PERSEPSI AUDITOR EKSTERNAL TENTANG DETERMINAN PENCEGAHAN KECURANGAN LAPORAN KEUANGAN Anna Yulifah Program Studi Akuntansi Universitas Brawijaya Jalan Veteran 15 Malang Dosen Pembimbing: Gugus Irianto, SE., MSA., Ph.D., Ak. Abstract The purpose of this research was to determine how the financial statement fraud prevention efforts according to the external auditor's perception based on experience in auditing and finding cases of financial statement fraud. Theoretical base used in this research is the theory of Albrecht (2012:120) that describes about fraud prevention measures comprehensively. The first involves creating a culture of honesty, openness, and assistance, the second involves eliminating fraud opportunities. This research used qualitative methods and has interviewed five informants, they are three partners, one senior auditor, and one junior auditor from four different Public Accounting Firm in Malang. The results showed that financial statements fraud can occur in different entities, can be done by the various parties, and have different types. Based on the external auditor’s experience in financial statements audit, fraud cases found are tax issues and irregularities in the assets recognition. From several determinants of financial statements fraud prevention, the external auditor gives an opinion that the prevention efforts must be prioritized by the company is implementing a good internal controls system, including the internal audit position that perform surveillance periodically, implementing control activities through separation of duties, authorization function, documentation function, and planning functions, also implement controls of the accounting system through the application of good and conservative standards. Keywords:
perception, external auditor, prevention, fraud, financial statement fraud. Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan menurut persepsi auditor eksternal berdasarkan pengalamannya dalam mengaudit dan menemukan kasus kecurangan laporan keuangan. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Albrecht (2012:120) yang menjelaskan secara komprehensif tentang upaya pencegahan tindakan kecurangan, antara lain menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan serta mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif serta telah mewawancarai lima orang informan, yakni tiga partner, satu senior auditor, dan satu junior auditor yang berasal dari empat Kantor Akuntan Publik (KAP) berbeda di Kota Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan dapat terjadi di berbagai entitas, dilakukan oleh berbagai pihak, serta ada berbagai jenis. Berdasarkan pengalaman auditor eksternal dalam memeriksa laporan keuangan, kasus kecurangan yang pernah ditemui adalah masalah perpajakan serta ketidakwajaran dalam pengakuan aset. Dari beberapa determinan pencegahan kecurangan laporan keuangan, auditor eksternal berpendapat bahwa upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan adalah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik, diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan konservatif. Kata kunci: persepsi, auditor eksternal, pencegahan, kecurangan, kecurangan laporan keuangan. 1
2 PENDAHULUAN Secara umum, akuntansi didefinisikan sebagai sistem informasi yang bertujuan untuk memberikan laporan kepada pihak-pihak berkepentingan mengenai kondisi serta kinerja operasional dari suatu entitas. Sedangkan menurut pengertian yang lebih komprehensif, Arens, Elder, dan Beasley (2003:18) mendefinisikan bahwa akuntansi adalah proses pencatatan, pengklasifikasian, serta pengikhtisaran peristiwa-peristiwa ekonomi dengan perlakuan yang logis yang bertujuan menyediakan informasi keuangan, yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa akuntansi berfungsi untuk menunjukkan informasi keuangan dari suatu entitas melalui pelaporan keuangan, dimana informasi tersebut mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Disamping itu, laporan keuangan dapat menunjukkan informasi lain yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan atau stakeholder, yakni efisiensi dan efektivitas kinerja operasional entitas, tingkat likuiditas dan profitabilitas, tren pertumbuhan laba, tingkat pendapatan atau penjualan, serta akuntabilitas aset. Berdasarkan fungsi dan peranan laporan keuangan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam suatu entitas sering ditemukan praktik kecurangan laporan keuangan guna memenuhi ekspektasi atau harapan dari stakeholder yang bersangkutan. Disamping itu, adanya benturan kepentingan juga dapat mendorong terjadinya praktik manipulasi laporan keuangan, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan pihak-pihak tertentu. Hal tersebut tentu dapat mempengaruhi kewajaran dalam penyajian laporan keuangan sehingga informasi yang disajikan menjadi tidak akurat. Contoh kasus kecurangan laporan keuangan yang pernah terjadi di Indonesia adalah manipulasi laporan keuangan PT. Kereta Api Indonesia (2006) dan Bank Century (2008). Disamping itu, berdasarkan data Asia-Pacific Fraud Survey tahun 2013 oleh KAP Ernst & Young, sebanyak 79% dari responden Indonesia menyatakan bahwa kasus kecurangan sudah tersebar luas, terutama pada kasus penyuapan dan korupsi. Dari hasil survei tersebut, responden menyatakan bahwa lemahnya pengendalian dan pengawasan juga turut mendorong terjadinya tindakan kecurangan pada laporan keuangan. Sebanyak 29% dari responden menyatakan bahwa praktik yang paling umum dilakukan adalah mendahulukan pengakuan pendapatan serta mengurangi biaya penyusutan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kecurangan laporan keuangan di Indonesia masih cukup marak serta memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi. Motif dan metode yang dilakukan oleh pelaku kecurangan (perpetrators of fraud) juga cukup bervariasi sehingga hal ini perlu diwaspadai oleh berbagai pihak, terutama adalah perusahaan. Upaya pencegahan, pendeteksian, dan audit investigasi merupakan serangkaian prosedur yang bertujuan untuk meminimalisir tindakan kecurangan. Penelitian ini berfokus pada upaya pencegahan, karena upaya pencegahan merupakan tindakan preventif yang perlu dilakukan sebelum fraud terjadi serta dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan. Penelitian ini akan membahas seputar determinan atau upaya pencegahan tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada laporan keuangan. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Albrecht (2012:120), karena dalam teori tersebut telah menjelaskan secara komprehensif bagaimana upaya pencegahan tindakan kecurangan, yakni menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan (creating a culture of honesty, openness, and assistance) serta mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan (eliminating fraud opportunities). Menurut Messier, Glover, dan Prawitt (2006:65), auditor eksternal sering disebut dengan istilah auditor independen karena auditor tersebut dipekerjakan oleh entitas yang diaudit. Lingkup pemeriksaan yang dilaksanakan oleh auditor eksternal adalah audit laporan keuangan. Fungsi dari audit laporan keuangan adalah untuk mengetahui kemungkinan terjadi kesalahan dalam laporan keuangan tersebut, baik disengaja maupun tidak disengaja, karena laporan keuangan tersebut belum diuji tingkat kewajaran dan keabsahannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan mengingat informasi dalam laporan keuangan berperan penting dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Penelitian ini menggunakan persepsi atau sudut pandang auditor eksternal karena auditor eksternal bersifat independen serta berpengalaman dalam melakukan pemeriksaan atau mengaudit laporan keuangan. Berdasarkan pengalaman tersebut, auditor eksternal tentu pernah menemui
3 bentuk-bentuk tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada laporan keuangan. Ketika melakukan general audit, auditor eksternal juga bisa melihat adanya indikasi tindakan kecurangan melalui pos-pos yang dinilai tidak biasa atau tidak wajar, sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut diharapkan auditor eksternal dapat memberikan masukan mengenai bagaimana upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan, serta upaya pencegahan mana yang harus diutamakan oleh perusahaan. Saran dan masukan yang diberikan oleh auditor eksternal diharapkan dapat memberikan manfaat serta dapat meminimalisir resiko yang ditimbulkan. TELAAH TEORI 1. Persepsi Kotler dan Armstrong (2008:174) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran dunia yang berarti. Pengertian lain mengenai persepsi juga dijelaskan oleh Gibson, Ivancevich, dan Donnely (1997:53), yakni proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Oleh karena tiap-tiap orang memberi arti kepada stimulus (rangsangan), maka individu yang berbeda-beda akan melihat barang yang sama namun dengan cara yang berbeda. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa persepsi terkait dengan bagaimana cara pandang individu terhadap suatu fenomena yang terjadi di sekitarnya, berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman, serta persepsi dari masing-masing individu bisa sama atau berbeda. Rahmat (2005) dalam Setiawati (2012) menjelaskan bahwa faktor-faktor personal yang dapat mempengaruhi persepsi interpersonal antara lain pengalaman, motivasi, dan kepribadian. Sedangkan menurut Robbins dan Coulter (2010:55), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dapat berasal dari dalam diri perseptor, dalam target yang dipersepsikan, atau dalam situasi dimana persepsi itu terjadi. 2. Auditing Menurut The Report of the Committee on Basic Auditing Concept of the American Accounting Association dalam Boynton dan Johnson (2006:6), auditing didefinisikan sebagai suatu proses sistematis yang bertujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti mengenai asersi atau pernyataan tentang kegiatan ekonomi dan peristiwa untuk memastikan derajat korespondensi antara asersi tersebut dan kriteria yang ditetapkan serta mengomunikasikan hasil tersebut kepada pengguna yang berkepentingan. Sedangkan menurut Messier, Glover, dan Prawitt (2006:16), proses sistematis tersebut mengimplikasikan bahwa ada pendekatan yang terencana dengan baik dalam melaksanakan audit guna untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti audit secara objektif. Auditor harus mencari secara objektif dan mengevaluasi relevansi dan validitas dari bukti-bukti audit untuk menilai keandalan dan keabsahannya, karena bukti audit yang berkualitas akan berpengaruh terhadap pencapaian tujuan audit. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa proses audit harus dilakukan secara sistematis untuk mengevaluasi keabsahan bukti-bukti yang ada. Menurut Bayangkara (2008:4), aktivitas audit terdiri dari empat jenis yang dibedakan berdasarkan tujuannya, antara lain: 1. Audit laporan keuangan, bertujuan untuk menentukan apakah laporan auditee telah disusun sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Audit kepatuhan, bertujuan untuk menentukan tingkat kepatuhan suatu entitas terhadap hukum, kebijakan, rencana, dan prosedur. 3. Audit internal, bertujuan untuk menilai keandalan laporan keuangan, menentukan tingkat kepatuhan suatu entitas, menilai pengendalian internal organisasi, menilai efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya, serta program peninjauan terhadap konsistensi hasil dengan tujuan organisasi. 4. Audit operasional dan audit manajemen, bertujuan untuk menilai efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya dalam suatu entitas.
4 Menurut Agoes (2012:10), aktivitas audit terdiri dari dua jenis yang dibedakan berdasarkan luas pemeriksaannya, antara lain: 1. Pemeriksaan Umum (General Audit). Pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) independen bertujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. 2. Pemeriksaan Khusus (Special Audit). Pemeriksaan khusus atau pemeriksaan terbatas, yakni sesuai dengan permintaan auditee, dilakukan oleh KAP independen dan pada akhir pemeriksaan auditor tidak perlu memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa karena prosedur audit yang dilakukan juga terbatas. Jika ditinjau menurut entitas yang di audit, profesi auditor dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, antara lain: 1 1. Auditor Eksternal. Auditor eksternal sering disebut sebagai auditor independen karena auditor tersebut dipekerjakan oleh entitas yang diaudit. Tugas dari auditor eksternal adalah mengaudit laporan keuangan untuk perusahaan publik dan nonpublik, persekutuan, pemerintah kota, individu, atau jenis entitas lainnya. 2. Auditor Internal. Auditor internal adalah auditor yang dipekerjakan oleh satu perusahaan, persekutuan, badan pemerintah, individu, dan entitas lainnya. Menurut Institute of Internal Auditor, audit internal adalah aktivitas independen, kepastian objektif, dan konsultasi yang dirancang untuk menambah nilai dan meningkatkan operasi organisasi. Audit internal dapat membantu organisasi mencapai tujuannya dengan membawa pendekatan sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses kepengurusan. 3. Auditor Pemerintah. Auditor pemerintah dipekerjakan oleh badan atau negara. Auditor pemerintah melaksanakan audit atas aktivitas, transaksi keuangan, dan akun dari pemerintahan. Auditor pemerintah juga dapat melakukan audit khusus, survei, dan investigasi. 4. Auditor Forensik. Auditor forensik dipekerjakan oleh perusahaan, badan pemerintah, kantor akuntan publik, dan perusahaan jasa konsultasi dan investigasi. Auditor forensik dilatih untuk mendeteksi, menginvestigasi, dan mencegah kecurangan serta kejahatan kerah putih. Profesi yang menjalankan praktik auditing secara independen adalah auditor eksternal. Istilah auditor eksternal juga berkaitan istilah akuntan publik dan/atau pihak terasosiasi. Menurut Aturan Etika Profesi Akuntan Publik (IAI, 20000.1-20000.6) dalam Agoes (2012:44), akuntan publik adalah akuntan yang memiliki izin dari Menteri Keuangan atau pejabat yang berwenang lainnya untuk memberikan jasa serta menjalankan praktik akuntan publik. Sedangkan menurut UndangUndang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik, pihak terasosiasi adalah rekan KAP yang tidak menandatangani laporan pemberian jasa, pegawai KAP yang terlibat dalam pemberian jasa, atau pihak lain yang terlibat langsung dalam pemberian jasa. Dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa laporan keuangan, auditor eksternal harus berpedoman pada kode etik profesi, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), serta Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku di Indonesia untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik. Menurut Arens, Elder, dan Beasley (2008) dalam Kusumawati (2013), hierarki struktur organisasi KAP terdiri dari: 1
William F. Messier Jr, Steven M. Glover, dan Douglas F. Prawitt, Jasa Audit dan Assurance : Pendekatan Sistematis Edisi 4 Buku 1 (Jakarta : Salemba Empat, 2006), hh. 65-68.
5 1. Junior auditor atau asisten, bertugas melakukan sebagian besar pekerjaan audit yang terperinci. 2. Senior auditor atau penanggung jawab, bertugas mengoordinasikan dan bertangung jawab atas pekerjaan lapangan audit, termasuk mengawasi dan menelaah pekerjaan staf. 3. Manager, bertugas membantu penanggung jawab merencanakan dan mengelola audit, menelaah pekerjaan penanggung jawab, serta membina hubungan dengan klien. Seorang manager mungkin bertanggung jawab atas lebih dari satu penugasan pada saat yang sama. 4. Partner, bertugas menelaah keseluruhan pekerjaaan audit dan terlibat dalam keputusankeputusan audit yang signifikan. Seorang partner adalah pemilik KAP dan karenanya mengemban tanggung jawab akhir dalam melaksanakan audit dan melayani klien. 3. Tindakan Kecurangan (Fraud) Menurut Albrecht (2012:6), tindakan kecurangan atau fraud merupakan istilah umum, dan mencakup segala bentuk kecerdikan manusia dalam hal perancangan, yang dipaksakan oleh satu individu, untuk mendapatkan keuntungan lebih melalui pernyataan palsu. Tidak ada aturan yang pasti serta tidak ada yang bisa ditetapkan sebagai usulan umum dalam mendefinisikan fraud, karena mencakup hal-hal yang mengejutkan, penipuan, kelicikan atau kecerdikan, serta cara-cara yang tidak adil. Satu-satunya batas yang mampu mendefinisikan fraud adalah hal-hal yang dapat membatasi ketidakjujuran manusia. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan kecurangan atau fraud merupakan tindakan yang salah serta dinilai tidak bertanggung jawab, karena fraud bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menghalalkan segala cara namun konsekuensinya adalah merugikan bagi kepentingan pihak yang lain. Motif pendorong terjadinya tindakan kecurangan sering disebut dengan istilah fraud triangle yang merupakan hasil penelitian dari Donald R. Cressey pada tahun 1950. Tiga elemen yang terdapat pada fraud triangle antara lain: 1. Tekanan. Faktor pendorong munculnya motif tekanan yakni adanya kebutuhan keuangan, gaya hidup, serta tekanan pihak lain yang menyebabkan seseorang terdorong melakukan tindakan fraud. 2. Peluang. Faktor pendorong munculnya motif peluang yakni lemahnya sistem pengendalian internal, kepercayaan terhadap tugas seseorang yang terlalu luas dan berlebihan, minimnya pelatihan dan supervisi, kurangnya tuntutan untuk pelaku kecurangan, ketidakefektifan program dan kebijakan anti fraud, serta lemahnya budaya etis. 3. Rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan tindakan mencari pembenaran sebelum melakukan tindakan kecurangan dimana pembenaran tersebut digunakan sebagai motivasi untuk melakukan kejahatan. Rasionalisasi dapat terjadi karena pelaku kecurangan merasa tindakannya tidak bersifat ilegal walaupun tindakan tersebut dinilai tidak etis, serta ada anggapan bahwa uang yang dicurinya pasti akan dikembalikan di kemudian hari. Menurut Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dalam Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse, tindakan kecurangan terdiri dari tiga jenis, yakni kecurangan laporan keuangan (fraudulent statement), penyalahgunaan aset (asset misapropriation), dan korupsi (corruption). Menurut Purjono (2012:3), kecurangan laporan keuangan adalah suatu jenis kecurangan yang menyebabkan terjadinya kesalahan material pada laporan keuangan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menghilangkan transaksi, membuat transaksi palsu, pernyataan saldo akhir yang salah, pengungkapan atas laporan keuangan yang tidak lengkap, atau penerapan standar yang salah namun dilakukan secara sengaja. Sedangkan tindakan kecurangan berupa penyalahgunaan aset dapat diklasifikasikan dalam dua cabang utama, yakni kecurangan yang bersifat cash dan non cash. Kemudian contoh tindakan kecurangan yang masuk dalam kategori korupsi yakni conflict of interest, bribery atau penyuapan, illegal gratuity, dan economic extortion. Menurut ketentuan dalam SA Seksi 316 tahun 2001 tentang pertimbangan atas kecurangan dalam audit laporan keuangan, ada dua tipe salah saji yang relevan dengan pertimbangan auditor
6 tentang kecurangan dalam audit atas laporan keuangan, yakni salah saji yang timbul sebagai akibat dari kecurangan dalam pelaporan keuangan, serta kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva. Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan adalah salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan. Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut tindakan-tindakan berikut ini. 1. Manipulasi, pemalsuan, atau perubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi sumber data bagi penyajian laporan keuangan 2. Representasi yang salah dalam atau penghilangan dari laporan keuangan peristiwa, transaksi, atau informasi signifikan 3. Salah penerapan secara sengaja prinsip akuntansi yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan. Sedangkan salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva, atau yang seringkali disebut dengan tindakan penyalahgunaan dan penggelapan, hal tersebut berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang atau uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar harga barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu dan menyesatkan, serta dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara manajemen, karyawan, atau pihak ketiga. 4. Tata Kelola Perusahaan Menurut Saifuddien Hasan (2000) dalam Amrizal (2004), dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dapat meningkatkan kultur organisasi yang saling terkait agar dapat mendorong kinerja perusahaan secara efisien serta menghasikan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance antara lain, keadilan, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, moralitas, keandalan, dan komitmen. Hal tersebut apabila telah diimplementasikan oleh perusahaan dengan baik, maka resiko terjadinya tindakan kecurangan akan dapat diminimalisir. 5. Determinan Pencegahan Kecurangan Laporan Keuangan Penelitian ini menggunakan teori Albrecht (2012:120) sebagai basis teori atau acuan utama, karena dalam teori tersebut telah merumuskan serangkaian upaya pencegahan yang sifatnya lebih komprehensif. Upaya tersebut terdiri dari dua determinan (faktor) utama, yakni menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan (creating a culture of honesty, openness, and assistance) serta mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan (eliminating fraud opportunities). Menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan merupakan serangkaian aktivitas yang bertujuan untuk meminimalisir tindakan kecurangan pada lingkungan internal suatu entitas dengan menitikberatkan pada stakeholder entitas tersebut. Upaya ini terdiri dari tiga sub faktor, antara lain: a. Merekrut karyawan yang jujur serta memberikan pelatihan fraud awareness. Hal tersebut perlu dilakukan karena berkaitan dengan etos kerja serta profesionalitas yang dimiliki. Resiko terjadinya tindakan kecurangan dapat diminimalisir apabila karyawan tersebut jujur, cakap, dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Sebelum merekrut karyawan, suatu entitas harus menerapkan prosedur yang tepat serta menelusuri latar belakang calon karyawan tersebut apakah pernah terlibat kasus kriminal atau tidak. Hal pertama yang harus dilakukan oleh entitas yakni melakukan verifikasi terhadap semua informasi dalam berkas-berkas pelamar. Kedua, entitas harus memastikan bahwa seluruh informasi dalam berkas-berkas tersebur benar-benar akurat. Ketiga, proses perekrutan harus dilengkapi dengan
7 wawancara khusus untuk pelamar. Setelah prosedur penerimaan karyawan selesai, maka karyawan yang lolos tahapan tersebut perlu diberikan pelatihan fraud awareness, yakni pelatihan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran karyawan terhadap resiko terjadinya kecurangan. Menurut Lavery, Lindberg, dan dan Razaki (2000:40), salah satu penyebab mengapa dalam suatu entitas sangat rawan terjadi tindakan kecurangan karena manajemen dan karyawan tidak memahami fraud awareness secara memadai. Akibatnya, pihak-pihak tersebut tidak menyadari besarnya resiko terjadinya tindakan kecurangan sehingga tidak mempunyai langkah pencegahan yang tepat. b. Menciptakan lingkungan kerja yang positif. Menciptakan lingkungan kerja yang positif dalam suatu dapat dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan menciptakan budaya kejujuran melalui pengembangan kode etik organisasi, mempunyai kebijakan akses yang mudah, serta mempunyai personil dan prosedur operasional yang positif. Kode etik organisasi sebaiknya menjelaskan tentang mana tindakan yang dapat diterima dengan tindakan yang tidak diterima, perilaku disiplin, serta kontak bagi whistleblower untuk melaporkan informasi tindakan kecurangan. Kode etik organisasi juga harus sering dikomunikasikan serta ditunjukkan secara jelas, tujuannya agar karyawan dapat membaca kode etik tersebut secara rutin sehingga mampu memberikan pemahaman mengenai mana perilaku yang tepat dengan perilaku yang tidak tepat. Disamping itu, menerapkan kebijakan akses yang mudah juga dapat mencegah peluang terjadinya fraud melalui dua cara. Pertama, seseorang yang terdorong untuk melakukan tindakan kecurangan karena tidak ada pihak yang dapat diajak berbagi (sharing), sehingga orang tersebut akan menyimpan masalahnya sendiri. Akibatnya, orang tersebut tidak memahami mana tindakan yang sesuai serta konsekuensi ketika melakukan kesalahan sehingga hal ini mendorong untuk berbuat tidak jujur. Kedua, penerapan kebijakan akses memungkinkan manajer untuk lebih berhatihati terhadap faktor tekanan, rasionalisasi, dan permasalahan yang dialami oleh karyawan. Sikap kesadaran dan kehati-hatian tersebut memungkinkan bagi manajer untuk mengambil langkah-langkah pencegahan terhadap tindakan kecurangan. Selanjutnya adalah mempunyai personil dan prosedur operasional yang positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa personil dan prosedur kebijakan operasional yang positif merupakan faktor penting dalam memberikan kontribusi terhadap tinggi rendahnya tingkat kerawanan fraud dalam suatu lingkungan. c. Melaksanakan program bantuan karyawan. Program bantuan karyawan atau Employee Assistance Programs (EAP) juga dinilai berperan dalam mencegah tindakan kecurangan yang berasal dari motif tekanan atau pressure. Program ini dapat dilakukan dengan cara memberikan pelayanan personal bagi karyawan seperti kesehatan, team building, pelatihan, resolusi konflik, respon terhadap peristiwa kritis, bimbingan konseling, serta rujukan yang dapat membantu mengurangi resiko yang ditimbulkan dari tindakan kecurangan. Program tersebut dinilai dapat memberikan perubahan bagi kehidupan sehari-hari karyawan serta dapat meningkatkan kualitas kerja yang dimiliki. Sedangkan mengeliminasi peluang terjadinya tindakan kecurangan bertujuan untuk mengurangi presentase atau frekuensi terjadinya fraud pada suatu entitas serta meminimalisir resiko dan dampak buruk yang terjadi. Upaya ini terdiri dari lima sub faktor, antara lain: a. Mempunyai sistem pengendalian internal yang baik. Menurut American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) dalam Hall (2009:181), sistem pengendalian internal adalah serangkaian aktivitas yang terdiri atas berbagai kebijakan, praktik, dan prosedur yang diterapkan oleh perusahaan untuk mencapai empat tujuan umum, yakni menjaga aktiva perusahaan, memastikan akurasi dan keandalan catatan serta informasi akuntansi, mendorong efisiensi dalam operasional perusahaan, serta mengukur kesesuaian dengan kebijakan serta prosedur yang ditetapkan oleh pihak manajemen. Dalam sistem pengendalian internal perlu mengetahui metode, ukuran, serta hal lain terkait dengan pelaksanaan kinerja operasional suatu entitas apakah telah sesuai dengan standar, kebijakan, dan prosedur yang berlaku. Fungsi penting dari sistem pengendalian internal antara lain:
8 - Pengendalian untuk pencegahan (preventive control), yakni mencegah timbulnya suatu permasalahan sebelum masalah tersebut muncul. - Pengendalian untuk pemeriksaan (detective control), yakni diperlukan untuk mengungkap suatu permasalahan ketika masalah tersebut muncul. - Pengendalian korektif (corrective control), yakni memecahkan masalah yang ditemukan oleh pengendalian untuk pemeriksaan. Menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) dan SAS 78 dalam Hall (2009:186), sistem pengendalian internal terdiri dari lima komponen yang dirancang dan diimplementasikan untuk memberikan jaminan bahwa sasaran hasil pengendalian dalam suatu entitas akan terpenuhi, diantaranya: - Lingkungan pengendalian, digunakan untuk menentukan arah perusahaan dan memengaruhi kesadaran pengendalian pihak manajemen dan karyawan. Elemen penting dari lingkungan pengendalian antara lain integritas dan nilai etika manajemen, struktur organisasi, keterlibatan dewan komisaris dan komite audit, filosofi manajemen dan siklus operasionalnya, prosedur untuk mendelegasikan tanggung jawab dan otoritas, metode manajemen untuk menilai kinerja, pengaruh eksternal, serta kebijakan dan praktik perusahaan dalam mengelola sumber daya manusia. - Penilaian risiko, digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola berbagai resiko yang berkaitan dengan laporan keuangan. - Informasi dan komunikasi, kualitas dari suatu informasi yang dihasilkan berdampak pada kemampuan pihak manajemen untuk mengambil tindakan serta membuat keputusan yang berhubungan dengan operasional perusahaan serta membuat laporan keuangan yang andal. - Pengawasan, merupakan suatu proses yang memungkinkan kualitas desain pengendalian internal serta kinerja operasional dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui beberapa prosedur terpisah atau melalui aktivitas yang berjalan. - Aktivitas pengendalian, yakni berbagai kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk memastikan bahwa tindakan yang tepat telah diambil untuk mengatasi risiko perusahaan yang telah diidentifikasi. Aktivitas pengendalian terdiri dari dua kelompok, yakni pengendalian komputer dan pengendalian fisik. b. Memperkecil kolusi atau persekongkolan antara karyawan dengan pihak yang lain serta menginformasikan kebijakan perusahaan kepada vendor. Memperkecil peluang terjadinya kolusi antar karyawan perlu dilakukan karena tindakan tersebut kemungkinan dapat menimbulkan persekongkolan untuk melakukan tindakan kecurangan. Tindakan kecurangan yang ditimbulkan karena adanya kolusi atau persekongkolan (collusive fraud) cukup sulit untuk dideteksi karena dilakukan oleh banyak pihak sehingga membutuhkan peranan dari whistleblower. Peningkatan kasus collusive fraud dapat timbul karena dua situasi, yakni sifat dan lingkungan bisnis yang semakin kompleks serta meningkatnya frekuensi hubungan kerja dengan vendor atau pemasok. Dalam lingkungan bisnis yang semakin kompleks, karyawan yang mendapat kepercayaan akan beroperasi pada lingkungan khusus serta terpisah dari karyawan lain. Sedangkan hubungan kerja dengan vendor atau pemasok juga beresiko terjadi tindakan fraud ketika hubungan antara penjual dan pembeli melalui perjanjian tertulis lebih tergantikan oleh perjanjian lisan. Dalam banyak kasus, jenis collusive fraud yang paling sering terjadi adalah kecurangan pada transaksi pembelian dan penjualan. c. Mengawasi karyawan serta menerapkan hotline. Pengawasan terhadap karyawan serta menerapkan hotline telepon anti fraud juga berperan dalam pencegahan tindakan kecurangan. Menurut Pergola dan Sprung (2005) dalam Bierstaker, Brody, dan Pacini (2006), pengadaan hotline telepon tersebut memungkinkan karyawan untuk memberikan informasi rahasia seputar tindakan kecurangan yang terjadi dalam suatu entitas, tanpa harus takut terhadap segala bentuk ancaman dan tindak pembalasan karena telah menjadi whistleblower. Dalam menciptakan sistem whistleblowing secara efektif,
9 elemen yang perlu digarisbawahi yakni kerahasiaan identitas (anonymity), independensi (independence), aksesibilitas (accessibility), dan sistem follow up. d. Menciptakan ekspektasi hukuman. Menciptakan ekspektasi hukuman yakni membuat serangkaian kebijakan yang tegas dalam upaya meminimalisir tindakan kecurangan dan segala bentuk ketidakjujuran. Upaya ini berkaitan dengan sistem reward and punishment. Sistem reward atau penghargaan akan diberikan terhadap karyawan yang dianggap kooperatif dalam upaya mencegah tindakan kecurangan dalam suatu entitas. Sebaliknya, sistem punishment atau hukuman akan diberikan kepada karyawan yang terbukti melakukan tindakan kecurangan sehingga merugikan berbagai pihak dalam entitas tersebut. Sebuah kebijakan yang tegas harus dipublikasikan kepada karyawan bahwa segala bentuk tindakan kecurangan pasti akan dikenakan sanksi. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya tindakan kecurangan yang didorong oleh faktor rasionalisasi. e. Menerapkan fraud auditing secara proaktif. Sebuah entitas yang secara proaktif melakukan audit terhadap tindakan kecurangan dapat menciptakan kesadaran pada karyawan bahwa segala tindakannya akan terus ditinjau dan diawasi setiap saat, sehingga mereka akan ditanamkan mindset takut terkena sanksi jika melakukan fraud. Auditing terhadap tindakan kecurangan (fraud auditing) dapat dilakukan melalui empat tahapan, yakni mengidentifikasi eksposur resiko tindakan kecurangan, mengidentifikasi gejala tindakan kecurangan pada masing-masing eksposur, membangun program audit untuk mencari gejala dan eksposur tersebut secara proaktif, serta menyelidiki gejala-gejala tindakan kecurangan yang telah diidentifikasi. Auditor menjadi sangat serius dalam melakukan fraud auditing secara proaktif karena termotivasi dengan pernyataan Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99, Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit. Salah satu seksi dalam SAS No. 99 membahas tentang perlunya melakukan brainstorming terhadap risiko tindakan kecurangan ketika auditor tengah berfokus pada peningkatan skeptisisme profesional, berdiskusi dengan manajemen apakah mereka menyadari adanya gejala fraud, melakukan pengujian audit yang tidak terduga, serta mensyaratkan adanya prosedur audit yang memadai. Dalam perkembangannya, disamping menjadi lebih skeptis dalam memeriksa laporan keuangan, auditor juga mengembangkan unit khusus yang berkonsentrasi pada pendeteksian fraud secara proaktif. Dengan kemajuan teknologi, pendeteksian fraud secara proaktif akan menjadi lebih mudah. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan atau upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan jika ditinjau dari persepsi atau sudut pandang auditor eksternal. Basis teori dalam penelitian ini adalah mengacu pada teori Albrecht (2012:120), meliputi peranan serta penerapannya dalam mencegah kecurangan laporan keuangan di dalam perusahaan. Persepsi tersebut didasarkan pada pengalaman auditor eksternal dalam melakukan audit atau pemeriksaan laporan keuangan. Secara garis besar, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan jawaban alamiah dari auditor eksternal selaku informan, menghimpun fakta yang diteliti, mendeskripsikan hasil analisis data tetapi tidak untuk melakukan pengujian hipotesis, sehingga penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Definisi penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2011:4) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Sedangkan menurut pengertian yang lebih komprehensif, Moleong (2011:6) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya, secara holistik, dan dengan cara deskripsi
10 dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan dua sumber data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan adalah pendapat dari auditor eksternal, baik perwakilan dari junior auditor, senior auditor, supervisor, manager, atau partner, sehingga diharapkan informasi yang diberikan dapat saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), UndangUndang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik, buku, artikel, serta jurnal-jurnal pendukung lainnya yang relevan dengan penelitian ini. 3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling (sampel bertujuan), yakni teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu dimana pertimbangan tersebut diambil berdasarkan pada seseorang yang dianggap paling memahami objek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012:218). Teknik tersebut memungkinkan bagi peneliti untuk mencari informan yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup terhadap topik sekaligus tujuan penelitian, yakni mengetahui bagaimana persepsi auditor eksternal terhadap upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan. Adapun sampel yang diambil untuk menggali informasi lebih dalam adalah auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP), khususnya yang berada di Kota Malang. Pertimbangan dipilihnya auditor eksternal sebagai informan adalah karena pengalaman mereka dalam memeriksa laporan keuangan, sehingga auditor eksternal tentu juga pernah menemui kasus-kasus kecurangan pada laporan keuangan itu sendiri. Sebagai contoh yakni ketika melakukan proses general audit, auditor eksternal juga bisa melihat adanya indikasi tindakan kecurangan melalui pos-pos yang tidak biasa atau tidak wajar, sehingga hal tersebut bisa ditelusuri lebih jauh apakah benar-benar terjadi kecurangan atau hanya sebatas kesalahan dalam penyajian. Berdasarkan pertimbangan tersebut, auditor eksternal dinilai telah memiliki wawasan yang memadai terkait dengan upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan, sehingga informasi yang diberikan diharapkan dapat menjadi masukan tentang upaya pencegahan mana yang harus diutamakan oleh perusahaan. 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini juga menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni studi lapangan yang berfokus pada wawancara serta studi kepustakaan. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka, dengan pedoman wawancara semiterstruktur. Pada wawancara terbuka, subjek penelitian mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula apa maksud dan tujuan wawancara (Moleong, 2011:189). Menurut Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2012:218), wawancara semiterstruktur termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas daripada wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara semiterstruktur adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancarai akan dimintai pendapat serta ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti akan mendengarkan secara teliti, merekam, serta mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Dalam wawancara tersebut, peneliti menetapkan sendiri pertanyaan yang akan diajukan, kemudian menyusun daftar pertanyaan yang didasarkan pada rumusan masalah dalam bentuk pedoman wawancara. Selama proses pengumpulan data, peneliti melakukan wawancara secara individual (tatap muka antara interviewer dan interviewee). Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan pemahaman secara mendalam mengenai persepsi dan informasi yang diperoleh dari masing-masing informan. Dalam penelitian ini telah diwawancarai lima orang informan yang berasal dari empat KAP yang berbeda. Total KAP yang berada di Kota Malang sebanyak delapan KAP yang rata-rata merupakan KAP kecil. Peneliti juga melakukan penyusunan transkrip dari hasil rekaman wawancara, tujuannya supaya lebih mudah dalam melakukan analisis data.
11 5. Instrumen Penelitian Dalam mengumpulkan data dan informasi penelitian, peneliti sebagai instrumen utama juga menggunakan instrumen pendukung, yakni pedoman wawancara, alat tulis dan alat perekam yang digunakan untuk mencatat informasi penting selama proses wawancara, serta catatan lapangan. Secara garis besar, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yakni identitas informan, pandangan tentang tindakan kecurangan (fraud) dan kecurangan pada laporan keuangan, upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan, serta upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan. 6. Teknik Analisis Data Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada teori Miles dan Huberman (1984), terdiri dari proses data collection, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. a. Data collection, merupakan proses pengumpulan data dan informasi yang relevan dengan topik penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan mewawancarai auditor eksternal yang menjadi informan, kemudian merekam keseluruhan hasil wawancara. Setelah wawancara selesai, hasil wawancara tersebut akan disusun dalam bentuk transkrip. b. Data reduction, merupakan proses merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian mencari pola dan hubungan, serta membuang informasi yang tidak perlu. Proses tersebut dapat dilakukan melalui bantuan transkrip wawancara yang telah disusun sebelumnya. Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah untuk melakukan pengumpulan data tambahan apabila diperlukan. c. Data display, merupakan proses menyajikan data yang terorganisir serta tersusun dalam pola hubungan sehingga lebih mudah untuk dipahami. Dalam tahap ini, hasil wawancara mengenai persepsi auditor eksternal tentang upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan akan disajikan dalam bentuk yang lebih sistematis, mudah dipahami, serta dihubungkan dengan konsep dan teori yang relevan. d. Conclusion drawing/verification, merupakan proses penarikan kesimpulan yang kredibel serta memverifikasi informasi yang diperlukan. Setelah peneliti menemukan pola hubungan dari penjabaran hasil wawancara, maka akan ditarik kesimpulan terkait dengan upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan. 7. Pengujian Kredibilitas Data Teknik pengujian kredibilitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui perpanjangan pengamatan. Perpanjangan pengamatan dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap hasil data dapat dilakukan dengan cara kembali terjun ke lapangan serta melakukan wawancara kembali pada informan baru. Tahap ini dilakukan setelah peneliti membandingkan hasil wawancara antara informan pertama dan kedua yang ternyata ada perbedaan yang cukup signifikan dalam menjelaskan upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan. Perpanjangan pengamatan dilakukan kepada informan ketiga, keempat, dan kelima. Disamping menanyakan ulang pertanyaan-pertanyaan wawancara yang dianggap kurang lengkap, peneliti juga mengecek kembali apakah data yang diberikan sudah sesuai atau tidak. Apabila jawaban informan sudah ada indikasi jenuh, maka penelitian dinyatakan selesai. PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum KAP di Malang Penelitian mengenai upaya pencegahan kecurangan pada laporan keuangan ini berfokus pada auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP), khususnya yang berada di Kota Malang. KAP di Kota Malang rata-rata merupakan KAP kecil dengan kisaran jumlah karyawan sekitar 10 sampai 30 orang. Akan tetapi, KAP tersebut telah memperoleh kepercayaan untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan-perusahaan besar dan bonafit, baik yang berdomisili di
12 Kota Malang maupun di luar Kota Malang. Jumlah KAP di Kota Malang adalah delapan, baik merupakan kantor pusat maupun kantor cabang. Secara garis besar, masing-masing KAP mempunyai penawaran jasa yang hampir sama walaupun tidak semua jasa tersedia, sebagai contoh yakni jasa audit dan atestasi, konsultasi akuntansi, konsultasi perpajakan, konsultasi manajemen, konsultasi sistem informasi, konsultasi keuangan, serta konsultasi sumber daya manusia. Menurut Direktori Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) tahun 2013, berikut ini adalah nama-nama KAP yang berada di Kota Malang. Tabel 1. Daftar KAP di Kota Malang Nama KAP KAP Benny, Tony, Frans & Daniel (cabang) KAP Doli, Bambang, Sulistiyanto, Dadang & Ali (cabang) KAP Drs. Jimmy Andrianus KAP Krisnawan, Busroni, Achsin & Alamsyah (cabang) KAP Made Sudarma, Thomas & Dewi (pusat) KAP Drs. Nasikin KAP Suprihadi & Rekan KAP Thoufan Nur, CPA
Alamat KAP Jl. Merbabu No.6, Malang Jl. Tapak Doro No.15, Malang Jl. Retawu No.26, Malang Ruko Soekarno Hatta. Jl. Soekarno Hatta B-3 Kav.B, Malang Jl. Dorowati No.8, Malang Jl. Brigjen. Slamet Riadi No.157, Malang Perumahan Simpang Soekarno Hatta. Jl. Bunga Andong Selatan Kav.26, Malang Jl. Joyo Tambaksari No.32. Merjosari, Malang
Sumber : Direktori IAPI (2013 Struktur organisasi atau hierarki dari KAP di Kota Malang sebagian besar juga hampir sama, terdiri dari partner, manajer, senior auditor, dan junior auditor. Akan tetapi, struktur organisasi dari masing-masing KAP juga ada perbedaannya, salah satunya yakni ada tidaknya jabatan supervisor. Posisi supervisor pada umumnya berada di atas senior auditor, namun masih berada di bawah posisi manajer.
Gambar 1. Struktur Organisasi KAP yang Diteliti Sumber : Data primer yang diolah
13 2. Informan Penelitian Tahap awal dalam pengumpulan data penelitian dimulai dengan pengisian lembar identitas informan yang bertujuan untuk mengetahui latar belakang informan serta sebagai bukti bahwa informan telah memberikan persetujuan untuk diwawancarai. Selama proses wawancara, instrumen penelitian yang digunakan yakni alat perekam dan catatan lapangan (field note) untuk merangkum keseluruhan hasil wawancara. Wawancara dilakukan secara individual dan bersifat tatap muka (face to face) untuk mendapatkan informasi yang alami dan mendalam dari masing-masing informan. Dari delapan KAP yang berada di Kota Malang, telah diwawancarai lima orang informan yang berasal dari empat KAP yang berbeda. Sebagai keperluan untuk menjaga privasi, maka nama lengkap dan asal KAP dari masing-masing informan akan dirahasiakan. Gambaran umum dari masing-masing informan dalam penelitian ini akan disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 2. Informan Penelitian Nama Jabatan Informan 1 Partner Informan 2 Partner Informan 3 Partner Informan 4 Senior auditor Informan 5 Junior auditor Sumber : Data primer yang diolah
Lama Bekerja 30 tahun 19 tahun 30 tahun 7 tahun 2 tahun
Asal KAP KAP A KAP A KAP B KAP C KAP D
Dari total delapan KAP yang berada di Kota Malang, hanya terdapat empat KAP yang berpartisipasi dalam penelitian ini, dengan kata lain hanya mencakup setengah dari jumlah keseluruhan KAP yang ada. Disamping itu, jumlah informan yang dapat diwawancarai dalam penelitian ini hanya lima orang, berikut latar belakang dan identitas yang telah dijelaskan sebelumnya. Kendala yang dihadapi selama proses penelitian adalah kesulitan dalam mendapatkan informan yang lebih beragam. Berbagai upaya untuk menghubungi informan yang dituju juga telah dilakukan, baik melalui SMS, telepon, hingga surat keterangan penelitian. Namun, beberapa informan ada yang berhalangan untuk diwawancarai karena berbagai kesibukan, yakni harus melakukan audit ke luar kota untuk beberapa waktu ke depan serta dalam KAP tersebut sedang berada dalam periode sibuk sehingga informan penelitian yang dituju belum bisa memberikan waktu luang untuk diwawancarai. 3. Pandangan tentang Tindakan Kecurangan Menurut pandangan auditor eksternal, tindakan kecurangan atau fraud cukup luas cakupannya, dalam hal ini tindakan fraud dapat terjadi di berbagai entitas, dilakukan oleh berbagai pihak, serta ada berbagai jenis. Karena tugas dari auditor eksternal adalah memeriksa laporan keuangan, maka fokus utama dari tindakan fraud lebih ke arah penyelewengan atau manipulasi data-data akuntansi. Informan 5 berpendapat bahwa secara teoritis, ada beberapa faktor yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan fraud, yakni faktor tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi. Ketiga faktor tersebut sering disebut dengan istilah fraud triangle. Disamping itu, terdapat satu faktor tambahan yang juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud selain tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi, yakni faktor kemampuan. Dari tambahan faktor tersebut, maka istilah fraud triangle kini telah berkembang menjadi fraud diamond. Informan 2 juga memberikan pendapat yang lebih rinci tentang kecurangan laporan keuangan serta klasifikasi tindakan fraud jika ditinjau dari siapa pelakunya dan pihak-pihak yang dirugikan. Pertama, tindakan fraud berupa manipulasi laporan keuangan yang dilakukan secara individual, biasanya dilakukan oleh karyawan yang berkecimpung di bagian keuangan perusahaan, bertujuan untuk memenuhi keperluan pribadi, sehingga pihak yang dirugikan adalah manajemen dan pemilik perusahaan. Kedua, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak manajemen atau management fraud, tidak dilakukan secara individual, melainkan dilakukan secara bersama-sama
14 atau ada kolusi dari pihak-pihak terkait, sehingga pihak yang dirugikan adalah pemilik perusahaan. Ketiga, tindakan fraud yang dilakukan oleh pemilik perusahaan, biasanya pemilik akan menekan pihak manajemen untuk melakukan manipulasi laporan keuangan untuk kepentingan perusahaan itu sendiri, misalnya yakni masalah pajak, sehingga pihak yang dirugikan adalah pemerintah. Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 3 bahwa indikasi adanya kecurangan laporan keuangan dapat dilihat dengan adanya penyimpangan pada laporan keuangan itu sendiri, yakni antara yang seharusnya dicatat ternyata tidak sesuai dengan kondisi riilnya. “Kalau fraud itu ya antara yang seharusnya dengan kenyataannya nggak sama. Maksudnya, sebuah kriteria tidak dipenuhi. Jadi bisa itu overstatement, bisa understatement, bisa kurang disclose, itu bisa mengarah atau mengindikasikan adanya fraud.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014) Informan 4 juga menambahkan bahwa secara umum tindakan fraud merupakan suatu bentuk penyimpangan dari apa seharusnya. Kecurangan laporan keuangan juga tidak terlepas dari tindakan memanipulasi data-data akuntansi untuk kepentingan pihak tertentu. Manipulasi laporan keuangan sebagian besar dilakukan oleh pihak manajemen, bertujuan untuk memperoleh kepercayaan dari pemegang saham bahwa manajemen telah mengelola kekayaan perusahaan dengan baik. Hal ini dilakukan dengan cara menampilkan laporan keuangan sebaik mungkin, padahal kondisi riilnya tidak seperti itu. Disamping itu, informan 4 juga menyampaikan bahwa jenis audit ada dua, yakni audit bertujuan umum (general audit) dan audit bertujuan khusus (special audit). Kedua jenis audit ini berkaitan dengan lingkup penugasan yang akan dijalankan oleh auditor eksternal. Secara umum, jika bertujuan untuk mendeteksi dan menelusuri adanya indikasi tindakan kecurangan maka lingkup penugasannya lebih berfokus ke special audit. Namun, jika hanya bertujuan untuk menilai kewajaran laporan keuangan maka lingkup penugasannya lebih berfokus ke general audit. “Fraud itu penyimpangan berarti ya, secara umum yang kami hadapi, biasanya sih kita ada beberapa audit yang kita lakukan, biasanya kalo fraud itu kita, lalu diminta jasa terkait dengan audit khusus karena terjadi kecurangan-kecurangan yang ada di perusahaan, jadi seperti itu. Untuk mencari bukti yang lebih kuat, seberapa besar kecurangan itu terjadi, seberapa besar penyimpangan terjadi, atau seberapa besar aset perusahaan sudah diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu kan?” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) 4. Pengalaman tentang Kasus Kecurangan Laporan Keuangan Dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, auditor eksternal tentu pernah menemui kasus yang mengarah pada tindakan kecurangan, khususnya kecurangan pada laporan keuangan. Ketika menemui pos-pos yang dianggap tidak biasa, disinilah peranan dari auditor eksternal untuk tetap menjaga independensinya serta bertahan pada asumsi yang diyakini. Berkaitan dengan bagaimana sikap auditor eksternal dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat beberapa kasus yang dapat menguji nilai-nilai independensi serta sikap profesional mereka. Berikut ini adalah sharing pengalaman dari para auditor eksternal ketika menemui kasus kecurangan laporan keuangan serta bagaimana sikap yang mereka ambil. “Dulu saya pernah menemui kasus manipulasi pajak di suatu perusahaan. Perlu diketahui bahwa pada saat ini kasus tersebut masih sering terjadi, misalnya ya ada transaksi yang tidak dilaporkan, serta perusahaan dalam mengisi SPT ternyata memakai atau mengacu pada laporan keuangan yang tidak di audit.” (Informan 1, wawancara tanggal 16 April 2014) Pengalaman informan 1 dalam melaksanakan proses audit yakni pernah menemui kasus manipulasi pajak di sebuah perusahaan. Pada umumnya, tindakan manipulasi pajak dilakukan supaya perusahaan bisa membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya. Pada saat ini, kasus manipulasi pajak masih sering terjadi di berbagai entitas. Informan 1 juga menyebutkan bahwa
15 indikasi adanya manipulasi pajak dapat diketahui dengan adanya transaksi-transaksi yang tidak dilaporkan oleh perusahaan, sehingga hal ini akan berpengaruh pada jumlah laba rugi perusahaan. Jika laba yang dilaporkan rendah maka pajak yang dibayarkan juga lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Pengalaman lain seputar masalah perpajakan juga pernah ditemui oleh informan 2, namun konteksnya cukup berbeda. Dalam hal ini, kasus yang dialami oleh perusahaan tersebut adalah tidak mau mengakui hutang pajak sebesar nominal yang seharusnya. “Nah, suatu saat perusahaan itu dapat pekerjaan dari pemerintah untuk melakukan suatu proyek tertentu. Ya, saya diminta mengaudit, dihubungi teman yang kebetulan bekerja disana. Saya berpikir perusahaan tersebut karena merupakan perusahaan yang cukup besar, bonafit lah dalam perpajakannya, ternyata setelah saya masuk audit itu hampir selesai di tahap, kalau di audit itu ada namanya pertemuan-pertemuan terakhir atau diskusi mengenai temuan-temuan dan sebagainya, menuntaskan hasil audit, ternyata satu diantara temuan yang paling rawan adalah hutang pajak yang kemudian mereka tidak mau mengakui sebesar hutang pajak yang seharusnya.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Berkaitan dengan permasalahan tersebut, informan 2 memutuskan untuk tetap bertahan pada angka yang diyakini, yakni angka yang menunjukkan nominal hutang pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan. Disamping itu, proses audit dinyatakan tidak selesai karena informan 2 memutuskan untuk tidak mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian kepada perusahaan tersebut. “Tetapi perusahaan tidak mau mengakui sebesar itu. Ya karena seperti itu saya nggak mau, istilahnya saya nggak manut terhadap mereka, melainkan tetap bertahan dengan angka itu. Pada akhirnya sampai, katakanlah aja audit itu nggak selesai karena saya tidak mau memberi pendapat, istilahnya pendapat wajar tanpa pengecualian ya. Tetapi kalau dikeluarkan pendapat wajar dengan pengecualian, perusahaannya yang nggak mau, karena kalau wajar dengan pengecualian pasti kan diperiksa.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Pengalaman selanjutnya juga disampaikan oleh informan 5 yang pernah bertugas untuk menginvestigasi kasus kecurangan di sebuah perusahaan. Informan 5 mendapatkan informasi tersebut dari klien yang bersangkutan, yakni pemilik perusahaan, bahwa di perusahaan tersebut ada praktik kecurangan yang dilakukan oleh manajer cabang. Disamping itu, level terjadinya kecurangan juga sangat tinggi dan krusial sehingga auditor eksternal memerlukan pemeriksaan menyeluruh terhadap perusahaan tersebut. Informan 5 mendapatkan sebuah temuan bahwa dalam perusahaan tersebut ada kasus pengakuan aset perusahaan yang tidak wajar, yakni aset pemilik yang merupakan aset pribadi ternyata dinyatakan sebagai aset perusahaan. Hal tersebut terjadi karena adanya penyelewengan uang pembelian aset yang dilakukan oleh pihak manajer cabang. 5. Upaya Pencegahan Kecurangan pada Laporan Keuangan a. Sistem Pengendalian Internal Menurut pendapat dari para auditor eksternal, sistem pengendalian internal merupakan salah satu komponen penting dalam upaya mencegah kecurangan laporan keuangan. Sistem pengendalian internal merupakan aksioma dalam auditing, yakni sesuatu yang harus ada dan wajib diterapkan oleh perusahaan. Dengan adanya sistem pengendalian internal maka tindakan kecurangan di perusahaan akan lebih mudah terdeteksi. Menurut pendapat dari informan 3, sistem pengendalian internal merupakan bagian dari Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan. Penerapan Good Corporate Governance berperan penting dalam mencegah peluang terjadinya fraud sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya, baik dalam bentuk sistem pengendalian internal itu sendiri, Standar Operasional Prosedur (SOP), atau Prosedur Tetap (PROTAP).
16 Menurut Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) dalam Albrecht (2012:113), penerapan sistem pengendalian internal yang baik berkaitan dengan lima komponen utama, yakni lingkungan pengendalian, sistem akuntansi, aktivitas pengendalian, fungsi monitoring atau pengawasan, serta penerapan informasi dan komunikasi yang baik. Penerapan sistem pengendalian internal harus mampu meminimalisir praktik-praktik kecurangan yang terjadi, salah satunya yakni dengan melakukan pengawasan melalui fungsi audit internal. Penerapan audit internal berkaitan dengan menjalankan fungsi monitoring atau pengawasan pada entitas yang bersangkutan. Informan 2 berpendapat bahwa setiap perusahaan harus memiliki audit internal secara permanen serta harus mengauditkan laporan keuangannya secara berkala untuk mengurangi tingkat keterjadian fraud. Pendapat ini juga sejalan dengan komentar dari informan 4 bahwa audit internal bertanggung jawab kepada pemilik perusahaan atau pemegang saham untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pihak manajemen. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa audit internal mempunyai peranan penting dalam menemukan kejanggalan atau indikasi praktik-praktik kecurangan yang terjadi di dalam perusahaan. Audit internal harus melakukan internal check secara berkala sehingga kemungkinan adanya praktik-praktik kecurangan akan dapat ditelusuri lebih jauh. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah cuplikan wawancara dari informan 4. “Semakin bagus sistem maka kemungkinan-kemungkinan untuk terjadi fraud itu akan semakin kecil ya. Kalau sistemnya bagus, kemudian tadi ada lingkungan kerja yang positif, yang baik, yang membuat mereka merasa puas bekerja disitu, itu sifatnya juga yang mampu mengendalikan terjadinya kecurangan-kecurangan apa kolusi dengan terutama karyawan, untuk kemudian bareng-bareng melakukan kecurangan misalkan gitu ya. Sekali lagi, sistem dan audit itu memang perlu, audit internal. Ada beberapa kejadian juga massive, ya lumayan massive, karena beberapa karyawan kemudian bekerja sama sampai di jajaran top management, kemudian melakukan semacam teamwork, bekerja sama padahal yang nggak benar, dan ditemukan karena ada audit internal. Audit internal yang menemukan kejanggalan-kejanggalan itu, karena mereka kan menelusuri sepanjang ini ya, audit internal kan setiap bulan harus bikin report, yaitu kegiatan dalam bulan itu. Kalau kita sebagai auditor eksternal kan tidak bisa memperhatikan sampai sedetail atau sedalam itu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) Dalam upaya mencegah kecurangan laporan keuangan, penerapan sistem pengendalian internal dan audit internal harus didampingi dengan peranan individu-individu di dalamnya, baik karyawan, manajemen, maupun pemilik. Berkaitan dengan uraian tersebut, informan 1 menjelaskan bahwa penerapan sistem pengendalian internal yang baik berkaitan dengan kualitas pemilik perusahaan. Kualitas pemilik dapat dilihat dari manajemen dan iklim bisnisnya yang baik, sehingga hal tersebut menjadi sebuah sinyal bahwa perusahaan tersebut baik. Disamping itu, penerapan sistem pengendalian internal memiliki hubungan yang saling melengkapi dengan individu-individu di dalamnya, sehingga kedua hal tersebut perlu diperbaiki kualitasnya. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, berikut ini adalah cuplikan wawancara dari informan 5. “Kalau menurut saya, upayanya itu yang diperbaiki ada dua, individu-individu yang ada di perusahaan dan bagaimana sistem perusahaan itu. Itulah pada intinya. Kalau misalnya, meskipun individu di dalam perusahaan itu orang bagus semua tapi sistemnya yang bisa memunculkan tindakan-tindakan fraud, pasti akan ada juga tindakan-tindakan fraud. Begitu juga sebaliknya, seandainya di sistemnya sudah bagus tapi orang-orang di dalamnya tidak mempunyai nilai mau menjaga perusahaan, itu pasti akan ada juga tindakan-tindakan fraud. Intinya hanya itu saja, hanya ada sistem dan individu-individu yang ada di dalam.” (Informan 5, wawancara tanggal 8 Mei 2014)
17 Sedangkan menurut pendapat dari informan 2, secara teoritis sistem pengendalian internal dapat mengurangi opportunity atau kesempatan terjadinya fraud. Perlu diketahui bahwa kesempatan tersebut dapat terjadi karena adanya kelemahan sistem, yakni ada oknum yang tidak bertanggung jawab akan memanfaatkan kelemahan sistem tersebut untuk melakukan kecurangan. Oleh karena itu, kualitas dari sistem pengendalian internal harus terus ditingkatkan, utamanya pada sistem informasi akuntansi karena bagian tersebut sangat rawan terhadap praktik-praktik kecurangan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa pendapat dari auditor eksternal mengenai upayaupaya yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya kecurangan laporan keuangan. “Orang melakukan fraud karena ada kesempatan, kesempatannya dikurangi dengan cara apa? Tidak ada ruang yang cukup untuk melakukan itu karena prosedurnya sudah benar, monitoringnya bagus, dokumentasinya bagus, ada pengecekan, ada sistem otorisasi yang berjalan.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) “Cara menerapkannya ya ada pemisahan fungsi pencatatan, pelaksanaan, dan penyimpanan, jadi masing-masing fungsi tidak dijalankan oleh orang yang sama. Selain itu juga ada perencanaan anggaran atau budgeting perusahaan, fungsinya untuk melihat bagaimana realisasinya, serta mengetahui apakah ada penyimpangan.” (Informan 1, wawancara tanggal 16 April 2014) Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, adanya sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, perencanaan, dan monitoring juga turut membantu mengurangi kesempatan terjadinya praktik kecurangan laporan keuangan. Upaya tersebut termasuk dalam salah satu komponen sistem pengendalian internal, yakni menerapkan aktivitas pengendalian yang baik. Menerapkan aktivitas pengendalian yang baik ditandai dengan adanya sistem pemisahan tugas (tidak ada seseorang yang merangkap tugas), adanya sistem otorisasi yang tepat sehingga pihak yang berwenang adalah individu yang memang memiliki izin untuk menyelesaikan tugas-tugas tertentu, melakukan pengamanan fisik, menerapkan sistem pemeriksaan independen, rotasi pekerjaan, serta memiliki sistem pencatatan dokumen yang dapat memberikan jejak-jejak audit sehingga mampu mendeteksi aktivitas dan transaksi dokumen yang mencurigakan. Disamping itu, apabila perusahaan sudah melakukan sosialisasi terhadap sistem yang diterapkan, maka seseorang tidak akan bisa mengelak jika melakukan suatu tindakan kecurangan karena aturan tersebut memang sudah jelas. Perusahaan cukup membandingkan saja antara aktivitas yang dilakukan dengan aturan yang ada, apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Informan 2 juga menjelaskan bahwa menerapkan standar akuntansi yang bagus juga dapat meminimalisir potensi atau resiko terjadinya tindakan kecurangan. Hal tersebut berkaitan dengan pengendalian terhadap sistem akuntansi. Perlu diketahui bahwa bentuk kecurangan laporan keuangan yang dilakukan perusahaan pada umumnya adalah manipulasi angka-angka akuntansi, sebagai contoh yakni overstatement atau understatement pada pos-pos tertentu. Hal tersebut dapat terjadi karena ada oknum-oknum tertentu yang dapat mengambil kesempatan untuk melakukan manipulasi dengan memanfaatkan kelemahan standar akuntansi. Terkait dengan permasalahan tersebut, berikut ini adalah komentar dari informan 2 tentang bagaimana penerapan standar akuntansi yang bagus. “Tentu perlu adanya standar yang bagus. Standar yang bagus itu artinya ya standar yang bersifat konservatif, jadi standar yang hati-hati, tingkat konservativismenya tinggi, itu akan lebih membantu mengurangi fraud.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Dari cuplikan wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa standar akuntansi yang bagus adalah standar yang memiliki tingkat konservativisme yang tinggi. Jadi standar akuntansi tersebut harus memiliki kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian yang terjadi dalam aktivitas
18 ekonomi dan bisnis. Dengan demikian, standar akuntansi yang bagus dinilai dapat membantu mengurangi potensi terjadinya kecurangan pada laporan keuangan. b. Peningkatan Kualitas Individu Menurut pendapat dari para auditor eksternal, peningkatan kualitas individu dalam perusahaan juga berperan dalam upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan. Kualitas dari seorang karyawan tidak hanya dilihat dari aspek kompetensinya saja, melainkan juga aspek moralitasnya. Aspek moralitas dapat ditinjau dari bagaimana mentalnya dalam bekerja, tingkat kejujurannya, serta pemahaman terhadap nilai-nilai spiritualitas. Akan tetapi, kondisi yang terjadi pada saat ini sangat dipengaruhi oleh ideologi atau sistem ekonomi yang tengah berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis materialis. Kondisi tersebut juga menjadi faktor pendorong timbulnya berbagai tindakan kecurangan, dimana seseorang akan lebih menghargai harta dan materi semata sehingga akan melakukan berbagai cara untuk memperkaya diri. Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 2 bahwa tindakan fraud yang dilakukan oleh individu juga tidak terlepas dari adanya proses rasionalisasi dan sifat dasar manusia yang selalu merasa kurang atau tamak (greedy). Oleh karena itu, informan 2 berpendapat bahwa salah satu cara untuk mengurangi hal-hal tersebut berkaitan erat dengan aspek hukum, etika, dan pendidikan. Terkait dengan permasalahan tersebut, informan 4 juga berpendapat bahwa membangun budaya religius yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual sangat diperlukan bagi perusahaan. Menanamkan nilai-nilai spiritual harus berpedoman pada awareness Ketuhanan. Awareness Ketuhanan dapat memberikan pemahaman bagi seseorang bahwa segala perbuatan tidak hanya dipertanggungjawabkan pada stakeholder atau pemilik perusahaan, tetapi juga kepada Tuhan sehingga seseorang akan lebih berhati-hati dalam berperilaku dan bertindak. “Kalau sesama teman bikin komunitas deh, misalkan kalau di perusahaan itu bikin komunitas kan bisa agamanya macam-macam. Bikin deh komunitas tiap Jumat, misalkan kalau teman-teman yang muslim yuk kumpul, ada pengajian yang kecilkecilan. Atau kalau yang non muslim kumpul kapan untuk bikin komunitasnya sendiri aja, dibikin komunitas-komunitas untuk bisa meningkatkan religiusitas mereka.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) c. Menciptakan Lingkungan Kerja yang Positif Menciptakan lingkungan kerja yang positif dinilai dapat meminimalisir tingkat keterjadian tindakan kecurangan, khususnya kecurangan laporan keuangan. Informan 4 berpendapat bahwa menciptakan lingkungan kerja yang positif merupakan hal yang penting karena berkaitan dengan kenyamanan kerja karyawan sehingga dapat meningkatkan dan memaksimalkan kualitas kerja. “Menciptakan lingkungan kerja yang positif ya, orang bekerja dengan baik itu kan salah satu faktor pendukungnya lingkungan yang bagus, atau lingkungan yang baik. Kalau di lingkungan tempat dia bekerja dia merasa nggak nyaman, dia merasa nggak happy, dan sebagainya, ya pasti nggak maksimal juga kerjanya, nggak optimal juga dia bekerja. Lingkungan yang positif ya mesti perlu dibangun, sehingga kenyamanan bekerja, kepuasan dia bekerja juga akan bertambah. Kemungkinan-kemungkinan untuk dia melakukan sesuatu yang tidak sesuai, sesuatu yang di luar koridor, akan menjadi lebih terkontrol.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) Secara umum, upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif adalah melalui penerapan prosedur dan kebijakan operasional yang positif pula. Berkaitan dengan penerapan prosedur dan kebijakan operasional tersebut, salah satu contohnya yakni tanggung jawab perusahaan untuk memberikan pembayaran gaji yang layak dan memadai bagi karyawan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari informan 2 bahwa pembayaran gaji yang mencukupi juga dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan. Disamping itu, adanya ketidakpastian mengenai standar keamanan pekerjaan dalam prosedur
19 operasional perusahaan juga dapat mendorong terjadinya tindakan kecurangan. Hubungan antara penerapan standar keamanan pekerjaan dengan potensi keterjadian fraud akan dijelaskan melalui cuplikan wawancara dengan informan 2 berikut ini. “Kalau menciptakan lingkungan kerja yang positif tidak hanya soal, mohon maaf, mengenai lingkungan fisiknya. Jadi dari segi keamanan seorang pekerja itu bisa terkena beberapa kemungkinan, mungkin kecelakaan kerja karena penataan mesin yang semrawut, tanpa ada perlindungan, utamanya prosedur-prosedur perlindungan. Kalau bekerja di perusahaan Jepang itu, sepatunya aja diatur. Kalau misalnya bekerja di bagian mobil atau motor, sepatunya itu yang harus kalau kejatuhan benda itu nggak apa-apa. Kalau kerja yang di bahan kimia, ya yang harus lengkap alatnya. Supaya apa? Supaya orang nanti, yang kaitannya dengan fraud, jangan sampai orang itu kemudian terpaksa ada tekanan untuk melakukan fraud gara-gara mungkin pernah injury, luka, dan sebagainya itu ya. Kalau sudah diluar kemampuan, apalagi menanggung biaya kesehatan mahal.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Selain menerapkan prosedur dan standar perlindungan, perusahaan juga perlu memberikan keamanan secara sosial untuk membangun fungsi pengawasan dan menjalin komunikasi antar stakeholder perusahaan. Salah satu caranya yakni dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sederhana seperti yang dijelaskan oleh informan 2 berikut ini. “Kemudian juga keamanan secara sosial, dalam artian misalnya ada semacam eventevent tertentu yang bisa mempertemukan, gathering lah istilahnya, antar bagian dari perusahaan besar, ya antar bagian ada yang saling kenal, itu akan membentuk suatu lingkungan kerja yang kondusif. Tetapi kalau sendiri-sendiri semua, ya misalnya satu bagian berpikir sendiri, saling nggak kenal gitu, maka menjadi sulit untuk saling mengawasi.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) d. Prosedur Perekrutan Karyawan Prosedur perekrutan karyawan yang baik juga dinilai dapat meminimalisir resiko keterjadian tindakan kecurangan. Menurut pendapat dari para auditor eksternal, prosedur perekrutan karyawan merupakan hal yang penting karena bertujuan untuk menjaring karyawan yang profesional dan memiliki etos kerja yang tinggi. Dengan demikian, melalui prosedur perekrutan tersebut diharapkan perusahaan akan mendapatkan karyawan yang berkualitas sehingga dapat menghasilkan output yang bagus pula. “Termasuk juga kalau sistem recruitmentnya itu yang bagus untuk memilih orang, saya kira tekanan hanya pada kompetensi itu seharusnya mulai dipikirkan. Tidak hanya itu, jadi kalau mungkin bisa dikatakan dengan jujur barangkali ya harus. Kalau mau merekrut orang itu juga tidak hanya melihat aspek kompetensinya, tetapi juga amanahnya, kejujuran. Kalau kompetensi saja ya tidak ada jaminan lho. Orang kalau pintar tetapi kalau tidak jujur ya bahaya.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Secara umum, perusahaan tentu memiliki prosedur standar dalam merekrut calon karyawannya, selain untuk menilai aspek kompetensinya tetapi juga aspek kejujurannya. Hal ini sejalan dengan pendapat dari informan 3 bahwa perusahaan pasti akan merekrut karyawan yang jujur serta memiliki ketahanan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Untuk menilai aspekaspek tersebut, perusahaan membutuhkan peranan dari psikolog, karena hal tersebut masuk ke dalam lingkup psikologi, sebagai contoh yakni melalui tes psikologi. Pendapat tersebut juga sejalan dengan komentar dari informan 4 bahwa hasil tes psikologi juga dapat membantu perusahaan untuk menjaring karyawan-karyawan yang jujur dan memiliki etos kerja yang tinggi. Namun, perlu diketahui bahwa ketika perusahaan sudah menerapkan prosedur perekrutan karyawan yang baik dan memenuhi standar, hal tersebut masih .belum menjamin apabila di
20 dalamnya terdapat proses nepotisme. Hal tersebut disampaikan oleh informan 5 bahwa prosedur perekrutan karyawan yang pada awalnya sudah tidak jujur, ada proses nepotisme, atau ada kasus penyuapan supaya bisa diterima menjadi karyawan, hal tersebut juga dapat menimbulkan potensi terjadinya tindakan kecurangan. e. Pelatihan Fraud Awareness Menurut pendapat dari para auditor eksternal, pelatihan fraud awareness atau kesadaran terhadap tindakan kecurangan juga cukup penting dalam mencegah tindakan kecurangan. Pelatihan fraud awareness harus diterapkan seluas-luasnya kepada seluruh stakeholder perusahaan. Informan 2 berpendapat bahwa dengan mengadakan pelatihan fraud awareness maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan seputar gejala-gejala fraud (red flags), sehingga orang tersebut akan memiliki kepekaan terhadap indikasi terjadinya kecurangan serta akan lebih siap dalam menyusun langkah-langkah pencegahan sebelum tindakan fraud terjadi. “Kalau orang itu tahu mengenai gejala-gejala pada fraud harapannya adalah dia bisa menjadi semacam orang yang memiliki kepekaan, sehingga kalau ada gejala yang menuju kesana, sebelum terjadi bisa dicegah.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Pendapat lain juga disampaikan oleh informan 4 bahwa pelatihan fraud awareness selain dapat diberikan kepada karyawan biasa tetapi juga kepada pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan seperti auditor eksternal. Informan 4 juga berpendapat bahwa memberikan pelatihan fraud awareness di perusahaan akan dinilai lebih efektif jika diberikan kepada auditor internal yang memang bertugas untuk melakukan pemeriksaan di perusahaan tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah komentar dari informan 4 seputar pelatihan fraud awareness yang sebaiknya dilakukan oleh perusahaan. “Cuma ada kekhawatiran juga ya, kalau mereka tahu fraud itu seperti, oh ternyata kita mendeteksi fraud seperti ini, bisa jadi hal itu dijadikan ilmu oleh mereka untuk melakukan fraud, ya karena mereka sudah tahu ilmunya tentang fraud. Tapi ya, kalau kita mungkin di kantor akuntan itu menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan, karena kita kan melakukan pemeriksaan. Tapi kalau di perusahaan saya lebih setujunya, at least dilakukan pada auditor internalnya, karena kepentingan mereka untuk menelusuri bahwa itu terjadi fraud atau tidak terjadi fraud. Tapi kalau untuk karyawan mungkin pengetahuan umumnya, wacana dasarnya sih boleh, tapi kalau untuk sampai mendalam sepertinya tidak perlu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) Pelatihan fraud awareness memang dinilai cukup penting dalam mencegah dan meminimalisir resiko terjadinya tindakan kecurangan, namun pelatihan tersebut sebaiknya lebih diberikan kepada pihak-pihak yang memang berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan seperti auditor eksternal atau auditor internal, sehingga pihak-pihak tersebut akan memiliki kesadaran (awareness) terhadap gejala-gejala fraud yang terjadi. Apabila sudah memiliki kesadaran atau kepekaan terhadap gejala-gejala fraud, maka pihak-pihak tersebut akan memiliki kesiapan terhadap resiko yang muncul dengan menyusun prosedur pencegahan yang tepat. Disamping itu, informan 4 juga berpendapat bahwa apabila perusahaan tetap menghendaki untuk mengadakan pelatihan fraud awareness kepada karyawan, maka pelatihan tersebut sebaiknya hanya sekedar memberikan pemahaman dan pengetahuan dasar tentang tindakan kecurangan saja, jadi tidak bersifat mendalam dan menyeluruh supaya tidak ada oknum yang sengaja memanfaatkan kesempatan untuk melakukan tindakan kecurangan karena telah mengetahui bagaimana strategi dalam mendeteksi tindakan kecurangan tersebut.
21 f. Program Bantuan Karyawan Menurut pendapat dari para auditor eksternal, program bantuan karyawan merupakan upaya yang sangat penting karena dapat memberikan kontribusi dalam meminimalisir resiko terjadinya tindakan kecurangan. Program yang dilakukan oleh perusahaan pada umumnya adalah bimbingan konseling dan team building. Informan 4 menjelaskan bahwa program tersebut berkaitan dengan pemberian bantuan secara psikologis bagi karyawan. Selain dapat mencurahkan segala permasalahan yang dihadapi, karyawan juga akan mengalami perubahan motivasi dan cara berpikir dalam bekerja. Dengan demikian, apabila karyawan telah menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi, maka karyawan akan kembali bersemangat dalam bekerja, kualitas kerja meningkat, sehingga potensi terjadinya tindakan kecurangan secara otomatis juga berkurang. “Ya perlu lah dilakukan, karena kan karyawan punya masalahnya sendiri. Kadangkadang mungkin dia nggak bisa cerita, tapi ketika ada bantuan seperti itu tadi, konseling, team building, kan dia mesti punya perubahan motivasi, perubahan cara berpikir, semacam itu bantuan secara psikologis.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) Pendapat tersebut juga sejalan dengan komentar dari informan 5 bahwa penerapan program bantuan karyawan seperti bimbingan konseling juga dapat membantu karyawan dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Pembangunan team building juga dapat dilakukan sebagai media refreshing bagi karyawan setelah penat bekerja, walaupun kegiatan team building dinilai masih jarang dilakukan oleh setiap perusahaan. g. Pengawasan terhadap Karyawan dan Whistleblowing System Menurut pendapat dari para auditor eksternal, pengawasan terhadap karyawan merupakan upaya yang penting karena hal tersebut berkaitan dengan praktik-praktik kolusi yang dapat dilakukan oleh masing-masing karyawan. Praktik kolusi yang dilakukan secara tidak sehat akan menimbulkan collusive fraud. Informan 1 menjelaskan bahwa praktik kolusi cukup sulit untuk dideteksi karena di dalamnya terdapat unsur kerjasama dan melibatkan banyak pihak. Pendapat tersebut juga sejalan dengan komentar dari informan 2 bahwa praktik kolusi adalah suatu tindakan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah dimana masing-masing pihak akan saling memberi dukungan satu sama lain. “Sebenarnya ya mbak, fraud yang paling aman itu kalau bisa dilakukan sendiri. Tetapi dalam praktiknya, kalau sistem pencatatan dan pelaporan, sistem informasi bagus di organisasi, seperti itu juga akan ketahuan pada akhirnya, karena akan ada internal check dari pihak lain. Oleh karena itu, lalu istilanya, slogannya jadi berubah, kalau begitu yang paling aman adalah melakukan fraud yang dilakukan secara berjamaah, dimana masing-masing pihak saling mendukung.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Untuk mengurangi tingkat keterjadian fraud yang disebabkan oleh praktik kolusi yang tidak sehat, perusahaan membutuhkan adanya whistleblowing system atau sistem peniup peluit yang memungkinkan bagi para whistleblower untuk melaporkan adanya tindakan kecurangan. Menurut pendapat dari informan 2, praktik whistleblowing system di dalam perusahaan mungkin saja ada, namun jarang sekali yang diformalkan dalam bentuk peraturan. Biasanya praktik whistleblowing system dilakukan melalui orang-orang kepercayaan untuk menjadi informan atas tindakan kecurangan yang terjadi. “Whistleblowing itu sebenarnya kalau di perusahaan, mungkin tidak pernah ada, atau istilahnya jarang, atau mungkin hanya sedikit yang diformalkan. Tapi mungkin dalam praktik selalu ada, diformalkan mungkin jarang bikin peraturan yang khusus, barangsiapa yang melaporkan terjadinya fraud yang dilakukan oleh orang lain maka
22 akan mendapat ini atau itu, mungkin kalau menurut saya jarang ada peraturan seperti itu.” (Informan 2, wawancara tanggal 20 April 2014) Namun, penerapan whistleblowing system juga belum menjamin dapat meminimalisir tindakan kecurangan. Informan 5 menjelaskan bahwa apabila seseorang tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan praktik-praktik tersebut maka whistleblowing system tidak akan bisa berjalan. Terlebih lagi jika tindakan kecurangan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak atas, maka pihak-pihak bawah tentu akan memiliki keraguan dan sikap was-was ketika melihat suatu tindakan kecurangan, sebaiknya dilaporkan atau tidak, karena mungkin saja keragu-raguan tersebut timbul karena ada kekhawatiran untuk dipecat dan sebagainya. Oleh karena itu, penanaman nilai moral dan spiritual memang sangat penting untuk dilakukan. h. Menciptakan Ekspektasi Hukuman Menciptakan ekspektasi hukuman berkaitan dengan pembuatan serangkaian kebijakan yang tegas untuk meminimalisir tindakan kecurangan serta melawan segala bentuk ketidakjujuran. Upaya tersebut penting untuk dilakukan supaya karyawan memahami betul kebijakan perusahaan serta mengurangi praktik rasionalisasi. Informan 4 berpendapat bahwa upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara mensosialisasikan kebijakan perusahaan sejelas mungkin, tujuannya agar karyawan tidak bisa mengelak atau melakukan proses rasionalisasi ketika terbukti melakukan tindakan kecurangan. “Reward and punishment itu harus ya, karena kan seseorang akan terpacu untuk berprestasi kalau ada reward. Seseorang akan merasa tidak berani, ya melakukan sesuatu yang tidak benar karena ada punishment. Itu harus jelas reward and punishmentnya. Jadi ketika kita bekerja motivasinya jelas, ketika kita tidak melakukan sesuatu juga motivasinya jelas gitu. Ada reward ketika kita bekerja baik, ada punishment ketika kita melanggar.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) Informan 4 berpendapat bahwa karyawan akan termotivasi untuk berprestasi apabila perusahaan memberikan reward yang jelas, sehingga hal ini akan memacu karyawan untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Demikian pula jika karyawan melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan tindakan kecurangan, perusahaan harus memberikan punishment yang tegas agar kejadian tersebut tidak terulang kembali, atau dengan kata lain dapat memberikan efek jera. i. Penerapan Fraud Auditing Secara Proaktif Menurut pendapat dari para auditor eksternal, menerapkan fraud auditing secara proaktif dapat turut berkontribusi dalam mencegah kecurangan pada laporan keuangan. Informan 1 menjelaskan bahwa fraud auditing termasuk ke dalam special audit atau audit bertujuan khusus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan audit ada dua, yakni audit bertujuan umum dan audit bertujuan khusus. Dalam menjalankan profesinya, auditor eksternal harus memperhatikan lingkup penugasannya, apakah hanya sekedar menyampaikan opini wajar tidaknya laporan keuangan (general audit) atau memperluas pemeriksaan apabila telah terjadi tindakan kecurangan (special audit). Lingkup penugasan yang akan dijalankan oleh auditor eksternal tergantung pada asumsi yang telah diberikan sebelumnya. “Kalau dalam pemeriksaan umum diasumsikan bahwa auditor belum punya privilage jika ada kecurangan, jadi masih berpikir positif, hanya sebatas pada opini yang dikeluarkan apakah wajar atau tidak wajar. Lain halnya jika sebelumnya telah ada asumsi, misalnya di bagian ini ada kecurangan seperti ini, maka fokusnya lebih ke special audit.” (Informan 1, wawancara tanggal 16 April 2014) Disamping itu, informan 5 juga menjelaskan bahwa apabila perusahaan dinilai cukup kooperatif dalam menerapkan fraud auditing, maka hal tersebut akan sangat membantu bagi auditor eksternal dalam upaya penggalian informasi untuk keperluan pendeteksian kecurangan yang lebih
23 dalam. Jadi perusahaan akan bersikap terbuka dalam memberikan informasi dan fakta-fakta yang ada. Sebagai contoh, perusahaan dapat berkontribusi dengan memberikan keleluasaan bagi auditor eksternal untuk mewawancarai atau menginterogasi karyawannya. Auditor eksternal akan dapat melihat sinyal-sinyal yang janggal dari kondisi psikologis karyawan ketika sedang diwawancarai. Hal tersebut akan mendorong karyawan untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya sehingga kasus-kasus kecurangan yang terjadi di perusahaan tersebut dapat segera terungkap. 6. Upaya Pencegahan yang Harus Diutamakan oleh Perusahaan Berdasarkan hasil wawancara dengan para auditor eksternal, upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan adalah menerapkan sistem pengendalian internal yang baik, diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan konservatif. Sistem pengendalian internal harus ditingkatkan kualitasnya serta diperbaiki kelemahannya. Dengan demikian, sistem pengendalian internal akan dapat meminimalisir kecurangan laporan keuangan, terutama melalui pengendalian akuntansinya karena bagian tersebut sangat rawan terhadap praktik kecurangan atau manipulasi. Disamping itu, perlu diketahui bahwa kecurangan laporan keuangan pada umumnya dilakukan oleh pihak manajemen, jadi lingkupnya sangat terbatas. Jarang sekali ditemukan kasus kecurangan laporan keuangan yang dilakukan secara individual, jika ada pasti yang melakukan adalah pihak-pihak yang memang bertugas di bagian keuangan atau akuntansi, atau bagian yang menangani laporan keuangan secara langsung. Namun, informan 3 menjelaskan bahwa sistem pengendalian internal dapat rusak karena tiga kelemahan. Kelemahan yang pertama yakni sistem pengendalian internal yang kuat belum menjamin dapat meminimalisir tindakan kecurangan jika di dalamnya terdapat banyak sekali praktik kolusi yang sifatnya negatif. Kelemahan yang kedua yakni sistem pengendalian internal dinilai tidak dapat berjalan dengan efektif jika prosedurnya terlalu panjang sehingga akan membutuhkan waktu penyelesaian yang lama dan biayanya yang tidak sedikit, padahal sistem yang baik itu adalah sistem yang prosedurnya sederhana, informasinya cepat, aman dan biayanya murah, dalam artian murah itu antara biaya yang dikeluarkan sebanding dengan resiko-resiko kecurangan yang berhasil untuk dikurangi. Kemudian kelemahan yang ketiga yakni karena adanya faktor kelemahan manusia yang menyebabkan orang tersebut tidak mengacu lagi pada sistem ketika menyelesaikan pekerjaannya. “SPI itu kan ada tiga kelemahan. Kelemahannya itu, dia bisa rusak karena ada kolusi.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014) “Yang kedua, kalau kita mau terlalu kuat di dalam kontrol itu biasanya waktu penyelesaiannya mbulet dan biayanya mahal. Wong perlu orang-orang yang ingin terpisah dari ini dan seterusnya itu kan nambah personil, terus biayanya kan mahal, prosedurnya kan panjang. Padahal sistem yang baik itu kan sistem yang cepat, aman, dan murah, yang cepat informasinya, yang aman untuk mengamankan harta, dan itu biayanya murah. Murah artinya antara resiko dengan biaya yang dikeluarkan itu lebih banyak yang di eliminir daripada biaya yang dikeluarkan.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014) “Yang ketiga itu kadang-kadang kelemahan manusia. Misalnya ngantuk, sepuluh ribu ditulis seratus ribu, kan itu bisa, seratus ribu ditulis sepuluh ribu, nolnya kurang, itu kan juga salah satunya.” (Informan 3, wawancara tanggal 26 April 2014) Sistem pengendalian internal tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dapat merusak sistem itu sendiri. Sekuat apapun sistem yang diterapkan, tetapi jika perusahaan tidak peka terhadap hal-hal yang dapat merusaknya, maka sistem tersebut tidak akan memberikan kontribusi dalam
24 mencegah tindakan kecurangan, atau justru dapat mendorong oknum-oknum tertentu untuk melakukan kecurangan dengan memanfaatkan kelemahan sistem yang ada. Oleh karena itu, kelemahan tersebut sebisa mungkin harus dikurangi, salah satunya yakni dengan cara melakukan evaluasi secara berkala. “Sistem pun tidak sekali buat ya. Sistem itu dibuat ketika awal mau ada aktivitas perusahaan. Cuma kan kemudian harus ada evaluasi terhadap sistem. Selama sekian waktu harus dilihat apakah sistem ini efektif, jalan atau tidak, apakah masih ada celah kecurangan atau tidak. Jadi ada evaluasi terhadap sistem itu, supaya semakin lama, semakin bagus sistem yang dibuat, pengendalian internal atas kekayaan perusahaan itu semakin baik.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) “Ada evaluasi terhadap sistemnya juga. Perusahaan bertumbuh, kompleksitas aktivitas juga bertambah, kan nggak mungkin sistem yang dibuat 10 tahun yang lalu kemudian tidak ada evaluasi masih dipakai aja, ya bakal ada bocornya juga kalau kayak gitu.” (Informan 4, wawancara tanggal 2 Mei 2014) PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai persepsi auditor eksternal tentang determinan atau upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Kecurangan laporan keuangan tidak terlepas dari tindakan memanipulasi data-data akuntansi serta mempunyai cakupan yang cukup luas. Tindakan tersebut dapat terjadi di berbagai entitas, baik di perusahaan perseorangan maupun perusahaan terbuka. Disamping itu, kecurangan laporan keuangan juga dapat dilakukan oleh berbagai pihak, antara lain karyawan individual, pihak manajemen (management fraud), maupun pemilik perusahaan. 2. Berdasarkan pengalaman auditor eksternal dalam mengaudit laporan keuangan, kasus kecurangan yang pernah ditemui adalah masalah perpajakan serta penyelewengan terhadap uang pembelian aset. Disamping itu, kecurangan laporan keuangan yang masih sering terjadi pada saat ini adalah kasus manipulasi pajak. 3. Menerapkan sistem pengendalian internal yang baik merupakan upaya pencegahan yang harus diutamakan oleh perusahaan, diantaranya yakni mempunyai posisi audit internal untuk melakukan pengawasan secara berkala, menerapkan aktivitas pengendalian melalui sistem pemisahan tugas, fungsi otorisasi, fungsi dokumentasi, dan fungsi perencanaan, serta pengendalian terhadap sistem akuntansi melalui standar yang bagus dan konservatif. Namun, perusahaan harus mewaspadai tiga kelemahan yang dapat merusak sistem, yakni adanya praktik kolusi yang negatif, prosedur yang terlalu panjang, serta faktor kelemahan manusia. Untuk meminimalisir kelemahan-kelemahan tersebut, sistem harus ditinjau tingkat keefektifannya, diperbaiki, serta ditingkatkan kualitasnya dengan melakukan evaluasi secara berkala. 4. Upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan yang lainnya: - Penyelenggaraan kegiatan sederhana yang berhubungan dengan penanaman nilai-nilai religiusitas seperti pengajian atau komunitas keagamaan yang bertujuan untuk mengasah aspek moral dan spiritualitas karyawan yang berlandaskan pada awareness Ketuhanan. - Pemberian gaji yang layak serta menerapkan standar keamanan pekerjaan yang jelas, bertujuan untuk meningkatkan kepuasan dan kualitas kerja dari karyawan. Apabila karyawan merasa nyaman dalam pekerjaannya maka kemungkinan-kemungkinan terjadinya tindakan kecurangan akan lebih terkontrol. - Penerapan prosedur perekrutan karyawan yang bagus serta didampingi dengan pengadaan tes psikologi, bertujuan untuk menjaring calon karyawan yang menguasai aspek
25
-
-
-
-
-
kompetensi serta memiliki tingkat kejujuran yang tinggi. Namun, hal tersebut perlu diwaspadai jika dari awal proses perekrutan sudah terdapat praktik nepotisme. Memberikan pelatihan fraud awareness secara luas, tujuannya supaya seluruh stakeholder perusahaan memiliki kepekaan sebelum tindakan kecurangan terjadi. Namun, pelatihan tersebut akan lebih efektif jika diberikan kepada pihak yang memang bertugas untuk melakukan pemeriksaan seperti auditor eksternal atau auditor internal. Pengadaan bantuan psikologis seperti konseling dan team building, karena melalui fasilitas tersebut karyawan akan dapat menceritakan permasalahan yang sedang dihadapi. Setelah mendapatkan solusinya, diharapkan karyawan akan mengalami perubahan motivasi serta cara berpikir dalam bekerja. Penerapan whistleblowing system yang bertujuan untuk mengawasi karyawan serta meminimalisir collusive fraud. Secara praktik, whistleblowing system dalam perusahaan memang ada, namun jarang sekali yang diformalkan dalam bentuk peraturan. Mensosialisasikan kebijakan tertentu, tujuannya supaya karyawan tidak bisa mengelak apabila melakukan pelanggaran dengan alasan kebijakan belum disosialisasikan. Apabila karyawan terbukti telah melakukan tindakan kecurangan maka perusahaan akan dapat memberikan punishment yang berlaku, sehingga sistem reward and punishment dalam perusahaan harus jelas. Melaksanakan fraud auditing secara proaktif dan bersikap kooperatif, karena hal tersebut dapat membantu auditor eksternal untuk keperluan penggalian informasi serta dapat segera mengungkap kasus kecurangan yang terjadi.
2. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian merupakan kelemahan-kelemahan yang disadari oleh peneliti selama melakukan proses penelitian dan penting untuk dikemukan, terutama untuk penelitian selanjutnya yang mengacu pada penelitian ini. Adapun keterbatasan yang terdapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pihak yang dilibatkan sebagai informan penelitian hanya auditor eksternal, sehingga saransaran yang diberikan mengenai upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan hanya berdasarkan pada sudut pandang pihak eksternal perusahaan. Oleh karena itu, auditor internal dapat dijadikan sebagai informan utama untuk penggalian informasi yang lebih dalam, karena auditor internal dinilai lebih berpengalaman dalam menangani kasus kecurangan yang ada dalam suatu perusahaan. 2. Terdapat sedikit kesulitan dalam menghubungi para auditor eksternal untuk menjadi informan penelitian karena kesibukan dari masing-masing auditor eksternal yang tidak dapat diprediksi, sehingga informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini tidak bisa mencakup keseluruhan perwakilan dari masing-masing Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota Malang. Oleh karena itu, perlu dilakukan komunikasi pada calon informan dengan lebih intensif serta harus sering melakukan follow up mengenai kesediaan calon informan untuk diwawancarai. 3. Terdapat beberapa determinan atau upaya pencegahan kecurangan laporan keuangan yang belum dibahas secara rinci dan mendetail, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi yang lebih dalam untuk masing-masing determinan, baik melalui wawancara maupun pendalaman studi pustaka. 3. Saran untuk Penelitian Selanjutnya 1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti secara rinci dan mendalam mengenai masing-masing determinan pencegahan kecurangan laporan keuangan serta dapat mengembangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini. 2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas objek penelitian selain dari auditor eksternal, misalnya dari persepsi atau sudut pandang auditor internal, manajemen perusahaan, auditor forensik, maupun akuntan pendidik.
26 DAFTAR PUSTAKA Agoes, Sukrisno. 2012. Auditing: Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan Publik. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Albrecht, W. Steve, et al. 2012. Fraud Examination, 4th Edition, E-Book. USA: South Western Cengage Learning. Amrizal. 2004. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor, (Online), (http://www.stie-mandala.ac.id/, diakses 17 Februari 2014). Arens, Alvin A. Elder, Randal J. dan Beasley, Mark S. 2001. Auditing dan Pelayanan Verifikasi: Pendekatan Terpadu, Edisi 9 Jilid 1. Terjemahan Tim Dejacarta. 2003. Jakarta: PT. Indeks. Associaton of Certified Fraud Examiners (ACFE). 2014. Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse, 2014 Global Fraud Study, (Online), (http://www.acfe.com, diakses 26 April 2014). Bayangkara, IBK. 2008. Audit Manajemen: Prosedur dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Bierstaker, James L. Brody, Richard G. dan Pacini, Carl. 2006. Accountants’ Perceptions Regarding Fraud Detection and Prevention Methods. Managerial Auditing Journal, (Online), Volume 21 No. 5, Hal. 520, (http://www.emeraldinsight.com/, diakses 20 Februari 2014). Boynton, William C. dan Johnson, Raymond N. 2006. Modern Auditing: Assurance Services and the Integrity of Financial Reporting, 8th Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc. Ernst & Young Global Organization in Assurance, Tax, Transaction, and Advisory Services. 2013. Building a More Ethical Business Environment: Asia-Pacific Fraud Survey 2013. (Online), (http://www.ey.com/, diakses 21 Maret 2014). Gibson, James L. Ivancevich, John M. dan Donnely Jr, James H. 1982. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses, Edisi 4. Terjemahan Djoerban Wahid. 1997. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hall, James A. 2004. Sistem Informasi Akuntansi, Edisi 4, Buku 1. Terjemahan Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary. 2009. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik. 2001. Standar Profesional Akuntan Publik, Per 1 Januari 2001. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Kotler, Philip. dan Armstrong, Gary. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran, Edisi 12. Terjemahan Bob Sabran. 2008. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kusumawati, Armadyani. 2013. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik sebagai Variabel Moderasi (Studi Empiris pada Auditor Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Lavery, Colleen A. Lindberg, Deborah L. dan Razaki, Khalid A. 2000. Fraud Awareness in a Small Business. The National Public Accountant, (Online), Volume 45 Issue 6, Hal. 40, (http://www.proquest.com/, diakses 17 Februari 2014).
27 Messier Jr, William F. Glover, Steven M. dan Prawitt, Douglas F. 2006. Jasa Audit & Assurance: Pendekatan Sistematis, Edisi 4 Buku 1. Terjemahan Nuri Hinduan. 2006. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Moleong, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Purjono. 2012. Peran Audit Forensik dalam Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoritis, (Online), (http://www.bppk.depkeu.go.id/, diakses 7 Maret 2014). Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary. 2009. Manajemen, Edisi 10 Jilid 2. Terjemahan Bob Sabran dan Devri Barnadi Putera. 2010. Jakarta: Penerbit Erlangga. Setiawati, Dewi. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa atas Pelanggaran Etika Akuntan Publik (Studi Empiris Mahasiswa Program Akuntansi Universitas Brawijaya). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tuanakotta, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. 2011. (Online), (http://www.iapi.or.id/, diakses 2 Maret 2014).