PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PERKAWINAN USIA DINI (Penelitian di Desa Kontumere Kec. Kabawo Kab. Muna) Oleh: Dede Saban Sungkuwula1 Pembimbing I: Farid Th. Musa, S.Sos.MA Pembimbing II: Yowan Tamu, S.Ag. MA Abstrak Perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan pada usia dini merupakan perkawinan yang dilakukan pada saat dimana umur dari salah satu kedua mempelai masih berada dibawah umur. Sementara itu Undang-Undang telah menetapkan batas usia dalam perkawinan bagi perempuan antara 19-25 tahun, dan bagi laki-laki antara 25-28 tahun. Dengan demikian penelitian ini akan mendeskripsikan “Persepsi Masyarakat Terhadap Perkawinan Usia Dini” di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo Kabupaten Muna. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Kata Kunci: persepsi masyarakat, perkawinan dini. Latar belakang Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja, untuk itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya, yang meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi.
1
Dede adalah salah satu mahasiswa pada Fakultas Ilmu Sosial Program Studi Sosiologi dengan nim 281 409 025 angkatan 2009 di Universitas Negeri Gorontalo, yang saat ini sudah semester akhir, dan meneliti persepsi masyarakat terhadap perkawinan di usia dini.
Perkawinan di usia dini merupakan fenomena yang juga terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya dan agama yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks Negara Indonesia perkawinan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Secara umum dapat diajukan sebuah hipotesa bahwa dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, perkawinan dipersepsikan sebagai suatu keharusan sosial yang merupakan bagian dari warisan tradisi dan dianggap sakral. Sedangkan dalam masyarakat rasional modern,
perkawinan
lebih
dianggap
sebagai
kontrak
sosial,
dan
karenanya perkawinan merupakan sebuah pilihan. Cara pandang tradisional terhadap perkawinan sebagai kewajiban sosial ini, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap fenomena kawin muda yang terjadi di Indonesia.2 Di Kabupaten Muna sendiri khususnya di Desa Kontumere, Kecamatan Kabawo yang telah melangsungkan perkawinan pada usia dini sudah banyak. Sesuai informasi yang didapat dari Bapak Hamadan (Sekertaris Desa di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo) bahwa 20-25% masyarakat di Desa Kontumere Kabupaten Muna telah melangsungkan perkawinan dari umur 14-20 tahun, padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 19-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial. Namun tidak mungkin dipungkiri bahwa tidak semua perkawinan di usia muda berdampak kurang baik bagi sebuah keluarga, karena tidak sedikit bagi yang telah melangsungkan perkawinan di usia dini dapat mempertahankan dan memelihara keutuhan keluarga sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
2
. Syafiq Hasyim; Pernikahan Dini dan Implikasinya terhadap kehidupan Keluarga, hal. 86 .
Oleh sebab itu, berdasarkan pemikiran di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul: Persepsi Masyarakat terhadap Perkawinan Usia Dini di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo Kabupaten Muna. Konsep Perkawinan Dini Perkawinan di usia dini adalah perkawinan yang dilakukan pada saat dimana umur dari salah satu atau kedua mempelai masih dibawah umur. Adapun patokan umur seseorang dalam melangsungkan perkawinan dini berbeda-beda, sesuai dengan sudut pandang yang menilainya. Ada yang mengatakan dibawah umur 21 tahun dan adapula yang mengatakan di bawah umur 17 tahun namum untuk menyamakan persepsi makna pada pernyataan perkawinan dini disini kami artikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh seseorang ketika orang tersebut masih berada di bangku SMP atau sekitar 16 tahun ke bawah.3 Sementara perkawinan yang ideal untuk perempuan adalah umur 21-25 tahun dan laki-laki umur 25-28 tahun. Karena di usia seperti ini secara fisik maupun mental sudah mampu atau sudah ada kesiapan memikul tanggung jawab sebagai suami isteri dalam rumah tangga.4 1. Faktor Perkawinan Usia Dini Dalam melangsungkan suatu perkawinan, perlu mempunyai persiapan dan kematangan baik secara biologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Namun masih ada sebagian masyarakat di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo Kabupaten Muna yang melangsungkan perkawinan usia dini, ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia dini yang antara lain: a. Faktor ekonomi. Perkawinan usia dini terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orangtuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. 3
4
. Aditya Dwi Hanggara, Studi Kasus Pengaruh Budaya dan Maraknya Perkawinan Dini, 5 Mei 2009 hal. 5. Diakses januari 2013 Jazimah Al muhyi; Jangan Sembarang Nikah Dini. Hal 89
b. Faktor kemauan sendiri. Hal ini disebabkan karena keduanya merasa sudah saling mencintai dan adanya pengetahuan anak yang diperoleh dari film atau mediamedia yang lain, sehingga bagi mereka yang telah mempunyai pasangan atau kekasih terpengaruh untuk melakukan perkawinan di usia muda. c. Faktor pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orangtua, anak dan masyarakat, akan pentingnya pendidikan serta kurangnya pengetahuaan akan makna dan tujuaan sebuah perkawinan sehingga menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. d. Faktor keluarga. Biasanya orangtua bahkan keluarga menyuruh anaknya untuk kawin secepatnya sementara umur mereka belum matang untuk melangsungkan perkawinan, karena orangtua dan keluarga khawatir anaknya melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat dekat sehingga segera mengawinkan anaknya. Hal ini merupakan hal yang sudah biasa atau turun-temurun. Sebuah keluarga yang mempunyai anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anak gadisnya menikah. 2. Batas Usia Dalam Melangsungkan Perkawinan Menurut Diane E. Papalia dan Sally Wendkos dalam bukunya Human Development 1995, mengemukakan bahwa usia terbaik untuk melakukan pernikahan bagi perempuan adalah 19 sampai dengan 25 tahun, sedangkan untuk laki-laki usia 25 sampai 28 tahun diharapkan sudah menikah. Karena ini adalah usia terbaik untuk menikah baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama. Dalam perkawinan, usia dan kedewasaan memang menjadi hal yang harus diperhatikan bagi para pria dan wanita yang ingin melangsungkan perkawinan. Karena bila kita melihat fenomena yang ada, pada orang yang dewasa ketika berumah tangga dipandang akan dapat mengendalikan emosi dan kemarahan yang sewaktuwaktu akan muncul dalam keluarga. Ini dimungkinkan karena kualitas akal dan
mentalnya sudah relative stabil sehingga dapat mengontrol diri sendiri maupun dengan pasangan dan lingkungan sekitar. Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi, emosi dan tanggung jawab serta keyakinan agama, ini merupakan modal yang sangat besar dan berarti dalam upaya meraih kebahagiaan. Bila diklasifikasikan aspek-aspek yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai ukuran kualitas pribadi, menyebabkan batasan usia, dalam perkawinan tidak dapat dihindari. Setidaknya ada beberapa macam hal yang diharapkan dari pendewasaan usia, seperti: a) Pendidikan dan keterampilan Dalam bidang pendidikan dan keterampilan merupakan aspek yang sangat penting sebagai bekal
kemampuan
yang harus
dimiliki
bagi
seseorang
yang
melangsungkan perkawinan. Hal ini sebagai penopang dan sumber memperoleh nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan dalam rumah tangga. Dalam proses pendidikan yang ditempuh diharapkan dapat terpancar ilmu pengetahuan sebagai bekal yang tiada tara bila dibandingkan dengan potensi lainnya. Juga bagi seorang wanita, sekalipun bukan sebagai kepala rumah tangga tetapi akan sangat berpengaruh dalam pembentukan rumah tangga dan dalam mewarnai kepribadian anak. Seorang ibu yang baik dan berilmu akan mampu mengarahan anak-anaknya menjadi anak-anak yang berpribadi luhur dan berakhlak mulia. Karena itu peran seorang ibu amatlah besar yang tidak dapat diabaikan. b) Psikis dan Biologis Mentalitas yang mantap merupakan satu kekuatan besar dalam memperoleh keutuhan sebuah rumah tangga. Keseimbangan fisik dan psikis yang ada pada setiap individual manusia dapat membuahkan ketahanan dan kejernihan akal sebagai jenis persoalan yang dihadapi. Akal yang potensial baru dapat muncul setelah mengalami berbagai proses dan perkembangan. Aspek biologis
merupakan potensi yang sangat dominan terhadap keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu keberadaannya tidak boleh diabaikan begitu saja. c) Sosial cultural Pada sisi ini, seorang individu diharapkan mampu membaca kondisi dilingkungan sekitar dan dapat menyesuaikannya. Hal ini agar tercipta suasana dimana dalam suatu rumah tangga yang dibina diakui keberadaannya oleh masyarakat sekitar sebagai bagian dari anggota masyarakat sehingga keluarga yang dibentuk tidak merasa terisolasi dari pergaulan yang bersifat umum. Secara sosiologis kedewasaan merupakan merupakan sesuatu yang didasari atas perbedaan peran sosial yang ditempati. Artinya tingkat perkembangan kedewasaan berbeda-beda sesuai dengan tempat dan lingkungannya. Bagi pasangan dalam satu keluarga perlu memahami dan membekali akan pengetahuan ini, agar kelengkapan potensi yang diperkirakan dapat tercukupi. Dari uraian-uraian tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pembatasan usia dalam perkawinan ialah: 1. Untuk mendapatkan pasangan yang berkualitas, siap memasuki dan mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. 2. Agar didapati pribadi yang mandiri di keluarga yang kuat dan kokoh dalam menghadapi segala problematika keluarga. 3. Agar didapati keturunan yang baik dan berkepribadian luhur dan mulia. Banyak manfaat dari perkawinan di usia dini, namun demikian manfaat ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang sungguh-sungguh ikhlas menikah untuk ibadah diantaranya: 1. Menyelamatkan diri dari penyimpangan seks Mereka yang menyegerakan menikah karena takut terjerumus pada lembah perzinahan sangat agung dalam pandangan agama. 2. Sehat jasmani dan rohani Penyaluran seks yang benar itulah yang menjadi kunci kesehatan jasmani dalam rumah tangga.
3. Lebih cepat memiliki keturunan Diantara tujuan perkawinan adalah untuk memiliki keturunan, nikah di usia dini memungkinkan mempercepat keturunan. Bagi istri memiliki anak dalam rentang waktu usia 20-35 tahun adalah saat yang paling baik, sebaliknya mereka yang baru menikah di atas 30 tahun akan memiliki waktu subur yang sempit. 4. Lebih banyak nilai ibadah. Rumah tangga lebih banyak memberikan nilai ibadah, karena banyak lahan amal dalam rumah tangga. Bagi suami menghidupi anak istri, memberikan nafkah batin, dan lain sebagainya adalah perbuatan yang sangat mulia bahkan tergolong jihad. Begitu juga istri dalam menyediakan makanan bagi suami, menyambut saat datang kerja, mendidik anak-anak akan mendapatkan pahala yang berlimpah. 5. Lebih cepat dewasa Banyak halangan dan rintangan dalam hidup berumah tangga. Halangan itu bila direnungi memberikan pendidikan mental yang baik. Mereka yang sering diterpa barbagai kesulitan akan mudah memahami hidup, karena itu dengan berumah tangga lebih cepat mendewasakan seseorang dan ini penting artinya bagi kelangsungan hidup berikutnya. Semakin cepat menikah maka akan cepat seseorang mencapai kedewasaan. Namun demikian, secara umum perkawinan di usia dini mengandung beberapa kelemahan dan membahayakan kelestarian sebuah rumah tangga, diantara kelemahannya adalah: 1. Belum memiliki kematangan dalam mengurus keluarga, hingga berpengaruh terhadap melemahnya struktur keluarga. 2. Kemungkinan menghasilkan keturunan yang lemah, baik fisik maupun kecerdasannya. 3. Para wanita usia muda yang belum siap memasuki rumah tangga akan banyak menderita, berkeluh kesah dan belum mampu melaksanakan fungsi dan pernannya sebagai seorang ibu yang baik.
4. Besar kemungkinan rusaknya sebuah struktur keluarga, sehingga menyebabkan terjadinya perceraian. Metode Penelitian Pada prosedur kerja dalam suatu penelitian, masalah pendekatan merupakan permasalahan inti metodologi penelitian. Sudut pandang seseorang peneliti dalam melihat masalah yang diteliti tergantung dari pendekatan yang digunakan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pelitian ini peneliti mengunakan pendekatan deskriptif dengan jenis penelitian kualitatif. Lebih lanjut Arikunto 2002:24 mengemukakan bahwa “metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu organisme (individu) lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit”.5 Dengan demikian jelaslah bahwa data kualitatif merupakan data berbentuk paparan dan mengandung makna tertentu permasalahan yang diteliti, dalam hal ini adalah bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap perkawinan dini di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo. Hasil Penelitian Desa Kontumere memiliki luas 602,47 Ha ini ternyata mempunyai jumlah penduduk yang cukup padat, yaitu: 4832 jiwa yang terdiri dari: 2.374 jiwa laki-laki dan 2.458 jiwa perempuan. Dari semua jumlah penduduk yang ada di Desa Kontumere tersebut semua adalah penduduk pribumi yakni asli keturunan Warga Muna. Jumlah penduduk yang ada di Desa Kontumere dapat dibedakan menurut tingkat usia, sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
5
Prof . Dr Suharsini Arikunto; Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Penerbit Rineka Cipta Jakarta.
Tabel 1. Keadaan Penduduk Desa Kontumere No.
Golongan Umur
Jenis Kelamin Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Prosentase (%)
1
0 - 12 bulan
56
60
116
2.40
2
13 bln - 4 thn
114
123
237
4.90
3
5 - 6 tahun
76
82
158
3.27
4
7 - 12 tahun
245
252
497
10.29
5
13 - 15 tahun
122
127
249
5.15
6
16 - 18 tahun
124
130
254
5.26
7
19 - 25 tahun
271
277
548
11.34
8
26 35 tahun
314
323
637
13.18
9
36 - 45 tahun
288
295
583
12.07
10
46 - 50 tahun
119
125
244
5.05
11
51 - 60 tahun
237
243
480
9.93
12
61 - 75 tahun
307
313
620
12.83
13
> 76 tahun
101
108
209
4.33
Jumlah
2374
2458
4832
100
(Sumber Data: Desa Komentumere, 2012)6 Kehidupan keagamaan bagi masyarakat Kontumere cukup kental dalam ritual Islam, karena penduduknya mayoritas beragama Islam. Sebagian besar Masjid di desa ini tidak hanya dipergunakan sebagai tempat ibadah shalat, tetapi juga dijadikan sebagai TPA dan TPQ. Bidang pekerjaan, masyarakat Kontumere umumnya bekerja sebagai petani, meskipun masih ada sebagian kecil yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai, wiraswasta, dan juga karyawan. Akan tetapi, di Desa Kontumere ini banyak penduduk yang masih belum bekerja atau belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Hal ini terbukti dengan adanya warga yang belum punya pekerjaan atau
6
Sumber Data: Profil Desa Kontumere Kecamatan Kabawo Kabupaten Muna, 2012.
pengangguran. Sebagian dari warga yang belum punya pekerjaan adalah para remaja yang hanya mengandalkan lowongan pekerjaan sebagai buruh kasar. Pembahasan Persepsi Masyarakat Terhadap Perkawinan Usia Dini Perkawinan usia dini (pernikahan dini) adalah realita yang setidaknya dipicu oleh dua faktor dan membaginya dalam dua golongan. Faktor penyebab menikah muda, pertama, dilatarbelakangi oleh kesadaran moral yang sangat tinggi terhadap agama untuk memelihara dari perbuatan hina. Dan kedua, karena keterpaksaan. Pemicu terbesarnya dalam hal ini adalah hamil di luar nikah. Menikah di usia remaja merupakan fenomena di masyarakat yang tentu saja memancing pro kontra. Ada yang sinis, khawatir dan adapula yang mendukung. Jika mengacu pada aturan negara, bahwa: Usia boleh menikah bagi pria adalah 19 tahun dan usia 16 tahun bagi wanita. Dengan adanya UU ini akan ada batasan usia, pernikahan di usia muda dapat dilakukan bila usia seseorang sudah sesuai UU Pernikahan yang berlaku di Indonesia. (UU Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 tentang Perkawinan). Namun pada kenyataannya yang melakukan pernikahan khususnya di daerahdaerah pedesaan, mereka menikah di usia yang sangat dini yaitu yang berkisar antara usia 12-15 tahun dan tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Jadi, dalam UU Perkawinan, bisa disimpulkan bahwa yang disebut pernikahan dini adalah pernikahan di bawah usia 19 tahun bagi pria, dan dibawah 16 tahun bagi wanita. Namun, meskipun sudah jelas terdapat pasal-pasal dan UU yang membahas tentang batasan usia pada pria atau wanita yang ingin melangsungkan pernikahan, tetap saja masih ada pasangan yang melangsungkan pernikahan di bawah usia yang sudah ditentukan oleh UU Perkawinan. Terlepas dari ketentuan-ketentuan formal hukum yang mengatur usia perkawinan, sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, perkawinan di bawah umur masih menjadi fenomena yang hidup dalam masyarakat Indonesia baik secara terangterangan maupun sembunyi-sembunyi. Pelaksanaan UU tersebut masih belum
sepenuhnya berjalan dengan baik. Pada sisi lain, keberadaan kitab-kitab fikih klasik (kuning) masih tetap menjadi rujukan dan pedoman kuat bagi masyarakat Indonesia. Boleh jadi sebagian masyarakat Islam Indonesia memandan UU Perkawinan tidak mewakili hukum Islam. Sebaliknya, teks-teks fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab Kuning dipandang sebagai benar-benar Islami, yang karena itu sepenuhnya harus diterapkan. Inilah sebabnya kita masih melihat banyaknya perkawinan di bawah umur di tengah-tengah masyarakat. Fenomena perkawinan dini di usia anak-anak tidaklah jauh berbeda dengan fakta lain yang mempengaruhi, yakni perilaku seksual remaja atau hubungan seks pra nikah sering berujung pada pernikahan dini. Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas ke-2, terkadang orangtua ingin mempercepat pernikahan dini dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, ditambah lagi dengan anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua. Mengingat remaja yang kawin di usia dini yang diakibatkan hamil pra nikah tersebut di atas, problema masyarakat di Desa Kontumere Kecamatan Kabawo dewasa ini telah menghebohkan warga masyarakat setempat. Adanya praktek “pergaulan bebas” secara langsung telah mendorong orangtua untuk memilih menikahkan anaknya demi menutupi aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran. Dari beberapa pernyataan tokoh masyarakat di Desa Kontumere, mayoritas berpendapat bahwa pernikahan dini yang diakibatkan hamil pra nikah di Desa Kontumere sebenarnya banyak yang kurang setuju. Akan tetapi seandainya tidak dilanjutkan dengan pernikahan dari hasil pergaulan bebas itu tadi, nantinya akan mendapat dampak negatif juga dari penilaian masyarakat kepada keluarganya dan juga kepada yang bersangkutan. Berikut penuturan bapak La Ode Sabora (Tokoh Agama): “kalau wanita sudah hamil wajib dinikahkan karena tidak ada pilihan lain, terlepas dari pada opini masyarakat itu nikah dini ataupun bukan. Nikah dini ataupun
bukan, kalau sudah hamil itu wajib dinikahkan menurut pandangan agama. Agar anak yang dilahirkan ini nantinya punya status atau punya orangtua.”7 Menurut asumsi dari sebagian besar tokoh masyarakat, zaman sekarang ini banyak yang hamil di luar nikah, sikap para remaja sama masyarakatnya tidak merasa malu dan biasa-biasa saja. Tapi ada juga yang merasa malu dan menanggung beban mental, tapi hanya sebagian kecil saja. Pernyataan tersebut menunjukan keserasian dengan ulasan Aspian Ibranur (2013:58-59), bahwa; “Saat ini realitas di daerah Muna banyak hal nilai-nilai ke-Muna-an yang bergeser. Jika pada zaman dulu sangat menjaga kehormatannya, maka sekarang banyak perempuan yang hamil di luar nikah. Bahkan, ada perempuan anak yang melahirkan anak tanpa memiliki suami. Sungguh memalukan! Padahal, kesucian seorang gadis merupakan tirai kehormatan yang harus dijaga oleh siapa saja, baik si wanita itu sendiri maupun si lelaki”.8 Pernyataan tersebut menunjukkan, bahwasannya rusaknya moral menjadi sangat relevan dengan adanya praktik perkawinan pada usia dini. Dampak lanjutan dari perkawinan dini dari pandangan beberapa tokoh masyarakat ternyata cukup kompleks, sehingga membuat remaja merasa tertekan, stress, menutup diri dengan masyarakat dan seringkali tidak mampu menghadapinya dengan baik. Sementara dari pihak masyarakat ada yang merendahkan dan mencemoh, dan ada juga masyarakat yang mau menerima dan terbuka dengan mereka. Asalkan dari pihak remaja ada kemauan yang kuat untuk berusaha merubah diri serta mendekat kepada masyarakat. Sehingga masyarakat akan menerima dan melibatkan remajanya dalam kegiatan sosial. Semua itu tergantung dari pada pandangan pribadi individu masyarakatnya masing-masing.
7 8
Wawancara dengan Bapak La Ode Sabora, Selasa 5 maret 2013 Aspian Ibranur. 2013. Saya Malu Sebagai Orang Muna. Membongkar Tabir Kehidupan Masyarakat. (Yogyakarta: Indie Book Corner). Hlm. 58-59.
Sedangkan dalam konsekuensi sosiologis dalam sangsi sosial, orangtua yang memiliki anak melangsungkan perkawinan pada usia dini terkadang sedikit menanggung rasa malu. Sementara itu, konsekwensi hukum yang dihadapi oleh remaja yang kawin pada usia dini karena hamil pra nikah, maka dimintai pertanggungjawabannya dengan melangsung pernikahan secara resmi yang diakui oleh pemerintah. Dengan menikah resmi, mereka akan terhindar dari sangsi sosial, sebab mereka menjadi suami istri yang sah. Sehingga kalau mereka mempunyai anak, anak tersebut sudah sah secara hukum yang tertuang dalam hukum perkawinan. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah sebagai berikut. 1) Perkawinan pada usia dini boleh dilakukan jika yang bersangkutan telah hamil pra nikah. Jika hal ini terjadi, maka harus secepatnya dinikahkan demi untuk menutup aib dan menyelamatkan status anak pasca kelahiran. Disamping itu, perkawinan dini dimaksudkan untuk menjaga dari fitnah. Terjadinya kehamilan pra nikah di usia dini ini, salah satunya karena minimnya pengetahuan terutama di bidang agama serta kurangnya bimbingan orangtua. 2) Dampak sosial yang nantinya bisa diterima oleh pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia dini adalah adanya cemoohan dari masyarakat sehingga mempengaruhi kebahagiaan dan keharmonisan mereka dalam berumahtangga. Masyarakat mau terbuka atau tidaknya; tergantung dari pasangan yang mau bersosialisasi dengan mereka, sehingga masyarakat mau menerima. Karena masyarakat Kontumere ini lebih besar sosialnya sehingga masyarakat mau menerima. Akan tetapi yang namanya aib, itu tidak akan pernah terhapus di masyarakat. 3) Faktor-faktor yang menjadi penyebab perkawinan usia dini di Desa Kontumere karena diakibatkan oleh faktor ekonomi, kemauan sendiri, dan masalah pendidikan. Di lain pihak, masalah yang sering dialami oleh pasangan yang kawin
pada usia dini adalah masalah dari suami-istri itu sendiri (internal keluarga) serta adanya keegosian mempertahankan pendapat dalam pengasuhan anak. Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka bersama ini Penulis memberikan saran, yakni sebagai berikut. 1) Diharapkan kepada para remaja kiranya dapat menghindari pola pergaulan yang dapat merusak diri. Karena pada umumnya, kepribadian seorang remaja banyak ditentukan oleh lingkungan pergaulan. Dan, apabila sudah “pantas dan siap”, maka segeralah menikah daripada tetap berpacaran dan melakukan zina. 2) Agar perkawinan pada usia dini yang terjadi di masyarakat tidak semakin meningkat, sebagai orangtua perlu terus menerus melakukan pendampingan pada anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya. Selain itu juga para orang tua tidak membiarkan anak-anak perempuannya yang masih belia, dipinang pria walau diiming-imingi “angin surga,” yang kemudian ternyata menghancurkan masa depan anak perempuan itu. 3) Bagi aparat pemerintah, kiranya dapat membuat program-program yang dapat membantu memperkecil angka pernikahan dini, serta program lainnya yang bisa menjauhkan remaja untuk berbuat zina. Untuk itu para aparat pemerintah dan masyarakat lebih peduli dengan lingkungan sekitar dan tegas menegakkan hukum. DAFTAR PUSTAKA Aan Komariah, Djam’an Satoni. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Arikunto Suharsini. 1997. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Aspian Ibranur. 2013. Saya Malu Sebagai Orang Muna. Membongkar Tabir Kehidupan Masyarakat. (Yogyakarta: Indie Book Corner). Bagir, Muhammad. 2008. Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur;an, As-sunnah dan Pendapat Ulama. Bandung: Karisma.
Bimo Walgito, 2000. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Andi Yogyakarta Biro Pusat Statistik, 1986. Pola Umur Perkawinan. Jakarta Daradjat Zakiyah 1975. Remaja Sebagai Anak Yang Ada Pada Masa Peralihan Menuju Usia Dewasa. Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. Elizabeth, B. Hurlock,1994. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Anggota IKAPI. Evelyn Suleeman. 1999,”Hubungan-hubungan dalam keluarga”,Dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Goode, Willian J. 1995. Sosiologi Keluarga. Terj. Lailahanoum, Jakarta: Harahap, Yahya. 2007. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading. Hurlock, 1993).. Indahnya Perkawinan Dini. Jakarta: Gema Insani. Horton dan Chester. 1984. Sosiologi edisi keenam. Jakarta: Erlangga Jazimah Al Muhyi, Asma Nadia, 2006. Jangan Sembarang Nikah Dini Lingkar Pena. Depok Jumali. Abdul. 1986: 12. Pernikahan Adalah Ikatan Lahir Batin Antara Pria Dan Wanita Untuk Melanjutkan Keturunan. Jakarta: Permata. Jusuf. 2004;39. Sudut Pandang Sosiologi Fungsi Keluarga. Surabaya: PT. Sinar Sejahtera Papalia and Olds, 1986. 2004. Pernikahan Dini. Bandung: Mujahid. Pasal 7 Ayat (1) UU No.1 Tahun 74. Batas Umur Pernikahan: Permata Soerjono, Soekanto. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:PT. Grafinda. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Alfabeta Sylvanus M. duvall. 2002. Diambang Pernikahan. Jakarta: Mitra Utama. T.O Irhomi. 1999. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia www.skripsikuliah.co.cc/.../perkawinan-usia-muda-faktor-faktor.html Zaini Hasan. 1996. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Tut Wuri handayani.