PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TENTANG TINDAKAN PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN
(Analisa Putusan Nomer: 443/pid/B/2014/PN.BEKASI)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh Gelar S.sy
Oleh : AHMAD FERIYANTO NIM : 1110045100013
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Abstrak Ahmad feriyanto. NIM 1110045100013 Persfektif Hukum Islam Terhadap Putusan Hukuman Penjara 1 Tahun Bagi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen ( Kasus Putusan Pengadilan Negri Bekasi Nomor: 443/Pid/B/2014/PN. Bks.). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. Masalah utama dari pembahasan skripsi ini adalah mengenai sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan di tinjau dari hukum pidana Islam dimana ada kesamaan tentang tinjauan hukumnya dengan hukum pidana Positif. Hasil dari penelitian ini adalah memahami dan mengetahui secara spesifik mengenai sanksi dari tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dari tinjauan hukum pidana Islam, shingga kita semua dapat mengetahui dan paham perbedaan maupun kesamaan antara hukum pidana Positif maupun hukum pidana islam.
Pembimbing
: Dr. Alfitra, SH, MH. Dedi Nursamsi, SH, M. Hum.
Daftar Pustaka
: Tahun 1981 s.d. Tahun 2013
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratanmemperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuanyang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika kemudian hari terbuktibahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakandari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif hidayatullah Jakarta
Jakarta, 7 April 2015
Ahmad Feriyanto
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرّحمن الرّحيم Assalamu’alaikum Wr. Wb Tak ada untaian kata yang Indah yang senantiasa saya ucapkan selain rasa syukur saya kepada Allah SWT yang telah meridhoi perjalanan hidup saya, sampai saya bisa menyelesaikan dari apa yang menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai mahasiswa yaitu menyelesaikan Skripsi saya. Sholawat ma’a salam semoga tercurahkan kebaginda alam ya’ni NabiyAllah Muhammad SAW, berikut kepada keluarga, para sahabat, para tabi’in, dan semoga saya khususnya bisa selalu istiqomah dalam menjalankan apa-apa yang telah disunnahkan oelh Rasulullah SAW, serta kita semuanya mudah-mudahan mendapatkan syafa’at diyaumil qiyamah nanti AMIIN. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak sekali hambatan dan kesulitan yang dihadapi maupun dijalani, namun akhirnya disetiap ada kesulitan pasti ada kemudahan yang akhirnya, tentunya tak lepas dari beberapa individu yang selalu memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis sampai akhirnya skripsi inipun terselesaikan. Dengan demikian pada kesempatan kali ini penulis ingin mengungkapkan rasa terimakasih yang takterhingga sekaligus kehormatan disertai penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dra. Hj, Maskufa, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah yang telah memberikan kebaikan kepada saya khususnya sebagai mahasiswa. 3. Hj. Rosdiana, MA., selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah yang telah memberikan kebaikan kepada saya khususnya dalam data-data mahasiswa. 4. Dr. Alfitra, SH, MH., selaku dosen pembimbing pertama saya yang telah membimbing saya dalam hal penulisan skripsi ini.
5. Dedi Nursamsi, SH, M.Hum., selaku dosen pembimbing kedua saya yang telah membimbing saya juga dalam hal penulisan skripsi ini. 6. Terlebih lagi yang paling utama dan istimewa untuk kedua orang tua saya khususnya Manta Gunawan dan Ibunda Encih yang telah memberikan dukungan berupa do’a, finansial, nasehat, dan memberikan yang tidak bisa penulis haturkan dan balas semua jasa-jasanya, serta seluruh keluarga yang telah memberikan support kepada saya dalam penulisan skripsi ini. 7. Seluruh pengurus lembaga Yayasan Pembinaan Yatim Piatu Al-Ikhlas yang telah membantu dalam hal kebutuhan ataupun kekurangan yang ada dalam penulisan skripsi ini. 8. Kawan-kawan seperjuangan khususnya yang berkonsentrasi dikepidanaan Islam serta adik kelasnya angkatan tahun 2010 dan 2011. Khususnya buat teman saya Rodhi Firdaus, Aditiya, Imas, Amanah, Reniati, Ade, Yongki, dan Gea, serta seluruh kawan-kawan yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu namun tidak mengurangi rasa hormat saya karena kalian yang sudah bisa membuat saya tetap semangat dalam menempuh perjuangan diperkuliahan ini. 9. Buat kawan-kawan alumni SD Jati Reja 03 Lemahabang (Cikarang Timur), khususnya Santa Wijaya, Anim Sanusi, Rohman yang selalu mendo’akan saya agar sabar dalam menuntut ilmu diperkuliahan ini. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengejar cita-cita yang ingin dicapai, semoga semuanya dibalas sama Allah SWT atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Penulispun menyadari banyak kekurangan dalam penulisan maupun yang lainnya, oleh karena itu kritik dan saran yang bisa membangun, perlu kiranya diberikan agar bisa lebih sempurna lagi dalam penulisan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfa’at bagi penulis khususnya, dan umumnya bagi para pembaca. “Amiin Yaa Allah Yaa Robbal ‘Aalamiin…
DAFTAR ISI
LEMBAR PENYERTAAN….……………………………………………………….. KATA PENGANTAR………………………………………………………………vi DAFTAR ISI...……………………………………………………………………..viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masala.…………………………………………...1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………..………5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………...…….........6 D. Review Studi Terdahulu…………………………...………………7 E. Metode Penelitian………………………………...……………….8 F. Sistematika Penulisan…………………………………...…….…10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Positif………………………..15 1. Pengertian Tindak Pidana…………………………...……….15 2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya…………...20 3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana……..23 B. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Islam…………………………24 1. Pengertian Tindak Pidana……………………………………24 2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya…………...25 3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana……..31
BAB III
TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum Positif…………………………………………………………….34
viii
1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan ……………………….……………………..………………...34 2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan ………………………………………………..35 3. Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen…….....38 B. Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Menurut Hukum Islam………………………………………………………….......38 1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan ……………………….……………………..………………..38 2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan ………………………………………………..40 3. Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan…………………………………………….......53 C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan….58 BAB IV
PERSPEKTIF PUTUSAN
HUKUM
PIDANA
PENGADILAN
KEKERASAN
ISLAM
TENTANG
ATAU
TERHADAP
TINDAK
PENGANIAYAAN
PIDANA YANG
MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN A. Deskripsi Putusan Pengadilan……………………………………60 B. Perspektif
Hukum
Pidana
Islam
Terhadap
Putusan
Pengadilan………………………………………………………..62
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Beranjak dalam hidup manusia tidak lepas dengan yang namanya hak dan kewajiban, semuanya itu telah menjadi pengetahuan yang umum dalam konteks Islam. Diantara hak manusia itu adanya hak hidup dan hak milik, hak kebebasan berpendapat dan mengeluarkan pernyataan, hak amal bil-ma’ruf, hak kemerdekaan beragama dan berkeyakinan, dan hak persamaan. sedangkan kewajiban manusia adalah kewajiban hubungan dirinya dengan tuhannya dan kewajiban hubungan dirinya dengan orang lain ( Masyarakat )1. Adapun hak dan kewajiban itu mengandung arti yang sangat penting dalam rangka pembinaan hidup individu. Islam mengharuskan adanya suatu opini umum yang bermoral, mendorong kearah kebaikan dan mencegah segala bentuk kejahatan dan kemungkaran.2 Bentuk kejahatan dan kemunkaran adalah perbuatan keji yang sangat dilarang oleh Allah, karena dari dampak perbuatan yang dilarang maka akan berdampak kepada kehidupan sosial bermasyarakat. Sebagaimana Rosul sangat melarang perbuatan kejinya itu : ِن تَّرَكَهُ النّاَسُ ِإتِّقاَءَ فُحْشِه ْ س مَنْزَلَةً عِنْدَاهللِ يَوْمَ القِياَمَةِ َم ُ َِإّنَ شَّرَالنّا
1
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, ( Jakarta : PT. Pustaka Firdaus 1987) hal. 49 dan 65-69 2 Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, (Jakarta 12048: PT. Pustaka Firdaus 1994) hal. 19
1
2
“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah dihari kiamat, yaitu orang yang mana manusia meninggalkannya karena perbuatan kejinya.”3 Tetapi tak lepas dari semuanya itu dalam diri manusia ada yang namanya sifat baik dan sifat buruk. Sifat baik mencerminkan sikap terpuji dan sifat buruk mencerminkan sikap kejahatan. Sedangkan kekerasan atau penganiayaan, merupakan sifat buruk yang terdapat dalam diri manusia atau para ahli ilmu sosial menggunakan istilah “Agresi” untuk setiap perbuatan manusia yang bertujuan untuk menyakiti badan atau menyakiti perasaan orang lain.4 Gejala kekerasan atau penganiayaan (violence), kebiadaban (barbarity), kekejaman (cruelty), dan segala bentuk tindakan yang melampaui batas kemanusiaan (inhumanity) yang muncul dalam kehidupan umat manusia, pada hakikatnya telah tua setua sejarah manusia sendiri. Demikian pula gejala kehidupan yang berorientasi pada landasan kemanusiaan (humanity), kedamaian (peace) keamanan (security) toleransi kebajikan (benevolence) dan rasa cinta kasih atas sesama juga telah tua setua sejarah manusia mengenal kebudayaan, peradaban dan agama.5 Hal ini bisa dirasakan oleh kejiwaan setiap manusianya itu sendiri , baik dilihat dari kenyataan yang dialami oleh setiap individunya sendiri maupun dari beberapa fenomena yang dihadirkan oleh informasi yang aktual
3
Sejumlah Para Ulama Dari Para Penuntut Ilmu Didunia Islam (Tafsir Al’Usyr AlAkhir), Hukum-Hukum Penting Bagi Seorang Muslim, cet. 4, hal, 203. 4 Willie Koen, Kekerasan dan Agresi (Perilaku Manusia), (PT. Tira Pustaka, 1987), hal. 9 5 Yaya Khisbiyah dkk, Melawan kekerasan Tanpa kekerasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Opset, 2000) hal. 32
3
tajam bahkan akurat yang ada pada zaman sekarang, karena seiring dengan teknologinya pula yang bisa memberikan tentang pengetahuan yang begitu canggih dan bisa secara langsung dilihat ataupun disaksikan walupun tidak berada dalam kejadiannya itu sendiri, yang memberikan suatu kabar tentang maraknya sebuah kejahatan, sebagai bukti kenyataan dalam sosial. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya sebuah kejahatan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya sendiri baik dari kalangan tua bahkan yang muda yang berdampak kepada kehidupan bangsa dan negara pada masa sekarang ini dan yang lebih mengkhawatikannya lagi akan terus-menerus terjadi dikehidupan sebuah masa yang akan datang.6 Adanya sebuah kejahatan kekerasan atau penganiayaan yang ada dimasyarakat khususnya di Indonesia, secara tidak langsung bisa membatasi pergaulan bagi seseorang yang terlibat didalamnya baik pelaku terlebihlagi korbannya itu sendiri. Oleh karena itu, larangan Islam tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia yang pada dasarnya sebagai langkah baik agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.7
6
Andi Hamzah, System Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997), hal. 67. 7 Rachmat Syafe’I, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), cet. 2, hal. 209.
4
Adapun
salah
satu
usaha
penanggulangan
kejahatan
ialah
menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana, namun demikian persoalan ini masih sering dipermasalahkan. Penggunaan hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada dimasyarakat.8 Sebenarnya Pembangunan suatu wilayah dalam hal mengurangi tingkat kejahatan kekerasan atau penganiayaan itu menghendaki adanya cara baru dan suasana baru yang sejalan dengan irama perkembangan zamannya. Tentu hal ini akan membawa konsekuensi pada perlunya ditinggalkan caracara mengatasi kejahatan yang sudah ketinggalan zaman dan tidak perlu dipertahankan lagi didalamnya. Oleh karena itu, pembangunan suatu wilayah yang hanya berorientasi pada aspek fisik semata tidaklah cukup apabila tidak disertai dengan pembangunan pada aspek nonfisik, seperti perubahan pada cara berfikir yang berdasarkan konsep keagamaan. 9 Selain itu kemampuan dalam bicara yang dibarengi dengan peningkatan daya otak memperkaya hubungan sosial orang primitif dan mempertebal rasa kemasyarakatannya pula.10 Jika dilihat secara mendalam pada dasarnya mencegah sebuah kejahatan itu sendiri khususnya kekerasan
atau penganiayaan
bisa
dikategorikan dalam konsep Maqasid Al-Syari’ah yang bertujuan untuk 8
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,(Bandung: Nusa Media, 2010), Cet.
1, hal. 19 9
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, urgensi perlindungan korban kejahatan,(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007) Cet.1, hal.15-16. 10 Willie Koen, The Community (Lingkungan Masyarakat),(PT. Tira Pustaka, 1987) hal.16
5
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau mengambil manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sederajat dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah Maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat, untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari’ah yang bertujuan memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta yang dimasukan dalam sebuah hukum jinayat ketika melanggarnya. Dimaksud dengan jinayat meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilangkan salah satu panca indra.11 perbuatan kekerasan fisik menurut hukum pidana Islam dapat digolongkan kepada perbuatan kejahatan terhadap nyawa atau badan orang lain, perbuatan itu merupakan bentuk tindak pidana penganiayaan atas selain jiwa, dapat juga dikatakan sebagai pelukaan (al-jarh) atau tindak pidana selain jiwa (jinayatun ‘ala maaduunan nafs).12 Sedangkan tindak pidana selain selain jiwa didalamnya terdapat penganiayaan atau kekerasan atas anggota badan dan semacamnya yang meliputi diantaranya: pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.13
11
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), cet. 57,
hal. 429. 12
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet.1,
hal.179 13
Ibid, hal. 181
6
Sebagai mana Firman Allah S.W.T :
ن َ ّس ِ أل ُذّنِ وَال ُ ّْن بِب َ ُف وَاْألُذ ِ ن وَاْألَ ْنفَ بِبْألَ ْن ِ ْس َواْلعَيْنَ بِبْلعَي ِ ّْن النَفْسَ بِبلنَف َ َعلَيْ ِه ْم فِ ْيهَآأ َ َو َكتَبْنَب هلل ُ ح ُكمْ ِبمَآأَ ْن َزلَ ا ْ ن َلمْ َي ْ َفَهُ َى كَفّبرَ ٌةلَ ُه ج َوم,ِق بَه َ ن َتصَ َّد ْ َف َم
ج
ص ٌ ح قِصَب َ ْج ُرو ُ ن َواْل ِ ّس ِ بِبل ) ( َك ُه ُم الظّبِل ُمىّْن َ فَؤُولَ ِئ
“Kami telah menetapkan bagi mereka dai dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.”(Al-Maidah: 45). Dari ayat diatas dapat disimpulakan bahwa kejahatan itu harus dihukum seperti apa yang ditetapkan oleh Allah SWT. Tetapi pada kenyataannya sebuah kejahatan yang berkembang dimasyarakat pada zaman sekarang, banyak menemukan sebuah kejadian yang luar biasa dari kejahatannya itu sendiri sekaligus menghebohkan dibeberapa kalangan masyarakat. Sedangkan di Indonesia banyak sekali kejahatan khususnya kekerasan yang bisa menghilangkan panca indra yang mengakibatkan cacat permanen terlebih lagi di kota Bekasi khususnya. Karena kota Bekasi merupakan tempat yang terkenal dengan kota Industri dan kota Produktif dalam barang-barang serta jasa, sudah barang tentu banyak kejahatan khususnya kekerasan atau penganiayaan yang terjadi didalamnya.
7
Melihat kejadian dari beberapa kejahatan khususnya kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen yang terjadi, khususnya di daerah Bekasi, Penulis ingin menghadirkan sebuah karya tulis yang di beri judul : PERSPEKTIF
HUKUM
PIDANA
ISLAM
TERHADAP
PUTUSAN
PENGADILAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN (Analisa Putusan Nomer : 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI).” Sebagai bahan dan syarat untuk menyelesaikan tugas akhir dari perkuliahan, serta berharap dengan adanya skripsi ini para hakim khususnya bisa menghukum para pelaku kejahatan selain dengan hukum yang ditentukan Negara khususnya hukum positif, bisa menghukum dengan hukum Islamnya pula, yang berdasarkan dari hukum Allahnya langsung. Agar menjalankan kewajiban dari sebuah Negara, menjalankan kewajiban pula yang Allah tentukan yaitu, dengan menjalankan hukum-hukum berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah-sunnahnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Beberapa kejahatan yang ada, bisa terjadi kepada siapa saja baik antara kelompok dengan kelompok seperti, kelompok SMA dengan kelompok SMA lainnya, antara orang yang dikenal maupun orang yang tidak dikenal, bahkan antara keluarga terdekatpun bisa terjadi. Teramat banyak kasus kejahatan yang ada adalah kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya baik dikampung maupun dikota, dan lebih dikhususkannya lagi dikota Bekasi sendiri.
8
Agar skripsi ini menjadi jelas terperinci dan menjadi lebih baik lagi, penulis akan membahas apa yang menjadi isi pokok dari permasalahan yang telah dirumuskan. Maka penulis merumuskan sebagai berikut : 1.Bagaimana faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif ? 2. Bagaimana isi Putusan Hakim Pengadilan Negri Bekasi perkara No. 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI
terhadap
pelaku
kekerasan
atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen ? 3.Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum Positif terhadap putusan
hakim
Pengadilan
443/Pid/B/2014/PN.BEKASI
Negri tindak
Bekasi pidana
perkara
No.
kekerasan
atau
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui faktor penyebab pelaku melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dalam pandangan hukum Islam dan hukum Positif. b. Untuk mengetahui isi putusan hakim Pengadilan Negri Bekasi perkara No. 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI terhadap pelaku kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen.
9
c. Untuk mengetahui pandangan hukum islam dan hukum positif terhadap
putusan
Pengadilan
Negri
Bekasi
perkara
No.
443/Pid/B/2014/PN.BEKASI perkara kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen. 2. Manfaat Penelitian a. Menambah wawasan yang luas tentang ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dalam pandangan hukum islam dan hukum positif. b. Bermanfaat bagi peneliti agar mengetahui tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan, khususnya dibidang hukum, dan penerapannya terhadap pencegahan sebuah kejahatan. c. Bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, penulisan ini menjadi informasi untuk memperluas wawasan tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang terjadi didaerah Bekasi khususnya dan apa hukuman bagi pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. D. Review Studi Terdahulu Karya Abdul Qadir Audah At-tasyri Al-Jina’I Fil Islam,Beirut :ArRisalah, 1992, Al-Islam wa Audhauna Al-Qanuniyah, Beirut, Dar Fikr 1989. Adalah sebuah buku yang menjadi bahan rujukan hukum islam kaum intelektual Mesir khususnya, dan dunia islam modern pada saat ini umumnya.
10
Skripsi karya Miftah Faridh yang berjudul Kekerasan Dalam Penyidikan Menurut Hukum Positif (KUHP) dan Hukum Islam, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi karya Adi Supriatna yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Kolektif Yang Mengakibatkan Luka Berat, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tulisan beliau menguraikan sebuah tindak pidanan kekerasan secara kolektif saja, tidak menjelaskan jenis-jenis sebuah kekerasan atau
penganiayaan
yang
menjadi
pokok
dari
rangkaian
kejahatan.
Kelebihannya pada tulisan beliau adalah membahas tentang bagaimana pertanggung jawaban pidana serta hukumannya menurut hukum islam itu sendiri mengenai tindak pidana kekerasan secara kolektif. Sedangkan perbedaan penulis dengan sebuah tulisan beliau adalah terletak pada menjelaskan jenis-jenis sebuah kekerasan atau penganiayaan yang menjadi pokok dari rangkaian kejahatan terhadap kekerasan atau penganiayaan yang menjadi cacat permanen dalam bagian tubuh sikorban. E. Metode Penelitian Untuk mengumpulkan dari data tulisan ini, penulis menggunakan sistem metode sebagai berikut : 1.
Jenis Penelitian Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data yang kualitatif yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk
11
simbolik seperti pertanyaan tafsiran, tanggapan-tanggapan tidak berupa ucapan lisan dan grafik-grafik. Dan biasanya diperoleh berupa kata-kata, nilai, norma, aturan-aturan dari sebuah kejadian yang diteliti, berupa memahami secara mendalam, mengupas isi masalah, dan mencermati secara ilmiah serta kulaitatif dalam pembahasan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen.14 2.
Jenis Data Yang Digunakan Dalam Penelitian a. Data Primer yakni data yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut yang berupa suatu putusan pengadilan Negri Bekasi tentang Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 351 ayat (2) tentang Kekerasan. b. Data Skunder yakni data yang diperoleh dari sumber bukan asli memuat informasi atau data tersebut seperti bahan-bahan hukum, internet (website) yang ada korelasinya dengan pembahasan materi yang menjadi pokok pembahasan masalah yaang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu Nomor: 443/Pid/B/2014/PN. Bks.15
3. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
14
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian,( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 ), cet.3, hal.119 15 Ibid, hal.132.
12
Tinjauan tentang teknik analisa data ini menggunakan tinjauan kualitatif yaitu dengan membaca dan memahami dari beberapa literatur dan refrensi-refrensi yang berhubungan dengan tindak pidana kekerasan yang mengakibatkan cacat permanen dan argumen dari pembahasanya. Yang ditujukan untuk memberikan ulasan secara jelas, sistematis, objektif dan menguraikan apa adanya. Baik yang secara ungkapan sebuah lisan ataupun ucapan yang tidak dispesifikan lagi menjadi sebuah variable yang terpisah melainkan dipandang secara universal. 4. Teknik Analisis Data Dalam penelitian kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam bentuk teks yang naratif.16 Adapun sebuah metode penulisan ini, penulis mengacu kepada sebuah tulisan skripsi, yang dihadirkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, tahun 2013. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penyusunan penulisan skripsi ini maka penulis terlebih dahulu akan menguraikan sistematika penulisan yang digunakan, sehingga dengan jelas menguraikan pokok-pokok permasalahan dan pemecahannya. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 16
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohili, (Jakarta: UI Perss, 1992), hal. 137.
13
BAB I : PENDAHULUAN Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang : Latar Belakang Masalah, Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penelitian. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAHATAN Merupakan bab pembahasan yang menerangkan tentang : Pengertian Tindak Pidana,
Macam-macam
Tindak
Pidana
dan
Hukumannya,
Tujuan
Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang ditinjau dari hukum positif dan Pengertian Tindak Pidana, Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya, Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang ditinjau dari hukum islam. BAB III : TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN Merupakan bab pembahasan yang mengkhususkan dari inti skripsi yang ditulis tentang : Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan, Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan yang ditinjau Menurut Hukum Positif dan Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan, Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan, dan Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan yang ditinjau Menurut Hukum Islam.
14
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGRI BEKASI Merupakan Bab Analisis Putusan Hakim Terkait Tentang Tindak Pidana Kekerasan
Atau
Penganiayaan
443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi,
yang
Tentang:
didalamnya
Putusan
terdapat,
Nomer
Deskripsi
:
Putusan
Pengadilan, Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Tentang Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Yang Mengakibatkan Cacat Permanen.
BAB V : PENUTUP Merupakan bab terakhir dari Skripsi ini yang berisi tentang : Kesimpulan dari apayang dibahas dalam skripsi diatas dan Saran yang bermuatan positif agar bisa menjadi bahan yang dipertimbangkan untuk menjadi lebih baik dan membangun lagi dalam pembahasan maupun penulisannya.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tinjauan Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Tindak Pidana Menurut Prof. Moeljanto, S.H. tindak pidana ialah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.1 Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara
1
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal.
54.
15
16
kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.2 Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Straftbaar Feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.3 Perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan
2
Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal.
54. 3
Kertonegoro, pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, (Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 2001), hal. 62.
17
memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.4 Adapun ruanglingkup berlakunya hukuman tindak pidana adalah berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai dengan asas ruanglingkup berlakunya, asas ruanglingkup berlakunya aturan tindak pidana ada empat macam: 1). Asas Teritorialitas Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Yang dimaksud tujuan dari pasal ini adalah bermuara pada konteks universal supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau yang berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah teritorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana dari setiap masing-masing Negaranya itu sendiri. 4
130.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana,( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hal.
18
2). Asas Nasionalitas Aktif Yakni apabila warganegara Indonesia melakukan kejahatan meskipun terjadi di luar Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia. Sedangkan perbuatan pidana yang dilakukan warganegara Indonesia di negara asing yang telah menghapus hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan itu, hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP. 3). Asas Nasionalitas Pasif (Non Aktif) Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah: (1). Keselamatan kepala atau wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI; (2). Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara; (3). Keamanan perekonomian; (4). Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI; (5). Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
19
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja, selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi. Kepentingan nasional tersebut ialah: a. Keselamatan kepala atau wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan Negara serta pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu perang, keamanan Martabat kepala negara RI; b. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara; c. Keamanan perekonomian; d. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI; e. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan. 4). Asas Universal Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asa ini melihat hukum pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang dilindungi disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas ini sangat berbahaya tidak
20
hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.5 2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya Tindak Pidana menurut sistem KUHP kita terbagi kedalam dua bagian; Pertama, kejahatan yang bisa didefinisikan sebagai peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum yang dipidana berdasarkan asas legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP artinya suatu perbuatan penjahat dapat dipidana (dihukum) berdasarkan adanya undang-undang pidana. 6 Sedangkan menurut sebagian pakar hukum menyatakan perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, akan tetapi telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.7 Kedua, pelanggaran adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan, hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan dengan demikian yang bisa diartikan sebagai perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang pidana ditentukan lebih ringan pidananya dari pada kejahatan. 8 Pembagian dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.9
5
Teguh Prastyo, Hukum pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 41 Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), cet. 1, hal. 33 7 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal, 71 8 Jur. Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. 2, hal. 95 9 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), cet. 7, hal. 54. 6
21
Adapun jenis hukuman yang ada diIndonesia khususnya seseorang melakukan tindak pidana dapat dikenakan sanksi berupa penjara disertai denda yang dalam hal ini dilihat dari pandangan menurut hukum pidana positif (KUHP) dan diluar (KUHP) ada dua macam juga, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. a. Pidana pokok, meliputi: 1). Pidana Mati Hukuman
mati
adalah
hukuman
yang
dilaksanakan
untuk
menghilangkan nyawa terhukum. Menurut Pasal 11 KHUP, hukuman mati dilakukan oleh algojo pada tempat gantungan dengan mengeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.10 2). Pidana Penjara Pidana Penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.11
10
Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 118. P.A.F. Laminating dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 54. Untuk batasan minimum dan maksimum pidana menurut pasal 12 KUHP: 11
22
3). Pidana Kurungan Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentukk pidana perampasan kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan ini dalam beberapa hal lebih ringan dari pada pidana penjara. Keringanan tersebut diantaranya seperti pidana kurungan mempunyai hak pistol.12 4). Pidana Denda Secara umum, kata denda berarti hukuman yang berupa harus membayar dengan uang atau bisa juga diartikan dengan uang yang harus dibayarkan sebagai hukuman karena melanggar hukum. Sedangkan dalam bahasa Belanda hukuman denda berasal dari kati vermogenstraf yang berarti hukuman kekayaan.13 5). Pidana Tutupan (ditambah UUNo. 20/1946). Pidana ini adalah salah satu pidana yang menghilangkan kemerdekaan namun lebih berat dari pada hukuman denda hukuman ini biasanya diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di Indonesia yang melakukan kejahatan dan telah berjasa kepada Negara.14 b. Pidana Tambahan, meliputi: 1). Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Pidana penjara ialah seumur hudup atau selama waktu tertentu (ayat 1), Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut (ayat 2). 12 Hak pistol ialah hak atau kesempatan para terpidana kurungan untuk mengurus makanan dan alat tidur sendiri. Lihat Pasal 23 KUHP. 13 Hilman Hadi Kusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni 1992), hal. 119. 14 Andi Hamzah, Asas-asas hukum Pidana ((Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997), hal. 191
23
Pencabutan hak-hak tertentu bersifat sementara, berkisar antara 2-5 tahun lebih lama daripada pidana pokok. Kecuali jika dijjatuhi pidana mati atau penjara seumur hidup, maka lamanya pidana pencabutan hak adalah seumur hidup.15 2). Perampasan Barang-Barang Tertentu Pidana ini bertujuan untuk mencegah pengurangan atau penggantian dari barang-barang hasil kejahatan. Barang-barang yang boleh dirampas ialah corpora delicta (barang-barang milik si terpidana yang diperoleh sebagai hasil dari kejahatan) dan instrumenta delicta (barang-barang milik terpidana yang digunakan untuk melakukan kejahatan).16 3). Pengumuman Putusan Hakim.17 Hukuman tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana kesemuanya di tanggung atas biaya si terhukum. Jadi, cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan.18 Disamping jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan, misalnya:
15
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya ( Jakarta : BPK Gunung Muria, 1996), hal. 142. 16 Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 144. 17 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 10. 18 Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,… hal. 112-113.
24
a. Penempatan
dirumah
sakit
jiwa
bagi
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu penyakit; b. Bagi anak yang berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat mengembalikan kepada orang tuanya, memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah.19 3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemikiran yang menjadi landasan aktivitas Union tentang tujuan penghukuman ini adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat, agar bagi pelaku tindak pidana merasakan efek jera dalam melakukan kejahatan dan tidak mampu melakukan kejahatan-kejahatan lainnya.20 Menurut Andi Hamzah, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan dari pidana ada empat bagian: 1. Pembalasan (revenge) Seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan mala petaka pada orang lain, menurut alas an ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain. 2. Penghapusan Dosa (ekspiantion) Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religious yang bersumber dari Allah.
19
Teguh Prastyo, Hukum pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), cet. 3, hal. 98. Lihat juga pasal 44 ayat 2 dan pasal 45 KUHP. 20 Ibid, hal. 74-75.
25
3. Menjerakan 4. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan (rehabilition of the criminal). Pidana ini ditetapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku jarimun agar tidak mengulangi kejahatannya.21 B. Tinjauan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak Pidana (jarimah) didefinisikan oleh imam al-Mawardi sebagai berikut:
هلل ػَ َُْٓب ِثحَ ّذٍ َأْ َحؼْضِ ْي ٍش ُ جشَا َ ششْػِّيُ ٌخ َص َ ث ٌ حظُ ْٕسَا ْ َي “segala larangan syara‟ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta‟zir.22 Sedangkan hukuman atau dalam hukum pidana islam disebut juga sebagai „uqubah yang menurut bahasa berasal dari kata َ عُ ُقوْباً ج عَقَبyang artinya mengikuti atau mengiringi. 23 Sedangkan menurut istilah derita atau nestapa yang ditetapkan bagi suatu perbuatan yang dilarang, yang didasarkan kepada sumber dan dalil hukum islam. Abdul Qadir Audah mendefinisikan hukuman sebagi sanksi hukum yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan umat khususnya
21
Andi Hamzah, Asas-asas hukum Pidana ((Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997), hal. 193 A.Djazuli, fiqh jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), (PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 28. 23 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990), hal. 274. 22
26
masyarakat karena melanggar perintah syar‟i (Allah SWT dan Rasul-Nya). 24 Ibnu „Abidin dari ulama madzhab Hanafi mendefinisikan bahwa hukuman penghalang sebelum melakukan, ancaman sesudahnya. Maksudnya, dengan mengetahui syari‟atnya menghalangi keberanian melakukan dan terjerumusnya sesudahnya menghalangi kembali kepadanya.25 2. Macam-macam Tindak Pidana dan Hukumannya Berdasarkan suatu ketentuan yang ada dalam hukum pidana islam, hukuman mempunyai macam-macamnya diantaranya hukuman ditinjau dari segi terdapat dalam nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya. Sedangkan yang tidak ada nashnya hukumannya disebut ta‟zir, seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan amanah, sanksi palsu, dan melanggar aturan lalu-lintas.26 a. Hudud Hudud secara bahasa merupakan bentuk jamak dari kata ًح ُّدوْدا ُ حّدَ ج َ yang berarti عُ ُق ْوبَة
(hukuman). 27 Sedangkan menurut istilah hudud adalah
batasan-batasan ketentuan dari Allah SWT tentang hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang berbuat dosa atau melanggar hukum. Sedangkan
24
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid III, Penerjemah: Tim Tsalisah, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 19 25 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Puidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. 5, hal. 225 26 A. Djazuli, fiqh jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), (PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 28. 27 Ahmad Warson Munawir, Al Munawir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 243.
27
perbuatan melanggar hukum disebut jarimah, sehingga sebuah pelanggaran terhadap hudud disebut jarimah hudud. Adapun secara umum pengertian hudud berarti larangan atau batas antara dua barang yang bertentangan.28 Jadi hukuman hudud adalah sanksi dari sebuah hukum yang ditetapkan untuk jarimah hudud. Sedangkan dari sebuah pengertian jarimah hudud adalah perbuatan pidana dimana bentuk tindak pidana dan batas hukumannya sudah ditetapkan secara khusus (eksplisit) oleh nass-nass syara‟, baik dari al-qur‟an dan hadits, dimana tindak pidana tersebut menyangkut hak Allah. Yang ditetapkan sanksinya berupa had (ketetapan dalam al-qur‟an dan sunnah). Hukumannya berupa rajam, jilid atau dera, amputasi tangan, eksekusi bunuh, pengasingan atau deportasi, dan salib.29 Adapun contoh hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan tindakan seperti hukuman orang melakukan zina yang muhsan maka harus dihukum dengan hukuman rajam, yang ghoiru muhsan harus dicambuk atau dera 100 kali sekaligus diasingkan, kemudian dicambuk 80 kali bagi yang menuduh berzina atau yang disebut qadzaf, sedangkan yang syurb al-khamar (meminum minuman keras) dihukum dengan 40 atau 80 kali dera, adapun albaghyu (pemberontakan) diancam dengan pidana mati, sariqah (pencurian) hukumannya harus potong tangan atau amputasi tangan, hirabah diancam hukumannya dengan pidana mati, penyaliban, dan pengasingan dan riddah (murtad) dihukum dengan hukuman mati.
28
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hal.106. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal.13.
29
28
b. Qishas Secara bahasa qishas berasal dari kata قِصَصًا-ُ يَ ُقّص-َ قَّصyang berarti َتتَّبَعَ ُه (mengikuti), menelusuri jejak langkah. Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan oleh Al-Jurjani yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hokum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban).30 Dalam fiqih jinayah, sanksi qishas ada dua macam, yaitu sebagai berikut: 1). Qishas karena melakukan jarimah pembunuhan 2). Qishas karena melakukan jarimah kekerasan atau penganiayaan Ulama fiqih membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga kategori, yaitu: 1). Pembunuhan Sengaja Adapun jarimah ini sanksinya terdapat dalam firman Allah sebagai berikut.
ى َ حشِ َٔا ْنؼَجْذُ ثِب ْنؼَجْذِ َٔانُْبَْخىَ ثِبنْبَُْخ ُ ْحشِ ثِبن ُ ْص فِى انْ َقتْهىَ قهى ان ُ َػَهّيْكَ ُى انْقِصب َ ت َ يَآَيُٓبَانَزِيٍَْ َأيَُْٕا كُ ِت ة اَنِّيْ ٌى ٌ ػزَا َ ,َُّحسَبٌٍ قهى رَاِنكَ َفه ْ ِع ثِب ْن ًَؼْ ُش ْٔفِ َٔاَدَآ ٌء ِانَّيِّْ ثِب ٌ ي ٌء فَبّتِجَب ْ َيٍِْ اَخِّيِّْ ش,َُّقهى َف ًٍَْ ػُفِيَ ن )٨٧١ ( انجقشح ”Hai orang-orang yangberiman, diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, 30
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2003), cet. Pertama, hal.4.
29
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat pema‟afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema‟afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma‟af) membayar (diyat) kepada yang member ma‟af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang amat pedih. (Qs. AlBaqara: 178). Ayat ini berisi tentang hukuman qishas bagi pembunuhan yang dilakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak mema‟afkan pelaku. Adapun keluarga korban mema‟afkan pelaku, maka sanksi qishas tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat.31 2). Pembunuhan semi sengaja atau pembunuhan tersalah 3). Pembunuhan tersalah Ketiga pembunuhan diatas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. Mengenai hal ini, Abdul Qodir Audah mengatakan perbedaan pendapat mendasar bahwa imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya didalam Al-Qur‟an hanya jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barangsiapa menambah satu macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash.32 c. Diyat Diyat adalah hukuman pokok bagi pembunuhan dan kekerasan atau penganiayaan semi sengaja dan tidak sengaja. meskipun bersifat hukuman, namun diyat merupakan harta yang diberikan kepada korban bukan kepada 31 32
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2003), cet. Pertama, hal.5. Ibid. hal. 6.
30
perbendaharaan Negara. Dari segi ini diyat lebih mirip gengan ganti kerugian apa lagi besarnya dapat berbeda-beda menurut perbedaan kerugian material yang terjadi yang terjadi dan menurut perbedaan kesengajaan atau tidaknya terhadap jarimah.33 Adapun dasar dari hukuman diyat ini terdapat dalam firman Allah SWT.
ٌ ْ ِسْٕا ِفّيْٓبَ د فَب ُ ٌ َاٌْ يَ ْؤيَُْٕ ُكىْ َٔيَ ْؤيَُْٕا َق ْٕيَُٓىْ ط ُكهًََب ُس ُدْٔآِإنَى انْفِتَُْخِ ُا ْس ِك َ ُْٔخشِيٍَْ يُ ِشيْذ َ َسَ َتجِذٌَُْٔ أ ْسَه َى َٔيَكُ ُفْٕآَايْ ِذ َي ُٓىْ َفخُ ُزْٔ ُْىْ َٔاقْ ُتهُُْْٕىْ حَّيْجُ حَقِفْ ُت ًُْٕ ُْىْ ط َٔأُنَـئِ ُكى َ نَىْ َيؼْ َت ِضنَ ْٕ ُكىْ َٔ ُيهْ ُقْٕآِاَنّيْ ُكىُ ان ) ١٨ : س ْهطَبًَبيُجِّيًُْب ( انُّسآء ُ ْػهَّيِْٓى َ ْج َؼهُْبَ َن ُكى َ “Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman dari pada kamu dan aman (pula) dari kaumnya, Setiap mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik), merekapun terjun kedalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kamu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dan orangorang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan membunuh) mereka. (Qs. : Annisa Ayat 91). Adapun hadits yang menerangkan tentang diyat adalah
ٌ سسٕل اهلل صهّى اهلل ػهّيّ ٔسهّى كتت ّ أ: ِّػٍ أًثى ثكش يٍ ػًشٔثٍ حضو ػٍ أثّيّ ػٍ جذ ٌٌ فّيّ اال َف إرا أٔػت جذػّ انذّيخ ٔفي انهّسب ّ ٔإ... ّإني أْم انّيًّيٍ كتبة ٔكبٌ في كتبث اانذّيخ ٔفي انشّفتّيٍ انذّيخ ٔفي انجّيضتّيٍ انذّيخ ٔفي انزّكش انذّيخ ٔفي انصّهت انذّيخ ٔفي انؼّيُّيٍ انذّيخ ٔفي انشّجم انٕاحذٔدح َصف انذّيخ ٔفي انًؤيَٕخ حهج انذّيخ ٔفي انجبئفخ حهج ٍانذّيخ ٔفي انًُقهخ خًسخ ػشش يُبإلثم ٔفي كمّ أصجغ يٍ اصبثغ انّيذٔانشّجم ػشش ي
33
A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1997), cet. 2, hal.155-156
31
ٌ انشجم يقتم ثبنًشأح ٔػهى اْم انزة أنف ديُبس ّ اإلثم ٔفي انًٕضحخ خًس يٍ اإلثم ٔإ )(سٔاِ انُّسبئى Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat, pada ma‟munah (luka yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada dibelakang otak) sepertiga diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan, yaitu bagian leher, dada, dan perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang membuat tulang beralih dari tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di qishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).34 Dari kedua dasar dalil diatas diyat dalam pembunuhan sengaja itu bukan hukuman pokok, melainkan hukuman pengganti dari qishas bila qishas itu tidak dapat dilaksanakan atau dihapus dengan sebab-sebab yang telah disebut dimuka.35 d. Ta’zir Ta‟zir menurut bahasa َ ػَضَسyang sinonimnya َ أَدَةyang artinya mendidik atau َ ػَظَىyang artinya mengagungkan dan menghormati.36 Sedangkan menurut istilah ta‟zir didefinisikan oleh Al-Mawardi ta‟zir adalah “hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.” 34
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41. 35 A. Dzajuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1997), cet. 2, hal.155-156 36 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung), cet. 8, hal. 37 dan 272
32
Kemudian Abdul Aziz Amir membagi jarimah ta‟zir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu: 1). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan badan, seperti hukuman mati dan jilid 2). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang atau pelukaan, seperti hukuman penjara dan pengasingan 3). Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan, perampasan harta, dan menghancurkan barang 4). Jarimah ta’zir lain yang ditentukan ulil amri demi kemaslahatan umum seperti, kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak.37 3. Tujuan Penghukuman Terhadap Pelaku Tindak Pidana Tujuan dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syariat Islam adalah: ُ ْ) انشَد 1). Pencegahan ( ُع َٔانضَجْش Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Disamping mencegah pelaku, pencegah juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan sama.
37
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal. 248-256.
33
2). Perbaikan dan Pendidikan ( ُح َٔانتَزِْْ ّْيت ُ َصال ْ ِ) اإل Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari Allah SWT. 3). Kemaslahatan Masyarakat. Pada dasarnya bermuara pada sebuah keinginan agar para pelaku tindak pidana menyadari akan pentingnya syariat Islam yang harus dijalani dalam kehidupan sehari-hari, maka dari itu Abdul Qadir Awdah mengatakan bahwa prinsip hukuman dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok, yaitu menuntaskan segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana. Memberantas segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat, sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilakunya. Oleh sebab itu, menurutnya hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang menghendaki.38
38
157-158.
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal.
BAB III KETENTUAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Positif 1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Kekerasan atau Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai perlakuan sewenang-wenang dengan penyiksaan, penindasan dan sebagainya terhadap korban kekerasan atau penganiayaan. 1 Perumusan dalam tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dalam sebuah pasal adalah gambaran rumusan secara umum, karena tidak dijelaskan secara rinci bagaimana bentuk kejahatannya, tetapi yang dirumuskan hanya sebuah akibat dari kekerasan atau penganiayaan saja, akan tetapi dalam sebuah ilmu pengetahuan
telah
didefinisikan
ialah
dengan
sengaja
yang
dapat
menimbulkan nestapa, rasa sakit, atau merusak kesehatan orang lain.2 Dengan demikian, seseorang dapat disebut sebagai pelaku kekerasan atau penganiayaan apabila dilakukannya dengan sengaja yang dapat menimbulkaan rasa sakit, menimbulkan luka, ataupun merugikan dari kesehatan orang lain.3 Lain halnya ketika dalam konteks kedokteran, apabila seorang dokter melakukan sebuah operasi seperti mengamputasi kaki 1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 70. 2 Suharto, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal. 50. 3 P.A.F. Laminating, “Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, hal. 132
34
35
pasiennya maka tidak bisa dikatakan sebagai pelaku tindak pidana kekerasan atau penganiayaan.4 2. Klasifikasis dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Bedasarkan unsur kesalahannya, tindak pidana ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1). Tindak Pidana Yang Disengeja Tindak Pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu kekerasan atau penganiayaan biasa, kekerasan atau penganiayaan ringan, kekerasan atau penganiayaan berencana, kekerasan atau penganiayaan berat.5 Adapun sanksi bagi seseorang yang melakukan tindak pidan kekerasan atau penganiayaan yang disengaja terdapat Dalam pasal: (a). 351 KUHP tentang kekerasan atau penganiayaan biasa (ayat 1) dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2) diancam pidana penjara paling lama lima tahun, kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian (ayat 3) dikenai pidana paling lama tujuh tahun penjara, dan kekerasan atau penganiayaan yang berupa sengaja merusak
4
M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya, 1986), hal. 134. 5 Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 8.
36
kesehatan (ayat 4) serta percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana (ayat 5).6 (b). 352 KUHP tentang kekerasan atau penganiayaan ringan dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, namun hukuman tersebut dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.7 Percobaan melakukan kekerasan atau penganiayaan yang dimaksud dalam pasal 352, tidak dikenai hukuman. Akan tetapi, percobaan melakukan kekerassan atau penganiayaan yang dimaksud dalam pasal 353, 354, dan 355 tidak dikecualikan dari hukuman.8 (c). 353 tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan berencana, dalam pasal ini hukuman bagi seseorang yang melakukannya dijatuhi kukuman pidana penjara paling lama empat tahun terdapat dalam ayat (1) tentang direncanakan terlebih dahulu. Sedangkan dalam ayat (2) dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama tujuh tahun apabila perbuatannya itu mengakibatkan luka berat, jika sampai pada kematian maka terdapat dalam ayat (3) yang akan dijatuhi pidana penjara paling lama Sembilan tahun.9 (d). 354 tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan berat biasa dengan ancaman pidana penjara paling lama delapan tahun (pasal 354 ayat (1)), dan kekerasan atau penganiayaan berat yang menimbulkan kematian
6
Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 16-17. Dan Lihat Pasal 351 KUHP 7 Pasal 352 KUHP 8 M. Sudradjat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bandung: Remadja Karya, 1986), hal. 136. 9 Pasal 353 KUHP
37
dapat dijatuhi ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun (pasal 354 ayat (1)).10 2). Tindak Pidana Karena Kealpaan Dalam pasal 360 KUHP dimuat hanya satu ketentuan mengenai tindak pidana terhadap tubuh yang dilakukan karena kealpaan, adanya unsur subjektif karena kealpaan dan unsur objektif karena kekerasan atau penganiayaan yang karena kealpaan dapat mengakibatkan luka berat dan menimbulkan rasa sakit serta mengakibatkan kecacatan seumur hidup atau cacat permanen. Tetapi unsur yang terpenting dalam kekerasan atau penganiayaan adanya unsur kesalahan atau kejahatan yang dilakukan secara lupa.11 Adapun sanksi bagi setiap seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang tidak disengaja terdapat dalam pasal 360 KUHP, yang berbunyi: i. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun ii. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaanjabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.12
10
Pasal 354 KUHP. Akibat kematian bukanlah yang menjadi tujuan, yang diinginkan hanya pada luka beratnya saja. Adapun kematian hanya faktor untuk memperberat pidana pada kekerasan atau penganiayaan berat saja dan bukan syarat sebagai terjadinya kekerasan atau penganiayaan berat. Dalam Adami Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh…”, hal. 33. 11 Adam Chazawi, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 51. 12 Pasal 360 KUHP
38
Dari sebuah pasal diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya kejahatan yang dilakukan terhadap tubuh seseorang yang dikarenakan tidak sengaja kemudian mengakibatkan luka berat dapat diancam hukuman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan, jika hal tersebut menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan terhadap menjalankan pekerajaa jabatan serta pencarian selama waktu tertentu, maka diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. 3. Penganiayaan Yang Menyebabkan Cacat Permanen Cacat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak) sedangkan permanen yang berarti tetap (tidak untuk sementara waktu) berlangsung lama (tanpa perubahan yg berarti)13 Dalam hal ini penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen adalah penganiayaan terhadap anggota tubuh yang dibedakan dalam penyebutannya saja agar lebih khusus lagi dalam anggota tubuh mana yang dilukai sehingga mengalami kecacatan, karena pada dasarnya dalam penganiayaan ini sama istilahnya yang disebutkan dalam hukum pidana Positif maupun hukum pidana Islam itu sendiri yang pada intinya sama-sama
13
http://kbbi.web.id/cacat, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
39
pelukaan terhadap anggota tubuh yang dilakukan oleh seseorang kepada angota tubuh orang lain. B. Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam 1. Pengertian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan jarimah yang berasal dari kata ( )جرمyang sinonimnya ( ) قطع و كسبyang berarti berusaha dan bekerja yang dalam hal ini khusus untuk pengertian usaha yang tidak baik atau dibenci oleh manusia. Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik definisi yang jelas bahwa pengertian jarimah secara bahasa adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (agama).14 Menurut Ahmad Wardi Muslich sebagaimana dikutip dari Abdul Qadir Audah dalam kitabnya yang berjudul Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamy, jarimah kekerasan atau penganiayaan atau tindak pidana selain jiwa adalah setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya. Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan nyawanya tidak terganggu.15
14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Cet.2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 9. 15 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. 2, hal. 179.
40
Menurut sebagian fukaha, kekerasan atau penganiayaan (tindak pidana selain jiwa) adalah perbuatan menyakitkan yang mengenai badan seseorang, namun tidak mengakibatkan kematian. Ini adalah pendapat yang sangat teliti dan mampu memuat setiap bentuk melawan hukum dan kejahatan yang bisa digambarkan, sehingga masuk di dalamnya: melukai, memukul, mendorong, menarik, memeras, memotong rambut dan pencabutannya, dan lain-lain.16 2. Klasifikasi dan Sanksi-sanksi Tindak Pidana Kekerasan Atau Penganiayaan Unsur-unsur tindak pidana kekerasan atau penganiayaan secara umum harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah, yaitu: a. Rukun syar’i ( unsur formil ) yaitu nash yang melarang perbuatan dan mengancam perbuatan terhadapnya. Terdapat lima masalah pokok sebagai berikut: 1). Asas Legaitas Tindak Pidana KekerasanAtau Penganiayaan. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai jarimah dan harus dituntut apabila ada nash yang melarang dan mengancamnya dengan hukuman. Hal ini sesuai dengan kaidah syari‟at Islam yang berbunyi :
ال حكى ال فعبل ءانعقال قجم ٔسٔد انُّض Artinya: “Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”.17
16
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum PIdana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 19. 17 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 29.
41
Untuk tindak pidana kekerasan atau penganiayaan ketentuannya tercantum dalam : (a). Qs. Al- Baqarah ayat 179:
(٢:٩٧١) ٌ َ ْٕ ة نَعََهّكُ ْى تَتَّ ُق ِ َٔنَكُ ْى فِي انْقِظَبصِ حَيَب ٌح يَب أُٔنِي انَْؤنْجَب Artinya :“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (b). Qs. Al- Maidah: 45:
ٍ َ ّس ِ أل ُرٌِ َٔان ُ ٌْ ثِب َ ُف َٔاْألُر ِ َْ ٍَ َٔاْألَ َْفَ ثِبْأل ِ ْس َٔاْنعَيٍَْ ثِبْنعَي ِ ٌْ انَُفْسَ ثِبنَُف َ َعهَيْ ِٓ ْى فِ ْيَٓآأ َ َٔ َكتَجَُْب هلل ُ حكُىْ ِثًَآأَ َْ َزلَ ا ْ ٍَ نَىْ ي ْ َفَُٓ َٕ كَفّبسَ ٌحنَ ُّ ج َٔي,َِّق ث َ َفًٍَْ َتظَ َذ
ج
ص ٌ ح قِظَب َ ْٔج ُش ُ ٍ َٔاْن ِ ّس ِ ثِبن ) (ٌ َ ًُْٕك ُْ ُى انظّبِن َ فَؤُٔنَ ِئ
Artinya:” Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengantelinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) adakisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itulah orangorang zalim”.18 (c). Hadits „Amr Ibn Hazm:
ٌ سسٕل اهلل طهّى اهلل عهيّ ٔسهّى ّ أ: ِّعٍ أًثى ثكش يٍ عًشٔثٍ حزو عٍ أثيّ عٍ جذ ٌ فيّ اال َف إرا أٔعت جذعّ انذّيخ ٔفي ّ ٔإ... ّكتت إني أْم انيًيٍ كتبة ٔكبٌ في كتبث انهّّسبٌ اانذّيخ ٔفي انشّفتيٍ انذّيخ ٔفي انجيضتيٍ انذّيخ ٔفي انزّكش انذّيخ ٔفي انظّهت انذّيخ ٔفي انعيُيٍ انذّيخ ٔفي انشّجم انٕاحذٔدح َظف انذّيخ ٔفي انًؤيَٕخ ثهث انذّيخ ٔفي 18
Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro , 2008), hal.115.
42
م أطجع يٍ اطبثع انيذٔانشّجم ّ انجبئفخ ثهث انذّيخ ٔفي انًُقهخ خًّسخ عشش يُبإلثم ٔفي ك عشش يٍ اإلثم ٔفي انًٕضحخ خًس يٍ اإلثم ٔإٌّ انشجم يقتم ثبنًشأح ٔعهى اْم انزة )أنف ديُبس (سٔاِ انُّّسبئى Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat, pada ma‟munah (luka yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada dibelakang otak) sepertiga diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan, yaitu bagian leher, dada, dan perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang membuat tulang beralih dari tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di qishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).19 2). Sumber Aturan Jarimah Kekerasan atau Penganiayaan. Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber aturan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan terdiri dari dua, yaitu: (a) Al-Qur‟an, yakni tertulis dalam QS. Al- Baqarah ayat 179 dan Qs.AlMaidah ayat 45. (b) As-Sunnah, ialah apa yang bersumber dari Rasul, baik perkataan (qauliyah), perbuatan (fi’liyah), dan ketetapannya (takririyah). Adapun hadits yang menerangkan tentang hukuman tindak pidana penganiayaan adalah hadits dari „Amr Ibn Hazm. 3). Masa Berlakunya Aturan Jarimah Kekerasan atau Penganiayaan. 19
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41.
43
Dalam hukum positif, ketentuan tentang masa berlakunya peraturan ini dapat dilihat dalam pasal 1 ayat (1) kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Pasal tersebut berbunyi: “tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”.20 Menurut hukum pidana Islam ketentuan masa berlakunya peraturan pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum pidana positif. Seperti halnya dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum pidana Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkannya atau ditetapkan.Dengan demikian, peraturan pidana dalam hukum postif tidak berlaku surut. 4). Lingkungan Berlakunya Aturan Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Pada dasarnya syari’at Islam bukan syariat regional atau kedaerahan, melainkan syari’at yang bersifat universal dan internasional. Akan tetapi tidak semua orang percaya kepada syari’at Islam , sedangkan syari’at ini tidak mungkin dipaksakan maka dalam kenyataannya syari’at Islam hanya dapat diterapkan di negerinegeri yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin saja. Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para fukaha membaginya dalam dua bagian yaitu negeri Islam ( ) داراالِسالمdan negeri bukan Islam ( ) دارالحرب.21
20
Redaksi Sinar Grafika, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 3. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, (Jakarta: SinarGrafika, 2006), hal. 53. 21
44
5). Asas Pelaku Atau Terhadap Siapa Berlakunya Aturan Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan. Hukum pidana syari‟at Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syari‟at Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum sama tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin, bangsawan dan rakyat jelata serta penguasa dan penduduk biasa. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu hanya satu, yaitu yang paling taqwa saja disisi sang pencipta yaitu Allah SWT.22 b. Rukun Maddi (unsur materil) yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatanperbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat. Unsur materil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam jarimah zina unsur materilnya adalah perbuatan merusak keturunan, dalam jarimah qodhaf unsur materilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina, jarimah pembunuhan unsur materilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Sedangkan jarimah kekerasan atau penganiayaan unsur materilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan pencederaan pada tubuh orang lain. Perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai dilakukan dan adakalanya tidak selesai karena ada sebab-sebab dari luar.Jarimah yang tidak selesai ini dalam hukum positif disebut perbuatan percobaan. Disamping itu,
22
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, (Jakarta: SinarGrafika, 2006), Ibid, hal. 41.
45
perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang dan bersama-sama dengan orang lain, dalam hukum positif ini dinamakan dengan turut serta melakukan jarimah.23
c. Rukun Adabi (unsur moril) yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya.24 Mengenai pertanggungjawaban seseorang, ada kaidah yang berbunyi:
ال يكهّف ششعب إالّ يٍ كبٌ قبدسا عهى فٓى دنيم انتّكهيف أْال نًب كهّف ثّ ٔال يكهّف ششعب ّال ثفعم يًكٍ يكذٔس نهًكهّف يعهٕو نّ عهًب يحًهّ عهى إيتثبن ّإ Artinya: “Menurut syara‟ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya. Dan menurut syara‟ pula seseorang tidak dibebani taklif kecuali dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan perbuatan tersebut”.25 Kaidah di atas menyatakan tentang syarat-syarat yang terdapat pada pelaku. Adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua macam. Pertama, Pelaku sanggup memahami nash-nash syara‟ yang berisi hukum taklifi. Kedua, pelaku pantas untuk dimintai pertanggungjawaban dan di jatuhi hukuman. Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam: 1) Perbuatan itu mungkin dikerjakan. 23
Ibid, hal. 41.
24
Ibid, hal. 6 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 2, (Jakarta: SinarGrafika, 2006), hal. 30. 25
46
2) Perbuatan itu disanggupi oleh mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk mengerjakannya maupun meninggalkannya. 3) Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf dengan sempurna.26 Adapun sanksi-sanksi bagi seseorang yang melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan sebagai berikut: 1. Qishash Pengertian qishash sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Hanafi yang dikutip dari Muhammad Abu Zahrah adalah:
ّي عهي ّ ُقظبص ْٕ اٌ يُز نجبنجبَى يٍ انعقٕثخ انًب ّديّخ يثم يبأَزل ثهًج Artinya: “Qishsah adalah memberikan hukuman kepada pelaku perbuatan persis apa yang dilakukan kepada sikorban.”27 Qishsah merupakan hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa ataupun anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai menghilangkan anggota badan.28 Dalam penganiayaan, hukuman qishash dapat dikenakan pada tindak pidana sebagai berikut: a. Perusakan terhadap athraf dan sejenisnya dengan sengaja.
26
Maksudnya adalah 1). Pelaku mengetahui hukum- hukum taklifi dan untuk itu maka hokum tersebut harus sudah ditetapkan dan disiarkan kepada orang banyak. Dengan demikian maka hal ini berarti tidak ada jarimah kecuali dengan adanya nash (ketentuan). 2). Pada ketentuan hukum itu sendiri ada faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat . hal ini berarti ia mengetahui bahwa ia akan dikenakan hukuman apabila tidak menaati peraturan atau ketentuan hukum tersebut. Dengan demikian, maka pengertiannya adalah bahwa suatu ketentuan tentang jarimah harus berisi ketentuan tentang hukumnya. 27 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), cet. 5, hal. 255. 28 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakrta: Pustaka Setia, 2000), hal. 125.
47
Athraf menurut para fuqaha adalah tangan dan kaki, pengertian tersebut kemudian diperluas kepada anggota badan yang lain sejenis athraf, yaitu jari, kuku, bulu mata, gigi, rambut, jenggot, alis, kumis, hidung, lidah, zakar, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan bibir kemaluan perempuan. Sedangkan yang dimaksud dengan perusakan athraf ialah tindakan berupa pemotongan seperti pada tangan dan kaki, pencongkelan seperti pada mata, dan pencabutan seperti pada gigi, serta tindakan lain yang sesuai dengan jenis anggota badannya.29 b. Menghilangkan Manfaat Anggota Badan Secara Sengaja. Menghilangkan manfaat anggota badan bukan berarti menghilangkan jenis anggota badan itu sendiri.Maksudnya, yang hilang hanya manfaatnya saja sedangkan jenis anggota badannya masih tetap ada.Manfaat anggota badan
ada
yang
menyatu
seperti
kemampuan
memegang
dengan
tangan.Adapun manfaat anggota badan yang tidak menyatu dengan anggota badan misalnya adalah kemampuan mendengar (daya pendengaran) terpisah dari telinga. Menurut Wahbah Zuhaili, yang mengutip pendapat sebagian ulama, jenis manfaat anggota badan yang terpisah dengan anggota badannya ada dua puluh jenis bahkan lebih. Diantara jenis manfaat anggota badan tersebut
adalah
daya
akal,
pendengaran,
penglihatan,
penciuman,
pembicaraan, suara, rasa (dzauq), pengunyahan (madhgun), pengeluaran mani
29
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
185.
48
(imna’), penghamilan (ihbal), persetubuhan (jima’), pengeluaran air seni (ifdha’), daya gerak (bathsyu), dan berjalan.30 c. Pelukaan Terhadap Muka dan Kepala (sajjaj). Menurut Imam Abu Hanifah, hanya luka mudhihah yang dapat dikenakan qishash, mudhihah adalah pelukaan yang agak dalam sehingga memotong atau merobek selaput antara daging dan tulang, sehingga tulang tersebut kelihatan. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah seperti hasyimah, munqilah, al-ammah, dan ad-damighah, tidak menggunakan hukuman qishash karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat ada kelebihan. Menurut Imam Malik semua jenis syajjaj sebelum mudhihah berlaku hukuman qishash, karena hal itu mungkin yntuk dilaksanakan.31 d. Pelukaan Terhadap Jirah (anggota badan selain wajah, kepala, dan athraf). Hukuman qishash dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan apabila memiliki syarat sebagai berikut: 1). Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping. 2). Ghoir jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari anggota badan tesebut, melainkan hanya bagian luarnya saja. Hukuman qishash untuk jirah ini memiliki beberapa pendapat yang berbeda, diantaranya :
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
185-186. 31
Ibid, hal. 186
49
Imam Malik, berpendapat bahwa qishash berlaku pada semua jirah, baik lukanya munqilah maupun hasyimah. Alasannya karena pada luka tersebut masih memungkinkan untuk dilaksanakannya qishash, kecuali jika menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah tidak berlaku hukuman qishash. Abu Hanifah, bependapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman qishash, baik jaifah maupun ghoir jaifah. Alasannya adalah karena sulit untuk menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya. Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad, berpendapat bahwa dalam jirah berlaku hukuman qishash apabila pelukaannya sampai mudhihah, yaitu pelukaan sampai kepada tulangnya. Alasannya karena dalam hal ini kesepadanan mungkin diterapkan karena ada batas, yaitu tulang. Hukuman qishash dapat dikenakan kepada pelaku penganiayaan apabila memiliki syarat sebagai berikut: 1. Korban adalah orang yang terlindungi darahnya. Menurut hukum Islam yang tidak terlindungi darahnya adalah seorang pezina, muhsan, orang murtad, kafir harbi, dan lain-lain. 2. Pelaku penganiayaan adalah orang yang mukkalaf, akil baligh, tidak hilang ingatan (gila). 3. Pelaku melakukan perbuatan penganiayaan tanpa paksaan dari siapapun.32 Dalam pelaksanaan hukuman, baik untuk penganiayaan sengaja maupun penganiayaan (pelukaan) sengaja, pelaku menerima hukuman sesuai
32
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal.
127.
50
dengan apa yang diterima korban, tidak boleh melebihi apa yang dilakukan pelaku terhadap korban. Melebihkan hukuman dianggap sebagai perbuatan yang melampaui batas dan tidak dikehendaki oleh Allah SWT.33 Qishash tidak dapat dilakukan apabila terdapat sebab-sebab sebagai berikut: a) Tidak adanya tempat (obyek) qishash. b) Pengampunan c) Perdamaian. Adapun dasar dari hukuman qishos terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 179 dan Al-Maidah ayat 45 2. Diyat Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman qishash terhalang oleh suatu sebab.Diat, sebagai hukuman pengganti berlaku dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja.Di samping itu, diyat juga merupakan hukuman pokok apabila tindak pidananya menyerupai sengaja atau kesalahan.34 Adapun hadits yang menerangkan tentang diyat adalah
أٌّ سسٕل اهلل طهّى اهلل عهيّ ٔسهّى: ِّعٍ أًثى ثكش يٍ عًشٔثٍ حزو عٍ أثيّ عٍ جذ ٌ فيّ اال َف إرا أٔعت جذعّ انذّيخ ٔفي ّ ٔإ... ّكتت إني أْم انيًيٍ كتبة ٔكبٌ في كتبث انهّّسبٌ اانذّيخ ٔفي انشّفتيٍ انذّيخ ٔفي انجيضتيٍ انذّيخ ٔفي انزّكش انذّيخ ٔفي انظّهت انذّيخ ٔفي انعيُيٍ انذّيخ ٔفي انشّجم انٕاحذٔدح َظف انذّيخ ٔفي انًؤيَٕخ ثهث انذّيخ ٔفي 33
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Jakarta: Pustaka Setia, 2000), hal. 131. 34 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal. 195-196.
51
م أطجع يٍ اطبثع انيذٔانشّجم ّ انجبئفخ ثهث انذّيخ ٔفي انًُقهخ خًّسخ عشش يُبإلثم ٔفي ك عشش يٍ اإلثم ٔفي انًٕضحخ خًس يٍ اإلثم ٔإٌّ انشجم يقتم ثبنًشأح ٔعهى اْم انزة )أنف ديُبس (سٔاِ انُّّسبئى Artinya: “Dari Abu Bakar ibn „Amr Ibnu Hazm dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW menulis surat kepada penduduk yaman dan di dalam suratnya itu tertulis… dan sesungguhnya perusakan hidung apabila sampai gerumpung adalah satu diyat, pada lidah satu diyat, pada kedua bibir satu diyat, pada dua telur laki-laki satu diyat, pada zakar satu diyat, pada tulang belakang satu diyat, pada kedua mata satu diyat, pada satu kaki separuh diyat, pada ma‟munah (luka yang sampai keinti otak yaitu kulit yang berada dibelakang otak) sepertiga diyat, pada jaifah (luka sampai kerongkongan, yaitu bagian leher, dada, dan perut) sepertiga diyat, pada munaqilah (yang membuat tulang beralih dari tempat biasanya setelah dipatahkan lima belas ekor unta, pada setiap jari tangan atau kaki sepuluh ekor unta, pada satu gigi lima ekor unta, pada mudhihah lima ekor unta, dan laki laki bisa dibunuh (di qishash) dengan perempuan, dan untuk pemilik emas diyatnya seribu dinar. (HR. An-Nasa‟i).35 Diyat, baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman pengganti, digunakan untuk pengertian diyat yang penuh (kamilah), yaitu seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diyat kamilah menggunakan istilah irsy ( ) ارش.ganti rugi atau irsy ada dua macam: 1) . Irsy (ganti rugi) yang telah ditentukan ( ) ارش مقدر, irsyun muqaddar adalah ganti rugi yang sudah ditentukan batas dan jumlahnya oleh syara‟. Contohnya seperti ganti rugi satu tangan atau satu kaki. 2) . Irsy (ganti rugi) yang belum ditentukan( ) ارش غير مقدر, adalah ganti rugi atau denda yang belum ditentukan oleh syara‟. Dan untuk penentuannya diserahkan kepada hakim. 35
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 40-41.
52
Hukuman diyat (kamilah) berlaku apabila manfaat jenis anggota badan ada yang hilang seluruhnya, seperti hilangnya dua tangan. Sedangkan irsy berlaku
apabila manfaat jenis anggota badan itu hilang sebagian,
sedangkan sebagian lagi utuh. Contohnya seperti hilangnya satu (sebelah) tangan, satu (sebelah) kiri, atau satu jari. Berikut adalah pembagiannya: a) Diyat Kamilah. Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila kekerasan atau penganiayaan tersebut mengakibatkan hilangnya manfaat ataupun merusak anggota badan. Anggota badan yang berlaku diyat kamilah ada empat kelompok, adapun kelompoknya yaitu sebagai berikut: (1) . Anggota badan yang tanpa pasangan. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah hidung, lidah, zakar
(kemaluan), tulang belakang, lubang kencing, lubang dubur, kulit, rambut, dan jenggot. (2) . Anggota badan yang berpasangan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tangan, kaki, mata, telinga, bibir, alis, payudara, testis, bibir vagina, pinggul, dan tulang rahang. (3) . Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu kelopak mata dan bulu mata. (4) . Anggota yang terdiri dari lima pasang atau lebih terdiri dari jari tangan, jari kaki, dan gigi.36
36
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal. 196.
53
b) Diyat ghoir kamilah Diyat ghoir kamilah berlaku dalam ibanahal-athraf, apabila jenis anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh.Diyatghoirkamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik yang tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan. 3. Ta’zir Ta’zir secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Sedangkan secara terminologis adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumnya oleh syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim.37 Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran hak Allah SWT dan hak hamba yang tidak ditentukan AlQur‟an dan hadits. Dalam praktek penjatuhan hukuman, hukuman ta’zir kadangkala dijatuhkan sebagai hukuman tambahan yang menyertai hukuman pokok bagi jarimah hudud atau qishash diyat. Hal ini bila menurut pertimbangan siding pengadilan dianggap perlu untuk dijatuhkan sebagai hukuman tambahan.38 4. Aspek syar’i Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan. Dalam konteks penyelesaian menurut syar’i berkaitan dengan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan diklasifikasikan dalam dua bentuk yang ditinjau dari cara penyelesaiannya itu sendiri agar terbentuk menjadi lebih 37
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) ,(Bandung: CV. Setia Pustaka, 2000), hal.140. 38 Ibid, 143.
54
spesifik lagi, maka dengan itu hukum syar’i membagi kedalam dua klasifikasinya. Pada dua klasifikasi diatas dalam menentukan pembagian tindak pidana kekerasan atau penganiayaan bisa disimpulkan bahwa perbuatannya itu masuk dalam beberapa tinjauan dari aspeknya itu sendiri, yaitu ditinjau dari segi niatnya, dan ditinjau dari segi obyeknya (sasarannya).39 a. Ditinjau dari segi niatnya. Ditinjau dari niat seseorang pelaku, jenis tindak pidana kekerasan penganiayaan dapat dibagi kepada dua bagian yang di paparkan oleh sebagian para ulama yang klasik maupun kontemporer yang berkembang pada saat ini. 1) Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dengan sengaja Pengertian tindak pidana kekerasan penganiayaan dengan sengaja, seperti dikemukakan oleh Ahmad Wardi Muslich dari kitab Abdul Qadir Audah adalah:
ٌفبنعًذ ْٕ يبتعًذ فيّ نجبَى انفعم ثًقظذٔا Artinya: “Perbuatan sengaja adalah setiap perbutan pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum”.40 Dari definisi di atas dapat diambil asumsi bahwa tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dengan sengaja adalah pelaku berniat sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud untuk menyakiti orang lain. Sebagai contoh, seseorang sengaja melempar batu kepada orang lain
39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal. 180. 40 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Cet. 2, hal. 180.
55
dengan maksud agar batu itu mengenai anggota tubuhnya. 2) Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dengan tidak di sengaja
ٌٔانخطؤ ْٕ يبتع فيّ انجبَى انفعم دٌٔ قظذ انعذٔا Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud melawan hukum.”41 Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku sengaja, akan tetapi tidak ada niat untuk menyakiti orang lain. Contohnya, seseorang membuang batu melalui jendela, kemudian mengenai seseorang yang sedang melintas.Bisa juga perbuatan yang terjadi akibat
kalalaian
pelaku
tanpa
ada
maksud
melakukan
perbuatan
tersebut.Misalnya orang yang membalikkan badan dan menimpa orang yang sedang tidur disampingnya sehingga tulang rusuknya patah.42 b. Ditinjau dari Obyek Atau Sasarannya. Ditinjau dari obyek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa, baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu: 1) Memisahkan Anggota Badan atau Sejenisnya. Yang dimaksud dengan memisahkan anggota badan adalah memotong atau melukai bagian dari anggota badan sehingga terpisah dari anggota badannya, misalnya memotong kaki, jari-jari, kuku, hidung, dua belah pelir (testis), bibir kemaluan perempuan, telinga, bibir, lidah, men cukilmata, mencabut gigi dan
41
Ibid, hal. 180. Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 19. 42
56
memecahkannya, mencukur atau mencabut rambut kepala, jenggot, kedua alis, dan kumis.43 2) Menghilangkan Manfaat Anggota Badan, Tetapi Anggota Badannya Tetap Ada. Maksud dari jenis menghilangkan manfaat anggota badan, Tetapi anggota badannya tetapi ada adalah tindakan yang merusak manfaat dari suatu fungsi anggota badan, sedangkan anggota badannya masih utuh seperti semula. Misalnya, menghilangkan daya pendengaran tetapi telinganya tetap ada, penglihatan tetapi matanya tetap ada, penciuman tetapi hidungnya tetap ada, pengecap untuk lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.44
3) Melukai Kepala dan Muka. Asy-syijaj merupakan nama khusus dari pelukaan terhadap muka dan kepala, Dalam pembagian asy-syijaj terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Di antaranya: a) Asy-Syijaj menurut Imam Abu Hanifah: 1. Al-Kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan mengalir seperti air mata. 2. Ad-Dami’ah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai mengalir seperti air mata. 3. Ad-Damiyah, yaitu luka yang mengalirkan darah. 4. Al-Badiah, yaitu luka yang memotong daging. 5. Al-Mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging lebih banyak daripada luka pada al- badiah. 6. As-Samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan tipis antara daging dan tulang. 43 44
hal. `181.
Ibid, hal. 20 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. 2,
57
7. Al-Mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan menampakkan tulang walaupun hanya sebesar jarum. 8. Al-Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang. 9. Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu lapisan di bawah tulang dan di atas otak. 10. Ad-Damigah, yaitu luka yang menembus lapisan (di bawah tulang) sampai keotak.45 b) Asy- Syijaj menurut Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal: 1. Al-Kharisah, yaitu luka yang merobek kulit dan tidak menimbulkan pendarahan. 2. Ad-Dami’ah, yaitu luka yang menimbulkan pendarahan, tetapi tidak sampai mengalir seperti air mata. 3. Ad-Damiyah, yaitu luka yang mengalirkan darah. 4. Al-Badiah, yaitu luka yang memotong daging. 5. Al-Mutalahimah, yaitu luka yang menghilangkan daging lebih banyak daripada luka pada al badiah. 6. As-Samhaq, yaitu luka yang memotong daging dan menampakkan lapisan tipis antara daging dan tulang. 7. Al-Mudihah, yaitu luka yang memotong kulit yang melindungi tulang dan menampakkan tulang walaupun hanya sebesar jarum. 8. Al-Hasyimah, yaitu luka yang memecahkan tulang. 9. Al-Munqilah, yaitu luka yang menembus tulang (tempurung) kepala, yaitu lapisan dibawah tulang dan di atas otak.46 Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, “sebenarnya jenis syajjaj yang disepakati oleh para fuqaha adalah sepuluh macam, yaitu tanpa memasukkan jenis yang ke sebelas, yaitu ad-damighah. Hal ini karena ad-damighah itu pelukaan yang merobek selaput otak, sehingga karenanya otak tersebut akan berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian.”47 4) Melukai Selain Kepala dan Muka 45
Ahhsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 20. 46 Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 20. 47 Ibid, hal. 21.
58
Al-Jirah atau pelukaan terhadap anggota badan selain wajah dan kepala.Seperti leher, dada, perut sampai batas pinggul. Luka ini di bagi menjadi dua; (a). Al-Ja’ifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari rongga dada dan perut, seperti pelukaan pada tenggorokan, punggung, lambung, dua buah pelir, dan dubur. (b). Ghoiru Ja’ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari rongga dada dan perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja. 5) Luka yang Tidak Termasuk Empat Jenis Sebelumnya. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah setiap perbuatan menyakiti, akan tetapi tidak sampai menimbulkan luka syajaj atau jirah, serta tidak sampai merusak ataupun menghilangkan manfaat dari anggota tubuh. Misalnya pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, dan badan, akibat pemukulan tersebut korban hanya mengalami memar, muka merah, atau terasa sakit pada anggota badannya.48 C. Faktor Penyebab Tindak Pidana Kekerasan atau Penganiayaan Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status sendiri, dari semua proses yang terjadi mengakibatkan seseorang melakukan tindak pidana
48
Ahsin Sakho Muhammad (eds), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008), hal. 22.
59
khususnya kekerasan atau penganiayaan. 49 Dari segi faktornya seseorang melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan sebagai berikut: 1. Disebabkan
kondisi
masyarakat
disekelilingnya
yang
dapat
mempengaruhi. Karena pergaulan bebas yang terjadi dalam masyarakat maka kurangnya pengontrolan diri dalam menghadapi masalah yang ada dihadapannya kemudian terjadilah hal-hal yang demikian. 2. Disebabkan kondisi ekonomi minim yang ada didalam keluarga. Kebutuhan pokok yang semakin meningkat sedangkan persaingan yang begitu banyak, menyebabkan seorang melakukan tindak pidana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan kekerasan atau penganiayaan. 3. Disebabkan kejiwaan sipelaku yang mempunyai kelainan dalam kondisi badannya, tokoh yang paling terkemuka dalam mazhab anthropologi ini ialah C. Lombroso (1835 – 1909) dengan buah pekerjaannya yang paling penting ialah “L‟uomo delinqunte”. Menurut Lombroso manusia yang pertama adalah penjahat dari sejak lahirnya.50
Quetelet sebagai seorang yang statis, beliau juga menyelidiki pengaruh besar kecilnya kemungkinan untuk berbuat jahat seperti dilihat dari pendidikan, pekerjaan, kemiskinan, iklim, perubahan musim dengan bertambahnya kejahatan ekonomi dalam musim dingin dan kejahatan penyerangan dalam musim panas dengan jenis kelamin dan umur.51
49
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hal 3 W. A. Bonger, Pengantar tentang Psikologi Kriminal,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), edisi ke empat, hal, 100. 51 Ibid, hal. 67 50
BAB IV PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN ATAU PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN CACAT PERMANEN A. Deskripsi Putusan Pengadilan Dalam suatu pembahasan mengenai bab ini akan memaparkan bagaimana duduk perkara mengenai penjatuhan pidana kekerasan atau penganiayaan kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,(dua ribu rupiah) dengan analisis berdasarkan Putusan Pengadilan Nomer : 443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi dengan tersangka Suharyanto bin Mulgiono yang berusia 35 tahun beralamat dikampung Jatijaya Rt. 002/003 desa Laban Sari Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi.1 Adapun tentang kasaus kekerasan atau penganiayaan yang dilakukan oleh Suharyanto bin Mulgiono terhadap Maman Sumantri bin Enteg berdasarkan saksi yang ada dipersidangan yaitu Enteg Bin Nisan, Kemudian Mamannya sendiri, mengatakan sebagai berikaut: Asal mula kejadian tersebut pada hari Sabtu tanggal 08 Pebruari 2014 sekitar pukul 07.30 Wib di Kampung Jati Jaya Rt. 002/003 Desa Labansari Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi, anak dari korban bermain bola bersama teman-temannya, lalu bola tersebut masuk kepekarangan rumah terdakwa, sepulangnya dari mengambil bola anak korban tersebut menangis 1
Deskripsi Putusan Pengadilan Nomor: 443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi
60
61
dan mengadu pada ibunya yaitu Ecih Mayasari, kemudian Ecihpun mulai curiga kepada Suharyanto ketika melihat anaknya menangis, kemudian Ecihpun menghampiri Suharyanto sekaligus menegurnya dengan keadaan marah-marah, setelah itu terjadilah percekcokan mulut diantara keduanya. Sedangkan Maman Sumantri mendengar istrinya bertengkar dalam hal ini beradu mulut Mamanpun segera keluar dari dalam rumah dalam keadaan emosi, kemudian keluarlah perkataan ”dasar banci” yang ditujukan kepada Suharyanto, dikarenakan Suharyanto tidak terima atas perkataan Maman kepadanya disitupun saling tidak terima antara keduanya sehingga mengakibatkan perkelahian physik atau pukul-memukul. Kertika mereka saling memukul maka bergulatlah mereka sehingga keduanya terjatuh diatas tanah sampai mereka terguling-guling, ketika itu posisi terdakwa ada dibawah tubuh Maman, kemudian Suharyanto menarik rambut dari Maman tersebut selanjutnya menggigit daun telinga Maman sebelah kanan sampai putus dan banyak mengeluarkan darah selanjutnya Mamanpun kesakitan sambil terbaring ditanah, kemudian tanpa dipikirkannya lagi Suharyantopun meninggalkan Maman yang sedang terbaring kesakitan ditanah. Melihat kejadian tersebut langsunglah Maman dibawa beobat ke RSUD Karawang, ketika dibawa kerumah sakit karawang bahwa Maman tidak sampai diopname melainkan hanya dijahit daun telinganya saja agar tidak mengeluarkan banyak darah, ketika dirumah sakit korbanpun kemudian diVisum, hasil dari Visum Repertum No. 08/FK-VER/II/2014 yang dikeluarkan oleh dokter spesialis forensik yaitu dr. Hafiful Syah, SP. F., hasil
62
dari tersebut adalah daun telinga Maman sebelah kanan terputus 5 Cm x 1 Cm, pada paha kanan ditemukan terdapat memar warna kemerahan berukuran 5 Cm x 3 Cm dan pada daun telinga kanan Maman ternyata tidak bisa disambung lagi dikarenakan putus dan mengalami cacat permanen, ketika keluarga korban meminta kepada terdakwa untuk membiayai dalam proses penyembuhan atau pengobatan ternyata dari pihak terdakwa tidak membiayainya dan bisa disebut tidak bertanggung jawab dan tidak meminta ma’af sedikitpun atas perbuatannya itu. Sedangkan menurut saksi Agus Sugianto Bin Enteg asal mula kejadian itu pada anak kaka saksi bernama Salimah sedang bermain bola kecil bersama teman-temannya, lalu bola tersebut masuk kedalam pekarangan rumah saudara Suharyanto atau terdakwa, dan ketika Salimah mengambil bola tersebut ada terdakwa, tetapi entah kenapa Salimah pulang menangis dan kemudian pulang mengadu pada ibunya yang bernama Ecih bahwa ia dipelototi oleh terdakwa, melihat anaknya menangis Ecihpun begegas menemui terdakwa dan menegurnya kemudian Ecih marah-marah kepada terdakwa sehingga terjadi percekcokan antara keduanya. Setelah beberapa menit keluarlah suami Ecih yang bernama Maman Sumanti yang sedang memperbaiki motor dirumahnya melihat istrinya bertengkar, Maman Sumantripun emosi lalu begegas menemui terdakwa kemudian mengeluarkan ucapan “dasar banci” yang ditujukan kepada terdakwa Suharyanto, karena mereka saling tidak terima maka terjadilah perkelahian physik diantara keduanya yaitu saling memukul sehingga
63
mengakibatkan jatuh keduanya serta guling-gulingan keduanya. Selanjutnya terdakwa menjambak rambut Maman sekaligus menggigit telinga sebelah kananya. Akan tetapi menurut saksi ini sebelum terjadi perkelahian bahwa sebelumnya antara keluarga ini sudah mempunyai permasalahan dimana dua tahun yang lalu keponakan terdakwa membawa kabur lari istri saksi. Sesuai dengan deskripsi yang berada disebuah arsip putusan pengadilan penulis mengamati dari putusan hakim tersebut sebagai berikut. 1. Unsur Barang Siapa Barang siapa disini adalah seorang subyek hukum yang didakwakan telah melakukan tindak pidana dan perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan secara yuridis. Sedangkan yang dimaksud barang siapa dalam perkara ini adalah terdakwa Suharyanto Bin Mulgiono benar dalam identitasnya dan dibenarkan juga oleh terdakwa kemudian terdakwa dihadapkan dimuka persidangan oleh jaksa penuntut umum. 2. Unsur Melakukan Penganiayaan Dimaksud disini adalah melukai atau melakukan sebuah kekerasan dalam bentuk menyiksa yang mengakibatkan kerugian dari belah pihak dengan unsur kesengajaan. Dengan demikian pengertian melakukan penganiayaan jelas dilakukan oleh terdawa Suharyanto Bin Mulgiono. Karena dari beberapa keterangan saksi yang diungkapkan dimuka persidangan mengatakan terdakwa Suharyanto Bin Mulgiono melakukan
64
hal tersebut yang alamat di kp. Jati Jaya Desa Laban Sari Kec. Cikarang Timur Kab.Bekasi. Awalnya terpicu dari pertengkaran mulut Ecih dengan terdakwa karena tidak terima melihat anaknya menangis seketika keluarnya dari halaman terdakwa, mendengaar pertengkaran dari keduanya, suami dari Ecih yang bernama Maman menghampiri dan mengatakan “Banci” kepada Tedakwa dari kejadian tersebut kemudian terjadi perkelahian fisik. Dengan kejadian tersebut Majlis Hakim menyimpulkan bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam unsur penganiayaan. 3. Unsur Yang Mengakibatkan Luka-luka Berat Dimaksud Luka-luka Berat adalah melakukan tindakan pidana yang mengakibatkan nestapa bahkan cacat sementara atau selamanya bagi sikorban. Dengan demikian melihat hilangnya panca indra dari pihak korban yaitu telinga sebelah kanan maka Majlis Hakim menyimpulkan bahwa luka tersebut adalah luka berat dan mengatakan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam perbuatan yang termaktub dalam pasal 351 tentang kekerasan atau penganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat, karena hilangnya anggota dari salah satu pendengarannya. Setelah majelis hakim pengadilan melihat dari unsur-unsur yang dilakukan oleh terdakwa maka barulah diputusakan dengan putusan yang dikeluarkan pada hari kamis tanggal 19 Juni 2014 oleh majelis hakim yang bernama Lince Anna Purba, S.H.,M.H, selaku hakim ketua memutuskan bahwa Suharyanto Bin Mulgiono ini melakukan tindak pidana kekerasan atau
65
penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dalam hal ini disebut sebagai luka-luka berat dengan menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun dan membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sebesar Rp.2.000,(dua ribu rupiah), penulispun menyetujui hasil putusan tersebut karena dilihat dari perspektif hukum pidana Positif sendiri sudahlah baik yang mana memberikan sanksi sebagai efek jera bagi pelakunya, karena tujuan dari penghukuman yang dilaksanakan pada dasarnya adalah bertujuan memberikan efek jera bagi setiap pelaku yang melakukan tindak pidana. Adapun unsur yang dipaparkan diatas terkandung didalam pasal 351 KUHP ayat (2) yang menerangkan seseorang yang melakukan kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dalam hal ini disebut sebagai luka-luka berat. B. Perspektif Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Dalam agama Islam terdapat beberapa peraturan yang datangnya dari Allah langung yang tertulis didalam Al-Qur’an maupun Hadits yang bertujuan untuk setiap manusia bisa menjalankan syaritnya dengan baik sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dalamnya, baik hubungan dengan Allah maupun dengan manusia yang lainnya atau bisa disebut sebagai Hablum Minallah Wa Hablum Minannas terkecuali bagi orang-orang yang tidak berakal, karena hukuman bisa batal kepada orang yang demikian. Prilaku manusia dikerjakan secara sembrono yang berdasarkan hawa nafsunya saja berdampak kepada keburukan yang pada akhirnya, baik dalam
66
hal kejahatan melakukan pembunuhan, pemerkosaan, bahkan penganiayaan yang sudah jelas dilarang oleh Allah. Dari salah satu penyebutan tentang kejahatan tersebut adalah tentang kekerasan atau penganiayaan, dalam agama Islam sangat dilarang melakukan tindakan yang dapat merusak anggota badan dalam hal ini adalah pelukaan terhadap hilangnya salah satu dari dua telinga. Melihat pokok dari permasalahan melalui putusan Hakim yang dikeluarkan pengadilan Negeri Bekasi Nomer. 443/Pid/B/2014/PN. Bks. Penulis menganalisis jenis tindak pidana yang dilakukan masuk dalam kategori perbuatan penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan jiwa sikorban dalam bentuk pemukulan dan pelukaan. 2 Bila dimasukan dalam analisis sebuah putusan diatas pada dasarnya hukum Islam mempunyai dasar yang harus dijalankan menurut hukum syari’atnya sendiri karena, untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan terhadap diri manusia yang pada khususnya. Konsep yang terkenal dalam syari’at Islam itu sendiri bermuara pada prinsip dasar yaitu demi kemaslahatan individu maupun kelompok lainnya. Dalam hal pelukaan ini ada tiga aspek bila dilihat dari perbuatan ini apabila ditinjau dari hukum pidana Islam, pertama aspek syar’i, permasalahan ini masuk dalam hal perusakan yang dilarang keras oleh Allah yang dalam penerapanya adalah حفظ النّفسyaitu menjaga diri yang mana masuk dalam pembahasan selain jiwa yang bisa disebut perusakan kepada diri seseorang
2
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid I, Penerjemah: Tim Tsalisah, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007), hal. 100
67
baik sengaja maupun tidak sengaja yang dalam konteks memisahkan anggota badan atau sejenisnya atau bisa diartikan memotong, melukai bagian dari anggota badan sehingga terpisah dari badannya dan perbuatan ini harus dikenakan qishas, karena sesuai dengan hukum syariat yang berlaku dalam pandangan hukum pidana Islam, akan tetapi hukuman qishas ini bisa tidak dilakukan apabila dari pihak yang dirugikan mema’afkan dari perbuatannya tersebut, akan tetapi sebagai pengganti dari hukumanya itu adalah diyat, yang mana hukuman diyat yang dimaksud disini adalah sebagai pengganti dari hukuman qishas yang telah ditetapkan atau bisa disebut juga sebagai ganti rugi dari pihak pelaku terhadap sikorban. Melihat dari pembahasan yang penulis angkat dari putusan pengadilan Bekasi ini, penulis berpendapat bahwa Suharyanto bin Mulgiono harus dijatuhkan hukuman diyat, karena ia melakukan sebuah tindak pidana yang dilakukan secara sengaja
(al-qatlul
‘amd),
menganalisis
hasil dari
musyawarah pihak korban telah meringankan dari hukumanya itu, maka pantaslah seorang terdakwa ini dibatalkan hukuman qishasnya akan tetapi hanya dimintai pertanggung jawabannya saja. Dikarenakan dalam realisasinya tidak mau bertanggung jawab yang hal ini membiayai dalam proses pengobatannya maka sipelaku ini harus dikenakan diyat. Akan tetapi hukuman diyatnya itu hanya separuh yang dalam hal ini merusak anggota badan atau disebut dengan pelukaan. Adapun pelukaan ini yang dimaksud adalah masuk dalam kategori athrof yaitu tangan dan kaki tetapi dari kesepakatan fuqoha diperluas lagi sejenis athrof yang didalamnya termasuk telinga. Adapun
68
masalah dendanya bisa diserahkan kepada seorang Hakim dipengadilan yang berdasarkan keadilan. Apabila ditinjau dari hukum maddinya, perbuatannya itu sudah jelas sekali dapat merugikan seseorang yang dalam hal ini samapi kepada kecacatan permanen. Sedangkan dari hukum adabinya, seseorang yang berakal wajib mempertanggung jawabkan atas perbuatannya itu dan bisa dibilang wajib bagi seorang yang mukallaf bertanggung jawab apabila perbuatannya tersebut diketahui dengan sempurna melakukannya. 3 Karena bisa dibilang dilakukannya dengan unsur kesengajaan. Akan tetapi diyat ini termasuk kepada ارش غير مقدرadalah ganti rugi yang belum ditentukan oleh syara’ dan penentuannya ditentukan oleh hakim.4 Dari sebuah hukum pidana Islam diwajibkan kepada seorang pelaku apabila melakukan tindak pidana tersebut harus dijatuhi hukuman qishas, Ketika pihak korban tidak tau dari segi hukumnya kemudian mengajukan kepersidangan, maka seorang hakim wajib mengajukan diyat terlebih dahulu. Diyat inipun berlaku apabila jenis anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh dan berlaku pula untuk semua jenis anggota badan, baik yang tunggal (tanpa pasangan) maupun yang berpasangan yang dalam konteks permasalahan yang dibahas adalah hilangnya sebagian telinga dari sebelah kanan. Dan apabila seorang pelaku melakukannya berulang kali, maka diperbolehkan hukumannya ditambah selain diyat dengan hukuman penjara pula yang ada diIndonesia saat ini,
3
Maksudnya pelaku mengetahui hukum-hukum taklifi dan untuk itu maka hukum tersebut bisa diberlakukan. 4 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet.2, hal.196.
69
sebagai efek jera kepada sipelaku perbuatan kekerasan, karena sudah melanggar ketentuan yang sudah berlaku. Tertuju kepada pembahasan skripsi ini penulis melihat dikarenakan unsur yang dikaji dalam hukum Islam maupun hukum pidana Positif Maka dari itu sudah jelas bahwa sanksi yang harus diberikan bagi pelaku bukan hanya dipenjara saja melainkan harus dikenakan diyat juga agar selain menjalankan hukum Positif yang berlaku diIndonesia bisa pula menjalankan hukum Islamnya juga yang sesuai dengan syari’at islamnya, karena sipelaku tidak membiayai dari proses pemulihan seseorang yang dianiayanya. Karena pada dasarnya hukum syari’at Islam ditegakan dalam permasalahan kekerasan atau penganiayaan ini khususnya tertuju untuk menjaga diri agar seseorang tidak bisa berbuat sewenang-wenang dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat atau bisa disebut main hakim sendiri dan bisa disebut pula mengedepankan sebuah kemaslahatan dari pada kemadharatan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari semua pembahasan yang telah dilakukan terhadap permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen yang direlevasikan pada putusan hakim pengadilan, yang disajikan oleh penulis dari hukum pidana Islam maupun dari hukum pidana Positif merupakan ketertarikan penulis yang diharapkan bisa menambah wawasan tentang keilmuan dalam bidang hukum mengenai tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dan menambah ilmu bagi yang membacanya. Adapun kesimpulanya sebagai berikut: 1. Tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen dalam pandangan hukum pidana Islam telah ditentukan oleh syariat yang terdapat dibeberapa macam tindak pidana seperti: Perusakan terhadap athraf dan sejenisnya dengan sengaja, Menghilangkan Manfaat Anggota Badan Secara Sengaja, Pelukaan Terhadap Muka dan Kepala (sajjaj), Pelukaan Terhadap Jirah (anggota badan selain wajah, kepala, dan athraf). Adapun hukuman bagi yang melakukannya dikenakan hukuman diyat yaitu dengan denda, mengenai penjara selama 1 tahun menurut hukum pidana Positif sudahlah baik bagi terdakwa karena, terdakwa tidak meminta ma’af setelah kejadian tersebut dan tidak membiayai dalam proses pengobatan sikorban, sedangkan dalam hukum
73
74
pidana Islam haruslah seseorang itu membayar diyat yang sudah ditentukan dalam islam, karena sebagai bahan ganti rugi atas perbuatan si pelaku terhadap sikorban dalam memenuhi tanggungjawab atas kejadian yang dilakukan karena perbuatan yang merugikannya itu. 2. Tentang putusan perkara No. 443/Pid/B/2014/PN.BEKASI, atas nama Suharyanto bin Mulgiono sebagai terdakwa, terdakwa di dakwakan karena melakukan unsur kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan luka berat tetapi dalam hal ini luka berat bagi penulis digantikan dengan cacat permanen yang dilakukan dengan unsur sengaja menggigit daun telinga sebelah kanan dan Hakim memvonis terdakwa dengan ancaman pidana penjara selama 1 tahun berdasarkan dakwaan primair pasal 351 ayat (2) KUHP dan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 3. Dalam pandangan hukum Pidana Islam dan hukum pidana positif tentang masalah tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang mengakibatkan cacat permanen disebut juga dalam hukum Islam perusakan terhadap athraf
dan
hukum
Positifnya
kejahatan
yang
disengeja
yang
mengakibatkan luka berat. B. SARAN Dalam skripsi ini penulis menambahkan beberapa saran, yang bertujuan untuk membantu mengatasi masalah tentang tindak pidana kekerasan atau penganiayaan yang ada dimasyarakat, yang diharapkan bisa diaplikasikan sarannya ini, adapun sarannya sebagai berikut:
75
1. Berperinsip bagi setiap penegak hukum berlaku adil, dan bijak dalam menyelesaikan bahkan memutuskan setiap adanya perkara dan jangan sampai merugikan dari salah satu belah pihak, yang sangat lebih pentingnya peranan seorang hakim dan penegak hukum harus bisa lebih cermat lagi dalam mengatasai sebuah tindak pidana kekerasan atau penganiayaan karena, banyak oknum penegak hukum saat ini tidak adil dalam memutuskannya, yang berakibat kerugian yang ditimbulkan dari salah satu pihak. 2. Memasukan hukum Islam di Negara Indonesia saat ini, mungkin sudah saatnya diberlakukan, karena dengan hukum Islam yang ditegakan sedikit banyaknya bisa menimbulkan efek kejeraan bagi setiap pelaku tindak pidana kekerasan atau penganiayaan, karena dalam hukum positif banyak sekali orang salah mengartikan dalam pengambilan hukumnya itu yang berdampak tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. 3. Menumbukan dari setiap individu yang berpegang teguh kepada keimanan, dengan mendalami ilmu-ilmu tentang agama, hukum, moral, dan nilai-nilai akhlak, sebab terlebihlagi kepada akhlak sangat penting bagi setiap individu, ketika terbentuknya orang sudah beriman yang berilmu, bermoral bahkan berakhlak maka bisa dipastikan tidak akan melakukan sebuah tindak pidana. 4. Membagi sebuah pengalaman dan pengetahuan kepada generasi-generasi yang muda saat ini, tentang masalah tindak pidana kekerasan atau penganiayaan disertai dengan akibat dan dampaknya sehinga dari setiap
76
genserasi-generasinya bisa mengetahui tentang masalah tersebut, agar dimasa yang akan datang generasi penerus bangsa ini tidak lagi melakukan tindak pidana kekerasan atau penganiayaan dan lebih mengedepankan solidaritas dari merekanya yang tinggi dalam bersosialisasi.
DAFTAR PUSTAKA Audah, Abdul Qodir, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Jilid III, Penerjemah: Tim Tsalisah, Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2007 Abu Zahrah Muhammad, Membangun Masyarakat Islami, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus 1994 Bonger, W. A, Pengantar tentang Psikologi Kriminal, Jakarta: Ghalia Indonesia,1981 Chazawi Adam, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008 Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro , 2008 Djazuli A., Fiqh Jinayah (upayan menanggulangi kejahatan dalam islam), PT RajaGrafindo Persada, 1997 Hamzah Andi, System Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997 Hamzah Jur. Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ……………..., Asas-asas hukum Pidana Jakarta : PT. Pradya Paramita, 1997 Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta: Pustaka Setia, 2000 Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Puidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2005 Kertonegoro, pengupahan Teori, Hukum, Manajemen Sentanoe, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 2001 Khisbiyah dkk Yaya, Melawan kekerasan Tanpa kekerasan, Yogyakarta :
74
75
Pustaka Pelajar Opset, 2000 Koen Willie, Kekerasan dan Agresi (Perilaku Manusia), PT. Tira Pustaka, 1987 …………..., The Community (Lingkungan Masyarakat), PT. Tira Pustaka, 1987 Kusuma Hilman Hadi, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni 1992 Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, urgensi perlindungan korban kejahatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Laminating P.A.F. dan Theo Laminating, Hukum Penitensier Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 …………………., “Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Marpaung Leden, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, terj. Tjetjep Rohendi Rohili, Jakarta: UI Perss, 1992 Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002 Muhammad Ahsin Sakho (eds), Ensiklopedi Hukum PIdana Islam, Jakarta: Kharisma Ilmu, 2008 Mujieb M. Abdul, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995 Munawir Ahmad Warson, Al Munawir: Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997 Nasution Harun dan Bahtiar Effendy, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta : PT. Pustaka Firdaus 1987 Nurul Irfan M., Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2003
76
Prasetyo Teguh, Hukum pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 ………………, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2010 Poernomo Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992 Rasyid Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012 Sejumlah Para Ulama Dari Para Penuntut Ilmu Didunia Islam (Tafsir Al’Usyr Al-Akhir), Hukum-Hukum Penting Bagi Seorang Muslim, Sianturi S.R, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia dan Penerapannya Jakarta : BPK Gunung Muria, 1996 Sudradjat Bassar, M., Tindak-tindak Pidana Tertentu didalam Kitab Undang undang Hukum Pidana, Bandung: Remadja Karya, 1986 Suharto, Hukum Pidana Materil, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Sulista Teguh dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana (Horizon Baru Pasca Reformasi) Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011 Syafe’I Rachmat, Al-Hadis Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum, Bandung : Pustaka Setia, 2003 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 Waluyo Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008 Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ………………………, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Yunus Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1990
77
Redaksi Sinar Grafika, KUHAP dan KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) Arsip Putusan Pengadilan Nomor: 443/Pid/B/2014/Pn.Bekasi.