BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan, dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya. Meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Permasalahan tersebut dapat teratasi jika dalam pemanfaatan tanah tetap menjaga kualitas tanah. Kualitas tanah adalah kapasitas tanah yang berfungsi mempertahankan produktivitas tanaman, mempertahankan dan menjaga ketersediaan air serta mendukung kegiatan manusia. Kualitas tanah dapat dilihat dari dua indikator yaitu indikator fisika dan indikator kimia. Indikator fisika tanah meliputi : tekstur tanah, ketebalan tanah, infiltrasi, berat isi tanah dan kemampuan tanah memegang air. Indikator kimia meliputi : biomassa mikroba, C dan N, potensi N dapat dimineralisasi, respirasi tanah, kandungan air dan suhu ( Doran dan Parkin, 1994; Damanik,2010). Jika indikator kualitas tanah melebihi ambang batas toleransi tanaman maka tanah akan kehilangan fungsinya dalam menyokong pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanah sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan pada saat ini atau pada saat yang akan datang yang disebabkan oleh ulah manusia (Oldeman, 1993; Damanik, 2010). Ulah manusia terhadap lahan seperti perubahan lahan dapat menyebabkan tanah rusak. Perubahan penggunaan lahan tidak selamanya membuat kualitas tanah rusak. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan perkebunan misalnya lahan sawah atau tegalan menjadi kebun campuran tidak akan membuat tanah rusak. Perubahan lahan menjadi lahan non pertanian diduga menyebabkan tanah menjadi rusak. Tanah dapat mengalami perubahan sifat fisik, kimia dan biologi. Segi kimia, tanah mengalami perubahan pH tanah. Segi fisika akan ada perubahan struktur tanah. Segi biologi akan ada perubahan mikroba dalam tanah. Tanah akan menjadi rusak jika terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan
1
pertambangan. Seperti contohnya perubahan lahan menjadi lahan pertambangan. Berdasarkan hasil penelitian Hermansyah (1999), tanah bekas tambang emas di Daerah Cirotan telah berubah sifat fisik dan kimia ditandai dengan tingginya distribusi fragmen batuan, kandungan pasir yang tinggi, kandungan lempung yang rendah, horisonisasi tidak teratur dan perkembangan horison lemah, nilai C-organik dan pH rendah, dan kandungan hara rendah. Hal itu terjadi disebabkan oleh proses pencucian dan pemindahan tanah di daerah tersebut. Selain itu tanah juga akan menjadi rusak jika terjadi perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi kawasan industri misalnya pada tanah bekas industri genteng. Hasil analisis tanah yang dilakukan oleh Kudwadi (2010), tanah dari lokasi yang belum dan sudah digali menunjukkan adanya penurunan kandungan C, N dan P2O5. Unsur C dari rendah (1,03 %) menjadi sangat rendah (0,73 %), unsur N dari rendah (0,13 %) menjadi sangat rendah (0,09 %), unsur K dari sedang (0,23 %) menjadi rendah (0,13 %) serta kandungan P2O5 dari sedang (28,5 ppm) menjadi rendah (18,8 ppm). Kedalaman efektif tanah setelah penggalian menjadi sangat dangkal (<25 cm) dibandingkan sebelum penggalian (>100 cm). Kedalaman efektif, sebelum penggalian memiliki kelas sangat sesuai (S1) untuk tanaman padi sawah, sedangkan setelah penggalian menjadi sesuai marginal (S3). Umumnya kerusakan tanah tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan terjadi secara bertahap. Jika dikaitkan dengan manfaat tanah untuk mendukung produktivitas biomassa tanaman, awalnya produktivitas biomassa tanaman menurun akibat berubahnya sifat tanah. Penurunan produktivitas biomassa tanaman semakin meningkat hingga 50%. Pada tahap ini tanah mencapai fase kritis. Tahap selanjutnya tanah memasuki fase rusak jika produktivitas biomassa tanaman pada tanah tersebut hanya sebesar 10% - 25%. Tanah terbentuk dalam waktu yang lama, maka dapat dikatakan bahwa tanah merupakan material irreversible (tidak dapat kembali sifatnya ke sifat semula jika terjadi gangguan yang intensif). Sebelum tanah memasuki tahap rusak ada baiknya tanah dijaga kelestariannya. Terkait dengan menjaga kelestarian tanah agar tidak rusak, Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan. Pada Undang Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa terdapat kewajiban untuk menjaga
2
kualitas ruang. Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan, dan keseimbangan pemanfaatan ruang yang mengindahkan faktor-faktor daya dukung lingkungan seperti struktur tanah, siklus hidrologi, siklus udara; fungsi lingkungan seperti wilayah resapan air, konservasi flora dan fauna; estetika lingkungan seperti bentang alam, pertanaman, arsitektur bangunan; lokasi seperti jarak antara perumahan dengan tempat kerja, jarak antara perumahan dengan fasilitas umum; dan struktur seperti pusat lingkungan dalam perumahan, pusat kegiatan dalam kawasan perkotaan. Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tertulis bahwa “Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”. Kebijakan terbaru yang mengenai kelestarian tanah yaitu Peraturan Pemerintah No 150 Tahun 2000 tentang Standar Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa, dan diperjelas dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa. Kebijakan tersebut berisi tentang mencegah kerusakan tanah dengan meneliti anasir – anasir kerusakan tanah agar kerusakan tanah dapat diketahui sedini mungkin. Bupati dan walikota mempunyai tanggung jawab dalam pencegahan kerusakan tanah. Hal itu diamanatkan dalam Permen LH No. 7 Tahun 2006 pada pasal 4 ayat 1. Pada pasal 4 ayat 1 tertulis bahwa Bupati/Walikota menetapkan kondisi dan status kerusakan tanah berdasarkan hasil pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk biomasa. Lalu hasil dari pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk biomasa
3
disebarkan melalui media cetak atau elektronik termasuk website maupun papan pengumuman. Seperti yang telah tertulis di Permen LH No. 7 Tahun 2006 pada pasal 5. Kabupaten Jombang merupakan kabupaten yang berada pada bagian tengah Jawa Timur. Kabupaten Jombang dilintasi Jalan Arteri Primer Surabaya– Madiun dan Jalan Kolektor Primer Malang–Babat. Disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Kabupaten Malang sebagai daerah wisata dan kota pelajar serta kota industri, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, dan sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Lamongan. Kedudukan Kabupaten Jombang dalam Sistem dan Fungsi Perwilayahan RTRW Propinsi Jawa Timur menetapkan Kabupaten Jombang termasuk dalam Wilayah Pengembangan Gerbangkertasusila Plus. Gerbangkertasusila ialah akronim dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan. Pembentukan kawasan Gerbangkertosusila bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan antar daerah. Pada tahun 2011, pemerintah menggagas terbentuknya Gerbangkertasusila Plus. Kawasan Gerbangkertasusila Plus merupakan kawasan pendukung kebutuhan kota inti. Dalam hal ini, kota inti adalah kota yang termasuk dalam wilayah Gerbangkertasusila. Fungsi Wilayah Pengembangan Gerbangkertasusila Plus. meliputi : pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan, perdagangan, jasa, pendidikan, kesehatan, pariwisata, transportasi, dan industry. Kabupaten Jombang mengambil peran dalam pengembangan kawasan agropolitan. Dengan demikian, perdagangan diarahkan ke perdagangan agribisnis. Kegiatan industri diarahkan untuk industry pengolahan, industri manufaktur dan industri berbasis pertanian dan perkebunan. Fokus pertanian yang dikembangkan di Kabupaten Jombang meliputi pertanian tanaman pangan, khususnya padi, peternakan, pertanian komoditi perkebunan yaitu tanaman tebu. Pengembangan pertanian padi diarahkan untuk sweasembada beras di Jombang dan menjadikan Jombang sebagai sentra beras di Jawa Timur. Kabupaten Jombang mempunyai luas wilayah 115.900 ha. Penggunaan lahan yang ada di Jombang beragam. Penggunaan lahan di Jombang disajikan pada tabel 1.1.
4
Tabel 1.1 Penggunaan lahan di Jombang Tahun 2012 No
Penggunaan Lahan
Luasan ( hektar )
Luasan ( % )
1
Pemukiman
31.445,64
27,12%
2
Kawasan industri
115,95
0,1%
3
Pertanian
56.373,76
48,64%
- Sawah 41.742 ha (36%) -Tegalan 14.656,08 ha (12,64%) 4
Perkebunan
742,08
0,64%
5
Hutan
24.743,73
21,34%
6
Lainnya
2.504,02
2,17%
Sumber : Jombang Dalam Angka 2013 Penggunaan lahan di Jombang didominasi oleh kegiatan pertanian. Hal itu terlihat dari jumlah penggunaan lahan berupa lahan pertanian, perkebunan dan hutan yang mencapai 71 %. Dalam hubungannya dengan penggunaan lahan yang mayoritas untuk produksi biomassa maka penelitian tentang kerusakan tanah dirasa sangat perlu. Untuk mengevaluasi tingkat kerusakan tanah pada wilayah Jombang Bagian Utara maka dilakukan pengujian parameter kerusakan tanah menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.07 Tahun 2006 kemudian dicocokkan dengan standar baku mutu PP No. 150 Tahun 2000. Hasil dari pengujian akan dipetakan menjadi peta kerusakan tanah yang nantinya dapat dijadikan acuan untuk melestarikan dan memperbaiki kualitas tanah di wilayah tersebut.
5
1.2 Tujuan 1.
Mengetahui tingkat kerusakan tanah menurut kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa (Menurut Peraturan Pemerintah No. 150 tahun 2000).
2.
Membuat peta tingkat kerusakan tanah pada skala 1:50.000 untuk produksi biomassa.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta informasi mengenai kriteria kerusakan tanah dan penyebaran daerah yang diidentifikasi mengalami kerusakan tanah sehingga dapat dijadikan referensi dalam pengelolaan lingkungan di wilayah Jombang Bagian Utara. 1.4 Hipotesis Penggunaan lahan di Jombang Bagian Utara diduga mempunyai variasi tingkat kerusakan tanah dan produksi pertanian
6