9
a : intersep (perubahan salinitas jika tidak hujan) b : slope (kemiringan garis regresi). Koefisien determinasi (r2) masing-masing kelompok berdasarkan klaster, tahun, dan lahan peminihan (A dan B) diamati. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan variabel X, yakni curah hujan mempengaruhi variabel Y (perubahan salinitas) pada kondisi-kondisi tertentu. Selain itu juga akan dilihat tren slope untuk mengetahui seberapa besar perubahan salinitas akibat pengenceran oleh satu milimeter curah hujan pada kondisi-kondisi tertentu. Selain itu juga akan diperoleh curah hujan kritis untuk mengetahui besar curah hujan yang dapat menurunkan konsentrasi air garam (salinitas) sebesar 0.25 oBe dari persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis =
(−0.25)o Be −a b
dimana: a = intersep hasil persamaan regresi b = slope hasil persamaan regresi. 3.3.2. Analisis Respon Produksi Garam Tahunan Akibat Curah Hujan dan Keragaman Iklim Analisis dilakukan dengan menghubungkan data produksi garam dan curah hujan selama produksi garam sehingga tampak tren perubahan curah hujan dan produksi garam sejak tahun 1999 hingga 2011. Bulan produksi selama tahun 1999-2008 dihitung dari rata-rata bulan produksi tahun 2009-2011. Selain itu dilakukan pula analisis regresi antara panjang musim kemarau dengan produktivitas garam untuk melihat tingkat pengaruh panjang musim kemarau terhadap produksi garam. Hubungan antara panjang musim kemarau dengan produksi garam dianalisis menggunakan persamaan logaritmik. 3.3.3.
SOI bulan April dengan anomali awal musim kemarau (AMK) dan SOI bulan September serta bulan Juni-Juli-Agustus (JJA) dengan anomali awal musim hujan (AMH). Awal musim kemarau ditentukan dengan menggunakan kriteria curah hujan kurang dari 50 milimeter pada satu dasarian dan diikuti oleh minimal satu dasarian berikutnya. Awal musim hujan ditentukan jika telah terjadi hujan lebih dari 50 milimeter setelah musim kemarau lalu diikuti oleh satu dasarian berikutnya. Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan kurang dari 60 milimeter. Anomali awal musim kemarau (AMK) dihitung dengan mengurangkan AMK tahun ke-i dengan AMK rata-rata tahun 1999-2011. Pengaruh ENSO terhadap produktivitas garam dilihat dengan menggunakan persamaan regresi antara produktivitas garam tahun 19992011 dengan SOI rata-rata bulan kering Sumenep.
Analisis Pengaruh Keragaman Iklim Terhadap Produktivitas Garam dan Musim Keragaman iklim yang digunakan dalam penelitian ini adalah ENSO dengan menggunakan Southern Oscillation Index (SOI) atau Indeks Osilasi Selatan (IOS) pada Nino 3.4. Menentukan fase-fase ENSO dilakukan dengan membandingkan bulan ke-i dengan bulan ke-(i-1), lalu disesuaikan dengan Gambar 5. Pengaruh SOI terhadap musim di pegaraman I dianalisis dari regresi linier antara
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Lokasi dan Iklim Pegaraman I Sumenep Pegaraman I PT. Garam (Persero) terletak di Desa Pinggirpapas Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Madura. Kecamatan Kalianget berada pada ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut, sedangkan desa Pinggirpapas berada pada ketinggian 0-6 mdpl (Amaliya 2007). Kabupaten Sumenep terletak pada 113o32’54” sampai 116o16’48” Bujur Timur dan 4o55’-7o24’ Lintang Selatan. Kabupaten ini dikelilingi oleh: sebelah utara : Laut Jawa sebelah selatan : Selat Madura sebelah barat : Kabupaten Pamekasan sebelah timur : Laut Jawa dan Flores. Lahan pegaraman milik PT. Garam (Persero) di Kalianget adalah 2682.8 ha (Saputro et al. 2011). Lahan peminihan (evaporasi) A 148.7 ha dan B 117.1 ha. Peta lahan Pegaraman I PT. Garam (Persero) disajikan pada Lampiran 7 dan 8 (Pegaraman I Sumenep 2011). Berdasarkan klasifikasi Koppen, Kabupaten Sumenep tergolong bertipe iklim Aw, sedangkan Schmidt dan Ferguson bertipe iklim D. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Sumenep memiliki iklim savana tropis yang kering pada saat musim dingin dengan jumlah bulan kering per jumlah bulan hujan dalam satu tahun rata-rata antara 0.6 sampai 1. Artinya bulan kering di Sumenep
10
100 90 curah hujan (mm/dasarian)
jarak antar klaster
600
80 70 60 50
500 400 300 200 100 0 0
10
20
30
langkah
Gambar 6 Plot linkage distance pada setiap langkah pengelompokan lahan peminihan A 600 jarak antar klaster
rata-rata 3.5-6 bulan pada musim dingin. Musim dingin menurut gerak matahari di lintang selatan terjadi pada bulan Maret sampai September. Kondisi ini memenuhi syarat pegaraman menurut Hernanto dan Kwartatmono (2001) dan Dama-Fakir dan Toerien (2010). Berdasarkan data curah hujan tahun 1999-2011, Kabupaten Sumenep memiliki tipe curah hujan monsun dengan grafik curah hujan unimodal yang memiliki satu puncak hujan dalam satu tahun. Awal musim kemarau Kabupaten Sumenep rata-rata pada dasarian ke-14 (pertengahan Mei) dan berakhir pada pertengahan bulan November (dasarian 32), seperti pada Gambar 5.
500 400 300 200 100 0
40 30
0
20
5
10
15
langkah
10 1
3
5
7
curah hujan
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 dasarian ke-
Gambar 7 Plot linkage distance pada setiap langkah pengelompokan lahan peminihan B
batas musim kemarau
Gambar 5 Curah hujan dasarian rata-rata serta panjang musim kemarau Pegaraman I Sumenep selama periode 19992011 4.2. Pengaruh Curah Hujan pada Proses Peminihan 4.2.1. Klasifikasi Kolam Peminihan Berdasarkan hasil observasi klaster menggunakan metode euclidean dan ward linkage diperoleh empat klaster pada masingmasing lahan peminihan. Hal ini didapatkan dari dendogram yang dipotong berdasarkan jarak antar klaster yang patah. Jarak antar klaster untuk lahan Peminihan A yang digunakan adalah 66.1, yakni pada titik putih yang terdapat pada Gambar 6. Jarak antar klaster untuk lahan Peminihan B yang digunakan adalah 157.7 yang disajikan pada Gambar 7. Jumlah klaster dipotong berdasarkan jarak tersebut pada dendogram (Gambar 8 dan 9).
Gambar 8 Dendogram analisis kluster kolam peminihan A
Gambar 9 Dendogram analisis kluster kolam peminihan B Semakin tinggi level klaster atau semakin ke kanan pembagian dendogram, semakin tinggi konsentrasi air garam dalam kolamkolam peminihan pada klaster tersebut. PT.
11
Garam (Persero) juga telah menargetkan konsentrasi masing-masing kolam peminihan sesuai dengan aliran air garam. Hasil klasifikasi kolam-kolam peminihan berdasarkan konsentrasi air garam disajikan pada Tabel 2. Peta lahan peminihan yang telah dikelompokkan disajikan pada Lampiran 7. Tabel 2 Klasifikasi kolam peminihan A dan B berdasarkan konsentrasi air garam Pem
A
I
II
III
IV
E.101 A
E.103 B
E.105 C1
E.107 B1
E.101 B
E.105 A1
E.105 C2
E.107 B2
E.101 C
E.105 A2
E.105 C3
E.107 B3
E.101 D
E.105 B
E.107 A
E.102 A
E.106
E.102 B E.102 C E.102 D E.103 A E.104 A
4.2.2. Pengaruh Curah Hujan terhadap Perubahan Konsentrasi Air Garam Berdasarkan pernyataan Hernanto dan Kwartatmono (2001), curah hujan memberikan dampak negatif pada proses produksi garam. Konsentrasi air garam diupayakan dapat meningkat secara simultan dan tidak mengalami penurunan konsentrasi yang berarti (Korovessis dan Lekkas 2006). Hal ini dilakukan agar memenuhi hasil yang maksimal dan target konsentrasi dapat tercapai. Dengan demikian perlu dipelajari bagaimana pengaruh curah hujan terhadap konsentrasi air garam selama proses peminihan berlangsung. Secara teori, larutan garam dapat mengalami pengenceran oleh tambahan air tawar berupa hujan. Air garam diupayakan tetap pada kedalaman 15-20 cm di kolam peminihan. Penambahan air hujan dapat menambahkan kedalaman air sejumlah hujan yang turun. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa penambahan air hujan pada kolam peminihan akan menurunkan salinitas secara linier dengan persamaan hasil penurunanan rumus pengenceran pada Lampiran 10:
E.104 B
B
E.108 A
E.109 A
E.110 A
E.108 B
E.109 B
E.110 B
E.108 C
E.112 A
E.113 A
E.111 A
E.112 B
E.113 B
E.111 B
E.114
E.113 C
Keterangan : Klas I : salinitas rendah Klas II : salinitas sedang Klas III : salinitas tinggi Klas IV : salinitas sangat tinggi Kolam-kolam peminihan dalam satu klaster memiliki karakteristik konsentrasi yang hampir sama. Empat level kolam yang terbagi dalam analisis klaster sesuai dengan kondisi kolam peminihan berdasarkan panduan pembuatan garam (DKP 2003). Tahap pembuatan garam dilakukan dengan menggunakan sistem kolam evaporasi bertingkat yang terbagi dalam empat level. Air laut dengan konsentrasi sekitar 3.5 oBe dipompa ke kolam yang paling jauh dari laut, yakni pada topografi yang paling tinggi. Kemudian air garam mengalir ke kolam dengan salinitas sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Kolam yang bersalinitas sangat tinggi (pekat) terletak di topografi terendah dan paling dekat dengan meja kristalisasi.
dS
=-
S1 (d 1 +CH )
CH
Keterangan: S1 : salinitas awal (oBe) S2 : salinitas setelah hujan (oBe) d1 : kedalaman kolam mula-mula (mm) d2 : kedalaman kolam setelah hujan (mm) dS : perubahan salinitas (oBe) CH: curah hujan (mm). Persamaan tersebut menunjukkan bahwa perubahan salinitas ditentukan oleh salinitas awal dan curah hujan dengan asumsi kedalaman awal tidak mengalami perubahan karena faktor lain selain curah hujan. Perubahan salinitas akan semakin besar jika konsentrasi awal tinggi. Selain itu, perubahan salinitas juga semakin tinggi jika curah hujan semakin tinggi. Kemiringan (slope) kurva yang terbentuk dari persamaan tersebut adalah perbandingan antara salinitas awal dengan kedalaman kolam setelah terjadi hujan. Tanda minus yang menyertai slope menunjukkan hubungan negatif antara curah hujan dengan perubahan salinitas. Penurunan salinitas akan drastis jika salinitas awal tinggi pada curah hujan yang sama. Namun demikian secara praktis di lapangan tidak selalu terjadi sesuai dengan teori. Hal ini karena lahan peminihan merupakan lahan terbuka yang dapat dipengaruhi oleh keadaan disekitarnya, baik iklim dan tanah. Selain itu kondisi di lapangan air hujan yang sampai ke kolam peminihan
12
tidak mengencerkan larutan secara merata seperti pengenceran larutan kimia di laboraturium. Oleh sebab itu diperlukan observasi kondisi di lapangan. 4.2.2.1. Pengaruh Curah Hujan pada Proses Peminihan Tahun 2009 Tahun 2009 merupakan tahun dengan musim kemarau yang panjang dan kering. Musim kemarau pada tahun ini dimulai pada dasarian ke-17, yakni dasarian II bulan Juni. Awal musim hujan terjadi pada dasarian III bulan Desember atau dasarian ke-36 (Gambar 10), sehingga panjang musim kemarau tahun ini mencapai hampir 6 bulan (190 hari). Proses produksi garam dimulai sejak awal Juni 2009 dan berakhir awal Desember 2009. Selama proses produksi berlangsung, hanya terjadi 7 hari hujan dengan jumlah hujan 119 mm. Kondisi ini memberikan dampak positif pada produksi garam sehingga mampu menghasilkan garam mencapai 135.5 ribu ton. Rata-rata produksi garam (2001-2011) sebesar 85570 ton per tahun.
curah hujan dasarian (mm)
140 120 100 80 60 40 20 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 dasarian ke-
musim kemarau rata-rata musim kemarau tahun 2009 musim produksi ggaram
Gambar 10 Curah hujan dasarian tahun 2009 Pegaraman I Sumenep Berdasarkan persamaan regresi pada Tabel 3 dan Lampiran 11 menunjukkan bahwa curah hujan memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan salinitas. Dengan demikian konsentrasi air garam yang diharapkan selalu naik secara simultan pada lahan peminihan terganggu oleh curah hujan. Semakin tinggi curah hujan semakin besar penurunan salinitas yang terjadi. Gangguan curah hujan pada tahun 2009 hanya terjadi di awal dan akhir musim kemarau (Gambar 10).
Tabel 3 Persamaan regresi perubahan salinitas terhadap curah hujan tahun 2009 Pem
Persamaan Regresi
R2 (%)
CH kritis (mm)
I
dS=0.074-0.018CH
59.5
18
II
dS=0.164-0.047CH
84
9
III
dS=0.234-0.068CH
88.4
7
IV
dS=0.317-0.098CH
79.2
6
I
dS=0.057-0.018CH
57.3
17
II
dS=0.183-0.038CH
69.9
11
III
dS=0.242-0.077CH
82
6
IV
dS=0.253-0.094CH
71.6
5
Klas
A
B
Keterangan : Klas I : salinitas rendah Klas II : salinitas sedang Klas III : salinitas tinggi Klas IV : salinitas sangat tinggi Koefisien yang menyertai curah hujan dalam persamaan regresi adalah slope (kemiringan) yang menunjukkan perbandingan antara perubahan salinitas dengan curah hujan. Semakin tinggi nilai slope semakin besar perubahan salinitas yang diakibatkan oleh curah hujan yang sama. Dengan demikian dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi air garam dalam kolam peminihan, semakin besar perubahan konsentrasi yang dapat diakibatkan oleh curah hujan yang sama. Kolam-kolam peminihan yang konsentrasinya tinggi umumnya lebih sensitif dengan hujan. Dengan demikian, umunya pada akhir musim produksi, yakni akhir musim kemarau rentan mengalami penurunan salinitas yang drastis akibat curah hujan rendah pada masa transisi menuju musim hujan. Pengaruh curah hujan terhadap kolam peminihan dengan salinitas berbeda dapat dilihat dari nilai curah hujan kritis. Curah hujan kritis merupakan tinggi hujan yang mampu menurunkan salinitas sebesar 0.25 oBe. Semakin tinggi konsentrasi air garam di lahan peminihan, semakin kecil curah hujan kritisnya. Kolam peminihan yang berisi larutan garam berkonsentrasi tinggi akan mengalami penurunan konsentrasi sebesar 0.25 oBe hanya dengan curah hujan yang relatif kecil. Sebaliknya kolam yang bersalinitas rendah akan mengalami penurunan konsentrasi sebesar 0.25 oBe jika curah hujannya relatif besar. Hal ini yang menyebabkan curah hujan kritis masing-masing kelompok kolam peminihan berbeda satu sama lain. Kondisi ini
13
4.2.2.2. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Peminihan Tahun 2010 Selama periode tahun 1999 hingga 2011, tahun 2010 merupakan tahun yang paling sedikit memproduksi garam, yakni 1016 ton. Menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta BMKG Sumenep dalam Saputro et al. (2011), hal ini disebabkan kondisi cuaca yang tidak mendukung. Curah hujan total tahun 2010 mencapai 2174 mm. Kondisi ini kurang sesuai untuk proses produksi garam. Musim kemarau yang kering seharusnya terjadi di Sumenep sekitar Mei sampai November. Namun kondisi ini tidak terjadi pada tahun 2010. Awal musim kemarau dimulai pada dasarian ke-18 (dasarian ke-3 Bulan Juni) dan hanya berlangsung selama 8 dasarian, seperti pada Gambar 11. Penentuan menggunakan kriteria tersebut pada dasarnya sulit dilakukan karena curah di atas 50 milimeter masih sering ditemukan disela-sela musim kemarau.
300 250 curah hujan dasarian (mm)
sesuai dengan pemahaman teori pengenceran larutan garam. Oleh sebab itu diperlukan upaya khusus untuk mengantisipasi terjadinya hujan yang dapat menurunkan salinitas secara drastis terutama pada kolam-kolam peminihan yang salinitasnya telah tinggi. Selain itu diperlukan aplikasi teknologi yang dapat meningkatkan laju evaporasi secara cepat sehingga dapat mengembalikan salinitas yang turun akibat adanya hujan. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan persamaan regresi relatif tinggi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa curah hujan mampu merepresentasikan perubahan salinitas (konsentrasi air garam) dengan baik. Koefisien determinasi tertinggi terjadi pada klas III (kolam peminihan bersalinitas tinggi), baik Peminihan A maupun B. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan regresi yang dihasilkan paling representatif digunakan untuk menentukan perubahan salinitas berdasarkan curah hujan.
200 150 100 50 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 dasarian ke-
musim kemarau rata-rata musim kemarau tahun 2010 musim produksi ggaram
Gambar 11 Curah hujan dasarian tahun 2010 Pegaraman I Sumenep Proses produksi dimulai pada dasarian II Juli atau dasarian ke-20 (Peminihan A) dan pertengahan dasarian I Juli atau dasarian ke-19 (Pemihihan B). Keduanya berakhir pada tanggal 8 Oktober atau dasarian ke-28. Konsentrasi air garam cenderung sulit meningkat bahkan seringkali menurun akibat curah hujan yang tinggi. Tabel
Pem
A
B
4
Persamaan regresi perubahan salinitas terhadap curah hujan tahun 2010
Klas
Persamaan Regresi
R2 (%)
CH kritis (mm)
I
dS=0.035-0.007CH
38.7
41
II
dS=0.055-0.009CH
40.2
34
III
dS=0.018-0.007CH
36.8
38
IV
dS=0.103-0.021CH
43
17
I
dS=0.028-0.005CH
20
56
II
dS=-0.003-0.005CH
15.2
49
III
dS=0.046-0.012CH
38.6
25
IV
dS=0.081-0.027CH
42.5
12
Keterangan : Klas I : salinitas rendah Klas II : salinitas sedang Klas III : salinitas tinggi Klas IV : salinitas sangat tinggi Berdasarkan Tabel 4 dan grafik pada Lampiran 12, curah hujan juga memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan salinitas. Namun berbeda dengan tahun 2009, slope yang dihasilkan oleh persamaan regresi pada
14
kondisi tersebut sangat tinggi. Suhu udara juga seringkali mengalami penurunan. Kondisi tersebut membuat laju evaporasi menjadi terhambat dan konsentrasi sulit mengalami peningkatan. Variasi perubahan konsentrasi yang diakibatkan oleh curah hujan menjadi lebih besar. Dengan demikian pada kondisi seperti ini, penurunan konsentrasi menjadi sulit diduga dari data curah hujan. 4.2.2.3. Pengaruh Curah Hujan Terhadap Peminihan Tahun 2011 Produksi garam pada tahun 2011 mencapai 55258 ton. Meskipun panjang musim kemarau tahun 2011 sama dengan panjang musim kemarau tahun 2009, produksi garam tahun 2011 hanya mencapai 64.6% dari produktivitas garam rata-rata. Pegaraman I Sumenep pada tahun 2009 mampu menghasilkan garam lebih besar dari pada produktivitas garam tahunan. Musim kemarau tahun 2011 dimulai pada akhir Mei, yakni dasarian ke-15 dan berakhir pada akhir bulan Oktober (dasarian ke-30), seperti pada Gambar 12. Akan tetapi produksi garam baru dimulai pada awal Juni 2011 dan berakhir pada akhir November. Selama produksi terjadi hari hujan sebanyak 19 hari dengan jumlah curah hujan total sebanyak 180 mm selama proses peminihan. 160 curah hujan dasarian (mm)
tahun ini sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan salinitas yang diakibatkan oleh curah hujan relatif kecil. Selain itu, dapat dilihat bahwa pada lahan peminihan A, kolam dengan salinitas rendah, sedang, dan tinggi memiliki slope yang hampir sama dan tidak naik secara signifikan berdasarkan kenaikan level kolam peminihan. Hal ini karena selama proses produksi sering terjadi hujan yang dapat mengencerkan larutan garam sehingga konsentrasi larutan garam sulit meningkat bahkan sering menurun. Selain itu, umumnya ketika terjadi hujan, intensitas radiasi yang diterima menjadi berkurang akibat penutupan awan. Hal ini mengakibatkan penurunan laju evaporasi sehingga konsentrasi air garam sulit meningkat meskipun telah mengalir menuju kolam yang salinitasnya lebih tinggi. Curah hujan total yang terjadi selama musim kemarau pada tahun 2010 mencapai 306 mm yang tersebar dalam 26 hari hujan. Hal ini menyebabkan konsentrasi air garam menjadi fluktuatif sehingga konsentrasi yang diharuskan naik secara simultan tidak tercapai. Curah hujan yang mampu menurunkan salinitas sebesar 0.25 oBe (CHkritis) pada masing-masing jenis kolam peminihan relatif tinggi. Sebagai contoh, pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kolam peminihan bersalinitas rendah di lahan peminihan B baru akan mengalami penurunan salinitas jika mendapatkan curah hujan 56 mm. Kolamkolam peminihan di lahan peminihan A bersalinitas rendah, sedang, maupun tinggi memerlukan curah hujan yang hampir sama untuk dapat menurunkan salinitas sebesar 0.25 o Be. Kondisi ini terjadi akibat salinitas yang sulit mengalami peningkatan akibat gangguan curah hujan dan keawanan sehingga air garam yang mengalir ke kolam-kolam berkonsentrasi tinggi cederung masih bersalinitas rendah. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan relatif kecil dan kurang dari 50%. Dengan demikian curah hujan tidak dapat merepresentasikan perubahan konsentrasi air garam dengan baik. Persaman regresi hanya dapat menjelaskan fungsi perubahan salinitas dari curah hujan kurang dari 50% dan bahkan ada yang hanya 15.2%. Hal ini dapat terjadi karena kondisi ketidakstabilan konsentrasi akibat cuaca yang tidak mendukung selama musim kemarau. Musim kemarau yang diharapkan kering sehingga tidak mengganggu ketercapaian konsentrasi yang tinggi tidak terjadi. Adanya hujan menunjukkan adanya awan pada musim kemarau yang dapat menghalangi radiasi surya untuk sampai ke permukaan. Selain itu kelembaban relatif pada
140 120 100 80 60 40 20 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 dasarian ke-
musim kemarau rata-rata musim kemarau tahun 2010 musim produksi ggaram
Gambar 12 Curah hujan dasarian tahun 2011 Pegaraman I Sumenep Curah hujan banyak terjadi di akhir masa produksi karena sebenarnya telah masuk musim hujan. Ketidaktercapaian produksi garam dengan jumlah besar bisa juga disebabkan oleh keterlambatan mulainya produksi garam dari awal musim kemarau serta keterlambatan menghentikan produksi garam. Keterlambatan memulai produksi dapat
15
Tabel
Pem
A
5
Persamaan regresi perubahan salinitas terhadap curah hujan tahun 2011
Klas
Persamaan Regresi
R2 (%)
CH kritis
I
dS=0.003-0.016CH
38
16
II
dS=0-0.015CH
43.9
17
III
dS=0.065-0.024CH
56.9
13
IV
dS=0.04-0.04CH
44
7
I
dS=0.02-0.009CH
39.8
30
II
dS=0.061-0.018CH
49.2
17
III
dS=0.034-0.032CH
66.3
9
IV
dS=-0.009-0.048CH
44.8
5
B
Keterangan : Klas I : salinitas rendah Klas II : salinitas sedang Klas III : salinitas tinggi Klas IV : salinitas sangat tinggi Berdasarkan slope hasil persamaan regresi dapat dilihat bahwa semakin tinggi salinitas kolam peminihan, semakin tinggi perubahan salinitas yang diakibatkan oleh curah hujan yang sama. Namun hal ini tidak berlaku pada kolam peminihan rendah dan sedang di lahan peminihan A. Koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan persamaan regresi umumya kurang dari 50%. Hal ini dapat menunjukkan bahwa curah hujan kurang mampu merepresentasikan perubahan salinitas dengan baik. 4.2.2.4. Perbandingan Pengaruh Curah Hujan pada Proses Peminihan antar Tahun Curah hujan selalu memberikan pengaruh negatif terhadap salinitas pada proses pembuatan garam. Hubungan antara keduanya menunjukkan hubungan linier negatif yang dapat direpresentasikan dari persamaan regresi linier yang dihasilkan. Perbandingan hasil analisis regresi antar tahun dapat dilihat dari
histogram kemiringan (slope) (Gambar 13), curah hujan kritis (Gambar 14), dan koefisien determinasi (Gambar 15). 0 -0.02 slope
mengurangi target produksi. Keterlambatan menghentikan masa produksi berpengaruh pada penurunan produksi akibat adanya gangguan hujan pada konsentrasi tinggi. Jika belajar dari hasil tahun 2009, curah hujan memberikan dampak yang sangat besar pada penurunan konsentrasi. Hal ini dapat meningkatkan peluang kerugian. Pengaruh curah hujan terhadap perubahan salinitas larutan garam di lahan Peminihan A dan B tahun 2011 dapat dilihat dari grafik sebaran perubahan salinitas berdasarkan curah hujan sebagai variabel bebas pada Lampiran 13.
-0.04 -0.06 -0.08 -0.1 -0.12 I III I III I III I III I III I III 2009 2010 2011 2009 2010 2011 A
Gambar 13
B
Histogram slope persamaan regresi curah hujan terhadap perubahan salinitas
Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa slope yang dihasilkan oleh persamaan regresi tahun 2009 paling tinggi, kemudian diikuti tahun 2011 dan 2010. Hal ini karena tahun 2009 hanya mengalami gangguan hujan paling sedikit dibandingkan yang lain. Konsentrasi air garam yang dicapai relatif stabil dan mampu meningkat dengan baik tanpa gangguan hujan pada masa-masa produksi. Akan tetapi gangguan hujan di akhir musim kemarau mampu menurunkan salinitas di kolam-kolam peminihan secara drastis, terutama pada kolam yang bersalinitas sangat tinggi. Sementara itu, tahun 2011 terganggu curah hujan berturut-turut di akhir masa produksi. Hujan di akhir masa produksi telah mengakibatkan salinitas menurun drastis, lalu diikuti curah hujan pada hari berikutnya. Pada kondisi tersebut konsentrasi air garam telah rendah dan belum diimbangi dengan evaporasi yang dapat meningkatkan konsentrasi kembali. Dengan demikian slope yang dihasilkan cukup rendah. Sementara itu, pada tahun 2010, gangguan hujan tidak hanya terjadi di awal dan akhir musim kemarau, namun juga sering terjadi di sela-sela musim kemarau. Hal ini menyebabkan konsentrasi yang dicapai larutan garam pada kolam-kolam peminihan relatif rendah, sehingga perubahan salinitas yang diakibatkan oleh curah hujan relatif kecil sedangkan curah hujan kritis paling besar (Gambar 14).
16
mirip dengan tahun 2010, yakni curah hujan tinggi pada musim kemarau, model persamaan tersebut menjadi sulit diterapkan. Adapun model penduga perubahan salinitas berdasarkan data curah hujan disajikan pada Tabel 6.
50 40 30 20
Tabel 6 Model penduga perubahan konsentrasi air garam berdasarkan curah hujan
10 0 I III I III I III I III I III I III
Gambar 14 Histogram curah hujan kritis
R2 (%)
Koefisien determinasi (R2) yang disajikan pada Gambar 15 menunjukkan bahwa tahun 2009 memiliki R2 tertinggi. Dengan demikian persamaan regresi tersebut mampu merepresentasikan pengaruh curah hujan terhadap penurunan salinitas dengan sangat baik. Maka persamaan regresi tahun 2009 dapat dijadikan sebagai model penduga perubahan konsentrasi air garam akibat curah hujan. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 I
III
I
III
I
III
I
III
I
III
I
CH
R2 (%)
Klas kolam
Model
Rendah
dS=0.068-0.018CH
59
18
Sedang
dS=0.172-0.043CH
76
10
Tinggi
dS=0.238-0.073CH
84
7
Sangat Tinggi
dS=0.301-0.097CH
77
6
kritis
(mm)
Keterangan: dS : perubahan konsentrasi air garam yang diduga (oBe) CH : curah hujan (milimeter) 4.3.
Respon Produksi Garam Tahunan Akibat Curah Hujan dan Frekuensi Kejadian Hujan selama Musim Produksi serta Panjang Musim Kemarau Produksi garam tahunan memiliki pola yang berlawanan dengan curah hujan selama musim produksi (Gambar 16). Bulan produksi garam rata-rata Pegaraman I Sumenep adalah bulan Juni sampai November. Produksi garam cenderung turun ketika curah hujan meningkat.
III
160
2,500
Gambar 15 Histogram R2 persamaan regresi curah hujan terhadap perubahan salinitas Model penduga perubahan salinitas berdasarkan data curah hujan dapat digunakan untuk menghasilkan prediksi yang tepat jika kondisi cuaca hampir seperti kondisi tahun 2009. Kondisi cuaca yang dimaksud adalah kondisi kering dan terik sepanjang musim kemarau. Curah hujan boleh terjadi di awal dan akhir musim kemarau tetapi tidak sering. Curah hujan di pertengahan musim kemarau harus diimbangi dengan evaporasi yang tinggi sehingga konsentrasi dapat meningkat dengan drastis untuk menggantikan penurunan konsentrasi akibat curah hujan. Oleh sebab itu diperlukan rekayasa iklim mikro di sekitar lahan peminihan untuk dapat meningkatkan laju evaporasi. Namun jika kondisi cuaca
2,000
120 100
1,500
80 1,000
60 40
500
20 0
0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
2009 2010 2011 2009 2010 2011
produksi (x1000 ton)
140
curah hujan (mm/tahun)
curah hujan kritis (mm)
60
curah hujan
Gambar 16
tahun
produksi garam per tahun
Pola curah hujan dan produksi garam tahunan Pegaraman I Sumenep
Berdasarkan persamaan regresi, dengan curah hujan selama musim produksi, JuniNovember memberikan pengaruh negatif pada produktivitas garam (Gambar 17). Curah hujan selama bulan produksi garam mampu merepresentasikan produksi garam total
y = -6.935x + 179.5 R² = 0.990
10
20
30
frekuensi kejadian hujan
160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
y = -0.397x + 146.2 R² = 0.746
-
200
400
CH Juni-Nov (mm)
Gambar 17
160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 0
Hubungan antara curah hujan selama masa produksi dengan produktivitas garam selama 1999-2011
Frekuensi kejadian hujan selama musim kemarau memberikan dampak signifikan pada penurunan produksi garam (Gambar 18). Semakin tinggi frekuennsi kejadian hujan, semakin kecil produksi garam. Hal ini disebabkan karena hujan yang sering terjadi selama musim produksi dapat menurunkan salinitas. Kondisi cuaca pada keadaan seperti itu juga tidak mendukung evaporasi karena keberadaan awan yang menghalangi radiasi untuk sampai ke permukaan, kelembaban yang tinggi, dan suhu yang relatif rendah. Frekuensi kejadian hujan selama tahun 20092011 mampu merepresentasikan produksi garam total dengan R2 sebesar 99%. Penambahan satu kali kejadian hujan mampu menurunkan produksi total garam sebesar 6935 ton garam. Jika tidak terjadi hujan sama sekali selama musim produksi garam, pegaraman dapat memproduksi garam sebesar 179.5 ribu ton per tahun. Kondisi ini akan tercapai dengan baik jika panjang musim kemarau maksimal, yakni sekitar 6 bulan. Persamaan regresi yang dihasilkan Gambar 18 dapat digunakan untuk memprediksi produksi garam total dari jumlah kejadian hujan sebab memiliki koefisien determinasi sangat tinggi. Namun demikian diperlukan time series yang lebih panjang untuk bisa meningkatkan keakurasian suatu model.
Gambar 18
Hubungan antara frekuensi kejadian hujan dengan produksi garam per tahun selama tahun 2009-2011
Panjang musim kemarau juga memberikan pengaruh signifikan terhadap produktivitas garam secara logaritmik (Gambar 19). Pada satu titik tertentu penambahan panjang musim kemarau tidak mampu menambahkan produksi garam lebih banyak. Hal ini terjadi karena berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, Sumenep memiliki panjang musim kering maksimal 6 bulan (18 dasarian). Peningkatan produksi garam akan menurun setelah panjang musim kemarau mencapai lebih dari 18 dasarian. Namun demikian penambahan panjang musim kemarau jika diidentifikasi dengan baik dapat menambah produktivitas garam dalam satu tahun. produksi garam (ton/tahun)
produksi (x 1000 ton/tahun)
dengan R2 74.6%. Slope persamaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa peningkatn satu milimeter curah hujan pada bulan Juni hingga November dapat menyebabkan penurunan produksi garam sebesar 397 ton per tahun. Jika tidak terjadi hujan sama sekali selama musim produksi, produksi garam dapat mencapai 146.2 ribu ton per tahun. Selama kurun waktu 1999-2011, Pegaraman I Sumenep hanya dapat memproduksi garam terbanyak sebesar 141048 ton, yakni pada tahun 2004.
produksi (x 1000 ton/tahun)
17
160 140 120 100 80 60 40 20 0
y = 111.2ln(x) - 225.6 R² = 0.629
0
10 20 30 panjang musim kemarau (dasarian)
Gambar 19 Hubungan antara panjang musim kemarau dengan produktivitas garam tahun1999-2011
18
anomali AMK (hari)
60
y = 0.828x - 4.161 R² = 0.139
40 20 0 -20 -20
0
20
40
-40 -60
Gambar 20
SOI April
Hubungan SOI April dengan anomali awal musim kemarau tahun 1999-2011
Berdasarkan data tahun 1999-2011, awal musim hujan Pegaraman I Sumenep terjadi pada hari dekade ke-33 atau sekitar pertengahan November. Penyimpangan (anomali) awal musim hujan juga terjadi akibat fenomena ENSO bulan September. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 21. Semakin tinggi SOI, semakin maju awal musim hujan. Tanda minus pada anomali AMH
menunjukkan kejadian awal musim hujan yang lebih awal dari kondisi rata-rata. SOI tinggi menunjukkan tekanan udara tinggi di Pasifik bagian timur karena suhu muka laut lebih rendah dari kondisi normal. Akibatnya terjadi pergeseran massa udara lembab menuju bagian barat Samudra Pasifik dekat Indonesia. Kondisi ini menyebabkan musim hujan lebih awal dari kondisi normal. Fenomena tersebut dinamakan La Nina. 60 anomali AMH (hari)
4.4. Pengaruh ENSO terhadap Produktivitas Garam dan Musim di Lokasi Pegaraman I Sumenep 4.4.1. Pengaruh ENSO terhadap Awal Musim di Lokasi Pegaraman I Sumenep Keragaman iklim memberikan pengaruh yang cukup besar bagi iklim Indonesia. Fenomena ENSO tidak hanya mempengaruhi tinggi hujan tetapi juga mempengaruhi awal musim kemarau atau akhir musim hujan tergantung pada waktu pembentukan, lama dan intensitas ENSO. Ketika terjadi El Nino, umumnya awal musim hujan di wilayah bertipe iklim monsun mengalami keterlambatan antara satu sampai dua bulan, sebaliknya pada saat terjadi fenomena La Nina. Akhir musim hujan dan awal musim kemarau mengalami penyimpangan dari kondisi rata-rata (Nicholls 1981; Nicholls 1983; Joseph et al. 1990; Webster dan Yang 1992). Namun demikian letak geografis akan menentukan respon aktivitas ENSO (Tjasyono 2003). Sumenep merupakan salah satu kabupaten yang bertipe iklim monsun. Oleh sebab itu perlu dilihat tingkat sensitivitas daerah tersebut terhadap ENSO. SOI bulan April dengan penyimpangan (anomali) awal musim kemarau (AMK) dari kondisi rata-rata menunjukkan hubungan linier positif (Gambar 20). Meskipun koefisien determinasi kecil, kondisi ini cukup mampu menunjukkan bahwa SOI bulan April mempengaruhi maju/mundurnya AMK.
y = -2.249x - 3.565 R² = 0.542
40 20 0 -20
-20 0
20
40
-40 -60 -80 SOI September
Gambar
21
Hubungan SOI September dengan anomali awal musim hujan tahun 1999-2011
Anomali awal musim hujan (AMH) memiliki korelasi positif yang cukup kuat dengan SOI (Gambar 21). SOI bulan September mampu merepresentasikan anomali awal musim hujan Kabupaten Sumenep dengan koefisien determinasi sebesar 54.2%. Penambahan satu angka SOI bulan September dapat menyebabkan awal musim hujan lebih awal sekitar dua dasarian (dua puluh hari) dari kondisi normal. SOI bulan September dengan AMH memiliki hubungan yang lebih kuat daripada SOI bulan April dengan AMK. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hendon (2003) dan Boer et al. (2007) bahwa anomali suhu muka laut memiliki hubungan yang kuat dengan curah hujan pada bulan-bulan kering (Mei-Oktober). Berdasarkan penelitian Marjuki (2011), anomali awal musim hujan lebih sering diprediksi berdasarkan anomali SML rata-rata bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Apabila terjadi anomali SML sekitar bulan tersebut, terutama bulan Juni, transisi angin pasat timur menjadi angin pasat barat terganggu sehingga awal musim hujan menjadi lebih mundur dari kondisi normal. Namun berdasarkan data selama periode tahun 1999-2011, SOI JJA merepresentasikan anomali awal musim hujan lebih kecil daripada SOI September, yakni dengan koefisien determinasi 48.5% (Gambar 22).
19
y = -3.055x - 3.134 R² = 0.485
40 20 0 -20.0
-10.0
-20 0.0
10.0
20.0
-40 -60 -80 SOI JJA
Gambar 22 Hubungan antara Indeks Osilasi Selatan bulan Juni-Juli-Agustus dengan anomali awal musim hujan (AMH) pada periode tahun 1999-2011 ENSO seringkali memberikan dampak pada maju/mundurnya awal musim hujan dan kemarau (Tabel 7). Dengan demikian petani garam di Sumenep hendaknya dapat beradaptasi dengan keragaman iklim seperti ENSO dengan menggunakan metode-metode tertentu dalam upanya meningkatkan produksi garam.
SOI rata-rata bulan kemarau bernilai positif. SOI yang positif menunjukkan tekanan udara di dekat Darwin, Australia, mengalami penurunan sehingga suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian barat mengalami peningkatan. Kolam air hangat bergeser ke arah barat Pasifik (dekat perairan Indonesia). Kondisi ini mengakibatkan curah hujan di Indonesia menjadi lebih tinggi dari kondisi normal. Produktivitas garam tahunan akibat SOI bulan Mei-November (Gambar 23). SOI mempengaruhi produktivitas garam tahunan. SOI Mei-November yang tinggi menunjukkan bahwa suhu muka laut di sekitar perairan Indonesia juga tinggi. Arus hangat mengalir dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia sehingga menyebabkan uap air di sekitar Indonesia lebih banyak. Kondisi tersebut mengakibatkan angin pasat timur yang kering menjadi melemah dan curah hujan di Indonesia menjadi lebih tinggi. Sementara itu, curah hujan terbukti memberikan efek negatif terhadap konsentrasi air garam pada proses pembuatan garam dan produktivitas garam.
Tabel 7 Anomali awal musim kemarau pada kondisi ENSO pada awal musim kemarau SOI MarApr
anomali AMK
Tahun
SOI AgstSept
anomali AMH
Tahun
El Nino
3
2001
El Nino
3
2002
El Nino
-2
2002
El Nino
0
2003
El Nino
0
2003
El Nino
2
2004
El Nino
-5
2004
El Nino
4
2006
El Nino
1
2005
La Nina
-3
2000
El Nino
-1
2007
La Nina
-2
2001
La Nina
0
1999
La Nina
1
2005
La Nina
4
2000
La Nina
-1
2008
La Nina
0
2006
La Nina
4
2009
La Nina
-3
2008
La Nina
-6
2010
La Nina
3
2009
La Nina
-1
2011
La Nina
4
2010
normal
1
1999
La Nina
-2
2011
normal
3
2007
produksi (ribu ton/tahun)
160
20.0
140
15.0
120 10.0
100 80
5.0
60
0.0
40 -5.0
20
Pengaruh ENSO terhadap Produktivitas Garam Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) selama musim kemarau (Mei-November) mampu merepresentasikan produksi garam per tahun. Produksi garam umumnya akan mengalami penurunan jika
-10.0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
4.4.2.
SOI Mei-November
Anomali AMH (hari))
60
Prod
SOI
Gambar 23 Produktivitas garam tahun 19992011 dengan SOI rata-rata bulan Mei-November produksi (x 1000 ton/tahun)
160 140 120 100 80 60 40 20 0 -10.0
y = -4.675x + 92.33 R² = 0.542
0.0 10.0 SOI Juni-Nov
20.0
Gambar 24 Hubungan SOI rata-rata bulan Juni-November dengan produktivitas garam tahun 19992011