Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
PERSOALAN FILSAFAT ILMU Ade Hidayat
0
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
PENDAHULUAN
APA ITU FILSAFAT? Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy, berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philein (persahabatan, tertarik kepada) dan shopia atau shopos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, atau pengalaman praktis inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos (filsuf) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan serapan dari bahasa Arab yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan bersifat spiritual. Dengan pemahaman serupa ini, paling tidak sudah ada sedikit pemahaman akan pengertian pertama dari filsafat. Namun demikian, kenapa ini disebut pengertian pertama? Ya, ini memang pengertian pertama. Sebab, kalau kita sudah membuka kamus atau buku bertema filsafat, pengertian filsafat akan sesuai dengan pengertian penulisnya. Beberapa penulis mungkin akan mencapai kata sepakat tentang pengertian ini, sedangkan banyak yang lainnya malah berdebat seumur hidup tentang apa itu filsafat. Walaupun begitu, kita juga dapat memahami apa itu filsafat dengan cara sederhana. Misalnya, kita dapat mendefinisikan filsafat sebagai “sejarah pemikiran”. Ini karena kalau kita membaca teks-teks filsafat yang utama, maka kita akan dihadapkan pada rangkaian pemikiran yang dimulai dari semenjak masa Yunani Kuno hingga masa sekarang ini. Namun, orang boleh saja mengatakan bahwa awal mula filsafat berkembang semenjak masa India Kuno ataupun Cina Kuno. Ini bisa dibuktikan secara historis, walaupun lagi-lagi muncul suatu perdebatan karenanya. Contoh lain, kita dapat membuat definisi yang baru bahwa filsafat itu adalah cara untuk memahami sesuatu (a method to understanding). Alasan ketika memilih pengertian ini adalah karena pada saat mempelajari filsafat, kita dituntut untuk memahami apa pun. Baik pemahaman tentang sesuatu yang sudah ada maupun pemahaman akan sesuatu yang mungkin dapat kita
1
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
pikirkan. Jadi, saking luasnya materi pemahaman filsafat, orang dapat saja tersesat ketika mencoba untuk memahami filsafat.
PENGERTIAN UMUM FILSAFAT MENURUT PARA AHLI Al Farabi Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Plato (428 -348 SM) Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Aristoteles (384 – 322 SM) Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu. Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Cicero (106 – 43 SM) Filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni (the mother of all the arts)” ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan). Johann Gotlich Fichte (1762-1814) Filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu), yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan. Paul Nartorp (1854 – 1924) Filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar) yang hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya. Imanuel Kant (1724 – 1804) Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan. Apakah yang dapat kita kerjakan ? (jawabannya Metafisika) Apakah yang seharusnya kita kerjakan? (jawabannya Etika)
2
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Sampai dimanakah harapan kita ? (jawabannya Agama) Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi) Bertrand Russel Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu. Notonegoro Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat. Driyakarya Filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan“. Sidi Gazalba Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal. Harold H. Titus (1979) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepecayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi; Filsafat adalah suatu usaha untuk memperoleh suatu pandangan keseluruhan; Filsafat adalah analisis logis dari bahasa dan penjelasan tentang arti kata dan pengertian (konsep); Filsafat adalah kumpulan masalah yang mendapat perhatian manusia dan yang dicirikan jawabannya oleh para ahli filsafat. Hasbullah Bakry Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan itu. Muhammad Yamin Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya
3
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
seraya didalam kepribadiannya itu dialaminya kesungguhan. Ismaun Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal dan qalbunya secara sungguh-sungguh, yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal, integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan kearifan atau kebenaran yang sejati.
BERFILSAFAT ITU BERPIKIR Filsafat, bukan sekedar merupakan mata kuliah. Filsafat adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia (apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik), dan mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis. Untuk catatan, filsafat sudah ada lebih dari 2000 tahun, dan belum bisa (tidak akan pernah bisa) memberikan jawaban yang pasti dan mutlak, karena filsafat tidak memberikan jawaban mutlak, melainkan menawarkan alternatif cara berpikir. Ketika belajar filsafat, kita akan berjumpa dengan pemikiran para filsuf besar sepanjang sejarah manusia. Sebut saja nama-nama pemikir besar itu, seperti Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Al-Ghazali, Thomas Aquinas, Kuhn, Jacques Derrida, dan filsuf-filsuf lainnya. Pemikiran mereka telah membentuk dunia, sebagaimana kita pahami sekarang ini. Beberapa mata kuliah yang diajarkan adalah filsafat moral, filsafat ilmu pengetahuan, filsafat budaya, filsafat politik, filsafat sejarah, logika, eksistensialisme, dan sebagainya. kita juga akan diajak memikirkan soal keadilan global, teori-teori demokrasi, dan etika biomedis. Untuk para profesional, filsafat juga amat berguna untuk memperluas wawasan berpikir. Dengan belajar filsafat, maka akan mendapatkan beberapa keterampilan berikut; memikirkan suatu masalah secara mendalam dan kritis, membentuk argumen dalam bentuk lisan maupun tulisan secara sistematis dan kritis, mengkomunikasikan ide secara efektif, dan mampu berpikir secara logis dalam menangani masalah-masalah kehidupan yang selalu tak terduga. Dengan belajar filsafat, seseorang dilatih menjadi manusia yang utuh, yakni yang mampu berpikir mendalam, rasional, komunikatif. Apapun profesi
4
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
anda, kemampuan-kemampuan ini amat dibutuhkan. Di sisi lain, dengan belajar filsafat, juga akan memiliki pengetahuan luas, yang merentang lebih dari 2000 tahun sejarah manusia. Kemampuan berpikir logis dan abstrak, kemampuan untuk membentuk argumen secara rasional dan kritis, serta kemampuan untuk menyampaikan ide secara efektif, kritis, dan rasional, akan membuat seseorang mampu berkarya di berbagai bidang, mulai dari bidang informasi-komunikasi, jurnalistik, penerbitan, konsultan, pendidikan, agamawan, ataupun menjadi wirausaha. Para pengacara, praktisi hukum, praktisi pendidikan, pemuka agama, maupun praktisi bisnis akan mendapatkan wawasan amat luas, yang berguna untuk mengembangkan diri dan profesi mereka. Jika sungguh ingin mendalami filsafat, seseorang bisa melanjutkan studi sampai pada level master dan doktoral, dan kemudian mengajar di bidang filsafat. Seseorang dengan belajar filsafat, akan mampu melihat masalah dari berbagai sisi, berpikir kreatif, kritis, dan independen, mampu mengatur waktu dan diri, serta mampu berpikir fleksibel di dalam menata hidup yang terus berubah. Filsafat mengajak untuk memahami dan mempertanyakan ide-ide tentang kehidupan, tentang nilai-nilai hidup, dan tentang pengalaman sebagai manusia. Berbagai konsep yang akrab dengan kehidupan, seperti tentang kebenaran, akal budi, dan keberadaan manusia, juga dibahas dengan kritis, rasional, serta mendalam. Filsafat itu bersifat terbuka. Sekali lagi, filsafat tidak memberikan jawaban mutlak yang berlaku sepanjang masa. Filsafat menggugat, mempertanyakan, dan mengubah dirinya sendiri. Ini semua sesuai dengan semangat pendidikan yang sejati. Filsafat mengajarkan untuk melakukan analisis, dan mengemukakan ide dengan jelas serta rasional. Filsafat mengarahkan seseorang untuk mengembangkan serta mempertahankan pendapat secara sehat, bukan dengan kekuatan otot, atau kekuatan otoritas kekuasaan semata. Filsafat adalah komponen penting kepemimpinan. Dengan belajar berpikir secara logis, seimbang, kritis, sistematis, dan komunikatif, seseorang akan menjadi seorang pemimpin ideal, yang amat dibutuhkan oleh berbagai bidang di Indonesia sekarang ini.
5
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
MENGAPA BELAJAR FILSAFAT? Filsafat ternyata mengajarkan kita untuk bertanya terlebih dahulu sebelum sampai di wilayah filsafat itu sendiri. Kalau kita sudah membuat satu pertanyaan penting dalam hidup kita, maka kita akan berjalan menuju wilayah filsafat dengan pasti. Jadi, sudahkah Anda membuat pertanyaan itu? Misalnya begini. Apakah yang dinamakan blog itu? Secara sederhana tentu kita dapat menjawab bahwa blog adalah “satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital”. Atau, mungkin Anda punya jawaban ini, blog adalah “diari elektronik”. Nah, dari pertanyaan sederhana tentang blog saja, kita sudah mendapat dua jawaban yang berbeda. Jawaban pertama sepertinya terlalu formal, dan jawaban yang kedua lebih mudah kita ingat. Ini sudah menimbulkan sedikit masalah sebenarnya, karena kita mungkin bingung untuk memilih jawaban yang pertama apa jawaban kedua. Atau, malah Anda punya jawaban lain? Bertambahnya jawaban, walaupun hanya satu, menandakan bahwa pikiran yang bingung mulai berkembang untuk mengatasi masalah tersebut. Ada jawaban A, B, hingga Z mungkin. Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan dan kesanggupan kita untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks ini, filsafat sebenarnya membantu kita untuk menata persoalan. Dalam kasus di atas, kalau kita memiliki jawaban lain yang mengatakan bahwa blog itu adalah “cara baru untuk bertegur sapa”, kenapa tidak kita coba aja membandingkannya dengan jawaban di atas. A : Blog adalah “satu tempat di mana kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital”. B : Blog adalah “diari elektronik”. C : Blog adalah “cara baru untuk bertegur sapa”. Tiga pengertian di atas kalau diambil benang merahnya akan terdiri dari beberapa istilah penting, yaitu: “tempat”, “ekspresi”, “bebas”, “dunia digital”, “diari”, “elektronik”, “cara”, dan “tegur sapa”. Istilah-istilah ini bisa dirangkai lagi menjadi pengertian baru menjadi: Blog adalah “cara berekspresi di dunia digital atau diari yang kita buat secara elektronik dan menjadi tempat untuk bertegur sapa dengan bebas”. Berdasarkan definisi di atas, maka muncul jawaban baru yang merangkum semua jawaban. Inilah gambaran sederhana bagaimana berfilsafat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, filsafat itu adalah “cara
6
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
untuk memahami sesuatu”. Itu sudah diterapkan pada langkah-langkah kita untuk mensarikan jawaban baru untuk pengertian blog dari tiga jawaban sebelumnya. Jadi, inilah salah satu alasan kenapa seseorang belajar filsafat, yaitu butuh satu cara untuk lebih memahami masalah-masalahnya; memahami keluarga, saudara, kerabat, sahabat, teman, kolega, orang asing, dan macammacam orang yang sejenis dengan “manusia”, juga yang terpenting memahami tujuan hidupnya sendiri. Pada tingkat yang lebih jauh, dengan belajar filsafat atau tepatnya belajar memahami secara lebih baik, seseorang tidak akan menjadi egois alias mengaku yang paling benar. Kalau ada seseorang yang suka menyalahkan orang, berarti dia belum belajar filsafat. Dia hanya “belajar teori filsafat”.
BELAJAR FILSAFAT ATAU BERFILSAFAT? Dalam mempelajari filsafat, sebenarnya ada dua model yang mungkin dapat digunakan sebagai pilihan. Pertama, mempelajari filsafat secara teoretis, dan yang kedua, mempelajari filsafat secara praktis. Pada pilihan yang pertama, kita dihadapkan pada keharusan untuk belajar filsafat secara teknis dari buku-buku, seminar, kursus, ataupun melalui perkuliahan di pendidikan tinggi. Apa yang kita pelajari di sini adalah “pikiran orang lain tentang filsafat”. Ini sama artinya kita dituntut untuk memahami orang lain dalam kerangka sejarah berpikir umat manusia. Dalam model yang kedua, ketika kita mempelajari filsafat secara praktis, maka kita akan belajar filsafat melalui hal-hal yang sederhana. Jalan ini sebenarnya sudah dipraktekkan jauh-jauh hari sebelum abad masehi oleh Thales dari Miletos, Yunani. Beliau mempelajari alam sekitarnya untuk mendapatkan kesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu terletak pada air sebagai zat yang paling mendasar. Jadi, melalui pemahaman Thales akan dunia sekitarnya, filsafat dipraktekkan sebagai jalan untuk memahami sesuatu. Pada konteks ini, sesuatu yang ingin dipahami Thales adalah dunia. Nah, sehubungan dengan dua model belajar filsafat ini, maka kita dapat saja memilih salah satunya. Bila jalan pertama yang ditempuh, pada tingkatan yang lebih lanjut, seseorang akan terarah menjadi seorang “ahli filsafat”. Sedangkan bila jalan kedua yang ditempuh, maka akan terarah menjadi “filsuf”. Lalu, apa bedanya ahli filsafat dengan filsuf?
7
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Ahli filsafat sebenarnya lebih banyak menguasai teori yang diungkapkan oleh para filsuf tentang hakikat sesuatu. Dia ini bekerja untuk menguji benar tidaknya teori-teori filsafat secara akademis. Bila seorang ahli filsafat mampu mengkritik dan membangun suatu pandangan baru dari teori filsafat yang diujinya, maka ahli filsafat statusnya bergeser menjadi filsuf. Khusus untuk filsuf, dia ini sebenarnya adalah orang yang mempraktikkan filsafat baik secara langsung ataupun tidak langsung, hingga dia mendapatkan kesimpulan atas hakikat sesuatu hal yang berbeda dari pandangan kebanyakan orang umumnya. Pandangannya atas sesuatu hal biasanya sangat khas dan merupakan pandangan yang baru untuk sesuatu halnya itu. Filsuf tidak mesti berasal dari ahli filsafat karena mungkin saja seseorang punya suatu teori filsafat tanpa harus belajar filsafat secara teknis. Namun, seseorang akan disebut filsuf bila ia diakui telah menelurkan teori filsafat yang dapat diuji secara akademis. Dengan demikian, belajar filsafat dapat memiliki beberapa maksud. Ada maksud hanya ingin mengetahui filsafat itu seperti apa. Ada yang belajar filsafat karena tertarik dengan apa yang dipelajarinya, ada yang karena ingin menjadi seorang ahli filsafat atau filsuf, atau belajar filsafat karena suatu kebutuhan.
MULAI DARI MANA? Nah, setelah kita mempelajari beberapa tulisan pengantar mengenai filsafat, tentu muncul lagi pertanyaan dalam benak kita. Pertanyaan itu tidak lain daripada “Kita harus mulai belajar filsafatnya darimana?” Kalau ini memang pertanyaan Anda, maka pertanyaan ini kira-kira akan memiliki jawaban sebagai berikut. Belajar filsafat sebenarnya dapat dimulai dari pertanyaan yang paling disukai atau paling membuat bingung. Kenapa demikian? Ini karena pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang akan memberikan energi kreatif untuk belajar filsafat. Untuk lebih jelasnya, kita akan bahas dalam contoh di bawah ini. Kabayan punya satu pertanyaan dalam hidup yang mungkin ia sukai. Pertanyaan itu adalah “Kenapa kucing disebut dengan kata ‘kucing’ atau gajah disebut dengan kata ‘gajah’?”. Atas pertanyaan ini, Kabayan juga sering membuat lelucon pada temannya dengan pertanyaan “Kenapa kucing tidak disebut dengan ‘gajah’ atau gajah kenapa gak dibilang saja ‘kucing’?”.
8
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Pertanyaan Kabayan ini, walaupun hanya bercanda, tetapi punya akibat yang cukup jauh kalau dipikirkan lebih jauh. Ini berkaitan dengan asal-usul kata. Asal-usul kata atau etimologi, sebenarnya berkaitan dengan pengetahuan kita sebagai manusia. Dalam kata yang kita pergunakan sehari-hari, itulah inti dari pengetahuan kita. Misalnya, ketika kita menggunakan kata ‘globalisasi’, maka semestinya kita sudah memahami arti kata ini sebelum memakainya. Jadi, pengetahuan atas globalisasi akan mewarnai cara kita menggunakan kata tersebut. Kalau pengetahuan kita tidak terlalu baik mengenai globalisasi, maka kita akan jarang menggunakan kata ini. Begitupun sebaliknya. Kembali pada pertanyaan Kabayan, seekor kucing disebut dengan ‘kucing’ atau gajah disebut dengan ‘gajah’ ini karena kesepakatan. Walaupun ada banyak alternatif kata untuk kucing, seperti ‘meong’ atau ‘puspus’, tetapi kata ‘kucing’ lah yang dipilih oleh masyarakat sebagai istilah untuk hewan yang diberi nama kucing. Kalau masyarakat sepakat dengan kata ‘gajah’ untuk nama yang ditujukan bagi hewan yang sebenarnya bernama kucing, maka jadilah ‘gajah’ ini kata baru untuk hewan yang bernama kucing. Dengan pertanyaan yang Kabayan ajukan, kita secara tidak langsung sebenarnya dibawa masuk pada ranah atau wilayah filsafat yang disebut dengan epistemologi dan sekaligus filsafat bahasa. Epistemologi adalah suatu cabang kajian utama dalam filsafat yang mempelajari bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dibentuk, dan dipergunakan oleh manusia. Sedangkan filsafat bahasa, ini adalah cabang lain dari filsafat yang secara khusus mempelajari apa itu bahasa dan seluk-beluknya. Oleh karena itu, pertanyaan mulai dari manakah kita harusnya belajar filsafat ditentukan oleh pertanyaan awal yang kita buat. Sebab, melalui pertanyaan yang kita buat akan menentukan arah kita belajar filsafat selanjutnya. Kita harus belajar apa dan mau ke mana kita menuju, semuanya kembali pada pertanyaan awal kita yang mendasar. Inilah yang mungkin dimaksud dengan directions in philosophy. So, buatlah satu pertanyaan terlebih dahulu yang paling menarik sebelum belajar lagi filsafat lebih lanjut.
BELAJAR FILSAFAT DENGAN MUDAH DAN SEDERHANA Mudah dengan arti kita dapat mempelajari filsafat tanpa kepayahan, dan sederhana yang berarti kita akan dapat belajar filsafat tanpa harus dipusingkan oleh teori-teori filsafat yang njelimet, susah dicerna. Walaupun demikian, gagasan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena mungkin ada banyak orang yang sudah menerapkan gagasan ini lebih baik dari penulis.
9
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Contohnya adalah Jostein Gaarder, seorang pengajar filsafat dari Oslo, Norwegia, yang mengarang buku “Sofies verden” (Sophie’s World) sebagai wahana baru untuk menjelaskan sejarah filsafat melalui novel. Versi Indonesia untuk buku ini telah diterjemahkan oleh penerbit Mizan dengan judul Dunia Sophie. Gaarder memberikan contoh untuk mempelajari filsafat dengan enak dan renyah. Belajar filsafat seringkali dipandang sebagai sesuatu yang mahal dan mewah. Itu karena dalam pikiran orang awam, filsuf itu dibayar hanya untuk “melamun”. Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih cara belajar yang lain. Cara belajar lainnya yang mungkin dapat kita lakukan ada dua macam, yaitu (1) learn by experience dan (2) learn by guidance. Cara belajar pertama difokuskan pada bagaimana caranya kita mempelajari sesuatu dengan berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki. Sedangkan pada yang kedua, cara belajarnya terfokus pada petunjuk yang akan mengarahkan kita pada tujuan pembelajaran. Pada cara belajar yang pertama, belajar filsafat akan menjadi lebih mudah dipahami bila masalah filsafatnya dikaitkan dan dijelaskan dengan apa yang kita alami sehari-hari. Contoh untuk uraian ini telah dijelaskan dalam kenapa kita harus belajar filsafat dalam tulisan Mengapa Belajar Filsafat? dan tulisan yang berjudul Mulai dari Mana? yang menjelaskan arah kita dalam berfilsafat. Sedangkan pada cara belajar yang kedua, inilah yang ditempuh ketika seseorang belajar filsafat di perguruan tinggi. Namun, model belajar filsafat di perguruan tinggi menjadi tidak efektif ketika dilaksanakan dalam kelas yang besar dan terdiri dari banyak orang. Belajar filsafat dengan model learn by guidance hanya akan berlaku efektif bila diterapkan pada hubungan Guru dan Murid satu-satu. Artinya, murid ini dibimbing khusus secara pribadi oleh seorang Guru. Ini mirip ketika seorang mahasiswa mengajukan skripsi sebagai syarat untuk ujian akhir yang dibantu oleh Dosen Pembimbing. Dengan memperhatikan model-model belajar yang telah disebutkan, memang masing-masing cara belajar memiliki kelebihan dan kekurangannya. Namun, yang terpenting sekarang ini, bagaimana menggunakan tiga model belajar tersebut secara komplementer (saling melengkapi) ketika kita belajar filsafat. Oleh karena kita menginginkan belajar filsafat dengan mudah dan sederhana, maka tentu saja ada cara yang efektif dalam menggunakannya. Berikut ini, ada beberapa tip yang bisa digunakan. Untuk tema-tema yang pokok dan mungkin relatif sulit dicerna, khususnya yang berkaitan dengan tema Filsafat Sistematis dan Filsafat Regional, Kita sebaiknya menggunakan cara belajar belajar filsafat dengan
10
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
model learn by guidance. Sebab, cabang filsafat seperti Logika, Ontologi, Aksiologi, serta Epistemologi tidak setiap orang suka dan menguasainya. Apalagi cabang yang sangat khusus dan berhubungan dengan ilmu lain, misalnya Filsafat Hukum dan Filsafat Matematika, orang yang belajar ini sedikitnya dituntut untuk menguasai masalah hukum dan matematika. Terus, berkaitan dengan Filsafat Regional, learn by guidance akan sangat membantu ketika Anda harus membaca teks-teks orisinal dalam bahasa-bahasa asing (seperti bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, Hindi, Cina), maupun bahasabahasa nusantara (seperti bahasa Melayu, Batak, Sunda, Jawa, dan bahasa lainnya). Pertama, untuk tema Filsafat Historis, bisa menggunakan model learn by try karena ini relatif mudah dicerna dan dapat dilakukan secara otodidak. Hal ini dapat terlaksana karena teks sejarah biasanya ditulis dalam gaya naratif atau cerita. Referensi yang paling baik untuk ini adalah buku Jostein Gaarder berjudul Dunia Sophie. Kedua, untuk berfilsafat secara mandiri, model yang paling cocok adalah model learn by experience. Di sini, usahakan untuk menemukan kaitan yang paling dekat antara suatu masalah filsafat dengan pengalaman sehari-hari.
RANAH KAJIAN FILSAFAT Sekarang ini, mungkin sudah saatnya kita mempelajari apa yang disebut dengan ranah atau wilayah kajian filsafat. Ini menjadi penting dipelajari agar kita memiliki suatu gambaran yang cukup tentang apa-apa yang akan dipelajari dalam filsafat. Ya, ini mirip dengan peta jalan yang kita gunakan sebagai panduan untuk bepergian agar kita sampai pada tujuan dengan cepat dan selamat. Dalam konteks belajar kita, memahami ranah kajian filsafat akan memberikan suatu arah yang pasti untuk dapat memilih cabang filsafat yang sesuai, atau siapa filsuf yang cocok, atau gaya filosofi apa yang disukai oleh kita secara pribadi. Secara sederhana, ranah kajian filsafat dapat dipilah menjadi tiga wilayah pokok kajian. Pertama mengenai “dunia” di mana kita tinggal. Setelah itu, pemahaman atas “diri” manusia sendiri. Yang terakhir, ini adalah pemahaman mengenai wilayah “transenden” (transcendence). Dunia yang kita tinggali menjadi objek pertama perhatian renungan filosofis itu karena kita biasanya selalu punya perhatian yang lebih atas sesuatu yang ada di luar kita. Misalnya, ada ungkapan yang mengatakan bahwa “rumput tetangga itu lebih hijau daripada rumput yang ada di halaman rumah
11
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kita”. Hal ini terjadi atas dasar pengaruh rasa kagum akan sesuatu yang kita lihat, dengar, dan rasakan. Namun demikian, setelah kita sadar dengan apa yang kita miliki atau sadar akan diri kita sendiri, biasanya kita akan mencoba untuk instropeksi atau meninjau diri kita sendiri. Pertanyaan seperti apakah kita dan secara umum pertanyaan siapa manusia itu akan terbersit. Ketika pertanyaan serupa ini muncul, pertanyaan tentang masalah “penciptaan” akan menghampiri. Karena ada dunia dan manusia, tentu ada yang menciptakannya. Inilah yang disebut sebagai masalah transenden dalam filsafat. Kenapa disebut dengan transenden? Ya, ini sebenarnya karena sesuatu yang berhubungan dengan penciptaan dunia dan manusia itu adalah sesuatu yang berada di luar pengetahuan manusia. Sementara itu, masalah yang berhubungan dengan manusia dan dunia seringkali dinamakan dengan “immanen” (immanence), serta dilawankan dengan pengertian transenden. Disebut immanen karena ini berhubungan langsung dengan pengalaman manusia itu sendiri. Lalu, bagaimana masalah immanen dan transenden ini harus dipahami dalam kaitannya dengan cabang kajian filsafat? Dari pemahaman mengenai dunia, kita sebenarnya sedang bergerak memasuki cabang filsafat yang disebut dengan Kosmologi (Cosmology). Berasal dari kata Yunani, kosmos (yang berarti dunia atau juga teratur), Kosmologi adalah cabang filsafat yang mengkaji masalah asal muasal alam semesta beserta proses terciptanya. Berdasar pada kajian mengenai dunia inilah juga lahir ilmu-ilmu kealaman, yaitu: Astronomi, Geologi, Fisika, Kimia, dan Biologi. Pada kajian mengenai manusia, kita akan menemukan hubungan dengan berbagai macam cabang filsafat. Ada kajian Filsafat Manusia (Philosophical Antropology), Filsafat Pengetahuan (Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology), Filsafat Moral atau Etika (Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy), Filsafat Akal (Philosophy of Mind), Logika (Logics), Filsafat Ilmu (Philosophy of Sciences), hingga Filsafat Bahasa (Philosophy of Language). Dari kajian mengenai manusia pula lahir ilmu-ilmu kemanusiaan (humanity sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Sedangkan pada kajian atas masalah transendensi, ini secara khusus dikaji dalam cabang filsafat yang disebut dengan Metafisika (Metaphysics). Namun demikian, kita jangan salah paham dulu dengan istilah Metafisika. Walaupun Metafisika itu mengkaji sesuatu yang berada di luar wilayah fisik atau melampaui wilayah fisik, ini tidak kemudian mengandaikan bahwa Metafisika berurusan dengan klenik ataupun magis. Sebab, Metafisika itu
12
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
memiliki fokus pembicaraan tentang masalah-masalah “ada” (being) dan “kenyataan” (reality). Selain Metafisika, masih dalam masalah transenden, ada cabang filsafat yang mengkaji tentang masalah Pencipta atau Tuhan, yaitu dalam Filsafat Ketuhanan (Theological Philosophy). Ternyata, dari tiga wilayah pokok kajian ini, kita dapat melihat bahwa sedemikian luasnya kajian filsafat itu. Oleh karenanya, sebagian besar filsuf mengatakan bahwa pokok kajian filsafat hanya dibatasi oleh masalah “tiada” (nothing). “Segala sesuatu yang ada” itu adalah pokok kajian utama dari filsafat. Namun, secara khusus, cabang filsafat yang mengkaji masalah “ada” dan “tiada” pun telah muncul. Inilah yang disebut dengan Ontologi (Ontology).
CABANG UTAMA FILSAFAT Seperti sudah dijelaskan kalau wilayah penelaahan filsafat dapat dibagi menjadi tiga (3) bagian. Hal ini meliputi kajian tentang Dunia, Manusia, dan Tuhan. Dari tiga subjek ini, filsafat dapat dipilah menjadi beberapa cabang seperti telah diuraikan pada tulisan tersebut. Namun demikian, kali ini akan membahas cabang kajian filsafat dengan rumusan yang agak berbeda dengan yang telah dijelaskan. Dalam mempelajari filsafat, para ahli biasanya mengatakan bahwa cabang utama kajian filsafat (main branches of philosophy) itu terdiri dari Logika, Metafisika, Etika, Epistemologi, Estetika, Theologia, maupun Filsafat Ilmu. Ada juga yang mengatakan cabang lainnya, tergantung pada sisi mana mereka memberikan titik tekannya. Bagi pakar filsafat yang memiliki kecenderungan untuk menekuni masalah-masalah kemanusiaan, Etika dan Filsafat Politik menjadi cabang yang disorot secara khusus. Ketika titik tekan itu bergeser pada masalah-masalah kealaman atau keilmuan, maka giliran Epistemologi, Filsafat Ilmu, ataupun Metodologi Filosofis yang menjadi tumpuan. Sedangkan bila kajian yang sifatnya transendental menjadi perhatian utama, maka cabang Theologia, Ontologi, dan Metafisika yang mendapat giliran. Filsafat itu selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu yang tertentu karena filsafat bertanya tentang seluruh kenyataan. Contohnya filsafat tentang manusia, filsafat alam, filsafat kebudayaan, filsafat seni, filsafat agama, filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pengetahuan dan seterusnya. Seluruh jenis filsafat tersebut dapat dikembalikan lagi kepada empat bidang induk, seperti dalam skema ini.
13
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Tabel 1.1. Skema Kajian Filsafat
Epistemologi
: pengetahuan tentang pengetahuan
Logika
: menyelidiki aturan-aturan yang harus diperhatikan supaya berpikir sehat
Kritik ilmu-ilmu : menyelidiki titik pangkal, metode dan objek dari ilmu-ilmu Ontologi
: pengetahuan tentang “semua pengada sejauh mereka ada”
Teologi metafisik : (disebut juga teodise atau filsafat ketuhanan) berbicara tentang pertanyaan apakah Tuhan ada dan nama-nama tentang Ilahi Antropologi
: berbicara tentang manusia
Kosmologi
: (disebut juga filsafat alam) berbicara tentang alam, kosmos
Etika
: (disebut juga filsafat moral) berbicara tentang tindakan manusia
Estetika
: (disebut juga filsafat seni) menyelidiki mengapa sesuatu dialami sebagai indah
Sejarah filsafat
: mengajarkan apa sepanjang zaman
jawaban
pemikir-pemikir
14
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Tidak semua ahli filsafat setuju dengan pembagian seperti yang diuraikan di atas. Ada filsuf yang menyangkal kemungkinan ontologi atau seluruh metafisika. Namun pembagian ini adalah skema yang paling klasik dan paling umum diterima. Oleh karena beragamnya titik tekan dalam memilah-milah cabang filsafat tersebut, tentu saja hal ini akan membuat filsafat menjadi sangat sukar dikaji. Sebab, ketika misalnya kita membaca filsuf yang sangat perhatian dengan masalah-masalah kemanusiaan, maka kita akan kehilangan arahan tentang kajian masalah kealaman dan juga masalah transendental. Begitupun juga ketika membaca filsuf yang memiliki titik tekan pada masalah lainnya. Hal ini biasa terjadi dan itu memang sewajarnya. Ini terjadi karena setiap filsuf memiliki spesialisasi atau kekhususan pikiran dalam corak filsafatnya. Akan tetapi, bagi seseorang yang baru belajar filsafat atau orang yang ingin belajar filsafat secara mudah, ini menjadi masalah yang cukup mengganjal. Sebab, dengan tiadanya kesepakatan di antara para filsuf, cabang utama kajian filsafat hingga kini tidak pernah ditetapkan. Akibatnya, orang itu akan “tersesat” di belantara filsafat yang cukup luas. Karena masalah-masalah di atas, kita dapat memutuskan untuk menetapkan secara sederhana saja apa yang dimaksud dengan cabang utama kajian filsafat itu. Kriteria untuk ini adalah cabang tersebut dapat dipakai sebagai dasar untuk mengkaji semua masalah yang telah disebutkan tanpa harus terjatuh pada satu titik penekanan. Dengan demikian, orang yang ingin belajar filsafat dengan mudah akan lebih fokus mempelajari masalah-masalah tersebut tanpa harus bergelut dengan kebimbangan. Dari sekian banyak cabang filsafat, sebenarnya ada empat cabang yang bisa dijadikan dasar untuk memahami cabang lainnya. Cabang ini pun dapat mewadahi berbagai masalah yang ada. Empat cabang filsafat yang dimaksud adalah: Logika, Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi. Cabang filsafat ini dapat dipelajari berurutan. Berikut adalah penjelasan kenapa cabang filsafat ini dapat dipelajari secara bertahap. Berpikir, secara umum, adalah kegiatan yang biasa dilakukan manusia. Tanpa ini, manusia tidak akan bisa bertahan dalam lingkungannya ataupun menyesuaikan diri dengan yang lainnya. Namun, berpikir saja tidak cukup. Ada cara-cara berpikir yang baik dan itu menjadi pedoman baginya agar tidak berpikir secara gegabah, sembrono, semaunya, sampai pada pikiran yang sesat. Cara inilah yang disediakan Logika. Selanjutnya, dengan berpikir, manusia bisa mengetahui sesuatu (= Epistemologi), yang juga merupakan kunci pemahaman atas sesuatu yang ada, sesuatu yang mungkin adanya, dan
15
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
sesuatu yang tidak ada (= Ontologi). Baru setelah itu, kita dapat melakukan sesuatu penilaian atas apa yang kita pahami atau memahami nilai dari apa yang kita pahami (= Aksiologi). Nah, dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa empat cabang itu cukup netral dan bisa dipakai untuk mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, manusia, ataupun Tuhan. Oleh karena itu, empat cabang filsafat inilah yang bisanya dijadikan dasar untuk masuk dalam cabangcabang filsafat lainnya. Misalnya, “Apakah Nazi-isme (berkaitan dengan partai politik Nazi yang didirikan oleh Adolf Hitler di Jerman) itu pola pikirnya keliru apa tidak?” Dalam masalah ini, kita masuk dalam pembahasan Filsafat Politik melalui Logika. Contoh lain: “Apakah kita dapat mengetahui awal terciptanya jagat raya?” Pada soal ini, aspek Epistemologis menjadi dasar untuk memahami Kosmologi. Begitupun dengan masalah-masalah lain dalam filsafat. Semuanya dapat dipahami dengan baik asalkan seseorang benar-benar memahami empat cabang filsafat tersebut.
16
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
LOGIKA
Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian filsafat, Logika menjadi cabang yang sebaiknya dipelajari pertama kali. Walaupun begitu, orang yang mempelajari Logika seringkali mengalami hambatan. Ini terutama dikarenakan ia atau orang di sekitar sudah punya pikiran yang kurang baik mengenai Logika. Ada yang mengatakan sukar, hanya main-main saja, ataupun tidak diperlukan karena merasa “saya sudah pandai”. Padahal, kalau dikatakan sulit, Logika itu sendiri dipikirkan dan dibuat oleh manusia, maka semestinya manusia sendiri menghadiri dan mempelajari logikanya. Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga Logika yang cukup, seorang Lewis Carroll (1832-1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in Wonderland (Alice di Negeri yang Indah). Begitupun dengan ungkapan “tidak perlu”, ini harus dihilangkan baik-baik dari pikiran. Sebab, kalau seseorang memang benar-benar pandai, ia akan berhenti belajar. Bukan apa-apa, mempelajari Logika sebenarnya akan memberikan manfaat yang besar kalau kita bisa memahaminya dengan baik. Salah satunya akan membuat kita tidak salah paham dalam menilai pendapat seseorang hingga harus terjadi pertengkaran. Perang sekalipun akan dapat kita hindari kalau kita mampu berpikir logis. Kecuali kita bersikap egois dan hanya berpikir “mau menang sendiri”. Setelah membaca penjelasan di atas, mungkin ada pertanyaan seperti ini: Apa sih yang dikaji dalam Logika sampai kita harus mempelajarinya? Ini adalah pertanyaan yang bagus dan cukup tepat untuk kita bahas. Pada cabang Logika, kita akan mempelajari tiga materi yang pokok, yaitu: (1) sejarah dan perkembangan pemikiran logika beserta aliran-alirannya, (2) persoalan istilah beserta pengolahannya, dan (3) persoalan pernyataan beserta pengolahannya. Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar dari tiga materi pokok yang telah disebutkan. Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada orang yang mencibir. Mungkin begini komentarnya: “Materi yang begitu kok dibela-belain harus dipelajari. Itu kan pelajaran bahasa Indonesia. Dari SD pun sudah dipelajari. Kenapa harus dipelajari lagi? Buang-buang waktu saja.”
17
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang dipelajari Logika memang sudah diajarkan dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran bahasa tidak mengajarkan pada kita untuk menelaah masalah-masalah istilah ataupun pernyataan dengan pengertian filosofis. Artinya, sesuatu istilah dapat saja memiliki beragam arti sesuai dengan pandangan orang yang mendefinisikannya. Untuk lebih jelasnya, kita akan coba bahas istilah “ya” dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang bahasa maupun logika. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984) yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, istilah “ya” dapat berarti: (1) kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah. (2) wahai; contoh: Ya tuanku! (3) bukan; contoh: Ia orang kaya, ya? (4) gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil namaku? (5) penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya! Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya sudah disebutkan beberapa alternatif yang cukup luas untuk pengertian istilah “ya”. Walaupun demikian, kita juga dapat saja menambahkan konteks baru dalam pengertian istilah “ya”. Misalnya, dalam kalimat: (6) “Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak, bagaimana?” Di dalam kalimat ini, istilah “ya” mengandung pengertian ‘persetujuan yang bersyarat’. Artinya, istilah “ya” pada kalimat (6) berbeda pengertiannya dengan kalimat (1) yang dikutipkan di atas karena persetujuannya tidak langsung terpenuhi dengan hanya mengatakan “ya”. Memahami uraian yang menggunakan contoh-contoh di atas, nampak bahwa apa yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas pengertian istilah “ya” dari segi bahasa tidak dapat merangkum seluruh pengertian istilah “ya” yang mungkin akan muncul. Termasuk penjelasan yang sebaiknya diberikan untuk pengertian istilah “ya” dalam pengertian nomor (3). Kenapa istilah “ya” dalam bahasa Indonesia juga mengandung istilah negatif (‘bukan’)? Padahal, dalam bahasa Inggris, kita tidak menemukan istilah “yes” yang mengandung istilah negatif. Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan muncul kalau kita tidak menggunakan Logika sebagai dasar penalarannya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika mengajarkan kita memahami suatu istilah dalam berbagai konteks dan situasi. Ini dimungkinkan
18
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kalau kita dibiasakan untuk berpikir dengan beragam pandangan. Sehingga, pikiran kita tidak hanya tertuju pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa terjatuh pada pikiran yang sempit. Apa yang ditulis dalam sebuah kamus dalam pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan patokan dasar, walaupun dapat dijadikan acuan resmi untuk satu istilah. Demikian, kita sudah melihat sedikit saja bagaimana Logika dipakai untuk memahami suatu istilah. Mungkin akan lebih baik lagi bagi kita dalam memahaminya bila kita juga lihat bagaimana Logika dipakai untuk menelaah pernyataan.
LOGIKA FORMAL, MATERIAL, DAN DEDUKSI Logika, memiliki materi yang sederhana tapi juga mendasar. Walaupun telaah lanjutannya dapat menghasilkan suatu pengkajian yang rumit, tetapi kita sebenarnya tidak membutuhkan model kajian yang serupa itu. Kalau dapat dibuat mudah, kenapa tidak? Ini yang akan kita pelajari dalam pembahasan kali ini. Supaya hal ini terlaksana, kita akan bahas kasus yang dialami oleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita punya kasus seperti ini: Kabayan adalah seorang petani. Ia bekerja membanting tulang setiap hari. Selepas Subuh, ia langsung berangkat ke sawah untuk memulai pekerjaan sebagai seorang penggarap. Dari mulai mencangkul lahan, membenihkan padi, menanam bibit, memupuknya, menyiangi rumput yang ikut tumbuh, membenarkan galangan sawah yang bolong-bolong oleh ketam atau rusak diterjang anak-anak, mengatur air agar selalu menggenang, mengusir burung yang hinggap saat padi hendak matang, hingga memanen padi, menimbang, lalu menjualnya ke pasar. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri. Suatu saat, ia mengeluh karena merasa capai dengan semua pekerjaannya itu. Ia mengeluh pada istrinya. Kata Kabayan, “Bu, coba aku sekolahnya bisa sampai tamat SD. Atau, kayak si Kemod itu lho! Sarjana, punya titel, kerja kantoran, gak kepanasan, juga dapat gaji tiap bulan. Gak kayak aku ini. Sehari-hari ya cuma dapat pas-pasan. Kadang cukup, kadang nggak.” Istrinya menjawab: “Ya sudah. Bapak terima nasib aja. Yang penting, anakanak kita gak kayak bapaknya.” Sekarang, coba analisis kasus di atas dengan menggunakan logika. Jawaban seperti apa yang bisa dihasilkan oleh Logika atas kasus di atas? Satusatunya jawaban yang dapat diberikan oleh Logika Formal untuk kasus di atas adalah bahwa dalam kasus ini Kabayan menggunakan pola pikir Induktif.
19
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Kenapa demikian? Ini karena Kabayan menyimpulkan sesuatunya berdasarkan pada banyak pekerjaan yang ia lakukan. Akan tetapi, kalau menggunakan format Logika Material, kasus di atas menyimpan masalah tentang fakta yang tak diungkapkan. Misalnya, apakah ketika panen padi Kabayan tidak dibantu oleh satu orang pun? Berapakah luas sawah yang digarap oleh Kabayan sehingga ia dapat melaksanakan semua pekerjaannya itu sendirian? Nah, dengan jawaban ini kita sudah masuk dalam pembahasan istilah baru dari kajian Logika. Logika Formal dan Logika Material adalah salah satu model dari pembagian Logika. Formal di sini dimaksud sebagai suatu pengertian yang mengacu pada bentuk baku yang telah ditetapkan untuk suatu hal berdasarkan kaidah-kaidah logika. Sedangkan Material, ini dimengerti sebagai isi dari suatu hal yang dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi (diuji) kesahihannya berdasarkan pada kenyataannya di dunia. Contoh di bawah ini akan lebih menjelaskan. (Contoh 1) Misal, kita punya dua pernyataan: (1) Semua manusia itu akan mati (2) Kabayan itu manusia Kesimpulannya akan menjadi: (3) Kabayan itu akan mati Contoh di atas ini merupakan suatu pola pikir Deduktif yang lolos dari ujian Logika Formal maupun Material. Kenapa? Ini karena tiga pernyataan di atas sudah memenuhi syarat baku dalam kaidah Formal, maupun benar secara isi seperti yang dikehendaki dalam syarat Material. Berikut kaidah Formal dalam logika yang dimaksud. (1.1) A is B (2.1) C is A -----------------------------------(3.1) C is B Keterangan: Pernyataan 1.1 disebut dengan Premis Mayor (Pernyataan Umum). Pernyataan 2.1 disebut dengan Premis Minor (Pernyataan Khusus). Pernyataan 3.1 disebut dengan Konklusi (Kesimpulan).
20
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Kata “is” ini disebut dengan Kopula (atau mirip dengan lambang “=“ dalam Matematika). Kata “itu”, “ini”, atau “adalah” biasa digunakan sebagai Kopula untuk pernyataan logis dalam bahasa Indonesia. Lalu bagaimana dengan syarat Materialnya? Bagaimana penjelasannya? Kita berikan satu contoh lagi di bawah ini agar dapat dibandingkan. (Contoh 2) (1.2) Semua manusia itu berumur panjang (2.2) Kabayan itu manusia -----------------------------------(3.2) Kabayan itu berumur panjang Pada contoh terakhir, walaupun sudah memenuhi syarat sesuai dengan kaidah Formal di atas, kita bisa mengetahui bahwa kesimpulannya keliru. Contoh 2 ini menyimpulkan bahwa Kabayan itu akan memiliki umur yang panjang. Padahal, mungkin saja kalau Kabayan ini berumur pendek. Jadi, untuk contoh 2, kita dapat mengatakan bahwa contoh ini valid/sahih secara formal tetapi keliru secara material. Terakhir, mungkin kita masih penasaran dengan dua istilah ini, yaitu: Induktif dan Deduktif. Untuk istilah Deduktif, sudah diberikan contohnya dalam contoh 1. Begitulah yang disebut pola pikir Deduktif. Sedangkan untuk Induktif, inilah contohnya: (Contoh 3) (1.3) Kabayan itu akan mati (2.3) Kabayan itu manusia -----------------------------------(3.3) Semua manusia itu akan mati Jadi, kita bisa bandingkan contoh 1 dan contoh 3, semua pernyataannya sama persis. Hanya saja, dalam contoh 1, pernyataan 3.3 ada dan berlaku sebagai Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini, pernyataan tersebut malah menjadi Konklusi. Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat mempelajarinya dengan baik dan memahami serba sedikit dari pembahasan Logika beserta model penerapannya dalam menganalisis kehidupan sehari-hari. Sebagai tambahan informasi, kaidah Formal yang dimaksud di atas dalam kajian Logika
21
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
dinamakan dengan Silogisme. Penemunya adalah filsuf masyhur yang pernah menjadi guru Alexander Agung (356-323 SM), yakni Aristoteles (384-322 SM) atau sang Father of Logics.
DEDUKSI, INDUKSI, DAN ABDUKSI Di dalam tulisan sebelumnya, kita sudah sedikit banyak mengenal istilah logika maupun materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika Material, juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan seharihari? Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin tidak akan banyak dapat menggunakan analisis seperti yang telah dilakukan pada tulisan sebelumnya. Tapi, sebenarnya kita justru seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma kadangkala, kita tidak menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan logika secara praktis dan nyata. Pertama, kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar. Kedua, kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak belakang dengan pola pikir kita. Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) pun pernah mengalami kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar pikiran yang telah dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan, maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap memiliki kesalahan logis yang bersifat internal (terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy. Walaupun demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal, dua dasar pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat “menduga” (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif. Lalu bagaimana kira-kira pola pikir ini dianalisis? Ternyata, apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola pikir yang telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang tipis saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya. Berikut
22
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
adalah contoh perbandingannya.
Deduksi: (1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih (1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu -----------------------------------(1.3) Buncis ini (adalah) putih Induksi: (2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu (2.2) Buncis ini (adalah) putih -----------------------------------(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih Abduksi (3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih (3.2) Buncis ini (adalah) putih -----------------------------------(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu catatan: kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata ‘is’. Bila diperhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.
DIALEKTIKA ZENO Bila dilihat dari sejarahnya, Dialektika ini sebenarnya berasal dari kata dialegestai (Yunani) yang berarti “percakapan”. Para filsuf sebelum Sokrates dari Athena (± 469-399 SM), seperti Zeno dari Elea (± 490-430 SM), sudah menggunakan istilah ini sebagai suatu nama untuk metode berpikir. Ini dipakai, terutama, ketika Zeno dari Elea berusaha untuk mempertahankan pandangan sang guru, Parmenides (± 515-440 SM) yang menyatakan bahwa “alam semesta itu satu adanya dan tidak ada perubahan di dalamnya”. Pandangan yang demikian ini dikenal sebagai suatu jenis pandangan yang monistik tentang semesta.
23
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Sehubungan dengan pikiran Zeno, ada beberapa uraian menarik yang diberikan olehnya ketika ia sedang berdialektika. Misalnya, saat ia mengajukan masalah pelik yang membingungkan banyak orang. Berikut adalah salah satu contoh masalah yang dikemukakannya. Achilles tidak dapat memenangi lomba lari melawan kura-kura Membaca masalah di atas, mungkin kita akan sedikit heran, atau malah bingung. Kok bisa ya filsuf mengemukakan masalah yang ganjil serupa ini? Ya, saat Achilles dinyatakan tidak bisa menang melawan kura-kura dalam lomba lari, mungkin ini seperti bualan. Tetapi, kalau boleh disebut, ini bualan yang paling argumentatif. Sebagai orang Yunani masa itu, Zeno tahu kalau Achilles adalah seorang pelari yang handal. Bahkan, dalam mitologi Yunani, Achilles adalah seorang pahlawan pada Perang Troya. Jadi, kalau Achilles harus bertarung lari dengan seekor kura-kura yang sangat lambat, maka “sungguh mustahil sekali” kalau kura-kura bisa menang. Akan tetapi, di balik masalah yang Zeno kemukakan, sebenarnya ada suatu persoalan pelik yang hanya bisa dipahami menggunakan pendekatan fisika maupun matematika untuk mengatakan pandangan Zeno itu benar. Walalupun demikian, ada syarat tertentu yang diandaikan oleh pernyataan ini. Syarat ini tiada lain adalah kura-kura harus memulai lari lebih dahulu daripada Achilles. Kenapa harus seperti itu? Syarat di atas dibutuhkan dalam memahami pernyataan Zeno dari sisi fisika maupun matematika. Dari segi fisika, pernyataan Zeno mendapatkan pembenaran kalau hal ini dikaitkan dengan analisis mengenai waktu. Misalnya Achilles (A) dan kura-kura (K) memulai lomba pada waktu 00.00. Saat lomba dilaksanakan, K memulainya terlebih dahulu pada 00.01 dan A membiarkannya sampai K itu melaju cukup jauh. Dengan kecepatan lari yang dimilikinya, A berlari mengejar K hingga melampauinya dan menunggu K menghampirinya kembali. Menilik cerita lomba di atas, tentunya A lebih unggul secara kemampuan dan dapat dipastikan siapa pemenangnya. Namun, dalam kaitannya dengan waktu, justru K yang lebih dahulu memimpin. Ini karena K memulai lomba pada 00.01. Saat kita memahami ini semua dalam kerangka waktu, maka A-lah yang akan mengalami kekalahan. Ini karena waktu A memulai lomba misalnya pada 30.00, setelah menunggu K berjalan cukup jauh. Dalam teori mengenai waktu, tidak ada sesuatu apapun yang dapat melampaui atau mendahului waktu. Tidak juga kecepatan cahaya.
24
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Nah, memahami pernyataan Zeno dalam kaitannya dengan kerangka waktu justru akan dapat membuat kita sadar bahwa pendapat Zeno ini ternyata ada benarnya. Cara lain untuk memahami pernyataan Zeno adalah memahaminya dari sisi matematika atau fisika. Berikut ini adalah uraiannya. Saat A dan K berlomba, dengan K yang memulainya terlebih dahulu, K ini sebenarnya sedang mengambil suatu posisi terhadap A. Maksudnya membuat suatu posisi di sini adalah K membuat jarak dengan A dan membuat suatu titik acuan relatif terhadap A. Ketika K bergerak, maka posisi itu pun sudah pasti akan berubah. Nah, saat A bergerak mendekati posisi K atau malah melampauinya, sudah pasti jarak antara A dengan K akan berkurang, sama, atau malah menjauh. Pada saat ini terjadi, posisi A bisa berada di belakang, sama, atau malah di depan K. Kalau kita menggunakan pola pikir yang biasa dipakai sebagai dasar analisis, artinya hanya mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok dalam memahami persoalan di atas, maka kita akan keliru memahami pernyataan Zeno. Sebab, Zeno tidak sedang mempertimbangkan jarak sebagai ukuran pokok. Yang ia pikirkan, mungkin, adalah posisi K yang tidak pernah bisa dijangkau oleh A. Artinya, saat K mencapai posisi tertentu, ini tidak akan dapat dijangkau oleh A karena posisi K selalu berubah secara relatif terhadap A. Tentu saja posisi yang relatif ini masih berlaku saat jarak antara A dan K adalah 0 alias A = K atau jarak antara A dan K adalah A > K. Dengan ini, kita tidak dapat mengatakan A itu menang atas K berdasarkan posisinya. Masih bingung? Kalau bingung, ada cara alternatif lainnya untuk memahami ini. Zeno itu benar kalau Zeno memang berpikir “curang”. Ya, seandainya Zeno berpikir demikian, ini juga bukan sesuatu yang mustahil. Pikiran curang ini adalah dengan membayangkan kalau Achilles ternyata bukan hanya melawan seekor kura-kura, tapi melawan 1.000 ekor kura-kura yang bekerja sama dan mirip satu sama lain. Ini mirip cerita rakyat, lomba lari kancil melawan siput. Sang kancil yang jago lari ternyata dikalahkan oleh siput yang lambat. Ya karena siput yang “cerdik” meminta bantuan teman-teman dan kerabatnya yang sama dan identik untuk berjejer di sepanjang garis lomba.
SOKRATES DAN PERCAKAPAN DIALEKTIK Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia
25
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian? Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting. Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini? Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates. Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh. “Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?” “Aku sedang menjajaki untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini.” “Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?” “Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya.” “Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi
26
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
wahai Meno?” “Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup.” “Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?” “Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya.” Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu. “Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?” “Ya Sokrates. Memangnya ada apa?” “Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?” “Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang.” “Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?” “Maksudmu apa Sokrates?” “Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?” Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata. “Iya, mungkin, Sokrates.” “Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak
27
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang.” Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia. “Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain.” Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu, dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.
Nah, dalam dialog Sokrates dengan Meno di atas, kita dapat melihat bahwa Sokrates menggunakan Dialektika sebagai satu cara untuk menyadarkan orang lain itu akan pengertian yang sesungguhnya tentang makna suatu kata. Dengan contoh-contoh sederhana, Sokrates mampu mengurai retorika menjadi suatu pembicaraan tanpa isi. Melalui cara inilah ia dikenal sebagai pembicara ulung dan menjadi sangat disegani di seantero Athena. Tetapi, ia pun sekaligus menjadi orang yang paling menjengkelkan dan paling dimusuhi oleh orang-orang yang tidak menyukainya. Cara seperti ini yang diberi nama oleh Sokrates sebagai maieutike tekhne (seni kebidanan). Ini karena Sokrates selalu mengganggap dirinya seibarat “bidan” yang membantu melahirkan pengertian yang benar dalam pikiran orang lain. Dalam hal ini, ia sangat terinspirasi oleh ibunda yang memang adalah seorang bidan.
MODEL DIALEKTIKA HEGELIAN Bahasan kita kali ini adalah satu model dialektika yang diperkenalkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Beliau ini adalah salah satu filsuf Jerman yang paling masyhur dan menjadi banyak rujukan dari pemikiran Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber kebenaran. Biasanya, Idealisme dilawankan dengan Empirisisme atau jenis pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber kebenarannya.
28
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Nah, kembali pada model dialektika Hegel, model dialektikanya merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern. Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat “roh”. Walaupun demikian, kita tidak perlu panjang lebar membicarakan dasar filsafatnya ini. Sebab, ini belum waktunya kita masuk dalam pembahasan filsafat yang rumit tersebut. Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim dikenal sebagai: Tesis – Antitesis – Sintesis Tesis secara sederhana dipahami sebagai “suatu pernyataan atau pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu”. Misalnya: “Tanah ini basah karena hujan”. Antitesis adalah “pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau pendapat tersebut”. Misalnya: “Hari ini tidak hujan”. Sintesis adalah “rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat yang baru”. Misalnya: “Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah karena hujan.” Model dialektika di atas ini mungkin penyederhanaan atas apa yang dibicarakan Hegel. Tapi, kira-kira seperti inilah pola dialektika secara umum. Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang lainnya. Namun, rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara “hebat” dan mulai terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk menopang pandangan filsafatnya. Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Sebab, membaca Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu: Immanuel Kant (1724-1804), Johan Gottlieb Fichte (1762-1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika. Sebagai gambaran sederhana, berikut sedikit ringkasan pandangan bagaimana Hegel itu sendiri “berdialektika” dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini. Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang disebut “Aku” atau “Ego”. Menurutnya, Aku ini merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan permenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596-1650) yang
29
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
mengatakan bahwa: Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa latinnya, yaitu: Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Sehingga, dengan pergumulan Aku yang lain ini-lah, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Begitupun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas. Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini sadar (tesis) – Ada Aku lain (antitesis) – Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis). Sedangkan pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri “roh”) ataupun objektif (berciri “materi”). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi. Maka, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak. Sebab, ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku. Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang lain atau alam (tesis) – Aku individu atau manusia (antitesis) – Aku yang bukan materi dan roh (sintesis). Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang “sederhana” dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi: Idea (tesis), Alam (antitesis), dan Roh (sintesis)
KATA DAN ISTILAH, KALIMAT DAN PERNYATAAN Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai sesuatu
30
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: “miskin”. Kata ini akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan tanda bahasa yang mendukung. Misalnya, “Oohh... , miskin ya?” atau, “Miskin...?” Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian “miskin” itu sendiri. Kedua, ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang “miskin”. Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata “miskin” di situ akan berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan. Demikianlah, cara kita memahami “miskin” sebagai sebuah kata. Walaupun begitu, “miskin” juga bisa berarti istilah. Artinya, “miskin” diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda dalam bidang tertentu. Misalnya, dalam Islam, ada ungkapan: “Kemiskinan itu akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama”. Demikian juga dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan: “Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita akan kaya pula di Surga”. Tetapi tidak begitu dalam Budha. Ini tersirat dalam keyakinan: “Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya”. Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, “miskin” memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat diartikan macam-macam, sesuai dengan “maksud”, “tujuan”, atau “kepentingan” yang ada dalam penggunaan “miskin” itu. Misalnya, ketika ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya oleh PBB, “kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015” adalah slogan yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara, tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari kampanye. Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena “miskin” lalu dikaitkan dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena “miskin” tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat. Nah, dengan penjelasan sederhana tersebut, kita mungkin dapat membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita
31
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu secara langsung akan menjadi istilah. Lalu, terkait dengan apa yang disebut dengan kalimat dan pernyataan, kita dapat membedakannya secara mudah sebenarnya. Misalnya dalam contoh di bawah ini. 1. “Adik makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah.” 2. “Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah.” Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K (“Adik” = Subjek + “makan” = Predikat + “nasi goreng” = Objek + “sebelum berangkat sekolah” = Keterangan). Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari S+K+P (“Adik” = Subjek + “itu” = Kopula + “makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah” = Predikat). Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat mengenali bahwa kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu dibedakan dengan kata “itu”. Dalam bahasa Inggris, kata “itu” yang dimaksud sebenarnya adalah kata “is”, yang artinya “adalah” itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta yang ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut. Jadi, kalau kita boleh mengambil kesimpulan secara singkat, kalimat yang benar hanya membutuhkan sisi pengujian atas susunannya, sedangkan pernyataan yang benar hanya akan benar bila teruji sisi susunannya (formal) maupun sisi isi yang terkandung di dalamnya (material).
ISTILAH DAN DEFINISI Kembali ke soal logika, melanjutkan pembahasan terdahulu, kali ini kita menelisik lebih jauh pada materi mengenai istilah dan pengolahannya. Istilah juga perlu diolah dengan baik, karena dunia filsafat ataupun dunia ilmu, bertumpu pada pengolahan istilah yang semakin lama semakin kompleks pengertiannya. Misalnya saja, kata globe (dunia) dalam bahasa Inggris mendapatkan pengertian yang sangat kompleks ketika berubah menjadi istilah globalization
32
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
(mendunia atau globalisasi). Bagi yang paham benar dengan pengertian istilah tersebut, pastilah ia akan memahami kompleksitas pengertiannya. Sebab, ini bukan hanya menyangkut pada semakin banyaknya orang yang berkunjung antar negara, tetapi juga berhubungan dengan kasus penyelundupan obatobatan terlarang, masalah perusahaan multinasional, hubungan diplomatik, ataupun kompetisi internasional di bidang pendidikan, tenaga profesional, hingga teknologi militer. Ya, globalisasi mengandaikan semuanya itu, dan juga soal-soal yang belum disebutkan. Kita tidak dapat mereduksi atau memangkas pengertian istilah ini sebagai sesuatu yang sederhana seperti terkandung dalam pengertian “mendunia”. Oleh karenanya, menjadi penting bila suatu istilah itu dipahami dengan baik. Supaya istilah ini dipahami dengan baik, kita harus mengolahnya dengan baik pula. Lalu, bagaimana caranya suatu istilah itu dapat diolah dengan baik? Pengolahan istilah yang baik sebenarnya dilaksanakan dengan cara “membatasi pengertiannya”. Atau, nama lain untuk pembatasan pengertian suatu istilah tiada lain daripada yang disebut definition (definisi). Dalam logika, pemberian definisi suatu istilah dipenuhi oleh dua unsur, yaitu definiendum (istilah yang hendak dibatasi pengertiannya) dan definiens (uraian tentang batasan untuk istilah yang dimaksud). Selain dua unsur yang telah disebutkan, suatu definisi harus memenuhi syarat-syarat seperti terurai di bawah ini. 1. Suatu definisi tidak boleh lebih atau kurang daripada pengertian dasar istilah yang didefinisikan. Misalnya: Manusia adalah hewan. Definisi istilah manusia ini menjadi salah karena pengertian hewan melebihi pengertian manusia. Sebab, kata hewan dipakai juga untuk menyebut jenis yang lainnya dan bukan hanya manusia. 2. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang samar-samar. Misalnya: Anjing adalah yang berkaki empat. Definisi istilah anjing di atas masih terlalu samar pengertiannya dan dapat tertukar dengan pengertian kucing atau kuda yang sama-sama memiliki empat kaki. 3. Definisi tidak boleh diberi istilah yang didefinisikan atau sinonimnya. Misalnya: Binatang adalah hewan.
33
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Istilah binatang merupakan kata lain yang sepadan (atau sinonim) untuk istilah hewan. Jadi, tidak dapat digunakan untuk membuat pengertian batasan yang dibutuhkan untuk istilah binatang. 4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bentuk negatif apabila masih mungkin dinyatakan dalam bentuk positif. Misalnya: Salah adalah tidak benar. Dalam definisi istilah salah, pengertian tidak benar merupakan pengertian yang tidak menjelaskan pengertian salah itu sendiri. Kita sudah mengetahui bila salah akan berarti tidak benar. Jadi, definisi ini merupakan suatu definisi yang buruk karena tidak memberikan pengertian yang baik tentang istilah salah. Catatan: Referensi untuk syarat definisi diambil dari buku Partap Sing Mehra dan Jazir Burhan, 2001, Pengantar Logika Tradisional, cet. VII, Putra A. Bardin, Bandung, hal. 27-8. Apabila suatu definisi memenuhi dua unsur dan keempat syarat yang telah disebutkan, maka istilah yang didefinisikan menjadi sah dalam pengujian logika. Untuk memahami lebih jauh penerapannya, kita akan menerapkan aturan definisi ini dalam membuat suatu pengertian yang baik untuk istilah globalisasi. Definiendum Globalisasi
Definiens Proses interaksi antar negara maupun warga negaranya yang mengakibatkan perubahan mendasar pada budaya dan orang-orang yang ada pada masing-masing wilayah negara yang berinteraksi.
Pada kasus pendefinisian istilah globalisasi di atas ini, kita mendapati bahwa uraian tentang istilah itu mengambil titik tekan pada interaksi antar negara dan juga antar warga negara. Namun, pengertian istilah ini menjadi semakin jelas ketika ada efek yang dihasilkan dari jenis interaksi tersebut yang berpengaruh pada budaya maupun orang-orang yang hidup di negara yang melakukan interaksi tersebut. Jika diperhatikan, definisi ini memenuhi semua syarat yang diajukan di atas. Sebab, pengertian globalisasi menjadi proses interaksi antar negara maupun warga negara secara umum tidak melebihi pengertian globalisasi yang dasar, uraian tentang istilah globalisasi dalam definiens tidak samar, tidak ada pengulangan istilah globalisasi dalam definiens, dan definisi di atas tidak dinyatakan dalam bentuk negatif.
34
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Walaupun demikian, mungkin ada orang yang berkeberatan mengenai isi dari pengertian globalisasi di atas. Atas keberatan yang serupa ini, sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipertimbangkan dalam konteks logika. Sebab, suatu definisi dapat saja memiliki pengertian yang berbeda sesuai titik tekan yang dipilihnya. Masalah utama dan yang paling mendasar sebenarnya terletak pada apakah definisi yang dibuat sudah memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan atau belum dan bukan pada isi definiens yang dapat berisi penguraian yang bermacam-macam pengertiannya sesuai dengan keinginan si pembuat definisi. Demikian pembahasan untuk istilah dan pengolahannya melalui definisi. Pada tulisan yang selanjutnya, masih akan membahas bagaimana definisi ini dibuat dengan mempertimbangkan unsur-unsur lain dalam apa yang disebut predikat.
DEFINISI DENGAN PREDICABLE Melanjutkan pembahasan istilah yang disebut dengan definisi pada tulisan sebelumnya, kita dapat membuat definisi dengan cara yang lebih rinci daripada yang sudah dijelaskan. Ini diperoleh dengan memahami apa yang disebut dengan predikat secara lebih jauh. Predikat ini seperti diuraikan sebelumnya, adalah bagian penjelasan yang terletak setelah kopula dalam suatu pernyataan. Jika dibandingkan dengan uraian yang ada pada definisi, maka kita dapat mengatakan bahwa predikat ini akan sama dengan yang disebut definiens. Nah, definiens ini sendiri dapat dibagi menjadi beberapa unsur pembentuk definiens. Unsur-unsur inilah yang nantinya diberi nama predicable. Predicable itu sendiri tidak lain daripada predikat yang diterapkan untuk memahami subjek yang hendak diuraikan. Subjek tersebut dalam definisi adalah yang disebut definiendum. Ada banyak predikat yang dapat diterapkan untuk membuat subjek lebih dapat dipahami. Aristoteles memiliki pembagian yang cukup lengkap mengenai predikat apa saja yang harus ada dalam mengurai penjelasan atas suatu subjek. Dalam karyanya Topica, Aristoteles telah membagi jenis predikat menjadi 5 macam, yaitu: definisi (Yunani, horos), genus (Yunani, genos), diferensia (Yunani, diaphora), properti (Yunani, idion), dan aksiden (Yunani, sumbebekos). (Baca juga artikel mengenai predicable ini dalam Wikipedia) Ia kemudian mengatakan kalau definisi itu adalah predikat yang berupa “esensi” atau hakikat dasar dari subjek yang dibicarakan. (Topica: 101b; 35-40)
35
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Misalnya, hakikat dasar manusia adalah berpikir. Maka berpikir adalah definisi dari manusia. Selanjutnya, beralih pada istilah genus. Istilah ini memiliki pengertian sebagai predikat dari sejumlah subjek yang dapat menghadirkan perbedaan dalam beragam macamnya untuk subjek tersebut. Misalnya, ketika subjeknya itu adalah manusia, maka genus-nya adalah binatang. (Topica, 102a; 30-5) Pada konteks ini, binatang menjadi genus manusia serta sekaligus dapat menjadi genus untuk kera. Ini karena manusia dan kera adalah sama-sama “subjek”. Namun, manusia dan kera sama-sama menjadi subjek pada konteks ini adalah karena kita dapat melihat persamaan yang ada di antara keduanya. Jadi, secara sederhana, genus adalah predikat yang dapat mencakup beberapa hal dengan melihat kesamaan yang ada di antara beberapa halnya itu. Pada contoh genus, kita sudah dapat melihat bahwa manusia dan kera dipertautkan di bawah genus binatang. Kini, menjadi penting untuk diperhatikan bahwa perbedaan perlu diberikan sebagai predikat yang dapat memisahkan antara manusia dan kera. Oleh karena itu, diferensia sebagai suatu predikat, perlu diterapkan dan ditambahkan pada genus (Topica, 101b; 15-20). Ini persis seperti yang diungkapkan sebelumnya bahwa genus dapat menghadirkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud tiada lain daripada diferensia. Dalam hubungannya dengan contoh yang diberikan untuk konteks genus, yaitu binatang, diferensia yang dapat ditambahkan untuk genus binatang dengan subjek manusia dan subjek kera jelas akan memiliki kekhususan untuk masing-masingnya. Pada subjek manusia, diferensia yang dapat ditambahkan adalah “dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis”. Sedangkan untuk subjek kera, diferensianya adalah “dapat memperoleh pengetahuan melalui naluri, percobaan, dan juga pengalaman”. Dalam diferensia untuk kera, kita dapat membaca bahwa keterangan yang serupa ini nampak mendekati pengertian diferensia yang diberikan untuk manusia. Bedanya itu hanya tipis saja. Pada manusia, diferensia yang diberikan tekanannya terletak pada istilah “sistematis”. Sedangkan pada kera, titik tekan diferensia-nya adalah istilah “naluri”. Ini menjadi penting karena manusia dapat mengembangkan suatu ilmu dengan pengetahuannya yang sistematis, sedangkan kera tidak dapat mengembangkan pengetahuannya secara lebih jauh. Apabila perbedaan yang diberikan masih kurang jelas, masih dapat diberikan predikat tambahan yang dapat melengkapi keterangan diferensianya. Dengan properti, predikat ini akan dapat melengkapi keterangan secara lebih jauh. Misalnya, manusia itu “memiliki kemampuan untuk belajar tata
36
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
bahasa”. Di sini, keterangannya dapat dibalik menjadi yang memiliki kemampuan untuk mempelajari tata bahasa adalah manusia. Melalui contoh ini, kita dapat mengatakan bahwa properti adalah predikat tambahan yang hanya dimiliki oleh subjek yang hendak diuraikan dan tidak dimiliki oleh subjek lainnya (Topica, 102a; 15-25). Kalau misalnya ada predikat tambahan yang dimiliki pula oleh subjek lainnya, maka ini dapat disebut dengan properti sementara (Topica, 102a; 25-30). Misalnya, mengantuk adalah properti yang dapat dimiliki oleh manusia dan juga kera, serta binatang yang lainnya. Oleh karenanya, mengantuk adalah jenis dari properti sementara. Selanjutnya, pada tingkatan yang lebih jauh, kalau properti masih belum dianggap cukup dalam melengkapi keterangan untuk keterangan genus beserta diferensia-nya, maka ada yang disebut dengan aksiden. Aksiden ini berasal dari kata accidit yang berarti “apa yang terjadi”. Penjelasan yang diberikan Aristoteles untuk aksiden ini kurang begitu jelas, kecuali ia mengatakan bahwa aksiden itu adalah sesuatu yang bukan genus, diferensia, maupun properti, namun masih merupakan predikat dari sesuatu yang hendak dijelaskan. (Topica, 102b; 01-10) Misalnya, dalam contoh properti di atas, kita mendapati contoh kalau manusia itu memiliki properti “dapat mempelajari tata bahasa”. Pada contoh properti ini, anggaplah kalau mempelajari tata bahasa itu masih kurang jelas maksudnya. Oleh karenanya, kita dapat menambahkan uraian mengenai cara-cara mempelajari tata bahasa sebagai contoh dari aksiden yang akan melengkapi properti ini. Salah satu cara yang digunakan manusia untuk mempelajari tata bahasa adalah menyusun katakata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus. Dalam uraian kalimat yang terakhir, penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus dapat menjadi aksiden yang tepat untuk properti yang telah disebutkan. Demikian, kalau kita ringkaskan uraian dari Aristoteles ini, maka kita akan dapati penjelasan untuk mendefinisikan manusia sebagai berikut. Definisi
Berpikir
Genus
Hewan
Diferensia
Menyusun pengetahuan secara sistematis
Properti
Dapat mempelajari tata bahasa
Aksiden
Penyusunan kata-kata ke dalam sistem kebahasaan dengan pola-pola penandaan yang khusus
37
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Pada tabel di atas ini, kita memang dapat melihat sedikit lebih baik apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles secara ringkas. Namun, kita juga masih dibingungkan dengan hubungan antar predikat ini. Bagaimanakah caranya menggunakan kelima predikat ini dalam membuat suatu definisi yang baik? Jawaban atas soal ini diberikan secara sangat baik oleh Porphyrius dari Tyre (234-305 M). Ia mengadopsi pikiran yang telah dikembangkan madzhab Peripatetis dalam karyanya yang berjudul Isagoge dan melengkapi apa yang sudah disampaikan oleh Aristoteles di atas dengan satu predikat tambahan, yaitu: Species. Ia mengatakan bahwa species adalah predikat yang ada di bawah atau menjadi anggota dari genus. (Isagoge, P.4-15) Pada contoh sebelumnya, telah disebutkan bahwa genus untuk manusia adalah hewan. Dalam kaitannya dengan ini, kita dapat menyebutkan bahwa manusia adalah species dari genus hewan. Dengan tambahan satu predikat ini, sebenarnya kita sudah dapat menyusun pola pendefinisian berdasarkan pada predikat yang telah dijelaskan. Berikut adalah rumusan definisi dengan menggunakan elemenelemen predikat yang dimaksud. Species
Genus
Manusia Hewan
Diferensia
Properti
Aksiden
yang dapat menyusun pengetahuannya secara sistematis
dan bertata bahasa
melalui pola-pola penandaan yang khusus
Inilah cara pembuatan definisi dengan menggunakan elemen-elemen yang disebut predicable. Pada cara yang sangat sederhana, definisi yang dibuat dengan menggunakan predicable hanya akan terdiri dari species, genus, dan diferensia. Sedangkan dua elemen lainnya hanya diperlukan untuk melengkapi keterangan yang dirasa kurang jelas pada penjelasan diferensia-nya.
TIGA PRINSIP DASAR PENGOLAHAN ISTILAH DAN PERNYATAAN Logika mempunyai fokus kepada dua pokok masalah, yaitu: istilah dan pernyataan. Ini karena dua objek tersebut mewakili pengetahuan seseorang atas sesuatu hal (berkaitan dengan istilah dan definisinya) dan sikap seseorang atas sesuatu hal (bersangkutan dengan pernyataan dan kesimpulannya). Sebab, bila seseorang dapat membuat suatu definisi yang baik dari suatu istilah, dapat dipastikan bahwa ia memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
38
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
apa yang dimaksud oleh istilah tersebut. Sedangkan berkenaan dengan sikap seseorang, ini akan dapat dilihat dalam apa yang diungkapkan melalui pernyataannya tersebut. Misalnya, ketika seseorang, sebutlah Nita dan Toto berdiskusi mengenai apa yang disebut dengan katak, maka keduanya akan melakukan diskusinya kira-kira seperti ini: Nita : To, apa sih bedanya katak sama kodok? Tahu gak? Aku bingung nih kalo harus bedain. Toto : Apa ya bedanya? (Sambil garuk-garuk kepala gak jelas) Mungkin, kalo katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk. Memang kenapa Nit? Nita : Ini, lagi ada tugas untuk mendeskripsikan katak dan kodok untuk pelajaran biologi. Hmmm ... mungkin bener juga ya? Tapi apa sih perbedaan lainnya? Toto : Kalo kodok, aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak gelap. Sedangkan katak, kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang. Nita : Oh ... begitu ya? Berarti kodok tuh mirip Toto dong. Kan ... kulitnya gelap gitu. Hihi ... Toto : Aduh, mentang-mentang aku kulitnya item, kamu samain aku sama kodok. Awas ya, ta cubit nih ...! Toto mengejar Nita yang sudah kabur duluan sebelum Toto sempat mencubitnya. Ilustrasi di atas ini memperlihatkan beberapa hal yang dapat dikenali oleh kita sebagai istilah dan juga pernyataan. “Katak” dan “kodok” adalah dua istilah yang menjadi pokok pembicaraan dalam diskusi di atas. Sedangkan pernyataannya, dapat dibaca dalam:
Aku bingung nih kalo harus bedain.
Katak tuch yang badannya kurus, sedangkan kodok badannya gemuk.
Hmmm ... mungkin bener juga.
Aku tahunya cuma kulitnya itu totol, agak kasar, terus warna kulitnya agak gelap.
Kulitnya licin dan warna kulitnya agak terang.
Berarti kodok tuh mirip Toto dong. Pernyataan-pernyataan di atas dapat disebut sebagai pernyataan
39
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
informal atau tidak baku. Sebab, kalau kita mencoba untuk mengkategorikannya dalam format pernyataan yang sudah dibahas dalam bagian sebelumnya, tidak ada satu pernyataan di atas yang memenuhi pola pernyataannya. Apalagi dalam pernyataan terakhir, bagaimana mungkin Nita mengambil kesimpulan kalo Toto itu mirip dengan kodok? Ini adalah sebuah fallacy atau sesat pikir kalo kita menggunakan pola pikir yang logis. Namun, karena kita paham bahwa ini adalah suatu bentuk percandaan, maka kita tidak akan mempermasalahkannya dan hanya akan tersenyum saat membacanya. Dari cerita ini pula, kita sebenarnya dapat mengenali pula prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam proses pengolahan istilah selain definisi. Meskipun begitu, prinsip-prinsip ini sebenarnya juga dipakai dalam pembuatan definisi. Sehingga, dapat dikatakan, ini adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dalam proses pengolahan istilah secara umum. Lalu, kira-kira, apa saja sih prinsip dasar yang dimaksud? Prinsip dasar pertama adalah persamaan. Sesuatu hal dapat dikenali memiliki kemiripan dengan sesuatu yang lainnya karena ada persamaan di antara keduanya. Dalam contoh pembuatan definisi dengan predicable, kita telah mengetahui bahwa manusia dan kera memiliki persamaan di antara keduanya. Manusia dan kera sama-sama melahirkan dalam proses akhir perkembangbiakannya dan juga sama-sama menyusui dalam proses pembesaran anak-anaknya. Bila mengambil contoh pada cerita di atas, katak dan kodok juga memiliki persamaan. Di antara persamaan yang ada, katak dan kodok sama-sama memiliki kaki dengan selaput di antaranya, mampu hidup di dua alam (amfibia), dan memiliki lidah yang lentur untuk menangkap mangsanya. Setelah prinsip dasar pertama ini, prinsip dasar kedua yang dipakai adalah prinsip perbedaan. Apa yang berbeda dari yang dimiliki manusia dan kera seperti dibahas dalam definisi dengan predicable jelas merupakan contoh penerapan yang paling jelas dari prinsip ini. Hal yang sama juga dapat ditemui dalam contoh cerita di atas. Apa yang dibicarakan Nita dan Toto adalah perbedaan yang dapat dikenali oleh mereka berdua sehingga mereka dapat “memilah” katak dan kodok dengan baik. Untuk yang terakhir, prinsip dasarnya adalah prinsip keberhubungan. Sesuatu hal akan dapat diketahui dengan baik kalau kita dapat membandingkannya dengan hal lain. Tentunya, akan lebih baik lagi bila kita juga dapat mengenali hubungan antara sesuatu hal tersebut dengan sesuatu hal lainnya yang kita bandingkan itu. Kira-kira, contohnya bagaimana ya? Misalnya, dalam contoh definisi dengan predicable, kita telah
40
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
memperbandingkan manusia dan kera. Kita juga telah dapat mengenali persamaan dan perbedaannya. Lalu, apa yang dapat menghubungkan dua subjek ini? Dalam kondisi yang praktis, kita sering menggunakan persamaan untuk melihat hubungan di antara kedua hal yang sedang diperbandingkan, sebagaimana telah dilakukan dalam memperbandingkan manusia dan kera. Dari hal ini, kita akan mengatakan bahwa sesuatu itu “berhubungan” dengan sesuatu yang lainnya karena banyaknya persamaan yang keduanya miliki. Kalau kita mengenali perbedaannya terlalu jauh, kita seringkali mengatakan bahwa kedua hal tersebut tidak “berhubungan”. Tetapi, apakah benar seperti itu? Dalam banyak hal, kita ternyata tidak hanya memakai persamaan dalam menentukan hubungan sesuatu. Ini kita peroleh dalam contoh, hubungan antara kertas dan logam. Kertas dan logam tentu saja memiliki karakteristik yang berbeda dan cukup jauh untuk dipertautkan. Namun, ketika keduanya difungsikan sebagai “uang”, maka keduanya dapat dianggap sama, walaupun sangat berbeda dari jenis materi dan karakteristiknya. Pada akhirnya, secara umum, kita akan dapat memahami kalau tiga prinsip dasar ini saling mengisi satu sama lain atau saling melengkapi dalam membantu pemahaman kita atas berbagai hal. Pengetahuan manusia terutama bertumpu pada penggunaan tiga prinsip dasar ini dan terungkap melalui istilah dan pernyataan. Apa yang kita tahu tergambar dalam penjelasan kita terhadap sesuatu istilah dan sikap kita atas sesuatu tercermin dalam pernyataan yang kita buat seperti terdapat dalam contoh-contoh yang telah dikemukakan. Inilah elemen-elemen terpenting dari pengetahuan manusia.
41
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
ONTOLOGI ILMU
PENGERTIAN SINGKAT Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing masing mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan, atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris. Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris. Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak
42
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat universal. Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos (ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Setidaknya ada lima pengertian dasar mengenai apa itu “ontologi”. Pertama, ontologi merupakan studi tentang ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’ dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada dan menjadi, aktualitas dan potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagii eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada dan Berada dan juga menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan Ada. Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah cabang filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki bilangan, persepsi, dan pikiran?” dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang ada”. Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti “teori mengenai ada yang berada”. Oleh sebab itu, orang biasa menyebut ontologi dengan filsafat pertama-nya Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
43
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan “filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi. Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul. Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dengan demikian ontologi menanyakan sesuatu yang tidakserba tidak terkenal. Andaikata memang sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah akan dapat ditanyakan. Dalam ruang kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga, pra-pemahaman tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman kongkrit dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.
ASUMSI-ASUMSI ILMU Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
44
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme diketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental. Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan. Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik. Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang a priori diberangkatkan dari term tengah dihubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori diberangkatkan dari term tengah dihubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan. Anton Bakker (1992) menyebut ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya. Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada.
45
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia. Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang: 1) Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak. 2) Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu ? Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi diri hanya kepada bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti batubatuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam bidang penelaahan keilmuan tersebut. Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua,
46
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu mempunyai sifat deterministik. Namun demikian dalam determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
KARAKTERSITIK FILSAFAT ILMU Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang mendapat tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern memang sangat didorong oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas modern. Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung pengertian yang cukup komplek. Ilmu dalam bahasa inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’ (pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah ‘episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam , karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu sosial’. Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasabahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”. Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada banyak model dan cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat manusia. Jika kita lihat di sana akan ditemukan pengertian-pengertian Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme. Masing-masing mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja sebuah ilmu. Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebabmusabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang
47
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kepastian, kebenaran dan objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan berkembang.
BATAS-BATAS KERJA ILMU Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka. Pada prinsipnya ilmu sendiri dalam kehidupan manusia sebagai alat pembantu untuk bisa membongkar berbagai problem manusia dalam batas pengalamannya. Ilmu membatasi lingkup penjelajahan pada batas pengalaman manusia. Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah teruji kebenarannya secara empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan” dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan. Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah: •
Atas dasar apakah “sesuatu” itu dikatakan sebagai “ada”?
•
Jika “sesuatu” itu dikatakan “ada”, bagaimana cara mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas yang melekat pada “sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan teknologi informasi (IT). Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam ontologi: •
Apa yang dimaksud dengan “ada”?
48
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
•
Apakah “ada” memiliki sesuatu atau properti?
•
Jika “sesuatu” tersusun atas entitas, maka entitas manakah yang fundamental?
•
Bagaimana properti dari sebuah obyek dapat berhubungan dengan obyek tersebut?
•
Apa ciri yang paling penting dari sebuah obyek?
•
Jika “ada” memiliki tingkatan (level), berapa jumlah level yang dimiliki oleh sebuah “ada”?
•
Apa yang dimaksud dengan obyek fisik?
•
Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik itu dikatakan sebagai “ada”?
•
Apakah bukti yang dapat menyatakan bahwa suatu obyek fisik memiliki entitas atau unsur non-fisik?
KONSEP ONTOLOGI Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu: 1) Umum dan tertentu; 2) Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident); 3) Abstrak dan kongkrit; 4) Esensi dan eksistensi; 5) Determinisme dan indeterminisme 1. Umum (universal) dan Tertentu (particular) Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat dipisahkan atau disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi kualitas “berwarna hijau” atau “menjadi hijau”. Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya. 2. Substansi (substance) dan Ikutan (accident) Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
49
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles, “ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya: warna, tekstur, ukuran, bentuk dan sebagainya. 3. Abstrak dan Kongkrit Abstrak adalah obyek yang “tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi “ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide, permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah kongkrit). Kongkrit adalah obyek yang “ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia. 4. Esensi dan eksistensi Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi (existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera. 5. Determinisme dan indeterminisme Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian (termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian sebelumnya. Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap determinisme. Para penganut indeterminisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan (chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor yang dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity) dapat membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya.
50
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
EPISTEMOLOGI
MENGENAL EPISTEMOLOGI Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya. Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalanpersoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi mempunyai banyak sekali pemaknaan atau pengertian yang kadang sulit untuk dipahami. Dalam memberikan pemaknaan terhadap epistemologi, para ahli memiliki sudut pandang yang berbeda, sehingga memberikan pemaknaan yang berbeda ketika mengungkapkannya (Qomar, 2005: 2). Untuk lebih mudah dalam memahami epistemologi, maka perlu mengetahui pengertian dasarnya terlebih. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan atau ilmu). Ada juga yang mengatakan kalau logos berarti teori. Secara terminologi, epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan
51
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. Beberapa ahli yang mencoba mengungkapkan definisi epistemologi adalah Hardono Hadi (dalam Qomar, 2005: 3). Menurutnya epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Tokoh lain yang mencoba mendefinisikan epistemologi adalah D.W Hamlyin (dalam Qomar, 2005: 3), mengatakan bahwa epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaian serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan. Aristoteles mengartikan episteme sebagai suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan obyeknya sendiri yang tepat (The Liang Gie, 1991: 1). Jadi filsafat dan llmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dagobert D. Runes memaparkan bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas, sumber, struktur, metode-metode, dan validitas pengetahuan. Sedangkan menurut Azyumardi Azra, beliau menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Walaupun dari kedua pemaparan di atas terdapat sedikit perbedaan, namun keduanya memberikan pengertian yang sederhana dan relatif mudah di pahami. Am Syaifudin (dalam Qomar, 2005: 4) menyebutkan bahwa epistemologi mencakup pertanyaan dasar, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai manakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok, 1) masalah sumber ilmu dan 2) masalah benarnya ilmu. Masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran juga menjadi salah satu masalah utama filsafat. Apakah hakekat pengetahuan itu? Bagaimana kita (umat manusia) dapat memperoleh pengetahuan? Pandangan epistemologis antara lain akan menjawab bahwa pengetahuan manusia diperoleh lewat kerjasama antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Pengetahuan manusia tidak mungkin ada tanpa salah satunya, sehingga pengetahuan manusia selalu subyektif-obyektif atau obyektif-subyektif. Di sini
52
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
terjadi kemanunggalan antara subyek dan obyek. Subyek dapat mengetahui obyeknya, karena dalam dirinya memiliki kemampuan-kemampuan, khususnya kemampuan akali dan inderawinya. Dalam kenyataan, manusia dapat memperoleh pengetahuan lewat berbagai sumber atau sarana seperti: pengalaman inderawi dan pengalaman batin (external sense experience and internal sense experience); nalar (reason), baik melalui penalaran deduktif maupun induktif (deductive and inductive reasoning); intuisi (intuition); wahyu (revelation); keyakinan (faith), otoritas (authority), yaitu orang yang ahli dalam bidangnya; dan lewat tradisi dan pendapat umum (tradition and common-sense). (Thiroux, 1985: 478-483). Meskipun manusia dengan segala kemampuannya telah dan akan berupaya terus untuk mengetahui obyeknya secara total dan utuh, tetapi dalam kenyataan, manusia tidak mampu untuk merengkuh obyeknya secara total dan utuh. Apa yang diketahui manusia selalu saja ada yang tersisa. Dalam istilah ini, “ada segi tak terungkap dan pengetahuan manusia”, dengan kata lain, manusia hanya mampu mengetahui yang fenomenal saja, dan tidak mampu menjangkau yang noumenal. Hal inilah yang memicu munculnya anggapan bahwa pengetahuan manusia itu relatif. Relativitas pengetahuan manusia itu disebabkan sekurang-kurangnya karena keterbatasan kemampuan manusia sebagai subyek yang mengetahui, dan juga karena kompleksitas obyek yang diketahui.
MENGAPA EPISTEMOLOGI Epistemologi merupakan ilmu yang mempelajari dasar-dasar dan batasan pengetahuan. Oleh karena itu, jika pertarungan terjadi pada tataran epistemologi, maka bisa dipastikan aman-aman saja. Sebab pada tataran ini perdebatan masih di sekitar teori pengetahuan Namun, perkembangan kian rawan apabila dari epistemologi yang kemudian beranjak pada pandangan tentang alam ini melahirkan berbagai bentuk ideologi. Dan pada tataran ideologi inilah terjadinya puncak kerawanan, sebab ideologi menyangkut eksekusi atas deretan perintah dan larangan yang, sudah pasti, berbeda bahkan bertentangan antara satu ideologi dengan ideologi lainnya. Yang menjadi pertanyaan, mengapa mesti terjadi perdebatan, mengapa mesti terjadi perbedaan ideologi? Dan apakah ideologi yang dianut sudah berpangkal pada epistemologi yang benar? Murthada Muthaharri berupaya mengupas habis jawaban atas pertanyaan tersebut dan pertanyaanpertanyaan filosofis lainnya. Beliau merambah belantara epistemologi dengan menguraikan berbagai pandangan filsafat dari filosof Barat maupun Islam.
53
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Nilai dan pentingnya epistemologi menjadi kajian awal yang kemudian dilanjutkan dengan masalah ontologi. Lalu, kita diajak untuk memfungsikan alat-alat epistemologi berupa panca indera dan rasio, yang apabila satu indera saja tidak berfungsi maka hilanglah satu bentuk epistemologi, atau sebagaimana kata Aristoteles “hilanglah satu ilmu”. Puncak kajian yang teramat penting adalah melalui paparan epistemologinya ini, terbukti betapa rapuhnya ideologi-ideologi dunia saat ini dan betapa kokohnya ideologi yang lahir dari epistemologi Islam dan pandangan Islam tentang alam. Akhirnya, buku ini terasa lengkap karena disertai dalil dari Al-Qur'an dan hadis yang merupakan sumber kebenaran dari epistemologi, pandangan alam dan ideologi. Perdebatan tentang epistemologi adalah sesuatu yang diperdebatkan sepanjang sejarah karena epistemologi adalah hal yang sangat substansil dalam melakukan penilaian terhadap sesuatu, ada hal yang mendasar dalam diskusi-diskusi tentang epistemologi, yaitu perdebatan tentang apakah epistemologi yang lebih dulu ada dari ontologi ataukah ontologilah yang lebih dulu ada dari epistemologi. Para filosof yang bermazhab empirisme dalam membuktikan tentang kelebih-dahuluan epistemologi dari ontologi mengatakan bahwa epistemologilah yang yang lebih dulu ada, karena dia membuktikan lewat sebuah analisa pengetahuan yang sifatnya emperikal sementara filosof yang lain mengatakan bahwa ontologilah yang lebih dulu ada, dua hal ini kemudian yang memetakan antara aliran pemikiran yang bersifat materialistis dan aliran pemikiran yang bersifat metafisika, pada umumnya tokoh-tokoh filosof dibarat seperti, John Look, Thomas Hobbes, karl Marx dan David Home, mereka mengatakan bahwa epitemologilah yang lebih dulu ada dari pada ontologi, namun ada pertanyaan yang bisa diajukan kepada mereka: 1. Bagaimana caranya mereka bisa mengetahui sesuatu itu ada tanpa adanya realitas. 2. Apakah keberadaan sesuatu itu karena kita memberikan konsepsi kepada sesuatu itu, ataukah memang dia mempunyai keberadaan tanpa kita memberikan penilaian bahwa dia itu mempunyai keberadaan. Jawaban dari pertanyaan di atas akan memberikan gambaran kepada kita bahwa apakah realitas itu ada tanpa kita memberikan penilaian keberadaan terhadap keberadaannya. Mazhab berpikir empirisme mengatakan bahwa untuk membuktikan sesuatu itu ada maka kita memerlukan pengetahuan atau epistemologi sebagai sumber dari pengetahuan kita sehingga kita bisa mengatakan dia ada atau tidak ada karena kita punya pengetahuan tentangnya,
54
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
namun pertanyaan kemudian yang diajukan kepada kaum emperik adalah dari mana pengetahuan itu bisa ada kalau tidak ada realitas yang lebih dulu ada, ini adalah menjadi problem dalam sebuah sains atau pengetahuan yang berdiri di atas pijakan yang empirisme terutama yang dibangun di Eropa terutama pasca Fransisco Bacon. Mazhab Metafisika mencoba menjawab, bahwa ontologilah yang lebih dulu mempunyai keberadaan, karena tanpa realitas maka mustahil kita bisa mengetahui sesuatu, dan sesuatu itu akan tetap mempunyai keberadaan tanpa kita secara subyektif memberikan penilaian tentang keberadaannya, seperti keberadaan bulan dan bintang adalah sesuatu yang niscaya adanya tanpa kita memberikan penilaian bahwa dia ada atau tidak, karena memang pada kenyataannya dia memang sudah mempunyai keberadaan. Dalam Epistemologi diantaranya:
terdiri
dari
beberapa
mazhab
pemikiran
1. Mazhab Empirisme Adapun doktrin dan landasan penilaiannya adalah sesuai dengan pengalaman, bahwa sesuatu hanya dikatakan benar ketika dia bersifat material sehingga keberadaan Tuhan dan yang bersifat non emperik mereka tolak, tokoh-tokohnya antara lain seperti karl Marx, David Home dan John Look, mereka mengatakan bahwa ukuran kebenaran adanya sesuatu harus bisa dibuktikan secara empirik lewat penelitian dan bisa dibuktikan secara ilmiah, padahal kerangka berpikir yang seperti ini akan membawa kita kepada paradigma yang meniadakan keberadaan sesuatu yang bersifat non emperik yang tidak bisa diinderai, dan sebuah konsekwensi logis bila kita memakai prinsip berpikir seperti ini (kerangka berpikir ilmiah), maka kita akan meniadakan Tuhan dan hal-hal yang bersifat metafisika. Ada beberapa pertanyaan yang penulis ingin ajukan kepada kaum emperikal yaitu: 1) kalau memang hanya dengan pengalaman kita bisa mengetahui sesuatu maka bagaimana kita bisa meyakini bahwa segi tiga tidak sama dengan segi empat, sedangkan kita tidak mempunyai pengalaman akan hal itu dan belum pernah melihat secara inderawi. 2. Apakah dengan pengalaman bisa membawa kita kepada sebuah prinsip yang niscaya kebenarannya yang tidak perlu dibuktikan lagi dengan pengalaman. Dari dua pertanyaan di atas penulis mengira cukup mewakili untuk menguji validitas kebenaran mazhab berpikir emperikal tanpa merasa untuk menghakimi kaum empirisme, namun penulis hanya ingin mengatakan bahwa
55
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
empirisme bukanlah landasan penilaian dalam menilai sesuatu tapi dia lebih cenderung hanya sebagai methodologi dalam mengumpulkan data-data dalam mengambil keputusan yang bersifat emperikal tanpa harus meniadakan bahwa hal yang sifatnya tidak material juga mempunyai keberadaan hanya saja keterbatasan indera dalam melihat realitas tersebut. Jika kaum empirisme menjawab pertanyaan pertama bahwa itu berdasarkan pengalaman, maka itu akan membawa mereka kepada kesalahan yang fatal, dan ketika mereka menjawab karena itu rasional, maka dengan sendirinya mereka telah menggugurkan prinsip berpikir mereka, karena ukuran kebenaran dan rasional bukan karena berdasarkan inderawi saja tapi ukuran kebenaran dan rasional sesuatu karena memang dia rasional dan mempunyai nilai kebenaran itu sendiri sebagaimana tersebut di atas bahwa kita tidak pernah melihat segi tiga tidak sama dengan segi empat, akan tetapi kita bisa memberikan penilaian tanpa harus didahului pengalam inderawi untuk melihat hal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip yang sifatnya niscaya lagi rasional, bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya dan tidak mungkin sesuatu itu menjadi bukan dirinya karena dia mustahil keluar dari kediriannya, dalam artian bahwa sesuatu itu terbatas dalam wujud kediriannya. Pertanyaan yang kedua adalah pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh orang yang mempunyai landasan penilaian yang bedasarkan empirisme karena bagaimanapun pengalaman sifatnya terbatas oleh ruang dan waktu, dan jika seandainya mereka menjawab bahwa pengalamanlah yang akan menentukan penilaian kebenaran dan bisa membawa kita kepada suatu kebenaran yang sifatnya niscaya, maka ini adalah sesuatu yang kontradiksi dari prinsip mereka sendiri, dimana mereka mengatakan bahwa pengalaman adalah ukuran dalam menilai sesuatu, sementara kebenaran yang berdasarkan pada pengalaman akan selalu mengalami perubahan dan tidak menutup kemungkinan mengandung kesalahan didalam mengambil kesimpulan, dimana kesimpulannya kemunginan benar, dan mungkin juga salah, yang menjadi masalah adalah apakah manusia mempunyai keinginan untuk mengambil suatu keyakinan yang sifatnya relatif, ini adalah sesuatu yang mustahil karena manusia selalu merindukan kebenaran yang sifatnya pasti apalagi berkaitan dengan keyakinan dan prinsip hidup. Ini adalah beberapa kelemahan dalam Mazhab Empirisme (Kerangka berpikir ilmiah), akan tetapi, tidak bermaksud menghilangkan metode berpikir ilmiah, hanya menempatkan pada wilayah yang proporsional, bahwa doktrin empirisme dan pengalaman lebih cenderung pada wilayah metodologi penelitian dalam pengumpulan data-data yang bersifat empirik, bukan menjadi suatu landasan penilaian yang akan membawa pada pemahaman yang sifatnya niscaya lagi rasional, karena
56
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
pengalaman sendiri masih perlu diuji oleh pengalaman berikutnya, begitulah seterusnya pengalaman menguji pengalaman dan akan menghasilkan kebenaran relatif. 2. Mazhab Skriptualisme Mazhab berpikir skriptualisme mempunyai landasan penilaian berdasarkan teks atau wahyu (kitab suci), bahwa hanya dengan wahyu-lah kita bisa memberikan penilaian terhadap sebuah realitas dan dengan wahyu pulalah kita bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar dan salah, tanpa wahyu maka mustahil kita bisa memberikan sebuah penilaian.
SUMBER PENGETAHUAN Baik logika deduktif maupun induktif, dalam proses penalarannya tentu menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan “bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar?”. Pada dasarnya ada dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yakni dengan mendasarkan diri kepada rasio (rasionalisme) dan mendasarkan diri kepada pengalaman/fakta/empiri (empirisme). Seorang filsuf yang dikenal sebagai “bapak filsafat modern”, Cartesius alias Rene Descartes (1596-1650), pernah mengatakan “De omnibus dubitandum!” (Segala sesuatu itu harus diragukan). Namun segala yang ada dalam hidup ini, biasanya dimulai dengan meragukan sesuatu. Bahkan Hamlet, si peragu, yang berseru kepada Ophelia : Doubt thou the stars are fire, Doubt the sun doth move, Doubt truth to be a liar, But never doubt I love. -------------------------------------Ragukan bahwa bintang-bintang itu api, Ragukan bahwa matahari itu bergerak, Ragukan bahwa kebenaran itu dusta, Tapi jangan ragukan cintaku!
57
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Secara umum ada empat cara mendasar bagi manusia dalam mendapatkan pengetahuan yang benar, yaitu: 1) mendasarkan diri kepada rasio. 2) mendasarkan diri kepada pengalaman/empiri, 3) intuisi (intuition), dan 4) dan wahyu (revelation). Kendatipun sampai sejauh ini pengetahuan yang didapatkan manusia secara rasional dan maupun secara empiris, keduanya juga merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran. Paham yang mendasarkan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan adalah rasionalisme. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula. Dicari dengan akal itulah dicari dengan berfikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis benar; bila tidak salah. Dengan akal inilah aturan untuk manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal (Tafsir, 2004: 30-31). Teori rasionalis adalah teori para filosof Eropa seperti Descartes (15961650) dan Immanuel Kant (1724-1804) dan lain-lain. Teori-teori tersebut terangkum dalam kepercayaan adanya dua sumber bagi konsepsi. Pertama, penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsikan panas, cahaya, rasa, dan suara karena penginderaan kita terhadap semua itu. Kedua, fitriah, dalam arti bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitriah. Jiwa menggali gagasan tertentu dari dirinya sendiri (Baqir Ash-Shadr, Muhammad, 1994: 28-29). Menurut Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 31) ada penafsiran lain tentang teori rasionalisme adalah bahwa gagasan-gagasan fitri itu ada dalam jiwa secara potensial. Ia mendapatkan sifat fitri bukan bersumber dari indera. Tetapi ia dikandung oleh jiwa tanpa disadarinya. Meskipun demikian, dengan integrasi jiwa, ia menjadi pengetahuan dan informasi yang kita ingat kembali, lantas bangkit secara baru sama sekali, setelah sebelumnya ia tersembunyi dan ada secara potensial. Selanjutnya Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 37) mengatakan dalam pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua , pertama, pengetahuan yang mesti, yaitu bahwa akal mesti mengakui suatu proporsi tertentu tanpa mencari dalil atau bukti kebenarannya. Akal, secara alami mesti mencarinya, tanpa bukti dan penetapan apapun, kedua, informasi dari pengetahuan teoritis, akal tidak akan mempercayainya kebenaran beberapa proporsi, kecuali dengan pengetahuanpengetahuan pendahulu. Dalam menyusun pengetahuannya, kaum rasionalis menggunakan metode deduktif. Premis yang dipakai dalam penalarannya, didapatkan dari
58
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
ide-ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide-ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pemikiran manusia. Prinsip itu sendiri jauh sudah ada sebalum manusia memikirkannya. Akhirnya paham semacam ini kita kenal sebagai paham Idealisme. Bagi mereka, fungsi pikiran manusia itu hanyalah mengenai prinsipprinsip tersebut, yang kemudian menjadi dasar pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori, dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman/empiri tidaklah membuahkan prinsip. Dan justru malah sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapatkan lewat penalaran rasional itulah, maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa ide-ide dalam kaum rasionalis ini adalah bersifat apriori. dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia melalui penalaran rasional. Masalah utama yang timbul dari cara berpikir seperti ini adalah mengenai “kriteria” untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya, namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali tidak sama dengan sistem pengatahuan si A, karena si B menggunakan ide lain, yang mungkin bagi si B memang merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis ini adalah “evaluasi” dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Sebab premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terhindar dari pengalaman (empiris), maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, maka melalui penalaran rasional akan didapatkan berbagai macam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini, maka pemikiran rasional itu cenderung untuk bersifat subyektif dan solipsistik (hanya benar menurut kerangka pemikiran tertentu dalam benak orang yang berpikir tersebut). Berbeda dengan kaum rasionalis, kaum empiris menggunakan metode induktif dalam menyusun pengetahuannya. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang bersifat abstrak, tetapi lewat fakta/pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut kaum empiris ini, adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat tangkapan panca-indera manusia. Empiris berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman. Apabila bila dikembalikan kepada kata
59
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya. Tokoh-tokoh pengusung empirisme yang terkenal adalah John Locke (16321704), George Barkeley(1685-1753) dan David Hume. Gejala-gejala tersebut kalau kita telaah lebih dalam, mempunyai beberapa karakteristik tertentu, misalnya saja: terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu; suatu benda padat akan memanjang kalau dipanaskan; langit mendung diikuti turunnya air hujan. Demikian seterusnya, dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu, kita melihat adanya karakteristik lain, yakni adanya “kesamaan” dan “pengulangan”, misalnya : bermacam-macam logam kalau kita panaskan maka akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk dapat melakukan suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan menggunakan metode induktif, maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual (survival). Teori empirikal mengatakan bahwa penginderaan adalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasangagasan dan (bahwa potensi mental akal budi) adalah potensi yang tercermin dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi, ketika kita mengindera sesuatu, kita dapat memiliki suatu konsepsi tentangnya -yakni menangkap form dari sesuatu itu dalam akal-budi kita. Adapun gagasan yang tidak terjangkau oleh indera, tidak dapat diciptakan oleh jiwa, tak pula dapat dibangunnya secara esensial dan dalam bentuk yang berdiri sendiri (Baqir Ash-Shadr, 1994: 32). Selanjutnya Muhammad Baqir Ash-Shadr (1994: 32), mengatakan akal budi, berdasarkan teori ini, hanyalah mengelola konsepsi-konsepsi gagasan inderawi. Hal itu dilakukannya dengan menyusun konsepsi-konsepsi tersebut atau membaginya. Dengan begitu ia mengkonsepsikan sebungkah gunung emas atau membagi-bagi pohon kepada potongan-potongan dan bagianbagian atau dengan abstraksi dan universalisasi. Misalnya dengan memisahkan sifat-sifat dari bentuk itu, dan mengabstraksikan bentuk itu dari sifat-sifatnya yang tertentu agar darinya akal dapat membentuk suatu gagasan universal. Jadi, langkah pertama dalam proses mendapat pengetahuan adalah hubungan primer dengan lingkungan luar—inilah tahap penginderaan. Langkah kedua, adalah akumulasi –yakni pengurutan dan pengorganisasian— semua pengetahuan yang telah kita dapatkan persepsi-persepsi inderawi (Baqir Ash-Shadr, 1994: 33).
60
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini, adalah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten, dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan mengenai berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis. Seperti dikatakan Harold A. Larrabee dalam bukunya, Reliable Knowledge, “....kecuali kalau dia hanya seorang kolektor barang-barang serba aneka....”. Lebih jauh Albert Einstein dalam bukunya, Physic and Reality mengingatkan bahwa ”tak ada metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu...”. Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata, karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera manusia. Di samping Rasionalisme dan Empirisme, masih ada cara lain untuk mendapatkan pengetahuan. Yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi dan wahyu. Kendatipun sampai sejauh ini pengetahuan yang didapatkan manusia secara rasional dan maupun secara empiris, keduanya juga merupakan induk produk dari sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan salah satu sumber pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Misalnya, seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah, tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahannya tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku, tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang dipikikannya, muncul dalam benaknya, bagaikan kebenaran yang menemukan pintu. Atau bisa juga dikatakan, intuisi ini bekerja dalam suatu keadaan yang tidak sepenuhnya sadar (tetapi bukan mabuk). Artinya, jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak ada waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita pikirkan, yang kemudian kita tunda (pending) karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dalam benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Lalu kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang sedang kita cari, namun kita tidak bisa (belum bisa) menjelaskan bagaiman caranya kita sampai ke sana. Intuisi biasanya bersifat personal dan tidak bisa diramalkan atau direkareka. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur, maka intuisi ini tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Namun pengetahuan intuitif ini bisa juga digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar atau tidaknya pernyataan-pernyataan yang telah kita kemukakan. Bagi
61
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience) sedangkan bagi Nietzchen intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi. Menurut Henry Bergson (dalam A. Tafsir, 2004: 27) intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Instuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, akal dan indera hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangka instuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap. Ada sebuah aliran yang mengedepankan intuisi dalam pandangannya, yaitu ilumirasionisme. Aliran ini berkembang dikalangan tokoh agama, yang didalam agama Islam disebut Ma’rifah, yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. Pengetahuan tersebut akan dieroleh oleh orang yang hatinya telah bersih, telah siap, dan telah sanggup menerima pengetahuan tersebut. Selanjutnya menurut Amsal Bakhtiar (2005: 108-109) kemampuan menerima secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan (riyadhah). Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat dan Tasawuf. Konon kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati. Adapun perbedaan antara intuisis dengan ma’rifat dalam filsafat Barat dalam Islam adalah kalau intuisi diperoleh lewat perenungan dan pemikiran yang konsisten, sedangkan dalam Islam ma’rifat diperoleh lewat perenungan dan penyinaran (Baharuddin Salam, 2000: 132). Pengetahuan dan pencerahan ini dapat dianggap sebagai sumber pengetahuan. Sebab, jika pengetahuan korespondensi melibatkan objek diluar dirinya, maka pengetahuan dengan pencerahan menyadarkan bahwa pengetahuan yang luas harus didahului dengan pengetahuan tentang dirinya sendiri (H.A Mustafa, 1997: 106). Wahyu merupakan salah satu sumber pengetahuan yang disampaikan Tuhan kepada manusia melalui makhluk-makhluk pilihan-Nya (para nabi dan rasul). Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa susah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.
62
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan yang berasal dari nabi (Mustafa, 1997: 106). Agama merupakan sumber pengetahuan yang bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman (empiris), namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transedental seperti latar belakang penciptaan manusia, tentang kehidupan kemudian di akhirat nanti, dan sebagainya.. Pengetahuan semacam ini, mutlak didasarkan kepada kepercayaan kita terhadap hal-hal yang bersifat ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, keselamatan, ketenangan jiwa, dan sebagainya. Kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan itu biasanya harus dipercaya dulu untuk dapat diterima, pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji dengan metode lain. Misalnya: Secara rasional dapat dikaji apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Dengan kata lain, agama dimulai dengan rasa percaya, dan dengan melalui pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat (bertambah) atau bahkan menurun (berkurang).
PROSES MEMPEROLEH PENGETAHUAN Proses terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi karena jawaban terhadap terjadinya pengetahuan akan membuat seseorang paham filsafatnya. Terjadinya pengetahuan dapat bersifat: 1) a priori, yang berarti pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin; 2) a posteriori, yakni pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan ini bertumpu pada kenyataan objektif. Ada enam hal yang merupakan alat untuk mengetahui proses terjadinya pengetahuan menurut John Hospes, yaitu:
63
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
a. Pengalaman Indera (Sense Experience) Dalam filsafat, paham yang menekankan pada kenyataan disebut realisme, yaitu paham yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah hanya kenyataan. Jadi ilmu berawal mula dari kenyataan yang dalam diserap oleh indera. Aristoteles adalah tokoh yang pertama mengemukakan pandangan ini, yang berpendapat bahwa ilmu terjadi bila subjek diubah dibawah pengaruh objek. Objek masuk dalam diri subjek melalui persepsi indera (sensasi). b. Nalar (Reason) Nalar adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. c. Otoritas (Authority) Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber ilmu karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang memiliki kewibawaan dalam pengetahuannya. Jadi ilmu pengetahuan yang terjadi karena adanya otoritas adalah ilmu yang terjadi melalui wibawa seseorang hingga orang lain mempunyai pengetahuan. d. Intuisi (Intuition) Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus yang mampu membuat pernyataan yang berupa ilmu. Karena ilmu yang diperoleh melalui intuisi muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu, maka tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan. e. Wahyu (Revelation) Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan umatnya. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena manusia mengenal sesuatu melalui kepercayaannya. f. Keyakinan (Faith) Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara wahyu dan keyakinan hampir tidak dapat dibedakan karena keduanya menggunakan
64
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kepercayaan, perbedaannya adalah bahwa keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatic diikutinya adalah peraturan berupa agama, sedang keyakinan adalah kemampuan jiwa manusia yang merupakan pematangan (maturation) dari kepercayaan.
JENIS-JENIS PENGETAHUAN Menurut Burhanuddin Salam (1983), pengetahuan dibagi menjadi empat, yaitu: 1) Pengetahuan biasa (common sense). 2) Pengetahuan ilmiah atau ilmu. 3) Pengetahuan filsafat. 4) Pengetahuan agama. Pengetahuan biasa merupakan pengetahuan yang digunakan terutama untuk kehidupan sehari-hari, tanpa mengetahui seluk beluk yang sedalamdalamnya dan seluas-luasnya. Contoh, seseorang yang dulunya belum tahu tentang cara belajar melalui e-learning, dan setelah melalui suatu proses seseorang tahu tentang e-learning, maka orang tersebut disebut memiliki pengetahuan biasa. Dalam bahasa lain disebut sebagai pengetahuan yang dimiliki dengan kadar sekedar tahu. Memenuhi faktor ketidaktahuannya. Pengetahuan ilmiah atau Ilmu, diperoleh dengan cara khusus, bukan hanya untuk digunakan saja tetapi ingin mengetahui lebih dalam dan luas mengetahui kebenarannya, tetapi masih berkisar pada pengalaman. Pengetahuan ilmiah atau il\mu (science) pada dasarnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan sehari-hari yang dilanjutkan dengan suatu pemikiran cermat dan seksama dengan menggunakan berbagai metode. Dari pengetahuan tentang e-learning pendidikan yang sekedar tahu, kemudian menggunakan beberapa langkah dan metode yang jelas untuk mengetahui lebih dari sekedar tahu, dan dilakukan secara sistematis maka orang yang mengetahui dan memahami secara mendalam tentang e-learning pendidikan disebut sebagai pengetahuan ilmiah tentang e-learning. Dalam batasan ini, seseorang yang memiliki pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan, maka semua proses yang dilewatinya jika dilakukan oleh orang lain akan memiliki pengetahuan yang sama dengan yang dimilikinya (syarat ilmiah). Sebagian yang mendefinisikan pengetahuan sebagai sebuah ilmu. Ilmu merupakan suatu metode berfikir secara objektif yang bertujuan untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap gejala dan fakta melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Ilmu harus bersifat objektif, karena dimulai dari fakta, menyampingkan sifat kedirian, mengutamakan pemikiran logik dan netral.
65
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Pengetahuan filsafat, pengetahuan yang tidak mengenal batas, sehingga yang dicari adalah sebab-sebab yang paling dalam dan hakiki sampai di luar dan mengatasi pengalaman biasa. Pengetahuan Filsafat biasanya berkenaan dengan hakikat sesuatu (transenden) sehingga kadang perbincangannya seputar hal-hal yang abstrak terhadap bangunan sebuah pengetahuan. Objek pembahasannya selalu mengedepankan aspek logika, ontologi, epistimologi dan aksiologi. Pengetahuan agama, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari Tuhan lewat rasul-Nya dan diyakini kebenarannya. Menurut Soemargono (1983), pengetahuan dibagi menjadi: 1) Pengetahuan non ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan caracara yang tidak termasuk ilmiah. Biasanya berupa pengetahuan yang diperoleh dari alat panca indera, atau pengembangan dari pemikiran, atau dari intuisi. 2) Pengetahuan ilmiah, biasanya disebut ilmu yang merupakan hasil pemahaman manusia dengan menggunakan metode ilmiah. Sedangkan Aristoteles membagi pengetahuan menjadi tiga yaitu: 1) Pengetahuan produksi (seni). 2) Pengetahuan praktis (etika, ekonomi, politik), dan 3) Pengetahuan teoritis (fisika, matematika dan metafisika).
KEBENARAN PENGETAHUAN Istilah “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement (Mintaredja, 1983: 135). Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai obyek. Jadi, kebenran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran (Susanto, 2011: 85). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah: -
Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya: kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan.
66
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
-
Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya: kebenaran-kebenaran yang diajarkan agama.
-
Kejujuran, kelurusan hati, misalnya: tidak ada seorangpun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
-
Selalu izin, perkenaan, misalnya: dengan kebenaran yang dipertuan.
-
Jalan kebetulan, misalnya: penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.
Terdapat bermacam kategori atau tingkatan dalam arti kebenaran ini, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memilki persepsi dan pengetahuan yang amat berbeda satu dengan yang lainnya. Pertama, Kebenaran yang berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya semua pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dititik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Dengan demikian tingkatan pengetahuan adalah: 1. Pengetahuan yang memiliki sifat subjektif, artinya sangat terikat pada subjek yang mengenal. 2. Pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran metodologi yang khas pula. 3. Pengetahuan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati. 4. Kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Kedua, Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan penginderaan atau sense experience, atau akal pikir atau rasio, intuisi, atau keyakinan. Jenis pengetahuan menurut ini terdiri atas: 1) Pengetahuan indrawi; 2) Pengetahuan akal budi; 3) Pengetahuan intuitif; dan 4) Pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif. Ketiga, kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu, artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif. Atau jika objek sangat
67
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
berperan, maka sifatnya menjadi objektif (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007: 137). Selanjutnya, berkaitan dengan kebenaran perlu juga dikemukakan bahwa ukuran kebenaran dalam filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan logis saja, maka ukuran kebenarannya adalah logis tidaknya penegtahuan itu. Bila logis maka dia pandang benar, dan bila tidak logis maka salah. Sementara itu dalam ilmu bersifat logis empiris
TEORI KEBENARAN Dalam perkembangan pemikiran filsafat, perbincangan tentang kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aritoteles. Sebagaimana dikemukakan oleh filsuf abad XX Jaspers sebagaimana yang dikutip oleh Hamersma (1985) mengemukakan bahwa sebenarnya para pemikir sekarang ini hanya melengkapi dan menyempurnakan filsafat Plato dan Aritoteles (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2007: 138). Teori kebenaran itu selalu pararel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori pengetahuan itu terdiri atas: 1. Teori Korespondensi (Theory of Corespondence) Teori Korespondensi berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Kebenaran ini seutuhya berpangkal dari keadaan/kenyataan alam yang ada yang dapat dibuktikan secara inderawi oleh responden. Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan tersebut mempunyai hubungan dengan suatu kenyataan yang memang benar. Teori ini didasarkan pada fakta empiris sehingga pengetahuan tersebut benar apabila ada fakta-fakta yang mendukung bahwa pengetahuan tersebut benar. Dengan demikian kebenaran di sini didasarkan pada kesimpulan induktif. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran tradisional karena sejak awal (sebelum abad Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya. Hal ini dapat diartikan bahwa teori yang diterapkan atau dikemukakan tidak boleh
68
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
bersimpangan/berseberangan dengan kenyataan yang menjadi objek. Teori ini juga dapat diartikan, bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta, keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. Sebagai contoh, jika seorang menyatakan bahwa “Jakarta adalah Ibu Kota Negara Indonesia”, pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut berkoresponden , memang menjadi Ibu Kota Negara Indonesia. Sekiranya ada orang yang menyatakan bahwa “Ibu Kota Indonesia adalah Garut”, maka pernyataan itu tidak benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut. Dalam teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada objek/bidang non-empiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya. Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek. Dalam teori ini terdapat tiga kesulitan dalam menentukan kebenaran yang disebabkan karena: a. Teori korespondensi memberikan gambaran yang menyesatkan dan yang terlalu sederhana mengenai bagaimana kita menentukan suatu kebenaran atau kekeliruan dari suatu pernyataan. Bahkan seseorang dapat menolak pernyataan sebagai sesuatu yang benar didasarkan dari suatu latar belakang kepercayaannya masing-masing. b. Teori korespondensi bekerja dengan idea, “bahwa dalam mengukur suatu kebenaran kita harus melihat setiap pernyataan satu persatu, apakah pernyataan tersebut berhubungan dengan realitasnya atau tidak.” Lalu bagaimana jika kita tidak mengetahui realitasnya? Bagaimanapun hal itu sulit untuk dilakukan. c. Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi sehingga apa yang dijadikan sebagai sebuah kebenaran tidak sesuai dengan apa yang ada di alam. Sebuah ketelitian dan kesigapan dalam menentukan sebuah kebenaran dalam menentukan teori kebenaran koresponensi sangat diutamakan, sebab untuk menghindari kesalahan yang terjadi atas tiga hal tersebut. Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui/menguasai realitas yang ada dan cermat.
69
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
2. Teori Koherensi (Theory of Coherence) Teori Koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy “...suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan prosisi-prosisi lain yang benar, ata jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita”. Teori kebenaran koherensi ini biasa disebut juga dengan teori konsistensi. Pengertian dari teori kebenaran koherensi ini adalah teori kebenaran yang mendasarkan suatu kebenaran pada adanya kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya. Teori ini juga dapat diartikan, sebagai suatu pernyataan yang dianggap benar kalau pernyataan tersebut koheran dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya. Jadi, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada dan benar adanya. Contohnya, bila kita beranggapan bahwa semua manusia akan mati adalah pernyataan yang selama ini memang benar adanya (Susanto, 2011: 86). Jika Kabayan adalah manusia, maka pernyataan bahwa Kabayan pasti akan mati, merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan yang kedua konsisten dengan pernyataan yang pertama. Teori kebenaran koherensi ini digunakan sebagai sebuah pesan/penarik kepada umum supaya perhatiannya tertuju pada satu titik atau dengar arti lain, teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataanpernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini, suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan tersebut kohoren dengan pengetahuan yang ada sebelumnya dan sudah dibuktikan kebenarannya. Di dalam pembelajaran matematika hal ini biasanya disebut dengan sifat deduktif.
70
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
A.C Ewing (1951: 62) menulis tentang teori koherensi, ia mengatakan bahwa koherensi yang sempurna merupakan suatu idel yang tak dapat dicapai, akan tetapi pendapat-pendapat dapat dipertimbangkan menurut jaraknya dari ideal tersebut. Sebagaimana pendekatan dalam aritmatik, dimana pernyataan-pernyataan terjalin sangat teratur sehingga tiap pernyataan timbul dengan sendirinya dari pernyataan tanpa berkontradiksi dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Jika kita menganggap bahwa 2+2=5, maka tanpa melakukan kesalahan lebih lanjut, dapat ditarik kesimpulan yang menyalahi tiap kebenaran aritmatik tentang angka apa saja. Teori ini punya banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi (nujum/perbintangan) mempunyai sistem yang sangat koheren, tetapi kita tidak menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataanpernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya. Dua masalah yang didapatkan dari teori koherensi adalah: a. Pernyataan yang tidak koheren (melekat satu sama lain) secara otomatis tidak tergolong kepada suatu kebenaran, namun pernyataan yang koheren juga tidak otomatis tergolong kepada suatu kebenaran. Misalnya saja diantara pernyataan “anakku mengacak-acak pekerjaanku” dan “anjingku mengacak-acak pekerjaanku” adalah sesuatu yang sulit untuk diputuskan mana yang merupakan kebenaran, jika hanya dipertimbangkan dari teori koherensi saja. Misalnya lagi, seseorang yang berkata, “ Sundel Bolong telah mengacak-acak pekerjaan saya!”, akan dianggap salah oleh saya karena tidak konsisten dengan kepercayaan saya. b. Sama halnya dalam mengecek apakah setiap pernyataan berhubungan dengan realitasnya, kita juga tidak akan mampu mengecek apakah ada koherensi diantara semua pernyataan yang benar. Dua masalah ini lahir karena adanya pertentangan keyakinan, moral maupun ketidak sanggupan untuk mengecek sebuah pernyataan yang sudah dilontarkan dengan keadaan lapangan atau hal yang dialami sehingga tingkat konsistensinya rendah bahkan berat untuk dipertanggungjawabkan.
71
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
3. Teori Pragmatis (Theory of Pragmatism) Istilah Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu pragma, artinya yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan, tindakan atau perbuatan. Paham pragmatik sesungguhnya merupakan pandangan filsafat kontemporer karena paham ini baru berkembang pada akhir abad XIX dan awal abad XX oleh tiga filsuf Amerika yaitu C.S Pierce, Wiliam James, dan John Dewey. Menurut paham ini White (1978) lebih lanjut menyatakan bahwa: “... an idea –a term used loosly by these philosophers to cover any "opinion, belif, statement, or what not"--is an instrument with a paticuler function. A true ideas is one which fulfills its function, which works; a false ideas is one does not.” Pragmatik atau Pragmatisme adalah ajaran mengenai pengertian, a theory of meaning, ajaran mengenai pengertian, secara pragmatik di definisikan sebagai berikut: “Jika saya bertindak pada objek A, Tindakan itu dilaksanakan dengan cara X, Maka panca indera saya akan mengalami Y.” Jika kita terapkan definisi di atas, dengan menyebut objek A dalam bentuk istilah atau nama, katakanlah “pohon”. Maka rumus itu akan menjadi: “Jika saya memegang batang pohon, maka saya akan merasakan sesuatu yang kasar atau keras”. Andaikata peristiwa terjadi pada cuaca panas: “Jika saya berdiri di bawah pohon, maka saya akan merasakan keteduhan”. Maka pragmatisme merupakan ajaran tentang pengertian, ialah pengertian suatu istilah yang terjadi oleh karena sikap dan pengalaman (Bawingan, 1981: 101). Ada tiga patokan yang disetujui aliran pragmatik yaitu: 1) Menolak segala intelektualisme; 2) Aktualisme; dan 3) Meremehkan logika formal. Jadi menurut pandangan teori ini bahwa suatu proposisi bernilai benar bila proposisi ini mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri. Karena setiap pernyataan selalu selalu terikat pada hal-hal yang bersifat praktis, maka tiada kebenaran yang bersifat mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal, sebab pengalaman itu berjalan terus dan segala yang dianggap benar dalam perkembangannya pengalaman itu senatiasa berubah. Hal itu karena
72
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
dalam praktiknya apa yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Atau dengan kata lain bahwa suatu pengertian itu tak pernah benar melainkan hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat dimanfaatkan praktis. Menurut teori ini, pengetahuan dikatakan benar apabila pengetahuan tersebut terlihat secara praktis benar atau memiliki sifat kepraktisan yang benar. Pengikut teori ini berpendapat bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai kegunaan yang praktis. Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa suatu proposisi benar dilihat dari realisasi proposisi itu. Jadi, benar-tidaknya tergantung pada konsekuensi, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Satu-satunya yang dijadikan acuan bagi kaum pragmatis ini untuk menyebut sesuatu sebagai kebenaran ialah jika sesuatu itu bermanfaat atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Karena istilah “berguna” atau “fungsional” itu sendiri masih samar-samar, teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. 4. Teori Kebenaran Struktural Paradigmatik Teori ini banyak dikembangkan oleh beberapa ilmuwan antaranya adalah Thomas Kuhn. Khun menampilkan konsep rekontruksi rasional. Khun mensinyalir kebanyakan ilmuwan hanya menampilkan ilmu pada dataran mozaik saja, belum menjangkau dataran rekontruksi rasional menjadi suatu pradigma. Menurut teori struktular paradigmatik ini, bahwa suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oleh Kuhn atau dalam istilah Sardar disebut world view. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama.
73
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
5. Teori kebenaran Performatik Teori ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Sederhananya teori kebenaran performatif adalah mereka melawan teori klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan deskriptif jika suatu pernyatan benar kalau ia menerapkan realitas. Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanah kualitas atau sifat sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatik). Untuk menyatakan suatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju, menerima, atau membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian, tindakan performatik tidak berhubungan dengan diskripsi benar atau salah dari sebuah keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat diaktualisasikan dalam tindakan. 6. Teori Kebenaran Proposisi Diantara tokoh dari teori ini adalah Pranaka (1987) yang mengelompokkan kebenaran ini kedalam tiga jenis kebenaran, yaitu; 1) kebenaran epistemologikal 2) kebenaran ontologikal 3) kebenaran yang dalam Lincoln & Guba (1985) mengungkapkan empat jenis kebenaran yang berbeda, yaitu: 1) kebenaran empiris 2) kebenaran logis 3) kebenaran etis 4) kebenaran metafisis. Proposisi merupakan kalimat logika yang mana pernyataan tentang hubungan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Ada yang mengartikan proposisi sebagai ekspresi verbal dari putusan yang berisi pengakuan atau penginkaran sesuatu (predikat) terhadap sesuatu yang lain (subjek) yang dapat dinilai benar atau salah. Unsur-unsur Proposisi: -
Term subjek; hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. Term subjek dalam sebuah proposisi disebut subjek logis. Ada perbedaan antara subjek logis dengan subjek dalam sebuah kalimat. Tentang subjek logis harus ada penegasan/ pengingkaran sesuatu tentangnya.
74
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
-
Term predikat; isi pengakuan atau pengingkaran. Kopula; menghubungkan term subjek dan term predikat.
Terdapat beberapa jenis Proposisi, yaitu: -
-
-
Proposisi Berdasarkan Bentuknya, yaitu 1) proposisi tunggal yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat. 2) proposisi majemuk yang terdiri atas satu subjek dan lebih dari satu predikat. Proposisi berdasarkan sifatnya, yaitu proposisi yang hubungan subjek dan predikatnya tidak memerlukan syarat apapun. Proposisi berdasarkan kualitasnya, yaitu 1) Proposisi Positif, atau Afirmatif, merupakan proposisi yang predikatnya membenarkan subjek. 2) Proposisi Negatif, merupakan proposisi yang predikatnya tidak mendukung/ membenarkan subjek. Proposisi berdasarkan Kuantitasnya, yaitu 1) Proposisi Umum (universal), adalah proposisi dimana predikat mendukung atau mengingkari semua subjek. 2) Proposisi Khusus (partikular), adalah proposisi dimana pernyataan khusus mengiyakan yang sebagian subjek merupakan bagian dari predikat.
Menurut teori ini, sesuatu bisa dianggap benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi, dalam sumber lain ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan kebenaran sintaksis.
HAKEKAT PENGETAHUAN Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Ada dua teori yang digunakan untuk mengetahui hakekat pengetahuan: 1. Realisme, teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan adalah gambaran yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. 2. Idealisme, teori ini menerangkan bahwa pengetahuan adalah prosesproses mental/psikologis yang bersifat subjektif. Pengetahuan merupakan gambaran subjektif tentang sesuatu yang ada dalam alam menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengalami dan mengetahuinya.
75
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa ilmu pengetahuan berasal dari rasa ingin tahu yang kemudian dibuktikan dan diuji oleh orang lain. Namun, tidak semua pengetahuan dinamakan ilmu. Pengetahuan yang diangkat sebagai ilmu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut. 1. Rasional Ilmu pengetahuan didasarkan atas kegiatan berpikir secara logis dengan menggunakan rasa (nalar) dan hasilnya dapat diterima oleh nalar manusia. 2. Objektif Kebenaran yang dihasilkan suatu ilmu merupakan kebenaran pengetahuan yang jujur, apa adanya sesuai dengan kenyataan objeknya, serta tidak tergantung pada suasana hati, prasangka, atau pertimbangan nilai pribadi. Objek dan metode ilmu tersebut dapat dipelajari dan diikuti secara umum. Kebenaran itu dapat diselidiki dan dibenarkan oleh ahli lain dalam bidang ilmu tersebut melalui pengujian secara terbuka yang dilakukan dari pengamatan dan penalaran fenomena. 3. Akumulatif Ilmu dibentuk dengan dasar teori lama yang disempurnakan, ditambah, dan diperbaiki sehingga semakin sempurna. Ilmu yang dikenal sekarang merupakan kelanjutan dari ilmu yang dikembangkan sebelumnya. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan bersifat relatif dan temporal, tidak pernah mutlak dan final. Dengan demikian, ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka. 4. Empiris Kesimpulan yang diambil harus dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dan pembuktian empiris (inderawi), serta dapat diuji kebenarannya dengan fakta. Hal ini yang membedakan antara ilmu pengetahuan dengan agama. 5. Andal dan Dirancang Ilmu pengetahuan dapat diuji kembali secara terbuka menurut persyaratan dengan hasil yang dapat diandalkan. Selain itu, ilmu pengetahuan dikembangkan menurut suatu rancangan yang menerapkan metode ilmiah.
76
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
EPISTEMOLOGI DAN PROBLEM KETERPISAHAN SUBJEK-OBJEK Salah satu pertanyaan epistemologi yang amat penting adalah: “Apakah manusia mampuh mengetahui sesuatu sebagaimana adanya”? Pertanyaan ini telah melahirkan ragam pendapat dalam perdebat epistemologi. Diantaranya, Immanuel Kant (1714-1804). salah seorang filosof asal Jerman berpandangan bahwa manusia sebagai subjek pengetahuan tidak mungkin mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Bagi Kant, pengetahuan hanya dapat diperoleh dengan sintesis antara indera dan dua belas kategori dalam pikiran manusia. Ketidakmampuan subjek untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dikarenakan manusia selalu berada dalam ruang kesadaran (keakuannnya) sehingga untuk menjadi sesuatu adalah hal yang tidak mungkin, demikian pandangan Immanuel Kant. Kant kemudian bekesimpulan bahwa das Ding an sich, tidak terjangkau oleh akal murni, hanya bisa diterima dengan akal praktis. Keyakinan filosofis yang demikian, telah menjadi model epistemologi dominant. Terutama dalam pentas filsafat Eropa/Barat Keyakinan yang demikian ini bisa dipandang sebagai bentuk ketidaktahuan. Karena pengetahuan itu sendiri tidak hanya berkaitan dengan dimensi rasio kognitif saja, melainkan juga terkait dengan dimensi intuisi. Pernyataan ini bukanlah klaim yang tidak berdasar, akan tetapi muncul dari penyelidikan filosofis yang mendalam terhadap kemungkinan adanya univikasi eksistensial antara subjek dan objek yang berpijak pada hati sebagai salah satu instrument pengetahuan. Lantas bagimana kita menelusuri kemungkinan tersebut? Esensi-Eksistensi Shadr Al-Din Syirazi (1572-1640) atau lebih dikenal dengan Mullah Sadra adalah salah seorang filosof muslim yang bisa dipandang telah menelurkan sebuah basis filsafat untuk menjawab kompleksistas problem epistemologi di atas. Konstruksi filosofis yang dibangun Sadra bermula dari cara pandang terhadap realitas eksistensi (being/wujud) dengan meyakini segala sesuatu sebagai eksistensi yang tunggal. Keberdaan bagi Sadra, Wujud merupakan realitas satu-satunya yang mendahului esensi (ke-apa-an). Bahkan Mullah Sadra meyakini bahwa esensi bukanlah realitas utama. Esensilah hanya menjadikan segala sesuatu yang ada terkesan berbeda dan dibedakan. Ketika kita menginderai sesuatu, yang ditangkap oleh pikiran kita adalah esensi atau batasan sesuatu, sehingga kitapun berkeyakinan bahwa Kursi misalnya, tidaklah sama dengan Pensil, disebabkan Kursi tersebut memiliki ciri atau bentuk tertentu yang tidak sama dengan Pensil. Menurut Mullah Sadra, mestilah disimpulkan bahwa kemampuan untuk menangkap esensi tersebut hanya bisa karena adanya Wujud (keberadaan/eksistensi) yang mendasarinya.
77
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Singkatnya, kita tidak bisa membayangkan esensi itu sendiri jika kursi itu tidak ada! Telah kita ketahui bahwa eksistenisilah satu-satunya realitas yang fundamental dan bersifat tunggal yang mendasari semua benda objektif. Pada nokta ini sebagian filosof mengatakan bahwa wujud hanya berlaku bagi Tuhan, sedangkan selainnya (langit, bumi dan segala isinya) bukanlah wujud. Menanggapi hal ini, Sadra memberikan sebuah jawaban, bahwa karena wujud (ADA) merupakan realitas satu-satunya yang real, maka negasi atau lawan dari wujud itu sendiri adalah tidak ada (not being). Oleh sebab itu, bila segala sesuatu selain Tuhan itu bukanlah wujud, maka tentulah segala sesuatu itu tidak mungkin ada. Jelaslah bahwa ini adalah sebuah kontardiksi yang nyata. (baca Non-Kontradiksi). Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa esensilah yang membuat segala sesuatunya berbeda. Namun bagi Sadra, perbedaan itu merupakan akibat dari status ontologis wujud yang bertingkat-tingkat. Keberadaan sesuatu sangat ditentukan oleh satatus ontologisnya manusia misalnya, untuk mengada membutuhkan banyak syarat. Berbeda dengan Tuhan, keberadaan-Nya adalah puncak eksistensi yang tidak bergantung pada sesuatu apapun selain diri-Nya sendiri. Meskipun demikian, wujud itu sendiri tidaklah berada dalam keadaan yang statis, melainkan senantisa bergerak (berubah) secara evolutif tanpa jeda. Gerak yang terdapat dalam tatanan wujud itu sendiri disebabkan oleh adanya perubahan substansi dari setiap sesuatu. Berbeda dengan sebagian besar filsuf yang memandang perubahan itu hanya terjadi pada aksiden wujud saja, Sadra justru meyakini bahwa perubahan pada aksiden atau penampakan wujud itu tidak mungkin terjadi jika substansinya tidak berubah. Jika kita mengurai benda material, maka akan ditemukan inti terdalam yang mendasari sesuatu itu. Oleh karena itu, sesuatu tersebut barulah berubah jika substansi atau inti keberadaannya juga berubah. Perubahan substansi bukanlah tidak bertujuan, melainkan selalu mengarah pada derajat wujud yang lebih tinggi, dimana merupakan sebab final dari gerakan yang terjadi. Jika segala sesuatu selain manusia berubah secara alamiah, maka tidak demikian dengan manusia. Perubahan yang terjadi dalam diri manusia selalu memiliki dua makna, yakni gerak menyempurna (gerak spiritual) dan gerak yang mengarahkan manusia kepada derajat terendah dalam hirarki eksistensi. Hal ini karena manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan dirinya sendiri. Teori Persepsi Mullah Sadra memiliki defenisi yang menarik tentang epistemologi. Bagi Sadra, pengetahuan adalah “kehadiran objek yang diketahui didalam yang
78
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
mengetahui” (Mustamin Al-Mandari, 2003). Akan tetapi, kehadiran itu tidak terjadi pada persepsi indera. Karena jiwa yang mengetahui berada pada tingkat eksistensi non- material sehingga entitas material tidak mungkin hadir padanya. Kesatuan itu hanya bisa terjadi apabila antara yang diketahui dan yang mengetahui berada pada status ontologis yang sama. Sadra membagi persepsi menjadi indera, akal dan imajinasi(inteleksi). Bagi Sadra, bentuk yang muncul dalam imajinasi itu memiliki realitas yang nyata. Oleh karena itu, kehadiran bentuk sesuatu dalam diri subjek bukanlah sebentuk abstraksi pikiran seperti yang diyakini Aristoteles, akan tetapi kehadiran objek tersebut disebabkan karena adanya derajat ontologis yang sama. Keterangan ini juga sekaligus memperkuat basisi filsafat kesatuan wujud itu sendiri. Selain itu, pengetahuan pada tahap imajinasi tidak mengenal distingsi antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Sedangkan tingkatan tertinggi dari pengetahuan manusia adalah univikasi eksistensial antara hakikat segala sesuatu dan manusia itu sendiri, dimana pengetahuan ini tidak bersifat representasional. Jika pada tahap imajinasi bentuk objek yang menghadir dalam fakultas imajinatif itu didahului oleh persentuhan langsung dengan objek terinderai, maka pada pengetahuan yang terkahir ini (representasional), objek tidak muncul dari aksi intensional yang mendahului, melainkan objek yang diketahui berada dalam kesatuan eksistensial dengan pelaku persepsi. Pernyataan seperti “aku mengetahui bahwa aku sedang bahagia” tidak bisa diandaikan sebagai adanya subjek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Yang mengetahui itu sendiri adalah “aku”, dan yang diketahui itu juga adalah diriku. Dengan demikian, tidak ada maknanya menjelaskan model pengetahuan non-representasional tersebut sebagai terdiri dari subyek dan obyek. Pengetahuan yang demikian ini menjadi terkesan bersifat representasional (subjek-objek), ketika ia masuk kedalam tatanan simbolikbahasa (Mehdi Hairi Yazdi, 2003). Namun hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi unifikasi subjek–objek dalam pengetahuan nonrepresentasional. Jika kita mengandaikan bahwa pengetahuan tentang diri itu bersifat representasional, maka haruslan terdapat dua kutub yang terpisah yakni Aku sebagai yang mengetahui, dan Dia sebagai objek pengetahuan. Hal ini tentu akan memunculkan kontardiksi yang jelas, karena “aku” pada saat yang bersamaan telah menjadi “dia”. Aku, sebagai yang mengetahui, dan dia yang diketahui. Namun, seperti pada penjelasan di atas, ini tidaklah bisa dibenarkan bahwa subjek dan objek dalam pengetahuan diri adalah satu dan sama.
79
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan terhadap sesuatu sebagaimana adanya adalah hal yang mungkin. Asalkan manusia mau untuk melepaskan diri dari berbagai macam hal yang kadang dianggap membentuk keberadaannya. Dan akhirnya manusia akan mengetahui siapa dirinya yang sesungguhnya, dan dengan demikian dia juga bisa mengetahui segala sesuatu sebagaimana hakikatnya.
HUBUNGAN EPISTEMOLOGI, METODOLOGI, DAN METODE ILMIAH Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu, maka metodologilah yang mengkerangkai secara konseptual terhadap prosedur tersebut. Implikasinya, dalam metodologi dapat ditemukan upaya membahas permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan metode. Metodologi membahas konsep teoritik dari berbagai metode, kelemahan dan kelebihannya dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan, sedangkan metode penelitian mengemukakan secara teknis metode-metode yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan metode penelitian tanpa memahami metode logisnya mengakibatkan seseorang buta terhadap filsafat ilmu yang dianutnya. Banyak peneliti pemula yang tidak bisa membedakan paradigma penelitian ketika dia mengadakan penelitian kuantitatif dan kualitatif. Padahal mestinya dia harus benar-benar memahami, bahwa penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivisme, sehingga ditentukan oleh sebab akibat (mengikuti paham determinsime, sesuatu yang ditentukan oleh yang lain), sedangkan penelitian kualitatif menggunakan paradigma naturalisme (fenomenologis). Dengan demikian, metodologi juga menyentuh bahasan tantang aspek filosofis yang menjadi pijakan penerapan suatu metode. Aspek filosofis yang menjadi pijakan metode tersebut terdapat
80
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
dalam wilayah epistemologi. Oleh karena itu, dapat dijelaskan urutan-urutan secara strukturalteoritis antara epistemologi, metodologi dan metode sebagai berikut: Dari epistemologi, dilanjutkan dengan merinci pada metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau teknik. Epistemologi itu sendiri adalah sub sistem dari filsafat, maka metode sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Filsafat mencakup bahasan epistemologi, epistemologi mencakup bahasan metodologis, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Jadi, metode merupakan perwujudan dari metodologi, sedangkan metodologi merupakan salah satu aspek yang tercakup dalam epistemologi. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasikan sumbersumbernya dan menetapkan batas-batasnya. “Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi, tetapi masalah-masalah ini bukanlah semata-mata masalah-masalah filsafat. Pandangan yang lebih ekstrim lagi menurut Kelompok Wina, bidang epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan termasuk dalam kajian psikologi. Sebab epistemologi itu berkenaan dengan pekerjaan pikiran manusia, the workings of human mind. Tampaknya Kelompok Wina melihat sepintas terhadap cara kerja ilmiah dalam epistemologi yang memang berkaitan dengan pekerjaan pikiran manusia. Cara pandang demikian akan berimplikasi secara luas dalam menghilangkan spesifikasi-spesifikasi keilmuan. Tidak ada satu pun aspek filsafat yang tidak berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, karena filsafat mengedepankan upaya pendayagunaan pikiran. Kemudian jika diingat, bahwa filsafat adalah landasan dalam menumbuhkan disiplin ilmu, maka seluruh disiplin ilmu selalu berhubungan dengan pekerjaan pikiran manusia, terutama pada saat proses aplikasi metode deduktif yang penuh penjelasan dari hasil pemikiran yang dapat diterima akal sehat. Ini berarti tidak ada disiplin ilmu lain, kecuali psikologi, padahal realitasnya banyak sekali. Oleh karena itu, epistemologi lebih berkaitan dengan filsafat, walaupun objeknya tidak merupakan ilmu yang empirik, justru karena epistemologi menjadi ilmu dan filsafat sebagai objek penyelidikannya. Dalam epistemologi terdapat upaya-upaya untuk mendapatkan pengetahuan dan mengembangkannya. Aktivitas-aktivitas ini ditempuh melalui perenunganperenungan secara filosofis dan analitis. Perbedaaan padangan tentang eksistensi epistemologi ini agaknya bisa dijadikan pertimbangan untuk membenarkan Stanley M. Honer dan Thomas C.Hunt yang menilai, epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh
81
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
kontroversi. Sejak semula, epistemologi merupakan salah satu bagian dari filsafat sistematik yang paling sulit, sebab epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika sendiri, sehingga tidak ada sesuatu pun yang boleh disingkirkan darinya. Selain itu, pengetahaun merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan biasanya diandaikan begitu saja, maka minat untuk membicarakan dasardasar pertanggungjawaban terhadap pengetahuan dirasakan sebagai upaya untuk melebihi takaran minat kita. Epistemologi atau teori mengenai ilmu pengetahuan itu adalah inti sentral setiap pandangan dunia. Ia merupakan parameter yang bisa memetakan, apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidangbidangnya; apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui; apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik tidak usah diketahui; dan apa yang sama sekali tidak mungkin diketahui. Epistemologi dengan demikian bisa dijadikan sebagai penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan. Tidak semua objek mesti dijelajahi oleh pengetahuan manusia. Ada objek-objek tertentu yang manfaatnya kecil dan madarat-nya lebih besar, sehingga tidak perlu diketahui, meskipun memungkinkan untuk diketahui. Ada juga objek yang benar-benar merupakan misteri, sehingga tidak mungkin bisa diketahui. Epistemologi ini juga bisa menentukan cara dan arah berpikir manusia. Seseorang yang senantiasa condong menjelaskan sesuatu dengan bertolak dari teori yang bersifat umum menuju detail-detailnya, berarti dia menggunakan pendekatan deduktif. Sebaliknya, ada yang cenderung bertolak dari gejalagejala yang sama, baruk ditarik kesimpulan secara umum, berarti dia menggunakan pendekatan induktif. Adakalanya seseorang selalu mengarahkan pemikirannya ke masa depan yang masih jauh, ada yang hanya berpikir berdasarkan pertimbangan jangka pendek sekarang dan ada pula seseorang yang berpikir dengan kencenderungan melihat ke belakang, yaitu masa lampau yang telah dilalui. Pola-pola berpikir ini akan berimplikasi terhadap corak sikap seseorang. Kita terkadang menemukan seseorang beraktivitas dengan serba strategis, sebab jangkauan berpikirnya adalah masa depan. Tetapi terkadang kita jumpai seseorang dalam melakukan sesuatu sesungguhnya sia-sia, karena jangkauan berpikirnya yang amat pendek, jika dilihat dari kepentingan jangka panjang, maka tindakannya itu justru merugikan. Pada bagian lain dikatakan, bahwa epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara berpikir secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungan dalam mempelajari
82
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
gejala alam untuk menemukan kebenaran, sebab secara epistemologi ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Oleh sebab itu, epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan keyakinan bahwa kita mengetahuan kenyataan yang lain dari diri sendiri. Usaha menafsirkan adalah aplikasi berpikir rasional, sedangkan usaha untuk membuktikan adalah aplikasi berpikir empiris. Hal ini juga bisa dikatakan, bahwa usaha menafsirkan berkaitan dengan deduksi, sedangkan usah membuktikan berkaitan dengan induksi. Gabungan kedua macaram cara berpikir tersebut disebut metode ilmiah. Jika metode ilmiah sebagai hakikat epistemologi, maka menimbulkan pemahaman, bahwa di satu sisi terjadi kerancuan antara hakikat dan landasan dari epistemologi yang sama-sama berupa metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme, atau deduktif dengan induktif), dan di sisi lain berarti hakikat epistemologi itu bertumpu pada landasannya, karena lebih mencerminkan esensi dari epistemologi. Dua macam pemahaman ini merupakan sinyalemen bahwa epistemologi itu memang rumit sekali, sehingga selalu membutuhkan kajian-kajian yang dilakukan secara berkesinambungan dan serius. Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban, sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologi mengatur semua aspek studi manusia, dari filsafat dan ilmu murni sampai ilmu sosial. Epistemologi dari masyarakatlah yang memberikan kesatuan dan koherensi pada tubuh, ilmu-ilmu mereka itu—suatu kesatuan yang merupakan hasil pengamatan kritis dari ilmu-ilmu—dipandang dari keyakinan, kepercayaan dan sistem nilai mereka. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Wujud sains dan teknologi yang maju disuatu negara, karena didukung oleh penguasaan dan bahkan pengembangan epistemologi. Tidak ada bangsa yang pandai merekayasa fenomena alam, sehingga kemajuan sains dan teknologi tanpa didukung oleh kemajuan epistemologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat yang strategis dalam merekayasa pengembangan-pengembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi. Meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh lagi ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berpikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Semua bentuk teknologi yang canggih adalah hasil pemikiran-pemikiran secara epistemologis, yaitu pemikiran dan perenungan yang berkisar tentang
83
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
bagaimana cara mewujudkan sesuatu, perangkat-perangkat apa yang harus disediakan untuk mewujudkan sesuatu itu, dan sebagainya.
IMPLEMENTASI DALAM PENELITIAN Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah untuk menguji secara empiris hipotesis yang disusun atau mencari jawaban empiris sebagai jawaban final dari masalah penelitian. Secara operasional langkah-langkah penelitian kuantitatif sebagai berikut: - Rumusan masalah - Landasan teori, kajian teori, landasan pustaka, atau kajian pustaka. - Perumusan hipotesis - Pengumpulan data - Analisis data - Simpulan Rumusan masalah dalam suatu penelitian diangkat dari hasil pengamatan atau dengan kata lain rumusan masalah penelitian berasal dari masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, ketika masalah ini dapat teratasi melalui penelitian maka secara langsung hasil penelitian ini bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Jadi cara pemilihan masalah yang diangkat dari hasil pengamatan ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari teori kebenaran pragmatisme. (teori kebenaran pragmatisme telah dibahas sebelumnya pada bab iii). Langkah pertama yang ditempuh dalam rangka mencari jawaban
84
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
terhadap masalah penelitian adalah mengkaji teori-teori dan hasil penelitian yang telah relevan. Secara fungsional kajian teori bertujuan memperjelas masalah penelitian, sebagai dasar menyusun kerangka berpikir dan hipotesis, serta sebagai rujukan dalam menyusun instrumen. Bagi penelitian yang menggunakan hipotesis, biasanya kajian teori terdiri atas 4 sub bab, yaitu: deskripsi teori, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis. Deskripsi teori mengkaji teori-teori yang terkait dengan masing-masing variabel penelitian. Pada bagian ini peneliti belum menghubungkan variabel satu dengan variabel yang lain, tetapi dalam mengkaji teori harus sudah diarahkan agar nanti dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kerangka berpikir. Pada penelitian kuantitatif, mengkaji hasil penelitian yang relevan merupakan suatu anjuran, artinya bukan merupakan keharusan. Di samping untuk memperjelas masalah penelitian, kajian terhadap hasil penelitian yang relevan juga bertujuan agar tidak terjadi penelitian replikatif. Memang penelitian replikatif tidak dilarang dengan syarat mempunyai dasar dan tujuan yang jelas. Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang hubungan beberapa variabel yang ada dalam suatu penelitian. Kerangka berpikir yang baik dapat menjelaskan secara rasional hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Kalau dalam penelitian tersebut ada variabel moderator atau variabel intervening maka juga harus dijelaskan keterlibatan variabel tersebut dalam penelitian. Berdasarkan uraian rasional pada kerangka berpikir ini kemudian disimpulkan dalam bentuk kalimat pernyataan yang menghubungkan antar variabel dalam penelitian. Simpulan dari kajian teori ini disebut dengan hipotesis. Kalau dikaitkan dengan filsafat ilmu, kajian teori merupakan implementasi dari penggunaan teori kebenaran koherensi dalam penelitian. Langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis berdasarkan data empiris. Syarat untuk dapat menguji hipotesis dengan benar ada 2, yaitu: memperoleh data yang valid dan menggunakan teknik analisis yang tepat. Untuk memperoleh data yang valid perlu desain penelitian yang tepat dan instrumen yang valid dan reliabel. Simpulan penelitian didasarkan pada hasil uji empiris. Apabila hasil uji empiris tidak sesuai dengan hipotesis bukan berarti penelitian tersebut gagal. Kalau hal ini terjadi, tugas peneliti adalah mengkaji secara teoretis tentang berbagai kemungkinan yang menyebabkan ketidaksesuaian antara teori dengan bukti empiris. Secara filosofis semua langkah yang ditempuh dalam rangka mengumpulkan, menganalisis data, dan menarik simpulan berdasarkan data empiris merupakan implementasi teori kebenaran korespondensi dalam penelitian.
85
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat postpositivisme. Filsafat postpositivisme atau yang sering disebut dengan paradigma interpretif dan konstruktif berpendapat bahwa realitas sosial bersifat holistik, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala bersifat reciprocal. Penelitian kualitatif dilakukan pada objek yang alami, tidak dimanipulasi oleh peneliti, dan kehadiran peneliti diupayakan tidak mempengaruhi dinamika objek yang diteliti. Prosedur penelitian kualitatif juga diawali dari masalah, namun ada perbedaan sifat masalah pada penelitian kuantitatif dan kualitatif. Masalah pada penelitian kuantitatif bersifat pasti, jelas, dan spesifik. Sedang masalah pada penelitian kualitatif bersifat global, sementara, dan tentatif. Karena itu, masalah pada penelitian kualitatif dapat berkembang atau bahkan berubah setelah peneliti berada di lapangan. Di sini menunjukkan bahwa masalah penelitian kualitatif harus berdasarkan fakta atau pengamatan. Langkah pertama setelah peneliti berada di lapangan dalam rangka pengumpulan data adalah menentukan fokus penelitian. Karena masalah penelitian masih bersifat global maka perlu adanya pembatasan masalah yang dalam penenlitian kualitatif disebut dengan fokus penelitian. Penentuan fokus penelitian ini dilakukan dengan menganalisis masalah dan medan ketika peneliti sudah berada di lapangan. Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan fokus penelitian ada 3 hal, yaitu: tingkat kepentingan, urgensi, dan kelayakan suatu masalah (Sugiyono, 2010: 286). Suatu masalah dikatakan penting apabila masalah tersebut tidak dipecahkan atau dikaji secara ilmiah akan semakin besar dampaknya dalam kehidupan sosial dan/atau menimbulkan masalah baru. Masalah dikategorikan urgen (penting) apabila masalah tersebut tidak segera dikaji atau dipecahkan secara ilmiah masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mengatasi masalah tersebut. Suatu masalah dikatakan layak untuk dikaji (feasible) apabila tersedia sumber daya dan dana untuk mengatasi masalah tersebut. Karena belum ke lapangan, maka dalam menilai proposal penelitian kualitatif, penentuan fokus lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari hasil penelitian tersebut. Sesuai dengan sifat masalah penelitian yang masih tentatif maka teori yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun proposal penelitian kualitatif juga bersifat sementara. Teori yang sifatnya sementara ini akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti selalu bergerak dari teori ke gejala, dari gejala ke teori. Proses reciprocalitas teori – fakta ini terus berlangsung sampai masalah dapat dipecahkan secara rasional
86
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
dan tidak ditemukan lagi informasi yang sifatnya baru. Dalam kaitannya dengan teori, penelitian kuantitatif dan kualitatif mempunyai perbedaan. Penelitian kuantitatif bersifat menguji teori atau hipotesis (confirmatory), sedang penelitian kualitatif berupaya menemukan teori (eksploratory). Tujuan akhir proses reciprocal antara teori – fakta adalah ditemukannya teori yang dapat menjelaskan fakta. Karena itu, peneliti kualitatif disyaratkan mempunyai banyak teori yang dapat menjelaskan gejala yang dihadapi di lapangan. Namun dalam memahami fakta di lapangan, penelitian kualitatif menggunakan perspektif “emic”, menangkap fakta berdasarkan pemahaman partisipan dan informan. Uraian di atas menunjukkan bahwa implementasi teori koherensi dan korespondensi pada penelitian kualitatif bersifat reciprocal. Prespektif “emic” yang digunakan peneliti kualitatif jelas menunjukkan bahwa teori kebenaran yang digunakan adalah korespondensi. Kebenaran sesungguhnya adalah apa yang ada pada fakta, bahkan pada penelitian kualitatif fakta yang dimaksud bukan fakta berdasarkan pemahaman peneliti tetapi fakta berdasarkan pemahaman partisipan atau informan. Ketika peneliti mengkaji fakta berdasarkan teori yang telah ada maka proses ini merupakan implementasi teori koherensi dalam penelitian kualitatif.
87
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
AKSIOLOGI PENGERTIAN SINGKAT Menurut Kamus Filsafat, Aksiologi Berasal dari bahasa Yunani axios (layak, pantas) dan logos (ilmu). Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang kepantasan (nilai). Jujun S. Suriasumantri (1999) mengartikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam (Rakhmat, 2010) Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan.
PENILAIAN AKSIOLOGI Bramel (dalam Jalaluddin dan Abdullah,1997) membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan sebagai sang pencipta. Bagian kedua dari aksiologi adalah esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Mengutip pendapatnya Risieri Frondiz (Bakhtiar, 2006), nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangannya yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisik. Dengan demikian nilai subjekif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia seperti
88
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif akan selalu mengarah pada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Selanjutnya nilai itu akan objektif, jika tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada (Irmayanti Budianto, dalam Bakhtiar, 2006). Bagian ketiga dari Aksiologi adalah , sosio-political life, yaitu kehidupan social politik yang akan melahirkan filsafat sosiopolitik.
MANFAAT ILMU Bila ditanya manfaat dari ilmu, jawabannya adalah sudah tidak terhitung banyaknya manfaat dari ilmu bagi manusia dan makhluk hidup secara keseluruhan. Mulai dari zamannya Copernicus sampai Mark Elliot Zuckerberg, ilmu terus berkembang dan memberikan banyak manfaat bagi manusia. Dengan ilmu manusia bisa sampai ke bulan, dengan ilmu manusia dapat mengetahui bagian-bagian tersembunyi dan terkecil dari sel tubuh manusia. Ilmu telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia, tapi dengan ilmu juga manusia dapat menghancurkan peradaban manusia yang lain. Mengutip pendapatnya Francis Bacon (Suriasumantri, 1999) yang mengatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu akan merupakan berkat atau malapetaka bagi umat manusia, semua itu terletak pada system nilai dari orang yang menggunakan kekuasaan tersebut. Ilmu itu bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Selanjutnya Suriasumantri juga mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun Suria Sumantri merumuskan ke dalam empat tahapan yaitu: a. Untuk apa ilmu tersebut digunakan? b. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? c. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? d. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan profesional?
89
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Dari apa yang dirumuskan di atas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, seluruhnya harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malah menimbulkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum. Setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan. Keterkaitan antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi—seperti juga lazimnya keterkaitan masing-masing sub sistem dalam suatu sistem membuktikan betapa sulit untuk menyatakan yang satu lebih pentng dari yang lain, sebab ketiga-tiganya memiliki fungsi sendiri-sendiri yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Demikian juga, setiap jenis pengetahuan selalui mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistemik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
ETIKA DALAM PENGEMBANGAN IPTEKS Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayan universal yang dihasilkan manusia yakni sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Dalam penerapannya, ilmu pengetahuan menghasilkan apa yang disebut teknologi dan seni. Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan,
90
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
maka kita pun mengenal istilah Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni). Ilmu pengetahuan bersifat teoretis dan tidak berbentuk sedangkan teknologi bersifat praktis dan berbentuk. Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia di bumi. Teknologi dan seni diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan-kesulitan hidupnya yang sarat dengan keterbatasan. Sebagai sebuah entitas pada dasarnya ilmu pengetahuan bersifat independen (bebas dari nilai), tetapi di sisi lain sebagai instrumen (alat dan proses) keberadaannya koheren, tergantung, dan diarahkan. Siapa yang mengarahkan? jawabannya tidak lain adalah manusia sendiri sebagai subyek ilmu pengetahuan itu sendiri. Etika memang bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat memerlukan adanya dimensi etis sebagai alat kontrol bagi pengembangan iptek agar tidak bertentangan dengan nilainilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawan kepada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.Adanya tanggung jawab etis tidak dimksudkan untuk menghambat kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi dengan adanya tanggung jawab etis diharapkan mampu menjadi inspirasi dan motivasi bagi manusia untuk mengembangkan teknologi yang nantinya akan mengangkat kodrat dan martabat manusia . Pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai netral (nol), dengan memahami bahwa ilmu itu netral maka ilmu pengetahuan bisa berkembang. Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri menjadi terhambat dalam perkembangannya. Sedangkan netral itu sendiri ada berbagai pandangan yang pertama dalam pandangan Ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang mempunyai ruang lingkup tentang baik buruknya ilmu yang telah ada. Kemudian dalam pandangan secara Epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk mendapatkannya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Ketika seorang ahli jantung ingin meneliti tentang jantung manusia. Ada suatu kendala apabila Dokter ini meneliti jantung selain jantung manusia seperti jantung simpanse misalnya, tentu hasilnya berbeda apabila dokter itu menggunakan jantung manusia itu. Tetapi masalahnya ada beberapa yang tidak menyetujui hal ini, dikarenakan telah keluar dari rasa kemanusiaan. Padahal tujuan awal agar data yang diperoleh valid dan lengkap, tetapi mereka salah memandang hal tersebut.
91
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Sedangkan yang terakhir adalah netralisasi dalam pandangan Aksiologi. ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri. Seperti suatu hal yang sangat disesalkan oleh Albert Einsten, karena penemuannya tentang nuklir. Ternyata manusia sebagai pengkonsumsi dari hasil temuan ilmu itu telah menyimpang atau menyalahi aturan yang ada. Padahal Einsten meneliti nuklir bukan karena dia ingin menggunakannya sebagai bom dan membunuh jutaan manusia, tetapi sebaliknya yaitu untuk kemaslahatan manusia sendiri. Tetapi manusia sendirilah sebagai pengguna yang telah salah menggunakan hasil pikiran Einstein itu. Dampak buruk perkembangan sains dan teknologi sering dijadikan legitimasi bahwa ilmu pengetahuan atau sains tidak netral. Ada yang rancu di sini. Antara sains dan dampak dari sains. Dampak dari sains (dan teknologi) sudah melibatkan penggunanya (manusia) yang di luar lingkup kajian sains alami. Dalam hal ini, sistem nilai bukan berpengaruh pada sains, tetapi pada perilaku manusia penggunanya. Ilmu itu ibarat pisau. Netral. Tidak ada spesifikasi pisau Islam, pisau Kristen, pisau kapitalis, pisau komunis, pisau tukang sayur atau pisau tukang daging. Dampak pisau bisa negatif bila digunakan untuk merusak atau membunuh. Tetapi bisa juga positif. Misalnya contoh lain, dewasa ini, ilmu pengetahuan dihadapkan pada masalah kerusakan lapisan ozon. Satelit mendeteksi lapisan ozon di atas antartika yang menipis yang dikenal sebagai lubang ozon. Sains mengkaji sebabsebabnya. Ada sebab kosmogenik (bersumber dari alam), antara lain variasi akibat aktivitas matahari. Ada sebab antropogenik (bersumber dari aktivitas manusia). Sains juga akhirnya menemukan sumber antropogenik itu salah satunya CFC (Chlor Fluoro Carbon) atau freon yang banyak digunakan sebagai media pendingin kulkas dan AC (air conditioner). Kini sains menemukan bahan alternatif yang tidak merusak ozon. Dapatkah ilmu pengetahuan dipersalahkan dan dijuluki sains yang perusak? Karena keterbatasan ilmu manusia, tidak semua dampak dapat diperkirakan. Ketika kini diketahui dampak buruknya, tidaklah adil untuk melemparkan tuduhan bahwa ilmu pengetahuan bersifat merusak. Menjadi jelas bahwa pada dasarnya nilai sains atau ilmu itu netral. Maksud dari netral itu adalah ilmu tidak bernilai baik atau buruk tetapi ilmu itu di antara keduanya. Sesuai manusia yang membawa ilmu itu. Bagaimanakah menggunakannya? Untuk apa ilmu itu? Siapa yang memakai ilmu itu? Semua pertanyaan itu salah satu bukti kenetralan ilmu. Karena terserah manusia itu membawa ilmu itu sendiri, terserah manusia itu bagaimana menggunakannya, dan untuk apa ilmu yang dia dapat, dan
92
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
siapapun orangnya ilmu tidak terpengaruh nilainya tetap netral (nol). Karena posisi ilmu pengetahuan yang netral, maka tugas para ilmuwan adalah membangun sikap ilmiah yang berwawasan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan perindustrian dalam batasan nilai-nilai etis, serta mendorong perilaku adil dan membentuk moral tanggung jawab. Ilmu pengetahuan dan teknologi dipertanggung jawabkan bukan untuk kepentingan manusia, namun juga untuk kepentingan obyek alam sebagai sumber kehidupan. Ilmuwan harus sadar dan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengkaitkan dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Kenyataan sesungguhnya bahwa setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga ilmu yang dihasilkan berdaya guna maksimal tanpa disertai sifat merusak demi kepentingan sesaat. Akhirnya pemahaman terhadap netralitas ilmu harus sampai pada titik simpul bahwa dalam proses mengetahui, ilmu berkembang tidak dari ruang kosong. Dalam istilah Herman Soewardi (1999) disebut teori Adab-Karsa. Yaitu ilmuwan harus “memihak”. Memihak pada nilai kebenaran dan keadilan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang beradab, yang tidak merusak apa yang diciptakan Tuhan untuk dirinya dan manusia pada umumnya (sejalan dengan Persaudaraan). Jangan sampai ilmu pengetahuan dilandasi jiwa ammarah, hanya sebagai alat pelampiasan nafsu, mengeruk keuntungan sebanyak mungkin, yang akhirnya mencelakakan dirinya, manusia lain dan lingkungan.
93
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
ILMU PENDIDIKAN DALAM BINGKAI FILSAFAT ILMU
Kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah bahwa pendidikan dilakukan kapan saja, di mana saja, dan merupakan suatu proses yang berpengaruh dalam setiap sistem. Aktivitas pendidikan dilakukan oleh spesialis dalam berbagai bidang pendidikan serta terungkap dalam sistem sosial apapun. Dalam menghadapi hak dan tanggung jawab pengembangan ilmu, khususnya ilmu pendidikan, berbagai kelompok dalam masyarakat demokratis di Indonesia menampilkan gejala pragmentasi, primordialisme, dan kebingungan (confusion), sehingga mewarnai sebagian masyarakat di tanah air, maupun institusi pendidikan di dalamnya. Ilmu pendidikan yang dibangun atas referensi jamak (multireferensial), berakar dari antropologi, psikologi, sosiologi, dan filosofi. Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia, seperti juga psikologi. Berbeda dari psikologi yang sifat kajiannya lebih empiris, yakni melihat perilaku dari kenyataan sebagaimana adanya. Ilmu pendidikan lebih mengacu pada perilaku normatif (as it should be), upaya normatif yang membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Kemana manusia mau dibawa melalui upaya pendidikan? Jawabannya harus ditemukan melalui dan bermuara pada pemahaman tentang hakikat manusia. Berbicara tentang hakikat manusia tidak akan terlepas dari pertanyaanpertanyaan antropomorfik karena pandangan manusia terhadap dunia dan dirinya tidak bisa lepas dari sudut pandang eksistensial manusia itu sendiri. Pertanyaan yang berkenaan dengan “Siapa saya?”, “Apa dunia ini?”, “Apa yang harus saya perbuat?”, “Apa yang dapat saya harapkan?”, merupakan pertanyaan di sekitar upaya memahami hakikat manusia. Berbagai pandangan dan tafsiran telah mencoba berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Harold H. Titus (1959: 141-145) menggolongkan tiga aliran penafsiran terhadap hakikat manusia, yaitu tafsiran klasik atau rasionalistik, tafsiran teologis, dan tafsiran ilmiah. Tafsiran klasik atau rasionalistik, yang bersumber pada filsafat Yunani dan Romawi, memandang manusia sebagai makhluk rasional. Para filsuf seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Kant termasuk dalam paham ini. Sokrates maupun Plato memandang bahwa manusia yang cerdas itu adalah manusia yang berbudi atau manusia yang saleh (the intelligent man is the
94
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
virtuous man) (Titus, 1959: 142). Demikian pula Aristoteles memiliki pandangan yang sama dengan Plato bahwa: “… the reason (nous) is man’s true self and indestructible essence.” (Cornford, 1945: 342). Kulminasi pandangan klasik ini terletak pada filsafat Kant yang juga memandang manusia sebagai makhluk rasional (Fromm & Xirau, 1968: 4-5). Tafsiran teologis tidak melihat manusia dari segi keunikan pikiran atau hubungannya dengan alam, tetapi lebih melihat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu mentransendensikan kehidupan alami kepada tingkatan paling tinggi, yaitu Tuhan. Manusia adalah makhluk yang memiliki kemungkinan untuk berbuat baik atau jahat; dia memiliki kelemahan dan keunggulan. Kelemahan manusia dapat membawa dirinya terperosok ke dalam tataran kehidupan yang paling rendah (tingkat kehidupan hewani), tetapi dengan kekuatannya pula manusia dapat mencapai tingkat kehidupan lebih tinggi. Dalam tafsiran teologis, perkembangan manusia terarah kepada upaya menemukan nilai kehidupan instrintik dan mengabdikan diri kepada Tuhan, Tafsiran ilmiah tentang manusia cukup bervariasi, bergantung kepada sudut pandang ilmu yang digunakan. Ilmu-ilmu fisis menganggap manusia sebagai bagian dari keteraturan alam fisikal; oleh karena itu manusia harus dipahami dari segi hukum-hukum fisis dan kimiawi (Titus, 1959: 143). Studi dan tafsiran ilmiah tentang manusia ini pertama kali dilakukan oleh Freud (Fromm & Xirau, 1968: 5), yang menerapkan hukum-hukum fisika dalam memahami dan menjelaskan mekanisme perilaku manusia. Penjelajahan singkat terhadap tiga kecenderungan tafsiran tentang hakikat manusia di atas memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memahami hakikat manusia secara komprehensif. Tafsiran rasionalistik mencoba mengangkat derajat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemerdekaan berpikir. Namun tampak terlupakan bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai kehendak dan tidak pernah hidup dalam kevakuman sosial. Oleh karena itu penekanan terhadap kekuatan kemotekaran hidup (creative intelligence) manusia tidak semata-mata menggambarkan karakteristik pembeda manusia, malainkan juga terkandung makna akan keberadaan harapan sosial tertentu karena pengembangan kualitas pikiran manusia selalu dalam kehidupan sosial. Tampak di sini bahwa manusia bukan makhluk rasional belaka, ini berarti bahwa tafsiran rasionalistik bukan tafsiran yang lengkap tentang manusia.
95
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Tafsiran teologis akan menjadi pandangan tidak lengkap manakala hanya melihat manusia sebagai makhluk yang tidak bisa mengembangkan diri karena “bergantung” kepada kekuatan transenden di luar dirinya. Tafsiran seperti ini akan menjadi sempit karena nilai-nilai ketuhanan menjadi statis, sesuatu yang tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Demikian juga tafsiran ilmiah merupakan tafsiran yang tidak lengkap, karena melihat manusia hanya sebagai serpihan dari dunianya yang harus tunduk kepada hukum-hukum alam; atau manusia sebagai produk sosial belaka. Apabila demikian, dari sudut atau tafsiran mana hakikat manusia dijelaskan? Phenix (1964) menganggap adalah tugas ahli filsafat untuk memahami hakikat manusia secara komprehensif serta memberikan klarifikasi dan penilaian analitik terhadap berbagai pandangan tentang hakikat manusia dari berbagai sisi. Pemahaman tentang hakikat manusia ini akan membawa pada prinsip bagaimana pendidikan itu dikembangkan. Kembali ke persoalan pendidikan, seperti diterangkan bahwa pendidikan adalah upaya membawa manusia dari kondisi apa adanya (what it is) kepada kondisi bagaimana seharusnya (what should be). Pendidikan tidak akan pernah terlepas dan senantiasa terpaut dengan pembicaraan tentang manusia yang sedang berada dalam proses berkembang dengan segala dimensi keunikannya. Terkandung makna di sini bahwa melalui proses pendidikan diharapkan manusia berkembang ke arah bagaimana dia harus menjadi dan berada. Maka seorang pendidik perlu memahami manusia dalam hal aktualitasnya, kemungkinan (possibilities), pemikiran, dan sampai pada memahami perubahan yang dapat diharapkan terjadi dalam diri manusia. Berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu ditegaskan bahwa pendidikan berurusan dengan perilaku manusia yang sedang berkembang, sehingga pendidikan memerlukan ilmu-ilmu perilaku manusia. Tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke arah mana manusia dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan memerlukan filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara utuh. Ilmu yang dianggap mampu menjelaskan atau memberikan gambaran cukup lengkap tentang perilaku manusia adalah psikologi. Ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, biologi, bahkan linguistik memberikan gambaran lain tentang perilaku manusia. Namun penjelasan dan pemahaman perilaku manusia yang digambarkan oleh psikologi tidak sampai pada sebuah komposit pemahaman tentang manusia secara utuh melainkan lebih menyajikan rangkaian ragam gambaran tentang pemahaman perilaku manusia. Pemahaman seperti ini tidak memuaskan bagi kepentingan pendidikan karena
96
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
hanya menjelaskan aspek keragaman manusia dan bukan keutuhan manusia. Dapatkah kita menyatukan gambaran parsial tentang manusia itu ke dalam satu kesatuan atau keutuhan? Jawabannya, bisa! Tetapi tidak dengan menggunakan cara-cara ilmu pengetahuan belaka, melainkan menggunakan filsafat yang mampu mempersatukan temuan-temuan ilmiah yang terpilahpilah itu, dan menghubungkan konsep-konsep fundamental dari temuan itu secara koheren. Setiap upaya dan tindakan pendidikan selalu mengandung pertanyaan yang bermakna filosofis, baik bagi pendidik maupun peserta didik. “Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. “Mengapa saya mengajar?”. “Apa yang terbaik diajarkan?”, “Mengapa saya mengajar bahasa?”, “Mengapa saya belajar?”, “Mengapa saya belajar matematika?”. Itulah pertanyaan filosofis yang muncul dari guru dan peserta didik, pertanyaan yang terkait dengan hakikat manusia dan dunia, pengetahuan, nilai, dan hidup yang baik. Tiga frase kunci dalam pengertian pendidikan yang disebutkan adalah: 1) kondisi apa adanya, 2) kondisi bagaimana seharusnya, dan 3) proses membawa. Kondisi apa adanya mengisyaratkan keadaan objektif manusia yang memiliki potensi (fitrah), kemerdekaan berpikir, dan hidup dalam konteks (sosio-kultural). Kondisi bagaimana seharusnya mengisyaratkan kea rah mana manusia secara normatif harus mengembangkan diri, untuk menjadi (becoming) dan berada (being). Proses membawa mengisyaratkan hubungan transaksional dan asimilasi untuk memfasilitasi pengembangan fitrah dan kemerdekaan berpikir manusia dalam kaidah-kaidah universal yang tidak lepas dari konteks kea rah yang normatif sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri. Ketiga frase kunci yang disebutkan mengandung makna dan implikasi akan perlunya pemahaman mendalam terhadap kondisi objektif manusia, kondisi bagaimana seharusnya manusia menjadi dan berada, dan bagaimana proses membawa itu dilakukan. Sesuai dengan hakikat ilmu, secara keilmuan, pendidikan memiliki fungsi untuk memahami perkembangan manusia, menjelaskan bagaimana perkembangan manusia terjadi, dan mengendalikan serta memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan manusia, dengan menggunakan cara-cara ilmiah (keilmuan) yang telah diuji secara filosofis kebenarannya untuk membawa manusia ke arah perwujudan hidup sesuai dengan hakikat hidup yang baik dan benar.
97
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
Diakui bahwa untuk membawa manusia ke arah bagaimana seharusnya seperti dimaksud diperlukan ragam alat (tools). Tools berfungsi sebagai ilmu bantu bagi pendidikan, terdiri dari ilmu dasar seperti psikologi, antropologi, sosiologi, matematika di dalam memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku manusia. Maka dapat ditegaskan bahwa pendidikan adalah ilmu. Pendidikan adalah ilmu normatif yang mengkaji situasi pendidikan. Pendidikan bukanlah ilmu fisik atau kealaman, bukan pula ilmu perilaku manusia dan biologi, sebagaimana penggolongan ilmu dibuat, melainkan sebagai ilmu normatif. Memang benar bahwa ilmu pendidikan bersifat hibrida karena dibangun dari ilmu-ilmu dasar, yang berkaitan dengan perilaku manusia, namun semua itu diuji koherensinya dengan filsafat, bersifat normatif, dan melahirkan kajian unik wilayah pendidikan.
98
Persoalan Filsafat Ilmu ______________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorens. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bakker, Anton (1992). Ontologi Metafisika Umum, Yogyakarta: Pustaka Kanisius. Bawingan. (1981). Sebuah Studi tentang Filsafat. Jakarta: Pradya Pramita. Bereiter, Carl (1973). Must We Educate?. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice-Hal, Inc. Hardiman, Franscisco Budi. (1990). Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius. Muhadjir, Noeng. (2001). Filsafat Ilmu. Yogjakarta: Rake Sarasin. Peursen, C.A Van. (1993). Susunan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Solihin (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia, cet-I. Suriasumantri, Jujun S. (1993). Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri, Jujun S. (1997). Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Verhak, C. et. Al. (1995). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nasr, Sayyed Hossen. (1985). Why Was al-Farabi Called the Second Teacher dalam Islamic Culture, 59/4. Tt: Tp. Nasution, Harun. (1992). Falsafat dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Preus, Anthony. (2007). Historical Dictionary of Ancient Greek Philosophy. Lanham, Maryland, Toronto, Plymouth: The Scarecrow Press, Inc. Popper, Karl. (2000). Realism and The Aim of Science. London: Routledge. Rakhmat, Cece. (2010). Membidik Filsafat Ilmu. Modul Kuliah Filsafat Ilmu SPS UPI Bandung. Rosenberg, Alex. (2010). Philosophy of Science A contemporary Iintroduction. New york: Routledge. Russel, Bertrand. (1961). History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times ti the Present Days. London: George Allen & Unwin Ltd. Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah filsafat ilmu dan teknologi. Bandung: Rineka Cipta. Susanto. (2011). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis. Jakarta: Bumi Aksara. Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. (2007). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
99