Perlakuan Iradiasi Sinar UV-C terhadap Kedelai untuk Mengeradikasi Cendawan Model Microcyclus ulei Budhi Suherman, Totong Suwandi Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian (Applied Research Institute of Agricultural Quarantine)
Abstrak Pemasukan kedelai dari negara Brasil sebagai endemik penyakit South American Leaf Blight (SALB) beresiko introduksi cendawan Microcyclus ulei, penyebab penyakit SALB. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode perlakuan karantina yang efektif terhadap benih/biji kedelai (Glycine max L. Merrill) untuk mengeradikasi cendawan model M ulei. Pemilihan cendawan model didasarkan pada kedekatan secara taksa struktur morfologi adalah Colletotrichum gloeosporioides dan Pestalotia sp. Perlakuan irradiasi sinar UV-C untuk menekan pertumbuhan cendawan model M.ulei dilakukan terhadap isolat cendawan (tidak kontak langsung) dan terhadap suspensi cendawan (kontak langsung) C gloeosporioides, dan Pestalotia sp. Perlakuan irradiasi sinar UV-C ternyata tidak efektif untuk cendawan yang mempunyai ketahanan terhadap iradiasi UV-C seperti Pestalotia sp, namun efektif bila dilakukan terhadap C gloeosporioides. _______________________________________________________ Kata Kunci : Kedelai, Cendawan, Konidia, Irradiasi, Sinar UV-C, OPTK A1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan salah satu komoditas pokok masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan kedelai merupakan bahan baku pembuatan tempe dan tahu yang telah menjadi menu sehari-hari masyarakat Indonesia pada umumnya. Kebutuhan nasional untuk kedelai mencapai 2,2 juta ton per tahun, namun demikian hanya 30 persen kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Pemenuhan kekurangan kebutuhan sebesar 70% berasal dari impor (CABI, 2007). Pencanangan program pemerintah untuk meningkatkan kebutuhan kedelai nasional tahun 2014, turut mendorong importasi kedelai dari luar.
Importasi
kedelai tersebut berupa biji-bijian konsumsi dan benih, ditujukan untuk
1
pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Importasi biji-bijian dimaksudkan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, sedangkan importasi benih dimaksudkan untuk peningkatan produksi kedelai perhektar pertahun yang ada kecenderungan semakin menurun pada beberapa tahun terakhir (Anonim, 2009). Pertumbuhan produksi kedelai nasional pada tahun 2007 sudah berada di bawah produksi kedelai pada tahun 2003 atau turun sebesar 79 juta ton. Importasi kedelai dalam program kerja Kementerian Pertanian diimpor beberapa negara antara lain negara Brasil (Anonim, 2009). Brasil merupakan negara penghasil kedelai terbesar kedua di dunia, setelah USA. Kebijakan importasi kedelai dari negara endemik penyakit South American Leaf Blight (SALB) tersebut, pada sisi lain beresiko introduksi Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK) yang dilaporkan membahayakan bagi pertanaman karet Indonesia, yakni cendawan Microcyclus ulei, penyebab penyakit SALB. Cendawan M. ulei merupakan OPTK yang dicegah tangkal untuk masuk dan tersebar di negara-negara wilayah Asia Pasifik. Hal ini telah ditetapkan oleh negara anggota Asia Pacific Plant Protection Convention (APPPC), dalam rangka melindungi produksi Karet, dimana beberapa negara termasuk Indonesia yang merupakan produsen Karet dunia, merupakan negara anggota organisasi regional tersebut. Area produksi kedelai di Brasil tersebar luas mulai dari Brasil sebelah utara hingga bagian selatan. Namun area tersebut pada kenyataannya merupakan daerah sebar cendawan penyebab penyakit SALB. Hal ini menyebabkan kebijakan pemerintah untuk impor kedelai dari Brazil menghadapi kendala teknis. Konidia M. ulei diketahui dapat bertahan selama 16 minggu pada desicator bersuhu 24°C, sedangkan perithecia pada kondisi tersebut bertahan selama 3 minggu. Daya kecambah konidia disimpan selama 7 hari pada beberapa media pembawa bukan inang antara lain kaca, kertas, kain, kulit, besi, tanah kering, masih diatas 20%. Teknologi pemanfaatan sinar UV-C selama 60 menit mempunyai kemampuan untuk mematikan daya tumbuh konidia cendawan penyebab SALB hingga 100% (Hashim, 2006). Sinar UV ini diketahui hanya untuk mematikan daya kecambah spora yang berada pada permukaan (Lebai et al, 1997), meskipun sinar ini biasa digunakan sebagai perlakuan untuk menurunkan tingkat infeksi cendawan di Rumah Kaca (Hauvelink, 2006). Hasil uji coba oleh Balai Besar Uji Standar
2
Karantina Pertanian (BBUSKP) tahun 2008 menyebutkan bahwa sinar UV-C tidak mampu menembus permukaan bungkil kedelai, dan hanya berpengaruh terhadap cendawan model yang ada di permukaan bungkil kedelai. Namun uji coba tersebut masih perlu dilakukan pengkajian/uji terap karantina sehingga benar-benar diketahui efektifitas sinar UV-C dalam mengeliminasi cendawan M. ulei. Penggunaan
cendawan
model
sebagai
pengganti
cendawan
M.ulei,
dimaksudkan untuk menggunakan cendawan yang lebih tidak beresiko terhadap lingkungan pertanian di Indonesia. Pemilihan cendawan model dilakukan berdasarkan pendekatan taksonomi, dimana cendawan model mendekati secara genetik, serta cendawan yang mewakili struktur morfologi M. ulei. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan uji terap karantina sehingga tindakan karantina dari peraturan dan standart internasional dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan pertimbangan ilmiah terutama untuk antisipasi importasi kedelai dari Brasil. 1.2 Tujuan dan Keluaran Pelaksanaan uji terap pada tahun ini ditujukan untuk memperoleh metoda tertentu dengan dosis iradiasi maupun suhu tertentu yang efektif mengeradikasi patogen benih/ biji kedelai dan patogen model untuk M. ulei, yang memiliki kekerabatan yang dekat dengan cendawan penyebab SALB tersebut. Keluaran dari uji terap pada tahun ini adalah tersedia suatu metoda yang akurat untuk melakukan perlakuan terhadap benih/ biji kedelai untuk mengeliminasi cendawan pada benih/ biji dan cendawan model M. ulei.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai atau Glycine max L. Merill termasuk ke dalam filum Spermatophyta subfillum angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Fabales, family fabaceae, dan sub family papilionoideae. Kedelai adalah salah satu tanaman polongpolongan penting bagi masyarakat Indonesia, karena merupakan bahan dasar berbagai makanan maupun minuman yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, antara kecap, tahu, tempe, dan susu kedelai. Selain itu kedelai juga mengandung isoflavones yang berperan sebagai antioksidan dan bermanfaat bagi kesehatan manusia (Stajner et al. 2007). Konsumsi biji kedelai tertinggi di Indonesia adalah untuk bahan industri pangan, tahu dan tempe. Berdasarkan perhitungan, pada tahun 2001 konsumsi biji kedelai digunakan sebagai bahan baku olahan tahu dan tempe mencapai 1.776 juta ton atau sekitar 88% dari total kebutuhan dalam negeri (BPS 2002 dalam Simatupang et.al. 2005). Selain pangan, industri pakan ternak (unggas) juga merupakan kegiatan agribisnis hilir yang cukup penting dalam agribisnis kedelai. Dalam pembuatan pakan ternak, bungkil kedelai merupakan bahan terpenting kedua setelah jagung, yaitu sekitar 15-20 % dari komposisi pakan (Simatupang et al. 2005). Dalam hal memenuhi kebutuhan pangan dan pakan tersebut di atas, pemerintah mencanangkan program swasembada kedelai tahun 2014 sehingga mendorong dilakukannya importasi kedelai dari beberapa negara penghasil kedelai, salah satunya Brazil yang merupakan negara penghasil kedelai terbesar kedua di dunia setelah USA. Berdasarkan data yang terekam dalam sistem elektronik data Barantan (e-Plaq), importasi kedelai dari Brazil ke Indonesia lebih banyak dalam bentuk bungkil kedelai daripada bentuk biji kacang kedelai (Tabel 1). Tabel 1. Importasi kedelai dari Brazil, tahun 2010-2011 (Anonim. 2011) UPT tempat pemasukan BBKP Belawan
Komoditas
Jumlah (kg)
Kacang Kedelai
1.017.775
Bungkil Kedelai
43.010.030
BBKP Surabaya
Bungkil Kedelai
311.156.694
BBKP Tanjung Priok
Bungkil Kedelai
49.240
BKP Kelas II Cilegon
Bungkil Kedelai
275.278.612
Sumber : e-Plaq Barantan (diunduh 2011 Juni 6)
4
Perlakuan Irradiasi UV-C Saat ini, perlakuan fisik menjadi alternatif dalam pengendalian OPT pada komoditas pertanian, karena kemampuannya dalam menekan pertumbuhan OPT tanpa meninggalkan residu. Perlakuan iradiasi dosis tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi mikroba (candawan atau bakteri), karena mengakibatkan tidak sempurnanya pemisahan kromosom pada pembelahan sel sehingga sel kehilangan kemampuan untuk memperbanyak diri (Wahyudi et al. 2005). Perlakuan iradiasi UV-C sebagai perlakuan pasca panen saat ini sudah mulai populer. Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa perlakuan iradiasi UV-C 0.84 kJm-2 efektif
menghambat pertumbuhan miselium cendawan penyebab
antraknose buah pepaya (Colletotrichum gloeoesporioides), sedangkan dosis 0.4, 0.84, dan 1.3 kJm−2 mengurangi sporulasi cendawan pada buah pepaya yang terinfeksi cendawan tersebut (Patr´ıcia et. al. 2002). Perlakuan pada tanaman tomat terinfeksi Botrytis cinerea menunjukkan bahwa UV-C efektif mengurangi jumlah bercak pada batang apabila diberikan selama tiga kali dalam seminggu. Perlakuan UV-C ini direkomendasikan sebagai perlakuan lain selain penggunaan pestisida dalam proteksi tanaman (Heuvelink. 2006). Percobaan terhadap sporulasi cendawan Mycosphaerella fijiensis menunjukkan bahwa sinar UV dengan panjang gelombang 300-380 nm mampu menginduksi sporulasi dibanding panjang gelombang 200 – 300 nm (Etebu et al. 2005). Iradiasi sinar Ultra Violet C (panjang gelombang 200-280 nanometer) telah digunakan lebih dari seratus tahun sebagai perlakuan untuk membunuh mikroorganisme berbahaya yang ada di udara, seperti bakteri, virus, dan cendawan. Sejarah penggunaan sinar UV-C diawali oleh Niels Ryberg Finsen (1860-1904) yang memberi perlakuan terhadap beberapa mikroorganisme penyebab penyakit pada manusia. Melalui penelitian tersebut, berhasil membawa Niels Ryberg Finsen memperoleh hadiah Nobel untuk kategori Medicine pada tahun 1903, melalui lampu yang disebut Finsen curative lamp, yang sukses digunakan hingga tahun 1950.
5
Gambar 1. Daerah spektrum panjang gelombang sinar UV-C diantara sinar-sinar lainnya (sinar X, sinar Infra merah, dan sinar tampak) Penelitian oleh Costa et. al. (2005) menunjukkan bahwa perlakuan penyinaran UV-C sebagai perlakuan pasca panen, dapat dijadikan rekomendasi perlakuan non kimia yang sangat bermanfaat, dengan cara menunda kerusakan klorofil, mengurangi kerusakan jaringan, serta memelihara kapasitas antioksidan yang terkandung dalam Brokoli pada saat pasca panen. Iradiasi sinar UV-C selama 48 jam dengan dosis 1.62 Joule/cm2 mencegah pertumbuhan miselium cendawancendawan uji. Untuk Sclerotinia sclerotiorum terhambat pada dosis 0.215 Joule/cm2, untuk Alternaria alternata dan Curvularia inaequalis pada dosis 0.432 Joule/cm2, sedangkan cendawan Fusarium oxysporum, Trichoderma sp dan Macrophomina phaseolina terhambat pertumbuhan miselium pada dosis 0.81 Joule/cm2 (Palnagy, 2003). Kedelai Asal Brazil Brazil merupakan negara produsen kedelai terbesar di Amerika Selatan. Hasil produksi dan luas areal produksi kedelai di Brazil berkembang lebih pesat daripada di USA. Luas areal produksi kedelai di USA pada tahun 1987 sampai 1989 hanya 125%, sementara di Brazil mencapai 141% pada tahun 2001 sampai 2003, dan peningkatan hasil produksi kedelai Brazil mencapai 153%, sementara di USA hanya 124% (Flaskerud, 2003). Dewasa ini, Brazil memiliki luas areal kedelai sekitar 16.3 juta ha dengan produksi 42 juta ton per tahun (nomor dua terbesar setelah USA) dengan luas
6
areal 29 juta ha dan produksi 73 juta ton per tahun) (Arsyad, 2011). Daerah produksi kedelai di Brazil terletak di Rio Grande do Sul, Santa Catarina, Sao Paulo dan Parana, kemudian berkembang ke wilayah lainnya di Mato Grosso, mato Grosso do Sul, Minas Gerais (Flaskerud 2003). Namun, sebagian besar wilayah produksi kedelai tersebut juga merupakan daerah penyebaran penyakit SALB di Brazil, yaitu Sao Paulo, Parana, Mato Grosso, Mato Grosso do Sul, Minas Gerais (CABI, 2007). Selama ini, pencegahan masuknya M. ulei ke wilayah Republik Indonesia telah dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian melalui implementasi peraturan perundangan, yaitu : i. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 861/Kpts/LB.720/12/1989 tentang Pencegahan Masuknya Penyakit Hawar Daun Hevea Amerika Selatan ke Dalam Wilayah Republik Indonesia, dimana dalam lampiran Kepmentan tersebut menyebutkan bahwa perlakuan karantina yang diberikan terhadap hasil tanaman berupa hasil tanaman mati adalah perlakuan iradiasi sinar ultra violet (253-257 nm) selama 15 menit atau perlakuan uap panas 55°C selama 30 menit (Anonim, 2009). ii. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 38/Kpts/HK.310/8/2006 tentang Jenisjenis Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina Golongan I Kategori A1 dan A2, Golongan II Kategori A1 dan A2, Tanaman Inang, Media Pembawa dan Daerah Sebarnya, yang menetapkan bahwa M. ulei merupakan OPTK A1, yaitu OPT yang belum terdapat di Indonesia dan dicegah pemasukan dan penyebarannya ke wilayah Republik Indonesia. Namun, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlakuan terhadap komoditas pertanian yang berasal dari Negara endemis SALB sebagaimana tecantum dalam lampiran Kepmentan No. 861 tahun 1989 perlu ditinjau kembali, terutama karena belum tersedianya perlakuan terhadap komoditas khusus kedelai, baik benih maupun konsumsi (Anonim, 2009). Microcyclus ulei Penyebab Penyakit SALB Penyakit SALB disebabkan oleh cendawan Microcyclus ulei (Henn.) Arx [teleomorph]. Cendawan ini termasuk dalam cendawan Sebenarnya (True Fungi) yang telah diketahui siklus hidupnya secara lengkap. Secara taksonomi cendawan ini termasuk klas Ascomycetes. Taksonomi secara lengkap adalah sebagai
berikut
(CABI
2007):
Kingdom:Fungi;
Phylum:Ascomycota;
7
Class:Ascomycetes;
Subclass:Dothideomycetidae;
Order:Mycosphaerellales;
Family:Mycosphaerellaceae. Morfologi.
cendawan
ini
sangat
bervariasi
tergantung
dari
stadia
pertumbuhannnya. Pada stadia aseksual cendawan berbentuk konidia yang sangat spesifik. Konidia pada umumnya terdiri dari dua sel dengan bentuk salah satu selnya memutar. Stadia seksual terbentuk dari tubuh buah yang disebut askokarp/stroma yang didalamnya mengandung askus yang terdiri dari askospora. Bentukan stroma pada permukaan daun tampak kasar seperti kertas ampelas.
Askospora teridiri dari dua sel, bersepta, tidak berwarna, dan
berbentuk elip. Tanaman inang. M. Ulei terbatas pada genus Hevea (H. brasiliensis, H. benthamiana, H. camargoana, H. camporum, H. guianensis, H. pauciflora dan H. Spruceana), dan hibrida dari spesies Hevea.
Pada skala laboratorium, daun
cassava beriusia muda juga dapat terinfeksi (NTV Junqueira, EMBRAPA/CPAA, Brazil and R Lieberei, University of Hamburg, Germany, komunikasi personal, 1988). Pemencaran dan Penyebaran Penyakit. Penyebaran spora dalam suatu pertanaman, atau dari satu area ke area lain terjadi dengan bantuan angin, sementara hujan membantu pelepasan spora dan meningkatkan konsentrasi spora di udara. Angin sebagai media penyebaran jarak jauh, dan daun-daun kering mengandung askospora M. ulei juga dapat menjadi sumber infeksi yang terbawa angin. Secara tidak sengaja, spora juga dapat terbawa melalui vektor pasif, yaitu hewan dan manusia yang melakukan kontak dengan daun karet yang terinfeksi. Spora dan konidia M. ulei diketahui mampu dapat bertahan hidup pada kondisi ekstrem dan dalam waktu yang cukup lama, baik pada komoditas pertanian maupun meterilal lainnya (kaca, tanah kering, tanah basah, kertas, besi, plastic, pakaian, sepatu, karet). Konidia M. ulei diketahui dapat bertahan pada kaca obyek (glass slide) selama 16 minggu pada desikator (Chee,1976). Apabila spora dan konidia berhasil masuk ke Indonesia dan tersebar ke pertanaman karet, kemungkinan besar dapat berkembang dengan baik karena adanya kesamaan iklim Indonesia dengan habitat M. ulei di Brazil. Fakta-fakta tersebut mendorong Badan Karantina Pertanian lebih waspada dan aktif mencari teknologi terapan
8
yang efektif untuk mencegah masuknya M. ulei melalui pemasukan berbagai komoditas dari Brazil, terutama komoditas kedelai.
A
B
Gambar 2. A. Konidia (Struktur aseksual) dan B. tubuh buah Microcyclus ulei (Hashim, 2007). Cendawan sebagai Model Struktur Konidia Microcyclus ulei Cendawan yang digunakan sebagai model untuk struktur morfologi konidia M. ulei adalah Colletotrichum, dan Pestalotia.
Cendawan Colletotrichum
mempunyai klasifikasi dan tatanama sebagai berikut: Domain: Eukaryota , Kingdom:
Fungi,
Pylum:
Ascomycota,
Class:
Ascomycetes,
Subclass:
Sordariomycetidae. Struktur aseksual cendawan ini masuk dalam Cendawan Tidak Sempurna (Deuteromycetes), sama halnya dengan struktur aseksual cendawan penyebab SALB. Struktur aseksual pada Deuteromycetes biasanya bentukan yang disebut konidia. Cendawan kedua sebagai model konidia adalah Pestalotia, yang mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Fungi; Sordariomycetes;
Subclass:
Xylariomycetidae;
Phylum: Ascomycota; Class: Order:
Xylariales;
Family:
Amphisphaeriaceae; Genus: Pestalotiopsis; Species: P. rhododendri Binomial name Pestalotia rhododendri (D. Sacc.) Guba, (1929) Synonyms Pestalotia versicolor var. rhododendri D. Sacc.
9
III. BAHAN DAN METODE
1. Waktu dan Tempat Pengujian dilakukan di Laboratorium Plant Patologi BUTTMKP dan pada bulan Februari sampai dengan Oktober 2011 2. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam pelaksanaan uji terap teknik dan metode perlakuan karantina antara lain benih kedelai, isolat murni Colletotrichum gloeosporioides dan Pestalotia sp yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran Bandung, dan media Potato Dextrose Agar (PDA). Peralatan utama yang digunakan antara lain inkubator, laminar air flow, chamber perlakuan UV-C, dan peralatan lainnya. bahan
dan
peralatan
penunjang
lainnya
untuk
Jenis-jenis keperluan
pelaksanaan
uji
terap
sebagaimana pada Lampiran 1 dan 2.
3. Persiapan Perlakuan Perbanyakan isolat -
Perbanyakan isolat cendawan dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian. Perbanyakan dilakukan dengan cara mengambil biakan murni menggunakan bor gabus, kemudian letakkan biakan di bagian tengah petri yang sudah berisi media PDA,
-
Biakan cendawan kemudian diinkubasi dibawah sinar NUV selama 7 hari dengan pengaturan 12 jam gelap dan 12 jam terang,
-
Biakan isolat cendawan yang sudah tumbuh siap untuk digunakan untuk pengujian.
Inokulasi buatan Inokulasi buatan pada kedelai ditujukan agar diperoleh benih/ biji kedelai yang memiliki kepadatan populasi cendawan yang seragam.
Inokulasi cendawan
dilakukan dengan mencampur 50 gram kedelai pada 10 ml larutan inokulum cendawan yang telah dilarutkan dalam media Water Agar 2% dengan kepadatan populasi 104 cfu/ml, yang diperoleh dari penghitungan koloni menggunakan haemocitometer (Dono W. komunikasi pribadi, 2011).
Benih/ biji diletakkan
dalam kain kasa steril lalu dikeringkan di dalam desikator yang telah diberi silica
10
gel di bagian bawahnya selama 3 hari.
Benih yang kering telah siap diberi
perlakuan. Perlakuan Benih/ Biji Kedelai
a. Perlakuan Iradiasi Sinar Ultra Violet (UV-C) Uji Pendahuluan. Benih dan biji kedelai sebanyak 50 gram dibungkus plastik dengan rapat, kemudian diberi perlakuan UV-C kapasitas 40 Watt dengan panjang gelombang 200-280 nm selama 1,2,3,4,15,24,48 jam. Benih dan biji yang telah diberi perlakuan, sebanyak 200 buah kemudian ditempatkan pada nampan plastik berukuran 20 x 30 cm yang telah dialasi kertas tissue yang telah dibasahi aquades steril. Pengamatan kedelai dilakukan setiap hari, mulai hari pertama dengan mengamati jumlah kedelai yang berkecambah dan
persentase
infeksi.
Perlakuan
dilaksanakan
menggunakan
Rak
perlakuan UV-C yang terbuat dari alumunium dan terjaga dari sinar matahari langsung. Uji Lanjutan. Dosis yang diketahui efektif untuk perlakuan sebagai hasil uji pendahuluan ditetapkan sebagai dosis generik yang akan digunakan sebagai uji lanjutan.
lampu UV-C
40 cm
media
Gambar 3. Skema uji coba penyinaran UV-C terhadap benih/biji kedelai Pengujian daya tumbuh patogen dan tinggi tanaman Benih/ biji yang telah diberi perlakuan dengan sinar UV-C, dan benih tanpa perlakuan (benih control) selanjutnya untuk melihat viabilitas benih, kedelai ditumbuhkan dalam rumah kaca 6 hari setelah berkecambah. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase tinggi tanaman kedelai.
11
Kajian In-Vitro terhadap pertumbuhan dan perkembangan konidia/ spora cendawan model terhadap iradiasi UV-C Kajian secara in-vitro dilakukan terhadap biakan murni dari masing-masing jenis patogen yang telah mendapat perlakuan sinar UV secara langsung. 1. In-vitro Isolat Cendawan dengan Irradiasi sinar UV-C Perlakuan terhadap Isolat yang ditumbuhkan di Media PDA. Kajian invitro pengaruh perlakuan iradiasi UV-C terhadap masing-masing isolat cendawan dilakukan dengan memindahkan biakan murni masing-masing cendawan yang telah diperbanyak ke dalam cawan petri yang berisi PDA.
Dalam kondisi
cawan petri tertutup, masing-masing cawan diberi perlakuan UV-C (pada ruang chamber) dengan jarak 40 cm, dengan range waktu mulai, 1, 2, 3, 4, 15, 24 dan 48 jam. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Sebagai pembanding di buat kontrol. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan menghitung diameter koloni cendawan.
Perlakuan terhadap suspensi konidia. Kajian invitro dilakukan dengan pengujian perlakuan terhadap konidia cendawan secara langsung, yakni perlakuan langsung ke suspensi konidia cendawan. Kajian dilakukan dengan cara memindahkan konidia cendawan yang sudah tersedia dari hasil perbanyakan isolat ke erlenmeyer steril, kemudian kocok beberapa detik untuk homogenasi larutan. Larutan yang terbentuk diambil sebanyak 10 ml lalu dipindahkan ke petridish steril. Sebelum suspensi konidia tadi dilakukan perlakuan UV-C pastikan suspensi yang diambil benar-benar terdapat konidia target. Letakkan petridish yang berisi suspensi di bawah lampu UV-C dalam kondisi terbuka dengan range jarak 2 cm, 10 cm dan 20 cm dalam waktu 5 menit. Setelah itu suspensi konidia di ambil sebanyak 2 tetes, dan teteskan pada petri yang bermedia PDA masing satu tetes pada sisi berbeda. Ratakan ke arah berlawanan menggunakan glass rod steril (misal kalau larutan konidia diteteskan sebelah kiri cawan, ratakan ke arah kanan cawan, begitu sebaliknya), catatan: lakukan satu kali satu arah saja menggunakan glass rodnya. Inkubasi kembali selama 7 hari. Lakukan pengamatan terhadap perkecambahan konidia pada bagian paling akhir rataan glass rod berada (hal ini menunjukkan rataan paling rendah konsentrasi konidianya sehingga memudahkan pengamatan). Amati perkecambahan konidia setelah diinkubasi
12
(Dono W, komunikasi pribadi). Apabila cendawan belum membentuk konidia/ spora (misal Collletotrichum sp) suspensi konidia dapat diperoleh dengan metode pengumpanan (Baiting) sebagai berikut : 1. Siapkan petri yang telah mengandung PDA; 2. Letakkan
koloni
Colletotrichum
gloeosporioides
ditengah
petri
menggunakan Cork Borrer atau bor gabus; 3. Letakkan di keempat sisi mendekati koloni irisan 2 cm kulit buah cabe besar; yang telah disterilisasi pada autoclave bersuhu 121°C selama 1 menit; 4. Tutup petri dan sealed pada bagian tepi, lalu inkubasi pada NUV dengan pengaturan 12 jam terang dan 12 jam gelap selama 7 hari, 5. Setelah terbentuk konidia selama inkubasi baik sebelum hari ke 7 atau sesudahnya, tambahkan 10 ml air steril ke dalam petri untuk membuat larutan konidia (suspensi konidia); Pengamatan Percepatan pertumbuhan masing-masing jenis patogen pada media PDA, dengan cara menghitung diameter koloni cendawan setiap hari hingga hari ketujuh. Isolat murni cendawan yang sudah diperlakukan ditanam pada media PDA menggunakan bantuan bor gabus, kemudian cendawan diinkubasi pada ruangan inkubasi bersuhu 28°C dan kelembaban 80%, dengan pengaturan penyinaran 12 jam gelap dan 12 jam terang. Diameter koloni diamati setiap hari hingga hari ke tujuh (Gambar 4). .
13
Koloni cendawan
Diameter koloni
Gambar 4. Koloni dan diameter koloni cendawan uji 4. Rancangan Uji Terap Rancangan uji terap perlakuan karantina dari masing-masing perlakuan menggunakan sinar ultra violet menggunakan Rancangan Acak Lengkap meliputi dosis/ intensitas iradiasi atau suhu pemanasan dan jenis cendawan model.
IV. HASIL
Perlakuan Iradiasi Sinar UV-C Uji pendahuluan perlakuan iradiasi sinar UV-C terhadap pertumbuhan dan perkembangan kedelai ditujukan untuk mengetahui waktu iradiasi sinar UV-C yang berpengaruh dan akan digunakan pada uji lanjutan.
Hasil pengamatan
pasca 5 hari setelah perlakuan iradiasi sinar UV-C terhadap perkecambahan kedelai dan jumlah infeksi menunjukkan bahwa jumlah infeksi dengan perkecambahan berbeda dari tiap-tiap komoditas. Persen infeksi dan kecambah pada kedelai berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan, namun demikian perlakuan UV-C hanya berpengaruh terhadap persen infeksi namun tidak berpengaruh terhadap persen kecambah (Gambar 10 dan 11).
14
Gambar 10. Rerata (%) kecambah kedelai 5 hari setelah perlakuan (hsp) UV-C
Gambar 11. Rerata (%) infeksi kedelai 5 hsp UV-C
Uji pendahuluan terhadap isolat cendawan model menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi sinar UV-C (tidak kontak langsung) tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata antara perlakuan dengan kontrol (Gambar 12).
Kontrol
Perlakuan UV-C (selama 2 hari)
Gambar 12. Pengaruh perlakuan UV-C tidak kontak langsung terhadap diameter isolat Pestalotia sp (5 hsp).
15
Uji lanjutan perlakuan iradiasi sinar UV-C secara invitro (kontak langsung) kemudian dilakukan hanya terhadap dua cendawan model yakni Colletotrichum dan Pestalotia. Pemilihan cendawan Colletotrichum gloeosporioides dan Pestalotia
sp
adalah
sebagai
cendawan
model
yang
paling
dekat
kekerabatannya dengan M. ulei. Pengaruh perlakuan hanya secara signifikan terjadi pada suspensi konidia Colletotrichum yang ditunjukkan dengan konidia yang tidak berkecambah 1 hsp di semua ulangan (Gambar 13 dan 14), namun pada Pestalotia menunjukkan perkecambahan konidia di semua ulangan pada 1 hsp (Gambar 15 dan 16). Uji invivo terhadap kedelai yang sudah diinfeksi tidak dilakukan dikarenakan berdasarkan hasil uji pendahuluan, iradiasi UV-C memberikan hasil yang tidak konsisten, sehingga sulit menentukan dosis generik untuk UV-C.
Perlakuan UV-C selama 5 menit
Kontrol
Gambar 13. Pengaruh perlakuan UV-C dosis 2 J/cm2 terhadap isolat Colletotrichum gloeosporioides dengan kontak langsung (2 hsp)
Kontrol M. 400 X
Perlakuan UV-C selama 1 jam M. 200 X
16
Gambar 14. Pengaruh perlakuan UV-C terhadap konidia Colletotrichum gloeosporioides dengan kontak langsung (4 jam setelah perlakuan ) dengan dosis 2 J/cm2 selama 1 jam
Kontrol
Perlakuan UV-C selama 5 menit
Gambar 15. Pengaruh perlakuan UV-C dosis 2 J/cm2 terhadap Pestalotia sp dengan kontak langsung (7 hsp)
Perlakuan UV-C selama 1 jam M.200x
Kontrol M. 200x
Gambar 16. Pengaruh perlakuan UV-C terhadap Pestalotia sp dengan kontak langsung (1 hsp) dengan dosis 2 J/cm2 selama 1 jam
Dari hasil uji Tukey menunjukkan perlakuan UV-C tidak kontak langsung tidak mempengaruhi pertumbuhan cendawan model (Tabel 3). Pengaruh perlakuan
17
UV-C terhadap infeksi kedelai menunjukkan pengaruh nyata pada benih, biji dan bungkil kedelai (Tabel 4)
Tabel 3. Pengaruh perlakuan UV-C tidak kontak langsung terhadap diameter isolat kedua cendawan (5 hsp) Waktu (jam) = dosis (J/cm2)
N
48 (0,1 )
20
5.5 a
4
(0,1)
20
5.4 ab
3
(0,1)
20
5.3 ab
24 (0,1)
20
5.3 ab
2
(0,1)
20
5.3 ab
15 (0,1)
20
5.2 ab
1
20
5.2 ab
20
5.1 b
(0,1)
0
Diameter Koloni (cm)
Keterangan: angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Tukey dengan taraf kepercayaan 5% dengan program minitab 16, dengan F hitung > P value
Tabel 4 Rerata Perkecambahan dan Infeksi pada kedelai 5 hsp UV-C Perlakuan (jam)
kecambah
24
3,9 a
3,9 a
1
3,7 a
5,3
0 (kontrol)
2,3
b
infeksi
6,4
b c
Ket: angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Tukey dengan taraf kepercayaan 5% dengan program minitab 16 (F hitung > P value).
V. PEMBAHASAN
Menurut Agrios (2005) dan Mari et. al. (2009), perlakuan fisik terhadap komoditas pertanian sebagai perlakuan pre dan pasca panen menggunakan panas dan iradiasi sinar UV merupakan perlakuan yang direkomendasikan karena murah, mudah, dapat mematikan patogen yang ada di permukaan komoditas, serta ramah lingkungan.
18
Perlakuan iradiasi sinar UV-C Dari hasil uji Tukey menunjukkan perlakuan UV-C tidak kontak langsung tidak mempengaruhi pertumbuhan cendawan model, hal ini disebabkan karena sinar UV-C tidak mampu menembus petri dish. Menurut Pickle (2009): iradiasi UV-C tidak berpengaruh terhadap penyakit Cercospora dan Alternaria pada wortel. Dari hasil perlakuan UV-C dengan kontak langsung selama 5 menit dengan dosis 2 J/cm2 menunjukkan bahwa konidia Colletotrichum gloeosporioides efektif tidak tumbuh (gambar 14), namun untuk konidia Pestalotia sp tidak berpengaruh (gambar 16), disebabkan karena struktur ketahanan kedua konidia berbeda. Menurut Alexopoulus et. al. (1996) konidia berwarna lebih gelap, termasuk Pestalotia, mempunyai struktur sel yang lebih tahan terhadap pengaruh fisik dibanding konidia yang tidak berwarna (hyaline) termasuk Colletotrichum. Hal ini diperkuat lagi menurut Patrıcia et. al. 2002) dari beberapa penelitian membuktikan bahwa perlakuan iradiasi UV-C 0.84 kJm-2 efektif menghambat pertumbuhan
miselium
cendawan
penyebab
antraknosa
buah
pepaya
(Colletotrichum gloeoesporioides), sedangkan dosis 0.4, 0.84, and 1.3 kJm −2 mengurangi sporulasi cendawan pada buah pepaya yang terinfeksi cendawan tersebut. Menurut Sholberg dan Conway (2002), perlakuan UV-C mempunyai mekanisme ganda yakni mengurangi jumlah inokulum patogen serta menginduksi ketahanan tanaman.
Menurut Pickle (2009)
iradiasi UV-C tidak berpengaruh terhadap
penyakit Cercospora dan Alternaria pada tanaman wortel. Menurut Pombo et.al. (2009) pada penyimpanan buah strawbery menunjukkan bahwa perlakuan UV-C pada strawbery mampu memperpanjang masa pematangan strawbery. Hal ini terjadi karena UV-C telah memodifikasi ekspresi gen yang terlibat dalam kerusakan dinding sel pada buah strawberry sehingga tetap segar atau mengalami penundaan pematangan.
19
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan dari hipotesa atau tujuan uji terap ini, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: . •
Perlakuan iradiasi sinar UV-C tidak efektif untuk cendawan yang mempunyai ketahanan terhadap iradiasi UV-C seperti Pestalotia sp, namun efektif dilakukan terhadap Colletotrichum gloeosporioides dengan dosis 2 J/cm2 selama 5 menit.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agrios GN. 2005. Plant Pathology (edisi ke 5). Amsterdam: Elsevier Aca. Pr.948 h.
Alexopoulus C.J, Mims C.W, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology, Fourth Edition. Canada:John Wiley & Sons, Inc. 880 h. Arsyad DM. 2011 Mei 23. Sejarah sukses kedelai di Brazil dan swasembada di Indonesia [internet]. Sinar Tani on line; [diunduh 2011 Mei 26]. Tersedia pada : http://www.sinartani.com/agriwacana/sejarah-sukses-kedelai-brazildan-swasembada-indonesia-1207554928.htm. Barkai-Golan R. 2001. Postharvest Diseases of Fruits and Vegetables : Development and Control. Amsterdam: ELSEVIER Publishing. [CABI] Centre in Agricultural and Biological Institute. 2007. Crop Protection Compendium [CD-ROM]. London (UK) : CABI Publish. Chee, KH. 1976. Factors affecting discharge, germinating and viability of spores of Microcyclus ulei [abstrak]. British Myco Soc. [internet]. [diunduh 2011 Mei 20]; 66: 499-504. Tersedia pada: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=Article URL. DOI : 10.1016./S0007-1536(76)80221-5. Costa L., Vicente A.R., Civello P.M., Chaves A.R., dan Martinez G.A. 2006. UVC treatment delays postharvest senescence in broccoli florets. Postharvest Biology and Technology. Vol.39 (2): 204-210. Cruz C.D. dan A. E. Dorrance. 2009. Characterization and Survival of Cercospora sojina in Ohio. Plant Management Network. Fahmi A. 2004. Kajian penetrasi panas pada buah apel (Malus sylvestris Mill) selama proses heat treatment. [tesis]. Bogor: ekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Flaskerud G. 2003. Brazil’s soybean production and impact [internet]. North Dakota (US): NDSU Extension Service; [diunduh 2011 Juni 6]. Tersedia pada : http://www.ag.ndsu.edu/pubs/plantsci/rowcrops/eb79.pdf. Geweely NSI dan Nawart LS., 2006. Sensitivity to Gamma Irradiation of Post Harvest Pathogens of Pear. Int.J.Agric.Biol.Vol8 No.6 : 710-716. Hashim I. 2006. South American Leaf Blight (Microcyclus ulei) of Hevea Rubber. Malaysian Rubber Board.
21
Hwang K.T. Kim J.E, Park J.N, Yang J.S. 2006 Effects of roasting, powdering and storing irradiated soybeans on hydrocarbon detection for identifying post-irradiation of soybeans [internet]. Food Chem. 102: 263-269. DOI : 10.1016/j.foodchem. 2006. 05 015. Kimura, N. and T. Tsuge, 1993. Gene cluster involved in melanin biosynthesis of the lamentous fungus Alternaria alternata. J. Bacteriol., 175: 4427–35. LebaiJuri M, Bahari I, Lieberaei R, Omar M. 1997. The effect of X-rays, UV, suhue and sterilant on the survival of fungal conidia Microcyclus ulei, a blight of hevea rubber. J Trop Sci. 37: 92-98. Mahrous S.R. 2007. Chemical properties of Aspergillus flavus-infected soybean seeds exposed to γ-irradiation during storage [abstrak]. Intl J Agric Biol. [internet]. [diunduh 2011 Mei 20]; 2: 231-238. Tersedia pada : http://www.fspublishers.org. Maity J.P, Kar S, Banerjee S, Chakraborty A, Santra SC. 2009. Effects of gamma irradiation on long-storage seeds of Oryza sativa (CV.2233) and their surface infecting fungal diversity. J Radiation Physc & Chemist. 78 (11) : 1006-1010. Mari M., Neri F., dan Bertolini P. 2009. New Approach for Postharvest Diseases Control in Europe. Plant Pathology Vol 2 : 119-130. Mostafavi H.A., Mirmajlessi S.M., Fathollahi H., Minassyan V., dan Mirjalili S.M. 2011. Evaluation of Gamma Irradiation Effect and Pseudomonas Flourescens Against Penicillium expansum. African J.og Biothech. Vol.10 (54) : 11290-11293. Pickle K.R. 2009. The effect of photo, physical and mechanical (PPM) pre treatment controlling certasin pest adn diseases in carrots, Daucus carota L. var. Sativus cv. Carson. [thesis]. Dalhousie University, Halifax, Nova Scotia. Pombo MA., MC Dotto, GA Martinez, dan PM Civello. 2009. UV-C irradiation delays strawberry fruit softening and modifies the expression of genes involved in cell wall degradation. Postharvest Biology and Technology 51: 141-148. Shatele M.S. 2009. Effect of Gamma Irradiation on Fungal Growth and Asscociated Pathogens. Research Journal of Environmental Toxicology 3: 94-100. Simatupang P, Marwoto, Swastika D.K.S. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia [internet]. Di dalam: Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub Optimal di BALITKABI; 2005 Juli 26; Malang (ID); [diunduh 2011 Juni 6]. Tersedia pada : http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2005_IV_10.pdf. Sommer, N.F., E.C. Maxie and R.J. Fortiage. 1964. Quantitative dose response of prunus fruit decay to Gamma irradiation. Radiat.Bot. 4:309-316.
22
Sommerse, C.H. and B. Glenn. 2006. Variations in the radiation sensitifity of foodborne pathogens associated with complex ready-to-eat food product. Radiat.Phys.Chem., 75: 773-778. Stajner D, Milosevic M, Popovic B.M. 2007. Irradiation effects on phenolic content, lipid and protein oxidation and scavenger ability of soybean seeds. Intl. J. Mol. Sci. 28: 618-627. Stevens C, Khan V.A, Lu J.Y, Wilson C.L, Pusey P.L, Kabwe M.K, Igwegbe E.C.K, Chalutz E. Droby S. 1998. The Germicidal and hermetic effects of UV-C light on reducing brown rot disease nand yeast microflora of peaches. Crop Prot. 17 (1): 75-84. Tauxe, R.V. 2001. Food Safety and irradiation: Protection the public from food borne infections. Emerg.Infect. Dis. 7:516-521. Thomas GJ, Adcock KG. 2004. Exposure to dry heat reduces anthracnose infection of lupin seed [abstrak]. Aust Plant Pathol. [internet]. [diunduh 2011 Mei 27]; 33: 537-540. Tersedia pada http://www.publish.csiro.au/journals/app. Wahyudi P, Suwahyono U, Harsoyo, Mumpuni A, Wahyuningsih D. 2005. Pengaruh pemaparan sinar gamma isotop cobalt-60 dose 0,251 kGy terhadap daya antagonistic Trichoderma harzianum pada Fusarium oxysporum. Berk Penel Hayati. [internet]. [diunduh 2011 Mei 20]; 10: 143151. Wilson, K.S., J.H. Perryand and M. Walter, 1998. Persistance and survival of saprophytic fungi antagonistic to Botrytis cinerea on kiwifruit leaves. Proc. 51st N.Z. Plant Protection Conference, 96–10
23
Lampiran
Tabel 8. Bahan dan peralatan habis pakai untuk pelaksanaan uji terap perlakuan benih kedelai: No.
Jenis bahan dan peralatan habis
Jumlah
pakai yang diperlukan 1.
Kapas
5 kg
2.
Kertas Saring
200 lembar
3.
Distilled water
80 liter
4.
Potato Dextrosa Agar (Difco)
4 flask
5.
Malt Agar (Merk)
2 flask
6.
Agar (Merk)
4 flask
7.
Nutrient Broth
1 flask
8.
Benih Kedelai
10 kg
9.
Isolat Murni Pestalotia sp
4 petri
10.
Isolat murni Colletotrichum gloeosporioides
4 petri
11.
Kertas HVS
5 rim
12.
Turner
2 tube
13.
Flask Disk 8 Gb
4 buah
14.
Erlemeyer 500 ml
20 buah
15.
Erlemeyer 1000 ml
5 buah
16.
Beaker glass 250 ml
20 buah
17.
Beaker glass 500 ml
20 buah
18.
Petri dish diameter 12,5 cm
100 buah
19.
Disetting set
3 set
20.
Marker kaca
5 buah
21.
Alcohol 96%
40 liter
22.
Lampu UVC 40 watt
4 tubes
23.
Natrium Hypoclorite
4 liter
24.
Carbol
5 liter
25.
Plastik bag 2 kg
5 kg
26.
Plastik bag 5 kg
5 kg
27.
Media tanah
20 karung
24
28.
Peralatan tanam
3 set
29.
Mistar 50 cm
4 buah
30.
Selang penyiram tanaman
10 meter
31.
Sprinkler halus
3 buah
32.
Karung goni
20 buah
33.
Gelas ukur 1 liter
2 buah
34.
Gelas ukur 500 ml
2 buah
35.
Aluminium foil
20 box
36.
Digital Thermohigrometer
1 unit
37.
Flask untuk sterilisasi ukuarn 1 liter, 500 ml, 250 ml
9 buah
38.
Lux meter
1 set
39.
Hemacytometer
1 set
40.
Mikrometer
1 set
41.
Sarung tangan (ukuran S,M,L)
@ 5 boks
42.
Disposable masker
10 boks
43.
Kertas towel
12 buah
44.
Aquabidestilata
12 buah/boks
45.
Cling wrap
5 buah
46.
Jarum isolasi (steinless steel)
40 buah
47.
Polybag ukuran diameter 25 cm
100 buah
48.
Thermohigrometer digital
10 buah
49.
Disposable pipet plastik 1 ml
1 boks
50.
Tabung reaksi 10 ml berpenutup
50 buah
51.
Rak tabung reaksi (steinless)
5 buah
52.
Rak koleksi (steinless stell)
1 buah
53.
Obyek glass
10 buah
54.
Cover glass ukuran (18X18) mm
12 buah/boks
55.
Cuteks bening merk Revlon
5 buah
56.
Parafilm
2 buah
57.
Corong kaca diameter 15 cm
2 buah
58.
Gelas ukur 1000 ml, 200 ml, 10 ml
@ 2 buah
59.
Spraying Bottle (plastic)
2 buah
60.
Bor gabus
2 buah
25
61.
Nampan 20 x 30 cm
30 buah
62.
Asam sulfat
500 ml
63.
Serbet
3 buah
64.
Sabun cuci sunlight 1 ltr
3 btl
65.
Sabun cuci tangan
4 btl
66.
Polybag diameter 30 cm
100 buah
Tabel 9. Daftar Alat dan Ruang Yang Digunakan
No.
Nama Alat
Keterangan
1.
Oven
Ada
2.
Autoclave
Ada
3.
Laminar Air Flow
Ada
4.
Rak perlakuan UV -C
Ada
5.
Iradiator
Ada
6.
Rak/ ruang inkubasi
Ada
7.
Ruang isolasi
Ada
8.
Rumah Kasa
Ada
9.
Mikroskop Stereo
Ada
10.
Mikroskop kompon
Ada
11.
Desicator Glass Diameter 30 cm
Ada
26