1
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO. 17 TAHUN 2006)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH MELANI SARI NASUTION NIM : 040200191
Departeman Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
2
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO. 17 TAHUN 2006)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH MELANI SARI NASUTION NIM : 040200191 Disetujui Oleh Ketua Departemen Hukum Pidana
H. Abul Khair, SH, M.Hum Pembimbing I
Pembimbing II
Nurmalawaty, SH, M.Hum
M. Nuh, SH, M.Hum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
3
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbi ’alamin Puji syukur penulis panjatjan kepada Allah S.W.T atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : ”PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO.17 TAHUN 2006)”. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. DR. Runtungan Sitepu, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 2. Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH, MH, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH.DMF, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 4. Bapak M. Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 5. Bapak H. Abul Khair, SH, M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana. 6. Ibu Nurmalawaty, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat selesai.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
4
7. Bapak M. Nuh, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan petunjuk dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat selesai. 8. Ibu Nurmalawaty, SH, MH, selaku Sekretaris
Departemen Hukum
Pidana. 9. Ibu Afnila SH, MH, selaku dosen wali penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 10. Bapak dan Ibu dosen, serta para pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Orang tua penulis tercinta, ayahanda M. Sutan Nasution dan Ibunda Siti Aisyah (alm) dan adik saya tercinta A. Basuki Nasution yang telah memberikan segala perhatian baik materil maupun non materil dan dorongan semangat serta ketulusan kasih sayang dan cinta penulis. 2. Kepada Bou Roswita Nasution dan Mangboru (alm), Bou Zulkarnain Nasution dan Mangboru (alm), Udak Potan (alm) dan Nanguda Heidy, Udak Arman dan Nanguda Dewi, Udak Raja dan Nanguda Nina dan Udak Darma dan Nanguda Sri, yang telah memberikan segala upaya dorongan semangat dan doa yang tulus kepada penulis. 3. Kepada Sepupu-sepupu penulis Kak Lany, Bang Alul, Kak Hany, Kak Dyan, Bang Audy, Bang Nicky, Ika, Iki, Dany, Viri, Geta, Anggi, Widy,
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
5
Mia, Kinoy, Reihan dan Aulia, yang juga selalu memberikan semangat penulis. 4. Kepada Rekan-rekan Stambuk 04 dan teman-teman HMI, teman-teman IMM Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Skripsi ini juga sebagai hadiah terbesar penulis kepada orang yang sangat penulis cintai khususnya Papa sebagai hadiah ulang tahun. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena ini saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermafaat untuk semua pihak. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini bukanlah sesuatu yang dapat dibanggakan sebagai sebuah tulisan yang sempurna dikarenakan waktu yang singkat dan kesibukan-kesibukan penulis lainnya. Akan tetapi penulis tetap berharap kelak skripsi ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi kita semua. Terima Kasih.
Medan, Agustus 2008
Melani Sari Nasution Nim. 040200191 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
6
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................
i
Daftar Isi......................................................................................................
iv
Abstrak........................................................................................................
vi
BAB I.
PENDAHULUAN....................................................................
1
A. Latar Belakang....................................................................
1
B. Perumusan Masalah.............................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.............................................
5
D. Keaslian Penulisan...............................................................
6
E. Tinjauan Kepustakaan.........................................................
6
1. Pengertian Tindak Pidana Penyeludupan.....................
6
2. Aneka Ragam Tindak Pidana Penyeludupan.................
8
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Penyeludupan....................
8
4. Subjek-subjek Dalam Tindak Pidana Penyeludupan......
16
F. Metode Penelitian…………………...…………………….
28
G. Sistematika Penulisan………………..….....……………...
29
BAB II.
DASAR PERTIMBANGAN PERUBAHAN UU NO. 10 TAHUN 1995 MENJADI UU NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN………………………………...
32
A. Tentang Jenis-jenis Barang Kepabeanan.............................
33
B. Tentang Sanksi Pidana.........................................................
39
C. Tentang Hal-hal Baru Yang Diatur Dalam UU No. 17 Tahun 2006..........................................................................
42
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
7
BAB III. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN.................................
89
A. Kaitan Tindak Pidana Penyeludupan Dengan Tindak Pidana Ekonomi...................................................................
92
B. Batasan Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan...........................................................
97
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN................................................
103
A. Kesimpulan..........................................................................
103
B. Saran.....................................................................................
105
DAFTAR PUSTAKA
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
8
ABSTRAK
Adanya perubahan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 menjadi Undangundang No. 17 Tahun 2006 dilandasi berdasarkan beberapa alasan. Salah satu hal yang menjadi perubahan Undang-undang Kepabeanan adalah tentang kebijakan bea keluar. Kebijakan bea keluar terhadap sejumlah kmoditas ekspor untuk membatasi barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri segera diterapkan. Adanya Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan diharapkan dari penerimaan bea keluar ini dapat menjadi salah satu pengganti kehilangan penerimaan negara akibat penghapusan pajak ekspor terhadap sejumlah komoditas. Jenis komoditas akan ditentukan menteri terkait, sedangkan besarnya tarif ditetapkan berdasarkan situasi pada saat penentuan tarif bea keluar. Undangundang Kepabeanan No. 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, memperluas kewenangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk mengawasi perdagangan antar pulau. Kebijakan ini didasarkan pada besarnya potensi penyeludupan dari perdagangan antar pulau. Melalui studi komperasi Undang-undang No. 10 Tahun 1995 dan Undangundang No. 17 Tahun 2006 ini, yaitu penulis dengan melakukan perbandingan antara kedua Undang-undang tersebut untuk di uraikan sehingga memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh. Data tersebut dianalisis secara kualitatif guna mendapatkan penjelasan pengenai pertanggung jawaban pidana terhadap Tindak Pidana Penyeludupan dengan mengadakan studi komperasi terhadap Undang-undang No. 10 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 17 Tahun 2006, sehingga ditarik kesimpulan dari keseluruhan. Pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana penyeludupan berlaku terhadap si pelaku sendiri baik orang perorangan maupun badan hukum. Bahkan bagi pelaku yang merupakan pihak pejabat duberlakukan pemberatan pidana tambahan sepertiga dari ketentuan undang-undang No. 17 Tahun 2006 diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum yang terdapat dalam Undangundang No. 10 Tahun 195, terutama ketentuan mengenai tindak pidana penyeludupan. Salah satu perbedaan di antara keduanya adalah dalam penerapan sanksi pidana. Secara umum sanksi pidana pada Undang-undang Kepabeanan 2006 lebih berat dan ancaman administrasinya lebih besar jumlahnya. Pada ketentuan yang lama tidak diberlakukan ancaman minimum sedangkan pada Undang-undang Kepabeanan Tahun 2006 diberlakukan ancaman minimum. Namun di antara kedua undang-undang masih ada kekurangan. Adanya ancaman pidana ditambahkan dengan tindakan administrasi memberikan pilihan bagi pihak pelaku untuk memilih membayar denda. Dasar perubahan pengaturan tentang penyeludupan antara lain disebabkan karena lemahnya rumusan tantang penyeludupan, sehingga pelaku selalu dapat menghindar dari kejahatan dengan alasan tidak diatur dalam undang-undang. Alasan lain yang mendasari adalah terbatasnya kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam melakukan pengawasan, terutama dalam hal pengangkutan barang antar pulau. Adanya Undang-undang Kepabeanan Tahun 2006 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
9
memberikan kewenangan yang cukup kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pengawasan barang atar pulau.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Arif, N. B, 2000, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Kencana Prenada. Bonger, W. A, 1981, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia. Chibo, S, 1992, Pengaruh Tindak Pidana Penyeludupan Terhadap Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika. Lopa. Baharuddin, 1984, Tindak Pidana Ekonomi pembahasan Tindak Pidana Penyeludupan, Jakarta: Pradnya Pramita. Marpaung, L, 1991, Tindak Pidana Penyeludupan, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Situs Internet : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ” Menkeu : 6.200 Importir beresiko tinggi”. Harian Bisnis Indonesia, 7 November 2006. Perdana Agung, ”Penyeludupan, Dimana Masalahnya?” http : //www. Fempointeraktif.com/hg/narasi/2004/07/04/nrs, 20040714-15, id. Htm. ..........................,
”Tidak Mungkin Hanya Bea dan Cukai Sendiri Yang
Menertibkannya”, Harian Kompas, Juli 2002.
Perundang-undangan : Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. …………, Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan UndangUndang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan perdagangan internasional, baik yang menyangkut kegiatan di bidang impor maupun ekspor akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesatnya kemajuan di bidang tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu sistem dan prosedur kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen. Dengan kata lain, masalah birokrasi di bidang kepabeanan yang berbelit-belit merupakan permasalahan yang sudah sering terjadi. Adanya kondisi tersebut, tentunya tidak terlepas dari pentingnya pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijakan di bidang ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Banyaknya hubungan bilateral, regional, dan multilateral di bidang perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisai dan globalisasi perdagangan dan investasi, tentunya liberalisasi permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan semakin kompleks. Perubahan-perubahan pada pola perdagangan internasional yang menggejala dewasa ini pada akhirnya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi
negara berkembang untuk
memenangkan persingan pasar. Di samping itu, pola perdagangan juga akan berubah pada konteks borderless world (dunia tanpa batas), atau paling tidak ada nuansa liberalisasi perdagangan dan investasi dimana barriers (penghalang) atas perdagangan menjadi hal yang diminimalisir. Bertahun-tahun pemerintah berusaha mengatasi negara dan bangsa ini dengan sering mengubah dan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
12
menambah peraturan-peraturan di bidang hukum pidana dan peraturan di bidang ekonomi. begitu pula telah dibentuk team yang hampir bersamaan, yaitu Team Pemberantasan Korupsi dan Team Pemberantasan Penyeludupan yang keduanya dipimpin oleh Jaksa Agung. Tetapi semua itu masih belum berhasil. Masalah penyeludupan merupakan masalah laten bagi Indonesia karena penduduk yang beraneka ragam kebudayaannya dengan kekayaan bumi, air dan udara yang melimpah ruah. Masalah penyeludupan akan ditentukan pula oleh faktor politik dan kebijakan ekonomi Pemerintahan yang mungkin menjadi stimulasi atau prevensi bagi penyeludupan. Dengan kebijakan baru di bidang impor dan ekspor yang ditandai dengan INPRES Nomor 4 Tahun 1985, beserta seluruh petunjuk pelaksanaannya, diharapkan akan menjadi faktor prevensi penyeludupan. APBN tahun 2006, untuk bea masuk menargetkan penerimaan sebesar Rp. 15 triliun dan dari cukai Rp. 36 triliun. Namun terjadi perombakan pada APBN-P tahun 2006 di Direktorat Jendral Bea-Cukai diharuskan memungut penerimaan bea masuk dan cukai sebesar Rp. 52.105.900 triliun, dengan rincian, bea masuk sebesar Rp. 13.583.300 triliun atau turun Rp. 2 triliun dan cukai sebesar Rp. 38.522.600 triliun atau naik sekitar Rp. 2 triliun. Hingga 31 Desember 2006, ternyata realisasi target-target tersebut mencapai 95.79 persen dengan rincian bea masuk hanya tercapai sebesar Rp. 12.141.702.85 triliun atau 89.39 persen dari target, sementara untuk cukai hanya tercapai sebesar Rp. 37.772.104.89 triliun atau 98.05 dari target.1
1
Tahun 2006, Target Bea Masuk dan Cukai Tidak Tercapai 22-01-2001/ Admin (Sumber : wbc) Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
13
Penyeludupan merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia, maka masalah penyeludupan harus mendapat perhatian penuh dari pemerintah untuk segera diatasi. Sebagai produk hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, bentuk undang-undang kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini masih sangat sederhana di sisi lain harus menjangkau aspek yang lebih luas untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan. Kebijaksanaan Pemerintah di bidang Kepabeanan secara global diantaranya juga dengan disahkannya Undang-undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang kemudian direvisi menjadi UU No.17 Tahun 2006. Pemberlakuan Undangundang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan telah memberikan konsekuensi logis bagi Direktorat Jendral Bea dan Cukai berupa kewenangan yang semakin besar sebagai institusi pemerintah untuk dapat menjalankan perananya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pelaku di bidang perdagangan internasional. Banyak kasus yang menyalahgunakan kebebasan tersebut. Beberapa diantaranya: “Petugas kami memperoleh informasi dari Kepala Bidang Penyeludupan di Wilayah X Kalimantan Timur. Kemudian mereka mengejar Kapal yang dimaksud tersebut. Awalnya, yang mereka kejar adalah kapal Putri IV yang mengangkut 50 meter kubik kayu kering, dan setelah berhasil menangkap kapal tersebut. Kemudian diperoleh lagi informasi ada kapal yang lebih besar muatan kayu log-nya dan akhirnya didapatkanlah Kapal Promex 26 dan 27 yang mengangkut 3.400 meter kubik kayu Meranti. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
14
Kapal Promex ini ditangkap diperairan Sempadan, ketika akan menuju Ligitan. Menurut pengakuan awak kapal tersebut dari Ligitan mereka akan terus ke Tawao, Malaysia.” 2 Bukan hanya itu di bidang perdagangan internasional, perdagangan nasional juga mempunyai potensi untuk bisnis dengan cara penyeludupan. Misalnya di daerah Sumatera Utara, Tanjung Balai, Asahan. ”Banyak tangkahan swasta menjadi sarang penyeludupan di Tanjung Balai Asahan”. Contoh diatas menggambarkan bahwa penyeludupan sangat marak di Indonesia, sehingga memerlukan penanganan khusus untuk memberantasnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: ”PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN (STUDI KOMPERASI UU NO. 10 TAHUN 1995 DAN UU NO.17 TAHUN 2006)”.
2
Permana Agung, ”Tidak Mungkin Hanya Menertibkannya,” Harian Kompas, Juli 2002, hal.11
Bea
Cukai
Sendiri
yang
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
15
B. Permasalahan 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan perubahan UU No. 10 Tahun 1995 menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ? 2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap Tindap Pidana penyeludupan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan yaitu: 1. Untuk mengetahui hal-hal menjdai dasar pertimbangan perubahan UU No.10 Tahun 1995 menjadi UU No.17 Tahun 2006 tantang perubahan atas UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 2. Untuk mengetahui bentuk pertanggung jawaban pidana terhadap Tindak Pidana Penyeludupan dan kaitannya dengan Tindak Pidana Ekonomi. Manfaat Penulisan yaitu: 1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi penulis, sehingga dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu hukum dan dapat memperluaskan khazanah perbendaharaan keputusan bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara. 2. Secara praktis, diharapkan menjadi bahan koreksi dan informasi serta menambah pengetahuan konkrit mengenai pemberantasan tindak pidana penyeludupan.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
16
D. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul ” Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludpan (Studi Komperasi Undang-undang No 10 tahun 1995 dan Undang-undang No 17 tahun 2006”. Dalam proses penulisan skripsi, penulis memulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan judul tersebut diatas baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi penulis melakukan pemeriksaan pada Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara (FH. USU). Untuk membuktikan bahwa judul dan isi skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH. USU). Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang substansi-substansi pembahasan didalamnya yang sama oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini penulis buat, maka hal tersebut dapat penulis pertanggung jawabkan.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Penyeludupan Penyeludupan berasal dari kata seludup. Kata seludup diartikan menyeluduk, menyuruk, masuk dengan sembunyi-sembunyi antara secara gelap (tidak sah). Sedangkan penyeludupan diartikan pemasukan barang secara gelap untuk mengindari bea masuk atau karena menyeludupankan barang terlarang. 3 Dalam kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary kata smuggle diartikan sebagai berikut: To import or export secretly contrary to the law an especially without paying duties import or export something in violation of the costoms law. 3
Leden Marpaung, S.H, Tindak Pidana Penyeludupan Masalah Dan Pemecahan. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 3 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
17
(mengimpor atau mengekspor secara gelap, berawalan/tak sesuai dengan hukum dan khususnya mengindari kewajiban membayar atas suatu impor atau ekpor yang merupakan pelanggaran paraturan pabean.)
Meneliti perundang-undangan, Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967 memuat arti penyeludupan sebagai berikut: Penyeludupan ialah delik yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor), atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia (impor). Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967, maka penyeludupan ialah delik yang berkenan dengan impor atau ekspor barang atau uang. 4 Jika diperhatikan, rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia menekankan hal pemasukan barang dan bea masuk. Sedangkan dalam kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary ditambahkan dengan ekspor, jadi lebih lengkap. Namun belum sempurna, karena barang yang dilarang ekspor/impor belum dimasukan dalam rumusan. Dalam Law Dictionary, penyeludupan diartikan sebagai: ” the offence of importing or exporting prohibited goods, or importing or exporting or exporting goods not prohibited without paying the duties mposed on them by the laws of the costoms and excise”. 5 (pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang dilarang, atau pelanggaran atas impor atau ekspor barang-barang yang tidak dilarang, tanpa membayar bea yang dikenakan atasnya oleh undang-undang pajak atau bea cukai).
4 5
Ibid. E.R. Hardy Ivamy, Mozley and Whiteley’s Law Dictionary, Tenth Edition
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
18
2. Aneka Ragam Tindak Pidana Penyeludupan Secara umum penyeludupan dapat dibagi dalam dua macam yaitu penyeludupan fisik dan penyeludupan administratif. Penyeludupan fisik ialah seperti yang ditentukan dalam pasal 26b (1) Ordonansi Bea, yang berbunyi: ”Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor barang-barang atau mencoba mengimpor atau mengeskpor barang-barang tanpa mengindahkan akan ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini dan dari reglemen-reglemen yang terlampir padanya atau yang mengengkut ataupun menyimpan barang-barang bertentangan dengan sesuatu ketentuan larangan yang ditetapkan berdasarkan ayat kedua pasal 3” 6 Sedangkan penyeludupan administratif ialah memberikan salah tentang jumlah, jenis atau harga barang-barang pemberitahuan impor, penyimpanan dalam entrepot, pengiriman ke dalam atau ke luar daerah pabean atau pembongkaran atau dalam suatu pemberitahuan tidak menyebutkan barang-barang yang dikemas dengan barang-barang lain. 7 Dengan demikian, dalam penyeludupan fisik sama sekali tidak mempergunakan dokumen, sedangkan dalam penyeludupan administratif adanya ketidaksesuaian antara keadaan fisik barang dengan apa yang tertulis dalam dokumen.
3. Unsur-unsur Tindak Pidana Penyeludupan Tindak Pidana Penyeludupan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa unsur yang saling mempunyai hubungan kausal. Unsur-unsur tersebut meliput: 8
6
Ibid. Pasal 25 Undang-undang Ordonansi Bea. 8 Soufnir Chibro,SH, Pengaruh Tindak Pidana Penyeludupan Terhadap Pembangunan. (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hal 35-42. 7
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
19
I. Unsur Geografis Luasnya Kepulauan Nusantara yangh terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, yang diapit oleh dua benua besar, yaitu Asia dan Autralia, dan dua Samudera denga garis pantai yang terbentang luas dan yang sangat terdekat dengan negara-negara tetangga, yang lebih dahulu mengalami kemajuan, baik di bidang perekonomian maupun industri mambuka kesempatan atau peluang, atau bahkan dapat merangsang para pengusaha (lokal maupun asing) untuk malakukan penyeludupan.
Kadaan
ini
misalnya
terutama
dimanfaatkan
oleh
para
penyeludupan di sekitar Kepulauan Riau, Aceh (seperti Lhokseumawe, Sabang, Langsa dan lain-lain, Sumatera Utara (Belawan, Tanjung Balai Asahan dan Pangkalan Brandan), Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan Barat dan Timur, Maluku dan Daerah-daerah pantai lainnya. Barang-barang yang diseludupakan langsung dari luar negeri maupun melalui Pulau Batam, tidak seluruhnya untuk kebutuhan daerah Riau sendiri, tetapi sebagian disalurkan ke daerah atau propinsi lain. Selain Kepulauan Riau, terdapat pula jalur-jalur penyeludupan yang diperkirakan sering terjadi di sepanjang pantai yang termasuk dalam wilayah perairan Aceh, Sumatera Utara, Pesisir Jambi, Kalimantar Timur, dan Barat, Sulawesi Utara, Tengah dan Tenggara, Maluku dan lain-lain. Modus operandi penyeludupan biasanya melalui pantai di luar daerah pelabuhan, malalui kapal ke kapal, baik dengan menggunakan peralatan tradisional maupun modern, misalnya dengan menggunakan kapal atau speedboat dengan kecepatan tinggi dan membawa senjata api.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
20
II. Kondisi Industri Dalam Negeri Tidak dapat disangkal, bahwa kondisi industri dalam negeri turut pula mempengaruhi timbulnya tindak pidana penyeludupan. Karena sebagaimana diketahui, produksi industri dalam negeri pada umumnya masih dalam tahap perkembangan, sehingga hasilnya pun belum dapat diandalkan. Tingginya biaya produksi menjadikan hasil produksi kurang mampu bersaing dengan barangbarang hasil produksi luar negeri. Keadaan ini ditambah lagi dengan tingginya biaya transportasi dam minimnya sarana angkutan, sehingga menyebabkan hambatan dalam distribusi dan pemasaran. Beberapa waktu yang lalu kita pernah membaca di koran-koran, bahwa harga barang-barang buatan RRC jauh lebih murah dibandingkan dengan harga barang-barang yang sama produksi dalam negeri, padahal ongkos tenaga kerja di RRC masih lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja di dalam negeri, sehingga hal ini tidak kurang membuang bingung para pengusaha dan mengambil keputusan di negeri kita. Misalnya pernah dimuat perbandingan harga TV produksi lokal dengan TV impor (built up) dengan merek yang sama. Antara lain diberi contoh TV berwarna dengan multi sistem dengan merek Toshiba ukuran 20 inci, produk impor ditawarkan dengan harga sekitar Rp. 1.050.000,00 sedangkan TV dengan merak dan ukuran yang sama produksi dalam negeri ditawarkan dengan harga Rp. 1.250.000,00. Untuk ukuran 28 inci dengan merak yang sama untuk built up ditawarkan dengan hanya Rp. 1,8 juta, sedangkan pesawat TV merek lain yang dibuat di dalam negeri di tawarkan dengan harga tidak kurang dari 2,8 juta. 9 9
Kompas, 27 Agustus 1991, hal. 2
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
21
Keadaan di atas menggambarkan, bahwa hasil produksi dalam negeri masih belum mampu bersaing
dengan barang-barang hasil produksi impor.
Dengan adanya perbedaan harga produk lokal dengan produk impor membuka kemungkinan terjadinya penyeludup. III. Sumber Daya Alam Sumber daya alam Indonesia turut pula mempengaruhi frekuensi penyeludupan. Hal ini bisa kita perhatikan dengan banyaknya kekayaan alam kita berupa bahan-bahan mentah yang diinginkan oleh negara-negara lain untuk dijadikan sumber komoditi ekspor oleh negara-negara yang bersangkutan. Kekayaan alam dan bumi Indonesia yang melimpah ruah, seperti kayu gelondongan , rotan (asalan), kayu hitam (ebony), hewan-hewan yang dilindungi dan lain-lain yang kesemuanya ini sangat dibutuhkan negara-negara lain. Nagara- negara industri yang haus akan bahan-bahan mentah dan pasaran untuk melempar hasil industrinya, ditambah pula dengan letak negaranya yang tidak jauh dari pantai-pantai Indonesia, maka masalah penyeludupan menjadi semakin menarik bagi pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkannya kekayaan alam kita yang sangat dibutuhkan negara-negara industri tersebut sebagian ada yang karena bentuknya tidak boleh diekspor, (kecuali setelah diolah terlebih dahulu, seperti kayu gelondongan yang harus diubah menjadi plywood, demikian juga rotan dan lain-lain) dan ada pula yang memang benar-benar dilarang untuk di-ekspor karena termasuk langka dan dilindungi (seperti orang utan, burung cenderawasih dan lain-lain).
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
22
IV. Kelebihan Produksi Di
negara-negara
yang
maju
dan
mapan
sektor
industri
dan
perekonomiannya adakalanya mengalami kelebihan produksi (over production). Misalnya negara-negara yang berdekatan dengan negara kita, seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hongkong, Singapura dan lain-lain. Di mana negaranegara ini kadang-kadang mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil-hasil produksinya. Keadaan ini oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab lalu dimanfaatkan untuk kepentingan dan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara yang tidak sah/ilegal, yaitu berusaha memasukan barang-barang dagangan mereka ke negara-negara lain malalui penyeludupan, diantaranya ke Indonesia. Bahkan beberapa negara tertentu melakukan politik dumping sehingga kedatangan barang-barang melakukan keguncangan-keguncanganmenghadapi persaingan barang-barang produksi impor. Hal ini bisa terjadi karena di samping barang-barang produksi sisa impor tersebut sangat dibutuhkan masyarakat (seperti bawang putih) dan juga baik mutu maupun harganya kadang-kadang jauh lebih baik dan lebih murah dibandingkan produksi dalam negeri. Dan apabila keadaan ini terjadi, maka bagi masyarakat sendiri tidak mempersoalkan lagi apakah barang-barang yang dibelinya itu dimasukan secara sah atau tidak, apalagi daya beli masyarakat kita memang masih rendah. Keadaan ini akan dimanfaatkan oleh para pengusaha yang tidak bertanggung jawab untuk memasukan barangbarang yang dibutuhkan masyarakat tersebut secara ilegal. V. Transportasi Masalah penyeludpan akan ditentukan pula oleh faktor transportasi. Daerah-daerah tertentu di Indonesia dalam mendatangkan barang-barang Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
23
kebutuhan pokok masyarakat sering mengalami keterlambatan, disebabkan belum lancarnya hubungan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Bahkan seperti Pulau Nias, Simeulue (Sinabang), Singkel dan lain-lain beberapa waktu yang lampau sering tergantung pada keadaan alam (cuaca)apabila ingin mandatangkan barangbarang kebutuhan sehari-hari ke daerah tersebut karena hubungan darat dari daerah lain memang belum tersedia. Akibatnya masyarakat di daerah-daerah terpencil serupa itu sering memasukkan barang-barang kebutuhan pokoknya secara tidak sah (kadang-kadang dibawa oleh kapal-kapal besar asing). Hal di atas ditambahkan lagi karena letak daerah-daerah (pulau-pulau) tertentu di Indonesia memang berdekatan dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura , Malaysia, Filipina, dan Sebagainya. Kepulauan Riau atau Aceh (Sabang) misalnya, lebih lebih dekat ke Singapura. Guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga tidak jarang kita menemui di daerah-daerah pantai yang letaknya lebih dekat ke negara-negara tetangga tersebut banyak barang-barang eks luar negeri tanpa diketahui asal-usulnya, apakah dimasukkan secara resmi atau melalui penyeludupan. VI. Peraturan Sebagaimana diketahui, bahwa akhir-kahir ini pemerintah telah berusaha menghilangkan birokrasi yang terbelit-belit
(melalui debirokrasi) dalam
pengurusan barang-barang impor dan ekpor. Dimana salah satu kebijaksanaan pemerintah tersebut ialah dengan dikeluarkannya Intruksi Presiden (inpres) Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Meninjang Kegiatan Ekonomi. Salah satu kebijaksanaan dalam inpres Nomor 4/1985 tersebut ialah dengan dihilangkan ketentuan penggunaan Aangifte van Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
24
Inlading (AVI) atau Pemberitahuan Muat Barang (PMB) bagi angkutan barang antar pulau yang salama ini berlaku, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Reglemen A – Ordonansi Bea. Dengam dihilangkan kehurusan menggunakan AVI/PMB terhadap angkutan barang antar pulau tersebut menurut para pejabat dari Ditjen Bea dan Cukai dan Kepolisian Perairan (KP3) dari hasil penelitian lapangan yang pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI (1986) membuka peluang bagi para penyeludup untuk melakukan penyeludupan dengan berkedok pada pengangkutan barang antar pulau. Hal ini misalnya dilakukan oleh para penyeludup dalam kasus yang diusaikan terdahulu, yaitu dalam kasus penyeludupan barang-barang elektronika oleh Kapal KM Livana, KM Selat Jaya, KM Sindaro, KM Niaga XVI dan KM Sriani. Seperti diketahui barang-barang sisa impor berupa barang-barang mewah, elektronik dan lain-lain sering diangkut diantarpulaukan, umumnya dari Pulau Jawa (Tanjung Priok dan Tanjang Perak) ke daerah-daerah lain, sehingga kecurigaan terhadap muatan kapal antar pulau tersebut terabaikan. Lebih-lebih jika mereka melindungi barang-barang yang diangkut dengan faktor-faktor pembelian palsu yang diperoleh dari toko-toko atau importir di Jakarta atau Surabaya, maka akan sangat sulit bagi para petugas penyelidikan atau penyidik yang mencurigai muatan kapal antar pulau tersebut, kecuali kalu mereka benarbenar tertangkap tangan (sedang berlayar di perairan Indonesia tanpa dilindungi dokumen-dokumen atau sedang membongkar/memindahkan barang-barang dari kapal asing ke kapal lokal yang tengah berlayar.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
25
Akan tetapi hal inipun kemungkinannya sangat sulit dipantau mengingat luasnya perairan Indonesia dan yang sangat berdekatan dengan batas wilayah negara tetangga. VII. Mentalitas Indonesia di karuniai oleh Tuhan dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Akan tetapi jika yang mengendalikan dan mengelola semua sumber daya itu tidak jujur, maka bukan tidak mungkin negara kita akan tetap menderita sebagai negara miskin. Sejarah telah membuktikan bahwa, kekayaan alam dan bumi yang melimpah ruah belum merupakan jaminan kemakmuran suatu bangsa, tetapi dengan kecerdasan, ketekunan serta tekad yang kuatlah dapat dijadikan modal utama menuju terciptanya kemakmuran dan kebahagiaan meskipun secara geografis alam dan buminya tergolong miskin. Para pelaku atau otak penyeludupan umunya bukanlah orang-orang atau pengusaha bermodal kecil, malainkan pada umumnya orang-orang yang bermodal besar. Jadi, apabila mental para petugas kita dalam menghadapi bujukan dan rayuan oknum-oknum penyeludup tersebut tidak kuat dan teguh, sudah barang tentu menjadi makanan empuk bagi penyeludup yang memiliki otak yang lihai dan licik. Mampukah para petugas kita menghadapi cobaan-cobaan yang dilancarkan oknum-oknum penyeludup yang ingin menggrogoti perekonomian bangsa kita? Jawabannya terletak pada hati nurani para petugas kita tersebut. VIII. Masyarakat Dalam usaha penanggulangan tindak pidana penyeludupan sering dirasakan kurang partisipasi dari warga dan masyarakat, meskipun media massamedia massa telah cukup gencar memuat berita-berita tentang pemberantasan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
26
tindak pidana penyeludupan, hal ini disebabkan warga masyarakat merasa beruntung karena dapat membeli barang-barang sisa luar negeri asal seludupan dengan harga murah dan mutu yang tinggi. Hal ini disebabkan warga masyarakat haus akan pasaran barang-barang yang bermutu, sedangkan daya beli masyarakat sendiri masih rendah. Dan juga konsumen barang-barang mewah di Indonesia semakin meningkat jumlahnya akibat kemajuan teknologi serta kecenderungan anggota masyarakat tertentu ke arah masyarakat prestige. Kenyataan di atas, di mana kebutuhan akan barang-barang mewah produksi luar negeri semakin meningkat, akan dimanfaatkan oleh para penyeludup, dengan melakukan penyeludupan atau barang-barang mewah tersebut, karena masyarakat menghendakinya.
4. Subjek - Subjek Dalam Tindak Pidana Penyeludupan Yang dapat ditindak (dituntut) karena melakukan tindak pidana penyeludupan sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang No.7 Drt th. 1995) ialah: 10 I.
Seseorang yang melakukan tindak pidana ekonomi (misalnya melakukan tindak pidana penyeludupan). Contoh : Si A memasukkan barang-barang dari luar negeri tanpa dokumen pemasukan atau dengan dokumen palsu (melanggar pasal 26 b subs pasal 25 RO jo pasal 6 Undang-Undang No.7 drt. Jo ini perlu (dapat) juga ditambahkan/dikaitkan Undang-Undang No. 21 prp 1959 atau UndangUndang No.5 Pnps 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap 10
Prof. DR. H. Baharudin Lopa, SH. Tindak Pidana Ekonomi Pembahasan Tindak Pidana Penyeludupan. (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 174-184 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
27
tindak pidana ekonomi apabila tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan ekonomi atau dapat mengganggu program Pemerintah di bidang sandang pangan. II.
Bebarapa orang yang secara bersama-sama (turut serta) melakukan tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini mereka bersama-sama melakukan tindak pidana. Di sini disyaratkan bahwa semua pelaku telah melakukan perbuatan pelaksanaan atau melakukan elemen dari pariwisata pidana, walaupun masing-masing
peserta (medepleger,
deelnemer)
tidak
mengerjakan
keseluruhan elemen. Contoh : i).
A yang membuat dokumken palsu dan yang menyerahkan kepada pejabat Bea Cukai, sedangkan B dan C mengurus dan mendapatkan truck-truck untuk mengeluarkan bersama-sama barang-barang itu sehingga barang-barang itu lolos ke luar pelabuhan dibawa bersamasama oleh A, B, dan C. A, B, dan C di sini telah bersama melakukan penyeludupan sehingga antara satu terhadap yang lain secara timbal balik bertanggung jawab bagi perbuatan mereka bersama-sama (pasal 26 b subs RO jo pasal 3 dan pasal 6 Undang-Undang No.7 Drt th. 1995 jo. Undang-undang No. 21 Prp 1959 jo pasal 55 KUHP).
ii).
A membujuk B supaya pada malam hadi A dapat memasukkan barang-baranbg dari luar pabean ke daerah pabean secara tidak sah yaitu didaratkan ke pantai-pantai, jadi diseludupkan, dengan janji kalu berhasil, si B akan diberikan komisi Rp.1000,- per kilo yang
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
28
berisi tekstil. B berhasil melakukannya, maka ia di hukum karena dipersalahkan sebagi orang yang melakukan delik, tapi A juga dihukum sama seperti B karena telah melakukan pembujukan. Adakalanya terjadi bahwa si A membujuk si B, untuk melakukan penyeludupan, permupakatan sudah jadi, tapi kemudian si B tidak jadi melakukan delik, jadi pelanggaran tidak ada, maka baik si A maupun si B tidak dapat dihukum. Lain halnya pada mislukte uitlokking (pembujukan yang gagal) terhadap kejahatan ketertiban umum seperti di uraikan pasal 163 bis KUHP, maka khusus untuk itu, si pembujuk dapat dihukum. Sehubungan apa yang dibicarakan di atas, perlu dibandingkan putusan Pengadilan Tinggi Ekonomi Jakarta tanggal 18 juli 1959 No. 3/1959 yang diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 23 Januari 1962 No. 52 K/Kr/1960 atas kasus penyeludupan impor di Ambon (Maluku) dalam tahun 1958, yang telah menghukum para terdakwa karena terbukti kesalahannya, yaitu terhadap pedagang yang atas namanya barang-barang dimasukan dinyatakan telah mencoba dengan sengaja mengimpor barang-barang tanpa surat-surat yang diperlukan sedangkan nahkoda kapal yang mangangkut barang-barang tersebut dihukum karena kesalahannya sebagai turut melakukan kejahatan mencoba dengan sengaja mengimpor barang-barang tersebut dengan tanpa surat-surat yang diperlukan. Pada kasus ini, barang-barang yang diseludupkan itu sudah ditangkap, sebelum pengejuan PPUD-nya. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
29
iii). Adakalanya si otak penyeludup setelah barang-barang seludupan tiba di rumahnya/di tokonya diantar oleh orang-orang lain, pada waktu tertangkap ia berusaha mencuci tangan dengan mengatakan bahwa ia hanya membeli dari orang-orang tertentu. Maka dalam menghadapi kasus demikian, seandainya sulit di buktikan sebagai turut serta atau membantu dalam delik penyeludupan (pasal 26 b RO jo pasal 3, 4, dan pasal 6 Undang-Undang No.7 Drt tahun 1955 jo Undang-undang NO.21 Prp 1959 jo pasal 55 KUHP), namun setidak-tidaknya dapat dikenakan telah melanggar pasal 480 KUHP. (penadahan). Pada tindak pidana penyeludupan, umumnya tindak pidana ekonomi yang dibebankan juga pertanggung jawab kepada pimpinan suatu perusahaan melakukan delik itu. Seperti kesalahan, bawahan turut dipertanggungjawabkan oleh pimpinan karena misalnya pemimpin (direkturnya), mungkin karena kesibukannya sehingga lalai memberi petunjuk atau meneliti pekerjaan bawahannya sehingga terjadilah pelanggaran. Kesalahan pemimpin di sini ialah turut serta melakukan dengan kelalaian (pasal 26 b subs RO jo pasal 3 dan 6 UndangUndang No.7 Drt tahun 1955 jo. Undang-Undang No. 21 Prp. 1959 jo. Pasal 55 KUHP). Mengenai ini Dr. Soepraoto (hal. 48) memberikan contoh: “Seseorang pegawai dari suatu perusahaan impor milik suatu perseroan terbatas, karena kekhilafan dalam menggunakan bahan-bahan untuk menghitung harga suatu jenis barang telah mendapatkan angka yang lebih tinggi dari pada harga yang diperkenankan oleh Jawatan Harga, sedangkan manajer dari perusahaan itu karena Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
30
kesibukannya dan percayanya pada bawahannya, yang pada umumnya jarang membuat kesalahan, tidak mengecek perhitungan harga tersebut dan barangbarang yang bersangkutan segera ditawarkan dan dijual kepada khalayak ramai. Bagi manajer yang bersangkutan dapat dituntut sebagai turut serta melakukan delik karena kelalaian. Jadi jelaslah peranan badan tersebut ialah melakukan delik itu karena kelalaian, dari pada untuk menganggap badan itu telah melakukannya sendiri, karena menurut kenyataan memang bukan badan itulah yang melakukan perbuatan. Pertanggungan jawab bagi badan tersebut dianggap layak, karena ia berkuasa untuk mengangkat petugas-petugas yang tepat untuk masing-masing fungsi yang ada pada perusahaan dan begitu pula melaksanakan pengawasan baik langsung maupun tak langsung atas semua bidang pekerjaan dalam lingkungan badan tersebut. Bahwa turut dengan kelailaian melakukan pelanggaran termasuk pemberian bantuan atau percobaan untuk melakukannya seperti yang terurai dalam pasal 4 Undang-Undang No. 7 Drt 1955 adalah dibenarkan oleh logika karena betapapun kecilnya kesalahan (misalnya karena dilakukan dengan kelalaian) namun hal tersebut perlu diminta pertanggungan jawab satu dan lain akan berguna untuk mendorong berbuat lebih berhati-hati. Mengapa badan KUHP berkenaan dengan turut melakukan (medeplegen) tidak ditemukan bahwa pemberian bantuan pada pelanggaran dapat dihukum dan mengapa dalam delik khusus (delik ekonomi) dihukum, kiranya pertimbangan perlunya memantapkan kesejahteraan rakyat merupakan pula pertimbangan pokok, karena dengan banyaknya dilanggar delik ekonomi berarti dapatnya Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
31
mengganggu tujuan pemerintah dalam memantapkan kehidupan ekonomi rakyat menuju kesejahteraan rakyat. Adapun kelalaian seseorang dapat mengakibatkan pelanggaran, bagi orang yang bersangkutan telah kita ketahui dalam hal pelanggaran-pelanggaran
atau
kejahatan-kejahatan
dengan
kelalaian
(culpoze misdrijven), sehingga beberapa orang yang lalai dapat turut melakukan suatu pelanggaran. Bandingkan putusan yang pernah diambil oleh Read van Justitie Batavia (T. IV. 164), bahwa pertanggung jawaban pidana dari seseorang yang melakukan pemberitahuan salah atas barang-barang yang diimpornya, maka kecuali ia sendiri dihukum, juga pemimpinnya (direkturnya) dapat juga dilakukan tuntutan terhadapnya (De Nederlandsch’ Indische Rechtspraak en Rechtsliteratuur van 1908 to 1917, oleh Mr. J.H. Abendanon. Hal. 176).11 Selain itu perlu juga diperhatikan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Drt tahun 1955 yang menganggap bahwa perbuatan pidana, dalam hal ini termasuk yang melakukan dengan sengaja maupun dengan kelalaian, yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja lain bertindak dalam lingkungan suatu badan yang dimaksudkan itu, sebagai perbuatan yang dilakukan oleh badan itu sendiri. Sebelumnya pendiri di atas didukung oleh Hoog Gerechtshof, melalui putusannya yang pernah diambil dalam suatu kasus yang berhubungan pasal 28 RO, di mana telah ditetapkan bahwa seseorang yang berkedudukan selaku kuasa dari salah satu firma yang menyerahkan dokumen yang tidak benar isinya, maka kecuali orang yang dikuasakan itu dapat dihukum, juga Firma itu sendiri tidak lepas dari tututan. 12 11 12
Mr. J.H. Abendanon, hal.176 Ibid, hal.175
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
32
III. Seseorang yang memberikan bantuan pada atau untuk melakukan tindak pidana (pasal 26b RO jo pasal 4 dan 6 Undang-Undang No. 7 Drt 1955 jo pasal 56 KUHP). Contoh: A berdiri di pantai mengamat-amati petugas guna memberikan kode kepada B dan C kalau petugas-petugas sedang datang, untuk menjamin
amannya
pemuatan/pembongkaran
barang-barang
seludupan yang sedang dilakukan oleh B dan C, A di sini berstatus pembantu. Contoh lain, petugas-petugas Bea dan Cukai tinggal diam (tidak memeriksa)
barang-barang
yang
dimuat/dibongkar,
padahal
berdasarkan kewajibannya, seharusnya mereka periksa, di mana kemudian ternyata barang-barang yang dimuat/dibongkar itu tidak dilindungi dokumen-dokumen yang diperlukan. Maka petugas Bea dan Cukai yang bersikap tinggal diam itu, telah melakukan juga ”perbuatan
membantu”.
Apabila
ia
sendiri
misalnya
turut
memalsukan dokumen, maka ia bukan pembantu, tetapi turut serta. Selanjutnya dapat juga terjadi, si A (seseorang buruh pelabuhan) yang mengetahui betul situasi penjagaan di pelebuhan, tiba-tiba bertemu si B dan kepada si B diceritakanlah hari-hari tertentu di mana penjagaan di pelabuhan tidak ada, sehingga mudah melakukan penyeludupan-penyeludupan. Si B yang mula-mula tidak ada niat menyeludup, setelah memeperoleh keterangan dari si A sehingga ia melakukan penyeludupan-penyeludupan. Perbuatan si A sini, Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
33
bukanlah membantu, tetapi adalah pembujukan (pasal 55 KUHP). Jadi dalam hal ini walaupun si A, sesuai kedudukan sosialnya biasanya berperan sebagai pembantu, tetapi karena ia yang mulamula berinisiatif menceritakan yang bersifat mendorong kepada si A dapat menjadi bukan pembantu tetapi adalah membujuk (hukuman bagi pembujuk lebih berat dari pada pembantu). Perberian bantuan terhadap delik kejahatan maupun pelanggaran dalam tindak pidana ekonomi, dihukum. IV. Percobaan melakukan tindak pidana Mengenai persoalan ini, cukup kiranya apa yang telah diuaraikan di bagian muka. Salah satu perbedaan yang menonjol antara sisten KUHP dengan UndangUndang Tindak Pidana Ekonomi ini, ialah bahwa dalam KUHP pasal 54 dan 60 ditetapkan ”membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum”, sedangkan dalam Undang-Undang No.7 Drt tahun 1955 pasal 4 berbunyi ”jika dalam Undang-Undang Darurat ini tersebut tindak pidana ekonomi pada umunya atau tindak pidana pada khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan untuk menetapkan sebaliknya. Dan oleh karena dalam Rechten Ordonnantie tidak ada ketentuan yang menetapkan sebaliknya, maka berlakulah pasal 4 Undang-Undang NO. 7 Drt tahun 1955 tersebut. Dalam mempersoalkan siapa-siapa yang dapat ditentukan dalam peristiwa tindak pidana penyeludupan ini, perlu diperhatikan edaran Dirjen Bea Cukai tanggal 5 Januari 1972 No. KBT/SK/DDBT/72/4 sehubungan dengan berlakunya Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan dan Menteri
Perhubungan
Kep-425/MK/III/6/1971/
tanggal
9
Juni
1971
No
SK.168/M/1971 yang kami kutip isinya sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
34
Dalam Ordinansi Bea sehubungan pengematan hak-hak cq. pungutanpungutan Negara atas barang-barang impor pada dasarnya diletakkan kewajiban/tanggung jawab kepada: i). Pengangkut barang-barang tersebut dari luar daerah Pabean ke Pelabuhan tujuan dalam daerah Pabean; Tanggung jawab ini dibebankan kepada nahkoda kapal dan mulai berlaku sejak ia menerima barang-barang tersebut sebagai muatan kapal, tetapi baru mulai terkena dangan ketentuan dalam Ordonansi Bea setelah memasuki Perairan Wilayah Indonesia cq. daerah Pabean Indonesia. Dalam Surat Keputusan Bersama ini lebih dipertegas atau diatur lebih lanjut cara-cara nahkoda mempertanggungjawabkan muatanya dalam rangka pandapatan negara dimaksud, yakni dalam pasal 1 kewajiban untuk mencantumkan semua barang dagangan yang berada di kapalnya dalam menifest ruangan yang dicantumkan dalam Bill of Loading (konosemen) barang-barang bersangkutan. ii). Pemilik barang : Tanggung jawab mulai dibebankan kepanya segera setelah tanggung jawab nahkoda berakhir yakni dengan pembongkaran barang-barang bersangkutan di pelabuhan tujuan. Tanggung jawab terhadap barangbarang impor oleh pemiliknya, menjadi nyata dalam bentuk kewajiban pemberitahuan barang-barang bersangkutan kepada Bea dan Cukai dengan perbuatan invoerpas di mana diwajibkan memberitahukannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ordonensi Bea. Surat Keputusan Bersama termaksud menekankan pada pengaturan tentang kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab nahkoda, jadi sejak Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
35
kapalnya memasuki sampai pada penyerahan pemberitahuan umum dan pembongkaran barang-barang bersangkutan di pelabuhan tujuan. Dalam surat keputusan bersama ini diatur atau ditegaskan lebih lanjut bahwa jika pada pemeriksaan di laut atau di pelabuhan singgah ternyata ada barang-barang yang tidak dimasukkan dalam manifest, maka perbuatan ini dianggap sebagai usaha/percobaan penyeludupan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 26b Ordonansi Bea, demikian pun juga apabila ditemukan kekurangan atau kelebihan jumlah kilo pada pemberitahuan umum. Sekalipun dalam surat keputusan bersama bahwa nahkoda wajib juga memberitahukan jenis barang secara umum, sehingga jika pemeriksaan di laut/pelabuhan singgah ternyata bahwa isi muatan yang diberitahukan tidak sesuai, maka nahkoda tersebut bertanggung jawab pada jumlah, jenis merk dan nomor muatan. Tanggung jawab tentang jenis dan jumlah barang di dalam muatan dibebankan
kepada
pemilik
barang
yang
ia
berkewajiban
memberitahukan dalam invoerpas. Benar tidaknya pemberitahuan pada invoerpas bersangkutan, baru dapat diketahui pada waktu pemeriksaan barang di gudang-gudang di pelabuhan tujuan. Dalam
hal
ternyata
bahwa
isinya
tidak
sesuai
dengan
pemberitahuan dalam invoerpas dan mungkin juga tidak sesuai dengan manifes atau pemberitahuan umum maka nahkoda tetap tidak ditutut karena kesalahan ini, melainkan hanya pemiliknyalah yang dikenakan tuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi Bea, yakni ditutut karena pemberitahuan yang tidak benar. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
36
Dalam hal-hal pada pemeriksaan di laut/di pelabuhan singgah kedapatan isi kilo yang tidak sesuai dengan yang disebut pada manifest, maka wajib diambil tindakan-tindakan pengamatan di pelabuhan tujuan segera diberitahukan tentang hal itu. Kalau melihat petunjuk Dirjen Bea Cukai yang diberikan secara umum ini, diakui berguna untuk memudahkan dalam menetapkan secara cepat siapa-siapa yang akan dituntut dalam hubungan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas ketentuan-ketentuan dalam surat keputusan bersama yang disebut di atas. Asal saja penerapannya selalu disesuaikan dengan perbuatan-perbuatan yang terjadi secara konkrit, sehingga tidak selamanya selalu harus diadakan pemisahan tanggung jawab antara nahkoda dengan pemilik barang atau dengan pihak-pihak lain sebagaimana lazimnya terjadi. Karena lazim terjadi adanya kerja sama, maka tidaklah tepat kalau selamanya dapat dipisahkan pertanggung jawab antara nahkoda dengan pemilik barang. Sesungguhnya mulai dari pelanggaran AA, pemilik barang sudah dapat turut dimintai pertanggung jawab, misalnya kalau si pemilik barang sejak semula membujuk melebihkan dimuat(jumlah koli atau isi koli berbeda dengan yang diuraikan dalam manifest dan/atau AA). Bahkan dalam praktek sulit diyakini bahwa tidak mungkin pemilik barang tidak mengetahui adanya kelebihan-kelebihan atau menipulasi-manipulasi kecuali barang yang menjadi obyek manipulasi itu, bukan miliknya mengadakan manipulasimanipulasi tersebut. Andaikata misalnya dengan berpegangan pada pasal 25 Ib RO yang secara terbatas menguraikan bahwa hanya nahkoda dapat dipidana, atau hanya pemilik barang yang dapat dipidana pada pelanggaran pasal 25 IIc, begitupun sebaliknya Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
37
yaitu pemilik barang membujuk nahkoda agar membuat manifest atai AA yang salah? Maka dalam hal ini berdasarkan alasan yang kami kemukakan di atas, apabila terjadi demikian maka nahkoda dapat dikenakan juga tuduhan malanggar pasal 25 IIc yo pasal 55, 56 KUHP, demikian pula pemilik barang dapat dikenakan melanggar pasal 25 Ib yo pasal 55, 56 KUHP. Jadi pada keadaaan-keadaan demikian, masing-masing dapat menjadi medepleger yaitu pemilik sebagai medepleger dan nahkoda menjadi dader ex pasal 25 Ib RO; sedangkan yang lainnya nahkoda sebagai medepleger dan pemilik adalah dader ex pasal 25 IIc. (Perhatikan pula pasal 4 UU No.7 Drt 1955). Selanjutnya nahkoda dikategorikan sebagai turut serta melakukan percobaan penyeludupan (pasal 26b) berdasarkan Skep Bersama atau pasal 25 Ia, b dalam hal ini di luar ketentuan Skep Bersama tersebut, apabila telah membongkar keseluruhan (sebagai barang-barang) yang dimuat dalam kapal tanpa lebih dahulu menyerahkan dokumen AA atau AA-nya tidak cocok dengan barang yang dobongkar. Sedangkan apabila pemilik barang membiarkan (dikehendaki) terjadinya pembongkaran itu namun ia tidak mencegahnya, maka pemilik barang (importir) tersebut dapat dituduh bekerja sama dengan nahkoda (mungkin) sebagai uitlokker) atau bentuk-bentuk lain dalam penyertaan. Kemudian bagaimana kalau sejumlah barang-barang impor yang menjadi barang-barang bukti dari suatu delik pelanggaran AA dan Nahkodanya sudah selesai dikenakan hukuman, apakah dimungkinkan lagi terjadi delik lain atas pengimporan barang-barang tersebut tadi?.
1
P.T. Ekonomi Jakarta tanggal 16 Juni 1959 no.3
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
38
Menurut hemat penulis sewaktu-waktu dapat terjadi delik lain, misalnya kalau pada waktu mengajukan PPUD-nya terjadi lagi manipulasi yaitu PPUD tidak cocok dengan kenyataan barang yang diberitahukan. Sebab, adapun delik yang terjadi pertaman tadi adalah khusus pelanggaran atas AA-nya yang nahkoda kapallah yang mempertanggung jawabkan (pasal 25 Ib), sedangkan delik yang terjadi pada PPUD dipertanggungjawabkan oleh pemilik barangnya (pasal 25 IIc) dengan tidak mengensampingkan sewaktu-waktu adanya bentuk kerja sama atas terjadinya sesuatu delik sebagaimana yang kami uraikan di atas. Hanya saja dalam praktik umumnya barang-barang impor yang sudah diselesaikan secara hukum karena barang-barang impor yang sudah diselesaiakan secara hukum karena melanggar syarat-syarat AA, biasanya sudah sedikit kemungkinan terjadinya lagi delik pada waktu pengejuan PPUD-nya, karena pada waktu menyelesaikan pelanggaran
AA-nya
barang-barang
tersebut
telah
selesai
diperiksa
keseluruhannya sehingga petugas-petugas Bea Cukai dapat mengetahui dengan pasti perincian dan jenis barang-barang tersebut yang menyebabkan pula pemilik barang tidak akan berani lagi memanipulasikannya pada waktu pengajuan PPUD.
F. Metode Penelitian Menurut Soerjono Soekanto, bahwa didalam suatu penelitian ilmiah umumnya dikenalkan 3 (tiga) alat pengumpulan data, yaitu: 1. Studi dokumen/ bahan pustaka 2. Pengamatan/ Observasi 3. Wawancara/ interview Dalam rangka membahas masalah yang telah diuraikan demikian, maka penulis menggunakan 1 (satu) diantara 3 (tiga) metode tersebut diatas, untuk Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
39
menghimpun data yang menunjang dalam penulisan skripsi ini. Adapun metode yang penulis gunakan adalah: 1. Metode Penelitian Kepustakaan (Penelitian Normatif) Penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat pribadi dan publik melalui analisa bahan-bahan berupa: a. Bahan hukum primer yaitu Bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, diantaranya:
Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Undang-undang No. 17 tahuin 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabanan.
Undang-undang No. 11 tahun 1995 tentang Cukai.
Undang-undang No. 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 tahun 1995 tentang Cukai.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer. Dalam penelitian yang dibuat penulis, bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, media cetak, elektronik, dan artikelartikel yang mendukung skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk memberikan perincian secara garis besar tentang isi dari skripsi ini, sebagai upaya untuk
mempermudah
pemahaman
terhadap
penulisan
skripsi.
Dalam
penyusunannya skripsi ini akan dibagi menjadi 4 (empat) Bab dengan susunan sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
40
BAB I
: PENDAHULUAN Dalan bab I ini penulis menguraikan tentang latar belakang skripsi, perumusan masalah, tujuan dan mafaat penulisan, keaslian pemulisan, tinjauan kepustakaan yang meliputi (Pengertian Tindak Pidana Penyeludupan, Aneka Ragam Tindak Pidana Penyeludupan, Unsur-unsur Tindak Pidana Penyeludupan dan Subjek-subjek Dalam Tindak Pidana Penyeludupan), metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
: DASAR PERTIMBANGAN PERUBAHAN UU NO. 10 TAHUN 1995 MENJADI UU NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN Dalam bab II ini penulis menguraikan tentang jenis-jenis barang kepabeanan, sanksi pidana dan hal-hal baru yang diatur dalam undang-undang tersebut yang menjadi dasar pertimbangan perubahan undang-undang no. 10 tahun 1995 menjadi undang-undang
no.
17 tahun 2006
tentang
kepabeanan. BAB III
: PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDUPAN Dalam bab III ini penulis menguraikan tentang dua hal pokok yang menjadi dasar bentuk pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana penyeludupan yaitu: tentang kaitan antara tindak pidana penyeludupan dengan tindak pidana
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
41
ekonomi dan tentang batasan pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana penyeludupan. BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab terakhir ini merupakan kesimpulan dan saran yang dapat dikemukakan oleh penulis setelah mengadakan kajian tentang pertanggung jawaban pidana terhadap tindak pidana penyeludupan (studi komperasi uu no. 10 tahun 1995 dan uu no. 17 tahun 2006) berdasarkan literatur kepustakaan dan media cetak, elektronik serta artikel-artikel yang terkait terhadap pembahasan tersebut. Penulis jua menguraikan beberapa saran sebagai jawaban dari pokok permasalahan penulisan skripsi ini.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
42
BAB II DASAR PERTIMBANGAN PERUBAHAN UU NO. 10 TAHUN 1995 MENJADI UU NO. 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN
Dengan memperhatikan bentuk perundang-undangan yang ada dan kasuskasus penyeludupan yang terjadi, maka penyeludupan dapat terjadi dalam hal impor, ekspor dan inter-insuler, sedangkan terjadinya dapat melalui laut, udara, maupun darat, disamping itu dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan ternyata bahwa motif utama dari perbuatan penyeludupan adalah: A. Motif komersil dan ekonomis. B. Motif politis/ subversif. C. Motif komersil/ ekonomi dan poloitis/ subversif. Di satu pihak, maka penyeludupan tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan material yang semaksimal mungkin, apabila dengan adanya gejala resesi dewasa ini. Disamping mendapatkan keuntungan material yang sebesarbesarnya, maka penyeludupan mungkin juga dilakukan untuk mengacaukan sistem ekonomi negara dan masyarakat. Dengan demikian, maka tidak mustahil bahwa motif ekonomi dan politis berlangsung bersamaan. Sebagai akibat
terjadinya penyeludupan,
maka pendapatan
yang
seharusnya diterima negara, dimanfaatkan oleh golongan-golongan tertentu, secara pribadi. Disamping itu, maka proses industrialisasi terhambat oleh karena tidak kuat bersaing dengan hasil industri luar negeri yang diseludupkan. Dengan demikian, maka pasaran untuk berang-barang industri dalam negeri sangat dipersempit. Pengusaha-pengusaha bonafide menghadapi persaingan yang tidak seimbang dengan pengusaha-pengusaha yang curang. Masalah tersebut hanya Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
43
dapat diatasi, apabila ada perbaikan di bidang perundang-undangan, mentalitas penegak hukum, fasilitas maupun kesadaran warga masyarakat sendiri.
A. Tentang Jenis–jenis Barang Kepabeanan 1. Penyeludupan impor/ ekspor malului laut: 1 a. Memasukan atau mengeluarkan barang-barang yang sama sekali tidak memakai dokumen. Biasanya perbuatan demikian dilakukan dengan tidak maluai instansi resmi dan pelabuhan resmi tetapi dilakukan di pantai-pantai (sungai-sungai) tertentu dan sering-sering dilakukan pada wartu malam hari. b. Pemasukan dan pengeluaran barang-barang tidak melalui instansiinstansi resmi tetapi malului pelabuhan resmi, dengan tidak memakai dokumen-dokumen, atau memakai dokumen-dokumen tetapi dokumen-dokumen tidak sempurna. Biasanya perbuatan demikian dilakukan oleh atau dengan bantuan oknum-oknum tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung menyalah-gunakan kekuasaan yang ada padanya, tidak mengindahkan petunjuk-petunjuk petugas Douane dipelabuhan yang akan memeriksa barang-barang yang dibawanya. Petugas-petugas Douane biasanya berusaha untuk memeriksa, tetapi tidak diindahkan oleh oknum-oknum yang bersangkutan. c. Pemasukan atau pengeluaran barang-barang melaui instansi-instansi resmi dan pelabuhan-pelabuhan resmi dengan memakai dokumendokumen yang diperlukan, tetapi seluruhnya atau sebagainya yang tercatat dalam dokumen-dokumen itu, tidak sesuai dengan kenyataan barang atau harga barang. Pada kasus ini terjadi manipulasi kuantitas, misalnya dalam dokumen tercatat 100 kilo, kenyataan barang 150 kilo atau manipulasi kualitas yaitu dokumen tercatat kain-kain poplin kasar tetapi kenyataan barang adalah kain-kain wool. Adakalanya juga tercatat dalam dokumen PU (AA) atau invoerpas adalah obat-obat nyamuk tapi kenyataan barang adalah gelas-gelas lux yang mahal-mahal. Dan seperti pernah disnyalir di pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia (Jakarta, Medan, Surabaya, dan lain-lain) telah sering-sering diseludupkan juga obat-obat bius dan barang-barang berbahaya lainnya, padahal dalam dokumendokumennya tercatat roti atau gula-gula.
1
Baharuddin Lopa, Tindak Pidana Ekonomi Pembahasan Tindak Pidana Penyeludupan, Cet II (Jakarta: Pradnya Paramita,1973), hal 93-94 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
44
d. Pemasukan dan pengeluaran barang-barang maluai instansi resmi dan pelabuhan resmi dan dokumen-dokumennya pun ada, malahan cocok dengan kenyataan barang, tapi dahulu melakukan overship di lautan. Kasus demikian ini sudah sangat sering juga terjadi dan pengusutannya sangat rumit, karena pada waktu pengecekan barangbarang di pelabuhan, biasanya kenyataannya barang cocok dengan dokumen. Bahkan ada kalanya jumlah barang yang dibongkar lebih sedikit daripada yangh tercatat dalam dokomen karena sebagiannya telah dipindahkan ke kapal/ ke perahu lain di lautan.2 e. Pemasukan yang memakai dokumen-dokumen yang seolah-olah sempurna (nampaknya sempurna) tapi sesunggunya palsu semua, karena dokumken pertama yang dijadikan dasar membuat dokumendokumen pemasukannya, adalah palsu. Kasus penyeludpan ini melalui juga pelabuhan-pelabuhan dan instansi-isntansi resmi.3
2. Penyeludupan impor/ ekspor melalui darat (asalnya barang impor atau akan diekspor) Barang-barang yang sudah selesai dimasukan ke peredaran bebas kemudian di dalam peredaran bebas, misalnya sudah berada di gudang-gudang, di toko-toko atau sementara diangkut dari satu tempat lain, setelah diperiksa, ternyata dokumen yang melindunginya yaitu Invoerpasnya tidak sesuai dengan jumlah, kualitas atau harga barang yang dilindunginya. Perlu diingat barang-barang yang sudah dalam peredaran bebas dokumen invoerpasnyalah yang terutama menjadi sasaran pemeriksaan. Apabila ditemukan barang-barang impor
tapi
tak
dapat
dibuktikan
melindunginya, maka terhadap
adanya
invoerpas
yang
barang-barang itu dapat diusut
karena kemungkinan adalah barang-barang seludupan. Ditekankan ”dapat diusut ” bukan ” harus diusut ”, karena petugas - petugas
2
Ibid, hal 99-100
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
45
pengusut perlu berhati-hati jangan sampai pihai pihak ketiga (orang banyak) dirugikan akibat pengusutan itu.Seperti misalnya kalau barang -barang itu sudah beberapa kali berpindah tangan karena sudah diperjual-belikan di pasar umum, maka dalam menghadapi keadaan yang demikian benar-benar perlu dilakukan penelitian dengan seksama apakah barang-barang perlu dilakukan penelitian dengan seksama apakah barang-barang yang diduga hasil seludupan masih dapat dipisahkan dari barang-barang umum lainya yang sudah bercampur baur dan sama jenisnya. 3 3. Penyeludupan impor/ekspor melaui udara Pada peristiwa ini, penyeludupan ditemukan di pelabuhanpelabuhan udara seperti seorang yang mau berangkat dengan pesawat udara dengan membawa barang-barang dagangan tanpa dilindingi dokumen-dokumen pabean. Misalnya penyeludupan emas yang pernah terjadi di Pelabuhan Udara Kemayoran sebagai mana telah kami singgung di bagian muka. Dengan uraian-uraian di atas dapatlah kami simpulkan bahwa dengan berlakunya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan tersebut maka penyeludupan impor setidaktidaknya percobaan penyeludupan impor sudah terjadi, apabila syarat-syarat
douane
formaliteiten
telah
dilanggar
dalam
pengimporan barang-barang itu, dan barang-barang yang diangkut di
3
Ibid, hal 104-105
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
46
luar negeri itu telah melewati masuk periaran 12 mil. Dapat saja pelanggaran terjadi, ialah kesalahan menifest (dokumen yang melindungi
barang - barang
sedang
diangkut), atau AA
(dukumen pada saat tibanya kapal dan pembongkaran) atau kesalahan PPUD (invoerpas), dokumen untuk memasukan barang-barang itu keperairan bebas. Apabila sudah sampai pada taraf pengejuan PPUD berarti syarat-syarat yang mendahuluinya telah diselesaikan. Dalam hal ini sering terjadi kelailaian para petugas atau sebagai hasil kerjasama diam-diam antara petugaspetugas dengan para penyeludup, barang-barang dimasukan dalam peredaran bebas dengan dilindungi PPUD yang dipalsukan (seperti kasus pemasukan mobil-mobil mewah). Hal-hal demikian inilah yang sering-sering terjadi, sehingga ada alasan untuk sewaktu-waktu para petugas mengadakan razia guna mengecek barang-barang impor yang sudah ada di peredaran bebas itu. Menyinggung lebih lanjut mengenai razia ini, perlu diperhatikan hendaknya tidak semaumaunya diadakan, kalau tidak benar-benar lebih dahulu ada petunjuk kuat bahwa dalam peredaran sudah banyak barang-barang seludupan yang disampan/ditimbun. Kerena terlalu sering mengadakan razia, lebih-legih kalu fakta-fakta terjadinya penyeludupan tak dapat dibuktikan, maka dapat saja menggoncangkan masyarakat pedagang yang justru keadaan ini perlu dihindari agar flow of goods selalu dapat dijamin kelancarannya.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
47
Lebih lanjut menguraikan tentang terjadinya penyeludupan maka penyeludupan ekspor atau percobaan penyeludupan ekspor telah terjadi, apabila penyerehan dokumen-dokumen pabean telah diserahkan kepada Bea Cukai untuk siperiksa guna pemuatannya ke kapal dan pada saat itu telah terdapat pelanggaran misalnya didapati selisih jumlah, kwalitas atau harga antara yang dicatat dalam dokumen dengan kenyataan barang-barang yang akan diekpor. Perlu dijelaskan bahwa kini penyeludupan ekspor tidak begitu banyak lagi terjadi. Berlainan pada waktu Deviezen Ordonnantie masih berlaku, penyeludupan ekspor ramai dilakukan orang, satu dan lain bertujuan mendapatkan devisa gelap di luar negeri. Kemudian bagaiman pelanggaran di bidang interinsular ? Pelanggaran-pelanggaran di bidang interinsular telah terjadi, apabila kapal-kapal atau perahu-perahu yang mengangkut barangbarang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain dalam wilayah Indonesia (dalam daerah Pebean) tidak memenuhi formalitas pebean yang ditentukan dalam RO khususnya pada Reglemen B. Pada pelanggaran interinsular ini timbul karaguan apakah tepat dinamakan telah terjadi penyeludupan seperti halnya pada impor dan ekspor, dengan alasan, sesungguhnya pada intersular tidaklah terjadi invoer, tapi yang terjadi hanyalah vervoer antar pulau atau antar pelabuhan dalam daerah pabean sendiri.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
48
Perlu juga diperhatikan atas beberapa jenis barang-barang tertentu ekspor yang di antar pulaukan, maka atas barang-barang itu masih tetap dibebankan kewajiban membayar bea-bea masuk dan lain-lain, apabila ternyata pada pengimporannya semula belum dibayar bea-bea masuk dan pungutan-pungutan lainnya dan jenis barang-barang itu ialah sebagai berikut: a. Tekstil segalah jenis. b. Susu dalam kaleng. c. Vetsin dan sejenis itu. d. Gula-gula (suiker werk). e. Makanan/minuman dalam kaleng, botol dan sebaginya. f. Gelas minum dari gelas. g. Sabun mandi. h. Batu baterai segala jenis/ukuran. i. Tapal Gigi (tanpasta). Perlu juga diperhatikan Pengawasan
yang
kalau
adanya Barang-barang Dalam akan
diantar-pulaukan,
diharuskan
mamakai Surat Izin Pengangkutan Antar Pulau (SIPAP). Ke 6 (enam) macam barang tersebut ialah: 1. karet (kecuali barang-barang jadi dari karet) 2. kopra 3. kopi biji 4. lada 5. tembakau lembaran 6. timah.4
4
Ibid, hal.112,113,119,121,122,123
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
49
B. Tentang Sanksi Pidana Menurut ketentuan dalam Pasal 5 UUTPE, sanksi Tindak Pidana Penyeludupan mangikuti sanksi yang berlaku bagi Tindak Pidana Ekonomi. Sehingga dengan demikian, sejak dimasukkannya Ordonansi Bea ke dalam UUTPE melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1958, maka detik yang terkandung di dalam ordonansi Bea tersebut berubah sifat, dari peraturan perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana menjadi paraturan perundang-undangan pidana. Setelah Tindak Pidana Penyeludupan menjadi Tindak Pidana Ekonomi, maka sanksinyapun menjadi lebih Ordonansi Bea sendiri. Yaitu yang tadinya pidana selama-lamanya 2 tahun atau dengan denda setinggitingginya aepuluh ribu rupiah, sesudah menjadi undang-undang tindak pidana ekonomi manjadi pidana selama 6 tahun dan denda 30 X 1 juta rupiah = 30 juta rupiah. Adapun sanksi pidana ekonomi tersebut dimuat dalam Bab II UUTPE, yaitu berupa Hukuman Pidana dan Tindakan Tata Tertib. Sedangkan tindakan tata tertib sendiri dapat bersifat tetap (berdasarkan putusan hakim) dan dapat bersifat sementara, yang dikanakan pada waktu pemeriksaan pendahuluan (sebelum pemeriksaan di muka pengedilan dimulai) oleh jaksa maupun hakim. Terhadap hukuman pidana tindak pidana ekonomi sama dengan yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP, hanya saja di dalam UUTPE terdapat lebih banyak tambahan dibandingkan dengan yang tercantum di dalam KUHP. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
50
Seperti diketahui, di dalam Pasal 10 KUHP disebutkan macam-macam pidana, yaitu: a. Pidana Pokok; 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan. b. Pidana Tambahan: 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 2. Pencabutan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman keputusan hakim. Di samping tindak pidana tambahan sebagaimana disebutkan di atas, UUTPE manganal pula pidana tambahan sebagai tercantum dalam Pasal 7 UUTPE, yaitu: (1) a. Pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 KUHP untuk waktu sekurang-kurangnya 6 bulan dan selam-lamanya 6 tahun. b. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si pidana di mana tindak pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selamalamanya 1 tahun. c. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak terwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tidak pidana ekonomi itu, baitu pula harga lawan barang-barang itu, tak peduli apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan. Dalam hal ini, perampasan dalam tidak pidana ekonomi di sini lebih luas daripada yang tercantum dalam Pasal 10 sampai 19 KUHP. d. Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan si terhukum, di mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga lawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak peduli apakah barang-barang atau harga barang-barang itu kepunyaan si terhukum atau bukan, akan tetapi hanya sekedar barang-barang itu sejenis, dan tindak pidannya bersangkutan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
51
dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas. e. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh Pemerintah berhubungan dengan perusahaannya, untuk waktu selamalamanya dua tahun. f. Pengumuman Putusan Hakim. Dalam hal pengumuman putusan hakim ini tidak terdapat penyimpangan/perbedaan seperti yang ditentukan dalam KUHP. Atau dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam KUHP sama dengan ketentuan dalam UUTPE.
(2) Perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si terhukum tidak dijatuhkan, sekedar hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. (3) Dalam hal perampasan barang-barang, maka Hakim dapat memerintahkan, bahwa hasil seluruhnya atau sebagian akan diberikan kepada si terhukum. Terhadap perluasan pidana tambahan berupa perampasan barang, Pasal 7 ayat (2) UUTPE mengadakan pembatasan, yaitu bahwa perampasan barang-barang yang bukan kepunyaan si terpidana tidak dijatuhkan, sepanjang hak-hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Umpanya terhadap mereka yang telah membeli barang asal seludupan di pasaran bebas dengan itikad baik, yang sama sekali tidak menggangu bahwa barang yang telah dibelinya tersebut berasal dari seludupan. Sebagaimanadikemukakan sebelumnya, bahwa pidana pokok di dalam UUTPE sama jenisnya dengan pidana pokok yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Bedanya bukanlah pada jenis pidana pokoknya, malainkan pada penjatuhan pidana. Yaitu secara kumulatif, artinya hanya salah satu saja di antara pidana pokok itu yang dapat dijatuhkan, misalnya apabila Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
52
telah dijatuhkan pidana penjara, tidak dimungkinkan lagi untuk menjatuhkan pidana penjara atau kurungan (kumulatif) dengan pidana denda (Pasal 6 ayat (1) UUTPE). Ketentuan dimngkinkannya kumulasi pidana penjara atau kurungan dengan pidana denda tersebut secara diamdiam telah diubah oleh undang-undang (prp) Nomor 21 Tahun 1959 menjadi imperatif sebagaimana yang dimuat di dalam Pasal 1 ayat (1) nya. Sehingga dengan adanya ketentuan ini, bikan saja dimungkinkan, tetapi diharuskan
pidana penjara atau kurungan dijatuhkan bersama-sama
dengan pidana denda.5
C. Tentang Hal-hal Yang Baru Yang Diatur Dalam UU No. 17 Tahun 2006 Beberapa ketentuan yang terdapat dalam UU no. 10 tahun 1995 tentang
kepabeanan sudah tidak
sesuai dengan penyelenggaraan
kepabeanandan sebagai upaya untuk lebih menjamin kepastian hukm keadilan transparansi dan akuntabilitas pelayanan publik, menjdai faktor yang diangga penulis penting dalam perubahan UU no.10 tahun 1995 menjadi UU no. 17 tahun 2006 tentang kepabeanan. Dimana perubahan tersebut terdeskripsi dengan adanya ketentuan-ketentuan baru dalam UU no. 17 tahun 2006 yang tidak terdapat dalam UU no. 10 tahun 1995. Sebagai berikut: 6 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dan angka 17 diubah dan ditambah 4 (empat) angka yaitu angka 15a; angka 19; angka 20, dan angka 21, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: 5
Soufnir Chibro, Pengaruh Tindak Pidana Penyelundupan Terhadap pembangunan, (Jakarta, Sinar Grafika,1992),hal.15-18 6 Undang-undang Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, Terlampir, hal.181-247. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
53
Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan : 1. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar. 2. Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliput i wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempattempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang ini. 3. Kawasan pabean adalah kawasan dengan batasan-batasan tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Dierektorat Jenderal Bea dan Cukai. 4. Kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kawajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 5. Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor. 6. Kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan uang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undangundang ini. 7. Pemberitahuan pabeanan adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. 8. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 9. Direktorat jenderal adalahh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 10. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai. 11. Pejabat bea dan cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-undang ini. 12. Orang adalah orang perorangan atau badan hukum. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
54
13. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam pabean. 14. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. 15. Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. 16. tempat penimbunan sementara adalah bengunan dan/ atau lapangan atau tempat lain yang dimasukan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. 17. Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. 18. Tempat penimbunan pabean adalah bengunan dan/ atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu, yang disediakan oleh pemerintah di kantor pebean, yang berada di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk menyimpan barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik Negara berdasarkan Undang_undang ini. 19. Barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengengkutannya di dalam daerah pabean diawasi. 20. Audit kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kagiatan di bidang kepabeanan, dan/ atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. 21. Tarif adalah klasifikasi barang dan pembebanan bea dan masuk atau bea keluar. 2. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
55
(2) Barang yang telah dimuat di sarana pengengkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang akspor. (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean.
2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 pasal yaitu Pasal 2A yang berbunyi sebagai beikut: (1) Terdapat barang ekspor dapat dikenakan bea keluar. (2) Bea keluar dikenakan terhadap barang ekspor dengan tujuan untuk: a. menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; b. melindungi kenaikan sumber daya alam; c. mengentisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau d. menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. (3) Ketentuan mengenai pengenaan bea keluar terhadap barang ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan paraturan pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pebean. (2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. (3) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) dilakukan secara selektif. (4) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 5. Pasal 4 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 4 sehingga penjelasan Pasal 4 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelaskan pasal demi pasal Undang-Undang ini. 6. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
56
Pasal 4A (1) Terhadap barang tertentu dilakukan pangawasan pengangkutannya dalam daerah pabean. (2) Instansi teknis terkait, melalui menteri yang mambidangi perdagangan, memberitahukan jenis barang yang ditetapkan sebagai barang tertentu kepada Menteri. (3) Ketentuan mengenai pengawasan pengangkutan barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan menggunakan pemberitahuan pabean. (2) Pemberiyahuan pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai dikantorkan atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean. (3) Untuk pelaksanaan dan pengawasan pemenuhan kewajiban pabean, diterapkan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean. (4) Penetapan kawasan pabean, kantor pabean, dan pos pengawasan pabean dilakukan oleh Menteri. 8. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 5A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A (1) Pemberitahuan oabean sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 ayat (2) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik. (2) Penetapan kantor pabean tempat penyam[aian pemberitahuan pabean dalam bentuk data elektronik dilakukan oleh Menteri. (3) Data elektronik sebagaimana dimaksudkan pada ayat merupakan alat bukti yang sah menuntut Undang-Undang ini.
(1)
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
57
(4) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 9. Ketentuan Pasal 6 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Terhadap barang yang diimpor atau diekspor berlaku segala ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Dalam hal pengawasan pengangkutan barang tertentu tidak diatur oleh instansi teknis terkait, pengaturannya didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini. 10. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1(satu) pasal yaitu Pasal 6A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A (1) Orang yang akan melakukan pemenuhan kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapatkan nomor indentitas dalam rangka akses kepabeanan. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) orang yang melakukan pemenuhan kewajiban pabean tertentu. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 11. Judul BAB II diubah sehingga BAB II berbunyi sebagai berikut: BAB II PENGANGKUTAN BARANG, IMPOR, DAN EKSPOR 12. Judul BAB II Bagian Pertama diubah sehingga BAB II Bagian Pertaman berbunyi sebagai berikut: Bagian Pertama Pengangkutan Barang 13. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 diubah sehingga BAB II Bagian Pertama Paragraf 1 berbunyi sebagi berikut: Paragraf 1 Kedatangan Sarana Pengangkutan 14. Pasal 7 dihapus. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
58
15. Di antara Pasal 7 dan BAB II bagian Pertama Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal yaitu Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A (1) Pengangkutan yang sarana pangangkutannya akan datang dari: a. luar daerah pabean; atau b. dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/ atau barang asal daerah pabean yang diangkut ket tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib memberiktahukan rencana kedatangan sarana pengangkutan ke kantor pabean tujuan sebelum kedatangan sarana pangangkutan, kecuali sarana pangangkutan darat. (2) Pengangkutan yang sarana pengangkutannya memasuki daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang sarana pengangkutanya datang dari luar daerah pabean atau datang dari dalam daerah pabean dengan mengangkut barang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) wajib menyerahkan pemberitahuan mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran. (4) Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan: a. paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkutan yang melalui laut; b. paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui udara; atau c. pada sat kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui darat. (5) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang. (6) Dalam hal sarana pengangkutan dalam keadaan darurat, pengangkutan dapat membongkar barang impor terlebih dahulu dan wajib: a. melaporkan keadaan darurat terlebih ke kantor pabean terdekat pada kesmpatan pertama; dan b. menyerahkan pemeberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
59
(7) Pengangkutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 5.000.000.00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (8) Pengangkutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud padal ayat (3), ayat (4), atau ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 16. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 2 diubah sehingga BAB II Bagian Paragraf 2 berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2 Pengangkutan Barang 17. Pasal 8 dihapus. 18. Di antara Pasal 8 BAB II Bagian PertamaParagraf 3 disisipkan 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 8A, Pasal 8B, dan Pasal 8C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A (1) Pengangkutan barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat dengan tujuan tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat lainnya wajib diberitahukan ke kantor pabean. (2) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahukan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (3) Pengusaha atau importir yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
60
administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkut barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Pasal 8B (1) Pengangkutan tenaga listrik, barang cair, atau gas untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi atau saluran pipa yang jumlah dan jenis barangnya didasarkan pada hasil pengukuran di tempat pengukuran terakhir dalam daerah pabean. (2) Pengiriman peranti lunak dan/ atau data elektronik untuk impor atau ekspor dapat dilakukan melalui transmisi elektronik. (3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan paraturan menteri. Pasal 8C (1) barang tertentu wajib diberitahukan oleh pengangkutan baik pada waktu keberangkatan maupun kedatangan di kantor pabean yang ditetapkan. (2) Barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilindungi dokumen yang sah dalam pengangkutannya. (3) Pengangkut yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlahnya kurang atau lebih dari yang diberitahukan dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuanny, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administrasi beruoa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). 19. Judul BAB II Bagian Pertama Paragraf 3 dibuah sehingga BAB II Bagian Paragraf 3 berbunyi sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
61
Paragraf 3 Keberangkatan Sarana Pengangkut 20. Pasal 9 dihapus. 21. Di antara Pasal 9 dan BAB II Bagian kedua disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A (1) Pengangkutan yang sarana pengangkutannya akan berangkat menuju: a. ke luar daerah pabean; b. ke dalam daerah pabean yang mengangkut barang impor, barang ekspor, dan/ atau barang asal daerah pabean yang diangkut ke tempat lain dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan pabean atas barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan sarana pengangkut. (2) Pengangkutan yang sarana pengangkutannya menuju ke luar daerah pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya. (3) Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 22. Judul BAB II Bagian Kedua diubah sehingga BAB II Bagian Kedua berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua Impor 23. Pasal 10 dihapus. 24. BAB II Bagian Kedua ditambah 3 (tiga) paragraf, yaitu Paragraf 1, Paragraf 2, dan Paragraf 3 yang berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Pembongkaran, Penimbunan, dan Pengeluaran Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
62
Pasal 10A (1) Barang impor yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setalah mendapat izin kepala kantor pabean. (2) Barang impor diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (1) dapat dibongkar ke sarana pengangkut lainnya di laut dan barang tersebut wajib dibawa ke kantor pabean melalui jalur yang di tetapkan. (3) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kamampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). (4) Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang impor yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (5) Barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara. (6) Dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara. (7) Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk: a. b. c. d.
diimpor untuk dipakai; diimpor sementara; ditimbun di tempat penimbunan berikat; diangkat ke tempat penimbunan sementara di kawasan pabean lainnya; e. diangkut terus atau diangkut lanjut; atau f. diekspor kembali. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
63
(8) Orang yang mngeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Paragraf 2 Impor Untuk Dipakai Pasal 10B (1) Impor untuk dipaki adalah: a. memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai; atau b. memasukkan barang ke dalam daerah pabean untuk dimiliki atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia. (2) Barang impor dapat dikeluarjkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah: a. diserahkan pemberitahuan pebean dan dilunasi bea masuknya; b. diserahkan pemberitahuan pabean dan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42; atau c. diserahkan dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
dan
jaminan
(3) Barang impor yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas ke dalam daerah pabean pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai. (4) Barang impor yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. (6) Orang yang tidak melunasi bea masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b atau huruf c dalam Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
64
jangka waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 10 % (sepuluh persen) dari bea masuk yang wajib dilunasi. Pasal 10C (1) Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan data pemberitahuan pabean yang telah diserahkan sepanjang kesalahan tersebut terjadi karena kekhilafan yang nyata. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak apabila: a. barang telah dikeluarkan dari kawasan pabean; b. kesalahan tersebut merupakan temuan pejabat bea dan cukai; atau c. telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Paragraf 3 Impor Sementara Pasal 10D (1) Barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor sementara jika pada waktu importasinya benar-benar dimaksudkan untuk diekspor kembali paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Barang impor sementara sampai saat diekspor kembali berada dalam pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (3) Barang impor sementara dapat diberikan pembebasan atau kekeringan bea masuk. (4) Barang impor sementara yang diberikan keringan bea masuk, setiap bulan dikenai bea masuk paling tinggi sebesar 5 % (lima persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (5) Orang yang terlambat mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan wajib dikenai sanksi 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (6) Orang yang tidak mengeskpor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yng diizinkan wajib membayar bea masuk dan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
65
dikenai sanksi administrasi berupa denda 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 25. Judul BAB II Bagian Ketiga diubah sehingga BAB II Bagian Ketiga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Ekspor 26. Pasal 11 dihapus. 27. Di antara Pasal 11 dan BAB III disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A (1) Barang yang akan diekspor pemberitahuan pabean.
wajib
diberitahukan
dengan
(2) Pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/ atau jumlah tertentu. (3) Pemuatan barang ekspor dilakukan di kawasan pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di tempat lain dengan izin kepala kantor pabean. (4) Barang yang telah diberitahukan untuk diekspor, sementara menunggu permuatannya, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara atau tempat lain dengan izin kepala pabean. (5) Barang yang telah diberityahukan untuk diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika diekspornya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai. (6) Eksportir yang tidak melapor pembatalan espor sebagaiman dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). (7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 28. Ketentuan Pasal 13 diubah sehinga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
66
Pasal 13 (1) Bea masuk dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, peliintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. (2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 30. Ketentuan Pasal 15 ayat (2), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diubah, dan di antara ayat (3) dan ayat (4) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3a) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Nilai pabean untuk menghitung bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. (2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasrkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dari barang identik. (3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa. (3a)Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4). (4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
67
(5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi. (6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) beradasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasab tertentu. (7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 31. Ketentuan Pasak 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sabagai berikut: Pasal 16 (1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk menghitung bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. (3) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/ atau ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan. (4) Importir yang salah memberitahukan nilai pabean sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikanai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 1000 % (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
68
(5) Dalam hal penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/ atau ayat (2) mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk, pengembalian bea/ masuk dibayar sebesar kelebihannya. (6) Ketentuan mengenai penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 32. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Direktorat Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai abean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. (2) Dalam hal penetapan sebagimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Direktur Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada importir untuk: a. melunasi bea masuk yang kurang dibayar; atau b. mendapatkan pengembalian bea masuk yahg lebih dibayar. (3) Bea masuk yang kurang dibayar atau pengembalian bea masuk yang lebih dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayar sesuai dengan penetapan kembali. (4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi paling sedikit 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000 % (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. 33. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A Berdasarkan permohonan, Direktur Jenderal dapat menetapkan klasifikasi barang dan nilai pabean atas barang impor sebagi dasar penghitungan bea masuk sebelum diajukan pemberitahuan pabean. 34. Judul BAB IV diubah sehingga BAB IV berbunyi sebagai berikut: BAB IV BEA MASUK ANTI DUMPING, BEA MASUK IMBALAN, Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
69
BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN, DAN BEA MASUK PEMBALASAN 35. Pasal 20 dihapus. 36. Pasal 23 dihapus. 37. BAB IV ditambahkan 3 (tiga) bagian, yaitu Bagian Ketiga, Bagian Keempat, dan Bagian Kelima yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Bea Masuk Tindakan Pengamanan Pasal 23A Bea masuk tindakan pengamana dapat dikenakan terhadap barang impor dalam hal terdapat lonjakan barang impor baik secara absolut mauupun relative terhadap barang produksi dalam negeri yang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing, dan lonjakan barang impor tersebut: a. menyebabkan kerigian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersbut dan/ atau barang yang secara langsung bersaing; atau b. mengancam terjadinya kerugian serius terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dan/ atau barang yang secara langsung bersaing. Pasal 23 B (1) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 A paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. (2) Bea masuk tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Bagian Kelima Pengaturan dan Penetapan Pasal 23D (1) Ketentuan menganai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
70
pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (2) Besar tarif bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. 38. Ketentuan Pasal 25 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (30, dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 (1) Pembesan bea masuk diberikan atas impor: a. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; b. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; c. buku ilmu pengetahuan; d. barang kiriman hadiah/ hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam; e. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam; f. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; g. barang untuk keperluan penyandang cacat lainnya;
khusus
kaum
tunanetra
dan
h. persenjataan, amunisi, perlangkapan militer, dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperlukan bagi keperluan pertahanan keamanan negara; i.
Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan partahanan dan keaman negara;
j.
Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
k. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; l.
Barang pindahan;
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
71
m. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman samai batas nilai pabean dan/ atau jumlah tertentu; n. Obat-obatan yang dimpor dangan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat; o. Barang yang telah diekpor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan, dan pengujian; p. Barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama dengan kualitas pada saat di ekspor; q. Bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan. (2) Dihapus (3) Ketentuan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ii wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa debda sebesar paling sedikit 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500 % (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 39. Ketentuan Pasal 26 ayat (2) dihapus dan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor: a. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal; b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri; c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu;
dan
d. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
72
e.
bibit dan benih untuk pengembangan dan pengembangan industri pertanian, peternakan, atau perikanan;
f. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkapan yang telah mendapat izin; g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk pakai; h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; i.
barang untuk keperluan olahraga yang dimpor oleh induk organisasi olahraga nasional;
j.
barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan penjaman dan/ atau hibah dari luar negeri;
k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengn tujuan untuk diekspor. (2) Dihapus (3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringana bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar administrasi berupa denda sebesar paling sidikit 100 % (seratus persen) dan bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500 % (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 40. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pengembalian dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas: a. kelebihan pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5), Pasal 17 ayat (3), atau karena kesalahan tata usaha;
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
73
b. impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26; c. impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai; d. inpor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil dari pada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau e. kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pangadilan Pajak (2) ketentuan tentang pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 41. Ketentuan Pasal 30 diubah dengan menambah 2 (dua) ayat, yaitu ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Importir bertanggung jawab atas bea masuk yang teritung sejak tanggal pemberitahuan pabean atas impor. (2) Bea masuk yang seharusnya dibayar sebagimana dimaksud pasa ayat (1) dihitung berdasarkan tarif yang berlaku pada tanggal pemberitahuan pabean atas impor dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. (3) Bea masuk harus dibayar dalam mata uang rupiah. (4) Ketentuan menganai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk perhitungan dan pembayaran bea masuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 42. Ketentuan Pasal 32 ayat (3) diubah dan ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (4) sehingga Pasal 321 berbunyi sebagai berikut; Pasal 32 (1) Pengusaha tempat penimbuna sementara bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang atas barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementara. (2) Pengusaha tempat penimbunan sementara dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di tempat penimbunan sementaranya; Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
74
a. musnah tanpa sengaja; b. telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara; atau c. telah dipindahkan ke tempat penimbunan sementara lain, tempat penimbunan berikat atau tempat penimbunan pabean. (3) Perhitunga bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat didasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, didasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada sat barang tersebut ditimbun di tempat penimbunan sementara dan nilai pabean ditetapkan oleh pejabat bea dan cukai. (4) Ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) termasuk tata cara penagihan diatur lebih lanjut dengan atau berdasrkan peraturan menteri. 43. Judul BAB VII diubah sehingga BAB VII berbunyi sebagai berikut: BAB VII PEMBAYARAN, PENAGIHAN UTANG, DAN JAMINAN 44. Judul BAB VII Bagian Pertama diubah sehingga BAB VII Bagian Pertama berbunyi sebagai berikut: Bagian Pertama Pembayaran 45. Ketentuan Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada Negara menurut Undang-Undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri. (2) Bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. (3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran, penerimaan, penyetoran bea masuk, denda administrasi, dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta pembulatan jumlahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
75
46. Ketentuan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 (1) Bea masuk yang terutang wajib dibayar paling lambat pada tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean. (2) Kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan penundaan dalam hal pembayarannya ditetapkan secara berkala atau menunggu keputusan pembebasan atau keringanan. (2a)Penundaan kewajiban membayar dimaksud pada ayat (2):
bea
masuk
sebagaimana
a. tidak dikenai bunga sepanjang pembayarannya ditetapkan secara berkala; b. dikenai bunga sepanjang permohonan pembebasan atai keringanan ditolak. (3) Ketentuan mengenai penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 47. Di antara Pasal 37 dan Bagian Kedua BAB VII disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 37A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A (1) Kekurangan pembayaran bea masuk dan/ atau denda administrasi yang terutang wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Atas permintaan orang yang berutang, Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan penundaan atau pengangsuran kewajiban membayar bea masuk dan/ atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 12 (dua belas) bulan. (3) Penundaan kewajiban membayar bea masuk dan/ atau denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2A) dikenai bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan. (4) Ketentuan mengenai penundaan pembayaran untung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
76
48. Ketentuan Pasal 38 diubah dengan menambahkan 1 (satu), yaitu ayat (3) sehingga Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Untung atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikanai bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1(satu) bulan. (2) Penghitungan utang atau tagihan kepada negara menurut UndangUndang ini dibulatkan jumlahnya dalam ribuan rupiah. (3) Jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut: a. dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (1); b. dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat keputusan pengembalian Meteri. 49. Pasal 41 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 41 menjadi sebagaimana ditetapkan delam penjelasan pasal demi pasal dalam Undang-Undang ini. 50. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1(satu) ayat, ayat (1) sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Dengan persyaratan tertentu, suatu kawasan, tempat, atau bangunan dapat ditetapkan sebagai tempat penimbunan berikat dengan mendapatkan penangguhan bea masuk untuk: a. menimbun barang impor guna diimpor untuk dipakai, dikeluarkan ke tempat penimbunan berikat lainnya atau diekspor; b. menimbun barang guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; c. menimbun barang impor, dengan atau tanpa barang dari dalam daerah pabean, guna dipamerkan; Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
77
d. menimbun, menyediakan untuk dijual dan menjual barang impor kepada orang dan/ atau orang tertentu; e. menimbun barang impor guna dilelang sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai; f. menimbun barang asal daerah pabean guna dilelang sebelum diekspor atau dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean; atau g. menimbun barang impor guna didaur ulang sebelum diekspor atai diimpor untuk dipakai. (1a)Menteri dapat menetapkan suatu kawasan, tempat, atau bangunan untuk dilakukannya suatu kegiatan tertentu salain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai tempat penimbunan berikat. (2) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pendiri penyelenggaraan, pengusahaan, dan perubahan bentuk tempat penimbunan berikat diatur labih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. 51. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 (1) Barang dapat dikeluarkan dari tempat penimbunan berikat atas persetujuan pejabat bea dan cukai: a. diimpor untuk dipakai; b. diolah; c. diekspor sebelum atau sesudah diolah; d. diangkut ke tempat penimbunan berikat lain atau tempat penimbunan sementara; e. dikerjakan dalam daerah pabean dan kemudian dimasukkan kembali ke tempat penimbunan berikat dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri; atau f. dimasukkan kembali ke dalam daerah pabean. (2) Barang dari tempat penimbunan barikat yang diimpor untuk dipakai berupa: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
78
a. barang yang telah diolah atau digabungakan; b. barang yang tidak diolah; dan/ atau c. barang lainnya, dipungut bea masuk berdasarkan tarif dan nilai pabean yang ditetapkan dengan peraturan menteri. (3) Orang yang mengeluarkan barang dari tempat penimbunan berikat sebelum diberikan persetujuan oleh pejabat bea dan cukai tanpa bermaksud mengelakkan kewajiban pabean, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (4) Pengusaha tempat penimbunan berikat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di tempat tersebut wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. 52. ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sabagai berikut: Pasal 49 Importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan wajib menyelenggarakan pembukuan. 53. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Atas permintaan pejabat bea dan cukai, oarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berikatan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan. (2) Dalam hal orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada di tempat, kewajiban untuk menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan beralih kepada yang mewakili. 54. Ketentuan Pasal 51 diubah dan ditambah 3 (tiga) ayat, yaitu ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
79
Pasal 51 (1) Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 wajib diselenggarakan dengan baik agar menggambarkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya, dan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, pendapatan, dan biaya. (2) Pembukuan wajib diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, mata uang rupiah, dan basaha Indonesia, atau dengan mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan oleh menteri. (3) Laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang mejadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usaha di Indonesia. (4) Ketentuan mengenai pedoman penyelenggaraan pembukuan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 55. Ketentuan Pasal 52 diubah dan ditambah 1 (satu) ayat sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Orang yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) Dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). 56. Juduk BAB X diubah sehingga BAB X berbunyi sebagai berikut: BAB X LARANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR ATAU EKSPOR, PENANGGUHAN IMPOR ATAU EKSPOR BARANG HASIL PELANGGARAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN PENINDAKAN ATAS BARANG YANG TERKAIT DENGAN TERORISME DAN/ ATAU KEJAHATAN LINTAS NEGARA 57. Ketentuan Pasal 53 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 53 berbunyi sebagi berikut: Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
80
Pasal 53 (1) Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/ atau pembatasan atas impor atau ekspor wajib memberitahukan kepada Menteri. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengawasan peraturan larangan dan/ atau pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan atau berdasrkan peraturan menteri. (3) Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir: a. dibatalkan ekspornya; b. diekpor kembali; atau c. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Barang yang dilarang atau dibatasi untuk diimpor atau diekspor yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 58. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua pengadilan niaga dapat mengeluarkan perinyah tertulis kepada pejabat bea dan cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia. 59. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga Pasal 56 berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 Berdasarkan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, pejabat bea dan cukai; Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
81
a. memberitahukan secara tertulis kepada importir, eksportir, atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor dan ekspor. b. Melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dari kawasan pabean terhitung sejak tanggal diterimanya perintah tertulis ketua pengadilan niaga. 60. Ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 57 berbunyi sebagai berikut: Pasal 57 (1) Penangguhan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan alasan dan dengan syarat tertentu, dapat diperpanjang satu kali untuk paling lama 10 (sepuluh) hari kerja dengan perintah tertulis ketua pengadilan niaga. (3) Perpanjang penangguhan terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perpanjangan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 61. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 (1) Atas perintah pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang meminta perintah penangguhan, ketua pengadilan niaga dapat memberi izin kepada pemilik atau pedagang hak tertsebut guna memeriksa barang impor atau ekspor yang dimiliki penangguhan pengeluarannya. (2) Pemberian izin pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan niaga setelah mendengarkan dan mempertimbangkan kepentingan pemilik barang impor dan ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya. 62. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga Pasal 59 berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), pejabat bea dan cukai tidak Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
82
menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan pengeluaran bahwa tindakan hukum yang diperlukan untuk peraturan perundang-undangan yang berlaku telah dilakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan, pejabat bea dan cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangktan dan kenyelasaikan sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang. (2) Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak telah mulai dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pihak yang meminta penagguhan pengeluaran barang impor atau ekspor wajib secepatnya melaporkannya kepada pejabat bea dan cukai yang menerima perintah dan melaksanakan penangguhan barang impor atau ekspor. (3) Dalam hal tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah diberlakukan dan ketua pengadilan niaga tidak memperpanjang secara tertulis perintah penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2), pejabat bea dan cukai mengakhiri tindakan menangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor yang bersangkutan dan menyelesaikannya sesuai dengan ketentuan kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. 63. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 Dalam kadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan niaga untuk memerintahkan secara tertulis kepada pejabat bea dan cukai agar mengakhiri penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dengan menyerahkan jaminana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d. 64. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 (1) Apabila dari hasil pemeriksaan perkara terbukti bahwa barang impor atau ekspor tersebut tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperolah ganti rugi dari pemilik atau pemegang hak yang meminta penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor tersebut. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
83
(2) Pengadilan niaga yang memeriksa dan menulis perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memerintahkan agar jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d digunakan sebagai pembayaran atau bagian pembayaran gantu rugi yang harus dibayarkan. 65. Di antara Pasal 64 dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Ketiga yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga Penindakan Atas Barang yang Terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara Pasal 64A (1) Barang yang berdasarkan bukti permulaan diduga terkait dengan tindakan terorisme dan/ atau kejahatan lintas negara dapat dilakukan penindakan oleh pejabat bea dan cukai. (2) Ketentuan mengenai tata cara penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 66. Ketentuan Pasal 75 ayat (1) diubah sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 (1) Pejabat bea dan cukai dalam melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut atau di sungai menggunakan kapal patroli atau sarana lainnya. (2) Kapal patroli atau sarana lain yang digunakan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan senjata api yang jumlah dan jenisnya ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 67. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut: Pasal 76 (1) Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/ atau instansi lainnya. (2) Atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan/ atau instansi lainnya berkewajiban untuk memenuhinya. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
84
68. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 Pejabat bea dan cukai berwenang untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dan barang ekspor atau barang lain yang harus diawasi menurut Undang-Undang ini yang berada di sarana pengangkut, tempat penimbunan atau tempat lain. 69. Ketentuan Pasal 82 ayat (4) dihapus dan ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6) diubah sehingga Pasal 82 berbunyi sebagai berikut: Pasal 82 (1) Pejabat bea dam cukai berwenang melakukan pemeriksaan pabean atas barang impor atau barang ekspor setelah pemberitahuan pabean diserahkan. (2) Pejabat bea dan cukai berwenang meminta importir, eksportir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau yang mewakilinya menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut atau bagiannya, dan membuka setiap bungkusan atau pengemas yang akan diperiksa. (3) Jika permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi: a. pejabat bea dan cukai berwenang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas resiko dan biaya yang bersangkutan; dan b. yang bersangkutan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (4) Dihapus (5) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/ atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas impor yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea dan masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100 % (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000 % (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (6) Setiap orang yang salah memberitahukan jenis dan/ atau jumlah barang dalam pemberitahuan pabean atas ekspor yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
85
ekspor dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100 % (seratus persen) dari pungutan negara yang kurang dibayar dan paling banyak 1000 % (seribu persen) dari pungutan negara yang kurang dibayar. 70. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan satu pasal, yaitu Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A (1) Untuk kepentingan pengawasan, pejabat bea dan cukai berwenang melakukan pemeriksaan karena jabatan atas fisik barang impor atau barang ekspor sebelum atau sesudah pemberitahuan pabean disampaikan. (2) Ketentuan mengenai tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 71. Ketentuan Pasal 85 ayat (1) diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor dan ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean. (2) Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan. (3) Pejabat bea dan cukai berwenang menolak pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan Undang-Undang ini. 72. Di antara Pasal 85 dan BAB XII Paragraf 2 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 85A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 85A (1) Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu yang diangkut dalam daerah pabean. (2) Pemeriksaan terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada saat pemuatan, pengangkutan, dan/ atau pembongkaran di tempat tujuan. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
86
(3) Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean terhadap barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 73. Ketentuan Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, ayat (1a), serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3) sehingga Pasal 86 berbunyi sebagai berikut: Pasal 86 (1) Pejabat bea dan cukai berwenang melakukan audit kepabeanan terhadap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. (1a)Dalam melaksanakan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat bea dan cukai berwenang: a. meminta laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan; b. meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari orang dan pihak lain terkait; c. memasuki bangunan kegiataan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk sarana/ media penyimpan data elektronik, dan barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan; dan d. melakukan tindakan pengamanan yang dipandang perlu terhadap tempat atau ruangan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan kepabeanan. (2) Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang menyebabkan pejabat bea dan cukai tidak dapat menjalankan kewenangan audit kepabeanan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau beradasarkan peraturan menteri. 74. Di antara Pasal 86 dan Paragraf 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 86A yang berbunyi sebagai berikut:
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
87
Pasal 86A Apabila dalam pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan jumlah dan/ atau jinis barang, orang wajib membayar bea masuk yang kurang dibayar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebagaiman dimaksud dalm Pasal 82 ayat (5). 75. Ketentuan Pasal 88 ayat (2) diubah sehingga Pasal 88 berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini, pejabat bea dan cukai berwenang memasuki dan memeriksa bangunan atau tempat yang bukan rumah tinggal selain yang dimaksdu dalam Pasal 87 dan dapat memeriksa setiap barang yang ditemukan. (2) Selama pemeriksaan atas bangunan atau tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan atas permintaan pejabat bea dan cukai, pekilik atau yang menguasai bangunan atau tempat tersebut wajib menyerahkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan barang yang berada ditempat tersebut. 76. Ketentuan Pasal 90 ayat (3) dan ayat (40 diubah sehingga Pasal 90 berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Untuk pemenuhan kewajiban pabean berdasarkan Undang-Undang ini pejabat bea dan cukai berwenang untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya. (2) Sarana pengangkut yang disegel oleh penegak hukum lain atau dinas pos dikecualikan dari pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pejabat bea dan cukai berdasarkan pemberitahuan pabean sebagaimana diamaksud dalam Pasal 7A. (4) Berwenang untuk menghentikan pembongkaran barang dari sarana pengangkut apabila ternyata barang yang dibongkar tersebut bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. (5) Orang yang tidak melaksanakan perintah pengentian pembongkaran sebagaimana dimasud pada ayat (3) dikenai sanksi Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
88
adminstrasi berupa denda sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). 77. Di antara Pasal 92 dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bagian, yaitu Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat Kewenangan Khusus Direktur Jenderal Pasal 92A (1) Direktur Jenderal karena jabatan atau atas permohonan dari orang yang bersangkutan dapat: a. membetulkan surat penetapan tagihan kekurangan bea masuk yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/ atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan Undang-Undang ini; atau b. mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda dalam hal sanksi tersebut dikenakan pada orang yang dikenai sanksi karena kekhilafan atau bukan karena kesalahannya. (2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, pembetulan, pengurangan, atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 78. Judul BAB XIII diubah sehingga BAB XIII berbunyi sebagai berikut: BAB XIII KEBERATAN DAN BANDING 79. Ketentuan Pasal 93 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diubah, dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 (1) Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/ atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepa Direktu Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang dibayar. (1a) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
89
(2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. (3) Apabila keberatan sebaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/ atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam pulah) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, kebaratan yang bersangkutan dianggap dikabulakan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dakabulkan pemerintah memberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 80. Di antara Pasal 93 dan Pasal 94 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 93A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 93A (1) Orang yeng berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai salain tarif dan/ atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepa Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan. (2) Sepanjang keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut kekurangan pembayaran bea masuk, jaminan wajib diserahkan sebesar tagihan yang harus dibayar. (3) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak wajib diserahkan dalam hal barang impor belum di keluarkan dari kawasan pabean. (4) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
90
(5) Apabila keberataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/ atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan, dan apabila keberatan dikabulkan jaminan dikembalikan. (6) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam pulah) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, kebaratan yang bersangkutan dianggap dikabulakan dan jaminan dikembalikan. (7) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dakabulkan pemerintah memberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (8) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 81. Ketentuan Pasal 94 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (6) sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam pulah hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan. (2) Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan. (3) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam pulah) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, kebaratan yang bersangkutan dianggap dikabulakan dan jaminan dikembalikan. (4) Apabila dalam jangka waktu 60 (enam pulah) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Direktur Jenderal tidak memberikan keputusan, kebaratan yang bersangkutan dianggap dikabulakan dan jaminan dikembalikan. (5) Apabila jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa uang tunai dan pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
91
(3) dan ayat (4) dilakukan setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan dakabulkan pemerintah memberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulannya paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. 82. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4) atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi. 83. Pasal 96 dihapus. 84. Pasal 97 dihapus. 85. Pasal 98 dihapus. 86. Pasal 99 dihapus. 87. Pasal 100 dihapus. 88. Pasal 101 dihapus. 89. Ketentuan BAB XII Bagian Kedua dihapus. 90. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga Pasal 102 berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2); b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
92
c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3); d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/ atau diizinkan; e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; f. mengeluarkan barang impor yang belum diselaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berkaitan atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan Negara berdasarkan Undang-Undang ini; g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/ atau junlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyeluduapan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (liam miliar rupiah). 91. Di antara Pasal 102 dan Pasal 103 disisipkan 4 (empat) pasal, yaitu Pasal 102A, Pasal 102B, Pasal 102C dan Pasal 102D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 102A Setiap orang yang: a. mengekspor barang tanpa menyerahkan pemberitahuan pabean; b. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/ atau jumlah barang ekspor dalam pemberitahuan pabean secara salah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara di bidang ekspor; c. memuat barang ekspor di luar kawasan pabean tanpa izin kepala kantor pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11A ayat (3); d. membongkar barang ekspor di dalam daerah pabean tanpa izin kepala kantor pabean; atau e. mengangkut barang ekspor tanpa dilindungi dengan dokumen yang sah sesuai dengan pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
93
dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena dalam Pasal 9A ayat (1) dipidana karena melakukan penyeludupan di bidang ekspor dengan pidana penjara peling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (liam miliar rupiah). Pasal 102B Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lma miliar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 102C Dalam hal perbuatan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 102, Pasal 102A, Pasal 102B dilakukan oleh pejabat dan aparat penegak hukum, pidana yang dijatuhkan dengan pidana sebagaimana ancaman pidana dalam Undang-Undang ini ditambahakan 1/3 (satu pertiga). Pasal 102D Setiap orang yang mengangkut barang tertentu yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kamampuannya dipidana denga pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.00,00 (satu miliar rupiah). 92. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Setiap orang yang: a. menyerahkan pemberitahuan pabean dan/ atau dokumen pelengkap pabean yang palsu atau dipalsukan; b. membuat, menyetujui, memiliki, membeli, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang impor yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/ atau pidana dendan paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
94
rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 93. Di antara Pasal 103 dan Pasal 104 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 103A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 103A (1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/ atau pengawasan di bidang kepabeanan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/ atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 96. Pasal 106 dihapus. 97. Pasal 107 tetap dengan perubahan penjelasan Pasal 107 sehingga penjelasan Pasal 107 menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang ini. 98. Ketentuan Pasal 108 ayat (3) dan ayat (4) diubah sehinga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 (1) Dalam hal suatu tindak pidana yang dapat dipidana menurut Undang-Undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan/ atau b. meraka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
95
(2) Tindak pidana menurut Undang-Undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, atau perusahaan, perkumpulan, yayasan, atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindak pidana secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. (3) Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakilioleh pengurus yang secara hukum dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai bentuk badan hukum yang bersangkutan. (4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang di pidana dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) jika atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara, dengan tidak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. 99. Ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan ayat (2) diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) shingga Pasal 109 berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 (1) Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, Pasal 103 huruf d, atau Pasal 104 huruf a, barang ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A, atau barang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D yang berasal dari tindak pidana, dirampas untuk negara. (2) Sarana pengangkut yang semata-mata digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A, dirampas untuk negara. (2a)Sarana pengangkut yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102D, dapat dirampas untuk negara. (3) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
96
100. Di antara BAB XV dan BAB XVI disisipkan 1 (satu) bab, yaitu BAB XV A sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XV A PEMBINAAN PEGAWAI Pasal 113A (1) Sikap dan perilaku pegaiwai Direktorat dan jenderal Bea dan Cukai terkait pada kode etik yang menjadi pedoman pelaksaan tugas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. (2) Pelanggaran terhadap kode etik oleh pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diselesaikan oleh Komisi Kode Etik. (3) Ketentuan mengenai kode etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan dan tata kerja Komisi Kode Etik diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 113C Apabila pejabat bea dan cukai dalam menghitung atau menetapkan bea masuk atau bea keluar tidak sesuai dengan Undang-Undang ini sehingga mengakibatkan belum terpunhinya pungutan negara, pejabat bea dan cukai dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 113B (1) Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana kepabeanan yang menyangkut pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Menteri dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan pegawai guna menemukan bukti permulaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 113D (1) Orang perseorangan, kelompok orang, dan/ atau unit kerja yang berjasa dalam menangani pelanggaran kepabeanan berhak memperolah premi.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
97
(2) Jumlah premi diberikan paling banyak sebesar 50 % (lima puluh persen) dari sanksi administrasi berupa denda dan/ atau hasil lelang barang yangh berasal dari tindak pidana kepabeanan. (3) Dalam hal hasil tangkapan merupakan barang yang dilarang dan/ atau dibatasi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh dilelang, besar nilai barang-barang dasar perhitungan premi ditetapkan oleh Menteri. (4) Ketentuan mengenai pemberian premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. 101. Di antara Pasal 115 dan BAB XVII disisipkan 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal 115A, Pasal 115B, dan Pasal 115C yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 115A (1) Barang yang dimaksud atau dikeluarkan ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/ atau pelabuhan bebas dapat diawasi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah. Pasal 115B (1) Berdasarkan permintaan masyarakat, Direkur Jenderal memberikan informasi yang dikelolanya, kecuali informasi yang sifatnya tertentu. (2) Ketentuan mengenai pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Pasal 115C (1) Setiap pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilarang memberitahukan segala sesuatu yang diketahuinya atau diberitahukan kepadanya oleh orang dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang ini kepada puhak lain yang tidak berhak. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 91) berlaku juga terhadap tenagai ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk membantu pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
98
(3) Menteri secara tertulis berwenang memberitahukan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti dari orang kepada pejabat pemeriksa untuk keperluan pemeriksaan keuangan negara. (4) Untuk kepentingan pemeriksan di pengadilan dalam perkara pidana, atas permintaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Menteri dapat memberikan izin tertulis kepada pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tanaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) untuk memberikan bukti dan keterangan yang ada paanya kepada hakim. Pasal II Ketentuan Peralihan 1. Pada saat Undang-Undang ini dimulai berlaku: a. peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang kepabeanan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/ atau belum diatur dengan peraturan pelasanaan yang baru berdasarkan UndangUndang ini; b. urusan kepabeanan yang pada saat berlakunya Undang-Undang ini belum dapat diselesaikan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang meringankan setiap orang. 2. Peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. 3. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
99
BAB III PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELUDPAN
Sebagaimana penulis kemungkinan di muka, yang dimaksud dengan delik penyeludupan dalam tulisan ini alah semua perbuatan yang nelanggar ordonansi bea dan diancam pidana. Oleh karena itu perlu dikemukakan di sini bahwa untuk mengetahui seluk-beluk delik penyeludupan itu kita harus mengetahui dan menelaah Ordonansi Bea (Rechten Ordonnantie) itu. Ordonansi Bea (Rechten Ordonnantie), telah diciptakan sejak 1882, yaitu sbld, 1882 Nomor 240, diumumkan lagi dalam tahun 1931 dengan sbld. 1932 Nomor 212, 1935 Nomor 149, 1935 Nomor 584, 1936 Nomor 702 dan 1948 Nomor 43 dan LN 1951 Nomor 10, 1951 Nomor 39, dan 1954 Nomor 11.Pada ordonansi itu dilampirkan Reglemen A dan Reglemen B. Dengan
Undang-Undang
Nomor
8
tahun
1958
Ordonansi Bea
(Rechten Orddonntie) ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955). Dengan
demikian,
pelanggaran
terhadap
Ordonansi
Bea
(Rechten Ordonnantie) dengan sendirinya menjadi delik ekonomi ini. Akibat yuridis dari ketentuan ini ialah bahwa semua ketentuan khusus yang ada dalam UUTPE tersebut berlaku juga bagi delik penyeludupan (delik yang melanggar Ordonansi Bea). Ketentuan tersebut antara lain mengenai sanksi pidana. Semua sanksi pidana di dalam Ordonansi Bea menjadi larut dan tidak berlaku lagi, diisap oleh
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
100
ketentuan mengenai sanksi pidana dan tindakan tatatertib yang ada dalam UUTPE. Ketentuan tentang sanksi pidana yang tercantum di dalam Pasal 26 dan 26b dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Khusus pelanggaran Pasal 25 masih banyak tidak dimengerti oleh umum. Misalnya pasal itu disebutkan di dalam Pasal 21 KUHAP sebagai delik yang pelakunya dapat ditahan, padahal pasal itu tidak ada artinya lagi.khusus untuk pasal 26b perumusan delik yang tercantum di situ (dua buah, lihat uraian di belakang) masih tetap berlaku, hanya ancaman pidananya yang disebut di situ tidak lagi berlaku, tetapi ketentuan Pasal 6 UUTPE dan Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 21 (prp) tahun 1959 ah yang berlaku ditambah dengan kemungkinan penjatuhan tindak pidana tatatertib dalam UUTPE. Perincian tentang ketentuan-ketentuan khusus UUTPE akan diuraikan pada su bab berikut. Menurut Pasal 26c Ordonansi Bea, maka hanya delik yang disbut di dalam Pasal 26b saja yang dikualifikasi sebagai kejahatan. Berdasarkan penafsiran a contrario, maka yang tersebut di dalam Pasal 25 merupakan pelangaran. Sanksi yang semula ditentukan di dalam Pasal 26 untuk pelanggaran pasal 25 itu memang hanya berupa denda saja walaupun delik itu dilakukan dengan sengaja, yang berarti pembuat Ordonansi Bea memang meksudkan palanggaran terhadap delik yang tersebut di dalam Pasal 25 itu sebagai pelanggaran karena ancaman pidananya hanya denda saja, berbeda dengan ancaman pidana di dalam Pasal 26b yang berupa pidana penjara.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
101
Dengan demikian, peraturan yang tercantum dalam UUTPE berlaku umum bagi delik penyelundupan, sedangkan yang diatur khusus di dalam Ordonansi Bea menjadi aturan khusus (lex specialis). Tetapi beberapa ketentuan khusus di dalam Ordonansi Bea, khususnya tentang pemidanaan tetap berlaku seperti ditentukan di dalam Pasal 26b alinea kedua, yang mengatakan bahwa barang-barang terhadap mana delik penyeludupan dilakukan di rampas. Jadi, bukan dapat dirampas, yang berarti ketentuan ini bersifat imperatif. Pada alinea ketiga pasal itu, dikatakan behwa barang-barang yang dirampas itu dimusnahkan, kecuali jika Menteri Keuangan atau pembesar yang ditunjuknya memutuskan, bahwa barang-barang itu dijual untuk kas negara atau untuk tujuan lain. Misalnya, Jaksa Agung memerintahkan penyerahan barangbarang rampasan kapal kepada Departemen Perhubungan. Selain daripada itu, alat-alat pengangkutan yang dengan mana delik penyeludupan dilakukan (misalnya kapal), mana dapat dirampas (Pasal 26c). Jadi, di sini bersifat fakultatif, berbeda dengan yang tersebut pada Pasal 26b di muka. Pada pasal 26d dikatakan bahwa keputusan-keputusan hakim yang mengandung pidana denda, jika berurutan dengan badan-badan hukum dapat dilaksanakan atas harta bendanya. Pelaksanaannya dilakukan dengan cara yang sama dengan pelaksanaan yang ditetapkan untuk keputusan-keputusan hakim dalam perkara-perkara perdata, dengan pengertian, bahwa, jika ketentuanketentuan dari hukum acara perdata yang berlaku untuk si terpidana menuntut perantaraan seorang pembesar pengadilan, maka perantaraan itu diminta oleh pegawai yang berkewajiban untuk melaksanakan keputusan hakim. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
102
A. Kaitan Tindak Pidana Penyeludupan Dengan Tindak Pidana Ekonomi
Dalam hal subjek delik penyeludupan pun telah menjadi luas dengan ditariknya menjadi delik ekonomi. Terjadi perluasan pelaku delik, yaitu selain meliputi orang sebagai subyek, juga badan hukum. Jadi, suatu badan hukum misalnya PT. CV dan lain-lain yang melakukan penyeludupan dapat dijatuhi pidana. Sebenarnya dahulu kala baik di Indonesia maupun di Nederland, dikenal tanggung-jawab kolektif di dalam hukum pidana. Bahwa hukum Belanda kuno mengenal tanggung-jawab kolektif dikemukakan oleh de Goede dan van Apeldoorn, bahkn yang tersebut terakhir menganjurkan digantikannya hukum Romawi yang individualistis dengan hukum Belanda kuno yang kolektivistis. Perubahan subjek hukum pidana menjadi hanya manusia saja dengan berlakunya W.v.S. Nederland 1881. Hal ini dapat disimpulkan: 1 1. Menurut Memorie van Toelichting Artikel 51 W.v.S. N. suatu delik hanya dapat diwujudkan oleh manusia dan fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana. 2. Hampir semua pasal KUHP dimulai dengan ”Hij, die,.(barangsiapa), sering pula disebut faktor manusia seperti sengaja dan lalai (culpa). 3. Sistem pidana yang terdiri dari pidana badan dan kekayaan, yaitu pidana mati, penjara dan denda hanya dapat dikenakan kepada manusia. 4. Menurut van Bemmelen, hukum acara pidana tidak mengenal tentang korporasi. Dalam hukum pidana pajak, sejak dahulu telah terjadi kakacualian, korporasi dapat dijatuhi pidana. Kemudian menyusul hukum pidana ekonomi.
1
A.Hamzah, Delik Penyeludupan,(Jakarta: Akademik Pressindo, 1988), hal.17-18
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
103
Menurut pasal 15 ayat 1 UUTPE, tuntutan pidana dapat dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tatatertib dapat dijatuhkan, baik terhadap badan hukum dan lain-lain itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan delik ekonomi itu atau bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun keduanya. Sebenarnya kemungkinan itu dapat saja terjadi dalam praktek, misalnya importir yang menandatangani PPUD yang salah penulisan yang dilakukan oleh juru tulis. Pengertian badan hukum di dalam UUTPE sebenarnya luas, tidak hanya bagi yang mendapat pengakuan sebagai badan hukum, tetapi juga perserikatan dan yayasan. Perserikatan orang menurut Karni, berasal dari terjemahan Belanda ”enige andere vereniging van personen” dan ”een doelvermogen” Penjelasan Pasal 15 mengatakan bahwa orang itu harus bertindak dalam badan hukum itu. Jadi, memperluas dapatnya dituntut badan hukum dan lain-lain itu, sehingga orang yang tidak mempunyai hubungan kerja pun, tetapi bertindak dalam badan hukum dan lin-lain itu, dapat menyeret badan hukum itu dalam bertanggung-jawab pidana. Di Nederland, ada sarja misalnya Roling, mengusulkan agar penuntutan terhadap badan hukum atau korporasi itu diperluas untuk semua delik. Tetapi ada juga yang menentang antara lain Remmelink dalam catatannya pada Artikel 51 W.v.S.N., demikian pun Bemmelen menolak berlakunya sistem pemindahan korporasi secara umum dengan menyatakan: 1. Mengenal kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kelalaian hanya didapatkan pada orang (natuurlijke persoon).
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
104
2. Bahwa perbuatan material yang merupakan syarat dapatnya dipidana beberapa macam delik, hanya dapat dilakukan oelh orang (natuurlijke persoon) (mencuri barang, mengeniaya orang lain dan sebagainya). 3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan terhadap korporasi. 4. Bahwa tuntutan terhadap dan pemidanaan korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa orang yang tidak bersalah. 5. Bahwa dalam prakteknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa dapat diputuskan, apakah pengurusan saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana. Dengan Wet 23 Juni 1976 Stb 377 mulai berlaku 1 September 1976 W.v.S. Belanda telah diubah sehingga Artikel 51 berbunyi: 1. Delik dapat dilakukan oleh manusia ((natuurlijke persoon) dan badan hukum; 2. Apabila suatu delik dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakantindakan. Pidana itu dijatuhkan terhadap pengurus (pasal 15 UUTPE) Sebelum Ordonansi Bea masuk ke dalam ruang lingkup UUTPE, maka hanya orang sebagai subyek karena KUHP dalam Pasaal 59 menentukan bahwa badan hukum tidak dapat menjdai subjek dalam hukum pidana. Badan hukum tidak dapat dijatuhi pidana. Sebagai diketahui Pasal 103 KUHP menentukan bahwa ketentuan umum yang tercantum di dalam ke-8 bab yang pertama Buku I (termasuk Pasal 59) berlaku juga bagi perundang-undangan pidana di luar KUHP. Jadi, berlaku juga bagi delik yang melanggar Ordonansi Bea (sebelum dimasukkan ke dalam UUTPE). Setelah dimasukkan ke dalam UUTPE, maka keadaannya berubah, seperti di sebut di muka, badan hukum yang melakukan delik penyeludupan dapat dipidana. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
105
Selain dari pada itu, dengan dimasukkannya Ordonansi bea ke dalam UUTPE, maka delik penyeludupan dapat diadili tanpa kehadirannya terdakwa (Peradilan in absentia) seperti dikanal dalam UUTPE, Pasal 16. Tetapi patut diperhatikan ketentuan dalam Pasal 16 UUTPE bahwa pidana yang dijatuhkan dalam peradilan in absentia terbatas pada perampasan barangbarang yang telah disita. Jadi tidak mungkin dijatuhkan pidana penjara dan denda. Agak mengherankan berita di dalam SK Kompas Sabtu 11 Mei 1985, bahwa seseorang terpidana in absentia kemudian tertangkap, dieksekusi oleh jaksa ke dalam penjara. Tidaklah mungkin hakim menjatuhkan pidana penjara dalam peradilan in absentia, dan jika terdakwa tertangkap kemudian, menurut pendapat penulis berlaku asas ne bis in idem. Sebagai diketahui, dalam hukum pidana dikenal asas ne bis in idem yang berarti bahwa suatu sengketa atau perkara yang samatidak dapat diajukan dua kali kepada hakim. Dalam hukum perdata dikenal asas bahwa sekali telah diperoleh kekuatan hukum yang tetap berarti telah menutup proses selanjutnya (res judicata pro veritate habetur). Dalam perkara pidana berarti bahwa seorang yang telah diajukan kepada hakim mengenai perbuatan material yang didakwakan kepadanya, tidak lagi dapat ditntut kembali dalam hal yang sama, dengan suatu kekecualian, yaitu peninjauan kembali (herziening). Oleh karena itu, menurut pendapat penulis, tidak sewajarnyalah jaksa cepat-cepat mengajukan perkara penyeludupan ke pengadilan melalui jalur peradilan in absentia ini jika masih ada kemungkinan terdakwa dapat ditangkap. Menurut Pasal 16 UUTPE, ada dua macam perkara yang dapat diajukan secara in absentia, yaitu paleku yang telah meninggal dinia (Pasal 16 ayat 6), Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
106
sebenarnya yang dimaksud dengan perbuatan yang tidak dikenal oleh pembuat UUTPE ialah orang yang tidak dikenal, tidak tertangkap, misalnya penyeludup yang meninggalkan barang-barang seludupannya melarikan diri dan tidak dikenal namanya atau indentitasnya, bukan orang yang dikenal identitasnya tetapi melarikan diri, sehingga tidak dapat diajukan ke pengadilan. Tetapi malarikan diri, sehingga tidak dijatuhkan ke pangadilan. Tetapi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 15 tahun 1962 telah ditegaskn bahwa termasuk orang yang diketahui namanya akan tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya. Bagaimana dengan orang yang diketahui namanya, diketahui pula tempat tinggalnya tetapi tidak tertangkap? Menurut pendapat penulis, maksud penegasan pengertian orang yang tidak dikenal oleh pembuat PERPU tersebut ialah orang yang tidak tertangkap. Bagi terdakwa yang telah meninggal dunia, piana yang dijautuhkan ialah: 1. Merampas barang-barang yang telah disita. 2. memutuskan tindakan tatatertib yang dapat diberatkan pada harta orang yang telah meninggal dunia. Putusan mengenai orang yang telah meninggal dunia diumumkan oleh panitera dalam Berita Negara dan satu atau lebih surat-surat kabar yang ditunjukan oleh hakim. Turunan putusan dikirim ke rumah terakhir dia tinggal atau di mana dia diselesaikan penguburannya. Putusan dilakukan sesusai dengan Pasal 16 jo. 10 jo 8c dan 8d UUTPE. Pasal 8c mengenai pembayaran uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran, dan Pasal 8d mengenai kewajiban pengerjakan apa yang akan dilalaikan tanpa hak, dan meniadakan apa yang dikerjakan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terpidana. Selanjutnya orang yang Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
107
berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada Panitera Pengadilan atas putusan in absentia itu, dalam jangka waktu 3 bulan setelah mengumumkan tersebut. Kedua pihak, baik jaksa maupun yang berkepentingan didengar keterangannya.
B. Batasan Pertanggung-Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan
Ancaman hukuam (sanksi) yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE) berupa tindakan tata tertib atau pidana. Tindakan tata tertib dapat dikenakan sebelum sidang pengadilan dimulai, biasanya disebut tindakan tata tertib sementara, dapat diterapkan oleh jaksa (Psal 27 UUTPE) dan hakim (Pasal 28 UUTPE), yaitu: 2 1. Penutupan sebagian/ seluruh perusahaan si tersangka diman tindak pidana ekonomi yang disangkakan dilakukan. 2. Penempatan perusahaan si tersangka, di mana tindak pidana ekonomi yang disangkakan dilakukan, dibawah pengampunan. 3. Pencabutan sebagian/ seluruh hak tertentu atau sebian/ seluruh keuntungan yang telah atau dapat diberikan Pemerintah kepada si tersangka yang menyangkut perusahaan itu. 4. Supaya si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. 5. Barang perusahaan tempat tersangka berusaha disita dan dismpan di tempat yang ditunjuk surat perintah.
2
Laden Marpaung, Tindak Pidana Penyeludupan Masalah dan Pemecahan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 23 Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
108
Tindakan tata tertib tersebut dapat diperlakukan jika dader penyeludupan adalah badan hukum/ badan usaha. Terhadap tindakan tata tertib ini, si tersangka dapat mengajukan bandingan kepada Pengadilan Tinggi selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah tindakan tata tertib tersebut (Pasal 30 UUTPE). Selain tindakan tata tertib yang dilakukan jaksa/ hakim sebelum persidangan, dapat juga tindakan tata tertib yang dijatuhkan hakim dalam putusan (Pasal 8 UUTPE), yakni: 3 1. Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampunan selama-lamanya 3 tahun jika kejahatan, dan 2 tahun jika pelanggaran. 2. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebesar Rp 100.00,- jika kejahatan, dan Rp 50.000,- jika pelanggaran. 3. Mewajibkan pembayaran sejumah uang sebagai pencabutan keuntungan yang diperoleh dari penyeludupan tersebut. 4. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak. Jika putusan berupa menempatkan si terhukum di bawah pengempuan, tiap-tiap kali dapat diperpanjang selama 1 tahun (Pasal 9 UUTPE). Dalam hal delik dilakukan oleh badan hukum, maka dapat diwakili di pengadilan. Ancaman pidana terhadap pelanggaran UUTPE diatur dalam Pasal 6 yang antara lain sebagai berikut: 1. Kejahatan diancam dengan maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 1.000.000,2. Pelanggaran diancam dengan maksimal 2 tahun penjara dan denda Rp 100.000,-.
3
Ibid, hal.24
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
109
Berdasarkan UU No. 21/ Prp/ 1959, tanggal 16 November 1959, ancaman tersebut di atas diperberat, yakni: 1. Pasal 1 ayat (1): Hukuman denda setinggi-tingginya tiga puluh kali yang ditetapkan UUTPE. 2. Pasal 1 ayat (2): Jika tindakan pidana tersebut dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat, maka ancaman hukuman penjara seumur hidup atau selam-lamanya 20 tahun. Kekacauan perekonomian dalam masyarakat harus dibuktikan terlebih dahulu.
Menurut Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955, ada kemungkinan untuk hakim memilih antara hukuman badan atau denda atau menjatuhkan kedua-duanya hukuman itu, menurut Peraturan Pemerintah Penggenti Undang-Undang ini hakim harus menjatuhkan kedua-dua hukuman itu.
Selain tersebut diatas Undang-Undang No. 17 tahun 2006, tentang perubahan Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan dalam BAB XIV Ketentuan Pidana Pasal 102- Pasal 111 menjelaskan bahwa: 4
Pasal 102 Barangsiapa yang mengimpor atau mengekspor atau mencoba mengimpor atau mengekspor barang tanpa mengindahkan ketentuan Undang-undang ini dipidana kerena melakukan penyeludupan dengan pidana penjara paling lama delapan tahun dan denda paling banyak rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 103 Barangsiapa yang: a. menyerahkan Pemberitahuan Pabean dan/ atau dokumen pelengkap pabean dan/ atau memberikan keterangan lisan atau tertulis yang palsu atau dipalsukan yang digunakan untuk pemenuhan Kewajiban Pabean; b. mengeluarkan barang impor dari Kawasan Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat, tanpa persetujuan Pejabat Bea dan Cukai dengan Maksud untuk mengelakkan pembayaran Bea Masuk dan/ atau pungutan negara lainnya dalam rangka impor; c. membuat, menyetujui, atau turut serta dalam penambahan data palsu ke dalam buku atau catatan; atau Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
110
d. menimbun, menyimpan, memiliki, membeli,menjual. Menukar, memnperoleh, atau memberikan barang imporyang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 104 Barangsiapa yang: a. mengangkut barang yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102; b. memusnahkan, mengubah, memotong, menyembunyikan, atau membuang buku atau catatan yang menurut Undang-undang ini harus disimpan; c. menghilangkan, menyetujuai, atau turut serta dalam penghilangan keterangan dari Pemberitahuan Pabean, dokumen pelengkap pabean, atau catatan; atau d. menyimpan dan/ atau menyediakan blangko faktur dagang dari perusahaan yang berdomisili di luar negeri yang diketahui dapat digunakan sebagai kelengkapan Pemberitahuan Pabean menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.00,00 (seratus juta rupih). Pasal 105 Barangsiapa yang: a. membongkar barang impor di tempat lain dari tempat yang ditentukan menurut Undang-undang ini; b. tanpa izin membuka, melepas atau merusak kunci, segel, atau tanpa pengaman yang telah dipasang oleh Pejabat Bea dan Cukai, dipidana dengan penjara paling lama dua tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 150.000.00,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 106 Importir, eksportir, pengasuhan Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berita, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Pasal 50, atau Pasal 51 dan perbuatan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah). Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
111
Pasal 107 Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang melakukan pengurusan Pemberitahuan Pabean atas kuasa yang diterimanya dari importir atau eksportir, apabila melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan Undangundang ini, ancaman pidana tersebut berlaku juga terhadapnya. Pasal 108 (1) Dalam hal suatu tindak pindana yang dapat dipidana menurut Undang-undang ini dilakukan oleh atau atas nama suatu bedan hukum, perseroan atau perusahaan perkumpulan, yayasan atau koperasi tuntutan pidana ditujukan dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut; dan/ atau b. mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pimpinan atau yang melalaikan pencegahannya. (2) Tindak pidana menurut Undang-undang ini dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, apabilatindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi tersebut tanpa memperhatikan apakah orang tersebut masing-masing telah melakukan tindakan secara sendiri-sendiri atau bersamasama. (3) Dalam hal suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi, pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus dan wakil tersebut dapat diwakili oleh kuasanya. (4) Terhadap badan hukum, perseroan atau perusahaan, perkumpulan, yayasan atau koperasi yang dipidana dengan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang ini, pidana pokok yang dijatuhkan senantiasa berupa pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) jika diatas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dengan tindak menghapuskan pidana denda apabila atas tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan pidana denda. Pasal 109 (1) Barang impor atau ekspor yang berasal dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, 103 huruf b atau huruf d, Pasal 104 huruf a, atau Pasal 105 huruf a dirampas untuk negara. Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
112
(2) Sarana pengangkutan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 102 dapat diramas untuk negara. (3) Barang sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) diselesaikan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 73. Pasal 110 (1) Dalam hal pidana denda tiak dibayar oleh terpidana, sebagai gantinya diambil dari kekayaan dan/ atau pendapatan terpidana. (2) Dalam dal penggantian sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, pidana denda diganti dengan pidana kurungan paling lama enam bulan. Pasal 111 Tindak pidana di bidang Kepabeanan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak diserahkan Pemberitahuan Pabean atau sejak terjadinya tindak pidana.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
113
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian bab-bab di atas sebagai pembahasan materi skripsi ini, maka terlihat bahwa Bea impor yang sangat tinggi, sehingga tidak sebanding dengan keuntungan yang diproyeksikan dan tidak sinkronnya peraturan perundangundangan yang ada, sehingga menimbulkan berbagai macam penafsiran, merupakan bagian kecil dari sebab-sebab terjadinya penyeludupan. Sebagai akibat terjadinya penyeludupan, maka pendapat yang seharusnya diterima negara, dimanfaatkan oleh golongan-golongan tertentu, secara pribadi. Disamping itu, maka proses industrialisasi terhambat oleh karena tidak kuat bersaing dengan hasil industri luar negeri yang diseludupkan. Dengan demikian, maka pasaran untuk barang-barang industri dalam negeri sangat dipersempit. Perusahaan-perusahaan bonafitde menghadapi persaingan yang tidak seimbang dengan pengusahapengusaha yang curang. Misalnya tersebut hanya dapat diatasi, apabila ada perbaikan di bidang perundang-undangan, penegak hukum, fasilitas maupun kesadaran warga masyarakat sendiri. Dari pembahasan yang penuluis susun dan kemukakan diatas, maka dalam bab ini penulis mencoba merangkumnya kedalam beberapa kesimpulan dan saran.
A. Kesimpulan Pokok kesimpulan yang dapat ditarik adalah, antara lain : 1. Pertanggung-jawaban pidana terhadap tindak pidana penyeludupan berlaku terhadap si pelaku sendiri baik orang perorangan maupun badan hukum. Bahkan bagi pelaku yang merupakan pihak penjabat diberlakukan Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
114
pemberatan pidana ditambah sepertiga dari ketentuan undang-undang. UU No. 17 tahun 2006 diberlakukan untuk mengisi kekosongan hukum yang terdapat dalam UU No. 10 Tahun 1995, terutama ketentuan mengenai tindak pidana penyeludupan. Salah satu perbedaan diantara keduanya adalah dalam penerapan sanksi pidana. Secara umum sanksi pidana pada UU Kepabeanan 2006 lebih berat dan ancaman administrasinya lebih besar jumlahnya. Pada ketentuan yang lama tidak diberlakukannya ancaman minimum sedangkan pada UU Kepabeanan Tahun 2006 diberlakukan ancaman minimum. Namun di antara kedua undang-undang masih ada kekurangan. Adanya ancaman pidana ditambahkan dengan tindakan administrasi memberikan pilihan bagi pihak pelaku untuk memilih membayar denda. 2. Dasar perubahan pengaturan tentang penyeludupan antara lain disebabkan karena lemahnya rumusan tentang penyeludupan, sehingga pelaku selalu dapat menghindar dari kejahatan dengan alasan tidak diatur dalam undnagundang. Alasan lain yang mendasari aladah terbatasnya kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam melakukan pengawasan, terutama dalam hal pengangkutan barang atar pulau. Adanya UU Kepabeanan Tahun 2006 memberikan kewenangan yang cukup kepada DJBC melakukan penghawasan barang antar pulau. 3. Tinggi mentalitas pejabat-pejabat tertentu yang bertugas untuk mengenai penyeludupan dapat dijadikan satu modal dasar dalam pemberantasan tindak pidana penyeludupan.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
115
4. Peningkatan fasilitas baik secara darat maupun udara dapat dijadikan sebagai salah satu usaha pemberantasan penyeludupan secara tuntas. 5. Adanya bandar-bandar transit perdagangan disekitar daerah-daerah pebeanan di Indonesia yang cukup banyak sehingga adanya kesulitan mangatasi tempat-tempat tersebut diakibatkan kurangnya tenaga kerja manusia maupun peralatan teknis.
B. Saran Dengan lahirnya Undang-undang No. 17 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang kepabeanan, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam hjal peningkatan APBN untuk menerimaan Bea dan Cukai. Namun dalam Kenyataannya Undang-undang ini belum terjadi secara efektif. Atas dasar itu agar pelaksanaan Undang-undang ini lebih mencerminkan suatu peningkatan terhadap pendapatan negara, maka penulis dapat membeikan beberapa saran. Sebagai berikut : 1. Kepada pihak pejabat melaksanakan
Bea dan Cukai hendaknya lebih
kewenangannya
dalam
memberantas
serius
penyeludupan,
terutama dengan adanya penyempurnaan Undang-undang Kepabeanan Tahun 2006. 2. Hendaknya pihak Pejabat Bea dan Cukai dapat menyelesaikan persoalan yang ada di tubuh Bea dan Cukai sehingga kinerjanya semakin maksimal dan mempermudah pemberantasan tindak pidana penyeludupan. 3. Hendaknya pihak Pejabat Bea dan Cukai melakukan sosialisai kepada mesyarakat penyeludupan
dan itu
memberikan merupakan
pengertian tindakan
bahwa yang
tindak
sangat
pidana
merugikan
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009
116
perekonomian Negara, yang berakibat sangat fatal bagi pembangunan nasional. 4. Kepada pihak pengadilan hendaknya memberikan putusan yang seadiladilnya bagi pelaku dan tidak membeda-bedakan pelaku tindak pidana penyeludupan sehingga efek jera yang diharapkan dapat tercapai.
Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008. USU Repository © 2009