2 Edisi II September 2007
Dari Redaksi
Daftar Isi
Salam Sejahtera!
Dari Redaksi
hal 2
Daftar Isi Editorial Kajian Utama Liputan Mendalam Kabar Anggota Pendapat Praktik Solidaritas
2 3 4 7 9 11 13 15
Pertama-tama, redaksi ingin menyampaikan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa bagi seluruh umat Islam yang menjalankan. Waktu penerbitan edisi kedua yang bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional yang ke-47. Tanggal 24 September 1960, merupakan hari yang bersejarah bagi kaum tani Indonesia. Pada tanggal tersebut, sebuah produk kebijakan perundang-undangan yang mencerminkan kepentingan kaum tani telah diterbitkan dan ditetapkan, yaitu Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 yang sering dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hari penetapan ini merupakan pengakuan sejarah pada kemenangan perjuangan panjang kaum tani untuk menuntut dan menegakkan hak-hak atas tanah serta perlindungan yang diperlukan bagi hasil-hasil pertaniannya. keberadaan UUPA 1960 belum pernah diimplementasikan secara menyeluruh dan konsisten oleh Pemerintah Indonesia. Di samping kewenangannya telah dibajak oleh berbagai undang-undang sektoral, seperti UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU nomor 18 tentang Perkebunan. Alih-alih dilaksanakan, rejim Yudhoyono-Kalla malah berniat untuk merevisi dan mengamandemen UUPA 1960 yang dikatakannya guna menopang perbaikan iklim investasi. Namun, upaya amandemen ini mengalami kegagalan akibat tingginya perlawanan dari kaum tani. Meski sebenarnya, tindakan SBY-JK yang lebih memilih jalan ‘amandemen’— bukan menyusun rancangan Undang-Undang sebagaimana yang ditempuh pemerintahan Megawati-Hamzah—adalah tindakan yang disengaja untuk meminimalisasi ketegangan politik yang sudah pasti akan merugikan kekuasaannya. Pengalaman sebelumnya yang mendapati protes luas dari rakyat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum alias “Perpres Pro-Penggusuran” masih belum hilang dari ingatan yang kemudian telah direvisi menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2005. Akhirnya, dari redaksi mengucapkan selamat membaca. Semoga perjuangan kaum tani untuk merebut hak-hak sosial-ekonomi serta hakhak sipil demokratis lainnya semakin bergelora.
Foto: Aksi Petani Karangsewu DIY menolak Penambangan Pasir besi. Sumber: Dokumentasi AGRA Jateng-DIY. Desain Cover: Rahmat Ajiguna
Diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA). Penanggung Jawab : Erpan F Pimpinan Redaksi : R. Amarta Dewan Redaksi : Erpan F, R. Amarta, Yoyo Damanik, Cece Rahman, Rahmat Ajiguna, Fajri NS Koresponden : Oki (Lampung), Hasbi (Jambi), Alvianus (Sumatera Utara), Azdam (Jawa Barat), Boy (D.I Yogyakarta), Agus (Jawa Tengah), Yamini (Jawa Timur), Anca (Sulawesi Selatan), Susi Kamil (Sulawesi Tenggara), Asdat (Sulawesi Tengah), Anton (Kalimantan Barat), Rinting (Kalimantan Tengah), Syafwani (Kalimantan Selatan), Lay-Out : Rahmat Ajiguna. Alamat Redaksi Sementara : Jl.Mampang Prapatan XIII, No.3-Jakarta Selatan Telp/Fax 021-7986468 Email :
[email protected] Redaksi menerima saran, kritik dan sumbangan tulisan berupa naskah, artikel, berita, foto jurnalistik maupun karya seni dan sastra yang sesuai dengan tujuan dan cita-cita AGRA. Kontribusi tulisan maupun foto jurnalistik dapat dikirim lewat Email AGRA pusat.
Berita Kaum Tani 3
Editorial
Memperingati Hari Tani Nasional dan Ulang tahun UUPA ke-47 Jalankan UUPA Secara Konsekuen! Oleh Erpan Faryadi Sejak ditetapkan pada tanggal 24 September 1960, UUPA (UndangUndang Pokok Agraria) bermaksud untuk mengatasi dualisme hukum yang masih berlaku berkaitan dengan pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu hukum barat warisan Belanda (UU Agraria 1870) dan hukum adat. Dengan demikian, UUPA merupakan hukum nasional yang baru yang disesuaikan dengan keadaan-keadaan baru di lapangan agraria dan ditujukan pada pencapaian tatanan agraria yang adil. Terutama pentingnya perlindungan bagi golongan ekonomi lemah (buruh tani dan petani miskin). Namun demikian, UUPA yang memberi legitimasi secara formal terhadap pelaksanaan Reforma Agraria dan terlebih pelaksanaan Land Reform di Indonesia, tidak berhasil dijalankan dengan konsekuen dan program land reform gagal mencapai tujuan-tujuannya. Meski upaya untuk melaksanakan UUPA dengan dijalankannya program Land Reform secara terbatas pada masa Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno (rezim Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin), yaitu dari tahun 1962-1965, telah dilakukan. Sejak lahirnya Orde Baru hingga saat ini, UUPA hanya ditempatkan sebagai produk hukum semata. Padahal UUPA semestinya tidak hanya dipandang sebagai produk hukum semata, melainkan harus dilihat esensinya sebagai upaya melakukan perombakan struktur agraria yang berwatak feodalistik warisan kolonialisme Belanda. Hakekat UUPA harus dilihat dari aspek historis sebagai anti-thesis dari kebijakan agraria kolonialisme yang terbukti telah menjadi sumber utama kesengsaraan kaum tani.
Dalam konteks itulah, UUPA telah secara maksimum memberikan landasan yang lebih konkret untuk dilaksanakannya Reforma Agraria sejati. Landasan itu berupa perintah dan kewajiban politik yang secara tegas kepada pemerintah yang berkuasa untuk secara aktif melakukan perombakan struktur agraria guna memberi jalan yang lebih lapang untuk pelaksanaan Reforma Agraria. Berdasarkan landasan ini, sudah semestinya pemerintah membentuk infrastruktur khusus untuk melaksanakan Reforma Agraria dan mengerahkan aparaturnya untuk melaksanakan Reforma Agraria sejati dengan berpayung pada UUPA. Secara legal, Reforma Agraria (Agrarian Reform) di Indonesia didasarkan pada UUPA (UndangUndang Pokok Agraria atau nama lengkapnya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), UU No.56 Prp/1960, dan UUPBH (UU No.2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil). Bila melihat UUPA, maka agraria yang dimaksud di Indonesia adalah lebih dari sekedar tanah saja, tetapi mencakup juga “Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya”. Ketika diadakan program Reforma Agraria (Pembaruan Agraria) di Indonesia di tahun 1962-1965, maka yang dimaksud sebenarnya baru terbatas pada Land Reform, dan itupun baru menyangkut tahap awal, yaitu redistribusi tanah dan pembaruan dalam perjanjian bagi hasil. Land Reform sebagai bagian khusus di dalam Reforma Agraria pada waktu itu dilaksanakan dengan maksud dan tujuan sebagaimana yang diucapkan oleh Menteri Agraria
Republik Indonesia ketika itu, Mr.Sadjarwo, pada tanggal 12 September 1960 di depan Sidang Pleno DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong), yaitu: 1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial. 2. Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek (maksudnya alat) pemerasan. 3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap privaat bezit, yaitu hak milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan, dan turun menurun tetapi yang berfungsi sosial. 4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan minimum untuk tiap keluarga. Sebagai kepala keluarga bisa seorang laki-laki ataupun wanita. Dengan demikian, mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas tanah, serta memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah. 5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong
4 Edisi II September 2007
terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani (Harsono, 1975) Reforma Agraria Indonesia sebagaimana yang dituangkan dalam UUPA meliputi program-program berikut: (1) pembaruan hukum agraria, (2) penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah, (3) mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur, (4) perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah, dan (5) perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya. Kemudian sebagai penjabaran UUPA, diterbitkan UU No.56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang mengatur: (a) penetapan luas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (b) penetapan luas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (c) larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagianbagian yang kecil, dan (d) penebusan dan pengembalian tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Sebagai pelaksanaan UU ini diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dengan begitu, land reform Indonesia sesungguhnya menunjuk
pada upaya restrukturisasi atau penataan kembali susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah untuk keadilan dan kemakmuran di wilayah pertanian. Dalam perspektif yang lebih luas, land reform yang dijalankan di Indonesia melalui dasar hukum UUPA dengan sendirinya adalah model Reforma Agraria (land reform) non-komunis atau banyak orang menyebutnya sebagai model populis (kerakyatan). Paham populisme ini bersumber dari Pasal 33 UUD (Undang-Undang Dasar) 1945. Dan bila ditinjau dari Penjelasan UUPA, jelas bahwa UndangUndang ini berwatak anti kapitalisme. Sementara dalam aspek-aspek pelaksanaannya land reform Indonesia adalah satu jenis land reform yang bersifat lunak, seperti antara lain tercermin dalam masalah pemberian ganti rugi kepada para pemilik tanah semula.
Kajian Utama
Hari Tani Nasional 2007 dan Arti Pentingnya bagi Kaum Tani!!!
Setiap tahun pada tanggal 24 September selalu diperingati oleh kaum tani sebagai hari lahirnya UUPA 1960
Dukumen SCTV- Aksi tani memperingati hari tani nasional 24 September 2006
Tanggal 24 September 1960, merupakan hari yang bersejarah bagi kaum tani Indonesia. Pada tanggal tersebut, sebuah produk kebijakan perundang-undangan yang mencerminkan kepentingan kaum tani telah diterbitkan dan ditetapkan, yaitu Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria No.5 Tahun 1960 yang sering dikenal sebagai UndangUndang Pokok Agraria (UUPA). Hari penetapan ini merupakan pengakuan sejarah pada kemenangan perjuangan panjang kaum tani untuk menuntut dan menegakkan hak-hak atas tanah
serta perlindungan yang diperlukan bagi hasil-hasil pertaniannya. Selain itu, penetapan UUPA No.5 Tahun 1960 ini, juga menandai berakhirnya dualisme hukum yang masih berlaku dalam mengatur penguasaan, peruntukan, penggunaan, dan pemeliharaan sumber-sumber
Berita Kaum Tani 5
agraria (tanah), yaitu hukum barat warisan kolonialisme Belanda disatu sisi dan disisi yang lain adalah hukum adat . Tentu saja adalah hukum adat yang bertentangan dengan kepentingan nasional serta jiwa dari Republik yang baru lahir. Dengan demikian, UUPA No.5 Tahun 1960 merupakan satu-satunya ketentuan hukum nasional yang mengatur penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karenanya, berbagai peraturan lain yang bertentangan harus disesuaikan atau dihapuskan. Upaya politik tersebut di atas, yaitu usaha untuk menyusun sebuah perundangan yang baru sama sekali bagi pengaturan sektor agraria sesunguhnya telah menjadi kesadaran umum yang dimiliki oleh para pendiri bangsa semenjak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Perwujudan dari ikhtiar ini terlihat dengan dibentuknya “Panitia Agraria” pada Tahun 1948. Panitia ini bertugas untuk melakukan penyelidikan dan kajian atas berbagai masalah agraria dan kaum tani, mengkaji berbagai perundangan yang merupaka warisan kolonial dan maupun hukum adat (ulayat) sekaligus menyusun naskah awal atau prinsip-prinsip dasar tentang bagaimana mengatur hak atas tanah di Indonesia. Tentu saja, perspektif yang hendak dibangun adalah untuk melindungi kepentingan kaum tani dan memajukan sektor pertanian pada umumnya. Kepanitiaan yang ada mengalami beberapa perubahan seiring dengan perubahan situasi dan suasana politik nasional yang terjadi. Hingga pada akhirnya, baru pada masa Kementerian Agraria RI di bawah kepemimpinan Menteri Sajarwo, produk kebijakan yang mengatur soal hak atas tanah tersebut dapat dirampungkan. Yang kemudian oleh Presiden Soekarno, rancangan undang-undang tersebut ditetapkan sebagai mana kita kenal hari ini, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No.5 Th 1960). Undang-undang ini sendiri, terbit
setelah ditetapkannya UndangUndang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH No.2 Th 1960). Tanggal 24 September Tahun 1960, dimana UUPA No 2 Tahun 1960 diundangkan sekaligus ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional. Maka sejak saat itu, setiap tanggal 24 September kaum tani memperingatinya. Arti Penting UUPA No.5 Tahun 1960 Pada periode kolonialisasi dan penindasan sistem sisa-sisa feodalisme hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kaum tani berada dalam situasi ekonomi dan politik yang terkekang oleh belenggu tersebut. Selama periode ini, berbagai perubahan dan pengaturan pada sektor agraria diadakan semata-mata demi kepentingan kapitalis monopoli dan tuan tanah besar atau dengan kata lain hak rakyat atas tanah didesak dan dipinggirkan, bahkan dirampas dan ditiadakan. Fakta historis semacam ini dapat kita jumpai pada pasal-pasal dalam Agrarische Wet 1870 (S.1870-55) yaitu, produk perundang-undangan Kolonial Belanda yang hanya menjamin penguasaan dan kepemilikan tanah bagi usaha-usaha pertanian skala besar (perkebunan asing). Bahkan, Agrarische Wet 1870 tersebut, menerapkan asas umum “tanah negara” (Algemeen Domeinbeginsel atau Algemeen Domeinverklaring). Asas umum yang memberi pengertian bahwa tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom (milik), adalah tanah milik (domein) negara. Dalam hal ini tentu saja yang dimaksud adalah “milik kekuasaan” Pemerintahan Kolonial Belanda. Asas umum yang merugikan kaum tani dan rakyat Indonesia tersebut sengaja dimasukkan oleh Kolonialisme Belanda demi menciptakan kekuasaan negara yang kuat dalam soal mengatur maupun menyelenggarakan penguasaan,
peruntukan, penggunaan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria (tanah) maupun berbagai hak yang akan dilekatkan pada tanah tersebut. Beberapa hak atas tanah yang dimaksud tersebut diantaranya Hak Erfpacht (hak sewa) dan Hak Opstal (hak untuk mendirikan bangunan, rumah, dll). Dimana, kedua hak ini ditujukan kepada orang asing yang akan mengusahakan modalnya pada sektor agraria di Indonesia. Disisi yang lain, secara faktuil terdapat pula tanah-tanah yang dikuasai dan miliki oleh rakyat, namun tanah-tanah tersebut dengan mudah dapat beralih tangan ke pihak lain, terutama pihak asing. Dalam beberapa istilah tanah-tanah ini disebut sebagai tanah milik asli orang Indonesia yang sebagian besar berasal dari tanah-tanah kepemilikan komunal (kolektif). Dimana, desa atau persekutuan orang-orang berdasarkan hukum adat secara kolektif memiliki kekuasaan penuh dalam mengatur peruntukan, pemanfaatan dan pemeliharaan atas tanah-tanah tersebut. Cara penguasaan semacam ini, merupakan ciri umum yang berlaku pada masa itu, bahkan sampai saat ini masih bisa kita temukan di sejumlah wilayah di Indonesia. aspek terpenting yang diatur dalam kategori tanah komunal ini, diantaranya pertama, bahwa tanah-tanah ini tidak dapat dimiliki secara individual, akan tetapi boleh dikelola dan dimafaatkan oleh kaum tani perseorangan. Kedua, tanah yang dikelola tidak boleh dipindahtangankan ke pihak lain diluar satuan masyarakat hukum adat tersebut. Pihak luar yang akan mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari desa yang bersangkutan dengan memberikan “imbalan” dalam bentuk yang ditetapkan oleh hukum adat, selain itu pihak penggarap juga berkewajiban untuk menjaga kelestarian tanah yang dikelolanya. Ketiga, tanah-tanah komunal ini digarap oleh anggota masyarakat
6 Edisi II September 2007
Luas Areal Perkebunan dalam Ha. No Komoditi Tahun 2000 (Ha) 1 Kelapa Sawit 4,158,079.00 2 Kopi 1,260,687.00 3 Kakao 749,917.00 4 Tebu 340,660.00 Sumber : Data Departemen Pertanian
dengan cara bergiliran, yaitu gilir tetap dan gilir tahunan. Gilir tetap artinya bahwa tanah tersebut dapat dikerjakan oleh anggota masyarakat selama dia sanggup, namun kemudian akan dipindahkan ke anggota masyarakat lain apabila yang bersangkutan meninggal atau keluar dari desa tersebut. Sementara, cara gilir tahunan berarti bahwa tanahtanah yang ada akan dikerjakan secara bergiliran dari anggota masyarakat yang satu ke anggota masyarakat yang lain secara periodik menurut aturan yang ditetapkan. Inilah secara umum aturan-aturan yang berlaku didalam model kepemilikan tanah secara komunal. Yang pada masa kolonialisasi sangat rentan terancam oleh rencanarencana pengembangan produksi pertanian skala besar bagi kepentingan pasar eropa. Diluar model kemilikan tanah komunal tersebut di atas, dalam masyarakat Indonesia juga dikenal model kepemilikan tanah individual (perseorangan). Dimana tanah-tanah ini umumnya berasal dari usaha “babat” (pembukaan kawasan hutan, dll). Para pemilik tanah perseorangan ini memiliki hak yang penuh atas peruntukan dan pemanfaatannya. Demikian juga dalam hal memindahkan kepemilikan ke orang lain dalam bentuk transaksi jual beli maupun melalui hak waris ke anakcucunya atau ke anggota keluarga lainnya. Hanya saja, pada masa itu, sangat sulit bagi rakyat Indonesia untuk dapat mengadakan bukti-bukti kepemilikan atas tanah yang ada. Situasi inilah yang kemudian oleh Kolonialisme Belanda dimanfaatkan untuk memobilisasi tanah (melalui
Tahun 2006 (Ha) 6,074,926.00 1,263,606.00 1,191,742.00 384,016.00
perampasan dan penetapan berbagai pajak atas tanah, baik pajak hasil bumi maupun dalam bentuk uang serta melalui wajib kerja) bagi keperluan pertanian skala besar yang dilegalisasi oleh Agrarische Wet 1870. Atas dasar kedua kenyataan tersebut diatas serta adanya perubahan-perubahan yang terjadi pada keadaan agraria secara nasional, maka Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No.5 Tahun 1960 diterbitkan. Dengan maksud untuk mengatasi sekaligus mengakhiri dualisme hukum yang masih berlaku dalam masyrakat Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu hukum barat dan hukum adat. Tentu saja aturan-aturan hukum adat yang tidak sesuai dengan perubahanperubahan keadaan agraria yang terjadi maupun tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Selain itu, UUPA No.5 tahun 1960 juga bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diperlukan bagi kaum tani dalam wujud kepastian hukum atas tanah-tanah yang dikuasainya serta bertujuan untuk membatasi praktek monopoli atas tanah sebagai faktor produktif yang menentukan bagi kelangsungan hidup kaum tani, terutama petani miskin dan buruh tani. Pentingnya Pelaksanaan UUPA No.5 Tahun 1960 Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa UUPA No.5 Tahun 1960 memiliki peranan dalam membatasi sekaligus mencegah terjadinya monopoli sumber-sumber agraria (tanah) pada segelintir orang. Hal ini dipandang, selain
bertentangan dengan tujuan pendirian negara RI juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kaum tani dari ancaman perampasan tanah bagi kepentingan pertanian skala besar (perkebunan) seperti yang terjadi pada masa kolonialisme Belanda maupun praktik feodalisme yang berlaku secara luas di pedesaan. Secara formal pula, UUPA No.5 Tahun 1960 memberikan dasar legitimasi yang kuat untuk mengurangi penindasan maupun penghisapan manusia atas manusia pada cara produksi di sektor agraria. Dengan demikian, UUPA No.5 Tahun 1960 belumlah memiliki tujuan formal untuk menghapuskan sama sekali praktik monopoli atas sumber-sumber agraria, namun baru sekedar membatasinya. Meskipun demikian, secara umum peraturan perundangan ini telah mampu memberikan keuntungan politik dan lebih lanjut memberikan syarat yang diperlukan untuk perkembangan usaha produksi kaum tani. Tujuan inilah yang harus dipertahankan secara konsisten dan dilaksanakan secara konsekuen oleh kaum tani Indonesia. Dimana, pasca jatuhnya pemerintahan Soekarno dan dengan naiknya Rezim Orde Baru hingga Pemerintahan SBY-JK perkembangan sektor agraria maupun strategi pembangunan sektor pertanian yang ditempuh justru semakin bertentangan dengan tujuan dan maksud dari UUPA No.5 Tahun 1960. Gejala monopoli dan perampasan tanah-tanah rakyat dari waktu ke waktu semakin gencar mendesak kehidupan kaum tani dalam derajat yang menyedihkan. Dari data yang dihimpun oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia, didapatkan bahwa ekspansi dan penetrasi kapital di sektor agraria semakin hebat dan menciptakan terjadinya monopoli sumber-sumber agraria (tanah) yang vulgar. Selain itu, orientasi
Berita Kaum Tani 7
pembangunan sektor pertanian semakin di integrasikan dengan kepentingan imperialisme melalui pengusahaan pertanian skala besar (perkebunan) yang menyediakan kebutuhan pasar internasional. Ini jelas-jelas merupakan kebijakan yang mengingkari dan mengkhianati tingkat perkembangan dan kepentingan kaum tani maupun rakyat seluruhya. Luasnya pertanian perseorangan skala kecil dengan tujuan mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten farming) dan kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri diabaikan dengan memperluas produksi jenis tanaman komoditi (kepentingan pasar) bagi pasar internasional. Ini sangat jelas terlihat pada tabel luas areal pengusahaan perkebunan di bawah ini. Dari 4 (empat) jenis tanaman komiditi pada usaha perkebunan, usaha perkebunan kelapa sawit merupakan jenis komiditi yang paling besar penguasaan areal tanahnya. Paling tidak selama 6 (enam) tahun, dari tahun 2000 hingga tahun 2006 dari luas areal 4.158.079 Ha menjadi 6.074.926 Ha atau mengalami peningkatan sejumlah 1.916.847 Ha. Tentu saja luas areal perkebunan tersebut akan semakin besar bila ditambahkan dengan usaha perkebunan pada komoditas yang lain. Mengingat arti penting UUPA No.5 Tahun 1960 serta gejala meningkatnya monopoli sumbersumber agraria (tanah) melalui jalan perampasan tanah kaum tani tersebut, maka melalui peringatan Hari Tani Nasional, yang jatuh pada tanggal 24 September 2007 ini, dimana usia UUPA No.5 tahun 1960 telah mencapai 47 tahun, penting bagi kaum tani dan rakyat Indonesia untuk sekali lagi mempertegas tuntutannya dan mendesak kepada pemerintahan SBY-JK : “Pertahankan dan Laksanakan UUPA No.5 Tahun 1960 serta cabut berbagai perundang-undangan yang bertentangan dengannya”. (bkt)
Liputan Mendalam
Gagalnya Pelaksanaan Land Reform karena Lemahnya Pengorganisasian Politik
Aksi AGRA -Jakarta 21Desember 2006 menuntut UUPA
Meskipun Pemerintah Indonesia sampai sekarang tetap menyatakan masih menjalankan redistribusi tanah (land reform), namun bila ditinjau secara lebih objektif, sesungguhnya pelaksanaan land reform seperti yang ditetapkan tujuan dan prinsipprinsipnya dalam UUPA, telah berakhir sejak tumbangnya rezim Orde Lama. Apa yang kemudian dikerjakan oleh Orde Baru dan rezim-rezim politik setelahnya, tidak lebih dari sekedar mengurus administrasi pertanahan, bukan lagi menjalankan program land reform, yang mempunyai tujuan-tujuan ekonomi, politik, dan kebudayaan yang jelas. Ringkasnya, land reform Indonesia mengalami kegagalan, terutama karena tidak berhasil mencapai tujuantujuannya, baik tujuan ekonomi, apalagi tujuan politik dan kebudayaan. Kenapa pelaksanaan land reform di Indonesia mengalami kegagalan? Dalam laporan mengenai hambatan-hambatan pokok pelaksanaan land reform, Menteri Agraria Republik Indonesia di masa Orde Lama, Mr. Sadjarwo, menjelaskan ada tiga masalah yang
cukup penting: Pertama, masalah yang bersifat ke dalam, dari soal kesadaran, pengetahuan, sampai pada kesungguhan, dan komitmen waktu. Kedua, masalah yang bersifat politik, khususnya menyangkut pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Ketiga, menyangkut masalah administrasi, yang dalam hal ini dapat dipandang sebagai masalah kebijakan. Karena terjadinya hambatanhambatan ini, maka kemudian terjadilah apa yang dikenal sebagai gerakan aksi sepihak (unilateral actions). Aksi-aksi sepihak ini menjadi pusat persengketaan. Namun, apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan aksi sepihak ini dapat ditafsirkan dengan berbagai cara (Lyon, dalam Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 208-209). Aksi-aksi kedua pihak sama-sama merupakan aksi sepihak, karena aksi-aksi petani untuk melaksanakan UndangUndang Land Reform secara sepihak dimulai sebagai reaksi atas provokasi dan rintangan dari pihak tuan tanah. Jadi, hampir seluruh gerakan kedua pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak,
8 Edisi II September 2007
karena sebagian besar diadakan tanpa menghiraukan prosedur yang normal, misalnya tanpa menunggu keputusan Panitia Land Reform, atau bertentangan dengan keputusan Panitia Land Reform. Dari pengalaman Indonesia menjalankan UUPA sejak 1961 sampai 1965 jelas sekali adanya hambatan nyata akibat dinamika empat faktor: (i) Kelambanan praktik-praktik pemerintah melaksanakan Hak Menguasai dari Negara; (ii) Tuntutan (organisasi) massa petani yang ingin meredistribusikan tanah dengan segera sehingga menimbulkan aksi sepihak; (iii) Unsur-unsur anti land reform yang melakukan mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak bahkan menggagalkan land reform—juga dapat dinilai sebagai aksi sepihak; dan (iv) Terlibatnya kekerasan antara unsur pro land reform dan unsur anti land reform yang terkait dengan konflik kekerasan di tingkat elite negara. 1 Patut dicatat bahwa program land reform yang dijalankan dalam periode 1961 sampai 1965, berada dalam konteks politik nasional yang cukup mendukung di mana kepemimpinan nasional yang berada di dalam tangan Presiden Soekarno relatif memberikan dukungan politik untuk menjalankan program land reform tersebut. Namun di sisi lain, kekuatankekuatan anti land reform juga sangat gigih memberikan perlawanan, sehingga program land reform mengalami kegagalan total. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuatan-kekuatan tuan tanah dan pemilik tanah luas merupakan penyebab utama kegagalan pelaksanaan land reform Indonesia dalam periode 1961-1965. Atau dengan kalimat lain, penyebab utama kegagalan pelaksanaan land reform Indonesia dalam periode 1961-1965
adalah kegagalan yang bersifat politik, yaitu lemahnya pengorganisasian dukungan politik yang dibutuhkan untuk menjalankan program land reform. Sementara sebab-sebab lain seperti kelemahan administrasi organisasi pelaksana dan kebijakan (adanya sejumlah kelemahan aturan yang kemudian menimbulkan peluang penyelewengan), maupun kurang tersedianya dana land reform lebih bersifat sekunder. Tragisnya, kekuatan-kekuatan anti land reform inilah yang kemudian mengambil alih kepemimpinan nasional dari tangan Presiden Soekarno dalam tahun 1966, dan setelahnya mendirikan suatu rezim politik baru yang menamakan dirinya Orde Baru. Terbentuk dan berkembangnya rezim Orde Baru yang merupakan perwakilan politik dari kekuatankekuatan anti land reform (para pemilik tanah luas dan kaum tuan tanah), jelas memberikan jaminan bahwa land reform seperti yang diamanatkan oleh UUPA tidak akan mungkin dijalankan oleh rezim Orde Baru. Sehingga yang terjadi kemudian adalah berlangsungnya prosesproses pembalikan untuk memastikan bahwa hasil-hasil land reform sebelumnya tidak akan dapat dinikmati oleh para penerimanya. Dalam banyak kejadian, tanah-tanah yang semula merupakan tanah-tanah milik kaum tani penerima tanah objek land reform beralih tangan secara tidak sah ke tangan para perwira militer Indonesia. Dalam catatan yang dilakukan oleh Utrecht (1969), ada sekitar 150.000 hektar tanah-tanah yang semula telah diterima oleh kaum tani miskin dalam program land reform (redistribusi tanah), dirampas oleh rezim Orde Baru, dan kebanyakan jatuh ke tangan militer. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga mulai mencabut satu per satu aturan pelaksanaan dari
UUPA. Yang paling menonjol adalah dihapuskannya Pengadilan Land Reform pada tahun 1970, persis empat tahun setelah Orde Baru berkuasa dan juga dihapuskannya organisasi penyelenggara land reform. Meskipun demikian, Orde Baru tidak mencabut UUPA, sampai dengan tumbangnya rezim ini pada tahun 1998. Peristiwa-peristiwa inilah yang mengiringi kegagalan pelaksanaan land reform Indonesia, dan mempengaruhi kemudian tentang bagaimana gagasan-gagasan land reform diserap dalam konteks politik selama Orde Baru dan setelahnya. Artinya, bangsa Indonesia secara keseluruhan (pejabat, anggota parlemen, kaum intelektual, dan kaum tani) telah dibentuk oleh Orde Baru agar memahami bahwa land reform adalah gagasan yang salah, hanya karena gagasan ini pernah disokong oleh satu kekuatan politik yang berseberangan dengan ideologi politik Orde Baru. Oleh karena itu, bisa dimengerti kenapa gagasan land reform dan Reforma Agraria baru mendapatkan tempat kembali dalam konteks nasional, setelah Orde Baru tumbang pada bulan Mei 1998. Di sinilah kemudian muncul pikiran-pikiran baru untuk menempatkan kembali gagasan land reform dalam suasana politik yang baru, terutama melalui munculnya Ketetapan MPR No.IX/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang merupakan koreksi terhadap politik dan kebijakan agraria yang dianut oleh OrdeBaru.** Catatan Kaki 1 Lihat Noer Fauzi,“Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik”, dalam Endang Suhendar et.al.Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi .Bandung: Akatiga dan beberapa penerbit lain, 2002, hal. 251.
Berita Kaum Tani 9
Kabar Anggota
Aksi PPLP 27 Agustus 2007-Menolak rencana pemerintah melakukan penanmbangan pasir besi di pesisir Kulonprogo
Penolakan Rencana Pemerintah Melakukan Penambangan Biji Besi Kulonprogo, BKT- Aksi Petani pesirsir Kulonprogo berhasil memaksa Bupati dan DPRD menandatabgani surat pembatalan rencana penambangan pasir besi Perjuangan kaum tani yang terlibat dalam komite aksi Paguyuban Petani Kulonprogo (PPLP) pada tgl 27 agustus 2007 berhasil memaksa Bupati Kulonprogo Toyo Santoso Dipo dan ketua DPRD Kulonprogo untuk menanda tangani perjanjian diatas kertas untuk membatalkan rencana penambangan pasir besi disepanjang pantai Kulonrogo. Aksi yang dipimpin koordinator lapangan Sudarwanto (Kordinator AGRA Kulonprogo ) bukan-lah yang pertama, tetapi aksi ini merupakan rangkaian perjuangan yang sudah dilakukan jauh sebelumnya. Tonggak perjuangan aksi dimulai sejak 1 mei 2007 bertepatan pada hari buruh internasional, sekitar 500 massa aksi dari PPLP bergabung dengan ratusan massa aksi kaum buruh
menuju kantor Gubernur DIY, aksi ini menuai respon politik dari Pemerintah Provinsi DIY dengan sosialisasi rencana penambangan pasir besi di tiap-tiap desa. Sosilisasi yang dianggap tidak menguntungkan warga kemudian ditolak dan dibubarkan warga pesisir kulonprogo dengan perjuangan di masing-masing desa, hingga sosialisasi di tiap-tiap desa dapat digagalkan. Perjuangan membubarkan dan menggagalkan sosialisasi tidak menjadikan pemerintah berpikir ulang terhadap sikap penolakan kaum tani yang lahan garapannya tergusur, rencana penambangan akan tetap dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Kulonprogo. Sikap pemerintah yang tetap “cuek” terhadap penolakan warga akhinya membawa warga pada
aksi masa yang lebih besar. Tepatnya sekitar 5000 warga Paguyuban Petani Kulonprogo mendatangi kantor kabupaten Kulonprogo, aksi yang dipimpin Sudarwanto (AGRA Kulonprogo) berangkat mengunakan sepeda motor dan truk berkumpul di lapangan dekat kantor bupati. Walaupun mendapat hadangan dari aparat kepolisian, dengan keteguhan hati dan tekat yang bulat untuk mempertahankan tanah, masa aksi tetap memaksa untuk berdialaog dengan bupati Kulonprogo Toyo S Dipo. Dengan jumlah massa yang solid dan perjuangan yang solid akhirnya massa aksi berhasil menembus barikade polisi dan merobohkan pagar kabupaten. Keinginan warga untuk bertemu bupati tidak berhasil kaeran bupati tidak ada di tempat. warga yang coba untuk ditemui Sekda Kabupaten, namun warga menolak dan tetap ingin bertemu bupati Kulonprogo. Keinginan warga untuk bertemu bupati-pun gagal dan hanya dijanjikan dapat bertemu bupati pada hari senin, aksi masa yang kecewa kemudian menyegel kantor bupati dan kemudian kembali kerumah untuk menyusun strategi prjuangan dan mengevaluasi aksi. Berita Aksi senin 27 Agustus 2007 Paska evaluasi pada tanggal 24 Agustus 2007, rakyat yang tergabung dalam PPLP kemudian merencanakan aksi kembali ke kabupaten Kulonprogo dengan masa yang lebih banyak. Serta menyiapkan darf pernyataan pembatalan rencana penambangan pasir besi yang akan di tandatangani bupati Kulonprogo dan Ketua DPRD Kabupaten Kulonprogo. Alhasil pada hari senin tanggal 27 agustus sekitar 7000 kauam tani kembali menggelar aksi kembali untuk mempertahankan tanah
10 Edisi II September 2007
garapan. Aksi yang sermula akan digelar dikantor Bupati kemudian dialihkan menuju kantor DPRD setelah pimpinan di PPLP mngetahui bahwa bupati sedang meggelar rapat di kantor DPRD. Massa aksi yang bergerak dari desa masing-masing dan kemudian berkumpul di daerah Berqantan (tengah-tengah diantara 10 desa) untuk merapikan barisan dan kemudian tepat pukul 09.30 WIB masa kasi bergerak menuju kantor DPRD. Massa aksi yang berjumlah 7000 orang dengan menggunakan sepeda motor dan truk tiba di kantor DPRD sekitar pukul 11.15 WIB. Sudarwanto sebagai Korlap aksi langsung mengintruksikan masa aksi untuk memasuki halaman DPRD Kulonprogo, sambil meneriakan yel-yel aksi “land reform, tanah untuk rakyat” dan “Petani bersatu, menolak Tambang biji besi”, massa aksi meminta Bupati dan ketua DPRD menemui masa aksi. Aksi sempat memanas setelah menunggu hampir 2 jam dibawah terik matahari karena Ketua DPRD dan Bupati tidak bersedia menemui masa aksi. Setelah melalui negoisasi dan desakan masa akhirnya Bupati dan ketua DPRD Kulon progo menemui masa aksi. yang dibicarakan, masa aksi hanya menuntut dan mendesak kepada Bupati dan Ketua DPRD untuk menanda tangani draf pembatalan penambangan pasir besi di seluruh wilayah Kulonprogo serta memberi stempel pemerintaha dan DPRD Kulonprogo diatas tandatangan yang bermaterai. Setelah didesak oleh ribuan massa aksi, akhirnya Ketua DPRD dan Bupati Kulonprogo bersedia menandatangani surat yang telah dipersiapkan oleh PPLP. Massa aksi yang berjumlah ribuan tersebut dibawah komando kordinator lapangan bergerak meninggalkan kantor DPRD dan membubarkan aksi untuk pulang kemasing-masing desa.***(BKT)
Pendidikan Pimpinan AGRA yang Dipusatkan Pendidikan adalah sarana untuk meningkatkan pemahaman untuk memperhebat praktik. Kegiatan ini wajib dilaksanakan di seluruh jajaran organisasi. Pangalengan, BKTBerkaitan dengan pelaksanaan langgam organisasi, terutama pada prinsip bagimana organisasi dapat melaksanakan metode memimpin yang tepat, yaitu menciptakan hubungan yang erat antara pimpinan dengan anggota maupun massa luas kaum tani. Maka AGRA sebagai organisasi massa yang menghimpun kaum tani, nelayan dan suku bangsa minoritas memiliki tugas untuk menciptakan badan pimpinan yang stabil, berkesinambungan sekaligus memiliki kecakapan politik dan organisasi yang diperlukan. Melalui badan pimpinan yang demikian itulah, diharapkan organisasi dapat secara optimal menerapkan prinsip garis massa serta dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan tugastugas baru yang diembannya. Tugas untuk menciptakan badan pimpinan yang stabil ini pada dasarnya merupakan salah satu mandat—yang harus dilaksanakan oleh organisasi—sesuai dengan hasil-hasil Konferensi II AGRA. Untuk itulah, pada Tanggal 2227 Agustus 2007 yang lalu, Pimpinan Pusat AGRA mengadakan kegiatan pendidikan pimpinan yang dipusatkan yang diselenggarakan di PangalenganBandung. Pendidikan ini sendiri diikuti oleh sekitar 35 peserta yang merupakan delegasi dari anggota Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan beberapa pimpinan organisasi ditingkat cabang maupun anak cabang.
Secara umum, pendidikan pimpinan kali ini bertujuan untuk mencapai kesatuan politik dan organisasi berkenaan dengan problem-problem pokok Kaum Tani Indonesia dan tugas perjuangan terdekat yang harus dilakukan pada situasi dewasa ini. Selain itu, beberapa materi pendidikan, semisal tentang pembetulan cara berfikir serta Masyarakat (kaum tani) Indonesia dan Perjuangannya merupakan tema-tema materi yang cukup penting dibahas dan diperdalam dalam pendidikan yang dimaksud. Pada giliran materi tentang organisasi massa kaum tani, terutama tentang taktik dan strategi memperkuat serta mengembangkan organisasi pada tingkatan ranting, banyak peserta pendidikan memberikan tanggapan maupun pandangan menurut pengalaman kerja politik dan organisasi-nya selama ini. Para peserta melalui diskusi mendalam saling memperkaya dan menarik sejumlah pelajaran dari kerja-kerja yang yang selama ini dilakukan di wilayahnya masingmasing. Secara umum peserta cukup antusias mengikuti sesi-sesi pendidikan dengan penuh disiplin. Banyak dari kalangan peserta berharap agar pendidikan serupa secara teratur dapat diselenggarakan. Maka, tugas selanjutnya dari organisasi adalah menyelenggarakan pendidikan pimpinan di tingakatan organisasi dibawahnya di semua wilayah kerja. Selamat dan sukses!!!. (bkt)
Berita Kaum Tani 11
Pendapat
Menghilangnya Lumbung di Desa Kita Oleh Rahmat Ajiguna Bangunan yang merupakan tempat menyimpan bahan pangan yang dihasilkan oleh kaum tani di pedesaan itu mulai menghilang, mengapa? Dari sekian banyak persoalan yang hadir di sekitar kita, salah satu masalah yang kerap kita temui sehari-hari adalah menghilangnya lumbung-lumbung pangan di desadesa. Saat ini, keberadaan lumbunglumbung pangan desa mungkin hanya tersisa dalam ingatan petanipetani tua di Jawa. Sementara di luar Jawa, keberadaannya memang masih kerap ditemukan, namun fungsinya dan peranannya telah sangat berkurang. Masa depannya pun mungkin akan sama dengan keadaan yang terjadi di Jawa saat ini. Secara fisik, lumbung adalah sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penyimpang berbagai bahan pangan yang dihasilkan masyarakat seperti beras dan jagung. Namun fungsi fisik yang sederhana ini menyimpan peranan sosial yang cukup penting bagi kelangsungan hidup masyarakat desa. Lumbung merupakan komponen produksi yang hampir memiliki kedudukan yang sama dengan tanah. Tidak salah bila kita mengatakan bahwa lumbung adalah sarana yang cukup penting guna menunjang kedaulatan pangan rakyat. Bagaimana Lumbung Menghilang? Percaya atau tidak, hilangnya lumbung-lumbung desa sesungguhnya merupakan dampak paling paling konkret dari kolonialisme. Sebab menghilangkan lumbung-lumbung di pedesaan berarti membuka kemungkinan untuk melakukan penjajahan. Tidak salah bila proses penghilangan
lumbung-lumbung desa sebenarnya telah dimulai sejak masa penjajahan kolonial di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa factor yang menyebabkan hilangnya lumbunglumbung di desa. Pertama, perubahan system produksi pertanian, dari system pemenuhan kebutuhan sendiri (self sufficient agricultural production) menjadi pertanian berorientasi komoditi. Proses ini ditempuh dengan mengembangkan monokulturisasi dan komoditisasi pertanian melalui perkebunan-perkebunan besar. Sejarah mencatat bahwa Jawa Barat adalah wilayah yang pertama kali diperkenalkan dengan system perkebunan-perkebunan besar yang mirip dengan hacienda. Upaya tersebut pertama kali dirintis oleh VOC pada abad ke-18 melalui Preanger Stelsel yang kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Willem van Den Bosch pada abad ke19 melalui Sistem Tanam Paksa. Sistem ini tidak berhenti dan terus dilanjutkan dalam bentuk perkebunan-perkebunan besar partikelir (swasta) maupun negara sejak berlakunya Undang-Undang Agraria 1870 sampai sekarang. Yang dimaksud dengan monokulturisasi pertanian adalah penyeragaman tanaman pertanian yang dilakukan secara intensif melalui sistem perkebunan. Sistem ini memberangus tipologi pertanian ladang yang umumnya digunakan untuk menanam berbagai jenis tanaman yang bisa secara komplementer memenuhi kebutuhan pangan pada segala jenis cuaca. Sedangkan yang dimaksud dengan komoditisasi pertanian adalah
diubahnya fungsi tanaman dari tanaman yang bersifat sosial sebagai sarana sosial untuk mempertahankan hidup secara komunal dan mandiri, menjadi komoditi (barang dagangan) yang cenderung lebih berorientasi individual. Monokulturisasi dan komoditisasi pertanian merusak keseimbangan sosial antara petani—sebagai komponen pokok masyarakat pedesaan—dengan pertanian— sebagai tulang punggung perekonomian desa. Proses yang berlangsung dalam rentang sejarah yang cukup panjang ini menyebabkan petani pada umumnya teralienasi dari pertanian. Hal ini dicontohkan dengan fenomena-fenomena ketika petani sebagai produsen pangan, ternyata menjadi konsumen produk pangan, misalnya beras. Kedua, dalam sejarahnya, monokulturisasi dan komoditisasi pertanian tidak dilaksanakan dengan proses politik yang dialogis dan demokratis. Proses tersebut dilaksanakan dengan cara represi politik yang tidak jarang melahirkan konflik-konflik sosial di pedesaan. Proses itupun tidak hanya dilakukan dengan penggusuran dan mobilisasi petani untuk mendapatkan tanah dan tenaga kerja demi pelaksanaan tanam paksa sebagaimana dilukiskan oleh Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888. Upaya-upaya politik yang secara langsung diarahkan untuk membubarkan eksistensi lumbung desa pun pernah terjadi. Salah satu peristiwa sejarah yang dapat dijadikan contoh adalah peristiwa kerusuhan di ‘afdeling B’ di Cimareme, Garut tahun 1919. Di dalam peristiwa itu, masyarakat desa yang berusaha mempertahankan eksistensi lumbung desa dari penetrasi politik pemerintah kolonial harus menghadapi tembok
12 Edisi II September 2007
tebal kekuasaan kolonial. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda berusaha memobilisasi beras secara paksa. Perlawanan atas pemaksaan inilah yang menjadi faktor pemicu terjadinya kerusuhan di afdeling B, Cimareme, Garut tahun 1919. Upaya yang hampir serupa pun dilakukan oleh Jepang pada saat pendudukan di Indonesia (19421945). Diuraikan oleh Aiko Kurasawa dalam buku Mobilisasi dan Kontrol, pemerintah pendudukan Jepang melaksanakan ekonomi perang yang ditujukan untuk memobilisasi sumber-sumber daya— termasuk pangan—dari masyarakat. Untuk melaksanakan upaya ini, pemerintah secara efektif melakukan penyitaan padi-padi yang disimpan di lumbung-lumbung, baik yang dimiliki desa maupun keluarga-keluarga petani. Alhasil, sumber pangan menjadi langka dan kelaparan terjadi di mana-mana. Kerasnya represi politik atas eksistensi lumbung desa sebenarnya mengandung makna kuatnya keterikatan sosial antara lumbung dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat pedesaan. Logikanya, tidak mungkin pemerintah kolonial Belanda maupun pendudukan Jepang melakukan pemaksaan secara militer terhadap lumbung desa bila keterikatan sosial dan kulturalnya tidak cukup kuat. Ketiga, revolusi hijau. Revolusi hijau juga telah menyebabkan tingginya ketergantungan sektor pertanian terhadap pasokan komoditas dari kota, baik berupa pupuk, obat-obatan, bibit, maupun suplemen pertanian lainnya. Asupan teknologi, mesin-mesin, bibit, pupuk, obat-obatan, dan teknologi rekayasa pertanian lainnya yang umumnya merupakan komoditas-komoditas yang berasal dari industri. Produk yang dihasilkan di sektor pertanian bukanlah produk untuk kepentingan konsumsi, melainkan produk untuk dipasarkan atau produk
komoditas. Situasi ini menyebabkan maraknya praktik perantaraan di pedesaan, yang diperankan oleh tengkulak, pengijon, penebas, pengepul dan lain-lain. Tengkulak, pengijon, penebas, pengepul dan lain-lain pada akhirnya menjadi benalu dalam kehidupan ekonomi petani karena umumnya membeli hasil pertanian dengan cara monopoli dengan harga murah. Keempat, pemiskinan terhadap kaum tani. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, persentase rumah tangga petani guram terhadap rumah
Yang dimaksud dengan reforma agraria adalah melakukan program penguatan askes petani atas lahan yang khususnya diarahkan pada petani-petani gurem dan buruh-buruh tani. Penguatan akses ini bisa dilaksanakan dengan melakukan redistribusi lahan atau dengan pengurangan biaya sewa lahan dan peningkatan upah buruh tani. tangga pertanian pengguna lahan meningkat, yaitu dari 52,7 persen pada tahun 1993 menjadi 56,5% pada tahun 2003. Hal itu mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia. Tercatat kenaikan persentase rumah tangga petani guram di Jawa jauh lebih cepat dari luar Jawa. Sementara itu, banyaknya rumah tangga (RT) pertanian secara rata-rata meningkat sebesar 2,2 persen per tahun. Tingginya jumlah petani gurem pada gilirannya menyebabkan melemahnya kedaulatan pangan rakyat. Di samping karena tingginya biaya sewa lahan atau rendahnya upah buruh pertanian, tingginya biaya
produksi pertanian dan tidak adanya jaminan harga produk pertanian dari pemerintah menyebabkan kinerja sektor pertanian mengalami kemerosotan. Besarnya kebutuhan dibandingkan pendapatan menyebabkan hanya sedikit saja petani yang memiliki tabungan, baik dalam bentuk uang maupun natura. Hal ini mempercepat hilangnya lumbung-lumbung di desa-desa, khususnya di pulau Jawa. Mengembalikan Lumbung Jadi, sama halnya dengan menghilangnya penguasaan petani atas tanah, menghilangnya lumbunglumbung pangan di desa-desa juga menyimpang sebuah proses historis yang cukup panjang. Sebuah proses yang patut kita tarik pelajarannya saat ini. Pertama, melaksanakan reforma agraria. Yang dimaksud dengan reforma agraria adalah melakukan program penguatan askes petani atas lahan yang khususnya diarahkan pada petani-petani gurem dan buruhburuh tani. Penguatan akses ini bisa dilaksanakan dengan melakukan redistribusi lahan atau dengan pengurangan biaya sewa lahan dan peningkatan upah buruh tani. Program redistribusi lahan bisa dilaksanakan dengan sasaran lahanlahan terlantar dan lahan-lahan absentee yang terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia. Obyek lahan yang bisa diredistribusi juga bisa berasal dari lahan-lahan milik yang melebihi batas maksimum kepemilikan tanah berdasarkan UUPA 1960. Sedangkan program pengurangan biaya sewa lahan dan peningkatan upah atau bagi hasil yang adil bagi buruh tani bisa dilaksanakan di hampir semua wilayah pertanian. Tujuannya adalah meningkatkan pendapatan petani agar memiliki kemampuan untuk menabung melalui hasil pertaniannya.
Berita Kaum Tani 13
Kedua, memberikan dorongan kelembagaan baik secara ekonomi maupun politik untuk mendukung program reformasi agraria. Program yang dimaksud adalah melakukan kolektivisasi dan pengkoperasian hasil pertanian. Meskipun pernah dilaksanakan dan sepertinya tidak berhasil mencapai tujuan namun bukan berarti program ini tidak relevan. Yang dimaksud dengan kolektivisasi adalah menciptakan sistem pertanian yang terintegrasi dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat desa. Masyarakat petani dapat diorganisasikan untuk membagi tenaganya dalam dua aktivitas utama; (1) menanam tanaman pangan yang ditujukan untuk konsumsi sehari-hari; (2) menanam tanaman komoditi yang ditujukan untuk dijual guna memenuhi kebutuhan uang. Tanaman pangan maupun komoditi dikumpulkan dalam koperasi-koperasi yang untuk kemudian dibagikan kembali kepada petani-petani yang menjadi anggotanya. Khusus untuk tanaman pangan, proses pembagiannya dilakukan secara merata sesuai dengan kebutuhan keluarga petani dan sisanya dikumpulkan dalam lumbung-lumbung desa sebagai cadangan material untuk mengantisipasi paceklik. Sementara tanaman-tanaman komoditi yang dihimpun akan dijual ke pasar secara bersama. Dengan begitu, daya tawar produk pertanian bisa lebih tinggi, sebab tidak lagi dilakukan secara individual tapi dilakukan secara kolektif. Adapun hasil dari penjualan komoditi sebagian bisa dibagikan langsung kepada seluruh petani dalam suatu desa yang menjadi anggota koperasi, sebagian lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain seperti pembiayaan sekolah-sekolah dasar dan klinik-klinik kesehatan desa.***
Praktik
Membangun Ranting:
Memimpin Politik dan Organisasi Organisasi tani yang kuat adalah organisasi yang memiliki basis yang jelas serta punya program perjuang yang bertalian erat dengan kepentingan kaum tani. Untuk organisasi tani, basis terendah yang menghimpun kekuatan utama kaum tani terdapat di pedesaan. Karena itu, pembangunan organisasi tingkat desa sangatlah penting untuk dilakukan, karena dari tingkat desa inilah perjuang kaum tani akan di mulai. Ranting juga berfungsi untuk mengkongkonsolidasikan dan memobilisasi anggota, memberikan pelayanan langsung terhadap kebutuhan anggota di bidang pengembangan ekonomi pedesaan, pendidikan anggota dan berbagai pelayanan sosial lainnya. Diranting ini pula pekerjaan penyelidikan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan dijalankan untuk mendukung perjuang massa kaum tani dan semua golongan masyarakat di pedesaan. Pendidikan Anggota Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk membangun ranting. Syarat-syarat tersebut adalah adanya pendidikan terhadap anggota dan calon anggota. Pendidikan ini ditujukan untuk mengenalkan calon anggota pada masalah-masalah pokok yang dialami sehari-hari oleh kaum tani di pedesaan dan pentingnya perjuangan bersama untuk mengatasinya Sedangkan untuk anggota, pendidikan ditujukan untuk memperkuat pemahaman tentang cara-cara berorganisasi yang baik dan demokratis. Selain itu, pendidikan yang dilaksanakan juga diarahkan untuk
memperkuat pemahaman anggota mengenai masalah-masalah politik dan pentingnya persatuan di kalangan rakyat untuk mencapai tujuan bersama. Intinya, pendidikan dalam organisasi haruslah menjadi cara utama untuk memecahkan persoalan. Artinya, pendidikan yang dilaksanakan harus memiliki keterkaitan secara konkret dengan permasalahan yang dialami. Pendidikan bukan hanya untuk memperkaya pengetahuan, melainkan harus sampai memberikan pedoman praktik yang konkret bagi anggota. Sebab, hanya dengan cara demikian, partisipasi dan kegairahan anggota dalam seluruh kegiatan organisasi akan memiliki sandaran yang nyata. Rapat Umum Anggota Pendidikan dan perjuangan adalah nyawa dari seluruh kegiatan organisasi. Pendidikan berfungsi untuk mengarahkan, sementara perjuangan berfungsi untuk menentukan hasil. Pendidikan dan perjuangan adalah dua mata pisau yang harus sama-sama tajam. Muara dari seluruh aktivitas pendidikan dan perjuangan dalam organisasi tingkat ranting adalah rapat umum anggota (RUA). Dalam Konstitusi AGRA, RUA adalah forum pengambilan keputusan tertinggi dari organisasi AGRA tingkat ranting (desa). Melalui forum ini, seluruh anggota AGRA tingkat ranting diajak untuk memperkaya pengetahuan, menebalkan pemahaman, memperkuat keyakinan pada perjuangan. Forum ini adalah forum pendidikan yang paling utama, ketika seluruh anggota secara prinsip
14 Edisi II September 2007
akan bertindak sebagai guru sekaligus murid bagi anggota yang lain. Forum RUA juga merupakan forum untuk mengasah padang perjuangan yang paling tinggi. Dalam forum ini, seluruh pengalaman praktik perjuangan akan dibahas secara menyeluruh dan bersama-sama. Tujuannya tidak lain, untuk menemukan gagasan-gagasan perjuangan baru yang akan mengangkat derajat perjuangan pada tingkat yang lebih tinggi. Kepemimpinan Kolektif Organisasi ranting AGRA yang maju adalah organisasi yang tidak bertumpu pada kepemimpinan orang per-orang, melainkan bersandar pada kepemimpinan kolektif. Yang dimaksud dengan kepemimpinan kolektif adalah kepemimpinan dari seluruh anggota organisasi. Yang bisa masuk menjadi anggota kolektif pimpinan adalah mereka yang paling memiliki pengalaman yang maju, pemahaman yang paling mumpuni, paling gigih dan teladan dalam bekerja, dan dipilih oleh semua anggota organisasi. Sistem komite adalah pelaksanaan praktek sehari-hari dari prinsip demokrasi terpusat dan kepemimpinan kolektif. Sistem ini berbeda dengan sistem fungsional yang biasa digunakan sebagai sistem organisasi yang tidak demokratis. Dalam sistem ini semua anggota akan terlibat dalam bagianbagian kerja yang telah dirumuskan sebelumnya. Walaupun harus kita pilih pimpinan untuk memimpin sebuah bagian kerja atau seluruh organisasi namun hubungan pimpinan dan anggota harus setara dan berkaitan erat. Pimpinan tidak punya hak khusus, suara pimpinan sama dengan anggota dan bertanggungjawab terhadap jalannya tugas. Anggota harus mendukung, membantu, hormat pada pimpinan, memberi laporan, dan menjaga kelancaran pertemuan.
1. Rapat atau pertemuan adalah kegiatan yang penting untuk memutuskan sebuah persoalan atau memilih pimpinan dalam organisasi. Rapat terkadang menjadi membosankan dan bertele-tele jalannya karena rapat diselenggarakan hanya untuk memenuhi rutinitas. Untuk menghindari agar rapat tidak membosankan, bertele-tele, atau hanya formalitas saja, penting kita mengetahui cara menjalankan rapat yang benar, yaitu: Membuat rencana dalam mengadakan pertemuan rutin. Pertemuan tidak terlalu sering atau jarang jangka waktunya, sesuaikan dengan penghidupan massa. 2. Selama pertemuan jangan diselenggarakan terlalu lama atau singkat. Kita bicarakan hal-hal penting terlebih dahulu, yaitu tentang kerjakerja organisasi dan informasi perkembangan terbaru, kemudian baru membicarakan hal-hal yang lebih ringan seperti: arisan, pembayaran iuran atau yang lain. 3. Sebelum menjalankan rapat, para pimpinan harus memberitahu jauh hari sebelumnya dan menyiapkannya materi pembahasan yang harus diketahui oleh anggota sebelumnya agar dapat mempersiapkan diri. 4. Membuat administrasi yang sederhana tentang notulensi rapat,
keuangan, ataupun data keanggotaan. 5. Adanya tukar informasi di antara anggota dengan lancar dalam pertemuan resmi agar setiap anggota dapat mengetahui dan mengeluarkan pendapatnya berkaitan dengan informasi tersebut. Organisasi Ranting Ranting adalah organisasi AGRA di tingkat desa atau yang setingkat dengan desa yang menjalankan kepemimpinan politik dan organisasi di tingkat desa atau yang setingkat desa. Ranting dapat dibentuk sekurang-kurangnya 5 kelompok tani dengan jumlah anggota sekurang kurangnya 75 orang. Dalam AGRA Ranting tersebut, anggota yang ada diorganisasikan kedalam kelompokkelompok tani. Setiap kelompok tani beranggotakan antara 15-30 orang yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok. Dalam menjalankan kepemimpinan politik dan organisasi harian, Pimpinan Ranting berhak membuat rencana kerja harian politik dan organisasi yang tidak bertentangan dengan hasil-hasil Rapat Umum Anggota serta hasilhasil ketetapan organisasi AGRA di tingkat yang lebih atas.
UCAPAN SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA Segenap Jajaran Pengurus Pusat AGRA Mengucapkan Selamat menjalankan Ibadah Puasa 1428 H, Mohon Maaf Lahir dan batin.
Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Erpan Faryadi Sekjend
Berita Kaum Tani 15
Solidaritas
BMI Hongkong Menolak Overcharging
Aksi Pilar: Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR) melakukan aksi piket di depan Konsulat Jenderal RI di Hongkong menuntut dihentikannya berbagai praktik pungutan berlebih (overcharging) terhadap BMI.
Beberapa organisasi Buruh Migran Indonesia (BMI) yang tergabung dalam Persatuan Buruh Migran Indonesia Tolak Overcharging (PILAR) di Hongkong melakukan rangkaian aksi untuk menolak pemotongan gaji berlebihan yang dilakukan oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) dan agensi penempatan BMI di Hongkong. Rangkaian aksi itu tersebut dilancarkan di depan Kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong (26/8). Aksi tersebut dipicu oleh tingginya biaya penempatan yang dibebankan kepada para BMI. Menurut survey yang dilakukan oleh PILAR, masing-masing BMI umumnya dikenai biaya penempatan mencapai 21.000 dolar Hongkong atau sekitar Rp 21 juta. Biaya sebesar 21.000 dolar Hongkong itu berasal dari biaya pokok penempatan yang mencapai 16.000 dolar Hongkong plus bunga bank yang mencapai 5.000 dolar Hongkong. Biaya tersebut menjadi beban BMI yang harus dibayarkan dengan memotong upah bulanannya.
Juru bicara PILAR, Enny Lestari, mengatakan biaya tersebut mengakibatkan upah buruh migran Indonesia mengalami potongan berlipat dan jauh di atas potongan yang dibebankan kepada buruhburuh migran dari negara-negara lain yang bekerja di Hongkong. Tidak kurang selama lima sampai tujuh bulan, setiap BMI harus menyetorkan upahnya kepada agensi. Dalam upaya ini, pihak agensi kerap melibatkan pihak lain yang bertindak sebagai penagih utang alias “debt collector” yang sewaktu-waktu bisa meneror BMI bila yang bersangkutan telat atau tidak sanggup mencicil biaya tersebut. PILAR yang merupakan gabungan dari 18 organisasi buruh migran Indonesia di Hongkong menuntut Pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal RI di Hongkong untuk menghentikan overcharging dengan menetapkan biaya penempatan hanya satu bulan gaji (sesuai dengan standar internasional). Selain itu, PILAR juga mendesak KJRI untuk melibatkan
BMI dalam pengambilan berbagai kebijakan yang terkait dengan penempatan dan perlindungan BMI, membebaskan BMI untuk bisa melakukan proses pencarian kerja secara mandiri, mencabut SK No. No. B603/BP/1999 dan SK Dirjen Binapenta No. 653/2004, menuntut pencabutan UU No. 39/2004 tentang PTKILN, dan menuntut pembubaran terminal khusus TKI (terminal III) di bandara Soekarno Hatta. Di luar ketentuan Angka ini jauh di atas biaya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan, baik dari peraturan yang diberlakukan Pemerintah Indonesia maupun ketentuan Pemerintah Hongkong tentang biaya penempatan bagi pekerja rumah tangga asing (foreign domestic helpers). Bila ketentuan-ketentuan itu diterapkan secara konsisten, BMI sebenarnya hanya membayar biaya penempatan sebesar 4038 dolar Hongkong. Tingginya biaya penempatan yang dibebankan kepada BMI disebabkan banyaknya pungutan biaya yang sebenarnya sudah tidak lagi menjadi kewajiban BMI. “Misalnya, pungutan tentang biaya tiket dan asuransi, menurut ketentuan Hongkong, biaya tiket dan asuransi sebenarnya menjadi kewajiban oleh majikan. Namun oleh PJTKI dan agensi TKI di Hongkong, setiap BMI masih tetap diwajibkan untuk membayar biaya tersebut,” jelas Iwenk, salah satu pengurus ATKI yang saat ini ada di tanah air. Penetapan biaya penempatan sebesar 21.000 dolar Hongkong itu sendiri ditetapkan berdasarkan keputusan Keputusan no. B603/BP/ 1999 yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pihak Konsulat Jenderal RI yang mengeluarkan keputusan itu sendiri tidak bersedia merinci komponen biaya yang dijadikan standar dalam menghitung total biaya penempatan. PILAR menduga, masalah biaya penempatan BMI di luar negeri
16 Edisi II September 2007
penuh dengan indikasi korupsi. Dugaan ini dikuatkan dengan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mensinyalir adanya 11 indikasi korupsi dalam penempatan BMI. Indikasi tersebut berupa adanya praktik suap dalam pengurusan dokumen dan penempatan biaya yang berlebihan kepada BMI. Padahal menurut UU No. 39 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PTKILN), masalah penetapan biaya penempatan harus dilakukan secara transparan. Artinya, adanya indikasi korupsi dan keengganan pihak KJRI untuk membuka secara transparan komponen-komponen biaya penempatan ini, dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap undang-undang. Desakan ini pernah disampaikan secara langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Soeparno saat berkunjung ke Hongkong (9/9). Namun Menakertrans Erman Soeparno lebih suka berdangdut dan nyanyi ‘Cucak Rawa’ ketimbang menemui BMI yang tengah melakukan demonstrasi. Walhasil, tuntutan BMI pun kembali kandas karena ulah sang menteri yang enggan menerima aspirasi. Menakertrans menyatakan hendak “menurunkan” biaya penempatan BMI di Hongkong menjadi 15.000 dolar Hongkong. Kesepakatan ini sudah tinggal finalisasi.biaya tersebut masih sangat tinggi, pihak menakertrans pun masih enggan merinci komponenkomponen biaya dalam usulan keputusan biaya penempatan yang baru. Kontan saja, kabar ini tidak melegakan BMI. Aksi-aksi pun direncanakan akan terus dilakukan sampai semua tuntutan terpenuhi.***
SERUAN NASIONAL ALIANSI GERAKAN REFORMA AGRARIA UNTUK PERINGATAN HARI TANI NASIONAL DAN ULANG TAHUN UUPA KE-47
Jalankan UUPA secara Konsekuen guna Memperbaiki Kehidupan Rakyat Petani Tak terasa UUPA (UndangUndang Pokok Agraria) sudah berusia 47 tahun. Saat diundangkan pada tanggal 24 September 1960 dan sampai Seruan AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) ini dibuat, UUPA masih memandatkan agar Pemerintah Indonesia menjalankan Redistribusi Tanah (Land Reform) secara konsekuen. Oleh karena pentingnya UUPA bagi perbaikan kehidupan petani Indonesia, maka almarhum Presiden Soekarno menetapkan hari kelahiran UUPA sebagai Hari Tani Nasional. Dengan demikian, ketika kita merayakan hari kelahiran UUPA setiap tanggal 24 September, sekaligus kita merayakan Hari Tani Nasional. Sampai sekarang, UUPA adalah landasan hukum terpenting bagi pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia. Secara legal, Reforma Agraria (Pembaruan Agraria) di Indonesia didasarkan pada UUPA (nama lengkapnya Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), UU No.56 Prp/1960, dan UUPBH (UU No.2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil). Bila melihat UUPA, maka
agraria yang dimaksud di Indonesia adalah lebih dari sekedar tanah saja, tetapi mencakup juga “Bumi, Air, Ruang Angkasa, dan Kekayaan Alam yang Terkandung di Dalamnya”. Ketika diadakan program Reforma Agraria di Indonesia di tahun 1962-1965, maka yang dimaksud sebenarnya baru terbatas pada Land Reform, dan itupun baru menyangkut tahap awal, yaitu redistribusi tanah dan pembaruan dalam perjanjian bagi hasil. Sebagai suatu sistem dan tata hukum agraria yang baru, nilainilai yang terdapat dalam UUPA diambil dari Hukum Adat, yang pada masa kolonial direndahkan posisinya dan dianggap sebagai hukum kaum tidak beradab. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa hukum adat yang digunakan sebagai sumber hukum UUPA adalah hukum adat yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, serta tidak bertentangan dengan UUPA itu sendiri atau undang-undang lainnya, dan terakhir bersandar pada hukum agama. Ini berarti bahwa sumber hukum adat yang diakui dalam UUPA
Berita Kaum Tani 17
adalah nilai-nilai yang sesuai dengan tujuan fungsi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; berupaya meningkatkan kesejahteraannya, memerdekakan masyarakat dalam arti ekonomi maupun politik, serta menganut paham kebangsaan yang menolak penguasaan dan pemilikan tanah di tangan segelintir masyarakat saja; penggunaan tanah lebih ditujukan untuk rakyat, khususnya rakyat petani. Hukum adat dipandang akan lebih sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, lebih sederhana, dan lebih mampu menjamin kepastian hukum. Dari UUPA dapat dilihat adanya upaya untuk merealisasikan kehendak memerdekakan dan menyejahterakan rakyat dan menghapuskan praktik-praktik eksploitatif pemerintah kolonial, baik kaum kapitalis asing maupun kaum feodal. UUPA mengandung lima prinsip yang kemudian menjadi dasar-dasar utama yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal dalam UUPA, UndangUndang Pelaksanaannya maupun peraturan pelaksanaan yang lainnya. Sebagai penjabaran UUPA, diterbitkan UU No.56 Prp tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, yang mengatur: (a) penetapan luas maksimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (b) penetapan luas minimum penguasaan dan pemilikan tanah pertanian, (c) larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-bagian yang kecil, dan (d) penebusan dan pengembalian tanah-tanah pertanian yang digadaikan. Sebagai pelaksanaan UU ini diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Lima prinsip utama UUPA tersebut adalah: (1) Prinsip Nasionalitas; Prinsip ini berarti, seluruh wilayah Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, merupakan kesatuan tanah air dari bangsa Indonesia, kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa Indonesia, sehingga menjadi hak dari bangsa, dan karenanya tidak semata-mata menjadi hak pemiliknya saja. Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya bersifat abadi (Pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti, sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apa pun yang dapat memutuskan hubungan hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat adat (suku bangsa minoritas) yang memungkinkan adanya Hak Milik, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan hak-hak atas tanah lainnya yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum. Prinsip ini juga menentukan
bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak atas tanah atas dasar hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Pasal 9 ayat 2 UUPA), sementara bagi warga negara asing dilarang (Pasal 26 ayat 6 UUPA). (2) Prinsip Hak Menguasai dari Negara (HMN); Prinsip ini berarti bahwa azas domein yang menjadi dasar undang-undang kolonial dihapuskan, sehingga praktik-praktik negara yang memiliki tanah pada wilayahnya tidak diakui lagi. Azas domein pada masa kolonial mengandung pengertian sebagai hak milik mutlak negara kolonial Hindia Belanda, untuk itu maka pemerintah kolonial bisa menjual tanahtanah Indonesia kepada siapa saja, bahkan kepada warga negara asing, yang pada masa lalu menimbulkan banyaknya tanah-tanah partikelir dan tuan-tuan tanah dengan hak yang sangat luas dan dapat diibaratkan seperti adanya negara (tanahtanah partikelir) dalam negara (Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda). Azas domein telah dihapuskan, dan ditetapkan hak menguasai negara yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 UUPA, dengan pengertian bahwa hak ini hampir sama dengan hak ulayat dalam masyarakat adat. Berbeda dengan azas domein, Hak Menguasai dari Negara (HMN) menempatkan negara tidak menjadi pemilik tanah melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia. Adapun batas dari HMN adalah, bahwa HMN tidak boleh mengesampingkan hak-hak atas tanah yang telah dipunyai oleh warga negara Indonesia ataupun badan hukum-badan hukum. Sementara, untuk yang tidak dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya, berdasarkan HMN, negara mempunyai kekuasan penuh dan luas untuk dapat memberikannya dengan suatu hak kepada warga negara ataupun badan hukum menurut keperluan maupun peruntukannya. (3) Prinsip Tanah Mengandung Fungsi Sosial; Prinsip ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang tidak dibenarkan untuk dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata demi kepentingan pribadi, apalagi sampai merugikan masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan, sifat, dan haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Tanah harus dipelihara baik-baik, ditambah kesuburannya, serta dicegah dari kerusakan-kerusakannya. Bumi, air, kekayaan alam, dan ruang angkasa adalah hak seluruh bangsa Indonesia, yang merupakan kekayaan nasional, bukan milik orang per orang atau segelintir masyarakat saja. Bagi pemilik sesuatu hak atas
18 Edisi II September 2007
tanah di Indonesia harus melihat haknya dalam kerangka ini, yakni dalam kerangka hak seluruh bangsa. Karenanya, setiap tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak mengandung fungsi sosial, yang berarti tidak dikuasai secara absolut dan mutlak, melainkan di dalam penggunaannya dibebani dengan kepentingan umum. Penggunaan tanah dengan maksud atau yang dapat merugikan kepentingan umum dilarang. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum. Karenanya, pemilikan, peruntukan, dan penggunaan hak-hak agraria dilandasi dengan azas produktivitas, dijamin kelestariannya dan dimiliki secara merata oleh seluruh rakyat. (4) Prinsip Land Reform; Prinsip ini adalah gambaran dari tujuan menciptakan suatu struktur pemilikan tanah yang baru. Prinsip Land Reform ini, adalah sebagaimana yang diutarakan dalam Pidato Menteri Agraria Republik Indonesia Mr. Sadjarwo dalam Sidang Pleno DPR-GR pada tanggal 12 September 1960 di Jakarta, yaitu antara lain: (a) Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial; dan (b) Untuk melaksanakan prinsip: tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek (maksudnya alat) pemerasan. Prinsip land reform, dalam UUPA dinyatakan pada Pasal 13 jo.Pasal 17, tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki seorang petani, supaya dapat mencukupi secara layak bagi diri sendiri dan keluarganya, kemudian tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (Pasal 17 UUPA), yang bermaksud untuk mencegah penguasaan tanah luas pada tangan segelintir orang. Selanjutnya, pada Pasal 7 UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan tanah yang melampaui batas, karena bisa merugikan kepentingan umum, khususnya rakyat petani. Ketentuan ini dibarengi pula dengan keharusan adanya pemberian kredit, pupuk, bibit, dan bantuanbantuan lainnya dengan syarat-syarat ringan. (5) Prinsip Perencanaan Agraria; Prinsip ini berhubungan dengan HMN, yang dalam rangka menciptakan sosialisme Indonesia, seperti yang dimaksud pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Negara diharuskan membuat tata guna agraria dengan menyusun suatu perencanaan umum secara nasional khususnya mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam. Perencanaan ini disusun berdasarkan kondisi
dan situasi di daerah-daerah dan bersumber dari penyusunan rencana tata guna daerah yang ditarik secara nasional. Pada dasarnya, perencanaan tata guna agraria daerah memuat tentang persediaan, peruntukan, dan penggunaan agraria sesuai dengan keadaan dan potensi daerah. Perencanaan ini berlakunya setelah mendapat pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat (DT) I, Gubernur untuk DT II, Bupati/Walikota untuk tingkat kecamatan. Di samping itu, berdasar HMN, ditetapkan macam-macam hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada orang per orang, sekelompok orang ataupun badan hukum, yakni hak-hak seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA, yang antara lain meliputi: Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan, dan Hak Guna Air. Berdasarkan pemberian dari pemerintah di atas, pemegang hak mempunyai wewenang untuk mempergunakannya sesuai dengan batas-batas dan syarat-syarat yang terdapat dalam UUPA. Hak-hak di atas, menurut Pasal 6 UUPA, mengandung fungsi sosial. Dengan demikian, pemegang hak tidak leluasa dan absolut menguasai tanah-tanah yang diberikan kepadanya tanpa memperhitungkan kepentingan umum. Dalam arti ini, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk meningkatkan produktivitas dari tanah, menjaga kelestariannya agar tidak rusak, dan dilarang menguasai tanah melebihi batas yang ditetapkan, karena hal itu akan menciptakan kembali tuan-tuan tanah yang menciptakan hubungan pemerasan dengan petani-petani gurem ataupun petani tanpa tanah. Untuk itu, diatur batas-batas luas minimal dan maksimal tanah yang dapat dimiliki oleh warga negara, dengan maksud untuk dapat memberikan tanah secara merata dengan prioritas pada petanipetani tanpa tanah. Untuk menjaga hal tersebut, disebutkan sanksinya adalah pencabutan hak. Artinya, apabila hal-hal itu dilanggar atau kepentingan umum menghendaki, maka pemberian hak dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi dari negara. Jadi, semangat zaman ketika UUPA dirumuskan dan kemudian ditetapkan pada tanggal 24 September 1960 adalah semangat zaman untuk membebaskan rakyat Indonesia, khususnya rakyat petani, dari belenggu imperialisme dan feodalisme. Oleh karena itu, “Lima Prinsip Utama UUPA” pada hakekatnya adalah satu rumusan filosofis dan ideologis untuk mengubah susunan masyarakat Indonesia yang setengah jajahan dan setengah feodal menuju susunan masyarakat Indonesia yang lebih beradab, berkeadilan, dan demokratik,
Berita Kaum Tani 19
dengan menjalankan perombakan terhadap struktur penguasaan dan pemilikan tanah yang timpang. Dengan demikian, sesungguhnya landasan hukum dan rujukan perjuangan umum rakyat petani Indonesia dewasa ini yang bertemakan “Pembebasan Rakyat Petani dari Belenggu Imperialisme dan Feodalisme” berasal dari semangat UUPA dan Pasal 33 ayat 3 UUD, terutama secara keseluruhan termaktub dalam “Lima Prinsip Utama UUPA”. UUPA dengan begitu adalah salah satu UndangUndang terbaik yang pernah diproduksi bangsa Indonesia, dengan semangat untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu imperialisme dan feodalisme. Ditinjau dari sudut perkembangan susunan kehidupan masyarakat Indonesia sekarang, maka UUPA menjadi makin relevan. Sebagaimana diketahui bersama, ideologi yang dominan saat ini adalah imperialisme (atau kapitalisme monopoli), di mana salah satu wujud konkretnya yakni memanfaatkan peran negara nasional guna menindas rakyat dan sekaligus kemudian menggusur peran negara dalam pelayanan sosial. Artinya, imperialisme tetap menggunakan tangan negara ketika berhadapan dengan perlawanan rakyat dalam menuntut hakhaknya. Namun, imperialisme pada sisi yang lain, juga sekaligus menggusur peran negara, terutama dalam sektor-sektor publik, yakni sektor-sektor yang semula dan seharusnya memang merupakan peran tradisional negara bangsa, seperti penyediaan layanan sosial pendidikan, kesehatan, transportasi umum, air, pangan, dan akses atas tanah. Sebaliknya, UUPA ada pada garda depan dalam meletakkan peran negara, terutama dalam menjalankan Hak Menguasai dari Negara (HMN). Namun, kalimat ini harus diteruskan dengan menegaskan bahwa UUPA adalah instrumen pokok dalam mewujudkan sosialisme Indonesia (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Jadi, kerangka pelaksanaan UUPA adalah menuju arah yang telah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yaitu mewujudkan sosialisme Indonesia. Oleh karena itu, ketika Orde Baru berkuasa (1966-1998), dan kemudian memperluas dan mendalam penetrasi kapitalisme dalam susunan masyarakat Indonesia, maka UUPA tidak mungkin dijalankan. Karena Orde Baru adalah agen dan kaki tangan imperialisme global, yang bermaksud membentuk susunan masyarakat kapitalis Indonesia, sementara UUPA adalah instrumen hukum untuk menuju sosialisme Indonesia (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Meskipun demikian, Orde Baru tidak mencabut UUPA, karena
itu dapat juga berarti menggugat sosialisme Indonesia yang dikandung dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang merupakan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bagaimana dengan keadaan dewasa ini? Apakah rezim politik yang berkuasa saat ini yaitu rezim SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) merupakan kelanjutan dari rezim politik Orde Baru atau merupakan rezim politik yang berbeda sama sekali? Secara hakekat, rupanya rezim politik yang berkuasa sekarang yaitu rezim SBY tidak berbeda jauh dengan rezim politik Orde Baru. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kebijakan yang telah dikeluarkannya selama ini, seperti berikut: Pertama, kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 154% pada tahun 2005, yang mengakibatkan kehidupan rakyat semakin susah dan menderita. Kedua, kebijakan mentraktor tanahtanah rakyat melalui Perpres No.36 tahun 2005. Ketiga, kebijakan untuk terus melakukan impor pangan dan beras khususnya, karena sejalannya pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Bank Dunia. Keempat, dikeluarkannya Undang-Undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang sangat memberikan keleluasaan bagi penetrasi kapitalisme agraria, dalam bentuk pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun, Hak Pakai (HP) 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus. Kelima, anggaran negara tahun 2008 yang lebih banyak dialokasikan untuk membangun infrastruktur (bendungan raksasa dan jalan tol) sebesar Rp 35,6 triliun, dibandingkan untuk program pertanian (subsidi pupuk dan obat-obatan bagi petani, pembangunan dan perbaikan sarana irigasi pertanian) yang hanya sebesar Rp 14,12 triliun. Keenam, terus berlangsungnya kekerasan terhadap rakyat petani di seluruh Indonesia. Ketujuh, terus berlangsungnya proses privatisasi di sektor pendidikan dan kesehatan. Dan kedelapan, dimenangkannya gugatan mantan Presiden Soeharto kepada majalah Time sebesar Rp 1 triliun, oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (salah satu hakim agung yang memutuskan adalah Mayor Jenderal Purnawirawan German Hoediarto). Dengan memperhatikan keluarnya kebijakankebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi yang merugikan rakyat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rezim yang sekarang berkuasa adalah rezim yang meneruskan tradisi politik dari rezim Orde Baru. Dengan kalimat lain, rezim SBY merupakan agen dan kaki tangan imperialisme global sebagaimana halnya rezim Orde Baru. Maka,
20 Edisi II September 2007
dalam rezim semacam ini, jangan harap hak-hak rakyat akan dipenuhi dan jangan harap UUPA akan dijalankan dengan konsekuen. Hanya dengan keteguhan perjuangan dari rakyat petani sendiri, maka kehidupannya dapat berubah. Artinya, dalam situasi saat ini, kekuatan untuk menjalankan UUPA secara konsekuen adalah terletak pada keteguhan perjuangan dan militansi organisasi petani. Oleh karena itu, dengan menyimak latar belakang seperti di atas, dalam rangka “Peringatan Hari Tani Nasional dan Ulang Tahun UUPA ke-47” , maka Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), menyampaikan Seruan-seruan berikut kepada segenap anggota dan pengurus AGRA: 1. Memeriahkan Peringatan Hari Tani Nasional dan Ulang Tahun UUPA ke-47, dengan berbagai aktivitas seperti diskusi publik, seminar, konferensi pers, pendidikan, aksi massa, dan bakti sosial di pedesaan. Peringatan Hari Tani Nasional dan Ulang Tahun ke-47 UUPA tersebut dapat dilakukan selama bulan September sampai dengan bulan Oktober 2007. 2. Mempergiat kerja-kerja konsolidasi organisasi berupa: a. Menjalankan diskusi-diskusi internal organisasi guna memahami kondisi kehidupan rakyat petani dan dinamika perjuangannya; b. Menjalankan diskusi-diskusi internal organisasi guna memahami organisasi dan politik perjuangan organisasi melalui dokumen-dokumen organisasi seperti Konstitusi AGRA dan Program Umum Perjuangan AGRA, Laporan Pertanggungjawaban KPN AGRA Periode 2004-2006, dan dokumen-dokumen organisasi AGRA yang lain; c. Melakukan pendirian AGRA Ranting melalui Rapat Umum Anggota, pendirian AGRA Anak Cabang melalui Konferensi Anak Cabang, pendirian AGRA Cabang melalui Konferensi Cabang, dan pendirian AGRA Wilayah melalui Konferensi Wilayah, sesuai dengan tahapan perkembangan organisasi setempat; d. Melakukan pembenahan keorganisasian, seperti mendata keanggotaan, memeriksa keaktifan anggota dan pengurus organisasi, dan melakukan kritik oto kritik terhadap
pimpinan organisasi yang tidak cakap dan anti aturan; e. Menjalankan kerja-kerja massa, seperti mendidik anggota, mengunjungi anggota, membantu kesulitan-kesulitan anggota, dan menjalankan praktik hidup sederhana dan militan dalam berjuang di hadapan massa; dan f. Melakukan upaya-upaya menggalang sumber-sumber keuangan dan dana organisasi yang berasal dari uang pangkal anggota, iuran wajib anggota, iuran rapat umum, konferensi-konferensi, iuran aksi dan pembelaan, iuran sukarela, usaha ekonomi produksi pertanian yang dikelola organisasi, dan sumbangan individu atau organisasi lain. 3. Menjalankan kerja-kerja perluasan organisasi berupa: a. Membantu perjuangan massa petani dari kampung, dusun, desa, kecamatan dan kabupaten terdekat, dalam rangka memperluas keanggotaan AGRA di kecamatan dan kabupaten terdekat. b. Melakukan politik kerjasama dengan unsurunsur maju dalam masyarakat pedesaan dan perkotaan, guna meraih simpati dan dukungan dari keseluruhan masyarakat desa, kampung, kecamatan dan kabupaten yang bersangkutan. Demikianlah “Seruan AGRA untuk Peringatan Hari Tani Nasional dan Ulang Tahun ke-47 UUPA” ini disampaikan kepada segenap anggota dan pengurus pada semua tingkatan organisasi AGRA, untuk dipahami dan dipraktikkan. Jalankan UUPA secara Konsekuen! Pergiat kerja-kerja konsolidasi organisasi! Jalankan kerja-kerja perluasan organisasi! Tanah, Air, Benih, dan Pangan untuk Rakyat Petani! Bandung, 19 September 2007 Pimpinan Pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Erpan Faryadi Sekjend