PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK DAGANG DALAM SISTEM HUKUM MEREK DI INDONESIA (Studi kasus: PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR 05 PK/N/HaKI/2003)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA HUKUM OLEH
MAROJAHAN HENGKY SIREGAR NIM: 030200106 BAGIAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya yang telah diberikan-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik. Penulisan skripsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini saya menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih kurang dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati saya akan menerima kritik dan saran dari semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, saya tidak terlepas dari bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 5. Bapak Prof. DR.Tan Kamello, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
6. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Penasihat Akademik saya yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 7. Ibu Dr. Idha Aprilyana S. SH., M. Hum., selaku selaku Dosen Pembimbing II saya yang telah banyak memberikan bantuan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 8. Seluruh Staf Pengajar dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan. 9. Teristimewa buat kedua orang tua saya, Ayahanda O.V.Siregar dan Ibunda M. br. Marbun yang telah sabar mencurahkan segenap kasih sayangnya dan segala pengorbanannya baik dalam moril maupun materiil serta doanya sehingga saya dapat memperoleh pendidikan tinggi ini dan dapat menyelesaikan skripsi ini. 10. Juga buat seluruh keluarga, Adik-adik saya yang tersayang, Martin, Melda, dan Vatar Zansen yang turut memberikan dukungan dan semangat kepada saya selama mengerjakan skripsi ini. 11. Seluruh Teman dan rekan-rekan stambuk 2003 yang tidak dapat sebutkan satu persatu, serta Senior-senior saya yang ada di Wamar yang turut serta memberikan dukungan moril kepada saya. 12. Seluruh Teman-teman Senior 2001, 2002, dan Junior 2004, 2005, 2006, yang telah banyak membantu selama studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Akhir kata kiranya skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
Medan, Desember 2009 Penulis
MAROJAHAN HENGKY SIREGAR
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
ABSTRAKSI Dalam realitas masyarakat modern saat ini tidak ada terlepas dengan dunia luar, senantiasa berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) yang berkembang dan memiliki dampak yang signifikan. Suatu hal yang harus mutlak dilakukan adalah mengadakan perlindungan dan penegakan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut, dimana Hak atas Kekayaan Intelektual tersebut terdiri atas: Hak Cipta, Hak Paten, Hak merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Varietas Tanaman. Perlindungan dan penegakan hukum atas Hak-hak tersebut ditujukan untuk memacu penemuan baru dibidang teknologi dengan memperhatikan kepentingan produsen dan konsumen, penggunaan pengetahuan teknologi secara seimbang. Permasalahan yang akan dibahas yaitu tentang perlindungan hukum bagi merek terdaftar di Indonesia dan bentuk-bentuk pelanggaran dalam merek menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek serta penyelesaian terhadap pelanggaran merek dengan mengadakan analisa kasus terhadap PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 05 PK/N/HaKI/2003 Dalam memperoleh data untuk penulisan skripsi ini, dilakukan melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu mengumpulkan bahan-bahan teori dari kepustakaan seperti bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 05 PK/N/HaKI/2003, bahan hukum sekunder seperti buku-buku, jurnal hukum, koran, karya tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini serta bahan hukum tertier seperti kamus atau ensiklopedia. Pelanggaran hukum terhadap merek terdaftar di Indonesia dapat dikenakan sanksi administratif yaitu dengan melakukan penghapusan ataupun pembatalan merek, pemberian sanksi perdata yaitu denga pemberian ganti rugi baik materil maupun immaterial, serta pemberian sanksi pidana. Sehingga dengan adanya sifat konstitutif dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 maka memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap pendaftar merek pertama terhadap para pelanggar merek. Adapun saran yang diajukan adalah diharapkan adanya aparatur pemerintahan yang aktif dan memiliki pengetahuan yang cukup atau lebih dalam mengatasi atau mencegah terjadinya pelanggaran atau kejahatan merek. Selain itu juga diharapkan pemerintah untuk segera mungkin merevisi peraturan perundang-undangan yang ada karena sanksi yang diberikan masih di rasa terlalu ringan terhadap pelanggar. Dan tidak ketinggalan pula diharapkan peran serta masyarakat yang aktif dalam memberikan setiap informasi tentang pelanggaran merek.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................. i ABSTRAKSI ............................................................................................... iv DAFTAR ISI................................................................................................ v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ..................................................................... 5 C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 5 D. Manfaat Penulisan ........................................................................ 5 E. Metode Penelitian ........................................................................ 6 F. Sistematika Penulisan................................................................... 7 G. Tinjauan Kepustakaan .................................................................. 8
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HaKI
A. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual ................................................ 9 B. 1. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual ....................................... 15 2. Istilah Hak Kekayaan Intelektual. ............................................. 16 C. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual ................................... 17 D. Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.. .................... 18
BAB III
MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG MEREK
A. Pengertian Merek ......................................................................... 26 B. 1. Permohonan Pendaftaran Merek ............................................... 26 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
2. Pendaftaran Merek ................................................................... 33 C. Pemegang Hak Merek. ................................................................. 55 D. Masa Berlaku Hak Merek. ............................................................ 55 E. Pengalihan Hak Atas Merek Terdaftar…. ..................................... F. Penghapusan dan Pembatalan Merek. ...........................................
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK DAGANG DALAM SISTEM HUKUM MEREK DI INDONESIA
(Studi Kasus Putusan Mahakamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003) A................................................................................................ Hak-hak Pemilik Merek Dagang yang Terdaftar ......................................... 65 B.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Pidana Merek dan Sanksi Hukumnya ................................................................................... 70
C. Penolakan Hukum oleh Pengadilan dalam Perkara Pidana Terhadap Pelanggaran Hak Merek… ............................................
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................. 79 B. Saran ............................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Salah satu perkembangan yang aktual dan memperoleh perhatian seksama dalam masa sepuluh tahun terakhir ini dan kecenderungan yang masih akan berlangsung di masa yang akan datang adalah semakin meluasnya arus globalisasi baik di bidang sosial, ekonomi, budaya maupun bidang-bidang kehidupan lainnya. Perkembangan teknologi informasi dan transportasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan meningkat secara pesat dan bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama. Era perdagangan global hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Dalam hal ini merek memegang peranan yang sangat penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan / atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan 1. Dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan, merek mempunyai peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk. Hal ini disebabkan fungsi merek adalah untuk membedakan dalam memperkenalkan suatu barang dan/ atau jasa dengan barang dan/ atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.
1
Ahmadi Miru, Hukum Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 1
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Dengan memiliki suatu merek berarti telah dapat diterapkan salah satu strategi pemasaran yaitu strategi pengembangan produk kepada masyarakat pemakai atau kepada masyarakat konsumen, kedudukan suatu merek dipengaruhi oleh baik atau tidaknya mutu suatu barang yang bersangkutan. Jadi merek akan selalu dicari apabila produk atau jasa yang menggunakan merek mempunyai mutu dan karakter yang baik yang dapat digunakan untuk mempengaruhi pasar. Merek merupakan bagian dari HaKI yang menembus segala batas. Di setiap negara ada usaha untuk memberikan perlindungan secara lebih besar. Terutama bagi negara-negara yang sudah maju, antara lain Amerika Serikat yang menghendaki adanya perlindungan HaKI bagi warga negaranya dari negara-negara lain, supaya arus teknologi penemuan hak cipta serta merek-merek mereka yang sudah terkenal di bidang perdagangan, yang telah mendapatkan “goodwill” secara seksama dengan pengorbanan banyak biaya dan tenaga dapat dilindungi secara wajar oleh negara-negara lain. Merek adalah merupakan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi oleh Undang-undang. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, ada 3 (tiga) jenis merek, yaitu: 1. Merek dagang (pasal 1 angka 2) 2. Merek jasa (pasal 1 angka 3) 3. Merek kolektif (pasal 1 angka 4) Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya 2.
2
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek, Jakarta, Djambatan, 1996, hal. 8
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya 3. Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya 4. Merek dagang yang dipergunakan dalam perdagangan agar dapat dilindungi oleh Undang-undang, maka merek tersebut harus didaftarkan, dengan didaftarkannya merek dagang tersebut maka terhadap pemilik merek akan diberikan hak ekslusif. Adanya hak ekslusif yang diberikan oleh undang-undang kepada pemilik merek yang telah didaftarkan, akan dapat memberikan keuntungan bagi pemilik merek. Namun dalam prakteknya masih banyak pengguna merek dagang yang melakukan perdagangan barang atau jasa dengan merek yang tidak didaftarkan. Dengan tidak didaftarkannya merek dagang akan mendatangkan keuntungan dan kerugian bagi pengguna merek dagang yang tidak terdaftar tersebut, antara lain pengusaha tidak perlu harus mengeluarkan biaya pendaftaran merek, baik itu biaya resmi dan biaya lainnya yang harus dibayar ketika pertama
sekali
pendaftaran
merek
dilakukan
maupun
pendaftaran
untuk
perpanjangannya. Dan tidak perlu berurusan dengan birokrasi pendaftaran merek yang cukup panjang serta mengurangi biaya ketika melakukan pengiriman (ekspor) barang melalui bea dan cukai. Sedangkan kerugian bagi pengusaha yang tidak mendaftarkan merek dagangnya yaitu, merek yang digunakan oleh pengusaha tidak dilindungi oleh Undang-undang, oleh sebab itu dapat ditiru oleh pihak lain. Dan ketika ada pihak lain 3 4
Ibid, hal. 8 Ahmadi Miru, Op. cit, hal. 8
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
yang melakukan peniruan merek
dagang atau jasa, pemegang merek tidak dapat
melakukan tuntutan, baik itu secara perdata maupun pidana, Merek yang yang tidak terdaftar yang digunakan oleh pengusaha dapat diajukan oleh pihak lain untuk didaftarkan atas namanya, mengingat dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek menganut sistem konstitutif, dalam sistem tersebut siapa yang mendaftarkannya pertama sekali maka dialah yang dianggap berhak sebagai pemilik merek 5. Seperti contoh kasus yang termuat di harian Pontianak Post edisi 12 Juni 2006 tentang pemalsuan merek PT. Garam oleh PD CS. Tindakan pemalsuan merek milik PT Garam oleh PD CS, selain membahayakan dan merugikan konsumen, perbuatan pengusaha nakal tersebut juga bisa berdampak pada iklim investasi di Kalbar. Terkait dengan PD CS yang telah melakukan pemalsuan merek PT Garam, sebelum perusahaan tersebut mengajukan untuk memasok garam, pihaknya telah memberitahukan segala ketentuan yang ada. "Hanya memang dasar mereka pengusaha nakal, tetap masih nekat untuk memalsukan merek segala. Dan jelas itu pelanggaran, dan semua pelanggan hukum yang dilakukan sepenuhnya ditentukan oleh aparat berwenang," tegasnya.
5
WWW. USU-Library, Keuntungan dan Kerugian Tidak Didaftarkannya Merek dagang atau jasa, 5 September 2009. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
B. PERUMUSAN MASALAH Perumusan masalah skripsi adalah: 1. Apakah hak-hak pemilik Merek Dagang yang terdaftar? 2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran pidana Merek Dagang dan sanksi hukumnya? 3. Bagaimana penegakan hukum oleh pengadilan dalam perkara pidana terhadap pelanggaran Hak Merek?
C. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui tentang hak-hak pemilik Merek Dagang yang terdaftar 2. Mengetahui tentang bentuk-bentuk pelanggaran pidana Merek Dagang dan sanksi hukumnya 3. Mengetahui tentang penegakan hukum oleh pengadilan dalam perkara pidana terhadap pelanggaran Hak Merek
D. MANFAAT PENULISAN Manfaat penulisan skripsi ini adalah secara teoritis diharapkan dapat menambah literatur tentang perkembangan hukum khususnya di bidang hukum merek dagang yakni mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik merek dagang terdaftar. Secara praktis skripsi ini diharapkan menjadi sumber pemikiran dan masukan bagi para pelaku ekonomi guna mengetahui tentang hak-hak pemilik merek dagang, bahwa setiap orang atau badan hukum sebagai pemilik merek dagang terdaftar berhak untuk Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
mendapat perlindungan hukum terhadap merek dagang terdaftarnya dan untuk itu pemilik merek dagang terdaftar mempunyai hak untuk menuntut pihak lain atas pelanggaran merek yang dilakukan tanpa izin terhadap merek dagang terdaftarnya.
E. METODE PENELITIAN Untuk mencapai tujuan penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian secara deskriptif analitis dan yuridis normatif. Metode penulisan secara deskriptif analitis terhadap bahan hukum dipergunakan dalam penelitian ini karena pemecahannya tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan bahan-bahan, serta untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang dipergunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional. Metode penulisan secara yuridis normatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan suatu deskriptif mengenai masalah-masalah yang timbul dalam dunia merek. Dalam hal ini penelitian dibatasi oleh penggunaan study dokumen dan bahan-bahan pustaka saja. Bahan-bahan dokumen dan bahan-bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: bahan hukum primer yakni dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Merek, bahan hukum sekunder yakni dalam bentuk tulisan-tulisan dan pendapat para ahli hukum tentang merek, serta kamus-kamus hukum, dan bahan hukum tertier yakni dalam bentuk analisa tentang hukum merek.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Melalui metode di atas penulis mencoba menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya menurut kemampuan yang ada pada diri penulis.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab, masing-masing bab terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. 1. PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, sistematika penulisan, tinjauan pustaka.
2. TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Dalam bab ini diuraikan tentang sejarah hak kekayaan intelektual, pengertian hak kekayaan intelektual, istilah hak kekayaan intelektual, ruang lingkup hak kekayaan intelektual, pengaturan hak kekayan intelektual di Indonesia.
3. MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG MEREK Dalam bab ini diuraikan tentang pengertian merek, permohonan pendaftaran merek, pendaftaran merek, pemegang hak merek, masa berlaku hak merek, pengalihan hak atas merek terdaftar, penghapusan dan pembatalan merek
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
4. PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK DAGANG DALAM SISTEM HUKUM MEREK DI INDONESIA Dalam bab ini diuraikan tentang, hak-hak pemilik merek dagang yang terdaftar, bentuk-bentuk pelanggaran pidana merek dagang dan sanksi hukumnya, penegakan hukum oleh pengadilan dalam perkara pidana terhadap pelanggaran Hak Merek
5. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran yang dapat berguna untuk tindakan perbaikan.
G. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian merek menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 : “Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur tersebut yang memilik daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa”. Dalam perjanjian Trade Related Aspect of Intelektual Property Rights Nomor 1 Pasal 15 telah dirumuskan yang dapat didaftarkan, yaitu setiap tanda atau kombinasi pada tanda, yang mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa-jasa dari sesorang atau usaha dari pihak lain. Ini dapat dianggap mempunyai nilai untuk dianggap sebagi Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
merek dagang. Tanda ini terutama kata-kata, termasuk juga nama pribadi (personal names), letters, huruf-huruf, members, angka-angka, atau juga unsur-unsur yang mempunyai bentuk suatu figur atau kombinasi warna-warna atau setiap kombinasi dari tanda-tanda ini, harus diperbolehkan untuk didaftarkan sebagai merek. Jadi dari hal tersebut di atas dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari merek dalam pendaftaran sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni merek pada hakikatnya adalah sebagai merek ia harus memiliki daya pembeda. Yang dimaksudkan dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dari perusahaan yang lain. Tidak dapat diterima sebagai merek apabila tanda tersebut sederhana seperti gambar sepotong garis atau tanda yang terlalu ruwet seperti gambar benang kusut.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
A. SEJARAH HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Secara historis, perangkat peraturan perundang-undang mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) pertama kali terdapat di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemupenemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791. Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual yang terdapat di Indonesia mulai ada pada dekade 1840-an, yakni ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HaKI pada tahun 1844. Selanjutnya, pemerintah Belanda mengundangkan Undang-undang Merek pada tahun1885, Undang-undang Paten pada tahun 1910, dan Undang-undang Hak Cipta pada Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indie telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari tahun 1893-1936 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary and artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), semua peraturan perundang-undangan di bidang HaKI tersebut tetap berlaku. Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan UUD 1945, peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini Undang-undang Hak Cipta dan Undang-undang Merek peninggalan Belanda tetap berlaku. Namun, tidak demikian halnya dengan Undang-undang Paten karena dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Dalam Undang-undang Paten peninggalan Belanda disebutkan bahwa permohonan paten dapat diajukan ke Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta) dan pemeriksaan atas permohonan paten dilakukan di Octrooiraad, Belanda. Pada tahun 1953, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S.5/41/4, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri dan Pengumuman Menteri Kehakiman No.J.G.1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri. Pada tanggal 11 Oktober 1961, pemerintah RI mengundangkan Undang-undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (Undang-undang Merek 1961) untuk mengganti Undang-undang Merek warisan kolonial Belanda. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Undang-undang Merek 1961 yang merupakan Undang-undang Indonesia pertama di bidang HaKI mulai berlaku efektif pada tanggal 11 November 1961. Penetapan Undangundang Merek 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang- barang tiruan/bajakan. Pada tanggal 10 Mei 1979, Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Stockholm Revision 1967) berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Koonvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu pasal 1-12 dan pasal 28 ayat (1). Pada tanggal 12 April 1982, pemerintah mengesahkan Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Undang-undang Hak Cipta 1982) untuk menggantikan Undang-undang Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan Undang-undang Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, menyebarluaskan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni, dan sastra, serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun 1986 dapat dikatakan sebagai awal era modern sistem HaKI di Indonesia. Pada tanggal 23 Juli 1986, Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HaKI melalui Keputusan No.34/1986 (tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HaKI; perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HaKI; serta sosialisasi sistem HaKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum, dan masyarakat luas. Tim ini selanjutnya membuat sejumlah terobosan seperti mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Tanah Air. Setelah tim Keppres 34 merevisi kembali Rancangan Undang-Undang Paten yang diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 pemerintah mengesahkan Undang-undang Paten. Pada tanggal 19 September 1987 pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1987 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat. Menyusul pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1987, pemerintah menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, dan Merek (DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta. Selanjutnya, pada tanggal 13 Oktober 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-undang tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. Undang-undang Paten Nomor 6 Tahun 1989 ini mulai efektif berlaku sejak tanggal 1 Agustus tahun 1991. Pengesahan Undang-undang ini mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa penting sistem paten dan manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Undang-undang ini, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan
perlindungan hukum dan
mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan teknologi. Hal ini Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
disebabkan dalam pembangunan nasional secara umum dan khususnya di sektor industri, teknologi memiliki peranan yang sangat penting. Pengesahan Undang-undang Paten juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Meskipun demikian, ditegaskan pula bahwa upaya mengembangkan sistem HaKI, termasuk paten, di Indonesia tidak semata-mata karena tekanan dunia internasional, tetapi juga karena kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HaKI yang efektif. Pada tanggal 28 Agustus tahun 1992, pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek (Undang-undang Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. Undang-undang Merek 1992 ini menggantikan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek. Pada tanggal 15 April 1994, pemerintah turut menandatangani Final Act Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPS). Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 pemerintah RI merevisi perangkat perundang-undangan di bidang HaKI, yaitu Undang-undang Hak Cipta 1987 jo. Undang-undang Nomor 6 tahun 1982, Undang-undang Paten 1989, dan Undang-undang Merek 1992. Pada akhir tahun 2000, disahkan tiga Undang-undang baru di bidang HaKI, yaitu Undang-undang Nomor 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Dalam upaya menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan di bidang HaKI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 pemerintah mengesahkan UndangMarojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
undang Nomor 14 tahun 2001 tentang Paten dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek. Kedua Undang-undang ini menggantikan Undang-undang yang lama di bidanng terkait. Selanjutnya pada pertengahan tahun 2002, disahkan Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta menggantikan Undang-undang lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya. Sementara itu, badan yang secara internasional menangani masalah HaKI adalah World Intellectual Property Organization (WIPO), suatu badan khusus PBB, dan Indonesia termasuk salah satu anggotanya dengan diratifikasinya Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization. Saat ini, HaKI telah menjadi isu yang sangat penting dan mendapat perhatian, baik di forum nasional maupun internasional. Dimasukkannya TRIPS dalam paket Persetujuan WTO pada tahun 1994 menandakan dimulainya era baru perkembangan HaKI di seluruh dunia. Dengan demikian, permasalahan HaKI tidak dapat terlepas dari dunia perdagangan dan investasi. Pentingnya HaKI dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang berbasis ilmu pengetahuan. 6
B. 1. PENGERTIAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra.
6
Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus HaKI, Jakarta, Visimedia, 2008, hal. 1-8
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Pemilikannya bukan terhadap barangnya, melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusianya, yaitu diantaranya berupa idea. Beberapa literatur tentang pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) menurut para sarjana yaitu: a. W.R. Cornish, memberi rumusan bahwa Hak Milik Intelektual melindungi pemakaian idea, dan informasi yang mempunyai nilai komersil atau nilai ekonomi (Intellectual Property Rights protect applicants of ideas and informations that are commercial value). b. Sri Redjeki Hartono mengemukakan, bahwa Hak Milik Intelektual pada hakikatnya merupakan suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara. Negara berdasarkan ketentuan Undang-undang, memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak, sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Jadi hakikat HaKI adalah adanya suatu kreasi (creation). Kreasi ini mungkin dalam bidang kesenian (art), bidang industri, ilmu pengetahuan ataupun kombinasi dari ketiganya. 7 Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa Hak atas Kekayaan Intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai
7
Sentosa Sembiring, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan, Bandung, CV. Yrama Widya, 2002, hal. 13 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut dapat berupa bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra. Hak atas Kekayaan Intelektual ini baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, maupun digunakan secara praktis. 8
2. ISTILAH HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Istilah HaKI dapat diartikan hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tidak berwujud yang merupakan hasil kemampuan intelektualitas seseorang dari manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya. 9 Karya-karya intelektual tersebut, apakah dibidang ilmu pengetahuan, ataukah seni, sastra, atau teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu bahkan biaya. Adanya pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsep property terhadap karya-karya itu dikatakan sebagai asset perusahaan. 10 Disamping itu, karya-karya intelektualitas dari seseorang atau manusia ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga sekaligus merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi pencipta atau penemunya maupun orang 8
Muhamad Djumhana, R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 20 9
Bambang Kesowo, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung, Eresco, 1994, hal. 3 Ibid. hal. 5
10
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
lain yang memerlukan karya-karya intelektualitas itu pula, kita dapat mengetahui dan memperoleh gambaran mengenai pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, sastra bahkan teknologi, yang sangat besar artinya bagi manusia. Demikian pula karya-karya intelektualitas itu juga dapat dimanfaatkan bangsa dan negara Indonesia, sehingga dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia. Menurut Mahadi ketika menulis buku Hak Immateril, mengatakan tidak diperoleh keterangan yang jelas tentang asal-usul kata “Hak Milik Intelektual”. Kata “Intelektual” yang digunakan dalam kalimat tersebut, tidak diketahui ujung pangkalnya. 11 Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights (IPR). Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Hak Milik Intelektual”, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Istilah Intellectual Property Rights (Hak Milik Intelektual), sebenarnya lebih tepat kalau diterjemahkan menjadi Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). Alasannya adalah kata “hak milik” sebenarnya sudah merupakan istilah baku dalam kepustakaan hukum. Padahal tidak semua Hak atas Kakayaan Intelektual itu merupakan hak milik dalam arti yang sesungguhnya, tetapi dapat merupakan hak untuk memperbanyak saja, atau untuk menggunakannya dalam produk tertentu dan bahkan dapat pula berupa hak sewa (rental rights), atau hak-hak lain yang timbul dari perikatan seperti lisensi, hak siaran, dan lain sebagainya. Jika ditelusuri lebih jauh, Hak atas Kekayaan Intelektual sebenarnya merupakan bagian dari hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak,
11
Mahadi, Hak Milik Immateril, Jakarta, BPHN-Bina Cipta, 1985, hal. 4
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda tidak berwujud (benda immateril). Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai itelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan menggunakan logika (metode berpikir, cabang filsafat), Karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual. Kemampuan otak untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, disebut juga sebagai fungsi preposisi verbal linguistis, logis dan analitis yang merupakan pekerjaan belahan otak kiri. Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak (nalar, rasio, intelektual) secara maksimal. Oleh karena itu tidak semua orang pula dapat menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang disebut sebagai intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan Hak atas Kekayaan Intektual itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu sajalah yang dapat melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia, dimulai dari kerja otak itu. 12 Pada intinya HaKI adalah hak untuk menkmati secara ekonomi hasil suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
12
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004,
hal. 9-11 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Sistem HaKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HaKI. Seseorang bebas mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, atau pendesain) dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karyanya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HaKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HaKI juga menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan munculnya teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat dihindarkan. Dengan dukungan dokumentasi yang baik, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan secara maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut agar memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi. 13
C. RUANG LINGKUP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Dalam kepustakaan ilmu hukum, Hak Kekayaan intelektual (Intelectual Property Rights) pada umumnya dibagi menjadi dua golongan, yaitu : 1. Hak Cipta (copyright), memberikan perlindungan terhadap karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan seperti film, lukisan, novel, program komputer, tarian, lagu, dsb. 2. Hak Kekayaan Industri (industrial property rights), berkaitan dengan invensi/inovasi yang berhubungan dengan kegiatan industry yang mencakup paten (patent), desain industri (industrial design), merek (trademark), penanggulangan praktik persaingan
13
Muhamad Firmansyah, Op. cit, hal. 7-8
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
curang (represion of unfair competition practices), desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit), dan rahasia dagang (trade secret).
Berdasarkan kerangka WTO/TRIPs ada dua bidang lagi yang perlu ditambahkan yakni: 1. Perlindungan varietas baru tanaman 2. Tata Letak Sirkuit Terpadu (Integrated Circuits)
Saat ini terdapat beberapa perangkat Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia, yaitu: 1. Hak cipta (copyright) diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Pengertian hak cipta menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. 14 Pemilik hak cipta bersifat eksklusif. Hak ini mempunyai kemampuan melahirkan hak yang baru, jadi 1 (satu) karya cipta mempunyai beberapa hak yang terikat pada 1 (satu) ikatan hak. Hak yang banyak tersebut dalam pemakaiannya seperti dalam rangka pengalihan hak bisa dilakukan secara menyeluruh maupun secara terpisah-pisah.
14
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal 1 angka 1
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta). Walaupun hak cipta itu merupakan hak eksklusif yang hanya dimiliki oleh penciptanya atau pemegang hak cipta, penggunaan atau pemanfaatanya hendaknya berfungsi sosial, karena ada pembatasan-pembatasan tertentu yang telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Dengan kata lain, hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dinikmati oleh penciptanya saja tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna disamping nilai moral dan ekonomis. Dalam Undang-undang Hak Cipta, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup hal-hal berikut: a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain. b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu. c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim. f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. g. Arsitektur. h. Peta. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
i.
Seni batik.
j.
Fotografi.
k. Sinematografi. l.
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Hak cipta atas suatu ciptaan yang berupa: a. Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain. b. Drama atau drama musikal, tari, koreografi. c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung. d. Seni batik. e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks. f. Arsitektur. g. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lain. h. Alat peraga. i.
Peta.
j.
Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai.
Berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia. Untuk ciptaan yang dimilikin oleh 2 (dua) orang atau lebih, hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. Hak cipta atas suatu ciptaan yang berupa: Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
a. Program komputer; b. Sinematografi; c. Fotografi; d. Database; e. Karya hasil pengalihwujudan. Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan, sedangkan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan. Jika hak cipta atas ciptaan tersebut di atas dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum, hak cipta berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 15
2. Paten (patent) diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Pengertian kata paten, berasal dari bahasa Inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, yang dimaksud dengan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian karena:
15
Muhamad Fifmansyah, Op.cit, hal. 17-18
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
a.
Pewarisan;
b.
Hibah;
c.
Wasiat;
d.
Perjanjian tertulis;
e.
Sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengalihan hak tidak menghapus hak Inventor untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam Paten Lisensi Pemegang Paten berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian Lisensi selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Paten tetap boleh melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga lainnya Paten dinyatakan batal demi hukum apabila Pemegang Paten tidak memenuhi kewajiban membayar biaya tahunan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini. Paten dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal untuk seluruh atau sebagian atas permohonan Pemegang Paten yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat. Paten juga dapat dibatalkan oleh Pengadilan Niaga apabila ada gugatan pembatalan Paten. Apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat, Pemerintah dapat melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan dengan memberitahukan secara tertulis hal tersebut kepada Pemegang Paten dan pemberian imbalan yang wajar kepada.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Jangka waktu paten Paten diberikan untuk jangka waktu selama 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan permintaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Tanggal dimulai dan berakhirnya jangka waktu paten dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Sedangkan paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 tahun (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu itu tidak dapat diperpanjang. Suatu paten dapat berakhir apabila selama tiga tahun berturut-turut pemegang paten tidak membayar biaya tahunan, maka paten dinyatakan batal demi hukum terhitung sejak tanggal yang menjadi akhir batas waktu kewajiban pembayaran untuk tahun yang ketiga tersebut. Tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran biaya tahunan berkaitan dengan kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun kedelapan belas dan tahun-tahun berikutnya, maka paten dianggap berakhir pada akhir batas waktu kewajiban pembayaran biaya tahunan untuk tahun yang kedelapan belas tersebut. Hak menggugat Jika suatu paten diberikan kepada orang lain selain daripada orang yang berhak atas paten tersebut, maka orang yang berhak atas paten tersebut dapat menggugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar paten tersebut berikut hak-hak yang melekat pada paten tersebut diserahkan kepadanya untuk seluruhnya atau untuk sebagian ataupun untuk dimiliki bersama.
3. Merek (trademark) diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Pengertian dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Dengan demikian merek merupakan suatu tanda pengenal dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa yang sejenis dan sekaligus merupakan jaminan mutunya bila dibandingkan dengan produk barang atau jasa sejenis yang dibuat oleh pihak lain. Merek tersebut dapat berupa merek dagang, merek jasa, atau merek kolektif. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
4. Varietas Baru Tanaman diatur dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 Pengertian varietas tanaman dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, yaitu sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan. Latar belakang lahirnya Undang-undang Varietas Tanaman di Indonesia, tidak terlepas dari tuntutan dan
sekaligus
sebagai konsekuensi Indonesia atas
keikutsertaannya sebagai negara penandatanganan kesepakatan GATT/ WTO 1994, yang salah satu dari rangkaian persetujuan itu memuat tentang kesepakatan TRIP’s. Persetujuan
itu
mengisyaratkan
setelah
ratifikasi,
Indonesia
harus
menyelaraskan peraturan perundang-undangan bidang HaKI-nya dengan persetujuan TRIP’s, yang salah satu di dalamnya termasuk perlindungan Varietas Baru Tanaman. 16
5. Rahasia Dagang (trade secret) diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Yang dimaksud dengan rahasia dagang adalah suatu informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dijaga kerahasiaanya oleh pemilik rahasia dagang (Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000). Lingkup Perlindungan Rahasia Dagang adalah : a. Lingkup perlindungan rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.
16
Kristina Setyowati, Pokok-Pokok Peraturan Perlindungan Varietas Tanaman, Jakarta, Harvindo,
hal. 423 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
b. Rahasia dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaanya melalui upaya sebagaimana mestinya. c. Informasi bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. d. Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan ekonomi. e. Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak atau patut.
Pemilik Rahasia Dagang memiliki hak untuk: a. Menggunakan sendiri rahasia dagang yang dimilikinya. b. Memberikan lisensi kepada orang lain atau kepada pihak ketiga untuk kepentingan komersial. c. Melarang pihak lain untuk menggunakan rahasia dagang yang dimilikinya.
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan hukum dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Ditjen HaKI dengan dikenai biaya sebagaimana diatur dalam undang-undang. Yang "wajib dicatatkan" pada Dirjen Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
HaKI hanyalah mengenai data yang bersifat administratif dari perjanjian lisensi dan tidak mencakup subtansi rahasia dagang yang diperjanjikan. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemegang hak rahasia dagang atau penerima lisensi dapat menggugat siapapun yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan pelanggaran rahasia dagang berupa : a. gugatan ganti rugi; b. penghentian semua perbuatan pelanggaran dan diajukan ke Pengadilan Negeri.
Selain penyelesaian melalui gugatan para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Berbeda dari jenis HaKI lainnya, rahasia dagang tidak dipublikasikan ke publik. Sesuai namanya, rahasia dagang bersifat rahasia. Rahasia dagang dilindungi selama informasi tersebut tidak ‘dibocorkan’ oleh pemilik rahasia dagang.
6. Desain Industri (industrial design) diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Pengertian desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri). Lingkup desain industri yang mendapat perlindungan adalah desain industri yang baru dan tidak bertentangan dengan peraturan dan norma yang berlaku. Desain industri dianggap baru jika pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama atau berbeda dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Meskipun terdapat kemiripan pengungkapan sebelumnya sebagaimana dimaksud adalah pengungkapan desain industri yang sebelum tanggal penerimaan atau tanggal prioritas jika permohonan diajukan dengan hak prioritas telah diumumkan atau digunakan di Indonesia atau di luar Indonesia (Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri) Suatu desain industri tidak dianggap telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling lama enam bulan sebelum tanggal penerimaannya, desain industri tersebut menunjukkan kondisi sebagai berikut: a. Telah dipertunjukkan dalam suatu pameran nasional atau internasional di Indonesia atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi. b. Telah digunakan di Indonesia oleh pendesain dalam rangka percobaan dengan tujuan pendidikan, penellitian, atau pengembangan. Desain industri berhak mendapatkan perlindungan jika tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Hak desain industri tidak dapat diberikan apabila desain iindustri tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan (Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri). Jangka waktu perlindungan hak desain industri diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri ditentukan selama 10 (sepuluh) tahun. jangka waktu 10 (sepuluh) tahun merupakan jangka waktu yang sangat wajar artinya tidak begitu lama, namun telah cukup memberikan waktu kepada si pemilik/pemegang hak desain industri tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari desain yang diciptakannya. Pengalihan hak desain industri menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, hak desain industry dapat dialihkan dengan pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
7. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 Adapun rumusan pengertian Desain tata letak sirkuit terpadu dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu untuk desain tata letak dan Pasal 1 angka 1 untuk sirkuit Terpadu, yaitu: (a) Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan 3 (tiga) dimensi dan berbagai elemen, sekurang-kurangnya 1 (satu) dari elemen tersebut adalah elemen Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit terpadu dan peletakan 3 (tiga) dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu. (b) Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya 1 (satu) dari elemen tersebut adalah elemen aktif, sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.
D. PENGATURAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA
Pengaturan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia sudah berumur hampir 100 tahun. Sejak diberlakukannya Auteurswet 1912 oleh Belanda untuk Hindia Belanda, pada tahun tersebut dimulai rezim pengaturan kepemilikan intelektual. Pengarang buku memiliki hak atas karangannya untuk memperbanyak atau mengedit dan lain-lain. Pada waktu yang hampir bersamaan, pujangga Indonesia membuat karangan-karangan terkenal yang menjadi masterpieces karya sastra bangsa ini, seperti Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan lain-lain. Mereka tidak pernah memikirkan tentang hak intelektualnya.
Dalam usia pengaturannya yang hampir seratus tahun, bangsa ini sudah memiliki 7 (tujuh) undang-undang yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual secara langsung, seperti pengaturan tentang hak cipta, paten, merek , rahasia dagang, desain indutri, desain tata letak sirkuit terpadu, serta perlindungan varietas tanaman. Perlindungan hak kekayaan intelektual ada yang sudah diatur sejak lama, seperti hak Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
cipta, paten, dan merek, sementara pengaturan hak yang lainnya masih relatif baru. Bahkan terdapat beberapa regulasi hak intelektual yang akan diamandemen atau diubah oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Banyaknya pengaturan tentang perlindungan hak intelektual perlu kita cermati, untuk siapakah sebenarnya pengaturan tersebut dibuat, melindungi bangsa ini atau melindungi hak intelektual bangsa lain. Peraturan tentang hak intelektual tersebut juga sudah mengalami beberapa kali perubahan seperti hak paten yang sudah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Sebelumnya, perlindungan tentang hak paten diatur dalam undang-undang industri. Sekali lagi, pertanyaan tersebut diulang kembali untuk siapakah perubahan tersebut dibuat, untuk melindungi hak paten bangsa ini, untuk melindungi hak paten bangsa lain, atau tuntutan dari masyarakat dunia yang tergabung dalam WIPO. Hal tersebut perlu dipertanyakan karena sampai saat ini, mayoritas pendaftaran paten masih didominasi oleh pendaftar asing yang notabene bangsa lain.
Jika hal tersebut merupakan fakta yang ada, maka kita harus bisa menyimpulkan bahwa perubahan peraturan tersebut lebih kepada kebutuhan perlindungan hak paten asing. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan hak paten bangsa ini apakah memang begitu sedikitnya bangsa ini berinovasi atau mereka belum mengerti tentang hak mereka yang harus dilindungi.
Sejak dekade 1980-an sudah dimulai sosialisasi tentang perlindungan hak intelektual, dengan diperkenalkannya mata kuliah hak milik intelektual di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sesudah itu diikuti oleh universitas lain yang menawarkan mata kuliah hak milik intelektual kepada mahasiswanya. Awal dekade 2000-an terdapat Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
program pendirian sentra HaKI di berbagai universitas yang dipelopori oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. Bagaimana dengan hasil karya kaum intelektual, sudahkan mereka mendaftarkan dan mendapat perlindungan? Perlu menjadi perhatian khusus pula, bagaimana dengan penelitian yang selalu ada di seluruh universitas, apakah penelitian tersebut memiliki unsur novelty sehingga dapat dilindungi, serta apakah penelitian yang berhubungan dengan hak paten memiliki nilai komersial, atau mereka hanya sekedar meneliti tanpa memperdulikan bahwa hasil penelitian tersebut memiliki nilai komersial atau tidak.
Terminologi yang masih sering salah digunakan oleh masyarakat awam, menunjukan bahwa informasi perlindungan hak intelektual tersebut masih belum merata, seperti sering digunakannya kalimat ‘saya ingin mematenkan merek saya’ dalam perbincangan, seminar, lokakarya atau temu wicara tentang hak intelektual. Pengaturan tentang perlindungan yang sudah berusia lama, masih dianggap oleh masyarakat bahwa dua kata tersebut merupakan hal yang sama, padahal paten dan merek adalah rezim hak intelektual yang berbeda.
Apabila kita mengamati sekeliling kita, dari pakaian yang kita pakai, peralatan yang kita gunakan, serta merek yang melekat pada benda tersebut, kita mencoba mempertanyakan hal yang sangat sederhana mengenai hak intelektual yang dimiliki oleh bangsa ini, benda apa saja yang merupakan invensi bangsa ini, merek apa saja yang dimiliki oleh putra putri indonesia, apakah merek tersebut merupakan merek terkenal. Hasil pengamatan sederhana tersebut menunjukan bahwa pakaian yang kita gunakan lebih banyak merek asing yang terkenal. Peralatan yang kita gunakan sehari-hari untuk Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
menunjang kegiatan atau aktivitas kita tidak satupun merupakan invensi bangsa ini seperti telepon, telepon genggam, komputer, lampu penerangan, mobil, motor, pulpen, dan lain-lain. Begitu pula tentang desain industri, apakah kita sudah memiliki desain industri yang terkenal, sehingga apabila seseorang melihat desain barang atau benda tersebut langsung berkonotasi barang atau benda tersebut adalah ciri khas desain industri Indonesia.
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan perlindungan yang diberikan terhadap
kekayaan
intelektual sehingga
si
pemilik
dapat
menggunakan dan
memanfaatkan kekayaan secara maksimal. Perbincangan tentang HaKI kembali mengemuka ketika Malaysia mulai melakukan klaim terhadap beberapa budaya Indonesia. Indonesia sebenarnya telah mempunyai Undang-undang HaKI yang diatur dalam tujuh undang-undang yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Banyak dari masyarakat yang sangat awam dengan tujuh undang-undang tersebut. Beberapa orang mengetahui tentang adanya Undang-undang Hak Cipta. Tetapi seringkali mereka mencampuradukkan antara Hak Cipta, Merk dan Paten. Ketiganya memang mempunyai kemiripan meskipun sebenarnya ada perbedaan yang bersifat mendasar.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Pendaftaran sebuah produk bisa dilindungi oleh lebih dari satu undang-undang, misalnya kursi mebel ukir dari Jepara dapat dilindungi oleh Undang-undang Hak Cipta, Undang-undang Merek dan Undang-undang Desain Industri. Produk dapat didaftarkan untuk dilindungi oleh lebih dari satu undang-undang. Untuk mengkonsultasikan produknya, maka masyarakat dapat menanyakan pada konsultan HaKI (klinik HaKI). 17
BAB III MEREK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG MEREK
A. PENGERTIAN MEREK Merek adalah alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan. Merek merupakan salah satu bidang Hak Kekayaan Intelektual yang dilindungi oleh Undang-undang. Menurut ketentuan umum Pasal 1 angka (1) Undangundang Nomor 15 Tahun 2001 diberikan suatu defenisi tentang Merek yaitu: Tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Kemudian dari batasan juridis yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dapat diambil unsur-unsur merek sebagai berikut:
17
WWW. USU-Library, Pengaturan HaKI di Indonesia, 7 November 2009.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
1. Adanya tanda berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari keseluruhannya; 2. Adanya daya pembeda atau ciri khas tertentu; 3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Tanda-tanda atau merek dari suatu barang atau jasa tersebut haruslah mampu mempunyai daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing) atau ciri khas tertentu sehingga ia berbeda dari yang lainnya agar dapat diterima pendaftarannya sebagai merek, dan dapat digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Selain menurut batasan yuridis, beberapa sarjana juga memberikan pendapatnya tentang merek yaitu: 1. H.M.N. Purwo Sutjipto, SH., memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.” 18 2. Prof. R. Soekardono, SH., memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah sebuah tanda (Jawa: ciri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya barang dalam
perbandingan
dengan
barang-barang
sejenis
yang
dibuat
atau
diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.” 19 3. Harsono Adisumarto, SH., M.P.A., merumuskan bahwa merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti pada pemilikan ternak dengan memberikan tanda cap pada punggung sapi dan 18
H. M. N. Purwosucipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1984, hal. 82 19
R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat, 1983, hal. 49
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap seperti itu merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya untuk membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda pembeda. 4. Drs. Iur Soeryati, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari aspek fungsinya, yaitu: “suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya, oleh karena itu barang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya. 20 5. Mr. Tirtaamidjaya, yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, memberikan rumusan bahwa, “Suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang dibubuhkan diatas barang atau diatas bungkusannya gunanya membedakan barang itu dengan barang sejenis lainnya.” 21
Dari pendapat para sarjana tersebut maupun dari peraturan merek itu sendiri, secara umum diambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) yang dipakai untuk membedakan barang yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang yang sejenis yang dihasilkan oleh seseorang atau kelompok orang atau badan hukum lainnya yang
20 21
Iur Soeryati, Hukum Dagang, Jakarta, Paradnya Paramitha, 1980, hal. 51 Tirtaadmijaya, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1962, hal. 80
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. 22 Merek yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1. Merek dagang (pasal 1 angka 2) 2. Merek jasa (pasal 1 angka 3) 3. Merek kolektif (pasal 1 angka 4) Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Sedangkan merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Suatu merek harus memenuhi syarat mutlak berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing), maksudnya adalah tanda yang dipakai (sign) tersebut harus mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi suatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Agar mempunyai daya pembeda, maka merek itu harus dapat memberikan penentuan (individualizing) pada barang atau jasa yang 22
OK.Saidin, Aspek Hak Kekayaan Intelektual, Ed.1, Cet. 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 261-264 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
bersangkutan. Merek dapat dicantumkan pada barang bersangkutan, atau pada bungkusan dari barang tersebut, atau dicantumkan secara tertentu pada hal-hal yang bersangkutan dengan jasa. Suatu merek agar dapat memenuhi tujuannya, serta untuk mendapatkan perlindungan hukum maka perlu didaftarkan. Ketentuan mengenai merek yang tidak dapat didaftar dan ditolak sebagaimana terdapat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu sebagai berikut: 1. Merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur seperti: a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; Termasuk dalam pengertian bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu. Sebagai contoh, merek suatu barang yang haram untuk agama tertentu justru diberi tanda yang berupa simbol-simbol yang dihargai dalam agama tersebut. b. Tidak memiliki daya pembeda; Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Sebagai contoh, sebuah merek tersebut terdiri atas angkaangka yang tidak beraturan dalam satu bidang tertentu yang di dalamnya terdapat angka satu sampai seratus. Merek tersebut tidak dapat dibedakan dengan merek lain yang juga menggunakan angka satu sampai seratus Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
walaupun tidak memiliki persamaan penempatan angka-angka tersebut. Selain itu, masih banyak contoh lain yang walaupun berbeda antara satu dari yang lain, tidak memiliki daya pembeda. c. Telah menjadi milik umum; Salah satu contoh merek seperti ini adalah tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek. d. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; Maksudnya, merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, contohnya merek kopi atau gambar kopi untuk jenis barang kopi atau produk kopi. 2. Merek harus ditolak apabila terdapat hal-hal sebagai berikut: a. Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis, maksud dari pengertian persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya, yaitu adanya kesan yang sama baik mengenai bentuk, cara penempatan, atau kombinasi antara unsur maupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek yang bersangkutan; b. Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk baranng dan/atau jasa yang sejenis; Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
c. Merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; d. Merek merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto merek dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain yang sudah terkenal, kecuali atas persetujuan tertulis; e. Merek merupakan peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem dari negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; f. Merek merupakan peniruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang; g. Merek merupakan atau menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi Hak Cipta, kecuali atas persetujuan tertulis dari pemegang Hak Cipta tersebut. Meskipun untuk huruf a, b, dan c di atas, bahwa pemakaian tersebut disebutkan secara terbatas untuk barang dan/atau jasa sejenis, namun demikian hal itu dapat diperluas termasuk pula untuk barang dan/atau jasa yang tidak sejenis. Hal tersebut akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah.
Perluasan ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 tersebut dimaksudkan untuk melindungi merek terkenal. Adapun kriteria merek terkenal, yaitu selain memperhatikan pengetahuan umum masyarakat, penentuannya juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena promosi dan telah dibuktikan Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
dengan pendaftaran. Perlindungan merek terkenal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil kesempatan dari ketenaran merek tersebut. 23 Apabila dilihat dari ketentuan tentang kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan dan yang ditolak pendaftarannya, secara sederhana dapat dikatakan bahwa perbedaan utama antara kriteria merek yang tidak dapat didaftarkan dan yang ditolak pendaftarannya adalah terletak pada pihak yang dirugikan. Jika suatu merek kemungkinannya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat secara umum, merek tersebut tidak dapat didaftarkan. Sementara itu, apabila merek tersebut dapat merugikan pihak-pihak tertentu, merek tersebut ditolak pendaftarannya. Atau lebih sederhana lagi dapat dikatakan bahwa merek yang tidak dapat didaftarkan yaitu merek yang tidak layak dijadikan merek, sedangkan merek yang ditolak, yaitu merek yang akan merugikan pihak lain. Dari ketentuan pengertian merek serta persyaratan suatu merek agar dapat didaftarakan tersebut dapat disimpulkan bahwa, sesuatu dapat dikategorikan dan diakui sebagai merek, bila: 1. Mempunyai fungsi pembeda (distinctive, distinguish); 2. Merupakan tanda pada barang dagang atau jasa (unsur-unsur: gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut); 3. Tidak memenuhi unsur-unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum;
23
Djumhana, Muhamad, Djubaedillah, R., hal. 166-169
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
4. Bukan menjadi milik umum; 5. Tidak merupakan keterangan, atau berkaitan dengan barang, atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
Menurut Prof. Abdul Kadir Muhammad, S.H., beliau menginterpretasikan isi pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 dan juga isinya sama dengan pasal 1 angka (1) bahwa untuk memenuhi fungsinya, merek digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Fungsi merek adalah sebagai: 1. Tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain (product identity). Fungsi ini juga menghubungkan barang atau jasa dengan produsennya sebagai jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan. 2. Sarana promosi dagang (means of trade promotion). Promosi tersebut dilakukan melalui iklan produsen atau pengusaha yang memperdagangkan barang atau jasa. Merek merupakan salah satu good will untuk menarik konsumen, merupakan simbol pengusaha untuk memperluas pasar, produk atau barang dagangnya. 3. Jaminan atas mutu barang atau jasa (quality guarantee) Hal ini tidak hanya menguntungkan produsen pemilik merek terdaftar, melainkan juga perlindungan jaminan mutu barang atau jasa bagi konsumen. 4. Peningkatan asal barang atau jasa yang dihasilkan (source of origin).
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa yang menghubungkan barang atau jasa dengan produsen atau antara barang atau jasa dengan daerah/ negara asalnya. 24
Menurut P.D.D.Dermawan, fungsi merek itu ada tiga yaitu: 1. Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara professional; 2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek befungsi sebagai jamnan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi; 3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor produk tersebut (Purwadi).
Tiga fungsi merek tersebut, menyebabkan perlindungan hukum terhadap merek menjadi begitu sangat bermakna sesuai dengan fungsi merek, sebagai tanda pembeda, maka seyogyanya antar merek yang dimiliki oleh seseorang tak boleh sama dengan merek yang dimiliki oleh orang lain. 25
B. 1. PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK
24
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 120-121 25 Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata pada Perlindungan Konsumen, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nomor 1 dan 2, Tahun VII, 2000, hal. 59 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Permohonan pendaftaran merek di Indonesia telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek, yaitu: a. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan mencantumkan: (1) tanggal, bulan dan tahun; (2) nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon; (3) nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; (4) warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna; (5) nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas. b. Permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya. c. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum. d. Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. e. Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. f. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
g. Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. h. Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) adalah Konsultan Hak Kekayaan Intelektual. i.
Ketentuan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Konsultan Hak Kekayaan Intelektual diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan tata cara pengangkatannya diatur dengan Keputusan Presiden.
Permohonan pendaftaran merek diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. Surat permohonan pendaftaran merek tersebut harus diajukan dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal, dengan dilengkapi: a. Surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya, termasuk di dalamnya bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya tidak meniru merek orang lain, baik untuk keseluruhan maupun pada pokoknya. Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh pemilik merek dan bermaterai cukup, bila surat pernyataan tersebut tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka harus disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. b. Dua puluh helai etiket merek yang bersangkutan. Etiket tersebut berukuran maksimal 9 x 9 cm atau minimal 2 x 2 cm. Etiket merek yang berwarna, harus disertai pula 1 (satu) lembar etiket yang tidak berwarna (hitam putih). Etiket merek yang mengunakan bahasa asing dan atau di dalamnya terdapat huruf selain huruf latin atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia wajib Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, dalam huruf latin, atau angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, serta cara pengucapannya dalam ejaan latin. c. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau salinan yang sah akta pendirian badan hukum, apabila pemilik merek adalah badan hukum Indonesia. d. Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa. Surat kuasa ini juga harus berisikan penyebutan merek yang dimintakan pendaftarannya. e. Pembayaran biaya yang telah ditentukan. Bukti penerimaan permohonan pendaftaran yang pertama kali yang menimbulkan hak prioritas, dengan disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, apabila permohonan pendaftaran merek diajukan dengan menggunakan hak prioritas. f. Salinan peraturan penggunaan merek kolektif, apabila permohonan pendaftaran merek akan digunakan sebagai merek kolektif. Apabila peraturan penggunaan merek kolektif tersebut tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka harus disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini lebih lanjut dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan dan untuk perlindungan masyarakat konsumen. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara permohonan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 9). Permohonan pendaftaran merek tersebut ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Pemohon sebagaimana dimaksudkan dapat terdiri dari satu orang atau secara Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
bersama-sama, atau badan hukum. Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. Selanjutnya diterangkan bahwa permohonan pendaftaran merek yang diajukan oleh pemilik atau yang berhak atas merek yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di dalam negeri dapat melakukan pendaftaran dengan datang sendiri atau dapat juga dengan menguasakan kepada kuasa hukumnya. Sementara itu, pemilik atau yang berhak atas merek yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Republik Indonesia, wajib diajukan melalui kuasanya di Indonesia (Pasal 10 ayat (1)). Pemilik merek tersebut wajib pula menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasa sebagai domisili hukumnya di Indonesia (Pasal 10 ayat (2)). Apabila permohonan pendaftaran merek diajukan dengan menggunakan hak prioritas, harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama sekali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization (Pasal 11). Yang dimaksud dengan kovensi Internasional dalam pasal ini adalah Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) tahun 1983 beserta segala perjanjian lain yang mengubah atau melengkapinya yang memuat beberapa ketentuan sebagai berikut : a. Jangka waktu untuk mengajukan permintaan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas adalah enam bulan. b. Jangka waktu enam bulan tersebut sejak tanggal pengajuan permintaan pertama di negara asal atau salah satu negara anggota Konvensi Paris. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
c. Tanggal pengajuan tidak termasuk dalam penghitungan jangka waktu enam bulan. d. Dalam hal jangka waktu terakhir adalah hari libur atau hari dimana Kantor Merek tutup, maka pengajuan permintaan pendaftaran merek dimana perlindungan dimintakan, jangka waktu diperpanjang sampai pada hari permulaan berikutnya.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property 1883 (sebagaimana telah beberapa kali diubah) atau Agreement Estabilishing the world Trade Organization. Permohonan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas wajib dilengkapi pula dengan bukti tentang penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali yang menimbulkan hak prioritas tersebut (Pasal 12 ayat (1)). Bukti hak prioritas tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Pasal 12 ayat (2)). Dalam hal ketentuan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya hak mengajukan permohonan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, permohonan tersebut tetap diproses, namun tanpa menggunakan hak prioritas. Pemeriksaan kelengkapan persyaratan Pendaftaran Merek (Pasal 13) diperiksa oleh Direktorat Jenderal. Bila terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan pendaftaran merek tersebut, Direktorat Jenderal meminta agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. Pendaftaran merek berfungsi sebagai: Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
a. Alat bukti bagi pemilik yang berhak atas merek terdaftar. b. Dasar penolakan terhadap merek yang dimohonkan pendaftaran. c. Dasar untuk mencegah orang lain memakai merek yang sama pada pokoknya atau pada keseluruhannya dalam perdagangan barang atau jasa sejenis maupun tidak sejenis.
Merek terdaftar menunjukkan legalitas bagi pemiliknya yang berarti hukum yang menganggap sah, melindungi, dan memberi kepastian bahwa orang yang mendaftarkan mereknya itulah sebagai pemilik yang berhak atas merek. Bagi pihak lain yang ingin mencoba menggunakan merek yang sama pada pokoknya atau keseluruhannya dari merek terdaftar pasti akan mendapat reaksi dari pemilik merek yang sah. Jika merek itu didaftarkan, permintaan pendaftarannya akan ditolak oleh Direktorat Jenderal. Bila kelengkapan persyaratan tersebut tidak dipenuhi dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal pengiriman surat permintaan itu untuk memenuhi kelengkapan persyaratan pendaftaran merek, maka Direktorat Jenderal memberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya bahwa permohonannya dianggap ditarik kembali, dan segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal tidak dapat ditarik kembali (Pasal 14). Undang-undang yang telah diterima oleh DPR bulan Juli 2001 ini memuat hal-hal baru yang tidak dijumpai dalam Undang-undang Merek lama diantaranya: sistem yang dianut sekarang ini menyatakan bahwa segera setelah diajukan permohonan untuk pendaftaran kepada Kantor Merek dilakukan pemeriksaan “Substantif” terhadap permohonan ini dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal penerimaan pendaftaran Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
(filing date). Berlainan dengan sistem terdahulu yang memerlukan waktu pengumuman terlebih dahulu sebelum dilakukan pemeriksaan substantif. 26 Hal ini dijelaskan dalam Pasal 18 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan, Direktorat Jenderal melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan dan pemeriksaan substantif diselesaikan dalam waktu paling lama 9 (Sembilan) bulan. Bila pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan substantif bahwa permohonan dapat disetujui untuk didaftar, atas persetujuan Direktorat Jenderal, permohonan tersebut diumumkan dalam Berita Resmi Merek (Pasal 20 ayat (1)). Bila pemeriksa melaporkan hasil pemeriksaan substantif bahwa permohonan tidak dapat didaftar atau ditolak atas persetujuan Direktorat Jenderal, hal tersebut diberitahukan secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Jadi Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 ini tidak ada lagi syarat pengumuman secara administratif, tetapi pada saat belum selesai masa pengumuman telah dimulai pemeriksaan substantif terlebih dahulu. Dengan demikian diharapkan supaya khalayak ramai lebih cepat mengetahui apakah permohonan bersangkutan disetujuui atau ditolak dan diberikan kesempatan kepada pihak ketiga lain untuk mengajukan keberatan terhadap permohonan yang telah disetujui untuk didaftar ini. Untuk itu waktu pengumumannya sekarang menjadi lebih singkat dan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman secara keseluruhan dapat mempersingkat jangka waktu penyelasaian permohonan pendaftaran. Hal ini adalah dalam rangka menigkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ini tentunya baru menurut 26
Sudargo Gautama, Rizawanto Winata, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hal. 1 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
teori dan aturan tertulis, bagaimana dalam praktek masih harus dilihat. selama ini ada fakta kalau mendaftarkan satu merek maka penyelesaianya kurang lebih memakan waktu satu setengah tahun, kadang-kadang lebih daripada itu. 27 Surat permohonan yang disertai persyaratannya paling lambat setelah 14 (empat belas) hari didaftarkan, harus diumumkan oleh Direktorat Jenderal. Selama 6 (enam) bulan merek yang sedang dalam proses penelitian (pemeriksaan) harus bisa diketahui oleh khalayak umum. Selama itu pula dimungkinkan pihak lain mengajukan keberatan terhadap permohonan pendaftaran merek yang bersangkutan. Selanjutnya, pihak yang mengajukan permohonan pendaftaran dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan salinan keberatan, bisa mengajukan sanggahannya atas keberatan termaksud. Dalam hal terdapat keberatan dan/ atau sanggahan, maka dilakukan pemeriksaan ulang
dengan
menggunakan
keberatan
dan/atau
sanggahan
tersebut
sebagai
pemeriksaannya. Pemeriksaan ulang tersebut harus selesai dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak berakhirnya pengumuman. Hasil dari pemeriksaan tersebut dapat berupa penolakan atau penerimaan permohonan pendaftaran merek tersebut, yaitu ditolak apabila keberatannya diterima dan sebaliknya apabila keberatannya ditolak maka pendaftaran mereknya diterima. Direktorat Jenderal untuk menentukan menerima atau ditolaknya permohonan pendaftaran tersebut mengadakan pemeriksaan substantif, yang diselesaikan paling lama dalam jangka waktu 9 (Sembilan) bulan. Setelah selesai pemeriksaan substantif, maka keluar keputusan atas permohonan tersebut, disetujui atau ditolak. Jika suatu pendaftaran
27
Ibid, hal. 9-10
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
merek ditolak berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, maka pendaftaran masih bisa minta banding kepada Komisi Banding Merek. Komisi Banding Merek adalah badan yang secara khusus dibentuk dilingkungan Departemen Kehakiman. Saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur Komisi Banding Merek, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1995 tentang Komisi Banding Merek. Adapun tugas dan wewenangnya, yaitu memeriksa dan memutuskan permohonan banding atas keputusan penolakan permohonan pendaftaran. Pendaftar yang ditolak pendaftaran mereknya, dalam mengajukan banding harus beralasan dengan menguraikan hal-hal yang menjadi keberatan terhadap dasar dan pertimbangan Direktorat Jenderal. Adapun tata cara pengajuan permohonan banding tersebut yaitu: a. Diajukan oleh orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum yang permohonan pendaftaran mereknya ditolak; b. Bila dilakukan melalui kuasa maka permohonan banding tersebut wajib dilengkapi dengan surat kuasa khusus; c. Dilakukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Ketua Komisi Banding, dengan tembusan kepada pimpinan Direktorat Jenderal; d. Diajukan dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat pemberitahuan penolakan; e. Permohonan banding dapat dilakukan secara langsung ke Direktorat Jenderal atau dikirim melalui jasa pos.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Apabila pada berkas permohonan banding ditemukan adanya 1 (satu) atau beberapa kekurangan dalam memenuhi persyaratan banding, maka Sekretariat Komisi Banding minta kepada pihak yang mengajukan banding untuk melengkapi kekurangankekurangnan tersebut sebelum jangka waktu bagi pengajuan permohonan banding berakhir. Komisi Banding memeriksa dan memutus permohonan banding secara majelis. Pemeriksaan banding dilakukan terhadap berkas permohonan banding yang telah diajukan kepada Sekretariat Komisi Banding. Keputusan Komisi Banding diberikan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan berkas permohonan banding. Keputusan Komisi Banding bersifat final, baik secara administratif maupun secara substantif. Final secara administratif artinya bahwa tidak ada jenjang yang lebih tinggi yang diberi kewenangan untuk memeriksa ulang keputusan Komisi Banding. Adapun final secara substantif artinya bahwa tidak ada ukuran lain yang dapat digunakan untuk menilai atau memeriksa putusan Komisi Banding. Singkatnya keputusan Komisi Banding bersifat tuntas baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi penilaian teknisnya.
2. PENDAFTARAN MEREK
Menurut Soegondo Soemodiredjo, S.H. dalam dunia internasional ada 4 (empat) sistem pendaftaran merek yaitu:
a. Pendaftaran tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Menurut sistem ini merek yang dimohonkan pendaftarannya segera didaftarkan asal syarat-syarat pernohonannya telah dipenuhi, antara lain pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan, pendaftaran.
b. Pendaftaran dengan pemeriksaan terlebih dahulu.
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman Barat, dan Jepang, menyelenggarakan pemeriksaan terlebih dahulu sebelum mendaftarkan suatu merek dalam Daftar Umum kantornya, terlebih dahulu diumumkan dalam Trade Journal/Kantor Pendaftaran Merek untuk jangka waktu tertentu memberikan kesempatan bagi pihak-pihak ketiga mengajukan keberatan. Apabila dalam jangka waktu yang diberikan tidak ada keberatan-keberatan yang diajukan, maka pendaftaran merek dikabulkan.
c. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. d. Pendaftaran dengan pemberitaan terlebih dahulu tentang adanya merek lain terdaftar yang ada persamaannya.
Merek hanya dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan pemiliknya atau kuasanya. Dalam pendaftaran merek, saat ini dikenal 2 (dua) macam sistem pendaftaran, yaitu :
a. Sistem deklaratif (passief stelsel), dan b. Sistem konstitutif (aktif) atau attributif.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Sistem deklaratif (pasif) mengandung pengertian bahwa pendaftaran itu bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan dugaan, atau sangkaan hukum (rechtsvermoeden), atau presemption iuris, yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang didaftarkan.
Menurut sistem ini pemakai pertamalah yang menciptakan suatu hak atas merek. Hak untuk atas merek diberikan kepada pihak yang untuk pertama kali memakai merek tersebut. Arti dalam Yurisprudensi HR tertanggal 1 Februari 1932, mengenai untuk pertama kali memakai merek tersebut adalah bahwa pemakaian pertama kali ini tidak berarti bahwa merek yang bersangkutan sudah dipakai sebelum orang lain memakainya, tetapi sudah dipakai sebelum pihak lawannya memakainya.
Dalam sistem deklaratif (pasif), fungsi pendaftran hanya memudahkan pembuktian bahwa dia adalah yang diduga sebagai pemilik yang sah karena pemakaian pertama. Dengan demikian, pendaftaran tidak merupakan suatu keharusan, tidak merupakan syarat mutlak bagi pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya. Oleh karena itu, sistem deklaratif memiliki kelemahan, yaitu kurang adanya kepastian hukum. Si pendaftar merek, masih dimungkinkan mendapat gugatan dari pihak lain bahwa sesungguhnya sebagai pemakai merek yang pertama kali adalah yang mengugat. Penggugat bisa dimungkinkan untuk membuktikan bahwa dialah yang lebih pertama memakai merek dibandingkan dengan pihak pendaftar.
Dalam sistem pasif, pada saat pendaftaran tidak diselidiki siapa yang sebenarnya merupakan pemilik asli merek yang bersangkutan. Juga, tidak diadakan pengumuman Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
terlebih dahulu untuk memberitahukan pada khalayak umum tentang adanya pihak yang mendaftarkan suatu merek tertentu. Dengan demikian, tidak adanya kesempatan pihak lain untuk menyanggah yang mendaftarkan mereknya.
Prosedur pendaftaran lebih ditekankan kepada hal-hal yang formal, surat permohonan hanya diterima dan dilihat tanggal pengajuannya. Kemudian, Kantor Merek hanya mencari di dalam registernya, apakah sudah ada pihak lain yang lebih dahulu mendaftarkan merek itu atau merek yang serupa dengan itu. Bila tidak ada, maka surat permohonan tersebut akan dikabulkan.
Sistem konstitutif mempunyai kelebihan dalam soal kepastian hukumnya. Biveraux International Reunis pour la Protection de la Propriete intelectualle (BIRPI) pada tahun 1967 memberikan suatu model hukum merek, di dalamnya sistem yang dianut adalah sistem konstitutif. Pasal 4 ayat (1), isinya menyebutkan bahwa bukanlah pemakaian, melainkan pendaftarannyalah yang dianggap penting, dan menentukan adanya merek. Paragrap i dari Pasal 4 ini menentukan bahwa hak eksklusif atas sesuatu merek diberikan oleh undang-undang karena pendaftaran (required by registration).
Menurut sistem konstitutif (aktif) dengan doktrinnya “prior in filing”, bahwa yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya dikenal pula dengan asas “presumption of ownership”. Jadi, pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas merek tersebut, pihak yang mendaftarkan merupakan satu-satunya yang berhak atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya si pendaftar sebagai hak mutlak.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Pendaftaranlah yang akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek. Meskipun demikian, bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas pemakaiannya dalam perdagangan (well known trademark), juga diberikan perlindungan terhadapnya terutama dari tindakan persaingan yang tidak jujur (Pasal 50 dan Pasal 52 sub a dari Model Law for Developing countries on Marks Trade Names, and Acts of Unfair Competition). Pemilihan suatu sistem pendaftaran merek ini berdasarkan alasan tertentu dengan melihat besar kecilnya manfaat yan didapat dengan menggunakan sistem tersebut. Indonesia dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek, yaitu Pasal 3 dan peraturan terakhir yaitu pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, telah menggunakan sistem konstitutif. Berbeda sebaliknya dengan asas yang dipakai sekarang maka pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, yaitu pada Pasal 2 ayat (1), asas yang dipakai adalah sistem deklaratif. Dengan penggunaan sistem konstitutif ini, maka tidak setiap orang atau badan hukum bisa secara sah memiliki merek dan akan dilindungi bila mereknya itu tidak didaftarkan. Hak atas merek ada jika mereknya dimintakan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal.
Cara pendaftaran merek di Indonesia yaitu :
a. Isi formulir yang telah disediakan dalam Bahasa Indonesia dan diketik rangkap empat. b. Lampirkan: (1) Surat pernyataan di atas kertas bermeterai Rp6.000 serta ditandatangani oleh pemohon langsung (bukan kuasa pemohon), yang menyatakan bahwa merek yang dimohonkan adalah milik pemohon; Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
(2) Surat kuasa khusus, apabila permohonan pendaftaran diajukan melalui kuasa pemohon; (3) Salinan resmi Akta Pendirian Badan Hukum atau fotocopynya yang ditandatangani oleh notaris, apabila pemohon badan hukum; (4) 24 lembar etiket merek (empat lembar dilekatkan pada formulir) yang dicetak di atas kertas; (5) Fotocopy KTP pemohon; (6) Bukti prioritas asli dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia apabila permohonan dilakukan dengan hak prioritas; dan (7) Bukti pembayaran biaya permohonan merek sebesar Rp450.000.
C. PEMEGANG HAK MEREK Pengertian hak atas merek menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Hak eksklusif (khusus) memakai merek ini yang berfungsi seperti suatu monopoli, hanya berlaku untuk barang atau jasa tertentu. Oleh karena suatu merek memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan, maka hak itu dapat dipertahakan terhadap siapa pun. Hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik, pemakaiannya meliputi pula barang ataupun jasa.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Sesuai dengan ketentuannya bahwa hak merek itu diberikan pengakuannya oleh negara, maka pendaftaran atas mereknya merupakan suatu keharusan apabila ia menghendaki agar menurut hukum dipandang secara sah sebagai orang yang berhak atas merek. Bagi orang yang mendaftarkan mereknya terdapat suatu kepastian hukum bahwa dialah yang berhak atas merek itu.
Sebagaimana dilihat dari penjelasan pasal tersebut, maka yang dimaksud dengan pemegang hak merek adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama (kolektif) dan sebuah badan hukum atau beberapa badan hukum secara bersama-sama (kolektif) yang pertama kali mendaftarkan mereknya kepada Direktorat Jenderal. Hal ini sesuai dengan sistem pendafraran merek yang digunakan di Indonesia, yaitu stelsel konstitutif. Barang siapa yang pertama kali mendaftarkan suatu merek barang atau jasa, maka kepadanya diberikan hak secara eksklusif (khusus) untuk memakai merek tersebut, sedangkan pihak lain tidak boleh memakainya, kecuali dengan adanya izin dari pemilik merek terdaftar tersebut. Dengan pengunaan sistem konstitutif ini maka tidak setiap orang atau badan hukum bisa secara sah memiliki merek dan akan dilindungi bila mereknya itu tidak didaftarkan. Hak atas merek ada jika mereknya dimintakan pendaftarannya pada Direktorat Jenderal.
Di dalam hukum positif Indonesia yang mengatur mengenai merek, selain diatur mengenai hak merek juga diatur mengenai indikasi geografis dan indikasi asal. Ketentuan tersebut juga dimuat dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yaitu pada Bab VII mulai Pasal 56 sampai dengan Pasal 60.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Berbeda dengan merek yang perlindungannya semata-mata karena adanya kreasi daya cipta manusia (faktor manusia) yang berada di lingkungan perdagangan dan jasa, maka indikasi geografis (geographical indication) dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut yang memberikan cirri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Hal itu menunjukkan identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas, reputasi dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut. Adanya tanda yang digunakan sebagai indikasi dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.
D. MASA BERLAKU HAK MEREK Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang (Pasal 28 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001). Jangka waktu perlindungan selama 10 (sepuluh) tahun tersebut sesuai dengan jangka waktu yang diatur dalam Model Hukum Merek dan Persaingan Tidak Jujur dari Bivieaux International Reunis pour la Protection de la Propriete Intelectualle (BIRPI), yang tercantum pada Pasal 16. Jangka waktu perlindungan ini dapat diperpanjang atas permohonan pemilik merek, jangka waktu perlindungan dapat diperpanjang setiap kali untuk jangka waktu Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
yang sama. Dalam hal perpanjangan ini biasanya tidak dilakukan lagi penelitian (examination) atas merek tersebut juga tidak dimungkinkan adanya bantahan. Prosedur permohonan perpanjangan waktu, dilakukan secara tertulis oleh pemilik atau kuasanya dalam jangka waktu tidak lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar tersebut. Permohonan perpanjangan waktu ini dapat diterima, tetapi dapat juga ditolak. Permohonan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar diterima dan disetujui apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek; 2. Barang atau jasa sebagaimana dalam Sertifikat Merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan.
Guna menguatkan bahwa merek tersebut masih digunakan pada barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan, maka pihak yang mengajukan permohonan perpanjangan perlu menyertakan surat keterangan yang diberikan oleh instansi yang membina bidang kegiatan usaha atau produksi barang atau jasa yang bersangkutan. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek yang disetujui dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek, juga diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya. Permohonan perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar karena alasan-alasan tertentu dapat saja ditolak. Penolakan ini diberitahukan secara tertulis
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Penolakan perpanjangan merek demikian terjadi apabila tidak memenuhi ketentuan, misalnya: 1. Melewati atau kurang dari jangka waktu yang ditetapkan untuk pengajuan kembali, yaitu melewati 12 (dua belas) bulan atau kurang dari 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek tersebut; 2. Tidak membayar biaya pengajuan perpanjangan; 3. Merek yang bersangkutan tidak digunakan lagi pada barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek; 4. Barang atau jasa sebagaimana dalam Sertifikat Merek tidak diproduksi dan diperdagangkan lagi.
Keberatan terhadap penolakan perpanjangan merek, dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut hanya dapat diajukan kasasi.
E. PENGALIHAN HAK ATAS MEREK TERDAFTAR Menurut pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No.15 Tahun 2001, hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan, baik melalui pewarisan, wasiat, hibah, maupun dengan cara perjanjian, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundangundangan. Pewarisan, wasiat, hibah, dan perjanjian merupakan istilah yang lazim digunakan dan telah dimengerti maksud dan istilah tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, yakni sepanjang Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
tidak bertentangan dengan Undang-undang Merek. Misalnya kepemilikan merek beralih karena pembubaran badan hukum yang semula merupakan pemillik merek. Dengan pembubaran badan hukum tersebut, kepemilikan merek dapat beralih kepada orang-orang tertentu yang memliki modal pada badan hukum tersebut. Pengalihan hak atas merek dapat dilakukan kepada perorangan maupun kepada badan hukum. Segala bentuk pengalihan ini wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek, dan permohonan pencatatan pengalihan hak atas merek tersebut disertai dengan dokumen yang mendukungnya. Dokumen yang dimaksud antara lain Sertifikat Merek dan bukti lainnya yang mendukung pemilik hak tersebut. Pengalihan hak atas merek terdaftar yang telah dicatat dalam Daftar Umum Merek diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Pentingnya pendaftaran terhadap pengalihan merek terdaftar tersebut karena pengalihan hak atas merek terdaftar yang tidak tercatat dalam Daftar Umum Merek tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Penentuan bahwa akibat hukum tersebut baru berlaku (terhadap pihak ketiga) setelah pengalihan hak atas merek dicatat dalam Daftar Umum Merek dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan dan mewujudkan kepastian hukum. Pencatatan pengalihan hak atas merek tetap dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang Merek. Disamping pengalihan hak atas merek terdaftar itu sendiri, pengalihan hak atas merek terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya yang terkait dengan merek tersebut.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Berbeda dengan pengalihan hak atas merek barang, pengalihan hak atas merek jasa yang terdaftar memiliki persyaratan tambahan. Hal itu disebabkan hak atas merek jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan, hanya dapat dialihkan dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kualitas pemberian jasa. Maksud ketentuan di atas adalah pengalihan hak atas merek jasa hanya dapat dilakukan apabila ada jaminan, baik dari pemilik merek maupun pemegang merek atau penerima lisensi untuk menjaga kualitas jasa yang diperdagangkannya. Untuk itu, perlu suatu pedoman khusus yang disusun oleh pemilik merek (pemberi lisensi atau pihak yang mengalihkan merek tersebut) mengenai metode atau cara pemberian jasa yang dilekati merek tersebut. Pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa. Pernyataan tertulis yang dimaksud untuk menjamin bahwa merek tersebut masih tetap akan digunakan sebagaimana sebelum terjadinya pengalihan. Persyaratan tentang adanya pernyataan tertulis tersebut hampir sama dengan persyaratan perpanjangan perlindungan merek. Hanya saja pada persyaratan perpanjangan perlindungan merek tidak disyaratkan adanya pernyataan tertulis asalkan barang dan/atau jasa yang menggunakan merek tersebut masih diproduksi dan diperdagangkan. Pengalihan hak atas merek terdaftar mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga hanya bila telah tercatat dalam Daftar Umum Merek. Menurut Prof. Sudargo Gautama, sistem pencatatan tersebut sebagai suatu yang mutlak untuk mempunyai kekuatan hukum Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
terhadap pihak ketiga, dan dengan demikian seolah-olah mempunyai kekuatan yang dianggap dalam hukum bersifat zakelijk. Selain melalui bentuk pengalihan merek, seseorang atau badan hukum dapat menggunakan merek tertentu dengan melalui cara Lisensi Merek. Sistem lisensi ini dianjurkan, antara lain di dalam “Model Law or Developing Countries on Marks, Trade Names, and Acts of Unfair Competition”. Di dalam rangka Paris Convention versi Stockholm, Pasal 6 quarter kita dapatkan bahwa ada ketentuan-ketentuan khusus mengenai pemindahan (assignment) dari suatu merek. Dinyatakan, bahwa apabila undang-undang dari suatu negara peserta Union mengatur assignment dari suatu merek sedemikian rupa hingga peralihan ini hanya sah jika pada saat bersamaan juga dialihkan “business” atau “goodwill” dari merek yang bersangkutan, oleh karena itu akan cukuplah untuk adanya peralihan ini, bahwa hanya sebagian dari “business” atau “goodwill” yang terletak di dalam negara itu dialihkan kepada pihak yang baru ini, sekaligus dengan hak eksklusif untuk membuat barang-barang yang bersangkutan dalam negara itu atau untuk menjual barang-barang dengan merek bersangkutan yang dialihkan itu.
F. PENGHAPUSAN DAN PEMBATALAN MEREK Penghapusan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal, baik atas prakarsa sendiri maupun berdasarkan permohonan pemilik merek yang bersangkutan.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Ketentuan penghapusan atas prakarsa Direktorat Jenderal dalam pengaturan Pasal 61 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001, yaitu dapat dilakukan jika memenuhi hal-hal berikut: 1. merek tidak digunakan berturut-turut selama 3 (tiga) tahun atau lebih dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal; 2. merek digunakan untuk jenis barang atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar.
Adapun alasan-alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal dalam hal tidak digunakannya merek dalam perdagangan barang atau jasa itu secara limitatif telah ditentukan dalam Pasal 61 ayat (3), yaitu karena adanya: larangan impor; larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang yang menggunakan merek yang bersangkutan atau keputusan dari pihak yang berwenang yang bersifat sementara; larangan serupa lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Selain Direktorat Jenderal, ada juga pihak yang berhak untuk menghapus pendaftaran merek dalam hal menghadapi kenyataan adanya 2 (dua) kondisi tersebut di atas, yaitu pihak ketiga. Pihak ketiga dapat mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran suatu merek berdasarkan alasan terpenuhinya kondisi tersebut. Adapun caranya dilakukan dengan bentuk gugatan melalui Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut tidak dapat diajukan permohonan banding, tetapi hanya dapat langsung diajukan permohonan kasasi atau peninjauan kembali. Mengenai salinan Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
putusan pengadilan yang memeriksa perkara tersebut disampaikan oleh Panitera kepada Direktorat Jenderal dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan tersebut. Sedangkan pelaksanaan penghapusan merek apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hokum yang tetap. Direktorat
Jenderal
dalam
menjalankan
prakarsanya
untuk
menghapus
pendaftaran merek, dilakukan dengan cara aktif mencari bukti-bukti atau mendasarkan pada masukan dari masyarakat guna dijadikan bahan pertimbangannya. Terhadap keputusan penghapusan pendaftaran merek ini, pemilik merek dapat mengajukan keberatan berupa gugatan melalui Pengadilan Niaga. Kesempatan pengajuan keberatan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepentigan kepada pihak pemilik merek yang bersangkutan. Mengenai penghapusan pendaftaran merek yang dilakukan atas permohonan pemilik merek diatur dalam ketentuan Pasal 62 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang merek. Permohonan penghapusan pendaftaran merek oleh pemillik merek, baik untuk sebagian atau seluruhjenis barang dan/atau jasa yang termasuk dalam 1 (satu) kelas, diajukan kepada Direktorat Jenderal. Permohonan penghapusan ini apabila masih terikat perjanjian lisensi, maka penghapusannya hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima lisensi, dan hal itupun bila tercantum secara tegas adanya persetujuan tersebut dalam perjanjian lisensinya. Permohonan penghapusan merek tersebut selanjutnya dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Penanganan prosedur tetap yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal dalam penghapusan pendaftaran merek, yaitu berupa pencoretan merek yang bersangkutan dari Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Daftar Umum Merek, dengan memberi catatan tentang alasan dan tanggal penghapusan. Keputusan penghapusan diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya. Dengan menyebutkan alasannya, dan penegasan bahwa terhitung sejak tanggal pencoretan dari Daftar Umum Merek Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku. Adanya penghapusan pendaftaran merek tersebut mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum atas merek yang bersangkutan. Dalam pengaturan merek selain dikenal mekanisme penghapusan pendaftaran merek, juga terdapat mekanisme pembatalan merek terdaftar. Pendaftaran merek hanya dapat dimintakan pembatalannya oleh pihak yang berkepentingan, yaitu antara lain; jaksa, yayasan/lembaga dibidang konsumen, dan majelis lembaga keagamaaan. Mereka dapat mengajukan gugatan merek dengan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang merek. Selain mereka yang berkepentingan tersebut di atas, dimungkinkan pula pemilik merek yang tidak terdaftar mengajukan gugatan dan sebelum gugatan tersebut terlebih dahulu diajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal. Akan tetapi, ada pengecualiannya, yaitu bagi pihak pemilik merek yang terkenal dan belum terdaftar dapat pula mengajukan gugatan setelah mengajukan permohonan pendaftaran merek kepada Direktorat Jenderal. Permohonan pembatalan diajukan melalui gugatan kepada Pengadilan Niaga, diantaranya karena alasan: 1. merek terdaftar yang pendaftarannya dilakukan oleh pihak yang tidak beritikad baik; 2. merek terdaftar tersebut mengandung salah satu unsur berupa: unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; tidak memiliki daya Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
pembeda; telah menjadi milik umum;atau merupakan keterangnan atau berkaitan dengan barang atau jassa yang dimintakan pendaftarannya; 3. adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek miliknya yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa sejenis yang termasuk dalam 1 (satu) kelas; 4. menyerupai nama orang terkenal, foto, dan nama badan hukum yang dimiliki orang lain; 5. peniruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem, dari negara atau lembaga nasional maupun internasional dengan cara tidak sah (tanpa izin tertulis); 6. peniruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah dengan cara tidak sah (tanpa izin tertulis); 7. menyerupai ciptaan orang lain yang dilindungi Hak Cipta dengan tanpa persetujuan tertulis.
Gugatan tersebut harus diajukan melalui Pengadilan Niaga. Dalam hal pemilik merek yang digugat pembatalannya bertempat tinggal di luar negara Indonesia, maka secara khusus ditentukan bahwa gugatan harus melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Gugatan pembatalan merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran. Namun demikian, untuk gugatan pembatalan dengan alasan merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, maka jangka waktunya tidak dibatasi.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Menyangkut perlawanan terhadap putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan ketentuannya hamper sama dengan ketentuan mekanisme perlawanan terhadap putusan gugatan penghapusan pendaftaran merek, yaitu terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut tidak dapat diajukan permohonan banding, tetapi hanya dapat langsung diajukan permohonan kasasi atau peninjauan kembali. Mengenai salinan putusan pengadilan yang memeriksa perkara tersebut disampaikan oleh Panitera kepada Direktorat Jenderal dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal putusan tersebut. Sedangkan pelaksanaan pembatalan pendaftaran merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS MEREK DAGANG DALAM SISTEM HUKUM MEREK DI INDONESIA
A. HAK-HAK PEMILIK MEREK DAGANG YANG TERDAFTAR Hak-hak pemilik merek dagang yang terdaftar diatur dalam Pasal 3 UndangUndang No.15 Tahun 2001 tentang Merek yang menyatakan bahwa pemilik merek yang terdaftar dalam daftar merek umum untuk jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek itu atau memberi izin kepada seorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Pemilik merek dagang yang terdaftar mempunyai hak khusus untuk menggunakan sendiri mereknya atau memberi izin kepada pihak lain untuk menggunakan mereknya selama jangka waktu tertentu, yaitu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan pendaftaran merek (filing date). Hak eksklusif artinya hak yang hanya diberikan oleh Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
negara kepada pemilik merek. Hak khusus tersebut meliputi penggunaan sendiri merek, artinya menikmati sendiri manfaat ekonomi merek melalui usaha yang dijalankan sendiri. Disamping itu, hak eksklusif meliputi juga hak memberi izin kepada pihak lain, artinya membolehkan pihak lain menggunakan mereknya untuk menikmati manfaat ekonomi berdasarkan perjanjian lisensi dengan menerima bayaran royalti. Hak eksklusif penggunaan merek terdaftar itu berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun, dan setelah tenggang waktu itu berakhir, pendaftaran merek tersebut dapat diperpanjang lagi dan seterusnya. Hak khusus penggunaan merek merupakan hak monopoli bagi pemiliknya yang hanya berlaku bagi barang atau jasa tertentu. Hak merek adalah kekayaan intelektual yang dapat dipertahankan terhadap siapa saja dan wajib dihormati oleh semua pihak. Oleh karena itu, pemilik merek terdaftar bebas menggunakan sendiri mereknya dan bebas pula memberikan izin melalui perjanjian lisensi kepada pihak lain yang akan ikut menikmati keuntungan ekonomi dari mereknya itu dengan membayar royalti. Apabila pemilik merek melisensikan mereknya kepada pihak lain, pembuatan perjanjian lisensi tersebut perlu memenuhi formalitas hukum. Artinya, perjanjian lisensi penggunaan merek harus dibuat dalam bentuk akta notaris karena akta notaris menjamin perlindungan yang kuat. Karena akta notaris adalah akta otentik, maka para pihak yang membuat perjanjian lisensi tersebut tidak dapat memungkiri isi yang telah disepakati dalam perjanjian lisensi. 28 Jadi dapat disimpulkan bahwa hak-hak pemilik merek dagang yang terdaftar adalah: 28
Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Angkasa Bakti, 2001, hal. 123 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
1. Pemegang hak dapat memberikan izin atau lisensi kepada pihak lain. 2. Pemegang
hak
dapat
melakukan
upaya
hukum
baik
perdata
maupun
pidana dengan masyarakat umum. 3. Adanya
kepastian
hukum
yaitu
pemegang
dapat
melakukan
usahanya
dengan tenang tanpa gangguan dari pihak lain. 4. Pemberian hak monopoli kepada pencipta kekayaan intelektual memungkinkan pencipta atau penemu tersebut dapat mengeksploitasi ciptaan/penemuannya secara ekonomi. Hasil dari komersialisasi penemuan tersebut memungkinkan pencipta karya intektual untuk terus berkarya dan meningkatkan mutu karyanya dan menjadi contoh bagi individu atau pihak lain, sehingga akan timbul keinginan pihak lain untuk juga dapat berkarya dengan lebih baik sehingga timbul kompetisi.
B. BENTUK-BENTUK PELANGGARAN PIDANA MEREK DAGANG DAN SANKSI HUKUMNYA
Setiap merek terdaftar dilindungi oleh Undang-undang. Perlindungan tersebut berlangsung selama 10 (sepuluh) tahun, karena pada merek melekat keuntungan ekonomi, maka selalu ada kecenderungan untuk memanfaatkan merek terkenal milik orang lain secara tidak sah (illegal). Pelanggaran terhadap hak merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan secara mudah, dengan mencoba, meniru, atau memalsu merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat. Tindakan tersebut dapat merugikan masyarakat, baik itu pihak produsen maupun pihak konsumennya, selain itu juga dapat merugikan negara. Apabila terjadi pelanggaran merek, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang secara tanpa hak Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
menggunakan merek untuk barang dan/atau jasa yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang terdaftar.
Bentuk-bentuk pelanggaran pidana merek dagang yang terdaftar adalah persaingan tidak jujur (unfair competition) dalam perdagangan meliputi cara-cara sebagai berikut:
1. Praktek peniruan merek dagang
Pengusaha yang beritikad tidak baik tersebut dalam hal persaingan tidak jujur semacam ini berwujud penggunaan upaya-upaya menggunakan merek terkenal yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang diproduksinya secara pokoknya sama dengan merek atau jasa yang sudah terkenal untuk menimbulkan kesan seakan-akan barang yang diproduksinya tersebut adalah produk terkenal tersebut.
2. Praktek pemalsuan merek dagang
Dalam hal ini persaingan tidak jujur tersebut dilakukan oleh pengusaha yang beritikad
tidak
baik
dengan
cara
memproduksi barang-barang
dengan
mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di masyarakat yang bukan merupakan haknya
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul merek Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Hal ini terjadi karena adanya tempat atau daerah suatu negara yang dapat menjadi kekuatan yang memberikan pengaruh baik pada suatu barang karena dianggap sebagai daerah penghasil jenis barang bermutu.
Persaingan tidak jujur (unfair competition) sangatlah tidak diharapkan terjadi. Pasal 10bis dari Konvensi Paris memuat ketentuan bahwa negara peserta Uni Paris terikat untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan yang tidak jujur. Dalam ayat keduanya ditentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practices industrial and commercial matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Sedangkan ayat ketiganya menentukan bahwa khususnya akan dilarang: “semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal usul barang atau berkenaan dengan usaha-usaha industrial dan komersial dari seorang pengusaha yang bersaingan”. Juga, ditentang semua tindakantindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat atau asal usul dari suatu barang.
Persaingan tidak jujur dengan sendirinya bersifat melawan hukum karena undangundang dan hukum memberikan perlindungan terhadap pergaulan yang tertib dalam dunia usaha. Persaingan tidak jujur inipun dapat pula digolongkan suatu tindak pidana sesuai dengan Pasal 382bis KUH Pidana. Perbuatan materil yang diancam dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda setingginya Rp.900,00 (Sembilan ratus rupiah) ialah melakukan perbuatan yang bersifat tipu muslihat untuk mengelabui masyarakat atau seorang tertentu. Pengelabuan ini
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
dipakai oleh si pembuat sebagai upaya untuk memelihara atau menambah hasil perdagangan atau perusahaannya si pembuat atau orang lain.
Dari setiap undang-undang yang mengatur merek maka pasti ditetapkan ketentuan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi untuk pelangar hak merek orang lain. Ketentuan yang mengaturnya dapat bersifat pidana, perdata, maupun administrasi, bahwa bias pula tindakan pencegahan lain yang bersifat nonyuridis.
Sanksi pidana terhadap suatu tindakan yang melanggar hak seseorang di bidang merek, selain itu diatur khusus dalam ketetentuan ssanksi peraturan perundang-undangan merek itu sendiri, juga terdapat dalam ketentuan pada KUH Pidana. Salah satu ketentuan yang terdapat dalam KUH Pidana, yaitu ketentuan Pasal 393 KUH Pidana yang berbunyi:
Pasal 393 ayat (1) KUH Pidana
“Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan terang untuk dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu nama, firma, atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan ditambahkan nama firma yang hayal, ataupun bahwa pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama. Firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu atau denda paling banyak Rp.600,00 (enam ratus rupiah).” Pasal 393 ayat (2) KUH Pidana Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
“Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat 5 (lima) tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan.”
Menurut pendapat R. Soesilo dalm bukunya “KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, yaitu dalam tindak pidana ini tidak perlu bahwa merek, nama atau firma yang dipasang persis serupa dengan merek, nama atau nama firma orang lain terssebut. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan yang kecil, tetap masih dapat dihukum. Menurut Ares Hooge Raat 28 November 1921, maka meskipun pada merek orang lain yang dipasang itu sudah ditambah dengan perkataan “imitatie” (tiruan), tetap masih dapat dihukum.
Ketentuan sanksi pidana yang mengatur khusus tindakan pelanggaran merek diatur pula dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, yaitu pada bab XIV, Pasal 90 sampai dengan pasal 95. Ketentuan khusus ini sesuai dengan asas hukum “lex specialis” dapat mengesampingkan ketentuan yang termuat dalam KUH Pidana terdapat aturan yang dapat memilik kesamaan.
Bentuk-bentuk pelanggaran pidana merek dagang menurut Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 Tentang merek, yaitu:
1. Penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak, untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 90).
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
2. Penggunaan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak, untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 91). 3. Penggunaan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (1)). 4. Penggunaan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain, untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar (Pasal 92 ayat (2)). 5. Pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografis (Pasal 92 ayat (3)). 6. Penggunaan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal, dengan sengaja dan tanpa hak, pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut (Pasal 93). 7. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran merek yang terdaftar (Pasal 94).
Perbuatan tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran hak indikasi geografis dan hak indikasi asal, semuanya dikualifikasikan sebagai kejahatan. Juga, meskipun dilakukan pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun kata-kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
tiruan dari barang yang terdaftar atau dilindungi berdasarkan hak indikasi geografis, tetap dapat dikenakan sanksi pidana karena melanggar hak indikasi geografis seseorang. Ketentuan sanksi terhadap pelanggaran Merek antara lain diatur sebagai berikut:
1. Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 2. Menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda maksimal Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 3. Menggunakan tanda yang sama pada keseluruhannya dengan indikasi geografis milik pihak lain dengan sengaja dan tanpa hak untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4. Pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografis, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 5. Penggunaan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi asal, dengan sengaja dan tanpa hak, pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
masyarakat mengenai asal barang atau jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). 6. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran merek yang terdaftar atau indikasi geografis, dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ketentuan pasal tersebut yang memuat sanksi pidana memberikan perlindungan kepada orang atau badan hukum yang merasa berhak atas merek. Dengan jalan melarang pemakaian merek secara tidak sah oleh pihak lain berupa pemakaian merek itu seluruhnya atau pada pokoknya menyerupai merek dari yang berhak itu pada barang atau jasa yang sejenis. Dengan adanya ketentuan sanksi pidana ini tidak mengurangi kemungkinan dari pihak yang berhak untuk melakukan gugatan perdata.
Dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, dilakukan penyempurnaan rumusan ketentuan pidananya. Ketentuan pidana yang semula tertulis “setiap orang” diubah menjadi “barang siapa”. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari penafsiran yang keliru bahwa pelanggaran oleh badan hukum tidak termasuk tindakan yang diancam dengan sanksi pidana.
Tindak pidana dalam merek merupakan delik aduan (Pasal 95). Pemilik terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang menggunakan mereknya. yang mempunyai persamaan baik pada pokoknya atau pada keseluruhannya secara tanpa hak, berupa permintaan ganti rugi dan penghentian pemakaian merek Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
tersebut. Hak mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Bab ini tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tindak pidana dibidang merek.
C. PENEGAKAN HUKUM OLEH PENGADILAN DALAM PERKARA PIDANA TERHADAP PELANGGARAN HAK MEREK
Studi kasus Pihak Termohon Peninjauan Kembali Dahulu Termohon-Penggugat PT. Mustika Citra Rasa. Berkedudukan di jalan Hayam Wuruk Nomor 79 Jakarta Barat.
Pihak Pemohon Peninjauan Kembali Dahulu Pemohon Kasasi-Tergugat DRS. F.X.Y. Kiantanto, S. Bertempat tinggal di jalan Magelang Nomor 80 Yogyakarta. Memberikan kuasa kepada Siti Zulfiah. K, SH., pengacara, beralamat di jalan Parang Sarpo II/ 38, Semarang, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 14 Febuari 2003
Deskripsi Kasus: Penggugat adalah pemegang dan pemilik satu-satunya merek HOLLAND BAKERY berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1203 K/ Pdt/ 1987 tanggal 28 April 1998, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 491/ Pdt.G/ 1998/ PN Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Jakarta Pusat tanggal 18 Januari 1990 jo sertifikat Merek Nomor 260637 tanggal 28 Juni 1990 yang telah dikeluarkan oleh Dirjen Hak Cipta, Paten, Merek Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Pada tanggal 21 November 1994 Ditjen HaKI kembali mengeluarkan sertifikat merek yang etiket mereknya sama dengan etiket merek Holland Bakery milik Penggugat, hanya saja kali ini dikeluarkan untuk kelas barang/jasa nomor 42 dan untuk jenis barang/jasa. Sertifikat merek tertanggal 21 November 1994 tersebut dikeluarkan oleh Ditjen HaKI adalah berdasarkan permohonan pendaftaran merek yang diajukan oleh tergugat melalui kuasanya pada tanggal 16 Agustus 1993, padahal menurut hemat penggugat selayaknya permohonan termaksud harus ditolak oleh Ditjen HaKI karena bertentangan dengan pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Sesuai dengan pasal 63 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek penggugat berhak untuk mengajukan gugatan penghapusan pendaftaran merek ke Pengadilan Niaga Semarang. Tergugat II, dimana hubungan Penggugat dengan Tergugat I sering terjadi perselisihan yang terus menerus yang menjurus pecahnya hubungan keluarga. Tindakan Tergugat yang memperdagangkan/ menjual dan memproduksi roti, kue, donat dan makanan kecilnya dengan merek Holland Bakery adalah tanpa kewenangan dan oleh karenanya merupakan perbuatan melawan hukum yang telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan Tergugat yang menggunakan mereknya tidak sesuai dengan merek jasa yang dimohonkan pendaftaran.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Tindakan Tergugat yang mendaftarkan merek Holland Bakery untuk kelas 42 dan yang kemudian telah menggunakan mereknya tidak sesuai dengan merek jasa sebagaimana yang dimohonkan pendaftaran, dengan memproduksi dan menjual roti, kuekue dan makanan kecil lainnya dengan merek Holland Bakery tentunya untuk mencari keuntungan dan memanfaatkan ketenaran merek Holland Bakery milik Penggugat, perbuatan mana jelas menimbulkan kerugian bagi Penggugat, mengingat merek Holland Bakery milik Penggugat tersebut telah dikenal dihampir seluruh kota-kota besar di Indonesia, sehingga jika dihubungkan dengan jangkauan pelayanan dan pemasaran Penggugat sera biaya yang dikeluarkan untuk memperkenalkan merek Holland Bakery di masyarakat hingga roti, kue-kue dan makanan kecil lainnya merek Holland Bakery milik Penggugat tersebut menjadi terkenal di masyarakat sebagi roti, kue-kue dan makanan kecil yang berkualitas dan enak, maka wajar apabila Penggugat untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat. Dengan dikabulkannya permintaan pendaftaran merek Holland Bakery untuk kelas barang Nomor 42 (jasa) yang diajukan oleh Tergugat, jelas telah menimbulkan kerancuan dan kebingungan baik bagi Penggugat maupun masyarakat umum, karena dalam kenyataannya di dalam lalu lintas perdagangan sangat sulit untuk membedaka yang manakah Holland Bakery untuk kelas barang (Nomor 30) dan yang manakah untuk kelas jasa (Nomor 42), hal mana mengigat untuk kelas barang (Nomor 30) diperbolehkan untuk memproduksi dan menjual, dan tentunya di dalam usahanya menjual dan memproduksi tersebut memerlukan tempat, yang untuk membedakannya dengan merek lain dipasang merek Holland Bakery pada tempat usahanya, sementara untuk kelas jasa (Nomor 42) ialah jasa dibidang penyediaan makanan dan minuman, maka pada tempat Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
usahanya juga akan dipasang merek Holland Bakery (meskipun pada tempat usahanya tersebut tidak diperbolehkan menjual dan membuat roti/ makanan (Nomor 30) dengan merek Holland Bakery, karena untuk kelas Nomor 30 telah menjadi pihak lain in casu Penggugat). Bahwa keadaan di mana suatu usaha dibidang jasa (penyediaan tempat usaha makanan) dengan merek Holland Bakery, sementara pemilik usaha tersebut ternyata pada orang yang berbeda, jelas menimbulkan suatu kerancuan dan kebingungan bagi para pihak yang bersangkutan maupun masyarakat dan oleh karenanya adalah wajar apabila Penggugat selaku pemilik dan pemegang merek Holland Bakery (kelas barang Nomor 30) yang telah mempergunakan dan memperkenalkan terlebih dahulu dimasyarakat roti, kue-kue, makanan kecil merek Holland Bakery dan yang kemudian telah mendaftarkan terlebih dahulu dari pihak lain termasuk Tergugat, berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam penggunaan mereknya tersebut baik untuk kelas barang maupun jasa, yang ternyata di dalam lalu lintas perdagangan sangat tipis perbedaannya, sehingga telah menimbulkan kerancuan dan kebingungan di dalam lalu lintas perdagangan. Pendaftaran merek Holland Bakery untuk kelas 42 yang diajukn oleh Tergugat, menurut hemat Penggugat seharusnya ditolak, mengingat merek Holland Bakery telah terdaftar di Ditjen HaKI (dahulu Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) atas nama Penggugat sejak tanggal 28 Juni 1990 yang didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 491/ Pdt.G/ 1998/ PN. JKT. PST tanggal 18 Januari 1990, sedangkan Tergugat baru mendaftarkan pada tanggal 16 Agustus 1993, pada saat mana merek Holland Bakery milik Penggugat sudah mulai terkenal di masyarakat terutama di kota-kota besar di Indonesia dan oleh karenanya telah jelas bahwa pendaftaran yang
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
diajukan oleh Tergugat adalah untuk mendompleng ketenaran merek Holland Bakery Milik Penggugat.
Putusan PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 05 PK/ N/ HaKI/ 2003: 1. Mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan pemohon PK: Drs. F.X.Y Kiatanto, S tersebut; 2. Membatalkan putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Agustus 2002 Nomor 14 K/ N/ HaKI/ 2002; 3. Menolak segala eksepsi Tergugat; 4. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 5. Menyatakan bahwa tindakan Tergugat yang memperdagangkan/ menjual dan memproduksi roti, kue, donat, dan makanan kecil lainnya dengan merek “Holland Bakery” tidak sesuai dengan merek jasa yang didaftarkan atas nama Tergugat; 6. Menyatakan hapus pendaftaran merek “Holland Bakery” atas nama Tergugat, Nomor pendaftaran 317559 tanggal 21 November 1994 untuk kelas jasa 42; 7. Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri/Niaga Semarang untuk segera menyampaikan salinan putusan ini kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yang selanjutnya menghapus pendaftaran merek “Holland Bakery” atas nama Tergugat tersebut dari Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek; 8. Menolak gugatan yang selebihnya;
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
9. Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Kasasi/ Tergugat untuk membayar perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ditentukan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Analisis Terhadap Pertimbangan hukum Peraturan Perundang-undangan yang dipakai dalam menyelesaikan masalah dalam bidang merek ada berbagai macam. Dalam kasus ini aturan-aturan yang dipakai Hakim dalam memberikan putusan, yaitu; a) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 014 K/ N/ HaKI/2002 tanggal 07 Agustus 2002 jo. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor 01/ Hk.M/ 2002/ PNIAGA. Smg tanggal 28 Mei 2002. b) Pasal 61 ayat (2) huruf b jo. Pasal 63 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menjelaskan tentang penghapusan pendaftaran merek . c) Pasal 118 RIB LN 1941/ 44, yang menjelaskan bahwa surat gugatan adalah dasar hukum satu-satunya untuk pemeriksaan perkara oleh Judex Facti. d) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 178 K/ Sip/ 1973 tertanggal 09 April 1973 yang menjelaskan mengenai Gugatan Kabur (Obscuur Libel). e) Pasal 3 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek lebih menitikberatkan pada sistem konstitutif/ atributif yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar tersebut. f) Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang penolakan permohonan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/ atau jasa yang sejenis. g) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam putusannya Nomor 1203 K/ Pdt/ 1987 tertanggal 28 April 1998, mengenai perkara yang berbeda dan pihak-pihak yang berbeda pula, namun oleh Judex Facti dipertimbangkan hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang Merek Nomor 15 Tahun 2001, yang tidak mengenal adanya pemakai pertama, dan dalam perkara a quo ini Termohon kasasi/ Penggugat asal memiliki merek dagang berdasarkan pengalihan hak. h) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa bagi pendaftaran merek. i) Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 307 K/ Sip/ 1976 tertanggal 07 Desember 1976 yaitu tuntutan uang paksa harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan Eksekusi Riil, akan tetapi dalam gugatan penghapusan merek tidak mengenal adanya suatu putusan berupa penghukuman (condemnatoir) yang mengeksekusi,
serta
menghentikan
tindakan
berupa
memperdagangkan,
memproduksi, hal ini sangat bertentangan dengan tujuan gugatan penghapusan merek terdaftar yang dimaksud dalam Pasal 61, karena Pasal 61 tidak mengenal adanya uang paksa (dwangsom). j) Berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 terhadap putusan Pengadilan Niaga hanya dapat diajukan Kasasi.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis memaparkan mengenai perlindungan merek di Indonesia bagi pemilik hak atas merek yang sah secara teoritis dan bagaimana penegakan hukum atas pelanggaran hak merek di Indonesia maka pada bagian akhir dari skripsi ini penulis akan membuat kesimpulan serta mengajukan saran-saran.
A. KESIMPULAN 1. Perlindungan Hukum Merek sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek adalah sistem konstitutif yang dapat diketahui dalam Pasal 3 Undangundang Nomor 15 Tahun 2001. Sistem konstitutif ini memberikan hak atas merek yang terdaftar. Jadi siapa yang mereknya terdaftar dalam Daftar Umum Kantor Merek, maka dialah yang berhak atas merek tersebut.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
2. Kedudukan pemegang hak atas merek yang sah adalah adanya kepastian hukum bagi pemilik atau pemegang merek yang sah dalam bentuk sertifikat sebagai bukti hak atas merek sekaligus dianggap sebagai pemegang pertama merek yang bersangkutan, pemilik merek mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. 3. Dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran hak atas merek di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dilakukan penyempurnaan rumusan ketentuan pidananya. Ketentuan pidana yang semula tertulis “setiap orang” diubah menjadi “barang siapa”. Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari penafsiran yang keliru bahwa pelanggaran oleh badan hukum tidak termasuk tindakan yang diancam dengan sanksi pidana.
B. SARAN Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Kepada pemilik merek agar terlebih dahulu mendaftarkan merek atas barang atau jasa yang diperdagangkan, karena pendaftaran tersebut akan menimbulkan perlindungan hukum terhadap segala bentuk pelanggaran atas merek yang mungkin dilakukan oleh pihak ketiga. 2. Kepada Pemegang Hak Merek Terdaftar agar segera melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila terjadi pelanggaran terhadap hak mereknya tersebut dan diharapkan pemegang hak merek selalu beritikad baik dan bersaing secara jujur. Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
3. Kepada Aparatur Penegak Hukum agar bersikap tegas, jujur, dan bersungguhsungguh dalam memberikan tindakan hukum serta menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terhadap pelanggaran hak atas merek dagang yang terdaftar.
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana, Muhamad, Djubaedillah, R., Hak Milik Intelektual, Bandung, PT. Citra Adtya Bakti, 2003 Firmansyah, Muhamad, Tata Cara Mengurus HaKI, Jakarta, Visimedia, 2008 Gautama, Sudargo, Rizawanto Winata, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002 Kesowo, Bambang, Segi-segi Hukum Hak Milik Intelektual, Bandung, Eresco, 1994 Mahadi, Hak Milik Immateril, Jakarta, BPHN-Bina Cipta, 1985 Miru, Ahmadi, Hukum Merek, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005 Muhammad, Abdul Kadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Angkasa Bakti, 2001 Purwadi, Ari, Aspek Hukum Perdata pada Perlindungan Konsumen, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nomor 1 dan 2, Tahun VII, 2000 Purwosucipto, H. M. N., Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1984 Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Ed.1, Cet. 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995 Saidin, OK., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Sembiring, Sentosa, Hak Kekayaan Intelektual Dalam Berbagai Peraturan Perundangundangan, Bandung, CV. Yrama Widya, 2002 Setyowati, Kristina, Pokok-Pokok Peraturan Perlindungan Varietas Tanaman, Jakarta, Harvindo Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat, 1993 Soeryati, Iur, Hukum Dagang, Jakarta, Paradnya Paramitha, 1980 Supramono, Gatot, Pendaftaran Merek, Jakarta, Djambatan, 1996 Tirtaadmijaya, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1962 Sumber-sumber lain: Yurisprudensi Mahakamah Agung RI. Tahun 2004 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek WWW. USU-Library, Pengaturan HaKI di Indonesia, 7 November 2009. WWW. USU-Library, Keuntungan dan Kerugian Tidak Didaftarkannya Merek dagang atau jasa, 5 September 2009.
Marojahan Hengky Siregar : Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek Di Indonesia (Studi kasus: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 05 PK/N/HaKI/2003), 2010.