PERKEMBANGAN REGENERASI ANAKAN ALAM PADA RUMPANG HUTAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TPTJ DI IUPHHK-HA PT. SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH
ZAKARIA AL ANSHORI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan Regenerasi Anakan Alam pada Rumpang Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ di IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Zakaria Al Anshori NIM E44100054
ABSTRAK ZAKARIA AL ANSHORI. Perkembangan Regenerasi Anakan Alam pada Rumpang Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ di IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh IWAN HILWAN. Rumpang terbentuk akibat hilangnya satu atau beberapa pohon. Fase rumpang merupakan fase awal regenerasi alami hutan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola perkembangan anakan alam di dalam rumpang hutan serta komposisi tegakan hutan di IUPHHK PT. Sarpatim. Analisis komposisi anakan alam rumpang menggunakan petak tunggal dan analisis tegakan hutan menggunakan jalur berpetak pada area TPTJ dan area plasma nutfah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis tumbuhan semakin banyak pada rumpang berukuran besar dengan penyusun jenisnya didominasi oleh jenis pionir seperti Macaranga hypoleuca, M. gigantea, dan Breynia oblongifolia sedangkan rumpang ukuran kecil didominasi oleh jenis klimaks seperti Hopea dryobalanoides, Syzygium borneense, Shorea laevis, dll. Nilai dominansi jenis keseluruhan rendah (C mendekati 0), nilai kekayaan jenis tinggi (R > 5), dan nilai keanekaragaman jenis sedang (2 < H’ < 3) sampai tinggi (H’ > 3). Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa luas rumpang berkorelasi positif terhadap nilai dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman dengan kekuatan korelasi lemah. Komposisi jenis tegakan di lokasi penelitian didominasi oleh kelompok dipterokarpa antara lain Shorea smithiana, S. parvifolia, S. leprosula, S. laevis, dan Dipterocarpus caudiferus. Kluster dendogram kesamaan jenis tidak mengikuti tren yaitu kedekatan umur tebangan mempunyai nilai kesamaan tinggi dikarenakan variasi yang tinggi pada tapak hutan, iklim mikro, dan aktivitas pengelolaan hutan. Kata kunci: anakan alam, jenis klimaks, jenis pionir, komposisi jenis, rumpang hutan
ABSTRACT ZAKARIA AL ANSHORI. Development of Natural Seedling Regeneration in Forest Gaps with TPTJ Silvicultural System at IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Central Kalimantan. Supervised by IWAN HILWAN. Gaps formed by the loss of one or several trees. Gap phase is the initial phase of forest natural regeneration. The purpose of this research is to analyze the pattern of natural regeneration development in forest gaps and forest stand composition at IUPHHK-HA PT. Sarpatim. Analysis of gap natural seedlings composition used single plot and analysis of forest stands used nested line plot at TPTJ and conservation forest area. Results showed that the number of plants species much more on large gaps with species composer is dominated by pioneer species such as Macaranga hypoleuca, M. gigantea, and Breynia oblongifolia otherwise small gaps is dominated by climax species such as Hopea dryobalanoides, Syzygium borneense, Shorea laevis, etc. Dominance values overall is low (C near to 0), richness value is high (R > 5), and diversity value is medium (2 < H’ < 3) up to high (H’ > 3). Result of Pearson correlation test showed that gap size positively correlated with the dominance, richness, and diversity values with the strength of correlation is weak. Forest stand species composition at research sites dominated by the dipterocarp groups such as Shorea smithiana, S. parvifolia, S. leprosula, S. laevis, and Dipterocarpus caudiferus. Dendogram clusters of species similarity do not follow the trend that closeness of felling age has high similarity values due to the high variation of forest sites, microclimate, and forest management activities. Keywords: climax species, forest gaps, natural seedlings, pioneer species, species compositions
PERKEMBANGAN REGENERASI ANAKAN ALAM PADA RUMPANG HUTAN DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TPTJ DI IUPHHK-HA PT. SARPATIM, KALIMANTAN TENGAH
ZAKARIA AL ANSHORI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah regenerasi alami hutan dengan judul Perkembangan Regenerasi Anakan Alam pada Rumpang Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ di IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan arahan. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga tercinta Ayah ME. Purnomo, Ibu Siti Muhimmah, dan kakak Riza Abdillah atas doa dan bimbingannya. Terimakasih juga disampaikan kepada pihak pengelola IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber, Bapak Hany de Fretes selaku manajer PH dan Bapak Pamuji Raharjo selaku Kepala Bidang Litbang yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi penelitian ini serta Bapak Margianto dan timnya yang telah mendampingi pengumpulan data di lapang, serta semua staf yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kemudian ungkapan terimakasih juga tidak lupa diucapkan kepada sahabat Mohammad Wahyu, Aji Nuralam, Iqbal Nizar, Ade Siti, Dwi Wahyuni serta seluruh keluarga Sivikultur terutama Silvikultur 47, keluarga Fahutan 47, Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB) atas kebersamaannya selama ini dan pihak lain yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2015 Zakaria Al Anshori
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Tempat dan Waktu Penelitian
3
Alat dan Bahan
3
Prosedur Penelitian
3
Analisis Data
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
9 9
Analisis Luas Rumpang dan Komposisi Anakan Alam Penyusunnya
10
Komposisi Jenis Tegakan di Jalur Antara
21
SIMPULAN DAN SARAN
26
Simpulan
26
Saran
26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
40
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Interpretasi koefisien korelasi terhadap uji korelasi Pearson Pembagian zonasi di IUPHHK-HA PT. Sarpatim Distribusi kelas lereng area IUPHHK-HA PT. Sarpatim Rekapitulasi luas rumpang pada lokasi penelitian Jenis dominan di petak rumpang penelitian Jenis-jenis tiang dan pohon dominan pada jalur pengamatan Indeks dominansi, indeks keanekaragaman, dan indeks kekayaan tegakan tinggal
8 9 10 11 13 22 23
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Desain peletakan plot analisis jalur berpetak dan rumpang bekas tebangan Desain pengukuran luas rumpang Desain petak analisis vegetasi di dalam area rumpang Desain jalur analisis vegetasi hutan alam Jumlah jenis tumbuhan pada di petak rumpang penelitian Jenis-jenis tumbuhan di area rumpang penelitian Indeks dominansi anakan alam pada rumpang penelitian Indeks kekayaan anakan alam pada rumpang penelitian Indeks keanekaragaman anakan alam pada rumpang penelitian Korelasi antara luas rumpang terhadap indeks dominansi (C), indeks kekayaan (R), dan indeks keanekaragaman (H’) Bagan dendogram kesamaan komunitas tumbuhan bawah Bagan dendogram kesamaan komunitas semai Bagan dendogram kesamaan komunitas pancang Bagan dendogram kesamaan komunitas tiang Bagan dendogram kesamaan komunitas pohon
4 4 5 5 12 15 16 17 17 19 20 20 21 25 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Peta lokasi penelitian Tabulasi korelasi luas rumpang terhadap indeks dominansi (C), indeks kekayaan (R), dan indeks keanekaragaman (H’) Matriks indeks kesamaan komunitas tumbuhan di lokasi penelitian Tabulasi data analisis klaster kesamaan komunitas tumbuhan Daftar jenis tumbuhan
29 30 32 33 34
1
PENDAHULUAN Latar Belakang PT. Sarmiento Parakantja Timber atau PT. Sarpatim merupakan salah satu pemegang HPH/IUPHHK-HA seluas ± 216 580 ha untuk periode jangka waktu 45 tahun (periode 5 November 1992 s/d 5 November 2037) sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 266/Menhut-II/2004. Pada praktek pengelolaan hutannya PT Sarpatim menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dari tahun 1995-2004, TPTI dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dari tahun 2005-2007, dan TPTJ dari tahun 2008-2010 (PT. Sarpatim 2012). PT. Sarpatim menerapkan sistem TPTJ pada sebagian besar area pengelolaannya (83 %) dengan tebang pilihnya dilakukan terhadap pohon dengan limit diameter 40 cm ke atas mencakup kelompok pohon dipterokarpa dan rimba campuran. Pada sistem TPTJ di PT. Sarpatim, pembinaan hutan alamnya dilakukan dengan penanaman tanaman komersial dipterokarpa terutama dari jenis Shorea leprosula, S. parvifolia, dan S. smithiana dengan model jalur sepanjang 1 km, lebar jalur 3 m, dan jarak tanam 2.5 m. Antara jalur satu dengan jalur lainnya mempunyai jarak 17 m yang disebut jalur antara dengan fungsi utama mempertahankan sifat alami dari hutan tersebut serta sebagai habitat bagi predator hama yang diperkirakan akan menyerang tanaman operasional sehingga diharapkan mampu menjaga kestabilan hutan (Soekotjo 2009). Pada jalur antara itulah proses regenerasi anakan alam dari hutan tersebut terjadi secara alami terutama pada tempat-tempat dengan kondisi tajuk terbuka atau rumpang hutan. Sistem tebang pilih yang diterapkan pada pengelolaan hutan alam tropika mengakibatkan terjadinya pembukaan tajuk hutan secara spasial dan tersebar acak (Whitmore 1984). Keterbukaan tajuk hutan akibat hilangnya pohon karena tumbang, mati, atau ditebang disebut rumpang atau gap. Rumpang hutan secara umum mempunyai luas maksimal sebesar 0.1 ha (Yamamoto 2000), luas minimal 20 m2 (Brokaw 1982) atau 25 m2 (Veblen 1984), ketinggian tajuk tumbuhannya < 10 m (Nakashizuka dan Numata 1982 dalam Runkle 1992), dan dikatakan tertutup apabila regenerasi di dalamnya didominasi permudaan dengan diameter > 5 cm (Runkle 1992). Terbentuknya rumpang hutan merupakan fase awal dari regenerasi hutan. Cahaya matahari yang masuk melalui lubang kanopi pada rumpang menstimulasi anakan alam untuk tumbuh dan berkembang. Cahaya matahari yang masuk erat kaitannya dengan luasan rumpang yang dapat berbeda berdasarkan kondisi pohon pembentuk rumpang (tinggi dan lebar tajuk pohon) dan intensitas kerusakan hutan. Perbedaan luasan rumpang mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan komposisi dan susunan spasial jenis dalam hutan karena jenis yang berbeda menunjukkan tingkat kesuksesan pertumbuhan yang berbeda berdasarkan ukuran rumpang (Whitmore 1984). Terbentuknya rumpang hutan akan menghadirkan vegetasi dari jenis pionir dan klimaks. Jenis pionir merupakan jenis vegetasi yang membutuhkan cahaya penuh untuk melangsungkan proses perkecambahan dan pertumbuhannya dan kehadirannya mendominasi pada rumpang dengan luasan besar, sedangkan jenis klimaks merupakan jenis tumbuhan yang mampu
2
berkecambah di bawah naungan namun untuk melangsungkan proses pertumbuhan selanjutnya membutuhkan cahaya matahari dan lebih dominan pada rumpang dengan luasan kecil (Whitmore 1984). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semai dari kelompok jenis klimaks dipterokarpa tumbuh paling baik pada penyinaran 30-50 % dan pada umur 2 tahun semai dipterokarpa menjadi tahan dan bahkan membutuhkan cahaya matahari yang lebih banyak (Sutisna 2001) Pengetahuan mengenai regenerasi anakan alam dan dinamika rumpang hutan tropika merupakan sesuatu yang unik karena dapat digunakan untuk memahami model konsep suksesi sekunder di hutan alam tropika dimana perkembangan dinamis rumpang hutan dari waktu ke waktu akan memengaruhi perkembangan komunitas tumbuhan yang hidup pada area rumpang tersebut sehingga dapat digunakan untuk mengetahui model perubahan komposisi komunitas tumbuhan hutan dari waktu ke waktu. Perumusan Masalah PT. Sarpatim merupakan pemegang IUPHHK-HA di area hutan alam Sungai Nahiang–Sungai Kaleh Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas 216 580 ha yang memanfaatkan hasil hutan utama berupa kayu yang dipanen dari hutan alam. Kegiatan pengelolaan terutama kegiatan produksi hasil hutan kayu dapat mengakibatkan terjadinya keterbukaan hutan atau rumpang (gap) sehingga cahaya matahari dapat masuk ke lantai hutan dan menstimulasi pertumbuhan anakan alam. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimana perkembangan vegetasi anakan alam di dalam rumpang hutan serta komposisi tegakan hutan pada tahun produksi yang berbeda di area IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah ?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perkembangan regenerasi anakan alam di dalam rumpang hutan dan komposisi tegakan hutan di area IUPHHK-HA PT Sarpatim, Kalimantan Tengah.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui pola perkembangan regenerasi anakan alam pada rumpang hutan serta perkembangan komposisi tegakan hutan bekas tebangan dengan sistem TPTJ sehingga dapat digunakan sebagai salah satu acuan dan evaluasi dalam kegiatan pengelolaan hutan.
3
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan IUPHHK-HA PT. Sarpatim di area tebangan RKT 2005, RKT 2007, RKT 2009, RKT 2011, RKT 2012, dan RKT 2013 serta Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) yang berlangsung dari bulan April 2014 sampai dengan Mei 2014.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam kegiatan pengambilan data di lapangan adalah peta kawasan pengelolaan hutan PT. Sarpatim, pita ukur/phiband, kompas, GPS, tally sheet, tali rafia/tambang, golok, patok, kantong plastik, sasak/veneer, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kertas koran, kertas label, dan alkohol 70% untuk keperluan pembuatan herbarium. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for The Social Sciences (SPSS) versi 20.
Prosedur Penelitian Tahap persiapan Tahap persiapan meliputi kegiatan pengurusan izin administrasi penelitian di PT. Sarpatim, pengumpulan data sekunder/literatur terkait penelitian, dan persiapan peralatan dan bahan yang akan digunakan dalam pengambilan data di lapangan. Penentuan lokasi penelitian Lokasi penelitian diambil pada tujuh lokasi yang berbeda yaitu RKT 2005, RKT 2007, RKT 2009, RKT 2011, RKT 2012, RKT 2013, dan KPPN. Setiap lokasi dilakukan pembuatan plot seperti yang tertera pada Gambar 1. Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada area rumpang dengan tahun pembentukan yang berbeda berdasarkan periode penebangan dan pembuatan petaknya dilakukan di jalur antara pada sistem silvikultur TPTJ. Pengambilan data anakan alam dilakukan dengan jangka waktu satu tahun (RKT 2013, RKT 2012, dan RKT 2011) untuk melihat kecenderungan perkembangan anakan alam jenis pionir dan jangka waktu dua tahun (RKT 2009, RKT 2007, dan RKT 2005) untuk melihat kecenderungan perkembangan anakan alam jenis klimaks. Setiap lokasi dilakukan pengambilan data petak rumpang bekas tebangan berupa luas rumpang dan analisis vegetasi permudaannya berjumlah tiga rumpang. Pengambilan data analisis vegetasi juga dilakukan untuk mengetahui perkembangan komposisi tegakan bekas penebangan menggunakan model jalur berpetak berukuran 17 m × 100 m sejumlah dua jalur dengan memperhatikan aspek kondisi vegetasi pada wilayah tersebut, waktu, biaya, dan tenaga.
4
Keterangan:
= tanaman operasional TPTJ/SILIN, = tunggak bekas tebangan
Gambar 1 Desain peletakan plot analisis jalur berpetak dan rumpang bekas tebangan Pengukuran luas rumpang dan analisis vegetasi permudaannya Luas rumpang diukur menggunakan metode 16 sumbu (sixteen-gon method) yang digunakan oleh Green (1996) dalam Zhu et al (2009) yaitu dengan membuat 16 sumbu dari titik pusat rumpang dengan rentang azimuth 22.5° menuju batas tepi proyeksi tajuk kemudian diukur panjangnya masing-masing. Ilustrasi pengukuran luas rumpang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Desain pengukuran luas rumpang
5
Poligon yang dihasilkan dihitung luasannya per bagian segitiga yang membentuknya menggunakan formulasi perhitungan luas segitiga menggunakan panjang dua sisi yang berdekatan dan sudut yang diapitnya. Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode petak ganda (Soegianto 1994 dalam Indriyanto 2008) dengan ukuran plot 5 × 5 m2 untuk analisis vegetasi tingkat pancang yang di dalamnya juga terdapat plot 2 × 2 m2 untuk analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah. Peletakan plot menggunakan metode yang digunakan oleh Pinzon et al (2003) untuk menghitung kerapatan anakan alam di dalam rumpang dengan membuat garis dasar (baseline) dari sumbu terpanjang rumpang kemudian menempatkan plot pada sumbu tersebut dimulai dari titik tengah rumpang dengan jarak antar plot 5 m. Pada plot tersebut dilakukan risalah vegetasi untuk mengukur jumlah individu permudaan alam dari tumbuhan bawah, semai, dan pancang. Ilustrasi peletakan plot disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Desain petak analisis vegetasi di dalam area rumpang Pengambilan data analisis komposisi vegetasi tegakan hutan Pengambilan data komposisi vegetasi hutan dilakukan dengan metode analisis vegetasi jalur berpetak (Kusmana 1997 dalam Indriyanto 2008). Jalur pengamatan mempunyai panjang 100 m dengan lebar 17 m menyesuaikan dengan lebar jalur antara. Ilustrasi analisis vegetasi jalur disajikan pada Gambar 4. Pada jalur tersebut terdapat petak-petak pengamatan berupa petak 2 m × 2 m untuk menganalisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah, petak 5 m × 5 m untuk menganalisis vegetasi tingkat pancang dengan data yang dikumpulkan
Keterangan: A = petak analisis pohon, B = petak analisis semai dan tumbuhan bawah, C = petak analisis pancang, D = petak analisis tiang.
Gambar 4 Desain jalur analisis vegetasi hutan alam
6
berupa jenis dan jumlah individu, petak 10 m × 10 m untuk menganalisis vegetasi tingkat tiang, dan petak 20 m × 20 m untuk menganalisis vegetasi tingkat pohon dengan data yang dikumpulkan berupa jenis, jumlah, dan diameter. Pada analisis vegetasi ini, pengolahan data difokuskan hanya pada tingkat tiang dan pohon untuk mengetahui komposisi tegakan pada pengelolaan hutan dengan sistem TPTJ. Analisis Data Data lapang diolah untuk menghitung luas rumpang, Indeks Nilai Penting (INP), indeks dominansi jenis (C), indeks kekayaan jenis (R), indeks keanekaragaman jenis (H’), indeks kesamaan komunitas (IS), analisis statistik uji korelasi (pearson correlation) luas rumpang terhadap nilai C, R, dan H, serta analisis kluster (gerombol) yang disajikan dalam bentuk dendogram. Luas rumpang Penghitungan luas rumpang menggunakan formulasi penghitungan luas segitiga menurut Zhu et al (2009) sebagai berikut: 16
Li+1 × Li × sin π 8
ASM = 0.5 i=1
Keterangan: ASM = luas rumpang menggunakan sixteen-gon method Li = jarak dari pusat ke tepi rumpang. i = 1, 2, 3 … 16 π = sudut lingkaran (360º). Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi (penguasaan) suatu jenis tumbuhan dalam komunitas tertentu dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR) dari suatu jenis tersebut (Curtis 1959 dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974), dengan rumus: INP tingkat pancang dan semai = KR + FR INP tingkat pohon dan tiang = KR + FR + DR Misra (1980) lebih lanjut menjelaskan mengenai cara menghitung berbagai besaran untuk menghitung INP sebagai berikut: Kerapatan (K) =
jumlah individu suatu jenis N luas petak contoh ha
Kerapatan Relatif (KR) =
Frekuensi (F) =
kerapatan suatu jenis(N/ha) ×100% kerapatan total (N/ha)
jumlah plot ditemukan suatu jenis jumlah seluruh plot
7
Frekuensi Relatif (FR) =
Dominansi (D) =
frekuensi suatu jenis ×100% frekuensi seluruh jenis
jumlah bidang dasar suatu jenis (m2) luas petak contoh (ha)
Dominansi Relatif (DR) =
dominansi suatu jenis (m2/ha) ×100% dominansi seluruh jenis (m2/ha)
Indeks dominansi jenis (C) Indeks dominansi jenis digunakan untuk mengetahui pemusatan atau penguasaan jenis tumbuhan pada suatu komunitas tumbuhan tertentu yang menggunakan rumus matematis (Simpson 1949 dalam Misra 1980) sebagai berikut: n ni 2 C= i=1 N Keterangan: C = indeks dominansi jenis ni = kerapatan jenis ke-i N = total kerapatan Nilai indeks dominansi jenis berkisar antara 0 ≤ C ≤ 1. Bila suatu tegakan hampir dikuasai oleh satu jenis saja maka nilai C akan mendekati 1, dengan kata lain telah terjadi pemusatan suatu jenis tumbuhan. Sebaliknya apabila nilai C mendekati 0, maka tidak terjadi pemusatan jenis dimana terdapat beberapa jenis tumbuhan mendominasi secara bersama-sama. Indeks kekayaan jenis (R) Indeks kekayaan jenis dihitung menggunakan rumus Margallef (Clifford dan Stephenson 1975 dalam Magurran 1988) dengan perhitungan sebagai berikut: s-1 R= ln N Keterangan: R = indeks kekayaan jenis S = jumlah jenis yang ditemukan N = jumlah total individu Magurran (1988) menjelaskan bahwa nilai R < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, nilai 3.5 < R < 5.0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong sedang, dan R > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong tinggi. Indeks keanekaragaman jenis (H’) Indeks keanekaragaman jenis menunjukkan kompleksitas penuyusun dari suatu komunitas tumbuhan hutan. Analisis indeks keanekaragaman jenis (H’) dihitung menggunakan rumus keanekaragaman jenis Shanon (Magurran 1988) sebagai berikut: ni ni H' = ln N i N
8
Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman jenis Shanon ni = nilai kerapatan jenis ke-i N = total kerapatan Terdapat tiga kriteria dalam analisis indeks keanekaragaman jenis yaitu jika nilai H’ < 2 maka nilai keanekaragaman jenisnya termasuk ke dalam kategori rendah, jika nilai 2 < H’ < 3 maka termasuk ke dalam kategori sedang, dan jika nilai H’ > 3 maka nilai tersebut tergolong tinggi (Magurran 1988). Indeks kesamaan komunitas (IS) Indeks kesamaan komunitas digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan komunitas tumbuhan antara beberapa tegakan, antara beberapa unit sampling, atau antara beberapa komunitas yang dipelajari dan dibandingkan komposisi dan struktur komunitasnya. Indeks kesamaan dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Soerianegara dan Indrawan 1982 dalam Indriyanto 2008). 2W IS= a+b Keterangan: IS = Indeks Kesamaan Komunitas W = jumlah dari nilai penting yang lebih kecil atau sama dari dua spesies berpasangan, yang ditemukan pada dua komunitas a = total nilai penting dari komunitas A, atau tegakan A, atau unit sampling A b = total nilai penting dari komunitas B, atau tegakan B, atau unit sampling B Nilai indeks kesamaan berkisar antara 0-100 % dimana semakin tinggi nilainya maka perbandingan komposisi jenis dari suatu petak penelitian semakin sama. Uji korelasi luas rumpang dengan nilai dominansi, keanekaragaman, dan kekayaan Metode yang digunakan adalah uji Pearson correlation dengan software SPSS versi 20. Hipotesis yang dirumuskan adalah: H0 = Penambahan luas rumpang tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai dominansi, keanekaragaman, dan kekayaan jenis tumbuhan. H1 = Penambahan luas rumpang memberikan pengaruh nyata terhadap nilai dominansi, keanekaragaman, dan kekayaan jenis tumbuhan. Pengambilan keputusan berdasarkan nilai sidik ragam yakni: (1) tolak H0 jika nilai signifikan < 0.05, (2) terima H0 jika nilai signifikan > 0.05. Koefisien korelasi diinterpretasikan kekuatan korelasinya sesuai yang disebutkan oleh Sujarweni (2014) pada Tabel 1. Tabel 1 Interpretasi koefisien korelasi terhadap uji korelasi Pearson Koefisien korelasi 0.00-0.20 0.21-0.40 0.41-0.70 0.71-0.90 0.91-0.99 1
Interpretasi Korelasi sangat lemah Korelasi lemah Korelasi kuat Korelasi sangat kuat Korelasi kuat sekali Korelasi sempurna
9
Analisis klaster (analisis gerombol) Analisis kluster digunakan untuk mengelompokkan objek pengamatan yaitu komposisi jenis. Analisis yang digunakan adalah hierarchical cluster untuk mengelompokkan responden berdasarkan kemiripan yang ada pada (persepsi) mereka. Hal ini disebabkan kluster secara hirarki akan melakukan proses dengan membandingkan setiap pasang kasus yang tentunya untuk jumlah kasus yang sedikit (Bimo 2011). Nilai yang dipakai dalam pengelompokan adalah nilai kesamaan komunitas (IS) dan ukuran kedekatan yang dipakai adalah jarak euclidean (euclidean distance) yang disajikan dalam bentuk dendogram.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian PT Sarpatim mempunyai luas area kerja sebesar 216 580 ha sesuai dengan SK Menteri Kehutanan nomor 266/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004 dengan letak geografis pada 111o55’-112o19’ BT dan 1o12’-1o56’ LS dan batas wilayah kerja antara lain: a. Sebelah utara : IUPHHK PT. Erna Djuliawati dan PT. Meranti Mustika b. Sebelah timur : IUPHHK PT. Berkat Cahaya Timber, PT Kayu Tribuwana Rama, dan PT Inhutani III c. Sebelah selatan : IUPHHK PT. Intrado Jaya Intiga dan HTI Kusuma Perkasa Wana d. Sebelah barat : Sungai Seruyan, IUPHHK PT. Sentral Kalimantan Abadi, dan PT. Hutamindo Lestari Jaya Utama. Peruntukan kawasan PT. Sarpatim disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Pembagian zonasi di IUPHHK-HA PT. Sarpatim No 1
Peruntukan Kawasan Lindung a. Sempadan sungai b. Buffer mata air c. Plasma nutfah, konservasi in situ, kelerengan> 40% 2 Areal Non Produktif a. Permukiman/perladangan/belukar 3 Areal Tidak Efektif Untuk Produksi a. Camp/jalan b. Kebun bibit (ASDG) c. PUP d. Hutan primer terpisah e. Hutan sekunder terpisah f. Areal berbatu/ tidak dapat diusahakan 4 Areal Efektif Untuk Diusahakan a. Hutan primer b. Hutan sekunder Jumlah Sumber: RKUPHHK-HA PT. Sarpatim 2011–2020
Luas (ha) 12 810 7 130 310 5 370 35 745 35 745 14 551 3 563 1 100 200 59 1 984 7 645 153 474 4 145 149 580 216 580
10
Kondisi topografi wilayah PT. Sarpatim bervariasi dari datar sampai berbukit dengan ketinggian berkisar 18–944 m dpl dan terdapat sebagian kecil tanah berawa di sepanjang sungai dan anak Sungai Mentaya. Sebaran kelerengan lahan di areal IUPHHK-HA PT. Sarpatim disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Distribusi kelas lereng area IUPHHK-HA PT. Sarpatim Topografi
Kelas Lereng (%)
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Jumlah
0–8 8–15 15–25 25–40 >40
Luas Areal ha % 109 728 50.70 37 304 17.20 31 747 14.70 33 231 15.30 4 570 2.10 216 580 100.00
Tipe iklim di area PT. Sarpatim adalah tipe iklim A (Schmidt & Ferguson) dengan curah hujan rata-rata 3 340 mm/tahun. Curah hujan dan hari hujan tertinggi jatuh pada bulan November dan Desember sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli sampai dengan September. Suhu udara rata-rata bulanan tertinggi adalah 27.4º C terjadi pada bulan Mei sedangkan suhu udara terendah sebesar 24.3º C yang terjadi pada bulan Desember. Kelembaban rata-rata berkisar antara 38.3–85.6%. Jumlah jenis tumbuhan yang ada di area PT.Sarpatim adalah 386 jenis (dari 50 suku/famili) terdiri dari 108 jenis Dipterocarpaceae, 39 jenis Euphorbiaceae, dll. Dari 386 jenis tersebut, 86 jenis bernilai rentan (vulnerable) dan 36 jenis bernilai kritis (critical endangered), dan terdapat 14 jenis dari famili Dipterocarpaceae yang dilindungi oleh pemerintah. Keanekaragaman fauna yang yang ada di PT. Sarpatim berdasarkan hasil survey pada tahun 2009 ditemukan sebanyak 59 jenis mamalia, 15 jenis reptilia, dan 55 jenis burung. Sebanyak 38 jenis di antaranya memiliki nilai perdagangan yang penting, 2 jenis berstatus kritis (endangered), dan 9 jenis hampir punah (near threatened) (PT. Sarpatim 1996). Analisis Luas Rumpang dan Komposisi Anakan Alam Penyusunnya Luas Rumpang Perbedaan luas rumpang dapat memengaruhi kondisi iklim mikro setempat karena perbedaan pengaruh sinar matahari yang masuk ke lantai hutan pada area rumpang. Rumpang berukuran besar mengakibatkan periode penyinaran matahari lebih lama karena sudut penyinarannya lebih luas dibandingkan rumpang berukuran kecil yang hanya mempunyai periode penyinaran lebih singkat saat kondisi matahari tepat berada di atas rumpang (Whitmore 1998). Masuknya cahaya matahari ini akan meningkatkan suhu lantai hutan sehingga berpengaruh terhadap perkecambahan, pertumbuhan, dan daya survival beberapa anakan alam sehingga menghasilkan perbedaan komposisi jenis anakan alam pada rumpang dengan luasan yang berbeda. Hasil pengukuran luas rumpang pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.
11
Tabel 4 Rekapitulasi luas rumpang pada lokasi penelitian Luas Rumpang (m2) Gap 1 Kategori* Gap 2 Kategori* Gap 3 Kategori* RKT 2005 185.70 Besar 68.56 Sedang 91.13 Sedang RKT 2007 66.98 Sedang 69.75 Sedang 57.51 Sedang RKT 2009 137.28 Sedang 129.01 Sedang 165.46 Besar RKT 2011 107.83 Sedang 106.74 Sedang 118.59 Sedang RKT 2012 104.09 Sedang 46.39 Kecil 85.72 Sedang RKT 2013 297.15 Besar 231.90 Besar 181.10 Besar KPPN 80.96 Sedang 54.90 Sedang 70.16 Sedang * Keterangan: Kelompok kelas kualitatif luas rumpang disadur dari Zhu et al (2009). Rumpang ukuran < 50 m2 = kecil, 51–150 m2 = sedang, 151–1000 m2 = besar. Lokasi
Sebaran luas rumpang cukup bervariasi pada semua lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas rumpang rata-rata tergolong ke dalam kelompok luasan sedang dan besar. Pada rumpang di RKT 2013 keseluruhan mempunyai luasan besar karena paling dekat dengan periode penebangan atau baru saja terbentuk. Seiring menjauhi periode penebangan luasannya semakin berkurang dan hampir keseluruhan luas rumpangnya termasuk ke dalam kategori sedang. Pada KPPN dimana keterbukaannya terjadi secara alami, luas rumpangnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang dilakukan penebangan. Pada RKT 2012 terdapat rumpang berukuran kecil walaupun mendekati periode penebangan, kondisi ini dikarenakan penutupan tajuk yang rapat oleh kelompok tiang pionir dari jenis Macaranga gigantea. Pada RKT 2005 terdapat rumpang berukuran besar walaupun paling jauh dari periode penebangan, kondisi tersebut dikarenakan perkembangan penutupan tajuk pepohonan tegakan tinggal yang bervariasi antar lokasi hutan dan adanya kegiatan manusia terutama pembinaan hutan berupa pelebaran jalur tanaman operasional pada sistem TPTJ. Jumlah Jenis Pengambilan data jumlah jenis di area rumpang dilakukan pada tumbuhan bawah serta permudaan semai dan pancang untuk melihat kondisi kompleksitas anakan alam penyusun lantai hutan di area rumpang. Tipe anakan alam pada hutan dilihat dari kebutuhan terhadap cahaya matahari yang tersedia pada rumpang hutan dikelompokkan menjadi jenis pionir/intoleran (shade-intolerant species) dan jenis klimaks/toleran (shade-tolerant species). Famili tumbuhan yang menyediakan banyak jenis pionir antara lain Euphorbiaceae, Malvaceae, Moraceae, Sterculiaceae, Tiliaceae, Ulmaceae, dan Urticaceae (Whitmore 1984) sedangkan untuk kelompok jenis klimaks mencakup sebagian besar pohon berbuah seperti Theobroma cacao, Mangifera spp., Durio zibethinus, dan kebanyakan jenis pohon berkayu termasuk semua jenis dipterokarpa (Whitmore 1998). Semai dari kelompok jenis pionir dapat muncul dan berkembang pada rumpang berukuran besar sedangkan semai kelompok jenis klimaks lebih dominan di rumpang berukuran lebih kecil sehingga pola regenerasi anakan alam bervariasi di antara jenis-jenis utama yang menyusun rumpang hutan tersebut (Brokaw 1985b; Swaine dan Whitmore 1988 dalam Yamamoto 2000). Data jumlah jenis anakan alam dapat dilihat pada Gambar 5.
12
100 90
Jumlah Jenis
80 65
70 50
46
41
40
32 34
30
19
20 10
61
57
60
6
9
5 7
11
28
51
52
41
27 20
24
14
0 Tumbuhan Bawah
Semai
= RKT 2005
= RKT 2007
= RKT 2009
= RKT 2012
= RKT 2013
= KPPN
Pancang = RKT 2011
Gambar 5 Jumlah jenis tumbuhan pada di petak rumpang penelitian Data jumlah jenis menunjukkan perkembangan yang bervariasi. Pada tumbuhan bawah dan semai jumlah jenis terbanyak terdapat pada rumpang RKT 2013 berjumlah 19 jenis dan 46 jenis. Kondisi ini dipengaruhi oleh luas keterbukaan rumpang yang tergolong pada kategori besar sehingga kondisi cahaya matahari dapat masuk secara penuh ke lantai hutan dan menstimulasi anakan alam untuk tumbuh dan berkembang dan berkompetisi. Pada tingkat pancang jumlah jenis terbanyak terdapat pada RKT 2009 berjumlah 65 jenis yang selanjutnya diikuti oleh rumpang RKT 2013 sebanyak 61 jenis. Rata-rata jumlah jenis terbanyak dari anakan alam terdapat pada RKT 2013. Pada grafik dapat dilihat bahwa kemunculan jumlah jenis yang banyak mengikuti periode penebangan terdekat. Hal ini disebabkan karena terbentuknya rumpang menghadirkan kondisi yang sesuai bagi tumbuhan untuk berkecambah dan melangsungkan kehidupannya. Menurut Whitmore (1998) pertumbuhan anakan alam sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari, anakan alam dari kelompok pionir setelah bijinya terpencar dan jatuh di tanah apabila kondisinya belum memungkinkan untuk berkecambah maka akan mengalami dormansi dalam tanah dan membentuk seed bank sedangkan anakan alam kelompok klimaks apabila bijinya jatuh ke tanah dan ternaungi oleh pohon-pohon besar maka akan segera berkecambah dan tumbuh menjadi semai namun akan mengalami stagnasi dalam waktu yang lama dan membentuk seedling bank. Kedua kelompok tumbuhan ini akan dapat tumbuh dan berkembang apabila mendapatkan sinar matahari yang cukup yang tersedia pada rumpang hutan.
13
Jenis Dominan Penyusun Area Rumpang Jenis dominan adalah jenis yang mempunyai kelimpahan tertinggi dalam suatu komunitas tumbuhan dan merupakan penciri dari komunitas tumbuhan tersebut. Penentuan jenis dominan dalam suatu komunitas tumbuhan menggunakan nilai INP (Indeks Nilai Penting). Hasil nilai INP anakan alam yang dominan pada masing-masing area rumpang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dominan di petak rumpang penelitian Lokasi RKT 2005
Tingkat pertumbuhan Tumbuhan bawah
Semai
Pancang
RKT 2007
Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
RKT 2009
Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
RKT 2011
Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
Jenis Cyperus sp. Blechnum finlaysonianum Uvaria lobbiana Hopea dryobalanoides Mesua ferruginea Pleiocarpidia polyneura Macaranga hypoleuca Hopea dryobalanoides Trigonostemon filiforme Selaginella sp. Elaphoglossum sp. Cyperus sp. Syzygium borneense Gluta wallichii Garcinia parvifolia Polyalthia sp. Maesa perlarius Baccaurea odoratissima Phrynium parvum Blechnum finlaysonianum Cyperus sp. Shorea laevis Ardisia paniculata Antidesma coriaceum Ardisia paniculata Shorea laevis Macaranga hypoleuca Phrynium parvum Cyperus sp. Rotan Shorea macroptera Cephalomappa mallotocarpa Dipterocarpus caudiferus Shorea parvifolia Macaranga gigantea Polyalthia xanthopetala
INP 53.18% 42.27 % 38.18 % 42.73 % 16.48 % 12.30 % 21.11 % 17.41 % 17.41 % 72.33 % 46.00 % 38.33 % 28.28 % 16.73 % 11.56 % 28.28 % 16.73 % 11.56 % 113.33 % 31.11 % 28.89 % 27.53 % 24.56 % 18.01 % 11.45 % 11.26 % 9.39 % 73.10 % 42.62 % 25.24 % 21.80 % 18.68 % 14.01 % 13.39 % 8.96 % 8.18 %
14
Lanjutan Tabel 5 Lokasi RKT 2012
Tingkat pertumbuhan Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
RKT 2013
Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
KPPN
Tumbuhan Bawah
Semai
Pancang
Jenis Phrynium parvum Globba sp. Melastoma malabaritchum Shorea fallax Anisophyllea disticha Castanopsis costata Mallotus macrostachyus Macaranga gigantea Pternandra coarulescens Nephrolepis auriculata Blechnum finlaysonianum Spatholobus gyrocarpus Macaranga hypoleuca Shorea parvifolia Macaranga gigantea Breynia oblongifolia Macaranga gigantea Macaranga hypoleuca Selaginella sp. Leea angulata Elatostema sp. Ardisia sp. Paranephelium xestophyllum Ficus treubii Polyalthia sp. Aglaia silvestris Ardisia sp.
INP 82.37 % 27.29 % 19.81 % 24.67 % 23.46 % 13.35 % 30.82 % 14.13 % 11.55 % 35.29 % 18.93 % 18.93 % 20.10 % 14.48 % 14.21 % 52.71 % 11.55 % 7.43 % 59.09 % 25.87 % 19.41 % 15.71 % 13.65 % 11.23 % 13.22 % 12.05 % 12.05 %
Jika dilihat dari komposisi jenis tumbuhan, pada rumpang RKT 2013 yang berukuran besar komposisi semai dan pancangnya didominasi oleh jenis pionir yaitu Macaranga gigantea, M. hypoleuca, dan Breynia oblongifolia. Genus dari Macaranga merupakan tumbuhan pionir dengan jenis terbanyak di wilayah tropika Asia Tenggara dan kemunculannya sangat erat kaitannya dengan keterbukaan hutan (Whitmore 1998). Namun, pada RKT 2013 ini juga ditemukan anakan alam jenis klimaks yaitu Shorea parvifolia. Kelompok meranti (Shorea spp.) merupakan tumbuhan kelompok klimaks dimana anakan alamnya sering dijumpai pada kondisi di bawah naungan tajuk hutan, namun terdapat beberapa anakan kelompok meranti yang mampu tumbuh berkembang pada kondisi rumpang berukuran besar (Whitmore 1998). Beberapa dipterokarpa khususnya dari kelompok meranti seperti Shorea leprosula, S. parvifolia, S. ovalis, dan S. pauciflora berkembang baik dalam rumpang berukuran besar. Jenis-jenis tersebut dapat tumbuh di bawah tekanan jenis-jenis pionir (Sutisna 2001). Pada perkembangan vegetasi di area rumpang yang semakin menjauhi periode penebangan, kondisi anakan alam menunjukkan perkembangan jenis yang bervariasi. Pada RKT 2013, RKT 2012, dan RKT 2011 kondisi anakan alam tingkat semai dan pancang mengalami perkembangan dominasi yang beraneka ragam oleh kelompok tumbuhan pionir antara lain Macaranga hypoleuca, M. gigantea, Mallotus macrostachyus, Cephalomappa mallotocarpa (Euphorbiaceae),
15
Breynia oblongifolia (Phyllantaceae). Namun juga terdapat kelompok tumbuhan klimaks antara lain Shorea fallax, S. parvifolia, dan S. macroptera, Dipterocarpus caudiferus (Dipterocarpaceae), Polyalthia xanthopetala (Annonaceae), Castanopsis costata (Fagaceae), dan kelompok pohon rendah yang tumbuh di bawah naungan yaitu Pternandra coarulescens (Melastomataceae), dan Anisophyllea disticha (Anisophylleaceae). Jika dilihat dari kondisi perkembangan tumbuhan bawahnya pada RKT 2012 dan RKT 2011 ditemukan jenis Phrynium parvum (Marantaceae) dan Globba sp. (Zingiberaceae) yang dominan. Tumbuhan bawah tersebut merupakan tumbuhan yang menyukai kondisi yang lembab di bawah naungan. Berdasarkan hasil penelitian Ramdhanil dkk. (2008) pada Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, kondisi keanekaragaman tumbuhan bawah terutama herba pada tipe hutan yang tidak terganggu didominasi oleh kelompok jahe-jahean antara lain Alpinia galanga, Costus speciosus, dan Elletaria sp. (Zingiberaceae). Hal ini menunjukkan bahwa rumpang di RKT 2012 dan RKT 2011 mempunyai kondisi yang cukup tertutup sehingga kondisi iklim mikro setempat memungkinkan anakan jenis klimaks untuk berkecambah dan berkembang.
A
B
C
D
Gambar 6 Jenis-jenis tumbuhan di area rumpang penelitian: (A) pancang dari Macaranga gigantea di rumpang RKT 2013, (B) tumbuhan bawah jenis Phrynium parvum dan Globba sp. yang dominan di RKT 2012, (C) semai Shorea smithiana di rumpang KPPN, (D) semai Hopea dryobalanoides di rumpang RKT 2005 Pada RKT 2009, RKT 2007, RKT 2005 kondisi anakan alam cukup beragam, namun cenderung didominasi oleh kelompok klimaks antara lain dari jenis Shorea laevis, Hopea dryobalanoides (Dipterocarpaceae), Syzygium borneense (Myrtaceae), Polyalthia sp. (Annonaceae), Gluta wallichii (Anacardiaceae), Garcinia parvifolia, Mesua ferruginea (Clusiaceae); kelompok
16
anakan alam pohon rendah yang tumbuh di bawah naungan antara lain Ardisia paniculata, Maesa perlarius (Primulaceae), Antidesma coriaceum, Baccaurea odoratissima (Phyllantaceae), Trigonostemon filiforme (Euphorbiaceae), Pleiocarpidia polyneura (Rubiaceae); dan terdapat juga jenis jenis pionir yaitu Macaranga hypoleuca (Euphorbiaceae). Kondisi komposisi tumbuhan yang bercampur antara kelompok klimaks dan pionir ini terjadi karena kondisi luasan rumpang pada ketiga tahun tebangan tersebut rata-rata mempunyai luasan yang sedang sehingga terdapat kesempatan anakan alam kelompok pionir dan klimaks untuk tumbuh dan berkompetisi. Pada kondisi rumpang di KPPN komposisi tumbuhannya didominasi oleh anakan alam dari kelompok pohon rendah di bawah naungan seperti Ardisia sp. (Primulaceae), Ficus treubii (Moraceae); kelompok pohon klimkas mencakup Paranephelium xestophyllum (Sapindaceae), Polyalthia sp. (Annonaceae), dan Aglaia silvestris (Meliaceae). Tidak ditemukan anakan dari jenis pionir yang mendominasi dikarenakan kawasan KPPN merupakan kawasan konservasi di wilayah pengelolaan hutan yang tidak dilakukan penebangan sehingga rumpang hanya terbentuk secara alami dengan luasan yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan hutan yang dilakukan penebangan. Namun, jika dilihat pada komposisi tumbuhan bawah ditemukan jenis Leea angulata yang merupakan jenis tumbuhan yang secara ekologi tumbuh pada lokasi hutan dipterokarpa campuran yang sudah terganggu (Slik dan Webb 2013). Hal ini dikarenakan lokasi KPPN ini merupakan area yang pernah ditebang pada tahun 1979-1980. Dominansi, Keanekaragaman, dan Kekayaan Jenis Anakan Alam Nilai dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman jenis tumbuhan di area rumpang disajikan pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.
1.00 0.90
Indeks Dominansi
0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 Tumbuhan Bawah = RKT 2007 = RKT 2005 = RKT 2012
= RKT 2013
Semai = RKT 2009
Pancang = RKT 2011
= KPPN
Gambar 7 Indeks dominansi anakan alam pada rumpang penelitian
17
Indeks Kekayaan
14.00
10.50
7.00
3.50
0.00 Tumbuhan Bawah
Semai
= RKT 2005
= RKT 2007
= RKT 2009
= RKT 2012
= RKT 2013
= KPPN
Pancang = RKT 2011
Gambar 8 Indeks kekayaan anakan alam pada rumpang penelitian
Indeks Keanekaragaman
4.50
3.00
1.50
0.00 Tumbuhan Bawah
Semai
= RKT 2005
= RKT 2007
= RKT 2009
= RKT 2012
= RKT 2013
= KPPN
Pancang = RKT 2011
Gambar 9 Indeks keanekaragaman anakan alam pada rumpang penelitian Pada rumpang hutan terdapat kesesuaian ekologis jenis tumbuhan atau peran jenis (relung/niche) terutama karena adaptasi terhadap keterbukaan area dan cahaya matahari penuh sehingga memunculkan dua kelompok utama yaitu kelompok tumbuhan pionir dan kelompok klimaks (Whitmore 1998). Kompetisi
18
tumbuhan untuk memperoleh ruang juga terjadi dan memengaruhi perkembangan dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman tumbuhan pada rumpang yang berbeda-beda. Nilai indeks dominansi keseluruhan menunjukkan rataan nilai yang rendah (nilai mendekati 0) sehingga tidak terjadi pemusatan jenis atau kondisi jenis tumbuhan dalam komunitas tumbuhan tersebut tersebar merata. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas tumbuhan pada area rumpang berkompetisi secara bersama-sama dalam memanfaatkan ruang dan cahaya matahari. Namun terdapat vegetasi tumbuhan bawah yang mempunyai nilai dominansi yang menonjol di antara yang lainnya yaitu pada RKT 2009 yaitu Phrynium parvum (Marantaceae) dengan nilai INP tertinggi yaitu 113.33 %. Famili Marantaceae bersama dengan Zingiberaceae merupakan jenis tumbuhan yang sering dijumpai tumbuh di bawah naungan tegakan hutan dengan kondisi yang lembab. Nilai indeks kekayaan jenis dilihat dari Gambar 8 mempunyai kecenderungan nilainya semakin tinggi jika mendekati periode penebangan atau semakin tinggi jika rumpang berukuran besar. Hal ini dikarenakan pengaruh cahaya matahari dan adanya ruang untuk tumbuh pada area rumpang. Nilai pada masing-masing kelompok tingkat pertumbuhan bervariasi, pada tumbuhan bawah rata-rata menunjukkan nilai rendah (< 3.5) dan pada tingkat semai dan pancang mempunyai nilai yang tinggi (> 5). Nilai kekayaan jenis tumbuhan bawah pada RKT 2013 mempunyai nilai lebih tinggi di antara lainnya yaitu bernilai 4.01 (sedang). Kondisi keanekaragaman tumbuhan dilihat dari nilai indeks keanekaragamannya mempunyai rataan dari sedang sampai tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua area rumpang terdapat jenis tumbuhan yang cukup melimpah dengan komposisi yang merata atau tidak terpusat. Nilai indeks keanekaragaman tumbuhan bawah pada RKT 2009 paling rendah di antara yang lain karena jenisnya terpusat pada Phrynium parvum. Pada tingkat semai, grafik menunjukkan kecenderungan nilai indeks keanekaragaman meningkat seiring mendekati periode penebangan sedangkan pada tingkat pancang terjadi penurunan pada RKT 2012 dan RKT 2013. Kondisi ini dikarenakan pada rumpang berukuran besar terutama RKT 2013 didominasi pancang dari jenis pionir seperti Macaranga hypoleuca dan Breynia oblongifolia. Korelasi Luas Rumpang dengan Dominansi, Kekayaan, dan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Uji korelasi dilakukan untuk menguji hipotesis hubungan luas rumpang dengan nilai dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman jenis tumbuhan di area rumpang. Hipotesis uji korelasi berdasarkan teori dari Whitmore (1998) yang menyebutkan bahwa jenis tumbuhan mempunyai kesuksesan perkembangan yang berbeda-beda dari pengaruh iklim mikro di dalam rumpang yang ditentukan oleh luas rumpang tersebut. Hipotesis yang dikembangkan adalah semakin besar atau kecil luas rumpang maka akan berpengaruh terhadap nilai-nilai parameter kuantitatif seperti dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman jenis tumbuhan. Hasil uji korelasi disajikan pada Gambar 10. Hasil uji menunjukkan variasi yang berbeda-beda. Pada indeks dominansi tumbuhan bawah mempunyai mempunyai korelasi negatif dengan luas rumpang dan berkekuatan lemah (-0.345) yang menunjukkkan semakin luas rumpang maka
19
1 0.8 0.6
0.421 0.381 0.439
0.4
0.253
0.465 0.248 0.154
0.2
0.01
0 -0.2 -0.4
Indeks Dominansi
Indeks Kekayaan
Indeks Keanekaragaman
-0.345
-0.6
= tumbuhan bawah
= semai
= pancang
Gambar 10 Korelasi antara luas rumpang terhadap indeks dominansi (C), indeks kekayaan (R), dan indeks keanekaragaman (H’) nilai dominansi tumbuhannya tidak terpusat pada satu jenis saja karena adanya kompetisi tumbuhan dalam rumpang. Nilai yang mempunyai korelasi signifikan pada taraf nyata 0.05 adalah pada indeks kekayaan pancang (0.439) dan indeks keanekaragaman tumbuhan bawah (0.465) yang mempunyai kekuatan korelasi kuat yang menunjukkan semakin luas rumpang maka nilai tersebut akan semakin meningkat. Menurut Whitmore (1998) rumpang luasan besar dengan cahaya matahari penuh dapat menstimulasi perkecambahan dan pertumbuhan anakan alam terutama jenis pionir yang awalnya tidak terdapat pada lantai hutan yang tertutup tajuk dan menurut Sutisna (2001) rumpang berukuran besar memunculkan jenis pionir dan perambat yang tumbuh cepat dan akan berkurang intensitasnya seiring dengan tertutupnya tajuk hutan. Hal inilah yang menyebabkan nilai kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan cenderung lebih besar pada rumpang dengan luasan besar. Analisis Klaster Kesamaan Komunitas Pengelompokan plot didasarkan pada kesamaan komposisi penyusunnya, pengelompokan tersebut menggunakan nilai indeks kesamaan (IS) dimana perbandingan petak dengan nilai indeks kesamaan yang tinggi mempunyai jarak yang dekat pada pada bagan dendogram. Bagan dendogram yang menggambarkan kedekatan komunitas tingkat tumbuhan bawah, semai, dan pancang disajikan berturut-turut pada Gambar 11, Gambar 12, dan Gambar 13. Pada kesamaan komunitas tumbuhan bawah apabila dikelompokkan menjadi empat klaster maka anggota tiap klaster tersebut adalah klaster 1 (RKT 2005 dan RKT 2009), klaster 2 (RKT 2007 dan KPPN), klaster 3 (RKT 2011 dan RKT 2012), dan klaster 4 (RKT 2013). Hanya klaster 3 yang terdiri dari komunitas dengan tahun tebangan berdekatan yaitu RKT 2011 dan RKT 2012 karena terdapat jenis tumbuhan bawah yang mendominasi kedua komunitas tersebut secara bersamaan yaitu Phrynium parvum. Pada petak lainnya tidak terdapat tren petak dengan umur tebangan yang berdekatan mempunyai jarak yang dekat pada bagan dendogram atau mempunyai nilai kesamaan komunitas yang
20
Gambar 11 Bagan dendogram kesamaan komunitas tumbuhan bawah tinggi. Hal ini terjadi karena komposisi komunitas tumbuhan bawah sangat bervariasi antar keseluruhan petak rumpang.
Gambar 12 Bagan dendogram kesamaan komunitas semai Pembagian klaster kesamaan komunitas ke dalam empat klaster mempunyai anggota antara lain klaster 1 (RKT 2005 dan RKT 2009), klaster 2 (RKT 2007 dan KPPN), klaster 3 (RKT 2011 dan RKT 2013), dan klaster 4 (RKT 2012). Antara klaster 3 dan klaster 4 mempunyai jarak yang lebih dekat jika dibandingkan dengan klaster lainnya yang menunjukkan komposisi semai
21
penyusunnya relatif sama. Pada petak yang berdekatan tersebut (RKT 2013, 2012, dan 2011) komposisi semai penyusunnya didominasi oleh jenis pionir yaitu Macaranga hypoleuca, M. gigantea, dan Mallotus macrostachyus.
Gambar 13 Bagan dendogram kesamaan komunitas pancang Kesamaan komunitas tingkat pancang menunjukkan kondisi yang lebih teratur dibandingkan tumbuhan bawah dan semai. Pada pembagian menjadi empat klaster yaitu klaster 1 (RKT 2005 dan RKT 2007), klaster 2 (RKT 2009, RKT 2011, dan RKT 2012), klaster 3 (RKT 2013), dan klaster 4 (KPPN) terdapat beberapa klaster yang berdekatan yaitu klaster 2 dan klaster 3. Pada klaster-klaster tersebut disusun oleh petak dengan umur periode penebangan yang berdekatan yang menunjukkan komposisi penyusun jenisnya cukup sama sehingga pada tingkat pancang cenderung mengikuti tren hubungan umur terbentuk rumpang dengan perkembangan vegetasinya. Komposisi anakan pada rumpang bisa dicirikan dari vegetasi dominannya terutama tingkat pancang. Pada rumpang luasan besar kelompok tumbuhan anakan pionir dan semak lebih cepat mengisi dan mendominasi rumpang sedangkan pada rumpang luasan kecil, anakan alam klimaks terutama dipterokarpa dengan kadar penyinaran cahaya matahari 30-50 % dapat tumbuh dengan baik dan dapat mendominasi rumpang tersebut (Sutisna 2011). Komposisi Jenis Tegakan di Jalur Antara Jenis Dominan Analisis vegetasi jalur berpetak dilakukan terutama untuk mengetahui komposisi jenis tegakan hutan di jalur antara pada sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Tingkat vegetasi yang dianalisis adalah tiang dan pohon. Jenis-jenis tiang dan pohon dominan disajikan pada Tabel 6.
22
Tabel 6 Jenis-jenis tiang dan pohon dominan pada jalur pengamatan Lokasi 2005
Tingkat Tiang
Pohon
2007
Tiang
Pohon
2009
Tiang
Pohon
2011
Tiang
Pohon
2012
Tiang
Pohon
2013
Tiang
Pohon
KPPN
Tiang
Pohon
Nama lokal Meranti merumbung Mahang Meranti Merah Benuas Meranti Merah Jambu-jambuan Pempaning Durian manuk Nyatoh Keruing Pempaning Jambu-jambuan Kayu salondung Jambu-jambuan Tengkawang Pempaning Meranti Merah Benuas Bangkirai Ulin Pengoan Meranti Merah Benuas Keruing Jambu-jambuan Kedondong Laban Selumbar Mangkoan Pengoan Sebasah Kayu salondung Keruing Meranti Merah Kempas Nipis kulit Tambuakat Jambu-jambuan Bunya Bayur Jabon Putih Sengkuang
Nama ilmiah Shorea smithiana Macaranga hypoleuca Shorea parvifolia Shorea laevis Shorea leprosula Syzygium borneense Castanopsis costata Durio acutifolius Payena lucida Dipterocarpus caudiferus Castanopsis costata Syzygium borneense Symplocos cochinchinensis Syzygium borneense Shorea macrophylla Castanopsis costata Shorea parvifolia Shorea laevis Hopea dryobalanoides Eusideroxylon zwageri Dehaasia caesia Shorea parvifolia Shorea laevis Dipterocarpus caudiferus Syzygium laxiflorum Dacryodes rugosa Vitex vestita Ilex acuminata Scaphium macropodum Dehaasia caesia Aporosa sphaeridophora Symplocos cochinchinensis Dipterocarpus caudiferus Shorea parvifolia Koompassia malaccensis Memecylon edule Paranephelium xestophyllum Syzygium borneense Aglaia silvestris Pterospermum javanicum Neolamarckia cadamba
INP 41.80 % 25.86 % 25.69 % 59.65 % 24.84 % 15.61 % 38.41 % 29.23 % 17.94 % 23.05 % 22.85 % 21.50 % 42.41 % 38.76 % 27.87 5 31.40 % 28.11 % 27.17 % 23.38 % 16.81 % 16.67 % 45.50 % 28.16 % 23.23 % 26.36 % 25.88 % 23.02 % 34.97 % 24.68 % 22.33 % 71.52 % 43.07 % 26.26 % 55.99 % 30.85 % 22.34 % 32.06 % 22.86 % 18.09 % 26.93 % 23.32 % 15.55 %
Jenis dominan tingkat tiang cukup bervariasi antara tahun tebang yang berbeda. Jenis tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelompok komersil dipterokarpa antara lain Shorea smithiana, S. parvifolia, Hopea dryobalanoides, Dipterocarpus caudiferus yang hampir mendominasi semua lokasi penelitian; kelompok komersil non dipterokarpa antara lain Castanopsis costata, Payena lucida, Syzygium borneense, Dehaasia caesia, Syzygium laxiflorum, Dacryodes
23
rugosa, Paranephelium xestophyllum, dan Aglaia silvestris; kelompok pohon rendah non komersial seperti Macaranga hypoleuca, Symplocos cochinchinensis, Vitex vestita, dan Aporosa sphaeridophora; dan kelompok pohon lindung antara lain Shorea macrophylla, Durio acutifolius, dan Eusideroxylon zwageri. Pada RKT 2013 komposisi tiangnya didominasi oleh pohon berukuran rendah yang tersisa bekas penebangan. Tiang kelompok dipterokarpa ditemukan cukup melimpah pada semua tahun tebangan dengan nilai INP yang dominan, permudaan kelompok dipterokarpa ini sangat penting sebagai pohon produksi pada daur selanjutnya. Jenis pohon dominan pada lokasi penelitian dari Tabel 9 disusun oleh kelompok komersial dipterokarpa antara lain Shorea laevis, S. leprosula, S. parvifolia, S. smithiana, S. acuminatissima, Hopea dryobalanoides, dan Dipterocarpus caudiferus; kelompok komersil non dipterokarpa seperti Syzygium borneense, Castanopsis costata, Lithocarpus lucida, Memecylon edule, Ilex acuminata, Scaphium macropodum, Dehaasia caesia, Koompassia malaccensis, Pterospermum javanicum, dan Neolamarckia cadamba. Hal ini cukup sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2007) di PT. Sarpatim mengenai analisis vegetasi pada area bekas tebangan dan hutan primer. Pada penelitian tersebut jenis-jenis pohon yang dominan dari hasil analisis adalah keruing (Dipterocarpus sp.), meranti merah (S. leprosula), tengkawang (Shorea sp.), benuas (S. laevifolia), dan bangkirai (Hopea ferruginea). Sama hal nya dengan tingkat tiang, tingkat pohon juga sebagian besar disusun oleh kelompok dipterokarpa yang berpotensi sebagai pohon tebangan daur selanjutnya. Pada KPPN terdapat jenis jabon (Neolamarckia cadamba) yang dominan, pada kondisi lapang jenis pohon ini ditemukan dengan diameter setinggi dada yang besar berkisar 40-80 cm. Berdasarkan wawancara dengan pengelola hutan tersebut, KPPN di wilayah tersebut merupakan area bekas tebangan tahun 1979-1980 dan diduga pohon ini merupakan pohon pionir yang telah tumbuh pada tahun tersebut. Dominansi, Kekayaan, dan Keanekaragaman Jenis Tegakan Tinggal Kondisi tegakan tinggal pada pengelolaan sistem tebang pilih sangat dipengaruhi oleh frekuensi kegiatan produksi hutannya terutama pada kegiatan penebangan dan penyaradan karena pada kegiatan ini kondisi tegakan hutan menjadi berubah dari kondisi asalnya. Nilai dominansi, kekayaan, dan keanekaragaman jenis tegakan hutan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Indeks dominansi, indeks keanekaragaman, dan indeks kekayaan tegakan tinggal Lokasi 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
Dominansi Tiang Pohon 0.06 0.04 0.06 0.04 0.08 0.05 0.04 0.06 0.06 0.06 0.11 0.07 0.05 0.04
Kekayaan Tiang Pohon 6.60 7.82 6.24 8.39 4.66 6.86 6.96 7.85 5.48 7.85 3.79 6.11 8.05 9.79
Keanekaragaman Tiang Pohon 3.01 3.34 2.99 3.38 2.64 3.19 3.23 3.25 2.91 3.21 2.30 2.97 3.27 3.58
24
Nilai dominansi jenis tegakan keseluruhan menunjukkan nilai yang rendah yang menunjukkan jenis dominannya tersebar pada beberapa jenis. Jika dilihat perbandingan nilainya baik nilai dominansi pada tingkat tiang maupun pohon, nilai dominansi terbesar berada pada RKT 2013. Hal ini dikarenakan kerusakan tegakan akibat kegiatan penebangan dan kondisi hutannya masih dalam proses pemulihan awal dan hanya menyisakan jumlah pohon yang sedikit sehingga nilai dominansinya relatif lebih besar. Nilai kekayaan menunjukkan banyaknya jumlah jenis dalam suatu wilayah namun belum menggambakan proporsi suatu jenis terhadap jumlah totalnya atau kompleksitas jenis tersebut. Nilai indeks kekayaan terendah berada pada RKT 2013 dengan nilai untuk tiang dan pohon berturut-turut adalah 3.79 dan 6.11 sedangkan nilai tertingginya berada pada KPPN dengan nilai 8.05 dan 9.79. Nilai tertinggi berada pada KPPN karena merupakan area yang relatif tidak terganggu. Sedangkan nilai terendah berada pada RKT 2013 karena area tersebut masih dalam proses pemulihan awal. Kondisi keanekaragaman mempunyai rentang nilai dari sedang (2 < H’ < 3) sampai tinggi (H’ > 3). Walaupun hutan alam tropika dilakukan kegiatan penebangan tetapi dengan sistem tebang pilih dan kegiatan produksi yang ramah lingkungan kondisi keanekaragaman jenisnya masih dapat terjaga. Kondisi keanekaragaman jenis tingkat tiang dan pohon terendah ada pada RKT 2013 dan keanekaragaman jenis tiang dan pohon tertinggi berada pada KPPN. Hal ini cukup sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasanah (2009) mengenai kajian aspek vegetasi di PT. Sarpatim tahun 2008 pada area bekas tebangan TPTI, TPTII, dan Plasma Nutfah (KPPN). Kondisi keanekaragaman jenis tertinggi pada penelitian tersebut pada tingkat tiang dan pohon terdapat pada area Plasma Nutfah/KPPN dan terendah terdapat pada bekas tebangan TPTI 2006 dan TPTII 2007. Analisis Klaster Kesamaan Komunitas Perkembangan tegakan tinggal dianalisis menggunakan analisis kluster menggunakan parameter kesamaan komunitas. Tegakan yang mempunyai kedekatan jarak terhadap kawasan konservasi atau KPPN dianggap telah mengalami pemulihan dan lebih stabil. Analisis klaster tingkat tiang dan pohon ditampilkan dalam bentuk bagan dendogram pada Gambar 14 dan Gambar 15. Pada tingkat tiang jika dilakukan pengelompokan empat klaster mempunyai anggota antara lain klaster 1 (RKT 2005, RKT 2011, KPPN), klaster 2 (RKT 2007), klaster 3 (RKT 2009, RKT 2013), klaster 4 (RKT 2012). Pada bagan dendogram tersebut tidak terdapat tren kedekatan jarak berhubungan dengan umur tebangan. Menurut Whitten (1987) dalam Mansyur (2003) vegetasi tertentu dapat tumbuh di daerah tertentu bergantung pada faktor-faktor seperti kimia tanah, air tanah, iklim, ketinggian tempat, dan jarak dari daerah yang mempunyai kondisi serupa. Pada hutan alam yang dilakukan kegiatan produksi, faktor-faktor seperti air, iklim mikro, dan keterbukaan tanah berubah dikarenakan adanya dampak penebangan atau keterbukaan lahan. Pada wilayah yang berbeda-beda intensitas penebangan juga berbeda-beda tergantung pada tapak wilayahnya sehingga antar petak penelitian kesamaan komunitasnya juga berbeda-beda.
25
Gambar 14 Bagan dendogram kesamaan komunitas tiang
Gambar 15 Bagan dendogram kesamaan komunitas pohon Pada bagan dendogram tingkat pohon, pembagian menjadi empat klaster antara lain klaster 1 (RKT 2005, RKT 2009, RKT 2011), klaster 2 (RKT 2007, RKT 2012), klaster 3 (RKT 2013), dan klaster 4 (KPPN). Antara klaster 1 dan 2 mempunyai jarak yang jauh terhadap klaster 3 (RKT 2013), hal ini dikarenakan RKT 2013 merupakan area dengan umur tebangan terdekat sehingga kondisi tegakan tinggalnya masih dalam proses pemulihan awal. Antara klaster 1, 2, dan 3 mempunyai jarak yang jauh dengan klaster 4 (KPPN) yang menunjukkan keseluruhan kondisi tegakan yang dikelola dengan sistem TPTJ belum
26
mempunyai susunan komposisi pohon yang sekompleks dengan KPPN. Berdasarkan penelitian Andini (2013) mengenai pemulihan vegetasi dari pengelolaan sistem silvikultur TPTJ di PT. Sarpatim dan penelitian Sari (2014) mengenai pemulihan vegetasi dengan sistem silvikultur TPTJ di PT. Suka Jaya Makmur, keseluruhan petak pengelolaan tidak menunjukkan adanya tren hubungan kesamaan komunitas dengan umur tebangan. Umur tebangan yang berdekatan belum tentu menunjukkan kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan umur tebangan yang berjauhan. Hal ini dikarenakan perbedaan intensitas penebangan dan variasi tempat tumbuh dari masing-masing lokasi pengelolaan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, rumpang hutan memberikan kondisi ekologis bagi vegetasi alami untuk berkembang. Jenis anakan alam cenderung mengikuti perkembangan luas rumpang. Semakin besar luas rumpang terdapat jumlah jenis yang banyak serta didominasi oleh jenis pionir atau light demander dan semakin kecil luas rumpang kehadiran jenis pionir berkurang dan muncul jenis klimaks atau shade tolerant. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan perkembangan nilai dominansi, kekayaan, keanekaragaman tumbuhan mempunyai korelasi positif terhadap luas rumpang dengan rata-rata kekuatan korelasi lemah. Kondisi tegakan tinggal disusun oleh jenis yang bervariasi. Jenis tersebut dikelompokkan menjadi kelompok dipterokarpa yang mendominasi hampir seluruh petak penelitian, kelompok komersil non dipterokarpa, kelompok pohon rendah non komersil, dan kelompok pohon lindung. Kelompok dipterokarpa yang dominan ini mempunyai fungsi penting sebagai sediaan tegakan pada daur tebang selanjutnya. Nilai dominansi jenis (C) keseluruhan rendah, nilai kekayaan (R) keseluruhan tinggi, dan nilai keanekaragaman (H’) keseluruhannya juga tinggi. Bagan dendogram kesamaan komposisi tegakan hutan tidak menunjukkan tren kesamaan tinggi jika perbandingan dilakukan terhadap tahun tebangan yang berdekatan, hal ini dikarenakan tingkat keanekaragaman vegetasi yang tinggi pada semua petak penelitian yang diduga karena adaptasi terhadap tempat tumbuh, iklim setempat, dan kegiatan pengelolaan hutan.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai model regenerasi anakan alam di dalam area rumpang dengan penambahan variabel lain seperti kondisi tutupan tajuk, kualitas tanah, dan intensitas penerimaan cahaya matahari untuk mengetahui perilaku pertumbuhan dan perkembangan anakan alam serta penambahan jumlah luas rumpang yang diteliti. 2. Perlu dilakukan pelengkapan data base jenis tumbuhan di unit pengelolaan hutan alam produksi untuk memantau kondisi perkembangan vegetasi hutan akibat kegiatan produksi dan sebagai sarana pendukung penelitian lainnya.
27
DAFTAR PUSTAKA Andini D. 2013. Penentuan sistem silvikultur berbasis pada proses pemulihan vegetasi dalam teknik silvikultur intensif (studi kasus di areal PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah). [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bimo S. 2011. Analisis Hierarchical Cluster. [internet].[diunduh 2015 Feb 17]. Tersedia pada: http://www.statistikolahdata.com/2011/12/analisishierarchical-cluster.html Brokaw NVL. 1982b. The definition of treefall gap and its effect on measures of forest dynamics. Biotropica 14:158-160. Hasanah P. 2009. Kajian aspek vegetasi dalam penerapan TPTI Intensif di IUPHHK/HA PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Lemmens RHMJ, Soerianegara I, dan Wong WC. 1995. Plant Resources of South-East Asia 5, (2) Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Leiden (NL): Backhuys Publishers. Magurran AE. 1988. Measuring Biological Diversity. United Kingdom (GB): TJ International, Padstow, Corbwall. Misra KC. 1980. Manual of Plant Ecology (second edition). New Delhi (IN): Oxford and IBH Publishing Co. Mueller-Dombois D, Ellenberg H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. Canada (US): J Wiley. PT. Sarpatim. 1996. Analisis Dampak Lingkungan HPH PT. Sarpatim. Sampit (ID): PT. Sarpatim. PT. Sarpatim. 2010. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu– Hutan Alam (RKUPHHK–HA) Tahun 2011–2020. Kotawaringin Timur (ID): PT. Sarpatim. PT. Sarpatim. 2012. Sekilas Tentang HPH/IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber. [internet]. [diunduh 2015 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.sarpatim.com/download/filepdf3.pdf Pinzon Z, Ewel KC, dan Putz FE. 2003. Gap formation and forest regeneration in a Micronesian mangrove forest. Journal of Tropical Ecology 19:143-153. Ramadhanil, Tjitrosoedirjo SS, dan Setiadi D. 2008. Structure and composition of understory plant assemblages of six lands use types in the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. Bangladesh J. Plant Taxon. 15(1): 1-12, 2008 (June). Runkle JR. 1992. Guidelines and Sample Protocol for Sampling Forest Gaps. USA: United States Department of Agriculture. Sari GD. 2014. Pemulihan vegetasi di areal hutan yang dikelola dengan sistem TPTJ (studi kasus di areal IUPHHK-HA PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat).[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Slik F dan Webb C. 2013. Plants of South East Asia. [internet]. [diunduh 2014 Des 25]. Tersedia pada: http://www.asianplant.net
28
Soerianegara I & Lemmens RHMJ (editors). 1994. Plant Resources of South-East Asia 5, (1) Timber Trees: Major Commercial Timbers. Wageningen (NL): Pudoc-DLO. Sosef MSM, Hong LT, dan Prawirohatmodjo S (editors). 1998. Plant Resources of South-East Asia 5, (3) Timber Trees: Lesser-Known Timbers. Leiden (NL): Backhuys Publishers. Sujarweni VW. 2014. SPSS untuk Penelitian. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru Press. Sutisna M. 2001. Silvikutur Hutan Alam di Indonesia. Jakarta (ID): Proyek Penelitian dan Pengembangan pada Masyarakat. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Inggris (GB): English Language Book Society/Oxford University Press. Whitmore TC. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests. English: Oxford University Press. Yamamoto S. 2000. Forset Gap Dynamics and Tree Regeneration. J. For. Res. 5: 223-229. Zhu J, Hu L, Yan Q, Sun Y, dan Zhang J. 2009. A new calculation method to estimate forest gap size. Front. For. China, 4(3): 276-282. Doi 10.1007/s11461-009-0048-9.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
29 29
30
Lampiran 2 Tabulasi korelasi luas rumpang terhadap indeks dominansi (C), indeks kekayaan (R), dan indeks keanekaragaman (H’) Tabulasi uji korelasi luas rumpang terhadap indeks dominansi (C) Correlations
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Indeks Dominansi Sig. (2-tailed) Tumbuhan Bawah N Correlations
Luas Rumpang 1
Luas Rumpang
21 -.345 .126 21 Luas Rumpang 1
Luas Rumpang Indeks Dominansi Semai
Luas Rumpang Indeks Dominansi Pancang
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Correlations
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
21 .001 .998 21
Luas Rumpang 1 21 .253 .269 21
Indeks Dominansi Tumbuhan Bawah -.345 .126 21 1 21 Indeks Dominansi Semai .001 .998 21 1 21 Indeks Dominansi Pancang .253 .269 21 1 21
Tabulasi uji korelasi luas rumpang terhadap indeks kekayaan (R) Correlations
Luas Rumpang Indeks Kekayaan Tumbuhan Bawah
Luas Rumpang Indeks Kekayaan Semai
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Correlations
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Luas Rumpang 1 21 .421 .058 21 Luas Rumpang 1 21 .381 .089 21
Indeks Kekayaan Tumbuhan Bawah .421 .058 21 1 21 Indeks Kekayaan Semai .381 .089 21 1 21
31
Correlations Luas Indeks Kekayaan Rumpang Pancang Pearson Correlation 1 .439* Luas Rumpang Sig. (2-tailed) .047 N 21 21 Pearson Correlation .439* 1 Indeks Kekayaan Sig. (2-tailed) .047 Pancang N 21 21 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Tabulasi uji korelasi luas rumpang terhadap indeks keanekaragaman (H’) Correlations Luas Rumpang
Indeks Keanekaragaman Tumbuhan Bawah Pearson Correlation 1 .465* Luas Rumpang Sig. (2-tailed) .033 N 21 21 Indeks Pearson Correlation .465* 1 Keanekaragaman Sig. (2-tailed) .033 Tumbuhan Bawah N 21 21 *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations Luas Indeks Rumpang Keanekaragaman Semai Pearson Correlation 1 .248 Luas Rumpang Sig. (2-tailed) .279 N 21 21 Indeks Pearson Correlation .248 1 Keanekaragaman Sig. (2-tailed) .279 Semai N 21 21 Correlations Luas Indeks Rumpang Keanekaragaman Pancang Pearson Correlation 1 .154 Luas Rumpang Sig. (2-tailed) .504 N 21 21 Indeks Pearson Correlation .154 1 Keanekaragaman Sig. (2-tailed) .504 Pancang N 21 21
32
Lampiran 3 Matriks indeks kesamaan komunitas tumbuhan di lokasi penelitian Matriks kesamaan komunitas tumbuhan bawah antar rumpang penelitian 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
2005 42.76 78.33 33.93 22.58 31.27 17.74
2007 42.76 23.44 36.93 18.50 15.59 40.75
2009 78.33 23.44 50.99 47.29 19.82 11.28
2011 33.93 36.93 50.99 45.36 13.87 8.04
2012 22.58 18.50 47.29 45.36 30.58 13.57
2013 31.27 15.59 19.82 13.87 30.58 14.51
KPPN 17.74 40.75 11.28 8.04 13.57 14.51 -
Matriks kesamaan komunitas semai antar rumpang penelitian 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
2005 18.15 23.74 15.97 10.01 9.09 10.55
2007 18.15 2.83 16.21 5.78 9.60 14.66
2009 23.74 2.83 10.44 15.37 11.41 6.61
2011 15.97 16.21 10.44 14.80 23.18 14.63
2012 10.01 5.78 15.37 14.80 13.87 7.27
2013 9.09 9.60 11.41 23.18 13.87 10.14
KPPN 10.55 14.66 6.61 14.63 7.27 10.14 -
Matriks kesamaan komunitas pancang antar rumpang penelitian 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
2005 26.28 24.07 21.59 11.43 11.25 8.70
2007 26.28 13.03 15.16 10.34 6.27 1.05
2009 24.07 13.03 34.77 27.93 25.00 19.91
2011 21.59 15.16 34.77 36.21 34.91 26.51
2012 11.43 10.34 27.93 36.21 25.34 19.58
2013 11.25 6.27 25.00 34.91 25.34 16.13
KPPN 8.70 1.05 19.91 26.51 19.58 16.13 -
Matriks kesamaan komunitas tiang antar lokasi penelitian 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
2005 25.43 21.05 31.98 18.65 10.65 19.59
2007 25.43 16.84 15.12 13.11 12.27 20.23
2009 21.05 16.84 29.53 18.92 26.52 18.35
2011 31.98 15.12 29.53 27.72 19.68 28.33
2012 18.65 13.11 18.92 27.72 15.22 17.81
2013 10.65 12.27 26.52 19.68 15.22 20.36
KPPN 19.59 20.23 18.35 28.33 17.81 20.36 -
Matriks kesamaan komunitas pohon antar lokasi penelitian 2005 2007 2009 2011 2012 2013 KPPN
2005 31.72 45.21 28.19 29.61 20.59 22.40
2007 31.72 44.84 29.13 37.09 19.43 18.49
2009 45.21 44.84 47.20 31.09 22.10 20.61
2011 28.19 29.13 47.20 31.05 34.76 27.83
2012 29.61 37.09 31.09 31.05 30.00 27.14
2013 20.59 19.43 22.10 34.76 30.00 13.82
KPPN 22.40 18.49 20.61 27.83 27.14 13.82 -
33
Lampiran 4 Tabulasi data analisis klaster kesamaan komunitas tumbuhan Tumbuhan Bawah Stage 1 2 3 4 5 6
Cluster Combined Cluster 1 Cluster 2 1 3 4 5 2 7 1 4 2 6 1 2
Agglomeration Schedule Coefficients Stage Cluster First Appears Cluster 1 Cluster 2 .119 0 .457 0 .890 0 1.660 1 2.569 3 3.991 4
Cluster Combined Cluster 1 Cluster 2 4 6 1 3 2 7 4 5 2 4 1 2
Agglomeration Schedule Coefficients Stage Cluster First Appears Cluster 1 Cluster 2 .596 0 1.193 0 1.925 0 2.719 1 3.676 3 4.686 2
Cluster Combined Cluster 1 Cluster 2 4 5 3 4 1 2 3 6 3 7 1 3
Agglomeration Schedule Coefficients Stage Cluster First Appears Cluster 1 Cluster 2 .427 0 .925 0 1.486 0 2.049 2 2.803 4 4.159 3
Cluster Combined Cluster 1 Cluster 2 1 4 3 6 1 7 1 5 1 2 1 3
Agglomeration Schedule Coefficients Stage Cluster First Appears Cluster 1 Cluster 2 .484 0 1.049 0 1.679 1 2.348 3 3.087 4 3.922 5
Next Stage 0 0 0 2 0 5
4 4 5 6 6 0
Semai Stage 1 2 3 4 5 6
Next Stage 0 0 0 0 4 5
4 6 5 5 6 0
Pancang Stage 1 2 3 4 5 6
Next Stage 0 1 0 0 0 5
2 4 6 5 6 0
Tiang Stage 1 2 3 4 5 6
Next Stage 0 0 0 0 0 2
3 6 4 5 6 0
Pohon Stage 1 2 3 4 5 6
Cluster Combined Cluster 1 Cluster 2 3 4 2 5 1 3 1 2 1 6 1 7
Agglomeration Schedule Coefficients Stage Cluster First Appears Cluster 1 Cluster 2 .316 0 .731 0 1.195 0 1.769 3 2.483 4 3.261 5
Next Stage 0 0 1 2 0 0
3 4 4 5 6 0
34
Lampiran 5 Daftar jenis tumbuhan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Lokal Setumpol Rengas Pei Mertama Banitan, karai Banitan, pisang-pisang Karai, semukau Banitan
Jangkang Keladi
Kedondong, Bangkulat Kedondong, Dayau Kedondong, Ampiras, Langguk Kedondong hutan Perupok Bintangor, Pandis Bintangor Bintangor batu Kandis, Entelang, Kayu putih doroh Penaga, Mergasing Lakee bue Engkolot, Rambai-rambai
Nama Ilmiah Hydnocarpus kunstleri (King) Warb. Gluta wallichii (Hook.f.) Ding Hou Anisophyllea beccariana Baill. Anisophyllea disticha (Jack) Baill. Artabotrys roseus Boerl. Monocarpia eneura Miq. Monocarpia kalimantanensis Polyalthia rumphii Merrill Polyalthia xanthopetala Merr. Uvaria littoralis Blume Uvaria lobbiana Hook.f. & Thoms Xylopia caudata Hook.f. & Thomson Alocasia longiloba Miq. Blechnum finlaysonianum Wall. Stenochlaena palustris (Burm. f.) Bedd. Canarium denticulatum Blume Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam Santiria griffithii Engl. Santiria sp. Lophopetalum beccarianum Pierre Salacia korthalsiana Miq. Calophyllum pulcherrimum Wall. ex Choisy Calophyllum soulattri Burm.f. Calophyllum teysmannii Miq. Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Mammea acuminata Mesua ferruginea (Pierre) Kosterm. Erycibe borneensis (Merrill) Hogl. Crypteronia cumingii Endl. Davallia denticulata (Burm.f.) Mett. ex Kuhn
Famili Achariaceae Anacardiaceae Anisophylleaceae Anisophylleaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Annonaceae Araceae Blechnaceae Blechnaceae Burseraceae Burseraceae Burseraceae Burseraceae Celastraceae Celastraceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Convolvulaceae Crypteroniaceae Davalliaceae
Habitus Pohon Pohon Pohon rendah Perdu Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Liana Pohon Herba Paku-pakuan Paku-pakuan Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon rendah Pohon Perdu Pohon Paku-pakuan
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63
Simpoh, Simpur bukit Simpoh, Tempuran Keruing Keruing Bangkirai, Selangan Meranti kuning Seraya mempelas, Engkabang Tengerangan sibu Meranti paya, Engkabang Emang Benuas Meranti merah Tengkawang Meranti merah Meranti ketuko Meranti merumbung Tengkawang tungkul Resak Kayu Malam Kayu Malam Bantas, Mingaram Kelampai Mahang, Marakubong Mahang, Bettotan Balik angin, Entupak Balik angin Balik angin Bantas, Rambai Rambai Hutan Kelensa butoh kra
Dillenia excelsa Martelli Dillenia reticulata King Dipterocarpus caudiferus Merr. Dipterocarpus cf. grandiflorus (Blanco) Blanco Hopea dryobalanoides (Miq.) Pierre Shorea acuminatissima Symington Shorea atrinervosa Sym. Shorea cf. macroptera Dyer Shorea fallax Meijer Shorea hopeifolia (Heim) Symington Shorea laevis Ridl. Shorea leprosula Miq. Shorea macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton Shorea parvifolia Dyer Shorea pauciflora King Shorea smithiana Symington Shorea stenoptera Burck Vatica nitens King Elaphoglossum sp. Diospyros rostrata (Merrill) Bakh. Diospyros sp. Elaeocarpus parvifolius Wall. Cephalomappa malloticarpa J.J. Smith. Elateriospermum tapos Blume Macaranga gigantea (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg. Macaranga hypoleuca (Rchb.f. & Zoll.) Müll.Arg. Mallotus macrostachyus (Miq.) Müll.Arg. Mallotus moritzianus Muell. Arg. Mallotus penangensis Muell. Arg. Neoscortechinia forbesii (Hook.f.) C.T. White Paracroton pendulus (Hassk.) Miq. Trigonostemon filiformis Quisumb. Archidendron cockburnii I.C.Nielsen
Dilleniaceae Dilleniaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dryopteridaceae Ebenaceae Ebenaceae Elaeocarpaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Fabaceae
Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Paku-pakuan Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon Pohon Pohon Pohon
35
36
64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
Keranji bernang Biansu, Makupit, Torin-torin Kempas, Menggeris Sindur
82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
Medang balong Medang Akar ipoh putih Durian manuk Durian paya Durian mungit Durian Melunak Melunak Kembang semangkok Kayu lilin Mangkoan
Berangan bukit Mempening Geronggang Kulimpapa, Mengkulat Laban Madang, marsihung Medang Pengoan, Medang tanduk Bejubui, Medang lilin Ulin Medang Medang
Gaerut
Dialium indum Linn. Fordia splendidissima (Miq.) Buijsen Koompassia malaccensis Benth. Sindora wallichii Benth. Spatholobus gyrocarpus Benth. Castanopsis costata (Blume) A.DC. Lithocarpus lucida Rehder Cratoxylum arborescens (Vahl) Blume Molineria capitulata (Lour.) Herb. Teijsmanniodendron simplicifolium Merr. Vitex vestita Wall. ex Schauer Alseodaphne oblanceolata (Merrill) Kosterm. Cryptocarya densifolra Blume Dehaasia caesia Blume Endiandra rubescens Blume ex Miq. Eusideroxylon zwageri Teijsm. & Binn. Litsea ferruginea Blume Litsea lanceolata (Blume) Kosterm.
Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fabaceae Fagaceae Fagaceae Hypericaceae Hypoxidaceae Lamiaceae Lamiaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae
Pohon Pohon rendah Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon Herba Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon rendah Pohon
Litsea machilifolia Gamble Litsea ochracea Boerl. Indorouchera griffithiana H. Hallier Durio acutifolius (Mast.) Kosterm. Durio carinatus Mast. Durio griffithii Bakh. Durio zibethinus L. Pentace borneensis Pierre Pentace sp. Scaphium macropodum (Miq.) Beumée ex K.Heyne Leptonychia heteroclita K. Schum Scaphium sp. Calathea sp. Phrynium parvum (Ridl.) Holttum
Lauraceae Lauraceae Linaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Malvaceae Marantaceae Marantaceae
Pohon Pohon Liana Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Herba Herba
96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125
Karamunting Tambalilin Jambu, Nipis kulit Nipis kulit Benalun, Mampulu Lantupak Bunya, Lapak Belayang, Bunau Bunau, Lantupak Lantupak Bayit Beruni sisek Ara Kumpang Jambu-jambuan Jambu-jambuan Kulim/Kayu Bawang Bangil, Berenas Engkuni, Mata Pelanduk Papar buwu, Empenai Beleti limbo Kosa umpo Sebasah Janggau, Murok, Sebasah Majam Akar Asam gunung Asam gunung Pala briak
Macrolenes echinulata Bakh.f. Melastoma malabaritchum L. Memecylon cf. floribundum Benth. Memecylon cf. paniculatum Jack Memecylon edule Roxb. Pternandra caerulescens Jack Aglaia argentea Blume Aglaia silvestris Merrill Aglaia simplicifolia (Bedd.) Harms Aglaia tomentosa Teijsm. & Binn. Chisocheton subcordatus Jablonszky Walsura dehiscens T.P. Clark. Artocarpus nitidus Trec. Ficus treubii King Gymnacranthera contracta Warb. Syzygium borneense (Miq.) Miq. Syzygium laxiflorum DC. Nephrolepis auriculata Trimen Scorodocarpus borneensis (Baill.) Becc. Strombosia ceylanica Gardn. Baccaurea odoratissima Elmer Antidesma coriaceum Tul. Antidesma neurocarpum Miq. Antidesma tomentosum Blume Aporosa sphaeridophora Merrill Aporosa subcaudata Merrill Breynia oblongifolia (Müll.Arg.) Müll.Arg. Cleistanthus sp. Cleistanthus subcordatus Jablonszky Cleistanthus rufescens Jabl.
Melastomataceae Melastomataceae Melastomataceae Melastomataceae Melastomataceae Melastomataceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Moraceae Moraceae Myristicaceae Myrtaceae Myrtaceae Nephrolepidaceae Olacaceae Olacaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae Phyllanthaceae
Liana Perdu Pohon Pohon rendah Pohon Pohon rendah Pohon Pohon Pohon rendah Pohon rendah Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Paku-pakuan Pohon Pohon Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon Pohon rendah Pohon rendah Perdu Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah 37
38
126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155
Kayu seribu, Mengilan Menyerin, Tampasak Merumbun Merumbun Sawa luka Soka Kopi-kopian Jabon Kopi-kopian Ubah Kopi-kopian Kopi-kopian Kait-kait Kait-kait Kayu Basak Kopi-kopian Kopi-kopian Kopi-kopian Rambutan hutan Rambutan, Kalamangis Tambuakat Nyatoh Nyatoh, Katiau Nyatoh Nyatoh Nyatoh
Nageia wallichiana (C.Presl) Kuntze Xanthophyllum amoenum Chod. Xanthophyllum incertum (Blume) R. van der Meijden Ardisia paniculata Roxb. Ardisia sp. Maesa perlarius (Lour.) Merrill Heliciopsis incisa (Koord. & Valeton) Sleumer Ixora sp. Lasianthus scabridus King & Gamble Neolamarckia cadamba (Roxb.) Bosser Pleiocarpidia polyneura (Miq.) Bremek Saprosma arboreum Blume Tarenna fragrans Koord. & Valet. Tricalysia sp. Uncaria ferrea DC. Uncaria longiflora Urophyllum arboreum Korth. Urophyllum hirsutum (Wight.) Hook.f. Urophyllum sp. Urophyllum streptopodium Guoia sp. Nephelium costatum Hiern Nephelium uncinatum Radlk. Paranephelium xestophyllum Madhuca erythrophylla H.J. Lam Madhuca korthalsii H.J. Lam Palaquium dasyphyllum Pierre ex Dubard. Palaquium sp. Payena lucida A. DC. Selaginella sp.
Podocarpaceae Polygalaceae Polygalaceae Primulaceae Primulaceae Primulaceae Proteaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Rubiaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapindaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Sapotaceae Selaginellaceae
Pohon Pohon Pohon Pohon rendah Pohon rendah Perdu Pohon rendah Pohon rendah Perdu Pohon Pohon Pohon rendah Pohon rendah Perdu Liana Liana Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon rendah Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Paku-pakuan
156 157 158 159 160 161 162 163 164
Kayu salondung Kayu jenerku Ramin, Binyak Mangkudor Tamehas Tamehas Mali-mali
Stemonurus scorpioides Becc. Symplocos cochinchinensis (Lour.) Moore Symplocos crassipes C.B. Clarke Gonystylus brunnescens Airy Shaw Trigoniastrum hypoleucum Miq. Elatostema sp. Rinorea anguifera Kuntze Rinorea horneri Kuntze Leea angulata Korth. ex Miq.
Stemonuraceae Symplocaceae Symplocaceae Thymelaeaceae Trigoniaceae Urticaceae Violaceae Violaceae Vitaceae
Pohon Pohon rendah Pohon rendah Pohon Pohon Herba Perdu Perdu Perdu
39
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 20 September 1992 dari ayah ME. Purnomo dan Siti Muhimmah. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Rembang dan pada tahun yang sama penulis lulus pada seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima si Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi koordinator asisten praktikum mata kuliah Dendrologi tahun ajaran 2014/2015 dan aktif pada berbagai kegiatan organisasi antara lain sebagai anggota UKM Merpati Putih, anggota dan koordinator kelompok Tree Species Group di Himpunan Mahasiswa Silvikultur bernama Tree Grower Community (TGC), dan Badan Pengawas dan Konsultasi Pengurus Himpro (BPKPH) TGC. Penulis telah melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Taman Nasional Gunung Ciremai dan KPH Indramayu pada bulan Juli 2012, Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulan Juli 2013, dan Praktik Kerja Profesi (PKP) serta penelitian di IUPHHK-HA PT. Sarmiento Parakantja Timber (PT. Sarpatim), Kalimantan Tengah pada bulan Februari sampai Mei 2014. Guna memperoleh sarjana kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Perkembangan Regenerasi Anakan Alam pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Kalimantan Tengah” di bawah bimbingan Dr Ir Iwan Hilwan, MS.