PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DENGAN ANAK TUNAGRAHITA DI SLBN 02 JAKARTA SELATAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S. Sos)
Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh : ASNAWARI NIM : 1112054100042
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
ABSTRAK Asnawari Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan. Anak penyandang keterbelakangan mental atau tunagrahita adalah anak yang mempunyai IQ (Intelligence Quotient) kurang dari angka rata-rata anak normal. Pada umumnya penyandang tunagrahita seringkali dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani. Anak tunagrahita bukanlah aib bagi keluarga dan bukan berarti tidak dapat berprestasi. Penyandang tunagrahita sangat mungkin akan dihadapkan pada berbagai masalah terutama pada masalah kesejahteraannya. Dalam klasifikasi anak tunagrahita ringan dan sedang dapat berprestasi dan dapat pula dikatakan mampu mandiri sebaliknya anak tunagrahita tidak mampu mandiri adalah anak yang tidak dapat berprestasi bahkan tidak dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga bergantung pada orang lain. Teori yang peneliti gunakan dalam menganalisa ialah teori perkembangan psikososial, permasalahan psikososial pada penelitian ini. Pola pengasuhan keluarga atau orang tua menentukan kualitas anak. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita yang bersekolah di SLBN 02 Pagi Jakarta. Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa hasil wawancara mendalam, observasi, dan data studi dokumen. Teknik pemilihan informan dalam hal ini adalah purposive sampling dan snowball sampling. Dimana yang menjadi informan peneliti adalah wakil kepala sekolah, guru pembimbing dan orang tua anak tunagrahita tidak mampu mandiri sebagai informan berikutnya. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Psikososial, Tunagrahita, Keluarga, Pendidikan Anak Tunagrahita Dan Bina Diri Pada Anak Tunagrahita. Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan beberapa pemasalahan psikososial yang dialami keluarga diantaranya: masalah psikososial anesitas, masalah ekonomi, masalah menarik diri, pola atau gaya pengasuhan yang diberikan oleh para orang tua anak tunagrahita tidak mampu mandiri ialah dengan gaya pengasuhan yang bersifat permisif dimana orang tua memanjakan anaknya tidak mendorong anak untuk mandiri. Peran SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan dalam mengatasi anak tunagrahita yaitu dalam program bina diri bagi anak tunagrahita tidak mampu mandiri untuk dapat mencapai kemandirian. Sebagai upaya untuk mengembangkan potensi yang dimilki oleh anak tunagrahita tidak mampu mandiri bisa melalui pendidikan olahraga adaptif dan keterampilan kriya. Kata kunci :permasalahan psikososial, keluarga, anak tunagrahita
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu Tiada
kata
yang
dapat
penulis
untaikan
selain
ucapan
Syukur
Alhamdulillahirrabbil ‘alamin, kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang begitu luar biasa. Berkat Rahmat serta Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan Anak Tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabatNya. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan yang terjadi baik dari penulisan maupun materi dalam skripsi. Masukan dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penulis untuk penyempurnaan skripsi ini. skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial jurusan Kesejahteraan Sosial. Dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga selesainya penyususnan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Bapak Dr. Arief Subhan, MA Selaku Dewan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Suparto, M. Ed, Ph. D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum. Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan. ii
2.
Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesejahteraan Sosial, Hj. Nunung Khairiyah, MA selaku Sekretaris program Studi Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas bimbingannya.
3.
Ibu Siti Napsiyah Ariefuzzaman, M.SW selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah membantu mengarahkan, membina, dan selalu meluangkan waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu dan tenaganya dalam mendidik dan memberikan wawasan selama mengikuti perkulihahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5.
Kedua orang tua penulis, Ayah Ali Hotman Sitompul dan Ibu Emmi yang telah selalu mendoakan, mendukung, memberikan motivasi dan kasih sayang kepada penulis. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kalian sebagai orang tua yang sabar dan orang tua yang terbaik, dan juga untuk adik dan kakakku tersayang.
6.
Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah SLBN 02 Pagi Jakarta, beserta guru, staf, dan para jajarannya yang bersedia membantu penulis untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh penulis dalam skripsi. Terima kasih atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
7.
Para Orang tua yang menjadi informan penulis beserta adik-adikku anak tunagrahita tidak mampu mandiri yang menjadi obyek penelitian penulis. Terima kasih penulis ucapkan, penulis memperoleh banyak pembelajaran kehidupan dari kalian. iii
8.
Sahabat yang penulis sayangi yaitu Irmawati, Nirma, Ayu Laura, Asylia Syam, Panorama, Dina, Diva, Heni, Ira, Mala dan Rani yang telah memotivasi, menyemangati dan mengukir banyak cerita di hati penulis. Terkhusus sahabatku tersayang Aisyah yang selalu ada bagi penulis dalam keadaan apapun dan juga sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
9.
Teman-teman Kesejahteraan sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2012 yang sudah memberikan warna selama menjalankan perkuliahan. Semoga kelak kita dapat bersama-sama memajukan Indonesia melalui Pekerja Sosial.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini menjadi langkah awal penulis untuk meraih kesuksesan kedepannya. Amin Ya Rabbal Alamin. Jakarta, 10 November 2016
Asnawari
iv
DAFTAR ISI Hal ABSTRAK…………………………………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
v
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang Masalah .......................................................................
1
B. Pembahasan dan Perumusan Masalah ..................................................
9
1. Pembatasan Masalah………………………………………………
9
2. Perumusan Masalah……………………………………………. ...
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian………………………………………………. ..
10
2. Manfaat Penelitian…………………………………………….. ...
10
D. Metodelogi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian…………………………………………. ...
11
2. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………… ....
12
3. Teknih Pengumpulan Data……………………………………. ....
12
4. Teknik Pemilihan Informan…………………………………… ...
13
5. Macam dan Sumber Data…………………………………….. .....
15
6. Teknik Analisa Data……………………………………………...
15
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data………………………... .....
16
8. Teknik Penulisan………………………………………………. ...
17
E. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
17
F. Sistematika Penulisan ..........................................................................
18
V
BABI II LANDASAN TEORI A. Psikososial ............................................................................................
20
1. Pengertian Psikososial ...................................................................
20
2. Faktor-Faktor Psikososial..............................................................
21
3. Tahapan-Tahapan Psikososial .......................................................
23
4. Permasalahan Psikososial........................................................... ...
27
B. Tunagrahita ..........................................................................................
31
1. Pengertian Tunagrahita………………………………………... ..
31
2. Klasifikasi Tunagrahita……………………………………….. ...
32
3. Faktor Penyebab Tunagrahita…………………………………....
35
4. Kemandirian Anak Tunagrahita ....................................................
38
C. Keluarga ...............................................................................................
46
1. Pengertia Keluarga………………………………………………
46
2. Fungsi Keluarga………………………………………………….
47
3. Bentuk dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga………………… ...
47
D. Pendidikan Anak Tunagrahita ..............................................................
48
E. Bina Diri pada Anak Tunagrahita…………………………………. ...
50
BAB III HASIL GAMBARAN UMUM SEKOLAH A. Sejarah Sekolah ....................................................................................
51
B. Identitas Sekolah………………………………………………………
52
C. Visi, Misi dan Tujuan Sekolah……………………………………… .
54
D. Struktur Organisasi…………………………………………………..
56
E. Kurikulum……………………………………………………………
56
F. Kesiswaan……………………………………………………………
57
G. Program Kegiatan di Sekolah………………………………………...
58
H. Profil Informan……………………………………………………… .
59
vi
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA .............................................. A. Memahami Permasalahan Psikososial Keluarga dengan Anak Tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta……………………………………………………… ..............
67
1. Psikososial………………………………………………. ............
67
a. Faktor Psikososial…………………………………………… 67 b. Tahapan Perkembangan Psikososial……………………..
73
c. Permasalahan Psikososial...................................................
77
2. Tunagrahita………………………………………………………
83
a. Klasifikasi Tunagrahita…………………………………..
83
b. Faktor Penyebab Tunagrahita……………………………… 84 c. Kemandirian Anak Tunagrahita .........................................
89
3. Keluarga……………………………………………………… ....
92
a. Bentuk dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga pada Anak Tunagrahita....................................................................... .
92
B. Peran SLBN 02 Pagi Jakarta Dalam Mengatasi Anak Tunagrahita …… .................................................................................
94
1. Model Pelayanan Pendidikan Anak Tunagrahita…………… .......
94
2. Bina Diri……………………………………………………… .....
97
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………. .........
101
B. Saran………………………………………………………………….
102
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN- LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Gambaran Umum Informan…………………………………….. 14 Tabel 2 Struktur Organisasi………………………………………………. 59
viii
DAFTAR LAMPIRAN 1. Surat Bimbingan Skripsi 2. Surat Izin Penelitian Ke SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan 3. Pedoman Wawancara 4. Transkrip Wawancara 5. Hasil Studi Dokumentasi
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan amanah dan karunia dari tuhan Yang Maha Esa, yang di dalam dirinya mempunyai harkat dan martabat sebagaimana manusia seutuhnya.1 Seorang anak, menurut al-quran, akan menjadi qurratu a’yun, buah hati dan perhiasan dunia jika tumbuh dalam pola pengasuhan yang baik dan berkualitas. Al-quran juga mengingatkan manusia bahwa anak tidak hanya memiliki potensi menjadi kebanggaan dan hiasan keluarga, tetapi juga memiliki potensi untuk menjadi musuh dan ujian yang berat bagi keluarga.2 Pola pengasuhan dan sebuah keluarga ideal menentukan kualitas anak. Menurut rumusan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, keluarga yang ideal memenuhi ciri yaitu keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, dan harmonis.3 Setiap orangtua pasti sangat mendambakan hadirnya seorang anak dalam pernikahannya karena anak merupakan anugerah yang sangat berarti bagi kedua orangtua. Namun tidak semua anak terlahir kedunia dalam kondisi yang sempurna, beberapa terlahir dengan keterbatasan fisik maupun psikis. Salah satu anak yang terlahir dengan keterbatasan yaitu anak tunagrahita. Anak tunagrahita merupakan anak berkebutuhan khusus yang memiliki karakteristik adanya gangguan dalam bentuk fisik intelektual dan kemampuan adaptasi 1
Undang-Undang RI Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Asep Usman Ismail, “Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan”, (Tanggerang: Lentera hati, 2012), Cet-1 h. 153. 3 Asep Usman Ismail, “Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan“, (Tanggerang: Lentera hati, 2012), Cet-1 h. 151. 2
2
sosial yang secara signifikan berada dibawah rata-rata, yang telah tampak sejak anak-anak. Tunagrahita dengan kata lain disebut retardasi mental (mental retardation) secara bahasa berasal kata tuna berarti merugi dan grahita berarti pikiran.4 Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah an-Nisa/4: 9 berikut:
“Dan hendaklah orang-orang takut kepada Allah, bila seandainya mereka meninggalkan anak-anaknya, yang dalam keadaan lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar”. Bagi orang tua, anak adalah karunia sekaligus amanah dari Allah SWT. Oleh karena itu sebagai orang tua berkewajiban untuk mengasuh dan merawat anak-anaknya berdasarkan dengan ajaran agama Islam. Orang tua diharapkan mampu untuk memberikan dorongan dan kesempatan kepada anak baik itu anak normal maupun anak berkebutuhan khusus, agar dapat mengembangkan potensi dan bakat yang telah mereka miliki. Populasi penyandang tunagrahita di DKI Jakarta menduduki urutan pertama di Indonesia. Berdasarkan hasil rekapitulasi jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial menurut data Direktur Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terbaru , jumlah anak berkebutuhan khusus tunagrahita di Indonesia tercatat 4
Asep Usman Ismail, Al-Quran dan Kesejahteraan Sosial, sebuah rintisan membangun paradigma sosial islam yang berkeadilan dan berkesejahteraan, (tanggerang:lentera hati, 2012), cet 1 h. 1.
3
mencapai 1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42 persen) berada dalam rentang usia 5-18 tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus tunagrahita yang bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.027 anak berkebutuhan khusus tunagrahita yang belum mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.5 Besarnya jumlah penyandang tuna grahita akan berdampak pada munculnya masalah bagi anak itu sendiri, keluarga, dan masyarakat. Keadaan penyandang tuna grahita menyebabkan ganguan dan hambatan dalam bentuk keterbatasan subtansial dalam memfungsikan diri. Sehingga keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita membawa pengaruh dari terhambatnya proses penyesuaian diri pada lingkungan sosial. Selain itu anak tunagrahita juga mengalami kesulitan dalam mengurus diri sendiri, kesulitan belajar, penyesuaian tempat kerja, masalah gangguan kepribadian, emosi, dan masalah pemanfaatan waktu luang sehingga dalam melalukan aktifitasnya anak tunagrahita memiliki ketergantungan pada orang lain terutama pada keluarganya sendiri. Pada jurnal keperawatan yang dibahas oleh Ni wayan lisnayanti, Ni made dian Sulistyowati, dan I wayan surasta tentang hubungan tingkat harga diri dengan tingkat ansietas orangtua dalam merawat anak tunagrahita di SDLB C Negeri Denpasar sebagai berikut: “Keterbatasan anak tunagrahita dalam area fungsi adaptif, sperti keterampilan komunikasi, perawatan diri, tinggal di rumah, keterampilan interpersonal atau sosial, keterampilan waktu senggang dan kesehatan serta keamanan menjadi alasan tingginya tingkat ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga atau caregriver. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem, maka disfungsi apapun 5
Populasi Penyandang Tunagrahita, artikel diakses pada www.scholae.com
27 Juni 2016 dari
4
yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga atau bahkan keseluruhan keluarga. Pada keluarga dengan anak tunagrahita, meningkatnya beban keluarga karena merawat anak tunagrahita akan mempengaruhi fungsi keluarga. Hal tersebut secara tidak langsung akan memicu munculnya masalah psikososial pada keluarga anak tunagrahita khususnya orangtua. Salah satu masalah psikososial tersebut yaitu ansietas”.6 Dari jurnal diatas bahwa ada kaitannya dengan penelitian penulis yaitu pada masalah psikososial yang diterima oleh keluarga pada anak tunagrahita adalah ansietas yang juga mempengaruhi fungsi keluarga. Pada penelitian penulis, beberapa keluarga yang mempunyai anak tunagrahita menerima permasalahan psikososial ansietas. Gangguan ansietas adalah kondisi tegang yang dialami oleh seseorang secara tegang yang dialami oleh seseorang secara berlebihan atau tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu atau takut.7 Yang menjadi pembeda dengan penelitian peneliti ialah peneliti meneliti bagaimana permasalahan psikososial keluarga yang memiliki anak tunagrahita tidak mampu mandiri di SLBN 2 Jakarta Selatan, dan pada SLBN 02 atau pihak sekolah juga melakukan kegiatan konsultasi pada orang tua anak tuna grahita guna mengurangi dan membatu masalah psikososial pada orang tua anak tunagrahita dan anak tunagrahita itu sendiri. Pada keluarga dengan anak tunagrahita, gangguan ansietas muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi dan waktu yang tidak singkat dalam perawatan, ketergantungan anak dengan keluarga/caregiver , dibutuhkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak, adanya stigma sosial tentang 6
Ni wayan lisnayanti, dkk., “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar,” Jurnal Keperawatan2013diaksespadatanggal4Desember 2016 di http://www.e-jurnal.com/2013/09/jurnalpenelitian-keperawatan.html. 7 Ni wayan lisnayanti, dkk., “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar,” Jurnal Keperawatan 2013 diakses pada tanggal 4 Desember 2016 di http://www.ejurnal.com/2013/09/jurnal-penelitian-keperawatan.html.
5
tunagrahita, serta ketidakmampuan keluarga dalam mengelola stress. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita, banyak anak tuna grahita yang tidak mengenyam pendidikan karena pada dasarnya anak berkebutuhan khusus memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Perihal tersebut sebagaimana diamanahkan dalam UU RI Nomer 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1 bahwa warga negara yang memiliki kelainan fisik, mental, intelektual berhak memperoleh pendidikan. Hal ini juga telah ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 31 maupun pada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 2 yang dengan tegas menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. 8 Anak
tunagrahita
juga
memerlukan
penanganan
khusus
dalam
mengembangkan keterampilan yang dimiliki melalui pendidikan formal seperti anak-anak normal pada umumnya yaitu dengan mengikuti pembelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau terapi-terapi di luar sekolah . Salah satu sekolah yang bertujuan untuk mendidik anak-anak tunagrahita dalam mengembangkan keterampilan yang mereka miliki tanpa adanya keterbatasan adalah SLBN 02 Pagi adalah satu dari dua Sekolah Luar Biasa yang ada di Jakarta selatan. SLBN 02 Pagi juga berlokasi di pusat atau ditengah-tengah masyarakat di Jakarta Selatan. Lembaga Pendidikan SLBN 02 Pagi Lenteng Agung Jakarta Selatan ini memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangan potensi anak tunagrahita guna meningkatkan kemandirian anak dan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak tunagrahita agar menjadi pribadi yang mandiri, mampu berkompetisi, dan berani mempertahankan 8
Safrudin Aziz, M.Pd.I, Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Gava Media, Klitren Lor GK III/15, 2015), h. 117.
6
kebenaran, serta eksis dalam kehidupan bermasyarakat minimal mempunyai kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Menumbuhkan rasa percaya diri dan membuka diri terhadap lingkungan. Dalam skripsi ini peneliti melakukan penelitian di SLBN 02 Pagi Jakarta karena sekolah tersebut lebih unggul dalam hal prestasi-prestasi yang telah diukir oleh anak tunagrahita itu sendiri dan juga memiki pelayanan terhadap anak yang multi handicap dengan tidak memfokuskan pada satu jenis kecacatan. Adapun jenis kecacatan yang ada yaitu tunagrahita, tunanerta, tunarungu, tunawicara dan tunadaksa. Selain itu sekolah ini dibina oleh tenagatenaga pendidik dengan latar belakang pendidikan luar biasa dan pendidikan vokasional yang diperuntukan bagi anak berkebutuhan khusus termasuk juga anak tuna grahita, agar nantinya anak-anak berkebutuhan khusus dapat hidup mandiri serta diharapkan mampu bersaing dengan dunia sekitarnya. Di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan memiliki jumlah siswa tunagrahita pada tingkat SMP dan SMA berjumlah 154 siswa pertahun. Dari jumlah anak tunagrahita sedang dan ringan ada diantra mereka yang sudah mampu mandiri dan tidak mampu mandiri. Terdapat 125 jumlah anak tunagrahita yang mampu mandiri dan 19 anak yang tidak mampu mandiri.9 Siswa tunagrahita Sekolah Menengah Atas SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan telah banyak mengukir prestasi-prestasi yang pernah dicapai melalui program pengembangan diri dibidang olahraga yaitu bulu tangkis, renang, dan bocce. Penghargaan yang pernah didapatkan oleh anak tunagrahita sedang diantaranya adalah menjuarai Bocce internasional dan pada kompetisi “Autistic Talent Gala 2016” yang diselengarakan oleh Anan Internasional Foundation 9
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2016.
7
Hongkong. SLBN 02 Jakarta Selatan ini juga sangat unggul dalam bidang seni musik dimana pernah menjuarai lomba menyanyi juara 2 tingkat DKI Jakarta pada anak tuna grahita sedang, menari, automotif, tataboga dan habdycraf. Pada anak tunagrahita yang sudah lulus dari SLBN 02 Jakarta Selatan ada yang sudah bekerja di bagian perawatan ATM dan juga sebagai guru IT honorer di sekolah.10 Berbicara mengenai keberhasilan di SLBN 2 Jakarta Selatan ini ada juga anak tunagrahita yang sudah lulus dari sekolah namun tidak bekerja dan hanya tinggal dirumah saja. Anak tunagrahita yang tidak mampu mandiri dan bergantung pada orang tuanya bahkan ada juga yang kembali pada fase awal dimana si anak belum mendapatkan manfaat dari sekolah. Berdasarkan laporan dari para guru para orang tua mengeluhkan siswa tunagrahita tidak mampu mandiri setibanya dirumah sudah tidak lagi dapat mandiri dalam konteks mobilitas dan juga dalam hal mengurus diri. Kurikulum akademik yang juga menyulitkan cara berfikir atau belajar anak tunagrahita, program khusus bina diri dengan porsi waktu belajar yang terbatas yaitu 4-5 jam dalam sehari membuat kemandirian anak tidak maksimal. Padahal disekolah sudah dibina dan banyak sekali prestasi yang sudah dicapai oleh anak-anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini tetapi masih ada saja sebagian dari anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan yang tidak mampu untuk mandiri. Masalah yang paling menarik dari psikososial anakanak di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini adalah justru permasalahan keluarga
10
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Indrawati Saptari Ningsih selaku Wakil Kepala Sekolah, Jakarta 8 Agustus 2016.
8
yang berpengaruh pada anak masih belum bisa dipecahkan oleh pihak sekolah.11 Setiap anak memiliki potensi kecerdasan. Potensi ini harus dilindungi agar tidak hilang, bahkan harus dikembangkan dengan pola pendidikan yang benar. Kelemahan intelektual anak-anak kita pada umumnya tidak terletak pada potensi anak itu sendiri, tetapi terletak pada kemampuan orangtua, guru dan orang disekitar lingkungan dalam mengembangkan potensi kecerdesan mereka, sangat mungkin menjadi tokoh yang paling bertanggung jawab atas kegagalan anak-anak karena gagal mendorong dan mengondisikan perkembangan potensi kecerdasan anak dengan baik. Upaya penanganan anak tunagrahita sampai saat ini tidak hanya dilakukan oleh keluarga atau orangtua yang memiliki anak tunagrahita saja, lembaga pendidikan sekolah luar biasa pun memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan potensi anak tunagrahita guna meningkatkan kemandirian anak tunagrahita Selain peranan keluarga dalam rangka memberdayakan dan memenuhi hak-hak bagi anak berkebutuhan khusus, pengelolaan pendidikan luar biasa dituntut untuk dapat memotivasi dan mengembangkan potensi mereka dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Seperti dalam Al-Quran Surah Abasa ayat 1 sampai 3 mengisahkan ketika Rasulullah SAW sedang menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy yang Dia harapkan agar mereka masuk Islam. Pada saat itu datanglah Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah SAW membacakan ayat-ayat Al-Quran yang telah diturunkan Allah SWT. Tetapi, Rasulullah SAW bermuka 11
Hasil Wawancara pribadi dengan Ibu Indriwati selaku wakil kepala sekolah SLBN 2 Jakarta Selatan. Pada 24 Februari 2016.
9
masam dan memalingkan muka dari Ibnu Ummi Maktum yang buta itu, lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah terhadap Ibnu Ummi Maktum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Surah Abasa: 1-3 berikut : ﴾٣﴿ ك لَ َعلَّهُ يَ َّز َّك ٰى َ ﴾ َو َما يُ أد ِري٢﴿ ﴾ أَن َجا َءهُ أاْلَ أع َم ٰى١﴿ س َوتَ َولَّ ٰى َ ََعب “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah dating seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali Ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).”12 Ayat tersebut sangat tegas bahwa Allah SWT menyerukan kepada umatnya untuk tidak mengacuhkan orang yang memilki kekurangan. Begitupula dengan para pendidik diharapkan juga agar dapat memberikan perhatian yang lebih kepada penyandang tunagrahita disekolah. Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti sangat tertarik untuk meneliti anak tunagrahita karena keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunagrahita membawa pengaruh terhadap terhambatnya proses penyesuaian diri dan memiliki kesulitan dalam mengurus diri. Penelitian ini penulis tuangkan dalam judul skripsi yaitu “Permasalahan Psikososial Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Di SLBN 02 Jakarta Selatan”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Penulis membatasi sasaran dalam penelitian ini ialah masalah-masalah yang dihadapi keluarga anak tunagrahita tidak mampu mandiri di SLBN 02 Jakarta Selatan.
12
Al-qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: CV.Naladana, 2005) h. 871.
10
2. Perumusan Masalah Untuk dapat menggambarkan dengan jelas permasalahan yang diteliti dan dengan berdasarkan latar belakang masalah dalam penulisan judul skripsi, maka dapat dirumuskan perumusan pertanyaan penelitian sebagai berikut: a.
Bagaimana memahami permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan?
b.
Bagaimana peran SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan dalam mengatasi anak tunagrahita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk menjelaskan permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita di SLBN 2 Jakarta Selatan. b. Untuk mendeskripsikan bagaimana peran SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan dalam mengatasi anak tunagrahita. 2. Manfaat Penelitian a. Secara Akademis 1) Bagi Program Studi Kesejahteraan Sosial, sebagai bahan referensi atau tambahan pustaka tentang penyandang Tunagrahita. 2) Menjadi rujukan atau data awal bagi penelitian selanjutnya. b. Secara Praktis 1)
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan dan masukan bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita.
11
2)
Dapat mengahasilkan data dasar mengenai cara atau metode pendidikan di SLBN 02.
3)
Dapat dijadikan sebagai bahan untuk meningkatkan kualitas pelayan yang diberikan oleh SLBN 2 Jakarta Selatan dan dengan demikian diharapkan pemerintah dapat melaksanakan dan meningkatkan pembangunan di bidang pendidikan sehingga anak berkebutuhan khusus tunagrahita dapat bekerja secara mandiri.
D. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan strategi umum yang dipakai dalam pengumpulan dan analisis data yang diperlukan, guna menjawab permasalahan yang diselidiki. Penggunaan metodologi ini dimaksudkan untuk menentukan data valid, akurat, dan signifikan dengan permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk mengungkapkan permasalahan yang diteliti. 1. Pendekatan Penelitian Menurut Bogdan dan Taylor metode penelitian kualitatif adalah prosedur, penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis dari orang-orang, atau pelaku, yang dapat diamati.13 Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif. Data tersebut bisa berasal dari wawancara, foto, dokumen pribadi, catatan lapangan, dan dokumen resmi lainnya. Penelitian deskiptif ditujukan untuk mengumpulkan data aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi, juga menentukan apa yang dilakukan oleh orang lain dalam menghadapi masalah 13
h. 3.
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000),
12
yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana yang akan datang.14 2.
Waktu dan Tempat Penelitian a. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SLBN 2 (Sekolah Luar Biasa Negeri) Jl. Raya Lenteng Agung Jakarta Selatan. b. Waktu Penelitian Penulis melakukan penelitian pada bulan Juni 2016 sampai dengan September 2016.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data diperlukan untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan untuk dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan ini. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan: a) Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan panca indera mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Oleh karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatan melalui hal kerja panca indera mata serta dibantu dengan panca indera lainnya.15 Dalam observasi penulis melakukan pencacatan apa yang bisa dilihat, didengar dan diraba kemudian penulis tuangkan dalam bentuk hasil observasi.
14
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya 2006), cet. 12, h.25. 15 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2007), h.115.
13
b) Wawancara adalah proses memeperoleh data dengan cara tanya jawab serta secra langsung, bertatap muka antara penanya dengan informan penelitian.16 Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara bertahap yakni wawancara yang dilakukan secara bertahap dan pewawancara tidak harus terlibat dalam kehidupan informan. Kehadiran pewawancara sebagai peneliti yang sedang mempelajari objek penelitian yang dapat dilakukan secara tersembunyi atau terbuka. Sistem “datang dan
pergi”
dalam
mewancarai
mempunyai
keandalan
dalam
mengembangkan objek-objek baru dalam wawancara berikut karena pewancara memperoleh waktu yang panjang diluar informan untuk menganalisis
wawancara
yang
telah
dilakukan
serta
dapat
mengoreksinya bersama dengan tim yang lain.17 Dalam teknik ini penulis berusaha memperoleh data-data dokumentasi yang berkaitan dengan pengumpulan foto-foto, profil sekolah, mempelajari arsip-arsip, serta berbagai bentuk data tertulis lainnya berupa laporan pihak sekolah yang ada dilapangan. c) Studi dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan, gambar, atau dokumen. Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Dokumentasi sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber
16
Adang Rukhyat, Panduan Penelitian Bagi Remaja (Jakarta: Dinas Olahraga dan Pemuda, 2003), h.51. 17 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2007), h.110.
14
data karena dalam banyak hal dokumntasi sebagai sumber data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan.18 4. Teknik Pemilihan Informan Berkaitan dengan tujuan penelitian ini maka pemilihan informan menentukan informasi kunci (key informan) tertentu serta informasi sesuai dengan fokus penelitian. Untuk pemilihan informan, penulis menggunakan purposive sampling yang kemudian menggunakan teknik snowball sampling. Informan baru yang ditunjuk yaitu teknik penentuan sample yang mula-mula jumlahnya kecil kemudian membesar. Selanjutnya, apabila dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi maka peneliti tidak perlu lagi untuk mencari informan baru, proses pengumpulan informasi sudah selesai.19
18
Imam Gunawan, S.Pd.,M.Pd., Metode Penelitian Kualitatif Teori&Praktik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), cet-1, h.216. 19 M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2012), h. 344.
15
TABEL 1. GAMBARAN UMUM INFORMAN Informan No.
Teknik Pengumpulan Data yang dicari
(Sumber Data) 1.
2.
3.
Untuk mengetahui bagaimana program kegiatan anak tunagrahita di sekolah. Guru Pembimbing Untuk mengetahui Khusus Tuna grahita bagaimana peran guru pembimbing khusus tuna grahita dalam mendidik anak tuna grahita tidak mampu mandiri Orang Tua Anak Tuna Untuk mengetahui dan grahita Tidak Mampu memahami permasalahan Mandiri psikososial apa yang dimilki keluarga anak tunagrahita tidak mampu mandiri sehingga anak tidak mampu untuk mandiri Sumber : hasil peneliti
Keterangan Data
Wakil Kepala Sekolah
Wawancara dan observasi
1
Wawancara
2
Wawancara dan observasi
4
5. Macam dan Sumber Data Bila dilihat dari sumbernya, teknik pengumpulan data terbagi dua bagian, yaitu: a) Data Primer Data primer, yaitu data yang langsung diperoleh dari para informan pada waktu penelitian. Data primer ini diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan informan. Dalam penelitian ini data primernya adalah
16
kepala sekolah, guru dan orang tua dari siswa penderita tuna grahita tidak mampu mandiri. Siswa SLBN yang menjadi subyek penelitian.20 b) Data Sekunder Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melaui sumber-sumber informasi tidak langsung seperti perpustakaan. 6. Teknik Analisis Data Menurut Bogdan, analisis data adalah proses mencari dan menyususn secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Ada berbagai cara untuk menganalisa data, yakni sebagi berikut: a) Reduksi Data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.21 b) Penyajian
Data,
setelah
data
mengenai
peran
sekolah
dalam
mengembangkan keterampilan penyandang tuna grahita dan jenis keterampilan diperoleh maka data tersebut disususn dan disajikan dalam bentuk narasi, visual, gambar, matrik, dan lain sebagainya. c) Penyimpulan, merupakan hasil penelitian yang menjawab fokus penelitian berdasarkan hasil analisis data. Simpulan disajikan dalam bentuk deskriptif
objek
penelitian.
Dengan
berpedoman
pada
kajian
penelitian.22
20
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2012), h.164 21 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabet, 2010), h. 92. 22 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, h.212.
17
7. Teknik Pemeriksa Keabsahan Data Untuk
memeriksa
keabsahan
data,
penulis
menggunakan
teknik
triangulasi. Teknik ini merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi data digunakan sebagai proses memantapkan derajat kepercayaan (kredibilitas/validitas) dan konsistensi (reabilitas) data, serta bermanfaat juga sebagai alat bantu analisis data dilapangan. Keabsahan data yang diigunakan penulis adalah triangulasi sumber yakni menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai sumber dalam memperoleh data.23 Penulis menggunakan observasi dan membaca arsip-arsip sekolah untuk membandingkan data yang sudah diperoleh dari wawancara. 8. Teknis Penulisan Untuk mempermudah dalam penulisan, penulis mengacu pada pedoman karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center For Quality Develoopment and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. 9. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka terhadap beberapa skripsi terdahu yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Adapun beberapa skripsi tersebut antara lain:
23
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, h.219.
18
a) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia Jakarta, oleh Lisa Ludang tahun 1992. Dengan judul “Pengetahuan dan Sikap Orang Tua Dalam Mendukung Kemandirian Anak Tuna Grahita”. Dalam skripsi tersebut menjelaskan tentang pengetahuan orang tua mengenai ketuna grahitaan dan sikap orang tua terhadap anak tuna grahita. Yang menjadi pembeda dengan penelitian terdahulu tersebut dengan penulis ialah bagaimana memahami permasalahan psikososial keluarga dengan anak tuna grahita di SLBN 2 Jakarta Selatan. b) Jurnal keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Universitas Udayana yang ditulis oleh Ni Wayan Lisnayanti, Ni Made Dian Sulistyowati, I Wayan Surasta mengenai “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar”. Dalam jurnal ini menjelaskan bahwa keluarga yang mempunyai anak tunagrahita mengalami masalah psikososial ansietas yang ditimbulkan adanya rasa cemas dengan kondisi anaknya, terutama dengan masa depan anaknya dan penilaian negatif masyarakat mengenai anak tunagrahita. Yang menjadi pembeda dengan penelitian peneliti ialah peneliti meneliti bagaimana permasalahan psikososial keluarga yang memiliki anak tunagrahita di SLBN 2 Jakarta Selatan.
19
10.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis membagi sistematika
penulisan ke dalam lima bab yang mana rinciannya sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini menjelaskan Latar Belakang Masalah, pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
LANDASAN TEORI Bab ini
merupakan bab yang berisi pemikiran dalam
menganalisa dari data-data yang telah dikumpulkan. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah teori-teori yang berkaitan dengan psikososial, anak, ketunagrahitaan. BAB III
GAMBARAN UMUM LEMBAGA Dalam bab ini mengambarkan sejarah berdirinya, visi misi dan tujuan, struktur organisasi, kurikulum, kesiswaan, program kegiatan dan profil informan.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian pada orang tua yang mempunyai anak tunagrahita tidak mampu mandiri bersekolah di SLBN 02 Jakarta dan hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan pembatasan masalah, kemudian dianalisis dengan teori yang ada di bab 2.
20
BAB V
PENUTUP Bab terakhir ini merupakan bagian kesimpulan yang berisi tentang kesimpulan dari pelaksanaan penelitian dan saransaran yang menjadi penutup dari pembahasan skripsi ini.
21
BAB II LANDASAN TEORI A. PSIKOSOSIAL 1. Pengertian Psikososial Psikologi adalah ilmu tentang perilaku manusia. Oleh karena itu, psikologi adalah ilmu yang paling dekat dengan diri kita semua. Tidak mengherankan kalau banyak orang yang merasa tahu tentang psikologi. Pasalnya, seakan-akan perilaku itu mudah saja dijelaskan dengan menggunakan pengetahuan umum atau akal sehat saja.1 Psikologi sosial adalah psikologi dalam konteks sosial. Psikologi, seperti yang telah kita ketahui, adalah ilmu tentang prilaku, sedangkan sosial di sini berarti interaksi antar individu atau antarkelompok dalam masyarakat.2 Kata psikososial itu sendiri mengarisbawahi suatu hubungan yang dinamis antara efek psikologis dan sosial, yang mana masing-masingnya saling mempengaruhi. Kebutuhan psikososial mencangkup cara seseorang berfikir dan merasa mengenal dirinya dengan orang lain, keamanan dirinya dan orangorang yang bermakna baginya, hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya serta pemahaman dan reaksinya terhadap kejadian-kejadian disekitarnya.3 Psikososial merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mental atau 1
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama). H. 117-
118 2
Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 3. 3 Sarlito W. Sarwono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h. 11
22
emosionalnya yang melibatkan aspek psikologis dan sosial.4 Sebagai hasil dari identifikasi awalnya dengan casework, adalah teori psikososial yang paling diidentifikasikan secara dekat dengan pemikiran psikoanalitik dan perkembangan selanjutnya dengan psikologi ego. Teori psikososial berusaha mempertahankan identifikasi “orang-dalam-situasi” sementara pada waktu yang sama mengadopsi dari pemikiran psikoanalitik konsep-konsep tersebut dan strategi-strategi terapeutik yang sesuai dengan tugas pekerja sosial.5 2. Faktor- Faktor Psikososial Faktor-faktor psikososial antara lain:6 a.
Stimulasi Stimulasi merupakan hal yang paling penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang/tidak mendapat stimulasi. b.
Motivasi belajar
Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang tidak terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
4
Terapi psikososial, artikel diakses pada tanggal 9 juni 2016 dari www.sribd.com/doc/267922422/terapi-psikososial 5 Albert R. Roberts dan Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009), h. 168. 6 Soetjiningsih, Tumbuh Kemabng Anak (Surabaya: Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga, 1998). h. 9.
23
c.
Ganjaran ataupun hukuman yang wajar Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita memberi ganjaran, misalnya
pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan sebagainya. Ganjaran tersebut akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi anak untuk mengulangi tingkah lakunya. Sedangkan menghukum dengan cara-cara yang wajar kalau anak berbuat salah, masih dibenarkan. Yang penting hukuman harus diberikan secara obyektif, disertai pengertian dan maksud dari hukuman tersebut, bukan hukuman untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap anak. Sehingga anak tahu mana yang baik dan yang tidak baik, akibatnya akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak yang penting untuk perkembangan kepribadian anak kelak kemudian hari. d. Cinta dan kasih sayang Salah satu hak anak adalah hak untuk dicintai dan dilindungi. Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Agar kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa memberikan kasih sayangnya pula kepada sesamanya. Sebaliknya kasih sayang yang diberikan secara berlebihan dan menjurus ke arah memanjakannya, maka akan menghambat bahkan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak akan menjadi manja, kurang mandiri, pemboros, sombong dan kurang bisa menerima kenyataan. e. Kualitas interaksi anak-orang tua Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka terhadap orang tuanya, sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat dipecahkan bersama
24
karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara orang tua dan anak. Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling menyayangi. 3. Tahapan Perkembangan Psikososial Menurut Erik H. Erickson, fase-face perkembangan psikososial dibagi dalam beberapa tahapan tertentu, yaitu sebagai berikut :7 a. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar (Trust vs mistrust) Masa bayi berlangsung antara 0-1 tahun. pada tahap ini anak mulai belajar percaya pada orang yang ada di sekitarnya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak dapat merasa tidak percaya pada orang lain, menarik diri dari lingkungan masyarakat, dan melakukan pengasingan diri. Pemenuhan kebutuhan pada tahap ini cenderung bersifat fisik, seperti pemenuhan kepuasan untuk makan dan menghisap, rasa hangat dan nyaman, cinta dan rasa aman. Semua pemenuhan ini akan menimbulkan sebuah kepercayaan pada diri anak terhadap orang lain. Sebaliknya jika kepuasan ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan perasaan curiga, rasa takut, dan tidak percaya pada orang lain. Hal ini ditandai dengan perilaku makan, tidur dan eliminasi yang buruk. b. Otonomi versus perasaan malu dan keragu-raguan (autonomy vs shame& doubt) Masa kanak-kanak permulaan yaitu berlangsung pada usia 2-3 tahun yang menentuka tubuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak mempelajari
7
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: 1997), h. 25.
25
apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban dan hak-haknya yang disertai pembatasan-pembatasan yang dikenakan pada dirinya. Inilah tahap saat berkembangnya kebebasan pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang, rasa mampu mengendalikan diri yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa percaya diru pada anak. Konsekuensi apabila kepuasan pada tahap ini tidak terpenuhi adalah anak akan menjadi individu yang pemalu. c. Inisiatif versus kesalahan (initiative vs guilt) Masa bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah. Pada tahap ini anak mulai belajar pada tingkat ket‟E‟san tertentu. Anak mulai mengevaluasi kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya. Namun sebaliknya, pada tahap ini pula anak bisa merasa kurang percaya diri, pesimis, takut salah. Perasaan takut salah ini muncul pada saat anak melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang yang lebih tua darinya. Selain itu, anak juga perlu belajar untuk melakukan aktivitas yang tidak merusak hak-hak orang lain. d. Kerajinan versus inferioritas (industry vs inferiority) Masa usia sekolah, berlangsung antara usia 6-12 tahun. Pada masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, disiplin diri, dan kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya, anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Anak mulai mendapatkan pengenalan melalui
demonstrasi
mengembangkan
harga
keterampilan dirinya
dan
melalui
produksi suatu
benda-benda
pencapaian
apa
serta yang
diinginkannya. Tahap ini mendorong anak untuk memiliki perasaan inferior,
26
yaitu perasaan yang timbul akibat adanya orang dewasa yang memandang usaha anak untuk belajar bagaimana sesuatu bekerja melalui manipulasi dianggap merupakan sesuatu yang bodoh atau merupakan masalah. e. Identitas versus kekacauan identitas (identity vs role confusion) Masa odolesen, berlangsung pada usia 12/13-20 tahun. selama masa ini individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau sifat memperbaharui. Selain itu individu mulai menyadari sifat-sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-tujuan yang dikejarnya di masa depan, kekuatan dan hasrat untuk mengembngkan rasa identitas akan menyebabkan kebingungan peran, yang sering muncul dari perasaan tidak adekuat, isolasi dan keragu-raguan. f. Keintiman versus isolasi (intimacy vs isolation) Masa dewasa muda, berlangsung antara usia 20-24 tahun. Pada masa ini, mereka mengorientasikan dirinya terhadap pekerjaan dan teman hidupnya. Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesedian meleburkan diri dengan orang lain, tanpa merasa takut kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya yang disebut intimasi. Ketidakmampuan untuk masuk ke dalam hubungan yang menyenangkan sert akrab dapat menimbulkan hubungn sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup (menutup diri).
27
g. Generativitas versus stagnasi Masa dewasa tengah, berlangsung pada usia 25-45 tahun. Generativitas yang ditandai jika individu mulai menunjukan perhatiannya terhadap apa yang dihasilkan, ia mulai kreatif, produktif, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan grjala negatif yang dapat timbul adalah ia mulai merasa kurang nyaman terhadap dirinya. Untuk mengatasi hal tersebut, ia cenderung sangat perhatian dengan dirinya baik dari segi penampilan maupun cara bertindaknya dihadapan orang lain. Orang dewasa ini sangat membutuhkan bimbingan dari orang lain demi tercapainya cita-cita di masa depan. Ia akan melakukan perenungan diri yang mengarah pada stagnasi kehidupan. h.
Integritas versus keputus-asaan
Masa usia tua, berlangsung diatas usia 65 tahun. tahap ini merupakan tahap terakhir dimana individu telah menjalani kehidupannya dan menerima kehidupannya itu sebagai suatu yang berharga dan unik. Masa ini disebut juga masa lansia. Pada masa ini manusia telah dapat melihat ke belakang dengan rasa puas dan sikap menerima sebuah kematian. Resolusi (pencapaian) yang tidak berhasil bisa menghasilkan perasaan putus asa karena individu melihat kehidupan sebagai kegagagalan.
bagian dari ketidakberuntungan, kekecewaan
dan
28
4. Permasalahan Psikososial A. Definisi Permasalahan Psikososial Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa.8 Masalah psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu baik yang bersifat psikis ataupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik dan dianggap berpotensi cukup besar sebagai faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa (atau gangguan kesehatan) secara nyata, atau sebaliknya masalah kesehatan jiwa yang berdampak pada lingkungan sosial.9 B. Permasalahan Sosial 1. Masalah Psikososial Orang tua: Ansietas a) Pengertian Ansietas Kata ansietas berasal dari bahasa Latin, angere, yang berarti tercekik atau tercekat. Respon ansietas sering kali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata, namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau bahkan menarik diri. Ansietas (kecemasan) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya.10 Keadaan emosi ini tidak memilki obyek yang spesifik. Anseitas dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal, ansietas berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penelian intelektual terhadap
8
Terapi psikososial, artikel diakses pada tanggal 9 juni 2016 dari www.sribd.com/doc/267922422/terapi-psikososial 9 CMHN, Modul Community Mental Health Nursing (Jakarta: WHO-FIK UI), 2006 10 Said Az-zahroni, Musfir, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal. 511
29
bahaya. Kecemasan adalah kondisi jiwa yang penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran dan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi.11 Lazarus mengatakan kecemasan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, khawatir, dan takut. Kecemasan merupakan aspek subjektif dari emosi seseorang karena melibatkan faktor perasaan yang tidak menyenangkan yang sifatnya subyektif dan timbul karena menghadapi tegangan, ancaman kegagalan, perasaan tidak aman dan konflik dan biasanya individu tidak menyadari dengan jelas apa yang menyebabkan ia mengalami kecemasan.12 b) Jenis dan Tingkat Kecemasan 1. Jenis kecemasan Sigmund freud sang pelopor psikoanalisis banyak mengakji tentang kecemasan ini, dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu. Freud membagi kecemasan kedalam tiga tipe yaitu kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.13 a. Kecemasan realitas atau objektif (reality or objective anxiety) Suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada dilingkungan maupun dunia luar.
11
Said Az-zahroni, Musfir, Konseling Terapi. (Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal. 512 Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 17 13 Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18 12
30
b. Kecemasan neurotik (Neurotic Anxiety) yaitu rasa takut, jangan-jangan , (insting doron id) akan lepas dari kendali dan menyebabkan dia berbuat sesuatu yang dapat membuatnya dihukum. Kecemasan neurotik bukanlah ketakutan terhadap insting-insting itu
sendiri,
melainkan
ketakutan
terhadap
hukuman
yang akan
menimpanya jika suatu insting dilepaskan. c. Kecemasan moral (Moral Anxiety) Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan implus instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah.14 2. Tingkat kecemasan Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu: a. Kecemasan ringan Kecemasan ini berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Tanda dan gejala antara lain: persepsi dan perhatian meningkat, waspada, sadar akan stimulus internal dan eksternal, mampu mengatasi masalah secara efektif serta terjadi kemampuan belajar. Perubahan fisiologis ditandai dengan gelisah, sulit tidur, hipersensitif.
14
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18
31
b. Kecemasan sedang Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Respon fisiologi: sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gelisah. Sedangkan respon kognitif yaitu lahan persepsi menyempit, rangsangan luar tidak dapat diterima, berfokus pada apa yang menjadi perhatian. c. Kecemasan berat Kecemasan berat sangat mempengaruhi persepsi individu, individu cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditunjukan untuk mengurangi ketegangan. Tanda dan gejala dari kecemasan berat yaitu: persepsinya sangat kurang, berfokus pada hal yang detail, rentang perhatian sangat terbatas, tidak dapat berkonsentrasi atau menyelesaikan masalah. Pada tingkatan ini individu mengalami sakit kepala, gemetar, insomnia. Secara emosi individu mengalami ketakutan serta seluruh perhatian terfokus pada dirinya. d. Panik Pada tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan terpengarah, ketakutan dan teror. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak dapat melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan.
Panik
menyebabkan
peningkatan
aktivitas
motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
32
menyimpang, kehilangan pemikiran yang rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan, dan jika berlangsung lama dapat terjadi kelelahan yang sangat bahkan kematian. Tanda dan gejala dari tingkat panik yaitu tidak dapat fokus pada suatu kejadian.15 2. Masalah Ekonomi Untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dan keluarga. Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan penghasilan keluarga, serta menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beban yang dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait dengan kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya.16 Status Sosial-ekonomi (socioeconomic status atau SES) merujuk pada kelompok orang-orang yang memiliki pekerjaan, pendidikan, dan karakteristik ekonomi yang kurang lebih sama. Individu yang berasal dari SES yang berbeda memiliki tingkat kekuasaan, pengaruh dan prestasi yang berbeda-beda.17 Beberapa perbedaan status sosial-ekonomi yang terlihat secara gamblang tergantung pada ukuran dan kompleksitas komunitas. Sosial ekonomi rendah
15
Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI, 2012), hal. 11-12. 16 Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa, DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 36. 17 Santrock, Remaja, h. 190.
33
kadangkala dideskripsikan sebagai orang yang memiliki penghasilan rendah, kelas pekerja atau kerah biru. Sementara sosial ekonomi menengah kadangkala dideskripsikan
sebagai
orang
yang
memiliki
penghasilan
menengah,
memegang pekerjaan manajerial atau kerah putih. Para profesional yang berada di puncak bidangnya, para eksekutif perusahaan tingkat tinggi, para pemimpin politik, dan individu-individu yang kaya adalah mereka yang digolongkan sebagai kategori sosial ekonomi kelas atas.18 Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.19 a. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah lebih mengusahakan agar anaknya meyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial, mencipatakan atmosfir rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anak-anak, lebih banyak menggunakan hukuman fisik untuk mendisiplinkan anakanaknya, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat searah. b. Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi lebih tinggi lebih mengusahakan agar anak-anaknya mengembangkan inisiatif dan mampu menunda kepuasan, menciptakan lingkungan rumah dimana anak-anak lebih ditempatkan sebagai partisipan yang setara dan lebih banyak mendiskusikan aturan-aturan yang akan diberlakukan dibandingkan hanya sekedar menetapkannya dengan otoriter, jarang menggunakan hukuman fisik untuk
18
Santrcok, John W. Remaja. Jakarta: Erlangga, 2007 h. 198. W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988). H. 198. 19
34
menghukum, dan lebih banyak melakukan komunikasi dua arah dengan anak-anaknya. 3. Masalah Menarik Diri Dari Lingkungan Sosial a. Definisi menarik diri Menurut Rawlins dan Heacock, menarik diri merupakan suatu usaha seseorang untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang lain, merasa kehilangan kedekatan dengan orang lain dan tidak bisa berbagi pikiran dan perasaannya. Sedangkan menurut Carpenito menarik diri adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga
mereka
cenderung
menyembunyikan
anaknya.
Orang
tua
menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua merasa tidak mampu, rendah diri gagal dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut akan berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua.20 b. Penyebab menarik diri Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, mersa gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah
20
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa, DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 28.
35
terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, percaya diri kurang, dan juga dapat mencederai diri.21 Faktor predisposisi menarik diri menurut Stuart GW : 1. Faktor perkembangan Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan mempengaruhi respon sosial maladafptif pada individu. Sistem keluarga yang terganggu dapat berperan dalam perkembangan respon sosial maladaptif. 2. Faktor biologis Faktor grnrtik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. 3. Faktor sosial kultural Menarik diri merupakan faktor utama dalam gangguan hubungan. Hal ini akibat dari transiensi norma yang tidak mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang kurang produktif, seperti lanjut usia (lansia), anak berkebutuhan khusus, dan penderita penyakit kronis. Menarik diri dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimilki budaya mayoritas.
21
H. 114
W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988).
36
c. Tanda dan gejala menarik diri Gejala subyektif: 1. Individu menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain. 2. Individu merasa tidak aman berada dengan orang lain. 3. Respon verbal kurang dan sangat singkat. 4. Individu mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain. 5. Individu merasakn bosan dan lambat menghabiskan waktu. 6. Individu tidak dapat berkonsentrasi dan membuat keputusan. 7. Individu merasa ditolak Gejala obyektif: 1. Individu banyak diam dan tidak mau bicara. 2. Tidak mengikuti kegiatan. 3. Individu menyendiri . 4. Individu tampak sedih, kontak mata kurang dan ekspresi datar. 5. Aktivitas menurun. 6. Kurang spontan. 7. Apatis (acuh terhadap lingkungan). 8. Ekspresi wajah kurang berseri. 9. Kurang energi (tenaga). 10. Rendah diri
37
B. TUNAGRAHITA 1.
Pengertian Tunagrahita Yang dimaksud dengan tunagrahita adalah Mereka yang mempunyai
tingkat kecerdasan dibawah kecerdasan normal, sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program pendidikan di sekolah umum. Tingkat kecerdasan seorang anak ditunjukan dengan tingkat perhitungan IQ (Intelligence Quotient) yang dimilikinya, berdasarkan hasil test pada pemeriksaan para ahli psikologi.22 Seorang anak yang normal mempunyai rata-rata IQ 100, sedangkan yang lebih dari itu dapat dikatakan pandai diatas rata-rata sampai jenius. Anak yang mempunyai IQ kurang dari angka rata-rata normal dapat dikatagorikan sebagai anak dengan masalah sukar belajar atau retardasai mental atau disebut juga sebagai tunagrahita.23 Menurut grossman tingkat kecacatan mental atau tunagrahita dapat diklasifikasikan sebagai berikut :24 a. Mild (tunagrahita ringan : mampu didik atau educable) b. Moderate (tunagrahita sedang : mampu latih atau trainable) c. Severe (tunagrahita berat : mampu latih berat atau trainable severe) d. Profound (tunagrahita sangat berat : mampu rawat atau profound)
22
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa, DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), H. 30. 23 Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tahun 1993), H. 40. 24 Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, (Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tahun 1993), H. 40.
38
2.
Klasifikasi Tunagrahita Dilihat dari perilaku adaptif pada penderita tunagrahita berdasarkan
pembagian umur dan sub tipe yang ada, maka diperoleh gambaran sebagai berikut:25 a. Tunagrahita Ringan 1) Periode
pematangan
dan
perkembangan
(maturation
and
devoelopment : 0 – 5 tahun). Penderita tunagrahita masih dapat mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi, meskipun perkembangan sensori – motorik agak terlambat. Pada masa ini penderita tunagrahita masih sulit dibedakan dengan anak-anak yang normal. 2) Periode pengajaran dan latihan (training and education : 6 – 20 tahun). Penderita tunagrahita tipe ini, pada usia remaja hanya mampu mencapai kemampuan akademik yang setaraf dengan kelas 6 sekolah dasar. Kemampuan berfikir secara abstrak sangat terbatas, kemampuan akademis lebih mengarah pada kemampuan membaca, menulis dan menggunakan dasar-dasar matematika saja. Disini terlihat bahwa penderita tunagrahita mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran-pelajaran disekolah. 3) Kelengkapan sosial dan kejujuran (social and vocational adequacy : 20 tahun - ...). Pada periode ini mereka dapat memiliki keterampilan sosial dan bekerja, bila mendapat pendidikan dan latihan yang 25
Cacatan : sumber dari subtipe tuna grahita disarikan dari : 1) lawrence c. Kolb, et. Al, modern clinical psychiatry, tenth edition, washington, 1982, h. 720 ; 2) pedoman penggolongan dan diagnos gangguan jiwa di indonesia, edisi II, depkes, 1983, h. 335-356. Dikutip dari skripsi “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, oleh Widianti retno satuti, 1993, h. 41-45.
39
memadai. Disini mereka dapat membaurkan dirinya dengan masyarakat
dan
menghilangkan
„cap‟nya
sebagai
penderita
tunagrahita. Namun mereka tetap memerlukan pengawasan dan bimbingan bila ada stres sosial dan ekonomi yang berat. b. Tunagrahita Sedang 1) Periode pematangan dan perkembangan (0 - 5 tahun). Pada periode ini, penderita tunagrahita tipe ini masih mampu belajar untuk mengadakan komunikasi, tetpai kesadaran sosialnya sangat sedikit. Meskipun demikian mereka masih dapat dilatih untuk menolong cukup insentif. 2) Periode pengajaran dan latihan (6 - 20 tahun). Taraf pendidikan yang dicapai oleh penderita tunagrahita sedang, pada usia remaja, setaraf dengan anak yang duduk di sd kelas 4. Mereka yang menderita tunagrahita sedang, pada periode ini sudah memerlukan pendidikan khusus. 3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran (20 tahun- ...). Dalam bidang pekerjaan mereka dapat melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga tidak terlatih (unskilled) ataupun setengah terlatih (semi skilled). Meskipun demikian, bimbingan dan pengawasan sangat diperlukan untuk membantu kehidupan mereka, walaupun stres sosial dan ekonominya masih dalam taraf yang ringan. c. Tunagrahita Berat
40
1) Periode pematangan dan perkembangan (0-5 tahun). Pada periode ini, penderita tunagrahita berat, perkembangan motoriknya kurang baik, kemampuan bicarannya sangat sedikit, karena kemampuan mereka untuk berkomunikasi sangat minim. 2) Periode pengajaran dan latihan (6- 20 tahun). Pada periode ini mereka dapat diajar untuk berkomunikasi dan mempunyai keterampilan untuk mengurus dirinya sendiri. Tetapi tidak mempunyai atau tidak mampu menerima keterampilan akademis. 3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran (20 tahun-...). Mereka dapat merawat dan melindungi diri sendiri tetapi di dalam lingkungan yang terlindung. Selain itu merekaa memerlukan perawatan yang permanen dari keluarga ataupun lingkungannya.
41
d. Tunagrahita Sangat Berat 1) Periode pengembangan dan pematangan (0 – 5 tahun). Pada periode ini perkembangan sensori- motorik mereka sangat terbatas, dan tidak jarang mereka tidak mampu bicara. Selain itu mereka juga tidak mampu menolong dirinya sendiri, sehingga memerlukan perawatan sepenuhnya. 2) Periode pengajaran dan latihan (6 – 20 tahun). Perkembangan motorik mereka pada saat ini masih sangat terbatas. 3) Periode kelengkapan sosial dan kejujuran ( 20 tahun - ...). Pada periode ini ada sedikit pertambahan dalam pengembangan motorik dan bicara. Meskipun demikian mereka masih sangat tergantung pada lingkungannya, karena itu diperlukan adanya perawatan yang permanen. 3.
Faktor Penyebab Tunagrahita Tunagrahita primer merupakan tunagrahita yang disebabkan oleh faktor
keturunan (retardasi mental genetik) atau bahkan faktor yang tidak diketahui (retardasi mental simpleks). Sementara itu, penyebab tunagrahita sekunder adalah faktor-faktor dari luar yang diketahui dan faktor- faktor ini mempengaruhi otak pada waktu pranatal, perinatal atau postnatal. Keterbelakangan mental disebabkan oleh faktor dari dalam (endogin) dan faktor dari luar (eksogin). Faktor Endogin (berasal dari keturunan) merupakan faktor ketidaksempurnaan psikobilogis dalam memindahkan gen sedangkan
42
faktor eksogin seperti virus yang menyerang otak seperti benturan radiasi, dan lain-lain yang tidak bisa diturunkan.26 Faktor dari dalam yaitu sewaktu anak masih dalam kandungan yaitu faktor genetik. sedangkan faktor dari luar yaitu anak yang telah dilahirkan yaitu dari faktor lingkungan.27 a. Faktor genetik Pada kondisi genetik kecacatan ditentukan pada saat konsepsi. Kecacatan dapat disebabkan oleh ketidaknormalan kromosom. Salah satunya adalah peristiwa trisomy, dimana pada keadaan ini kromosom yang ada pada individu tidak lagi berjumlah 46, tetapi 47. Individu yang tergolong dalam katagori ketidaknormalan genetik antara lain janin yang rusak karena ganguan metabolisme karbohidrat. Gangguan metabolisme ini juga mengakibatkan kerusakan pada ginjal dan hati selain ketuna grahitaan pada anak. b. Faktor lingkungan Yang termaksuk ke dalam faktor lingkungan antara lain infeksi pada ibu saat hamil, seperti infeksi virus rubella (campak) yang juga dapat menyebabkan buta dan tuli selain ketuna grahitaan, infeksi virus sifilis, influenza, gondongan dan varicella. Tingkat kecacatan yang dihasilkan bervariasi dari taraf ringan sampai berat. Resiko terbesar adalah apabila infeksi terjadi pada tiga bulan pertama usia kandungan. Selain infeksi yang diderita ibu, radiasi, obat-obatan yang dikonsumsi ibu saat mengandung, 26
Faktor penyebab ketunagrahitaan, artkel diakses pada Tanggal 10 Juni 2016 dari http://www.e-jurnal.com. 27 Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tahun 1993, H. 45-47.
43
ketidakcocokan darah anak dan ibu serta adanya infeksi pada anak (antara lain meningitis) juga dapat menyebabkan kecacatan pada anak. Sedangkan menurut waktu terjadinya, keterbelakangan mental atau cacat mental dapat dibagi menjadi:28 a. Masa pra- natal artinya sebelum anak dilahirkan, jadi selama dalam kandungan. Ada dua kemungkinan yang dapat menyebabkan kelainan pada semasa ini, yaitu yang bersifat endogin dan eksogin. Adapun kelainan yang bersifat endogin sebagai berikut: 1) Bermacam-macam penyakit syphilis (penyakit kelainan). 2) Akibat berbagi obat yang dimakan ibu ketika mengandung dan yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan ibu ketika hamil muda. 3) Kelainan pada kelenjar gondok dapat mengakibatkan pertumbuhan janin yang kurang wajar, keterbelakangan dalam perkembangan kecerdasan, rambut anak menjadi kasar dan kering, muka anak menjadi bengkak dan lidahnya panjang dan lebar sehingga selalu tampak keluar dari mulut si anak. 4) Akibat kehamilan pada usia diatas 35 tahun dapat menyebabkan kelahiran anak yang cacat diantaranya sebagai anak tuna grahita. Sedangkan kelainan yang bersifat eksogin misalnya untuk sesuatu tindakan medik telah dilakukan penyinaran dengan sinar rontgen. Penyinaran ini dapat mengakibatkan kelainan pada bayi dalam rahim ibunya. 28
Bratanata, Op. Cit., h. 19-21
44
b. Masa natal artinya ketika bayi dilahirkan. Kelainan timbul disebabkan oleh: 1) Kekurangan zat asam (walaupun sedikit saja) dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel otak. 2) Pendarahan otak yang terjadi pada proses kelahiran bayi yang sulit, antar lain dengan cara penyedotan untuk membantu kelahiran si bayi. 3) Kelahiran sebelum bayi cukup umur, yang disebut juga kelahiran „prematur‟, sebab tulang-tulang
yang masih sangat lunak sangat
mudah mengalami perubahan bentuk. c. Masa post-natal anak yang dilahirkan normal dapat menjadi penderita tuna grahita karena mendapat kerusakan pada otaknya (karena kecelakan) dan hal ini menimbulkan kemunduran tingkat kecerdasan si anak. Peristiwa lain mungkin terjadi karena kecelakan yang mengakibatkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan juga penyakit yang dapat menyerang otak, umpamanya radang otak. Kelainan yang dapat terjadi pada anak sebagai akibat keadaan yang disebut di atas tergantung/ditentukan oleh sifat dan kwalitasnya kerusakan sel otak atau bagian otak yang terkena. 4.
Kemandirian Anak Tunagrahita Kemandirian adalah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain dan
kebebasan dalam ketergantungan nasib atau kontrol dari orang lain. Anak retardasi mental usia sekolah diharapkan lebih menguasai kemampuan yang melibatkan proses belajar dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari seperti konsep waktu. Anak tidak hanya menerapkan konsep waktu dengan mengetahui angka pada jam, tetapi juga memahaminya bila dihubungkan
45
dengan waktu pagi, siang, sore, atau malam. Tujuan utama dari peningkatan kemandirian adalah anak dapat memenuhi tuntutan hidup, bertanggung jawab pada tugas hariannya, dan mengurangi ketergantungan pada orang sekitarnya, sehingga
mencapai
tahap
kemandirian
sesuai
yang
diharapkan
lingkungannya.29 Kemandirian
merupakan
tujuan
utama
bidang pendidikan
untuk
mendewasakan anak didik. Anak tunagrahita sedang dengan kemampuan terbatas pada menolong diri sendiri, pekerjaan sederhana, serta keterampilan. Dalam kehidupan ada anak tunagrahita yang mandiri dan tidak mampu mandiri dalam menjalankan aktivitasnya. Anak tunagrahita mandiri yaitu mereka yang mampu memfungsikan diri dari bentuk keterbatasan subtansialnya dan kemampuan fungsi mental yang terletak di bawah rata-rata. (IQ 70/kurang). Anak tunagrahita mampu mandiri mampu melakukan tingkat laku adaptif yaitu kemampuan berkomunikasi, merawat diri (ADL), mengarahkan diri sendiri, berprestasi, pengisian waktu luang dan kerja. Sedangkan anak tunagrahita tidak mampu mandiri yaitu mereka yang tidak mampu memfungsingkan diri dari bentuk keterbatasan subtansialnya sehingga munculnya ketergantungan anak tunagrahita terhadap keluarga (caregiver).30 Caregiver adalah seorang yang memiliki profesi melayani (merawat) melayani kebutuhan fisik/ aktivitas mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, seperti
29
Djamaludin Ancok, Pengembangan dan Perluasan Kesempatan Kerja Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Cacat, (Jakarta: Departemen Sosial RI, 1991), h.53 30 Wawancara dengan Ibu Dewi, selaku Guru Pembimbing Tuna grahita di SLBN 2 Pagi Jakarta. Pada 24 Februari 2016.
46
kebutuhan personal hygiene, mobilisasi, kebutuhan sosial, kebutuhan spritiual.31 Pendekatan yang dapat di berikan kepada anak tunagrahita atau pelatihan untuk anak tuna grahita yaitu :32 1) Occuppasional terapy (terapi gerak). Terapi ini diberikan kepada anak tunagrahita untuk melatih gerak fungsional anggota tubuh gerak kasar atau halus. 2) Play terapy (terapi bermain). Terapi bermain adalah terapi yang diberikan kepada anak tunagrahita dengan cara bermain, misalnya memberikan pelajaran tentang hitungan, bermain jual beli, anak diajarkan tentang cara sosial drama. 3)
Activity daily living (ADL) atau kemampuan merawat diri. Untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain.
4) Life skill (keterampilan hidup) Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah
rata-rata
biasanya
tidak
diharapkan
bekerja
sebagai
administrator. Bagi anak tunagrahita yang memiliki IQ di bawah ratarata mereka juga diharapkan untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup mereka diberikan pendidikan melalui
31
Pengaruh terapi kelompok, artikel diakses pada 10 Juni 2016 dari http://www.academia.edu/18858779/pengaruh_terapi_kelompok. 32 Agustyawati, M.Phil. SNE dan Solicha, M.Si, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 150.
47
keterampilan. Keterampilan yang dimilikinya, mereka dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta dapat bersaing di dunia industri dan usaha. 5) Vocastional terapy (terapi bekerja) Selain diberikan latihan keterampilan anak tunagrahita juga diberikan latihan kerja. Dengan bekal latihan yang telah dimilikinya, anak tunagrahita diharapkan dapat bekerja. A. Kebutuhan Anak Tunagrahita Adapun kebutuhan yang harus dimiliki oleh anak tunagrahita sebagai berikut: a. Anak tunagrahita memilki kebutuhan khusus untuk mengoptimalkan potensinya. Anak-anak tunagrahita memilki potensi dalam belajar yang
sangat
ketunagrahitaan,
erat
kaitannya
sehingga
dengan
berat
membutuhkan
dan
pelayanan
ringannya khusus.
Kebutuhan khusus yang dimaksud adalah kebutuhan pelayan pengajaran yang sama dengan siswa lainnya dengan pengertian guru, teman-teman, dan ditambahkan dengan waktu dan situasi kondisi untuk mempelajari sesuatu. Yang dibutuhkan juga pelayanan pembelajaran yang sangat khusus, seperti program stimulasi dan intervensi dini yang meliputi terapi bermain, okupasi, terapi bicara, kemampuan memelihara diri dan belajar akademik. b. Anak tunagrahita membutuhkan lingkungan belajar seperti pengaturan tempat duduk yang disesuaikan kondisi, membutuhkan konteks dan orientasi cerita yang dimulai dari hal yang konkret kemudian ke hal
48
abstrak untuk mengembangan kemampuan bina dirinya. Dalam hal berinterkasi membutuhkan hal-hal yang membuat dirinya merasa menjadi bagian dari yang lain, kebutuhan untuk menemukan perlindungan dari hal negatif. c. Kebutuhan kenyamanan sosial dan kebutuhan untuk menghilangkan rasa
kebosanan
mengembangkan
dengan
adanya
kemampuan
stimulasi
sosial,
potensi
sosial
untuk
dan
secara
emosionalnya. Beberapa keunggulan anak tunagrahita yang akan membawa mereka pada hubungannya dengan orang lain, yaitu spontanitas yang wajar dan positif, kecenderungan untuk merespon orang lain dengan baik dan hangat, kecenderungan merespon pada orang lain dengan jujur, dan kecenderungan untuk mempercayai orang lain.33 B. Beberapa potensi yang dimiliki oleh anak tunagrahita, yaitu: a. Pengembangan kemampuan kognitif Anak berkebutahan khusus keterbelakangan mental umumnya memilki
keterlambatan
pengembangan
kognitif
dalam anak
aspek
kognitif.
berkebutuhan
Untuk khusus
itu, perlu
dipertimbangkan: dalam belajar memerlukan waktu lebih banyak dalam mempelajari materi tertentu, anak berkebutuhan khusus (ABK) atau terbelakang mental tidak memahami beberapa mata pelajaran sehingga mereka memerlukan dorongan untuk dapat memahami materi tertentu sesuai dengan tingkat kemampuannya, dan anak 33
Astati dan Mulyati. Pendidikan dan Pembinaan Karier Penyandang Tuna grahita Dewasa: Depdikbud, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. (Jakarta: 2010). h. 13.
49
berkebutuhan khusus atau terbelakang mental mengalami kesulitan dalam mempelajari materi yang bersifat abstrak. Penggunaan media konkrit dalam pembelajaran sangat dibutuhkan oleh anak agar memperoleh pemahaman yang kuat. b. Pengembangan bahasa Keterlambatan berbahasa (delayed language) merupakan salah satu cirri anak terbelakang mental. Agar perolehan bahasa anak menjadi lebih memadai diperlukan usaha-usaha melalui bimbingan berbahasa. Dalam beberapa penelitian menunjukan bahwa jika anak-anak mendapatkan bimbingan berbahasa secara tepat, maka anak-anak terbelakang mental mampu menyususn cerita yang menunjukan suatu tingkatan
kreativitas
dan
pengembangan
berbahasa
dan
berkomunikasi dengan baik. Adalah tugas guru-guru di sekolah untuk dapat memberikan pembinaan agar anak memilki kemampuan berbahasa yang memadai yang dapat dijadikan sebagai ilmu pengetahuan dan sarana memahami dunia sekitarnya. c. Keterbatasan fungsi-fungsi mental Untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya, anak tuna grahita memerlukan waktu yang lebih lama dari anak normal. Reaksi terbaiknya diperhatikan bila mengikuti sesuatu yang rutin dan konsisten didalamnya dari hari ke hari. Tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama, anak tunagrahita memilki keterbatasan penguasaan bahasa, karena pusat pembendaharaan bahasanya kurang berfungsi, sehingga
50
mengalami kesulitan memahami kata-kata yang bersifat abstrak, dan oleh karenanya membutuhkan kata-kata kongkrit yang didengarnya.34 C. Fungsi Sosial Anak Tunagrahita a.
Keterbatasan Sosial Anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus dirinya sendiri dalam masyarakat, sehingga memerlukan bantuan pelayanan khusus. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan kepada orang tuanya sangat besar. Tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijak, sehingga selalu dibimbing dan diawasi. Karakteristik lainnya anak tuna grahita mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.35
b.
Pengembagan Sosial (ABK) Anak Berkebutuhan Khusus Masalah utama yang dialami anak penyandang keterbelakangan mental adalah tiadanya kemampuan sosial. Hambatan ini akan berakibat pada ketidakmampuan anak dalam memahami kode atau aturan-aturan sosial di sekolah, di keluarga maupun di masyarakat. Dalam upaya pengembangan kemampuan sosial diperlukan beberapa kebutuhan anak terbelakang mental yang meliputi: kebutuhan untuk merasa menjadi bagian dari yang lain, kebutuhan untuk menemukan perlindungan dari sikap dan label yang negatif, kebutuhan akan
34
Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan”. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016 dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anaktuna grahita.html. 35 Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan”. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016 dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anaktuna grahita.html.
51
dukungan
dan
kenyaman
sosial,
dan
kebutuhan
untuk
menghilangkan kebosanan dan menemukan stimulasi sosial. Kebutuhan sosial ini mengarah langsung pada pentingnya daya dorong interaksi sosial yang positif antara siswa dan siswi terbelakang mental dengan teman-teman lainnya di sekolah. Untuk mendukung suasana demikian diperlukan lingkungan inklusi bagi anak-anak terbelakang mental.36 c.
Keterbatasan Inteligensi Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalahmasalah dan situasi-situasi kehidupan baru. Anak tunagrahita mempunyai keterbatasan inteligensi seperti keterbatasan kemampuan mempelajari informasi dan keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah di kehidupan baru. Keterbatasan belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak kreatif, keterbatasan dalam menilai dan keterbatasan kemampuan merencanakan masa depan kehidupan dirinya. Anak tuna grahita memilki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar berhitung, menulis dan membaca juga terbatas.37
36
Agus, dona. “hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan. Artikel diakses tanggal 9 Juni 2016 dari http://donaagussetiawan.blogspot.com/2011/09/hak-yang-dimilki-anak-berkebutuhan-anaktuna grahita.html. 37 T. Sutjihati, Misi, Psikologi Anak Luar Biasa, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2006) h. 105.
52
C. KELUARGA (ORANG TUA) DENGAN ANAK TUNAGRAHITA 1.
Pengertian Keluarga Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.38 Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu. Keluarga dapat digolongkan kedalam kelompok primer, selain karena para anggotanya saling mengadakan kontak langsung, juga karena adanya keintiman dari para anggotanya.39 Menurut Horton dan Hunt (1987), istilah keluarga umumnya digunakan untuk menunjuk beberapa pengertian sebagai berikut:40 a. Suatu kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama; b. Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan; c. Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak; d. Pasangan nikah yang mempunyai anak; dan e. Satu orang entah duda atau janda dengan beberapa anak.
38
W. A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 180. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, h.227. 40 Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, h.227. 39
53
2.
Fungsi Keluarga Karena keluarga dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu, maka dalam kenyataannya fungsi keluarga pada semua masyarakat adalah sama. Fungsi dasar keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri. Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan memberikan intervensi terhadap keluarga anak tuna grahita. Berikut beberapa fungsi keluarga:41 1) Fungsi biologis dan psikologis. 2) Fungsi sosialisasi atau pendidikan. 3) Fungsi ekonomi atau unit produksi. 4) Fungsi pelindung atau proteksi. 5) Fungsi penentuan status. 6) Fungsi pemeliharaan atau perawatan. 7) Fungsi afeksi.
3.
Bentuk Dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga Pada Anak Tunagrahita Menurut ahli Psikologis Diana Baumrind ada tiga pola asuh orang tua kepada anak-anaknya dalam penanaman nilai dan penangan konflik dalam keluarga yakni: 1) Gaya pengasuhan yang bersifat otoratif biasanya orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan. Orang tua mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Disisi lain, orang tua bersikap tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan anak. orang tua
41
W. A. Gerungan Dipl. Psych, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1988), cet. XI, h. 182.
54
menghargai kedirian anak dan kualitas kepribadian yang dimilikinya sebagai keunikan pribadi. 2) Gaya pengasuhan anak yang otoriter dilakukan oleh orang tua yang selalu berusaha membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku dan tindakan anak agar sesuai dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat mutlak yang dimotivasi oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan otoritas yang tinggi. Kepatuhan anak merupakan nilai yang diutamakan, dengan memberlakukan hukuman mana kala terjadi pelanggaran. 3) Gaya pengasuhan yang bersifat permisif (biasanya dilakukan oleh orang tua yang begitu baik), cenderung memberi banyak kebebasan pada anakanak dengan menerima dan memaklumi perilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak. orang tua yang demikian akan menyediakan dirinya sebagai sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan anak, membiarkan anak untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak terlalu mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan eksternalnya.42 4.
Pendidikan Anak Tunagrahita Beberapa Model pelayanan pendidikan yang diberikan kepada anak tunagrahita sebagai berikut:43 1) Kelas Transisi Kelas ini diperuntukan bagi anak yang memerlukan layanan khusus termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada di
42
Srilestari, psikologi: penanaman nilai dan penanganan konflik keluarga.(Jakarta:PT. Kencana 2012) h. 36-37. 43 Agustyawati, M.Phil. SNE dan Solicha, M.Si, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 169.
55
sekolah regular, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak. 2) Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa Bagian C dan C1/SLB-C, C1) Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada sekolah luar biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama
kemampuannya
(tunagrahita).
Kegiatan
belajar-mengajar
sepanjang hari penuh dikelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. 3) Pendidikan Terpadu Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah regular. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak regular di kelas yang sama dengan bimbingan guru regular. Untuk mata pelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimmbingan/remedial dari guru pembimbing khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar disekolah terpadu adalah anak yang tergolong tuna grahita ringan, yang termasuk kedalam katagori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (slow learner).
56
4) Program Sekolah Dirumah Program ini diperuntukan bagi anak tuna grahita yang tidak mampu
mengikuti
keterbatasannya.
pendidikan
Program
di
sekolah
dilaksanakan
dirumah
khusus dengan
karena cara
mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat. 5) Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global education for all (pendidikan untuk semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990.
Kebijakan Education for All itu sendiri
merupakan upaya untruk mewujudkan
hak asasi manusia dalam
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia 1990. Inklusif
adalah
istilah
terbaru
yang
dipergunakan
untuk
mendepskrisikan penyatuan bagi anak-anak berkelaianan (penyandang hambatan/cacat) kedalam program- program sekolah. Bagi sebagian besar pendidik istilah ini dilihat sebgai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komperehensif. Sejalan dengan perkembangan pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus terdapat kecenderungan baru yaitu model pendidikan inklusi. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsif “Education for All.” Layanan pendidikan inklusi diselenggarakan pada sekolah regular. Anak tuna grahita belajar
57
bersama-sama dengan anak regular, pada kelas dan guru/ pembingbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2(dua) orang guru, satu guru regular dan satu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tuna grahita jika anak tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama tetapi saat ini pelayanan pendidikan inklusi masih dalam tahap rintisan. 5.
Bina Diri Pada Anak Tunagrahita a. Hakikat Pembelajaran Bina Diri Kata Bina Diri diserap dari Bahasa Inggris “self-help” atau “selfcare”, dimaksudkan sebagai keterampilan awal yang diajarkan orang tua kepada kehidupan anak sedini mungkin sebagaimana anak normal
lainnya
sebagai
usaha
awal
memandirikan
mereka.
Keterampilan ini termasuk makan, mobilitas, perilaku toileting dan membasuh/mencuci (toileting and washing), serta berpakaian. Bila ditinjau lebih jauh, istilah Bina Diri lebih luas dari istilah mengurus diri, menolong diri, dan merawat diri, karena kemampuan bina diri akan mengantarkan anak berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri dan mencapai kemandirian. Pembelajaran Bina Diri diajarkan atau dilatihkan pada anak berkebutuhan khusus mengingat dua aspek yang melatar belakanginya. Latar belakang yang utama yaitu aspek kemandirian yang berkaitan dengan aspek kesehatan, dan latar belakang lainnya yaitu berkaitan
58
dengan kematangan sosial budaya. Beberapa kegiatan rutin harian yang perlu diajarkan meliputi kegiatan atau keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, dan ke kamar kecil (toilet); merupakan kegiatan yang sangat erat kaitannya dengan aspek kesehatan seseorang. Kegiatan atau keterampilan bermobilisasi (mobilitas), berpakaian dan merias diri (grooming) selain berkaitan dengan aspek kesehatan juga berkaitan dengan aspek sosial budaya, hal ini sejalan dengan Arifah A. Riyanto (dalam Widati, 2011: 2) yang menyatakan, ditinjau dari sudut sosial budaya maka pakaian merupakan salah satu alat untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Dengan demikian jelaslah bahwa pakaian ini bukan saja untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat biologis material, tetapi juga akan berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sosial psikologis. Berpakaian yang cocok atau serasi baik dengan dirinya ataupun keadaan sekelilingnya akan dapat memberikan kepercayaan pada diri sendiri.44 b. Tujuan dan Prinsip Dasar Pembelajaran Bina Diri Tujuan bidang kajian Bina Diri secara umum adalah agar anak berkebutuhan khusus dapat mandiri dengan tidak atau kurang bergantung pada orang lain dan mempunyai rasa tanggung jawab. Sedangkan fungsi dari kegiatan Bina Diri, yaitu:45
44
“Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari https://digilid.uns.ac.id. 45 “Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari https://digilid.uns.ac.id.
59
1) Mengembangkan keterampilan-keterampilan pokok atau penting untuk
memelihara
dalam
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
personal. 2) Untuk melengkapi tugas-tugas pokok secara efisien dalam kontak sosial sehingga dapat diterima di lingkungan kehidupannya. 3) Meningkatkan kemandirian. Dalam
pendekatan
ini
diperlukan:
baseline,
kriteria,
dan
reinforcement. Baseline adalah kemampuan yang dimiliki anak sebelum mendapatkan perlakuan dari latihan bina diri. Untuk mengetahui kemampuan ini, anak perlu dilakukan assessment terlebih dahulu Ada beberapa teknik yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu tingkah laku atau keterampilan yang baru kepada seorang siswa tuna grahita, yaitu:46 a) Memperhatikan model (modelling), yaitu menunjukkan kepada siswa apa yang harus dikerjakan. Misalnya, dalam melatih mencuci tangan, anak tuna grahita sedang memperhatikan contoh mencuci tangan yang benar yang dilakukan oleh guru sebagai model, anak tuna grahita sedang berusaha untuk mengamati dan mengingat apa yang telah dilakukan guru, dan dari hasil pengamatannya diharapkan anak tuna grahita sedang dapat atau mampu mencuci tangan dengan benar sesuai dengan contoh yang diperagakan model. b) Menuntun atau mendorong (promting) ialah melakukan atau membantu siswa untuk mengerti apa yang harus dilakukan sebagai 46
“Pembelajaran Bina Diri”,artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari https://digilid.uns.ac.id
60
contoh jika anak tuna grahita sedang dalam mencuci tangan mengalami kesulitan dalam memegang gayung untuk mengambil air atau membuka kran air hendaknya guru membantu memegang tangan anak untuk memegang gayung dan segera mengambil air atau bila mencuci tangan melalui kran air, maka guru memegang tangan anak untuk membuka kran air. Jika anak tuna grahita sedang belum bisa melakukan sendiri, promting masih tetap diberikan secara terus menerus. c) Mengurangi tuntunan (fading), ialah mengurangi tuntunan secara bertahap sejalan dengan keberhasilan siswa. Jika anak tuna grahita sedang sudah mulai mampu diakses Pada memegang gayung atau membuka kran air untuk mencuci tangan, maka tuntunan sedikit demi sedikit harus diberhentikan dan selanjutnya perlu bimbingan secara verbal atau lisan dengan mengucapkan “Ayo, terus dilakukan” atau “Ayo pegang gayung atau buka kran air dengan benar”. d) Pentahapan (shaping), ialah membagi satu kegiatan dalam beberapa pentahapan dimulai dari yang mudah ke yang sulit. Dalam mencuci tangan, anak tuna grahita sedang perlu diberikan latihan dari yang paling mudah yaitu memegang gayung atau memutar kran air, jika sub kegiatan tersebut sudah dikuasai diteruskan ke tahap berikutnya yang lebih sulit, misalnya memegang gayung untuk mengambil air dan seterusnya, sampai tahapan akhir.
61
BAB III GAMBARAN UMUM SEKOLAH LUAR BIASA NEGERI (SLBN) 2 PAGI JAKARTA A. SEJARAH BERDIRINYA SLBN 02 PAGI JAKARTA Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan SK Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Dasar Luar Biasa. Kemudian menjadi SDLB Negeri dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 1514 Tahun 1988 tentang Pengesahan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan nama SDLB Negeri 01 Kelurahan lenteng Agung Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sesuai dengan berjalannya waktu, SDLB Negeri 01 Lenteng Agung pun mengalami perubahan nomenklatur sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1358/2007 tentang Perubahan Nama Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 01 lenteng Agung menjadi SLB Negeri 02 Jakarta Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan.1Posisi SLB Negeri 02 Jakarta berada di lingkungan strategis secara ekonomi, eksistensinya terletak dalam ring permukiman penduduk yang sedang berkembang secara pesat di daerah Kawasan Cagar Budaya Betawi tepatnya di Daerah Jagakarsa Jakarta Selatan, di sebelah utara berdekatan dengan Taman Wisata Kebon Binatang Ragunan dan Gelanggang Olah Raga Ragunan, disebelah selatan berdekatan dengan Taman Rekreasi Berbudaya Betawi yaitu
1
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015.
62
Situ Babakan dan kampus Universitas Indonesia. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Sekolah:2 “Keberadaan SLB Negeri 02 Jakarta sangat berpotensi dikembangkan secara nyata dan optimal baik di bidang akademik maupun non akademik pada masa mendatang. Hal ini seiring dengan denyut nadi irama perkembangan lingkungan yang menjadi penopangnya. Prospek berkembang pesat pada masa depan ditandai dengan beberapa gejala dinamika yang terjadi pada lingkungan sekitar sekolah, baik secara mikro maupun makro, baik secara fisik dan nonfisik, infrastruktur, sarana atau fasilitas umum, sampai dengan mobilitas penduduk yang melingkupi atau mengelilingi sekolah.”
Dengan demikian keberadaan SLB Negeri 02 Jakarta makin dibutuhkan oleh mereka. Apalagi penduduk yang tinggal di permukiman-permukiman baru tersebut adalah pasangan rumah tangga muda yang rata-rata memiliki anak usia sekolah dalam kategori wajar 9 tahun (mulai TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB). B. IDENTITAS SEKOLAH 1.
Nama Sekolah
: SLB NEGERI 02 JAKARTA
2.
Tanggal Berdiri
: 5 NOVEMBER 1980
3.
Menyelenggarakan
:
a. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB B-C) b. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB B-C) c. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB B-C) 4. Nomor Induk Sekolah
2
: 280020
Hasil wawancara pribadi dengan Bapak Daliman, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLBN 02 Pagi Jakarta. Pada 22 Februari 2016.
63
5. Nomor Statistik Sekolah
: 101014304140
6. Nomor Pokok Sekolah Nasional
: 20103089
7. Alamat Sekolah
: Jl. Raya Lenteng Agung
8. Telpon Sekolah
: 021 7820040/ 78891466
9. Website
: www.slblentengagung.net
10. Waktu Jam Belajar
: Pukul 06.30 Sampai dengan 11.30 (1 jam pelajaran 35 menit)
11. Status Bangunan
: Milik Sendiri
12. Luas Tanah/ Bangunan
: 4432 m2
13. Status Sekolah
: Negeri
14. Jenjang Akreditasi
: A, Tahun 2014 s.d 2019.
15. Pembiayaan
:
a.
Seluruhnya dari Pemerintah
b.
Uang Sekolah (tidak ada uang pangkal sekolah dan uang sekolah per bulan )
16. Data Personil Sekolah
:
1.
Nama Kepala Sekolah
: Daliman, S.Pd
2.
Jumlah Guru
: 60 Orang
3.
Jumlah Petugas Tata Usaha
: 2 Orang
4.
Jumlah Penjaga Sekolah
: 3 Orang
17. Kerja Sama
:
Unj, Ui, Uhamka, Fatmawati,
Yayasan Angela, Desa Putera, Unindra, Uin, Puskesmas Kelurahan Lenteng Agung, Puskesmas Kecamatan Jagakarsa.3
3
Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
64
C. VISI, MISI, DAN TUJUAN SEKOLAH Visi Mengembangkan
kemampuan
berbahasa
dan
komunikasi
untuk
meningkatkan iman dan taqwa, pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian peserta didik.4 Misi Untuk mewujudkan visi tersebut, sekolah menentukan langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam misi sebagai berikut: a. Melakukan kajian dan penyesuaian kurikulum. b. Menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), serta bermakna, kooperatif, dan dinamis. c. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bernuansa religius. d. Membangun karakter dan etos kerja peserta didik. e. Menanamkan konsep diri yang positif sehingga dapat beradaptasi dan bersosialisasi di masyarakat f. Mengembangkan sumber daya manusia (pendidik dan peserta didik) yang profesional, fungsional, berkualitas, kreatif, dan inovatif. g. Menjalin kerja sama yang sinergis di lingkungan warga sekolah, dunia industri, dan dunia usaha.5
4
Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3 Agustus
5
Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3Agustus 2016.
2016.
65
1. Tujuan Sekolah Sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional, maka SDLB Negeri 2 Jakarta secara umum bertujuan untuk membantu meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.6 Secara khusus tujuan sekolah adalah untuk membantu peserta didik untuk dapat:7 a. Memiliki
kemampuan
dasar
yang
memadai
sehingga
dapat
mengaktualisasikan diri dan bekerja sama dalam kelompok dan lingkungannya. b. Menjalankan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangannya. c. Memahami kekurangan dan kelebihan dirinya. d. Mematuhi aturan sosial yang berlaku serta memahami keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi e. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif sehingga dapat memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan seharihari.Memiliki keterampilan yang memadai sebagai bekal hidup dan penghidupannya kelak.
6
Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta, 3 Agustus
2016. 7
Data Diambil Dari File Yang Diberikan Oleh Pihak SLBN 02 Pagi Jakarta Pada Tanggal 3 Agustus 2016.
66
D. STUKTUR ORGANISASI Berikut struktur organisasi Yayasan SLBN 2 Pagi Jakarta: 8 Tabel 2.
E. KURIKULUM Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum yang diberlakukan di SLBN 2 Pagi adalah kurikulum Sekolah Luar Biasa yang sah berlaku dalam sistem pendidikan luar biasa secara nasional, sedangkan kurikulum yang diberlakukan saat ini adalah mengacu pada kurikulum tingkat satuan pendidikan KTSP tahun ajaran 2013.
8
Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
67
Kurikulum
tingkat
satuan
pendidikan
(KTSP)
adalah
kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencangkup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar kedalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Rencana pelaksanaan pembelajaran merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi belajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.9 F. KESISWAAN Peserta didik berkelaianan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dalam batas tertentu dikemungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan penyesuaian-penyesuaian. Peserta didik berkelaian yang disertai dengan kemampuan intektual di bawah ratarata, diperlukan kurikulum spesifik, sederhana, dan bersifat tematik untuk mendorong kemandirian dalam hidup sehari-hari. Peserta didik berkelaian tanpa disertai kemampuan intelektual dibawah rata-rata, yang berkeinginan
9
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015.
68
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, sedini mungkin didorong untuk dapat mengikuti pendidikan secara inklusif pada SD regular. Bagi siswa di SDLB yang lulus, didorong untuk melanjutkan ke SMP regular, sedangkan bagi mereka yang tidak memungkinkan atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan tinggi, setelah menyelesaikan pada SDLB dapat melanjutkan ke SMPLB dan SMALB. SLBN 2 Pagi melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus walaupun saat ini mayoritas siswanya adalah tuna grahita, tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa.10 SLBN 2 Pagi menerima siswa baru setiap tahun ajaran baru hingga dikembangkan pula pola pelayanan pendidikan individual. G. PROGRAM KEGIATAN DI SEKOLAH11 1.
Program pengembangan diri/ Olahraga a) Bola voli b) Booce c) Sepak bola d) Bulu tangkis e) Tenis meja f)
2.
basket
Program Kesenian/ Apresiasi/ Musik a.
Paduan suara/ Vocal
b.
Seni musik
c.
Seni tari
10 11
Profil SLBN 2 Pagi Jakarta 2015. Buku Panduan Profil SLBN 02 Pagi Jakarta.
69
d.
Seni lukis
e.
Seni teater (pantonim)
f.
Baris
berbaris
(pasukan
pengibar
karana/pramuka) 3.
Program Keterampilan a.
Tata boga
b.
Tata busana
c.
Tata rias
d.
Teknologi informasi dan computer
e.
Otomotif
f.
Sablon
bendera,
proja
muda
70
H. PROFIL INFORMAN 1.
Informan 1 a.
Ibu kandung RF Nama
:R
Usia
: 50 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Gang Bima Jaya, Pasar Minggu
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita Nama
: RF
Tanggal Lahir
: 14 Februari 2000
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 16 tahun
Fisik Badan
: tinggi, rambut hitam lurus, kulit putih.12
Psikis
: Sopan, kurang percaya diri, memiliki sikap yang kurang disiplin dan pendiam.
RF merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari keluarga pak “S” dengan Bu “R”. RF tinggal di Pasar Minggu, gang Bima Jaya Rt 02 Rw 04 No.7 bersama ayah, ibu dan kakanya. RF terpaut usia 8 tahun dengan kakanya. Saat lahir, RF masih harus dirawat dirumah sakit karena tidak bisa meminum air ASI dari Ibunya. Pada saat RF dirawat di sanalah Bu “R” mengetahui bahwa kondisi RF berbeda dari anak normal lainnya. RF mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena faktor masa 12
Hasil observasi pada 30 Agustus 2016.
71
Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan. Kondisi RF tidak sama dengan bayi-bayi dengan bayi pada umumnya pada masa itu dikarenakan terdapat kelemahan di bagian otak. Menurut Dokter, apa yang dialami oleh RF disebut tunagrahita. RF adalah anak tungrahita sedang yang tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. RF tergolong anak tungrahita tidak mampu mandiri di SLBN 2 Pagi Jakarta. RF memiliki hubungn yang sangat baik dengan orang tuanya dan tidak cukup dekat dengan kakanya. RF menutup diri terhadap lingkungan sosialnya, RF tidak dekat ataupun bermain dengan teman-temannya .13
13
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan Ibu kandung dari RF, pada Tanggal 30 Agustus 2016.
72
2.
Informan 2 a.
Ibu kandung DF Nama
:H
Usia
: 43 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Kebagusan Dalam 1. Jakarta Selatan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita Nama
: DF
Tanggal Lahir
: 22 Mei 2001
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 15 tahun
Fisik Badan
: tidak cukup tinggi, rambut hitam lurus, kulit sawo matang.14
Psikis
: sopan, kurang percaya diri, memiliki sikap disiplin, manja, suka bicara dan banyak bicara.
Sebagaimana dengan informan sebelumnya, DF tergolong anak tunagrahita tidak mampu mandiri yang bersekolah di SLBN 2 Pagi dan anak tunagrahita sedang yang tengah duduk di bangku kelas 7 C1-b. DF anak kesatu dari dua bersaudara dari pasangan Pak “A” dengan Bu “H”. Adik DF seorang gadis berusia 12 tahun. DF hanya terpaut 3 tahun usianya dengan 14
Hasil observasi pada 30 Agustus 2016.
73
adiknya. DF tinggal bersama orang tuanya dan satu adiknya di daerah kebagusan dalam 1 Jagakarsa Jakarta Selatan. Tidak ada riwayat dari keluarga ibu maupun ayah dari DF yang sama dengan DF. Saat usia DF genap 3 tahun DF mengalami kecelakaan dibagian kepala yang mengakibatkan DF terkena gegerotak dan terjadi kerusakan pada bagian otak DF, sehingga DF mengalami ketunagrahitaan. DF tergolong anak yang cukup disiplin dan memiliki hubungan baik dengan keluarga.15
15
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan Ibu kandung dari DF, pada Tanggal 30 Agustus 2016.
74
3.
Informan 3 a. Ibu kandung EG Nama
:Y
Usia
: 43 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Bukit Cengkeh 2 Blok D8. No. 16 Desa Tugu Cimanggis Depok.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita Nama
: EG
Tanggal Lahir
: 18 Januari 1999
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 17 tahun
Fisik Badan
: Tinggi, rambut pendek ikal, kulit sawo matang.16
Psikis
: kurang percaya diri, manja, pendiam dan
cukup tertutup. EG merupakan anak ke-dua dari dua bersaudara dari keluarga pak “D” dengan Bu “Y”. EG tinggal di Bukit Cengkeh 2 Blok D 8 No. 16 Desa Tugu Cimanggis Depok bersama ayah, ibu dan kakanya. EG terpaut usia 5 tahun dengan kakanya. Saat lahir, EG masih harus dirawat dirumah sakit karena kondisi dari EG yang lemah. Dan pada masa kehamilan Ibu EG juga agak
16
Hasil observasi pada 5 September 2016.
75
lemah pada saat itu. Pada saat EG dirawat di sanalah Bu “Y” mengetahui bahwa kondisi EG berbeda dari anak normal lainnya. EG mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena faktor masa Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan. Kondisi EG tidak sama dengan bayi-bayi dengan bayi pada umumnya pada masa itu dikarenakan terdapat kelemahan di bagian otak. Menurut Dokter, apa yang dialami oleh EG disebut tunagrahita. EG adalah anak tungrahita sedang yang tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. EG tergolong anak tungrahita tidak mampu mandiri. EG tergolong anak yang menarik diri terhadap lingkungan sosialnya karena EG jarang keluar rumah bahkan tidak bermain dengan temen-teman di lingkungan sekitar rumahnya dan hanya memilki hubungan yang dekat dan erat terhadap Ibu kandungnya.17
17
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan Ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016.
76
4.
Informan 4 a. Ibu Kandung AR Nama
:A
Usia
: 48 Tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jl. Darusalam 2 RT 04/ RW 19.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
b. Anak Tunagrahita Nama Panggilan
: AR
Tanggal Lahir
: 20 Februari 2003
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 13 tahun
Fisik Badan
: memiliki tinggi badan 150 cm, rambut panjang hitam ikal, kulit sawo matang.18
Psikis
: memiliki sikap percaya diri, kurang sopan, manja, dan suka bermain.
AR merupakan anak dari pasangan pak “P” dengan Bu “A”. AR tinggal di Jalan Darusalam 2 RT 04 RW 19. Penyebab AR menyandang tuna grahita adalah karena AR pernah mengalami sering jatuh pada masa bayi oleh pengasuhnya, AR pada masa bayi dirawat oleh pengasuh dikarenakan ibu dari AR bekerja. AR mengalami kelainan yaitu kerusakan pada bagian otak karena faktor masa Natal yang artinya kelainan timbul ketika bayi dilahirkan. AR
18
Hasil observasi pada 5 September 2016.
77
adalah anak tungrahita sedang yang tengah duduk dibangku kelas 11 C1-c di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. AR tergolong anak tungrahita tidak mampu mandiri di SLBN 2 Pagi Jakarta. AR memilki emosional yang cukup tinggi. 19
19
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan Ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016.
78
BAB IV HASIL TEMUAN LAPANGAN DAN ANALISIS DATA Pada bab ini penulis akan membahas tentang permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita pada SLBN 02 Pagi, dengan cara menghubungkan dan mengkaji antara temuan hasil observasi, wawancara, cacatan lapangan, dokumentasi dan dengan teori-teori yang telah dijelaskan di bab II sebelumnya. Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan beberapa hal mengenai peran SLBN 02 Pagi dalam mengatasi anak tunagrahita di sekolah guna memahami permasalahan keluarga dengan anak tunagrahita tidak mampu mandiri, baik dari segi subyeknya maupun dari segi obyek penelitian. A. PERMASALAHAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DENGAN ANAK TUNAGRAHITA DI SLBN 02 JAKARTA. Berdasarkan hasil temuan lapangan mengenai permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita, peneliti menggunakan teori psikososial yang dibahas pada bab II halaman 27 yaitu: 1. Psikososial a. Tahap Perkembangan Psikosoial Begitu pula yang dikatakan oleh Erik Ericson: Kerajinan versus inferioritas (industry vs inferioritas) berlangsung antara usia 6-12 tahun. selama tahap ini, berkembang keampuan berfikir deduktif, disiplin diri, masa usia sekolah, mampu belajar, menciptakan dan menyelesaikan berbagai keterampilan baru dan pengetahuan dengan demikian mengembangkan rasa industri.1
1
Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak (Jakarta: 1997). BAB II h.6.
79
Ini juga merupakan tahap yang sangat sosial dari pembangunan dan jika mengalami perasaan yang belum terselesaikan tidak mampu dan rendah diri diantara rekan-rekan kita, kita dapat memiliki masalah serius dalam hal kompetensi dan harga diri. Pada tahap ini anak mulai membangun rasa bersaing dan ketekunan pada dirinya. Sebaliknya anak mungkin akan kehilangan harapan, merasa cukup, menarik diri dari lingkungan. Ketika dunia mengembang sedikit, hubungan kita yang paling signifikan adalah dengan sekolah dan lingkungan. Orang tua tidak lagi otoritas dulu, meskipun mereka masih penting. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa selama masa anak 0-12 tahun terjadi perubahan-perubhan yang dramatis, baik dalam fisik maupun dalam kognitif. Perubahan-perubahan secara fisik dan kognitif tersebut, ternyata berpengaruh terhadap perubahan psikososial anak. Begitu pula yang dialami oleh
“RF” bahwasanya ia telah mencapai
tahapan ini yang sesuai dengan teori yang diungkapkan di atas, “RF” lebih cenderung bersikap pendiam, manja, bergantung pada orang lain dan menarik diri. Begitu yang diungkapkan dalam wawancara Ibu „R‟: “Oh „RF‟ mah orangnya manja kak, apa-apa aja saya yang ngurusin. Kalo ga diturutin suka rewel sampe-sampe nangis. Kalo dirumah „RF‟ jarang keluar rumah kak, paling dirumah aja, ga pernah main sama temen-temen seusianya dirumah. “2 Sedangkan “DF” juga mengalami tahapan ini dimana “DF” cenderung bersikap disiplin, bergantung pada orang lain dan sangat kurang konsentrasi. Seperti yang diungkapkan dalam wawancara Ibu „H‟:
2
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5 September 2016
80
“ „DF‟ kalo dirumah disiplin kak, nih yah kalo pulang sekolah udah sampe rumah dia taro sepatunya dirak, barangnya juga suka ditaro ditempatnya. kalo dirumah mainnya sama adiknya sama temen-temen adiknya juga, soalnya usianya baru nyambung sama temen-temen adiknya soalnya kan „DF‟ memiliki kekurangan ya seperti yang kakak tau kan ya kak.”3 Peneliti membuktikan langsung dengan melihat langsung perilaku “DF” ketika sedang makan pada jam istirahat disekolah “DF” membuka sepatunya dan meletakannya di tempat rak sepatu dengan sangat rapih.4 “DF” adalah anak tuna grahita tidak mampu mandiri, meskipun demikian kedisiplinan sudah tertanam pada diri “DF” sejak dari kecil. Karena rasa takutnya kepada ayahnya yang juga sangat menerapkan kedisiplinan dirumah. Sama halnya seperti yang dirasakan oleh “EG” dan “AR” bahwa pada masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, menarik diri dari sekolah dan teman sebaya. Hal ini diungkapkan oleh Ibu “Y”dan Ibu “A” sebagai berikut: Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”: “”EG‟ jarang keluar rumah kak, apalagi main diluar jarang ka. Palingan dirumah aja nonton tv sama mainin hp ayahnya. Dia sih ngerti main hp, tp pernah kak, waktu itu asal dipencet-pencet aja sama „EG‟, eh nyambung ke temen ayahnya.”5 Sebaliknya dengan “AR” yang tidak menarik diri dari lingkungan. “AR” suka bermain bersama teman-teman sebaya nya ketika dirumah dan disekolah. Hal ini disampaikan oleh Ibu “A”:
3
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari klien DF, pada Tanggal 30 Agustus 2016 4 Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1. 5 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016
81
Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”: “Kalo pulang sekolah pasti dia main sama-sama temen-temennya dirumah. Didepan rumah itu ada lapangan luas biasa anak-anak suka main disana. Tapi kalo lagi main saya atau kakanya suka ngejadain, ngeliatin gitu kak. Soalnya kalo diledekin dia suka mukul temennya, emosian banget, ngomongnya juga duh suka kasar nisa mah segala yang yang ada diragunan keluar semua”.6 Peneliti membuktikan dengan melihat langsung “AR” mendorong jatuh temannya ketika sedang asik bermain bersama teman-temannya dilapangan sekolah pada jam istirahat.7 Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifme bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anakanak difabel dengan ank-anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dari pernyataan di atas anak tunagrahita tidak mampu mandiri lebih cenderung bersikap manja dan menarik diri dari lingkungan seperti tidak bermain bersama teman-teman di sekolah dan teman-teman dirumah. Pada tahap ini anak tunagrahita tidak mampu mandiri mulai mendapatkan pengenalan demontrasi keterampilan dan produksi benda-benda. Anak
6
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016 7 Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 5 September 2016, lihat lampiran 1.
82
tunagrahita tidak mampu mandiri biasanya hanya mengikuti keterampilan atau kegiatan vacastional Kriya, yaitu kegiatan seperti membuat gelang, kalung, tasbis dan sebagainya. b. Permasalahan Psikososial Keluarga dengan Anak Tunagrahita 1. Permasalahan Psikososial Orang tua: Ansietas a. Definisi Ansietas Ansietas (kecemasan) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Perasaan tersebut dialami oleh semua informan peneliti yaitu semua orang tua dari anak tunagrahita tidak mampu mandiri. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan kepada peneliti sebagai berikut: Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”: “dulu iyah kak saya stress banget pas tahu kondisi yang menimpa “RF” saya sedih banget, kecewa, gak berdaya juga. Ditambah lagi kalau-kalau “RF” ngambek yang sampe ngamuk duh saya stress banget kak, ya saya Cuma bisa sabar ngadepin “RF” kak. Alhamdulillah juga sekarang kan ayahnya udah pensiun jadi udah bantuin saya ngurusin “RF” kak dirumah”. Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”: “dibilang kecewa sih pasti iya kak, kualahan, strees juga kadangkadang ngadepin “DF” kak”. Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”: Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG” sebagai berikut: “„EG‟ makan masih disuapin kak suka berantakan dia-mah, dalam hal belajar, nulis, baca masih harus dituntun. Buang air kecil sama besar masih saya yang nyuciin kak, kalo dibiarin dia yang nyuci ga bersih nyucinya dia. Makanya disekolah gini saya tungguin sampe pulang kalo ketoilet nanti saya temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas
83
saya lagi ga nungguin eh bu guru yang bersihin kan saya jadi malu ya kak. YaAllah kak makanya saya kwatir banget sejak saat itu saya ga pernah absen nungguin „EG‟ di sekolah.”8 Peneliti membuktikan sendiri dengan melihat langsung “EG” yang sedang disuapi oleh Ibunya pada jam istirahat disekolah. Seperti yang terlihat pada gambar berikut: Gambar 8 Potret Ibu “Y” yang sedang menyuapi “EG” dan menunggui “EG” disekolah sampai pelang sekolah.
Sumber: Observasi. 5 September 2016 (Dokumentasi Peneliti) Dari gambar tersebut terlihat bahwa “EG” tertawa karena merasa malu diledeki oleh Ibunya dihadapan peneliti dan kemudian menarik bekalnya berusaha untuk makan sendiri dan ibu “EG” selalu menunggui “EG” disekolah dengan sabar. Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”: “„AR‟ orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya masih harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Nah kalo datang bulan emang saya juga yang nyuciin kak, dia ga mau “geli” katanya lagian juga ga bersih dia mah kalo nyuci sendiri”.9
8
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari klien C, pada Tanggal 5 September 2016 9 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan Ibu dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
84
Berdasarkan pernyataan diatas tergambar bahwa gangguan ansietas yang dirasakan orangtua dalam merawat anak tunagrahita diperlukan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak tunagrahita. Beberapa keluarga dihinggapi oleh munculnya kecemasan tentang masa depan anaknya, masalah perkawinan, depresi, dan lai-lain. Ketidaksempurnaan dari sang anak dapat berdampak negatif pada orang tua muncul rasa kecewa yang mendalam bercampur sedih, bingung, marah, putus asa, tidak bergairah, dan tidak berdaya. Hal tersebut merupakan permasalahan ansietas yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman 27 bahwa Gangguan ansietas adalah kondisi tegang dan merupakan suatu respon dari pengalaman yang dirasa tidak menyenangkan dan diikuti perasaan gelisah, yang dialami oleh seseorang secara berlebihan atau tidak pada tempatnya dan ditandai oleh perasaan khawatir, tidak menentu atau takut. b. Jenis Ansietas Sigmund freud sang pelopor psikoanalisis banyak mengakji tentang kecemasan ini, dalam kerangka teorinya, kecemasan dipandang sebagai komponen utama dan memegang peranan penting dalam dinamika kepribadian seorang individu. Freud membagi kecemasan kedalam tiga tipe yaitu kecemasan realistik, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.10 Berdasarkan hasil temuan lapangan peneliti. Terkait jenis kecemasan pada bab II dihalaman 28 bahwa jenis ansietas realitas atau objektif adalah suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman atau 10
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18
85
bahaya-bahaya nyata, seperti yang dialami oleh beberapa informan dalam penelitian ini. Informan 1 dan informan 2 mengalami jenis ansietas (kecemasan) realistik atau objektif, yaitu suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman atau bahaya-bahaya nyata yang ada di lingkungan sosial.11 Hal ini berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan. Berikut kutipan wawancara informan 1: Informan “R” merupakan Ibu dari “RF” “‟RF‟ tau cara ngendarai motor matic kak, pernah naik motor sendiri dan akhirnya jatoh, nabrak pager rumah orang, luka-luka dan akhirnya berobat. Saya kan jadi takut ya kak itu kan membahayakan „RF‟”.12 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF” “pernah saya tuh ga bisa anter „DF‟ kesekolah jadi dianter ojek online terus nyasar kak, saya kan panik, takut kak. Untung bapak ojeknya baik dianter pulang lagi kerumah saya. Bahaya banget kak makanya saya ga pernah ngojekin‟DF‟ lagi”.13 Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti bahwa informan 1 dan 2 merasa takut akan bahaya yang menimpa anak tunagrahita, seperti ketakutan akan bahaya anaknya kemungkinan diculik karena pernah nyasar oleh tukang ojek, dan juga ketakutan akan bahaya yang menimpa anaknya atas apa yang terjadi pada anak karena kelalaian yang dilakukan anak dikarenakan kondisi keterbatasan anak. Hal tersebut merupakan jenis kecemasan realitas atau obyektif yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman
11
Tim MGBK. Bahan Dasar Untuk Pelayanan Konseling Pada Satua Pendidikan Menengah Jilid 1, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010). Hal 18 12 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5 September 2016 13 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 5 September 2016
86
28 bahwa kecemasan ini bersumber dari adanya ketakutan terhadap ancaman atau bahaya-bahaya. Sedangkan pada informan 3 dan 4 mengalami jenis ansietas (kecemasan) moral, hal ini disampaikan langsung oleh informan “Y” dan informan “A” kepada peneliti sebagai berikut: Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG” “‟EG‟ pernah ilang dari siang sampe abis magrib baru ketemu tautaunya dikebon kak, orang rumah sampe nyari-nyariin kak. Suka ilangan gitu dia kan takutnya diculik ya kak, bahaya kan”.14 Informan “A” merupakan Ibu dari “AR” “saya pernah ga enak sama tetangga saya kak, anaknya pernah di pukul pake balok sama anak saya kak, sampe luka-luka. Saya takut banget waktu itu ntung orangtuanya memafkan karena memaklumi kondisi anak saya kak, ga sampe diperpanjang urusannya. Kan bahaya buat anak saya dan juga orang lain yang dilukai sama anak saya kalo seperti itu ya kak”.15 Ketakutan (kekhawatiran) dan juga kecemasan yang dialami oleh para informan yang juga bersumber dari adanya ketakutan terhadap bahaya yang mengancam. Ketakutan atau kekhawatiran yang dirasakan oleh orang tua anak tunagrahita dikarenakan bahaya-bahaya yang apabila muncul kepada anaknya. Seperti ketakutan yang dialami oleh informan 3 dan 4 bahwa kecemasan akan bahaya anaknya yang dapat menyakiti dan disakiti oleh orang lain karena kelalaian orang tua dalam pengawasan dan kelalaian anak atas kondisi keterbatasan yang dimilki anak sehingga menyebabkan perasaan bersalah oleh orang tua.
14
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 15 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
87
Hal ini sesuai merupakan jenis kecemasan moral yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman 29 bahwa Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan implus instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. c. Tingkat Ansietas (Kecemasan) Semua orang pasti mengalami kecemasan pada derajat tertentu, Peplau mengidentifikasi 4 tingkatan kecemasan yaitu: kecemasan ringan, kecemasan sedang, kecemasan berat dan panik.16 Berdasarkan hasil temuan lapangan peneliti terdapat beberapa informan yang merasakan atau mengalami ansietas (kecemasan) pada tingkat kecemasan sedang. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga individu mengalami perhatian yang selektif terhadap hal yang menurutnya penting, namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Sering merasa gelisah dan fokus pada apa yang menjadi perhatian.17 Tingkat kecemasan ini dialami oleh informan “R” dan Informan “H” dan disampaikan langsung sebagai berikut:
16
Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI, 2012), hal. 11-12. 17 Ni Komang Ratih, Hubungan Tingkat Kecemasan Terhadap Koping Siswa SMUN 16 Dalam Menghadapi Ujian Nasional, Skripsi Sarjana Keperawatan, (Depok: Perpustakaan UI, 2012), hal. 11-12.
88
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF” “tentu aja saya cemas akan masa depannya „RF‟ kak dan menjadi prioritas kita sekarang mah „RF‟ kak, alhamdulillah sekarang ayahnya udah pensiun jadi bisa bantu saya ngurusin „RF‟ nya”.18 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF” “‟DF‟ kan anak yang punya kekurangan ya kak, saya khawatir gimana masa depannya kalo udah dewasa kak, waktunya saya tuh semuanya buat „DF‟ kak, adiknya diasuh sama pengasuh yang ngurusin karna saya fokus ke kakaknya”.19 Sedangkan informan “Y” dan Informan “D” mengalami tingkat kecemasan yang sama. Hal ini berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dalam penelitian sebagai berikut: Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG” “yang saya cemaskan itu gimana sama „EG‟ kalo saya sama ayahnya udah ga ada kak, gimana sama masa depannya sedangkan „EG‟ aja belom bisa ngurus dirinya sendiri kak”.20 Informan “A” merupakan Ibu dari “AR” “iya kak saya memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus ngurusin „AR‟ aja, soalnya saya mikir dia kan perempuan gimana sama masa depannya. Saya suka mikirin sampe-sampe lupa makan dan pernah sampe skit-sakitan saya kak”.21 Berdasarkan data diatas dapat peneliti simpulkan bahwa Kecemasan sedang memungkinkan seseorang memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga orang tua mengalami perhatian yang selektif terhadap hal yang menurutnya penting dan anak mendapatkan perhatian lebih dari orangtuanya. 18
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5 September 2016 19 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 5 September 2016 20 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 21
89
Para orang tua anak tunagrahita yang mengalami tingkat kecemasan sedang ini, sering kali merasa gelisah atas masa depan anaknya karena kondisi keterbatasan yang dimilki oleh anak tunagrahita. Sehingga para orang tua memutuskan untuk fokus merawat anaknya dan memusatkan perhatian yang penuh terhadap anaknya yang mengalami kondisi berbeda dari anak normal lainnya. 2. Masalah Ekonomi Keluarga Anak Tunagrahita Biaya pemeliharaan anak luar biasa memang besar, menyangkut biaya hidup dan juga biaya pendidikannya bahkan jauh lebih besar yang dikeluarkan bagi anak normal. Masalah ekonomi merupakan kesulitan yang dialami oleh keluarga dengan taraf ekonomi yang rendah. Kebahagian tak bisa dibeli dengan uang karena uang bukanlah segalanya. Namun, tanpa adanya uang yang memadai dengan ekonomi yang cukup, kehidupan keluarga akan lebih sulit dalam banyak persoalan yang dihadapi. Salah satu contoh adalah beban yang dirasakan keluarga ketika memiliki anak tunagrahita berkaitan dengan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi fungsi ekonomi. Keluarga akan dihinggapi perasaan cemas tentang masa depan pembiayaan anak, terkait dengan kemunduran produktivitas kepala keluarga dan kekhawatiran bahwa anak tidak mampu berfungsi optimal secara ekonomis, dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya.22 Hoff, Laursen, & Tardif, mengemukakan bahwa ditemukan perbedaan pengasuhan anak di antara kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang berbeda.
22
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa, DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 36.
90
Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi rendah dan Orang tua yang memiliki sosial-ekonomi lebih tinggi. 23 Hal ini dialami oleh semua orang tua anak tunagrahita yang menjadi informan dalam penelitian ini dimana semua informan memilki sosial-ekonomi rendah. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ibu “R” sebagai berikut: Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”: “sejak mengalami gejala-gejala down syndrom saya dan ayahnya rutin melakukan pemeriksaan sebulan sekali. Tapi semenjak usia “RF” mau 4 tahun sampai sekarang udah gak pernah lagi kak, biaya check-up aja sebesar Rp.250.000 belum lagi kalau diresepin obat yang biayanya bisa-bisa kurang-lebih Rp.500.00 kak. Udah gitu sekarang usaha warung sembako dirumah aja kak soalnya kan Ayahnya udah pensiun dari kerjaan makanya udah ngerawat sendiri aja dirumah kak hehe”.24 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”: “wih iya kak, biaya yang keluar buat “DF” lebih besar dari adiknya, kayak biaya pemeriksaan rutin per-5 bulan sekali aja biayanya kedokter lumayan cukup besar kak. “DF” jadwalnya 5 bulan sekali check-up kak soalnya pernah ngalamin kecelakaan gegerotak, belom lagi biaya lesnya sama bu guru kalo pulang sekolah. Pusing kak belom lagi kebutuhan-kebutuhan keluarga lainnya, ayahnya kan kerjanya karyawan swasta hehe”.25 Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”: “iya kak “EG” mengkonsumsi obat herbal aja sama ikut terapi, terapi balon namanya kak. Sekarang udah jarang buat rutin ke dokter kaya dulu, soalnya biayanya lama kelamaan ga mencukupi kak. Palingan ke psikolog aja kak yang sering sekarang mah, itu juga disekolah aja hehe”.26
23
W.A. Gerungan, DR. Dipl. Psych. Psikologi Sosial, cet. XI. (Bandung: Eresco, 1988). H. 198. 24 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5 September 2016 25 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 5 September 2016 26 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016
91
Ibu “A” merupakan Ibu dari AR: “dulu iya kak waktu masih bayi sampe balita rutin check-up ke dokter, tapi sekarang udah ga pernah lagi kak. Ngurus dirumah aja. Paling kalo lagi ada rezeki beli obat herbal TNM namanya kak, beli dari dokter, lumayan mahal kak. Makanya pusing kak”.27 Untuk menangani kondisi yang dialami anak mereka, orang tua melakukan berbagai upaya untuk menangani klien, salah satunya yaitu check-up rutin sebulan sekali ke dokter untuk melakukan terapi dan mengkonsumsi obat, melibatkan banyak ahli, seperti ahli saraf anak, psikiater, fisioterpis, psikolog dan juga guru pendidikan luar biasa, untuk menilai perkembangan mental terutama kognitif anak dan semua itu dibutuhkan biaya atau pengeluaran yang tidak sedikit jumlahnya. Masalah kesulitan hidup dan stress yang terjadi pada keluarga khususnya orangtua muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi. Hal lain yang menjadi kesulitan dan juga masalah ekonomi dalam keluarga karena masalah kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus dapat menjadi sumber pengeluaran yang besar, karena kebutuhan medis, sosial dan pelayanan pendidikan khusus sehingga orang tua yaitu semua informan dalam penelitian ini merasa cemas akan pembiayaan masa depan anaknya. Hal tersebut merupakan masalah orang tua yang meilki sosial ekonomi rendahseperti yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman 32 bahwa orang tua akan mengusahakan agar anaknya meyesuaikan diri terhadap ekspektasi sosial, mencipatakan atmosfir rumah dimana orang tua memiliki otoritas yang jelas terhadap anakanak, dan komunikasi yang dilakukan kepada anak-anaknya bersifat searah.
27
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
92
3. Masalah Menarik Diri Kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menyembunyikan anaknya. Orang tua menganggap bahwa kondisi anaknya disebabkan karena kecelakaan atau hukuman dari Tuhan sehingga orang tua merasa tidak mampu, rendah diri, gagal dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut akan berdampak pada munculnya tugas maladaptif sebagai orang tua.28 Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan kepada peneliti sebagai berikut : Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ibu “R” yang merupakan ibu dari “RF” sebagai berikut: “perasaan malu sih ada ya kak, tapi ya saya sih sabar aja kak. Saya mah sayang banget sama „RF‟ ya walaupun „RF‟ memilki kekurangan kaya gitu ga jadi penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak. ”29 Ibu „H‟ merupakan Ibu dari “DF”: “ya jujur aja sih kalo diajak ke mall atau keluar deh pokoknya. Orangorang tuh pasti ngeliatinnya beda bikin saya jadi suka minder kak. Makanya saya mah jarang keluar rumah juga”30 Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG” sebagai berikut: “„EG‟ makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih harus dituntun. Buang air kecil sama besar masih saya yang nyuciin kak, kalo dibiarin dia yang nyuci ga bersih nyucinya dia. Makanya disekolah gini saya tungguin sampe pulang kalo ketoilet nanti saya temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas saya lagi ga nungguin eh 28
Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa, DEPDIKBUD, (Jakarta: 1984-1985), h. 28. 29 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 30 Agustus 2016 30 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 30 Agustus 2016
93
bu guru yang bersihin kan saya jadi malu banget kak. Makanya sejak saat itu saya ga pernah absen nungguin „EG‟ di sekolah.”31 Hal yang sama juga dirasakan oleh informan „A‟ bahwa anak tuna grahita tidak mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini disampaikan langsung oleh Ibu „A‟ merupakan Ibu”AR”: “ya namanya juga anak yang punya kekurangan pasti ada aja cobaannya kak, kalo omongan-omongan atau diomongin sih udah biasa kak, ya saya sih sabar aja ga usah diladenin, saya mending dirumah aja juga, jarang keluar juga saya kak lagian kerjaan juga banyak dirumah namanya juga ibu rumah tangga hehe”.32 Memilki buah hati tentunya merupakan dambaan bagi setiap orang yang telah membina keluarga. Keadaan akan menjadi berubah ketika anak yang dilahirkan, berbeda dengan anak lainnya, yakni anak yang memerlukan perhatian atau kebutuhan khusus, tentunya orang tua merasa kecewa karena memeilki anak yang tidak sesuai dengan harapan. Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti terhadap semua informan dalam penelitian ini bahwa orang tua membutuhkan kesabaran yang tinggi dalam menghadapi emosi anak tunagrahita, menurunnya produktivitas dalam keluarga, serta stigma sosial mengenai anak tunagrahita sehingga perasaan malu muncul ketika orang tua berhadapan dengan lingkungan sosial, dan cenderung kadang ada perasaan minder, menarik diri dari lingkungan sosial dan menyembunyikan anaknya dari lingkungan sosialnya. Hal tersebut dijelaskan dalam Bab II, halaman 33 bahwa kebanyakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita merasa malu dan tertekan dengan
31
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 32 Wawancara pribadi dengan Ibu „A‟ merupakan ibu dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
94
stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menarik diri dan menyembunyikan anaknya. Orang tua merasa tidak mampu, rendah diri gagal dan berperilaku menghindari atau menarik diri dari interaksi dengan lingkungan sekitarnya. 2. Kemandirian Anak Tuna Grahita Pada bab II halaman 43 dijelaskan bahwa kemandirian diajarkan pada anak tuna grahita sedang dengan tujuan agar anak dapat mengurus dirinya sendiri, tanpa minta bantuan orang lain. Hal ini berbeda dengan klien A dank lien B yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri dan bergantung pada orang lain sehingga dikatakan tidak mampu mandiri. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan olehsemua informan, kepada peneliti. Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”: “Untuk aktivitas sehari-harinya „RF‟ masih saya bantu kak, saya ga tegaan, kasihan kalau lihat „RF‟ kesusahan. Saya mah sayang banget sama „RF‟ ya walaupun „RF‟ memilki kekurangan kaya gitu ga jadi penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak.”33 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”: “„DF‟ mah konsentrasinya kurang banget, nulis aja harus dititik-titikin dulu baru deh bisa si „DF‟ mah. „DF‟ mah manja sih engga kak, makan aja dia udah ga disuapin kok tapi ya gitu pasti berantakan bececeran diamana-mana, mandi juga masih saya kontrol kak, kalo ga di kontrol suka ga bersih mandinya.”34
33
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari klien A, pada Tanggal 30 Agustus 2016 34 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari klien B, pada Tanggal 30 Agustus 2016
95
Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang peneliti lakukan. Peneliti melihat anak tuna grahita tidak mampu mandiri yaitu “DF” yang tidak memperhatikan guru yang sedang memberikan pelajaran. Ia menoleh ke sisi kiri membelakangi guru. Seperti yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 7. Potret kurangnya konsentrasi anak tuna grahita tidak mampu mandiri didalam kelas
Dengan kurangnya konsentrasi anak tuna grahita tidak mampu mandiri membuat anak sulit dalam hal proses belajar. Hal itu peneliti buktikan langsung dengan melihat langsung “DF” yang tidak bisa menulis dengan benar. “DF” baru bisa menulis jika dititik-titiki terlebih dahulu. Penulis juga sempat membantu “DF” dengan menitik-nitiki beberapa huruf untuk “DF” menulis.35 Belum tersedianya fasilitas yang menunjang daya tarik atau visual bagi anak tuna grahita tidak mampu mandiri membuat anak tidak bisa belajar dengan efektif dan menghambat perkembangan anak untuk maju dalam hal belajar.Ketergantungan anak terhadap orang lain atas aktivitas sehari-hari menggambarkan bahwa kemandirian tidak dimiliki oleh anak sehingga dikatakan tidak mampu mandiri. Hal ini juga dijelaskan oleh ibu dari “EG” sebagai berikut: 35
Catatan lapangan (observasi) pada tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
96
“„EG‟ makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih harus dituntun.”36 Hal yang sama juga dirasakan oleh informan „A‟ bahwa anak tuna grahita tidak mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal ini disampaikan langsung oleh Ibu „A‟ merupakan Ibu “AR”: “„AR‟ orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya masih harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Suka merengut aja kalo ga rapih gitu. Nah kalo dating bulan emang saya juga yang nyuciin kak, dia ga mau “geli” katanya lagian juga ga bersih dia mah kalo nyuci sendiri”.37 Dari apa yang diungkapkan diatas membuktikan bahwa anak tuna grahita tidak mampu mandiri sangat bergantung pada orang yang mengurusnya seperti keluarga maupun orang tuanya. Untuk memandirikan anak tuna grahita, anak harus diberiokan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar anak dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak bergantung pada orang lain. Kemandirian
merupakan
tujuan
utama
bidang pendidikan
untuk
mendewasakan anak didik. Anak tuna grahita sedang dengan kemampuan terbatas pada menolong diri sendiri, pekerjaan sederhana, serta keterampilan. Hal ini berdasarkan Bab II yang dijelaskan pada halaman 43 bahwa kemandirian adalah kebebasan dari ketergantungan pada orang lain dan kebebasan dalam ketergantungan nasib atau kontrol dari orang lain. Tujuan utama dari peningkatan kemandirian adalah anak dapat memenuhi tuntutan hidup,
bertanggung
jawab
pada
tugas
hariannya,
dan
mengurangi
ketergantungan pada orang sekitarnya. 36
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 37 Wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung AR, pada Tanggal 5 September 2016
97
3. Keluarga a. Fungsi Keluarga Fungsi keluarga didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarga. Fungsi keluarga menjadi suatu perhatian ketika kita akan memberikan intervensi terhadap keluarga anak tuna grahita. Dalam bab II pada halaman 52 menjelaskan bagaiman fungsi sebuah keluarga terhadap anggota keluarga. Seperti fungsi ekonomi atau unit produksi dan fungsi pelindung atau proteksi. Dimana fungsi ekonomi atau unit produksi berjalan pada keluarga informan 1 dan informan 2. Hal ini disampaikan langsung oleh Ibu “R” dan Ibu “H” kepada peneliti sebagi berikut: Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”: “kita sebagai orang tua mencoba untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anak semampunya ya kak, ayahnya yang udah pensiun dan cuma usaha warung sembako berusaha keras buat memenuhi kebutuhan keluarga, kalau ga memenuhi ya kita bisa apa, pusing kak”.38 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”: “iya kak kalau ada rezeki lebih pengennya sih “DF” ikut terapi, les-les yang dibutuhkan “DF” supaya bisa mandiri seenggaknya kak, biar saya ga khawatir dan pusing juga kak”.39 Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti terhadap informan 1 dn 2 bahwa orang tua berkeinginan untuk dapat memenuhi segala kebutuhan anak dan keluarga. Dengan kondisi sosial-ekonomi yang dialami oleh kedua informan tersebut, orang tua hanya dapat berusaha semampunya dengan mengandalkan penghasilan atau pendpatan kepala keluarga yang dirasa 38
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 5 September 2016 39 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 5 September 2016
98
masih kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dikarenakan pengeluaran keluarga lebih besar dibandingkan pendapatan keluarga. Hal tersebut sesuai penjelasan fungsi ekonomi atau unit produksi keluarga pada Bab II, halaman 52 bahwa fungsi ekonomi keluarga adalah memenuhi kebutuhan anggota keluarga itu sendiri. Sedangkan informan 3 dan 4 mengalami fungsi pelindung atau proteksi yang diberikan oleh orang tua kepada anak. Hal ini disampaikan langsung oleh kedua informan dalam kutipan wawancara sebagai berikut: Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”: “iya kak kaya waktu “EG” sempet ilang, saya lagi sibuk didapur dan kebetulan ga ada orang dirumah, seharusnya saya ga begitu sibuk didapur juga bikin-bikin kue sampe “EG” ga ada temennya, harusnya saya ngelindungin dan ngejagain “EG”, saya ketakutan banget waktu itu, nyesel kak, takut terjadi apa-apa sama „EG‟”.40 Informan “A” merupakan Ibu dari “AR”: “waktu kejadian “AR” menyakiti temannya saya marah banget rasanya sampe mau main tangan tapi saya tahan kak, saya harusnya ngelindungin jangan sampe dimarahin lagi, kasihan stress juga tapi ngadepiinya”.41 Berdasarkan kutipan wawancara diatas bahwa fungsi pelindung yang diberikan keluarga terhadap anaknya jelas terlihat dari orang tua mencari anaknya yang hilang dengan merasa takut dan khawatir akan bahaya yang menimpa anak tunagrahita. Pelindungan dan juga sikap yang mendidik juga diterapkan oleh informan kepada anaknya padahal anaknya melakukan kesalahan, hal ini seperti yang dijelaskan pada Bab II halaman 52 yaitu bahwa fungsi pelindung memang harus diberikan oleh orang tua dengan anak 40
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 41 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “A” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
99
tunagrahita mengingat kondisi yang diderita oleh anak tunagrahita. Keluarga disebut sebagai sebuah sistem dikarenakan beberapa alasan yaitu pertama, keluarga memiliki subsistem seperti anggota, peran, fungsi, aturan, budaya, dan lainnya yang dapat dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga. Kedua,
dalam
sebuah
keluarga
terdapat
saling
berhubungan
dan
ketergantungan antara subsistem. b. Bentuk Dan Pelayanan Pengasuhan Keluarga Pada Anak Tuna Grahita Keluarga adalah aspek pentig bagi anggota keluarga lainnya. Karena keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia. Pengasuhan orang tua terhadap anak juga sangat menentukan perkembangan anak. Menurut ahli Psikologis Diana Baumrind ada tiga pola asuh orang tua kepada anak-anaknya dalam penanaman nilai dan penanganan konflik dalam keluarga: 42 1) Gaya pengasuhan yang bersifat otoratif 2) Gaya pengasuhan yang bersifat otoriter, dan 3) Gaya pengasuhan yang bersifat permisif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh semua informan yang peneliti teliti di SLBN 02 Pagi yaitu selaku orang tua dari anak tuna grahita tidak mampu mandiri.
42
Srilestari, psikologi: Penanaman nilai dan penanganan konflik keluarga.(Jakarta:PT. Kencana 2012). BAB II h. 25.
100
Informan “R” merupakan Ibu dari “RF”: “Untuk aktivitas sehari-harinya „RF‟ masih saya bantu kak, saya ga tegaan, kasihan kalau lihat „RF‟ kesusahan. Saya mah sayang banget sama „RF‟. Iya walaupun „RF‟ memilki kekurangan kaya gitu ga jadi penghalang saya buat sayang banget sama „RF‟ kak.”43 Informan “H” merupakan Ibu dari “DF”: “Oh iya kalo aktivitas sehari-harinya masih saya bantu kak, semuanya mamahnya yang ngelakuin karna kan „DF‟ full sama saya. Makan juga saya yang suapin kalo dia sendiri mah suka berantakan. „DF‟ mah ga bisa konsentrasi orangnya karena motorik halus nya kurang kak, nulis juga mesti dititikin.”44 Informan “Y” merupakan Ibu dari “EG”: “Mandi, makan, belajar, nulis, baca yang kaya gitu-gitu masih harus saya bantu kak. Anaknya suka kerapihan dia rapih anaknya mah makanya kalo ga rapih dia suka rewel. Minta dibantuin ini itu. Kaya ke toilet masih saya yang ngurusin belom bener-bener bisa sendiri. Kalo saya biarin dia sendiri ga bersih kak.”45 Informan “K” merupakan Ibu dari “AR”: “Males dia mah anaknya, sampe menstruasi saya yang nyuciin kak. Apa-apa juga masih saya semua yang ngurusin kaya mandi harus saya kontrol kalo ga pasti ga bersih masih ada sabunnyalah kaya-kaya gitu kak.”46
Dari pernyataan-pernyataan diatas tergambar bahwa pola pengasuhan yang diberikan oleh para orang tua dari anak tunagrahita tidak mampu mandiri sama-sama menggunakan gaya pengasuhan yang bersifat permisif (biasanya 43
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “R” merupakan ibu kandung dari RF, pada Tanggal 30 Agustus 2016 44 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 30 Agustus 2016 45 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari EG, pada Tanggal 5 September 2016 46 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “Y” merupakan ibu kandung dari AR, pada Tanggal 5 September 2016
101
dilakukan oleh orang tua yang begitu baik dan sangat sayang kepada anaknya). Dengan demikian orang tua yang menyediakan dirinya sebagai sumber daya bagi
pemenuhan
segala
kebutuhan
anak
menyebabkan
menghambat
perkembangan dan menjadikan anak ketergantungan pada orang lain. Sehingga anak menjadi tidak mampu untuk mandiri atau tidak mandiri. Hal ini dijelaskan pada Bab II, halaman 52 bahwa gaya pengasuhan yang bersifat permisif (biasanya dilakukan oleh orang tua yang begitu baik), cenderung memberi banyak kebebasan pada anak-anak dengan menerima dan memaklumi segala perilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak. orang tua yang demikian akan menyediakan dirinya sebagai sumber daya bagi pemenuhan segala kebutuhan anak, membiarkan anak untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak terlalu mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan eksternalnya. B. PERAN SLBN 02 DALAM MENGATASI ANAK TUNAGRAHITA 1. Pendidikan anak tunagrahita Ada beberapa model pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita diantara adalah sekolah khusus (sekolah luar biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1). Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. Upaya yang dilakukan oleh SLBN 02 dalam mengatasi perkembangan anak tunagrahita melalui pelayanan pendidikan dengan Kegiatan belajar-mengajar sepanjang hari penuh dikelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tuna grahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1. Hal ini seperti
102
pengamatan langsung yang dilakukan oleh peneliti dengan melihat langsung kegiatan atau proses belajar dalam satu kelas dengan pembimbing/ pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama kemampuannya (tunagrahita) yang terdiri dari 8 siswa/i di SLBN 2 Pagi Jakarta Selatan. Seperti yang terlihat pada gambar berikut. Gambar 9. Potret Proses Belajar Dikelas Sekolah Luar Biasa (SLB)
Sumber: Observasi. 30 Agustus 2016. (Dokumentasi Peneliti)
Dari gambar tersebut terlihat bahwa anak tunagrahita sedang belajar bersama-sama di bawah atau tidak dibangkunya masing-masing dengan membentuk lingkaran dan kemudian mereka duduk sesuai keinginan mereka. SLBN 02 juga memberikan pembelajaran bina diri pada anak tunagrahita. Bina diri merupakan keterampilan awal yang diajarkan kepada kehidupan anak sedini mungkin sebagai usaha awal memandirikan anak. Istilah bina diri lebih luas dari istilah mengurus diri, menolong diri, dan merawat diri, karena kemampuan bina diri akan mengantarkan anak berkebutuhan khusus tunagrahita dapat menyesuaikan diri dan mencapai kemandirian.47 Beberapa kegiatan rutin harian (ADL) yang perlu diajarkan meliputi
47
Artikel diakses Pada Tanggal 10 Juni 2016 dari https://digilid.uns.ac.id BAB II h.29.
103
kegiatan atau keterampilan mandi, makan, menggosok gigi, kekamar kecil (toilet), kegiatan bermobilisasi (mobilitas), berpakaian, dan merias diri (grooming). Hal ini sesuai dengan teori hakikat bina diri pada anak tuna grahita yaitu pada bab II halaman 56, serta diungkapkan juga oleh guru pembimbing anak tunagrahita SLBN 02 Pagi kepada peneliti: “Sebagian anak tunagrahita yang sudah mampu untuk mandiri bisa mengurus dirinya sendiri karena orang tua mereka menerapkan pola pengasuhan yang tidak memanjakan anak. Sedangkan salah satu faktor penghambat anak tunagrahita tidak mampu mandiri diantaranya adalah orang tua terlalu memanjakan anaknya maksudnya tidak dibiasakan untuk melakukan sendiri agar terbiasa. Ada contoh kasus, ada beberapa para orang tua anak tuna grahita sedang C1 yang tidak mampu mandiri selalu didampingi oleh orangtua nya dari mulai masuk sekolah sampai pulang sekolah dikarenakan anak yang tidak mampu mandiri tidak bisa mengurus dirinya sendiri seperti ke kamar kecil (toilet) untuk buang air kecil dan besar masih dibantu oleh orang tua nya untuk mengurusnya. Dan pada jam istirahat yaitu jam 09.00 WIB para orang tua tunagrahita sedang yang tidak mampu mandiri melakukan aktivitas rutin yaitu menyuapi anaknya.”48 Hal ini juga diungkapkan oleh Ibu “H” kepada peneliti pada saat proses wawancara. Ibu “H” merupakan ibu dari DF: “oh iya kalo aktivitas sehari-harinya masih saya bantu kak, saya suka ragu jadi apa-apa masih saya control kak, kaya mandi „DF‟ mandi sendiri udah bisa tapi saya ragu dan saya control terus. Makan juga saya suapin. „DF‟ mah ga bisa konsentrasi orangnya karena motorik halus nya kurang kak.”49
Guru Pembimbing: “„DF‟ adalah salah satu anak tuna grahita sedang C1 yang tidak mampu mandiri hal ini diperjelas dengan ketergantungan anak terhadap orang lain. Didalam kelas juga dalam hal memahami pelajaran „DF‟ terbilang kurang dari teman-teman sekelasnya yang juga tuna grahita sedang. Dalam hal menulis juga „DF‟ harus dititik48
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Endang selaku guru pembimbing khusus tuna grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016 49 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu “H” merupakan ibu kandung dari DF, pada Tanggal 30 Agustus 2016
104
titiki terlebih dahulu.”50
Hal ini peneliti buktikan dengan melihat langsung dan peneliti juga sempat membantu “DF” menitik-nitiki bukunya agar “DF” dapat menulis dengan tuntunan tersebut.51 Dalam pendekatan bina diri pada anak tuna grahita diperlukan: baseline, kriteria, dan reinforcement. Baseline adalah kemampuan yang dimilki anak sebelum mendapatkan perlakuan dari latihan bina diri. Kemampuan ini untuk melihat ada atau tidaknya perubahan setelah mendapatkan perlakuan. Untuk mengetahui kemampuan ini anak perlu dilakukan assessment terlebeih dahulu. Sesuai teori bina diri pada anak tuna grahita dan pada pendekatan yanmg dapat diberikan kepada anak tuna grahita pada bab II mengenai vocastional terapy (terapi keterampilan). Vocastional terapy yang ada di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ini diantaranya adalah keterampilan tataboga, keterampilan menyulam, membatik, kriya, sablon, perbengkelan, percetakan, pengembangan diri dibidang olahraga, seni music, IT dan automotif. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Indrawati Saptari Ningsih selaku Wakil Kepala Sekolah kepada peneliti dalam wawancara: “Sistem pembagian kelas sesuai dengan katagori atau ketunaan dan juga kemampuan masing-masing anak. Begitu juga dengan terapi bekerja (vacastional terapy), untuk keterampilan bekerja terlebih dahulu pihak sekolah melakukan assessment kepada anak untuk mengetahui keterampilan apa yang sesuai dengan bakat atau minat anak tuna grahita. Keterampilan bagi anak tuna grahita tidak mampu mandiri adalah keterampilan Griya. “ 52
50
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Endang selaku guru pembimbing khusus tuna grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016 51 Catatan lapangan (observasi), Jakarta 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1. 52 Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Indrawati selaku wakil kepala sekolah pada Tanggal 8 Agustus 2016
105
Dengan demikian program seperti ini akan sangat membantu anak tuna grahita dalam mengembangkan bakat dan minatnya agar bisa menjadi mandiri, bekerja nantinya serta dapat hidup bersosialisasi ke dalam masyarakat. Pendekatan atau pelatihan seperti ini dirasa peneliti sangat bermanfaat bagi anak tuna grahita dengan teori pendekatan atau pelatihan. Hal ini juga disampaikan oleh Ibu Dewi selaku Guru Pembimbing Khusus anak tuna grahita: “Dalam hal metode apa dan persiapan sebelum proses belajar tentu akan berbeda pada anak tuna grahita mandiri dan tidak mampu mandiri. Metode atau persiapan tersebut diantaranya kita hanya perlu melakukan metode modeling, menuntun atau mendorong (promting), mengurangi tuntunan (fading), dan pentahapan (shaping). Metode yang digunakan bagi anak tuna grahita mandiri adalah metode diskusi. Sedangkan Pada anak tuna grahita tidak mampu mandiri memerlukan persiapan khusus yaitu harus menyiapkan bentuk visual atau gambar dan penyampaian pemahaman harus dituntun.”53
Pada bab II halaman 56 dijelaskan beberapa teknik yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu tingkah laku atau keterampilan yang baru kepada seorang siswa tuna grahita: a. Memperhatikan model (modelling), yaitu menunjukkan kepada siswa apa yang harus dikerjakan. Misalnya, dalam melatih mencuci tangan, anak tuna grahita sedang memperhatikan contoh mencuci tangan yang benar yang dilakukan oleh guru sebagai model, anak tuna grahita sedang berusaha untuk mengamati dan mengingat apa yang telah dilakukan guru, dan dari hasil pengamatannya diharapkan anak tuna grahita sedang dapat atau mampu mencuci tangan dengan benar sesuai dengan contoh yang diperagakan model.
53
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Dewi selaku Guru Pembimbing Khusus Tuna grahita pada Tanggal 30 Agustus 2016
106
b. Menuntun atau mendorong (promting) ialah melakukan atau membantu siswa untuk mengerti apa yang harus dilakukan sebagai contoh jika anak tuna grahita sedang dalam mencuci tangan mengalami kesulitan dalam memegang gayung untuk mengambil air atau membuka kran air hendaknya guru membantu memegang tangan anak untuk memegang gayung dan segera mengambil air atau bila mencuci tangan melalui kran air, maka guru memegang tangan anak untuk membuka kran air. Jika anak tuna grahita sedang belum bisa melakukan sendiri, promting masih tetap diberikan secara terus menerus. “Hal ini peneliti membuktikan langsung dengan melihat langsung kegiatan atau proses belajar dikelas bahwa Ibu Guru sedang menuntun anak-anak tuna grahita tidak mampu mandiri dalam membaca surah Ad-Duha dalam pelajaran Agama Islam dikelas.”54
c. Mengurangi tuntunan (fading), ialah mengurangi tuntunan secara bertahap sejalan dengan keberhasilan siswa. Jika anak tuna grahita sedang sudah mulai mampu memegang gayung atau membuka kran air untuk mencuci tangan, maka tuntunan sedikit demi sedikit harus diberhentikan dan selanjutnya perlu bimbingan secara verbal atau lisan dengan mengucapkan “Ayo, terus dilakukan” atau “Ayo pegang gayung atau buka kran air dengan benar”. d. Pentahapan (shaping) ialah membagi satu kegiatan dalam beberapa pentahapan dimulai dari yang mudah ke yang sulit. Pada bab II halaman 21 yaitu stimulus merupakan faktor yang penting dalam menunjang perkembangan anak. Anak yang mendapatkan stimulasi
54
Catatan lapangan (observasi) pada Tanggal 30 Agustus 2016, lihat lampiran 1.
107
yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang/tidak mendapat stimulasi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Dewi selaku salah satu guru kelas atau pembimbing khusus anak tuna grahita kepada peneliti: “Potensi yang dimiliki oleh anak tun grahita tidak mampu mandiri biasanya melalui pendidikan olahraga adaptif, keterampilan kriya dan segala sesuatu yang menuntut imajinasi seperti bentuk visual sebagai daya tarik untuk menunjang perkembangan anak dan fasilitas seperti itu masih kurang di sekolah ini dalam hal guna memenuhi kebutuhan tersebut”.55 Hal tersebut diperkuat dengan pengamatan langsung yang dilakukan peneliti, peneliti melihat anak tuna grahita tidak mampu mandiri sedang bermain sepak bola di lapangan sekolah.
Gambar 6. Potret pendidikan olahraga adaptif disekolah
Sumber: Observasi, 8 Agustus 2016 (Dokumentasi Peneliti)
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara bahwa anak tunagrahita tidak mampu mandiri hanya bisa melakukan hal yang aktivitasnya dituntun
55
Hasil wawancara pribadi dengan Ibu Dewi selaku salah satu guru kelas atau pembimbing khusus anak tunagrahita pada tanggal 30 Agustus 2016.
108
oleh guru dan memerlukan segala sesuatu yang menunjang daya tarik. Pada anak tunagrahita tidak mampu mandiri biasanya hanya mengikuti keterampilan kriya dikarenakan terdapat kelemahan pada motorik halus si anak. Stimulus adalah faktor penunjang perkembangan anak. Anak yang mendapat stimulus atau rangsangan yang terarah dan teratur akan lebih cepat mempelajari sesuatu karena lebih cepat berkembang pola-pola berfikir, merasakan sesuatu, dan bertingkah laku, bila banyak diberi rangsangan berupa dorongan dan kesempatan dari lingkungan sekitarnya. Berdasarkan hasil wawancara dan hasil pengamatan peneliti bahwa anak tunagrahita tidak mampu mandiri hanya mampu melakukan aktivitas yang sifatnya membutuhkan pendampingan dari guru, dan hal tersebut merupakan salah satu karakteristik dari anak tunagrahita yang sudah dijelaskan pada Bab II, halaman 34 bahwa karakteristik anak tunagrahita adalah mereka yang masih membutuhkan pengawasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
109
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang permasalahan psikososial keluarga dengan anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan ditemukan beberapa pemasalahan psikososial yang dialami keluarga diantaranya: 1. Masalah psikososial anesitas yaitu dua dari empat informan dalam penelitian ini yaitu informan satu dan informan dua mengalami ansietas dengan jenis ansietas (kecemasan) realistis atau obyektif dan dua informan lainnya yaitu informan tiga dan informan empat mengalami ansietas (kecemasan) moral dan tingkat ansietas pada tingkatan sedang, hal tersebut dikarenakan Kecemasan sedang yang dialami oleh semua orang tua anak tunagrahita yang menjadi informan memusatkan perhatiannya pada anak tunagrahita sehingga anak tunagrahita mendapat perhatian yang selektif atau lebih,hal itu dikarenakan orang tua merasa gelisah dan khawatir terhadap kondisi dan masa depan anaknya. P 2. ermasalahan ekonomi, Masalah kesulitan hidup dan stress yang terjadi pada keluarga khususnya orangtua anak tunagrahita dialami oleh semua informan dalam penelitian ini bahwa permasalahan muncul dikarenakan adanya tuntutan ekonomi. Hal yang menjadi masalah ekonomi dalam keluarga adalah masalah kebutuhan anak tunagrahita yang berbeda dengan anak normal pada umumnya dapat menjadi sumber pengeluaran yang besar, karena kebutuhan medis, sosial dan pelayanan pendidikan khusus.
110
3. Permasalahan menarik diri yang dialami oleh semua orang tua yang menjadi informan disebabkan oleh harga diri rendah yaitu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, mersa gagal mencapai keinginan, yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial, percaya diri kurang sehingga orang tua menarik diri dan menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang lain, orang tua merasa malu dan tertekan dengan stigma dari lingkungannya sehingga mereka cenderung menarik diri menyembunyikan anaknya. Permasalahan psikososial yang dialami oleh semua informan tersebut menyebabkan tidak berjalannya fungsi keluarga dimana fungsi ekonomi yang diberikan oleh dua dari empat informan yaitu informan satu dan dua yaitu orang tua tidak bisa memenuhi kebutuhan anak tunagrahita dalam hal kesehatan seperti check-up yang harus dilakukan dan juga biaya terapi dan pendidikan privat yang sangat dibutuhkan oleh anak, dan juga tidak berjalannya fungsi pelindung seperti pengawasan dan pelindungan orang tua yang kurang maksimal bagi anak tunagrahita menyebabkan munculnya bahaya-bahaya terhadap anak. Pola atau gaya pengasuhan yang diberikan oleh para orang tua anak tunagrahita tidak mampu mandiri ialah dengan gaya pengasuhan yang bersifat permisif, dimana gaya pengasuhan tersebut membuat orang tua memanjakan anaknya dengan menyediakan dirinya sebagai sumber daya bagi pemenuhan segala kebutuhan anaknya dan tidak mendorong anak untuk melakukan sendiri atau mencapai kemandiriannya. Karena perasaan
111
simpati dan kasih sayang yang berlebih terhadap anak tuna grahita tidak mampu mandiri. Kurangnya kesadaran dan pengamanan orang tua anak tuna grahita tidak mampu mandiri pada masa natal dan post-natal menyebabkan anak tuna grahita tersebut menjadi berbeda dengan anak normal pada umumnya. Faktor
psikososial
stimulus
adalah
faktor
yang
menunjang
perkembangan anak. Anak tuna grahita tidak mampu mandiri di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan tidak mendapatkan stimulus yang terarah dan terartur dikarenakan kurangnya pemahaman orang tua dalam pengetahuan pengasuhan anak tunagrahita dan kurangnya fasilitas yang memadai untuk menunjang stimulasi perkembangan anak tunagarhita tidak mampu mandiri SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan. Peran SLBN 02 Pagi pada anak tunagrahita tidak mampu mandiri melalui program bina diri yang dilaksanakan oleh sekolah, bahwa penerapan dari program bina diri yang berikan oleh sekolah kepada anak tuna grahita tidak mampu mandiri dirasa kurang maksimal yaitu pada proses waktu yang diterima oleh anak tunagrahita dalam program bina diri dirasa kurang lebih lama terlebih melihat kondisi daripada anak tungrahita yang tidak mampu mandiri sehingga tidak mengantarkan anak tuna grahita tidak mampu mandiri dapat menyesuaikan diri dan mencapai kemandirian.
112
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan fakta yang penulis peroleh, maka penulis dapat memberikan saran-saran yang relevan bagi semua pihak yaitu kepada orang tua yang memilki anak tunagrahita dan khususnya di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan, yaitu sebagai berikut: 1. Keluarga dengan anak tunagrahita tidak mampu mandiri lebih baik melakukan konsultasi pada ahli seperti dokter, psikolog, pekerja soisal, dan sebaginya sesuai dengan kebutuhan anak dan juga untuk kebutuhan psikososial keluarga itu sendiri. 2. Orang tau harus bisa lebih mengutamakan pelayanan dan menanamkan bimbingan anak tunagrahita dari usia dini, melalui bimbingan pendidikan, sosial, dan agama karena orang tua merupakan model bagi anak. Saat usia dini, anak akan mudah menyerap apa yang ditanamkan oleh orang tua. Dengan pelayanan dan bimbingan yang diberikan oleh orang tua terhadap anak tunagrahita akan sangat berpengaruh pada konsep diri yang dimiliki oleh anak menjadi lebih baik. 3. Orang tua anak tunagrahita sedang yang tidak mampu mandiri harus memberikan stimulasi yang baik kepada anak dan menerapkan pola pengasuhan yang baik seperti pola pengasuhan demokratis mendorong anak untuk mandiri namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal memberi dan menerima dimungkinkan, dan orang tua bersikap hangat dan penyayang terhadap anak. Orang tua yang demokratis menunjukkan kesenangan dan dukungan sebagai respons
113
terhadap perilaku konstruktif anak. Mereka juga mengharapkan perilaku anak yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya. 4. Berkaitan dengan proses dari program bina diri anak tunagrahita di SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan bahwa menjalankan program bina diri secara maksimal kepada anak tunagrahita tidak mampu mandiri agar anak tunagrahita tidak mandiri mencapai kemandirianya dan melengkapi mutu pelayanan dalam segi fasilitas yang dirasa kurang bagi anak tunagrahita tidak mampu mandiri. 5. Berkaitan dengan minimnya pengetahuan orang tua terhadap pengetahuan pola pengasuhan terhadap anak tunagrahita akan lebih baik jika SLBN 02 Pagi mengadakan pertemuan rutin orangtua atau membuka diskusi berbagi pengetahuan dan juga pengalaman tentang pola pengasuhan anak tuna grahita satu bulan sekali misalkan di setiap sekolah luar biasa khususnya SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan serta perlu adanya Standar Opersional Program (SOP) mengenai perekrutan pekerja sosial dalam menangani anak berkebutuhan khusus tunagrahita.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Agustyawati Dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: LembagaPenelitian UIN Jakarta, 2009. Al-Qur’an Dan Terjemahan. Jakarta: CV.Naladana, 2005. Ancok, Djamaludin. Pengembangan Dan Perluasan Kesempatan Kerja Dalam RangkaPeningkatanKualitasHidupPenyandangCacat.Jakarta:DepartemenS osial RI, 1991. Astati Dan Mulyati. Pendidikan Dan PembinaanKarierPenyandangTunagrahita Dewasa: Depdikbud, DirektoratJenderalPendidikan Tinggi, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik. Jakarta: 2010. Aziz, Safrudin, M.Pd.I, Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Gava Media, Klitren Lor GK III/15, 2015. Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2007. DEPDIKBUD, Proyek Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Petunjuk Penyelenggaraan Sekolah Luar Biasa. Jakarta: 1984-1985. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004. Fahrudin, Adi. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Bandung: PT RefikaAditama, 2012. Hermawati, Istiana.Metode Dan PraktekDalamPraktikPekerjaanSosial. Jogjakarta: AdiCiptaKarya Nusa, 2001. Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1997. M. Djunaidi Ghony Dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Ismail, Asep Usman. Al-Quran Dan KesejahteraanSosial, SebuahRintisan Membangun Paradigma Sosial Islam Yang Berkeadilan Dan Berkesejahteraan. Tanggerang: LenteraHati, 2012. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Roscakarya, 2006.
Roberts, Albert R dan Gilbert, Greene J. Buku Pintar Pekerja Sosial. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009. Rukhyat, Adang. Panduan Penelitian Bagi Remaja. Jakarta: Dinas Olahraga Dan Pemuda, 2003. Sarlito W. Sarwono Dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, 2009. SitiNapsiyahAriefuzzaman Dan LismaDiawatiFuaida, BelajarTeoriPekerjaan Sosial. Ciputat: LembagaPenelitian UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2011. Soetjiningsih, Tumbuh Kemabng Anak. Surabaya: Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Universitas Airlangga, 1998. Srilestari, Psikologi: PenanamanNilai Dan PenangananKonflikKeluarga. Jakarta: PT. Kencana 2012. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabet, 2010. Sutjihati T. Misi PsikologiAnakLuarBiasa. Bandung: PT.RefikaAditama, 2006. JURNAL Djadja Rahardja. “Pendidikan Luar Biasa Dalam Perspektif Dewasa Ini” The Journal of Jassi Anakux. Pdf Ni wayan lisnayanti, dkk. “Hubungan Tingkat Harga Diri (Self-Esteem) Dengan Tingkat Ansietas Orangtua Dalam Merawat Anak Tunagrahita Di Sdlb C Negeri Denpasar,” Jurnal penelitian Keperawatan Research. INTERNET Agus, Dona. “Hak-Yang-Dimilki-Anak-Berkebutuhan.ArtikelDiaksesTanggal 9 Juni2016 Dari Http://Donaagussetiawan.Blogspot.Com/2011/09/HakYang- Dimilki-Anak-Berkebutuhan-Anak-Tunagrahita.Html DiaksesPada10Juni2016dari Http://Www.Academia.Edu/18858779/Pengaruh_Terapi_Kelompok “PopulasiPenyandangTunagrahita Di Indonesia MenurutDirekturPendidikan Khusus Dan LayananKhususKementrianPendidikan Dan Bkebudayaan (Kemdikbud),” ArtikelDiaksesPada 27 Juni 2016 Dari Www.Scholae.Com Terapi
Psikososial, ArtikelDiakses Pada 9 Juni Www.Sribd.Com/Doc/267922422/Terapi-Psikososial
2016
Dari
SKRIPSI Satuti. Widianti Retno, “Peranan Keluarga Dan Sekolah Luar Biasa Dalam Usaha Kemampuan Mandiri Bagi Anak Tuna Grahita.”(Skripsi S1 Jurusan KesejahteraanSosialFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Tahun 1993).
LAMPIRAN
Pedoman wawancara Hari/tanggal
:
Waktu
:
Lokasi
:
I.
Identitas informan Nama : Jenis kelamin : Usia : Alamat : Informan 1 : Wakil kepala sekolah
II.
Transkip wawancara 1. Bagaimana Latar Belakang terbentuknya SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? 2. Bagaimana proses perkembangan SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? 3. Bagaimana Visi dan Misi dari SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? 4. Apa sajakah yang menjadi persyaratan bagi calon anak didik untuk masuk ke SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? 5. Bagaimana latar belakang tenaga pengajar di SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? 6. Bagaimana sistem pembagian kelas yang digunakan di SLB N egeri 2 Pagi Jakarta? 7. Bagaimana kerjasama antara SLB Negeri 2 Pagi Jakarta kepada lembaga lain, dalam hal tentang minat dan bakat anak tuna greahita? 8. Pembekalan keterampilan apa sajakah yang diberikan sekolah kepada anak tunagrahita mandiri/tidak mampu mandiri?
Pedoman wawancara Hari/tanggal
:
Waktu
:
Lokasi
:
I.
Identitas informan Nama : Jenis kelamin : Usia : Alamat : Informan 2 : Orang Tua
II.
Transkip wawancara 1. Bagaimana kehidupan putra/putri Ibu apabila dirumah? 2. Bagaimana kemandirian putra/putri ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari dirumah? 3. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama dengan putra/putri Ibu? 4. Jika putra/putri Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu menyikapinya dan bagaimana dengan kondisi emosional anak bu? 5. Bagaimana kondisi emosional putra/putri Ibu apabila dirumah? 6. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan tersendiri bagi anak tuna grahita bila dirumah? 7. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki oleh putra/putri Ibu? 8. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai anak tuna grahita pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan seberapa seringkah? 9. Apakah masalah ekonomi keluarga menjadi suatu perdebatan didalam keluarga dengan memilki anak tunagrahita bu?
Pedoman wawancara Hari/tanggal
:
Waktu
:
Lokasi
: I. Identitas informan Nama : Jenis kelamin : Usia : Alamat : Informan 3 : Guru II.
Transkip wawancara 1. Kalau boleh tahu, apakah ada persyaratan tertentu atau latar belakang guru dari lulusan PLB untuk mengajar siswa Tuna grahita? 2. Berapa jumlah anak tuna grahita yang mandiri/tidak mampu mandiri di SLBN 02 Pagi Jakarta? 3. Bagaimana metode atau persiapkanBapak/Ibu guru sebelum proses belajarmengajar di sekolah bagi anak tuna grahita, apakah ada perbedaan persiapan untuk anak tuna grahita mandiri/tidak mampu mandiri? 4. Bagaimana kenaikan kelas pada anak tuna grahita di SLBN 02 Pagi Jakarta? 5. Bagaimana faktor-faktor yang mendukung ataupun menghambat anak tuna grahita untuk mengembangkan minat dan bakatnya di SLB Negeri 02 Pagi Jakarta? 6. Bagaimana solusi yang tepat menangani permasalahan yang dialami anak tuna grahita mengenai masalah mencerna pelajaran, intelektual, gangguan bicara, kesulitan menulis dan bagaimana menumbuhkan potensi yang dimiliki anak tuna grahita?
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Senin, 8 Agustus 2016
Waktu
: 14.30 WIB
Lokasi
: Di SLBN 2 Pagi
Identitas informan Nama Jenis kelamin Usia Alamat
: Indrawati Saptari Ningsih : Perempuan : 42 Tahun : Komplek Departemen Agama. Jln. Sunan Murya 1 Blok F No.2A Rt 10/15 Fabuaran Bojong Gede Bogor Jawa Barat.
Informan : Wakil kepala sekolah Pertanyaan: 1. (Peneliti) Bagaimana Latar Belakang terbentuknya SLB Negeri 2 Pagi Jakarta ini bu? (Wakil Kepala Sekolah), Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan SK Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Luar Biasa. 2.
(Peneliti) Bagaimana proses perkembangan SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? (Wakil Kepala Sekolah), Sekolah berdiri pada tanggal 5 Nopember 1980. Dengan SK Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan RI No. 001/0/1986 tentang Sekolah Luar Biasa.
Kemudian menjadi SDLB Negeri dengan Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 1514 Tahun 1988 tentang Pengesahan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Negeri Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dengan nama SDLB Negeri 01 Kelurahan lenteng Agung Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Sesuai dengan berjalannya waktu, SDLB Negeri 01 Lenteng Agung pun mengalami perubahan nomenklatur sesuai dengan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1358/2007 tentang Perubahan Nama Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri 01 lenteng Agung menjadi SLB Negeri 02 Jakarta Kecamatan Jagakarsa Jakarta Selatan. Posisi SLB Negeri 02 Jakarta berada di lingkungan strategis secara ekonomi, eksistensinya terletak dalam ring permukiman penduduk yang sedang berkembang secara pesat di daerah Kawasan Cagar Budaya Betawi tepatnya di Daerah Jagakarsa Jakarta Selatan, di sebelah utara berdekatan dengan Taman Wisata Kebon Binatang Ragunan dan Gelanggang Olah Raga Ragunan, disebelah selatan berdekatan dengan Taman Rekreasi Berbudaya Betawi yaitu Situ Babakan dan kampus Universitas Indonesia.
3. (Peneliti) Bagaimana Visi dan Misi dari SLB Negeri 2 Pagi Jakarta? (Wakil Kepala Sekolah), SLBN 2 Pagi memiliki beberapa visi dan misi yaitu: 1. Visi Mengembangkan kemampuan berbahasa dan komunikasi untuk meningkatkan iman dan taqwa, pengetahuan dan keterampilan serta kemandirian peserta didik. 2. Misi Untuk mewujudkan visi tersebut, sekolah menentukan langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam misi sebagai berikut: a. Melakukan kajian dan penyesuaian kurikulum. b. Menyelenggarakan pembelajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM), serta bermakna, kooperatif, dan dinamis.
c. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bernuansa religius. d. Membangun karakter dan etos kerja peserta didik. e. Menanamkan konsep diri yang positif sehingga dapat beradaptasi dan bersosialisasi di masyarakat f. Mengembangkan sumber daya manusia (pendidik dan peserta didik) yang profesional, fungsional, berkualitas, kreatif, dan inovatif. g. Menjalin kerja sama yang sinergis di lingkungan warga sekolah, dunia industri, dan dunia usaha.
4. (Peneliti) Apa sajakah yang menjadi persyaratan bagi calon anak didik untuk masuk ke SLB Negeri 2 Pagi Jakarta bu? (Wakil Kepala Sekolah), persyaratan PPDB calon peserta didik baru diantaranya 1. Memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan, a. Untuk sekolah tujuan TKLB 1. Berusia 4 tahun pada hari pertama masuk sekolah untuk kelompok A. 2. Berusia 5 tahun pada hari pertama masuk sekolah untuk kelompok B. 3. Memiliki akte kelahiran keterangan laporan kelahiran dari kelurahan. b. Untuk sekolah tujuan SDLB 1. Berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun pada hari pertama masuk sekolah 2. Calon peserta didik baru yang berusia minimal 6 tahun pada hari pertama masuk sekolah dapat melakukan pendaftaran 3. Tidak diisyaratkan pernah mengikuti pendidikan TK, PAUD 4. Memilki akte kelahiran/surat keterangan laporan kelahiran dari kelurahan. c. Untuk sekolah tujuan SMPLB 1. Memiliki SKHUN SD/MI, DNUN Paket A atau SKYBS 2. Berusia maksimal 18 tahun pada hari pertama masuk sekolah d. Untuk sekolah tujuan SMALB 1. Memiliki SKHUN SMP/SMPLB/MTs, DNUN Paket B atau SKYBS, 2. Berusia maksimal 21 tahun pada hari pertama masuk sekolah. 2.
Menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga (KK) serta memperlihatkan KK asli.
5. (Peneliti) Bagaimana latar belakang tenaga pengajar di SLB Negeri 2 Pagi Jakarta bu? (Wakil Kepala Sekolah), tenaga pengajar di SLBN 2 ini 90% dari lulusan S1 PLB dari berbagai universitas diantaranya Ikip Jakarta atau UNJ. 6. (Peneliti) Bagaimana sistem pembagian kelas yang digunakan di SLB N egeri 2 Pagi Jakarta bu? (Wakil Kepala Sekolah), pembagian kelas sesuai dengan katagori/ketunaan kemampuan masing-masing anak. anak akan di seleksi melalui proses assessment kemudian di evaluasi dan barulah ditempatkan ke kelas masing-masing sesuai dengan kebutuhan anak. 7. (Peneliti) Bagaimana kerjasama antara SLB Negeri 2 Pagi Jakarta kepada lembaga lain, dalam hal tentang minat dan bakat anak tuna greahita bu? (Wakil Kepala Sekolah), SLBN 2 ini berkerja sama dengan banyak Instansi diantaranya Sikolog dari Yayasan Anggelin, puskesmas Lenteng Agung, hotel, percetakan Mandiri, Museum Seni dan Budaya, lembaga keterampilan Hantara, Laundry, Lembaga Widya, Soefenir, bengkel Dedi Motor, Yayasan Emmanual, berbagai perusahaan sepertio Kaki Tiga, Kacang Garuda, guna untuk melibatkan atau menyalurkan peserta didik yang sudah lulus untuk bekerja atau menyalurkan bakatnya sesuai kriteria yang di ajukan oleh pihak terkait. 8. (Peneliti) Pembekalan keterampilan apa sajakah yang diberikan sekolah kepada anak tunagrahita mandiri/tidak mampu mandiri bu? (Wakil Kepala Sekolah), Pembekalan keterampilan di SLBN 2 ini diantaranya Tata boga, griya, seni musik, perbengkelan, percetakan, komputer, menyulam, dan dibidang olahraga seperti voli, booce, sepak bola. Untuk anak tuna grahita tidak mampu mandiri disini hanya mengikuti pembekalan keterampilan Griya saja dikarnakan ketinggalannya dari teman-temannya.
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Selasa, 30 Agustus 2016
Waktu
: 07.31 WIB
Lokasi
: SLBN 2 Pagi Jakarta I. Identitas informan Nama : Dewi Jenis kelamin : Perempuan Usia : 44 Tahun Alamat : Tebet Informan : Guru Khusus Pembimbing Anak Tunagrahita Pertanyaan: 1. (Peneliti) Kalau boleh tahu, apakah ada persyaratan tertentu atau latar belakang guru dari lulusan PLB untuk mengajar siswa Tuna grahita bu? (Guru), Lulusan PLB dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditunjuk oleh Pemerintah. 2. (Peneliti) Berapa jumlah anak tuna grahita yang mandiri/tidak mampu mandiri di SLBN 2 Pagi Jakarta ini bu? (Guru), jumlah siswa anak tunagrahita yang mandiri itu 135 siswa dan yang tidak mampu mandiri ada 19 anak. Mandiri: komunikasi baik, nalar cukup baik, bisa merawat diri tanpa dibantu dan mampu berperestasi. Sedangkan tidak mampu mandiri: nalar kurang baik, konsentrasi kurang, moody, komunikasi kurang baik, dibantu dalam merawat diri, dan tidak dapat berprestasi. 3. (Peneliti) Bagaimana metode atau persiapkan Ibu sebelum proses belajarmengajar di sekolah bagi anak tuna grahita, apakah ada perbedaan persiapan untuk anak tuna grahita mandiri/tidak mampu mandiri bu?
(Guru), oh iya ada perbedaan tentunya kak terhadap persiapan serta metode yang akan digunakan kepada anak tungrahita yang mandiri dan yang belum mampu untuk mandiri. Kalau untuk anak tunagrahitra mandiri kita biasanya memakai metode diskusi dan menjalankan metode ajar sesuai kurikulum. Sedangkan kepada anak tunbagrahita tidak mampu mandiri kita biasanya memakai metode visual atau gambar agar menarik dan tidak membosankan bagi si anak. pada anak tunagrahita tidak mampu mandiri perlu dituntun dalam proses belajar.
4. (Peneliti) Bagaimana kenaikan kelas pada anak tuna grahita di SLBN 02 Pagi Jakarta bu? (Guru), kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria kenaikan kelas diatur oleh masing-masing direktorat terkait. Sesuai dengan ketentuan PP 19/2005 PASAL 72 ayat (1), peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: 1. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran 2. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran. 3. Lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran pengetahuan dan teknologi 4. Lulus Ujian Nasional.
5. (Peneliti) Bagaimana faktor-faktor yang mendukung ataupun menghambat anak tuna grahita untuk mengembangkan minat dan bakatnya di SLB Negeri 02 Pagi Jakarta? (Guru), faktor yang mendukung seperti menyiapkan metode belajar yang menuntut imajinasi dan membuat daya tarik siswa agar semangat dan tidak membosankan dalam belajar seperti menyiapkan gambar, namun untuk segala persiapan setiap guru yang menyiapkan karna faktor fasilitas dari bsekolah tidak menyiapkan. 6. (Peneliti) Bagaimana solusi yang tepat menangani permasalahan yang dialami anak tuna grahita mengenai masalah mencerna pelajaran, kelemahan intelektual, gangguan bicara, kesulitan menulis dan bagaimana menumbuhkan potensi yang dimiliki anak tuna grahita bu?
(Guru), a. Mencerna pelajaran: solusi yang tepat menanganinya, berikan perintah satu per satu atau secara berulang. Gunakan seluruh panca indra dalam belajar. Kemudian cobalah mengidentifikasi indra mana yang paling menonjol digunakan oleh anak. pengulangan sangat penting untuk dilakukan. Gunakan contoh-contoh dan istilah-istilah yang konkret dan literal. b. Kelemahan intelektual: melaui panca indra, dengan keterlibatan yang aktif, dengan kasih dan perhatian yang besar serta dengan disiplin yang konsisten. Memberikan kesempatan kepada mereka untuk lebih sering berbicara atau berbagi. Beri kesempatan pada anak untuk bertanya, berfikir dan menanggapi sebisa mungkin sesuai dengan kemampuan mereka. Gunakan cerita, bermain peran (role play) boneka, music, kegiatan belajar agama, dan permainan-permainan untuk memberikan pelajaran. c. Ganguan bicara: redakan frustasi. Jangan memberikan penolakan kepada anak, sebisa mungkin libatkan anak dalam semua kegiatan. Menggunakan berbagai cara berkomunikasi seperti gerakan tubuh, tanda-tanda, bahasa isyarat, pantonim, membaca gerak bibir, tulisan dan gambar. d. Kesulitan menulis: dengan mengajarkan anak memegang alat tulis yang benar agar cara menulisnya pun menjadi benar. Jangan terlalu buru-buru.
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Senin, 5 September 2016
Waktu
: 11. 15 WIB
Lokasi
: SLBN 02 Pagi Jakarta Sealatan Identitas informan Nama : Rahmayani Jenis kelamin : Perempuan Usia : 50 Tahun Alamat : Pasar Minggu gang, Bima Jaya Rt02/04 No.7. Informan : Orang Tua RF Pertanyaan: 1. Selamat pagi Ibu, apa kabar bu? Jawab: pagi kak, alhamdulillah baik kak, kakak sendiri gimana? 2. Alhamdulillah baik juga bu, mau tanya-tanya soal rafi gapapa kan bu? Jawab: iya kak silahkan, soal apa aja juga boleh kok. 3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: gitu-gitu aja sih kak monoton. Sekolah, pulang sekolah terus dirumah aja kak jarang keluar rumah, saya engga bolehin kak, saya juga jarang sih keluar rumah. Tetangganya mah disana kurang ramah-ramah kak. 4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari dirumah bu? Jawab: untuk aktivitas sehari-harinya kaya mandi, makan berpakaian, b elajar masih saya bantu kak, saya gak tegaan, kasihan kalau liat rafi kesusahan. 5. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama dengan putra Ibu?
Jawab: oh ga ada riwayat dari keluarga atau keturunan gitu kak, rafi aja yang begitu, waktu saya hamil 4 bulan rafi, waktu itu saya jarang makan kak, ih saya mah kurus banget sakit-sakitan jadi kurang gizi gitu rafi pas waktu kandungan. Kalo dinget-inget mah saya nyesel banget kak kasihan liat rafi kaya gitu, tapi kalau liat tingkahnya yang ga bisa dikontrol bikin saya stress juga kak, ampe elus dada, dan lagi kalo berhadapan sama masyarakat saya ada perasaan minder juga sih kak kadang-kadang. 6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu menyikapinya bu? Jawab: kalo rafi berprestasi wih saya sama ayahnya pastinya seneng banget kak. Kaya rafi pernah pakai baju berkancing sendiri ya walaupun ada beberapa kancing yang terlewatkan, tapi saya sama ayahnya kasih tepuk tangan kak biar dia termotivasi gitu, eh kesononya males dia saya deh yang ngurusin. 7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: oh ga stabil kak, kalo udah ngambek suka ngamuk bikin saya stress. Apalagi kalo ditempat umum saya suka ada perasaan malu kak kalo dia ngamuk di tempat umum kak. 8.
Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab:kasih perhatian lebih buat rafi, harus sabar dan memaklumi kak ngadepin rafi. Alhamdulillah sekarang saya udah dibantuin sama ayahnya ngurusin rafi nya, soalnya kan ayahnya udah pensiun jadi ada waktu buat bantu ngurusin rafi.
9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki oleh putra Ibu? Jawab: palingan saya mah Cuma ngedampingin terus rafi, kalau untuk les gitu engga rafi mah kak, biayanya ga ada terus terapi atau konsul sama dokter juga engga kak. Ayahnya udah pensiun dan Cuma usaha warung sembako aja dirumah jadi ya gitu ekonomi keluarga ga mencukupi untuk terpenuhinya kebutuhan rafi secara menyeluruh.
10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya nseberapa sering bu? Jawab: engga sih kak. Palingan konsultasi sama gurunya aja disekolah.
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Senin, 5 September 2016
Waktu
: 11. 15 WIB
Lokasi
: SLBN 02 Pagi Jakarta Sealatan Identitas informan Nama : Herutami Jenis kelamin : Perempuan Usia : 43 Tahun Alamat : Kebagusan Dalam 1. Jakarta Selatan Informan : Orang Tua DF Pertanyaan: 1. Siang amamhnya dafa, mau tanya-tanya soal dafa gapapa kan yah mamahnya dafa? Jawab: siang kak, eh si kakak udah lama ga keliatan deh. Iya kak boleh yuk silahkan. 2. Alhamdulillah baik juga bu, mau tanya-tanya soal rafi gapapa kan bu? Jawab: iya kak silahkan, soal apa aja juga boleh kok. 3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: dafa kalau dirumah disiplin kak, nih ya kalo pulang sekolah dia taro sepatunya dirak sepatu dan kalau abis main barangnya disimpen ditempatnya dirappiin sama dia. Kalaudirumah jarang keluar kak palingan mainnya sama adiknya. Saya suka ada perasaan minder kak kalau ke mall gitu kak, orang liatnya tuh suka ngebedaan gitu kak. 4. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama dengan putra Ibu?
Jawab: ga ada riwayat sama sekali kak dari keluarga, jadi tuh ya waktu dafa usia 3 tahun pernah mengalami kecelakan samppe-sampe gegerotak kak diperiksa EEG kata dokter dafa otaknya mengalami kelainnya akibat benturan hebat dikepalanya, katanya dafa mengalami keterbelakangan mental kak tunagrahita. 5. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu menyikapinya bu? Jawab: kalo dafa berprestasi palingan saya kasih pujian aja sih kak, kalo dikasih hadiah suka nagih dia mah, boros kan jadinya. Biaya pengeluaran buat dafa aja lumayan besar kak, he eh iya kak, belom biaya terapinya, biaya lesnya dafa ikut les abis pulang sekolah kak, pengeluran keluarga yang lebih besar dibandingkan pendapatan keluarga bikin saya sama ayahnya stress kak. Ayahnya kan pegawai swasta kak. 6. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: oh ga stabil kak, kalo udah ngambek suka ngamuk bikin saya stress. Apalagi kalo ditempat umum saya suka ada perasaan malu kak kalo dia ngamuk di tempat umum kak. 7.
Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab:emosinya dia mah kalo diomelin suka ngomelin balik, tapi dia takut sama ayahnya jadi kalo dimarahin sama ayahnya dia takut kak. Ayahnya mah tegas disiplin.
8. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki oleh putra Ibu? Jawab:lebih kasih perhatia penuh aja sih ke dafa kak. Adiknya diurusin sama pengasuh kak iya biar ga kerepotan juga saya ngurusin dafa aja saya kualahan kak, stress khwatir juga suka gelisah mikirin masa depannya gimana ya kak, kalo orang tuanya ga ada gimana nasibnya dafa belom bisa mandiri atau ngurus diri sendiri gitu kak. 9. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya nseberapa sering bu?
Jawab: iya palingan sama dokter itu kan ka pas dafa terapi, konsultasinya. Disekolah juga sih sama psikolog. Sama guru pembimbing kelas dafa juga kak.
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Senin, 5 September 2016
Waktu
: 09.15 WIB
Lokasi
: SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan Identitas informan Nama : Yanti Yulianti Jenis kelamin : Perempuan Usia : 43 Tahun Alamat : Bukit Cengkeh 2 Blok D 8 No. 16 Deasa Tugu Cimanggis Depok. Informan : Orang Tua EG Pertanyaan: 1. Selamat pagi ibu, apa kabarnya bu? Mau tanya-tanya soal Ega gapapa kan bu? Jawab: pagi kak, eh sih kakak baru keliatan lagi hehe, iya gapapa kak. 2.
Apa yang Ibu ketahui tentang SLB Negeri 02 Pagi Jakarta bu? Jawab: oh saya cari-cari sendiri kak info sekolah ini. setelah saya survey sama ayahnya. Baru deh saya daftarin ega disini. Ya ga begitu jauh-jauh banget lah dari rumah.
3.
Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: ega jarang keluar rumah kak, apalagi main diluar jarang kak. Palingan dirumah aja nonton tv sama mainin hp ayahnya. Dia sih ngerti main hp, tp pernah kak, waktu itu asal dipencet-pencet aja sama ega, eh nyambung ke temen ayahnya.
4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari dirumah bu?
Jawab: Ega makan masih disuapin kak, dalam hal belajar, nulis, baca masih harus dituntun. Buang air kecil sama besar masih saya yang nyuciin kak, kalo dibiarin dia yang nyuci ga bersih nyucinya dia. Makanya disekolah gini saya tungguin sampe pulang kalo ketoilet nanti saya temenin. Pernah kak ngompol di kelas pas saya lagi ga nungguin eh bu guru yang bersihin kan saya jadi malu ya kak. Makanya sejak saat itu saya ga pernah absen nungguin ega di sekolah.
5.
Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama dengan putra Ibu? Jawab: ga ada riwayat dari keluarga ayahnya dan juga saya bahkan neneknya juga engga kak. Cuman pada saat ngandung emang agak lemah pada saat itu. Saya sering sakit-sakitan.
6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu dan keluarga menyikapinya bu ? Jawab: kalau ega melakukan hal-hal baik iya kak, pasti dipuji nanti ega nya jadi seneng, saya juga seneng, terus kalau ega melakukan kesalhan paling saya kasih teguran, saya kasih tau gini, itu ga boleh dek itu salah, gitu kak. Ega mah jarang saya marahin soalnya dia ga bisa dikerasin kak.
7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: emosinya dia mah ga stabil kak. Kadang kalo ngambek bisa-bisa ngamuk. Saya sama keluarga sabar ngadepinnya, pengertian karna kondisi yang dialami Ega.
8. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: iya kak harus dikasih perhatian lebih kan. Kalau dirumah apa-apa yang dibutuhin sama ega, dia pasti nyari saya. Saya lebih banyak memusatkan perhatian sama ega karena kan dia membutuhkannya.
9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki oleh putra Ibu? Jawab: saya sih pengennya latihan kemandirian gitu kak, paling peran saya hanya mendampingi Ega selalu kak. Kaya gini gitu saya temenin di sekolah dimanamana say temenin. 10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya seberapa sering bu? Jawab: iya dulu mah sering konsultasi sama doktek, psikolog gitu. Kalo sekarang mah udah jarang kak.
Traskrip Wawancara Pendekatan Psikososial Dalam Memahami Permasalahan Keluarga Dengan Anak Tunagrahita Tidak Mampu Mandiri Pada SLBN 2 Jakarta Selatan Hari/tanggal
: Sernin, 5 September 2016
Waktu
: 10. 30 WIB
Lokasi
: SLBN 02 Pagi Jakarta Selatan Identitas informan Nama : Khodijah Jenis kelamin : Perempuan Usia : 48 Tahun Alamat : Jl. Kalibata Utara Rt 08/ Rw 07 No. 19. Informan : Orang Tua “AR” Pertanyaan: 1. Siang ibu, apa kabar? Mau tanya-tanya mengenai anisa gapapa kan bu? Jawab: siang juga kak, Alhamdulillah baik kak, iya boleh kak, silahkan. 2.
Apa yang Ibu ketahui tentang SLB Negeri 02 Pagi Jakarta bu? Jawab: sekolah luar biasa untuk anak berkebutuhan khusus, anak saya kan kebetulan anak bertkebutuhan khusus tunagrahita seperti yang kakak ketahui kan kak. anisa sekolah disini deh.
3. Bagaimana kehidupan putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: biasa aja sih kak, jarang main diluar rumah meilia mah. Dirumah aja seharian kalo ga sekolah kalo libur gitu kak.
4. Bagaimana kemandirian putra ibu apabila melakukan aktivitas sehari-hari dirumah bu? Jawab: meilia orangnya mah rapih dia, tapi mandi, pake baju semuanya masih harus dibantu kak, anaknya juga maunya rapih. Suka merengut aja kalo ga rapih
gitu. Nah kalo dating bulan emang saya juga yang nyuciin kak, dia ga mau “geli” katanya lagian juga ga bersih dia mah kalo nyuci sendiri.
5. Apakah orang tua atau saudara kandung memiliki riwayat kelahiran yang sama dengan putra Ibu? Jawab: ga ada riwayat sih kak, emang ujian dari Allah buat kita ya kak. Waktu pas kandungan suka panas emang kak, terus saya terapi urut dideket rumah. Terus saya juga ke bidan suka periksa eh disaranin ke RS, saya ke rumah sakit Cipto melahirkan disana dan dirawat seminggu di rumah sakit kak. Setelah itu saya emang sering kontrol eh malahan dibilang kalo anak saya ga bisa jalan lah, ga bisa dengerlah. Yaudah saya sama ayahnya Cuma palingan terapi urut ajalah, lagian anak saya dibilang begitu ya.
6. Jika putra Ibu berprestasi atau melakukan kesalahan, bagaimana Ibu menyikapinya? Jawab: kalau anisa salah mah pasti saya marahin kak, biar dia tau kalau yang dia perbuat itu salah biar ga diualngin lagi, terus kalau berprestasi saya suka peluk terus saya kasih pujian kadang saya kasih hadiah juga sih kak. 7. Bagaimana kondisi emosional putra Ibu apabila dirumah? Jawab: huh bener-bener deh kak, emosinya ga kekontrol kak. Suka kasar sama orang dia mah. 8. Bagaimana bentuk perhatian yang diberikan oleh keluarga, atau adakah didikan tersendiri terhadap putra Ibu apabila dirumah bu? Jawab: bentuk perhatian lebih yang saya berikan palingan ya saya selasa mendampingi ya saya suka gelisah, khawatir gitu mikirin masa depannya. Anisa kan perempuan ka, kalau orang tuanya ga ada siapa yang ngurusin bener-bener kaya saya gini. 9. Sejauh mana peran Bapak/Ibu untuk mendukung dan mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki oleh putra Ibu?
Jawab: saya dukung bamnget apa aja asal itu demi kebaikan anisa mah saya dukung banget. Saya kasih perhatian yang maksimal kak, saya sampe berhenti bekerja kak, buat full ngusrusin anisa, dan udah ga diasuh lagi sama pengassuhnya. Saya kerja juga karna buat bantu biaya keluarga , pengeluaran keluarga besar kak, belum lagi untuk anisa yang butuh pengeluaran besar, kaya buat dia terapi, obatnya, sama kebutuhan-kebutuhan guna menunjang si anak, dulu sih iya rutin karna saya bantu pendapatan keluarga dengan bekerja sekarang udah engga kak. Jadi anisa juga udh ga terapi dan segala macem, ngurus dirumah aja tanpa terapi kak.
10. Apakah Bapak/Ibu pernah atau sering berkonsultasi mengenai putra Ibu pada ahli, dokter, psikolog, pekerja sosial dan kalo iya seberapa sering bu? Jawab: dulu sih iya, sekarng udah ga pernah konsul kemana-mana lagi kak. Ngurusin aja dirumah.
Hasil dokumentasi
Wawancara dengan Ibu Indrawati selaku wakil kepala sekolah
Program keterampilan
Kumpulan foto prestasi siswa
Foto peneliti bersama Ibu Dewi guru pembimbing anak tunagrahita
Kegiatan olahraga adaptif
Foto peneliti bersama dengan orang tua anak tunagrahita tidak mampu mandiri setelah selesai wawancara
Foto peneliti bersama anak tunagrahita mandiri
Proses belajar dikelas
Prestasi siswa di SLBN 02 Jakarta Selatan
Foto peneliti bersama dengan Ibu Yulianti selaku orang tua dari EG anak tunagrahita tidak mampu mandiri
. Foto peneliti dalam proses wawancara dengan orang tua anak tunagrahita/ Informan.
Dokumen persayaratan penerimaan siswa/i baru di SLBN 02 Jakarta Selatan