20
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BENDA CAGAR BUDAYA KOLEKSI MUSEUM DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Bambang Sutiyoso, SH, M.Hum. *) Abstract
The essence of culture preserve is still fragile from the destruction and annihilation, both caused by nature and those caused by the human. Hence, it is need to recover how and whether the legislation of culture preserve has adequately provided the legal protection for the objects. The writer limits the wide of sampling region to Yogyakarta. Being famous as the cultural city, it has many ancients and historical objects; some of them have been determined as the culture preserves objects. Those inheritance objects, some is stored in museum spread out in some places. The results suggested that, though there has been a legislation concerning with the nature preserve; UU no.5 1992 with the other legislation, but it still in fact, contain a weakness on the essence of the culture preserve itself in terms of the provisions about criminal sanctions. There are many historical objects which is not the culture preserve, while according to article 76 of UU no.5 1992 that criminal sanction addressed to anybody who has destroyed the culture preserve objects. It will lead an implication on the law enforcement. Whereas, for the collection objects in museum, up to now the save has been being well kept, it means that, never, occurred a case of theft or left of the objects. The problems on keeping and maintaining the historical objects are maintaining cost, and lack of skilled personnel, poor facility and prerequisite of the museum, that will effect the presentation quality and the service to society. Key words: law protection, culture preserve, and museum collection.
*)
Dosen TetapFakultas HukumUniversitas IslamIndonesia Yogyakarta.
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
21
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya dengan beragam budaya, baik yang sifatnya etnis tradisional maupun modern, baik yang berasal dari nenek moyang sendiri maupun dari pengaruh negara-negara lain. Hal ini tidakmengherankan, mengingat Indonesia terdiridari banyak suku dan secara historis dulu berdiri banyak kerajaan-kerajaan seperti kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan lain-lain. Di samping itu, bangsa Indonesia pernah mengalami penjajahan oleh bangsa Eropa lebih dari tiga setengah abad dan sekaligus sebagai tempat penyebaran agama dari para pendatangasing.Meskipun demikian,sesuaisemboyan“BhinnekaTunggal Ika”, banyaknya corak budaya tersebut tetap berada dalam satu bingkai, yaitu budaya Indonesia. Secara konstitusional, pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk memajukan dan mengembangkan budaya bangsa yang ada. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesiaterhitungsebagaikebudayaan bangsa.Usahakebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Dari sekian banyak budaya nasional yang perlu mendapat perhatian adalah benda-benda cagar budaya. Benda-benda cagar budaya ini merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Perlindungan hukum merupakan hal yang penting dalam upaya melindungi dan menjaga keutuhan benda-benda cagar budaya dari kepunahan dan kerusakan.Perlindungan hukumadalahperlindungan yang didasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma hukum, terutama yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan yang jelas, akan memberikan kepastian hukum dan arah tindakan yang tepat tentang hal-hal apa dan bagaimana yang harus dilakukan dalam menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ditemui secara kongkrit di lapangan. Salah satu upaya untuk memelihara dan merawat benda-benda cagar budayaadalah dengan menempatkannya dimuseum-museum, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta. Museum-museum ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
22
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
tersebut sekarang inidapat dijumpai di berbagai tempat di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 140 buah (Dept. P & K, 1988; 7) , dengan penyajian dan visualisasi koleksinya masing-masing. Dan tidak menutup kemungkinan, di masa-masa mendatang jumlah museum yang ada akan semakin bertambah dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Meskipun perkembangan museum di Indonesia ditinjau dari segi kuantitas cukup menggembirakan, namun dari segi kualitas masih perlu ditingkatkan. Banyak museum yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan sebagai museum yang baik, disebabkan karena kurang matangnya perencanaan pendirian suatu museum. Pada umumnya perencanaan pendirian suatu museum hanya sampai museum itu berdiri dan kurang memikirkan bagaimana penyelenggaraan dan pengelolaan museum selanjutnya (Dept. P & K, 1988; 7). Di antara kota-kota di Indonesia yang memiliki cukup banyak bangunan museum adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, yang meliputi 1 daerah kotamadya dan 4 kabupaten, masing-masing Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul. Bahkan sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakartatelah didirikan lebih dari20 museum dengan berbagai koleksinya seperti benda-benda arkeologika, etnografika, historika dan lain-lain yang sebagian termasuk kategori benda-benda cagar budaya yang dilindungi Undang-undang. Sehingga tidak berlebihan kiranya kalau Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan predikat sebagai kota budaya. Keberadaan museum menjadi amat strategis, tidak saja dari aspek pelestarian seni dan budaya, tetapi juga dapat dipakai sebagai media pembelajaran dan pendidikan bagi generasi penerus bangsa akan arti pentingnyapelestarianterhadappeninggalanbudayaluhursertapenghargaan terhadap karya seni monumental warisan nenek moyang dahulu. Dengan katalainkeberadaan museum dapat berperan sebagai institusipendukung kegiatanbelajarmengajarmasyarakatyangbersifat edukatifkultural. Apalagi warisan budaya bangsa masa lampau yang sudah berumur puluhan hingga ratusan tahun pada kenyataannya selalu terancam kepunahan baik oleh peristiwa alam maupun akibat perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab seperti pencurian, penggelapan, perusakan atau perbuatan-perbuatan melawan hukum lainnya. Seiringdenganlaju globalisasiinformasisertasemakin meningkatnya intensitas hubungan internasional, juga membawa pengaruh terhadap perilaku dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dampak negatif yang muncul adalah terjadinya kasus penyelundupan dan perdagangan ilegal benda-benda budaya ke luar negeri. Akibat selanjutnya kalau perbuatan ini dibiarkan, secara berangsur-angsur akan terjadi pemiskinan benda-benda warisan budaya di Indonesia. LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
23
Adanya pelanggaran terhadap benda warisan budaya dari ulah manusia, dapat menjadi pekerjaan yang amat kompleks, karena seringkali harus terbentur dengan kepentingan ekonomi pelakunya, dan yang lebih sulit terbentur dengan mentalitas bangsa. Tampaknya keinginan bangsa ini untuk memelihara prasarana umum amat rendah; vandalis; sekaligus suka berbangga kalau dapat melanggar aturan (Daniel Agus Maryanto, 1993). Fenomena seperti itu dapat dijadikan indikasi masih rendahnya tingkatkesadaranhukumsebagianmasyarakat dalamikutsertamelindungi dan mencintai budaya bangsa sendiri. Kekhawatiran akan terjadinya masalah-masalah pelanggaran perundang-undangan tentang peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, bukan hanya dirasakan di negara-negara yang sedang berkembang saja, tetapi juga oleh negera yang sudah relatif maju. Hal itu semuanya jelas dengan kenyataan bahwa di samping banyaknya negara-negara di dunia yang telah memiliki perundang-undangan peninggalan sejarah dan kepurbakalaan bahkan mengenai kebudayaan yang lebih luas dan sempurna, juga UNESCO sejak beberapa tahun yang lalu hingga dewasa ini telah membuat konvensi-konvensi serta rekomendasi di bidang perlindungan dan pemeliharaan cultural heritage properties atau warisan / pusaka budaya (Uka Tjandrasasmita, 1982; 17). Dalam konteks itulah, pelestarian benda-benda cagar budaya merupakan suatu conditio sine qua non, terutama dengan diberikannya perlindungan hukum secara tegas dalam aturan perundang-undangan. Sehingga demi kepastian hukum, apabila ditemukan gejala-gejala yang mengarah kepada perusakan benda-benda cagar budaya, dapat segera diambil langkah-langkah penanganan maupun penegakan hukum (law enforcement) secara tepat. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap benda-benda cagar budaya berupa koleksi museum di Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap bendabenda cagar budaya? TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui tentang perlindungan hukum terhadap benda-benda cagar budaya berupa koleksi museum di Daerah Istimewa Yogyakarta. ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
24
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
2.
Mengetahui apakah peraturan perundang-undangan yang ada sudah memadai dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap benda-benda cagar budaya.
TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan benda-benda cagar budaya sekarang ini sudah diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Dalam Ketentuan Penutup, Bab X, Pasal 31 dinyatakan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, ketentuan tentang benda cagar budaya sebagaimana diatur dalam Monumenten Ordonnantie Nomor 19 Tahun 1931 (Staatsblad Tahun 1931 Nomor 238), yang telah diubah dengan Monumenten Ordonnantie Nomor 21 Tahun 1934 (Staatsblad Tahun 1934Nomor515),dinyatakan tidakberlaku. Adapun pertimbangan tidak diberlakukannya lagi adalah bahwa ketentuan tersebut dewasa ini sudah tidak sesuai dengan upaya perlindungan dan pemeliharaan demi pelestarian benda cagar budaya. Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992, telah dikeluarkanpulaPeraturanPemerintahNomor10Tahun1993tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda cagar Budaya. Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993 dipandang perlu untukmengaturlebihlanjutmengenaipenguasaan,pemilikan,pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya. Upayamemberikan perlindunganterhadapbenda-bendapeninggalan sejarah dankepurbakalaan sebenarnyasudah lamadilakukan sejakzaman sebelum kemerdekaan. Ketika Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berkuasa,sudahmulaiditempuhlangkah-langkahuntukmelindungibendabenda warisan budaya maupun hasil seni yang bernilai sejarah. Mulamula dikeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku lokal, kemudian berlaku agak luas, dan kemudian berkembang hingga berlaku di seluruh Hindia Belanda yaitu dengan dikeluarkannya Monumenten Ordonnantie 1931 (Stb. No. 238 Tahun 1931), yang kemudian diubah dengan Monumenten Ordonnantie 1934 (Stb. No. 515 Tahun 1934). Hal ini membuktikan bahwabenda-benda budaya yang adadi Indonesia, atau Hindia Belanda waktu itu sangat tinggi nilainya, sehingga dipandang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan. Peninggalan sejarah dapat berasal dari waktu-waktu lampau dalam artian relatif, artinya dapat berasal dari puluhan tahun yang lalu, atau mungkin berasal dari beberapa tahun atau beberapa bulan bahkan beberapa hari yang lalu. Sedangkan peninggalan kepurbakalaan tidaklah menunjukkan usia beberapa tahun atau beberapa bulan yang lalu, tetapi LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
25
berasal dari masa-masa puluhan tahun bahkan ribuan tahun, serta jutaan tahun yang lalu. Kecuali itu ada beberapa peninggalan sejarah yang dari sudut sejarah termasuk peninggalan sejarah, tetapi tidak demikian dari sudut arkeologi. Hal itu tergantung kepada kriterium masing-masing baik berdasarkan ilmu sejarah maupun ilmu purbakala itu sendiri (Tjandrasasmita, 1997 ; 295). Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan dapat pula dibagi menurut zaman, macam,bahan dan fungsinya. Menurut zamannya adapeninggalan zamanprasejarah,zamanIndonesiaHindu/Buddhaatau seringkalidisebut zaman klasik, zaman pengaruh Islam, Barat dan sebagainya. Menurut macamnya ada yang berupa benda-benda bergerak dan tak bergerak. Misalnya arca, ukiran, alat-alat rumahtangga, alat-alat upacara, naskah, gedung, rumah, bekas settlement, benteng dan lain-lain. Menurut bahannyaada peninggalan sejarah dankepurbakalaan yang dibuat dari batu, tulang, logam, kertas, kulit dan lain-lain. Sedang menurut fungsinya ada yang berupa candi, kuil, klenteng, gereja, kraton, pura, masjid, punden berundak, alat perhiasan, alat atau benda upacara keagamaan dan lain-lain (Tjandrasasmita, 1997 ; 296). Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda CagarBudaya sebagai pengganti Monumenten Ordonnantie, maka usaha-usaha perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya yang banyak tersebar di berbagai tempat di tanah air dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan dalam era pembangunan berwawasan lingkungan (Koesnadi Hardjosumantri, 1997; 300). UndangUndang tentang Benda Cagar Budaya telah memberikan arah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan benda cagar budaya (Penjelasan PP No. 10, 1993). Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 5 tahun 1992 dikemukakan pengertian benda cagar budaya sebagai berikut (PP No. 10 Th. 1993, Kep. Mendikbud No. 087/P/1993, Kep. Mendikbud No. 062/U/ 1995, Kep. Mendikbud No. 063/U/1995, Kep. Mendikbud No. 064/U/ 1995): a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh), serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; b. Benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Selain itu situs juga dimasukkan ke dalam pengaturan UndangISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
26
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
undang Benda cagar Budaya. Pasal 1 butir 2 menyatakan, bahwa situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya. Adapun tujuan yang diharapkan dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1992 tertuang dalam Pasal 2, yang menyebutkan bahwa perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Tentang tatacara perlindungan dan pemeliharaan,diatur lebih lanjut dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang menyatakan bahwa perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran. Pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993 menyatakan, bahwa perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23ayat (1)untukpenyelamatan dan pengamanandilakukan sebagai upaya untukmencegah: a. Kerusakan karena faktor alam dan / atau akibat ulah manusia; b. Beralihnya pemilikan dan penguasaan kepada orang yang tidak berhak; c. Berubahnya keaslian dan nilai sejarahnya. Seberapa luas ruang lingkup Undang-undang tentang Benda Cagar Budaya, Pasal 3 Undang-Undang No. 5 tahun 1992 menyatakan bahwa lingkup pengaturan Undang-Undang ini meliputi benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, dan situs. Ada beberapa perbuatan yang menjadi larangan dalam ketentuan Undang-Undang tentang Benda Cagar Budaya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 bahwa : (1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya. (2) Tanpa izin dari Pemerintah setiap orang dilarang: a. Membawa cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia; b. Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya; c. Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat; d. Mengubah bentuk dan / atau warna sertamemugar benda cagar budaya; e. Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya; f. Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya. Mengenaisanksibagipihak-pihakyangmelakukanperbuatan pidana (delik) terhadap Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini, dijelaskan LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
27
dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 29. Pasal 26 menyatakan bahwa barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ketentuan Pidana ini perlu diadakan, supaya Undang-undang ini berwibawa dan sekaligus dapat sebagai langkah preventif (pencegahan) maupun represif (penegakanhukum)dalamupayamengantisipasiterhadap gangguan dan pelanggaran hukum terhadap benda cagar budaya. Mengingat begitu pentingnya keberadaan benda-benda cagar budaya, maka Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 memperkenankan benda-benda tersebut untuk dirawat dan disimpan di museum. Hal ini diatur dalam Pasal 22 Undang-undang No.5 Tahun 1992, yang menyatakan: (1) Benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu baikyangdimilikioleh Negaramaupunperseorangan dapat disimpan dan atau dirawat di museum. (2) Pemeliharaan benda cagar budaya yang disimpan dan atau dirawat dimuseumsebagaimanadimaksuddalamayat(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-undang di atas, tidak lain adalah Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1995 Tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar BudayaDiMuseum.Yangdimaksud museumdalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1995 adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiel hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Kemudian dinyatakan pula bahwa benda cagar budaya di museum adalah semua koleksi museum berupa benda cagar budaya bergerak atau benda cagar budaya tertentu yang disimpan, dirawat, diamankan, dan dimanfaatkan dimuseum. Benda cagar budaya yang disimpan di museum dapat diperoleh dari hasil penemuan, hibah, imbalan jasa, titipan atau hasil dari kegiatan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 3 PP No. 19,1995). Dalam sejarah permuseuman, telah terjadi perubahan dan perkembangan yangbersifat perluasan dari fungsimuseum. Pada mulanya museum hanya berfungsi sebagai gudang barang, tempat disimpan barang-barang warisan budaya yang bernilai luhur dan yang dirasakan patut disimpan. Kemudian fungsinya ditambah dengan fungsi pemeliharaan, pengawetan, penyajian atau pameran, dan akhirnya fungsi ini diperluaslagisampaikefungsipendidikan secaraumumdan digunakan ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
28
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
untuk kepentingan umum atau masyarakat luas (Dept. P & K, 1995; 3). Masalah permuseuman telah mendapat perhatian besar masyarakat internasional, dengan di bentuknya ICOM (International Council of Museum), yaitu suatu badan kerjasama profesional di bidang permuseuman yang didirikan oleh kalangan profesi permuseuman dari seluruh dunia. Dalam hal ini ICOM merumuskan museum sebagaisebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan,untuktujuan-tujuan studi, pendidikan dan kesenangan, barang-barang pembuktian dan lingkungannya (Dept. P & K, 1995; 15-16). Museum agar dapat berfungsi dengan baik harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi suatu museum adalah adanya koleksi museum. Penentuan persyaratan koleksi suatu museum diperlukan, karena belum ada keseragaman persyaratan koleksi, baik untuk museum pemerintah maupun museum swasta. Untuk mendapatkan keseragaman persyaratan koleksi, maka diperlukan syaratsyarat sebagai berikut: 1. Mempunyai nilai sejarah dan ilmiah (termasuk nilai estetika) 2. Dapat diidentifikasikan mengenai wujudnya (morfologi), tipenya (tipologi), gayanya (style), fungsinya,maknanya,asalnyasecarahistoris dan geografis, genusnya (dalam orde biologi) atau periodenya (dalam geologi khususnyauntuk benda-benda sejarah alamdan teknologi); 3. Harus dapat dijadikan dokumen, dalam arti sebagai bukti kenyataan dan kehadirannya(realitas dan eksistensinya) bagipenelitian ilmiah; 4. Dapat dijadikan suatu monumen atau bakal jadi monumen dalam sejarah alam atau budaya; 5. Benda asli (realia), replika atau reproduksi yang syah menurut persyaratan permuseuman. Khusus untuk museum swasta diwajibkan menyerahkan daftar koleksi yang dimilikinya dan pertambahan koleksi pada setiap tahun, kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dept. P & K, 1995; 19-20). Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota budaya mempunyai sekitar 20 museum, yang tentunya sangat menunjang untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pengembangan wawasan budaya. Museum-museum yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain: (1) museum Negeri Sono Budoyo; (2) museum Benteng Yogyakarta; (3) museum Kraton Yogyakarta; (4) museum Puro Pakualaman; (5) museum Sasmitaloka Pangsar Jendral Sudirman; (6) museum Monumen Yogya Kembali; (7) museum Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala; (8) museum Pusat TNI-AD Dharma Wiratama; (9) museum Wayang Kekayon; (10) museum Biologi Fakultas Biologi UGM; (11) museum Polda Yogyakarta; (12) museum Kebun Raya Gembira Loka; (13) museum Dewantara Kriti LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
29
Griya; (14) museum Seni Lukis Affandi; (15) museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia“Nyoman Gunarsa” (SLKI); (16) museum Sasana Wiratama Monumen Pangeran Diponegoro; (17) museumPerjuangan; (18) museum Geoteknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta; (19) museum Monumen Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia Mandala Bhakti Wanitatama; dan (20) Museum Batik Yogyakarta (Dept. P & K Dirjend Kebudayaan Direktorat Permuseuman, 1997. METODE PENELITIAN Dalampenelitianini,pendekatanyangdigunakanadalah yuridisempiris, yaitumengkajidanmengolahdata-datapenelitian,denganbertitiktolakpada aspekhukum (yuridis) dengan didukungfakta-fataempirisdi lapangan. Subyek penelitian meliputi :(a) Kepala atau petugas yang ditunjuk pada bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan (MUSKALA) Kantor Wilayah Depdikbud DIY; (b) Kepala atau petugas yang ditunjuk pada UPT Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala; (c) Kepala Badan Musyawarah Musea (BARAHMUS) DIY ; (d) Kepala atau petugas yang ditunjuk pada museum-museum yangmempunyai koleksi benda cagarbudaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya di Kotamadya Yogyakarta. Adapun cara pengumpulan data dilakukan melalui: (a) Wawancara terpimpin (guidance interview), yaitu wawancara yang dilakukan secara terpimpin kepada subyek penelitian berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan oleh peneliti; (b) Pengamatan (observation), yaitu pengamatan secara langsung oleh peneliti di lapangan terhadap bendabenda cagar budaya koleksi museum di Daerah Istimewa Yogyakarta; (c) Studikepustakaan (librarystudy), yaitu pengkajiandan pengumpulan datadata yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku literatur, karya-karya ilmiah dan dokumen-dokumen tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian. Analisisyangdigunakanadalah deskriptifkualitatif,yaitumenganalisis data-data penelitian dengan cara menguraikan dan menjabarkan dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang ada, untuk selanjutnya hasilnya dikajisecara mendalam dan diinterpretasikan oleh peneliti untuk mendapatkankesimpulanyangdiharapkan(BurhanAshshofa,1996;66-67). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Upaya Perlindungan Melalui Peraturan Perundang-undangan Secara konstitusional, perlindungan dan pelestarian benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya bangsa tercantum dalam ketentuan Undang-undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR. Sebagai tindak lanjutnya, kemudian diikuti dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain sebagai pelaksanaannya, seperti ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
30
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan perangkat peraturan daerah yang bersangkutan. Aspek hukum yang perlu diperhatikan dalam pengaturan perlindungan benda cagar budaya adalah menyangkut sanksi hukum bagi pelanggarnya. Apabilamengacu pada Undang-undang No.23Tahun 1997, tepatnyadalamPasal41BabIX tentangKetentuanPidana, makaancaman hukuman bagi siapa saja yang melakukan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup secara melawan hukum sudah cukup berat. Yaitu diancamdengan pidanapenjarapaling lama 10(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 23 tahun 1997 ternyata sejalan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1992, yang juga memberikan ancaman pidana penjara selamalamanya 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah). Apabila ketentuan pidana ini benarbenar diterapkan dalam praktek kepada pelakunya, maka sudah cukup memadai kiranya hukuman tersebut. Dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan, keberadaan Undang-undang No. 5 tahun 1992 merupakan suatu langkah maju dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala. Tetapi harus diakui di dalam Undangundang tersebut ternyata masih ditemui beberapa kelemahan yang cukup mengganggu. Kelemahan ini juga dirasakan oleh pihak Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, sebagai pihak yang amat berkepentingan dalam memberikan upaya perlindungan terhadap bendabenda warisan budaya. Kelemahan yangmendasar adalah pada pemahaman hakekat benda cagar budaya dan situs. Adalah fakta yuridis tentang adanya kenyataan bahwa selama ini telah terjadi kekeliruan konsepsi terutama di tingkat elite pengambilan keputusan dalam memahami hakekat benda cagar budaya dan situs (Dendi Eka Hartanto, 1994). Contoh kongkritnya terdapat dalam Lampiran Keputusan Direktur Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 0248/F1.IV/J.93 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Pendaftaran BendaCagar Budaya. Dalam salah satu blanko-nya berjudul Berita Acara Pemeriksaan Benda Tidak Bergerak, namun isi yang tercantum di dalamnya adalah mengenai situs, dengan redaksi yang berbunyi Nomor Urut Situs dan Nama Situs. Padahal secara teoritis maupun yuridis hakekat benda cagarbudaya tidak bergerak jelas tidak sama dengan hakekat situs. Ada baiknya untuk mengetahui hakekat benda cagar budaya dan situs tidak hanya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sekarang ini, tetapi juga dicari perbandingan pemahaman berdasarkan ketentuan hukum yang dulu pernah berlaku. Sebelum tanggal 21 Maret 1992 LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
31
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang benda cagar budaya dan situs adalah Monumenten Ordonnantie Staatsblad Nomor 238 Tahun 1931 (M.O.). Apabila dicermati, istilah yang digunakan dalam M.O. bukan benda cagar budaya, tetapi monumen atau dalam istilah sehari-hari adalah benda peninggalan sejarah dan purbakala serta situs. Sementara itu Undang-undang No. 5 Tahun 1992 menggunakan istilah benda cagar budaya dan situs. Yang menjadipermasalahan adalah bahwa menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1992, hakekat benda cagar budaya tidak sama dengan monumen atau benda peninggalan sejarah dan purbakala. Demikian pula hakekat benda cagar budaya tidak bergerak juga tidak sama dengan situs. Kalau dicermati dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1992 hanya mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang merusak, membawa, memindahkan, mengubah, memugar dan perbuatan lainnya terhadap benda-benda yang sudah termasuk kategori bendacagar budaya. Padahal tidak semuabenda-benda peninggalan sejarah dan purbakala mempunyai makna sebagai benda cagar budaya sebagaimana disebutkan di atas. Karena menurut peraturan perundang-undangan, suatu benda baru dapat disebut sebagai benda cagar budaya harus ada penetapan hukum terlebih dahulu. Yang menetapkan dalam hal ini adalah Direktur Jendral Kebudayaan atas nama Menteri Terkait (Mendikbud) (UU No. 5 tahun 1992 Kep. Menteri P & K RI No. 0224/U/1981). Jadi meskipun secara fisik materiel suatu benda sudah memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan, namun belum ada penetapan secara hukum, maka secara yuridis belum dapat dikatakan sebagai benda cagar budaya. Dalam hal ini olehUndang-Undang dikategorikan sebagaibendayang diduga sebagai benda cagar budaya. Benda yang diduga sebagai benda cagar budaya di kemudian hari dapat berubah statusnya sebagai benda cagar budaya, kalau sudah ada penetapan hukumnya. Status benda yang diduga sebagai benda cagar budaya, memang masih menimbulkan masalah dalam perlindungan hukumnya. Betapapun dalamPasal3Undang-UndangNo.5tahun1992menyatakanbahwabenda yangdidugasebagaibendacagarbudayamendapatkanperlindunganhukum yang sama sebagaimana benda cagar budaya. Akan tetapi sesuai dengan Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu mulai pasal 26 sampai dengan pasal29,disebutkanbahwayangdikenaisanksipidanaadalah pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap benda cagar budaya, bukan pihak yang melakukan pelanggaran terhadap benda yang diduga sebagai benda cagarbudaya.HalininampaknyakurangdiantisipasiolehpembuatUndangUndang tersebut,karena akan berimplikasi pada penegakan hukumnya di lapangan. Misalnya ketika ada suatu benda yang belum berstatus sebagai benda cagar budaya, tetapi sudah berumur lebih dari 50 tahun dan ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
32
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
mempunyai nilai penting bagi sejarah dan ilmu pengetahuan, kemudian dirusak oleh seseorang, maka akan menimbulkan masalah apakah yang bersangkutan dapat dikenakan ketentuan pidana ataukan tidak sesuai Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tersebut. SementaraituUndang-undangNo.5Tahun1992termasukkategori hukum pidana, oleh karenanya tidak diperkenankan adanya sembarang penafsiran karena aturan hukum pidana terikat pada asas legalitas sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 1 ayat (1) Kitab undang-undang Hukum Pidana, menyatakan : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidanakan kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Menghadapi berbagai persoalan tersebut di atas tidak ada salahnya apabila dipikirkan untuk meninjau kembali berbagai ketentuan di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1992 beserta peraturan pelaksanaannya, mengingat kelemahan yang ada tidak hanyamenyangkut masalah hakekat benda cagar budaya dan situs, tetapi beberapa ketentuan yang lain, terutamajikaditerapkanterhadap kasuskongkrit saatterjaditindakpidana juga dapat menimbulkan permasalahan.
Upaya Perlindungan Hukum Benda Cagar Budaya Perlindungan benda cagar budaya merupakan suatu upaya pengamanan dan penyelamatan yang dilakukan terhadap benda-benda cagar budaya yang mempunyai nilai sejarah tinggi dengan cara mencegah dan menanggulangiancaman bahaya yangditimbulkanoleh alammaupun manusia, beralihnya pemilikan dan penguasaan kepada orang yang tidak berhak, sera berubahnya keaslian dan nilai sejarahnya. Dengan demikian perlindungan terutama lebih ditekankan pada upaya melindungi benda cagar budaya dari ulah manusia yang dapat mengakibatkan kemusnahan, kehilangan, kerusakan, pencurian dan sebagainya. Sebagai upaya yuridis, maka upaya perlindungan dilakukan dengan mengacu dan didasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma hukum yang berlaku, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Dengan adanya peraturan perundang-undangan, akan memberikan kepastian hukum dan pedoman yang jelas tentang langkahlangkah apa dan tindakan bagaimana yang harus dilakukan dalam menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan faktual di lapangan. Sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan nantinya adalah legal dan sesuai aturan main (rule of the game) menurut kacamata hukum. Dalam rangka melaksanakan berbagai upaya dalam mengadakan perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya, khususnya berupa benda koleksi museum di Daerah Istimewa Yogyakarta dari kerusakan dan kemusnahannya, ada LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
33
berbagaipihakyangterkait dalammasalah ini,yaitudaripihakpemerintah, pengelola museum maupun masyarakat. Dari pihak pemerintah, instansi yang mempunyai tanggung jawab khusus dalam bidang perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya adalah pihak Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) DIY dan Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan (MUSKALA) Kantor Wilayah Depdikbud DIY. Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, lingkup kerjanya terutama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teknis operasional di lapangan. Sedangkan Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan (MUSKALA) Kantor Wilayah Depdikbud DIY, lingkup kerjanya lebih berorientasi pada pembinaan dan pengawasan secara administratif.Meskipundemikiandalampraktekketikamunculpermasalahan, terkadang dijumpai over lopping (tumpang tindih) tugas dan kewenangan (Djoko Santoso, 1999). Dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya, kedua instansi ini melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya, seperti Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dan aparat Kepolisian. Di samping itu tentu saja dijalin kerjasama dengan pengelola museum, Badan Musyawarah Musea (BARAHMUS) serta masyarakat termasuk pihak swasta dan para pengunjung. Keberadaan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud Republik Indonesia No.0767/0/1989tertanggal17Desember1989tentangStrukturOrganisasi dan Tata Kerja Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY. Pada dasarnya Instansi ini mempunyai tugas dan kewenangan melaksanakan hal-hal sebagai berikut : a. Perlindungan peninggalan sejarah dan purbakala. b. Pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala. c. Pemugaran peninggalan sejarah dan purbakala. d. Dokumentasi dan publikasi peninggalan sejarah dan purbakala. Khusus untuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah dikeluarkan pulaperaturan yangberupaInstruksiGubernurKepalaDaerah Istimewa Yogyakarta No. 1/INSTR/1984 tentang Perlindungan Bendabenda Peninggalan Sejarah dan Purbakala cagar budaya di wilayah Propinsi DIY. Adapun isi dari instruksi tersebut adalah dalam rangka menunjang tugas operasional dari Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY. Instruksi Gubernur tersebut antara lain menyebutkan : “Mengintruksikan kepada semuaBupati atau Walikotamadia Kepala Daerah Tingkat II se-Propinsi DIY untuk membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam pelaksanaan usahapenyelamatan dan pengamanan benda-benda cagar budaya dengan berpedoman pada ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
34
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 tahun 1931”. Dalam rangka perlindungan dan pelestarian benda-benda warisan budaya, pada prinsipnya upaya yang ditempuh secara garis besar oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY adalah sebagai berikut : a. Menyelenggarakan survey kepurbakalaan terhadap benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala. b. Melakukan perawatan,pemugarandan pengawasan terhadap bendabenda peninggalan sejarah dan purbakala. c. Mempelajari benda-benda warisan budaya dan situs secara ilmiah, menghimpun literatur secara sistematik dan merawat hasil-hasilnya. d. Mensistemasikan ukuran-ukuran fiskal,legal dan administratif untuk penelitian yang bersangkutan serta memelihara dan mengawasi kegiatan badan yang menanganinya. Upaya-upaya di atas kemudian dijabarkan secara lebih lebih lanjut dalam program-program yang lebih rinci sifatnya, agar realisasinya lebih mudah. Berdasarkan pemaparan di atas, maka upaya perlindungan dan pemeliharaan benda-benda cagar budaya dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Bantuan dan dukungan masyarakat amat diperlukan, karena pada hakekatnya pelestarian benda cagar budaya menjadi tanggung jawab semua pihak. Dengan terjaga dan lestarinya benda cagar budaya diharapkan pula dapat memberikan manfaat ekonomis kepada masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar tempat benda cagar budaya tersebut. Oleh karena itulah peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian benda cagar budaya perlu ditanamkan.
Wujud Perlindungan Benda-benda Koleksi Museum Di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang meliputi lima Daerah Tingkat II yaitu 4 kabupaten dan 1 Kotamadia, terdapat kurang lebih 20 museum. Sebagian besar museum-museum tersebut terdapat di wilayah Kotamadya Yogyakarta, dan sebagian lagi di wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Museum-museum tersebut ada yang berupa museum umum, yaitu museum yang mempunyai beberapa jenis koleksisekaligus,sepertiMuseumSonobudoyodanmuseumkhusus,yaitu museum yang hanya mempunyai satu jenis koleksi saja, seperti museum Biologi UGM dan Museum Wayang Kekayon. Dari data yang ada, benda koleksi museum yang termasuk sebagai benda cagar budaya hanya ada satu buah, yaitu berupa bangunan Museum Benteng Yogyakarta yang terletak di jalan Ahmad Yani No. 6 Yogyakarta. Penetapannya sebagai benda cagar budaya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 0224/U/1981. Sedangkan pada museum-museum lain beserta benda-benda koleksinyasampai sekarang ini belumada penetapan secara LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
35
formal yang menyebutkan sebagai benda cagar budaya. Meskipun apabila dilihat dari benda-benda koleksi yang ada, hampir di semua museum mempunyaikoleksibendayangberumurlebih dari50tahun,sepertibendabenda sejarah, arkeologika, etnografika dan lain-lain. Meskipun demikian baik koleksi museum benda cagar budaya maupun yang bukan benda cagar budaya oleh pengelola museum tidak dibeda-bedakan, dalam arti diberikan pemeliharaan dan perawatan yang sama. Perlindungandanpelestarianterhadapbenda-bendakoleksimuseum, baik yang termasuk sebagai benda cagar budaya maupun benda-benda koleksi lainnya dalam kegiatan sehari-harinya merupakan tugas dan tanggung jawab pihak pengelola museum. Sehingga semua benda-benda koleksimuseum akandisimpan,dipeliharadan dirawatdengan baik sesuai dengan kemampuan pengelola museum itu sendiri. Sepertikitaketahuimuseumitu sendiriadayangberstatusNegeridan ada yang berstatusmuseum swasta. Museum negeriadalah museum yang pemilikandanpengelolaannya/penyelenggaraannyadilakukanpemerintah. Sedangmuseumswastaadalahmuseumyangpemilikandanpengelolaannya diselenggarakan oleh perorangan atau swasta. Bagi museum-museum yang berstatus negeri pada umumnya mendapatkan subsididanadaripemerintah,baikuntukmenggajipengelola dan karyawannya maupun untuk biaya penyimpanan, pengamanan, perawatan dan pemeliharaannya. Tetapi untuk museum-museum yang berstatus swasta maka biaya operasional sehari-harinya ditanggung oleh pemilikatau pengelolamuseumitu sendiri,yangumumnyadidapatkan dari hasilpemasukankarcismasukparapengunjung.Haliniyangseringmenjadi kendala bagi pengelola museum dalam upaya memberikan penyajian dan pelayanan yangbaik kepada pengunjung. Kalau diperhatikan memang ada museum yang cukup ramai pengunjungnya dan sebaliknya ada museum yang sepi pengunjungnya. Untuk museum-museum yang ramai dikunjungi oleh masyarakat, seperti Museum Kebun Raya Gembira Loka dan Museum Monumen Yogya Kembali, masalah dana operasional tidak terlalu menjadi masalah, dalam arti masih dapat menutupi biaya pengelolaan sehari-hari. Tetapi untuk museum-museum swastalainnya, seperti museum BiologiUGM, museum Batik,danpadamuseum-museumswastapadaumumnya,mengingatbegitu minimnya pengunjung yang datang, maka biaya operasional sehari-hari menjadipersoalanyangpelik. Disatusisipihakpengelolainginmemberikan pelayanan yang baik, tetapi di sisi lain tidak tersedianya dana yang cukup untuk menutup biaya operasional yang relatif mahal. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap kualitas perawatan dan pemeliharaan benda-benda koleksi yang ada. Untuk biaya perawatan koleksi benda-benda museum memerlukan bahan-bahan kimia dan peralatan yang cukup mahal. Sehingga dapat ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
36
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
disaksikan bahwa umumnya pengelolaan museum kurang begitu optimal dan masih belummemenuhi standar yang harusdipenuhi. Pihakpengelola museumtentuharuspandai-pandaimengaturdanmengelolamuseumagar keberadaanmuseumtersebutdapatbertahan.Sementaramasyarakatpada umumnya masih belum begitu memandang keberadaan museum sebagai hal yangpenting untuk dikunjungi, apalagisebagai suatu kebutuhan. Dalam hal penambahan benda koleksi baru terkadang juga menjadi masalah yang cukup merepotkan bagi pengelola museum. Di samping keterbatasan dana, benda-benda koleksi itupun tidak mudah untuk didapatkannya. Misalnya karena semakin langkanya benda-benda yang memenuhi syarat sebagai koleksi museum atau sebenarnya bendanya ada tetapidari pihakpemilik tidakmengizinkan bendanyauntuk disimpan dan dirawat di museum. Dengan demikian, meskipun secara kuantitas jumlah museum di PropinsiDaerah Istimewa Yogyakarta sudah relatifbanyak, tetapi memang darisegikualitasmemangmasihperlu diperbaikidanditingkatkan.Kendala utamadalammengelolamuseumumumnyaadalahbertumpupadamasalah sumber dana untuk biaya operasional sehari-hari, sumber daya manusia museum terutama petugasatau pengelola museum yangcukup ahli dalam bidangnya, dan masalah sarana prasarana di museum itu sendiri. KESIMPULAN Untuk mengakhiri uraian dan pembahasan, berikut ini disampaikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlindungan hukum terhadap benda-benda cagar budaya berupa koleksimuseumdiDaerah Istimewa Yogyakarta,baikyang dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan dan pemugaran belum sepenuhnya baik, dalam arti masih perlu pembenahan diberbagai hal, terutama dialamioleh museum swasta. Kendala umumnya adalah dalam hal perawatan yang belum optimal karena mahalnya biaya perawatan, sarana prasarana penunjang yangbelumbelumbegitu mendukungdankurangtersedianyasumber daya manusia terampil yang mengetahui seluk beluk permuseuman. Meskipun demikian, dari sisi keamanan benda-benda koleksi museum dapat terjaga dengan baik, sebagai indikasinya adalah selama ini tidak pernah didapati kasus pelanggaran yang disebabkan ulah manusia. 2. Peraturan perundang-undangan yang ada belum sepenuhnya memadai dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap benda-benda cagar budaya, meskipun secara khusus sudah dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1992Tentang Benda Cagar Budaya. hal ini nampak bahwa dalam Undang-undang tersebut masih ditemui beberapa kelemahan, terutama dalam pemahaman LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
37
terhadap hakekat benda cagar budaya itu sendiri serta dalam kaitannya dengan sanksi pidana. Karena syarat dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya harus melalui penetapan. Sementara dalam Bab VIII tentang Ketentuan Pidana, khususnya Pasal 26 Undang-undang No.5 Tahun 1992 hanyamemberikan sanksi pidana terhadap perbuatan seseorang yang merusak benda cagar budaya saja, akan tetapi tidak menyebutkan benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala lain yang belum ada penetapannya. Oleh karena apabila terjadi perusakan terhadap benda peninggalan sejarah dan purbakala yang bukan benda cagar budaya penegakannya sulit dilakukan apabila didasarkan pada Undangundang tersebut. DAFTAR PUSTAKA Ashshofa, Burhan, (1996), Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Asmar, Teguh, (1982), Pemeliharaan dan Perlindungan Benda-Benda Sejarah dan Purbakala, Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala, PT. Palem Jaya, Jakarta. Ayatrohaedi, (1995), Upaya Pelestarian Warisan Budaya, Artefak, Media Komunikasi Arkeologi Fakultassastra UGM, No. 15, Agustus 1995. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Permuseuman, (1997), Buku PanduanPameranMuseum Negeri Provinsi DIY SONOBUDOYO. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Permuseuman, (1997), Panduan Museum-Museum DaerahIstimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1988), Pedoman Pendirian Museum. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Jakarta, (1987), Petunjuk PelaksanaanTeknis Permuseuman. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Museum Benteng Yogyakarta, (1998), Buku Panduan Museum BentengYogyakarta. ISSN: 1410-2315
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
38
Bambang Sutiyoso, Perlindungan Hukum terhadap Benda Cagar Budaya ...
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1997), Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesiatentang Cagar Budaya. Hardjasoemantri,Koesnadi,(1997), HukumTata Lingkungan,Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan ke-13, edisi ke-6. ______,(1998), Peranan Hukum Lingkungan Dalam Tatanan Masa Depan Indonesia, Makalah untuk Simposium Kepedulian UI Terhadap Tatanan Masa Depan Indonesia, 30 Maret - 1 April 1998. Hartanto, Dendi Eka, (1996), Benda Cagar Budaya dan Situs Sebuah Tinjauan Yuridis, Majalah Berkala Arkeologi Tahun XVII (1). Maryanto, Daniel Agus, et. al, (1993), Perlindungan Benda-Benda Arkeologi, Artefak, Media Komunikasi Arkeologi Fakultas Sastra UGM, No. 12, Juli 1993. Romli, Muhammad, (1996), Perlindungandan PemeliharaanBenda Cagar Budaya, Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY. Setiawan, Made Budiana, (1997), Sedikit tentang Museum-Museum di Yogyakarta,Artefak17,MediaKomunikasiArkeologi,FakultasSastra UGM. Tjandrasasmita, Uka, (1982), Pencegahan Terhadap Pencemaran Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Sebagai Warisan Budaya Nasional, Proyek Pembinaan dan Pemeliharaan Peninggalan Purbakala, PT. Palem Jaya, Jakarta.
LOGIKA, Vol. 6, No.7, Desember 2001
ISSN: 1410-2315