89
PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS NAMA PEMILIK HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN Oleh: Suyono Sanjaya1 Abstract The mechanism of the process of renewal certificate Building Building Property Rights on behalf of the owner of the property of flats has been clearly stipulated in Government Regulation No. 4 of 1988 Article 52 that is before PropertiesOf Building or Land Rights country stands above flats as dimalsud in Article 38 rights expire, the owner through the Tenant Association to apply for an extension or renewal of the land rights in accordance with the Laws - Invitation applicable.In reviewing the cases discussed in the chapter discussion in this paper, the authors argue that there is no legal certainty on the extension of Property RightsBuilding Use issued by the competent authority or authorities because there is no legal basis that would regulate it. Key words: Extention the right of Building, Property Owner, Unit Flat.
1.
Pendahuluan 1. Latar Belakang Cita – cita perjuangan Bangsa Indonesia adalah mewududkan masyarakat adail dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar tahun 1945 serta tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin untuk seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 ayat (1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 bahwa “ Setiap orang hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”.2 Secara lahiriah, manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah, dan issue penting keterkaitan manusia dengan tanah, terkait dengan bagaimana tanah itu dikuasai 1
Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah
Jakarta. 2
Undang – Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 (1).
90
oleh manusia baik sebagai individu maupun kelompok, bagaimana negara mengatur dan mengelola penguasaan tanah, dan bagaimana penguasaan tanah dijamin oleh hukum. Perkembangan hukum tanah sebelum berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 ( UUPA) dan hukum tanah sesudah berlakunya Undang – Undang Hukum Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA). Hukum tanah yang berlaku sebelum Undang – Undang Pokok Agraria adalah hukum tanah yang bersifat pluralisme terdiri dari : Hukum Tanah Adat, Hukum Tanah Barat, Hukum Tanah Antar Golongan, Hukum Tanah Administrasi dan Hukum Tanah Swapraja, namun yang merupakan ketentuan pokok dari macam – macam Hukum Tanah tersebut hanya Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat yang berlaku dan selebihnya hanya merupakan pelengkap saja. Setelah diundangkannya Undang – Undang Hukum Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA) hanya ada satu macam hukum tanah yang berlaku serentak diseluruh wilayah Indonesia yaitu sebagaimana ditetapkan dalam pasal 16 ayat 1 juncto pasal 53 Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA) pasal 20 s/d 51 juncto. Pasal 57 Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA).3 Sejak saat itu terjadilah univikasi dan kodifikasi dibidang hukum tanah, anatara lain unifikasi hak – hak perorangan atas tanah yang sudah dipunyai oleh orang – orang dan badan – badan hukum berdasarkan Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat dengan cara mengubah (dikonversi) menjadi salah satu hak – hak perorangan atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA), berdasarkan ketentuan – ketentuan konversi dalam diktum kedua Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960. Untuk memahami lebih lanjut perubahan – perubahan tersebut, perlu diketahui keterkaitan fungsi Undang – Undang Pokok Agraria Tahun 1960 dalam hubungan fungsi keterkaitan tersebut sebagai berikut :
3
Pasal 20 s/d 57 Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960.
91
1. Menciptakan univikasi di bidang Hukum Tanah , dengan menghapuskan menyatakan tidak berlaku lagi peraturan – peraturan hukum tanah lama dan menyatakan berlakunya Hukum Tanah Nasional yang bersumber pada Hukum Tanah Adat yang tidak tertulis. 2. Menciptakan univikasi hak – hak perorangan atas tanah yang sudah dipunyai oleh orang – orang dan badan – badan hukum berdasarkan Hukum Tanah Adat atas Hukum Tanah Barat, dengan cara mengubah (dikonversi) menjadi salah satu hak – hak perorangan atas tanah menurut Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA), berdasarkan ketentuan – ketentuan konversi dalam Diktum Kedua Undang – Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA). 3. Meletakan landasan hukum untuk pembangunan Hukum Tanah Nasional. Dinegara Republik Indonesia, meningkatnya kebutuhan akan perumahan telah ditenggarai sejak tahun 1970 oleh Menteri Dalam Negeri yang ditugasi untuk mengatur masalah pertanahan. Oleh karenanya, dikeluarkanlah serangkaian peraturan perundang – undangan yang membuka kemungkinan bagi seseorang untuk memiliki sebidang tanah bersama – sama orang lain dengan menunjuk secara khusus, pada bagian bangunan gedung yang dimilki secara individual oleh pemegang sertifikatnya. Peraturan yang dimaksud adalah: 1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1975 Tentang Pendaftaranan Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian – Bagian Bangunan yang ada diatasnya serta penerbitan sertifikatnya. 2. Peraturan
Menteri
Dalam
Negeri
No.
4
Tahun
1977
Tentang
Penyelenggaraan Tata Usaha Pendaftaran Tanah Mengenai Hak Atas Tanah Yang Dipunyai Bersama dan Pemilikan Bagian – bagian Bangunan yang ada diatasnya.
92
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 10 Tahun 1983 Tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang disertai dengan pemilikan secara terpisah bagian – bagian pada bangunan bertingkat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal bagi masyarakat, maka kebutuhan akan tanah semakin meningkat, sedangkan luas tanah tidak bertambah atau terbatas, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman serta untuk lebih meningkatkan kwalitas lingkungan pemukiman yang baik, terutama untuk daerah – daerah yang berpenduduk padat, tetapi hanya tersedia tanah yang terbatas, maka perlu dilakukan penataan atas tanah, sehingga pemanfaatanya harus betul – betul dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna dari lahan kota dan demi terwujudnya keterpaduan fungsi – fungsi kota secara baik dalam melayani kebutuhan masyarakat kota yang jumlah penduduknya semakin bertambah pesat dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang hidup dalam masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjawab kebutuhan yang meningkat dibidang perumahan, yang dalam pembangunan perumahan diatas tanah memerlukan tanah yang sangat luas sedangkan luas tanah semakin sedikit, maka arah kebijakan pembangunan perumahan diarahkan untuk membangun rumah susun4. Untuk mendukung kebijakan pembangunan rumah susun tersebut pemerintah telah mengeluarkan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, undang – undang tersebut telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang
4
Muhamad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia termasuk Kepemilikan rumah oleh Orang Asing, Mandar Maju, Bandung, 2013. Hlm 81.
93
Rumah Susun, yang dalam kepustakaan hukum undang – undang tersebut merupakan Undang – Undang Kondomonium5. Undang – Undang ini mengatur hal – hal yang bersifat pokok – pokok saja, sedangkan ketentuan pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Perundang – undangan yang antara lain Peraturan Pemerintah Nomor. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor.2 Tahun 1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun, dan Peraturan Badan Pertanahan Nasioanl Nomor.4 Tahun 1989 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Secara teknologi sistem bangunan gedung bertingkat yang ruang – ruangnya dapat dipakai secara individual sudah lama dikenal dan dilaksanakan dibeberapa kota besar di Indonesia. Sistim pemilikan gedung tersebut adalah sistim pemilikan tunggal, dimana pemegang hak hak atas tanah sekaligus sebagai pemilik gedung. Pemakai – pemakai pada sistim pemilikan sebagaimana tersebut diatas hanya terikat dalam bentuk hubungan hukum sewa menyewa yang tidak memberikan hak kebendaan atas obyek perjanjian sehingga pemanfaatanya bagi yang bersangkutan sangat terbatas6. Terdapat 3 (tiga) macam Rumah Susun di Indonesia yang semuanya mengacu kepada Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagai dasar hukum pengaturanya, yaitu 7: 1. Rumah Susun Sederhana ( Rusuna ), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) atau Perumnas. 5
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan – Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 1990, hlm. 340. 6 Arie S, Huragalung “Kondomonium dan Permasalahnya”, Badan Penerbit FakultasHukum UI, 2007, hlm 9. 7 Ibid,hlm 15.
94
2. Rumah Susun Menengah ( Apartemen ), biasanya dijual atau diseakan oleh Perumnas/Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah. 3. Rumah Susun Mewah ( Apartemen/Condominium ), selain dijual kepada masyarakat konsumen menegah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta. Dengan adanya Undang – Undang Rumah Susun telah memperkenalkan adanya lembaga kepemilikan baru sebagai hak kebendaan yaitu adanya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terdiri atas hak perseorangan atas unit satuan rumah susun dan hak atas tanah bersama, benda bersama serta bagian bersama, yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan – satuan yang bersangkutan8. Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun pasal (41) tersebut sebagai : “Hak Milik atas satuan rumah susun meliputi hak kepemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian – bagian bangunan, hak bersama atas benda dan hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan” Hak kepemilikan atas satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru yang perlu diatur dengan undang – undang, dengan memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat Indonesia. Dengan undang – undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi9 : a. Hak kepemilikan perseorangan atas satuan – satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah. b. Hak bersama atas bagian – bagian dari bangunan rumah susun. c. Hak bersama atas benda – benda. 8
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika, hlm198. Herman Hermit “Komentar Atas Satuan Undang – Undang Rumah Susun”, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm 5. 9
95
d. Hak bersama atas tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan yang secara fungsional tidak terpisahkan. Menurut ketentuan Pasal 46 ayat (1) Undang – Undang Nomor. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, bahwa Hak kepemilikan atas satuan rumah susun selain bersifat perorangan dan terpisah juga meliputi “bagian bersama”, “tanah bersama”, dan “benda bersama”. Hal mana sebagai bukti kepemilikan atas satuan rumah susun diberikan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang berdiri diatas tanah bersama dengan sertifikat hak atas tanahnya terpisah yaitu pada umumnya bersertifikat Hak Guna Bangunan. Untuk tanah dengan hak pengelolaan, Undang – Undang memberikan pengaturan
khusus
yaitu
bahwa
penyelenggara
pembangunan
wajib
menyelesaikan status hak guna bangunan diatas tanah tersebut sebelum menjual satuan rumah susun meliputi juga hak atas tanah bersama.Menurut Pasal 17 Undang – Undang Nomor. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun di atas Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai Atas Tanah Negera, Hak Guna Bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan sesuai dengan perturan perundang – undanngan yang berlaku. Mengingat bahwa pembangunan rumah susun dan pemilik satuan rumah susun harus meenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah, maka satuan rumah susun yang dibangun atas tanah dengan hak milik hanya terbatas pemiliknya pada perseorangan warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 38 Tahun 1963 yaitu Tentang Penunjukan Badan – Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Sedangkan, yang dapat membangun rumah susun diatas tanah Hak Milik adalah kelompok perorangan atau swadaya masyarakat. Untuk pembangunan rumah susun sebaiknya digunakan tanah dengan Hak Guna Bangunan diatas tanah negara agarproses perpanjangan atau pembaharuan haknya dikemudian 96
hari tidak membutuhkan persetujuan pihak lain. Subjek Hak Guna Bangunan atau yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yang mengatur mengenai perpanjangan hak atas tanah rmuah susun, adapun penegasan pasal tersebut adalah10 : a. Sebelum Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara yang diatasnya berdiri rumah susun sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 haknya berakhir, para pemilik melalui perhimpunan penghuni mengajukan permohonan perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah tersebut sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. b. Penerbitan perpanjangana atau pembaharuan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam Undang – Undang Rumah Susun Nomor 20 Tahun 2011 bahwa rumah susun dapat didirikan diatas Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai diatas Hak Pengelolaan dengan catatan untuk Hak diatas Pengelolaan harus sudah terdapat Hak Guna Bangunan diatasnya sebelum dapat dibangun rumah susun.Dari keempat hak tersebut, yang paling populer digunakan sebagai alas hak untuk pembangunan rumah susun adalah Hak Guna Bangunan karena rumah susun sebagian besar dibangun oleh penyelenggara pembangunan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas yang bukan merupakan subjek dari Hak Milik. Hak Pakai sebenarnya dapat digunakan sebagai alas hak untuk membangun rumah susun, namun pada hakekatnya hak ini kurang populer dimasyarakat. Hak Guna Bangunan tersebut dapat berupa Hak Guna Bangunan di atas tanah negara, diatas Tanah Hak Milik, atau di atas Tanah Hak Pengelolaan.
10
Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988
97
Oleh karena Hak Guna Bangunan merupaka hak atas tanah yang paling banyak digunakan untuk pembangunan rumah susun, maka peristiwa perpanjangan hak atas tanah bersama merupakan peristiwa yang akan dialami oleh sebagian besar pemilik dan/atau penghuni rumah susun. Sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, jika tiba waktunya perpanjangan hak atas tanah dilakukan, maka perhimpunan penghuni sebagai badan hukum yang mewakili seluruh pemilik dan/atau penghuni satuan rumah susun adalah pihak yang bertugas dan diberi wewenang untuk memperpanjang hak atas tanah bersama di Kantor Pertanahan. Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997) mengatur tentang bahwa pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan berdasarkan keputusan Pejabat yang berwenang memberikan perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan11. Pejabat yang berwenang dalam hal ini mengacu pada siapa yang memberikan keputusan pemberian hak pada saat hak atas tanah tersebut dimohonkan.Permohonan perpanjangan beserta berkas – berkasnya sendiri dimasukkan
melalui
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya.Dalam
penjelasan ayat tersebut dikatakan bahwa perpanjangan jangka waktu suatu hak tidak mengakibatkan hak tersebut hapus atau terputus.Oleh karena itu untuk pendaftarannya tidak perlu dibuatkan buku tanah dan sertifikat baru. Selanjutnya dalam Pasal 130 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatur bahwa perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dicatat dalam halaman perubahan yang disediakan di dalam buku tanah dan sertifikat sehingga untuk perpanjangan jangka waktu hak atas tanah tidak diadakan perubahan nomor hak. 11
Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 47.
98
Proses ini berbeda dengan pembaharuan hak, dalam proses pembaharuan hak, hak atas tanah yang lama hapus dan atas tanah yang sama kemudian diberikan hak yang baru. Oleh karena itu, buku tanah dan sertifikat lama dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan buku tanah dan sertifikat baru dengan nomor hak baru.Perpanjangan Hak Guna Bangunan wajib dimohonkan selambat – lambatnya dua tahun sebelum jangka waktu perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 27 PP Nomor 40 Tahun 1996. Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitan yang lebih mendalam mengenai Perpanjangan Hak Guna Bangunan. Berdasarkan hal tersebut,
penulis
merumuskan
penelitian
tersebut
dengan
judul
“PERPANJANGAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS NAMA PEMILIK HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN”.
2. Rumusan Penelitian Adapun rumusan masalah yang akan dikaji adalah : 1. Bagaimana mekanisme Proses Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Nama Pemilik Hak Milik Satuan Rumah Susun? 2. Bagaimana Kepastian Hukum terhadap Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dikeluarkan oleh Instansi yang berwenang dengan keterangan yangberbeda ? 3. Landasan Teori Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama didaerah – daerah yang berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga pemanfaatnya betul –betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, dengan demikiaan di kota – kota besar perlu diarahkan pembangunan perumahan dan pemukiman yang diutamakan sepenuhnya pada pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan 99
salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama didaerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang – ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh. Dalam hal status hak pembangunan rumah susun dapat dilihat dalam pasal 16 ayat (1) UUPA No.5 tahum 1960 Jo.UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah susun. Pasal 17. Pembangunan Rumah Susun dikawasan perkotaan didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan.Dalam pelaksanaanya, menggunakan prinsip tata kelola kepemerintahan yang baik (good government) dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate govermence). Prinsip dasar pemabngunan rumah susun adalah : a. Keterpaduan : pembangunan rumah susun dilaksanakan prinsip keterpaduan kawasan, sektor, antar pelaku, dan keterpaduan dengan sitim perkotaan. b. Efesiensi dan Efektifitas : memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal, melalui peningkatan intensitas penggunaan lahan dan suberdaya lainnya. c. Penegakan hukum : mewujudkan adanya kepastian hukum dalam bermikim bagi semua pihak, serta menjunjung tinggi nilai – nilai kearifan yang hidup ditengah masyarakat. d. Keseimbangan
dan
kesejahteraan:
mengindahkan
keseimbangan
ekosistem dan kelestarian sumberdaya yang ada. e. Partisipasi: mendorong kerjasama dan kemitraan Pemerintah dengan badan usaha dan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses
100
perencanaan, pembangunan, pengawasan, operasi dan pemeliharaan, serta pengelolaan rumah susun. f. Kesetaraan: menjamin adanya kesetaraan peluang bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah untuk dapat menghuni rumah susun yang layak bagi peningkatan kesejahteraannya. g. Transparansi dan Akuntabilitas: menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat melalui penyediaan informasi yang memadai, serta dapat mempertanggung-jawaban kinerja pembangunan kepada seluruh pemangku kepentingan. Teori Hukum Positif. Teori hukum murni (The pure theory of law) adalah teori hukum positif tetapi bukan positif suatu sistim hukum tertentu melainkan suatu teori hukum umum (General Legal Theory).Sebagai suatu teori tujuan utamanya adalah pengetahuan terhadap subjeknya untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan bagaimana hukum dibuat.Bukan pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana seharusnya dibuat (ought to be made) Teori hukum murni adalah ilmu hukum (legal Science), bukan kebijakan hukum (legal policy).Teori Hukum Murni adalah teori hukum positif yang merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasinol tertentu, namun ia menyajikan teori penafsiran sebagai sebuah teori yang dimasukan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana dia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi) bukan politik hukum. Ia disebut teori hukum “murni” lantaran ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasanya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur 101
asing.Inilah landasan metodologis dari teori itu. Pada hakekatnya hukum yang salah satu diantaranya diwujudkan dalam suatu bentuk serangkaian peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah, pada dasarnya bersifat umum dan normatif, disebut umum karena hukum berlaku bagi setiap orang tanpa kecuali, dan dikatakan bersifat normatif karena pada dasarnya hukum menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimanakah cara melaksanakan aturan peraturan tersebut. Oleh karena itu hukum tidak lain pada hakikatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Tiap manusia mempunyai kepentingan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Harta kekayaan, anak, istri, nama baik golongan dan sebagainya , itu semua merupakan kepentingan manusia.12 4. Metode Penelitian Metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian adalah suatu upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati, dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran.13 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis
umum
kemudian
berakhir
pada
suatu
kesimpulan
khusus.Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perundang-undangan yang 12 13
Sudikno Martokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm 1. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998, hlm., 24.
102
relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.14 2. Jenis data Berdasarkan hal tersebut, jenis data yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung diperoleh dari lapangan, tetapi diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumen dan laporan yang ada hubunganya dengan masalah yang diteliti. 3. Sumber Data Berdasarkan jenis datanya maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini dikelompok menjadi 3 ( tiga ) bagian yaitu : a. Bahan hukum primer diatas, yaitu merupakan data yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas yang tinggi dan mengikat, yaitu berupa: Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden. b. Bahan hukum sekunder adalah data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer antara lain, buku-buku hukum, pendapat dan tulisan para ahli hukum, hasil penelitian hukum, hasil karya ilmiah dibidang hukum, Yurisprudensi, literatur hukum, makalah dan artikel yang berkaitan dengan hukum rumah susun. c. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan bermakna maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan Indonesia, majalah, surat kabar, internet guna melengkapi data penelitian yang telah ada sebelumnya.15 4. Teknik Pengumpulan Data 14
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Jakarata, Sinar Grafika, hlm, 13. 15 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, “ Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”; Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm, 13.
103
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan studi kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka lainya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan putusan pengadilan. 5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui mekanisme peralihan hak atas tanah bersama didalam Undang-Undang No. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun Jo. Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1988 Tentang Rumah Susun dan hambatanhambatan apakah dalam penerapan ketentuan atau peraturan tersebut, khususnya segi prosedur hukumnya. 2. Untuk mengetahui proses perpanjangan sertipikat hak guna bangunan atas tanah bersama yang masih atas nama Developer. Kegunaan Peneletian 1. Kegunaan Teoritis. Penulisan tesis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan kepastian hukum rumah susun khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah bersama dan perpanjangan hak atas tanah. 2. Kegunaan Praktis. Hasil penelitian dan penulisan tesis ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan pengembangan wawasan untuk para pembuat Undang-Undang dan instansi terkait, serta bagi masyarakat pada umumnya yang konsen terhadap pembahasan mengenai rumah susun. II.
Pembahasan 1. Mekanisme Proses Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan Atas Nama Pemilik Hak Milik Satuan Rumah Susun
104
Penerbitan sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun pada awalnya adalah Atas Nama Penyelenggara Pembangunan seluruhnya. Sementara itu, atas penerbitan sejumlah sertifikat dan Buku Tanah Milik atas Satuan Rumah Susun ini mengakibatkan disimpannya sertifikat Hak Atas Tanah Bersamanya di Kantor Pertanahan, juga dilakukan pencatatan pada Sertifikat dan Buku Tanah Hak Atas Tanah Bersamnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan KBPN Nomor 4 Tahun 1989. Dalama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 yakni Pasal 52 mengatur mengenai perpanjangan Hak ATAS Tanah Rumah Susun. Adapun pengasan Pasal tersebut adalah 16: a. Sebelum Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara yang di atasnya berdiri rumah susun sebagimana dimaksud dalam Pasal 38 haknya berakhir, para pemilik melalui perhimpunan penghuni
mengajukan
permohonan
perpanjangan
atau
pembahatuan hak atas tanah tersebut sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. b. Penerbitan perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah sebagimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Dalam Negri. Selanjutnya dalam Pasal 130 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah diatur bahwa perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dicatat dalam halaman perubahan yang disediakan di dalam buku tanah dan sertifikat sehingga untuk perpanjangan jangka waktu hak atas tanah tidak diadakan perubahan nomor hak.
16
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1989 Pasal 52.
105
Perpanjangan Hak Guna Bangunan wajib dimohonkan selambat – lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut, begitu pula dengan pembaharuanya yang wajib diajukan selambat – lambatnya dua tahun setelah jangka waktu perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut berakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 199617. Kemudian perpanjangan atau pembaharuan tersebut akan dicatat pada buku tanah di Kantor Pertanahan. Khusus untuk Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik , Hak Guna Bangunan tidak dapat diperpanjang melainkan diperbaharui saja dan untuk pembaharuan itu diperlukan persetujuan dari pemegang Hak Milik atas tanah tersebut. Sementara itu, jika hak atas tanah bersamanya berupa Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan, untuk perpanjangan Hak Guna Bangunan dibutuhkan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan atas tanah yang bersangkutan. Walaupun dengan beralihnya sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS) berarti pemeggang hak atas tanah bersama beralih dari pihak yang namanya tercantum dalam Sertifikat Hak atas Tanah Bersama kepada pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS) yang bersangkutan, akan tetapi Sertifikat Hak atas Tanah Bersama tetap atas nama pemeggang pertama dan untuk proses perpanjangan hak atas tanah bersama tetap dibutuhkan Sertifikat Hak Atas Tanah Bersama yang disimpan di Kantor Pertanahan. Hal ini disebabkan karena dalam sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS), pada kolom c halaman Pendaftaran Pertamanya, untuk bukti adanya hak atas tanah bersama rumah susun tersebut masih mengacu pada Sertifikat Hak atas Tanah bersamanya. Secara ringkas , dalam hal perpanjangan hak atas tanah rumah susun, Perhimpunan Penghuni 17
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 27.
106
mengajukan Surat Permohonan Perpanjangan Hak atas Tanah kepada Kantor Pertanahan setempat berikut Anggaran Dasar Perhimpunan Penghuni yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang. Selain itu, Kantor Pertanahan akan mengumpulkan dokumen yang dibutuhkan yaitu : surat permohonan, salinan Anggaran Dasar Perhimpunan Penghuni, Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport), fotokopi Gambar situasi, fotokopi Sertifikat Hak atas Tanah Bersama, dan Surat Keterangan Status Tanah. Dokumen tersebut kemudian diteliti oleh instansi yang berwenang memberikan perpanjangan hak atas tanah tergantung luas tanah yang haknya akan diperpanjang. Bila permohonan disetujui, maka kepada pemohon akan diberitahukan mengenai kewajiban untuk membayar Uang Pemasukan kepada Negara sebelum dapat mendaftarkan perpanjangan hak atas tanahnya. Selain membayar uang pemasukan, Perhimpunan Penghuni juga wajib membayar biaya Konstatering Rapport,biaya Permohonan Pepajakan Hak atas Tanah Bersama, dan biaya Permohonan Perpanjangan Hak Milik atas SSatuan Rumah Susun. Setelah semua kewajiban pembayaran dipenuhi, Perhimpunan Penghuni menyerahkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS) seluruh satuan rumah susun kepada Kantor Pertanahan untuk diberikan catatan dan pengesahan perpanjangan hak atas tanah pada masing – masing sertifikat tersebut. Dalam sertifikat dan buku
tanah bersamnya juga dilakukan
pencatatan dan pengesahan perpanjangan hak atas tanah tersenut. Berdasrkan Pasal 130 ayat (4) PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997. Jika tanah bersama yang akan diperpanjang berupa Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan, maka selain membayar uang pemasukan kepada Negara juga wajib membayar uang pemasukan kepada instansi
107
pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan guna mendapatkan persetujuan Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Pengelolaan. Dasar pengenaan dan perhitungan besarnya uang pemasukan yang dikenakan dalam hal perpanjangan hak atas tanah beserta biaya – biaya lainya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional18. Sebagaimana diatur dalam pasal 130 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997, perpanjangan hak atas tanah tidak mengubah nomor hak. Demikian pula dalam penjelasan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dikatakan bahwa perpanjangan jangka waktu suatu hak tidak mengakibatkan hak tersebuthapus atau terputus. Dengan kata lain, pemberian perpanjangan hak atas tanah beserta pencatatnya pada buku tanah maupun sertifikat hak atas tanah
tidak
menyebabkan terjadinya peralihan hak atas tanah tersebut. Terhadap sertifikat dan buku tanah hanya dicatatkan pada halaman perubahan bahwa jangka waktu hak atas tanahnya bertambah. Hal ini tidak menimbulkan masalah jika perpanjangan hak dilakukan pada sertifikat dan buku tanah hak atas tanah biasa, namun lain halnya bila dilakukan terhadap hak atas tanah yang diatasnya diterbitkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMRS). Adapun syarat permohonan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan : 1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; 2. Syarat – syarat pemberian hak tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; 18
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Taris Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
108
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan. 4. Tanah tersebut masih sesuai dengan rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bersangkutan; 5. Permohonan diajukan selambat – lambatanya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya waktu Hak Guna Bangunan tersebut. 6. Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan atau subyek Hak Guna Bangunan : a. Warga Negara Indonesia b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. c. Perusahaan Patungan (PMA) apabila memerlukan tanah untuk keperluan emplasemen, bangunan pabrik, dan lain – lain (Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992). 2. Kepastian Hukum Terhadap Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan Yang Dikeluarkan Oleh Instansi Yang Berwenang Dengan Keterangan Yang Berbeda Sebelum Hak Guna Bangunan yang diatasnya berdiri rumah susun berakhir, maka para pemilik melalui perhimpunan penghuni mengajukan permohonan perpanjangan kepada Kantor Pertanahan setempat, sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun, bahwa jika tiba waktunya perpanjangan hak atas tanah dilakukan, maka Perhimpunan Penghuni sebagai badan hukum yang mewakili seluruh pemilik dan/atau penghuni satuan rumah susun adalah pihak yang bertugas dan diberi wewenang untuk memperpanjang hak atas tanah bersama. Namun tidak terdapat pengaturan di dalam peraturan perundang – undangan apapun mengenai pencatatan. Bahwa dengan adanya pencatatab nama pemeggang Sertifikat Hak Atas Tanah Bersama kepada Pemegang Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang namanya tercantum dalam Sertifikat Hak 109
Milik
Satuan Rumah Susun (SHMSRS) yang diwakili Perhimpunan
Penghuni Rumah Susun (PPRS).Dengan tidak ada peraturan yang menjadi dasar hukum dari perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut, menurut hemat penulis hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum.Hal ini dapat dilihat dari keputusan yang dikeluarkan Kepala Kantor Pertanahan yang berbeda dalam memberikan keputusan tentang Perpanjangan Hak Guna Bangunan Atas Nama Pemilik Hak Milik Satuan Rumah Susun. III. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Mekanisme proses perpanjangan sertifikat Hak Milik Bangunan Bangunan atas nama para pemilik hak milik rumah susun sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 pasal 52 yaitu sebelum Hak Milik Guna Bangunan atau Hak Atas Tanah Negara yang diatasnya berdiri rumah susun sebagaimana dimalsud dalam Pasal 38 haknya berakhir, para pemilik
melalui
Perhimpunan
Penghuni
mengajukan
permohonan
perpanjangan atau pembaharuan hak atas tanah tersebut sesuai dengan Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku. 2. Dengan mengkaji kasus yang dibahas pada bab pembahasan dalam makalah ini, penulis berpendapat bahwa belum ada kepastian hukum terhadap perpanjangan Hak Milik Guna Bangunan yang dikeluarkan oleh instansi atau pejabat yang berwenang karena tidak ada dasar hukum yang mengatur akan hal tersebut. Saran-Saran 1. Disarankan Pemerintah sebaiknya mengeluarkan Peraturan yang mengatur Tentang tata cara Perpanjangan Hak Milik Guna Bangunan Atas Satuan Rumah Susun supaya ada kepastian hukum. 2. Diharapkan Pemerintah membentuk Pengadilan khusus Tanah.
110
Daftar Pustaka Undang – Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 (1). Pasal 20 s/d 57 Undang – Undang Pokok Agraria tahun 1960. Muhamad Yamin Lubis, Abdul Rahim Lubis, Kepemilikan Properti di Indonesia termasuk Kepemilikan rumah oleh Orang Asing, Mandar Maju, Bandung, 2013. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan – Peraturan Hukum Tanah, Jakarta, Djambatan, 1990, Arie S, Huragalung “Kondomonium dan Permasalahannya”, Badan Penerbit FH UI, 2007. 1
Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Sinar Grafika.
Herman Hermit “Komentar Atas Satuan Undang – Undang Rumah Susun”, Mandar Maju, Bandung, 2009. Pasal 52 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988. Peraturan Pemerintah Nomor. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 47. Sudikno Martokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1984. Mardalis, Metode Penelitian Suatu Proposal, Jakarta, Bumi Aksara, 1998, Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Jakarata, Sinar Grafika, Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, “ Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”; Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1989 Pasal 52. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Pasal 27. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
111