PERMASALAHAN DAN SOLUSI PELESTARIAN KAWASAN KOTA LAMA KALIMAS April 23, 2010
1. Kawasan Kota Lama Kalimas Surabaya: Potensi dan Masalahnya: Pada tahun 1612 – 1625, Surabaya sudah merupakan Bandar perdagangan yang sangat ramai. Surabaya menjadi suatu pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah yang subur, yaitu, delta Berantas. Letak Surabaya yang strategis ini mengakibatkan bangsa-bangsa yang gemar berlayar dari Timur dan Barat bertemu. Kalimas serta merta menjadi suatu “Sungai Emas” yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman. Pelayaran dan perdagangan membuat kota Surabaya menjadi besar. Sejak dahulu, Sungai Kalimas menjadi working space (ruang kerja), marketing space (ruang pemasaran) dan transport line (jalur transportasi) bagi Kota Surabaya. Seiring dengan perkembangan Kota Surabaya yang demikian pesat kondisi kawasan sekitar Sungai Kali Mas menunjukkan gejala dan mengalami kondisi penurunan produktifitas diakibatkan oleh menurunnya nilai properti, kondisi fasilitas dan infrastruktur yang kurang memadai, serta kondisi wilayah dan social ekonomi yang tidak terintegrasi dengan kawasan lainnya. Saat ini, beberapa program tengah dikembangkan oleh pemkot Surabaya untuk meningkatkan pengelolaan Kalimas. Dan program-program tersebut dilakukan sesuai dengan arahan RPJM Kota Surabaya. Pelaksanaan RPJM Kota Surabaya, kemudian, didukung oleh Visi Pembangunan Kota Surabaya, yaitu “Surabaya Cerdas dan Peduli” (Surabaya Smart and Care). Yaitu mendukung terwujudnya kota Surabaya sebagai pusat perdagangan dan jasa yang cerdas dalam merespon semua peluang dan tuntutan global, didukung oleh kepedulian tinggi dalam mewujudkan struktur pemerintahan dan kemasyarakatan yang demokratis, bermartabat dalam tatanan lingkungan yang sehat dan manusiawi. Untuk implementasi pengelolaan Kalimas, maka digunakan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur, no.93 tahun 1997 tentang Pola Pengelolaan Sungai Kali Mas. Dalam Pasal 2, ayat (1) dinyatakan bahwa penggunaan tanah pada kawasan sekitar Sungai Kali Mas, dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Gubernur Kepala Daerah tk.I Jatim atau pejabat yang ditunjuk. Tetapi kemudian berdasarkan UU 7 / 2004 tentang Sumberdaya Air, maka pengelolaan Sungai Kalimas ada di Bawah Departemen Pekerjaan Umum, dengan Balai Besar Brantas sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya air yang meliputi perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi sumberdaya air, pengembangan sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air pada wilayah sungai. Kali Mas yang mengalir melalui Kota Surabaya dan bermuara di pantai Utara merupakan anak sungai dari Kali Surabaya yang juga merupakan anak sungai dari Sungai Brantas. Adapun Sungai Brantas, yang bermata air di wilayah pegunungan Kabupaten Malang, merupakan sungai yang banyak mendatangkan manfaat bagi wilayah yang dilaluinya., baik sebagai sumber air untuk irigasi maupun untuk pembangkit listrik. Sungai Brantas bercabang dua menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong di Mlirip Mojokerto. Sedangkan Kali Surabaya bercabang menjadi Kali Mas dan kali Wonokromo, di pintu air Jagir, Wonokromo. Sungai kali Mas yang mengalir ke arah Utara Kota Surabaya dari Pintu Air jagir sampai kawasan Tanjung Perak memiliki bentuk sungai yang meliuk dan sebagian melurus khususnya di bagian Utara. Lebar penampang permukaan sungai bervariasi antara 20 m – 35 m. Bagian terlebar ada di Kelurahan Ngagel dengan lebar sungai sekitar 35 m, yaitu di dekat pintu air. Di daerah ini kondisi air termasuk paling bersih sehingga disini air sungai dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk aktivitas MCK. Untuk lebar sungai tersempit terdapat di Kelurahan Bongkaran yaitu dekat Jln. Karet dan Jl. Coklat dengan lebar sekitar 20 m. Kedalaman Sungai Kali mas menurut data dari Perum Jasa Tirta adalah antara 1 m
– 3 m. Sedangkan kedalaman airnya antara 1 m – 2 m pada saat air laut pasang. Kedalaman sungai yang paling dalam berada pada kawasan “Monkasel” sampai kawasan Genteng. Secara umum, kegiatan hunian atau kawasan perumahan yang terdapat di sekitar Sungai kali Mas umumnya merupakan perumahan informal, yaitu perumahan kampung. Dan beberapa bagian diantaranya, merupakan perumahan “liar”. Bangunan perumahan baik yang kampung maupun yang liar, banyak menggunakan bahan-bahan bangunan non permanen hingga semi permanen, serta secara umum dalam kondisi yang memprihatinkan (tidak sehat) dan tidak dilengkapi dengan sarana sanitasi (MCK) yang memadai. Beberapa jembatan, sisi bagian bawahnya juga ada yang berubah fungsi menjadi hunian, dan dihuni secara ilegal oleh para pemulung. Kegiatan perdagangan yang berada di sekitar Sungai Kali Mas baik yang berbatasan langsung maupun yang terpisah jalan / berdekatan, dari sisi pelayanan mempunyai cakupan mulai skala kawasan hingga kota. Sedangkan dari sisi jenis fasilitas dan pola perdagangannya dapat dikelompokkan menjadi tipe perdagangan modern dan tipe perdagangan tradisional. Fasilitas yang masuk dalam kategori tipe perdagangan modern, bervariasi mulai dari bangunan berskala besar seperti plasa atau trade center dan memiliki layanan skala kota, misalnya Jembatan Merah Plasa, hingga Ruko / Pertokoan. Fasilitas yang dimasukkan dalam tipe perdagangan tradisional, umumnya adalah bangunan pasar, baik yang memiliki barang dagangan spesifik maupun yang campur. Diantaranya Pasar Keputran, pasar bunga kayoon dan pasar ikan hias Jln. Irian Barat serta pasar ikan di Kelurahan Nyamplungan. Pasar-pasar tradisional ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap memburuknya kondisi Sungai Kali Mas saat ini, karena pola kebiasaan pedagang yang menggunakan badan sungai sebagai wadah untuk membuang sampah. Pada dasarnya, kawasan sepanjang Sungai Kali Mas, dan berada di dalam Garis Sempadan Sungai, umumnya merupakan kawasan ruang terbuka hijau. Tetapi saat ini, kondisinya lebih banyak tidak terawat dan bahkan beberapa pinggiran sungai cenderung longsor, sehingga mengurangi lebar badan sungai. Beberapa tempat juga digunakan sebagai dumping area bagi kegiatan pembuangan sampah (TPS) maupun penumpukan barang dagangan (baik berupa barang bekas maupun produk barang secara umum). Kegiatan dan fasilitas Industri dan Pergudangan di sekitar Sungai kali mas, berada di sekitar kawasan Jln. Kalimas (baik yang Barat maupun yang Timur). Pada kawasan tersebut, banyak terdapat bangunan pergudangan yang selama inidimanfaatkan untuk mendukung kegiatan perdagangan dan ekspedisi yang berada di Pelabuhan Tanjung Perak maupun Pelabuhan Rakyat Kalimas. Secara umum, lahan dan area di sekitar Sungai Kali Mas (yang berbatasan langsung dengan pinggir sungai, baik yang bertanggul maupun tidak bertanggul)khususnya area sempadan sungai merupakan Tanah Negara yang penguasaannya di bawah kewenangan atau otoritas Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta. Oleh karena itu, segala bentuk pemanfaatan lahan di area tersebut, secara administratif harus berkoordinasi dengan Perum Jasa Tirta. Sedangkan untuk kegiatan yang dilakukan di area tersebut, diperlukan pula rekomendasi atau koordinasi dengan instansi / dinas yang secara fungsionalmemiliki kompetensi dengan kegiatan termaksud. Diluar area tesebut diatas, yang berdekatan dengan Sungai Kalimas, terdapat beberapa lahan yang dimiliki oleh perorangan atau badan yang status lahannya berupa Tanah Hak Milik dan ada juga yang berupa Hak Guna Bangunan. Di sekitar Sungai Kali Mas, khususnya yang di bagian Utara, terdapat banyak peninggalan bangunan lama yang menurut perda no. 5 tahun 2005 berpotensi sebagai bangunan cagar budaya. Kelurahan Bongkaran merupakan satu kelurahan yang paling banyak memiliki bangunan cagar budaya di wilayahnya. Bangunan cagar budaya tersebut tersebar di Jln. Karet dan Jln. Kembang Jepun. Secara umum, potensi yang saat ini ada pada lingkup kawasan / lokasi penelitian, antara lain adalah: 1. Terkait dengan Badan Sungai:
•
Keberadaan dan kesediaan penduduk / warga setempat beserta sistem sosialnya dalam pengelolaan Sungai Kali Mas
•
Penciptaan ruang publik bagi warga kota
• •
Sebagai tempat pemancingan
• •
Pengembangan wisata air
• •
Pengembangan transportasi air
• •
Alur Sungai Kali Mas yang relatif panjang (12 km)
• •
Tempat penampungan air hujan / banjir
•
Koordinasi antar instansi pemerintah daerah tk.I dan tk.II, dalam penggunaannya
Sebagai tempat mencari cacing darah bagi pakan ikan Pengembangan olah raga air Ketersediaan air baku untuk PDAM Jaringan utama drainase kota Sumber air baku
•
Koordinasi antar instansi Teknis atau antar dinas
•
Koordinasi antara Pemkot, pemprov dan masyarakat
2. Terkait dengan Daerah Sempadan Sungai:
•
Menghubungkan antara Sungai Kalimas dengan Cagar Budaya yang ada di sekitar kawasan tersebut
•
Memelihara sejarah perkembangan kota
• •
Penciptaan ruang publik bagi warga kota
• •
Pengembangan daerah penunjang olah raga air
• •
Penunjang bagi pengembangan fasilitas ekonomi di sekitarnya.
• •
Sebagai halaman depan bagi bangunan di sekitar Sungai Kali Mas.
• •
Jalan inspeksi
•
Koordinasi antar instansi pemerintah daerah tk.I dan tk.II, dalam penggunaannya
• •
Koordinasi antar instansi Teknis atau antar dinas
Pengembangan daerah penunjang wisata air Pengembangan pasar tradisional ramah lingkungan Ruang Terbuka Hijau Dumping area bagi pengerukan sungai. Dermaga
Koordinasi antara Pemkot, pemprov dan masyarakat
Secara umum, permasalahan yang saat ini ada pada lingkup kawasan / lokasi penelitian, antara lain adalah: 1. Terkait dengan Badan Sungai:
•
Hunian di bawah jembatan
• •
Badan sungai sebagai tempat pembuangan sampah penduduk sekitarnya.
• •
Adanya tambangan yang diusahakan oleh penduduk setempat.
•
Endapan atau lumpur yang tebal pada beberapa kawasan, merupakan kendala bagi alat transportasi sungai untuk melakukan pelayaran secara menerus.
•
Adanya pintu air, sehingga mengakibatkan perbedaan level dasar sungai yang cukup tinggi, juga merupakan kendala bagi alat transportasi sungai untuk melakukan pelayaran secara menerus.
Kegiatan MCK langsung di badan sungai Kualitas Air Sungai yang buruk
•
Permasalahan Drainase yang membawa endapan ke Sungai kali Mas
• •
Ruang di bawah Jembatan, cukup rendah. Buangan lumpur dari saluran Drainase.
2. Terkait dengan Daerah Sempadan Sungai:
• •
Daerah sempadan sungai sebagai hunian liar
•
Daerah sempadan sungai sebagai dumping area bagi barang-barang bekas ataupun barang milik penduduk setempat.
•
Daerah sempadan sungai sebagai tempat parkir pribadi, sehingga mengakibatkan longsornya pinggiran sungai.
•
Fasilitas wisata yang tidak / kurang terawat dan kurang sarananya, atapun tidak terkelola dengan baik.
• •
Lebar daerah sempadan sungai yang tidak sama pada tiap kawasan.
•
Ruang terbuka hijau yang terbatas dan tidak terawat, karena belum ada perencanaan pengembangan.
•
Banyaknya lahan di daerah sempadan sungai yang masih belum dimanfaatkan.
Daerah sempadan sungai sebagai tempat sampah sementara.
Beberapa kawasan belum memiliki tanggul sungai.
Jalur sungai di Surabaya merupakan salah satu lokasi potensial untuk membangun wisata air. Sebagian besar responden menyatakan bahwa jalur sungai di Surabaya memiliki potensi sebagai alternatif obyek wisata air di Surabaya. Sebanyak 65.6% responden menyetujui bahwa Surabaya memiliki potensi untuk membangun wisata air, khususnya wisata sungai, sementara 31.1% responden menyatakan tidak setuju jika Surabaya memiliki potensi untuk membangun wisata air. Sedangkan 3.3% responden menjawab tidak tahu. Berhubungan dengan jenis wisata air yang paling cocok di Surabaya, sebagian besar responden (28% responden) menginginkan wisata air dalam bentuk moda transportasi air. Hal ini berarti responden menginginkan wisata air dapat dijadikan alternatif moda transportasi selain moda transportasi darat yang sudah ada. Sebanyak 25% responden menginginkan wisata air dalam bentuk wisata pemandangan (sungai yang bersih dan asri). Responden mengemukakan jika wisata sungai direalisasikan akan membuat sungai di Surabaya menjadi lebih bersih dan asri dibandingkan dengan kondisi saat ini. Sementara itu 19.1% responden menginginkan wisata air dalam bentuk wisata keluarga (sebagai tempat peristirahatan, tempat makan dan tempat berkumpul keluarga), 16.5% responden menginginkan wisata air dalam bentuk wisata permainan (adanya taman bermain), dan 11.3% responden menginginkan wisata air dalam bentuk wisata pemancingan. Sebagian besar responden menyatakan salah satu keunggulan jika wisata sungai direalisasikan di Surabaya adalah masyarakat bisa menikmati pemandangan Kota Surabaya dari sungai (29.2% responden). Keunggulan lainnya menurut responden adalah wisata sungai merupakan wisata yang unik. Di pulau Jawa, wisata sungai merupakan hal yang tergolong langka, sehingga jika wisata sungai direalisasikan maka akan menjadi obyek wisata unggulan di Surabaya. Responden yang menyatakan demikian sebanyak 24.5% responden. Keunggulan lainnya relevan dengan wisata air yang diinginkan masyarakat Surabaya yaitu moda transportasi air sebagai moda transportasi alternatif di Surabaya, maka menurut responden salah satu keunggulan wisata air di Surabaya jika direaliasasikan adalah bisa menikmati moda transportasi air seperti bus air, kapal atau speedboat (20.9% responden). Keunggulan lainnya adalah arus sungai di Surabaya tidak deras (14.1% responden) sehingga masyarakat Surabaya bisa menikmati wisata sungai dengan nyaman. Salah satu keunggulan lainnya adalah dalam wisata sungai di Surabaya bisa dijadikan lokasi bersantai sebagai tempat memancing (11.1% responden) dan 0.2% responden menjawab jika wisata sungai jadi direalisasikan di Surabaya maka sungai akan menjadi bersih dan terawat. Selain memiliki keunggulan-keunggulan, sungai di Surabaya juga memiliki kelemahan-kelemahan mendasar jika dikembangkan menjadi wisata air. Sebagian besar responden menyatakan kelemahan utama sungai di Surabaya adalah sungai di Surabaya kotor dan kumuh (38.1% responden). Sehingga
jika dikembangkan menjadi obyek wisata air menjadi kurang menarik, karena tingkat pencemarannya sangat tinggi. Kelemahan lainnya menurut responden adalah perilaku warga sekitar sungai kurang mendukung (membuang sampah sembarangan). Responden yang menyatakan demikian sebanyak 32%. Selanjutnya 15.7% responden menyatakan kelemahan utama wisata air dibangun di Surabaya adalah perlu biaya yang sangat besar untuk merealisasikan rencana ini. Sedangkan 14.3% responden menyatakan kelemahan utama wisata air dibangun di Surabaya adalah infrastruktur wisata air belum tersedia. Dari kondisi eksisting yang ada saat ini, dapat disimpulkan sebagai berikut: Saat ini, berdasarkan kondisi eksisting pada badan air, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi Sungai Kalimas tidak layak untuk dijadikan Wisata Air. Tetapi, berdasarkan kondisi eksisting pada kawasan sempadan sungai dan sekitarnya, ditemukan 9 titik yang berpotensi sebagai titik / spot pengembangan, bagi pengembangan wisata air. Pada tiap titik / spot pengembangan, terdapat kondisi eksisting dalam kaitannya dengan rencana pengembangan potensi jalur sungai sebagai alternatif obyek wisata air di Surabaya, utamanya terdapat:
•
Bangunan Cagar Budaya sebagai Atraksi bagi Wisata Budaya
•
Daerah Sempadan Sungai sebagai Ruang terbuka hijau dan beberapa titik pada badan sungai yang dapat digunakan sebagai jalur transportasi.
•
UKM Unggulan tiap Kelurahan, yang dapat merupakan alternatif stakeholder bagi pengembangan Daerah Sempadan Sungai sebagai Daerah Wisata Khusus / wisata UKM
Karenanya dibutuhkan penggunaan secara terintegrasi Daerah Sempadan Sungai, sebagai Sarana ekologis, Sarana Kegiatan Ekonomi, Sarana Kegiatan Sosial Budaya yang menunjang wisata air. Walaupun memiliki kekhawatiran terkait dengan kondisi existingnya yang kurang mendukung, hampir semua stakeholder di Kalimas Surabaya optimis jika wisata sungai di Surabaya memiliki daya tarik besar untuk menarik wisatawan baik domestik maupun manca negara (62,7% – 79%).Dan hampir semua stakeholder di Kalimas Surabaya mengemukakan bahwa rencana pengembangan potensi jalur sungai sebagai alternatif obyek wisata air sedikit banyak akan mempengaruhi aktifitas dan kegiatan/usaha yang dijalankan oleh para stakeholder. Namun pada umumnya para stakeholder optimis akan memberikan dampak positif bagi kegiatan atau usaha yang mereka jalankan (89 %). Untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi eksisting tersebut diperlukan:
•
Pengendalian, melalui penerapan kebijakan, baik tata ruang muapun kebijakan terkait, termasuk pengembangan kawasan sebagai obyek wisata air.
•
Penerapan teknologi
•
Pemberdayaan masyarakat, termasuk pelibatan potensi sosial ekonomi masyarakat dalam pengembangan fungsi sungai sebagai obyek wisata air.
Diketahui ragam kebutuhan dan harapan warga kota Surabaya terhadap pembangunan wisata yang berobyek jalur sungai. Secara umum dampak positif yang muncul adalah pembenahan sungai di Surabaya (khususnya Kalimas yang menjadi lokasi obyek wisata air) dari kesan sebelumnya kotor dan kumuh menjadi sungai yang bersih dan indah. Dampak lainnya adalah menghidupkan perekonomian Surabaya khususnya pada stakeholder-stakeholder yang berhubungan langsung dengan aktivitas wisata sungai seperti biro perjalanan, rumah makan, hotel/penginapan, pedagang yang berjualan di sepanjang Kalimas dan lain-lain. Dampak positif lainnya adalah membuka lapangan kerja baru khususnya yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas wisata sungai. Dampak negatif utama yang muncul adalah bagi warga yang tinggal di sepanjang aliran Kalimas. Kebijakan pengembangan potensi wisata di Kalimas akan menyebabkan sebagian orang yang tinggal di sepanjang Kalimas akan kehilangan rumah dan mata pencaharian mereka. Kebijakan pengembangan wisata akan menyebabkan sebagian lahan yang ada di sepanjang Kalimas Surabaya akan dibangun infrastruktur pendukung seperti dermaga sandar kapal kecil, taman, tempat makan (Pujasera), lahan penghijauan di sepanjang kali dan pedestrian road (jalan setapak) di sepanjang kali. Penambang kapal yang bertahun-tahun telah bekerja di Kalimas akan kehilangan mata pencaharian karena adanya alat transportasi modern seperti kapal dan bus air.
2. Pelestarian Arsitektur: ”Yang Lama”, ”Yang Baru” dan ”Yang Akan Datang” Secara umum, program pelestarian arsitektur di kota, mempunyai beberapa faktor penghambat, antara lain yaitu : Pertama, minimnya anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah untuk pelestarian BCB; Kedua, kurangnya minat investor swasta dan kontraktor dalam melakukan konservasi dan revialisasi BCB dengan berbagai alasan, seperti tidak menguntungkan dari segi bisnis, besarnya pajak, rumitnya birokrasi dan masih dipercayanya 4 mitos pendaurulangan BCB, yaitu (1) bahwa biaya pendaurulangan lebih mahal dibandingkan membangun baru; (2) bahwa bangunan kuno tidak efisien untuk fungsi baru; (3) bahwa tingkat kekosongan (vacancy rate) untuk bangunan perdagangan dan perkantoran pada kawasan kuno lebih tinggi dibandingkan pada kawasan baru dan (4) bahwa bangunan kuno yang diremajakan akan memiliki umur yang lebih pendek ketimbang bangunan baru. Ketiga, kurangnya kesadaran akan rasa memiliki dan melindungi, baik para pemilik, pemerintah, investor maupun masyarakat; Keempat, belum maksimalnya aplikasi kebijakan Pemerintah dalam pelestarian BCB. Walaupun menjadi kebijakan penting, namun bukan prioritas. Selain itu, pengelolaan BCB saat ini menjadi monopoli pemerintah, tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Kelima, masih lemahnya pengamanan dan penindakan oleh aparat hukum dalam perlindungan BCB, yaitu dengan adanya tindakan kriminal, seperti pencurian, pemalsuan dan vandalisme (pengrusakan, pencoretan, dan lainlain). Keenam, pemahaman konsep tata kota modern yang salah. Akibatnya, kepala daerah membangun hotel, mall, supermarket disetiap sudut kota dan gedung-gedung pencakar langit lainnya sebagai tanda keberhasilan pembangunan daerah, tanpa memperhatikan keberadaan BCB. Perlu diakui, musnahnya bangunan tua bukan semata-mata karena keterbatasan pengelola kota secara administratif, tetapi memang juga perbedaan aspirasi dan kepedulian masyarakat akan hakikat pelestarian bangunan tua. Pada sisi lain, orientasi yang kaku terhadap tuntutan ekonomi tidak hanya menyebabkan disorientasi pembangunan fisik, tetapi juga penolakan terhadap konsep dan produk seni bangunan yang telah terbina, termasuk warisan arsitektur atau bangunan tua. Bangunan tua yang dikuasai individu relatif lebih rentan dihancurkan dibandingkan dengan bangunan milik pemerintah atau negara. Sebenarnya, meskipun dikuasai individu, keberadaan bangunan tua tersebut tetap dapat memberi kontribusi bagi wajah lingkungan kota. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa pemilik bangunan tua tidak dapat berbuat sesuka hati terhadap bangunan miliknya, apalagi jika bangunan itu berpotensi menjadi penanda kota (tengeran). Ada sejumlah kriteria dalam upaya menata dan mengatur pelestarian arsitektur Kota. Salah satu di antaranya, sebagaimana ditulis dalam buku “Historic Preservation, on Introduction to Urban Planning” karya Wayne O. Attoe (1979), ada faktor-faktor: (1) kesejarahan bagi bangunan/arsitektur yang dapat memberikan arti simbolis atau tertentu bagi peristiwa kota di masa lalu, (2) keistimewaan bangunan/arsitektur seperti bangunan tertua, pertama, terbesar, hingga terkecil,
(3) kelangkaan karena terbatasnya peninggalan yang masih tersisa, (4) kejamakan/tipikal, dimana bangunan tersebut dapat diwakili atau sebagai contoh jenis bangunan tertentu, dan (5) estetika, seperti menunjukkan langgam/gaya, struktur dan konstruksi, tampilan visual tertentu dan aksentuasi untuk memperkuat/menonjolkan arsitektur atau lingkungan sekitarnya. Sementara menurut Perda Kota Surabaya no. 5/2005, tentang Pelestarian Bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya, bab V tentang criteria, tolok ukur dan penggolongan, pasal 9 ayat (1) menyatakan bahwa penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan criteria umur, estetika, kejamakan, kelangkaan, nilai sejarah, memperkuat kawasan, keaslian, keistimewaan, serta tengeran. Seluruh kriteria tersebut, secara detail telah diterangkan pada pasal 10. Berdasarkan kriteria dan tolok ukur tersebut, kemudian ditentukan penggolongan bangunan cagar budaya. Penggolongan ini pada akhirnya menentukan tindakan pelestarian terhadap bangunan cagar budaya. Dengan demikian, program pelestarian yang tadinya hanya berupa pendokumentasian semata, bisa berubah menjadi aplikatif karena adanya rekomendasi tindakan yang terkait penggolongan bangunan cagar budaya tersebut diatas. Jika dikaitkan dengan upaya penyelamatan warisan arsitektur, hakikat dari pelestarian warisan arsitektur (aset budaya bangsa) mengarah pada proses apresiasi dan pembukaan wawasan intelektual (edukatif). Pentingnya keberadaan bangunan lama di kawasan kota terletak pada kontribusi memorialnya dalam membentuk karakter lingkungan binaan di sekitarnya, namun bukan menuju pada romantisme belaka! Penyelamatan warisan arsitektur, harus dikaitkan dengan fungsinya sebagai jembatan yang menghubungkan “yang lama” dan “yang baru” untuk membangun “yang akan datang” dengan lebih baik. Meski sejarah bangunan hingga kini masih menjadi sumber penting bagi pelestarian bangunan lama, namun pelestarian bangunan dan lingkungan atas nama sejarah harus membuka penafsiran baru akan makna baru. Artinya, keterkaitan antarkeberadaan bangunan dan eksistensi komunitasnya akan selalu menuntut penafsiran baru. Jadi, bangunan tua seharusnya menjadi investasi kegiatan lain yang mampu memberi perspektif kehidupan baru komunitasnya. Dengan argumen ini, maka seharusnya memungkinkan fungsi bangunan lama untuk dimanfaatkan untuk kegiatan baru yang lebih relevan selain memungkinkan pula pengalihan kegiatan lama oleh aktivitas baru tanpa harus menghancurkannya. Pelestarian warisan kota perlu bisa disosialisasikan dengan lebih intensif sebagai tindak sinergis yang dapat menghasilkan manfaat sosial, ekonomi, budaya bagi kehidupan kolektif, yang tidak sekedar berlingkup pendokumentasian saja. Selanjutnya, perlu dilakukan pencanangan secara kolosal terhadap upaya pelestarian ini, yaitu berupa program pelestarian warisan budaya kota yang mampu melibatkan peran serta masyarakat. Partisipasi / peran aktif dari masyarakat sangatlah diperlukan. Sebagai contoh, program Surabaya Green and Clean, ternyata mampu merubah gaya hidup masyarakat yang tadinya sangat tidak perduli lingkungan, menjadi masyarakat yang sangat antusias dalam menjaga lingkungannya. Adapun langkah-langkah awal yang segera harus dilakukan adalah mensosialisasikan perda Kota Surabaya no. 5/2005, tentang Pelestarian Bangunan dan/atau lingkungan cagar budaya, kepada seluruh unsur masyarakat, baik pengusaha, komunitas-komunitas tertentu, pelajar/mahasiswa, maupun masyarakat awam. Ini karena, masalah pelestarian bangunan, sangatlah sensitif. Tiap orang akan memiliki persepsi yang berbeda terhadap usaha ini. Pelestarian bangunan bersejarah memiliki manfaat yang bersifat pragmatis. Pelestarian bangunan bersejarah penting artinya bagi pengembangan kegiatan wisata budaya khususnya dan wisata kota umumnya, sehingga meningkatkan PAD. Perlu diupayakan agar bangunan-bangunan bersejarah– meskipun sekarang memiliki fungsi tertentu – dikelola pula menjadi obyek wisata yang selalu menarik perhatian para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Untuk keberhasilan upaya tersebut, pemerintah perlu membina warga masyarakat, sehingga mereka turut menjaga kelestarian bangunan cagar budaya.
Hal lain yang harus dipikirkan adalah masalah pembiayaan dalam pelestarian. Bila bangunan cagar budaya tersebut, merupakan bangunan publik, relatif lebih mudah dalam melakukan pelestarian, karena punya nilai ekonomis. Tetapi bila bangunan tersebut milik individu dan dijadikan rumah tinggal belaka, maka ini sangatlah sulit. Dalam kondisi ini, bila tidak dengan kesadaran yang tinggi dan ditunjang oleh kondisi ekonomi yang mapan dari pemilik bangunan, maka program pelestarian sangatlah sulit diterapkan. Sosialisasi program pelestarian bangunan, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran yang tinggi di masyarakat terhadap pentingnya pelestarian bangunan cagar budaya. Pada akhirnya, diharapkan peran serta mereka dalam tindakan pelestarian, utamanya peran perusahaan-perusahaan swasta/BUMN/BUMD untuk ikut andil sebagai bapak angkat bagi pelestarian bangunan cagar budaya. Dengan adanya UU PT yang mewajibkan adanya CSR (Community Social Responsibility), maka kemungkinan adanya bapak angkat / bapak asuh bagi bangunan cagar budaya sangatlah besar. Utamanya bagi bangunan yang fungsinya saat ini hanya sebagai rumah tinggal individu. Adapun kompensasinya, bisa berupa apa saja selama masih dalam koridor tindakan pelestarian. Misalnya menjadikannya show room bagi produk usaha, wisma tamu maupun lainnya, sesuai kesepakatan dengan pemiliknya. Selanjutnya, juga perlu diadakan training/ pelatihan khusus bagi pemilik bangunan cagar budaya tentang cara-cara pemeliharaan yang sesuai dengan kaidah pelestarian. Program ini, pada akhirnya akan merubah sifat bangunan tua yang tidak produktif, menjadi bangunan yang bernilai ekonomis. Dengan demikian, tujuan program pelestarian sebagai generator pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya bagi masyarakat secara luas, guna mencapai; keseimbangan lingkungan, keamanan-keselamatan & kesehatan publik serta berkelanjutan kehidupan kota, dapat terlaksana. Untuk menjamin kelancaran dan kemudahannya, diperlukan rambu-rambu formal dari pemerintah, bisa berupa MoU biasa hingga perda baru terkait hal ini. Upaya pelestarian warisan (arsitektur) kota dapat diartikan dan dimaknai mempunyai manfaat tinggi sebagai generator pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya bagi masyarakat secara luas, guna mencapai; keseimbangan lingkungan, keamanan-keselamatan & kesehatan publik serta berkelanjutan kehidupan kota. Bila dicermati, masih terdapat potensi partisipasi masyarakat didalam upaya pelestarian warisan (arsitekur) kota di Surabaya, sebagai bagian dari kegiatan penataan ruang. Walaupun masih bersifat parsial, tidak sinergis serta terorganisasi. Kesadaran partisipasi masyarakat didalam pelestarian warisan kota perlu mendapat dukungan luas dari Pemerintah Kota Surabaya dan Masyarakat Akademis. Dengan siklus program pelestarian seperti yang telah diterangkan sebelumnya, maka manfaat pelestarian warisan (arsitektur) kota pada dasarnya bisa dioptimalkan. Pertanyaan yang sering terlintas dalam pikiran kita, pada saat melakukan tindakan pelestarian, yaitu: ini warisan budaya siapa? Untuk siapa ini dilestarikan? Siapa seharusnya yang berkewajiban melakukan pelestarian? Dll, dsb, atau konflik tersebut seharusnya bisa dieleminir, bahkan dihapuskan dengan menanamkan kesadaran bahwa tindakan pelestarian ini akan membawa manfaat yang besar bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta generasi penerus kita di masa depan. 3. Usulan Solusi Pelestarian Arsitektur Kawasan Kota Lama Kalimas. Yang diperlukan oleh Kawasan kota Lama Kalimas, saat ini, adalah sebuah Rencana Revitalisasi yang Komprehensif. Dalam hal ini, tidak saja terfokus pada pelestarian dan pengelolaan bentukan-bentukan arsitektur di sepanjang Sungai Kalimas, tetapi juga revitalisasi terhadap sungainya. Dan karena hal tersebut berkaitan sangat erat dengan perilaku, persepsi dan sikap masyarakatnya, maka sebuah strategi untuk merubah, meningkatkan dan mengelola perilaku, persepsi dan sikap warga sekitar Sungai kalimas, juga sangat dibutuhkan. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan, antara lain adalah: A. Peningkatan kualitas kondisi existing sungai di Surabaya terkait dengan rencana pengembangan potensi jalur sungai melakukan program peningkatan kualitas (badan) air dengan pihak-pihak yang lebih kompeten, baik di dalam maupun luar negeri dalam suatu program Revitalisasi kondisi eksisting Sungai Kalimas Surabaya.
B. Peningkatan kualitas terhadap persepsi, sikap dan perlakuan warga Kota Surabaya terhadap adanya pengembangan jalur sungai sebagai alternatif obyek wisata air. Dari analisis yang telah dilakukan, peran masyarakat, pada akhirnya sangat signifikan bagi pengembangan wisata air Kalimas. Karenanya diperlukan pelibatan masyarakat dalam berbagai skala kegiatan wisata. Pengembangan wisata UKM merupakan salah satu inovasi dapat digunakan sebagai faktor pemicu dalam pelibatan masyarakat. C. Pengembangan Potensi sungai di Surabaya untuk dijadikan obyek wisata, baik wisata alam maupun wisata budaya, dan mengangkat bangunan-bangunan cagar budaya sepanjang sungai sebagai “Jendela Pamer” kesejarahan Kota Surabaya. D. Tercapainya pemenuhan kebutuhan dan harapan warga Kota Surabaya terhadap adanya pengembangan jalur sungai sebagai alternatif obyek wisata air, dengan adanya pengembangan jalur sungai sebagai alternatif obyek wisata air yang memiliki daya tarik. Oleh : Retno Hastijanti