PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA (STUDI PERBANDINGAN)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun Oleh : Ahmad Adib 2103209
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
MOTTO
! " # $#% & ' # ( (3:/01#) ))* + , # # ( - %# Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)
PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan kepada : Allah SWT. Yang menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna di bumi ini. Memberikan akal dan fikiran sehingga penulis dapat mempersembahkan karya ini. Nabi Muhammad Rosululloh sang penerang kegelapan. Abah dan Ibu tercinta, Ahmad Nawawi dan Qowiyatun. Yang selalu memberikan do'anya kepada ananda, mencurahkan semua kasih sayang yang tak akan pernah pupus selamanya. Abdul Kholiq S.H, S.P.N., MH dan keluarga yang selalu memberikan doa dan semangat agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik . Kakak-kakakku ( Mbak Hamidah beserta suami, Mas Hamid beserta istri, Mas Mubin beserta istri ) yang selalu memberikan semangat sehingga terselesaikanya skripsi ini. Adik dan keponakanku ( ishomuddin, ida udhiyati, wahid, ifa, ulum, najah, naila, faiq, a’la dan izza) yang selalu mewarnai hari-hari yang menyenangkan. Calon istriku, adinda Qomariyah yang selalu menemani dalam suka maupun duka dan selalu memberikan semangat untuk selalu maju dalam menghadapi tantangan hidup. Teman dan sahabatku semuanya yang tidak dapat aku sebutkan satupersatu Saudaraku dan segenap orang-orang yang selalu menemaniku dan selalu memberikan doa, nasehat agar penulis dapat menyelesaikan karya ini.
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Deklarator,
Ahmad Adib 2103209
ABSTRAK Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga mengakibatkan hukum antara anak dengan orangtuanya dan keluarga orangtuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti : status anak, perwalian dan hak waris yang menyangkut diri anak Rumusan masalah pada skripsi ini adalah : 1. Bagaimana status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?. 2. bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata? Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Untuk memperoleh data-data yang dipaparkan dalam penelitan ini, penulis menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah UU No. 1 Tahun 1974, dan KUH Perdata. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur yang lain yang ada relevansinya dengan permasalahan ini. Setelah data-data tersebut terkumpul lalu disusun, dijelaskan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan komparatif yaitu membandingkan antara UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Sehingga pada akhirnya mendapatkan hasil yang diharapkan, untuk kemudian diambil suatu kesimpulan sebagai hasil akhir dari penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status anak luar kawin menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah anak tidak sah, perlindungannya hanya mengikuti nasab ibunya. Sedangkan menurut KUH Perdata status anak luar kawin merupakan anak tidak sah tetapi diakui, sehingga perlindungannya dapat bernasab pada keluarga ibunya dan ayah yang mengakuinya.
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaannirrahiim
Segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmatnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PELINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA (Studi Perbandingan)” dengan baik. Semoga hasil penelitian skripsi ini dapat bermanfaat, shalawat serta salam semoga Allah melimpahkannya kepada Nabi Muhammad SAW pembimbing umat kepada jalan kebenaran. Dalam penelitian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, saran-saran serta motivasi dari berbagai pihak. Suatu keharusan bagi pribadi penulis untuk menyampaikan terimakasih kepada: 1.
Bapak. Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2.
Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang (Bapak. Drs. H. Muhyiddin. M.Ag), semua dosen dan staf karyawan di lingkungan Fakultas Syari'ah IAIN Walisongo Semarang.
3.
Bapak. Arief Budiman, M.Ag, dan Ibu. Anthin Lathifah M.Ag selaku ketua dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al Syakhsiyah (AS) IAIN Walisongo Semarang.
4.
Bapak Drs. H. Eman Sulaiman, M.H dan Bapak Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis, sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini dengan penuh bijaksana dan kesabaran.
5.
Kepada dewan penguji yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
6.
Bapak Rustam D.K.H.RP. M.Ag selaku dosen wali studi sekaligus bapak yang tulus hati membimbing dan mengarahkan penulis sampai perkuliahan ini selesai.
7.
Penghormatan dan penghargaan tiada tara, tak lupa penulis berikan kepada ayah dan ibundaku tercinta yang selalu memberikan dukungan moril maupun materiil, serta do'a yang tulus mulia.
8.
Kelurga Besar Bapak Abdul Kholiq S.H, S.P.N, MH yang selalu sabar menggantikan orang tua selama penulis menyelesaikan perkuliahan.
9.
Para Ustadz serta Masyayikh di Morodemak (KH. Zabidi Ali (Alm), KH. Noor Shohib Al hafidz (Alm), K. Kholil Mansyur (Alm), K. Abu Na’im (Alm), K. Sya’roni, K. Sholhan Sofwan, K. Nachrowi, K. Munajat Al hafidz, Ust. Abdul Jamal, Ust. Abdurrozaq, Ust. Mujahidin ‘Arief. dll,) yang selalu membimbing penulis dalam hal agama ketika di morodemak.
10. Para Ustadz dan Kyaiku di Semarang (KH. Drs. Muhammad Qodirun Noor, KH. Muhammadun Zain, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, Habib Umar Al Muthohar, Habib Hasan Al jufri, Habib Ghozi bin Ahmad bin Syihab, Habib Ahmad Al Jufri, Habib Farid Al Munawwar, Habib Fauzi Al Munawwar, Habib Muh. Firdaus Al Munawwar, K. Subkhi, K. Amin Farih M.Ag, Ust. Ulin Nuha (Alm), dll.) Yang selalu membimbing penulis dengan penuh semangat sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. 11. Keluarga Besar PAGARMODIS (Om Imron, Om Yadi, Om Muhammad, Pak Khoirul, Pak Jawwad, Rustamaji, Adib Munif, Pak Sholehan, Pak Rozaq, Pak Wik, dll..) 12. Keluarga Besar Masjid Al-Azhar Perumahan Bukit Permata Puri Ngaliyan Semarang. Dan seluruh Majlis Taklim di lingkungan BPP (Al-Muqorrobin, Al-Kautsar, Al-Firdaus, Al-Ikhlas, Al-Hikmah, Al-Azhar, Pelita Qolbu, dll.) 13. Keluarga Besar Jam’iyyah Maulid Ahbabul Musthofa Morodemak (Kang Ali, Kang Manaf, Ulin, Dayat, Sotong, Syukron, Shofi, Sokeh, Jiran, Mbeng. dll,, 14. Teman-temanku APM Masjid Al-Azhar yang selalu menjadi sahabat setia dalam suka maupun duka (Kang Maryono Sekeluarga, Sholihin, Sulaiman, Husain, Miftah, dan Seluruh Remaja Kharisma Masjid Al-Azhar) 15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah membantu penulis dalam menyusun skripsi.
Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat sekaligus menambah wawasan dan pengetahuan kita, terutama dalam Pengembangan Hukum Islam.
Semarang, Mei 2010 Penulis
Ahmad Adi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................
iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................
vi
HALAMAN ABSTRAK ............................................................................... vii KATA PENGANTAR .................................................................................. viii DAFTAR ISI ................................................................................................ BAB I
x
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................
1
B. Permasalahan ..........................................................................
5
C. Tujuan Penulisan Skripsi .........................................................
5
D. Telaah Pustaka ........................................................................
6
E. Metode Penelitian ...................................................................
7
F. Sistematika Penulisan .............................................................. 10 BAB II : TINJAUAN UMUM ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Anak Luar Perkawinan........................................... 11 B. Faktor Penyebab Anak Luar Kawin ......................................... 17 C. Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam ..................... 20 BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata ........................................................... 22 1. Hak Nasab......................................................................... 22 2. Hak Perwalian ................................................................... 23
3. Hak Kewarisan ...................................................................... 24 B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar Perkawinan menurut UU No. I tahun 1974 dan KUH Perdata .. 27 1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak ..................................... 33 2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak........................ 36 BAB IV : ANALISIS
PERLINDUNGAN
ANAK YANG
HUKUM
TERHADAP
LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
MENURUT UU No. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA A. Analisis Status Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata Dipandang Dari Hukum Islam .............................................................................. 44 B. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata........................................................................................ 50 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 56 B. Penutup ...................................................................................... 59
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan adalah sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia dan peristiwa itu tidak saja dirasakan oleh pihak yang bersangkutan, tetapi juga oleh masyarakat. Dengan adanya ikatan perkawinan berarti adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak yang nanti akan timbul hak dan kewajiban, sehingga perkawinan bukan sekedar ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang saling mencintai melainkan juga hubungan yang nyata, sehingga bisa diketahui oleh orang lain. Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi kehidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal).1 Keinginan manusia untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah nanti yang diharapkan dapat membantu bapak dan ibunya pada hari tuanya kelak. Hanya dengan sebuah perkawinan yang sah penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana.2
1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta : Liberti, 1999, hal 13 2 Ibid, hal 14
1
2
Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak) adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan terjalin dalam hubungan perkawinan yang sah.3 Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri masih banyak terjadi kehamilan di luar perkawinan, Misalnya, di Yogyakarta tepatnya daerah Kulon Progo, penelitian Depag menyatakan bahwa wanita yang hamil di luar nikah mencapai 18,2 %, kemudian di Jawa Barat 6,9%, Bali 5,1% dan data laporan statistik BKKBN sampai tahun 2007/2008 mencapai 37 %.4 Hal itu semua terjadi karena pergaulan yang terlalu bebas antara seorang wanita dengan seorang pria, dari pergaulan bebas itu akhirnya terjadi kehamilan yang terlebih dahulu tanpa didahului dengan perkawinan yang sah. Akibat dari sebuah kehamilan di luar perkawinan itu akan berdampak buruk terhadap anak yang dilahirkannya itu. Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Kelahiran seorang anak tidak hanya dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan tetapi juga masyarakat dan negara, dimana suatu kelahiran harus dilaporkan yang nantinya akan dibuat suatu akte kelahiran untuk membuktikan bahwa anak tersebut lahir sebagai anak yang sah, dan dalam pembuatan akte tersebut harus disertakan surat nikah kedua orang tuanya. Sehingga jika kedua orang tuanya itu tidak mempunyai surat nikah, karena perkawinan mereka tidak tercatat dalam kantor urusan
3 4
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI, 2000, hal 106 http : // Pustaka Mawar, word press.com. 2007/12/19. Hamil di Luar Kawin
3
Agama. Maka anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat tersebut merupakan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Lahirnya anak mengakibatkan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Semakin dewasa anak akan terasa hubungan tersebut. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti tentang status anak, wali nikah dan hak waris yang menyangkut diri anak. Indonesia sebagai negara hukum juga mengatur masalah perkawinan dan kedudukan anak yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan di samping harus didasari oleh rasa cinta juga harus didasari bukti yang nyata.5 Sedangkan kedudukan seorang anak diatur dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya dan keluarga ibunya.6 Lebih lanjut lagi dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 1 tentang perkawinan, disebutkan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang di lahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.7 Hal ini tentu saja
5
Moch. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 43 6 Soemiyati, Op.Cit., hal 150 7 Ibid. hal 150
4
akan menyulitkan posisi anak sebagai anak yang sah atau tidak sah dalam keluarga itu, walaupun asal usul seorang anak itu dapat dimintakan di pengadilan setelah melalui pemeriksaan yang teliti dan berdasarkan bukti-bukti yang sah.8Sedangkan tanpa adanya bukti yang nyata tentang perkawinan orang tuanya, maka secara otomatis tidak mendapat haknya sebagai anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang sah. Anak tersebut hanya akan bernasab pada ibunya. Menurut hukum perdata, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan dinamakan Natuurlijk Kind (anak alam). Dalam pasal 272 KUH Perdata di sebutkan bahwa kecuali anak-anak yang dibenihkan dalam zina, atau dalam sumbang, tiap-tiap anak yang diperbuahkan di luar perkawinan, dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, apabila kedua orang tua itu sebelum kawin telah mengakuinya menurut ketentuan-ketentuan undang-undang, atau apabila pengakuan itu dilakukan dalam akta perkawinan sendiri.9 Untuk itu penulis merasa perlu mengkaji persoalan ini sebagai sebuah pembahasan yang menarik. Dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan pada aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang tidak tercapai karena adanya kesalahan yang diakibatkan dari kelahiran di luar perkawinan yang dilakukan oleh orang tua anak tersebut.
8
Abdurrahman , Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992, hal 138 9 Sudharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw, Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal. 40.
5
Sebuah perkawinan mempunyai akibat hukum. Karena adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Sebuah perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka anak yang lahir di luar perkawinan itu juga akan merupakan anak yang tidak sah.10 Dengan latar belakang masalah di atas mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUH PERDATA”
B. Perumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana status atau kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata?
C. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
10
Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Azas-Azas Hokum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : PT. Bina Akasara, 1987, hal 5-6
6
1. Untuk mengetahui status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. 2. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.
D. Telaah Pustaka Dari hasil pengamatan penulis bahwa literatur yang membahas anak luar kawin, ada 1 yang berbentuk buku dan 2 yang berbentuk skripsi (karya tulis ilmiah). Dalam bentuk buku, ada karya J. Satrio, S.H. yang berjudul “Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-Undang”. Dalam bukunya, J. Satrio, S.H. mengemukakan bahwa status anak sah dan anak luar kawin diterangkan didalamnya baik di lihat dari segi KUH Perdata maupun UU No. 1 Tahun 1974. Pembahasan mengenai anak luar kawin secara umum adalah tidak sah dan tidak berhak mendapatkan apa-apa dari orang tua yang melahirkannya kecuali dari nasab ibunya. Secara tegas dinyatakan dalam bukunya bahwa anak luar kawin adalah tidak sah baik menurut UU No. 1 Tahun 1974 maupun KUH Perdata. Dan anak luar kawin hanya bernasab pada ibu yang telah melahirkannya. Adapun dalam berbagai karya tulis ilmiah atau skripsi, dari hasil penjelajahan penulis ada skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Anak Luar Kawin dan Hak Warisnya Menurut KUH Perdata” karya Dian Wulandari, Fakultas Hukum Unissula, 2004. Di dalamnya dijelaskan bahwa anak luar kawin menurut KUH Perdata adalah anak yang diakui dengan sah
7
adalah sebagai ahli waris yang sah. Dan berhak mewarisi dari harta yang ditinggalkan oleh bapak atau ibunya yang mengakuinya tersebut. Namun di sini hanya terpaku pada KUH Perdata saja dan di dalamnya juga tidak menyinggung tentang perlindungan hukumnya. Di samping itu ada juga judul skripsi “Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Pewarisan Menurut Hukum Perdata” karya, M. Shobirin, Fakultas Hukum Untag, 2002 Di dalam skripsi ini intinya sama dengan skripsi karya Dian Wulandari. Yaitu anak luar kawin dalam hukum perdata adalah anak yang tidak sah tetapi diakui, dan nantinya berhak mendapat warisan dari bapak atau ibunya yang mengakuinya tersebut. Akan tetapi, mereka tidak mengkaji tentang bagaimana perlindungan hukumnya terhadap anak luar kawin. Oleh karena itu, penulis akan meneliti dari wilayah perlindungan hukumnya dan mengomparasikan antara UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata.
E. Metode Penelitian Metodologi adalah cara-cara tertentu yang secara sistematis diperlukan dalam setiap bahasan ilmiah. Untuk itu agar pembahasan ini menjadi terarah, sistematis dan obyektif maka digunakan metode ilmiah11 Di dalam membahas
11
Metode ilmiah biasa dikatakan sebagai suatu pengejaran terhadap kebenaran yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interaksi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode ilmiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Baca Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia, Cet. III, 1988, hlm.42.
8
permasalahan dari skripsi ini, penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Metode penelitian a. Jenis penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) atau studi teks yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk mengetahui
secara konseptual
dan mendalam tentang suatu
permasalahan yang ada dalam masyarakat. Maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan, menelusuri buku-buku atau tulisan yang relevan dengan tema yang sedang dikaji. b. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku atau literaturliteratur lain yang ada relevansinya dengan permasalahan ini. Berdasarkan sifat permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan yang dikhususkan pada kajian undang-undang. Maka metode yang
9
dipergunakan dalam penelitian ini adalah komparatif yaitu metode berdasarkan perbandingan. c. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data skripsi ini memakai metode dokumentasi, yaitu penulis mengumpulkan data-data dokumentasi yang bersumber dari buku, makalah, artikel yang berhubungan dengan tema penulisan skripsi ini. d. Metode Analisis Data Metode analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,12 dan komparatif13 dengan analisis kualitatif,14 sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan pada teks-teks baik berupa buku maupun kitab suci untuk memberikan norma pada masalah-masalah yang dihadapi dan dilihat apakah masalah itu benar atau salah menurut norma yang ada.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas setiap permasalahan yang dikemukakan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut sebagai berikut :
12
Metode deskriptif menurut Whitney, sebagaimana dikutip Moh. Nazir adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Lihat. Moh. Nazir. Op. cit. hlm. 63 13 Metode komparatif yaitu metode berdasarkan perbandingan 14 Analisis kualitatif pada dasarnya menggunakan metode logis, analisis dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya, lihat, Tatang. M. Amirin, menyusun rencana penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1955. hlm. 91
10
Bab Pertama, pendahuluan yang memperjelas latar belakang masalah itu muncul, pokok permasalahan yang diangkat dan juga kajian yang lebih mendalam, tujuan penelitian, telah pustaka, metode penelitian yang dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi. Bab Kedua, landasan teoritis yang menggambarkan tentang tinjauan umum tentang anak luar perkawinan yang diperinci menjadi beberapa sub bab, yaitu pengertian anak luar perkawinan, faktor penyebab anak luar perkawinan, status anak luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Bab Ketiga, mengungkapkan hasil penelitian dan pembahasan tentang status anak yang lahir di luar perkawinan dan perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, UU No. 1 tahun 1974 dan KUH Perdata. Bab Keempat, menjelaskan analisis perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan. Analisis terbagi menjadi dua sub bab, yaitu analisis status anak yang lahir di luar perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata dan juga analisis perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan. Bab Kelima, penutup yang berisi kesimpulan
tentang hasil
perlindungan terhadap anak yang lahir di luar perkawinan dan saran-saran serta penutup..
BAB II TINJAUAN UMUM ANAK LUAR PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
Pengertian Anak Luar Perkawinan Anak telah menjadi perhatian hukum Islam sejak ia belum dilahirkan, bahkan sejak ia belum terbentuk. Ini dapat dilihat pada prinsip-prinsip agama tentang perkawinan dan pentingnya memelihara keturunan. Memelihara kebersihan keturunan merupakan salah satu dari lima prinsip (Al-Qwaid AlKhamsah) yang dirumuskan oleh ilimu ushul fiqh dalam tujuan syari'at atau hukum Islam, yaitu terpelihranya agama (Hifdzu Al-Din), terpeliharanya jiwa (Hifdzu Al-Nafs), terpeliharanya keturunan (Hifdzu Al-Nasl), terpeliharanya akal (Hifdzu Al-Aql), dan terpeliharanya harta (Hifdzu Al-Mal).15 Secara garis besar di dalam hukum Islam, anak digolongkan menjadi dua macam, yaitu anak Syar'iyah dan anak Ghairu Syar'iyah. Seorang ulama' mesir bernama Sayyid Abdullah Ali Husaini, mndefinisikan anak syar'i sebagai berikut : "Anak yang dikandung pada masa ikatan perkawinan yang sah atau anak yang dikandung dari perkawinan yang terdapat kesalahan didalamnya atau yang dikandung dari orang yang akad nikahnya rusak"16 Adapun anak ghairu syar'i dijelaskan sebagai berikut : "Anak yang tidak disandarkan kepada ranjang (perkawinan yang sah) dan tidak diketahui ayahnya. Anak ghairu syar'i adakalanya lahir karena ada
15
Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muwafaqat Fi Ushul Al Ahkam, Mesir : Darul Kitab, 1990. hal 22 16 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Al Muqarranatut Tasyri'iyah, Mesir : Darul Kitab, tth. hal 133
1
2
kesalahan dalam hal wath'i (persetubuhan) atau dari perkawinan yang tidak terpenuhi syarat-syaratnya".17 Secara etimologis, pengertian anak luar kawin berasal dari dua kata, yaitu anak dan luar kawin. Anak yang dalam bahasa arabnya berarti walad adalah turunan kedua manusia, manusia yang masih kecil.18 Adapun kata luar kawin, dalam pengertian umum di Indonesia adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami istri tanpa dilandasi oleh perkawinan yang sah seperti dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.19 Sedangkan secara terminologi menurut pengertian yang lazim di Indonesia bahwa anak luar kawin yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita di luar perkawinan yang dianggap sah menurut adat atau hukum yang berlaku. 20 Dalam hukum Islam untuk anak luar kawin ini disebut juga dengan anak zina, seperti diungkapkan oleh Sayyid Abdullah Ali Husaini bahwa : "Anak zina adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad nikah (perkawinan) yang sah". 21 Dari pengertian anak luar kawin di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud anak luar kawin adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad perkawinan yang sah. Perkawinan yang memenuhi unsur agama dan sesuai dengan Undangundang yang berlaku dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah. Karena 17
ibid. hal 134 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hal. 141 5 Gatot Supranoto, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, t.tp. : Djambatan, t.th., hal 36 6 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta : Balai Pustaka, 1994, hal. 72 21 Sayyid Abdullah Ali Husaini, Op.Cit., hal 135 18
3
dari sebuah perkawinan yang terjadi akan lahirlah anak sebagai generasi penerus dan keturunan yang sah bagi kedua orang tuanya. Mengenai pengertian perkawinan ini banyak pendapat ahli hukum yang berbeda satu sama lain, tetapi perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan antara satu dengan yang lain. Perbedaan pendapat itu hanya terdapat pada keinginan para fuqaha' untuk memasukkan unsur-unsur
yang
sebanyak-banyaknya
dalam
perumusan
pengertian
perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur dipihak lain. Mereka membatasi banyaknya unsur yang masuk dalam rumusan perkawinan dan akan menjelaskan unsur yang lain dalam tujuan perkawinan. a. Pengertian Perkawinan yang sah Dengan banyaknya pengertian perkawinan yang ditulis oleh para fuqaha', disini penyusun akan menulis salah satu diantara beberapa pengertian tersebut secara bahasa maupun istilah menurut Muhammad Asy Syarbaini Al Hatib. 1) Menurut arti bahasa, Perkawinan adalah : "Berkumpul atau bercampur, sebagai contoh pohon-pohon itu telah berkumpul apabila saling condong dan saling bercampur satu dengan yang lain".22 2) Menurut istilah, Perkawinan adalah
22
Syeh Khotib As Syirbaini, Mughni Al Muhtaj, Lebanon: Darul Fikri, Bairut.
4
"Suatu akad yang menjamin bolehnya bersebadan atau bercampur dengan menggunakan lafadz nikah atau tazwij atau terjemahannya".23 b. Syarat dan Rukun Perkawinan Syarat-syarat Perkawinan antara lain. 1) Tidak ada unsur paksaan, berarti calon suami dan calon istri menikah atas kesepakatan bersama. 2) Pihak-pihaknya sudah baligh. 3) Tidak ada rintangan yang menghalangi. Sedangkan rukun nikah itu ada lima, yaitu : sighat (ijab qabul), calon istri, calon suami, dua orang saksi dan wali.24 1) Syarat calon suami a) Beragama Islam b) Laki-laki. c) Jelas orangnya. d) Dapat memberikan persetujuan. e) Tidak terdapat halangan perkawinan. 2) Syarat calon istri a) Beragama, meskipun yahudi atau nasrani. b) perempuan c) jelas orangnya. d) Dapat dimintai persetujuannya. 23 24
Ibid. Ahmad rofiq, hokum islam di Indonesia, (Jakarta : rajawali pers, 1998), h. 71.
5
e) Tidak terdapat halangan perkawinan. 3) Syarat wali a) Laki-laki b) dewasa c) mempunyai hak perwalian d) tidak terdapat halangan perwaliannya. 4) Saksi nikah a) minimal dua orang saksi b) hadir dalam ijab qabul c) dapat mengerti maksud akad d) islam e) dewasa 5) ijab qabul, syarat-syaratnya. a) adanya pernyataan mengawinkan dari wali b) adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai c) memakai kata-kata tazwij atau nikah atau terjemahan dari kedua kata terseut. d) Antara ijab dan qabul bersambungan. e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f) Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umroh. c. Tujuan dan Manfaat Perkawinan
6
Tujuan Perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat manusia berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syara'.25 Dari rumusan di atas seorang filosof Islam, Imam al-Ghazali membagi tujuan dan manfaat perkawinan. Tujuan perkawinan :26 1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta perkembangan suku bangsa manusia. 2) Memenuhi tuntutan naluri manusia. 3) Menjaga manusia dari kerusakan. Sedangkan Manfaat dari Perkawinan adalah : 1) Membentuk rumah tangga berdasarkan kasih sayang. 2) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki. d. Pelaksanaan Perkawinan dalam Islam Dalam Islam, akad perkawinan merupakan akad Madani (bersifat kenegaraan atau keduniaan), artinya jika dilihat dari bentuk akadnya. Akad perkawinan itu sifatnya duniawi, yaitu merupakan hubungan muamalah manusia dalam hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar perkawinan itu diadakan pemberitahuan, boleh dengan apa saja
25
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet IV. Yogyakarta: Liberty, 1999. hal 12. 26 Imam Al Ghozali, Ihya' 'Ulumuddin, Darul Fikri, Bairut, Libanon, Jilid 3, 1988.
7
seperti menabuh gendang dan juga dengan mengundang kerabat. Anjuran mengenai hal ini tersebut dalam sebuah hadits yang berbunyi :
? @ = *( - 8 => <1# :(; : 9, -1 8 7 56 (0 H() EFG :( D1C = :(; A-B06 Artinya : "Dari Anas r.a berkata, "Tidakkah Rasulullah saw menyelenggarakan walimah atas sesuatu dari istrinya seperti beliau menyelenggarakan walimah atas diri Zaenab, beliau menyelenggarakan walimah dengan (menyembelih) seekor kambing" (HR. Muslim) 27 Juga dalam hadits yang lain :
K : 9, *( - 8 => 8 9* J I1 8 7 !I G (0 H() NO # I ## M )L; 7 Artinya : "Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw telah bersabda Jika salah seorang diantaramu diundang untuk mendatangi walimah, hendaklah ia datangi".(HR. Muslim) 28
Maka dapat diambil pengertian. bahwa walimatul 'ursy itu sunnah hukumnya dan mendatanginya wajib hukumnya. Dengan demikian jelaslah bahwa akad perkawinan merupakan tali hubungan kekeluargaan yang seyogyanya menjadi perhatian seperlunya oleh agama. Untuk itu menjaga kesucian perkawinan itu, maka wajarlah jika
disyari'atkan
adanya
pemberitahuan
ketika
berlangsungnya
pernikahan. Selain itu akan berakibat pula terhadap anak yang dilahirkannya,
27 28
karena
anak
tersebut
akan
mendapatkan
status
Imam Muslim, Shohih Muslim Juz II, Darul Kutubul Ilmiah, Bairut, Libanon, 1984, hal. 1049 Ibid, hal. 1052
8
keabsahannya sebagai seorang anak apabila kedua orang tuanya nyatanyata telah terjadi sebuah perkawinan.
II.
Faktor Penyebab Anak Luar Kawin Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan serta dijadikan-Nya manusia dari berbagai suku dan golongan. Hal itu menunjukkan bahwa manusia itu terbentuk menjadi bermacam-macam golongan yang berarti bermacam-macam pula buah pikiran dan masalah yang dihadapinya. Perkawinan adalah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia baik perkawinan dalam arti hakiki maupun majazi, karena itulah hajat kehidupannya, baik secara biologis maupun karena ingin niendapatkan keturunan. Adakalanya perkawinan yang sah (yang diharapkan oleh negara dan agama) terkadang disepelekan oleh manusia itu sendiri. Yang dari perkawinan itu tentu akan lahir seorang anak yang akan mempunyai akibat hukum bagi kedua orangtuanya dan terhadap masyarakat. Pembedaan anak dalam dua kelompok -anak sah dan anak tidak sahmembawa konsekuensi yang besar di dalam hukum. Nanti akan terlihat adanya pembedaan dalam hak-hak (dan juga kewajiban) yang berlaku bagi mereka. Kesemuanya itu didasarkan atas pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip perkawinan monogami yang dianut dalam KUH Perdata dan tujuan untuk melindungi lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, dengan harapan bahwa memberikan sanksi pembedaan kedudukan hukum anak luar kawin
9
dengan anak sah yang sangat mencolok, akan mengurangi munculnya anak luar kawin.29
Dalam perkembangannya kemudin terpikir, apakah dengan itu bisa tercapai maksud undang-undang untuk menghindarkan hubungan antara lakilaki dan perempuan di luar (lembaga) perkawinan. Bukankah cara yang terbaik adalah mencegah terjadinya kelahiran anak-anak yang tidak sah. Apalagi dimasa sekarang, orang dengan mudah dapat membeli alat kontrasepsi disemua tempat, walaupun harus diakui bahwa untuk penganut agama tertentu, alat-alat seperti itu tidak dibenarkan. Adapun sebab-sebab adanya anak luar kawin yang banyak terjadi di Indonesia, hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain 1. Informasi dan hiburan yang bebas dan terbuka di kalangan masyarakat luas, terutama kaum remaja yang seharusnya membentengi diri dengan iman agar terhindar dari pergaulan bebas yang pada akhirnya akan mengakibatkan hilangnya masa depan remaja tersebut. 2. Walaupun sudah ada Undang-undang Perkawinan, tetapi masih ada penyelewengan oleh para suami yang selalu mengelak dari peraturan yang ada dalam undang-undang tersebut. Dan pada umumnya penyelewengan yang dilakukan bapak-bapak justru dengan para karyawati di kantornya. Hal ini menunjukkan bukti dari 4.500 kasus yang ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum untuk wanita dan keluarga, 50 % adalah
29
J Satrio, op. cit.,hal 6.
10
pengaduan tentang pertanggungjawaban untuk para suami demi keabsahan anak yang dikandung oleh wanita tersebut.30
3. Mencari kepuasan juga merupakan faktor yang mendorong terjadinya hubungan luar nikah yang akhirnya akan mengakibatkan lahirya anak. Dalam faktor ini pada umumnya berlatar belakang dari kehidupan rumahtangga bermasalah, terutama ada hambatan dalam melakukan hubungan suami istri.31 4. Karena faktor biologis. Laki-laki pada dasarnya adalah berpoligami.32 Seperti dijelaskan di atas, bahwa asas hukum perkawinan di Indonesia adalah monogami, maka orang yang akan melakukan poligami, baik itu Pegawai Negeri Sipil atau bukan semuanya dipersulit. Sementara kebutuhan untuk berpoligami makin mendesak, maka terjadilah poligami yang mengakibatkan lahirnya anak di luar perkawinan. 5. Hasil penelitian Kelompok Dasakung Yogyakarta, 29 pasangan pelajar, mahasiswa dan karyawan hidup bersama tanpa nikah dan diantaranya bahkan telah melahirkan anak dan diasuh dengan baik.33
III.
Status Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak) adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu anak dan laki-
30
M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hal 72. 31 Gatot Supramono,op.cit., hal 75. 32 Humaidi Tata Pangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam , Surabaya : Usaha Nasional, t,th., hal 9. 33 M. Idris Ramulyo, op.cit., hal 74.
11
laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan perkawiinan yang sah.34 Selain itu di dalam hukum Islam ada kemungkinan besar seorang yang lahir dikatakan anak ibu, yaitu apabila anak tadi dilahirkan sebelum masa enam bulan sejak akad nikah dilangsungkan, sedang si suami tersebut. tidak mau mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah hasil persetubuhannya terhadap istrinya yang dituduh itu sebelum nikah.35 Secara yuridis formal bahwa anak sah adalah anak yang lahir karena hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah dan nasab tersebut kembali kepada orang tuanya. Kemudian kedua orang tuanya itu lazimnya yang lakilaki disebut seorang ayah dan orang tua perempuan disebut dengan seorang ibu. Demikian menurut syari’at Islam bahwa setiap anak yang sah mempunyai hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya atau disebut double unilateral / bilateral.36 Dalam sebuah hadits disebutkan :
(0 H() - 6 0WI S ( - 6 ! V U 1S ( - 6 KU S HS G E ! T # = )S # S KR # QP Artinya : “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fttrah (suci), sesungguhnya kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR.Muslim) 37 Berdasarkan hadits di atas, maka pada dasarnya Islam memandang semua anak yang lahir kedunia dalam keadaan suci bersih. Demikian pula anak 34
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI Press, 2000, hal, 106. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, UU perkawinan dan Hukum Perdata / BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, t.th., hal 21. 36 Asyhari Abdul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah hamil, Jakarta : Grafindo Utama, 1987, hal 81 37 Imam Ahmad Ibn Hanbal, Terjemah Musnad Ibn Hamhal, Bandung : Grafika, 1992. 35
12
yang lahir di luar perkawinan adalah sama sucinya dengan anak yang lahir di dalam atau akibat perkawinan (anak sah). Sesuai dengan Finnan Allah SWT, QS. Faathir ayat 18 yang berbunyi
# ( /_ 7 @ -S 1 Q I ^ S + I L = #[ Y ] S \ S ) " J [( Z! ; C ( EY C ( S X " +( =% X " ( E aV# S ,; ( D ` # G S G J F ' $#% S $ 1"S I6[ =G! , J (ef :!d ) cS V I # - %# = #[( - 0 1# =% X I6b Artinya : “Dan orang yang berdosa tidak akan rnemikul dosa orang lain. Dan seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)”. (QS. Fatir : 18)38 Adapun mengenai status anak yang lahir di luar perkawinan para Ulama’ telah sepakat bahwa anak tersebut tetap mempunyai hubungan keturunan dengan ibunya (matrilinieal).39 Dalam hal ini jumhur ulama sepakat bahwa anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah tidak dipertalikan kepada ayahnya.40 Ketentuan yang demikian adalah sejalan dengan apa yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 43 ayat (1) dan dalam KHI Pasal 100. Menurut pendapat Imam Syafi'i jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan 38
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta Departemen Agama RI, 1992, hal 698. 39 Asyhari Abdul Ghafar, Op.Cit., hal 81. 40 Imam Ahmad Bin Hambal, Op. Cit
13
anak sesudah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak yang dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikan nasab atau garis keturunannya kepada laki-laki yang menyebabkan mengandung. Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari akad nikah.41 Pendapat tersebut nampak berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah yaitu bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap dalam ranjang suaminya, sehingga anak yang dilahirkan itu dapat dipertalikan nasab kepada ayahnya sebagai seorang anak yang sah. Beda pendapat ini dikarenakan beda tinjauan yaitu bagi Abu Hanifah meninjau masalah tersebut dari segi yuridis formal, bukan dari segi adanya, hubungan seksual antara kedua suami istri sebagaimanaa yang dijadikan dasar pemikiran Imam Syafi'i tersebut di atas.42 Aturan sebagaimana yang dikenal dalam hukum Islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari enam bulan setelah menikah, sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah.43 Karena menurut hukum Islam anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu ada hubungan hukum dan sama seperti dengan anak sah yang mempunyai bapak.44 Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungannya berasal dari suami ibu atau bukan, ditentukan melalui masa kehamilannya, 41
Fatchur rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-.Ma'arif, 1992, hal 221. Ibid., hal 313. 43 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal 39. 44 Ibid. hal 39-40. 42
14
masa yang terpendek adalah enam bulan.45 Dan masa yang terpanjang ghalibnya adalah satu tahun. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahqaaf : 15 :
(ek : jL+) i! @ J ] h , -S V ( , -S I L ( Artinya : “……mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh Bulan….” 46
Dan dalam Qs. Luqman ayat 14, yang berbunyi
(en :JI# ) 7 -S #V ( R m ( = 1m( -S l ; -S I L Artinya : "....ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.47
Ayat pertama menerangkan bahwa masa mengandung sampai menyapih adalah tiga puluh bulan, sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusui secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Sehingga tiga puluh bulan dikurangi dua puluh empat bulan tinggal enam bulan. Itulah masa mengandung yang paling sedikit.48 O1eh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan
45
Ketentuan tersebut merupakan kesepakatan para ulama yang disebut dengan masa mininal, dikutip dari Kitab Al Akhwal As- Syakhisiyah. 46 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, op. cit., hal 824. 47 Ibid., hal 654. 48 Zaid al Ibyani, Al Akhwal Al Syakhsiyah, Bairut, Baghdad : An Nahdhah, jilid 2, 1989
15
perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI).49 Hubungan nasab bagi seorang anak merupakan suatu hak yang harus terpenuhi sejak ia lahir di dunia ini, yaitu hubungan kekerabatan dengan orang tuanya. Di dalam hukum Islam hubungan kekerabatan seorang anak ditentukan dengan adanya hubungan darah dan hubungan darah ditentukan pada saat adanya kelahiran.50 Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa anak yang lahir dalam perkawinan yang sah baik secara agama maupun menurut undang-undang secara otomatis mengikuti hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya yaitu laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah dan yang perempuan dipanggil dengan sebutan ibu. Bahkan hubungan kekerabatan itu tidak hanya terbatas pada orang tuanya, tetapi juga terhadap keluarga dari ayah dan ibunya. Dengan adanya hubungan kekerabatan atau nasab anak sah maka anak yang lahir dari perkawinan yang sah akan berstatus sebagai anak sah, karena nasab anak tersebut telah nyata diketahui. Untuk anak luar kawin, adapun kenasabannya sangat erat hubungannya dengan perbuatan persetubuhan di luar perkawinan, yaitu persetubuhan yang tidak sah. Dengan demikian anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menurunkannya karena tidak ada jalan atau cara yang dapat dibenarkan syara' untuk menghubungkan anak tersebut dengan laki-laki yang
49
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hal 224. Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984, hal 22. 50
16
menurunkannya. Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa anak luar kawin tidak dapat dipertemukan (nasabnya) dengan ayahnya.
Jadi status anak yang lahir di luar perkawinan menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah yang mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya yaitu laki-laki yang menurunkannya tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya. Dengan demikian anak yang lahir di luar perkawinan adalah mempunyai status sama dengan yang lahir akibat perkawinan sah dalam berbagai aspek kehidupan. Kecuali dalam status kekerabatan, yaitu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Di dalam hukum Islam tidak ada aturan khusus yang mengatur kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidahkaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup yang mampu dan tidak ada halangannya. Menurut hukum Islam, syarat untuk menjadi wali adalah beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat berlaku adil dan terutama ditarik menurut garis lelaki (patrilineal).51 Anak luar kawin bukan merupakan ahli waris keturunan (nasabiyah). Bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan jumlahnya (fuudh Al Muqaddarah) dalam hukum Islam adalah diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan baik nasabiyah ataupun sababiyah. 51
Human Hadikusumah, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum adat, dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal 155.
17
Sedangkan anak luar kawin yang diakui dengan sah- tidak termasuk dalam ahli waris Islam. Sementara itu menurut KUH Perdata, anak luar kawin -yang diakui dengan sah- termasuk ahli waris.52
52
J. Satrio, Hukum Waris, Bandung : Alumni, 1992, hal, 151.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TH 1974 DAN KUH PERDATA A. Status Anak di Luar Perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KUH Perdata 1. Hak Nasab Status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam bidang hukum perkawinan nasional yang tercantum dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang dinyatakan di dalam Pasal 43 ayat (1), yang berbunyi : "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut
tidak
ada
hubungan
dengan
ayahnya
sebagai
yang
menurunkannya. Sedangkan dalam hukum perdata anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal adalah Natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian
1
2
kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Jadi, anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui atau dikenal dengan istilah natuurlijk kind.53 2. Hak Perwalian Perwalian berasal dari kata “wali” yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum aqil baligh dalam melakukan perbuatan hukum.54 Dalam kamus hukum perkataan "wali" dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili.55 Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bila terjadi perkawinan maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.56 Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengaku lebih dahulu itu yang menjadi wali. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembahasan tentang perwalian diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi :
54
Soedharyo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw, Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal 55. 55 Ibid 56 Ibid, hal 59.
3
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum: pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Perwalian anak luar kawin yang nasabnya mengikuti ibunya dan keluarga dari ibunya, apabila anak luar kawin itu adalah seorang perempuan maka untuk meminta hak wali dalam perkawinannya, haruslah diawali dengan pengakuan dari seorang laki-laki yang menyebabkan anak itu lahir sebagai seorang ayah yang tentu saja membutuhkan waktu dan bukti-bukti yang kuat. Pengakuan itu adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan adanya pengakuan itu seorang anak tidak akan lagi menjadi anak tidak sah. Pengakuan yang dilakukan seorang ayah harus dengan persetujuan si ibu selama si ibu masih hidup. Ini sebagai jaminan bahwa ayah itu betul ayah yang membenihkan anaknya. Jika ibu telah meninggal, maka pengakuan oleh si ayah hanya mempunyai akibat terhadap dirinya sendiri. 3. Hak Kewarisan Meskipun menurut UU No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak (keturunan) tidak dijadikan tujuan pernikahan, namun tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan yang lain hal karena ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang lahir di luar kawin itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibu dan keluarga ibunya. Namun tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayah dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibu dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayah dan keluarga ayahnya.57 Dalam KHI Pasal 100 dan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan begitu status anak luar kawin dalam Islam adalah anak tidak sah, disebabkan dia dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Kata “warisan” yang sudah populer dalam bahasa Indonesia asalnya dari bahasa arab ورثsebagai fi'il, isimnya menjadi اث dijamakkan menjadi ا ار.58 Didalam Al Qur'an lafadz “waratsa” diartikan sebagai mewarisi, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An Naml ayat 16 yang berbunyi : 57 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni, 1992, hal 100-101. 58 Muslich Maruzi, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : CV. Mujahidin, 1981, hat 1.
4
....K (S(K J I *S o ( ( Artinya : "Dan Nabi Sulaiman telah mewarisi Nabi Daud…”59 Secara terminologi (istilah) warisan adalah pindahnya hak milik orang yang rneninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak hukum syara’.60 Datam hal ini para fuqaha lebih banyak menggunakan istilah “faraidl” dari pada warisan. Faraid adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam warisan yang didahului dengan adanya suatu peristiwa meninggalnya seseorang, adanya ahli waris adanya harta warisan serta pembagiannya. Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau seorang suami atu istri, maka anak luar kawin yang diakuinya mewarisi 1/3 bagian dari yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak yang sah (terdapat dalam Pasal 863 BW Bagian Ketiga). Keturunan yang sah dan atau suami istri pewaris adalah ahli waris golongan I. Jadi di sini diatur pewarisan anak luar kawin karena bersamasama dengan golongan I.61 Dalam hal demikian anak luar kawin menerima 1/3 bagian dari hak yang sedianya mereka terima, seandainya mereka anak sah. Jadi cara menghitung hak bagian anak luar kawin adalah mengandaikan mereka anak sah terlebih dahulu baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar kawin. Anak luar kawin yang diakui dengan sah menurut KUH Perdata adalah sebagai ahli waris yang sah. Dia berhak mewarisi dari harta yang ditinggalkan. oleh bapak atau ibu yang mengakuinya tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika anak luar kawin telah diakui dengan sah, maka sebagai akibat dari pengakuan itulah dia berstatus sebagai anak dari yang mengakuinya. Mengenai kedudukan dia dalam keluarga, anak luar kawin tidak berbeda dengan anak kandungnya sendiri, sedangkan mengenai berapa besar hak waris anak luar kawin itu terhadap pewaris sangat tergantung bersama siapa anak luar kawin itu mewaris. Dengan demikian KUH Perdata tidak hanya memandang status hukum formal semata-mata terhadap anak luar kawin, lain halnya dengan UU No. 1 Tahun 1974 yang lebih selektif dalam menilai kedudukan anak. Bukan hanya status formal saja yang menjadi pertimbangan hukum, namun status nasab (keturunan) juga harus jelas. Dalam hal ini hukum
59
Yayasan Penyelenggara Penterlemah Al Qur'an, Op,.Cit., hal 595. Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Terj. HAA. Dahlan dkk, Bandung : Diponegoro, 1988, hat 40. 61 J. Satrio, Op Cit, hal 156. 60
5
Islam lebih mencakup daripada KUH Perdata yang hanya menilai perkawinan dan segala akibatnya sebagai perjanjian perdata semata. B. Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Lahir di Luar Perkawinan Menurut UU No. I Tahun 1974 dan KUH Perdata Perlindungan berasal dari kata dasar 'lindung' yang mempunyai arti menempatkan dirinya di bawah sesuatu supaya tidak terlihat.62 Kata lindung yang mendapat awalan per- dan akhiran -an menjadi suatu bentuk kata kerja, sehingga menjadi suatu perbuatan melindungi, memberi pertolongan atau penjagaan, menutup supaya tidak tampak.63 Dari dua pengertian di atas jika disatukan, maka didapatlah suatu kesimpulan bahwa perlindungan adalah suatu perbuatan untuk melindungi yang bisa juga berarti tempat berlindung orang-orang yang lemah baik mengenai dirinya maupun hartanya dan perlindungan tersebut antara lain diberikan kepada anak-anak. Sedangkan istilah hukum yang biasa kita pakai sehari-hari adalah berasal dari bahasa Arab al-hukmu. Sedangkan Prof. Van Apeldorn berpendapat bahwa, “tidak mungkin membuat suatu definisi tentang hukum”,64 yang artinya tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum
62
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, Jakarta : Balai Pustaka, 1990, hal 526. 63 Ibid. 64 Van Apeldom, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta : Pradnya Jararita, 1973, hal 13.
6
karena hukum mempunyai banyak segi dan bentuk, sehingga tidak mungkin tercakup dalam satu definisi.65 Sehingga jika seorang ahli hukum memberikan suatu definisi tentang hukum, maka akan berbeda dengan ahli hukum yang lain yang juga memberikan definisi tentang hukum. Namun demikian, penulis akan mengambil dua definisi hukum yang dikemukakan oleh dua ahli hukum, yaitu : 1. Menurut Van Kan. “Hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk melindungi kepentingan orang dan masyarakat”.66 2. Menurut Prof. Djoyodiguno. “Hukum adalah suatu karya dari seluruh rakyat. Sifat karya itu adalah pengugeran (narmiering) yang berarti pembatasan dari pada tingkah laku dan perbuatan orang dalam perhubungan pamrihnya”.67 Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan bahwa hukum diciptakan untuk melindungi orang dan masyarakat demi terciptanya ketertiban umum. Sedangkan arti anak menurut Fuad Moch Fahrudin adalah keturunan kedua sebagai hasil hubungan antara pria dan wanita. Adapun ada istilah anak Adam itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia, karena Adamlah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah.68 65
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1980, hal 34 66 J Van Kan, Pengantar llmu Hukum; Cet VIII, Up, PT. Pembangunan dan Ghalia Indonesia, 1979, hal 13. 67 MM. Djoyodiguno, Reorientasi Hukum Jawa dan Hukum Adat, Yogyakarta Penerbit Universitas, 1981, hal 14. 68 Fuad Moch Fahruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Pedoman Jaya, 985, hal 38.
7
Dalam bahasa Arab terdapat dua macam kata yang berarti anak, yaitu :69 a. Walad : mempunyai arti anak secara umum, baik anak yang dilahirkan oleh manusia, maupun anak binatang yang dilahirkan oleh induknya b. Ibnun : mempunyai arti anak. Penggunaan kedua kata tersebut adalah berbeda. Kalau walad dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia maupun anak binatang, sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk anak manusia, seperti anak kandung, anak angkat dan anak tiri. Pengertian “anak” menunjukkan adanya bapak dan ibu, maka dari itu anak dalam arti bahwa selaku hasil perbuatan persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka lahirlah dari tubuh wanita tersebut seorang manusia yang nantinya akan mengatakan seorang laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya. Sedang ia adalah anak dari kedua orang tua itu.70 Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang lahir akibat dari persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sehingga pengertian daripada anak yang lahir di luar kawin adalah seseorang yang lahir dari akibat persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam suatu perkawinan.
69
Ibid., hal. 40 R. Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1974, hal. 72. 70
8
Untuk itu akan dibahas mengenai macam-macam anak menurut golongan umumnya. Karena usia anak akan berpengaruh terhadap bentuk perlindungan yang diberikan. Adapun anak menurut pembagian umurnya ada dua macam, yaitu a. Anak yang belum dewasa. b. Anak yang dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai anak yang belum dewasa diatur dalam Bab X Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) yang menerangkan sebagai berikut:71 a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum dl dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 50 ayat (1) undang-undang tersebut juga mengatakan bahwa. “Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali”. Dari bunyi pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dengan adanya batas umur anak yang belum dewasa tersebut, maka jelaslah bagi kita akan mengadakan hubungan hukum, karena kecakapan telah dinyatakan secara jelas. Sehingga menjamin adanya kepastian hukum. Artinya bila seorang anak sudah mencapai umur 18 tahun atau sudah pernah kawin tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum baik ke dalam maupun di luar Pengadilan. Berarti ia telah memiliki kecakapan atau kemampuan melakukan suatu perbuatan hukum kecuali jika ia melangsungkan perkawinan. Hal itu memerlukan ijin orang tua selama anak tersebut belum mencapai umur 21 tahun, dan ketentuan tentang hal tersebut diatur dalam 71
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinann, cet IV, Yogyakarta : Liberty, 1999, hal 151.
9
Pasal 6 ayat (2) UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi, "untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua". Di atas telah diuraikan mengenai batas umur anak yang belum dewasa yaitu umur 18 tahun atau yang belum pernah kawin. Sehingga dengan demikian kalau bicara mengenai anak dewasa atau sudah dewasa tentunya yang sudah berumur 18 tahun atau sudah pernah kawin. Sedang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 330 Bab XV, yang berbunyi "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa ". Yang dimaksud “belum dewasa" adalah orang tersebut tidak cakap bertindak. Hal itu diatur dalam berbagai pasal dalam KUH Perdata, seperti: a) Pasal 383, mengatur bahwa wali harus mewakili ia belum dewasa dalam segala tindak perdata. b) Pasal 1330 sub 1, menyatakan seseorang yang belum dewasa tidak cakap untuk membuat perjanjian. Lepas dari pembahasan di atas, maka anak dikatakan sudah dewasa apabila sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah kawin dan mereka dinyatakan telah mempunyai kecakapan penuh dalam bertindak. Di atas telah dijelaskan mengenai penggolongan anak menurut umurnya baik dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun menurut KUH Perdata sebagai perbandingan. Dari pengertian kata-kata perlindungan, hukum dan anak menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum anak adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada anak sejak lahir hingga dewasa dalam bantuan hukum agar hak-hak. tersebut dapat terpenuhi. 1. Tujuan Perlindungan Hukum Anak Dalam menciptakan kesejahteraan anak di Indonesia, maka dalam era pembangunan hukum nasional perlu beberapa aturan hukum
10
yang mengatur anak, mendapat perhatian khusus dan perlu pula diselesaikan dengan kebutuhan anak-anak sesuai dengan zamannya. Undang-undang
No.
1
tahun
1974
juga
memberikan
perlindungan hukum untuk anak luar kawin. Anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian, sehingga dengan adanya perwalian untuk anak luar kawin tersebut maka hak-hak anak tersebut dapat terlindungi. Lain daripada itu, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 55 menyatakan bahwa asal usul seorang anak dapat dinyatakan pembuktian dengan cara a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang outentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. b. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. c. Atas dasar ketentuan. Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan Pembuktian seperti yang tersebut di atas sejalan dengan apa yang tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 103. Ketentuan hukum perlunya akta kelahiran sebagai bukti outentik asal usul anak, meski sesungguhnya telah diupayakan sejak lama, secara metodologis merupakan inovasi hukum positif terhadap ketentuan hukum dalam hukum Islam. Jika dalam hukum Islam asal usul anak diketahui dengan adanya ikatan perkawinan yang sah, dipertegas dengan batasan
11
minimal atau maksimal yang lazim usia janin dalam kandungan, maka pembuktian kendati ini bersifat administratif asal-usul anak dengan akte Kelahiran.72 Penentuan perlunya akte kelahiran tersebut, didasarkan atas prinsip maslahah mursalah yaitu merealisasikan kemaslahatan bagi anak. Selain anak akan mengetahui secara persis siapa kedua orang tuanya, juga apabila suatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akte kelahiran anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Jadi secara internal, akte kelahiran merupakan identitas dan asal usul anak, secara eksternal ia merupakan identitas dari diri yang bersangkutan.73 Dalam Undang-Undang No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dalam Bab X tentang Hak dan Kewajiban antara orang tua dan Anak, yang tertuang dalam Pasal 45 disebutkan :74 a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dari ketentuan Undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa memelihara dan mendidik anak menjadi kewajiban bersama
72
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995,
73
Ibid. Ahmad Rafiq, Op.Cit., hal. 112
hal. 233 74
12
antara ibu dan bapak, berlaku sampai anak telah kawin atau dapat berdiri sendiri meskipun akhirnya bapak ibu bersangkutan mengalami perceraian. Undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini dapat dikembalikan kepada ketentuan Undang-undang Pasal 31 ayat (3), yang mengatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Dalam Pasal 34 ayat (1), juga disebutkan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, Undang-undang menentukan juga bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami (bapak anak). Dan sini dapat dilihat adanya persesuaian antara ketentuan Undang-undang dan ketentuan hukum Islam dalam hal nafkah.75 Sedangkan untuk anak luar kawin seperti yang telah penulis jelaskan di atas, sejak lahir telah memakai nama keluarga ibunya dan tentu saja dalam pemeliharaan keluarga ibunya. Untuk itulah hak anak dalam hal nafkah yang seharusnya menjadi kewajiban bapaknya harus mendapat perlindungan agar anak luar kawin dapat menikmati hakhaknya yang terabaikan.
75
Ibid
13
Dalam KUH Perdata Pasal 328 disebutkan bahwa “anak-anak luar kawin yang diakui menurut perundangan wajib memberi nafkah kepada orang tua mereka, dan kewajiban itu berlaku timbal balik”.76 Dalam hal ini cukup jelas untuk diperhatikan bahwa anak luar kawin berhak memperoleh nafkah dan orang tuanya, hal yang demikian dilindungi oleh Undang-undang. 2. Ruang Lingkup Perlindungan Hukum Anak Untuk selanjutnya akan dibahas mengenai ruang lingkup perlindungan yang diberikan kepada anak secara umum. Ruang lingkup dalam pembahasan penulis adalah bentuk-bentuk dan perlindungan yang diberikan kepada anak yang digolongkan menjadi dua, yaitu : a) Perlindungan yang bersifat intern, adalah perlindungan yang diberikan oleh orang tuanya. Perlindungan yang bersifat intern ini diberikan kepada anak baik ketika anak belum dewasa maupun sudah dewasa. Anak merupakan amanat Allah SWT bagi kedua orang tuanya, maka dari itu telah menjadi kewajiban bagi kedua orang tuanya untuk melindungi, menjaga, memelihara perkembangan jiwanya baik jasmani maupun rohani demi kebahagiaan anak di masa mendatang.
76
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990, hal l4l .
14
Untuk itulah Islam mewajibkan bagi kedua orang tua untuk menyelenggarakan serta bertanggung jawab tentang pemeliharaan anak baik terhadap harta anak maupun diri anak secara pribadi. Adapun perlindungan terhadap diri anak itu ada yang bersifat materiil maupun non materiil. Perlindungan yang bersifat materiil ialah berupa : -
Pemberian nafkah anak
-
Penyusuan anak
-
Pengasuhan anak Adapun perlindungan yang bersifat non materiil adalah :
-
Curahan kasih sayang
-
Penjagaan, perawatan dan lain-lain.
A. Ada lagi bentuk perlindungan yang menjadi hak anak, yaitu: -
Hak nasab
-
Hak Perwalian
-
Hak Waris
Bentuk perlindungan yang menyangkut harta anak, yaitu -
Membelanjakan
harta
anak
sebelum
ia
mampu
membelanjakannya. -
Menjaga harta benda si anak agar jangan sampai terbuang siasia.
Perlindungan di atas diberikan kepada anak yang belum dewasa, kecuali mengenai hak nasab dan hak perwalian khususnya wali dalam pernikahan itu berlaku meskipun anak telah dewasa.
15
Dalam UU No. 1 tahun 1974 juga diatur tentang perlindungan yang bersifat intern, yaitu terdapat dalam Pasal 45 ayat (1), yang berbunyi “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. b) Perlindungan yang bersifat ekstern, yaitu perlindungan yang berasal selain dari orang tua, seperti perlindungan dari masyarakat maupun negara. Seorang anak yang belum dewasa selain berhak mendapat perlindungan dari orang tuanya juga perlindungan yang berasal dari masyarakat maupun negara. Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 2 UU RI No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang berbunyi :77 1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarga maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. 2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuannya dan kehidupan sosialnya sesuai dengan negara yang baik dan berguna. 3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. 4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Sedang yang mengusahakan perlindungan anak tersebut adalah pemerintah dan atau masyarakat, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak yang berbunyi, “Usaha
kesejahteraan
anak
dilakukan
oleh
pemerintah
masyarakat”.78
77 78
Lembaran Negara Republik Indonesia, : tahun 1979 No. 32. Ibid.
dan
atau
16
Adapun perlindungan terhadap anak setelah dewasa dilakukan oleh masyarakat dan negara termasuk di sini orang-orang atau keluarga orang tua anak tersebut. Selain itu anak juga berhak mendapat perlindungan seperti dalam hak waris dari keluarga dan dari orang tuanya mendapat hak nasab. Sedangkan yang berhubungan dengan negara yaitu kebebasan seorang anak dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak luar kawin, dapat dilakukan sebuah pengakuan terhadap anak tersebut yang dilakukan oleh ayah dan ibunya. Pengakuan anak secara sukarela dalam doktrin dirumuskan sebagai suatu pernyataan yang mengandung pengakuan, bahwa yang bersangkutan adalah ayah atau ibu dari anak luar kawin yang diakui olehnya”.79 Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat hukum daripada suatu pengakuan adalah munculnya hubungan hukum yang terbatas yaitu hanya antara yang mengakui dengan yang diakui saja, tidak dengan keluarga anak luar kawin yang diakui maupun keluarga pihak yang mengakuinya.80 Pasal 281 KUH Perdata memberikan pengaturan mengenai bagaimana pengakuan secara sukarela itu diberikan dengan mengatakan : "pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila yang demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiaptiap akta outentik ".
79 J. Satrio, Hukum Kehiarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal 109. 80 Ibid, hal 110
17
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengakuan tersebut bersifat deklaratoir, yang artinya bahwa sekali pengakuan itu telah diberikan maka pengakuan itu tidak bisa ditarik kembali. Dengan itu bukti keturunan sudah diberikan dan karenanya tidak bisa lagi dihapuskan seenaknya.81 Undang-undang No. l Tahun 1974 yang dikenal dengan sebutan Undang-undang
Perkawinan
juga
memberikan
pengaturan
mengenai
hubungan anak luar kawin dengan ibunya. Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, disebutkan bahwa : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin adalah yang bukan anak sah, dan antara anak tidak sah dengan ibunya -dan bahkan dengan keluarga ibunya demi hukum ada hubungan hukum (perdata).82 Tetapi sejauh ini perbedaan antara hubungan anak tidak sah dengan ibunya dengan hubungan anak tidak sah dengan orang tuanya masih tetap sama, yaitu ,hubungan antara anak yang lahir di luar perkawinan dengan ibunya masih terbatas, antara anak itu dengan ibunya, sedang pada anak sah hubungannya adalah dengan seluruh keluarga orang tuanya. Mengenai hubungan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ibunya, ternyata Undang-Undang perkawinan lebih luas, karena meliputi juga hubungan dengan “keluarga” ibunya.
81 82
Ibid, hal 112. Ibid., hal. 150
18
Kiranya tidak bisa diingkari bahwa prinsip yang diletakkan dalam Pasal 43 Undang-undang Perkawinan tersebut diatas adalah prinsip yang logis, patut dan sesuai dengan kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pembedaan yang tajam antara anak sah dan anak tidak sah dengan konsekuensinya yang sangat kejam bagi anak tidak sah, hanyalah pembedaan dalam hukum saja, dalam kehidupan nyata pembedaan setajam itu tidak nampak.83 Menurut KUH Perdata suatu ketentuan yang bersifat melindungi kepentingan si anak diberikan juga dalam Pasal 281 ayat (4) KUH Perdata yang menetapkan bahwa kelalaian dari orang yang mengakui, untuk mencatatkan pengakuannya di Kantor Catatan sipil di mana anak dicatat kelahirannya, tidak boleh dipersalahkan kepada anak yang bersangkutan. Hal itu berarti bahwa kelalaian itu tidak mengurangi kedudukan anak yang bersangkutan sebagai anak luar kawin yang diakui.84 Di dalam praktek hukum yang berlaku di Indonesia sekarang, dan juga di dalam doktrin, anak yang dilahirkan di luar perkawinan -yang bukan anak zina maupun anak sumbang- masih tetap disebut sebagai anak luar kawin dari ibunya. Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bilamana ada perkawinan. Maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya. Pasal 353 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan: 83 84
J. Satrio, op.cit, hal. 153. Ahmad Rofiq, op.cit.,hal. 233
19
"Seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian bapaknya yang telah dewasa atau ibunya yang telah dewasa pula dan yang masing-masing telah mengakuinya, kecuali sekiranya si bapak atau si ibu telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau, sekiranya perwalian itu sudah ditugaskan kepada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa atau, wali ini telah mendapat tugas itu sebelum anak diakui ". Anak luar kawin diakui, jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu itu menjadi walinya. Sehingga demikian hak-hak anak luar kawin tetap dapat dilindungi, baik perlindungan itu dari kedua orang tuanya, masyarakat maupun negara agar masa depan anak luar kawin tidak tertutup dan anak luar kawin dapat lebih diterima di masyarakat.
BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUHP PERDATA (STUDI PERBANDINGAN)
A. Analisis Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya ibunya, tetapi tidak boleh menyebut tentang tidak boleh menyelidiki siapa bapak si anak? Dan nampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan, akan tetapi dalam pasal 287 KUH Perdata menyatakan bahwa adanya pelarangan menyelidiki siapa bapak si anak, Tetapi penyelidikan sekedar untuk meletakkan tanggung jawab finansial tidak dilarang. Sedangkan menyelidiki siapa ibu si anak di perbolehkan.85 Menurut Pasal 250 KUH Perdata, yang berbunyi "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya” Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukuan
85
Prof. H. Hilman, SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung. Mandar Maju, 1990, Hal. 134
48
49
pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau apabila pengakuan itu terjadi dalam perkawinannya sendiri (Pasal 272 KUH Perdata).86 Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tertuang dalam Pasal 42, dikatakan : "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1)). Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alam).87 Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya. Setiap orang-paling tidak sekarang- yang mendengar prinsip, bahwa anak luar kawin baru mampunyai hubungan hukum dengan ibunya, apabila si ibu mengakui anak tersebut, pasti merasakan ada sesuatu yang janggal. Karena seorang ibu harus mengakui anaknya terlebih dahulu baru ada pengakuan hukum. Dalam Pasal 5a KUH Perdata, disebutkan : "Bahwa anak tidak sah, yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya".88
86
Hilman Hadikusuma, op.cit., hal 133. Soedharyo Soimin, op.cit., hal 40. 88 S J. Satrio, op. cit. hal 108. 87
50
Karena ketentuan tersebut bersifat umum -tidak terbatas pada anak yang diakui oleh ibunya- maka kesimpulannya adalah bahwaa anak yang tidak sah, baik yang diakui oleh ibunya maupun yang tidak, demi hukum memakai nama keluarga ibunya. Hal itu berarti, bahwa bisa timbul suatu hubungan hukum antara seorang ibu dengan anaknya, tanpa melalui suatu Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak waris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak
ada
hubungan
hukum
dengan
ayahnya,
sebagai
anak
yang
menurunkannya.89 Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui (natuurlijk kind).90 Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian, karena perwalian hanya ada bila terjadi perkawinan, maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya.91 Anak luar kawin diakui jika pengakuan itu dilakukan oleh bapak maupun ibunya, sehingga orang tua yang mengakui lebih dahulu, nitu yang menjadi walinya. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. Tahun 1974 ayat (1) dan (2). Sedangkan menurut KUH Perdata (BW) selama perkawinan bapak dan ibu, setiap anak sampai mereka dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan
89
Soedharyo Soimin, op.cit., hal 41. Ibid, hal 40. 91 Soedaryo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/ BW Hukum Islam, dan Hukum Adat, Jakarta : sinar grafika, 2004, hal. 55 90
51
mereka, sejauh mereka tidak dibebaskan atau di pecat dari kekuasaan itu. Sebagaimana diatur dalam pasal 299 KUH Perdata. Dalam setiap perwalian, kecuali yang ditentukan dalam pasal 351 dan 361 KUH Perdata hanya ada satu orang wali. Sebagaimana di atur dalam pasal 331 KUH Perdata. Jika salah satu dari kedua orang tua wafat, maka perwalian terhadap anak belum dewasa yang sudah kawin, demi hukum di pengku orang tua yang hidup terlama, kecuali ia dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua (pasal 354). Masing-masing orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau wali bagi seorang anak atau lebih, berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika perwalian itu setelah ia wafat, maka tidak harus di lakukan oleh orang tua yang lain (pasal 355). Masalah warispun bagi anak luar kawin juga diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Karena biar bagaimanapun anak luar kawin juga mendapatkan hak-haknya demi untuk kelangsungan hidupnya nanti. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak luar kawin hanya mewarisi harta benda dari yang ditinggalkan ibunya atau keluarga ibunya. Sedangkan dalam KUH Perdata berbeda pandangan. Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mendapatkan 1/3 bagian dari mereka yang sedianya harus mendapat, s\ndainya mereka adalah anak sah. Yang demikian itu termasuk ahli waris golongan I.
52
Jadi cara menghitung bagian anak luar kawin adalah dengan memperhatikan dahulu siapa kawan pewarisnya. Sesudah itu anak luar kawin tersebut kita andaikan sebagai anak sah, kemudian di hitung hak bagiannya sebagai anak luar kawin yaitu 1/3 hak yang sedianya di terima, seandainya anak luar kawin itu anak sah.92 Jika pewaris tidak meninggalkan keturunan, suami istri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun saudara laki-laki maupun perempuan atau keturunan saudara, maka mereka menerima ½ dari warisan. Kata “mereka” mewarisi ½ dari warisan, menunjukkan bahwa anak luar kawin bersama-sama, kalau lebih dari satu orang mewarisi ½ warisan dari sisanya di waris oleh ahli waris lain.93 Hal tentang tersebut termasuk ahli waris golongan II. Anak luar kawin mewarisi bersama golongan III, yaitu jika pewaris meninggalkan tiga anak luar kawin dan kakek-nenek maka bagian anak luar kawin tersebut ½ bagian, masing-masing dari anak luar kawin tersebut 1/6 bagian, sedangkan sisanya dibagi menjadi 2. Yaitu ¼ bagian untuk keluarga dari pihak ayah, dan ¼ bagian yang lain untuk keluarga dari pihak ibu. Kemudian untuk golongan ke IV anak luar kawin mendapatkan ¾ bagian dari pewaris. Dengan demikian anak luar kawin mendapatkan hak-haknya untuk kelangsungan hidupnya. 92 Surini Ahlan Syaraf dan Dr. Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Pewarisan Menurut Undang-Undang, Jakarta, Prenada Media, 2005, hal. 88 93 Surini Ahlan Syarif dan Dr Nurul Elmiyah, Op.Cit, Hal. 91
53
B. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata Untuk menjelaskan masalah tersebut diatas Mr. H. de Bie dalam bukunya “KINDERRECHT” membuat penggolongan seperti dibawah ini. 94 I. Weeting (sah) Kinderen
a. Natuurlijk II. on wetting (tidak sah)
1. erkend door vader (diakui)
b. Overwonnen
1. niet erkend door voder (tidak diakui) Dengan adanya perbedaan status anak sah dan anak luar kawin menyebabkan timbulnya beberapa perbedaan dalam masalah mengenai : a. Hal memakai nama keluarga b. Pemberian izin perkawinan c. Hak untuk mewarisi d. Kekuasaan orang tua Dilihat dari perlindungan anak dari perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan masalah bagi anak, baik dari aspek yuridis maupun sosiologis dan psikologis, karena itu anak luar kawin yang tidak diakui oleh bapaknya atau mendapat suatu perlakuan tidak sama dalam masyarakat kalau di bandingkan dengan hak-hak seorang anak sah. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1. Tahun 1974 tentang perkawinan maka kedudukan seorang anak tercantum dalam pasal 42-44.95 94 Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta, Bumi Aksara, 1990, hal. 28 95 Irma Setyowati Sumitro, Op.Cit. hal. 29-30
54
Dalam pasal 49 disebutkan bahwa orang
tua dapat dicabut
kekuasaannya dalam hal orang tersebut melalaikan kewajibannya terhadap anak. Dalam hal orang tua dicabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Perkawinan diatur dalam pasal 50 sampai pasal 54. Dalam pasal 54 mencatumkan bahwa seorang wali yang membawa kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya dapat diwajibkan untuk mengganti kerugiannya. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas mempunyai aspek perlindungan anak, namun apakah dalam pelaksanaannya dimasyarakat dapat berhasil, tergantung dari bagaimana nilainilai masyarakat pada umumnya terhadap anak dalam keluarga dewasa ini, misalnya dalam keluarga yang berlaku diberbagai masyarakat Indonesia yang sifatnya patrilineadal matrilineal.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan tentang perlindungan hukum terhadap anak yang lahir di luar perkawinan baik menurut Undang-Undang No. I Tahun 1974 maupun KUH Perdata yang mencakup juga tentang status, hak nasab, perwalian dan kewarisan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Status Anak Yang Lahir Diluar Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan KUH Perdata. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya ibunya sebagaimana diatur pada pasal 43 ayat (1). Sedangkan menurut KUH Perdata Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Akan tetapi kalau ayahnya tidak mengakuinya maka nasabnya mengikuti keluarga ibunya. Begitu juga dengan pewalian kalau ayah dan ibunya mengakuinya maka perwaliannya mengikuti ayah dan ibunya. Tetapi kalau tidak maka perwaliannya mengikuti keluarga ibunya. Dalam warispun menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanya mengikuti ibunya, tetapi dalam KUH Perdata kalau diakui maka anak luar kawin mendapatka 1/3 bagian.
55
56
2. Analisis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Lahir Di Luar Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Dan KUH Perdata Dilihat dari perlindungan anak dari perbedaan-perbedaan tersebut menciptakan masalah bagi anak, baik dari aspek yuridis maupun sosiologis dan psikologis, karena itu anak luar kawin yang tidak diakui oleh bapaknya atau mendapat suatu perlakuan tidak sama dalam masyarakat kalau di bandingkan dengan hak-hak seorang anak sah. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1. Tahun 1974 tentang perkawinan maka kedudukan seorang anak tercantum dalam pasal 42-44. Dalam pasal 49 disebutkan bahwa orang
tua dapat dicabut
kekuasaannya dalam hal orang tersebut melalaikan kewajibannya terhadap anak. Dalam hal orang tua dicabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Perkawinan diatur dalam pasal 50 sampai pasal 54. Dalam pasal 54 mencatumkan bahwa seorang wali yang membawa kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya dapat diwajibkan untuk mengganti kerugiannya. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas mempunyai aspek perlindungan anak.
B. Penutup Sebagai akhir kata penulis mengucapkan syukur alhamdulillah dalam penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dan harapan penulis semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kita semuanya. Amin ya rabbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Pressindo, 1992
Hokum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika
Al Ibyani, Zaid, al Akhwal al Syakhsiyah, Bairut, Baghdad : An Nahdhah, jilid 2, 1989 Amirin, Tatang M., menyusun rencana penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1955 Apeldom, Van, Pengantar ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta : Pradnya Jararita, 1973. Ash Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syariat Islam, Terj. HAA. Dahlan dkk, Bandung : Diponegoro, 1988. Bakry, Hasbullah, Kumpulan Lengkap Undang- undang dan Peraturan Perkawinan di Indonesia, Djembatan, t.tp, cet ke-2, 1981 Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta : UUI Press, 2000. Djoyodiguno, MM., Reorientasi Hukum Jawa dan Hukum Adat, Yogyakarta Penerbit Uriversitas, 1981. Fahruddin, Fuad Moch, Masalah Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Pedoman Jaya, 1985. Ghafar, Asyhari Abdul, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah hamil, Jakarta : Grafindo Utama, 1987. Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan di indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, 1990. Hanafi, A., Sejarah dan Pengantar Hukum Islam, Yogyakarta : Murah, 1966. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, Medan : Zahir Trading Co. cet ke-1, 1975 http : // Pustaka Mawar, word press.com. 2007/12/19. Hamil di Luar Nikah Kan, J Van, Pengantar Ilmu Hukum; cet VIII, up, PT. Pembangunan dan Ghalia Indonesia, 1979.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum di Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1980. KH. Siroj Chudlori, Guru Mengaji Penulis. Kusumah, Mulyana W, Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta : Rajawali, t.th. Maruzi, Muslich, Pokok-pokok Ilmu Waris, Semarang : CV. Mujahidin, 1981. Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1974. Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, Jakarta : Galia Indonesia, Cet. III, 1988 Pangarsa, Humaidi Tata, Hakekat Poligami dalam Islam , Surabaya : Usaha Nasional, t,th. Prakoso, Djoko, I Ketut Murtika, Azas-Azas Hokum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : PT. Bina Akasara, 1987 Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997. Projodikoro, R. Wirjono, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung : Sumur Bandung, 1974. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Rahman Bakri A., dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan menurut Islam, UU perkawinan dan Hukum Perdata / BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, t.th. Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung : PT. Al-.Ma'arif, 1992. Ramulyo, M. Idris, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan hukum Perkawinan Islam, Jakarta : IND-HILCO, cet ket-1. ________ , Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000. Sahar, Saidus, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaanya Ditinjau dari Hukum Perkawinan Islam, Bandung , 1981. Satrio, J., Hukum Kehiarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, Bandung PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
________ , Hukum Waris, Bandung : Alumni, 1992. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, cet IV, Yogyakarta : Liberty, 1999. Soimin, Soedharyo, Hukum Orang Dan Keluarga : Perspektif Hukum Perdata Barat/Bw, Hukum Islam, Dan Hukum Adat, Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Syahraui, Ridwan, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : CV. Alumni,1992 Syarifudin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984. Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Press, 1974. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III, Jakarta : Balai Pustaka, 1990. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur'an, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta Departemen Agama RI, 1992.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Ahmad Adib
Tempat / Tanggal lahir
: Demak, 27 April 1984
Alamat asal
: Morodemak No. 15 RT. 07 RW. 06 Kec. Bonang Kab. Demak
Alamat kost
: Komplek Masjid Al Azhar Perum Bukit Permata Puri Ngaliyan Semarang
Jenjang Pendidikan 1. SD Negeri Morodemak Lulus Tahun 1997 2. SLTP Negeri 01 Bonang Lulus Tahun 2000 3. MAN 01 Semarang Lulus Tahun 2003 4. IAIN Walisongo Semarang Tahun 2010
Semarang, Penulis
Ahmad Adib
Juli 2010