PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO (Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf a, d dan h)
SKRIPSI Oleh : REZA HARIS E1A004208
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO (Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 4 huruf a, d dan h)
Oleh : REZA HARIS E1A004208
SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011
ii
SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (KAI) PERSERO PURWOKERTO
Oleh: REZA HARIS
E1A004208 Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal 22 Agustus 2011
Para penguji/pembimbing Penguji I/ Pembimbing I
Penguji II/ Pembimbing II
Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
Penguji III
Dr. Arief Suryono, S.H., M.H. Agus Mardianto, S.H., M.H. NIP. 19580929 198702 1 001 NIP. 19650831 200312 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001 iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: REZA HARIS
NIM
: E1A004208
Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi
: PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
KONSUMEN
PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO. Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan
K
REZA HARIS NIM. E1A004208
iv
ABSTRAK
Pengaturan di seputar jasa pelayanan perparkiran masih terjadi perdebatan, terutama soal wujud jasa yang diperdagangkan. Peraturan perundang-undangan masih memandang bahwa yang dimaksud dengan layanan jasa parkir adalah penyediaan lahan yang disewa untuk tempat parkir kendaraan, tidak termasuk keamanan. Kehilangan dan atau kerusakan yang terjadi pada kendaraan tersebut selama berada di lahan parkir, menjadi tanggung jawab konsumen sendiri. Hal ini sangat merugikan pihak konsumen jasa parkir yang telah membayar sejumlah uang namun tidak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini berusaha untuk mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf a belum terpenuhi, yaitu pengelola hanya sekedar menyediakan tempat/lahan parkir untuk disewa dan bukan penitipan kendaraan, bahwa didalam hubungan hukum sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut, tanpa membebankan kepada pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 2. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf d belum terpenuhi, karena keluhan tentang kurangnya pengawasan hanya sekedar ditampung, tanpa ada upaya untuk melakukan penjagaan yang ketat pada pintu keluar, yaitu tidak ada penarikan karcis dan pemeriksaan STNK pada setiap kendaraan yang meninggalkan area parkir. 3. Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf h belum terpenuhi, yaitu pengelola jasa parkir berlindung di balik klausula baku yang tertera dalam karcis parkir, bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung. Kata kunci: perlindungan hukum, konsumen, jasa, parkir
v
ABSTRACT
The arrangement of the parking service still becomes the controversy discussion, especially about the form off service, that will traded, the ordinance regulation still considering that what has been defined by the parking service is the providing the area which is hired for the parking place , not involve the security . the lost or the damages , that occourd for the vehicles which is located in the parking places it becomes the responsible of consumer it self . it very inflict a financial lost for the consumer side who uses the parking service where they have paid some of money but they still having no of time, the guaranty security and safety, based on he reason above this research, tries to examine the law protection to the consumer as the parkinf service user in station PT. KAI PERSERO PURWOKERTO based on the Article 4 letters a, lettera b, and letters h ordinance No.8 about a consumer protection. Based on the research result and discussion about the law protection to the consumer protection as the parking service user in stationPT.KAI Persero Purwokerto is obtained the result as following: 1. Law protection to the consumer as the parking area user in Station PT. KAI Persero Purwokerto by where the management only provide the plase/parking area to be hired and not for the vehicles storage,that in thelaw relation of hire, there is the payment process there is conducted by consumer to the businessman to responsible for the loss or damage that has been cause by consumer. 2. Law protection to the consumer as the parking area user in station PT. KAI Persero Purwokerto by PT. Linggarjati Permai based on the Article 4 letters d has not being fulfilled, because the complaint about the lack of controlling they just accommodate the vehicles without any effort to conduct the tight security in every exit door, there is no any ticket collection and checking STNK for every vehicle that leave the parking area. 3. Law protection to the consumer as the parking area user in Station PT. KAI Persero Purwokerto by PT. Linggarjati Permai based on the Article 4 letters h has not been fulfilled, where the management of parking area be hind the legal clausal that is explained in the parking ticket, that loss of goods/vehicle is not responsible for the parking area management. Keyword: law protection, consumer, service, parking
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Alloh SWT atas limpahan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN PENGGUNA JASA PARKIR DI STASIUN PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO) PURWOKERTO” dengan baik dan lancar. Skripsi ini merupakan persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada: 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, SH., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto., yang sekaligus juga sebagai Dosen Pembimbing I/Penguji I., yang telah begitu banyak memberikan saran dan motivasi sehingga studi ini dapat terselesaikan. 2. Bapak Dr. Arief Suryono, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II/Penguji II, yang telah memberikan nasihat dan perbaikan dalam penyusunan tugas akhir ini. 3. Bapak Agus Mardianto, S.H., M.H.selaku Dosen Penguji III, yang telah memberikan kritik, saran, serta perbaikan dalam penyusunan tugas akhir ini. 4. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Unsoed, yang tidak mungkin dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua tempaan ilmu dan wawasan yang telah penyusun peroleh selama ini. 5. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.
vii
Penyusun menyadari bahwa skripsi ini hanya merupakan studi awal yang mengandung banyak kelemahan. Oleh sebab itu penyusun dengan terbuka menerima segala bentuk kritik dari pembaca yang budiman, karena komentar, saran, kritik dan masukan merupakan warna yang indah dalam dialog intelektual. Penyusun percaya bahwa dengan kritik seseorang akan lebih memahami kemampuan, kelebihan, kelemahan dan kekurangan dirinya. Semoga karya kecil ini dapat bermanfaat..
Purwokerto, 25 Agustus 2011 Penyusun
Reza Haris
viii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN ............................................................................
i
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................
iv
ABSTRAK ..............................................................................................................
v
ABSTRACT ............................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .............................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
ix
BAB I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................
10
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................
10
D. Kegunaan Penelitian .........................................................................
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
11
A. Hukum Perlindungan Konsumen ......................................................
11
1. Pengertian dan Tujuan Perlindungan Konsumen ........................
11
2. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen ....................................
14
3. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen .............................
15
B. Konsumen .........................................................................................
19
1. Pengertian Konsumen .................................................................
19
2. Hak dan Kewajiban Konsumen ..................................................
21
C. Pelaku Usaha .....................................................................................
30
1. Pengertian Pelaku Usaha ............................................................
30
2. Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaku Usaha ....................
32
D. Retribusi Parkir .................................................................................
38
ix
E. PT. Kereta Api Indonesia (Persero) ..................................................
42
1. Pengertian Badan Hukum ...........................................................
42
2. Pengertian Perseroan Terbatas ....................................................
44
3. Perubahan Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT. Kereta Api (Persero) ...............................................................................
50
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
52
A. Metode Pendekatan ...........................................................................
53
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................
53
C. Lokasi Penelitian ..............................................................................
53
D. Sumber Data ......................................................................................
54
E. Metode Pengumpulan Data ..............................................................
55
F. Metode Penyajian Data .....................................................................
55
G. Metode Analisis Data ........................................................................
56
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................
57
A. Hasil Penelitian ................................................................................
57
1. Data Sekunder .............................................................................
57
1.1. Penyelenggaraan Pelayanan Jasa Parkir Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir ............................................
57
1.2. Pengelolaan Lahan Parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto .........................................................................
58
1.3. Klausula/Perjanjian Baku dalam Pelaksanaan Pelayanan Parkir di PT. KAI Persero Purwokerto ..............................
59
2. Data Primer .................................................................................
59
x
B. Pembahasan .......................................................................................
60
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa ...........................................
63
2. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa ................................................................................
65
3. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya .......
66
BAB V. PENUTUP ...............................................................................................
86
A. Simpulan ...........................................................................................
86
B. Saran ..................................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
88
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial. Nilainilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama. Perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sanadianto sebagai berikut: Definisi dari perlindungan hukum itu sendiri yaitu segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada. Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen) diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
xii
(rechtstaat) dan Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights” (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights”. Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan dan hak warga, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya (imperatif : hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengembang kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik. Perlindungan hukum berarti perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku, dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang yang mutlak benar, sehingga seseorang yang dituduh bersalah maka orang itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Barita Tambunan dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: Perlindungan hukum terdiri dari dua suku kata yaitu “perlindungan” dan “hukum”. Artinya, perlindungan menurut hukum dan undang-undang yang berlaku. Bahwa pada hakekatnya tidak ada orang yang mutlak salah dan tidak ada orang yang mutlak benar. Apabila seseorang dituduh bersalah maka orang yang dituduh bersalah itu harus diperiksa dan diadili sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku. Apabila seseorang yang dituduh bersalah akan tetapi diperiksa dan diadili tidak sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku maka apa bedanya orang yang memeriksa dan mengadili dengan orang yang dituduh bersalah itu.
xiii
Erwin Yuniatiningsih di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Perlindungan hukum mencakup semua objek, termasuk di dalamnya konsumen sebagai objek perlindungan. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati menyatakan begitu pentingnya perlindungan terhadap konsumen sebagai berikut: Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antar konsumen, pengusaha dan pemerintah. Nonet dan Selznick, sebagaimana dikutip oleh Abidin, menyatakan sebagai berikut: Konfigurasi politik demokratis akan melahirkan produk hukum responsif, yang mencerminkan dan mengakomodasi aspirasi kepentingan rakyat. Sebagai produk politik, negara banyak menggunakan hukum untuk mengatur pola perilaku masyarakat untuk memenuhi tuntutan sosial, yaitu memenuhi aspirasi dan kepentingan rakyat. Masalah konsumen sebagai bagian dari obyek pengenaan aturan/hukum tersebut, dan untuk itu timbul hukum konsumen. A.Z. Nasution memberikan batasan hukum konsumen sejalan dengan batasan hukum internasional, dimana hukum konsumen dibatasi sebagai:
xiv
Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat”. Skala hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Shidarta sebagai berikut: Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap pihak ketiga. Pada awalnya masalah perlindungan konsumen diawali dengan munculnya pergerakan konsumen (consumer movement) yang merupakan reaksi masyarakat konsumen terhadap kelalaian yang dilakukan oleh birokrasi dan ketidakpedulian perusahaan. Hal tersebut membawa ekses yang positif terhadap peraturan hukum konsumen itu sendiri dan hukum perlindungan konsumen. Shidarta dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: Istilah ”Hukum Konsumen” dan ”Hukum Perlindungan Konsumen” sudah sering didengar, namun belum jelas apa yang masuk dalam materi keduanya. Juga apakah kedua ”cabang” hukum itu identik. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasannya.
xv
Sesuai dengan namanya, adressat dari hukum konsumen untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Sebagai konsekuensi logis dari hukum konsumen adalah hukum perlindungan konsumen. Hal senada dikemukakan oleh A.Z. Nasution, yang mengatakan sebagai berikut: Hukum perlindungan konsumen sebagai bagian khusus dari hukum konsumen. Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Inti dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ahmadi Miru sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Kata “segala upaya memperluas makna perlindungan konsumen, yaitu tidak terbatas hanya pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun juga meliputi aturan lain sepanjang aturan tersebut memang memberikan perlindungan kepada konsumen. Aturan di sini hendaknya diartikan secara luas, tidak terbatas pada aturan tertulis, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi semacam pedoman untuk selalu dilakukan. Kata tersebut (segala upaya) diikuti kata “yang menjamin adanya kepastian hukum”, sehingga menjadi --kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen..
xvi
Objek dari hukum perlindungan konsumen adalah produk barang dan/atau jasa yang diambil manfaatnya (dikonsumsi) oleh konsumen. Pengertian barang berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 1 angka 4 yang menentukan sebagai berikut: Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian jasa diatur pada Pasal 1 angka 5 yang menentukan sebagai berikut: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ahmadi Miru, berkaitan dengan pengertian produk jasa sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 5 tersebut di atas, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Pengertian jasa di dalam Pasal 1 angka 5 yang menyebut kata “bagi masyarakat” memberikan kesan bahwa jasa yang dimaksud haruslah jasa yang ditawarkan kepada lebih dari satu orang. Ini berarti, jasa yang merupakan layanan khusus kepada individu secara perseorangan bukanlah jasa sebagaimana dimaksud UUPK. Kesimpulan seperti ini mungkin dirasakan ganjil, terutama bila dihubungkan dengan persediaan jasa, atau yang disebut layanan itu, sifatnya sangat terbatas hanya dapat ditawarkan kepada seseorang. Misalnya dalam jasa angkutan barang, yang kebetulan seorang pengusaha baru memiliki satu alat angkutan, tidak dapat dihindari oleh pengusaha yang bersangkutan kecuali menawarkan hanya kepada seseorang. Dalam hubungan ini, lebih tepat bila dalam rumusan tersebut tidak menyebutkan istilah “bagi masyarakat”, tetapi “bagi anggota masyarakat”. Dengan demikian tidak terbatas hanya ditawarkan untuk dua atau lebih orang, melainkan
xvii
termasuk penawaran yang dilakukan kepada seseorang, yang dalam hal ini layanan dimaksud disediakan untuk anggota masyarakat. Salah satu bentuk layanan jasa yang ditawarkan dan disediakan bagi konsumen adalah layanan jasa (retribusi) parkir. Pelayanan jasa parkir di Purwokerto salah satunya diselenggarakan oleh Stasiun Purwokerto yang merupakan stasiun besar Daerah Operasi 5 (DAOP 5). Stasiun Kereta Api Purwokerto merupakan satu-satunya stasiun yang melayani masyarakat yang berada di Kabupaten Banyumas yang ingin menggunakan jasa perkeretaapian.
Semakin
banyaknya
warga
yang menggunakan
jasa
pelayanan
perkeretapian, maka sudah seharusnya sarana penunjang perkeretaapian harus ditingkatkan terutama sarana yang berada di areal stasiun, terutama mengenai jasa perparkiran. Pergerakan kendaraan yang terjadi sudah pasti diawali dan diakhiri di tempat parkir. Kondisi yang semacam ini tentunya akan membutuhkan ruang parkir yang memadai, namun persediaan ruang parkir di kawasan pusat kota biasanya sangat terbatas, terutama areal parkir di luar badan jalan (off Street parking). Masalah utama dari parkir adalah terbatasnya ruang parkir yang tersedia dibandingkan dengan jumlah kendaraan yang membutuhkan tempat areal parkir sehingga untuk pemecahannya perlu ditambah areal parkir yang luas sedangkan di pusat kota terutama pada kawasan yang kegiatan perdagangan dan jasa tinggi lahan yang ada sangat terbatas dan mahal. Penyelenggaraan jasa parkir dalam lalu lintas harus sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam hal ini diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
xviii
Angkutan Jalan. Pasal 1 angka 15 UU No. 22 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang parkir sebagai berikut: Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. Pasal 1 angka 16 UU No. 22 Tahun 2009 lebih lanjut menegaskan tentang pengertian berhenti sebagai berikut: Berhenti adalah keadaan kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya. Penyediaan fasilitas parkir berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 diatur pada Pasal 43 yang menegaskan sebagai berikut: (1) Penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar ruang milik jalan sesuai dengan izin yang diberikan. (2) Penyelenggaraan fasilitas parkir di luar ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok. (3) Fasilitas parkir di dalam ruang milik jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan rambu lalu lintas, dan/ atau marka jalan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengguna jasa fasilitas parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
xix
Pengertian parkir di tempat umum diatur pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) yang menegaskan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat, hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 44 UU No. 22 Tahun 2009 sebagai berikut: Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan: a. rencana umum tata ruang; b. analisis dampak lalu lintas; dan c. kemudahan bagi Pengguna Jasa. Pelayanan jasa parkir di Kabupaten Banyumas didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 memberikan definisi tempat parkir pada Pasal 1 angka 6 sebagai berikut: Tempat Parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang bersifat tidak sementara pada suatu kurun waktu yang tertentu. Pasal 1 angka 7 menegaskan tentang pengertian parkir sebagai berikut: Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.
xx
Pembayaran jasa layanan parkir disebut dengan retribusi parkir, hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 angka 8 sebagai berikut: Retribusi parkir di tepi jalan umum yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pihak yang memanfaatkan jasa parkir disebut sebagai wajib retribusi, sebagaimana ditegaskan pada Pasal 1 angka 9 sebagai berikut: Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan di bidang retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungutan dan pemotongan retribusi tertentu. Pengaturan di seputar jasa pelayanan perparkiran masih terjadi perdebatan, terutama soal wujud jasa yang diperdagangkan. Peraturan perundang- undangan masih memandang bahwa yang dimaksud dengan layanan jasa parkir adalah penyediaan lahan yang disewa untuk tempat parkir kendaraan, tidak termasuk keamanan. Kehilangan dan/atau kerusakan yang terjadi pada kendaraan tersebut selama berada di lahan parkir, menjadi tanggung jawab konsumen sendiri. Hal ini sangat merugikan pihak konsumen jasa parkir yang telah membayar sejumlah uang namun tidak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan. Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak- haknya sering diabaikan oleh sebagian pelaku usaha, sehingga hak- hak konsumen perlu dilindungi. Berkaitan dengan jasa parkir, terdapat hak- hak konsumen yang secara normatif telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pada Pasal 4 huruf a dimana konsumen berhak atas kenyamanan,
xxi
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, Pasal 4 huruf d, yang memberikan hak kepada konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, dan Pasal 4 huruf h yang memberikan hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pasal 7 huruf f UU No. 8 Tahun 1999 juga mengatur mengenai ganti rugi sebagai kewajiban pelaku usaha yang menegaskan sebagai berikut: Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xxii
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi teori ilmu hukum, khususnya Hukum Perlindungan Konsumen. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemahaman tentang perlindungan konsumen, khususnya mengenai perlindungan hukum konsumen jasa parkir kendaraan bermotor.
xxiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian dan Tujuan Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen diatur pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan definisi sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian perlindungan konsumen tersebut memberikan gambaran bahwa hubungan antara konsumen dan pelaku usaha pada dasarnya adalah hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak. Hubungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha senantiasa dimaksudkan agar kedua belah pihak sama-sama menikmati keuntungan atau dengan kata lain tidak saling merugikan. Konsumen dalam setiap mengkonsumsi suatu produk barang dan/atau jasa selain menginginkan kepuasan, sedang pelaku usaha selalu menginginkan untuk memperoleh keuntungan ekonomis dari hubungan tersebut. Maksud kedua pihak tersebut akan terwujud apabila secara sadar beritikad baik untuk saling memenuhi kewajiban masing-masing. Pemerintah juga secara konsisten mampu menegakkan hukum secara benar terhadap segala bentuk pelanggaran hak-hak konsumen maupun pelaku usaha. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan penyediaan masalah penyediaan
xxiv
dan penggunaan produk konsumen antara penyedia dan penggunanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh A.Z. Nasution yang menyatakan sebagai berikut : Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan penyediaan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/ jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan perlindungan konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 3 yang ditentukan sebagai berikut : Perlindungan konsumen bertujuan: a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
xxv
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum perlindungan konsumen bukan merupakan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin dan teori. Termasuk kelompok ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut: a. prinsip let the buyer beware (caveat emptor); b. prinsip the due care theory; c. prinsip the privity of contract; d. prinsip kontrak bukan merupakan syarat.
Keempat prinsip tersebut oleh Shidarta lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: a. Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor berasumsi pelaku usaha dan konsumen merupakan dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri. b. Doktrin the due care theory menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Apabila kewajibannya sudah dilaksanakan, maka untuk dapat mempersalahkan pelaku
xxvi
usaha, seseorang harus membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehatihatian. c. Prinsip the privity of contrak mengatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar dari yang telah diperjanjikan. Konsekuensi bagi konsumen , mereka hanya boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). d. Kontrak bukan merupakan syarat, prinsip ini menghendaki kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Meskipun ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk obyek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen dibidang jasa.
Keberadaan hukum perlindungan konsumen, bukan berarti eksistensi pelaku usaha tidak mendapatkan perhatian oleh pembentuk Undang-undang, karena tidaklah dapat dipungkiri bahwa keberadaan perekonomian nasional sangat ditentukan oleh para pelaku usaha, namun demikian tetaplah kepentingan konsumen yang diutamakan mengingat posisinya yang lemah dibanding dengan pelaku usaha. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudho memberikan penjelasan sebagai berikut: Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang
xxvii
lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan konsumen baik dalam hukum privat (perdata) maupun bidang hukum publik (hukum pidana dan administrasi negara). Keterlibatan berbagai disiplin ilmu sebagaimana dikemukakan diatas, memperjelas kedudukan hukum perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi.
2. Prinsip-prinsip Perlindungan Konsumen Prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum perlindungan konsumen bukan merupakan sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin dan teori. Termasuk kelompok ini adalah: a. prinsip let the buyer beware (caveat emptor); b. prinsip the due care theory; c. prinsip the privity of contract; d. prinsip kontrak bukan merupakan syarat. Shidarta selanjutnya menjelaskan keempat prinsip tersebut sebagai berikut: a. Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor berasumsi pelaku usaha dan konsumen merupakan dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya. Jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih, semua itu karena kelalaian konsumen sendiri.
xxviii
b. Doktrin the due care theory menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Apabila kewajibannya sudah dilaksanakan, maka untuk dapat mempersalahkan pelaku usaha, seseorang harus membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip kehatihatian. c. Prinsip the privity of contrak mengatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar dari yang telah diperjanjikan. Konsekuensi bagi konsumen, mereka hanya boleh menggugat berdasarkan wanprestasi (contractual liability). d. Kontrak bukan merupakan syarat, prinsip ini menghendaki kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum. Meskipun ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak bukan syarat hanya berlaku untuk obyek transaksi berupa barang. Sebaliknya, kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen dibidang jasa.
3. Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen Pengaturan hukum perlindungan konsumen diatur dalam bentuk perundangundangan. AZ.Nasution memberikan definisi tentang peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan perundang undangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan berwenang
xxix
untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah: (di pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan seterusnya dan (di daerah) Peraturan Daerah, Surat Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan lain sebagainya. Pembangunan nasional menghendaki pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya, dimana seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh kesejahteraan dan keadilan. Berbicara mengenai kesejahteraan dan keadilan erat kaitannya dengan masalah ekonomi dan hukum, yang sudah barang tentu untuk merealisasikannya membutuhkan serangkaian sistem aturan main, dimana aturan main disini sebagai sarana pendukung terciptanya kegiatan ekonomi yang sehat. Untuk mewujudkan keadilan, pemerintah berkewajiban menyediakan perangkat hukum yang menjamin persamaan hak diantara pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan ekonomi, atau setidaknya instrument tersebut memberikan perlindungan kepada pihak yang memiliki bargaining power lemah, dalam hal ini konsumen. Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan lagi. Sekedar untuk lebih meyakinkan pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen, sekiranya dapat dilihat bahwa pada saat sebelum Indonesia merdeka pun, pemerintah Hindia Belanda sudah menciptakan peraturan-peraturan yang pada intinya memberikan perlindungan kepada konsumen, meskipun untuk saat ini sebagian besar peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Perturan-peraturan tersebut seperti yang diungkapkan oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani sebagai berikut: a. Reglement Induistriele Eigendom, S.1912-545, jo. S.1913 Nomor 214;
xxx
b. Loodwit Ordonnantie (Ordonansi Timbal Karbonat) S.1931 Nomor 28; c. Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan), S.1926-226, jo. S.1927-449, jo. S.1940-14 dan 450; d. Tin Ordonnantie (Ordonansi Timah Putih), S.1931-509; e. Vuurwerk Ordonnantie (Ordonansi Petasan), S.1932-143 f. Verpakkings Ordonnantie (Ordonansi Kemasan), S.1932-143 g. Ordonnantie Op de Slacth Belasting (Ordonansi Pajak Sembelih), S.1936-671; h. Sterkwerkannde Geneesmiddelen Ordonnantie (Ordonansi Obat Keras), S.1937-641; i. Bedrijfsrelementerings Ordonnantie (Ordonansi Penyaluran Perusahaan), S.1938-86 j. Ijkodonnantie (Ordonansi Tera), S.1949-175; k. Gevaarlijke Stoffen Ordonantie (Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya), S.1949377; l. Pharmaceutische Stoffen Keurings Ordonnantie, S.1955-660. Setelah Indonesia merdeka, semangat pembangunan nasional pun dinyalakan, pembangunan dilakukan di berbagai bidang, sektor hukum tak luput jadi sasaran. Secara materiil, banyak hukum nasional yang materinya melindungi kepentingan konsumen, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Undang-undang Nomor 10 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 Tentang Barang Menjadi Undang-undang;
b.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene;
xxxi
c.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal;
d.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian;
e.
Undang-undang Nomor 15 tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan;
f.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 Tentang Kamar Dagang dan Industri;
g.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
h.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil;
i.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan;
j.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan;
k.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten;
l.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek;
m. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta; n.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran;
o.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
p.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;
q.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; r.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen lahir sebagai perjuangan berbagai pihak dalam mengusahakan terciptanya perlindungan
xxxii
terhadap konsumen. Sebagai dasar filosofinya, dalam setiap kegiatan ekonomi, konsumen selalu didudukkan dalam posisi yang lemah, baik secara ekonomi maupun pendidikan intelektual, dan untuk itu perlu dilindungi dengan hukum. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen bukan merupakan pengaturan awal dan akhir dari hukum tentang perlindungan konsumen, karena sejak ditetapkannya Undang-undang tersebut, telah pula ditetapkan Undang-undang lain yang di dalamnya juga mengatur tentang perlindungan konsumen. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani sebagai berikut: Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen. Mewujudkan perlindungan konsumen dapat dilakukan dengan mensinergikan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan pemerintah. Upaya penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan perlindungan konsumen bertujuan untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha didalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Nurmadjito, sebagaimana dikutip oleh Husni Syawali, dkk., mengatakan bahwa: Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan: a. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;
xxxiii
b. melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha; c. meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; d. memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan; e. memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain.
B.
Konsumen
1.
Pengertian Konsumen
Konsumen berasal dari kata consumer yang berarti pemakai atau konsumen. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Az. Nasution yang mengatakan sebagai berikut: Sebetulnya istilah konsumen berasal dari kata Consumer (Inggris/Amerika) atau Consument/Konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah lawan kata dari produsen atau setiap orang yang menggunakan barang. Namun kamus Bahasa InggrisIndonesia mengartikan arti kata konsumer sebagai pemakai atau konsumen. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memberikan definisi mengenai konsumen sebagai berikut: Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Pengertian konsumen berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menegaskan bahwa:
xxxiv
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 dikenal ada 2 (dua) istilah konsumen yaitu konsumen akhir dan konsumen antara, yang disebut konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Sedangkan pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Az Nasution mengatakan bahwa meskipun pengertian Konsumen di masing-masing negara berbeda-beda, namun tetap mempunyai satu makna yaitu sebagai pengguna barang atau jasa. Hal ini dapat dilihat dari: a.
Undang-undang Konsumen India / Consumer Protection Act of 1989 Nomor 68
menentukan, bahwa konsumen adalah setiap orang pembeli barang yang disepakati menyangkut harga dan cara pembayarannya tetapi tidak termasuk mereka yang mendapat barang untuk dijual kembali atau untuk keperluan komersial. b.
Undang-undang jaminan produk Amerika Serikat, ditemukan ketentuan-ketentuan
ayat (1) dan ayat (3), yang menunjukan bahwa konsumen adalah setiap pembeli produk konsumen, yang tidak untuk dijual kembali dan pada umumnya digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah tangga (personal, family or household). c.
RRC dalam pasal 2 Beijing Munisipal Regulation or Protection of Consument‟s
Legal Rights and Interest menyatakan istilah konsumen mengacu pada “units and
xxxv
individuals who obtain, by paying the value consumer good (here after as comodities) and commercial services (here after as serviser).” d.
Burgerlijk Wetboek baru Belanda (NBW) seperti termuat dalam bagian-bagian
ketentuan tentang syarat umum perjanjian (Algemene Voor Warden), konsumen diartikan sebagai orang alamiah yang dalam mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan suatu profesi atau perusahaan. Menurut Heri Tjandrasari, pengertian konsumen dapat terdiri dari 3 bagian, yaitu: a.
Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang
dan/atau jasa untuk tujuan tertentu; b.
Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau
jasa untuk tujuan tertentu untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya, dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha; c.
Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna, dan/atau pemanfaat barang dan/atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Berdasarkan pendapat para ahli yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan istilah konsumen adalah setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat baik yang digunakan untuk kepentingan bersama maupun digunakan untuk kepentingan pribadi atau sendiri demi untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya dan tidak untuk diperdagangkan. 2.
Hak dan Kewajiban Konsumen
a.
Hak Konsumen
xxxvi
Hak-hak konsumen sesungguhnya sudah sejak lama diabaikan oleh para pelaku usaha, bahkan sejak lahirnya UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kasus yang sering muncul adalah karena akibat dari para pelaku usaha yang tidak mau memberikan informasi yang cukup dan memadai tentang produk yang ditawarkan baik berupa barang maupun jasa. Dalam kasus-kasus kecil, bisa terlihat dengan gamblang bagaimana perlakuan pelaku usaha yang bergerak di bidang industri retail dalam urusan uang kembalian pecahan Rp. 25,00 dan Rp. 50,00, dalam hal ini malah lebih parah lagi perlakuannya, biasanya diganti dengan permen dalam berbagai jenisnya atau kalau tidak malah dianggap sumbangan. Secara umum, hak konsumen telah diungkapkan dalam beberapa versi. Diantaranya mantan Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, sebagaimana dikutip oleh Widjaja, mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu: 1)
the right to safe products (hak untuk memperoleh keamanan);
2)
the right to be informed about products (hak untuk mendapat informasi);
3)
the right to definite choices in selecting products (hak untuk memilih);
4)
the right to board regarding consumer interest (hak untuk didengar).
Hak-hak konsumen tersebut kemudian dikembangkan oleh International Organization of Customer Union (IOCU) dan ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, hak tersebut adalah sebagai berikut: 1)
hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2)
hak untuk memperoleh ganti rugi;
3)
hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4)
hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat.
xxxvii
Disamping itu, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen yaitu : 1)
hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn
gezendheid en veiligheid); 2)
hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn
economische belangen); 3)
hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);
4)
hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming)
5)
hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
Salah satu upaya pemberdayaan yang dapat melindungi hak-hak konsumen yaitu melalui pembentukan Undang-Undang yang merupakan instrumen yuridis untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif dalam masyarakat. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang disetujui oleh DPR RI yang kemudian disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999, dan mulai berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000 sebagai peranti hukum untuk melindungi konsumen. Hak-hak konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 diatur pada Pasal 4 yang menentukan sebagai berikut:
Hak konsumen adalah: a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
xxxviii
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa; d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan; e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut; f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo menyebutkan bahwa pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu sebagai berikut: a.
Hak atas keamanan dan keselamatan;
b.
Hak untuk memperoleh informasi;
c.
Hak untuk memilih;
d.
Hak untuk didengar;
e.
Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
xxxix
f.
Hak untuk memperoleh ganti rugi;
g.
Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
h.
Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
i.
Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
j.
Hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Pasal 4 huruf a UUPK yang mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, sejalan dengan pendapat Shidarta yang menyatakan sebagai berikut: Konsumen berhak mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan atas barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hal tersebut di atas, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk. Pasal 4 huruf b UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan, dijelaskan oleh Shidarta sebagai berikut: Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia bebas untuk membeli atau tidak
xl
membeli. Seandainya ia jadi pembeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hak konsumen untuk memilih ini berpendapat sebagai berikut: Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik suatu barang atau jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi. Hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 huruf c UUPK tentang hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, dijelaskan oleh Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo sebagai berikut: Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut dapat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo lebih lanjut berpendapat sebagai berikut: Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran
xli
yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut diantaranya adalah mengenai manfaat kegunaan produk, efek samping atas penggunaan produk, tanggal kadaluwarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampaikan baik secara lisan, maupun tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas dan jujur dari pelaku usaha, menurut Suyadi, informasi yang benar meliputi: 1)
Informasi yang tidak menyesatkan;
2)
Informasi yang memuat aspek risiko dari barang yang diinformasikan;
3)
Informasi yang tidak ada unsur kebohongan, kecurangan, ketidakjujuran,
menjerumuskan, pengelabuan, mengaburkan, menyiasati peraturan; 4)
Informasi yang menaati kode etik dan peraturan-peratuan yang berkaitan dengan
pemberian informasi dalam memberitahukan kecurangan kepada konsumen; 5)
Informasi yang dapat dipertanggungjawabkan;
6)
Informasi yang lengkap, sehingga tidak menyebabkan timbulnya interpretasi yang
salah atau interpretasi yang tidak sepenuhnya benar. Pasal 4 huruf d UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, lebih lanjut dijelaskan oleh Shidarta sebagai berikut:
xlii
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo berpendapat sebagai berikut: Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/ pendapat tentang suatu kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Pasal 4 huruf e UUPK menyebutkan hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Shidarta dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak untuk mendapatkan ganti kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak.
xliii
Pasal 4 huruf f UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat dari penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, konsumen akan dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan. Pasal 4 huruf g UUPK mengatur tentang hukum konsumen untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Kemudian pada Pasal 7 huruf c ditegaskan sebagai berikut: Kewajiban pelaku usaha adalah memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Penjelasan Pasal 7 huruf c lebih lanjut menegaskan sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Konsekuensi dari usaha yang dilakukan, maka pelaku usaha dibebani kewajiban untuk memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menentukan sebagai berikut: Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
xliv
Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK yang menentukan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memilih keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hal ini terkait dengan kerugian konsumen, baik yang berupa kerugian materiil, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentunya harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan. Hak konsumen dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak dibatasi secara limitatif, dengan ketentuan Pasal 4 huruf i Undang-undang Perlindungan Konsumen, radius perlindungan dapat diperluas hingga menjangkau hak-hak konsumen yang diatur dalam undang-undang lain. Ketentuan mengenai hak konsumen, khususnya huruf i dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan “hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” menjadi jembatan penghubung hak konsumen, yaitu antara hak yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dengan hak yang diatur dalam undang-undang lain yang baik secara langsung/tegas/tersirat maupun tidak langsung/implisit/tersurat juga mengatur/melindungi hak masyarakat sebagai konsumen.
xlv
Banyak orang tidak (mau) menyadari bagaimana pelanggaran hak-hak konsumen dilakukan secara sistematis oleh kalangan pelaku usaha, dan cenderung mengambil sikap tidak ingin ribut. Contoh kasus dapat dibayangkan jawaban apa yang akan diterima apabila konsumen berani mengajukan komplain atas kehilangan sebagian atau seluruh kendaraan yang dititipkan pada pelaku usaha perparkiran. Apalagi jika meributkan masalah uang kembalian yang (mungkin) menurut sebagian orang tidak ada nilainya. Masalah uang kembalian dapat menimbulkan masalah legal-political, di samping masalah hukum yang muncul karena uang menjadi alat tukar yang sah dan bukannya permen, hal ini juga mempunyai implikasi dengan kebanggaan nasional dalam pemakaian uang rupiah. Hukum perjanjian yang berlaku selama ini mengandaikan adanya kesamaan posisi tawar diantara para pihak, namun dalam kenyataannya asumsi yang ada tidaklah mungkin terjadi apabila perjanjian dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen. Konsumen pada saat membuat perjanjian dengan pelaku usaha posisi tawarnya menjadi rendah, untuk itu diperlukan peran dari negara untuk menjadi penyeimbang ketidaksamaan posisi tawar ini melalui undang-undang, tetapi peran konsumen yang berdaya juga harus terus-menerus dikuatkan dan disebarluaskan. b.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban merupakan penyeimbang dengan adanya hak-hak, dengan kata lain keberadaan hak di dalamnya senantiasa melekat pula adanya kewajiban yang harus dipenuhi dengan adanya pemenuhan hak-hak, demikian pula dalam hal konsumen. Konsumen selain memperoleh hak sebagai konsumen juga mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang diantara keduanya. Kewajiban konsumen berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun
xlvi
1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur pada Pada Pasal 5 yang ditentukan sebagai berikut: Kewajiban konsumen adalah: a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b.
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut. Kewajiban konsumen pada dasarnya dilakukan dalam rangka mendapatkan hasil yang maksimal atas perlindungan hukum bagi konsumen. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani sebagai berikut: Kewajiban-kewajiban itu dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh hasil yang maksimal atas perlindungan dan/atau kepastian hukum baginya. Ahmadi Miru dan Sutarman mengemukakan pendapatnya tentang pentingnya kewajiban bagi konsumen sebagai berikut: Adapun pentingnya kewajiban konsumen ini karena seringkali pelaku usaha telah mencantumkan peringatan dalam kemasan atau label suatu produk, namun konsumen disini tidak membaca peringatan tersebut.dengan adanya pengaturan kewajiban ini, memberi konsekuensi kepada pelaku usaha tidak bertanggung jawab, apabila konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut.
C.
Pelaku Usaha
xlvii
1.
Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diatur pada Pasal 1 angka 3 yang ditegaskan sebagai berikut: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen selanjutnya menentukan bahwa: Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana diuraikan di atas cukup luas. Pengertian luas ini memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian. Subekti dalam hal ini memberikan pendapatnya sebagai berikut: Kerugian yang dapat dimintakan penggantian, tidak hanya berupa biaya yang sungguh sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh manimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak wanprestasi. Prinsip yang senantiasa dipegang oleh pelaku usaha adalah mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan menekan biaya produksi seminimal mungkin. Prinsip ini berpotensi merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun secara tidak
xlviii
langsung. Oleh karena itu untuk mengantisipasi konsumen yang sering dirugikan, konsumen harus mempunyai kesadaran yang tinggi akan hak-haknya, kritis dan hati-hati dalam mengkonsumsi suatu produk baik berupa barang dan/atau jasa. Dengan demikian diharapkan konsumen dapat berperan sebagai sarana kontrol bagi pengusaha sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang sehat, karena mengharapkan kesadaran dari pelaku usaha adalah sesuatu yang tidaklah mudah karena pada dasarnya pelaku usaha akan menerapkan prinsip ekonomi sebagaimana dimaksud di atas. 2.
Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaku Usaha
a.
Hak Pelaku Usaha
Salah satu upaya untuk menciptakan kenyamanan dalam berusaha, dan terciptanya keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha, maka pelaku usaha pun memiliki hak dan kewajiban. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 mengatur tentang hak-hak pelaku usaha dalam Pasal 6, yang menegaskan bahwa: Hak pelaku usaha adalah: a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik; c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen; d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
xlix
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, hak pelaku usaha dalam Pasal 6 huruf a, yaitu hak untuk
menerima
pembayaran sesuai
kondisi
barang dan/atau jasa
yang
diperdagangkan, diartikan sebagai berikut: Hak tersebut menunjukan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Jika kualitas barang dan/atau jasa lebih rendah maka harga yang diberikan haruslah lebih murah. Dengan kata lain yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar. b.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sebagaimana halnya dengan konsumen yang memiliki hak dan kewajiban yang senantiasa berjalan beriringan dan saling melekat, demikian pula halnya dengan pelaku usaha pun memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang kewajiban pelaku usaha sebagai berikut: Kewajiban pelaku usaha adalah: a.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
l
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan kewajiban tersebut, maka setiap pelaku usaha akan memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi. Menurut Hamzah, yang dimaksud dengan tanggung jawab adalah “suatu keharusan bagi seseorang untuk melaksanakan dengan selayaknya apa yang diwajibkan kepadanya”. Menurut Bahri Zaenal, tanggung jawab adalah “suatu kewajiban dari seseorang untuk melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan kepadanya atau yang pernah dijanjikannya maupun yang telah disanggupinya. Menurut Shidarta, ada dua prinsip yang sangat penting dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang diakomodasi, yaitu sebagai berikut: Tanggung jawab produk dan tanggung jawab profesional. Tanggung jawab produk atau product liability sendiri mengacu pada tanggung jawab produsen. Jadi, apabila ada konsumen yang merasa telah dirugikan oleh produsen, maka konsumen tersebut berhak menuntut ganti rugi kepada produsen. Disisi lain, produsen mempunyai tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Intisari dari kegiatan usaha sebenarnya adalah adanya iktikad baik dari semua pihak, demikian pula halnya dengan pelaku usaha senantiasa dituntut untuk memiliki iktikad baik.
li
Suyadi, kaitannya dengan ketentuan Pasal 7 huruf a, memberikan pendapatnya sebagai berikut: Pasal 7 huruf a menentukan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, baik dari mulai proses perencanaan pembuatan barang dan/atau jasa sampai dengan proses penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Pelaku usaha dengan demikian lebih ditekankan atau diwajibkan untuk beritikad baik dalam melakukan usahanya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam buku, dalam hal ini berpendapat sebagai berikut: Dalam UUPK terlihat bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa
kewajiban
pelaku
usaha
untuk
beritikad
baik
dimulai
sejak
barang
dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan pembelian barang dan/atau jasa. c.
Larangan Bagi Pelaku Usaha
Larangan
terhadap
memperdagangkan
pelaku barang
usaha dan/atau
adalah jasa
larangan yang
tidak
untuk
memproduksi
memenuhi
standar
dan yang
dipersyaratkan, tidak sesuai antara berat bersih dengan yang dinyatakan dalam label, tidak sesuai dengan ukuran, tidak sesuai dengan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam label, tidak sesuai dengan mutu sebagaimana dinyatakan dalam label, tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, dan lain-lain sebagaimana diatur pada Pasal 8 Undangundang Perlindungan Konsumen yang ditentukan sebagai berikut:
lii
(1)
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang: a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan; b.
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya; d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g.
tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluwarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label; i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
liii
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Selain larangan untuk
memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, pelaku usaha juga dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, sebagaimana diatur pada Pasal 9 yang menentukan: (1)
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : a.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b.
barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.
barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
liv
d.
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi; e.
barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f.
barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.
barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.
barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i.
secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.
menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; k.
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2)
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan. (3)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Larangan-larangan bagi pelaku usaha juga diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menentukan sebagai berikut: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk : a.
tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan; b.
tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, memberikan pendapatnya mengenai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tersebut sebagai berikut:
lv
Larangan yang tercantum dalam pasal 16 UUPK ini apabila dilanggar oleh pelaku usaha, tidak saja dapat dituntut berdasarkan wanprestasi tetapi lebih dari itu dapat dituntut atas dasar perbuatan melawan hukum, atau bahkan dapat dituntut pidana oleh aparat yang berwenang, misalkan atas dasar penipuan. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 9 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, maka pelaku usaha akan dibebani untuk bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menentukan sebagai berikut: (1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi. (4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
lvi
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 19 tersebut, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo memberikan pendapatnya bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi:
1)
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;
2)
Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran;
3)
Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal tersebut, maka adanya produk suatu barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya pertanggungjawaban pelaku usaha, namun pelaku usaha juga bertanggung jawab atas segala kerugian yang dialami konsumen dari penggunaan dan pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Apabila ada hak yang dilanggar dan kewajiban yang disimpangi maka akan menimbulkan sengketa. Dalam hal ini, sengketa yang terjadi adalah sengketa konsumen. Lingkup sengketa konsumen meliputi semua segi hukum baik keperdataan, pidana ataupun tata negara.
D.
Retribusi Parkir
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menerima balas jasa dari negara. Menurut Soemitro, pengertian retribusi secara umum adalah: Pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Dengan kata lain, Retribusi secara umum adalah pembayaran-pembayaran kepada negara atau merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk.
lvii
Berdasarkan pendapat tersebut, maka terlihat ciri-ciri retribusi adalah sebagai berikut: 1.
Retribusi dipungut oleh negara
2.
Dalam pemungutan terdapat paksaan secara ekonomis
3.
Adanya kontra prestasi yang secara langsung dapat ditunjuk
4.
Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan/ mengenyam jasa-
jasa yang disiapkan negara. Sedangkan pengertian retribusi Daerah adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik Daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah ditegaskan bahwa: Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Pengertian retribusi daerah juga dikemukakan oleh Soeparmoko yang mengatakan bahwa: Retribusi daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai retribusi daerah sebagaimana dijelaskan di atas, maka dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya retribusi daerah mempunyai imbalan atau jasa, imbalan atau jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung yang dapat ditunjuk oleh
lviii
wajib retribusi atau hanya yang membayar retribusi sajalah yang menikmati balas jasa dari negara dalam hal ini daerah tertentu. Pengertian jasa dapat diartikan sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah sehingga dapat dinikmati orang pribadi maupun badan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Kaho sebagai berikut: Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati orang pribadi atau badan. Beberapa ciri yang melekat pada retribusi daerah saat ini yang dipungut oleh masingmasing daerah di Indonesia adalah sebagaimana dikemukakan oleh Josep Riwu Kaho sebagai berikut: 1.
Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan Undang-undang dan
Peraturan Daerah yang berkenaan. 2.
Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.
3.
Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontraprestasi (balas jasa) secara
langsung dari pemerintah daerah atas pembayaran yang dilakukannya. 4.
Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
yang dinikmati oleh orang atau badan. 5.
Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu jika
tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Retribusi sedikit berbeda dengan pajak, dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontraprestasi itu bersifat langsung.
lix
Pembayar retribusi justru menginginkan adanya jasa timbal-balik langsung dari pemerintah. Berdasarkan hal tersebut, maka karakteristik retribusi adalah: 1.
Retribusi dipungut dengan berdasarkan peraturan-peraturan (yang berlaku umum).
2.
Dalam retribusi, prestasi yang berupa pembayaran dari warga masyarakat akan
mendapatkan jasa timbal langsung yang ditujukan pada individu yang membayarnya. 3.
Uang hasil retribusi digunakan bagi pelayanan umum berkait dengan retribusi yang
bersangkutan. 4.
Pelaksanaannya dapat dipaksakan, biasanya bersifat ekonomis.
Penetapan retribusi harus memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan oleh Deddy Supriady sebagai berikut: Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif ditentukan untuk Retribusi Perizinan Tertentu, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian atau seluruh biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan misalnya, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya pengawasan. Retribusi Parkir di Kabupaten Banyumas diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Pengertian tempat parkir ditegaskan pada Pasal 1 angka 6 sebagai berikut: Tempat Parkir adalah lokasi yang ditentukan sebagai tempat pemberhentian kendaraan yang bersifat tidak sementara pada suatu kurun waktu yang tertentu.
lx
Selanjutnya pengertian parkir diatur pada Pasal 1 angka 7 yang menegaskan sebagai berikut: Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. Pengertian retribusi parkir diatur pada Pasal 1 angka 8 yang menegaskan sebagai berikut: Retribusi parkir di tepi jalan umum yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. E.
PT. Kereta Api Indonesia (Persero)
1.
Pengertian Badan Hukum
Istilah badan hukum di dalam masyarakat tidak asing lagi, yang sering dilawankan dengan istilah Badan Pribadi atau manusia, namun keduanya sama-sama sebagai subyek hukum. Dalam bahasa Belanda Badan Hukum disebut rechtspersoon. Di dalam peraturan UndangUndang tidak ada batasan pengertian apa yang disebut badan hukum itu. Namun pengertian yang sudah umum dikenal oleh beberapa ahli bahwa Badan Hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban, dapat melakukan perbuatan hukum, dapat menja-di subyek hukum, dapat dipertanggungjawabkan seperti halnya manusia. Badan Hukum mempunyai hak dan kewajiban, harta kekayaan dan tanggung jawab yang terpisah dari orang perseorangan. Berdasarkan beberapa sumber ditemukan beberapa pengertian Badan Hukum antara lain menurut R. Subekti sebagai berikut: Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim. Murjiyanto di pihak lain mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
lxi
Badan hukum (rechtspersoon) ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.
Purwosutjipto menjelaskan bahwa: Manusia adalah badan pribadi, itu adalah manusia tunggal. Selain dari manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai badan pribadi kepada wujud lain, disebut badan hukum yaitu kumpulan dari orang-orang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang tersendirikan untuk tujuan tertentu. Dalam ha1 badan hukum melaksanakan hak dan kewajibannya tersebut diwakili oleh para pengurusnya yang ditunjuk sesuai dengan anggaran dasarnya, sehingga perbuatanperbuatan hukum yang dilakukan pengurusnya itu mengikat badan hukum itu sendiri, tidak mengikat pengurusnya secara pribadi, dan yang bertanggungjawab adalah badan hukumnya bukan pengurusnya secara pribadi, sepanjang hal itu dilakukan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada pengurus dalam anggaran dasarnya. Indonesia adalah negara hukum yang menggunakan hukum sebagai pengarah dan pengayom kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan perkembangan ekonomi, hukum berfungsi sebagai landasan kegiatan ekonomi. Bila kepastian hukum tidak dimiliki maka ekonomi negara Indonesia akan tertinggal dengan negara lain dalam menarik investasi. Dengan demikian peranan hukum nasional, khususnya hukum ekonomi harus mampu membangun kerangka kerja pengaturan hukum yang melandasi kegiatan ekonomi pada dunia usaha.
lxii
Peranan hukum dalam menghadapi perdagangan bebas tampak dari lahirnya Undangundang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang merupakan usaha pemerintah meningkatkan pembangunan ekonomi nasional dalam dunia usaha dan memperbaharui secara terus menerus hukum yang pendirian suatu badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas. 2.
Pengertian Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal yang oleh undang-undang diberi status badan hukum, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Pasal 1 angka 1 jo Pasal 7 ayat (4). Pasal 1 angka 1 menegaskan bahwa: Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 7 ayat (4) menentukan bahwa: Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Pasal 33 UUPT menegaskan bahwa: (1)
Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 harus ditempatkan dan disetor penuh. (2)
Modal ditempatkan dan disetor penuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
lxiii
(3)
Pengeluaran saham lebih lanjut yang dilakukan setiap kali untuk menambah modal
yang ditempatkan harus disetor penuh. Sehubungan dengan hal ini perlu ditegaskan bahwa sekalipun semua saham dimiliki oleh 1 (satu) orang, konsep persekutuan modal tetap valid karena Perseroan tidak menjadi bubar melainkan tetap berlangsung sebagai subyek hukum. Kebenaran ini dipertegas oleh ketentuan Pasal 7 ayat (7) yang mengatur bahwa: Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ketentuan pada ayat (5), serta ayat (6) tidak berlaku bagi: a.
Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b.
Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sebagaimana diatur dalam undangundang tentang Pasar Modal. Fred B.G. Tumbuan dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: Dengan demikian sesungguhnya antara para pendiri di satu pihak dan Perseroan di lain pihak terjadi hubungan keanggotaan, dan oleh karena itu perbuatan hukum pendirian oleh para pendiri sekaligus mengakibatkan terjadinya penyertaan oleh semua pendiri dalam Perseroan selaku persekutuan modal. Memperhatikan sifat khas perbuatan hukum pendirian Perseroan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Perseroan dapat didirikan oleh 1(satu) orang. Kebenaran kesimpulan dimaksud ditegaskan oleh UUPT yang dalam Pasal 7 ayat (7) diatas mengatur bahwa antara lain negara sebagai pendiri tunggal dapat dengan sah mendirikan BUMN berbentuk perseroan terbatas yang disebut Perusahaan Perseroan atau Persero.
lxiv
Berbeda dengan badan usaha bukan badan hukum, misalnya Persekutuan Perdata (maatschap),
CV,
dan
Firma,
timbulnya
perseroan
semata-mata
karena
disepakati/diperjanjikan oleh para pendirinya. Dan disini bukanlah berstatus badan hukum, sedangkan Perseroan Terbatas (PT) karena merupakan badan hukum maka dibutuhkan adanya suatu persetujuan atau pengesahan dari instansi yang berwenang, dalam hal ini di Indonesia dipercayakan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum. Karena perkembangan teknologi dan tuntutan zaman yang semakin hari semakin canggih dan menuju ke arah globalisasi, maka Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pemerintah merasa perlunya memberikan pelayanan yang cepat dalam bidang usaha demi persaingan dalam memperoleh devisa bagi negara. Sebagaimana telah berjalan selama ini, pengesahan atau persetujuan Perseroan Terbatas telah dilakukan melalui media komunikasi internet, agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut tidak perlu didatangi tamu-tamu dari seluruh Indonesia. Selain memproses lebih cepat juga menghemat biaya, hal ini telah pula diserahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada suatu perusahaan swasta, yang bernama Perseroan Terbatas PT. Sarana Rekatama Dinamika, yang berkedudukan di Jakarta, yang terkenal dengan sebutan perusahaan yang menangani Sisminbakum, yaitu singkatan dari sistem administrasi badan hukum. Namun dalam perkembangannya setelah berjalan lebih kurang 9 (sembilan) tahun, maka mulai akhir bulan Januari 2009, pengadministrasian pendaftaran badan hukum telah diambil alih kembali pengelolaannya
lxv
oleh Direktorat Perdata, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan sebutan SABH (Sistem Administrasi Badan Hukum). Pembuatan akta untuk Badan Hukum Perseroan Terbatas ini haruslah akta otentik, yang dipercayakan kepada Notaris, yaitu seorang Pejabat Umum, yang bekerja secara profesional. Setelah Akta Pendirian Perseroan Terbatas dibuat maka diteruskan dengan Pengesahan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Sisminbakum tersebut melalui internet. Pemeriksaan internet selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan data fisik yang disampaikan oleh Pejabat Umum pembuat akta otentik tersebut. Adapun tujuan dikeluarkan UndangUndang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tersebut, guna memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Hal mana telah diperkenankan di Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tentang Telematika (Telekomunikasi, Media dan Informatika) yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi tematika untuk mendukung good government yang online kepada seluruh notaris dapat mencegah dan menghapus korupsi, kolusi, nepotisme dan suap, dan sekaligus mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (Good and Clean Government). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dipandang tidak lagi memenuhi tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance).
lxvi
Dalam Rangka memberikan kemudahan dalam permohonan pengesahan badan hukum, persetujuan dan pemberitahuan perubahan anggaran dasar perseroan, UUPT mengatur mengenai pelayanan satu atap yaitu mengenai daftar perusahaan dan pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia, dimana sebelumnya merupakan kewajiban Direksi atau kuasanya, maka menurut UUPT yang baru semuanya ini merupakan tugas Menteri, sebagaiamana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan: Daftar Perseroan diselenggarakan oleh Menteri. Pasal 30 lebih lanjut menegaskan: (1)
Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia:
a.
akta pendirian Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (4); b.
akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta keputusan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); c.
akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri.
(2)
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengumuman dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Status badan hukum Perseroan Terbatas merupakan salah satu daya tarik bagi investor, disamping daya tarik lain dari sebagai suatu asosiasi modal. Persoalannya sekarang bahwa
lxvii
mengenai kapan mulainya status badan hukum Perseroan Terbatas itu? Menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT yaitu: Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Dalam ilmu hukum dikenal dua subjek hukum, yaitu orang dan badan hukum. Mengenai definisinya, badan hukum atau legal entity atau legal person dalam Black‟s Law Dictionary dinyatakan sebagai a body, other than a natural person, that can function legally, sue or be sued, and make decisions through agents. Sementara dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia, badan hukum diartikan dengan organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya di mana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai person atau sebagai orang. Menurut doktrin, kriteria yang dipakai untuk menentukan ciri-ciri suatu badan hukum adalah apabila perusahaan itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, dan adanya organisasi yang teratur. Karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Berdasarkan ketentuan tersebut secara eksplisit sangat jelas disebutkan bahwa Perseroan Terbatas merupakan badan hukum. Perseroan Terbatas merupakan suatu bentuk (legal form) yang didirikan atas fiksi hukum (legal fiction) bahwa perseroan memiliki kapasitas yuridis yang sama dengan yang dimiliki oleh orang perseorangan (natural person). Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai badan hukum, maka unsur-unsur yang menandai Perseroan Terbatas sebagai badan hukum adalah bahwa Perseroan Terbatas mempunyai kekayaan yang terpisah (Pasal 24 ayat (1) UUPT), mempunyai kepentingan sendiri (Pasal
lxviii
82 UUPT), mempunyai tujuan tertentu (Pasal 12 huruf b UUPT), dan mempunyai organisasi teratur (Pasal 1 butir 2 UUPT). Pada dasarnya suatu perseroan terbatas mempunyai ciri-ciri sekurang-kurangnya sebagai berikut: 1.
memiliki status hukum tersendiri, yaitu sebagai suatu badan hukum, yaitu subyek
hukum artificial, yang sengaja diciptakan oleh hukum untuk membentuk kegiatan perekonomian, yang dipersamakan dengan individu manusia, orang perorangan; 2.
memiliki harta kekayaan tersendiri yang dicatatkan atas namanya sendiri, dan
pertanggungjawaban sendiri atas setiap tindakan, perbuatan, termasuk perjanjian yang dibuat. Ini berarti perseroan dapat mengikat dirinya dalam satu atau lebih perikatan, yang berarti menjadikan perseroan sebagai subyek hukum mandiri (persona standi in judicio) yang memiliki kapasitas dan kewenangan untuk dapat menggugat dan digugat di hadapan pengadilan. 3.
tidak lagi membebankan tanggung jawabnya kepada pendiri, atau pemegang
sahamnya, melainkan hanya untuk dan atasnama dirinya sendiri, untuk kerugian dan kepentingan dirinya sendiri; 4.
kepemilikannya tidak digantungkan pada orang perorangan tertentu, yang
merupakan pendiri atau pemegang sahamnya. Setiap saat saham perseroan dapat dialihkan kepada siapapun juga menurut ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan undangundang yang berlaku pada suatu waktu tertentu; 5.
keberadaannya tidak dibatasi jangka waktunya dan tidak lagi dihubungkan dengan
eksistensi dari pemegang sahamnya;
lxix
6.
pertanggungjawaban yang mutlak terbatas, selama dan sepanjang para pengurus
(direksi), dewan komisaris dan atau pemegang saham tidak melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang tidak boleh dilakukan. 3.
Perubahan Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT. Kereta Api (Persero)
PT. Kereta Api (Persero) merupakan PT Negara atau disebut juga persero. Persero (PT Negara) adalah organisasi yang bertujuan untuk mencari keuntungan dan kekayaan negara atau pemerintah daerah dan sebagai imbalannya negara memperoleh saham sebagai bukti turut sertanya negara atau pemerintah daerah dalam persero (PT Negara) atau pemerintah daerah itu sendiri. PT. Kereta Api (Persero) yang berbentuk badan hukum ini sudah mengalami lima kali perubahan yaitu : a.
Dengan S. 1939-556, berbentuk badan hukum DKA adalah Djawatan Kereta Api
b.
Dengan PP No. 22 tahun 1963 (LN 1963-43) bentuk badan hukum dirubah menjadi
Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) c.
Dengan PP No. 61 tahun 1971 (LN 1971-75) bentuk PNKA dirubah menjadi
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) d.
Dengan PP No. 57 tahun 1990 PJKA dirubah statusnya menjadi Perusahaan Umum
Kereta Api (PERUMKA) e.
Dan akhirnya dengan PP No. 19 tahun 1998 Perusahaan Umum Kereta Api berubah
menjadi PT Kereta Api (Persero). Tujuan dari Persero (PT Negara) adalah untuk turut membantu ekonomi nasional sesuai dengan ekonomi terpimpin dan mengutamakan kebutuhan rakyat dan ketentraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat yang adil dan makmur dengan
lxx
tujuan utama mencari keuntungan. Persero (PT Negara) adalah suatu kesatuan produksi yang bersifat : a.
Memberi jasa
b.
Menyelenggarakan kemanfaatan umum
c.
Memupuk pendapatan
PT. Kereta Api (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tujuan dari BUMN adalah : a.
Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. b.
Memajukan
kesejahteraan
masyarakat
serta
ikut
membangun
tatanan
perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. c.
Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas hidup
manusia
dan masyarakat. d.
Untuk memperoleh yang sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi badan usaha.
Dikarenakan PT Kereta Api (Persero) adalah BUMN, maka dari itu perkeretaapian diselenggarakan oleh pemerintah dan pelaksanaannya diserahkan kepada badan penyelenggara yang telah dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan usaha lain selain badan penyelenggara dapat diikutsertakan dalam kegiatan perkeretaapian atas dasar kerjasama dengan badan penyelenggara. Negara Republik Indonesia melakukan penambahan penyertaan modal pemerintah kepada modal saham perusahaan Perseroan (Persero) PT Kereta Api Indonesia yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1998. Penambahan penyertaan modal
lxxi
pemerintah berasal dari tambahan anggaran pendapatan dan belanja negara. PT Kereta Api (Persero) berada di bawah Kementerian Perhubungan.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara untuk menemukan jawaban akan sesuatu hal. Cara penemuan tersebut sudah tersusun dalam langkah-langkah tertentu yang sistematis. Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan kebenarannya. Suatu penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar, agar diperoleh hasil yang tepat dan dapat dipertanggunjawabkan kebenarannya. Dengan kata lain metode harus ada dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode yang berupa cara berpikir dan berbuat untuk persiapan
lxxii
penelitian, sistematika, dan pemikiran tertentu yang mempelajari satu atau lebih gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. A.
Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat sebagai berikut: Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsepsi ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dan menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.
B.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari objek atau masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto dalam dijelaskan sebagai berikut: Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
lxxiii
C.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lembaga/instansi yang terkait, yaitu pengelola parkir stasiun PT. KAI Persero Purwokerto selain itu juga dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Unsoed.
D.
Sumber Data
Data yang digunakan dalam penulisan hukum ini ada dua macam, yaitu data sekunder dan data primer, yaitu sebagai berikut: 1.
Data Sekunder
Data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, dengan penjelasan sebagai berikut: a.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: 1)
Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
2)
Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait dengan penelitian ini, yaitu:
a)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
b)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
c)
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
d)
Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum. b.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain:
lxxiv
1)
Pustaka di bidang hukum.
2)
Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet,
3)
Hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti.
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa: 1)
Kamus hukum
2)
Ensiklopedia
2.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian yang berupa keterangan hasil wawancara.
E.
Metode Pengumpulan Data
1.
Data sekunder
Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundangundangan yang terkait, dokumen resmi, makalah-makalah, buku-buku literatur yang kemudian dicatat berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian dikaji sebagai suatu kesatuan utuh. 2.
Data primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan para pihak yang terkait dengan penelitian ini, yaitu wawancara dengan pengelola parkir stasiun PT.KAI Persero Purwokerto.
lxxv
F.
Metode Penyajian Data
Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data sekunder dan data primer yang diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. G.
Metode Analisis Data
Seluruh data yang telah terkumpul secara lengkap dari hasil penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Normatif, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif yaitu menghubungkan paparan hasil penelitian yang tersistematis tersebut dengan yang didapat dari teori hukum, postulat hukum, serta hukum positif, untuk dapat menjelaskan permasalahan secara ilmiah dan bukan dalam bentuk angka-angka.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
1.
Data Sekunder
1.1.
Penyelenggaraan Pelayanan Jasa Parkir Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir
lxxvi
Dasar hukum penyelenggaraan pelayanan jasa parkir adalah Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir. Berdasarkan Perda tersebut diatur hal-hal sebagai berikut: 1.1.1. Pasal 1 angka 7 mengatur bahwa parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. 1.1.2. Pasal 1 angka 9 mengatur bahwa Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan di bidang retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungutan dan pemotongan retribusi tertentu. 1.1.3. Pasal 1 angka 10 mengatur bahwa badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Yayasan atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Dana Pensiun, bentuk badan usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya. 1.1.4. Pasal 3 ayat (2) mengatur bahwa jasa pelayanan parkir meliputi penyediaan tempat untuk parkir dan pengaturan parkir kendaraan. 1.1.5. Pasal 4 mengatur bahwa Subyek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang memanfaatkan pelayanan parkir. 1.2.
Pengelolaan Lahan Parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto
Pengelolaan lahan parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto dilakukan melalui perjanjian kerjasama antara PT. KAI Persero Purwokerto dengan PT. Linggarjati Permai Nomor: 77/TB/SET.PWT/98 tentang Pengembangan Fungsi Areal Parkir, Tempat Parkir Mobil dan Sepeda Motor di Emplasemen Stasiun Purwokerto.
lxxvii
Perjanjian
tersebut
kemudian
dirubah
dengan
Perjanjian
Kerjasama
Nomor:
HK.213/VII/04/DV-2009 tentang Perubahan dan Tambahan (Adendum) Terhadap Perjanjian Kerjasama Nomor: 77/TB/SET.PWT/98. Berdasarkan perjanjian tersebut, maka didapatkan data sebagai berikut: 1.2.1. PT. KAI Persero Purwokerto menyerahkan pemanfaatan lahan/tanah di halaman depan Stasiun Purwokerto kepada PT. Linggarjati Permai sebagai areal perparkiran kendaraan dalam rangka pelayanan terhadap penumpang kereta api. 1.2.2. PT. Linggarjati Permai mengelola perparkiran di areal yang disewa dengan kewajiban membayar/menyetor uang parkir dari hasil pengelolaan parkir stasiun Purwokerto. 1.2.3. PT. KAI Persero Purwokerto berhak mendapatkan uang setoran pengelolaan parkir dari PT. Linggarjati Permai 1.2.4. Tarif pengelolaan lahan parkir sebesar Rp 1.250.000,00 (Satu juta duar ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan. 1.2.5. Uang pengelolaan parkir dibayarkan pada setiap akhir bulan kepada Kas Stasiun Purwokerto. 1.2.6. Perjanjian pengelolaan lahan parkir akan berakhir pada tanggal 30 Juni 2012. 1.3.
Klausula/Perjanjian Baku dalam Pelaksanaan Pelayanan Parkir di
PT. KAI Persero Purwokerto Berdasarkan karcis parkir dan peraturan tata tertib parkir diperoleh data sekunder mengenai klausula baku sebagai berikut: 1.3.1. Kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung 1.3.2. Kendaraan harap dikunci
lxxviii
1.3.3. Pengelola menyediakan lahan parkir 2.
Data Primer
Data primer yang diperoleh berupa hasil wawancara dengan pihak pengelola jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto yaitu Nasir Abdullah, yang mewakili manajemen PT. Linggarjati Permai, diperoleh data sebagai berikut: 2.1.
Cara penyelenggara parkir untuk menciptakan kenyamanan bagi konsumen parkir
adalah dengan penataan terhadap kendaraan yang diparkir, yaitu antara roda dua dan roda empat dipisahkan. 2.2.
Cara penyelenggara parkir untuk menciptakan keamanan bagi konsumen parkir
adalah dengan menghimbau agar konsumen menggunakan kunci ganda. 2.3.
Ada keluhan dari konsumen parkir kepada penyelenggara parkir biasanya
disampaikan kepada petugas di lapangan secara informal. Keluhan berkaitan dengan kurang ketatnya penjagaan pada pintu keluar. 2.4.
Pernah terjadi pencurian kendaraan bermotor yakni roda dua, dalam hal ini korban
diberi uang bantuan, bukan sebagai ganti rugi, karena aturan yang diterapkan adalah kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung oleh pengelola parkir.
B.
Pembahasan
Perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang relatif baru dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Praktek monopoli dan kurang terjaminnya perlindungan konsumen telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat terendah dalam menghadapi para pelaku usaha. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:
lxxix
Konsumen tidak hanya dihadapkan pada persoalan ketidakmengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan, penggunaan maupun pemakaian barang dan/atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha, karena kurang atau terbatasnya informasi yang disediakan, melainkan juga terhadap bargaining position yang kadangkala sangat tidak seimbang, yang pada umumnya tercermin dalam perjanjian baku yang siap ditandatangani maupun dalam bentuk klausa, atau ketentuan baku yang sangat tidak informatif, serta tidak dapat ditawartawar oleh konsumen mana pun. Pengertian perlindungan konsumen menurut rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) adalah: Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Shidarta memberikan penjelasan sebagai berikut: Hukum konsumen berskala lebih luas meliputi aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan “hukum”, termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. Shidarta lebih lanjut berpendapat sebagai berikut: Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat
lxxx
abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen. Erwin Yuniatiningsih dalam hal ini memberikan pendapatnya tentang pengertian perlindungan hukum sebagai berikut: Perlindungan hukum adalah melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang, maka oleh karena itu untuk setiap pelanggaran hukum yang dituduhkan padanya serta dampak yang diderita olehnya ia berhak pula untuk mendapat hukum yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Perlindungan konsumen, di samping terhadap penggunaan barang yang ditawarkan oleh pelaku usaha, juga mencakup perlindungan konsumen atas pemanfaatan jasa yang ditawarkan. Dalam hal ini termasuk juga perlindungan hukum terhadap konsumen jasa parkir, karena perlindungan hukum merupakan upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada seseorang dengan membatasi hak dan kewajibannya berdasarkan suatu peraturan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Kegiatan jasa parkir adalah kegiatan memungut retribusi parkir atas layanan yang telah diberikan berupa penyewaan lahan parkir. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir Retribusi Parkir adalah pembayaran atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Pengertian konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 2 UUPK ditentukan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
lxxxi
Konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 tersebut adalah konsumen akhir, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1 angka 2 yang menentukan sebagai berikut: Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir. Berdasarkan hasil penelitian data sekunder nomor 1.1.2. mengenai Wajib Retribusi dan data sekunder nomor 1.1.5. tentang subyek retribusi, apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen, maka dapat dideskripsikan bahwa orang pribadi atau badan yang diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi merupakan konsumen jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto. Perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak konsumen.
UUPK secara normatif mengatur hak konsumen dalam Pasal 4
sebagai berikut: Hak konsumen adalah: a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa; b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
lxxxii
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa; d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan; e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut; f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif; h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Analisis hak-hak konsumen dalam penelitian perlindungan hukum terhadap pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahum 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: 1.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa Pasal 4 huruf a UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Shidarta yang menyatakan sebagai berikut:
lxxxiii
Konsumen berhak mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan atas barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo terkait dengan hal tersebut di atas, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk. Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4. tentang penyediaan tempat untuk parkir dan pengaturan parkir kendaraan, data sekunder nomor 1.2.2. tentang PT. Linggarjati Permai sebagai pihak yang mengelola perparkiran di areal yang disewakan, data sekunder nomor 1.3.2. tentang kewajiban konsumen untuk mengunci kendaraan, data sekunder nomor 1.3.3. tentang penyediaan lahan parkir, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 huruf a UUPK, serta pendapat Shidarta, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, maka dapat dideskripsikan bahwa pengelola jasa parkir di PT. KAI Persero Purwokerto belum memberikan hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada konsumen dalam menggunakan jasa parkir, dengan alasan sebagai berikut: a.
Pengelola hanya sekedar menyediakan tempat/lahan untuk parkir dan pengaturan
parkir kendaraan dan bukan penitipan kendaraan. b.
Kewajiban konsumen untuk mengunci kendaraan tidak dibarengi dengan
pengawasan yang ketat terhadap keluar masuknya kendaraan yang sedang dan telah memanfaatkan jasa parkir.
lxxxiv
Hal ini didukung oleh data primer nomor 2.2. yang menyatakan bahwa pemberian kenyamanan, keamanan, dan keselamatan kepada konsumen diwujudkan dalam bentuk himbauan agar konsumen menggunakan kunci ganda. 2.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan Pasal 4 huruf d UUPK mengatur tentang hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hal ini dijelaskan oleh Shidarta sebagai berikut: Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo berpendapat sebagai berikut: Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang diperoleh tentang produk kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pertanyaan/ pendapat tentang suatu kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Berdasarkan data primer nomor 2.3. tentang keluhan dari konsumen yang telah memanfaatkan jasa parkir mengenai kurang ketatnya penjagaan pada pintu keluar, bila
lxxxv
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 huruf d UUPK serta pendapat Shidarta, Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, maka dapat dideskripsikan bahwa pengelola jasa parkir di PT. KAI Persero Purwokerto belum memberikan hak konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa, yaitu hanya sekedar menampung aspirasi konsumen. Hal ini terbukti pada waktu dilakukan observasi lapangan, bahwa keluhan tersebut tidak ditindaklanjuti dengan upaya penjagaan yang ketat pada pintu keluar, misalnya dengan penarikan karcis dan pemeriksaan STNK setiap kendaraan yang keluar. 3.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya Konsekuensi dari usaha yang dilakukan, maka pelaku usaha dibebani kewajiban untuk memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 yang menentukan sebagai berikut: Kewajiban pelaku usaha adalah memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK yang menentukan bahwa hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo dalam hal ini berpendapat sebagai berikut:
lxxxvi
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memilih keadaan yang telah menjadi rusak (tidak seimbang) akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hal ini terkait dengan kerugian konsumen, baik yang berupa kerugian materiil, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit, cacat, bahkan kematian) konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentunya harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (di luar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan. Berdasarkan data sekunder nomor 1.1.4. tentang penyediaan tempat untuk parkir dan pengaturan parkir kendaraan, data sekunder nomor 1.2.2. tentang penyewaan lahan parkir yang dikelola oleh PT. Linggarjati Permai, data sekunder nomor 1.3.1. tentang ketentuan bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung, data sekunder nomor 1.3.3. tentang pengelola menyediakan lahan parkir bukan penitipan kendaraan bermotor dan didukung dengan data primer nomor 2.4. bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung oleh pengelola parkir, apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 huruf h UUPK serta pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, maka dapat dideskripsikan bahwa PT. Linggarjati Permai selaku pengelola lahan parkir di PT. KAI Persero Purwokerto belum memberikan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya,. Konsumen pengguna jasa layanan parkir kendaraan bermotor seringkali merasa dirugikan dengan penggunaan klausula baku dalam karcir parkir, karena jika terjadi kehilangan kendaraan yang diparkir, konsumen akan menemui kesulitan untuk menuntut ganti rugi, karena pelaku usaha selalu berdalih bahwa kehilangan kendaraan yang diparkir adalah
lxxxvii
tanggung jawab konsumen sendiri, sesuai ketentuan dalam karcis parkir, sehingga di sini tidak ada perlindungan hukum bagi konsumen pengguna jasa layanan parkir. Hubungan hukum yang terjadi dalam jasa layanan parkir adalah perjanjian sewa menyewa, karena didalam sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut. Konsumen parkir dalam perjanjian baku belum mendapatkan hak-haknya secara penuh, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi atau menggunakan barang atau jasa dan hak untuk memperoleh kompensasi, ganti rugi dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai atau tidak semestinya. Konsumen jasa parkir tidak pernah bisa lepas dari praktik perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen. Konsumen meski jelas mengalami kerugian, seperti kendaraan hilang. Pada kasus seperti itu konsumen selalu berada pada pihak yang paling dirugikan, karena pihak pengelola parkir lepas tanggung jawab atas segala kerugian itu. Pada umumnya korban kelalaian pengelola parkir seperti kendaraannya rusak/hilang, enggan meneruskan kasusnya ke jalur hukum. Akhirnya kerugian konsumen terus berulang, dan pihak pengelola parkir bebas tanpa ada sedikit pun tanggung jawabnya. Keengganan konsumen jasa parkir menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum memang cukup beralasan, karena proses pertama yang dilakukan ketika terjadi kerusakan/kehilangan kendaraan sudah dihadapkan pada pengalihan tanggungjawab dari pengelola perparkiran. Sebagaimana lazimnya, pihak pengelola menolak memberi ganti kerugian dengan alasan dalam karcis parkir sudah disebutkan segala kerusakan/kehilangan menjadi tanggungjawab konsumen sendiri. Argumen pengelola perparkiran itu didasarkan pada klausula yang selalu menyebut atas hilangnya kendaraan dan/atau barang-barang
lxxxviii
yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan parkir, masih merupakan tanggungjawab konsumen jasa parkir. Selain itu konstruksi hukum yang digunakan pengelola parkir selalu menerapkan konsep ˜sewa lahan” atau hanya menyediakan lahan parkir semata dan bukan penitipan barang. Resikonya bagi konsumen, jika menggunakan konsep sewa lahan, pengelola parkir terlepas dari tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh konsumen. Hal yang kurang mengenakkan untuk konsumen dalam konsep sewa lahan, pengelola parkir hanya berkewajiban untuk menyediakan lahan saja. Dalam soal keamanan dan keselamatan saat parkir, bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir. Akan berbeda konsekuensi logis yang timbul ketika pengelola parkir menggunakan konstruksi hukum ˜penitipan barang”. Agar ada perlindungan hukum bagi konsumen jasa parkir idealnya konstruksi hukum perparkiran adalah ˜penitipan barang” dan bukan ˜sewa lahan”, karena secara nyata telah membelenggu hak konsumen. Logika hukumnya, ketika ada kerusakan/kehilangan kendaraan konsumen jasa parkir, pengelola parkir harus turut bertanggungjawab penuh atas segala kerugian konsumen. Beberapa permasalahan terkait masalah parkir, khususnya apabila terjadi keadaan rusaknya atau hilangnya kendaraan yang diparkir dalam lokasi parkir, pihak pengelola parkir selalu berdalih bahwa hubungan antara Pengelola Parkir sebagai pemberi jasa dengan konsumen selaku pemakai jasa berada dalam konteks perjanjian sewa menyewa lahan. Oleh sebab itu sebagaimana layaknya hubungan sewa menyewa, maka risiko atas kendaraan yang diparkir tidaklah menjadi tanggung jawab pengelola. Terlebih-lebih lagi di dalam perjanjian baku (yang biasanya dicantumkan dalam kertas parkir) antara pengelola dan konsumen tertulis
lxxxix
jelas bahwa atas kehilangan/kerusakan terhadap kendaraan yang diparkir, pengelola parkir tidaklah bertanggungjawab. Bagi konsumen yang umumnya awam hukum dan ditambah dengan tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih sangat rendah, biasanya konsumen akan menerima begitu saja keadaan yang menimpanya tanpa pernah mempermasalahkannya apalagi menuntut ganti kerugian terhadap pelaku usaha/ pengelola jasa parkir yang tentu saja hal ini sangat merugikan konsumen. Pertanyaan yang muncul, benarkah konsumen tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa secara langsung sudah terikat dalam kontrak/perjanjian baku yang diterimanya dalam bentuk kertas parkir, benarkah hukum tak memberikan perlindungan. Pengelola jasa/pelaku benar ketika berbicara bahwa kontrak baku yang tertulis dalam kertas parkir adalah diperbolehkan dan tentu saja mengikat para pihak sebagaimana yang diatur dalam hukum Perdata. Selain itu Kontrak baku yang point-pointnya langsung tertera pada kertas parker tersebut diadakan adalah untuk efektifitas pelayanan, sebab tidaklah mungkin ketika seseorang hendak memarkirkan kendaraannya para pihak membuat perjanjian parkir terlebih dahulu, pasal per pasal. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan dasar itu, para pelaku usaha berdalih dan mengklaim bahwa tiap point dalam perjanjian/kontrak yang ada dalam kertas baku adalah mengikat para pihak. Oleh karenanya point mengenai tidak bertanggungjawab atas risiko kehilangan atas kendaraan
xc
yang dialami konsumen adalah mengikat konsumen. Tapi benarkah dalil pelaku usaha/pengelola jasa parkir dapat diterima begitu saja. Untuk menguji dalil tersebut hal yang harus dilakukan adalah menilai apakah kontrak baku/perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam hukum perdata, yang nantinya
dipakai
sebagai
dasar
untuk
menuntut
pertanggungjawaban
pelaku
usaha/pengelola parkir. Syarat-syarat Sahnya suatu perjanjian, dalam hukum perdata diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320 KUHPerdata telah merumuskan empat syarat yang harus dipenuhi untuk syahnya suatu perjanjian, yaitu:
1.
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
suatu pokok persoalan tertentu;
4.
suatu sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian dinyatakan sah jika memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan demikian yaitu: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kata sepakat menimbulkan adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian. Persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia sekata setara pihakpihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat. Persetujuan kehendak tidak boleh mengandung unsur: a.
Paksaan
Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang berada dibawah ancaman tidak dapat dengan bebas mengemukakan kehendaknya.
xci
Ancaman harus dilakukan dengan alat yang diperbolehkan tetapi suatu ancaman yang dengan upaya-upaya hukum adalah diperbolehkan, kalau tujuannya tidak merugikan orang yang dipaksa. b.
Kekhilafan
Kekhilafan terjadi apabila dalam persetujuan kehendak salah satu pihak mempunyai gambaran keliru mengenai orang dan barang. c.
Penipuan
Perjanjian yang dilakukan dengan unsur penipuan dapat dibatalkan. Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk mempengaruhi gambaran orang tersebut agar gambaran barang atau orang keliru. 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang yang tidak cakap membuat perjanjian diatur dalam Pasal 1330 Kitab UndangUndang Hukum Perdata yaitu: a.
Orang yang belum dewasa
Orang yang belum dewasa menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah mereka yang belum berusia 21 tahun atau belum kawin. b.
Mereka yang dibawah pengampuan
Mereka yang berada dibawah pengampuan dalam melaksanakan hak-haknya harus diwakili oleh pengampunya. c.
Perempuan yang telah kawin
Pada umumnya seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam hal-hal tertentu dan didalam menjalankan hak-haknya atau melakukan perbuatan hukum harus ditentukan dan didampingi suaminya.
xcii
3.
Suatu hal tertentu yang diperjanjikan
Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Barang yang dimaksud dalam perjanjian harus ditentukan jenis, jumlah walaupun tidak ditentukan dalam Undang-Undang. Selanjutnya Undang-Undang menghendaki causa atau sebab atau tujuan, yaitu apa yang hendak dikehendaki kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian. 4.
Suatu sebab yang halal
Sebagai syarat yang keempat dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebab. Sebab dapat diartikan sebagai suatu hal yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa meskipun hukum perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas untuk mengadakan perjanjian, tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang dikehendaki oleh undang-undang haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela. Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: 1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya:
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu, dan
4.
Suatu sebab yang halal
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu syarat subyektif dan obyektif, sebagai berikut: 1.
Syarat Subyektif
xciii
Syarat subyektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi: a.
Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut. Cara-cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. Subekti dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: Kesesuaian kehendak ini harus dinyatakan dan tidak cukup hanya dalam hati saja, karena hal itu tidak akan diketahui oleh orang lain sehingga tidak mungkin melahirkan kata sepakat yang perlu untuk melahirkan perjanjian. Pernyataan sepakat ini tidak terbatas dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa diwujudkan dengan tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menyetujui adanya perjanjian tersebut seperti tulisan. Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah: 1)
dengan cara tertulis;
2)
dengan cara lisan;
3)
dengan simbol-simbol tertentu; dan
4)
dengan berdiam diri.
Seorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta di bawah tangan merupakan akta yang
xciv
dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti Notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Kesepakatan lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dalam masyarakat, namun kesepakatan secara lisan ini kadang tidak disadari sebagai perjanjian padahal sebenarnya sudah terjadi perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, misalnya seorang membeli keperluan sehari-hari di toko maka tidak perlu ada perjanjian tertulis, tetapi cukup dilakukan secara lisan antara para pihak. Kesepakatan yang terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, contohnya adalah jual beli ternak, penjual dan pembeli hanya cukup meraba jari tangan, maka setelah proses tersebut menciptakan kata sepakat. Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, misalnya dalam hal perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai di tujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya. Sehingga kita tidak pernah mengucapkan sepakat kata pun kepada sopir mobil tersebut, namun pada dasarnya sudah terjadi perjanjian pengangkutan. R. Subekti dalam hal ini menerangkan sebagai berikut: Dengan demikian tolak ukur kesepakatan para pihak adalah pernyataan-pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat adalah pernyataan secara objektif yang dapat dipercaya atau yang secara sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh para pihak. Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut diatas, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak, tidak terjadi kontrak.
xcv
b.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum. Seorang oleh KUHPerdata dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a)
Orang-orang yang belum dewasa;
b)
Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c)
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua
orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. R. Subekti memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata huruf c sebagai berikut: Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undangundang sekarang ini tidak dipatuhi lagi, setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh para pihak mengakibatkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat dibatalkan. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah
xcvi
dibuat tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan yang berkepentingan. 2.
Syarat Obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian, ini meliputi:
a.
Suatu hal tertentu
Dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya dalam hal ini menjelaskan sebagai berikut: Dengan demikian maka dalam setiap perjanjian, baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan tidak berbuat sesuatu, senantiasa haruslah jelas yang menjadi obyek perjanjiannya, yang selanjutnya akan menjadi obyek dalam perikatan yang lahir (baik secara bertimbal balik atau tidak) diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Pasal 1332 KUHPerdata juga menjelaskan, bahwa obyek dari perjanjian adalah benda yang dapat diperdagangkan, karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. b.
Suatu sebab yang halal
Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab yang halal, yaitu sebagai berikut: 1)
Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain daripada yang dinyatakan;
xcvii
3)
Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau dipalsukan;
3)
Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebab yang halal itu adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Syarat obyektif wajib dan harus ada dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Jika syarat obyektif tidak disebutkan atau terpenuhi oleh para pihak maka akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum. Syarat perjanjian yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan dan suatu hal tertentu tentulah tidak ada masalah. Dalam hukum mereka yang boleh mengendarai kendaraan tentulah mereka yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) yang dari segi umur dan kedewasaan adalah mereka yang memang layak memilikinya, terlepas dari kondisi nyata yang berbeda di lapangan. Syarat suatu hal tertentu juga tidak bermasalah, sebab hal tertentu yang menjadi objek perjanjian telah jelas yakni mengenai parkir. Hal yang signifikan untuk menguji keabsahan kontrak baku tersebut adalah syarat mengenai adanya kata sepakat diantara para pihak, yang dimaksud dengan kata sepakat ialah dalam mengadakan perjanjian, para pihak haruslah dalam keadaan bebas untuk menentukan kehendaknya. Dalam bahasa yang lain berarti para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya paksaan untuk menyetujui perjanjian yang akan disepakatinya tersebut. Para pihak harus berada dalam posisi seimbang, tidak boleh dalam keadaan diancam atau dipaksa, dalam keadaan khilaf, atau ditipu.
xcviii
Dalam konteks jasa parkir, benarkah para pihak telah berada dalam kondisi yang bebas untuk menentukan kehendaknya. Ketika seseorang/konsumen datang ke suatu tempat, mau tidak mau dia harus parkir di tempat yang telah disediakan, yakni ditempat parkir yang dikelola pelaku usaha tertentu. Konsumen tidak mempunyai pilihan lain untuk memilih dimanakah ia harus parkir. Dalam kondisi semacam ini sebenarnya konsumen telah berada dalam posisi yang tidak berimbang atau sub-ordinat dengan pelaku usaha. Konsumen harus memilih untuk parkir di tempat tersebut dan mematuhi setiap klausul yang berada dalam karcis parkir yang dibuat oleh pelaku usaha. Dengan adanya kondisi semacam ini maka syarat sepakat mereka yang mengikatkan dirinya sebagai syarat sahnya perjanjian tersebut tidaklah terpenuhi, dan jika point ini tidak dipenuhi maka atas kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan sekaligus tuntutan ganti kerugian. Syarat yang tidak kalah pentingnya untuk menilai sah atau tidaknya kontrak baku tersebut yang berguna untuk meminta tuntutan ganti kerugian jika terjadi kehilangan/kerusakan ialah klausul adanya suatu sebab yang halal. Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai „sebab/kausa‟, tapi yang jelas bahwa yang dimaksud dengan „sebab/kausa‟ di sini bukanlah dalam konteks hubungan sebab akibat, sehingga pengertian „sebab/kausa‟ tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausalitet (sebab-akibat). Menurut yurisprudensi (putusan hakim terdahulu) yang ditafsirkan dengan „sebab/kausa‟ adalah isi atau maksud dari perjanjian. Isi dari suatu perjanjian tidak bertentangan dengan UndangUndang, Ketertiban Umum maupun Kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata). Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan sebagai berikut:
xcix
Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Pasal 1336 KUHPerdata berbunyi: Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain yang tidak terlarang selain dari yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.
Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan Suatu sebab adalah terlarang, apabila sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, berarti terlebih dahulu harus dilihat apakah isi atau klausul yang diatur dalam perjanjian khususnya soal “tidak bertanggungjawabnya atas kehilangan kendaraan dalam lokasi parkir” tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
Politik hukum di Indonesia sebenarnya dengan cukup baik telah mengatur mengenai upaya perlindungan hukum terhadap konsumen, hal ini dapat dilihat dengan hadirnya Undangundang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK ini telah mencoba merinci hak-hak maupun kewajiban-kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Namun sayangnya, hampir kebanyakan pelaku usaha pura-pura tidak tahu dengan pengaturan yang ada dalam UUPK tersebut. Di pihak lain konsumen pun juga belum sadar bahwa ada peraturan yang melindungi mereka dari perbuatan pelaku usaha. Bab V, Pasal 18 UUPK
c
sebenarnya sudah memberikan rambu-rambu tegas mengenai Ketentuan Pencantuman Klausul Baku. Asumsi penggunaan konsep klausula baku dalam layanan jasa parkir bertentangan dengan Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku, Pasal 18 UUPK yang mengatur sebagai berikut: (1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen; c.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d.
menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen; f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g.
menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
ci
h.
menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2)
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3)
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4)
Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
Undang-undang ini. Berdasarkan Bab V Pasal 18 UU tersebut sebenarnya sudah diberikan rambu-rambu tegas mengenai ketentuan pencantuman klausul baku (kontrak baku). Pasal 18 ayat (1) huruf a ditegaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Berdasarkan Pasal 18 tersebut dapat dimengerti bahwa sebenarnya klausul/point perjanjian dalam kertas parkir yang mengatakan pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas risiko kehilangan adalah bertentangan dengan hukum, sebab klausula tersebut telah mencoba mengalihkan tanggung jawab yang dimiliki oleh pelaku usaha ke konsumen yang tentunya telah melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK tersebut. Pada umumnya syarat tersebut biasanya dituliskan sangat kecil dikertas parkir yang menyebabkan konsumen sangat sulit untuk melihatnya.
cii
Klausula baku yang terdapat pada karcis parkir telah menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 18 ayat (1) UUPK. Dalam karcis parkir tersebut terdapat beberapa penyimpangan, yaitu adanya klausula mengenai pengalihan tanggung jawab pihak penyelenggara parkir dan ketentuan yang menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang berupa aturan baku yang dibuat oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa. Dengan adanya klausula tersebut, menyebabkan konsumen tidak dapat menuntut ganti rugi pada pihak penyelenggara parkir ketika kendaraan atau barang-barang yang terdapat di dalam kendaraan konsumen mengalami kerusakan atau hilang di area parkir, baik itu karena kesengajaan atau kelalaian dari pihak penyelenggara parkir. Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK, klausula baku pada karcis parkir yang telah melanggar Pasal 18 ayat (1) UUPK, mempunyai akibat hukum yaitu batal demi hukum sehingga klausula baku pada karcis parkir tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak. Bahkan klausul baku yang dibuat sepihak oleh pengusaha dalam karcis adalah perbuatan melawan hukum. Misalnya, dalam karcis parkir tertulis “kehilangan kendaraan atau isinya tidak menjadi tanggungjawab pengelola.” Klausul seperti itu terlarang di UUPK yang termaktub dalam Pasal 18. Kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa kontrak standar dengan klausula pengalihan tanggungjawab tersebut telah melanggar Undang-undang yang memiliki konsekuensi yakni perjanjian parkir (bisa) dianggap tetap sah, namun klausul/point mengenai pengalihan tanggungjawabnya adalah batal demi hukum atau tidak berlaku. Atau Perjanjian (secara keseluruhan) batal demi hukum karena pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan oleh karenanya dapat dituntut ganti kerugian. Selain itu dengan
ciii
adanya pasal tersebut juga semakin menegaskan bahwa perjanjian parkir antara pengelola dan konsumen adalah perjanjian penitipan, bukan sewa menyewa lahan sebagaimana yang didalilkan oleh para pengusaha parkir tersebut. Sebab dalam perjanjian penitipan, orang yang dititipkan suatu barang (dengan upah), haruslah bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya tersebut atau setidak-tidaknya perjanjian parkir mengandung dua perjanjian sekaligus, yakni sewa menyewa dan penitipan. Fakta dan data yang ada selama ini, konsumen jasa parkir nampaknya tidak pernah bisa lepas dari praktik perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen. Konsumen meski jelas mengalami kerugian, seperti body mobil tergores, velg roda hilang, kaca spion dicongkel, hingga kendaraan hilang. Pada kasus seperti itu konsumen selalu berada pada pihak yang paling dirugikan, karena pihak pengelola parkir lepas tanggung jawab atas segala kerugian itu. Bahkan terkesan bahwa pengelola parkir dengan berlindung dibalik klausula baku itu tidak tersentuh oleh hukum. Keengganan konsumen jasa parkir menyelesaikan masalahnya melalui jalur hukum (pengadilan) memang cukup beralasan, karena proses pertama yang dilakukan manakala terjadi kerusakan/kehilangan kendaraan sudah dihadapkan pada adanya klausula pengalihan tanggungjawab dari pengelola perparkiran. Sebagaimana lazimnya, pihak pengelola menolak memberi ganti kerugian dengan alasan dalam karcis parkir sudah disebutkan dengan jelas dan tegas bahwa atas segala kerusakan/kehilangan menjadi tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri, dan bukan tanggungjawab pengelola parkir. Argumen pengelola perparkiran itu didasarkan pada klausula yang selalu termuat dalam karcis yang menyebut atas hilangnya kenderaaan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di kawasan parkir, masih
civ
merupakan tanggungjawab konsumen jasa parkir sendiri. Menurut Pasal 1 angka 10 UUPK: Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Konsep tersebut sudah tidak sesuai lagi, sebab sudah tidak selaras dengan nafas hukum yang terus berkembang. Dalam hal ini, klausula baku erat kaitannya dengan UUPK. UUPK secara tegas dan detil mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, serta hal-hal yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha. Khusus mengenai klausula baku ini UUPK melarang dengan tegas pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang tujuannya merugikan konsumen (vide Pasal 18 UUPK). Pasal 18 ayat (3) UUPK menegaskan bahwa: Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Idealnya, meski pengelola parkir mencantumkan klausula baku pada karcis sesungguhnya itu hanya perjanjian sepihak yang terpaksa diterima konsumen jasa parkir. Karenanya, jika pihak pengelola parkir telah melalukan pelanggaran hukum dengan kelalaian dan perlakuan yang tidak memadai terhadap konsumen jasa parkir, pengelola parkir tetap berwajiban memberi ganti kerugian pada konsumen. Pasal 19 UUPK menegaskan:
cv
(1)
Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2)
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3)
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi. (4)
Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. (5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 tersebut, maka terdapat keseimbangan hak dan kewajiban pengelola parkir dan konsumen jasa parkir (vide Pasal 4, 5, 6 dan 7 UUPK).
BAB V PENUTUP
cvi
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun PT. KAI Persero Purwokerto berdasarkan Pasal 4 huruf a, huruf d, dan huruf h UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun
PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf a yang menyatakan “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa” belum terpenuhi, yaitu pengelola hanya sekedar menyediakan tempat/lahan parkir untuk disewa dan bukan penitipan kendaraan, bahwa didalam hubungan hukum sewa menyewa terdapat proses pembayaran yang dilakukan oleh konsumen kepada pelaku usaha atas jasa sewa lahan parkir tersebut, tanpa membebankan kepada pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen. 2.
Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun
PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf d yang menyatakan “hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan” belum terpenuhi, karena keluhan tentang kurangnya pengawasan hanya sekedar ditampung, tanpa ada upaya untuk melakukan penjagaan yang ketat pada pintu keluar, yaitu tidak ada penarikan karcis dan pemeriksaan STNK pada setiap kendaraan yang meninggalkan area parkir. 3.
Perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna jasa parkir di Stasiun
cvii
PT. KAI Persero Purwokerto oleh PT. Linggarjati Permai berdasarkan Pasal 4 huruf h yang menyatakan “hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya” belum terpenuhi, yaitu pengelola jasa parkir berlindung di balik klausula baku yang tertera dalam karcis parkir, bahwa kehilangan barang/kendaraan tidak ditanggung.
B.
Saran
Permasalahan dalam perjanjian parkir timbul karena ada hubungan tidak seimbang, yaitu penyelenggara parkir berhak mengutip retribusi dari konsumen, sementara hak perlindungan konsumen terhadap peristiwa atau kejadian yang merugikan, misalnya kehilangan atau kerusakan, tidak ada ganti rugi, hal ini terlihat dari lembar bukti karcis parkir. Pada sisi lain, pengelola jasa parkir juga merasa keberatan untuk memberi ganti rugi atas kendaraan dan barang yang ada di dalamnya apabila terjadi kerusakan atau kehilangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, para pelaku usaha hendaknya berupaya melakukan perlindungan hukum, yang antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan karcis parkir dan STNK saat kendaraan akan meninggalkan lokasi parkir.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks:
cviii
Abidin, Wikrama Iryans. 2005.
Politik Hukum Indonesia. Gramedia Widiasarana
Indonesia. Jakarta. Hamzah, Andi. 1986. Kamus Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Kaho, Josep Riwu. 2002. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Marjuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum. Prenada Media Group. Jakarta. Miru, Ahmadi, dan Sutarman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers. Jakarta. Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. RajaGrafindo Persada. Jakarta. Muhammad, Abdul Kadir. 1991. Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Citra Aditya Bakti. Bandung. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaya. 2002. Perikatan Yang lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada. Jakarta. Murjiyanto, R. 2002. Pengantar Hukum Dagang. Liberty. Yoyakarta. Nasution, A.Z. 1995. Hukum dan Konsumen. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. . 2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media. Jakarta. Poerwodarminto, W.J.S. 1998. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Purwosutjipto, H.M.N. 1988. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2, Djambatan. Jakarta. Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Grasindo. Jakarta.
cix
Soemitro, Rochmat. 1979. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Rineka Cipta. Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soeparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk keuangan dan Pembangunan Daerah. Andi Offset. Yogyakarta. Soerjono, Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji. 1986. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). CV. Rajawali. Jakarta. Soebekti, R. dan R. Tjitrosubio. 1990. Kutab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita. Jakarta. Subekti, R. 1992. Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti. Bandung. . 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. Jakarta. Supriady, Deddy. 2002. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Suyadi. 2006. Diktat Hukum Perlindungan Konsumen. FH. Unsoed Purwokerto. Syawali, Husni, dan Neni Sri Imaniyati. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen. Mandar Maju. Bandung. Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widjaja, Gunawan. 2008. Seri Pemahaman Perseroan Terbatas, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT. Praninta Offset. Jakarta. YLKI. 1981. Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta.
cx
Zaenal, Bahri. 1993. Kamus Umum (Khusus Bidang Hukum dan Politik). Angkasa. Bandung.
Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 2 Tahun 2008 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum.
Website: http//en.wikipedia.org/wiki/Corporation Pajak, Retribusi dan Sumbangan. Diakses melalui www.google.com. Pada 3 Desember 2010. Pajak, Retribusi dan Sumbangan. Diakses melalui www.google.com. Pada 10 Maret 2011. Sanadianto.
2008.
Tinjauan
Umum
Perlindungan
Hukum.
http://one.indoskripsi.com/tinjauan-umum-perlindungaan-hukum.
Diakses
Pada
melalui
tanggal
3
Desember 2010 Tambunan, Barita. 2008. Pengertian Perlindungan Hukum : Tanya Jawab. Diakses melaluihttp://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080318051947AAf1sB0 tanggal 3 Desember 2010
cxi
Pada
Tjandrasari, Heri. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Opini Masyarakat Pemantau Perdilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, www.pemantauperadilan.com, diakses tanggal 10 Maret 2011. Yuniatiningsih, Erwin. 2007. Kebutuhan Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Tindak
Pidana
Perkosaan
di
Indonesia.
Diakses
melalui:
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browsedanop=readdanid=jiptumm-gdl-s1-2002-erwin4869-pidanadanq=Nasional. Pada tanggal 3 Desember 2010.
Karya Ilmiah: Tumbuan, Fred B.G. 2007. Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas. Makalah disampaikan pada acara Sosialisasi UUPT. Tanggal 22 Agustus 2007 di Jakarta.
cxii