Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
PERSPEKTIF DAKWAH ISLAM DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN Fariza Makmun
[email protected] Abstract Islamic Propagation is basically set of activities for changing personal and social situation of the poor to the better, for forming ideal order of family life (usrah), social groups (congregation) , and community (ummah). Such propagation is aimed to realize civilized and qualified people according to ideals introduced by Allah in the Quran and Al-Hadith. To realize psycho and social quality of Islamic society need Islamic propagation which is not merely in the format of oral call (verbal propaganda), but further required a praxis and empirical movement in the form of social services , social assistance , and social counceling. According to this context Islamic propagation should be understood comprehensively. The audiences of Islamic propagation not only personal and social groups with established level of education and economic backgrounds, butmost ofthembelong to thepoor people, in education and economic as well. Kata Kunci: Dakwah, kemiskinan A. Pendahuluan Dalam gambaran sepintas menemukan relevansi dakwah dan kemiskinan terkesan cukup sederhana. Praktek pembagian zakat setiap hari raya, pemberian sedekah, pemberian santunan ke panti asuhan dan sebagiannya sering dipandang sebagai dakwah bil hal yang relevan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Tak heran bila kegiatan semacam itu marak dilakukan oleh berbagai kalangan umat Islam baik yang dilakukan secara individual maupun kolektif melalui gerakan komunitas majlis taklim ataupun organisasi sosial keagamaan. Kita pun puas dan bangga dibuatnya, bukankah hal itu merupakan indikasi tumbuhnya kepedulian dan solidaritas sosial dari sebagian umat yang berada kepada lapisan umat yang kurang beruntung, juga sekaligus menunjukkan semangat dan aktifitas keagamaan yang semakin marak di kalangan masyarakat elit dan berada. Kemiskinan pada dasarnya merupakan konsep yang tidak statis, yang terus mengalami perkembangan dan perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam perspektif sosiologis paling tidak ada dua pengertian tentang kemiskinan, yang Pertama, kemiskinan Absolut dan kedua, VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
1
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
kemiskinan relatif. 1 Kemiskinan absolute diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi pendapatan dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan fisiknya: sandang-pangan, papan pendidikan, pemukiman dan kesehatan. Sedangkan kemiskinan relatif diartikan dengan menghitung proporsi pendapatan Nasional yang di terima oleh sekelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dan bandingkan denga proporsi pendapatan nasional yang di terima oleh sekelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya. Melihat realitas kemiskinan sebagai fenomena ketidakberdayaan masyarakat yang berkaittan erat dengan faktor-faktor kultural maupun struktural, maka dakwah Islam harus melakukan rekonseptualisasi dan reaktualisasi konsep dan pola praksis dakwah yang relevan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Secara konseptual dakwah dalam konteks ini dilakukan melalui perubahan sosial dengan mengembangkan sumber daya manusia yang dinamis, terampil dan mandiri, menciptakan pranata dan tatanan sosial yang demokratis, egaliter dan penuh solidaritas. Dakwah dalam perspektif ini tidak lagi melakukan pengulangan praksis dakwah verbal yang hanya menyentuh wilayah kognisi serta emosi komunitas sasaran dakwah, apalagi dalam format dakwah verbal yang hanya terkesan sebagai bagian dari bentuk hiburan publik (entertainment). Dakwah Islam harus dikonseptualisasi sebagai gerakan sosio-kultural yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam melakukan perubahan kondisi sosial ekonomi baik pada tataran indifidu, keluarga dan masyarakat. Tulisan ini merupakan pemikiran untuk menegaskan bahwa dakwah Islam, baik dalam posisinya sebagai kegiatan sosio-relijius maupun dalam tataran epistemologis, harus menjadi bagian dari konsep maupun gerakan sistematis yang memberikan kontribusi bagi upaya mengentaskan kemiskinan atau paling tidak meminimalisir problem sosial yang dihadapi oleh masyarakat sasaran dakwah. B. PROBLEMATIKA DAKWAH Dakwah Islam adalah suatu aktivitas untuk merubah situasi dari yang kurang baik kepada yang lebih baik, sehingga terbentuk sebuah tatanan kehidupan keluarga (usrah), kelompok sosial (jama’ah), dan masyarakat (ummah) yang baik (kharu ummah), yaitu masyarakat yang terdiri dari individuindividu yang baik, beradab, dan berkualitas sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. 1
Nasruddin Harahap (Ed), Dakwah Pembangunan, (Yogyakarta, DPD Golongan Karya Tingkat I, 1992)., hal 115
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
2
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Untuk mewujudkan masyarakat yang Islami (khairu Ummah), di perlukan dakwah Islam yang tidak hanya dalam bentuk ajakan atau seruan dalam dakwah lisan semata, tetapi diperlukan sebuah gerakan yang berorientasi pada pengembangan masyarakat berupa pelayanan, bantuan sosial, dan pembinaan sehingga terwujud kesejahteraan. Inilah yang difahami sebagai dakwah bil hal. 2 Dengan demikian, dakwah Islam tidak dipahami dalam pengertian yang sempit, yakni upaya peningkatan mencakup sasaran yang luas, yaitu pelaksanaan Islam secara menyeluruh yang menuntun perjalanan hidup manusiasebagai pemeluknya. Memahami konsep gerakan dakwah secara komprehensip, berarti problematika dakwah Islam yang sedang kita jalani dan hadapi di masa-masa mendatang juga mencakup berbagai segi yang terkait dengan kehidupan manusia baik hubungannya dengan sesama makhluk Allah (Horizontal) maupun yang terkait dengan hubungan manusia dengan sang khalik (Vertikal). Untuk mempermudah memahami persoalan problematika dakwah menjadi dua, yaitu: Pertama, pemahaman umat Islam khususnya para da’i sebagai pelaku dakwah tentang dakwah Islam dan mereformulasi atau merekontruksi kegiatan dakwah. Atau, dikatagorikan sebagaiproblematika internal. Kedua, problematika ekternal , yaitu berbagai problematika umat mulai dari pemahaman tentang Islam sampai pada permasalahan ekonomi, politik, social-budaya, pendidikan, dan teknologi. 1. Problematika Internal Kekeliruan dalam memahami makna dan tujuan atau orientasi dakwah berakibat pada kekurangan efektifnya kegiatan dakwah, akhirnya berimplikasi pada lemahnya tatanan kehidupan masyarakat dalam berbagai segi kehidupan. Melemahnya nilai-nilai norma, peradaban, dan kualitas sumber daya manusia (SDM) umat Islam merupakan indicator kurang berhasilnya dakwah Islam dewasa ini, sekaligus merupakan tantangan bagi para da’i dan lembaga-lembaga dakwah yang konsen terhadap gerakan dakwah. Dengan kata lain, dakwah Islam secara tidak langsung mempunyai andil dalam berbagai kesesatan dan kemunkaran ummat. Makna dakwah yang dipahami sebatas menyampaikan atau menyeru kepada jalan Allah berimplikasi terbatasnya aktivitas dakwah yang hanya dilakukan dalam bentuk lisan, seperti ceramah, tabligh, nasehat, dan metode lisan lainnya. Sementara, beberapa penulisan tentang dakwah, diantaranya Muhammad Ali Aziz dalam bukunya “ilmu dakwah”, slamet Muhaimin Abda dalam bukunya “Metodelogi Dakwah”, Dzikron Abdulah dalam 2
hal. vii
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, (Semarang:Pustaka Pelajar, 2003),
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
3
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
bukunya “Metodelogi Dakwah”, dan penilis-penulis lainya, secara gamlang menyatakan bahwa, dakwah lisan khususnya metode tabligh dan metode ceramah memiliki berbagai kelemahan diantaranya : Pertama, penyampaiannya hanya satu arah (one way communication) yang berakibat pada pasifnya audience (mad’u) dalam proses pendalaman materi dakwah. Kedua, potensial dalam proses penyampaian pesan atau informasi yang bersifat umum kepada banyak orang. Sehingga, informasi yang disampaikan dalam waktu yang relative singkat dan mad’u yang besar tidak dapat tersosialisasikan secara detail dan mendalam. 3Ketiga, dapat diterapkan pada semua lapisan masyarakat, kecuali pada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. 4 Fenomena lain yang muncul akibat kesalahan dalam memahami makna dan orientasi dakwah adalah terabaikannya kompetensi akademik atau kurangnya ilmu pengetahuan dan referensi sebagai sumber materi dakwah, baik yang berkenaan dengan sumber pokok seperti Al-Quran, AlHadits, Sejarah Islam mau[un sumber pokok (ilmu bantu) seperti ilmu jiwa, ilmu komunikasi, sosiologi, ekonomi dan lain sebagiannya. Wal hasil, aktifitas dakwah terlaksana tanpa persiapan yang matang, pekerjaan tanpa perhitungan, dan tidak ada system evaluasi yang jelas. Tujuan atau orientasi dakwah yang dilakukan terbatasnya pada penyampaian dan seruan dengan mengharapkan imbalan materi semata (primer oriented). Perubahan sikap, daya piker, dan tingkah laku masyarakat sebagai obyek dakwah menjadi tujuan yang kedua (secounder oriented). Menyikapi realitas dan fenomena internal yang muncul dalam dakwah Islam, maka semestinya da’i sebagai pelaku dakwah baik secara fardiyah maupun jam’iyah meluruskan pemahaman tentang makna dakwah berorientasi pada amar makruf nahi munkar dalam upaya menkontruksi masyarakat sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. 5 Hal ini sesuai dengan kandungan surat Ali Imran ayat 104 yang terjemahnya “ hendaklah ada diantara kamu yang melakukan dakwah ila-khair, amar makruf dan nahi munkar”.
3
Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodelogi Dakwah, (Surabaya: AlIkhsan, 1994), cet. Ke-1, hal. 81. Dzikron Abdullah, Metodelogi Dakwah, (semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1989), cet ke-1, hal 57-60. 4
Dzikron Abdullah, Ibid., hal. 57-60 M. Jakfar Puteh dan Sifullah (ed), Dakwah Tektual dan Kontektual Peran dan Fungsinga dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: AK. Group, 2006), cet. Ke-3, ha. 5 5
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
4
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Pengertian dakwah harus difahami bukan hanya menyampaikan atau menyeru, tetapi merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan dalam suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir, bersikap, dan bertindak manusia dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan. 6 Untuk mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan bukanlah pekerjaan sederhana. tetapi, dibutuhkan para da’i yang bekerja secara propesional dengan semangat perjuangan (tajdid) yang dilandasi oleh ketauhitan dan keiklasa serta didukung oleh system perencanaan dakwah secara teratur dan sistematis dengan menggunakan metode-metode (thariqoh) tertentu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa dakwah merupakan pekerjaan yang terukur melalui varian-varian pengubahan (da’i dan materi) dan masyarakat sebagai obyek yang terubah. Sangatlah sia-sia kalau dakwah diidentikkan dengan menyampaikan atau menyerukan sesuatu tanpa bukti keberhasilan. Dengan demikian, seseorang yang menjadikan dakwah sebagai profesi adalah orang-orang yang memiliki kepercayaan diri, kedispilnan tinggi, tegar dalam berpendirian, dan memiliki integritas moral keprofensionalan secara tim dengan sikap solidaritas atas komitmen dan konsisten yang teruji kokoh. Menurut A Wahab Sunet Syafudin Djason, dakwah dalam era kekiinan, haruslah diposisikan sebagai suatu profesi modern. Dengan demikian, dakwah akan dijadikan pekerjaan professional yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, memikul resiko sendiri berdasarkan kemampuan akademis-ilmiah dan kemampuan dan meliliki atau menguasai kecakapan teknik yang bersifat general. Kemampuan keprofesionalan mencakup kemampuan mengayomi, melindungi, dan membina dengan tujuan mengubah jalan hidup masa depan yang lebih baik (kesetaraan hidup di dunia dan akherat) bagi seseorang, kelompok, dan masyarakat yang meminta jasa kepadanya. 7 2. Problematika Eksternal Salah satu unsure dakwah yang paling penting adalah masyarakat sasaran dakwah. Menurut Hasan Al-Bana yang mengkutip oleh Zaini M. Amin dalam M. Jakfar Puteh, masyarakat merupakan wadah yang paling penting dalam lingkup dakwah, yang meliputi lingkungan yang amat luas, 6
Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan perubahan Sosial, (Yogyajarta: AK. Group, 2006), cet. Ke-3, hal.5 7 A Wahab Sunet Syafrudin Djason, Peroblematika Dakwah dalam Era Indonesia baru, (t.tempat: PT. Bina Rena Pariwara, 2000), cet. Ke-1, hal 138
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
5
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
mulai dari lingkungan kerabat dekat, masyarakat sekampung, lingkungan kerja, Negara sampai lingkungan internasional. 8 Dalam pendekatan sosiologis, masyarakat dapat juga disebut sebagai lembaga atau organisasi dari berbagai prinsip-prinsip, cita-cita, etika, dan standar moralitas yang dirasakan penting oleh masyarakat. 9 Dan, menurut AR, Radeliffe-Brown yang dikutip oleh G. Kartasapoetra dan L.J.B. kreimers, masyarakat dapat mempersatukan manusia secara pribadi kedalam susunan-susunan sosial yang lebih atau kurang stabil, atau sesuatu wadah yang dapat menjadikan kemungkinan suatu kehidupan sosial yang tertib (fungsi intergratif). 10 Pendekatan sosiologi di atas menjelaskan bahwa masyarakat merupakan integritas dari berbagai prinsip, cita-cita, etika, dan moralitas sebagai wujud dari pemikiran, sikap, dan tingkah laku (amal ibadah) manusia sebagai individu dalam berinteraksi dengan individu lainnya. Pemikiran dan sikap tersebut teraktualisasikan dalam perilaku yang baik (Ma’ruf) atau mengarah pada yang buruk (munkar). Berbagai problematika kehidupan umat manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dan agama menyatu dalam sebuah ikatan yang desebut masyarakat. Semua problem yang perlu disikapi dan dicarikan solusi pemecahannya oleh umat Islam melalui gerakan dakwah Islam, sehingga terwujud khairu ummah. Untuk itulah, gerakan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wujud aktualisasi imani insan beriman sangat dinanti perannya. Lebih-lebih pada abad ke-21 ini, kita terbuai dininabobokkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prestasi spektakuler abad ke-20 silam. Abad ke-20 telah melahirkan ketimpangan dalam berbagai bidang, khususnya bagi umat Islam. Ketidak berdayaan perkembangan ekonomi global mengakibatkan umat Islam semakin terpinggirkan dalam hal ekonomi. Tingkat penghasilan rendah, peran dan daya saing tidak ada, tingkat pengangguran yang tinggi, keterbatasan dalam mendaya gunakan teknologi informasi dan industry menjadi realitas umat akhir-akhir ini. Kesemuanya terbungkus dan tersembunyi dalam bingkai tirani kemiskinan,
8
M. Jakfar Puteh dan Sifullah (ed), op. Cit., hal 222
9
Paul B. Harton dan Chester L. Hunt, Sociology, (America: RR. Donneley de Sons Company, 1976), cet. Ke-5, hal 168 10
G. Kastasapoetra dan L.J.B. kreimers, Sosiologi Umum, (Jakarta:PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke 1, hal, 221-223
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
6
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
sehingga menjadi permasalahan global karena kemiskinan membuka peluang bagi timbulnya berbagai kemaksiatan dan kedzoliman (perbuatan munkar). 11 Disadari atau tidak, berbagai ketimpangan dan keterbelakangan tersebut merupakan implikasi negatif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi dengan pembangunan dalam bidang etika (moral). Pandangan tentang moral semakin menipis, sehingga manusia terbelenggu oleh hawa nafsu duniawi yang bersifat materi semata. Bersamaan dengan itu semua, dalam konteks keindonesiaan gendrang reformasi membuka harapan baru bagi bangsa Indonesia. Sebagai masyarakat yang berbangsa dan bernegara, kita mengharapkan tegaknya demokrasi yang benar. Dan sebagai umat yang beragama, kita mengharapkan kehidupan yang Islami. Banyaknya orang memprediksi, baik melalui kegiatan-kegiatan akademik ilmiah maupun menyikapi fenomena-fenomena dan fakta emperik yang terjadi disekitar kita. Persaingan antar umat manusia demikian tinggi, sikap individualistis dan meterialistis membelenggu pemikiran hamper semua kalangan, perbedaan antara yang ma’ruf dengan yang munkar sangatlah tipis, sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Berbagai aliran tarekat dan aliran kepercayaan bahkan keberanian menyatakan dirinya sebagai nabi muncul tanpa keraguan. Sementara itu, dalam kontek demokrasi kesemuanya harus dihargai dan diakomodir sebagai wujud solidaritas sosial dengan masyarakat internasional dengan dalih penegakan “hak asasi manusia” yang sengaja di propagandakan oleh musuh Islam. Sikap kompromi dalam mempertimbangkan sesuatu, selalu terjadi dua hal yang bersebrangan,baik-buruk, halal-haram, pro dan kontra akan semakin hidup di alam demokrasi sekarang ini. Hal ini terjadi karena kita tidak berangkat dari akar budaya bangsa dan agama. Sehingga, berbagai problema utama tersebut akan sulit di atasi apabila kita menggunakan parameter duniawi, kita harus menggunakan parameter Quran dan Hadist. Oleh karena Al-Quran dan Al-Hadits yang demikian sempurna tersebut belum menjadi dasar hidup setiap individu muslim, maka upaya mensosialisasikannya kepada semua pihak merupakan tugas dan tanggung jawab setiap individu muslim, khususnya bagi mereka yang menjadikan dakwah sebagai profesi. C. DAKWAH DAN PENGENTASAN KEMISKIAN Jika kita berjalan menelusuri perkampungan dan pesisir pantai, maka kerapkali pandangan kita dihadapkan pada rumah-rumah atau gubuk
11
M. Jakfar Puteh dan Sifullah (ed), op. Cit., hal. 4
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
7
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
berdindingkan gribik dan kumuh yang tidak layak huni. Di dalamnya dihuni oleh sebuah keluarga yang hidup serba kekurangan dan keterbelakangan. Lahan untuk mencari nafkah sangat tidak memadai bahkan hampir tidak ada, kesehatan tidak terjamin, pendidikan rendah, seakan-akan akses untuk mencapai kesejahteraan hidup tertutup rapat. Demikian juga apabila kita berjalan di pusat dan pinggiran kota, kerap kali kita berpapasan dengan para pengemis dan anak-anak jalanan yang megulurkan tangan meminta sedekah pada setiap ornag yang lalulalang di jalanan. Tujuannya hanya satu yaitu untuk mendapatkan sesuap nasi untuk sebagai penyambung hidup. Mereka hidup di jalan, tidur dikolong jembatan, di emperan took atau halte, walaupun pulang, mereka menuju kerumah kumuh yang ada di pinggir kota. Mereka menjerit dibawah teratai kemiskinan dan keterbelakangan yang tak ujung berakhir. Mungkin mereka bertanya, mungkinkah ini merupakan akibat ulah mereka sendiri atau karena mereka tidak mempunyai motovasi untuk berubah, atau karena ulah saudara-saudara sesama muslim dengan berbagai profesinya yang tidak mau tau nasib kehidupan mereka. Ada kalanya mereka menyalahkan Allah karena tidak menolong mereka. Ironisnya, realitas berupa kemiskinan dan keterbelakangan tersebut secara kuantitas adalah umat Islam. Kemiskinan atau sering disebut kefakiran bukan masalah baru bagi umat Islam. Bahkan al-Quranpun mensinyalir kedua golongan tersebut. Dalam bahasa Arab, kata miskin diambil dari kata sanaka yang berarti diam/tenang. Sedangkan kata “faqir” berasal dari kata faqr yang berarti tulang punggung. Faqir adalah yang patah tulang punggungnya, dalam arti beban yang dipikulnya sedemikian berat, sehingga mematahkan tulang punggungnya. 12 Kata faqir dan miskin juga di singgung dalam Al-Quran dengan kata fuqoroo’ dan masakiin pada surat at-taubah ayat 60 dan sural alIsraa ayat 26. Dalam pengertian yang umum, al-quran menegaskan dalam surat adh dhuhaa ayat 8, dengan kata lain ‘aa’ilam yang berarti yang kekurangan. Keberadaan kaum faqir miskin diakui oleh agama Islam, namun demikian bukan berarti Islam melegitimasi adanya strata social yang membedakan antara golongan yang lain dalam masyarakat. Tetapi, melalui al-Qur’an Allah SWT meggambarkan keadaan suatu masyarakat, dan keadaan tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab sesama muslim. Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 2, yang terjemahnya adalah:”… saling tolong menolonglah kamu sekalian atas dasar kebaikan dan taqwa”. 12
Nadjmuddin dan Muntaha Azhari (ed), Dakwah dan Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta:CV. Guna Aksara, 1996) cet. Ke-1 hal 18
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
8
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Tolong menolong dalam konsep Islam merupakan bagian dari kewajiban setiap muslim sebagai upaya menyebar luaskan kendungan alQur’an kepada umat manusia. Allah berfirman: “Dan kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan kepada segenap manusia apa yangtelah diturunkan (diketahui), dan supaya mereka memikirkannya”(an-Nahl: 44). Oleh karena itu, umat Islam mempunyai peran yang sangat penting dan memikul tanggung jwab besar dalam upaya pengentasan kemiskinan. Problem social itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, apabila umat yang mayoritas terbesar di negeri ini tidak ingin mengulangi sejarah manusia jahiliyah di masa silam. Perlu ada upaya untuk merubah kearah kondisi yang lebih baik melalui gerakan dakwah IIslam yang merupakan syarat yang mendasar sebagai umat beragama. Membangun sendi-sendi kehidupan umat yang mengalami kekosongan nilai-nilai dan roh Islam merupakan keharusan yang mutlak. Karena, Islam merupakan landasan dan pandangan hidup untuk mendapatkan kebahagiaan dan hidup berkeadilan. Islam merupakan sumber motivasi untuk berkehidupan yang layak dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syari’at. Islam mengajukan setiap umat untuksaling tolong menolong syari’at. Islam menganjurkan setiap umat untuk saling tolong menolong antara sesama (al-maidah: 2). Yusuf al-Qordowi, yang di kutip oleh Nadjmuddin dan Muntaha Azhari, berpendapat: “Tidak dapat dibenarkan menurut masyarakat Islam, seorang ang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam sekalipun ahli dzimmah (non muslim) menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang, dan membujang”. 13 Baik ayat maupun pendapatan para ahli di atas, merupakan inspirasi gerakan dakwah dengan orientasi pada perubahan gaya hidup yang Islami. Untuk itu, maka dakwah bil hal sebagai alternative model pembangunan umat perlu di kedepankan. Memahami dakwah dengan tabligh dan ceramah dan ukuran keberhasilannya diprespsikan sebagai pengalaman bentukbentuk ibadah mahdhah, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan penampilan symbol-simbol keIslaman , seperti memakai busana muslim, sholat berjama’ah, mengikuti majelis-majelis ta’lim serta bantuan-bantuan social harus diluruskan. Karena tidak semua orang melaksanakan ibadah mahdhoh mengerti dan memahami makna dan kandungan dari setiap aktivitas ibadah yang dilakukan. Tidak dapat dipastikan, bahwa orang yang rutin melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa, berzakat, berpakaian muslim dan muslimah berprilaku baik, santun, dan bijak dalam setiap aktivitasnya sebagai bagian dari masyarakat. Fazlurrahman yang dikutip oleh Nanih 13
Ibid.,
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
9
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Machendrawati menegaskan, “tanpa keinginan dan aksi untuk memberdayakan orang-orang miskin, sholat sekalipun akan menjadi perbuatan yang sia-sia dan munafik. 14 Allah SWT menegaskan bahwasanya sholat itu mencengah perbuatan keji dan munkar. Dakwah dalam mengetaskan kemiskinan memerlukan perumusan dengan memepertimbangkan realitas obyektif masyarakat miskin serta faktor-faktor penyebabnya. Menurut Nadjmudin dan Muntaha Azhari, kemiskinan sebagai fenomena ketidak berdayaan terkait erat dengan factor kultiral dan factor structural. 15 Factor kemiskinan secara cultural desebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; karena kualitas SDM rendah, SDA yang tidak mendukung bersifat pasif menerima nasib apa adanya. Sedangkan factor kemiskinan secara structural disebabkan oleh keadaan lain diluar dirinya atau karena system yang memaksa menjadikan keadaan yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Factor structural tersebut, diantaranya; kesulitan mendapatkan pendidikan, langkanya lapangan kerja, kurang atau tertutupnya akses permodalan dalam menenangkan usaha, situasi pasar dan politik serta kebijakan yang tidak menguntungkan. Sejalan dengan pandangan di atas, Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja berpendapat tentang factor-faktor penyebab keterbelakangan, diantaranya; (1) sifat masyarakat yang tradisional terkait dengan nilai-nilai asli (primordial) yang berusaha memelihara apa yang ada; (2) rendahnya system dan mutu pendidikan; (3) rendahnya pendapatan, modal,dan keterampilan; (4) penyebaran penduduk tidak merata; (5) tingginya pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja; (6) tidak adanya kestabilan politik dan saling mendiskriditkan. 16 Factor cultural dan factor structural merupakan dua factor yang membentuk sebuah komunitas untuk bersikap pasif dan menerima keadaan apa adanya di satu sisi, juga mendorong mereka berupaya keluar dari situasi ekonomi keluarga yang memprihatinkan dengan daya yang serba kurang 14
Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi,(Bandung: PT. REmaja Rosdakarya, 2001), cet. Ke-1, hal. 38 15
Nadjmuddin dan Muntaha Azhari, Op. Cit., hal. vii
16
Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja, Pengantar Pemikiran Tentang Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), cet. Ke …, hal.7-9
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
10
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
disisi yang lain. Keadaan tersebut merupakan sebuah realita yang dapat dimaklumi ketika kita memandang masa lalu, bahwa betapa luas dan makmur SDA yang kita miliki serta jumlah penduduk yang tidak sebesar sekarang. Misalnya, pada era buyut atau kakek kita, betapa luas lahan pertanian dan perkebunan yang kita miliki, tanpa pendidikan yang tinggi, tanpa kerja keras mereka dan keluarga, kecuali keadaan yang memaksa masyarakat untuk menjadi miskin secara kolektif, misalnya ada bencana alam, kemarau panjang atau karena penjajahan asing. Realitas itulah yang membentuk sikap malas bekerja, menganggap pendidikan biasa-biasa saja bahkan kurang bermanfaat. Berbeda dengan era sekarang ini, keadaan masa lalu itu telah berbalik, lahan pertanian dan perkebunan semakin sempit karena jumlah penduduk bertambah dengan begitu cepat, sehingga dengan sikap pasif, pasrah dengan keadaan, dan tanpa skil, dan pendidikan kita tidak mungkin akan hidup dengan layak. Orang-orang yang mempunyai skill dan pendidikan yang cukup di dukung oleh etos kesja yang tinggi dan diiringi oleh doa, mereka itulah yang akan dapat merubah kehidupan mereka dari miskin menjadi sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu, para ahli sosiologi membagi nilai-nilai tradisional masa lalu menjadi dua katagori, yaitu nilai-nilai tradisional yang bersifat positif yang perlu di kembangkan dan nilai-nilai tradisional yang bersifat negative yang harus ditinggalkan. Menurut Rogers, yang dikutip oleh Prof. Dr. Abi Kusno MPHD, nilai-nilai dan norma-norma modern yang sejalan dengan idiologi Islam adalah (1) Mutual distrust in interpersional relation (saling tidak percaya dalam hubungan antar individu); (2) Percived limited good (terbatasnya pandangan akan kebaikan); (3) Dependence on and hostility toward government authority (ketergantungan dan curiga terhadap pemerintah); (4) Familism (kekeluargaan yang kental); (5) Lock of innovativeness (tidak inovatif); (6) Fatalism (pasrah terhadap takdir); (7) limited aspiration (aspirasi terbatas); (8) Lock of deffred gratification (tidak mempunyai keragaman kesenangan), (9) Limited view of the worl (berpandangan sempit); (10) low empathy (kurang tegas). 17 Demikian juga dengan Koentjoroningrat, yang membahas tentang potensi semua suku bangsa yang diliputi oleh nilai-nilai tradisional. Menurutnya, nilai-nilai tradisional memiliki nilai-nilai positif sebagai potensi pengembangan, diantaranya:
17
Abi Kusno, Figur Ulama Masa Depan : Sebuah Reformulasi Peran, Makalah disamoaikan dalam Seminar Sehari Kelompok Ilmuan Agama Islam (KIAN) IAIN Raden Intan, Labuhan Ratu, 28 November 1998, hal.3
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
11
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
1) Sikap hidup tahan menderita, di satu sisi, sikap sadar akan penderitaan memberikan kesempatan kepada berkembangnya aliran-aliran menfokus pada fungsi juga mengandung nilai positif, misalnya tetap bertahanya masyarakat dalam segalla penderitaan dan tetap menunjukan kesanggupan untuk mengikuti gerakan hidup masyarakat. 2) Sikap selalu berikhtiar untuk memperbaiki penderitaan hidup. Konsep ikhtiar dapat membantu dalam mengembangkan sikap mental, seperti :percaya pada kemampuan sendiri, rasa tanggung jawab yang berorientasi pada achievement. 3) Khusus bagi masyarakat Islam, selalu bersikap toleran dan terbuka 4) Nilai gotong royong yang melekat pada suku bangsa kita. 18 Mencermati realitas umat yang masih terlilit masalah kemiskinan dan masih mempertahankan nilai-nilai tradisional. Oleh karena itu, dakwah dalam pengetasan kemiskinan harus dilakukan dengan mengembangkan SDM yang terampil dan mandiri, dan penuh solidaritas, melalui dakwah Islam yang baik melalui media endidikan formal dan non formal maupun melalui pelatihan (training). System ekonomi syari’ah (ekonomi Islam) merupakan akternatif pengembangan ekonomi yang berkeadilan, halal dan toyyib. Untuk mewujudkan tujuan dakwah yang ideal tersebut,baik yang dilakukan secara formal dan non formal maupun melalui tabligh harus dilakukan dengan berbagai strategi yang benar. Diantaranya: Pertama, para pelaku dakwah harus lebih cermat terhadap kehidupan sasaran dakwah, sehingga timing dakwah dapat diperhitungkan. Kedua, Rasulullah dan para sahabat melakukan dakwah melalui kunjungan dan pertemanan, sehingga dakwah dapat dilakukan dengan kapan dan dimana saja sesuai dengan aktivitas yang sedang dijalani oleh sasaran dakwah. Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan sesuai dengan pekerjaan dan permasalahan yang sedang mereka alami saat itu. 19 Dengan kembali kepada model dakwah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, insa-Allah dakwah Islam yang kita lakukan
18
Koentjoroningrat, Kebudayaan Mentalitas Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1974), cet. Ke-1, hal.71 19
Berdakwah Kepada Buruh dan Petani, Majalah suara Muhammadiyah, no. 3/Th. Ke-94, edisi 1-15 februari 2009, hal. 46
VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
12
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
akan mampu merubah kondisi masyarakat kepada kondisi yang lebih baik sesuai dengan tuntunan agama. D. Kesimpulan Dakwah merupakan suatu kewajiban yang bernilai ibadah, maka setiap muslim baik secara personal (dakwah Fardiyah) maupun secara kelompok melalui lembaga/organisasi dakwah (dakwah jam’iyah) melakukan tuntutan idiologi keagamaan yang diyakininya. Ini berati, merubah masyarakat dari keterbelakangan dalam segala bidang termasuk keterbelakangan ekonomi adalah tuntutan dan kewajiban setiap muslim. Dari pendekatan dakwah Islam, membebaskan masyarakat sebagai sesama muslim merupakan bentuk dakwah nyata (bil-hal). Ada bebrapa alternative yang harus di lakukan oleh para da’i merubah kemiskinan, diantaranya; Pertama, para da’i harus merubah paradigma berfikir tentang dakwah Islam. Dakwah Islam bukanlah pekerjaan yabg dilakukan tanpa konsep dan tujuan. Dakwah haru melalui tahap perencanaan, evaluasi hasil dan tujuan yang terukur. Oleh karena itu, setiap unsur dakwah harus disesuaikan dengan unsur-unsur yang lain termasuk kondisi mental, pendidikan, ekonomi, dan budaya masyarakat penerima dakwah. Kedua, untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, ummat Islam dianjurkan untuk kembali kepada al-Quran dan al-Hadits, yakni menghidupkan system ekonomi Islam yang tegak dan berdiri di atas prinsip-prinsip yang Islami. Realitas di atas, baik kemajuan sebagai bukti keberhasilan pembangunan maupun keterbelakangan, kemiskinan, dan segala bentuk kedzoliman dan kemungkaran sebagai dampak kegagalan pembangunan merupakan problematika umat atau problematika dakwah Islam yang perlu ditangani dengan cepat dan serius. Mudah-mudahan semua komponen bangsa ini dapat berfikir jernih, kreatif, berpegang pada norma-norma agama, UUD, Pancasila, dan norma-norma budaya. Amin
DAFTAR PUSTAKA A Wahab Sunet Syafrudin Djason, Peroblematika Dakwah dalam Era Indonesia baru, (t.tempat: PT. Bina Rena Pariwara, 2000), cet. Ke-1 Abi Kusno, Figur Ulama Masa Depan : Sebuah Reformulasi Peran, Makalah disamoaikan dalam Seminar Sehari Kelompok Ilmuan Agama VOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
13
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Islam (KIAN) IAIN Raden Intan, Labuhan Ratu, 28 November 1998 Amrullah Ahmad (ed), Dakwah Islam dan perubahan Sosial, (Yogyajarta: AK. Group, 2006), cet. Ke-3 Berdakwah Kepada Buruh dan Petani, Majalah suara Muhammadiyah, no. 3/Th. Ke-94, edisi 1-15 februari 2009 Bintoro Tjokromidjojo dan Mustopadidjaja, Pengantar Pemikiran Tentang Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), cet. Ke -…, Dzikron Abdullah, Metodelogi Dakwah, (semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 1989), cet ke-1, hal 57-60. G. Kastasapoetra dan L.J.B. kreimers, Sosiologi Umum, (Jakarta:PT. Bina Aksara, 1987), cet. Ke 1 Koentjoroningrat, Kebudayaan Mentalitas Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1974), cet. Ke-1 M. Jakfar Puteh dan Sifullah (ed), Dakwah Tektual dan Kontektual Peran dan Fungsinga dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta: AK. Group, 2006), cet. Ke-3 Nadjmuddin dan Muntaha Azhari (ed), Dakwah dan Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta:CV. Guna Aksara, 1996) cet. Ke-1 Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi,(Bandung: PT. REmaja Rosdakarya, 2001), cet. Ke-1 Nasruddin Harahap (Ed), Dakwah Pembangunan, (Yogyakarta, DPD Golongan Karya Tingkat I, 1992) Paul B. Harton dan Chester L. Hunt, Sociology, (America: RR. Donneley de Sons Company, 1976), cet. Ke-5 Slamet Muhaimin Abda, Prinsip-prinsip Metodelogi Dakwah, (Surabaya: AlIkhsan, 1994), cet. KeVOL. VIII, No.1 Januari 2013, h. 95-108
14