DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ...................................................
ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................
iv
INTISARI .................................................................................................................
xi
ABSTRACT ..............................................................................................................
x
DAFTAR ISI .............................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................
7
1.3 Tinjauan Pustaka ..................................................................................................
7
1.4 Landasan Teori .....................................................................................................
17
1.5 Argumen Utama ...................................................................................................
23
1.6 Metode Penelitian ................................................................................................
23
1.7 Sistematika Penulisan ..........................................................................................
24
BAB II AKAR KONFLIK SAMPIT ....................................................................................
26
A.Kondisi Sosial-Budaya Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah ............
29
B.Kondisi Ekonomi Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah ......................
34
C. Kondisi Politik Etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah .........................
40
D. Analisa Akar Konflik Sampit ................................................................................
44
BAB III RESOLUSI KONFLIK JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG YANG DILAKUKAN PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGATASI KONFLIK SAMPIT ....................................................................................................................
48
A. Resolusi Konflik Jangka Pendek Yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ......
49
B. Resolusi Konflik Jangka Panjang Yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia .....
54
BAB IV EFEKTIFITAS RESOLUSI KONFLIK YANG DILAKUKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM MENGATASI KONFLIK SAMPIT ...............................
62
A Analisa Efektifitas Resolusi Konflik Jangka Pendek .............................................
66
B. Analisa Efektifitas Resolusi Konflik Jangka Panjang ...........................................
72 xi
B.1 Permasalahan Pengungsi .....................................................................................
74
B.2 Menyelesaikan Akar Konflik dan Menciptakan Budaya Perdamaian .................
80
B.3 Kondisi Sampit Terkini .......................................................................................
90
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................................
94
A Saran ...................................................................................................................... 100 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 102
xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik adalah suatu hubungan antara dua pihak atau lebih, yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Mengutip pernyataan kaum Realis yang mengatakan bahwa, manusia memiliki kecenderungan untuk selalu berkonflik dengan manusia lainnya. Hal ini karena manusia terlahir dengan sifat agresif didalam dirinya. Kaum Realis juga mengatakan bahwa dunia internasional yang ada saat ini merupakan hasil dari konflik yang terjadi sejak zaman dahulu, dengan kata lain, dikatakan bahwa perdamaian sejati tidak akan tercipta tanpa adanya konflik1. Konflik sendiri dapat muncul karena adanya suatu isu utama yang dapat menjadi pemicu pecahnya suatu konflik. Isu tersebut bisa mengenai kekuasaan, budaya, identitas, gender dan juga isu mengenai hak. Namun salah satu isu yang paling rentan menjadi pemicu konflik adalah isu mengenai identitas. Isu mengenai identitas sendiri mencakup berbagai dimensi didalamnya yakni mengenai suku, budaya, bahasa, etnis hingga ras. Isu identitas kerap kali menjadi isu yang mendasari pecahnya suatu konflik, terutama konflik intranasional atau internal. Rasa identitas dapat cepat berubah menjadi respon terhadap ancaman, baik yang secara nyata ataupun yang dirasakan dan tidak jarang, respon terhadap ancaman ini akan berakhir menjadi konflik. Menurut ilmu sosiologi manusia 1
Firdaus Syam. 2007 Pemikiran Politik Barat. (Jakarta: Bumi Aksara). 125
1
cenderung menempatkan individu ataupun kelompok dalam suatu kategori yang nantinya akan menciptakan suatu stereotipe, dan tidak jarang stereotipe ini menghasilkan suatu pemikiran yang tidak akurat karena dibuat berdasarkan informasi yang tidak sempurna. Etnis termasuk dalam salah satu dimensi identitas, hal ini karena kita sering menggambarkan identitas kita menurut kelompokkelompok tertentu dimana kita menjadi bagian didalamnya dan merasa memiliki kesamaan dengan individu-individu lainnya yang tergabung didalamnya. Etnis sendiri adalah suatu kelompok dimana didalamnya terdapat kesamaan bahasa, budaya, agama dan juga ras tertentu dan jika kelompok ini mendapatkan ancaman dari kelompok etnis lainnya, hal ini kerap kali akan pecah menjadi suatu konflik yang disebut juga dengan konflik etnis. Konflik etnis kerap kali menunjukkan bahwa etnisitas adalah penyebab pecahnya konflik namun Robert Tedd Gurr beranggapan bahwa konflik etnis lebih disebabkan oleh gagalnya institusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakatnya sehingga terjadi kesenjangan baik secara ekonomi maupun sosial politik antara satu kelompok etnis dengan kelompok etnis lainnya2. Sehingga dengan kata lain, akar-akar penyebab konflik etnis tidak bisa dilihat dari satu faktor karena konflik etnis adalah suatu konflik yang cukup kompleks. Lalu bagaimana dengan konflik etnis yang terjadi di Sampit? Konflik etnis di Sampit, Kalimantan Tengah tidak pernah terjadi hingga dekade tahun 60-an. Kondisi di Kalimantan Tengah yang terbuka dan semakin berkembangnya pembangunan turut berperan meningkatkan intensitas konflik. Sebelum konflik yang pecah 2
Robert Ted Gurr. 1970. Why Men Rebel (Princeton University Press). 112
2
ditahun 2001, sebelumnya telah terjadi beberapa insiden konflik di Kalimantan Tengah yang melibatkan etnis Dayak dan Madura. Beberapa insiden ini telah terjadi sejak tahun 1972 hingga puncaknya di akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001. Konflik yang terjadi di Sampit berawal dari rasa tidak aman yang dirasakan oleh dua etnis yang berbeda, yakni Madura dan Dayak. Etnis Madura pertama kali tiba dan bermukim di Kalimantan pada tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu. Memasuki tahun 2000, provinsi Kalimantan Tengah memiliki jumlah penduduk sebesar 1.823.716 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 2,7%. Diperkirakan kota Palangkaraya sendiri memiliki jumlah penduduk sebesar 500.000 jiwa3. Demografi warga Madura yang bermukim di Kalimantan Tengah hanya sebesar 3,46% sementara etnis Dayak sebagai warga asli di Kalimantan Tengah mencapai 41,24 % sementara 55,3% lainnya terdiri dari warga pendatang lainnya, yakni 35% merupakan warga etnis Jawa, 10% warga etnis Banjar dan sisanya yakni 10,3% lainnya merupakan etnis Melayu, Bugis, dan lain sebagainya4. Dengan banyaknya populasi warga pendatang secara perlahan persaingan pun terjadi antara warga asli Kalimantan yakni suku Dayak dan warga pendatang. Persaingan ini terjadi dalam hal sosial, ekonomi dan politik. Persaingan terjadi guna mendapatkan akses terhadap sumber daya. 3
“Demografi Penduduk Kalimantan Tengah Tahun 2000”, diakses melalui www.kalteng.bps.go.id pada tanggal 3 February 2014 4 Riwanto Tirtisudarmo. 2007. Mencari Indonesia : Demografi Politik Pasca Soeharto. (Yayasan Obor Indonesia). 125
3
Namun selain karena adanya persaingan dalam memperebutkan sumber daya antara warga pendatang dan juga warga asli Kalimantan Tengah, ada juga stereotipe yang mengakar diantara dua etnis yang berkonflik. Etnis Dayak memandang etnis Madura sebagai orang yang kasar dan tidak tahu sopan santun sementara etnis Madura memandang etnis dayak sebagai orang yang pemalas, jorok dan serupa dengan binatang. Stereotipe negatif ini semakin kuat mengakar dan menimbulkan kebencian antara satu sama lain dengan didukung serangkaian tindakan kekerasan maupun kriminalitas yang melibatkan kedua etnis tersebut dan kerap kali etnis dayak menjadi korban dari serta mendapatkan perlakuan yang dirasa tidak adil dihadapan hukum yang berlaku. Hingga puncaknya pada Februari 2001, warga Dayak yang telah hilang kesabarannya pun melakukan serangkaian aksi kekerasan dan juga penyerangan kepada warga Madura. Aksi yang bermula di kota Sampit ini dengan cepat menyebar hingga ke kota lain di Kalimantan Tengah, yakni Pangkalan Bun dan juga Palangkaraya yang merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Tengah. Penyebaran konflik ini secara cepat disebabkan karena lemahnya peran aparatur negara dalam mengendalikan konflik yang awalnya hanya bermula di Sampit hingga kemudian menyebar ke Pangkalan Bun dan juga Palangkaraya. Masyarakat Madura yang diserang oleh masyarakat Dayak dalam konflik di Sampit, memilih menyelamatkan diri mereka ke Palangkaraya, Kuala Kapuas dan juga Pangkalan Bun, dimana tiga kota ini dianggap sebagai tempat yang aman bagi masyarakat Madura untuk berlindung dari serangan masyarakat Dayak.
4
Namun lemahnya peran aparatur negara dalam mengendalikan konflik tersebut serta dalam melindungi warga Madura dari amukan masyarakat Dayak, membuat masyarakat Madura yang berlindung di Palangkara dan Pangkalan Bun pun turut menjadi korban. Selain itu jumlah populasi warga Madura yang terhitung sedikit di Kalimantan Tengah, yang berbanding jauh dengan jumlah populasi warga Dayak, menyebabkan warga Madura berada dalam posisi lemah dan menjadikannya sasaran empuk dalam konflik yang banyak menyebabkan warga madura meninggal dunia dan juga harus mengungsi keluar Kalimantan. Tercatat ada sekitar 78.152 orang Madura yang harus mengungsi keluar Kalimantan, tepatnya ke Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui transportasi laut5. Respon dari pemerintah Indonesia sendiri pada saat itu guna mengatasi konflik ini antara lain6: 1. Menerjunkan satuan pengamanan dari POLRI dan juga TNI ke lokasi konflik serta melakukan tindakan persuasif dan preventif untuk mencegah semakin berkembangnya konflik ke wilayah lain di Kalimantan. 2. Mengadakan evakuasi pengungsi. 3. Melaksanakan patroli dan menempatkan pasukan pengamanan pada lokasi-lokasi yang rawan terjadi pertikaian 4. Memberikan bantuan kemanusiaan berupa makanan, obat-obatan dan juga pakaian kepada para pengungsi
5
“Pengungsi Pada Konflik Sampit”, SATKORLAK PBP Provinsi Kalimantan Tengah, 2001 “Peran Pemerintah Indonesia Dalam Mengatasi Konflik Sampit Tahun 2001”, www.jawapos.com diakses pada tanggal 6 november 2013 6
5
5. Mengeluarkan pengumuman dan himbauan yang disampaikan melaui media massa dan elektronik serta berkelanjutan guna meredam dan menghentikan aksi pembakaran dan pengrusakan infrastruktur 6. Mengadakan pertemuan kerukunan warga Kalimantan guna memfasilitasi terjalinnya dialog antara pihak yang berkonflik Beberapa hal diatas merupakan respon atau tindakan jangka pendek yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna menghentikan kekerasan yang terjadi pada konflik di Sampit. Sementara guna menciptakan sistem keamanan yang mampu melindungi seluruh rakyat Indonesia dari gangguan ketertiban dan keamanan masyarakat serta gangguan dalam negeri maka pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui pembangunan keamanan negara yang bertujuan membangun kekuatan dan kemampuan keamanan dalam melindungi rakyat Indonesia dengan mendayagunakan secara optimal dan terpadu segenap komponen kekuatan keamanan negara. Selain itu, ada pula beberapa kegiatan yang diutamakan pada penciptaan rasa aman dan damai bagi masyarakat melalui usaha pembauran nilai-nilai budaya setempat, sehingga terjadi proses akulturasi budaya di dalam masyarakat, proses ini sekaligus juga merupakan penjabaran sosialisasi wawasan kebangsaan 7. Resolusi yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak hanya bersifat jangka pendek tetapi juga jangka panjang.
7
“Laporan Mengenai Rekomendasi Kepada Presiden dalam Bidang Politik, Hukum dan HAM”, diakses dari situs http://ppid.polkam.go.id/wp-content/uploads/2013/03/LAPORANPELAKSANAAN-MONEV-tw-III-2012-new.doc. pada tanggal 6 november 2013
6
Tujuan dari resolusi konflik jangka pendek adalah untuk penghentian tindak kekerasan terbuka sementara tujuan dari resolusi konflik jangka panjang adalah untuk menyelesaikan akar konflik dan membangun kembali hubungan baru antara etnis Dayak dan Madura. Untuk menyelesaikan akar konflik tentu bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan secara cepat, dibutuhkan proses dalam menyelesaikannya. Konflik Sampit sendiri telah berakhir 13 tahun yang lalu, namun apakah kemudian resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Indonesia telah berhasil menyentuh akar dari konflik di Sampit itu sendiri atau hanya berhasil menghentikan tindak kekerasan terbuka yang terjadi dalam konflik sampit, sehingga dari penjabaran diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Efektifitas Resolusi Konflik di Sampit Pada Tahun 2001”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan judul dan latar belakang yang penulis angkat, maka rumusan masalah yang penulis sajikan adalah : “Bagaimana efektifitas resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan akar konflik di Sampit ?” C. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa tulisan terdahulu yang secara substansial memiliki relevansi dengan penelitian ini dan dianggap dapat dijadikan bahan pertimbangan yang signifikan dalam proses penulisan. Penulis berusaha meninjau penelitian terdahulu yang memiliki fokus penelitian yang serupa yakni mengenai konflik di
7
Sampit. Penelitian yang coba ditinjau oleh penulis adalah penelitian yang ditulis oleh Satia M. Riban yang berjudul “Analisis Alternatif Kebijakan Resolusi Konflik Antar Etnis Dayak – Madura di Sampit, Kalimantan Tengah”. Buku karya Syarif Ibrahim Alqadrie yang berjudul “Potret Retaknya Nusantara : Studi Kasus Konflik di Indonesia” yang mana dalam salah satu sub bab dari buku tersebut, Syarif Ibrahim Alqadrie menuliskan tentang konflik di Sampit, dengan judul sub bab “Pola Pertikaian di Kalimantan dan Fakor-faktor Sosial, Ekonomi, Budaya dan Politik yang Mempengaruhinya”. Dan juga penelitian yang ditulis oleh Rudi Sukandar yang berjudul “Negotiating Post Conflict Communication : A Case Of Ethnic Conflict In Indonesia”. Dalam tulisan, Satia M. Riban menuliskan bahwa konflik dapat terjadi sebagai akibat dari hubungan sosial dalam masyarakat yang terganggu. Penyebab terganggunya hubungan sosial dalam masyarakat ini adalah adanya perbedaan kultur, etnis, agama, kelompok atau golongan, status sosial ekonomi hingga kebijakan pemerintah dan lain sebagainya. Konflik dalam suatu negara merupakan indikasi adanya krisis pembangunan bangsa. Pembentukan dan pengembangan negara bangsa merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan, yang mana hingga kini, bangsa ini terus berjuang guna memperkokoh persatuan dan kesatuannya. Namun dalam proses tersebut, identitas sebagai suatu bangsa juga kerap kali mengalami gangguan dengan hal-hal yang bersifat sentimen kekuatan dan juga kedaerahan yang dapat menimbulkan konflik etnis8.
8
Satia M. Riban. 2002, “Analisis Alternatif Kebijakan Resolusi Konflik Antar Etni Dayak- Madura di Sampit, Kalimantan Tengah”.
8
Suatu negara dipandang sebagai negara yang aman apabila ia berhasil mengatasi lima bentuk krisis yakni : 1. Krisis Identitas, yakni suatu krisis yang merujuk pada loyalitas semua komponen bangsa, termasuk suku untuk memiliki komitmen yang tinggi untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang memiliki identitas yang sama 2. Krisis Legitimasi, yakni suatu krisis yang merujuk pada sejauh mana keberadaan institusi politik dan pemerintahan dapat diterima dan dihormati oleh warga negaranya. 3. Krisis Penetrasi, krisis yang diartikan sebagai sejauhmana kebijakan publik
dapat
diterima
oleh
masyarakat
serta
program-program
pembangunan yang terdapat didalamnya dapat berjalan dengan baik. 4. Krisis Partisipasi, krisis yang diartikan sebagai sejauhmana peluang yang diberikan oleh suatu sistem politik dapat memberikan ruang gerak bagi masyarakat guna berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan publik. 5. Krisis Distribusi, suatu krisis yang berhubungan dengan kemampuan pemerintah untuk melancarkan proses distribusi dan redistribusi barang dan jasa bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, konflik etnis dalam suatu negara menunjukkan adanya semangat anti-pluralisme yang sangat merugikan bagi proses pembangunan suatu bangsa yang dapat memperkeruh suasana sosialpolitik dalam negeri suatu negara yang menjadi tidak menentu dan berujung pada masalah integrasi nasional. Peristiwa kerusuhan atau konflik yang terjadi di 9
Indonesia pada dasarnya bersifat lokal dan partikuler. Menurut Koentjaraningrat (1982), daerah-daerah di Indonesia yang mengalami konflik, umumnya merupakan wilayah yang heterogen, juga karena tidak adanya kebudayaan yang dominan sebagai wadah pembaharuan dari masing-masing etnis atau suku yang bermukim didaerah tersebut. Di Kalimantan Tengah sendiri, etnis Dayak adalah etnis asli dari daerah tersebut namun ada beberapa etnis lain yang juga hidup di Kalimantan Tengah, hal ini memberi warna khusus dalam struktur masyarakat dan dapat berpengaruh pada proses komunikasi antar etnis. Pengaruh pada proses komunikasi antar etnis kerap kali menimbulkan benturan kultur yang sangat keras diantara dua etnis yang berbeda, yakni Dayak dan Madura, yang mana cara pandang, perilaku, gaya hidup, tutur kata, sikap serta nilai dari masing-masing etnis dan identitasnya cukup berbeda dan kerap kali menjadi pemicu yang dominan yang mampu menimbulkan gesekan. Kondisi ini akan menjadi semakin buruk apabila ambisi dan kepentingan dari masing-masing kelompok turut menjadi faktor-faktor pecahnya konflik. Setelah meninjau dan mengkaji materi dari penelitian Satia M. Riban mengenai Analisis Alternatif Kebijakan Resolusi Konflik Antar Etnis Dayak – Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan serta mengidentifikasi proses hubungan sosial serta isu sosial dan juga faktor-faktor penyebab dari konflik di sampit. Untuk kemudian selanjutnya menentukan alternatif kebijakan yang akan direkomendasikan kepada pemerintah. Hasil penelitiannya sendiri yakni menyatakan bahwa konflik antara etnis Madura dan Dayak di Sampit merupakan konflik antar kelompok etnis yakni 10
sebagai akibat dari memperjuangkan dan mempertahankan sumber daya dan nilainilai religius untuk mempertahankan kelompok masing-masing. Sementara alternatif kebijakan yang direkomendasikan oleh Satia M. Riban dalam hasil penelitiannya adalah kebijakan penyebaran dan peningkatan dibidang sosial, ekonomi serta politik bagi masyarakat lokal, kebijakan pelaksanaan dan penegakan hukum yang efektif, kebijakan budaya Rumah Betang yang diharapkan dapat dijadikan suatu budaya yang dominan di Kalimantan Tengah serta yang terakhir adalah kebijakan pra pemulangan pengungsi. Posisi penulis terhadap penelitian Satia M. Riban adalah mengulang serta menyempurnakan penelitian yang telah dilakukan oleh beliau. Namun dalam beberapa aspek penulis secara pribadi memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat Satia M. Riban. Menurut penulis, konflik antara etnis Madura dan Dayak di Sampit merupakan konflik yang kompeks yang tidak hanya berbicara mengenai mempertahankan nilai-nilai religius maupun kelompok masing-masing. Menurut penulis, etnis dalam hal ini Madura dan Dayak hanya dijadikan pemicu pecahnya konflik secara besar-besaran. Sesungguhnya ada permasalahanpermasalahan yang telah lama terjadi dan terpendam yang mengakar didalam masyarakat yang dikenal dengan akar konflik. Akar konflik ini dapat berasal dari isu-isu ekonomi, sosial, politik hingga budaya. Inilah yang menyebabkan konflik di sampit merupakan konflik yang kompleks. Sementara untuk membantu penelitiannya, Satia M. Riban menggunakan Teori Konflik untuk menjelaskan mengenai konflik dan tindak kekerasan serta
11
mengapa konflik dapat terjadi. Menurut Edward Azar, konflik merepresentasikan perjuangan yang berkepanjangan yang kerap kali dipenuhi oleh tindakan kekerasan oleh kelompok komunal untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan dan penerimaan akan identitas suatu kelompok, akses yang adil bagi institusi politik dan partisipasi ekonomi. Sementara untuk menjelaskan mengapa konflik dapat terjadi, dikatakan bahwa penyebab dasar konflik terjadi adalah karena faktor psikologis yakni timbulnya rasa kecewa dan frustasi dikalangan masyarakat. Dalam penelitiannya pula, Satia M. Riban mengutip pernyataan Johan Galtung mengenai resolusi konflik yakni suatu proses yang harus melibatkan seperangkat perubahan dinamis yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap serta transformasi hubungan maupun kepentingan yang berbenturan, yang berada dalam inti struktur politik. Atas dasar pengertian inilah, ia memberikan beberapa alternatif kebijakan guna meresolusi konflik di Sampit, antara lain, kebijakan penyebaran dan peningkatan kondisi sosial, politik dan ekonomi warga etnis lokal, pelaksanaan dan penegakan hukum yang efektif, kebijakan budaya Rumah Betang yang dijadikan kultur yang dominan di Kalimantan Tengah, kebijakan pra pemulangan bagi etnis Madura dan Dayak agar mereka lebih siap secara mental dan emosi untuk menerima konflik dan tidak saling menyimpan dendam. Sementara
strategi
implementasi
yang
ditawarkan
adalah
melalui
pengorganisasian, pendanaan, kesiaapan masyarakat serta monitoring dan evaluasi.
12
Sementara dalam buku Syarif Ibrahim Alqadrie, dikatakan bahwa konflik di Sampit memiliki pola yang berbeda dengan konflik lain di Indonesia. Secara garis besar konflik ini dapat dikatakan sebagai konflik etnis, yang melibatkan etnis Madura dan Dayak namun ada begitu banyak faktor yang turut memperkaya akar dari konflik ini sendiri. Faktor-faktor penyebab timbulnya pertikaian antara kelompok komunitas antara lain adalah faktor sosial dan budaya yang merupakan faktor pemicu sedangkan faktor ekonomi dan politik dianggap sebagai faktor akar masalah. Dalam bukunya Syarif Ibrahim Alqadrie mengharapkan dapat mengungkapkan pola pertikaian yang terjadi di Sampit melalui berbagai kondisi dan faktor-faktor yang khas yang mempengaruhi terjadinya konflik serta membentuk pola pertikaian tersendiri yang dianggap penulis khas dan berbeda dengan konflik yang terjadi di daerah lain di Indonesia seperti di Jawa, Aceh, Poso maupun Ambon. Dalam bukunya, Syarif Ibrahim Alqadrie juga menyoroti terkait kebijakan otonomi daerah yang dijalankan di Kalimantan Tengah. Menurut Alqadrie, Kalimantan Tengah belum memperoleh otonomi daerah secara luas dan penuh. Hampir semua bidang dan sektor yang berkaitan dengan pemerintahan daerah termasuk bidang ekonomi yang meliputi sektor-sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan serta bidang politik yang mencakup sektor pemerintahan, masih dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah pusat. Ketiadaan otonomi dan dominasi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah juga dirasakan pada sistem penjatahan para Gubernur, bahkan Bupati yang terjadi tidak hanya di Kalimantan Tengah tetapi juga di Provinsi lainnya di Kalimantan. Sistem penjatahan
13
Gubernur dan Bupati ini menyebabkan krisis pemimpin di Kalimantan. Sehingga Kalimantan kerap kali dipimpin oleh sosok yang bukan merupakan putra daerah. Kompleksitas masalah ini, menurut Alqadrie yang menjadi akar masalah dalam konflik Sampit9. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Rudi Sukandar, berfokus pada dinamika hubungan dan komunikasi antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah paska konflik yang pecah di tahun 2001. Dalam penelitiannya pula, Rudi Sukandar menemukan empat isu penting dalam dinamika hubungan pasca konflik di sampit yakni isu identitas, peran perempuan selama dan setelah konflik, komunikasi pasca konflik dan masalah-masalah baru yang muncul pasca konflik. Masalah-masalah ini memainkan peranan yang cukup penting dalam membangun kembali komunikasi pasca konflik oleh dua etnis yang bertikai. Hasil penelitian dari Rudi Sukandar menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan persepsi dalam dalam diri pihak-pihak yang berkonflik sebagai akibat dari konflik itu sendiri. Etnis Madura sebagai pihak yang kalah, cenderung melemahkan identitas etnis mereka sementara etnis Dayak sebagai pihak yang menang, merasa semakin bangga dengan identitas etnis mereka. Perempuan dari etnis Dayak dan juga Madura, juga turut serta memberikan peran mereka dalam konflik ini. Peran mereka termasuk perempuan sebagai korban, perempuan sebagai kombatan, perempuan sebagai aktivis perdamaian serta sebuah peran baru
9
Syarif Ibrahim Alqadri. 2004. Potret Retaknya Nusantara : Studi Kasus Konflik di Indonesia. (Yogyakarta : CSPS Book), 175
14
yang berhasil diidentifikasi oleh Rudi Sukandar yakni perempuan sebagai pemimpin informal selama konflik. Ketidakseimbangan kekuatan diantara kedua belah etnis yang berkonflik menyebabkan proses negosiasi konflik berjalan tidak seimbang. Etnis madura dipaksa menerima kondisi dan persyaratan yang dibentuk oleh orang Dayak, hal ini menyebabkan kesepakatan antara kedua belah pihak menjadi tidak terwujud karena adanya perbedaan kekuatan. Sementara masalah-masalah yang timbul pasca konflik di Sampit antara lain adanya perubahan persepsi antara satu sama lain, pengangguran yang semakin meningkat, anggaran pemerintah yang terkuras habis, pengambil-alihan aset, masalah komunikasi, keengganan orang Dayak untuk menerima kembali warga Madura. Kalimantan Tengah sesungguhnya masih rentan terhadap konflik di masa depan yang mungkin kembali terjadi sebagai konflik etnis atau konflik antar agama, hal ini karena konflik itu belum terselesaikan secara efektif dan ada masalah-masalah baru yang perlu mendapatkan penanganan. Posisi penulis terhadap penelitian Rudi Sukandar adalah mengulang namun dengan melihat dari aspek yang berbeda. Jika dalam penelitiannya, Rudi Sukandar melihat hubungan komunikasi sosial antara etnis Dayak dan Madura pasca konflik sementara dalam penelitian ini, penulis melihat efektifitas resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia setelah konflik ini berakhir 13 tahun yang lalu, tanpa melupakan kondisi sosial, politik dan ekonomi antara masyarakat Dayak dan Madura saat ini.
15
Berdasarkan uraian dari sejumlah tinjauan pustaka tersebut, dapat dijelaskan bahwa tesis ini memiliki fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian atau pun tulisan sebelumnya yang sudah pernah dilakukan. Fokus tesis ini diarahkan pada efektifitas resolusi konflik yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani konflik sampit pada tahun 2001, apakah resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Indonesia telah berhasil menyelesaikan akar konflik di sampit atau justru hanya menghentikan kekerasan terbuka saja. Sementara dalam buku Syarif Ibrahim Alqadrie, fokus dari tulisannya terkait dengan pola dari konflik di Sampit yang menurutnya berbeda dan kompleks dengan pola konflik lain di Indonesia. Ia melihat pola konflik ini dengan mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu pecahnya konflik di Sampit. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rudi Sukandar, fokus dari penelitian beliau adalah terkait dinamika hubungan dan komunikasi antara etnis Dayak dan Madura paska konflik. Dengan tujuan untuk melihat potensi kerentanan timbulnya kembali konflik serupa di Kalimantan Tengah. Sedangkan penelitian yang dilakukan Satia M. Riban berfokus pada alternatif kebijakan resolusi konflik yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang ditawarkan guna menangani konflik di Sampit. Selain itu, penggunaan teori maupun konsep dalam penelitian ini juga berbeda dengan teori maupun konsep yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya, Satia M. Riban menggunakan teori konflik dan resolusi konflik untuk menjawab pertanyaan penelitiannya, sementara dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep
16
efektifitas, teori resolusi konflik serta sustainable peace untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh penulis. D. Landasan Teori 1. Konsep Efektivitas Menurut Harbani Pasolong (2007:4), efektivitas berasal dari kata efek dan digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan hubungan sebab akibat. Efektivitas dapat dipandang sebagai suatu sebab dari variabel lain. Efektivitas juga dapat berarti bahwa tujuan yang telah direncanakan sebelumnya dapat tercapai atau dengan kata lain sasaran yang telah ditargetkan telah berhasil tercapai karena adanya proses kegiatan. Sementara Robbins dalam Tika P. (2008:129) memberikan definisi efektivitas sebagai tingkatan pencapaian organisasi ataupun instansi dalam jangka pendek dan juga jangka panjang atau dengan kata lain efektivitas merupakan suatu standar pengukuran untuk menggambarkan tingkat keberhasilan suatu organisasi ataupun instansi dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Mullins dalam Rukman (2006:14), efektif itu harus terkait dengan pencapaian tujuan dan sasaran suatu tugas dan pekerjaan dan juga terkait dengan kinerja dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan mengikuti prosedur sementara efektif apabila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan benar dan dapat memberikan hasil yang bermanfaat. Tingkat efektivitas dapat diukur dengan membandingkan antara rencana ataupun target yang telah ditentukan dengan hasil yang dicapai, maka dari
17
hal tersebut dapat terlihat apakah suatu pekerjaan dapat dikatakan efektif atau tidak. Hari Lubis dan Martani Huseini (1987:55) menyebutkan setidaknya ada tiga pendekatan utama dalam pengukuran efektivitas yakni : 1) Pendekatan sumber yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. 2) Pendekatan proses yakni untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal dan mekanisme organisasi. 3) Pendekatan sasaran dimana pusat perhatian terletak pada output, yakni dengan mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana ataupun sasaran. Dari ketiga pendekatan tersebut, tulisan ini berupaya untuk mengukur efektivitas resolusi konflik di Sampit melalui pendekatan sasaran yang mana pusat perhatiannya adalah pada output atau hasil. Tulisan ini berupaya untuk melihat hasil dari resolusi konflik yang telah dilakukan pemerintah Indonesia guna menyelesaikan konflik di Sampit dan apakah hasil dari resolusi konflik tersebut dapat dikatakan efektif menyelesaikan akar konflik di Sampit. Selain menggunakan pendekatan sasaran guna mengukur efektivitas resolusi konflik Sampit, digunakan pula beberapa indikator dalam menganalisa efektivitas resolusi konflik di Sampit. Indikator tersebut akan melihat apa substansi dari
18
resolusi konflik, siapa saja aktor yang terlibat dalam proses resolusi konflik, dan apakah keterlibatan aktor tersebut berpengaruh pada efektif atau tidaknya suatu resolusi konflik, bagaimana kemudian prosedur atau proses dari resolusi konflik tersebut dilakukan, serta apa implikasinya, apakah kemudian resolusi konflik tersebut berimplikasi positif atau negatif, implikasi positif dan negatif dari suatu resolusi konflik akan membantukan menentukan efektif atau tidaknya suatu resolusi konflik10. 2. Teori Resolusi Konflik Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998: 3) adalah tindakan mengurai
suatu
permasalahan
atau
pemecahan,
penghapusan
maupun
penghilangan permasalahan. Sedangkan Fisher (2001: 7) menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah suatu usaha untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang dapat bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang pernah berseteru. Lane dan Comick dalam Nimer (1999: 13) memberikan definisi resolusi konflik dengan membedakannya dengan managemen konflik dan conflict settlement. Resolusi konflik adalah pemecahan masalah dengan menggunakan kolaborasi dimana pihak ketiga yang dianggap netral dan imparsial dapat membantu para pihak yang berkonflik untuk melakukan konsiliasi serta menjadi fasilitator dalam mediasi konflik. Tujuannya adalah untuk menghapuskan akar konflik.
10
I Made Sudana. 2012, “Analisis Efektifitas Resolusi Konflik dan Membangun Perdamaian berbasis kelestarian lingkungan (Studi komparasi beberapa kasus konflik di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur)”.
19
Sementara
managemen
konflik
menyiratkan
permasalahan
dengan
mengelolanya melalui perubahan kondisi agar tercipta perubahan struktur sosial yang nyata. Conflict settlement adalah pemecahan masalah dengan memenuhi kebutuhan semua pihak dan dilakukan dalam waktu yang sementara karena untuk menghentikan kekerasan yang terjadi maupun dukungan dari pihak yang kuat. Burton dalam Nimer (1999: 13) menambahkan bahwa resolusi konflik adalah suatu proses interdisiplineranalisis dan intervensi yang berkaitan dengan pemecahan masalah dari konflik yang bersifat destruktif. Dalam setiap konflik selalu dicari jalan penyelesaian. Konflik terkadang dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak yang berkonflik secara langsung ataupun melibatkan pihak ketiga yang dianggap netral dan imparsial untuk bertindak sebagai penengah dalam mencari jalan keluar. Resolusi konflik sendiri adalah satu proses analisis dan penyelesaian masalah yang mempertimbangkan kebutuhankebutuhan individu maupun kelompok yang bertikai seperti identitas maupun pengakuan serta perubahan institusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dari pemaparan mengenai resolusi konflik yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resolusi konflik adalah suatu cara individu atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu ataupun kelompok lain secara sukarela. Dengan kata lain, resolusi konflik adalah penanganan konflik yang dilakukan dengan mengidentifikasi sumber-sumber utama terjadinya konflik dan menemukan cara-cara untuk mengatasi sumber-sumber tersebut.
20
Resolusi konflik juga menawarkan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yag berkonflik untuk memecahkan masalah mereka sendiri atau melibatkan pihak ketiga yang mampu bersikap imparsial dan juga netral untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik dalam menyelesaikan masalahnya. Selain itu resolusi konflik menawarkan penyelesaian akar masalah dari suatu konflik bukan sekedar penghentian kekerasan. Ada tiga level analisis yang ditawarkan Michael E. Brown guna memahami akar-akar penyebab konflik etnis, antara lain11: 1. Level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara guna mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. 2. Level domestik, level ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis di dalam masyarakat serta pengaruh proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis 3. Level persepsi, terkait dengan level ini, problem konflik etnis menjadi semakin rumit ketika logika nasionalisme tenggelam oleh logika fundamentalisme etnis. Level analisis yang ditawarkan oleh Brown sangat berguna untuk memahami akar-akar dari konflik etnis dan dengan memahami akar dari suatu konflik maka resolusi konflik yang ditawarkan guna menyelesaikan konflik tersebut diharapkan 11
Michael E. Brown. 1997. Nationalism and Ethnic Conflict. (The MIT Press), 172
21
dapat berjalan dengan efektif dan dapat menyelesaikan akar dari konflik itu sendiri sehingga tujuan dari resolusi konflik dapat tercapai yakni untuk menciptakan kondisi damai yang sustainable. 3. Sustainable Peace Sustainable peace atau perdamaian berkelanjutan adalah suatu kondisi dimana perdamaian tidak hanya tercipta tetapi juga dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Kondisi sustainable peace dapat tercipta dengan sebelumnya mengeskalasi hal-hal yang menjadi akar konflik. Akar konflik sendiri adalah sejumlah permasalahan yang berangkat dari berbagai macam faktor, seperti faktor ekonomi, sosial, politik, budaya hingga hukum yang kemudian menjadi dasar pecahnya suatu konflik. Untuk muncul ke permukaan atau untuk tereskalasi, akar konflik membutuhkan sebuah pemicu yang kemudian akan memecahkan suatu konflik hingga akhirnya akar konflik pun tereskalasi. Apabila suatu negara menginginkan kondisi dimana sustainable peace dapat tercipta, maka permasalahanpermasalahan yang menjadi akar konflik haruslah di eskalasi terlebih dahulu agar kemudian dapat diresolusi hingga tercipta suatu hubungan baru antara pihak yang dulu pernah berkonflik dengan didasari rasa saling percaya. Dalam kondisi sustainable peace, bukan berarti kemudian tidak ada perbedaan ataupun intrik yang terjadi diantara pihak yang dulu pernah berkonflik, akan tetapi perbedaan ataupun intrik yang terjadi akan diselesaikan dengan cara-cara nir kekerasan. Sehingga kondisi damai yang berkelanjutan dapat terus terjaga.
22
E. Argumen Utama Berdasarkan landasan teori diatas, maka argumen utama yang dapat ditarik penulis dari rumusan masalah diatas yakni resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terbagi dalam dua tahapan waktu, yakni tahapan jangka pendek dengan tujuan menghentikan kekerasan dan juga tahapan jangka panjang dengan tujuan untuk menyelesaikan akar konflik dan menciptakan sustainable peace. Namun resolusi konflik ini dirasakan kurang efektif karena hanya berhasil menghentikan kekerasan terbuka yang terjadi ditahun 2001 tanpa menyelesaikan akar konflik yang mencakup faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik diantara kedua etnis yang bertikai. Hal ini dapat terlihat dari diusirnya warga Madura dari tanah Kalimantan menuju Jawa Timur dan juga Jawa Tengah, dan jika warga Madura ingin kembali ke Kalimantan Tengah maka ada persyaratan yang harus ditaati dan dilewati oleh warga Madura tersebut. Hal ini menunjukkan masih ada rasa curiga dan juga rasa dendam diantara dua etnis yang berkonflik. F. Metode Penelitian Dalam tesis ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Peneliti menggunakan metode ini dengan pertimbangan bahwa desain ini akan memungkinkan peneliti untuk lebih fokus dalam menganalisa data. Metode penelitian kualitatif akan menekankan pada penghimpunan data untuk kemudian menganalisis data yang bersifat non angka dan kemudian data tersebut akan diolah secara deskriptif.
23
Data untuk tesis ini utamanya mencakup (1) Gambaran umum mengenai situasi dan kondisi sosial, politik dan ekonomi di Sampit sebelum tahun 2001 (2) Hubungan sosial antara etnis Dayak dan Madura di Sampit sebelum tahun 2001 (3) Resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi konflik di Sampit pada tahun 2001. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yakni data yang telah dikumpulkan sebelumnya oleh orang lain, yang artinya dalam penulisan tesis ini, penulis tidak melakukan observasi secara langsung melainkan lebih mengacu kepada sumber-sumber yang ada yang diolah melalui studi kepustakaan (Library Research). G. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari lima bab, dimana pembahasan dalam masing-masing bab akan dijabarkan dengan lebih rinci dalam sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan dengan mulai menjabarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, argumen utama, metodologi penelitian serta sistematika penulisan Bab II : Akar Konflik Sampit. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai situasi dan kondisi di Sampit sebelum konflik terjadi di tahun 2001, terutama kondisi sosial dan budaya, kondisi politik serta kondisi ekonomi masyarakat Sampit yang hidup berdampingan dengan masyarakat Madura, sehingga kita dapat mengetahui apa
24
yang menjadi akar konflik dari konflik Sampit itu sendiri, yang secara garis besar dikategorikan sebagai konflik etnis. Bab III : Resolusi Konflik Jangka Pendek dan Jangka Panjang yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk Mengatasi Konflik Sampit. Bab ini akan menjelaskan mengenai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia guna meresolusi konflik di Sampit dalam cakupan jangka pendek dan juga jangka panjang. Bab IV : Efektifitas Resolusi Konflik yang Dilakukan Pemerintah Indonesia dalam Konflik Sampit. Bab ini akan menganalisis seberapa efektif resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Indonesia guna menangani konflik di Sampit, dilihat dari aspek sosial dan budaya, politik, dan juga ekonomi dengan harapan agar konflik serupa tidak terulang lagi di Sampit. Bab V : Kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dari keseluruhan tesis mengenai efektifitas resolusi konflik yang dilakukan pemerintah Indonesia guna menangani konflik Sampit.
25