PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)
Oleh : TEDI SUDARNA NIM: 1110043200006
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436/ 2015
ABSTRAK
TEDI SUDARNA,.” PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI PADA KASUS PT. LAPINDO BRANTAS MENURUT PERSFEKTIF HUKUM ISLAM” Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakrta, 1436H/2015M. Skripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan mengenai pertanggungjawaban Korporasi (badan hukum) dalam hal ini adalah kasus PT. LAPINDO BRANTAS. Terhadap Negara, terlebih kepada masyarakat yang terkena akibat dari Korporasi tersebut. Menurut Asas strick libiality company, perusahaan yang merugikan atau tidak, berkewajiban memulihkan kondisi pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah , sesuai dengan pasal lingkungan hidup. Namun dalam hal ini, PT. Lapindo sampai sekarang masih belum melunasi/memulihkan akibat pencemaran yang ditimbulkan dari pekerjaan perusahaan tersebut. Oleh sebab itu presiden mengeluarkan keputusan No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian terhadap efektivitas pelaksanaan suatu peraturan, terutama dalam hukum Islam tentang kerusakan alam dan Asas strick libiality company. Dengan pendekatan kualitatif yaitu bersumber pada data skunder dan primer dengan pengumpulan data melalui study pustaka (library research). Sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif. Yaitu upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan pengumpulan data, memilihnya menjadi satuan yang sistematis dan sempurna, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari, memutuskan apa yang dapat dibaca dan mudah difahami serta menginformasikannya kepada pembaca. Tujuan dari penelitian ini agar pembaca dapat memahami bahwa perusahaan secara mutlak memiliki kewajiban memulihkan kondisi atau ganti rugi terhadap pencemaran tanpa harus menunggu sanksi dari pemerintah.
Kata kunci: Kewajiban pemulihan dan ganti rugi atas pencemaran Pembimbing: Fahmi Muhamad Ahmadi, M.Si dan Maulana Hasanudin, SH, MH
iv
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisdan skripsi ini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia menuju jalan yang penuh dengan ridha Allah Swt. Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT. Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam“, ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.), pada Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Asep Saepudin Jahar,MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. DR. Khamami Zada,MA dan Siti Hanna,S,Ag,Lc,MA, Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. 3. Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si Dosen pembimbing dan Maulana Hasanudin,SH,MH serta seluruh dosen di Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing dan mendidik Penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Segenap Dosen dan Staff Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Secara Khusus skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yang tercinta, Ayahanda H. Duyeh Heryanto dan Ibunda HJ. Alimah sebagai ungkapan terimakasih yang tiada terhingga yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan v
penuh cinta dan kasih sayang. Serta memberikan semangat kepada Penulis dan juga memberikan doa, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 6. Kepada sahabat Penulis Perbandingan Hukum angkatan 2010 Aidz, Wiwin, Rafika, Fani, Winda, Ilyas, Dhani, Laka, Muzi, Bambang, Ridwan, Sandi, Ade, Rianzani, Apri, Dayat, lusi, Rani, Sofa, Fajrin, Berli, Amel, Ipul, Anjo, Ucup, Fathur, Bagas, Fathin, dan Rudi, serta teman-temanku semua yang menjadi guru, teman diskusi, seperjuangan dalam penulisan skripsi, semoga persahabatan ini selalu dalam RidhoNYA dan apa yang dicitacitakan akan tercapai. amin Penulis berdo’a semoga sumbangsih yang telah mereka berikan menjadi catatan pahala di sisi Allah Swt. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat adanya. Amin,
Jakarta, 06 April2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI LEMBAR HALAMAN.......................................................................................i SURAT PENGESAHAN.....................................................................................ii ABSTRAK.............................................................................................................iii KATA PENGANTAR...........................................................................................iv DAFTAR ISI.........................................................................................................v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
BAB II
B. Perumusan Masalah ..................................................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
10
D. Metode Penelitian .....................................................................
11
E. Sistematika Penulisan ...............................................................
15
PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi ..................................
16
1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi .............................
16
2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi ...................................
20
3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi .......................................
21
4. Pelaku Kejahatan Korporasi ................................................
23
B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi ..........................................
31
1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan ................
31
2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi .....................................
32
vii
BAB III
KASUS LUMPUR LAPINDO A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo ......................
36
1. Lokasi ..................................................................................
36
2. Perkiraan Penyebab Kejadian ..............................................
38
3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur .................................
41
B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif .......................... 42 C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo ..................... 47 BAB IV
ANALISIS KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM PERSPEKTIF HUKUM KORPORASI DAN HUKUM ISLAM A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo... 52 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo .......... 62 1. Konsep Pertanggungjawaban bisnis Dalam Islam.................. 62 2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan....74 3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam....... 78
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................
95
B. Saran-saran ................................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
98
viii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan yang pesat dari kegiatan pembangunan, terutama industri modern seringkali membawa akibat timbulnya risiko, atau dampak yang sangat besar terhadap kualitas lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Secara konsep kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk dipertimbangkan, namun dalam implementasinya terjadi kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang terkait dengan sumber daya alam. Peraturan dibuat cenderung mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka ruang yang sebesar-besarnya bagi pemilik modal untuk melakukan exploitasi sumber daya alam tersebut.1 Perkembangan korporasi di Indonesia dalam waktu singkat menjadi sangat cepat dan pesat karena sifatnya yang sangat ekspansif menjangkau seluruh wilayah bisnis yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dengan subur dan mendatangkan keuntungan. Hal lain ditandai juga dengan peranan oleh pemerintah melalui peraturan-peraturan yang memberikan kemudahan berusaha dan fasilitas lainnya. Korporasi sebagai pelaku kejahatan dan tindak pidana lingkungan hidup sebagai sebuah delik harus dilihat dalam kerangka pembangunan yang berkesinambungan. 1
Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005, h. XVI.
1
2
Korporasi sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur unik dan dilengkapi dengan seperangkat ketentuan yang mengatur tindakan personalia di dalamnya, sebagai suatu lembaga yang keberadaan dan kapasitasnya untuk berbuat sesuatu ditentukan oleh hukum, namun seringkali melanggar hukum. berbagai cara dilakukan agar korporasi lolos dari jeratan hukum, Korporasi saat ini adalah sebagai subyek hukum, yang hanya menjalankan kegiatan ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum yang dimana hukum tersebut digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.2. Korporasi seringkali digunakan para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum perdata disebut sebagai badan hukum atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body. Apa yang dinamakan “badan hukum”, sebenarnya tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subyek hukum, oleh karena itu subyek hukum manusia (natuurlijk persoon). “Namun lembaga badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu yang harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya”.3
2
Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, diakses 12 September 2014 3 Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press, 2002), h. 2-4
3
Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merukapan subjek hukum perdata dapat melakukan aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggotaanggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporatecriminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporsi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana.4 Kejahatan korporasi dalam pengertian gramatikal merupakan pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi. Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi juga dikemukakan dalam Black’s Law Dictionary, Any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), 4
Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertanggungjawabannya. pdf. diakses tanggal 12 September 2014
4
often referred to as “white collar crime”. Bahwa kejahatan korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh dan karenanya dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), dan kejahatan ini sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Suatu tindak pidana dapat teridentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Terkait dengan kejahatan korporasi, maka timbul pertanyaan mengenai bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanya orang perseorangan atau naturlijkee person. Selain daripada itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest, dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Jika seandainya kegiatan atau aktivitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi terbukti mengakibatkan kerugian, maka harus diberikan sanksi, terlepas siapa yang akan bertanggungjawab, apakah pribadi korporasi itu sendiri atau para pengurus korporasi tersebut. Dalam KUHP memang hanya ditetapkan bahwa yang menjadi subyek tindak pidana adalah orang perseorangan. Meskipun seharusnya pembuat undangundang dalam merumuskan delik juga harus memperhitungkan bahwa manusia juga melakukan suatu tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan oleh karena itu diakui serta
5
mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, KUHP saat ini tidak dapat menjadi landasan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dari sebuah korporasi, karena hanya dimungkinkan pertanggungjawabannya oleh pengurus korporasi. Meskipun saat ini KUHP tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda mengenai arti “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, sebagaimana undang-undang yang disebutkan dibawah ini : 1. UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi; 2. UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan; dan 3. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.21 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan lain-lain. 4. UU No. 5 Tahun 1999.5 Di Indonesia sendiri, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan 5
Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007
6
Hidup. Hal ini dapat dilihat berdasarkan isi Pasal 46 Bab IX mengenai ketentuan pidana yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Terhadap hal-hal diatas baik dalam sistem hukum common law maupun civil law, memang sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi. Indonesia sendiri, meskipun undangundang diatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap korporasi, namun Pengadilan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya
keputusan
pengadilan
berkaitan
dengan
kejahatan
korporasi.
Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai preseden bagi lingkungan peradilan di Indonesia.6 Tidak adanya peraturan yang jelas terhadap para pemilik modal menimbulkan adanya eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Dampak dari eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Berbagai peristiwa yang melibatkan korporasi terjadi silih berganti. Pencemaran Teluk Buyat, “Lumpur Lapindo” di Sidoarjo merupakan beberapa kasus pencemaran/pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi .
6
“Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. korporasi/, Diakses tanggal 12 September 2014
com/perusahaan/114/kejahatan-
7
Tragedi Lumpur Lapindo dimulai pada tanggal 27 Mei 2006. Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi areal persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik perhari (setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur: genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman; total warga yang dievakuasi lebih dari 8.200 jiwa; rumah/tempat tinggal yang rusak sebanyak 1.683 unit; area pertanian dan perkebunan rusak hingga lebih dari 200 ha; lebih dari 15 pabrik yang tergenang menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan lebih dari 1.873 orang; tidak berfungsinya sarana pendidikan; kerusakan lingkungan wilayah yang tergenangi; rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon); terhambatnya ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.7 Dampak dari luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 27 Mei 2006 ini telah mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas panas Lapindo selain mengakibatkan 7
Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006, Diakses tanggal 12 September 2014
8
kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Lingkungan fisik yang dimaksud diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup buatannya, dimana dalam kasus ini mengalami gangguan Daud Silalahi menganggap bahwa kerusakan lingkungan tersebut sebagai awal krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.8 Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker.4 Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.9 Selain perusakan lingkungan dan gangguan kesehatan, dampak sosial banjir lumpur tidak bisa dipandang sederhana. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan perbaikan kondisi, baik menyangkut kepedulian pemerintah, terganggunya pendidikan dan sumber penghasilan, ketidakpastian penyelesaian, dan tekanan psikis yang bertubi-tubi, krisis sosial mulai mengemuka. Konflik sosial antar warga mulai muncul menyangkut biaya ganti rugi, berbagai keresahan mulai muncul dengan adanya konspirasi penyuapan oleh Lapindo, Rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penanganan teknis kebocoran (menggunakan snubbing unit)
8
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996). H. 9 9 Kompas, 19 Juni 2006
9
dan (pembuatan relief well) mengalami kegagalan horisontal. Berdasarkan hal tersebut, timbulnya kerugian masyarakat, menimbulkan pertanyaan, “Apakah dalam kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. ini telah terjadi tindak pidana kejahatan korporasi?”. Untuk mendapatkan jawabannya maka dilakukan sebuah studi penelitian hukum normatif-kualitatif dan hasilnya menunjukkan bahwa dilihat dari aturan-aturan hukum yang berlaku, Lapindo Brantas Inc. telah melakukan pelanggaran hukum tindak pidana kejahatan korporasi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pengkajian lebih mendalam terkait dengan kejahatan korporasi secara khusus yang berkaitan dengan lumpur lapindo. Hasil riset atas tema tersebut selanjutnya akan dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul: “Pertanggungjawaban Korporasi Pada Kasus PT.Lapindo Brantas Menurut Perspektif Hukum Islam” B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan tersebut maka rumusan masalah dalam penelitin ini penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi dalam kasus lumpur lapindo?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui praktek pertanggungjawaban korporasi dalam menghadapi gugatan strict liability pada kasus lumpur lapindo b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap kejahatan korporasi dalam kasus lumpur lapindo 2. Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Manfaat Akademis 1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek dilapangan. 2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti.
11
3) Menambah literatu bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya. b. Manfaat Praktis 1) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas. 2) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis, khususnya tentang hukum lingkungan hidup D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan normatif. yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah metode penelitian hukum normatif suatu perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak.10 2. Sumber Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sebagai berikut : a. Sumber primer, adalah Perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan masalah yang sedang dikaji, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) KUHP 2) UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 3) Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
h. 6.
12
4) Putusan Presiden Terhadap Penyelesaian Lumpur Lapindo. 5) Kitab Fiqih Jinayat. b. Sumber sekunder, adalah data-data yang mendukung obyek yang akan diteliti, berupa buku-buku, majalah, koran, buletin atau tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan menggunakan teknik studi kasus. Adapun metode analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi. Adapun langkahlangkahnya adalah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan terjadinya luapan lumpur Lapindo. b. Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tindak pidana korporasi. c. Menganalisis terhadap kasus lumpur Lapindo dengan mengkonfirmasikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tehnik analisa dari penulisan ini adalah content analysis atau analisa isi, yakni pengolahan data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari beberapa gagasan atau pemikiran para tokoh yang kemudian dideskripsikan, dibahas dan dikritik. Selanjutnya dikategorisasikan (dikelompokkan) dengan data yang sejenis, dan dianalisa isinya secara kritis guna mendapatkan formulasi yang kongkrit dan
13
memadai, sehingga pada akhirnya dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang ada.11 Dengan menggunakan analisis isi yang mencakup prosedur ilmiah berupa obyektifitas, sistematis, dan generalisasi. Maka, arah pembahasan skripsi ini untuk menginterpretasikan, menganalisis isi buku (sebagai landasan teoritis) dikaitkan dengan masalah-masalah kecerdasan spiritual dan pendidikan yang masih aktual untuk dibahas, yang selanjutnya dipaparkan secara objektif dan sistematis. Melihat banyaknya teknik yang dapat dipakai dalam pengkajian suatu ilmu, maka penulis akan menggunakan beberapa teknik yang yang dianggap perlu dan relevan dengan pembahasan ini, antara lain : a. Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi yaitu mencari data mengenai variable yang berupa catatan, transkip, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, longer, majalah, catatan harian, agenda, dan sebagainya. Teknik dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan data berupa tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan di bahas dalam penelitian. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data yang menyangkut pembahasan yang penulis kaji atau teliti. b. Teknik Deskriptif Teknik deskriptif ini digunakan untuk memecahkan serta menjawab persoalan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang, 11
h. 163.
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001),
14
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah pengumpulan, klasifikasi, analisa data, memuat kesimpulan dan laporan, dengan tujuan membuat penggambaran tentang suatu keadaan secara obyektif dalam deskripsi situasi untuk dibahasakan secara rinci. c. Teknik Deduksi Teknik ini merupakan akar pembahasan yang berangkat dari realitas yang bersifat umum kepada sebuah pemaknaan yang bersifat khusus.12 Teknik ini digunakan untuk menguraikan suatu hipotesis atau asumsi yang bersifat umum kemudian digeneralisasikan pada asumsi baru atau antitesis yang bersifat khusus. d. Teknik Induksi Teknik ini merupakan alur pembahasan yang berangkat dari realita-realita yang bersifat khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret kemudian dari realita- realita yang konkret itu ditarik secara general yang bersifat umum. Berpikir induktif, adalah berpikir yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa yang bersifat khusus dan kongkrit, kemudian ditarik pada generalisasi yang bersifat umum (general interpretatif). Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan standar acuan BUKU PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2015.
12
Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), h. 42.
15
E. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penyusuna skripsi ini, penulisan membaginya kepada lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut : Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran. Bab Kedua
merupakan Landasan Teori yang mencakup Pengertian
Korporasi, Tanggungjawab Pelaku Kejahatan Korporasi, Unsur dan bentuk Kejahatan Korporasi, Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi. Bab Tiga Merupakan bab yang membahas masalah Hukum Positif Kasus Lumpur Lapindo yang memaparkan tentang kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo dan posisinya dalam Hukum Positif, serta inti yang membahas putusan presiden terhadap bencana nasional. Bab Empat Merupakan Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo, dan Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo. Bab Lima merupakan Bab terakhir yang berisi simpulan dan saran-saran. Bab ini memberikan simpulan dari hasil pembahsan pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran yang sekiranya dapat di jadikan suatu pertimbangan dan konstribusi pemikiran.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Bentuk dan Pelaku Kejahatan Korporasi 1. Tinjauan Terhadap Kejahatan Korporasi Definisi tentang kejahatan atau dalam bahasa Inggris yang biasa disebut crime atau offence ataupun misdrijf dalam bahasa Belanda, menurut Subekti diartikan sebagai: “Tindak pidana yang tergolong berat, KUHP membagi tindak pidana dalam kejahatan dan pelanggaran yang masingmasing terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHP.” Secara khusus KUHP tidak memberikan ketentuan/syarat-syarat untuk membedakan kejahatan dengan pelanggaran. Kedua jenis tindak pidana tersebut hanya berbeda dari pemberian ancaman serta sanksi yang dijatuhkan terhadap keduanya, karena kejahatan pada umumnya sanksi yang dijatuhkan lebih berat di bandingkan sanksi pelanggaran.1 Definisi kejahatan yang diartikan dalam kamus Black’s Law, adalah sebagai setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar kewajiban-kewajibannya terhadap suatu komunitas, dan atas pelanggaranpelanggaran tersebut, hukum telah menentukan bahwa pelaku harus mempertangungjawabkannya kepada publik.2 definisi pelanggaran (breach) menurut Black’s Law adalah pelanggaran suatu hukum, hak, kewajiban, 1
Mustafa Abdullah & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), h. 29. 2 Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionery (New York: Barron’s Educational Series Inc, 1990), h. 370.
16
17
ikatan, tugas, baik dengan penambahan atau penghapusan. Terjadi ketika suatu pihak dalam kontrak gagal untuk melaksanakan ketentuan, janji atau kondisi dalam kontrak. 3 Namun bila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi pidana yang dilekatkan pada pelanggaran itu, maka pelanggaran tersebut merupakan perbuatan pidana.4 Dalam pengertian yang diartikan dalam Black’s Law mengenai pengertian kejahatan diatas dapat ditarik sebuah analisis, bahwa apabila seseorang melakukan kejahatan, berarti ia telah melanggar norma dalam sebuah komunitas maka diwajibkan kepada si terdakwa tersebut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik tanpa ada pilihan bagi dirinya mau ataupun tidak mau melaksanakan pertanggungjawaban tersebut. Sehingga sanksi yang dijatuhkan dalam kejahatan adalah merupakan
hukuman
paksa.
Sedangkan
kejahatan
menurut
Giffis
didefinisikan sebagai suatu kesalahan yang oleh pemerintah telah ditetapkan merugikan publik dan dapat dituntut karena suatu tindakan kriminal.5 Untuk dapat dituntut karena perbuatan pidana maka korporasi harus telah jelas melakukan kesalahan. Menurut Andi Hamzah kesalahan dalam arti luas meliputi: sengaja, kelalaian, serta dapat dipertanggungjawabkan. Dimana ketiga-tiganya merupakan unsur subyektif syarat pemidanaan.6
Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series
3
Inc, 1990), h. 188. 4
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006), h. 26. 5 Steven H Giffis, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron’s Educational Series Inc, 1998), h. 53. 6 Andy Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),h. 24.
18
Pada dasarnya, banyak pelanggaran dan kejahatan yang sering dilakukan korporasi di bidang lingkungan, namun penyelesaiannya tidak mencapai sasaran dan tujuan sesuai yang diharapkan baik oleh masyarakat yang terkena dampak khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya. Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran hukum masyarakat kita yang masih rendah, sehingga terkadang kelompok masyarakat itu sendiri pun terlambat atau tidak sadar bahwa lingkungan sekitarnya telah tercemar oleh korporasi yang melakukan kegiatan industri atau sebagainya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, maka akan di bahas pengertian korporasi dari sisi hukum. Kita lazim mendengar kata korporasi untuk menyebut sebuah badan hukum, ini di jumpai dalam hukum perdata. Dalam bahasa Belanda, disebut rechtpersoon dan legal entity atau corporation dalam bahasa Inggris. Dalam Black’s Law Dictionary korporasi diterjemahkan sebagai suatu manusia buatan (artificial person) atau badan hukum yang diciptakan oleh atau dalam kewenangan hukum dari suatu negara.7 Di Indonesia, badan hukum dikenal dengan nama perseroan terbatas (PT). I.G. Ray Wijaya mengatakan korporasi adalah suatu badan hukum yang mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya. Oleh karena itu korporasi atau perseroan juga merupakan subyek hukum, yaitu subyek hukum mandiri. Korporasi bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum.8
7
Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc, 1990),h. 340. 8 I.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000), h. 7.
19
Terkait atas apa yang diterjemahkan oleh I.G. Ray Wijaya, Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa “asas hukum korporasi menentukan bahwa pengurus adalah organ organisasi, kalbu pengurus adalah kalbu korporasi, dan jasmani pengurus adalah jasmani korporasi”. 9 Analisa dari pendapat 2 pakar ini adalah bahwa korporasi adalah manusia buatan yang memiliki organ, kalbu serta jasmani. Jadi sudah seharusnya korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum. Menurut Sahetapy, perumusan tindak pidana korporasi sampai saat ini masih merupakan suatu dilema, sama dilemanya dengan konsep white collar crime yang diperkenalkan pertama kali oleh Sutherland yang memunculkan setumpuk istilah dengan makna dalam konteks yang berbeda namun dalam ruang lingkup yang sama pula.
10
Corporate crime
didefinisikan sebagai suatu tindak kejahatan yang dilakukan dan dapat dituntutkan kepada suatu korporasi sebagai akibat dari aktivitas pejabat atau karyawannya.
11
Marshall B. Clinhard mengatakan bahwa kejahatan
korporasi adalah kejahatan terorganisasi yang terjadi dalam konteks yang sangat kompleks dan bervariasi yang merupakan hubungan struktural dan hubungan antara dewan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan induk korporasi, divisi korporasi dan subsidiary-subsidiarinya di sisi lain.12
9
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporas, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006), h. 22. 10 J.E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994), h. 25. 11 Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc, 1990), h. 339 12 Henry Campbel, . Black’s Law Dictionary, (New York: Barron’s Educational Series Inc, 1990),h. 28.
20
Pengertian lain mengenai kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan (crime) dalam bentuk white collar crime, yang merupakan perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum, baik melalui pengurus atau yang mendapatkan otorisasi olehnya, meskipun badan hukum tersebut tidak pernah mempunyai niat jahat (mens rea).13 Menurut Indriyanto Seno Adji korporasi (corporate crime), Sebagai pelanggaran-pelanggaran dimana pelaku-pelakunya mengalami perubahan dari “orang” meluas pada “badan hukum” (korporasi) yang sering mempunyai kedudukan sosial ekonomi tinggi dan terhormat, serta perbuatannya dilakukan tanpa adanya kekerasan fisik, Bahkan sering kali didasari suatu alasan kegiatan perekonomian yang sah (“legitimate economic activities”), sehingga kejahatan ini sering dikatakan bagian dari “Kejahatan Ekonomi” (“economic crime”). Orientasi kejahatan korporasi diarahkan pada skala “bisnis besar” dan bukan “Bisnis Sekala Kecil”.14 2. Bentuk-bentuk Kejahatan Korporasi Menurut Hatrik yang mengutip pendapat Steven Box, bentuk-bentuk kejahatan korporasi adalah bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh profit. 15 Pada dasarnya tidak terdapat pembagian-pembagian
13
Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), h. 27. 14 Indriyanto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan KonsultanHukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001), h. 73. 15 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 8.
21
secara khusus yang dihasilkan oleh para pakar hukum dalam menghasilkan bentuk-bentuk kejahatan korporasi, namun yang paling sering terjadi dan korporasi dituntut dalam hal melakukannya adalah : a. Kejahatan terhadap konsumen, dengan cara memberikan informasi yang menyesatkan yang hampir sama dengan tindak pidana penipuan dimana korporasi sebagai pelakunya memberikan informasi yang menyesatkan kepada publik agar publik melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan sehingga memberikan keuntungan bagi si pelaku. b. Kejahatan terhadap lingkungan hidup adalah dengan cara masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak c. dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. d. Kejahatan pasar modal, yaitu dengan cara memperdagangkan orang dalam (insider trading) yaitu pihak yang memanfaatkan informasi yang bersifat material yang belum tersedia bagi publik yang memperoleh keuntungan dari perdagangan efek yang didasarkan adanya suatu informasi orang dalam yang belum terbuka untuk umum. 3. Unsur-unsur Kejahatan Korporasi Menurut Sutan Remy Sjahdeini,
16
korporasi dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
16
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006) h. 118.
22
a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi yang memiliki posisi sebagai direksi dari korporasi. b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. d. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban. Maka
dari
itu
unsur-unsur
tersebut
harus
terpenuhi
agar
pertanggungjawaban tindak pidana korporasi dapat dibebankan kepada direksi yang memiliki wewenang dalam nenentukan atau memutuskan kebijakan korporasi. Dalam UUPLH, faktor utama terjadinya sengketa lingkungan adalah apabila terjadi pencemaran/perusakan seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 12 dan Pasal 1 angka 14 UUPLH.
Menurut pengertian Pasal 1 angka 12 dalam UU tersebut, terdapat hal-hal yang dapat ditemukan sebagai unsur-unsur perbuatan pencemaran lingkungan hidup, unsur-unsur itu adalah : a. Masuk atau dimasukkannya. Hal ini adalah komponen asing dari luar yang masuk kedalam lingkungan yang berakibat kepada perusakan dan pencemaran.
23
b. Kegiatan manusia. Pencemaran lingkungan lebih besar terjadi karena adanya kegiatan manusia yang mengekploitasi dan mengeksplorasi lingkungan dengan tidak mengindahkan peraturan-peraturan pengelolaan lingkungan hidup. c. Turunnya kualitas lingkungan. Pencemaran yang terjadi telah menyebabkan turunnya kualitas atau
mutu lingkungan tersebut.
17
Sedangkan mengenai perbuatan
perusakan lingkungan dirumuskan secara tegas dalam Pasal 1 angka 14, bahwa : “Segala perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat baik fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”. 4. Pelaku Kejahatan Korporasi Dalam sistem pidana Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada.”
17
Hyronimus Rihti, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Universitas AtmaJaya, 2006), h. 8.
24
Ketentuan ini memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku surut. Ketentuan ini juga didukung semangatnya dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, asas legalitas itu dapat juga dijumpai dalam Pasal 6 ayat (1) UU tersebut, yang berbunyi : “Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain yang ditentukan oleh undang-undang.”18 Jadi berdasarkan penjelasan diatas yang dimaksud dengan tindak pidana adalah prilaku yang melanggar ketentuan pidana yang berlaku ketika prilaku tersebut dilakukan, baik perilaku tersebut berupa melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Barda Nawawi Arief, 19 mengutip dari Nico Keijzer, menuliskan tentang kondisi-kondisi yang akan meletakan korporasi sebagai pelaku sebuah tindak pidana, menurut beberapa aturan hukum di beberapa negara seperti dalam : a. American Model Penal Code (MPC) – section 2.07.(1) : 1) Apabila maksud pembuat UU untuk mengenakan pertanggungjawaban pada korporasi nampak dengan jelas dan perbuatan itu dilakukan oleh agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi dalam ruang lingkup jabatan/tugas atau pekerjaannya; atau 18
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006) h. 26. 19 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 131.
25
2) Apabila tindak pidana itu merupakan suatu pengabaian/pelanggaran kewajiban khusus yang dibebankan kepada korporasi oleh UU, atau 3) Apabila dilakukannya tindak pidana itu dibenarkan/disahkan, diminta, diperintahkan, dilaksanakan, atau dibiarkan/ditolerir secara sembrono oleh dewan direksi atau oleh agen pimpinan puncak yang bertindak atas
nama
korporasi
dalam
batas-batas
ruang
lingkup
tugas/pekerjaannya. b. Dutch Case Law (Yurisprudensi Belanda) : 1) Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UU yang secara khusus ditujukan bagi korporasi, misal korporasi tidak memenuhi syarat-syarat dari suatu izin yang telah diberikan kepadanya. Dengan demikian, korporasi tidak dipandang telah melakukan tindak pidana dalam hal ketentuan UU secara khusus ditujukan kepada individu. 2) Apabila tindak pidana itu berhubungan dengan bidang usaha korporasi yang bersangkutan. Misal pencemaran beberapa hari yang ditimbulkan dari saluran kotoran (the sewage drain) suatu perusahaan/pabrik kimia. Pendapat-pendapat diatas menerangkan bahwa seiring dengan kemajuan perundang-undangan, para penegak hukum pun mencari kaidahkaidah baru dalam rangka penegakan hukum tersebut di segala aspek. Dimana di masa kini, korporasi disebutkan pula dapat dibebani pertanggungjawaban dan dapat dijadikan sebagai pelaku kejahatan. Maka dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem kedudukan
26
korporasi sebagai pembuat dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, yaitu : (1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, (2) Korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab, (3) Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab.20 Berikut ini penjelasannya : a. Pengurus
Korporasi
Sebagai
Pembuat
dan
Pengurus
yang
Bertanggungjawab Sistem pertanggungjawaban ini adalah sistem yang dianut oleh KUHP. KUHP mempunyai pendirian bahwa korporasi tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana dikarenakan korporasi tidak memiliki kalbu dan tidak pula memiliki guilty mind, pengurus korporasilah yang memiliki kalbu sebagai naturlijk persoon yang dapat melakukan kejahatan, maka pengurus korporasi yang bisa diberi pertanggungjawaban pidana. Pendirian KUHP ini termaktub dalam Pasal 59 KUHP. Ketentuan yang menunjuk bahwa tindak pidana hanya dilakukan oleh manusia adalah Pasal 53 jo Pasal 55 KUHP dan Pasal 372 jo Pasal 374 KUHP, dimana Pasal 53 berbunyi : 1) Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana, apabila maksud akan melakukan kejahatan itu sudah nyata, dengan adanya permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal yang tidak tergantung kepada kehendaknya sendiri.
20
Reksodiputro B Mardjono, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989), h. 9.
27
2) Maksimum pidana pokok yang diancamkan atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya dalam hal percobaan. 3) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara yang selama-lamanya lima belas tahun. 4) Untuk kejahatan yang telah diselesaikan dan percobaan melakukan kejahatan itu, sama saja pidana tambahannya. b. Korporasi sebagai Pembuat dan Pengurus yang Bertanggungjawab Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan usaha (korporasi) tersebut. Secara perlahan-lahan tanggungjawab pidana tersebut
beralih
dari
anggota
pengurus
kepada
mereka
yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi dapat menjadi pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. Sistem pertanggungjawaban yang kedua ini sejalan dengan sistem pertanggungjawaban yang pertama namun perbedaannya disini adalah bahwa hal korporasi sebagai badan usaha yang dapat dijadikan pelaku kejahatan telah dapat diterima, namun
28
dalam hal korporasi melakukan kejahatan, tidak mungkin tanpa kehendak dari pengurusnya. Munir Fuady, menjelaskan mengenai tanggungjawab direksi dalam hukum perseroan yang berkenaan dengan pelaksanaan fiduciary duty. Menurut Munir Fuady, pada prinsipnya ada 2 (dua) fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu :21 1) Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin perusahaan. 2) Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam dan luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan memyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengan transaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan kepentingan perseroan. c. Korporasi sebagai Pembuat dan yang Bertanggungjawab Sistem
pertanggungjawaban
yang
ketiga
ini
merupakan
permulaanadanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem inidibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang dapat dipakaisebagai alasan-alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut : Pertama, karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi atau fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita 21
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 10.
29
masyarakat dapat sedemikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan pada pengurus saja. Kedua, dengan hanya memidana pengurusnya saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Menurut
Sutan
Remy
Sjahdeini,
terdapat
sistem
pertanggungjawaban yang keempat setelah terdapat tiga sistem diatas yang dianut dalam pertanggungjawaban korporasi. Sistem yang ke-4 itu adalah : “Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana”.22 Di Belanda sendiri dengan diubahnya Pasal 15 ayat (1) Wet Delicten 1950 menjadi Undang-undang tanggal 23 tahun 1976 Stb 377 yang disahkan tanggal 1 September 1976 telah membawa perubahan terhadap sifat dapat dipidananya korporasi sebagimana diatur dalam sistem hukum pidana Belanda. Meskipun dalam KUHP Indonesia yang sampai sekarng ini masih dipakai yang masih merupakan warisan pemerintahan Belanda, namun RUU KUHP yang baru sudah meletakkan pengertian tentang korporasi yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 50 yang mana korporasi dapat dijadikan
sebagai
pelaku
kejahatan
dan
dapat
pula
dibebani
pertangungjawaban. Dari beberapa pasal-pasal dalam RUU KUHP yang mana menjelaskan tentang keberadaan korporasi dapat dijadikan pelaku tindak pidana, dapat disimpulkan sebagai berikut : 22
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006) h. 59.
30
1) Bahwa secara prinsip dalam RUU KUHP tersebut telah diterima konsep korporasi sebagai badan hukum yang dapat dijadikan subjek dalam hukum pidana; 2) Tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum adalah semua perbuatan yang termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional (functioneel daders) dalam badan hukum yang melakukan perbuatan itu dalam lingkungan usaha dari badan hukum sesuai dengan anggaran dasarnya; 3) Tidak semua peraturan perundang-undangan dapat diterapkan atas badan hukum, misalnya tidak mungkin menerapkan sanksi pidana penjara atau pidana mati atas badan hukum. Bila dilihat dari rumusan beberapa pasal tentang korporasi dalam RUU KUHP diatas, diharapkan di masa mendatang kejahatan-kejahatan oleh korporasi sudah dapat diambil tindakan oleh pemerintah maupun oleh badan yang berwenang.
31
B. Kejahatan Korporasi Dalam Hukum Lingkungan Dan Sanksi-sanksi Kejahatan Korporasi 1. Kejahatan korporasi Dalam Hukum Lingkungan Emil Salim,23mengamati masalah lingkungan dengan mengaitkannya kepada 2 hal yang dapat menggoncangkan keseimbangan lingkungan hidup, pertama adalah perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia. Revolusi industri adalah awal dari keberlanjutan penemuan teknologi berupa mesin uap, dan hingga akhirnya manusia dapat mendaratkan kakinya di bulan hingga masa kini. Kedua adalah ledakan populasi penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran, maka pertambahan ini tidak mengganggu terlalu banyak keseimbangan lingkungan, tetapi seperti yang diketahui saat ini, perkembangan teknologi pula yang menjadikan ledakan penduduk. Pertambahan ini tentu saja akan menambah unsur kehidupan yang lain, seperti misalnya permintaan akan air minum, bahan makanan, lahan tempat tinggal, bahan bakar serta pada akhirnya adalah penciptaan limbah rumah tangga dalam jumlah yang sangat besar pula. Dalam
rangka
mempertahankan
kestabilan
lingkungan,
kita
mempunyai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Untuk itu diperlukan alat untuk dijadikan batas-batas sebagai rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar oleh manusia
23
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000), h. 4.
32
sebagai subjek yang mengekplorasi dan eksploitasi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. 2. Sanksi-Sanksi Kejahatan Korporasi Sanksi pidana menurut KUHP didasarkan pada Pasal 10 KUHP yang berbunyi : a. Pidana pokok, berupa: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Denda; 5) Pidana tutupan (UU No. 20/1946) b. Pidana tambahan, berupa : 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan beberapa barang yang tertentu; 3) Pengumuman putusan hakim. Sanksi-sanksi pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP diatas nampaknya hanya dapat dikenakan kepada manusia saja sebagai pelaku kejahatan. Munir Fuady24 mengungkapkan dewasa ini berkembang model hukuman pidana nonkonvesional yang dianggap cocok untuk perseroan yang melakukan kejahatan korporat. Model-model tersebut adalah: a. Hukuman Percobaan (Probation). Dalam hukuman ini, korporasi dihukum dalam jangka waktu tertentu dan diawasi. b. Denda Equitas (Equity Fine) Korporasi yang dijatuhi pertanggungjawaban pidana berupa denda adalah denda yang disetor kepada pemerintah adalah merupakan saham-saham perusahaan tersebut yang diberikan kepada pemerintah. 24
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h.29.
33
c. Pengalihan Menjadi Hukuman Individu d. Hukuman Tambahan Seperti pencabutan izin dan larangan melakukan kegiatan tertentu atau kegiatan di bidang lain. e. Hukuman Pelayanan Masyarakat (community service) Hukuman ini efektif bagi corporate crime yang telah membawa dampak negatif bagi masyarakat, sehingga masyarakat tersebut mendapat semacam ganti rugi dari hasil pelaksanaan hukuman tersebut. f. Kewenangan Yuridis Pihak Luar Perusahaan Pihak luar yang berwenang terhadap korporasi yang dibebankan pertanggungjawaban pidana dalam rangka hukuman ini dapat mengambil kewenangan untuk masuk dan mengatur perusahaan yang terkena sanksi tersebut. Misalnya BAPEPAM untuk perusahaan terbuka atau otoritas keuangan untuk perusahaan perbankan. g. Kewajiban Membeli Saham Hukuman ini adalah kewajiban membeli saham dengan mengambil dana dari victim compesation funds yang diambil untuk membeli saham-saham pihak pemegang saham dengan harga pasar, sehingga dia tidak dirugikan oleh ulah perusahaan tersebut. Sanksi menurut UU Darurat Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1) undang-undang tersebut berbunyi :
34
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana dan tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”. Menurut M. Hamdan,25 upaya penaggulangan pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat yang dapat ditempuh dengan 2 jalur, yaitu : a. Jalur penal, yaitu dengan menerapkan hukum pidana (criminal law application). b. Jalur nonpenal, yaitu dengan cara : 1) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administrative dan sanksi perdata. 2) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa. Dalam UUPLH pada Pasal 47 telah diatur pula, selain ketentuan pidana yang akan dibebankan kepada pelaku kejahatan korporasi lingkungan, dalam pasal ini pula pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat dikenakan sanksi tata tertib berupa : a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau c. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau d. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau 25
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 80.
35
e. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau f. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Sanksi-sanksi yang ada dalam peraturan perundang-undang kita yang terkait dengan lingkungan dirasakan sudah cukup, namun alangkah disayangkan apabila penerapan sanksi-sanksi tersebut tidak didukung oleh penegakan hukum oleh aparat yang berwenang terhadap undang-undang itu sendiri.
36
BAB III KASUS LUMPUR LAPINDO
A. Kronologis terjadinya bencana lumpur Lapindo Banjir lumpur panas Lapindo di Sidoarjo adalah peristiwa menyemburnya lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi sejak tanggal 27 Mei 2006. Semburan lumpur panas telah mengakibatkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. 1. Lokasi Lokasi semburan lumpur panas berada di Kecamatan Porong, bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar 100 Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai pelaksana teknis blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak Lapindo Brantas sendiri punya dua teori yang berhubungan dengan asal semburan. Pertama, semburan lumpur berhubungan dengan kegiatan pengeboran. Kedua, semburan lumpur "kebetulan" terjadi bersamaan dengan pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. 36
37
Gambar 1. Lokasi Sumur Banjar Panji
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Gambar 2. Lokasi Sumur Banjar Panji-1
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-
38
Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi. 2. Perkiraan Penyebab Kejadian Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
39
Gambar 3. Posisi Cashing Prognosis VS Realisasi Sumur Banjar Panji-11
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama melakukan pengeboran mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpur. Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal 1
Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014
40
mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan. Akibat dari habisnya lumpur, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup dan segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Gambar 4. Underground Blow Out Pada Sumur Banjar Panji-1
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 maret 2015
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan
41
kondisi geologis tanah tidak stabil dan kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi dan berhasil keluar. Hal ini yang menjadi dugaan kenapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri. Gambar 5. Hipotesa Mekanisme Semburan Lumpur Panas Lapindo2
Sumber : Rubi Rubiandini R. S., Pembelajaran dari Erupsi Lumpur di Sekitar Lokasi Sumur Banjar Panji-1, IAGI, Jakarta 27 September 2006. Diakses tanggal 09 Maret 2015
3. Dampak Lingkungan Luapan Lumpur Dampak atau efek dari semburan lumpur panas dari pengeboran pada Sumur Banjar Panji-1 secara umum dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya tumpahan atau luberan material cair berupa lumpur dalam volume yang sangat
2
Yunus Daud, Standar Baku Pengeboran dan Masalah Human Error : Antisipasi Teknologi, Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas Sidoarjo. Diskusi Publik Tragedi Lumpur Panas Sidoarjo, 2006. Diakses tanggal 21 Desember 2014
42
besar maupun adanya dugaan kandungan yang terdapat dalam material cair tersebut. a. Dampak Terhadap Tanah Uji lebih lanjut terhadap tanah yang terkena dampak dari luberan lumpur menunjukkan hasil yang berbeda dari uji laboratorium yang telah dilakukan. Hal ini diduga dalam perjalanan di atas permukaan tanah atau di dalam udara terbuka lumpur mengalami perubahan efek menjadi zat yang toxic setelah mengalami kontaminasi atau bersenyawa dengan media lain yang berada di sekitar wilayah bencana tersebut. Tanah bekas terkena lumpur bisa ditanami akan tetapi jika tanaman tersebut akan dikonsumsi oleh manusia akan berisiko bagi kesehatan.3 b. Dampak Sosial Ekonomi Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik masyarakat yang tinggal di sekitar semburan lumpur.4
B. Posisi Lumpur Lapindo dalam Hukum Positif Seiring dengan sering terjadinya kasus kerusakan lingkungan sebagai akibat dari proses pembangunan, studi tentang ekologi pembangunan semakin
3
Lily Pudjiastuti., Tanah Bekas Lumpur Lapindo Tak Bisa Ditanami, Hasil Riset ITS, Kamis (27/7/2006), diakses pada tanggal 21 Desember 2014 4 Richard J. Davies, Birth of a Mud Volcano : East Java, 29 May 2007. Dalam http://hotmudflow.wordpress.com/ diakses tanggal 21 Desember 2014
43
berkembang pesat. Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Upaya-upaya untuk kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik merupakan hak semua orang dimana pun berada. Khususnya di negara-negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Dengan demikian pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia. Dan pembangunan ini yang kemudian tidak terlepas dari adanya dampak yang merugikan, terutama kepada lingkungan. Menurut Prof .Moeljatno, 5 sebuah tindak pidana ada setelah adanya perbuatan dan sebuah keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Dalam kita melihat kejadian di Kec. Porong Sidoarjo ini, yang melakukan sebuah perbuatan adalah Lapindo Brantas, dimana perbuatan tersebut adalah melakukan kegiatan eksploitasi dan eksplorasi migas yang berada di Blok Brantas, meskipun berdasarkan fakta yang ada proses pengeboran (drilling) tersebut kemudian di sub kontrakan oleh Lapindo Brantas Inc kepada PT. Medici Citra Nusa, namun Lapindo Brantas dalam hal ini tidak dapat melepaskan pengawasannya terhadap proses tersebut mengingat Lapindo Brantas adalah sebagai pemegang hak terhadap eksploitasi dan eksplorasi di blok tersebut. Unsur diatas merupakan pembuktian telah terpenuhinya terjadinya sebuah tindak pidana oleh manusia. Namun menurut Sutan Remy Sjahdeini,6 adanya keharusan terpenuhinya unsur terdapatnya perbuatan dan unsur terdapatnya kesalahan tidak mesti dari satu orang, hal ini berarti orang yang melakukan perbuatan tidak harus memiliki 5
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 185. Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006), h. 74. 6
44
kesalahan yang menjadi dasar perbuatan itu, asalkan dalam melakukan perbuatan yang dimaksud tersebut adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki kalbu yang menghendaki kesalahan tersebut oleh orang yang disuruh. Dengan adanya gabungan tersebut antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki kesalahan (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan kesalahan yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh perbuatan itu dilakukan, maka secara gabungan terpenuhilah unsur-unsur (perbuatan dan kesalahan) yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Dalam hal ini, Lapindo Brantas sebagai sebuah korporasi yang tidak memiliki kesalahan dapat juga dijatuhi pembebanan pertanggungjawaban pidana setelah adanya penggabungan ini, karena faktor kesalahan tersebut dapat diambil dari manusia sebagai yang menjalankan operasional korporasi tersebut. Jadi, baik Lapindo
Brantas
serta
pengurusnya
dapat
dijatuhi
pembebanan
pertanggunjawaban pidana seperti yang termuat dalam setiap pasal yang terdapat dalam Bab IX UUPLH No. 23 Tahun 1997. Seharusnya pihak Lapindo Brantas menghiraukan pendapat para ahli geologi ini, mengingat bukan hanya sekali ini saja, masyarakat Jawa Timur mengalami perusakan dan pencemaran lingkungan oleh korporasi, ada terdapat beberapa kasus lainnya seperti :7 1. Pada tahun 2000 terjadi kebocoran petrokimia.
7
Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana Lumpur Lapindo, h. 12.
45
2. Pada tahun 2001 terjadi kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban milik Devon Canada dan Petrochina. Kadar hidro sulfidanya waktu itu cukup tinggi sehingga menyebabkan 26 orang dirawat di rumah sakit. Beberapa kasus diatas, seharusnya dapat menjadikan Lapindo Brantas belajar mengenai menjaga lingkungan yang dieksplorasi dan eksploitasinya. Berarti apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH, yang berisi : (1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup, diancam pidana…….dst; (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam pidana…..dst. Melihat kepada UUPLH, Lapindo Brantas dalam kegiatannya di Blok Brantas telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam definisi melakukan perusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup di Blok Brantas dan lingkungan sekitarnya yang sampai saat ini telah mencakup lebih dari 10 desa yang hilang tertutup oleh lumpur beserta prasarana dan sarananya. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1 angka 12 mengenai definisi tentang pencemaran adalah : 1. Masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lainnya kedalam lingkungan hidup, dalam hal ini telah terlihat, kelalaian ataupun kesengajaan yang diakibatkan oleh Lapindo Brantas Inc dalam kegiatannya telah menyebabkan menyemburnya sejenis lumpur bercampur gas
46
yang didalamnya terdapat kandungan logam berat (Hg) yang mencapai 2,565 mg/liter Hg, yang telah melampaui baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg, dan kandungan Fenol yang didapat dari sampel lumpur, zat ini berbahaya terhadap kulit dan kontak langsung dengan kulit dapat menyebabkan kulit seperti terbakar dan gatal-gatal dan bila zat ini masuk kedalam makanan bisa menyebabkan sel darah merah pecah, jantung berdebar dan gangguan ginjal. 2. Dilakukan oleh kegiatan manusia, masuk atau dimasukkannya zat-zat serta komponen tersebut yang jelas tidak dengan sendirinya, Lapindo Brantas telah melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah tersebut. 3. Menimbulkan penurunan kualitas lingkungan sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya, luberan lumpur sampai saat ini telah mengenangi setidaknya 10 desa, 20.000 warga harus diungsikan ke pengungsian dengan fasilitas yang seadanya, sumber air (sumur dan sungai) tidak dapat digunakan lagi karena telah tercampur dengan lumpur, lahan pertanian tidak dapat digunakan lagi, lahan industri berupa pabrik-pabrik tidak dapat beroperasi lagi dan setidaknya terdapat 3000 buruh serta karyawan harus kehilangan pekerjaannya karena pabrik-pabrik tersebut berhenti beroperasi, dan saat ini terganggunya proses distribusi barang dan transportasi dengan tertutupnya jalan tol SurabayaGempol. Melihat fakta-fakta di lapangan serta bila dihubungkan dengan unsurunsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa
47
pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsurunsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan lingkungan hidup.
C. Keputusan Presiden Mengenai Bencana Lapindo Dalam
menangani
kasus
Bencana
Lapindo,
Pemerintah
telah
mengeluarkan beberapa peraturan. Peraturan-peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah: a. Membentuk Tim Nasional Penganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Tim Nasional. b. Tim Nasional mempunyai tugas untuk mengambil langkah-langkah operasional secara terpadu dalam rangka penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo yang meliputi : a. penutupan semburan lumpur; b. penanganan luapan lumpur; c. penanganan masalah sosial.
48
c. Biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Nasional dibebankan pada anggaran PT. Lapindo Brantas. 2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah : a. Pasal 1 (1) Dengan Peraturan Presiden ini dibentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang selanjutnya disebut Badan Penanggulangan. (2) Badan Penanggulangan bertugas menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil. b. Pasal 14 Biaya administrasi Badan Penanggulangan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) . c. Pasal 15 (1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. (2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis. (3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden ini, dibebankan pada APBN (4) – (5)
49
(6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur terrnasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. (7) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah. 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah : a. Pasal 15 (1) Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. (2) Pembayaran secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006, 20% (dua puluh per seratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis. (3) Dihapus. (4) – (5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong, dibebankan kepada PT Lapindo Brantas. (6) Biaya upaya penanganan masalah infrastruktur, termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.” Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 15 A, Pasal 15 B, dan Pasal 15 C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 A Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.
50
Pasal 15 B (1) Wilayah penanganan luapan lumpur di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 A adalah di Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara : tanggul batas Peta Area Terdampak sebelah timur : jalan tol ruas Porong – Gempol sebelah selatan : Kali Porong sebelah barat : batas Desa Pejarakan dengan Desa Mindi (2) – (3) Dalam rangka pengananan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pembelian tanah dan bangunan di wilayah tersebut dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah. (4) Jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat khusus sehingga tidaK berlaku ketentuan dasar perhitungan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. (5) Pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap dengan skema 20% (dua puluh per seratus) pada Tahun Anggaran 2008 dan sisanya mengikuti tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (6) Dana penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang berupa bantuan sosial dan pembelian tanah dan bangunan diterimakan kepada masyarakat di 3 (tiga) desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarannya dimusyawarahkan dengan mempertimbangkan rasa keadilan oleh Badan Pelaksana BPLS dengan mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh PT Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (7) Tata laksana pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pelaksana BPLS.
51
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Adapun inti dari keputusan ini adalah : Pasal 9 d. melakukan penanganan luapan lumpur ke Kali Porong Pasal 15 (5) Dihapus. (6) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, pengaliran lumpur ke Kali Porong, penanganan infrastruktur, termasuk infrastruktur penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah. (7) Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN
BAB IV ANALISI KASUS LUMPUR LAPINDO DALAM PERSPEKTIF HUKUM KORPORASI DAN HUKUM ISLAM
A. Analisis Hukum Korporasi Terhadap Kasus Lumpur Lapindo Melihat fakta-fakta dilapangan serta bila dihubungkan dengan unsur-unsur terjadinya kejahatan lingkungan oleh korporasi, dimana dalam hal ini korporasi tersebut adalah Lapindo Brantas Inc sebagai pemegang kuasa pertambangan ekplorasi dan eksplotasi migas di Blok Brantas Kec. Porong Sidoarjo dari BP Migas, maka penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa unsur-unsur tersebut telah terpenuhi, baik melalui unsur kesengajaan atau pun kelalaian. Kedua unsur tersebut dapat digunakan untuk menjerat korporasi kedalam pembebanan tanggungjawab pidana. Dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pasal yang menerangkan apabila dilakukan karena kelalaian korporasi tersebut dapat juga dijadikan pelaku dalam kejahatan lingkungan hidup. Perbuatan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas di blok Brantas yang telah terjadi selama beberapa periode eksplotasi ini telah membuat Lapindo Brantas menjadi tersangka utama dalam dugaan adanya pelanggaran terhadap UUPLH sekaligus penerapan sanksi pidana terhadap sangkaan terjadinya kejahatan korporasi oleh Lapindo Brantas, sampai saat ini menyebab dari semburan lumpur tersebut masih diselidiki oleh pihak yang berwenang, namun korban serta lingkungan yang rusak terus bertambah besar dan luas jumlahnya,
52
53
tanpa ada yang tahu kapan lumpur tersebut akan berhenti menenggelamkan Kec. Porong dan sekitarnya. yang sangat jelas terlihat saat ini adalah Lapindo Brantas/EMP sebagai pemegang hak eksploitasi dan eksplorasi dari BP Migas telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga Pasal 45 undangundang tersebut. Namun tentunya dalam hal Lapindo, jika nantinya tidak dapat ditemukan bahwa penyebab menyemburnya lumpur yang telah mengakibatkan bencana ini merupakan kealpaan atau kesengajaan dalam kegiatan pengeboran sudah tentu Lapindo sebagai korporasi tidak dapat dijatuhi hukuman. Dan hal ini akan membuat masyarakat yang mencari keadilan akan terkoyak. Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di Harian Koran Kompas, penerapan sistem tanggung jawab pidana mutlak dapat langsung menempatkan Lapindo sebagai pelaku kejahatan korporasi lingkungan.1 Berbeda dari sistem tanggung jawab pidana umum yang mengharuskan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dalam pembuktian sebuah perbuatan pidana, dalam sistem tanggung jawab pidana mutlak, hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa, yang artinya adalah dalam melakukan perbuatan tersebut, terdakwa telah mengetahui atau menyadari potensi hasil dari perbuatannya dapat merugikan pihak lain, maka keadaan ini telah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana kepadanya. Hal ini tentu saja dapat dilakukan oleh hakim sebagai living interpretator yang dapat menangkap semangat keadilan yang hidup ditengahtengah masyarakat dan hakim juga dapat 1
Fredrik.J. Pinakunary, Advocates pada Lubis, Santosa & Maulana Law Offices, Lapindo dan Pidana Mutlak, Koran Kompas, Des 2006
54
mematahkan kekakuan normatif prosedural undang-undang karena seiring dengan perkembangan hukum dan beradabnya negara-negara di seluruh dunia, hakim tidak lagi sekedar hanya mulut atau corong undang-undang Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini, mustahil bahwa Lapindo sendiri tidak menyadari bahwa lingkungan sekitar daerah penggalian migas adalah merupakan pemukiman penduduk dan pabrik-pabrik kecil milik warga. Polisi sendiri, telah memeriksa setidaknya 6 orang tersangka yang berasal dari karyawan Lapindo sendiri dan karyawan dari PT. Medici Citra Nusa sebagai pemegang sub kontrak Drilling (pengeboran) dari pihak Lapindo, pihak berwenang mengatakan, para tersangka untuk saat ini diancam dengan Pasal 188 KUHP dan Pasal 41 dan Pasal 42 ayat 1e dan 2e UUPLH No.23 Tahun 1997126. Adapun isi dari Pasal 188 KUHP adalah sebagai berikut : ”Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karena timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang.” Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak pidana kejahatan korporasi, karena : 1. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup. 2. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. Telah mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar
55
wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya sektor ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak seperti yang selama ini kita lihat. Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam KUHP ini dikarenakan subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana. Dengan demikian, pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum (rechspersoonlijkheid) tidak berlaku dalam bidang hukum pidana.2 Pentingnya pertanggungjawaban pidana korporasi dapat merujuk kepada pendapat Elliot dan Quinn. Pertama, tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan mustahil menghindarkan diri dari peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang merupakan kesalahan perusahaan. Kedua, dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut perusahaan daripada para pegawainya. Ketiga, dalam hal tindak pidana serius, sebuah perusahaan lebih memiliki kemampuan untuk membayar pidana denda yang dijatuhkan daripada pegawai 2
Rusmana. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, diakses tanggal 21 Desember 2014
56
tersebut. Keempat, ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para pemegang saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan di mana mereka telah menanamkan investasinya. Kelima, apabila sebuah perusahaan
telah
mengeruk
keuntungan
dari
kegiatan
usaha
yang
ilegal,seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas tindak pidana yang
telah
dilakukan
bukannya
pegawai
perusahaan
saja.
Keenam,
pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung,agar para pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang ilegal. Ketujuh, publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan ilegal,di mana hal ini tidak mungkin terjadi bila yang dituntut itu adalah pegawainya.3 Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu: 1. Pengurus
korporasi
sebagai
pembuat
dan
pengurusnyalah
yang
bertanggungjawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggungjawab. kepada pengurus dibebankan kewajibankewajiban tertentu. Kewajiban
yang dibebankan tersebut sebenarnya
merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat 4
Raspati, Lucky. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, http://raspati.blogspot.com /2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html, dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007, Diakses tanggal 21 Desember 2014
57
suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 2. Korporasi
sebagai
pembuat
dan
pengurus
bertanggungjawab
Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasamya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tersebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana temyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut.4
4
Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h. 8-9
58
Menurut Muladi5 bahwa berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang
berkembang
maupun
kecendrungan
internasional,
maka
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal : 1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya; 2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); 3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bipunishment provision); 4. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision; 5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang
bertanggungjawab
di
dalam
badan
hukum
tersebut
berhasil
diidentifikasikan, dituntut dan dipidana; Dalam Bab IX Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.23/1997), telah diatur sanksi pidana (penjara dan denda) terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran. Selanjutnya, pada Pasal 46 UU No.23/1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak 5
Muladi. “Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU No. 23 Tahun 1997”, Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997, Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1998
59
pidana, maka sanksinya dijatuhkan selain terhadap badan hukum, juga terhadap mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut.6 Mas Achmad Santosa mengatakan, kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46 UU No.23/1997 merupakan rumusan kejahatan korporasi sebagaimana diatur dalam KUHP Belanda. Jadi korporasi sebagai legal persoon,
dapat
dipidana
berdasarkan
UU
No.23/1997.
Menurutnya,
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dari pimpinan korporasi (factual leader) dan pemberi perintah (instrumention giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, akan tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan.7 Untuk menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusurab dan dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauhmana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus
6
http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21 Desember 2014 7 http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, 2008, Diakses tanggal 21 Desember 2014
60
perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian.8 Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan bahwa kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama, dalam hal kegiatan dan/atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.9 Korporasi dapat mengurangi resiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/kegiatannya sehari-hari, dengan cara : 1. memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan bisanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. 8
M. Husein Harun. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993), h. 180-181 9 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h. 17-18
61
2. melakukan perbaikan sesegera mungkin terhadap perberitahuan pelanggaran yang dilakuakn dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik. 3. mencari nasehat hukum sebelum merespon pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespon secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instansi) tersebut.10 Direktur
perusahaan
tidak
dapat
melepaskan
dirinya
dari
pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi dari ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya direksi harus melakukan kepengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”.11 Dari ketentuan pasal tersebut jelas terlihat adanya duty of care (tugas mempedulikan) dari direksi terhadap perusahaan. Dalam hal ini duty of care adalah antara lain : 1. direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik good faith) dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati;
10
Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h. 17-18 11 Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002), h. 425
62
2. kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur ssuai dengan penyelidikan yang rasional.12 Kegagalan untuk melaksanakan duty of care tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut sebenernya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia, oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin constructive fraud untuk pelanggaran fiduciary duty.13 Dengan
demikian
direktur
tidak
dapat
melepaskan
diri
dari
pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan direksi memiliki “kemampuan” dan “kewajiban” untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup.14
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Kasus Lumpur Lapindo. 1. Konsep Pertanggungjawaban Bisnis Dalam Islam Tanggung jawab dalam bahasa Arab semakna dengan kata ()مسؤلية yaitu pertanggungjawaban, (خَٛ )ضًبyaitu pertanggungan.15
12
Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h. 21 13 Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003), h. 21 14 Alvi Syahrin. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) h. 21 15 Asod M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), h. 544.
63
Tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa) boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.16 Menurut pengertian dari beberapa pakar bahwa tanggung jawab mempunyai arti sebagai berikut: a. K. Bertens, memberikan definisi sebagai berikut: “Bertanggung jawab berarti dapat menjawab, bila ditanyai tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan. Orang yang bertanggung jawab dapat diminta penjelasan tentang tingkah lakunya dan bukan saja ia bisa menjawab melainkan ia harus menjawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak, bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Jawaban itu harus diberikan kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan”.17 b. Peter Pratley, memberikan definisi sebagai berikut:“Tanggung jawab pribadi adalah bahwa seseorang hanya bertanggung jawab untuk hal-hal yang ia betul-betul rencanakan dan lakukan, tidak untuk apa yang terjadi sesudahnya. Jadi seseorang hanya bertanggung jawab untuk tujuannya dan apa yang dia lakukan, tetapi tidak untuk kejadian yang terkait serta kejahatan dan kerusakan berikutnya. Apa yang terjadi sesudahnya tidak pernah hanya disebabkan oleh satu pelaku, tetapi dianggap sebagai akibat dari hubungan yang rumit antara beberapa unsur, sarana dan keadaan”.18
16
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka , 1994), h. 104. 17 K. Bertens, Etika, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 125. 18 Peter Pratley, The Essens of Business Ethics, Telah Diterjemahkan oleh Gunawan Prasetio, Etika Bisnis, (Yogyakarta : Penerbit Andi Kerja sama dengan Simon & Schuster (Asia), 1997), h. 104.
64
c. Drs. O. P. Simarangkir, mendefinisikan sebagai berikut:“Tanggung jawab adalah kewajiban menaggung atau memikul segala-galanya yang menjadi tugas, dengan segala akibat dari tindakan yang baik maupun yang buruk. Dalam hal tindakan atau perbuatan yang baik, maka tanggung jawab berarti menjalankan kewajiban atau perbuatan-perbuatan itu dengan baik. Dalam hal ini tindakan atau perbuatan yang buruk maka tanggung jawab berarti wajib memikul akibat tindakan atau perbuatan yang buruk itu”.19 d. Syed Nawab Haider Naqvi, beliau mendefinisikan sebagai berikut: “Pertangungjawaban merupakan suatu prinsip dinamis yang berhubungan dengan perilaku manusia. Manusia harus berkembang untuk mencapai kesempurnaan, dan seseorang tak perlu harus terikat dengan masa lampaunya ataupun terkurung dalam batas-batas masanya”.20 e. Rafik Issa Beckun, seperti dikutip Muhammad, R. Lukman Fauroni, mendefinisikan sebagai berikut: “Konsepsi tanggung jawab dalam Islam mempunyai sifat berlapis ganda dan terfokus baik pada tingkat mikro (individual) maupun tingkat makro (organisasi dan sosial) yang keduanya harus dilakukan secara bersamasama.”21
19
O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003),
h. 150. 20
Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan oleh Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985), h. 87. 21 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta : Salemba Diniyah, 2002), h. 17.
65
Dari pengertian beberapa pakar tersebut, dapat dibedakan sebagai berikut : a. K. Bertens, memberikan kriteria tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Jawaban itu diberikan kepada diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan. b. Peter pratley, memberikan kriteria tanggung jawab pribadi yaitu seseorang bertanggung jawab atas sesuatu yang direncanakan dan dilakukan. c. Drs. O.P Simorangkir, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu kewajiban menanggung tugas dengan segala akibat yang baik maupun yang buruk. d. Syed Nawab Haider Naqvi, memberikan kriteria tanggung jawab yaitu perbuatan yang berhubungan dengan perilaku manusia. e. Rafik Issa Beekun, memberikan kriteria tanggung jawab mikro maupun makro yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Bila ditelusuri dalam Al-Qur‟an maupun Hadits dasar hukum mengenai tanggung jawab bisnis secara tekstual tidak ditemukan akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh dari segi kontekstual maka secara tersirat terdapat di dalamnya. Adapun dasar hukum tanggung jawab bisnis, di antaranya sebagai berikut:
66
a. Prinsip Kesatuan Kesatuan di sini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi suatu keseluruhan yang homogen serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.22 Produsen tidak akan berlaku serakah karena pada hakekatnya harta yang dimilikinya, merupakan amanat. Dalam bidang ekonomi dan bisnis amanat merupaka niat atau itikad yang perlu diperhatikan, baik dalam mengelola sumber-sumber alam dan manusia secara makro, maupun dalam mengemudikan suatu perusahaan. Banyak ayat atau hadits yang menunjukkan demikian antara lain firman Allah dalam Al-Qur‟an :
ٍَش ْان ًُقَ ُْطَ َش ِح ِيٛ ِ بط حُتُّ ان َّشَٓ َٕا ِ ٍََُِّّ نِهُٚص ِ ٍَ َٔ ْانقََُب ِطَُِٛد ِيٍَ انُِّ َسب ِء َٔ ْانج َّ َّ ِت َٔ ْانف َبَْٛ َب ِح ان ُّذٛك َيتَب ُع ْان َح َ ِث َرن ِ ْ ِْم ْان ًُ َس َّٕ َي ِخ َٔ ْاْلَ َْ َع ِبو َٔ ْان َحشٛض ِخ َٔ ْان َخ ِ َْانز َّ َٔ ة ِ َّللاُ ِع ُْ َذُِ ُحس ٍُْ ْان ًَآ
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan ) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingininya, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).23(Q.S. Ali Imran:14)
Diperhiaskan bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingini. Di sini telah terdapat tiga kata. Pertama, Zuyyina, artinya diperhiaskan. Maksudnya segala barang yang diingini itu ada baiknya dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul yang kelihatan 22
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis,h. 11 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur‟an, Jakarta : 1971), h. 77 23
67
hanyalah baiknya saja dan lupa akan buruknya. Kata kedua ialah Hubb, artinya kesukaan atau kecintaan. Kata ketiga ialah Syahwat, yaitu keinginan-keinginan yang menimbulkan selera yang menarik nafsu untuk memilikinya. Maka disebutkan di sini enam macam hal yang manusia sangat menyukainya, karena ingin mempunyai dan menguasainya, sehingga yang nampak oleh manusia hanyalah keuntungan saja tanpa mempedulikan kesusahannya. Manusia semuanya mempunyai keinginan terhadap harta. Keinginan terhadap harta tidaklah terbatas padahal hidup itu terbatas. Kalau manusia tidak membatasi seleranya sampai mati dia tidak akan merasa puas dengan yang ada. Sehingga manusia menumpahkan seluruh tujuan hidup untuk itu sehingga lupa akan yang lebih penting. Oleh sebab itu Allah memberi peringatan dengan lanjutan ayat yang demikian itulah perhiasan hidup di dunia. Tegasnya bahwasannya semua itu hanyalah perhiasan hidup di dunia niscaya usianya akan habis untuk itu, sedangkan perhiasan untuk di akhirat kelak dia tidak sedia. Padahal di belakang hidup yang sekarang ini ada lagi hidup yang akan dihadapi, yakni kehidupan akhirat. Allah menegaskan namun di sisi Allah ada (lagi) sebaik-baik tempat kembali. Di ujung ayat diterangkan bahwa ada lagi yang lebih penting sebab selama hidup di dunia kita pasti kembali kepada Allah.24
24
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD 1999). h. 719-725.
68
Dalam kehidupan didunia, seseorang mempunyai tanggung jawab pada
dirinya,
keluarga,
masyarakat
dan
negara.
Bahkan
bertanggungjawab kepada agamanya. Tanggung jawab ini digariskan oleh Allah dan dipertanggungjawabkan pula kepada-Nya. Karena itu niat bekerja atau berusaha harus didasarkan karena Allah. Bila niat ditujukan karena Allah, maka akan memiliki dimensi ibadah, yang tentunya akan mendapatkan imbalan pahala dari Allah, di samping imbalan material karena usahanya.25 Dengan prinsip ini, maka pengusaha muslim selalu memantapkan itikad baiknya dalam melakukan usaha dagangnya. Tujuan dan citacitanya bukanlah sekedar memperoleh laba yang menggembirakan, melainkan tertuju pula kepada suatu harapan yang lebih mulia. Usahanya itu karena Allah. apabila ia memperoleh laba, maka keuntungannya itu akan digunakan pada jalur yang diridhai Allah sebagai sarana taqarrub kepada-Nya. Itikad baiknya itulah yang membawa dia kepada keberkahan usahanya.26 b. Prinsip Keseimbangan (keadilan) Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Sifat keseimbangan atau keadilan bukan hanya sekedar
25
Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur‟an “, dalam Firdaus Effendi (eds.) Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999), h. 101 26 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429
69
karakteristik alami. Melainkan merupakan karakteristik dinamis yang harus diperjuangkan oleh setiap muslim dalam kehidupannya.27 Perilaku keseimbangan dan keadilan dalam bisnis secara tegas dijelaskan dalam konteks bisnis klasik agar pengusaha muslim menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca yang benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang baik. Sebagaimana dalam firman Allah dalam AlQur‟an :
ً ِٔ ْ ٌش َٔأَحْ َس ٍُ تَؤْٛ ك َخ لٚ َ ى َر ِنِٛ بط ْان ًُ ْستَ ِق ِ َ َم إِ َرا ِك ْهتُ ْى َٔ ِصَُٕا ثِ ْبنقِ ْسطْٛ َٔأَْٔ فُٕا ْان َك Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”28(Q.S Al-Israa : 35) Ditegaskan di dalam ayat ini supaya seorang mu‟min hendaklah secara jujur menggunakan timbangan. Jangan ada tipu, jangan sampai merugikan. Itulah yang baik sebab dengan begitu ada rasa tenteram pada kedua belah pihak baik penjual maupun pembeli. Keuntungan yang didapat ialah dengan kejujuran. Dan kejujuran itulah inti kekayaan yang sejati yang membawa kemakmuran. Ahli ekonomi modern pun sampai kepada kesimpulan bahwa yang baik itu ialah yang tegak di atas kejujuran. Sebaik-baik kesudahan adalah kemakmuran yang merata,
27
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h . 12. Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429
28
70
itulah tujuan masyarakat yang dikehendaki Islam. Ekonomi Islam dapat tercapai dengan sebenarnya kalau didasarkan atas kejujuran.29 Pada struktur ekonomi dan bisnis, agar kualitas keseimbangan dapat mengendalikan semua tindakan manusia maka adanya prinsip keseimbangan menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dan bisnis dalam genggaman segelintir orang. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an :
َّ َيب أَفَب َء َّٗللاُ َعهَٗ َسسُٕنِ ِّ ِي ٍْ أَ ْْ ِم ْانقُ َشٖ فَهِهَّ ِّ َٔنِه َّشسُٕ ِل َٔنِ ِز٘ ْانقُشْ َث َ ْ ٍَْٛ َ ُكٌَٕ ُدٔنَخً َثٚ ََلْٙ م َكٛ َب ِء ِي ُْ ُك ْى َٔ َيبُِٛ اْل ْغ ِ ٍِ َٔاث ٍِْ ان َّسجٛ ِ َتَب َيٗ َٔ ْان ًَ َسب ِكَٛٔ ْان َّ ٌَّ َِّللاَ إ َّ َءاتَب ُك ُى ان َّشسُٕ ُل فَ ُخ ُزُِٔ َٔ َيب َََٓب ُك ْى َع ُُّْ فَب َْتَُٕٓا َٔاتَّقُٕا ُذَّٚللاَ َش ِذ ة ِ ْان ِعقَب Artinya : “Apa saja harta rampasan (fa‟i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul, orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman30 Nya. (Q.S. Al-Hasyr : 7) Mengapa harta itu dibagi demikian rupa, supaya dia jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu. Telah menjadi kebiasaan di zaman jahiliyah jika terjadi peperangan dan musuh dapat dikalahkan maka yang pertama berhak atas harta benda itu hanyalah para pemimpin saja. Adapun para prajurit hanya diberi sekedar belas kasihan
29
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4056-4057 Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h.916
30
71
dari pemimpin yang telah kaya. Janganlah yang kaya bertambah kaya dan yang miskin hanya menyaksikan kekayaan orang yang sudah kaya. 31 c. Prinsip Kehendak Bebas/Ikhtiyar Prinsip kehendak bebas memberikan keleluasaan untuk membuat transaksi sesuai dengan daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun bukan bebas dalam pengertian sebebas-bebasnya, karena hal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban. Dengan adanya konsep kehendak bebas yang bertanggungjawab, secara logis menuntut suatu keadilan dan selalu berupaya mempertahankan kualitas keseimbangan dalam masyarakat bisnis maupun masyarakat lain.32 Kebebasan di sini dalam pengertian bahwa secara sadar dan tanpa adanya paksaan pada pelaku bisnis mengoptimalkan upaya-upaya bisnisnya. pada konteks ini karena berada dalam kesadaran maka membuat suatu transaksi atau perjanjian bisnis yang dibuatnya, maka ia harus dapat memenuhi semua janji-janji tersebut sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an :
ْجهُ َغ أَ ُش َّذُِ َٔأَْٔ فُٕا ثِ ْبن َع ْٓ ِذَٚ َّٗ أَحْ َس ٍُ َحتَٙ ِْ ِٙى إِ ََّل ثِبنَّتِٛ ِتَٛ َٔ ََل تَ ْق َشثُٕا َيب َل ْان ً ُإِ ٌَّ ْان َع ْٓ َذ َكبٌَ َي ْسئ َٕل Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Israa : 34). 33
31
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 7257 Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 125 33 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, h. 429 32
72
Di ujung ayat ini diperingatkan bahwa hidup manusia didunia ini selalu terikat dengan janji-janji. Maka janganlah mudah membuat janji, kalau janji itu tidak akan terpenuhi. Di dalam janji terkandung amanat. Dan Tuhan pun memberikan didikan untuk memenuhi janji itu pada kehidupan sehari-hari. Kalau kita telah biasa memenuhi janji dengan Allah niscaya kita biasa memenuhi janji dengan sesama manusia. Di ujung ayat ditegaskan bahwa setiap perjanjian itu akan ditanya, artinya akan dipertanggungjawabkan.34 Suatu transaksi atau perjanjian bisnis walaupun secara nyata berhubungan dengan sesama tetapi pada hakekatnya merupakan perjanjian dengan masyarakat, negara dan bahkan Allah. Inilah salah satu makna prinsip kebebasan dan pertanggungjawaban. d. Prinsip Kebenaran, Kebajikan dan Kejujuran. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran, maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan persaudaraan. Kemitraan antara pihak yang berkepentingan dalam bisnis yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian dan penyesalan sedikitpun. Bukan melahirkan situasi dan kondisi permusuhan dan perselisihan yang diwarnai dengan kecurangan. Dengan demikian kebenaran, kebajikan dan kejujuran dalam semua proses bisnis akan dilakukan secara transparan dan tidak ada rekayasa.35
34
Prof. DR. Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 4055.
35
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h .21
73
Dengan prinsip kebenaran ini, maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja sama, atau perjanjian dalam bisnis. Al-Qur‟an menegaskan agar dalam bisnis tidak dilakukan dengan cara-cara yang mengandung kebathilan, kerusakan, dan kedhaliman, sebaliknya harus dilakukan dengan kesadaran dan kesukarelaan.36 Suatu kaidah yang merupakan sumber dalam pelaksanaan hukum mengenai
pertanggungjawaban
perdata
dan
penuntutan
terhadap
pelanggaran, merupakan suatu dasar bagi kaidah umum yang sudah tetap sebagai suatu pokok dari pokok-pokok syari‟at Islam yang telah diakui oleh semua golongan.37Kaidah tersebut adalah :
َل ضشس َٔل ضشس Artinya: “Tidak dibolehkan timbulnya kerusakan (kerugian) dan tidak boleh pula adanya perusakan.”
ضالٚانضشس Artinya: “Kerugian harus ditiadakan.”
ٌانضشس يشفٕع ثقذس اْليكب Artinya: “Kerugian harus ditolak semaksimal mungkin.”
تحًم نذفع انضشس انعبوٚ انضشس انحبضش Artinya:“Kerugian bagi orang-orang tertentu boleh dilakukan demi untuk menghindarkan kerugian bagi umum.”
36
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur‟an tentang Etika dan Bisnis, h. 22 Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari‟ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970), h. 95 37
74
Kaidah-kaidah
ini
pelaksanaanprinsip-prinsip
mempunyai
pengaruh
pertanggungjawaban
besar
mengenai
dalam sesuatu
kerusakan ataukerugian, di samping besar pula pengaruhnya dalam menolakpertanggungjwaban. 2. Konsep Ekonomi Islam tentang Pemeliharaan Lingkungan Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju. Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini. 38 Secara artikulatif, Nasr membongkar akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan.39 Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah, mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).40 Lebih jauh, menurutnya, Al-Qur‟an lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi 38
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, (Lahore: Suhail Academy Press. 1988), h. 6. 39 Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second, h. 75. 40 M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005, h.116
75
terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer.41 Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh AlQur‟an”. Al-Qur‟an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam. Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi 41
M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami‟ah, No. 46, 1991, h. 91-92.
76
(Khalifat Allah fi al-‟Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”…Allah telah membuat kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut. Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan dalam al-Qur‟an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61) Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan
77
konsumtif.
42
Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk menjaga
keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan (tabdzir). Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. AlQur‟an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan untuk bersuci (ketika tidak ada air). Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan (perkataan Arab ‟alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan
42
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Jakarta: Mizan, 2005), h. 296-7
78
kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya,
manusia
dapat
menemukan
patokan
dalam
usaha
memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukumhukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism. 3. Analisis Kasus Lumpur Lapindo Menurut Hukum Islam Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syari‟at Islam adalah pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud
dan
akibat-akibat dari
perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.43 Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia, yaitu manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Oleh karena itu tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak,
43
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,
h. 119
79
orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang dipaksa atau terpaksa.44 Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang kita kenal dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita ketahui dari salah satu kaidah dalam Islam yaitu :
َل حكى ْلفعبل انعقلء قجم ٔسٔد انُص Artinya: ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan orangorang yang berakal sehat”.45 Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap (mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash yang melarangnya. Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain berbunyi:
ًّٚم عهٗ تحشٛبء اإلثبحخ إَل انذنٛاْلصم فٗ اْلش Artinya :”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil yan menunjukkan keharamannya”46 Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan perbuatan tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh kebolehan yang dinyatakan oleh syara‟. Dengan demikian selama tidak ada nash yang melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan 44
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2,
h. 119 45
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,), h. 115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29 46 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, h. 30
80
dan sikap tidak berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain yang berbunyi :
ف أْل نى كهف ثٕٓ َلٛم انتكهٛكهّف ششعب إَلّ يٍ كبٌ قبدسا عهٗ فٓى دنٚ َل ّحًهّ عهٗ ايتثبنٚكهف ششعب إَلّ ثفعم يًكٍ يقذٔس نهًكهف يعهٕو نّ عهًبٚ Artinya: ”Menurut syara‟ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara‟ pula seseorang tidak dibebanitaklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.47 Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam : pertama pelaku sanggup memahami nashnash syara‟ yang berisi hukum taklifi; kedua pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam : pertamaPerbuatan itu mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut diketahui mukalaf dengan sempurna.48 Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan dari Al-Qu‟ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-
47
Abdul Qadir Audah, „At Tasyri‟ Al Jina‟iy Al Islamiy, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,) h.
116 48
Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 48
81
Israa‟ ayat 15, Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian pada Surat Al-Maidah ayat 38. Surat Al-Israa‟ ayat 15
َ ٍَ َحتَّٗ ََ ْج َعَِٛٔ َيب ُكَُّب ُي َع ِّزث ج َسسَُٕل
Artinya: ”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus seorang rasul”. (QS. Al-Israa‟ : 15)
ً أ ُ ِّيَٓب َسسِٙج ف َ ْج َعَٚ َّٗك ْانقُ َشٖ َحت َب ِتَُبٚ ِٓ ْى َءاْٛ ََ ْتهُٕ َعهٚ َُٕل َ ِك ُي ْٓه َ َٔ َيب َكبٌَ َس ُّث Artinya: ”Dan tidaklah tuhanmu menghancurkan kota-kota sebelum diamengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayatayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59) Dari ayat tersebut Ibnu Katsir, Thabari, al-Qurthubi, al-Maraghi, dan Ali As-Shabuni menyimpulkan bahwa hukuman Allah hanya berlaku manakala sudah didahului argumentasi yang telah ditetapkan dan disampaikan oleh para rasul-Nya. Ini sebagai landasan normative bahwa hukum Allah semata-mata keadilan bagi manusia sendiri. Dan setiap orang akan menerima sanksi hukum akibat perbuatannya sendiri.49 Berdasarkan pesan inti ayat ini, para pakar hukum Islam (fuqaha), menetapkan asas hukum pidana Islam yang berbunyi: la jarimata wala 'uqubata qabla wurudi an- nash (tidak ada suatu tindak pidana dan tidak ada sanksi hukum selama belum ada ketentuan teks hukumnya). Konsekuensi asas legalitas ini adalah bahwa tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah
49
440-441
Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), jld. 2, h.
82
dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Dengan demikian, pada dasarnya asas legalitas hukum Islam bukan berdasarkan akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan jenishudud dengan sanksi hukum yang pasti. Asas ini juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Karena itu, asas ini diyakini penuh berlaku untuk kedua kategori kejahatan tersebut. Dalam pandangan Nagaty Sanad, profesor hukum pidana dari Mesir, asas legalitas dalam hukum Islam yang berlaku bagi kejahatan ta'zir merupakan asas yang paling fleksibel, dibandingkan dengan asas lainnya.Hukum Islam di samping menerapkan asas legalitas ini, juga melindungi kepentingan dua kategori sebelumnya: ia menyeimbangan antara hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya. 50 Sejak semula syariat Islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksunma‟nawi), Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan negara) demikian juga dengan sekolahan-sekolahan dan rumah sakit-rumah sakit. Badan-badan ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan tersebut tidak dapat di bebani 50
Nagaty Sanad, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law Saria (Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991), h. 41
83
pertanggungjawaban pidana, karena pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap pilihan, sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi kalau terjadi perbuatanperbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.51 Hukum
Islam
dalam
teori
serta
penerapannya
cukup
sederhana.Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam
dekat
sekali
dengan
doktrin
strictliabilityatau
liabilitywithoutfault(pertanggungan tanpa kesalahan). Dengan kata lain hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (Guiltymind) baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah pertanggungjawaban mutlak.52 Pertanggungjawaban pidana berdasarkan teori strict liability melihat bahwa dalam membebani pertanggungjawaban bagi pelaku tidak perlu adanya unsur kesalahan. Dalam hal ini, unsur kesalahan dapat dilihat dari ada ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian didalamnya. Unsur kesalahan dalam Islam dilihat dari ada tidaknya niatan dari pelaku tindak pidana tersebut, seperti dalam hadis Nabi s.a.w:
51
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 119-120. 52 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), h, h.27
84
53
َٖٕ بد ٔإًَب نكم ايشء يبُٛإًَب اْلعًبل ثبن
Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai kesengajaan dan kekeliruan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut : a. Teori Imam Malik Teori ini memisahkan antara jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja. Pada kedua keadaan ini pembuat bertanggungjawab atas akibat yang terjadi. Pemisahan terhadap jarimah ini tidak terletak pada perbuatan materiil itu sendiri yang dikerjakan pembuatnya, melainkan terletak pada niatan pembuat saat melakukan perbuatannya.54 Jika si pembuat mempunyai niatan hendak melawan hukum (menyalahi syari‟at) maka perbuatannya dianggap sengaja dan apabila tidak mempunyai niatan maka tidak dianggap sengaja. Apabila perbuatan si pembuat mengakibatkan kematian, maka ia bertanggungjawab atas kematiannya dan jika berakibat hilangnya anggota badan atau kegunaannya maka bertanggungjawab pula atas demikian. Menurut Imam Malik, pembuat jarimah harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang disengaja, baik itu sendiri dikehendaki (dicari) atau tidak, diniatkan sebelumnya atau tidak, baik akibat-akibat tersebut sangat mungkin terjadinya atau jarang-jarang terjadi.55
53
Imam Al-Bukhary, hadis no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim
no. 3530 54
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967),
hlm 168 55
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 169
85
b. Teori Hanafi Dasar pemisahan jarimah menurut mazhab Hanafi antara jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja terletak pada niatan si pembuat. Apabila pada perbuatanya mengandung unsur sengaja melawan hukum maka perbuatan tersebut disebut jarimah sengaja. Jika unsur sengaja melawan hukum tidak ada maka bukan jarimah tidak sengaja. Pada
jarimah
selain
pembunuhan,
para
fuqaha
hanya
mensyaratkan kasad umum, yaitu di mana pembuat dengan sengaja melakukan suatu perbuatan di mana ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang. Apabila kasad
tersebut ada maka pembuat
bertaanggungjawab atas akibat dari perbuatannya, baik dikehendaki atau tidak,
baik
sangat
besar
kemungkinannya
terjadi
atau
jauh
kemungkinannya terjadi.56 c. Teori Imam Syafi‟i Pendapat ini memisahkan antara jarimah sengaja dengan jarimah semi sengaja. Pembuat dianggap melakukan jarimah sengaja, selama ia dengan sengaja mengadakan perbuatannya dan menghendaki pula hilangnya nyawa korban. Akan tetapi, jika dengan sengaja melakukan perbuatannya dengan tidak menghendaki hilangnya nyawa si korban, tetapi terjadi hilangnya nyawa korban meskipun perbuatnnya tidak
56
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 170
86
membawa kematian, maka perbuatan tersebut termasuk jarimah semi sengaja.57 Pada dasarnya unsur semi sengaja terdiri dari unsur, kesengajaan dan kelalaian (al-khata‟), karena pembuat dengan sengaja melakukan perbuatan tetapi tidak menghendaki akibat-akibatnya dan karena akibat pada perbuatan semi sengaja tidak ditimbulkan dari perbuatan itu. Dapat diartikan juga bahwa si pembuat melakukan perbuatan tersebut, tetapi dia lalai
dalam
memperhitungkan
akibat
dari
perbuatnya.
Pertanggungjawaban dari perbuatan semi sengaja ini adalah si pembuat bertanggungjawab
atas
akibat-akibat
yang
dikehendaki
dengan
perbuatanya. Disamping itu,juga bertanggungjawab atas akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya meskipun tidak dikehendaki. Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum. Pertanggungjawaban
dilihat
dari
tiga
unsur
yaitu,
kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsurunsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan
57
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 171
87
yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip al- maqasid assyari‟ahyang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-„Aql, hifz al-Nasl. Kasus semburuan lumpur Lapindo erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan hiudp. Persoalan lingkungan hidup dalam khazanah ilmu fiqh tidak dibahas dan dikaji secara khusus dalam bab tersendiri sebagaimana masalah puasa, zakat, sholat, haji, pernikahan, warisan, jual beli, hutang pihutang, karena ketika fiqh dirumuskan pada abad dua hijirah, lingkungan hidup belum menjadi masalah yang menarik perhatian para ahli hukum Islam dan tidak ada pengrusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan hidup terjadi setelah alam dieksploitasi terutama untuk kepentingan industrialisasi. Setelah lingkungan hidup telah menjadi masalah yang serius hingga mengancam kelangsungan kehidupan manusia, maka perlu dikaji ulang prinsip, norma , nilai dan ketentuan hukum dari
khazanah fiqh yang ada relevansinya dengan persoalan
lingkungan hidup. Fiqh adalah penjabaran nilai-nilai ajaran Islam yang berlandaskan al-Qur‟an dan al-Hadits yang merupakan hasil ijtihad para ahli hukum
Islam
dengan
menyesuaikan
perkembangan,
kebutuhan,kemaslahatan umat dan lingkungannya dalam ruang dan waktu
88
yang melingkupinya.Dengan kata lain, fiqh sebagai hukum Islam yang ijtihadi. Oleh sebab itu, fiqh bersifat tatawur (berkembang) sesuai dengan kapasitas daya nalar manusia dan perkembangan zaman. Tujuan hukum Islam ditetapkan hidup manusia agar dapat mencapai kemaslahatan atau kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrowi. Berdasar tujuan ini, ilmu fiqh (hukum Islam) secara garis besar memuat ketentuan hukum menjadi empat bidang Pertama. Bidang ibadah yaitu bagian yang mengatur hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah Swt sebagai khaliknya (hubungan transedensi-hukum ibadah). Kedua, bidang Mu‟amalat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesamanya dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (hukum Muamalat). Ketiga, bidang Munakahat, bagian yang mengatur hubungan manusia sesama lawan jenis dalam lingkungan keluarga (hukum Pernikahan). Keempat, bidang Jinayat, bagian yang mengatur keamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan ketentramannya dalam kehidupan (hukum pidana). Empat bidang hukum tersebut merupakan bidang-bidang pokok kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman, damai, bahagia lahir batin, dunia dan akhirat. Inilah ruh dari ajaran Islam yang merupakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya dan tujuan risalah yang dibawa oleh Nabi Saw. Persoalan lingkungan hidup bukan sekedar masalah sampah,
89
pencemaran, pengrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan bagian dari pandangan hidup itu sendiri. Sebab dalam kenyataannya, berbicara mengenai persoalan lingkungan hidup merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pendewaan terhadap teknologi yang berlebihan dalam waktu lama telah mengakibatkan kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh struktur yang tidak adil sebagai akibat kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup bersumber dari pandangan hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam melihat dirinya dan alam sekitarnya dengan seluruh aspek kehidupannya. Norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran dari nilai-nilai Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagaimana yang telah diutarakan dimuka, sudah seharusnya dapat memberikan dorongan atau motivasi terhadap upaya pengembangan wawasan lingkungan hidup atau lebih tepatnya pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup menjadi
tanggung jawab manusia dan
merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dianugrahkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat tinggal manusia dalam menjalani hidup di bumi ini. Manusia beriman dituntut untuk mengfungsikan
imannya
dengan
meyakini
bahwa
pemeliharaan
(penyelamatan dan pelestarian) lingkungan hidup adalah juga bagian dari iman itu sendiri. Dalam kaitan ini, manusia dengan segenap kelebihan dan kelengkapan yang dianugrahkan Allah Swt kepadanya telah ditunjuk
90
sebagai Khalifah di muka bumi ini. Khalifah mengandung arti sebagai pemelihara atau tegasnya telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai pemegang
amanah
Allah
Swt
untuk
menjaga,
memelihara
dan
memperdayakan alam semesta, bukan menaklukkan dan mengeksploitasi. Sebaliknya, jika hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan rapuh, maka kondisi kehidupan akan memburuk yang berakibat terjadi penderitaan dan penindasan manusia sesama manusia atau dengan eksploitasi alam yang tidak terkendalikan, yang semua ini akan membawa kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri. Good
Corporate
Governance
(GCG)secara
singkat
dapat
diartikansebagai seperangkat sistem yang mengatur danmengendalikan perusahaan untuk menciptakannilai tambah (value added) bagi para pemangkukepentingan. Adapun prinsip-prinsip dari GCG adalah : a. Transparancy (Keterbukaan) Adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Dalam kasus kejadian Lumpur lapindo tidak ada keterbukaan yang dilakukan oleh pihak PT. Lapindo Brantas dimana mereka melakukan pengeboran dengan sesuka hati tanpa pernah memperhatikan apa dampak yang terjadi dan timbul bila pengeboran terus dilakukan karena korporasi hanya mengejar keuntungan semata tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat.
91
b. Accountability (Akuntabilitas) Dalam
hal
pertanggungjawaban
ini
kejelasan
organisasi
terlaksana secara efektif.
fungsi,
sehingga
pelaksanaan
pengelolaan
dan
perusahaan
terjadi pada kasus luapan lumpur lapindo
adalah hingga saat ini belum ada realisasi secara menyeluruh tentang tanggung jawab yang harus diberikan PT. Lapindo Berantas kepada masyarakat. Karena, hinga saat ini belum ada bantuan yang berarti yang diberikan PT. Lapindo Brantas baik bantuan pendidikan, kesehatan, fasilitas sarana dan prasarana yang baik bagi masyarakat sekitar tetapi bahkan saat ini justru masyarakat yang dirugikan karena kasus luapan lumpur tersebut. c. Responsibility (Pertanggungjawaban) Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan
yang berlaku
dan
prinsip-prinsip
korporasi. Dalam kasus luapan lumpur Lapindo yang terjadi adalah PT. Lapindo Brantas melakukan pengelolaan perusahaan tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam undang-undang karena, korporasi telah mengambil hak-hak dari masyarakat porong Sidoarjo serta tidak dilakukannya upaya pencegahan bencana sehingga terjadi human eror dari korporasi yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut. d. Fairness (Kewajaran atau Keadilan) Maksudnya keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
92
perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus Lapindo tidak ada kejujuran serta keadilan kepada masyarakat karena, PT.Lapindo Brantas rela menggunakan segala macam cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hal apa atau damapak yang mungkin timbul karena hal tersebut. Konsep tentang Good Corporate Governance secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip Good Corporate Governance ternyata selaras dengan ajaran agama Islam. Meskipun Islam selalu memperkenalkan etika yang baik, moral yang kuat, integritas, serta kejujuran, tidaklah mudah untuk menggabungkan nilai-nilai etika seperti itu menjadi Good Corporate Governance yang islami. Akibatnya, dalam prakteknya, sebagian besar dari perusahaan „Islam‟ menggunakan standar tata kelola perusahaan konvensional yang mungkin tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam. Adapun prinsip-prinsip GCG dalam kasus PT. Lapindo Brantas adalah : a. Shiddiq (Benar) Artinya bahwa seharusnya PT, Lapindo Brantas harus melakukan kegiatan unsahanya dengan baik dan benar serta menjunjung hak-hak dari masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah kasus eksploitasi sebesarbesarnya tanpa memperhatikan dampak terhadap. b. Amanah (Dapat Dipercaya) Sesuai Kejadian yang terjadi ternyata PT lapindo berantas tidak amanah karena kegiatan pengeboran yang dilakukan tidak sesuai dengan
93
amdal yang telah disepakati oleh pemerintah dan perusahaan dimana seharusnya perusahaan melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan itu tidak berdampak buruk terhadap lingkungan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena tidak dikelolana lingkungan yang baik maka terjadi bencana kepada masyarakat. c. Tablig (Menyampaikan) Dalam kasus ini Pihak PT. Lapindo Brantas tidak terbuka untuk menyampaikan kegiatan yang akan mereka kerjakan, yaitu melakukan pengeboran lebih dalam lagi, karena seharusnya pengeboran itu tidak boleh terus dilakukan karena akan menyebabkan masalah terhadap lingkungan tetapi karena keserakahan oleh pihak korporasi maka kegiatan itu tetap dilakukan dan menyembunyikan kegitan pengeboran itu. d. Fathonah (Cerdas) Kegiatan pengeboran yang dilakukan PT lapindo Brantas tidaklah cerdas, karena mereka melakukan pengeboran tanpa memasang pipa selubung bor sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur, serta korporasi juga tidak cerdas dalam mengambil keputusan untuk tetap melakukan pengeboran tanpa menyadari bahawa kegiatan yang terus dilakuakan akan menyebabkan bencana bagi masyarakat porong sidoarjo. Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau
Corporate Social
Responsibility adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan
94
adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uaraian pada bab-bab sebelumnya, dapatlah dismpulkan halhal sebagai berikut: 1. Bahwa kasus luapan lumpur panas Lapindo Brantas Inc. Merupakan tindak pidana kejahatan korporasi, disebabkan hal-hal sebagai berikut : a. Penyebab luapan lumpur diakibatkan karena kesalahan dan kelalaian Lapindo Brantas Inc. Dalam melakukan pengeboran. Dan juga karena telah melanggar peraturan mengenai tata ruang dan peraturan lingkungan hidup, dan b. Dampak yang diakibatkan adanya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas yang dilakukan di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc. telah mengakibatkan terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitar wilayah Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Propinsi Jawa Timur. Dampak kerusakan tersebut telah mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik, lumpuhnya sektor ekonomi pertanian dan industri, kerugian social dan budaya masyarakat, serta penurunan kualitas kehidupan masyarakat terdampak. Oleh karenanya, apabila dalam kasus ini terdapat unsur kelalaian atau culpa, hal tersebut dapat dijadikan pemberatan pidana, ditambah pula telah terjadinya ribuan korban
95
96
diakibatkan kelalaian ini, maka Lapindo Brantas dapat dikenakan juga sanksi yang terdapat dalam Pasal 42 Bab IX UUPLH. c. Berdasarkan Undang-undang Lingkungan Hidup, dalam Asas strick liability company bahwa perusahaan yang telah melakukan pencemaran atau telah terindikasi melakukan pencemaran baik disengaja maupun tidak yang merugikan ataupun tidak merugikan berkewajiban untuk memulihkan kondisi akibat pencemaran tersebut tanpa harus menunggu gugatan dari masyarakat ataupun sanksi dari pemerintah. 2.
Dalam hukum pidana Islam pertanggungjawaban terhadap korporasi dibebankan kepada orang-orang yang bertindak atas nama badan hukum. Pertanggungjawaban
dilihat
dari
tiga
unsur
yaitu,
kemampuan
bertanggungjawab, kesalahan, dan unsur pemaaf. Untuk menentukan adanya kesalahan dilihat dari ada tidaknya unsur kesengajaan atau kelalaian. Unsurunsur tersebut dapat dikaitkan dengan asas strict liability. Selain itu, tindak pidana korporasi hanya dapat dilakukan dengan penyertaan. Artinya bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindakan dengan sendiri tetapi ada seseorang yang turut berbuat jarimah (al-istirak fi al-jarimah). Sehingga dalam penentuan pertanggungjawabannya didasari pada adnya perbuatan yang dapat menghapuskan pidana. Dalam hal ini adalah karena perintah jabatan, daya paksa dan ancaman. Islam telah mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana (jarimah). Perlindungan tersebut berdasarkan prinsip almaqasid as-syari’ah yang mengutamakan kemaslahatan yang terdiri dari lima hal, yaitu hifz al-Din, hifz al-Nafs, hifz al-Mal, hifz al-‘Aql, hifz al-Nasl.
97
Sedangkan bentuk perlindungan bagi korban jarimah, Islam menentukannya dengan melihat jenis jarimah yang dilakukan. Dalam hal ini, TPLH merupakan jarimah ta’zir, sehingga hukuman yang diberikan adalah dengan hukuman ta’zir. Pertanggungjawaban bagi pelaku terhadap korban dalam jarimah ta’zir adalah dengan memberikan denda dan tindakan pemulihan. Pertanggungjawaban korporasi terhadap korban dalam hukum Pidana Islam sejalan dengan konsep pertanggungjawaban dalam UUPPLH tahun 2009. Sehingga Dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana sebagai bentuk perlindungan dalam UUPPLH juga sejalan dengan tujuan hukum Islam, yaitu menjaga kemaslahatan manusia.
B. Saran-saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkunganyang terjadi dan juga mengembalikan harkat dan martabat masyarakat korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegarauntuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial danlingkungan hidupnya. 2. Kasus lumpur panas di Kec. Porong Sidoarjo Jawa Timur ini harus diselesaikan secara tuntas, dengan melakukan analisis kajian secara detail serta melibatkan seluruh komponen atau pihak-pihak terkait yang memiliki hubungan baik langsung atau tidak langsung dengan terjadinya kerusakan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996) Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti.(Bandung.Inc. New York, 2002). Hadad, Ismid, Pembaharuan Proses Lahirnya Kebijakan Publik dalam Hamdan, M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000). Hamzah Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). “Kejahatan korporasi”: http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatankorporasi/ Koesnadi Hardjasoemantri, Pentingnya Payung Hukum dan Pelibatan Masyarakat dalam Buku Di Bawah Satu Payung Pengelolaan Sumber Daya Alam, 2005 Kompas, 19 Juni 2006 Kosparmono Irsan, “Kejahatan Korporasi; BAB IV”, Jakarta 2007 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001) Nasution, Bismar. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://bismarnasty.files. wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasidan-pertanggungjawabannya.pdf Setiyadi, Mas Wigrantoro Roes. Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi, http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-ataukejahatan-korporasi, Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press, 2002) Sutrisno Hadi, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007) Wikipedia Indonesia, Banjir Lumpur Panas Sidoarjo 2006
98
99
Abdullah, Mustafa & Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003) Adji, Indriyanto Seno, Arah Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji, SH & Rekan, 2001) Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) As-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwah At-Tafasir, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) Audah, Abdul Qadir, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar AlKitab, t.t,) Muslich, Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam – Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Campbel, Henry, Black’s Law Dictionary, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1990) Fuady, Munir, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004) Fuady, Munir, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law& Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002) Giffis, Steven H, Dictionary of Legal Terms, Third Edition, (New York: Barron‟s Educational Series Inc, 1998) Hadi, Sutrisno, Metode Research I (Yogyakarta: Andi Offset, 2007) Hamdan, F.M., Tindak Pidana Pencemaran Linkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000) Hamzah, Andy, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985) Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) Harun, M. Husein. Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, (Jakarta: Bumi Aksara,1993) Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
100
Mardjono, Reksodiputro B, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, (Semarang: FH UNDIP, 1989) Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993) Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001) Muladi dan Prayitno Dwidja. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991) Rihti,
Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengketa (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2006)
Lingkungan
Hidup,
RUU KUHP pada Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004 Sahetapy, J.E., Kejahatan Korporasi, (Bandung: Eresco, 1994) Sanad, Nagaty, The Theory of Crime and Criminal Responsibility in Islamic Law Saria (Chicago: Office of International Criminal Justice, 1991) Setiyono, H. Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang : Averroes Press, 2002) Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. (Bandung. Penerbit Alumni. 1996). Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, , 2006) Soejono, Dirjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal, di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999) Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Pidatao Pengukuhan Jabatan Guru Besar, (Medan : USU, 2003) Widjaya, I. G. Ray, Hukum Perusahaan, (Jakarta: Megapoin, 2000) Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002) O.P. Simorangkir, Etika Bisnis Jabatan dan Perbankan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2003) Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics An Islamic Synthesis, Diterjemahkan oleh Husain Anis dan Asep Nikmat, (Bandung : Mizan, 1985)
101
Muhammad R, Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis, (Yogyakarta : Salemba Diniyah, 2002) Rusydi , “Etos Kerja dan Etika Usaha Perspektif Al-Qur’an “, dalam Firdaus Effendi (eds.) Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999) Mahmud Sjaltout, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani, Djohar Bahry L.I.S, “Islam Sebagai Akidah dan Syari‟ah”, Jilid IV, (Jakarta : Bulan Bintang, 1970)
M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Jakarta: Mizan, 2005) Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) Abdul Qadir Audah, „At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, (Beirut: Daar Al-Kitab, t.t,) Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006)
Muhammad Ali As-Shabuni, Shafwah At-Tafasir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967)
102
SUMBER INTERNET http://hotmudflow.wordpress.com/ http://hotmudflow.wordpress.com/2007/04/23/menghitung-kerugian-bencanalumpurlapindo/# http://hukumonline.com/detail.asp?id=11222&cl=Fokus, http://www.tanyahukum. com/perusahaan/114/kejahatan-korporasi/ Informasi dari WALHI Jawa Timur, 2006 dalam Kumpulan Analisis Bencana Lumpur Lapindo http://www.mediacenter.or.id/article/5/tahun/2008/bulan/01/tanggal/23/id/3141/ Komnas HAM: Telah Terjadi Ecocide Pada Semburan Lumpur Lapindo http://bismarnasty. files.wordpress.com/2007/06/kejahatan-korporasi-dan pertang gung-jawabannya. pdf. Kejahatan Korproasi dan Pertanggungjawabannya, http://raspati.blogspot.com /2007/06/pertanggungjawaban-pidana-korporasi.html, dipublikasikan tanggal 29 Juni 2007, http://www.solusihukum.com/artikel/artikel45.php, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Perikanan http://maswigrs. wordpress.com/2007/04/11/kecelakaan-atau-kejahatan-korporasi, Kecelakaan atau Kelalaian Korporasi Wikimedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia, Bajir Lumpur Panas Sidoarjo, 2006.