"Personal Impressions on Muktamar NU and Muktamar Muhammadiyah with their Respective Themes— Islam Nusantara (NU) and Islam Berkemajuan (Muhammadiyah)” By Mitsuo Nakamura At UAI, Jakarta, August 18, 2015 (Revised August 23, 2015)
“Jombang Gaduh, Makassar Teduh.” 1. Greetings, appreciation for invitation, and condolences for the family and colleagues of the late Bapak Zuhal. Apologies in advance: My Bahasa Indonesia is rusted=karatan, so campuran Bahasa Ingris dan Bahasa Indonesia. 2. Importance of NU and Muhammadiyah in Indonesia’s public life was visible through the scenes of the two Muktamar: Opening ceremonies attended and addressed by President and closing ceremonies attended and addressed by Vice-President. Media attention was very significant, too. However, there was a bit of symbolic difference: MD Muktamar officially opened by Prof. Din Syamsuddin who banged the drum of medium size, whereas NU’s Muktamar opened officially by President Jokowi who banged the huge drum by himself. Some said, the former scene was symbolic of Muhammadiyah’s independence and distance from the government, while the latter scene suggesting reliance and closeness of NU with the government. 3. Thus far 8 times I participated in the muktamar of NU since the 26th held in Semarang in 1979, and 7 times in Muhammadiyah’s since the 41st held in Surakarta in 1985. In 1971, I was in Kotagede where I felt at the branch level the impact of Muhammadiyah’s 38th muktamar held in Makassar then. I got acquainted with Abdurrahman Wahid in 1975 in Jakarta, who invited me to come and observe its national congress in Semarang, 1979. In recent years, I received the honor of being invited by the top leaderships of both NU and MD to attend their muktamars as foreign observer. So, I
1
can say that I have been observing the two organizations for almost half a century. 4. Significance of the themes of the Two Muktamars: Islam Nusantara and Islam Berkemajuan. Let me comment on them one by one. 4-1. Islam Nusantara: 4-1-1. “Islam of the Indonesian Archipelago,” I regard this to be the reconfirmation of the identity of Indonesian Islam in distinction from and in contrast to other Islamic civilizations in terms of civilizational features (peradaban): i.e. Arabic, Persian, Urdu, Turkish, Swahli, and Melayu civilizations. More recently, the threat of transnational movements has been posed in the name of salafiyah, or the most extreme deviation of them in the rise of ISIS. Confronting these challenges, reconfirmation of NU’s tradition and identity was necessary: ASWAJA = Ahli Sunna Wal Jamaah, Sunni followers and their community. Characteristics: “Middle Way”, gradualism = “Keeping good elements in tradition and adopting permissible new ones”, adapting to local cultures and customs, defending pluralism to promote peaceful co-existence with other religious communities, guarding the national unity of Indonesia (Pancasila) as the wadah (receptacle) of ummat Islam. The late KH Ahmad Siddique’s statement in the 1984 Muktamar, Situbondo, defining the fundamental values for NU was quite impressive: Ukhwah Islamiyah, Ukhwah Wathaniyah, dan Ukhwah Insanyiyah = Muslim solidarity, National Solidarity and over and above the two, the solidarity/unity of human kind according to Kyai Ahmad Siddiq. 4-1-2. Another slogan, “Kembali ke Pesantren” = Kembali ke Khittah 26 (reconfirmation of NU as socio-religious organization under the leadership of kyai/ulama based upon pesantren). Literally held in Jombang where the four founding pesantrens of NU are located and where the graves of founding fathers and their families are located. No intervention from the government but internal conflict because of the intervention of political party. This point was very much problematic in the recent Muktamar to be elaborated later. 4-1-3. Muktamar NU ke-33 di Jombang, ‘paling kacau’; ada orang bilang, “Kalau tidak kacau, bukan muktamar NU” atau “Ini dinamika lazim di NU.” Tetapi, keterlaluan kali ini. Bukti No. 1 untuk kekacauan ini: Saya sendiri
2
tidak bisa menghadiri upacara pembukaan mau pun sidang pleno pada hari pertama, yaitu pembahasan tata tertib. Diundang oleh PB NU atas nama Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, surat undangan diterima jauh sebelum Muktamarnya; diminta pengiriman foto ukuran Paspor untuk ID supaya dapat mengikuti pembukaan dan sidang selanjutnya. Saya sanggup dan fotonya sudah dikirim. Jawaban dari PB belum ada sebelum kami berangkat dari Tokyo. Sehari sebelum Muktamar NU dibuka, kami sudah ada di Jombang dan mencoba pendaftaran pada Panitia Muktamar setempat. Saya mengirimkan seorang teman setempat untuk mengambil ID kami yang mesti sudah tersedia sebab fotonya sudah dikirim jauh hari sebelum Muktamarnya. Tetapi, dia tidak berhasil dengan alasan bahwa orang diundang sendiri wajib melaporkan diri. Esok pagi harinya, tgl. 1 Agustus, saya sendiri ke tempat pendaftaran. Ruangannya terdesak dengan ratusan, mugkin lebih dari seribu orang, peserta yang mash menunggu pendaftaran. Prosessingnya lambat sekali. Orangnya terdesak di counter, teriak-teriak. Saya juga teriak “Sini ada orang yang diundang dari Jepang!” Tetapi tidak ada gunanya. Suhu di tempat pendaftaran itu sangat tinggi, saya mulai susah bernafas. Akhirnya putus asa, saya meninggalkan tempat pendaftaran dan kembali ke Guest House di Jombang. Saya menyadari sekarang bahwa saya adalah korban konflik internal atau “power struggle” dalam tubuh NU. Sebagian peserta yang tidak setuju rancangan tata tertib yang mengandung pasal yang mengambil cara AHWA untuk memilih Rais Am, pendaftarannya dicegah atau tidak dikasih prioritas dalam prosessing pendaftaran sehingga sidang pleno yang membahas tata tertib di kuasai oleh kelompok yang memajukan AHWA. Jadi, saya tidak sempat menghadiri pembukan pada hari pertama, i.e. 1 Agustus walaupun ada surat undangan upacara pembukaan itu. Pada hari kedua , i.e. tgl. 2 Agustus , saya ke tempat pendaftaran sekali lagi di mana masih ada ratusan orang. Nunggu tiga jam, baru saya dapat ID card buat saya dan isteri saya. Saya langsung ke sidang pleno di mana rancangan tata tertib sedang dibahas. Rancangan tata tertibnya masih di bahas dengan cara yang sangat tidak tertib. 4-1-4. Pidato Gus Mus dengan air mata: Saya tidak sempat mendengar pidatonya di ruang sidang sebab saya meninggalkan tempatnya sebelumnya karena ruangannya terlalu panas. Ruangannya ramai atau ‘gaduh’ dengan teriak-teriakan orang banyak sekaligus. Suara ketua sidang yang bicara atau teriak kembali juga sangat keras via loudspeaker. Saya mulai pusing, merasa tekanan darah saya menjadi agak tinggi melampaui batasan. Supaya menjaga kesehatan saya, saya memutuskan meninggalkan ruang sidang yang masih
3
atau tambah kacau itu. Saya meninggalkan tempat sidang sambil merasa sedih dan agak malu. Nanti terhadap teman saya yang mesti tanya kepada saya, kenapa Muktamar NU kok kacau kali ini. Esok hari, saya membaca pidato Gus Mus dalam koran yang menghimbau dengan air mata kepada peserta yang berkelahi supaya mengembalikan akhlakul-karimah, sebab malu pada leluhur pendiri NU. Beliau sampai berkata, “Saya bersedia cium kaki Anda-Anda demi keselamatan NU.” Saya terharu sekali dengan kerendahatian Beliau dan cinta sejati pada NU. Akhirnya, pidatonya menyelamatkan tidak hanya Muktamar NU kali ini tetapi juga keberadaan/kesinambungan NU sendiri. NU dapat hindari perpecahan seperti yang telah terjadi di partai-partai. Dan esok hari, saya terkejut dan terharu sekali lagi dengan berita bahwa Beliau tidak menerima jabatan Rais Am. Dengan penolakan Beliau ini, rasanya tidak terdapat keraguan sama sekali dari siapa pun tentang keikhlasan Beliau. Dengan keputusan Beliau ini, rasa kehormatan dan kekaguman warga NU maupun orang luar termasuk saya bertambah naik sampai sangat tinggi. Beliau pada pasca Muktamar sekarang, tanpa kedudukan struktural di NU maupun di organisasi yang lain, dianggap oleh masyarakat umum sebagai GURU BANGSA. Ironis, tetapi ini keberhasilan yang paling signifikan, paling utama sebagai hasil Muktamar yang kacau bangat pada kali ini, menurt pengamatan saya. 4-1-5. Kenapa kegaduhan atau kekacauan drastis terjadi di Muktamar NU pada kali ini? Saya mencoba diadakan sedikit analisa sosiologis atas faktor dan lingkungannya. a. Besarnya warga NU — konstituensinya terus berkembang dan bertambah di daerah pedesaan maupun sebagian di perkotaan karena migrasi. b. Namun, NU itu bukan organisasi dalam arti organisasi teratur secara modern dan rasional seperti Muhammadiyah. Misalkan, tidak ada kartu anggota NU, jadi tidak ada buku pendaftaran anggota NU, juga tidak terdapat nomor keanggotaan seperti Muhammadiyah, tidak ada pengumpulan uang keanggotaan, yaitu membership fee, seperti Muhammadiyah. Keuangan sentral PB NU selalu kosong, dan mereka “cari uang saja” kalau keperluan seperti mengadakan muktamar terjadi. Kesediaan dana dari pemerintah lokal maupun pusat dan sumbangan uang perorangan sangat berarti. Pendek kata, NU itu budaya, sekelompok besar orang yang mengidentisikan diri sendiri sebagai warga NU. Biasanya,
4
orang orang seperti itu terkumpul dan terpusat pada kyai kyai tertentu, dan pada pesantren dikembangkan dan diteruskan oleh kyai dan keluarga kyai, yaitu para Gus Gus. Jadi NU adalah ‘sub-culture’ dari complex culture yang merupakan kultur nasional Indonesia seperti dikatakan oleh Gus Dur . Ada lapisan vertikal maupun kelompok horizontal dalam ‘duniya’ NU sehingga hubungan manusianya sangat rumit. Boleh dikatakan, ‘dinamika’ yaitu kata halus untuk kekacauan, adalah hal biasa karena warga NU banyak dan kompleks. c. Tapi kekacauan pada kali ini luar biasa. Teman saya dari Belanda, Dr. Martin van Bruinessen, mengakui hal itu, dan juga ada banyak “old hand tokoh NU” bilang, kali ini Muktamarnya paling jelek dalam sejarah NU. Saya sendiri menyaksikan beberapa insiden kekacauan atau konflik terdapat dalam muktamar yang pernah saya mengikuti. Misalnya, Muktamar ke-26 di Semarang pada tahun 1979, melihat kritik tajam kepada KH Idham Chalid, ketua umum Tanfidziyah NU pada waktu itu. Tetapi akhirnya Beliau mempertahankan kedudukannya dengan ucapan minta maaf dengan air mata. Muktamar Cipasung di mana seorang yang menentang Gus Dur, Abu Hassan, muncul tiba-tiba dengan pemberian uang kepada peserta. Orangnya nampak ditangani oleh unsur intel atas kemauan Presiden Soeharto tetapi dapat dicegah oleh mayoritas peserta. d. Kali ini faktor yang lain yang mengacaukan Muktamar, nampaknya konflik di dalam politikus NU sendiri. Ini sudah jelas sejak saya sampai di kota Jombang dari Surabaya naik mobil pada tgl. 30 Agustus. Di jalan jalan besar maupun sampai pintu gang-gang kampung terdapat bendera bendera PKB, gambar gambar dari politikus PKB — mereka menonjolkan diri di atas bendera dan gambar tokoh NU. Teman saya Martin berkata bahwa ini seperti Muktamar PKB bukan dari Muktamar NU. Rupanya, sebelah pihak politikus PKB ingin meraih leadership PB NU supaya mereka memperoleh dukungan warga NU dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang. Pihak yang lain menentang usahanya, mengakibatkan konflik yang sangat panas juga. Di Cipasung tadi, ada intervensi dari luar. Kali ini konfliknya internal, semacam perang saudara. e. Faktor yang lain adalah turunnya kharisma para kyai. Sebagai lapisan sosial, para kyai kehilangan kharisma karena berbagai sebab. Dengan perkembangnya pendidikan modern dan media massa komunikasi
5
termasuk televisi sejak dulu dan internet dan social media baru baru ini, para kyai telah kehilangan monopoli media dakwah maupun komunikasi informasi umum terhadap warga biasa. Dan, di pihak warga biasa, akses pada sumber ilmu keagamaan mau pun ilmu pengetahuan umum, makin lama makin gampang dan cepat, dan langsung. Ketergantungan orang awam dalam hal agama kepada para kyai berkurang secara drastis. f.
Di lain pihak, bertambahnya aktivis generasi muda NU yang cerdas yang menerima pendidikan tinggi dalam ilmu agama mau pun ilmu umum -sebagian mereka sampai ke luar negeri barat -- makin lama makin nampak dan banyak. Kabarnya, sebagian mereka ikut menyediakan materi materi muktamar yang cukup inovatif termasuk argumentasi konsep Islam Nusantara sendiri. Juga, yang menarik adalah beberapa argumentasi tentang masaalah dinyah maupun duniawi seperti masalah demokratisasi dan transparansi pemerintahan, anti-korupsi, lingkungan hidup, mikro-finansil, responsi terhadap pembentukan ASEAN economic community dan sebagainya. Kebanyakan mereka tidak ikut posisi struktur di NU, tinggal di luarnya di pesantren, NGO, universitas dan sebagainya. Bahkan yang tidak ikut muktamar, mengadakan pertemuan angkatan muda tersendiri di Jombang di mana kabarnya berkumpul dua ribu orang.
g. Hari depan NU: Mungkin, para politikus yang berkelahi akan berkompromi sebab yang jadi target perang saudara adalah kursi politik dan penghasilan nyata dari kursi itu. Perubahan yang sungguh sungguh dalam maupun struktur NU mudah-mudahan dibawahi oleh kyai kyai seperti Gus Mus yang mempunyai kekuatan spiritual, moral dan intelektual kerjasama dengan generasi muda yang kritikal. Untuk itu, mungkin masih perlu waktu lima tahun, bahkan sepuluh tahun. Ini kesan saya tentang Muktamar NU. 4-2. Komentar tentang Muktamar Muhammadiyah: Islam Berkemajuan. Pindah dari Jombang ke Makassar terasa seperti “Hijrah dari Neraka ke Surga”. Joke saya ini membayangkan perasaan saya, paling tidak dalam hal suhu/temparatur di ruang sidang di masing masing tempat. Di Jombang, panas sekali dan ramai, atau gaduh sekali sampai saya pusing. Di Makassar, suasana ruang sidangnya “cool!”, tenang, dan teratur. Ini perbedaan yang sangat nampak menurut pengalaman saya.
6
4-2-1. Ciri khas dan keberhasilan muktamar MD kali ini adalah sebagai berikut: Muktamar ini sebagai yang pasca muktamar seratus tahun yang diadakan di Yogya 2012 mengidentifikasi kembali jati diri gerakan Muhammadiyah sebagai Sang Pencerah, enlightening movement not only for the ummat Muhammadiyah, tapi untuk ummat Islam Indonesia, bahkan untuk bangsa Indonesia, dan untuk peradaban ummat manusia. Pada tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan kolega kyai/ulama di Kauman dan diikuti oleh sejumlah orang pemuda. Tujuannya untuk membawa kesadaran bahwa ummat Islam jangan ditinggal dalam masyarakat modern, mendalami pengertian terhadap ajaran agama Islam melalui rasio atau akal dan rasa sendiri. Gerakan Muhammadiyah anjurkan amal ma’ruf nahi munkar secara konkrit, berusaha amal usaha dalam bentuk sekolahan, klinik, rumah yatim-piatu (orphans) dan usia lanjut (elders), berdasarkan wakaf, sedekah dan kontribusi nyata dari anggota dan simpatisannya. Oleh Muhammadiyah juga diikutsertakan gerakan wanita ‘Aisyiyah dan pemuda. 4-2-2. Setelah seratus tahun lebih, Muhammadiyah sekarang bertumbuh sampai menjadi organisasi sosial agama yang raksasa, “a giant”. Yang sangat mengesankan adalah perkembangannya jaringan sekolahan Muhammadiyah dari play group, taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA, SMA Teknik, sampai perguruan tinggi universitas. Dalam ratusan lembaga perguruan tinggi Muhammadiyah sudah terdapat beberapa yang cukup kompetitif dibandingkan dengan PT negeri dan swasta Kristen dan Katolik. 4-2-3. Leadership: Nampaknya SDM yang berpendidikan tinggi terdapat dalam kader kader Muhammadiyah. Misalkan, tiga orang Ketua Umum sejak Amien Rais, semua bergelar PhD dari universitas luar negeri yang prestigius dan setelah itu berkedudukan sebagai profesor di PT Indonesia yang berprestasi juga. PP 13 orang yang baru dipilih juga terdiri dari 10 orang bergelar Doktor, yaitu PhD atau S3. Sepengutahuan saya, di tingkat wilayah sampai grassroots ranting Muhammadiyah juga, kader yang telah menerima pendidikan tinggi menonjolkan diri. Jadi boleh dikatakan, Muhamamdiyah sendiri terdiri dari
7
kader kader yang berpendidikan tinggi dan mampu mempercerahkan masyarakat luas disekitarnya. Presiden Jokowi adalah benar dalam sambutannya menyebut Muhammadiyah sebagai motor pencerahan yang membawa kemajuan kepada masyarakat dan negara Indonesia. 4-2-4. Beberapa hal yang menarik buat saya sebagai hasil Muktamar Muhammadiyah pada kali ini selain dari pada definisi kembali jati diri Muhamadiyah sebagai gerakan pencerahan menuju kemajuan adalah sebagai berikut: (1) meninjau kembali dan membangkitkan kembali usaha untuk menolong sesama manusia berdasarkan Surat Al Ma’un dari Al Qur’an. Amal usaha dalam bentuk sekolahan dan kesehatan untuk meningkatkan pendidikan dan kesejaterahan agak menjadi birokrasi sendiri dengan cendrung kehilangan elan vital permulaan. Bagaimanakah Muhammadiyah mampu mengatasi tantangan ini cukup berarti sebab eksistansi lapisan sosial di bawah garis kemiskinan masih sangat besar. Usaha Muhammadiyah yang menjembatani gap yang berada antara yang kaya dan yang miskin, mudah-mudahan mencapai kesuksesan. (2) Sebagian dari sekolahan dari Muhammadiyah cenderung melayani kepentingan dan kebutuhan dari masyarakat kelas menengah ke atas. Usaha Muhammadiyah yang bertujuan untuk meningkatkan level SDM masyarakat, pada khususnya kaum miskin supaya mereka dapat keluar dari vicious cycle, lingkaran setan, kemiskinan dalam bentuk besiswa dan sebagainya perlu diperkokoh. 4-2-5. Anti-korupsi: Masuknya Dr. Busyro Muqoddas, mantan ketua PKP ke PP baru menujukan betapa seriousnya Muhammadiyah dalam hal anti-korupsi. Diharap Muhammadiyah bertindak tidak hanya moral force dalam hal ini tetapi juga secara konkrit memajukan tingkahlaku anti-korupsi melalui social media dll. 4-2-6. Jihad Konstitusi: Usaha menuntut aplikasi prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan sosial terhadap sumber alamiya yang dicantumkan pasal ke 33 konstitusi 1945 menarik perhatian. Ini bukan masalah legal saja melainkan konsekuensinya terdapat pada kebijakan negara dalam hal ekonomi dan
8
finansial keseluruhan. Nampaknya, investor asing agak bingung terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tentang hukum menangani Migas dan Air. Pendekatan Muhammadiyah dalam hal ini mengajak pembahasan mendalam oleh spesialis maupun masyarakat umum. 4-2-7. “Muhamamdiyah Go Internasional”: Ini sangat berarti untuk melawan Islamophobia yang bermuculan di dunia Barat termasuk Jepang akibat terrorisme biadab baru baru ini yang diadakan atas nama ISIS. Perlu didisseminasi kabar damai, Islam Ramah a la Indonesia, melalui dialog ke luar negeri khususnya kepada dunia non-Islam. 4-2-8. Pasangn dua orang teratas yaitu, Ketua Umum, Dr. Haedar Nasir sebagai orang organisasi ke dalam dan didampingi oleh Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum sebagai kader yang berpengalaman dan skillful dalam hal hubungan ke luar, domestik maupun internasional, sangat ideal. 4-2-9. Kesimpulan: Di bawah PP yang baru, Muhammadiyah diharap akan mencapai kemajuan terus menerus pada hari depan. Ini kesan dan kesimpulan saya. Sekian dan terima kasih.
9