PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN (Studi Kasus di Salatiga Tahun 2010)
Skripsi Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh KUNI SA’IDAH 21106002
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2011
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara : Nama
: Kuni Sa‟idah
NIM
: 21106002
Jurusan
: Syari‟ah
Progran Studi : Ahwal Al Syakhshiyyah Judul
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN (Studi Kasus Di Salatiga Tahun 2010)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 26 Februari 2011 Pembimbing
Moh. Khusen, M.Ag.,MA NIP. 19741212 199903 1003
ii
SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN (STUDI KASUS DI SALATIGA TAHUN 2010)
DISUSUN OLEH KUNI SA’IDAH NIM : 21106002
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 24 Maret 2011 dan dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Drs. Mubasirun, M.Ag
________________
Sekretaris Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
________________
Penguji I
: Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si
________________
Penguji II
: Evi Ariyani, SH. MH
________________
Penguji III
: Moh. Khusen, M.Ag., MA
________________
Salatiga, 1 April 2011 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 198303 1002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Kuni Sa‟idah
NIM
: 21106002
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al Syakhshiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 28 Februari 2011 Yang menyatakan
Kuni Sa‟idah
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
… ال يكلف اهلل نفسا إال وسعها Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... { QS AL BAQARAH 286 }
Setiap masalah pasti mampu diselesaikan si pemilik masalah Masalah yang luar biasa akan diberikan pada orang yang juga luar biasa.. Tetap semangat dan Allahu Akbar
PERSEMBAHAN
Bapak Dan Ibu Tercinta Yang Selalu Memberikan Kasih Sayang Dan Do’a Untuk Keberhasilanku. Kakak Dan Ade’ Yang Selalu Menjadi Penyemangatku Sahabat Terbaikku Yang Selalu Ada Disetiap Keluh-Kesahku Teman-Teman AHS’06 Yang Akan Selalu Ada Di Hati ku
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb. Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan
rahmat
serta
hidayah-Nya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sehingga bimbingan, pengarahan, dan bantuan telah banyak penulis peroleh dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag., selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Moh Khusen, M.Ag.,MA, selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga,
dan
pikiranya
guna
membimbing
penulis
hingga
terselesaikannya skripsi ini. 3. Bapak Drs. Mubashirun, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. 4. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., yang telah membantu dan memberikan informasi pada penulis tentang penelitian ini. 5. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah.
vi
6. Seluruh dosen STAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang diberikan. 7. Orang tuaku tersayang dan saudaraku yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi. 8. Sahabat-sahabatku
yang
tak
lelah
memberikan
supportnya
hingga
terselesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman AHS‟06 yang penulis sayangi 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Teriring do‟a dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT. Amin. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Penulis
vii
ABSTRAK Sa‟idah, Kuni. 2011. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Di Bawah Tangan (Studi Kasus Di Salatiga Tahun 2010). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M.Ag., MA.
Kata kunci : perkawinan di bawah tangan, perlindungan hukum
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui dampak perkawinan di bawah tangan terhadap hak-hak yang dilindungi oleh pemerintah. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimanakah status hukum anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan? Dan (2) bagaimanakah jaminan hak identitas diri, pendidikan, kesehatan dan sosial terhadap anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Hal ini ditunjukkan dengan identitas diri berupa akta kelahiran hanya menyebutkan orang tua tunggal (ibu). Perkawinan di bawah tangan banyak membawa dampak negatif antara lain suami isteri tidak memiliki Akta Perkawinan sebagai bukti perkawinan yang sah, yang merupakan kebutuhan dasar anak dalam memperoleh hak-haknya seperti identitas, pendidikan dan kesehatan. Hendaknya
pemerintah
memberikan
penyuluhan
kepada
tokoh
masyarakat, seperti kyai, mudin dan ustadz karena mereka adalah jalan keluar bagi yang ingin menikah di bawah tangan. Penyuluhan itu dilakukan agar mereka tidak menikahkan orang secara di bawah tangan mengingat dampak negatif bagi anak yang dilahirkan.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………..
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………….
ii
PENGESAHAN KELULUSAN …………………………………………
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……………………………….
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………………………
v
KATA PENGANTAR …………………………………………………...
vi
ABSTRAK ……………………………………………………………….
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
ix
DAFTAR TABEL ………………………………………………………
xii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
xiii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……………………………..
1
B. Fokus Penelitian ……………………………………..
6
C. Tujuan Penelitian …………………………………….
6
D. Kegunaan Penelitian …………………………………
6
E. Penegasan Istilah …………………………………….
7
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian …………………
8
2. Kehadiran Peneliti ………………………………..
9
3. Lokasi Penelitian …………………………………
9
4. Sumber Data ……………………………………...
9
ix
BAB II
5. Prosedur Pengumpulan Data ……………………..
10
6. Analisis Data ……………………………………..
11
7. Pengecekan Keabsahan Data ……………………..
12
8. Tahap-Tahap Penelitian ………………………….
12
G. Sistematika Penulisan ………………………………..
13
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN A. Konsep Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Fiqh
15
B. Konsep Perkawinan di Bawah Tangan Menurut Perundang-Undangan di Indonesia 1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
BAB III
Perkawinan. ………………………………………
23
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) ………………….
26
C. Akibat Hukum Perkawinan di Bawah Tangan ………
28
JAMINAN PERLINDUNGAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN A. Gambaran Umum Kota Salatiga …………………… B. Jaminan
Terhadap
Identitas
Diri
dan
32
Status
Kewarganegaran …………………………………….. C. Jaminan Terhadap Pendidikan dan Pengajaran ……..
36 41
D. Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Jaminan Sosial …………………………………………………
x
46
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN A. Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan Anak Yang Lahir dari Pernikahan di Bawah Tangan ……………
50
B. Pendidikan dan Pengajaran Bagi Anak Yang Lahir dari Perkawinan di Bawah Tangan ………………….
55
C. Jaminan Kesehatan dan Jaminan Sosial Bagi Anak Yang Lahir dari Perkawinan di Bawah Tangan. …… BAB V
56
PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………..
59
B. Saran …………………………………………………
60
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
62
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk per Kelurahan ……………………………
33
Tabel 3.2 Jumlah Sekolah, Guru dan Siswa Tahun 2009………………
34
Tabel 3.3 Jumlah Perguruan Tinggi Dosen dan Mahasiswa……………
34
Tabel 3.4 Jumlah Pemeluk Agama per Kelurahan……………………… 35 Tabel 3.5 Jumlah Tempat Ibadah di Salatiga …………………………
35
Tabel 3.6 Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan Anak……………
36
Tabel 3.7 Pendidikan Anak ……………………………………………
42
Tabel 3.8 Pelayanan Kesehatan dan Sosial Terhadap Anak……………
46
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Kartu Keluarga atas nama Sriyanti Wulandari Lampiran 2. Kartu Keluarga atas nama Intasari Lampiran 3. Kartu Keluarga atas nama Suroto Lampiran 4. Akta Kelahiran atas nama Vita Larasati Lampiran 5. Akta Kelahiran atas nama Kartiko Yulianto Lampiran 6. Akta Kelahiran atas nama Anes Tasia Irawati Lampiran 7. Akta Kelahiran atas nama Siti Rana Sari Lampiran 8. Surat Tugas Pembimbing Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian Lampiran 9. Lembar Konsultasi Skripsi Lampiran 10. Daftar Riwayat Hidup
xiii
BAB I PENDAHULUAN
B. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan Allah SWT dalam jenis yang berbeda namun berpasangan dengan maksud agar manusia dapat mengembangkan keturunan. Dalam Islam jalan yang sah untuk mengembangkan keturunan adalah melalui perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang suci antara seorang pria dan wanita sebagaimana yang disyariatkan oleh agama, dengan maksud dan tujuan yang luhur. Suatu perkawinan dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang diliputi perasaan cinta, kasih, dan kedamaian di antara masing-masing anggotanya. “Perkawinan adalah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan” (Sabiq,1990:9). Dengan perkawinan, manusia dapat membentuk keluarga dan mengembangkan keturunan yang baik. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UUP) memberikan pengertian Perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
1
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pernikahan merupakan jembatan menuju kebahagiaan dan ketenangan hati bagi pasangan suami istri. Pernikahan adalah sebuah ikatan kerjasama antara suami istri untuk menciptakan hidup yang bahagia, harmonis, damai, dewasa dan penuh kasih sayang. Untuk mencapai tujuan perkawinan, syarat sah perkawinan harus diperhatikan baik menurut agama maupun hukum yang berlaku di daerah atau Negara tersebut. Syarat perkawinan merupakan dasar dari sahnya perkawinan. Dalam fiqh sunnahnya, Sayyid Sabiq menyebutkan ada 2 syarat sahnya perkawinan. Pertama, perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya
istri.
Kedua,
aqad
nikahnya
dihadiri
pasa
saksi
(Sabiq,1990:78). Dalam Kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al-Arba’ah, Imam Syafi‟i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat (ijab qabul) (Al Jaziri,1999:12). Di Indonesia, perkawinan dikatakan sah apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh KHI dan Undang-Undang No 1 tahun1974 tentang Perkawinan. Dalam KHI perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan harus memenuhi Rukun
2
perkawinan yang tertera dalam KHI pasal 14 yang berbunyi untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab Kabul. Sarat sah perkawinan di Indonesia selanjutnya yaitu tentang pencatatan perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan pasal 2 ayat 2 yang berbunyi tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
perkawinan.
Senada
dengan
UUP,
KHI
juga
memberikan aturan yang sama terhadap calon pengantin agar mencatatkan perkawinan mereka di KUA atau Kantor Catatan Sipil agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Perkawinan bagi orang yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Perkawinan yang hanya dilakukan menurut syari‟at Islam dan tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) serta tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) disebut dengan istilah perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan (Nurhaedi,2003:5). Dari sisi hukum islam, perkawinan di bawah tangan ini tidak mengakibatkan perkawinan itu batal atau tidak sah. Tetapi dari hukum positif di Indonesia, dianggap tidak melalui prosedur yang sah karena tidak mencatatkan perkawinannya sesuai dengan undang-undang perkawinan. Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh kyai atau ulama atau orang yang dianggap mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan). Perkawinan yang tidak dicatatkan di depan PPN dan hanya
3
dilakukan berdasarkan syarat sah perkawinan menurut syari‟at Islam tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum. Akibat hukum perkawinan di bawah tangan tersebut umumnya berdampak sangat merugikan bagi istri, baik secara hukum maupun sosial, serta bagi anak yang dilahirkan. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai istri sah. Ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ditinggal mati oleh suaminya. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan atau perceraian, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, sang istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan, sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri simpanan. Tidak sahnya perkawinan di bawah tangan menurut hukum negara, juga memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Anak juga akan kesulitan untuk mendapat Akta Kelahiran karena salah satu syarat membuat Akta Kelahiran adalah dengan melampirkan Kartu Kaluarga yang dibuat berdasarkan Akta Nikah orang tua anak tersebut. Akta Perkawinan sebagai bukti otentik sahnya perkawinan seseorang sangat bermanfaat bagi pasangan pengantin dan keluarganya. Dengan mencatatkan perkawinan kepada petugas yang berwenang, maka
4
akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut akan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah khususnya bagi istri dan anak yang dilahirkannya. Selain itu anak perlu mendapatkan hak nafkah, pendidikan, kasih sayang serta kesehatan dari kedua orang tuanya yang pada umumnya hak-hak anak tersebut kurang didapatkan jika anak lahir dari perkawinan di bawah tangan. Kemudian bagaimana cara menyelesaikan masalah yang muncul dalam perkawinan di bawah tangan tersebut, seperti persengketaan harta, anak atau warisan yang seharusnya dapat diajukan ke Pengadilan atau pejabat yang berwenang. Walaupun anak yang lahir di luar perkawinan yang sah diakui sebagai warga negara indonesia oleh pemerintah, tetapi dalam hal mendapatkan hak seperti mendapat identitas diri, pendidikan, kesehatan serta tidak berhak atas nafkah dan warisan dari bapaknya jika bapaknya telah meninggal berbeda dengan anak yang lahir dari perkawinan yang sah karena lahir dari perkawinan yang tidak sah menurut Negara. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengungkap tentang jaminan pemerintah atas hak-hak yang diperoleh anak khususnya anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan atau perkawinan yang tidak sah dimata hukum positif di Indonesia. Hak-hak tersebut adalah hak yang berkaitan langsung dengan kehidupan seseorang sebagai warganegara Indonesia, seperti hak seseorang untuk mendapatkan identitas diri dan status kewarganegaraan, memperoleh pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial.
5
C. Fokus Penelitian 1. Bagaimanakah status perkawinan di bawah tangan menurut Fiqh dan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimanakah jaminan terhadap identitas diri dan status kewarganegaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan? 3. Bagaimanakah jaminan terhadap pendidikan dan pengajaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan? 4. Bagaimanakah jaminan terhadap pelayanan kesehatan dan jaminan sosial bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan? D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui status perkawinan di bawah tangan menurut Fiqh dan perundang-undangan di Indonesia. 2. Mengetahui jaminan identitas diri dan status kewarganegaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan 3. Mengetahui jaminan pendidikan dan pengajaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. 4. Mengetahui jaminan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. E. Kegunaan Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya. Kegunaan yang diharapkan dapat dipetik adalah :
6
1. Dapat memberikan informasi tentang sarat sah perkawinan dan status hukum anak dalam hukum positif di Indonesia. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum Islam yang sedang dihadapi masyarakat. 3. Semoga hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau usulan dalam membuat kebijakan-kebijakan hukum yang berkaitan dengan perkawinan. F. Penegasan Istilah Agar terdapat kejelasan tentang judul skripsi di atas, dan tidak terjadi beda penafsiran kata-kata dalam judul, maka perlu penulis menjelaskan makna yang terdapat pada judul. Perlindungan hukum adalah suatu jaminan pada diri anak oleh hukum agar mereka memperoleh jaminan keamanan, ketentraman dan kesejahteraan (Mahfiana,2009:59). Dalam hal ini penulis membatasi lingkup perlindungan hukum terhadap anak atas empat hak yang harus diterima anak yaitu
hak
memperoleh
nama
sebagai
identitas
diri
dan
status
kewarganegaraan, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial serta hak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi dan eksploitasi. Dasar pengambilan hak tersebut adalah undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UUPA). Empat hak anak dalam UUPA tersebut dijadikan rujukan oleh
7
penulis dalam penelitian ini karena hak-hak tersebut berhubungan langsung dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan memenuhi rukun dan syarat menurut hukum Islam tetapi tidak didaftarkan pada Kantor Urusan Agama kecamatan yang mewilayahi pasangan yang menikah tersebut” (Ramulyo,2006:75). Dalam hal ini penulis memberikan pengertian yang sama antara perkawinan di bawah tangan dengan perkawinan siri atau nikah siri yaitu perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat dalam islam tetapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah. Berdasarkan penegasan istilah tersebut yang dimaksud dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Dari Perkawinan di Bawah Tangan” adalah jaminan perlindungan dari pemerintah kepada anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan untuk memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan normatif dan sosiologis. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orangorang (subyek) itu sendiri (Salim,1991:781). Penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau bidang tertentu (Azwar,2007:7).
8
Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagimana perkawinan di bawah tangan dilaksanakan di lapangan. Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum dari perkawinan di bawah tangan yang di praktikkan dan perlindungan hukum bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. 2. Kehadiran Peneliti Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpul data yang mana penulis langsung datang dengan mewawancarai masyarakat sekitar, keluarga dan pelaku perkawinan di bawah tangan dengan mengetahui informasi dari masyarakat sekitar. Kehadiran peneliti diketahui statusnya secara jelas agar terhindar dari kesalahpahaman antara informan dan peneliti. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Salatiga yaitu di Kecamatan Sidorejo, Tingkir, Argomulyo dan Sidomukti. Peneliti memilih lokasi ini karena di wilayah ini terdapat praktek perkawinan di bawah tangan. 4. Sumber Data Adapun jenis data yang penulis pergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi : a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung dari subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar,2007:91). Dalam hal ini keterangan diperoleh dari pelaku
9
perkawinan di bawah tangan yang terjadi di Salatiga. Peneliti mengambil sepuluh pasang pelaku perkawinan di bawah tangan yang bertempat tinggal di Tingkir , Argomulyo, Sidorejo, dan Sidomukti. b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya (Azwar,2007:91). Data sekunder biasanya berwujud data dokumentasi atau data laporan yang tersedia. Peneliti menggunakan Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI sebagai sumber data resmi serta buku-buku dan artikel yang membahas tentang perkawinan. Dalam hal ini, data sekunder juga bisa diperoleh dari keluarga, masyarakat sekitar dan tokoh masyarakat tempat tinggal pasangan perkawinan di bawah tangan. 5. Prosedur Pengumpulan Data a. Metode wawancara Metode wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara (Arikunto,1998:115). Adapun metode wawancara yang dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalah-masalah yang ada dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan terhadap sepuluh pasang pelaku perkawinan di bawah tangan, keluarga pelaku perkawinan di bawah tangan dan masyarakat sekitar.
10
b. Metode observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui kondisi objektif mengenai objek penelitian. c. Metode dokumentasi Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode ini sumber datanya masih tetap, dan belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati. (Arikunto, 1998 : 236) Dokumentasi dapat dianggap sebagai materi yang tertulis atau sesuatu
yang
menyediakan
informasi
tentang
suatu
subjek.
Dokumentasi dapat berisi tentang deskripsi-deskripsi, penjelasanpenjelasan, daftar-daftar, cetakan hasil komputer, contoh-contoh obyek dari sistem informasi. Adapun dokumen yang digunakan oleh peneliti yaitu akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan dan kartu keluarga pasangan perkawinan di bawah tangan. Dokumen-dokumen yang ada dipelajari untuk memperoleh data dan informasi dalam penelitian ini. Dokumen tersebut adalah yang berkaitan dengan perlindungan anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan seperti kartu keluarga dan akta kelahiran.
11
6. Analisis data Analisis data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna untuk menyelesaikan masalah penelitian. Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan tinjauan hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia tentang perlindungan anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. 7. Pengecekan keabsahan data Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Di mana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan
hasil
wawancara
terhadap
objek
penelitian
(Moloeng,2004:330). Pengecekan keabsahan data ini dilakukan dengan cara membandingkan berbagai dokumen, observasi dan mencari informasi dari berbagai pihak yaitu pelaku perkawinan di bawah tangan, keluarga dan masyarakat sekitar. Pengecekan keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis. 8. Tahap-tahap penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap. Pertama pra lapangan, peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang adanya praktik perkawinan di bawah tangan. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari data informan dan pelaku dan
12
melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku perkawinan di
bawah tangan, keluarganya, tokoh
agama/masyarakat dan tetangga pelaku perkawinan di bawah tangan. Tahap terakhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data/temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif dengan pendekatan normatif. H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Di Bawah Tangan; Bab ini berisi pembahasan tentang: Konsep Perkawinan Di Bawah Tangan Menurut Fiqh, Konsep Perkawinan Di Bawah Tangan Menurut PerundangUndangan di Indonesia yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta Akibat Hukum Perkawinan Di Bawah Tangan.
13
Bab III Jaminan Perlindungan Anak Yang Lahir Dari Perkawinan di Bawah Tangan; bab ini berisi tentang Gambaran Umum Kota Salatiga, Jaminan Terhadap Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan, Jaminan Terhadap Pendidikan dan Pengajaran Serta Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan Dan Jaminan Sosial. Bab IV Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Di Bawah Tangan. Bab ini berisi tentang identitas diri dan status kewarganegaraan bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, pendidikan dan pengajaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan dan jaminan kesehatan dan jaminan sisoal bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. Bab V Penutup; Berisi kesimpulan dan saran.
14
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
D. Konsep Perkawinan Di Bawah Tangan Menurut Fiqh 1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Agama Islam menganjurkan adanya perkawinan atau pernikahan karena ada nilai-nilai yang tinggi dan beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan jauh dari penyimpangan, Allah telah membekali syariat dan hukum-hukum Islam yang harus dilaksanakan oleh manusia. Salah satu ayat Al qur‟an yang bermakna menganjurkan adanya perkawinan adalah surat Ar Ruum ayat 21 yaitu :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Perkawinan adalah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan (Sabiq,1990:9). Dalam bahasa arab, perkawinan disebutkan dengan kata
15
az-zawaj yang artinya pasangan atau jodoh (Azzam,2009:35). Seperti dalam Firman Allah surat Yasin ayat 39 yang berbunyi :
“Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” Perkawinan disebut juga pernikahan. Nikah secara bahasa adalah menyatukan dua hal, sedangkan menurut syara‟ nikah adalah akad yang berarti transaksi, ikatan dan kesepakatan. Jadi nikah itu pada hakikatnya ialah aqad antara calon suami-isteri untuk memperbolehkan keduanya bergaul sebagai suami-isteri. aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dan seorang laki-laki (Idris,2009:104). Tujuan perkawinan dalam Islam tidak hanya sekedar untuk pemenuhan nafsu biologis tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan kehidupan sosial, psikologis dan agama. Dalam Fiqh Al Sunnah karya Sayyid Sabiq (1990:19) hikmah perkawinan diantaranya adalah, 1. Perkawinan adalah cara yang paling baik untuk pemenuhan kebutuhan biologis.
16
2. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memuliakan anak-anak, memperbanyak
keturunan,
melestarikan
hudip
manusia
serta
memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali. 3. Menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan serta sifat-sifat baik yan menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4. Menumbuhkan rasa tanggungjawab sebagai istri dan ibu dari anakanak. 5. Perkawinan adalah sarana yang ideal yang melahirkan ikatan kekeluargaan, saling cinta dan sayang antar keluarga serta memperkuat hubungan kemasyarakatan yang direstui oleh islam. 2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan Dalam Islam terdapat syarat dan rukun perkawinan yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala AlMadzahib Al-Arba’ah, disebutkan bahwa menurut Imam Syafi‟i rukun nikah ada lima yaitu calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat (ijab qabul) (Al Jaziri,1999:12). Dalam Kitab Al-Mu’in Al-Mubin, Abdul Hamid Halim (1977:21) menjelaskan lima rukun nikah yaitu sighot (ijab Qabul), wali, dua saksi, calon mempelai laki-laki dan perempuan yang berada dalam satu majlis. Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masingmasing rukun tersebut memiliki syarat-syarat tertentu (Nurudin, 2006:62). Kelima rukun perkawinan tersebut adalah calon suami, calon istri, wali
17
nikah, saksi nikah dan lafal ijab qabul. Setiap rukun tersebut mempunyai syarat tertentu. Syarat untuk calon suami adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan. Sedangkan syarat untuk calon istri adalah beragama, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan. Rukun yang ketiga adalah wali nikah. Syarat-syarat untuk dapat menjadi wali dalam perkawinan adalah laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak terdapat halangan perwaliannya. Rukun nikah selanjutnya adalah saksi. Saksi perkawinan minimal 2 orang laki-laki dewasa yang beragama Islam, hadir dalam ijab qabul dan dapat mengerti maksud akad. Rukun yang terakhir adalah ijab qabul. Syaratnya adalah adanya pernyataan mengawinkan dari wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai, memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut, antara ijab dan qabul bersambungan, Antara ijab dan qabul jelas maksudnya, orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah dan majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi. Apabila salah salah satu rukun itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dianggap tidak pernah ada perkawinan.
18
Oleh karena itu diharamkan bagi pasangan yang tidak memenuhi rukun tersebut untuk melakukan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam pergaulan. Dengan demikian apabila kelima rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang dilakukan sudah dianggap sah. 3. Perkawinan Siri Dalam Islam Perkawinan siri atau nikah siri berasal dari dua kata yaitu nikah dan sirri. dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:614), nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi). Sedangkan sirri berasal dari bahasa arab sirran yang berarti diamdiam atau tertutup dan sirriyun yang berarti rahasia, sembunyi atau misterius (Nurhaedi:2003:13) Dalam artikel yang berjudul Kawin Sirri karya Irsyad Faisal Liesfi (2008:1) disebutkan bahwa istilah kawin siri muncul pada masa Umar bin Khattab. Pengertian kawin sirri dalam persepsi Umar bin Khattab ra didasarkan
oleh
adanya
kasus
perkawinan
yang hanya
dengan
menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi. Kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka perkawinan semacam ini menurut Umar dipandang sebagai nikah sirri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi‟i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika itu terjadi harus difasakh (batal) namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para
19
saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (I’lan). Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi‟i, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah.Abu Hanifah dan Syafi‟i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman (I’lan). Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman ( I’lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. Pada prinsipnya, selama pernikahan sirri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi bertentangan dengan perintah Nabi saw, yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak
20
menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia. Dalam artikelnya, Liesfi (2008:1) menyebutkan bahwa kawin sirri dalam pandangan Islam adalah perkawinan yang dilaksanakan sekedar untuk memenuhi ketentuan mutlak untuk sahnya akad nikah yang ditandai dengan adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan, wali pengantin perempuan, dua orang saksi, ijab dan qobul. Syarat-syarat tersebut sebagai rukun atau syarat wajib nikah. Selain itu terdapat sunah nikah yang perlu juga dilakukan yaitu, Khutbah nikah, pengumuman perkawinan dengan penyelenggaraan walimah/perayaan dan menyebutkan mahar atau mas kawin. Dalam proses kawin sirri yang dilaksanakan adalah rukun atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut walimah/perayaan. Dengan demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja. Keadaan demikian disebut dengan sunyi atau rahasia atau sirri. Pada perkembangan selanjutnya istilah sirri ini dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah. Kawin sirri bermakna kawin yang tidak dicatatkan petugas yang telah ditunjuk oleh pemerintah KUA.
21
Dalam buku yang berjudul Nikah Di Bawah Tangan Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja karya Dadi Nurhaedi (2003:14-23), terdapat tiga definisi nikah siri yang berbeda-beda. Pertama, konsep nikah siri dimana akad atau transaksinya (antara laki-laki dan perempuan) tidak dihadiri para saksi, tidak dipublikasikan, tidak tercatat secara resmi dan sepasang suamiisteri hidup secara sembunyi-sembunyi sehingga hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Para ahli fiqh sepakat bahwa perkawinan tesebut tidak sah atau batal karena tidak ada saksi. Hadis tentang diharuskannya ada persaksian dalam perkawinan adalah hadis Nabi dari „Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad (Syarifudin,2006:83)
ٍالَ نِكَاحَ إِالَ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْل “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” Kedua, konsep nikah siri yang dilakukan berdasar cara-cara agama Islam, tetapi tidak dicatat oleh petugas resmi pemerintah, baik oleh petugas pencatat nikah (PPN) atau di kantor urusan agama (KUA) dan tidak dipublikasikan. Nikah seperti ini pada umumnya dianggap sah karena telah memenuhi rukun nikah dalam Islam. Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga tidak berhak dijatuhi sanksi hukum, karena pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Jika rukun-rukun pernikahan dalam Islam telah dipenuhi, maka pernikahan
22
seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Ketiga, nikah siri yang mengikuti ketentuan agama Islam dan tercatat oleh PPN dan KUA tetapi belum diadakan resepsi secara terbuka dan luas. Dalam hal ini kalangan mayoritas tidak menyebutnya sebagai nikah siri karena selain telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan juga telah dicatatkan di KUA hanya saja belum diadakan walimah. E. Konsep Perkawinan Di Bawah Tangan Menurut Undang-Undang Di Indonesia 1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Undang-Undang RI tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 1 disebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
23
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari Pasal 2 Ayat 1 undang-undang perkawinan ini, dapat diketahui bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah berdasarkan syari‟at Islam, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh Negara. Peraturan yang mengatur tentang pencatatan perkawinan ini terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan dan diperjelas dalam bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Dalam PP ini dijelaskan bahwa bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambatlambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-Undang. Lalu
setelah
pemberitahuan
serta
dipenuhinya tidak
24
tata
ditemukan
cara suatu
dan
syarat-syarat
halangan
untuk
perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman
tentang
pemberitahuan
kehendak
melangsungkan
perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum. 2. Perkawinan di Bawah Tangan Istilah perkawinan di bawah tangan muncul setelah UndangUndang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Perkawinan atau pernikahan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dilakukan menurut hukum yang berlaku, sehingga perkawinan tersebut tidak mempunyai akibat hukum yang berupa pengakuan hukum dan perlindungan hukum perhadap perkawinan tersebut (Zuhdi,1996:11). Perkawinan di bawah tangan ini senada dengan pengertian nikah siri konsep kedua yaitu perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan Islam tetapi tidak dilaksanakan di depan Pegawai Pencatat Nikah dan tidak dicatatkan di KUA. Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan di bawah tangan, nikah siri dan semacamnya serta tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
25
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan atau kawin siri membawa akibat hukum yaitu walaupun secara agama telah dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Adanya istilah siri tersebut karena pemerintah mengeluarkan peraturan terkait untuk melaporkan akad nikah yang telah dilaksanakan ke lembaga pemerintah yang telah ditunjuk untuk mengurusi persoalan ini. Sehingga siri atau sembunyi di sini diartikan sebagai sembunyi dari pencatatan negara sehingga pemerintah tidak mengetahui adanya pernikahan yang telah dilangsungkan oleh sepasang mempelai. 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Pengertian Perkawinan Pada tanggal 10 Juni 1991, Presiden Republik Indonesia; Soeharto telah mengeluarkan Instruksi Presiden (INPRES) Republik Indonesia dengan Nomor 1 Tahun 1991 yang isinya adalah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari tiga (3) buku, yaitu hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. KHI ini dijadikan sebagai pedoman di dalam menetapkan perkara-perkara yang berhubungan dengan tiga masalah tersebut yang dialami oleh orang Islam. Oleh karena itu, KHI menjadi bagian penting di dalam kehidupan maysarakat muslim di Indonesia. Ia dapat diibaratkan sebagai kitab fiqh produk rakyat Indonesia.
26
Dalam KHI pasal 2 “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Rukun perkawinan dalam KHI ini mengikuti jumhur ulama yaitu tertera dalam pasal 14 yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. 2. Pencatatan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 disebutkan, bahwa tujuan pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Dalam KHI pasal 6 ayat 1 setiap perkawinan harus dilangsungkan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Dalam ayat 2 juga ditegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam artikelnya, Dr. H. A Gani Abdullah (1995:49) menjelaskan bahwa Jika dilihat dari segi hukum perkawinan dalam KHI yang tertuang di dalam pasal 5 dan 6 ternyata unsur sah dan unsur tatacara pencatatan diberlakukan secara kumulatif. Bahkan di dalam pasal 7 ayat 1 dikatakan bahwa perkawinan bagi orang yang menikah menurut hukum islam hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN. Dengan demikian, dalam KHI sudah menyatakan bahwa unsur pencatatan menjadi syarat adanya nikah yang sah tadi.
27
Pencatatan perkawinan ini mempunyai kedudukan yang sangat penting yaitu untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum bagi masyarakat (Nuruddin,2004:136). Misalnya orang yang telah menikah harus menunjukkan Akta Nikah jika akan membuat Kartu Keluarga dan membuat akta kelahiran untuk anaknya dan urusanurusan lainnya. F. Akibat Hukum Perkawinan Di Bawah Tangan Perkawinan yang tidak dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, atau nikah di bawah tangan pada kenyataannya sering merugikan perempuan. Apalagi jika dari perkawinan tersebut lahir anak. Jika perempuan tersebut kemudian dicerai, maka perceraian tidak bisa dilakukan di hadapan pengadilan, karena tidak ada bukti bahwa perkawinan mereka telah terjadi. Sehingga mereka dianggap bukan suami isteri. Secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai isteri yang sah. Isteri tidak memiliki kekuatan hukum jika terjadi perselisihan pembagian harta waris jika suami meninggal dunia. Isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan atau perceraian, karena secara hukum pernikahan itu dianggap tidak pernah terjadi. Tidak hanya secara hukum tetapi akibat perkawinan di bawah tangan juga terjadi secara sosial. Antara lain, seorang isteri akan sulit bersosialisasi karena biasanya pernikahan di bawah tangan terjadi setelah terjadi hubungan gelap tanpa ikatan pernikahan atau dianggap menjadi isteri simpanan.
28
Tidak sahnya status pernikahan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum negara. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah, karena perkawinan orang tuanya tidak memenuhi pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UndangUndang Perkawinan (Zuhdi,1996:17). Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, seperti yang tertera dalam UndangUndang Perkawinan pasal 43 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 100. Begitu juga dalam Undang-Undang perkawinan pasal 42 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan hak-hak anak yang antara lain memperoleh nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan, hak memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial serta hak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi dan eksploitasi. Bisa dikatakan bahwa semua kebutuhan anak berawal dari bukti perkawinan orang tuanya. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia oleh pemerintah seperti yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Tetapi untuk memperoleh identitas diri sebagai warga Negara adalah dengan adanya akta kelahiran. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan akan kesulitan dalam mendapatkan identitas diri berupa akta kelahiran, karena syarat membuat akta kelahiran adalah dengan menunjukkan akta nikah kedua orang
29
tuanya. Apabila anak bisa mendapatkan akta kelahiran, di dalam akta kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Undang-undang dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa tiaptiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Pengajaran atau pendidikan di Indonesia diselenggarakan dengan adanya sekolah. Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah SD, adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Sementara pengurusan untuk penerbitan akta kelahiran sendiri memerlukan Buku Nikah atau Akta Nikah orang tua anak. Begitu juga dalam membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang menggunakan Kartu Keluarga yang dibuat dengan menggunakan Akta Nikah sebagai syaratnya. Ketidakjelasan status anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya (Subhan Nur,1999). Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena suami bebas untuk menikah
30
lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah di mata hukum, suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada isteri maupun kepada anak-anaknya, tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini dan warisan (Subhan Nur,1999).
31
BAB III JAMINAN PERLINDUNGAN ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
A. Gambaran Umum Kota Salatiga 1. Letak Geografi Kota Salatiga, adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah. Kota ini berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang. Salatiga terletak 49 km sebelah selatan Kota Semarang atau 52 km sebelah utara Kota Surakarta. Salatiga terletak di ketinggian 450-850 mdpl, dan terletak di lereng timur Gunung Merbabu yang membuat daerah Salatiga menjadi lebih sejuk. Luas wilayah kota Salatiga pada tahun 2009 tercatat sebesar 5.678,110 hektar atau 56.781 km2 yang terdiri dari 798,058 hektar lahan sawah dan 4.880,052 hektar bukan lahan sawah. Pemandangan Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, dan Gunung Merbabu yang indah membuat Salatiga menjadi daerah yang indah dan spektakuler. Seluruh Wilayah Salatiga dibatasi oleh beberapa desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Semarang, antara lain di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Tuntang (desa kesongo dan desa watu agung) dan Kecamatan Pabelan (desa pabelan dan desa pejaten). Bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Tengaran (desa Patemon dan desa Karang duren). Bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Tuntang (desa
32
candirejo, desa jombor, desa sraten dan desa gedongan) dan Kecamatan Getasan (desa polobogo). Bagian timur berbatasan dengan Kecamatan Tengaran (desa bener, desa tegal waton dan desa nyamat) dan Kecamatan Pabelan ( Desa ujung-ujung, desa sukoharjo dan desa glawan). 2. Administrasi dan Kependudukan Secara administratif, Salatiga terdiri atas 4 kecamatan dan 22 kelurahan yaitu: Argomulyo, Tingkir, Sidomukti dan Sidorejo. Pada tahun 2009, jumlah penduduk Kota Salatiga sebesar 170.024 jiwa terdiri dari 84.078 laki-laki dan 85.946 perempuan(BPS,2010:45). Tabel 3.1 Jumlah Penduduk per Kelurahan No 1 2 3 4
Kelurahan Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo Jumlah
Luas Kelurahan (km2) 18.526 10.549 11.459 16.247 56.781
Jumlah Penduduk 41.816 41.952 36.573 49.683 170.024
Dari hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Salatiga hingga Selasa, 17 Agustus 2010 17:47:00 sebanyak 171.067 jiwa, terdiri 83.721 laki-laki dan 87.346 perempuan. Dari hasil perbandingan di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Salatiga, antara sensus 10 tahun yang lalu (tahun 2000) dan tahun 2010 ini, tidak menunjukkan pergeseran yang cukup berarti (krjogja.com/news). Penduduk yang bersekolah secara umum selama periode tahun pelajaran 2008/2009 mengalami penurunan. Pada tingkat SLTP dan SLTA jumlah murid mengalami kenaikan sebesar 3,30 persen dan 2,15 persen (BPS,2010:79).
33
Tabel 3.2 Jumlah Sekolah, Guru dan Siswa Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat sekolah TK SD SLTP SLTA MI MTS MA
Gedung sekolah 73 94 21 8 12 4 3
Guru 302 1.123 665 357 128 92 106
Siswa 4.424 15.991 3.933 4.368 1.129 1.130 796
Tabel 3.3 Jumlah Perguruan Tinggi Dosen dan Mahasiswa Perguruan tinggi UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) STIE “AMA” STIBA “SATYA WACANA”
Dosen
Mahasiswa
390
12.658
95
2.302
25 16
566 156
Tidak hanya fasilitas pendidikan yang terdapat di Salatiga, tetapi fasilitas-fasilitas lainnya seperti informasi, transportasi, kesehatan dan tempat ibadah. Berbagai sarana informasi baik cetak maupun elektronik dan sarana komunikasi seperti telepon dan internet sudah sangat memadai. Sarana tansportasi di kota Salatiga ini sangat lengkap, mulai dari becak, andong sampai bus dan mobil pribadi. 3. Struktur Sosial dan Keagamaan Dalam rangka mengetahui praktik perkawinan di bawah tangan di kota Salatiga, perlu kiranya memahami lingkungan dan keadaan di sekelilingnya. Praktik perkawinan di bawah tangan sangat erat kaitannya dengan fenomena sosial keagamaan terutama Agama Islam. Di Salatiga terdapat perguruan tinggi Kristen yang cukup besar, tetapi mayoritas
34
penduduknya beragama Islam. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pemeluk agama Islam dan jumlah masjid serta mushalla yang lebih banyak di bandingkan gereja ataupun vihara. Tabel 3.4 Jumlah Pemeluk Agama per Kelurahan No 1 2 3 4
Kelurahan Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo Jumlah
Islam 33.021 31.616 29.598 37.681 131.916
Kristen 4.168 5.510 7.628 6.583 23.889
Katolik 2.445 2.787 2.367 4.554 12.153
Budha 335 203 239 545 1.322
Hindu 2 6 169 244 421
Tabel 3.5 Jumlah Tempat Ibadah di Salatiga No 1 2 3 4
Kelurahan Argomulyo Tingkir Sidomukti Sidorejo Jumlah
Masjid 54 37 45 54 190
Surau/ Mushalla 51 75 66 101 293
Gereja 19 17 23 15 74
Pura
Vihara/ Klenteng
1
1
1 3 3 7
Selain dilihat dari jumlah tempat ibadahnya, jumlah penduduk yang beragama Islam juga bisa dilihat dari jumlah pondok pesantren yang ada di Salatiga, antara lain Pondok Pesantren An Nida, Salafiyah Pulutan, Al Hasan, Sunan Giri, Al Madina, Nurul Asna, Al Islah, As Ta‟in, Mashitoh, Daril Muhajirin dan masih banyak lagi (BPS,2010:123). Munculnya praktek perkawinan di bawah tangan di Salatiga ini tidak terlepas dari pengaruh eksternal, yaitu situasi dan kondisi sosial yang mengitari kehidupan mereka pada umumnya yaitu adanya pemahaman dan penolakan oleh masyarakat tentang adanya praktek kumpul kebo, adanya penolakan oleh masyarakat terhadap anak yang lahir tanpa mempunyai bapak dan aturan tentang keharusan izin berpoligami dari pengadilan.
35
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi praktik perkawinan di bawah tangan ini adalah adanya kesadaran dalam bentuk amalam atau aplikasi oleh pemeluk agama islam sesuai tingkat keimanan mereka (Zumrotun,2007:52). B. Jaminan Terhadap Identitas Diri Dan Status Kewarganegaran Jaminan identitas diri dan status kewarganegaraan seseorang pertama kali dibuktikan dengan adanya akta kelahiran. Informan di dalam penelitian ini disamarkan namanya untuk kenyamanan pelaku perkawinan di bawah tangan itu sendiri. Tabel 3.6 Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan Anak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Informan Gt dan Ng Hr dan Sr Pr dan Sl My dan Sn Ss dan Ls Bg dan Nr Tr dan Jy In dan Mj Dn dan Pj Am dan Jm
Jumlah anak
Identitas diri anak
1
Tidak ada
2
Ada
1
Tidak ada
1
Tidak ada
1
Ada
3 1 1 1 1
Tidak ada Ada Ada Tidak ada Ada
Keterangan Terkendala Akta Perkawinan dan Kartu Keluarga Akta Kelahiran orang tua tunggal Terkendala Akta Perkawinan dan Kartu Keluarga Terkendala Akta Perkawinan dan Kartu Keluarga Diikutkan dalam Kartu Keluarga kakek Proses pembuatan Akta Kelahiran Akta Kelahiran orang tua tunggal Akta Kelahiran orang tua tunggal Terkendala Kartu Keluarga Akta Kelahiran orang tua tunggal
Pasangan Gt dan Ng baru di karuniai seorang anak laki-laki pada awal tahun 2010. Saat ini anak ng berumur 9 bulan. Gt dan Ng belum mencarikan akta kelahiran untuk anaknya karena mereka tidak mempunyai akta perkawinan dan Kartu keluaga. Orang tua Ng juga belum tahu kapan akan
36
membuatkan Akta Kelahiran untuk cucunya karena Ng saat ini sudah tidak pernah datang menjenguk Ng dan anaknya untuk menafkahi. Pasangan kawin bawah tangan Hr dan Sr ini telah dikaruniai dua orang anak. Anak pertama lahir di Malaysia pada tahun 2008, sehingga ia mendapatkan Akta Kelahiran dari Negara tersebut. Akta kelahiran ini hanya menyebutkan nama seorang ibu dan tidak menyebutkan nama bapaknya karena tidak ada bukti perkawinan yang otentik. Nama Hr tertulis dalam Akta Kelahiran tersebut tetapi sebagai informan atau saksi kelahiran anak mereka. Anak kedua lahir pada tahun 2010 di Salatiga. Seperti anak pertama, akta kelahiran anak kedua dari perkawinan di bawah tangan ini tidak menyebutkan nama bapaknya. Sr mempunyai Kartu Keluarga, tetapi Hr tidak disebutkan sebagai suami atau kepala keluarga tetapi ditulis sebaga famili lain. Sehingga pada waktu membuat Akta Kelahiran untuk anaknya tetap tidak bisa mencantunkan nama Hr sebagai bapaknya. Sl dan Pr adalah pasangan kawin di bawah tangan yang sebelumnya tinggal di Tingkir, tetapi saat ini tinggal di Argomulyo. Pasangan yang dinikahkan oleh seorang kyai dari Kalibeng, disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak dan dihadiri tetangga dekat ini telah di karuniai 2 orang anak, tetapi belum lama ini anak pertama mereka meninggal dunia karena sakit. Anak pertama Sl belum mempunyai Akta Kelahiran, dia hanya memilik surat kelahiran dari bidan yang membantu melahirkan. Anak keduanyapun belum dicarikan akta kelahiran karena kurangnya syarat berupa Kartu Keluarga dan Akta Perkawinan Sl dan Pr.
37
Pasangan Sn, 24 tahun dan My 43 tahun menikah di bawah tangan dan telah dikaruniai seorang putra yang berumur 4 tahun. Sn dan My belum mencarikan akta kelahiran untuk anaknya. Sn yang tengah hamil 4 bulan tersebut belum mencatatkan perkawinannya sehingga belum mempunyai akta perkawinan yang menjadi syarat pembuatan akta kelahiran anaknya. Sn dan My yang menikah di bawah tangan pada tahun 2005 ini juga belum mempunyai Kartu. Saat ini anaknya hanya mempunyai surat keterangan lahir yang dikeluarkan oleh bidan tempat anaknya dilahirkan. Ls dan Ss menikah di bawah tangan pada tahun 2002. Saat ini anak Ls berumur 7 tahun. Pada tahun 2008, Ls membuatkan Akta Kelahiran untuk anaknya dengan menggunakan Kartu Keluarga dan Akta Perkawinan milik orang tuanya. Sebelumnya, orang tua Ls telah memasukkan nama anak Ls menjadi anak orang tua Ls dalam Kartu Keluarganya. Ketika akan mencantumkan nama anak Ls dalam Kartu Keluarganya, orang tua Ls memberikan keterangan kepada pihak kelurahan bahwa dia mengangkat anak yatim untuk dijadikan anak. Setelah satu tahun menjalin hubungan pertemanan, akhirnya pada tahun 1998 Nr dan Bg memutuskan untuk menikah di bawah tangan. Saat ini mereka telah dikaruniai tiga orang anak yang berumur 4 tahun, 7 tahun dan 10 tahun. Nr menjelaskan bahwa Akta Kelahiran anak-anaknya sedang dalam proses pembuatan. Permohonan pembuatan Akta Kelahiran anak-anak Nr belum selesai karena Nr belum melampirkan persyaratan berupa Akta Perkawinannya dengan Bg. Nr mengaku akan segera mencatatkan
38
perkawinannya agar anak-anaknya bisa secepatnya membuat Akta Kelahiran yang mencantumkan nama kedua orang tuanya. Pada tahun 1990, Jy menikah dengan Tr warga Kecamatan Sidomukti. Yang menikahkan Jy dengan Tr adalah bapak mudin Nurrahmad yang sekarang sudah menggal. Perkawinan di bawah tangan ini disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak dan warga sekitar. Dari perkawinan ini Jy dikaruniai seorang putri yang bernama Ft. Jy membuatkan akta kelahiran untuk anaknya pada tahun 2004. Jy membuat akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan mengisi blangko pembuatan akta kelahiran yang disediakan dan syarat kartu keluarga milik Jy, surat kelahiran anaknya serta saksi-saksi pembuatan akta di DKCS. Jy menjelaskan bahwa jika tidak membawa saksi sendiri, pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menawarkan jasa menjadi saksi dengan memberi upah. Mereka menyebutnya „uang rokok’. Jy mengaku banyak kenal dengan orang dalam Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil sehingga jika mengurus surat-surat seperti Akta Kelahiran, Kartu Keluarga dan lain-lain sangat mudah dan cepat. Pasangan ini menikah secara siri pada tahun 2007 oleh Kyai dari Kalibeng yang dibawa oleh Dn ke tempat tinggal Pj di Ngawen. Perkawinan di bawah tangan ini disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak, RT dan RW setempat dan warga sekitar. Saat ini Pj dikaruniani seorang anak yang tengah berusia 9 bulan. Ia belum mempunyai Akta Kelahiran maupun surat keterangan lahir dari bidan yang membantu melahirkannya. Pasangan yang
39
tinggal di Sidorejo ini mengaku belum mempunyai Kartu Keluarga dan baru akan membuatnya setelah membuat surat pindah dari kediaman aslinya yaitu di Ngawen. Setelah mempunyai Kartu Keluarga, barulah ia akan membuatkan Akta Kelahiran untuk anaknya. Pj akan membuatkan akta lahir anaknya hanya dengan mencantumkan nama ibu karena Pj dan Dn tidak mencatatkan pekawinan mereka di Kantor Urusan Agama. Pasangan In dan Mj melakukan perkawinan di bawah tangan pada tahun 2003. Sampai saat ini mereka tidak mempunyai Akta Perkawinan, tetapi In sudah mempunyai Kartu Keluarga sendiri. Dalam Kartu Keluarga tersebut hanya tercantum dua nama yaitu In yang disebutkan sebagai janda dan Tasia anak In. Dari Kartu Keluarga tersebut, In dapat mencarikan Akta Kelahiran untuk anaknya. Dalam hal pembuatan Akta Kelahiran tanpa dipenuhinya syarat berupa Akta Perkawinan orang tua si anak, maka Akta Kelahiran hanya tercantum nama anak dari seorang ibu. In sebagai ibu merasa sangat kasihan pada anaknya karena Akta Kelahirannya tidak mencantumkan nama bapaknya. In takut jika suatu saat Akta Kelahiran ini akan berdampak psikologis bagi anaknya. Perkawinan di bawah tangan Ym dengan Am, dilakukan di tempat kediaman Ym oleh Mudin setempat dan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak dan warga sekitar. Dari perkawinan ini, Ym dikarunia seorang putra yang lahir pada tahun 1981. Pada akhir tahun 2010 Ym mencarikan Akta Kelahiran anaknya. Ym membuat Akta Kelahiran di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Salatiga dengan mengisi blangko pembuatan Akta
40
Kelahiran yang disediakan dan syarat Kartu Keluarga milik Ym, surat kelahiran anaknya serta saksi-saksi dalam pembuatan akta kelahiran tersebut. Dari wawancara dengan anak Ym yang saat ini tengah berusia 29 tahun, dia menjelaskan bagaimana dia bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) pada saat usianya mencapai 17 tahun, padahal baru tahun 2010 kemarin membuat Akta Kelahiran, sedangkan fotokopi Akta Kelahiran menjadi syarat pembuatan Kartu Tanda Penduduk. Ketika pertama kali membuat KTP, dia tidak perlu menggunakan syarat berupa Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga. Hanya dengan membawa surat keterangan dari RT setempat bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar warganya yang berstempel dan tanda tangan dari RT dan surat pengantar dari Kelurahan semua akan menjadi mudah dan langsung ke Kecamatan untuk membuat Kartu Tanda Penduduk. Kemudahan ini tentu saja tidak berlaku bagi semua anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan, tetapi ini diakui oleh Ar bahwa kemudahan dalam hal mengurus dokumen-dokumen pribadi adalah karena kedekatan keluarga dengan pihak kelurahan atau koneksi. C. Jaminan Terhadap Pendidikan Dan Pengajaran Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masa depan anak. Begitu juga dengan anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan.
41
Tabel 3.7 Pendidikan Anak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Informan Gt dan Ng Hr dan Sr Pr dan Sl My dan Sn Ss dan Ls Bg dan Nr Tr dan Jy In dan Mj Dn dan Pj Am dan Jm
Pendidikan anak Kelas 2 Sekolah Dasar TK, Kelas 2 dan kelas 4 SD Kelas 3 SLTA TK Tamat SD
keterangan Masih balita Masih balita Masih balita Masih balita Daftar dengan menggunakan akta kelahiran dan kartu keluarga Daftar dengan menggunakan surat kelahiran dan kartu keluarga Daftar dengan menggunakan akta kelahiran dan kartu keluarga Daftar dengan menggunakan surat kelahiran dan kartu keluarga Masih balita Daftar dengan menggunakan surat kelahiran saja
Buah dari perkawinan di bawah tangan Ng dan Gt masih balita sehingga ketika ibu Ng diwawancarai oleh penulis, ia menjelaskan belum tau nanti bagaimana anak Ng akan disekolahkan. Ibu Ng akan segera mencarikan Akta Kelahiran cucunya agar jika bersekolah nanti tidak ada kesulitan dalam mendaftar karena tidak mempunyai Akta Kelahiran. Kedua anak pasangan Sr dan Hr belum bersekolah, tetapi karena kelengkapan surat-surat yang dimilikinya seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran anak-anaknya, Sr yakin tidak akan mengalami kesulitan dalam mendaftarkan anaknya sekolah kelak, walaupun dalam Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran tersebut, anak-anak Sr tidak mempunyai bapak. Anak pertama Sl yang menggal ketika ia kelas 2 Sekolah Dasar (SD) ini dulunya hanya mendaftar dengan surat kelahiran dari bidan yang membantu Sl melahirkan dan ijazah TK (Taman Kanak-Kanak) saja. Untuk anak keduanya ini yang masih balita, Sl mengaku akan segera mencarikan
42
akta kelahiran bagi anaknya agar kelak tidak ada kesulitan dalam mendaftarkan sekolah anaknya. Anak Sn dan My yang saat ini tengah berusia 4 tahun belum bersekolah, tetapi Sn berharap My secepatnya meresmikan perkawinan mereka agar perkawinan mereka sah di mata Negara. Ini dilakukan mengingat tidak lama lagi anaknya akan didaftarkan sekolah, agar tidak ada kesulitan mendaftar sekolah karena kurangnya syarat administratif berupa Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran. Buah dari perkawinan Ls dan Ss telah berumur tujuh tahun dan sudah kelas dua Sekolah Dasar. Awalnya, ketika Ls ingin mendaftarkan anaknya ke sekolah, Ls kesulitan karena selain tidak punya akta kelahiran anaknya, Ls juga tidak mempunyai surat kelahiran. Bidan yang membantu melahirkan Ls enggan memberikan surat kelahiran karena Ls tidak mempunyai suami pada saat itu. Sampai saat ini Ls juga tidak mempunyai Kartu Keluarga. Dari kesulitan itu, orang tua Ls berinisiatif untuk memasukkan anak Ls (cucunya) ke dalam kartu keluarganya. Dari situ, Ls dapat mendaftarkan anaknya untuk mendapat Akta Kelahiran. Tentu saja dalam Akta Kelahiran tersebut yang melahirkan anak Ls adalah orang tua Ls, karena Akta Kelahiran tersebut dibuat dengan syarat Kartu Keluarga dan akta perkawinan orang tua Ls. Dalam hal mendaftar sekolah, anak Ls sudah tidak lagi mengalami kesulitan. Seperti anak-anak lain, anak Ls sudah mempunyai Akta Kelahiran dan syarat
43
syarat pendaftaran sekolah seperti kartu keluarga orang tua, dalam hal ini adalah Kartu Keluarga orang tua Ls. Ketika masuk Taman Kanak-Kanak kedua anak Nr dan Bg, hanya mendaftar dengan surat kelahiran dan kartu keluarga milik orang tuanya. Begitu juga ketika 2 anaknya masuk Sekolah Dasar hanya dengan sarat Kartu Keluarga, Surat Kelahiran dan Ijazah Taman Kanak-Kanak. Sehingga sampai saat ini Nr tidak mengalami kesulitan dalam mendaftarkan sekolah anaknya. Saat ini Ft, anak dari perkawinan di bawah tangan Jy dan Tr duduk di bangku SLTA. Ft lahir pada tahun 1992. Saat mendaftar Sekolah Dasar, Jy hanya mengumpulkan Surat Kelahiran dan Kartu Keluarga miliknya. Pihak sekolahpun tidak minta syarat berupa Akta Kelahiran untuk pendaftaran sekolah SD. Sekolah Menengah Pertama (SMP) mewajibkan calon murid baru untuk melampirkan Akta Kelahiran sebagai syarat pendaftaran disamping syarat lain berupa Kartu Keluarga milik orang tuanya dan Kartu Tanda Penduduk orang tua. Setelah mengetahui Akta Kelahiran adalah syarat wajib untuk mendaftar sekolah, maka Jy segera mencarikan Akta Kelahiran untuk anaknya, sehingga walaupun Akta Kelahiran Ft hanya mencantumkan nama orang tua tunggal, Ft tetap di terima bersekolah di SMP tersebut. Ft sangat beruntung karena tidak mengalami kesulitan atau tidak dipersulit ketika mendaftar disekolah karena status di akta kelahirannya menyebutkan bahwa dia adalah anak luar kawin.
44
Saat ini Ft bersekolah di SMEA PGRI Salatiga. Seperti ketika mendaftar di SMP, Ft tidak mengalami kesulitan apapun. Ft tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif ataupun diistimewakan karena statusnya sebagai anak luar kawin dalam Akta Kelahirannya. Seperti siswa-siswa lainnya, ft tetap mendapatkan pendidikan yang menjadi haknya. Buah dari perkawinan di bawah tangan Pj dan Dn masih berusia 9 bulan sehingga saat ini Pj belum memikirkan bagaimana anaknya kelak akan bersekolah. Tetapi Pj tengah berniat untuk segera mencarikan Akta Kelahiran untuk anaknya agar bisa mendaftar sekolah mengingat saat ini Akta Kelahiran sebagai syarat utama pendaftaran sekolah. Perkawinan di bawah tangan yang dilakukan In dan Mj membuahkan seorang putri yang kini berusia 7 tahun dan tengah bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) Tunas Bakti. Ketika mendaftar sekolah TK, In hanya menggunakan surat kelahiran dari bidan tempat In melahirkan dan Kartu Keluarga milik In. Ym dan am mendaftarkan anaknya di Sekolah Dasar hanya dengan Kartu Keluarga ibunya dan surat kelahiran dari bidan setempat. Pada saat itu syarat pendaftaran sekolah masih belum menggunakan akta kelahiran anak, sehingga Ym tidak mengalami kesulitan ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah. Anak Ym hanya bersekolah sampai tamat Sekolah Dasar (SD) saja. Karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya yang menikah di bawah tangan, anak Ym enggan melanjutkan sekolahnya sampai jenjang yang lebih tinggi.
45
D. Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Jaminan Sosial Setiap orang berhak mendapat pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial sebagai bentuk perlindungan dari pemerintah. Tabel 3.8 Pelayanan Kesehatan dan Sosial Terhadap Anak
1 2
Gt dan Ng Hr dan Sr
Kartu jamkesmas Tidak punya Tidak punya
3
Pr dan Sl
Tidak punya
4
My dan Sn
Tidak punya
5
Ss dan Ls
punya
6
Bg dan Nr
Tidak punya
7 8
Tr dan Jy In dan Mj
belum punya punya
9
Dn dan Pj
10
Am dan Jm
No
Informan
Tidak punya Tidak punya
keterangan Berobat hanya dengan KTP nenek Berobat ke puskesmas tanpa dokumen apapun Berobat ke puskesmas hanya dengan KTP Berobat ke bidan tanpa dokumen apapun Membuat dengan menggunakan kartu keluarga kakek Berobat ke puskesmas hanya dengan KTP Proses pembuatan jamkesmas Membuat dengan menggunakan kartu keluarga kakek Berobat ke bidan dengan membayar obatnya saja Berobat ke puskesmas tanpa dokumen apapun
Anak dari pasangan Ng dan Gt belum memperoleh jamkesmas dari pemerintah, padahal Ng termasuk masyarakat golongan menengah ke bawah. Sehingga ketika anak Ng sakit hanya diperiksakan ke puskesmas terdekat dan hanya menggunakan KTP orang tuanya. Padahal sampai sekarang Ng belum mempunyai KTP karena masih berumur 15 tahun dan tidak mempunyai Akta Perkawinan untuk membuat KTP, sehingga jika anak Ng sakit dia berobat dengan menggunakan KTP orang tua ng dan diantar oleh orang tua Ng. Saat ini anak Ng diasuh oleh orang tua Ng karena Ng sehari-hari bekerja di pabrik rokok di daerah Salatiga.
46
Sebagai masyarakat golongan menengah, Sr, Hr maupun anak-anaknya tidak mempunyai kartu Jamkesmas yang seharusnya didapatkan oleh seluruh masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Jika anaknya sakit, Sr cukup membawanya ke puskesmas terdekat tanpa membawa surat-surat seperti akta kelahiran dan kartu keluarga. Seandainya diminta pihak puskesmas atau rumah sakit Sr tidak akan kesulitan karena ia mempunyai kartu keluarga dan akta kelahiran anak-anaknya. Sl dan Pr kini tinggal mempunyai seorang anak yang masih balita. Anak Sl tidak memiliki kartu jamkesmas. Begitu juga anaknya yang terdahulu, tidak mempunyai jamkesmas, sehingga ketika dirawat di rumah sakit hanya dengan Kartu Tanda Penduduk ibunya dan KTP bapaknya sebagai penanggungjawab atau yang menanggung biaya perawatan. Pasangan Sn dan My tidak mencarikan jamkesmas untuk anaknya, menurutnya jika anaknya sakit tinggal ke bidan yang tidak jauh dari rumahnya dengan hanya membayar obatnya saja. Karena Sn sudah kenal baik dengan bidan tersebut, sehingga Sn tidak pernah kesulitan ketika anaknya sakit ataupun memeriksakan kandungannya yang kini berusia 4 bulan. Untuk jaminan kesehatan anak Ls, seperti pembuatan Jamkesmas dokumen-dokumen lainnya orang tua Ls-lah yang berperan penuh. Setelah anak Ls masuk dalam Kartu Keluarga orang tua Ls, maka secara otomatis halhal yang berhubungan dengan jaminan terhadap anak Ls telah terpenuhi. Ketiga anak Nr dan Bg tidak ada yang mempunyai kartu jamkesmas. Menurutnya, jamkesmas tidaklah begitu penting. Jika sakit tinggal berobat
47
kepuskesmas dengan membawa KTP orangtua saja sudah cukup. Senada dengan Nr, Pj yang anaknya kini berumur 9 bulan juga tidak begitu ambil pusing soal jamkesmas. Yang penting anaknya sehat sampai saat ini. Jika anaknya sakit hanya berobat ke bidan sudah cukup. Anak Jy yang saat ini sudah berusia 16 tahun belum memiliki jamkesmas. Jy menjelaskan bahwa saat ini sedang proses pembuatan jamkesmas. RT setempat baru memberikan pengumuman untuk pembuatan Kartu Jamkesmas. Warga yang akan membuat kartu jamkesmas harus mengisi formulir yang disediakan RT dengan melampirkan Kartu Keluarga dan KTP. Seperti kebanyakan anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan lainnya, anak Ym tidak mempunyai jamkesmas. Hanya berobat kepuskesmas saja tidak memerlukan akta kelahiran san surat-surat lainnya. Karena kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya, anak Ym dan Am tumbuh menjadi anak yang cenderung pemberontak dan jarang pulang kerumah. Dari situ, Ar mempunyai banyak teman. Ar bekerja sebagai kernet angkutan kota sampai menjadi penjaga toko di salah satu pertokoan di Salatiga. Dalam mencari pekerjaan pun, Ar tidak pernah kesulitan karena kurangnya syarat atau dokumen pribadi miliknya yang biasanya menjadi syarat penerimaan pegawai, lagi-lagi karena kepercayaan teman atau koneksi dia mendapat pekerjaan tersebut, sehingga tidak perlu dengan syarat-syarat seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran. Saat ini Ar bekerja di sebuah Perseroan Terbatas (PT) di Kalimantan. Ketika mengajukan surat lamaran ini Ar menyertakan foto kopi KTP, foto
48
kopi Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga sebagai saratnya. Dengan status anak ibu dalam akta kelahirannya ini tidak menimbulkan kesulitan ketika melamar pekerjaan tersebut karena adanya faktor koneksi. Dia mempunyai kenalan yang berkerja di PT tersebut sehingga mudah untuk diterima sebagai pegawai di PT tersebut. Ar yang kini berusia 29 tahun tengah berencana untuk menikah dalam waktu 1 sampai 2 tahun kedepan. Tetapi dia belum tahu apakah statusnya sebagai anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan nanti akan berpengaruh ketika mencari seorang calon pendamping hidup. Pada awalnya anak In diikutkan dalam Kartu Keluarga orang tua In, sehingga anak In dapat memperoleh kartu jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas). Pendataan warga yang memperoleh jamkesmas dilakukan oleh RT setempat dengan menggunakan syarat berupa Kartu Keluarga. Jamkesmas milik anak In belum pernah digunakan, karena jika berobat ke puskesmas tidak perlu menggunakan jamkesmas. Ketika RT setempat mengetahui bahwa anak in diikutkan dalam kartu keluarga orang tua in, RT menegur In agar membuat Kartu Keluarga atas namanya sendiri.
49
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
D. Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan Anak Yang Lahir dari Pernikahan di Bawah Tangan Identitas yang pertama kali dibutuhkan seseorang selain nama dari orang tuanya adalah Akta Kelahiran. Akta kelahiran adalah akta hasil pencatatan sipil hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang. Manfaat atau arti penting dari kepemilikan akta kelahiran, yakni: menjadi bukti bahwa negara mengakui atas identitas seseorang yang menjadi warganya, sebagai alat dan data dasar bagi pemerintah untuk menyusun anggaran nasional dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan perlindungan anak, merupakan bukti awal kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak, menjadi bukti yang sangat kuat bagi anak untuk mendapatkan hak waris dari orangtuanya, mencegah pemalsuan umur, perkawinan di bawah umur, tindak kekerasan terhadap anak, perdagangan anak, adopsi ilegal dan eksploitasi seksual, anak secara yuridis berhak untuk mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, pemukiman, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara. Fungsi akta kelahiran untuk negara yaitu mengetahui data anak secara akurat di seluruh Indonesia untuk kepentingan perencanaan dan guna menyusun data statistik negara yang dapat menggambarkan demografi,
50
kecenderungan dan karakteristik penduduk serta arah perubahan sosial yang terjadi. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pemohon Akta Kelahiran, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu: membawa surat pengantar dari kelurahan, membawa Surat Kelahiran (baik dari dokter atau rumah sakit atau bidan penolong), membawa foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua, Kartu Keluarga (KK) dan Akta Perkawinan orang tua. Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Salatiga sendiri ada persyaratan lagi yaitu mendatangkan dua saksi beserta foto kopi KTP yang masih berlaku untuk pembuatan akta kelahiran. Saksi boleh siapa saja, saudara, tetangga bahkan orang lain. Jika tidak ada saksi, ada alternatif yang DKCS berikan, yaitu personil dari kantor mau diminta sebagai saksi, namun DKCS berharap juga dipikirkan sekedarnya saja dan sukarela sifatnya. DKCS menyarankan agar masyarakat datang dengan membawa saksi sendiri. Pemohon disarankan datang sendiri dengan membawa saksi karena agar mereka tahu betul tata cara dan berapa pengeluaran yang harus dibayar. Kedua, lebih irit karena tidak harus membayar perantara (penyedia jasa) dan membayar saksi. Yang ketiga adalah, agar tidak terjadi kesalahpahaman persepsi bahwa pengurusan akta kelahiran di kantor DKCS dikenai biaya lainlain atau pungutan liar (pungli). Departemen Dalam Negeri dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil memberikan alternatif, bahwa seorang anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan tanpa dokumen atau akta perkawinan orang tua maka
51
dianggap sebagai anak dari orangtua tunggal (ibu). Yaitu dengan syarat berupa surat pengantar dari kelurahan, membawa Surat Kelahiran (baik dari dokter atau rumah sakit atau bidan penolong), membawa foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua dan Kartu Keluarga (KK) orang tua si anak. Beberapa pasangan perkawinan di bawah tangan sadar akan dampak perkawinan mereka bagi status anak yang dilahirkannya adalah akta kelahirannya tidak akan mencantumkan nama ayah dari anak tersebut. Mereka yang membuat Akta Kelahiran untuk anaknya dengan mencantumkan nama ibu saja harus dengan menggunakan Kartu Keluarga dan Surat Kelahiran dari bidan atau dokter yang membantu melahirkan. Kartu Keluarga ini hanya berisi ibu sebagai kepala rumah tangga dan nama anak-anaknya. Selain nama ibu yang dicantumkan sebagai kepala keluarga, ada juga yang mencantumkan nama ibu sebagai janda. Sedangkan beberapa pasang belum juga membuat Kartu Keluarga karena tidak mempunyai Akta Perkawinan, sehingga anak dibiarkan tidak mempunyai akta kelahiran sampai usia sekolah. Hal ini dikarenakan orang tua tidak tega apabila Akta Kelahiran tidak mencantumkan nama ayah dari anakanaknya. Ada juga yang tidak segera membuat Akta Kelahiran untuk anaknya karena anaknya masih kecil, mereka memandang bahwa Akta Kelahiran tersebut belum begitu penting. Berbeda dengan pasangan-pasangan di atas, ada satu pasang pelaku perkawinan di bawah tangan yang mengikutkan nama anaknya ke Kartu Keluarga orang tua pelaku. Ini dikarenakan pelaku tidak mempunyai Kartu
52
Keluarga dan surat kelahiran anak. karena bidan tidak mau memberikan surat kelahiran anak pelaku perkawinan di bawah tangan tersebut, maka orang tua pelaku
mengikutkan
cucunya
ke
Kartu
Keluarganya
dengan
cara
pengangkatan anak. Dari situ Akta Kelahiran bisa dibuat dengan pencantuman nama kakek dan neneknya. Bagi anak yang sudah dewasa, dalam membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak mengalami kesulitan. Kartu Tanda Penduduk adalah identitas resmi seseorang sebagai warga Indonesia. Kartu ini wajib dimiliki oleh seluruh penduduk yang telah berusia 17 tahun dan atau telah menikah. Syarat-syarat pembuatan KTP adalah dengan membawa surat pengantar dari RT/RW atau kelurahan, foto kopi Kartu Keluarga, foto kopi Akta Kelahiran yang bersangkutan. Seorang anak hasil perkawinan di bawah tangan yang tidak mempunyai Akta Kelahiran ini bisa membuat KTP, dikarenakan faktor kedekatan dengan pihak kelurahan. Pada umumnya sebagian besar pelaku perkawinan di bawah tangan sadar akan pentingnya identitas diri bagi anak-anak yang dilahirkan. Mereka juga telah mengetahui prosedur-prosedur pembuatan akta kelahiran tanpa disertai dengan adanya bukti otentik perkawinan mereka, sehingga akta kelahiran hanya mencantumkan nama ibu. Dengan mempunyai identitas diri berupa akta kelahiran walaupun hanya mencantumkan orang tua tunggal, Negara jelas mengakui keberadaan anak tersebut sebagai warga negaranya. Dengan identitas tersebut seseorang akan terjamin hak-haknya seperti
53
mendapatkan perlindungan, kesehatan, pendidikan, dan hak-hak lainnya sebagai warga negara. Tetapi untuk pelaku perkawinan di bawah tangan yang anaknya masih balita cenderung menunda pembuatan akta kelahiran karena belum dirasakan manfaatnya. Hal ini adalah salah karena identitas seorang anak sangatlah
penting
karena
akta
kelahiran
merupakan
bukti
awal
kewarganegaraan dan identitas diri pertama yang dimiliki anak. Sedangkan penundaan pembuatan akta kelahiran karena pasangan pelaku perkawinan di bawah tangan ingin mencatatkan perkawinannya dengan pernikahan ulang tidak akan merubah status anak yang dianggap sebagai anak luar kawin, karena pernikahan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum pernikahan ulang dilangsungkan. Pernikahan ulang adalah pernikahan dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam dan disertai dengan pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Pencatatan pernikahan ini penting agar ada kejelasan status pernikahan
menjadi
legal.
Namun
status
anak-anak
yang
lahir
dalam pernikahan di bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin. Akte Kelahiran anak yang lahir sebelum pernikahan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah pernikahan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam pernikahan.
54
E. Pendidikan dan pengajaran bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam memperoleh pendidikan seperti yang tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi : Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Sekolah adalah sarana pendidikan di Indonesia yang di buat oleh pemerintah. Syarat-syarat pendaftaran sekolah pada umumnya adalah surat kelahiran atau Akta Kelahiran anak, Fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang tua, fotokopi Kartu Keluarga, ijazah pendidikan terakhir dan mengisi formulir pendaftaran. Sehingga, bagi calon siswa yang belum memenuhi syarat pendaftaran tersebut akan kesulitan dalam mendaftar sekolah. Pendaftaran Sekolah Dasar di Salatiga umumnya memberikan kelonggaran bagi anak yang tidak mempunyai akta kelahiran cukup dengan mendaftar dengan surat kelahiran dari bidan atau dokter yang membantu persalinan si ibu. Sehingga hanya dengan surat kelahiran, fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang tua dan fotokopi Kartu Keluarga sudah dapat mendaftarkan anak kesekolah. Tetapi kelonggaran ini nampaknya tidak berlaku bagi anak yang sama sekali tidak mempunyai surat kelahiran dan Kartu keluarga Orang tua, sehingga pasangan pelaku perkawinan di bawah tangan yang seperti ini harus berinisiatif untuk memasukkan nama anaknya ke Kartu Keluarga orang tua pelaku agar anaknya memperoleh jaminan kehidupan sebagai warga negara Indonesia.
55
Jenjang pendidikan selanjutnya yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat biasanya tidak memberikan toleransi atas syarat-syarat pendaftaran yang telah ditentukan. Tetapi tidak membedakan status anak, apakah itu anak luar kawin atau anak sah, asalkan dalam mendaftar melampirkan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP orang tua serta syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pihak sekolah telah terpenuhi, maka pihak sekolah akan menerimanya sebagai siswa di sekolah tersebut. F. Jaminan kesehatan dan jaminan sosial bagi anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan. Jaminan perlindungan sosial dibangun untuk membantu individu, keluarga dan masyarakat menghindari resiko. Resiko yang dimaksud yaitu jatuh ke dalam kemiskinan akibat penyakit, kecelakaan, kematian, pengangguran/kehilangan mata pencaharian, usia lanjut atau pensiun. Sebagai contoh, anak-anak memerlukan pelayanan kesehatan dasar untuk mengontrol berat badan dan imunisasi agar terhindar dari penyakit seperti polio, campak, tetanus, influenza dan sebagainya. Pelayanan kesehatan dasar itu adalah wujud perlindungan bagi anak. Jika anak sering sakit maka biaya berobat akan mahal dan otomatis menyebabkan seluruh dana keluarga terserap untuk pengobatan. Selain itu anak Balita (Bawah Lima Tahun) memerlukan asupan gizi yang cukup untuk pertumbuhan otaknya agar memiliki perkembangan yang baik di masa depannya.
56
Perlindungan sosial merupakan sarana yang di dalamnya terdapat jaminan sosial dan asuransi kesehatan sosial. Jadi jelas bahwa perlindungan sosial adalah dasar dari seluruh bentuk jaminan sosial yang memayungi semua kegiatan. Sistem jaminan sosial itu mencakup program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pension dan jaminan kematian. Di Salatiga sendiri menggunakan jamkesmas bagi warganya untuk memperoleh jaminan kesehatan. Untuk memperoleh jamkesmas ini, biasanya warga di data oleh RT setempat. Warga hanya diminta mengumpulkan fotokopi Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kartu jamkesmas ini biasanya digunakan ketika berobat di rumah sakit. Jika hanya periksa ke puskesmas, di Salatiga sendiri tidak perlu menggunakan kartu jamkesmas. Hanya dengan KTP orang tua sudah bisa berobat. Berobat ke puskesmas pada umumnya juga tidak di pungut biaya sehingga sangat membantu bagi keluarga menengah ke bawah. Banyak pasangan perkawinan yang tidak memiliki jamkesmas. Dari sepuluh pasang yang penulis wawancarai, hanya 2 pasang yang memiliki jamkesmas dan 1 pasang dalam proses pendaftaran pembuatan kartu jamkesmas oleh pihak RT dan Kelurahan. Kedua pasangan yang memiliki kartu jamkesmas dengan didaftar oleh RT setempat dan mengisi formulir dengan melampirkan Kartu Keluarga dan KTP. Bagi anak pasangan perkawinan di bawah tangan yang masih balita memperoleh pelayanan kesehatan dan asupan gizi di posyandu (pos pelayanan
57
terpadu) yang biasanya diadakan di balaidesa satu bulan sekali. Untuk pelayanan kesehatan ini ibu balita hanya ditanya tentang identitas anak saja, tidak perlu menggunakan surat kelahiran kartu keluarga dan sebagainya. Hak anak yang lain adalah hak memperoleh jaminan sosial. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan ketika tumbuh menjadi orang dewasa pasti akan berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitar, entah itu ketika bekerja ataupun telah membina rumah tangga. Seorang anak dengan status anak ibu dalam akta kelahirannya ini tidak menimbulkan kesulitan ketika melamar pekerjaan tersebut karena adanya faktor koneksi. Dia mempunyai kenalan yang berkerja di PT tempat ia bekerja saat ini. Sehingga mudah untuk diterima sebagai pegawai di PT tersebut. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan yang kini berusia 29 tahun tengah berencana untuk menikah dalam waktu 1 sampai 2 tahun ke depan. Tetapi dia belum tahu apakah statusnya sebagai anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan nanti akan berpengaruh ketika mencari seorang calon pendamping hidup.
58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya penulis menarik beberapa kesimpulan bahwa : 1. Perkawinan di bawah tangan menurut Fiqh adalah sah selama seluruh rukun dan syarat perkawinan Islam terpenuhi. Sedangkan menurut perundang-undangan di
Indonesia, perkawinan di
bawah tangan
merupakan suatu bentuk dari perkawinan yang tidak sah, karena menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku yakni pasal 2 ayat 2 UUP mengenai pencatatan perkawinan. Anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan dianggap sebagai anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, seperti yang tertera dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 43 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 100. 2. Anak yang lahir dari perkawinan dibawah tangan tetap mendapatkan perlindungan dari pemerintah apabila mempunyai identitas diri berupa akta kelahiran. Tetapi pada umumnya akan kesulitan dalam mendapatkan identitas diri berupa Akta Kelahiran, karena syarat membuat Akta Kelahiran adalah dengan menunjukkan Kartu Keluarga dan Akta Nikah kedua orang tuanya. Apabila anak bisa mendapatkan Akta Kelahiran, di dalam Akta Kelahiran tersebut statusnya dianggap sebagai anak luar nikah,
59
sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Hal ini dapat menimbulkan dampak psikologis bagi anak karena dianggap sebagai anak haram. 3. Kebutuhan anak berawal dari bukti perkawinan orang tuanya. Seperti yang diketahui bahwa kebijakan pemerintah di bidang pendidikan sekarang ini, salah satu syarat untuk mendaftar atau masuk ke sekolah adalah dengan melampirkan Akta Kelahiran yang bersangkutan. Bagi anak yang tidak mempunyai akta kelahiran, untuk Sekolah Dasar pada umumnya hanya menggunakan surat kelahiran dari bidan boleh mendaftar, tetapi toleransi ini tidak berlaku untuk SLTP dan jenjang pendidikan selanjutnya. Sehingga orang tua harus memutar otak untuk menyekolahkan anaknya seperti mencarikan akta kelahiran atas nama orang tua tunggal atau diikutkan dalam Kartu Keluarga Kakeknya. 4. Banyak di antara pasangan yang tidak begitu peduli dengan adanya kartu jamkesmas. Pada umumnya, masyarakat hanya berobat ke puskesmas yang memberikan pelayanan secara cuma-cuma dan tanpa membebankan persyaratan berupa dokumen-dokumen pribadi pasien. Hanya sedikit yang memiliki jamkesmas, hal ini juga dipengaruhi oleh kendala kartu keluarga yang menjadi syarat pembuatan jamkesmas. B. Saran Berbagai masalah bisa timbul dari perkawinan di bawah tangan, maka penulis memberikan saran kepada berbagai pihak yang berkaitan dengan perkawinan di bawah tangan.
60
1. Agar terealisasinya tujuan hukum, yakni adanya kepastian, ketertiban dan manfaat di dalam masyarakat, hendaknya Pemerintah memberikan penyuluhan kepada tokoh masyarakat, seperti kyai, mudin, ustadz dan yang lainnya karena mereka adalah jalan keluar bagi yang ingin menikah di bawah tangan. Penyuluhan itu dilakukan agar mereka tidak menikahkan orang secara di bawah tangan mengingat dampak negatif bagi anak yang dilahirkan. 2. Pegawai Pencatat Nikah hendaknya aktif dalam melakukan penertiban bagi
pelaku
perkawinan
di
bawah
tangan
dengan
membantu
menyelesaikan permasalahan mereka mengenai keharusan mencatatkan perkawinan agar mereka dapat mencatatkan perkawinannya, seperti dengan melakukan perkawinan masal bagi pelaku perkawinan di bawah tangan tanpa dipungut biaya. 3. Masyarakat
yang
ingin
menikah
di
bawah
tangan
hendaknya
mempertimbangkan secara matang karena mengingat dampak yang terjadi pada anak yang dilahirkan.
61
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ghani. 1995. Tinjauan Hukum Terhadap Perkawinan Di Bawah Tangan. Mimbar Hukum no 23 thn VI. Jakarta: Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam Al Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab al Fiqh ‘Ala al Madzahib Al Arba’ah juz IV. Beirut, Lebanon: Darl Fikr. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah Dan Talak. Jakarta: Amzah Badan Pusat Statistik. 2010. Salatiga Dalam Angka. Salatiga Departemen Agama. 2000. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Departemen Agama RI. 2005. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Syaamil Halim, Abdul Hamid. 1977. Al Mu’in Al Mubin juz IV. Jakarta : Bulan Bintang Liesfi, Irsyad Faisal. 2008. Kawin Siri. (http://irsyadfaizal.wordpress.com /2008/01/10/kawin-siri/ diakses 10 Januari 2011). Nur, Subhan. 1999. Dampak Pernikahan Bawah Tangan (Nikah Sirri). (http://bimasislam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view =article&id=313&catid=49%3Aartikel&Itemid=79, diakses 10 Januari 2011) Nurhaedi, Dedi. 2003. Perkawinan Di Bawah Tangan Praktik Nikah Siri Mahasiswa Jogja. Jogjakarta : Saujana Nuruddin, Amirul dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana. Mahfiana, Layyin. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Sebagai Upaya Untuk Melindungi Hak Asasi Anak. Justitia Islamica, vol 6 no 1.
62
Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Yogyakarta: UII Press Sosroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi.1978. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media Sabiq, Sayyid. 1990. Fiqh Sunnah jld 6, Bandung: Al Ma‟arif Undang-Undang Kewarganegaraan no 12 tahun 2006 Undang-Undang Perkawinan no 1 tahun 1974 Undang-Undang Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 Zumrotun, Siti. 2007. Fenomena Nikah Siri Di Salatiga. Penelitian tidak diterbitkan. STAIN Salatiga Zuhdi, Masjfuk. 1996. Nikah Siri, Nikah Di Bawah Tangan Dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif. Mimbar Hukum. No 28 thn.VII. Jakarta: Al Hikmah & DITBINBAPERA Islam
63