PERKEMBANGAN PENGGUNAAN TEKNIK KULTUR JARINGAN PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) Chris Sugihono1 dan Agus Hasbianto2 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Maluku Utara Komplek pertanian kusu no.1 Sofifi-Kota Tidore Kepulauan; 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan Selatan Email:
[email protected]
ABSTRAK Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman sayuran dataran tinggi yang termasuk family Solanaceae yang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum dan jagung. Tantangan dalam pengembangan kentang kedepan adalah penyediaan propagul secara cepat, massal, murah, dan bebas penyakit maupun virus serta dihasilkannya kultivar baru yang spesifik dalam fungsionalnya serta toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Teknik kultur jaringan sudah banyak digunakan untuk mengembangkan kentang. Induksi umbi mikro dan stek mikro merupakan salah satu teknik mikropropagasi kentang. Sedangkan dalam rangka menghasilkan kultivar baru maka dilakukan teknik seleksi in vitro untuk seleksi kultivar toleran kekeringan, cekaman NaCl. maupun mangan, hibridisasi somatik, dan rekayasa genetika untuk menghasilkan kultivar yang tahan hama penggerek umbi (tuber moth). Kata kunci: kentang, kultur jaringan, mikropropagasi, benih, pemuliaan
Pendahuluan Kentang (Solanum tuberosum L) adalah tanaman sayuran dataran tinggi yang termasuk family Solanaceae yang merupakan salah satu pangan utama dunia setelah padi, gandum dan jagung karena kelebihannya dalam mensuplai kurang lebih 12 vitamin esensial, mineral, protein, karbohidrat, dan zat besi serta didukung dengan rasanya yang enak (Rubatsky dan Yamaguchi, 1995). Produksi kentang di Indonesia tahun 2008 mencapai 1,071 jt ton atau meningkat sebesar 6,7% dibanding tahun 2007 dengan tingkat produktivitas sebesar 16,7 ton/ha. Namun demikian produksi kentang tersebut hanya dapat memenuhi 8 % kebutuhan nasional yang mencapai 9 ton per tahun. Konsumsi kentang di Indonesia terdiri dari 93,5% kentang segar dan 6,5% kentang olahan (french fries, chip, dan tepung). Sentra produksi kentang saat ini berada di 9 Provinsi yaitu Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, NAD, Sumbar, Jambi, Sulsel, dan Sulut. Namun demikian pemanfaatan lahan untuk budidaya kentang masih sangat rendah yaitu masih kurang dari 2 % dari total luas areal potensial yang mencapai 11,3 juta ha (Kementan, 2010). Meskipun potensi permintaan kentang yang cukup tinggi ditunjang dengan potensi ketersediaan lahan yang cukup luas, namun pengembangan dan peningkatan peningkatan produksi kentang berjalan lambat, hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti saingan pasar dari Cina, Taiwan, dan Australia; modal usaha yang dibutuhkan cukup tinggi Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 435
mengingat tanaman kentang termasuk yang kebutuhan input tinggi, hasil output tinggi, tetapi risiko juga tinggi; hama penyakit yang potensial menyerang kentang cukup banyak; dan penggunaan bibit kentang bermutu yang masih rendah (Wattimena, 2000). Tantangan dalam pengembangan tanaman kentang kedepan adalah merubah tanaman kentang dari high input, high ouput, dan high risk menjadi high input, high output, dan low risk melalui kultivar kentang yang toleran cekaman biotik dan abotik dan memproduksi propagul kentang elit. Saat ini penggunaan teknik kultur jaringan telah banyak dikembangkan untuk menghasilkan bibit kentang dalam jumlah banyak, waktu yang singkat, bebas hama, penyakit, dan virus, tidak tergantung musim, kebutuhan bahan awal yang sedikit, bibit yang dihasilkan bersifat seragam dan sama seperti induknya yang dapat dipakai sebagai sumber perbanyakan (true to type), dan biaya penyediaan bibitnya relatif murah dibandingkan bibit impor (Wattimena et al., 1983; Wattimena, 1986). Perbanyakan kentang secara in vitro dapat dilakukan melalui tunas mikro dan umbi mikro. Umbi mikro memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tunas mikro antara lain mudah ditangai, dapat ditransportasikan dalam jarak jauh tanpa pengurangan daya berkecambah serta lebih tahan bila dipindahkan ke media non aseptik (Wattimena, 1983). Tantangan lainnya adalah pengembangan kultivar baru kentang yang spesifik untuk berbagai keperluan seperti di luar negeri dimana ada kultivar untuk kentang segar, kentang olahan (chip, french fries, dan kentang industri/tepung). Selain itu juga adaptif untuk lingkungan yang spesifik seperti iklim basah, kering, high input maupun low input. Teknik kultur jaringan juga sudah banyak digunakan untuk menghasilkan kultivar baru yang tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik, baik melalui induksi variasi somaklonal, seleksi in vitro, maupun fusi protoplas. Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan untuk keperluan mikropropagasi maupun untuk menghasilkan kultivar baru.
Kultur Jaringan Untuk Mikropropagasi Kentang Secara klonal tanaman kentang dapat diperbanyak dengan umbi bibit, umbi mini, true potato seed (TPS), umbi mikro, maupun stek mikro. Tujuan dari perbanyakan mikro kentang adalah memproduksi sejumlah besar bahan tanaman dengan gen identik, produksi tanaman bebas virus, produksi senyawa metabolit sekunder (solasodine pada kentang), perbaikan tanaman (manipulasi jumlah kromosom, polinasi in vitro, penyelamatan embrio) dan pelestarian plasma nutfah (Wattimena, 1992). Menurut Wattimena (2000) penggunaan bibit mikropropagasi harus mempunyai 4 kriteria yaitu bibit mikropropagasi tersebut sangat dibutuhkan, harus menguntungkan baik dalam produksi propagulnya maupun sistem budidaya, sistem distribusi yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas, dan dapat beradaptasi terhadap sistem transportasi dan penanganan. Perbanyakan kentang secara in vitro Penelitian tentang mikropropagasi kentang sudah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitian Khadiga et al. (2009) di Sudan menghasilkan protokol dalam meregenerasi kentang secara in vitro pada berbagai kultivar kentang. Perlakuan terbaik yang dihasilkan adalah pada kultivar Almera dengan menggunakan eksplan buku (node) pada media MS + 3mg/L TDZ + 0,1 mg/L NAA berhasil menginduksi rata-rata 5,4 tunas/eksplan. Kemudian induksi akar dilakukan dengan media MS+ 1 mg/L Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan pada tanaman kentang | 436
IBA yang menghasilkan 35 akar/tunas. Selanjutnya plantlet berhasil 100% diaklimatisasi di rumah kaca.
Gambar 1. Mikropopagasi kentang kultivar Almera secara in vitro (a) regenerasi tunas (b) induksi akar (c) aklimatisasi di ruang kultur (d) pertumbuhan tanaman di rumah kaca Penelitian lainnya dilakukan Mohammed dan Alsadon (2009) yang mempelajari pengaruh ventilasi dan konsentrasi sukrosa terhadap pertumbuhan dan anatomi daun pada mikropogasi plantlet kentang kultivar Sandy. Eksplan yang digunakan adalah single node. Media yang digunakan adalah media dasar MS bebas hormon yang ditambahkan dengan thiamine 100 mg/L, nicotinic acid 50 mg/L, pyridoxine·HCl 50 mg/L, glycine 200 mg/L, myo-inositol 100 mg/L dan agar 7 g/l (BDH Laboratory Supplier, England). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa secara signifikan meningkatkan bobot plantlet, bobot basah tunas, dan kadar klorofil daun. Selain itu juga diketahui bahwa penggunaan ventilasi vessels dengan konsentrasi sukrosa 20 g/L dalam ruang pertumbuhan dapat membuat kultur photomixotrophic dan hasil plantlet yang sehat. Penelitian tentang mikropropagasi kentang juga dilakukan oleh Karjadi (2007) untuk menghasilkan kombinasi terbaik ZPT kinetin, IAA, dan GA3 dalam meningkatkan pertumbuhan plantet kentang kultivar Granola. Media yang digunakan adalah media dasar MS + 30g gula; 0,l mg GA3; l00ml air kelapa dan 6g agar per liter. Hasilnya ternyata tidak terdapat interaksi dari kombinasi ketiga hormon tersebut. Penelitian penggunaan ZPT juga dilakukan oleh Sajid (2009) yang meneliti pengaruh Thidiazuron (TDZ) pada mikropropagasi kentang kultivar Desiree dan Cardinal. Eksplan yang digunakan adalah tunas apikal. Media MS+TDZ 10-9 menghasilkan bobot basah dan kering plantlet paling besar yaitu 0,543 g dan 0,0524 g pada kultivar Cardinal. Sedangkan pada kultivar Desiree
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 437
dengan media MS+ TDZ 10-10 menghasilkan bobot basah dan kering plantlet paling besar yaitu 1,05 g dan 0,0965 g. Masalah yang sering muncul dalam perbanyakan kentang secara in vitro adalah kontaminasi. Syarat utama keberhasilan kultur in vitro adalah terciptanya kondisi aseptik yaitu terbebas dari mikroorganisme. Proses sterilisasi merupakan langkah awal untuk menciptakan kondisi aseptic terutama pada eksplan yang digunakan. Hasil penelitian Badoni dan Chauhan (2010) menghasilkan bahwa sterilisasi eksplan dengan menggunakan Sodium Hypochlorite (NaOCl) selama 8 menit kemudian di masukkan ke dalam larutan etanol 30 detik dan dibilas dengan akuades sebanyak 2x merupakan perlakuan terbaik dan tidak menimbulkan dampak pada eksplan dalam jangka panjang. Induksi umbi mikro (micro tubers) Umbi mikro adalah umbi kecil dengan bobot basah 50-150 mg/umbi yang dihasilkan secara in vitro (aseptik). Kriteria umbi mikro berkualitas baik adalah umbi dengan bobot basah lebih dari 100 mg per umbi dan atau berdiameter 5-10 mm serta mempunyai bahan kering lebih dari 14%. Pembentukan umbi mikro dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu jenis eksplan, media yang digunakan, lingkungan kultur (temperatur dan periode cahaya), konsentrasi sukrosa, zat pengatur tumbuh (ZPT), dan metode pengumbian mikro (Wattimena, 1992). Berdasarkan hasil penelitian Fatima et al. (2004), induksi umbi mikro pada kentang kultivar PARS 70 dengan menggunakan media MS dengan konsentrasi sukrosa 8% dan eksplan buku (node) menghasilkan pembentukan tunas 100%, panjang akar 2,71 cm, jumlah umbi mikro rata-rata 2,16 buah, bobot umbi mikro 164,5 mg/umbi dan jumlah daun rata-rata 5,71. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan menggunakan eksplan dari tunas pucuk (shoot tip). Media merupakan salah satu faktor yang menetukan keberhasilan dalam teknbik kultur jaringan. Media kultur yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi makro, unsur mikro, sumber tenaga (pada umumnya sukrosa), vitamin, zat pengatur tumbuh, dan pengkelat. Terdapat tiga jenis media dalam kultur invitro, yaitu media padat, media cair, dan media semi padat. Hasil penelitian Sakya et al. (2003) menunjukkan bahwa penggunaan ZPT coumarin dengan konsentrasi 45 mg/L lebih baik dibandingkan dengan aspirin pada media MS untuk menginduksi umbi mikro kentang kultivar Atlantik. Jumlah umbi mikro yang dihasilkan rata-rata 2,45 dengan bobot 20 mg. Tetapi hasil penelitian Warnita (2007) menunjukkan hasil yang berbeda pada kentang kultivar Karnico. Penggunaan aspirin pada media MS lebih baik dibanding coumarin maupun BAP dengan periode cahaya 16 jam. Induksi umbi mikro dengan coumarin menghasilkan jumlah umbi sebanyak 6,25 dengan bobot rata-rata 137 mg.
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan pada tanaman kentang | 438
Tabel 1. Beberapa hasil penelitian terkait induksi umbi mikro kentang Eksplan
Media
Lingkungan kultur
Stek in vitro kentang Atlantik
MS + Coumarin 45 mg/L
Periode cahaya 16 jam
Node dari kultivar PARS 70
MS solid agar dengan konsentrasi sukrosa 8%
Suhu 270C, periode cahaya 16 jam dengan intensitas 2500 lux
Stek mikro dari kultivar Karnico
MS agar solid+Aspirin
Periode cahaya 16 jam dengan intensitas 20003000 lux
Hasil Jumlah umbi rata-rata 2,45 dengan bobot 20 mg Jumlah umbi mikro rata-rata 2,16 dengan bobot 164,05 mg Jumlah umbi mikro rata-rata 6,25 dengan bobot kering 137 mg
Keterangan Sakya et al., 2003
Fatima et al., 2004
Warnita, 2007
a b Gambar 2. Perbandingan hasil induksi umbi mikro dengan menggunakan eksplan dari (a) node dan (b) shoot tip pada kultivar PARS 70 Stek mikro Stek mikro berasal dari perbanyakan stek buku tunggal pada media MS padat tanpa ZPT. Stek mikro dapat digunakan untuk memproduksi umbi bibit atau umbi mini. Hussey dan Stacey (1981) menyatakan bahwa laju perpanjangan dan penebalan batang, jumlah buku, dan morfologi tunas mikro dipengaruhi oleh panjang hari , intensitas cahaya dan suhu. Selanjutnya Hutabarat (1994) menyatakan bahwa kondisi suhu optimum pembentukan buku adalah 20-25°C dengan penyinaran terus-menerus. Semakin lama penyinaran akan membuat batang tunas mikro kentang semakin tebal dan pendek. Batang yang tebal dan pendek lebih muda disubkultur daripada batang yang panjang dan kurus. Stek mikro kentang mempunyai kemampuan multiplikasi yang sangat besar. Dari satu stek mikro bisa dihasilkan sekitar 50-60 stek mini tergantung dari media dan pupuk daun yang diberikan (Wattimena, 2000). Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 439
Permasalahan stek mikro adalah kendala transportasi, apalagi jika jarak antara lab kultur jaringan dan tempat aklimatisasi letaknya berjauhan. Transportasi plantlet dengan botol kultur adalah memakan tempat dan tidak praktis, sehingga dikembangkan sistem transportasi TAS (Toples Arang Sekam) dan TIAS (Tisu Arang Sekam). Pada sistem TAS, plantlet dipindahkan kedalam toples yang berisi media arang sekam dan diprakondisi di dalam lab selama 3 hari. Di tempat pembibitan stek mikro yang berada di toples berfungsi sebagai stek mini, selanjutnya tiap satu minggu stek dapat dipanen sampai 8 minggu tergantung kesuburan media yang ada di toples (Wattimena, 2000). Selain itu juga terdapat teknik pengemasan yang dikembangkan Warnita (2006) dengan enkapsulasi tunas. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian hormon GA3 0.10 mg/l dan spermidin dengan konsentrasi 4.00 mg/l dapat meningkatkan saat muncul tunas dan tinggi tanaman enkapsulasi kentang. Perbanyakan propagul kentang bebas virus dengan kultur meristem Penyakit yang disebabkan oleh virus dapat terbawa dalam umbi kentang dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan belum ditemukan obat pengendali virus. Pada tanaman kentang ditemukan sekitar 50 jenis virus. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memproduksi propagul kentang bebas virus yaitu dengan kultur meristem dengan menggunakan eksplant berupa jaringan meristematik (0,11-0,25 mm). Hasil penelitian Sanavy dan Moeini (2003) menunjukkan pemberian NAA dan BAP serta media tanam serbuk lumut dan pasir dengan perbandingan 4:1 adalah media yang baik untuk pertumbuhan plantlet kentang kultivar Agria dan Marvona hasil kultur meristem. Sedangkan plantletnya dihasilkan dengan menggunakan media MS dengan 0.25 mg/l GA3 and 0.01 mg/l NAA. Kemudian Plantlet ditumbuhkan pada suhu 25 0C and 16 h photoperiod dengan intensitas cahaya 2000 selama 1 bulan.
Kultur Jaringan Untuk Perakitan Kultivar Baru Tanaman Kentang Pengembangan kultivar baru kentang kedepan adalah untuk memenuhi kebutuhan terhadap sisi hilir dan juga sisi produksi. Kebutuhan dari sisi hilir adalah spesifik penggunaan untuk kentang segar dan juga kentang olahan. Sedangkan dari aspek produksi dibutuhkan kultivar yang toleran cekaman biotik maupun abiotik. Beberapa teknik untuk menghasilkan kultivar baru melalui kultur in vitro sudah banyak dilakukan diantaranya adalah melalui seleksi in vitro, hibridisasi somatik/fusi protoplas, maupun melalui rekayasa genetik. Penelitian untuk menghasilkan kultivar baru melalui seleksi in vitro pada tanaman kentang toleran kekeringan salah satunya dilakukan oleh Suharjo (2007) dengan menseleksi 12 genotipe kentang dengan agen penyeleksi PEG 8000 dengan konsentrasi 8%. Dengan menggunakan indikator bobot kering akar, tunas, dan luas daun diperoleh genotipe Richie yang paling toleran kekeringan. Tanaman kentang juga sangat sensitif terhadap mangan yang terlalu berlebih sehingga bersifat toxic. Dampaknya adalah terjadinya nekrosis pada lapisan batang. Hasil penelitian Sarkar et al. (2004) menunjukkan terdapat korelasi positif antara konsentrasi mangan pada kentang terhadap kandungan mikronutrien Phospor pada tanaman kentang. Semakin tinggi tingkat Mn maka kandungan P dalam tanaman semakin berkurang.
Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan pada tanaman kentang | 440
Penelitian tentang genetika kentang juga dilakukan oleh Ni et al. (2009) yang meneliti tentang gen pada tanaman kentang yang resisten terhadap layu bakteri dan cekaman NaCl. Perbanyakan plantlet dilakukan secara in vitro dengan menggunakan media MS+3% sukrosa+0,8% agar yang ditumbuhkan selama 4-5 minggu dengan kondisi periode cahaya 16 jam dengan suhu 200C. Agen penyeleksi yang digunakan adalah inokulan bakteri Phytophthora infestans dan 200 Mm larutan NaCl. Hasilnya adalah dalah ditemukan gen StPUB17 yang diisolasi dari daun kentang yang bersifat broad spectrum yang menyebabkan tanaman sensitif terhadap P. infestans dan cekaman NaCl. Temuan ini kedepannya dapat digunakan untuk perakitan kultivar baru kentang yang toleran layu bakteri dan cekaman NaCl. Penelitian rekayasa genetika lainnya dilakukan oleh Kumar et al. (2010) yang mengembangkan kentang transgenik yang berasal dari kultivar Kufri Badshah dengan momidifikasi gen cry1Ab yang diambil dari Baccillus thuringiensis untuk mengendalikan serangan hama penggerek umbi.
Gambar 3. Perbandingan hasil pengujian umbi mikro kentang (A) kentang cv Kufri Badsah sebagai kontrol dengan (B) kentang transgenik CG127 yang diinfestasi dengan larva penggerek umbi selama 21 hari Regenerasi tanaman merupakan salah satu komponen dalam manipulasi genetik secara in vitro. Untuk mendapatkan tanaman hasil rekayasa genetika maka diperlukan suatu sistem regenerasi yang berhasil meregenerasikan tanaman baru. Pada penelitian kentang transgenik diatas juga telah dihasilkan protokol untuk regenerasi. Selain itu untuk meregenerasikan fusi protoplas juga telah diteliti oleh Asnawati et al (2002). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa media MS dengan 2x konsentrasi unsur makro yang dikombinasikan dengan sukrosa menghasilkan tanaman in vitro yang vigor dan berdiameter daun lebar (144 cm). Kemampuan eksplan mesofil daun dalam menginisiasi tunas tergantung dari interaksi ZPT yang diberikan, namun secara umum media M10 (0,1 mg/l IAA+0,5 mg/l zeatin+0,5 mg/l GA3) merupakan media yang terbaik untuk meregenerasikan tunas yang vigor. Larutan enzim dengan komposisi 0,5% selulase Onozuka RS dan 0,05% pektoliase; 0,05% MES; 9,1 % manitol pada pH 5,5-5,6 dapat mengisolasi protoplas paling tinggi yaitu 46,58x105 protoplas/daun pada klon BF 15 kultivar Atlantic.
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 441
Kesimpulan Penggunaan kultur jaringan pada tanaman kentang sudah sedemikian berkembang. Perbanyakan secara in vitro ditujukan untuk mendapatkan teknik yang efisien dan murah harganya sehingga propagul yang dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Kemudian teknik untuk mentransportasikan hasil stek mikro juga bisa dilakukan dengan sistem TAS maupun TIAS, bahkan saat ini juga sudah dilakukan dengan enkapsulasi. Sedangkan penggunaan kultur jaringan untuk menghasilkan kultivar baru juga sudah banyak dilakukan baik melalui seleksi in vitro maupun melalui rekayasa genetik.
Daftar Pustaka Asnawati, G.A. Wattimena, M. Machmud, A. Purwito. 2002. Studi regenerasi dan produksi protoplas mesofil daun beberapa klon tanaman kentang (Solanum tuberosum L). Buletin Agronomi 30 (3):87-91 Bodani, A., J.S. Chauhan. 2010. In vitro sterilization protocol for micropropagation of Solanum tuberosum cv. Kufri Himalini. Academia Arena 2(4): 24-27 Fatima, B., M. Usman, I. Ahmad, dan I.A. Khan. 2004. Effect of explant and sucrose on microtuber induction in potato cultivar. International Journal of Agriculture & Biology 07(1): 63-66 Karjadi, A.K. 2007. Effect of kinetin, IAA, and GA3 hormones on growth of potato plantlet. J. Agrivigor 6(2): 100-105 Kementerian Pertanian. 2010. Statistik Pertanian. www.deptan.go.id. diakses pada tanggal 1 Juli 2010 Khadiga, G. Abd Elalem, Rasheid, S. Modawi, Mutashim, M. Khalafalla. 2009. Effect of cultivar and growth regulator on in vitro micropropagation of potato. AmericanEurasian Journal of Sustainable Agriculture 3(3):487-492 Kumar, M., V. Chimote, R. Singh, G.P. Mishra, P.S. Naik, S.K. Pandey, dan S.K. Chakrabarti. 2010. Development of Bt transgenic potatoes for effective control of potato tuber moth by using cry1Ab gene regulated by GBSS promoter. Crop Protection 29 (2): 121-127 Mohamed, M.A.H., dan A.A. Alsadon. 2010. Influence of ventilation and sucrose on growth and leaf anatomy of micropropagated potato plantlets. Scientiae Horticulturae 123 (3): 295-300 Ni X., Z. Tian, J. Liu, B. Song, J. Li, X. Shi, dan C. Xie. 2010. StPUB17, a novel potato UND/PUB/ARM repeat type gene is associated with blight resistance and NaCl stress. Plant Science 178: 158-169 Rubatsky, V., dan M. Yamaguchi. 1995. Sayuran Dunia: Prinsip, produksi, dan gizi. Penerbit ITB. Bandung Sajid, Z.A., dan F. Aftab. 2009. Effect if thidiazuron (TDZ) on in vitro micropropagation of Solanum tubersolum L cv. Desiree and Cardinal. Pak.J.Bot., 41(4): 1811-1815 Chris Sugihono dan Agus Hasbianto : Perkembangan penggunaan teknik kultur jaringan pada tanaman kentang | 442
Sakya, T.A., A. Yunus, Samanhudin, U. Baroroh. 2003. The effect of coumarin and aspirin on induction of potato microtuber. Agrosains 5(1): 19-28 Sanavy, S.A.M.M., dan M.J. Moeini. 2003. Effects of different hormone combinations and planting beds on growth of single nodes and plantlets resulted from potato meristem culture. Plant Tissue Cult. 13(2): 145-150 Sarkar, D., S.K. Pandey, K.C. Sud, A. Chanemougasoundharam. 2004. In vitro characterization of manganese toxicity in relation to phosporus nutrition in potato (Solanum tubersolum L). Plant Science 167 (977-986) Suharjo, U.K.J. 2007. Use of polyethilene glycol (PEG) 8000 for rapid screening of potato (Solanum tubersolum L) genotypes for water stress tolerance:III. Root and shoot growth. Jurnal Akta Agrosia (1): 11-18 Warnita. 2007. Effect of growth media and photoperiod on potato microtuberization. Jurnal Akta Agrosia 10(2): 167-171 Wattimena, G.A., Mc. Cown dan G. Weis. 1983. Comparative field performance of potatoes from microculture. Am. Potato J. 60:27-33 Wattimena. 1986. Kultur jaringan tanaman kentang. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor Wattimena. 1992. Bioteknologi tanaman I. PAU-Bioteknologi IPB. Bogor Wattimena. 2000. Pengembangan propagul kentang bermutu dari kultivar unggul dalam mendukung peningkatan produksi kentang di Indonesia. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 86p
Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 443