3 tanpa izin
Dan unsur-unsur pidana yang terdapat dalam Pasal 116 UUPPLH ialah: -
Tindak Pidana Lingkungan Hidup Yang Dilakukan Oleh, Untuk, Atas Nama Badan Usaha Tuntutan Pidana Dan Sanksi Pidana Dijatuhkan Kepada Badan Usaha.
-
Dan Atau Orang Yang Memberi Perintah Untuk Melakukan Tindak Pidana Tersebut Atau Orang Yang Bertindak Sebagai Pemimpin Kegiatan Dalam Tindak Pidana Tersebut. Namun di dalam aspek keadilan hakim, amar putusan yang dibuat oleh
hakim tersebut tidaklah sesuai dengan dampak dari pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas. Seharusnya hakim menjatuhkan sanksi pidana yang maksimal terhadap terdakwa. Dan sanksi pidana juga harus dijatuhkan terhadap korporasi yang dipimpin oleh terdakwa, karena korporasi merupakan subjek hukum pidana dalam UUPPLH sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengenai hal sanksi tambahan juga dapat dikenai terhadap korporasi terdakwa karena terdapat
pengaturannya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Dan mengenai penerapan hukum dalam perbuatan pengelolaan oli bekas terhadap kasus ini telah diterapkan, karena telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup dan unsur-unsur pidana dalam Pasal 102 Jo
Pasal
116
UUPPLH.
Oleh
karena
itu,
terdakwa
harus
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana dengan menjalankan seluruh sanksi yang telah diputus oleh hakim dan tidak akan mengulangi perbuatan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tanpa izin lagi. E. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan Penelitian dalam skripsi ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan terhadap pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas diatur dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dalam hal tindak pidana lingkungan hidup pengaturan tindak pidana dan sanksi pidananya terhadap pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas yang dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 102 sampai dengan Pasal 119 UPPLLH. 2. Badan hukum yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup seperti tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tanpa izin dapat diminta pertanggungjawabannya baik kepada pimpinan perusahaan ataupun pengurus perusahaan. Pertanggungjawaban pidana harus berdasarkan unsur kesalahan
yang dilakukan oleh badan hukum tersebut dan mengenai badan hukum tersebut tidak melakukan suatu tindak pidana lingkungan hidup harus dapat membuktikan nya dengan alasan penghapus pidana. Perseroan Terbatas yang merupakan bagian dari badan hukum mempunyai kepentingan terhadap perseroan yang dijalankan sepenuhnya oleh direktur. Dalam hal perseroan melakukan tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tanpa izin pertanggungjawabannya dapat diminta oleh direktur perseroan. 3. Berdasarkan analisis terhadap kasus putusan pengadilan negeri semarang nomor 291/Pid.Sus/2014/Pn.Smg bahwa dapat dilihat penerapan hukum pidana dalam putusan hakim yang berisikan bahwa
terdakwa Onward Joko
Prasetyo,SH selaku Direktur Perseroan Terbatas PT. Jogiarto Makmur Abadi telah melanggar ketentuan pidana Pasal 102 Jo Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memenuhi unsur-unsur melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin dalam bentuk oli bekas dan tindak pidana tersebut dilakukan oleh, untuk, atas nama badan usaha. Oleh karena itu, penerapan hukum pidana dalam perbuatan pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas ini telah diterapkan sesuai dengan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Saran 1. Untuk mengantisipasi bentuk-bentuk tindakan pidana lingkungan termasuk juga tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (Oli Bekas) yang dilakukan oleh korporasi, penulis beranggapan bahwa harus lebih
diperketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dan syarat-syarat yang mudah, aman, nyaman, transparan dan terjangkau dalam pembangunan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh korporasi. 2. Pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi juga harus dilakukan secara tegas dan korporatif dan khususnya terhadap tindak pidana dalam bidang lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Asshiddiqie, Jimly. 2010, Green Constitution, Jakarta: Rajawali Pers. Arifin, Syamsul. 2012, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, Jakarta; Sofmedia. Erdianto. 2010, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Pekan Baru: Alaf Riau. Faishal, Achmad. 2016, Hukum lingkungan Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau, Yogyakarta: Pustaka Yustisia. F.Sjawie, Hasbullah. 2013, Direksi Perseroan Terbatas Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Serta
Hamdan, M. 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar Maju. Putra, Mohammad Eka. 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Rahmadi, Takdir. 2012, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soemarwoto, Otto. 2004, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan. Sunarso, Siswanto. 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Rineka Cipta. Syahrin, Alvi. 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: Sofmedia. _______________. 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: Sofmedia. PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)
INTERNET: Dr.Sukandar,S.Si,M.T: Efektivitas Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Indonesia Perlu Ditingkatkan, www.itb.ac.id diakses pada tanggal 9 september 2016 www.pressreader.com, Jawa.Pos - Oli Bekas Cemari Tambak Dan Pantai, diakeses pada tanggal 17 Desember 2016 www.regional.kompas.com, Limbah Pertamina Cemari Tanah, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2016 Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH, Ketentuan Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, Alvisyahrin.blogspot.co.id, diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2016 Alvi Syahrin, Prof. Dr. MS. SH, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://alviprofdr.blogspot.co.id/2013/02/pertanggungjawabanpidana-korporasioleh.html diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2016. NiKadek Ayu, dkk, Unsur Kesalahan Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup Suatu Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, (JurnalHukumUdayana.portalgaruda.org) diakses pada tanggal 07-november-2016 Alvi Syahrin: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran dan PerusakanLingkunganHidup,http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/153 47/1/huk-2005-%20%285%29.pdf, diakses pada tanggal 11 Desember 2016. (Keterangan: Jurnal Hukum)