PERMASALAHAN KOMPETENSI GURU DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH (Studi Kasus di SMA Negeri Kota Gorontalo) Yusni Pakaya* Abstract: In education word which especially related in learning in schools, teachers have strategic place and decide high and low of quality of education. However, strategic position of them in improving quality of education, it is affected by their professionalism. For a teacher who has a minimal professionalism should be proved by educational backround which being relevant to his /her skill, teaching experiences, and mastering to competency and authority of a teacher in classroom. In history learning in SMA Negeri, it seems quiet different between teacher scientific background and their duty in teaching. Their scientific backgrounds are economic study program, BK, PPKn. Then, they teach lesson of history. This difference influences teachers professionalism in managing learning of history. Keywords: history, teachers professionalism
PENDAHULUAN
Undang-Uundang nomor 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 tentang sisdiknas (sistem pendidikan nasional) dinyatakan bahwa: ”pendidik merupakan tenaga profesional yang mana kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi yaitu mewujudkan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap
* Dosen Universitas Negeri Gorontalo
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu” (http://www. Sisdiknas.com, 2006). Pernyataan undang-undang di atas, nampak kedudukan guru sebagai tenaga profesional semakin kuat dan memiliki kredibilitas tinggi, serta penuh tanggung jawab dalam rangka mewujudkan kualitas hasil pendidikan. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional menurut undang-undang tersebut, guru dituntut memiliki kompetensi profesionalitas dalam mengajar yang dibuktikan dengan pemberian sertifikasi berdasarkan kualifikasi akademik dan kompetensi keprofesionalan (http:/www.uu.guru-dosen.com 2006). Kualifikasi akademik dan keprofesionalan guru yang akan dibuktikan dengan sertifikasi dewasa ini dipandang sangat penting menjawab persoalan yang sering muncul di kalangan masyarakat, sehubungan dengan anggapan bahwa guru tidak berkompetensi dalam pembelajaran khsusunya pada pelajaran sejarah. Tudingan dan cemoohan dari masyarakat bahkan dari kalangan siswa, bukan tidak beralasan, melainkan karena masih terdapat sebagian oknum guru yang kadangkala mengajar tidak memiliki kompetensi. Kompetensi yang dimaksudkan adalah ; komptensi pedegogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional Sementara itu tudingan terhadap para guru, baik yang datang dari kalangan masyarakat maupun dari para siswa bukan hal yang baru terjadi, melainkan sudah sering muncul di SMA-SMA di berbagai daerah termasuk di Gorontalo. Di SMA Negeri Kota Gorontalo kasus yang serupa sering dimunculkan oleh siswa yang merasa tidak puas terhadap apa yang dilakukan guru di kelas. Bagi siswa menilai kemampuan guru dalam pembelajaran di dalam kelas sangat mudah, sebab mereka sendiri yang berhadapan langsung dengan guru pengajar dan merasakan apa diperbuat guru. Kenyataan yang nampak di SMA negeri kota Gorontalo dan perlu mendapat perhatian dari pemerhati bidang ilmu sejarah adalah mata pelajaran ini diajarkan oleh guru-guru yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan belum berpengalaman. Mereka yang berlatar belakang Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Bimbingan Konseling (BK), dan juga PPKN memberanikan diri tampil di depan kelas mengajarkan sejarah. Permasalahan pembelajaran sejarah yang ditangani oleh tenaga-tenaga pengajar yang kurang berkompetensi karena tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan tidak professional. Hal ini merupakan persoalan yang sangat serius, dimana pembelajaran sejarah solah-olah sangat dilecehkan 132
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
karena dipandang sembarang guru meski tidak siap secara khusus dengan bidang keilmuannya bisa mengajarkan sejarah tanpa memperhatikan dari mana latar belakang pendidikannya. Seorang guru yang tidak disiapkan secara khusus dan cukup mendalam, yang tidak menguasai bahannya dan membaca dengan cukup luas, hanya dapat menyajikan pelajaran sejarah yang terdiri dari “sebuah dikte” yang 100% mati. Pada hal sejarah merupakan usaha menghidupkan kembali, kehidupan manusia zaman lampau, sehingga memerlukan guru yang mampu membuat mukjizat (Van der Meulen 1987: 85). METODE
Jenis penelitian ini adalah, penelitian deskriptif dengan paradigma kualitatif, dengan harapan penelitian ini secara kualitatif dapat mendeskripsiskan berbagai informasi melalui pendekatan studi kasus tunggal terpancang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan obeservasi. Teknik cuplikan dalam penelitian ini lebih bersifat “Purposive Sampling”. Ini berarti bahwa informan yang dipilih sesuai keinginan peneliti dan dianggap tahu serta dapat dipercaya untuk menjadi sumber data. Penelitian ini dilakukan pada empat sekolah yakni: SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 4 Gorontalo. Dalam pengumpulan data proses analisisnya adalah bentuk interaktif dengan skema sebagai be rikut: (Miles dan Huberman 1992: 20)
Penelitian dengan menggunakan analisis interaktif tersebut dilakukan oleh peneliti sebagai berikut: 1. Peneliti akan mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk dari informan yang telah ditetapkan dengan berbagai pertimbangan, kemudian begitu data diperoleh tanpa menunggu data berikutnya peneliti 133
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
2. 3.
4. 5. 6.
7.
langsung menganalisis data dimaksud. Ini artinya analisis data dimulai pada saat pertama data-data masuk kemudian disusul analisis data setiap kali data diperoleh. Dengan kata lain bahwa analisis dapat pula dilaksanakan bersamaan dengan pengumpulan data di lapangan Langkah selanjutnya, peneliti akan menyusun sajian data yang berupa cerita sitematis dengan prabot yang mendukungnya. Setelah berakhir peneliti mulai menarik simpulan dengan verifikasinya yang berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya. Apabila simpulan dianggap kurang mantap, maka peneliti akan menggali lagi dalam fieldnote, atau Peneliti melakukan pengumpulan data ulang, kasus data yang dianggap kurang memadai atau data yang meragukan tersebut, dan Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta verifikasi atau penarikan simpulan ini akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut (berjalan) dan terus dilakukan sehingga diperoleh simpulan yang matang, serta Siklus pengumpulan data sampai verifikasi untuk data-data tersebut tetap dilakukan oleh peneliti selama data diperoleh meragukan atau diragukan kesahihannya
HASIL PENELITIAN Sajian Data
Berbicara kompentensi guru pada pembelajaran sejarah di SMA Negeri Gorontalo, sangat terkait dengan karakteristik pribadi guru yang meliputi antara lain; latar belakang pendidikan, pengalaman mengajar, pangkat dan gololongan, serta tugas-tugas pengabdian lainnya, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Di SMA kota Gorontalo mempunyai 17 guru pengajar sejarah yang tersebar di empat sekolah menengah atas yakni; SMA Negeri 1, SMA Negeri 2, SMA Negeri 3, dan SMA Negri 4. Dari 17 orang guru sejarah tersebut, 10 orang guru tetap (PNS), dan 7 orang masih tergolong sebagai guru bantu (NON PNS). Adapun spesipikasi bidang keilmuan dari semua guru pengajar sejarah di empat sekolah menengah atas, dilihat dari latar belakang pendidikan mereka tidak semua berlatar belakang pendidikan sejarah, melainkan masih bervariasi, yakni ada yang berlatar belakang pendidikan ekonomi, 134
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
Bimbingan Konseling (BK), dan Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara (PPKN). Untuk jelasnya keadaan guru pengajar sejarah pada masing-masing sekolah tersebut akan digambarkan melalui tabel sebagai berikut: Keadaan Guru Sejarah SMA Negeri Kota Gorontalo No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Rani Yusuf, S.Pd Wirdawati Hasan, S.Pd Yumasni Arsyad, S.Pd Mansur, S.Pd Siti Z. A. Arief, S.Pd Dra. Yusni Kadir Dra. Rabi Abas Beti Husain, S.Pd Andi Lahabi, S.Pd La Ode Sarudin, S.Pd Saiful Kadir, S.Pd. M.Pd Drs. Syamsul Pou Fatma Dengo, BA Herson Aumbas, S.Pd Dra. Hany Tanua, M.Pd Dra Hasnia Lasido Marlina F. Nayoan, S.Pd
Tempat Mengajar SMAN 1 SMAN 1 SMAN 1 SMAN 1 SMAN 1 SMAN 2 SMAN 2 SMAN 2 SMAN 2 SMAN 2 SMAN 3 SMAN 3 SMAN 3 SMAN 3 SMAN 4 SMAN 4 SMAN 4
Pendidikan
Latar Belakang Pedndidikan
Status
Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Pasca Sarjana Sarjana Pend. Sarjana Pend. Sarjana Pend. Pasca Sarjana Sarjana Pend. Sarjana Pend.
Pend. Sejarah Pend. Sejarah Pend. Sejarah PPKn Ekonomi BK Pend. Sejarah Ekonomi PPKn PPKn Pend. Sejarah Pend. Sejarah CIVICS Hukum Pend. Sejarah Manajemen Pend. Pend. Sejarah Ekonomi
GT GT GT GB GB GT GT GB GB GT GT GT GT GT GT GB GB
Berdasarkan data pada tabel di atas, nampak keberadaan tenaga pengajar sejarah di empat SMA Negeri kota Gorontalo, hanya ada sejumlah 10 orang guru tetap (58,82%) dan guru bantu 7 orang (41,18 %). Dengan demikian kedua status guru pengajar sejarah tersebut hampir berimbang. Demikian pula guru yang berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan tugas mereka mengajar hanya ada sejumlah 10 orang sejarah atau 58,82 %, dan berlatar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan tugas mereka mengajar sejarah ada 7 orang atau 41,18 %. Dilihat dari stratifikasi pendidikan, guru-guru sejarah SMA Negeri kota Gorontalo, baik yang sudah berstatus PNS maupun yang masih guru bantu rata-rata sudah memiliki strata pendidikan sarjana (S1) yang semuanya berjumlah 17 orang atau 100 %. Sementara yang sudah magister (S2) 135
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
walaupun linieritas bidang keilmuannya tidak relevan antara pendidikan S1 dengan pendidikan S2 berjumlah 2 orang atau 13 %. Tingkat pendidikan guru sejarah di SMA kota Gorontalo yang sudah 100 % pendidikan sarjana itu, tentu sangat diharapkan oleh sekolah masing-masing dalam rangka peningakatan mutu pendidikan dan pengajaran. Dengan demikian bagi tenaga-tenaga pengajar sejarah di empat SMA tersebut tidak bermasalah lagi dengan diberlakukannya undang-undang guru tahun 2006 dimana setiap guru harus minimal Diploma IV (S1). Meski demikian harapan sekolah bahwa keberadaan guru sejarah yang sudah memiliki stratipikasi pendidikan sarjana, namun pada kenyataannya masih terdapat kendala dalam pelakasanaan tugas mengajar. Kendala tersebut antara lain disebabkan oleh bidang keilmuan para tenaga pengajar yang hampir 50 % tidak relevan dengan tugasnya mengajar, seperti ada yang berijazah pendidikan ekonomi dan PPKn termasuk BK. Mereka ini mengakui dengan jujur kendala yang dihapi mereka ketika berhadapan dengan tugas mereka mengajar. Pengakuan salah seorang guru pengajar sejarah yang berlatar beakang pendidikan Ekonomi ketika di wawancarai mengatakan bahwa ; saya merasa kesulitan dalam mengajar sejarah disebabkan latar belakang pendidikan saya bukan berasal dari bidang keilmuan sejarah. Meskipun saya sudah memiliki strata pendidikan sarjana S1 namun bidang keahlian saya, hanya bidang ekonomi (wawancara 2014. Dikaitkan dengan tugas mengajar dimana kompetensi guru diharapkan mereka mampu memberikan bekal pengetahuan kepada peserta didik, spontanitas guru tersebut mengatakan bahwa saya mengajar apa adanya sesuai kemampuan yang saya miliki, yang penting ada materi yang dapat saya sampaikan kepada peserta didik walaupun hanya melalui metode menyalin bahan. Demikian pula halnya diungkapkan guru sejarah yang berlatar belakang PPKn mengakui secara jujur dan terbuka bahwa mengajar sejarah itu sulit, karena piciknya pengetahuan, modal sejarah hanya berdasarkan pengalaman dari SMA, sementara latar belakang pendidikan saya dari perguruan tinggi sangat jauh berbeda dengan tugas mengajar sekarang ini (wawancara2014). Pernyataan beberapa guru yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah di beberapa SMA negeri hampir semuanya sama, kecuali ada beberapa SMA negeri karena guru sejarah di SMA ini semua sudah sesuai dengan tugas mereka mengajar,. Salah seorang kepala SMA negeri ketika ditemui 136
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
diruanganya mengatakan bahwa guru yang berlatar belakang pendidikan ekonomi termasuk BK dan sementara diberikan tugas mengajar sejarah masih banyak memiliki kekurangannya terutama dari segi penguasaan bahan ajar sejarah. Hal ini kami dapat maklumi karena keadaannya masih seperti itu. Sebab apabila yang bersangkutan diberikan tugas mengajar sepenuhnya pada jurusan yang sesuai dengan spesipikasi ilmunya seperti ekonomi, maka jumlah jamnya mengajar sangat kurang karena guru ekonomi terlalu banyak. Oleh karena itu untuk memenuhi tutuntan jumlah jam mengajar setiap guru rata-rata 18 jam perminggu, maka kekurangan itu dipenuhi pada tugas mengajar di mata pelajaran lain seperti misalnya sejarah yang kebetulan masih kekurangan guru sejarah yang sesuai ijazah mereka (wawancara dengan kepala sekolah SMA 1). Selain latar belakang pendidikan menjadi modal bagi tenaga pengajar sejarah di beberapa SMA negeri kota Gorontlo dalam tugas mereka mengajar, pengalaman mengajar juga dianggap hal yang berkaitan dengan keprofesionalan guru. Terdapat ungkapan bahwa pengalaman adalah guru besar yang sangat besar artinya. Di beberapa SMA negeri kota Gorontalo tenaga pengajar sejarah hampir 50 % tergolong muda, atau dengan kata lain belum terlalu berpengalaman dalam bidang mengajar. Diantara mereka ini adalah guru bantu (honorer) yang telah dipercayakan mengelola pembelajaran sejarah di SMA Negeri kota Gorontalo. Seperti pada data yang diutarakan di atas nampak bahwa guru sejarah yang berjumlah 17 orang untuk empat SMA Negeri yang menjadi sasaran penelitian, 7 orang adalah guru bantu. Meskipun diantara mereka yang sudah guru tetap, namun belum semuanya dapat dikategorikan sebagai guru yang berpengalaman banyak dan professional di bidangnya, sebab ada pula yang sudah guru tetap (PNS) tetapi baru terangkat. Dengan demikian guru yang bersangkutan pengalamannya mengajar masih kurang. Pengalaman mengajar yang masih kurang dapat berpengaruh pada kemampuan mengelola proses belajar mengajar. Sesuai wawancara dengan salah seorang guru sejarah yang berlatar belakang pendidikan sejarah yang masih tergolong yunior di SMA Negeri, ia mengakatakan bahwa meskipun saya ini berasal dari jurusan sejarah, namun dalam menjalankan tugas mengajar masih banyak mencari pengalaman dari para senior yang sudah berpengalaman banyak, baik dari segi metode, strategi, termasuk bahan sekalipun yang diberikan pada peserta didik (wawancara 2014). 137
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
Hal yang senada dengan pikiran diatas, seorang guru sejarah di salah satu SMA Negeri yang masih tergolong yunior, mengatakan bahwa saya belum dapat berbuat banyak dalam tugas keseharian mengajar mata pelajaran sejarah, sebabnya walaupun banyak yang saya tahu tentang sejarah, namun dari segi pengalaman bagaimana cara menyampaikan materi sehingga menarik bagi peserta didik, itu yang masih perlu saya perhatikan dari para senior (wawancara 2014). Menyimak apa yang telah dituturkan oleh beberapa guru sejarah yunior tersebut, salah seorang guru senior yang boleh dikatakan sudah banyak makan garam mengemukakan pengalamannya bahwa; ketika saya baru terangkat menjadi tenaga pengajar sejarah yang tetap di SMA Negeri ini, awalnya belum banyak yang saya dapat perbuat kecuali lebih dahulu memperhatikan para senior ketika mereka mengajar dikelas. Lama kelamaan perasaan gugup dan bingung itu hilang dan berganti dengan keberanian, sehingga bahan ajar dapat dikuasai dengan baik (wawancara 2014). Semua tenaga-tenaga pengajar sejarah terutama yang sudah tergolong senior di empat SMA tersebut, mengatakan bahwa pengalaman mengajar itu sangat perlu dimiliki oleh setiap guru dalam menjalankan tugas kesehariannya. Meskipun seorang guru membawa modal pengetahuan banyak dari bangku kuliah, namun ketika akan berhadapan dengan tugas mengajar di dalam kelas kalau belum berpengalaman akan menjadi lain situasinya, kadangkala menjadi gugup dan bingung kalau metode apa yang harus diterapkan. Oleh karena itu pengalaman mengajar menjadi modal utama dalam menunjang keprofesionalan guru. Sebagiamana dikemukakan oleh seorang guru yang mengatakan bahwa ; modal saya mengajar dihadapan peserta didik di dalam kelas ini seperti bapak lihat saya mampu dalam hal teknik pembelajaran, menguasai bahan ajar, metode serta pengelolaan kelas, bukan karena saya memiliki modal pengetahuan sejarah yang luas, tetapi karena pengalaman sudah bertahuntahun bahkan berpuluh-puluh tahun materi sejarah ini selalu disampaikan dihadapan peserta didik sehingga rasanya sangat mudah bagi saya untuk tugas mengajar ini (wawancara 2014). Berbicara tentang pengalaman mengajar hampir semua guru senior di beberapa SMA tersebut memberikan pernyataan serupa, kecuali guru yunior
138
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
yang mengakui pengalaman mereka yang masih dibawah. Seperti pengakuan dari salah seorang guru yunior, dikatakannya seperti berikut ; terus terang saja bu’ saya belum terlalu berpengalaman dalam tugas mengajar sejarah di SMA ini disebabkan keberadaan saya di sekolah ini masih terhitung pendatang baru. Oleh karena itu seperti ibu lihat, dalam penampilan saya di depan peserta didik rasa kaku tercampur gugup ketika mengajar bahan ajar, saya tidak bisa kuasai (observasi dan wawancara 2014). PEMBAHASAN Komptensi Guru Dalam Pembelajaran Sejarah
Tugas guru sejarah yang berkompetensi di sekolah tidak hanya sekedar menyuruh siswa untuk menulis, mendikte atau menghafal tahun-tahun perjuangan, tokoh-tokoh pahlawan dan lain sebagainya. Cara-cara seperti ini adalah cara-cara pendidikan di masa lampau yang perlu ditinggalkan, karena guru mengajar hanya sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik. Pada hal kompetensi guru yang diharapkan tidak sekedar itu, melainkan setiap guru disamping sebagai pengajar yang “transfer of knowledge”, juga sebagai pendidik yang ”transfer of values“ dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun sikap siswa dalam belajar (Louis Gotchsal 1982: 16). Terlepas dari tugas guru pada umumnya mengajarkan pengetahuan kepada peserta didik, maka khusus dalam hubungan dengan pembelajaran sejarah, seorang guru dituntut memiliki kompetensi khusus dalam pembelajaran sejarah. Mengutip apa yang dikemukakan oleh Wija (1989: 18) bahwa ada tiga aspek kompetensi khusus guru sejarah yaitu; (1) pengetahuan, (2) ketrampilan, dan (3) sikap. Aspek Pengetahuan Pencapaian tujuan pembelajaran (kompetnsi) akan dipengaruhi oleh penguasaan aspek pengetahuan guru. Tentu saja penguasaan aspek pengetahuan oleh guru sejarah terutama dimaksudkan adalah pengetahuan yang meluas tentang materi sejarah yang akan diajarkan. Meski demikian, diperlukan pengetahuan tambahan yang sifatnya memperluas cakrawala serta wawasan guru sejarah, sehingga mampu lebih menghidupkan peristiwa masa lampau. Pengetahuan mendalam yang dapat menghidupkan peristiwa masa lampau antara lain peristiwa kontemporer di masyarakat sekitarnya maupun di dunia internasional. Kepentingan pengetahuan semacam ini 139
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
untuk memungkinkan guru sejarah menghubungkan peristiwa yang telah lewat dengan peristiwa masa kini. Aspek Keterampilan Aspek ini terutama menyangkut kemampuan guru sejarah dalam memilih cara-cara mengajar yang efektif, sehingga sasaran pembejaran sejarah bisa dicapai semaksimal mungkin. Disinilah ketrampilan memilih, mengembangkan dan mengimplementasikan berbagai alternatif strategi dan metode mengajar sejarah sangat diperlukan bagi seorang guru sejarah. Tanpa adanya ketrampilan ini guru sejarah akan terpaku pada strategi dan metode yang itu-itu saja. Selanjutnya bisa diduga hasil kegiatan belajar mengajarnya akan sangat minim, kalau tidak bisa dikatakan gagal mungkin tidak berhasil apa-apa. Termasuk dalam ketrampilan ini adalah berbagai ketrampilan, seperti penggunaan media pembelajaran sejarah, menyuguhkan uraian yang memudahkan penanaman nilai-nilai sejarah pada diri siswa, ketrampilan bercerita sejarah, dan ketrampilan mengembangkan dan menggunakan teknik evaluasi atau penilaian. Aspek Sikap Sudah jelas bahwa sikap guru sejarah sangat berpengaruh atas pencapaian tujuan pembelajaran sejarah yang pada dasarnya berkenaan dengan bidang afektif, yaitu pengembangan sikap siswa yang positif terhadap lingkungan masyarakat dan bangsanya yang bersumber pada nilai-nilai sejarah yang diajarkan. Apabaila seorang guru sejarah sama sekali tidak menunjukkan sikap menghargai peristiwa masa lampau atau secara tegasnya tidak tertarik pada pertistiwa sejarah, sulit diharapkan kalau dia bisa mengajar baik, dalam artian mampu merealisir tujuan pembelajaran sejarah. Bukan di dalam kelas, tetapi di luar kelas juga dia harus menunjukkan diri sebagai seorang yang menghargai sejarah. Sikap guru sejarah seperti tersebut tentu saja harus didukung oleh sikap pribadi yang positif, yang nampak dalam penampilan guru seperti penuh pengertian terhadap siswa, toleran, sabar, ramah, melayani setiap pertanyaan siswa serta sikap terbuka dalam hal-hal yang positif. Banyak hal yang harus diakui, bahwa kondisi-kondisi objektif yang sulit diatasi guru sejarah, seperti kurikulum yang kurang fleksibel dan sering berubah-ubah, keterbatasan waktu, fasilitas media yang kurang memadai, buku-buku atau bahan-bahan bacaan yang langka serta mahal harganya 140
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
dan lain sebagainya. Dalam keterbatasan berbagai fasilitas tersebut, guru sejarah hendaknya tetap berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi tuntutan profesinya. Dalam sistuasi kurikulum sekarang ini porsi yang diberikan untuk mata pelajaran sejarah kiranya cukup dipahami bahwa hal itu sudah demikian kenyataannya. Menyikapi berbagai persoalan tersebut, maka guru sejarah harus mampu meningkatkan dedikasi dan kreativitas, sehingga dalam kondisi yang serba terbatas sekalipun, dia tetap mampu menjadikan pelajaran sejarah menarik dan memenuhi fungsi-fungsi edukatifnya. Peserta didik tidak hanya dijejali oleh berbagai kisah masa lampau dalam bentuk cerita para tokoh perjuangan. Guru sejarah mampu menguasai starategi yang dapat merangsang peserta didik untuk dapat mengenali dan mengkaji setiap peristiwa secara utuh serta menghubungkan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Berbagai permasahaan yang muncul dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, maka ada dua hal yang dianggap paling mononjol di setiap sekolah yakni sebagai berikut: 1. Kesiapan Tenaga Pengajar yang Berkompetensi
Tidak dapat disangkal lagi bahwa kompetensi guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Kompetensi tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Kompetensi menuntut keseriusan dan profesionalitas yang memadai, sehingga seorang guru dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas pembelajaran. Tugas pembelajaran yang merupakan salah satu kompetensi guru sepertinya belum terlalu nampak pada guru pengajar sejarah, bahwa mereka itu benar-benar siap dan mampu mengembangkan strategi dan metode termasuk memahami materi ajar. Kebanyakan penguasaan materi ajar sejarah masih terbatas pada apa yang tampak pada silabus dan kurang pengembangan ke pengetahuan yang lebih luas misalnya ke peristiwa yang aktual 141
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
termasuk mengkaitkan dengan materi sejarah lokal yang menjadi kebutuhan siswa di masing-masing daerah. Seperti telah disinggung pada uraian-uraian terdahulu, bahwa sudah tidak bisa dipungkiri betapa pentingnya posisi pelajaran sejarah bagi pengembangan identitas bangsa. Meski demikian perlu pula disadari bahwa arti penting pelajaran sejarah tidak dengan sendirinya berkembang tanpa ada usaha seorang guru yang berkompetensi mewujudkannya keberhasilan peserta didik. Diperlukan suatu keseriusan seorang guru untuk menumbuhkan suatu kesadaran yang disebut kesadaran sejarah. Menumbuhkan suatu kesadaran sejarah merupakan landasan bagi timbulnya tanggung jawab sejarah yang tidak lain dari tanggung jawab generasi untuk menjawab tuntutan jaman pada waktu mana generasi itu hidup. Untuk itu dengan sendirinya diperlukan pendukung-pendukung yang sanggup menunjang usaha-usaha kearah pengembangan kesadaran serta tanggung jawab sejarah itu. Dalam hal ini kiranya pendukung yang punya posisi sangat menentukan adalah guru sejarah yang berkompeten, sebab merekalah yang berhadapan langsung dengan murid-muridnya dan merupakan salah satu sasaran utama bagi penanaman nilai-nilai historis yang diinginkan. Konsekuensi kesiapan guru sebagai tenaga pengajar sejarah adalah harus memiliki kompetensi, khusunya dalam bidang studi yang diembannya. Secara umum terdapat beberapa kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Winarno Surakhmad (1988: 14) yakni; 1. guru harus mampu mengenal setiap murid yang dipercayakan kepadanya. 2. guru harus memiliki kecakapan untuk memberi bimbingan. 3. guru harus memiliki dasar pengetahuan yang luas tentang pendidikan yang hendak dicapai. 4. guru harus memiliki pengetahuan yang luas tentang ilmu yang diajarkan. Khusus dalam hubungannya dengan pelaksanaan pembelajaran sejarah, seorang guru sejarah dituntut untuk bisa memenuhi kemampuan-kemampuan ataupun kompetensi khusus di bidang ilmunya. Kompetensi guru sejarah sebagaimana yang dikemukakan C. Hill (dalam Widja 1989: 17) yakni sebagai berikut ; pertama, seorang guru sejarah hendaknya memiliki kualitas prima dalam masalah kemanusiaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ha142
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
kikat sejarah, dimana bahan baku dari sejarah itu tidak lain dari manusia itu sendiri. Kedua, guru sejarah hendaknya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kebudayaan, atau guru sejarah yang “messenger of man’s cultural inheritance” (penyampai dari warisan budaya manusia). Ketiga, guru sejarah hendaknya juga adalah pengabdi perubahan. Ini berarti bahwa guru sejarah harus selalu menyadari salah satu watak utama sejarah, yaitu perubahan. Berpikir historis adalah berpikir bahwa segala sesuatu akan bergerak atau berubah, cepat atau lambat. Dengan demikian seorang guru sejarah selalu peka dan tanggap terhadap permasalahan masyarakat. Cara guru mengajar sejarah yang hanya berkisar di lingkungan kelas dan dengan materi dari buku teks saja akan menyebabkan murid-murid terasing dari permasalahan masyarakat. Konsekuensinya adalah tuntutan kemampuan atau kualitas mengajar merupakan bagian dari kualipikasi pendidikan yang harus dipenuhi oleh guru sejarah. Kualitas guru sejarah yang demikian tidak mungkin sepenuhnya di dapat di bangku kuliah. Cara yang paling sederhana untuk mengembangkan kemampuan adalah dengan memupuk kesenangan membaca tentang peristiwa-peristiwa serta tokoh-tokoh sejarah. Guru yang tidak dengan persiapannya mengajar baik, keterampilan, strategi, metode maupun persiapan materi ajar adalah tidak lain sekedar hanya mendikte dan lebih parah lagi guru yang bersangkutan tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan murid-muridnya. Oleh sebab itu kesiapan tenaga pengajar sejarah jauh sebelumnya sudah harus diupayakan memenuhi kualifikasi pendidikan sesuai profesinya sebagai guru sejarah. Sesuai dengan jalan pikiran di atas, maka guru sejarah yang professional adalah guru sejarah yang memiliki keahlian khusus dalam bidang mata pelajaran sejarah. Kemampuan ini di dapatnya dari lembaga pendidikan guru sejarah, ditambah dengan usaha terus menerus untuk menyempurnakan apa yang di dapat selama pendidikan dengan pengalaman baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Secara idealnya seseorang yang telah merasa terikat (committed) dengan profesi guru sejarah seharusnya tidak henti-hentinya menyempurnakan diri, antara lain dalam bidang strategi, metode mengajar, dan utamanya pengetahuan yang luas tentang sejarah bangsanya baik dalam konteks sejarah nasional maupun sejarah lokalnya. Dalam kondisi seperti itu, sedikit-sedikitnya dua hal akan tumbuh dalam citra guru sejarah, yakni disatu pihak guru 143
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
sejarah adalah suatu profesi yang untuk mencapainya diperlukan kualifikasi yang cukup berat. Di lain pihak akan tumbuh situasi dimana tidak begitu saja orang bisa diangkat sebagai guru sejarah. Bahkan seseorang yang tahu banyak tentang sejarah sekali pun (seperti ahli sejarah misalnya) hendaknya akan merasa “sungkan” menjadi guru sejarah, apabila dia bukan di didik khusus untuk itu. Mestinya tidak akan ada lagi pemikiran bahwa semua orang mampu mengajar sejarah. Asumsi-asumsi seperti itu masih banyak ditemukan di sekolah-sekolah terutama di SMA negeri yang menjadi objek penelitian ini. Di beberapa sekolah yang sempat ditemui ternyata dapat ditemukan kasus-kasus yang serupa dengan hal-hal di atas. Banyak guru yang beranggapan bahwa mengajar sejarah bisa saja diajar oleh semua orang. Meski berlawanan antara hati nurani mereka dengan alam yang nyata bahwa ketika diperhadapkan dengan tugas profesi mereka mengajar sejarah ternyata muncul dengan sendirinya kebohongan-kebohongan yang tidak bisa ditutup-tutupi. Kebohongankebohongan ini akan terungkap ketika siswa-siswa merasa kecewa terhadap perlakuan guru sejarah di depan kelas yang nyata-nyata tidak mampu mengungkap materi secara sempurna. Guru seperti ini sebenarnya walaupun tidak secara langsung mengatakan ketidakmampuannya mengajar, namun kebohongan itu akan terungkap baik melalui pengamatan langsung oleh pihak lain maupun akan terungkap dari siswa-siswa itu sendiri. Suatu hal yang sangat perlu diperhatikan ialah bahwa guru sejarah hendaknya adalah pengabdi kebenaran. Memang sejarah terkenal karena unsur subjektif yang inherent pada prosedur kerja sejarah itu sendiri, tetapi ini sama sekali bukan berarti bahwa guru begitu saja bisa berbohong. Ada tuntutan etis yang seharusnya tetap membimbing kata hati “orang-orang sejarah” yaitu kejujuran intelektual (integritas intelektual) yang seharusnya selalu mendasari kegiatannya. Tanpa merasa ada panggilan etis yang membimbing hati nuraninya seorang guru pasti akan terlibat dalam kebohongan inteluktualnya. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, telah diungkap permasalahan-permasalahan guru sejarah di berbagai sekolah tempat penelitian terutama dari kesiapan sekolah terhadap tenaga-tenaga pengajar sejarah. Terhadap pengamatan guru seperti ini ada tiga hal yang telah dilakukan yakni, pertama diamati langsung melalui proses belajar mengajar di kelas, kedua diamati liwat siswa-siswa terutama wawancara dengan mereka, dan 144
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
yang ketiga adalah dengan mengambil data-data guru pengajar sejarah dan dilihat latar belakang pendidikannya serta pengalaman mengajar di sekolah yang bersangkutan. Khusus untuk pengamatan yang ketiga, hal ini akan tampak di tabel seperti telah utarakan di atas. 2. Alokasi Waktu
Selain persoalan tenaga pengajar yang profesional menjadi kendala, juga alokasi waktu menjadi persoalan yang serius dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri kota Gorontalo. Dalam kurikulum mata pelajaran sejarah untuk SMA Negeri nampak bahwa alokasi waktu sangat berbeda jauh dengan mata pelajaran lain misalnya pelajaran Matematika termasuk pelajaran Bahasa Inggris.Untuk mata pelajaran sejarah khususnya materi kelas X semester I dengan Standar Kompeensi Prinsip-Prinsip Dsar Ilmu Sejarah waktunya sangat terbatas yakni hanya 1 X 45 menit. Apakah hal tersebut disebabkan karena mata pelajaran sejarah dianggap tidak terlalu penting dibanding dengan mata pelajaran lainnya atau karena sebab lain, hal ini tidak jelas alasan yang tepat. Perbedaan yang sangat menonjol dalam pembagian waktu untuk bidang ilmu sosial khususnya mata pelajaran sejarah dengan ilmu eksat, memunculkan asumsi bahwa telah terjadi pelecehan terhadap bidang pembelajaran sejarah. Apakah persoalan ini terjadi karena kebijakan sekolah masing-masing daerah atau kebijakan dari pusat, yang jelas pembelajaran sejarah dari sejak dulu masih merupakan persoalan yang sangat serius mengenai alokasi waktu tersebut. Untuk menanggapi persoalan di atas sangat memerlukan ketajaman pemahaman guru untuk memaknai kurikulum sejarah di SMA, guru tidak hanya berpegang teguh pada apa yang telah digariskan seolah-olah sudah merupakan harga mati. Depdiknas (2001: 23) telah memberikan sinyal bahwa:”pengembangan kurikulum adalah merupakan kegiatan operasional sekolah untuk mencapai visi, misi, tujuan yang telah dirumuskan mengacu pada kurikulum nasional dan lokal yang berlaku sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah yang dijabarkan dalam program tahunan dan semester berdasarkan kalender pendidikan”. Selama ini kencenderungan yang terjadi adalah guru masih tetap berpegang pada penyeragaman, baik pola pengajaran maupun isi materi pelajaran yang dianggap sama seluruh daerah. Demikian pula krakteristik anak didik dianggap sama di seluruh sekolah di 145
Yusni Pakaya, Permasalahan Kompetensi Guru dalam Pembelajaran Sejarah
Indonesia, tanpa memperhatikan perbedaan krakter peserta didik ia berada. Terkait dengan hal tersebut Aulia (2002: 173) berpendapat bahwa perlu peninjauan kembali terhadap kurikulum sejarah yang dewasa ini banyak disuarakan oleh masyarakat, karena terdapat penilaian bahwa kurikulum tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Ada beberapa permasalahan terhadap kurikulum sejarah yakni: (1) sentralistik, (2) beban materi yang terlalu berlebihan, (3) materi tumpang tindih yang dianggap hanya cocok bagi anak cerdas. Lebih lanjut Aulia (2002: 175) mengatakan bahwa kurikulum nasional yang sentralistik yang sudah berlangsung beberapa tahun sampai sekarang ini, telah melahirkan para pendidik terpaksa harus menjadi penterjamah yang hanya sekedar menyampaikan isi buku yang sudah ada dan kurang memiliki kemampuan, berdaya inovatif dan mampu mengembangkan semangat membangun kreatifitas anak didik. Pernyataan yang dikemukakan di atas ini bukan tidak ada bukti, tetapi pada kenyataannya dilapangan menunjukkan seperti itu bahwa guru sejarah rata-rata masih sekedar bertugas menyampaikan isi buku, dan belum mampu mengembangkan materi sejarah kearah peristiwa-peristiwa misalnya persitiwa kontemporer dan lain sebagainya yang bermakna bagi pembentukan kesadaran sejarah dikalangan siswa. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat dismpulkan bahwa: 1. Pelaksanaan pembelajaran sejarah di SMA selama ini nampak diajarkan guru secara tidak optimal karena masih terdapat guru yang kurang berkompetensi dan tidak menguasai materi sejarah. 2. Ketidak mampuan guru menguasai sejarah disebabkan latar belakang pendidikan sangat bertentangan dengan tugas mereka mengajar sejarah. Kebayakan guru pengajar sejarah tidak sesuai bidang kehlian mereka dengan tugas mengajar. 3. Kepetensi guru dalam pembelajaran sejarah ini masih rata-rata tidak memenuhi standar keprofesionalan yang diharapkan. Saran
1. Agar pembelajaran sejarah di SMA Negeri kota di Gorontalo ini dapat menarik dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, maka diperlukan 146
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 7, No. 1, Januari-Juni 2014
guru professional yang memilki kompetensi meyakinkan semua pihak. 2. Pengrekrutan tenaga-tenaga pengajar sejarah oleh sekolah khususnya SMA Negeri kota Gorontalo perlu memperhatikan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas yang diberikan kepada mereka. [ ]
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, 2002, Reformasi Pendidikan. Yogyakarta. Lape Pustaka Utama. Depdiknas, 2002. Pengembangan Kurikulum dan Sistem Pengajaran Berbasis Kompetensi. Jakarta Dirjen Dikdsmen. Http://www.sisdiknas.com. 2006. Sistem Pendidikan Nasional 2003. Jakarta Depdiknas Http://www.pp.no.19/2005.com. 2006. Standar Nasional Pendidikan. Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Http://www.uu.guru-dosen.com. 2006. Guru Sebagai Tenaga Profesional. Jakarta Depdiknas Tholkah, Imam. 200.4 Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta. PT Raja Grapindo Persada Miles dan Huberman. A. 1992 Analisis Data kualitatif, Terjamahan Tjetjep Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius. Sutopo, H.B 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Surakhmad, Winarno. 1988, Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: Janmars. Van der Moulen, W.J.S.J. 1987. Ilmu Sejarah dan Filasafat. Yogyakarta: Kanisius. Widja, I. Gede. 1989. Dasar-Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
147