31
III.
PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN 1 ABSTRAK
Penelitian ini menghitung kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual (ETa) dan limpasan permukaan (Ro) berdasarkan neraca air di tiga lokasi pertanaman kentang, dengan ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Percobaan pertama dan kedua dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Pacet dan di Desa Galudra, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Waktu pelaksanaan kedua percobaan ini Desember 2009 sampai Maret 2010 dan Februari sampai Juni 2010. Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, waktu pelaksanaan Mei sampai September 2011. Metode perhitungan kehilangan air berupa ETa + Ro didasarkan pada neraca air lahan melalui pengukuran curah hujan dan kadar air tanah setiap minggu pada kedalaman 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm. Jika ETa dapat diasumsikan sama dengan ETp (evapotranspirasi potensial) maka kehilangan air berupa Ro dapat dihitung dari selisih ETa + Ro dan ETp. Hasil penelitian menunjukkan perubahan kadar air tanah terbesar dari ketiga percobaan secara umum terjadi hingga kedalaman 60 cm. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80– 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Pada percobaan pertama, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 1.378 mm, yang dihitung dari 75 hari pengukuran, setara dengan 18 mm hari-1. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding ETp sebesar 7 mm/hari. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari-1 disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 816 mm (62%) selama pertumbuhan tanaman yang hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 20%. Pada percobaan kedua, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 260 mm, yang dihitung dari 48 hari pengukuran, setara dengan 5 mm hari-1. Nilai ini sama dengan ETp sebesar 5 mm hari-1 karena tidak terjadi limpasan permukaan yang berhubungan dengan kemiringan lahan yang kecil (<5%). Pada percobaan ketiga, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 823 mm, yang dihitung dari 52 hari pengukuran, setara dengan 16 mm hari-1. Nilai ini lebih tinggi dibanding ETp sebesar 8 mm hari-1. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari-1, disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 407 mm (54%) dan berhubungan dengan kemiringan lahan 10%. Kata kunci : Evapotranspirasi, kadar air, kentang, limpasan permukaan, neraca air. ABSTRACT This research calculates the actual water loss through evapotranspiration (ETa) and runoff (Ro) based on water balance in three potato growing centers, with a variation on altitude and rainfall. The first and second experiment done at Balitbiogen experiment center in Pacet and in Galudra villange, Cianjur, West Java, from December 2009 to March 2010 and February to June 2010. The third 1
Paper telah dikirim dan diterima pada Jurnal Hortiklutura Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Judul : Perhitungan Kehilangan Air pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.). 2012. Salwati, Handoko. Las I, Hidayati R.
31
32
experiment performed in Kerinci regency, Jambi Province, from May to September 2011. Method to calculate water loss in the form of ETa and Ro was based on land water balance through weekly measurements of soil water contents at the depths of 10, 20, 40, 60, 80 and 100 cm. Provided that ETa was equal to ETp (potential evapotranspiration), therefore, water loss as Ro could be calculated as the difference as ETa + Ro and ETp. The result showed there was a major change on soil moisture content in all three experiments generally occurs on 60 cm soil depth. This research calculated water loss through actual evapotranspiration (ETa) and runoff (Ro) of potato crop in three high altitudes and precipitation by using water balance approach. The largest change of soil water content in the three experiments was up to 60 cm soil depth. Change in soil water content below 60 cm soil depth was small and between soil depth of 80– 100 cm there was almost no change. In the first experiment, soil water loss in the form of ETa + Ro was 1.378 mm calculated from 75 days of measurement, which was equivalent to 18 mm day-1. This value was much higher than ETp of 7 mm day-1. The difference between ETa + Ro and ETp as high as 11 mm day-1 was caused by runoff of 816 mm (62%) during the plant growth associated with the slope of the experimental site (20%). In the second experiment, water loss through ETa+Ro was 260 mm calculated from 48 days of measuriment, which was equivalent to ETp of 5 mm day-1. This value was the same as ETp of 5 mm day-1, was due to the absence of runoff related to slight slope of the experimental site (<5%). In the third experiment, ETa + Ro was 823 mm from 52 days of measurement, which was equivalent to 16 mm day-1. This value was higher than ETp of 8 mm day-1. The difference in value of ETa + Ro and ETp (8 mm day1 ), was caused by runoff of 407 mm (54%) and 10% slope of the experimental site. Key words : Evapotranspiration, water content, potato, runoff, water balance 3.1. Pendahuluan Penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Informasi mengenai dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air melalui evapotranspirasi (aktual) serta aliran permukaan (runoff, Ro) sangat diperlukan (Djufri et al. 2005). Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan, menggunakan kadar air tanah dan curah hujan selama pertumbuhan tanaman kentang. Nasir (1993) mendefinisikan neraca air sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui evapotranspirasi. Sedangkan Ayoade (1983) manyatakan bahwa neraca air adalah suatu ungkapan kuantitatif dari siklus hidrologi dan berbagai komponennya di atas
33
suatu daerah yang spesifik pada periode tertentu. Persamaan neraca air secara umum adalah curah hujan (CH) + irigasi = evapotranspirasi (ETa) + runoff (Ro) + perkolasi ± perubahanan kadar air tanah (dKAT). Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa neraca air merupakan perimbangan antara masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode waktu tertentu. Neraca air dapat dibuat dalam selang waktu harian, mingguan, bulanan maupun musiman tergantung kebutuhan (Annandale et al. 1999). Menurut (Steyn et al. 2007) kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan untuk memenuhi evapotranspirasi yang dapat dihitung melalui perhitungan neraca air. Xiong (2008) menyatakan bahwa jumlah terbesar dari penggunaan air oleh tanaman adalah untuk evapotranspirasi, yang nilai maksimumnya adalah evapotranspirasi potensial. Sedangkan menurut Biggs et al. (2008) pada prinsipnya evapotranspirasi sama dengan kebutuhan air tanaman, air yang terinfiltrasi juga berfungsi memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasi. Bila curah hujan melebihi evapotranspirasi, air akan disimpan di dalam tanah sampai batas maksimum tanah menyimpan air yang selanjutnya akan digunakan oleh tanaman untuk evapotranspirasi pada waktu yang akan datang. Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang hilang dari tanah dan tanaman dalam satuan waktu tertentu yang jumlahnya bergantung pada jenis tanaman, jenis tanah serta kondisi cuaca pada lingkungan sekitar tanaman terutama suhu dan kelembaban (Kirnak dan Short 2001). Evapotranspirasi adalah kombinasi dua proses kehilangan air melalui jalur yang berbeda, yaitu melalui permukaan tanah (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Meskipun evaporasi dan transpirasi terjadi melalui jalur yang berbeda, namun keduanya sangat sulit dibedakan dan terjadi secara simultan (Allen et al. 1998) Ada tiga faktor yang menentukan kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim mikro yang mencakup : radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman yang meliputi jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata, dan (3) faktor tanah yang terdiri dari : kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Seyhan 1995).
34
3.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang pada ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Analisis yang dilakukan menggunakan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan pada tiga lokasi pertanaman kentang. 3.3. Metodologi 3.3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian ini telah dilaksanakan pada tiga lokasi berbeda, dengan ketinggian tempat di atas 1.000 m dpl (dari permukaan laut) dan kemiringan lahan yang berbeda-beda. Percobaan Pertama Percobaan pertama dilakukan di Kebun Percobaan BBbiogen, Pacet Kabupaten Cianjur dengan luas lahan ± 1.000 m2, pada ketinggian ± 1.150 m dpl, kemiringan lahan ± 20%. Waktu percobaan mulai dari Desember 2009 sampai Maret 2010. Percobaan Kedua Percobaan kedua dilakukan di Desa Galudra, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan luas lahan ± 4.000 m2 pada ketinggian ± 1.250 m dpl, kemiringan lahan < 5%. Waktu percobaan mulai dari Februari sampai Juni 2010. Percobaan Ketiga Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, dengan luas lahan ± 1.200 m2, pada ketinggian ± 1.300 m dpl, kemiringan lahan ± 10%. Waktu penelitian mulai dari Mei sampai September 2011. Kalibrasi alat ukur kadar air tanah dilakukan di Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, Kampus IPB Darmaga sebelum digunakan pada tiga percobaan lapang.
35
3.3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : 1) bibit kentang varietas Granola (G0, G1, G2) dan Atlantis (G4); 2) pupuk anorganik (Urea, KCl, SP-36) dan organik (pupuk kandang, jerami); 3) insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman; 4) data iklim harian (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi surya, dan kecepatan angin). Bibit kentang varietas Granola G0 digunakan pada Percobaan I di Pacet, G1 pada Percobaan II di Galudra, sedangkan bibit G2 (Granola) serta G4 (Atlantis) pada Percobaan III di Kerinci. Alat yang digunakan terdiri dari : 1) peralatan penanaman kentang seperti cangkul, parang, sekop, garu, ember, drum, selang air, kantung plastik, tambang; 2) alat pengukur kadar air tanah, yaitu : bor tanah dan sensor pengukur kadar air tanah pada berbagai kedalaman (10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm); 3) stasiun cuaca otomatis pada lokasi penelitian. 3.3.3. Rancangan Percobaan Rancangan Percobaan Pertama Perlakuan terdiri dari tiga ukuran umbi (U1, U2 dan U3) dan dua jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah (split-block design) dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan jarak tanam (J) dan ukuran bibit (U) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari : J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 40 cm. Ukuran bibit (U j ) terdiri dari : U1 = berat bibit antara 1,5 – 3,5 g/butir U2 = berat bibit antara 0,5 – 1,5 g/butir U3 = berat bibit kurang dari 0,5 g/butir Rancangan Percobaan Kedua Perlakuan juga terdiri dari tiga ukuran umbi (U1, U2 dan U3) dan dua jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah (splitblock design) dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan jarak tanam (J) dan ukuran bibit (U) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari :
36
J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 30 cm. Ukuran bibit (U j ) terdiri dari : U1 = berat bibit 10 – 25 g/butir U2 = berat bibit 5 – 10 g/butir U3 = berat bibit kurang dari 5 g/butir Rancangan Percobaan Ketiga Perlakuan terdiri dua varietas (V1 dan V2) dan jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai ulangan. Perlakuan jarak tanam (J) dan varietas (V) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari : J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 40 cm Varietas (V j ) terdiri dari : V1 = Varietas Granola V2 = Varietas Atlantis Perlakuan yang diterapkan pada percobaan lapang I, II, dan III dalam analisis neraca air ini dianggap sebagai ulangan. 3.3.4. Pelaksanaan Penelitian Pengolahan tanah dilakukan menggunakan traktor dan cangkul sesuai dengan perlakuan, setiap unit percobaan menggunakan empat unit guludan. Pupuk kandang dan sekam jerami dengan dosis 20 ton ha-1, diberikan menurut baris tanam sesuai perlakuan. Pada setiap lubang tanam ditanam satu benih kentang. Pemupukan sesuai dosis anjuran (urea 300 kg ha-1, SP-36 300 kg ha-1, dan KCl 100 kg ha-1), diberikan secara melingkar di sekeliling bibit kentang. Setelah pemberian pupuk dasar bibit kentang ditutupi dengan tanah lapisan atas setebal ± 12 cm dengan menggunakan cangkul, sehingga akan terbentuk guludanguludan memanjang. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan dua kali secara bersamaan pada saat tanaman berumur satu dan dua bulan setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan mengunakan pestisida sesuai tingkat serangan.
37
3.3.5. Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat Pengukuran kadar air tanah dilakukan menggunakan prinsip hambatan listrik. Alat dipasang pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm dan 100 cm, ditempatkan pada setiap kombinasi perlakuan. Sebelum alat digunakan, dilakukan kalibrasi pada masing-masing kedalaman dan perlakuan. Contoh tanah diambil dari masing-masing kedalaman sekitar 1 kg kemudian dikeringkan dan dioven selama 24 jam pada suhu 105 oC. Tanah kering oven dari masing-masing contoh kemudian dihaluskan dan diayak sehingga diameter partikel tidak lebih dari 1 mm. Hasil ayakan yang sudah ditimbang dimasukkan pada masing-masing gelas plastik yang telah diisi sensor, diberi tanda kedalaman dan perlakuan. Tiap gelas diberi lubang kecil-kecil pada dasarnya untuk drainase air. Tanah tersebut kemudian dimasukkan hingga volume tertentu (V) dan ditimbang, sehingga diperoleh berat kering tanah sebagai berikut : Wd
= Wg,s,d – Wg,s
(1)
Wd = berat kering tanah (g) Wg,s,d = berat gelas, sensor dan berat kering tanah (g) Wg,s = berat gelas dan sensor (g) Masing-masing gelas plastik yang sudah berisi tanah diberi air secara perlahan dan bertahap hingga terjadi drainase serta tanah menjadi jenuh. Setelah tiga hari dilakukan pengukuran pertama, yang dilanjutkan setiap hari hingga tanah menjadi kering. Pengukuran dilakukan terhadap berat masing-masing gelas (gram) dan tahanan, R (ohm) yang terbaca pada AVO meter. Kadar air selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: θw
= 100 * (Wg,s,w – Wg,s,d) / Wd
θw Wg,s,w Wg,s,d Wd
= = = =
(2)
kadar air tanah secara gravimetri (% w) berat gelas, sensor dan tanah basah (g) berat gelas, sensor dan berat kering tanah g) berat kering tanah (g)
Setelah volume tanah (V) didapatkan dari masing-masing contoh tanah yang dikalibrasi maka nilai tahanan tersebut dapat dikonversi langsung menjadi kadar air secara volumetri (θv).
38
θv = θw . W d / V θv = θw = Wd = V =
(3)
kadar air tanah secara volumetri (% v) kadar air tanah secara gravimetri (% w) berat kering tanah (g) volume tanah (cm3) Data hasil pengukuran kadar air tanah (θv) dan hambatan listrik (R)
selanjutnya diplotkan dan kurva kalibrasi dapat diturunkan menggunakan persamaan yang didapat. 3.3.6. Neraca Air Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan (input) dan keluaran (output) air pada lahan tanaman kentang tiap perlakuan. θt sehingga,
= θt-1 + Pt - (ETat + Rot )
ETat + Rot = θt-1 - θt + Pt ETat Rot θt θt-1 Pt
(4) (5)
: evapotranspirasi aktual minggu ke t (mm) : limpasan permukaan minggu ke t (mm) : kadar air tanah minggu ke t (mm) : kadar air tanah minggu ke t-1 (mm) : curah hujan minggu ke t (mm)
3.4. Hasil dan Pembahasan 3.4.1. Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah Kadar air tanah di lapang diukur dengan menggunakan prinsip hambatan listrik, selanjutnya dengan melakukan kalibrasi di Laboratorium dibuat hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (kΩ) pada setiap percobaan. Hubungan tersebut ditunjukkan pada Tabel 3. Hubungan antara tahanan listrik (kΩ) dengan kadar air tanah (% volume) dari berbagai perlakuan dan kedalaman tanah pada semua percobaan (Tabel 3) menunjukkan bahwa alat ukur mampu mengukur kisaran kadar air tanah yang lebar (dari basah hingga kering) dengan koefisien determinasi yang sangat tinggi (R2 ≥ 0,89). Contoh hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah di tiga kedalaman Percobaan I, II, dan III juga dapat ditunjukkan oleh Gambar 3.
39
Tabel 3. Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (ohm dalam kΩ) pada percobaan pertama, kedua dan ketiga Kedalaman Tanah (cm)
Percobaan pertama
Percobaan kedua
Percobaan ketiga
Persamaan Kalibrasi
R2
Persamaan Kalibrasi
R2
Persamaan Kalibrasi
R2
10
y= 51,56x-0,43
0,99
y=43,81x-0,4
0,92
y=57,02x-0,71
0,98
20
y=39,83x-0,44
0,98
y=37,26x-0,37
0,89
y=59,78x-0,46
0,95
40
-0,36
y=39,07x
0,97
-0,35
y=61,81x
0,98
-0,99
y=57,82x
0,97
60
y=42,99x-0,40
0,99
y=66,99x-0,35
0,99
y=65,28x-0,53
0,97
80
-0,47
y=29,67x
0,96
-0,34
y=71,14x
0,99
-0,44
y=43,98x
0,97
100
y=42,32x-0,38
0,97
y=54,38x-0,30
0,99
y=51,73x-0,49
0,95
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah pada tiga kedalaman pada Percobaan I (a), Percobaan II (b), dan Percobaan III (c).
40
Gambar 3 menunjukkan alat pengukur kadar air tanah tersebut dapat digunakan untuk mengukur perubahan kadar air tanah dari berbagai perlakuan pada kedalaman yang berbeda-beda. 3.4.2. Profil Kadar Air Tanah Profil kadar air tanah dari berbagai perlakuan menunjukkan variasi yang sangat beragam antar perlakuan baik pada percobaan pertama, kedua (Gambar 4), maupun ketiga (Gambar 5). Secara umum pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan kedalaman dengan aktivitas evaporasi dan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Fenomena ini juga berhubungan dengan laju infiltrasi yang makin berkurang dengan kedalaman tanah. Akar tanaman kentang memiliki percabangan lebat dan agak dangkal, sekitar 90% berada pada kedalaman 50 – 60 cm dari permukaan tanah, sehingga sampai kedalaman 60 cm ini cenderung rentan terhadap cekaman kekurangan air (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Pernyataan ini sesuai dengan hasil percobaan yang menunjukkan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang terjadi sampai kedalaman 60 cm.
41
(a) (b) Gambar 4. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST), pada Percobaan I (a) dan Percobaan II (b).
42
Gambar 5. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST) pada Percobaan III. 3.4.3. Neraca Air Tanaman Kentang Komponen neraca air yang menunjukkan interaksi antara curah hujan, evapotranspirasi (ETa), limpasan permukaan (Ro), dan kadar air tanah (KAT) dari rata-rata seluruh perlakuan pada ketiga percobaan ditunjukkan pada Tabel 4. Kehilangan air tanaman dalam bentuk ETa + Ro tergantung dari simpanan kadar air tanah (KAT) sebelumnya. Jika tanah dalam kondisi padat maka laju infiltrasi tanah menjadi rendah, sehingga saat curah hujan tinggi air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah yang menyebabkan Ro menjadi besar. Sebaliknya, jika tanah gembur maka laju infiltrasi meningkat yang menyebabkan Ro berkurang dan KAT meningkat. Pada penelitian ini nilai KAT bervariasi antar kedalaman pada setiap perlakuan dan antar percobaan. Menurut Biggs et al. (2008) perbedaan KAT pada kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan perbedaan kemampuan menahan air oleh tanah yang disebabkan sifat fisika dan kimia tanah. Evapotranspirasi terdiri dari evaporasi yang merupakan proses penguapan di atas tanah dan transpirasi terjadi pada tanaman melalui stomata (Allen et al. 1998) dan sangat sulit dibedakan proses keduanya melalui pengukuran di lapang. Nilai kehilangan air tanaman kentang dalam percobaan ini dihitung sebagai ETa + Ro (evapotranspirasi aktual ditambah dengan limpasan permukaan).
43
Tabel 4. Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III. Komponen Neraca Air Percobaan I Curah hujan (mm) KAT Awal (mm/m) 1) KAT akhir (mm/m) 2) dKAT ETa + Ro (mm) Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 Rata-rata ETa + Ro (mm) Percobaan II Curah hujan (mm) KAT Awal (mm/m) 3) KAT akhir (mm/m) 4) dKAT Eta + Ro (mm) Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 Rata-rata ETa + Ro (mm) Percobaan III
Perlakuan U1 1.314 319 218 -101 1.415 1.418 1.378 U1 261 273 283 10 251 249 260
J1 U2 1.314 232 197 -35 1.349
J1 U2 261 268 294 26 235
U3 1.314 390 215 - 175 1.489
U3 261 267 267 0 261
U1 1.314 148 116 -32 1.347 1.338
U1 261 330 322 -8 269 270
J2 U2 1.314 291 256 -35 1.350
U3 1.314 202 197 -5 1.319
J2 U2 261 270 248 -22 283
U3 261 248 251 3 258
J1 J2 V1 V2 V1 V2 757 Curah hujan (mm) 757 757 757 KAT Awal (mm/m) 5) 184 369 171 336 KAT akhir (mm/m) 6) 172 292 186 146 dKAT -12 - 77 15 -190 Eta + Ro (mm) 769 834 742 947 Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 802 845 Rata-rata ETa + Ro (mm) 823 Keterangan : 1) pengukuran pada 26 Hari Setelah Tanam (HST), 2) 101 HST, 3) 37 HST, 4) 85 HST, 5) 12 HST, 6) 64 HST.
Perhitungan menggunakan neraca air dalam penelitian ini menghasilkan jumlah ETa dan Ro yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengatasi hal ini, nilai evapotranspirasi (ETa) didekati dari evapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung dengan metode Penman. Dalam hal ini, nilai evapotranspirasi dianggap selalu dalam keadaan maksimum dan air bukan merupakan faktor pembatas. Nilai ETa + Ro, Ro dan ETp selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 5.
44
Tabel 5. Nilai ETa + Ro, ETp dan Ro pada Percobaan I, II dan III Percobaan
Nilai selama pengukuran
Rata-rata per hari
Percobaan pertama1) Curah hujan (mm) 1.314 17 ETa + Ro (mm) 1.378 18 ETp(mm) 563 7 Ro (mm)* 816 11 Percobaan Kedua2) Curah hujan (mm) 261 5 ETa + Ro (mm) 260 5 ETp (mm) 260** 5** Ro (mm)* 0 0 Percobaan ketiga3) Curah hujan (mm) 757 15 ETa + Ro (mm) 823 16 ETp (mm) 416 8 Ro* 407 8 Keterangan : 1) 75 hari pengukuran, 2) 48 hari pengukuran, 3) 52 hari pengukuran *) Ro yang dihitung dengan asumsi ETa = ETp **) Hasil perhitungan total nilai ETp=307 mm, sehingga nilai ETp dianggap sama dengan ETa + Ro = 260 dan Ro = 0.
Pada Percobaan I, nilai rata-rata ETa + Ro dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 75 hari pangukuran, atau setara dengan 18 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata evapotranspirasi potensial (ETp) sebesar 7 mm hari-1 (Tabel 5). Dengan asumsi ETa = ETp, perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari-1 (Tabel 5) merupakan nilai limpasan permukaan (Ro).
Nilai Ro ini erat hubungannya
dengan kemiringan lahan 20% pada lokasi pertanaman kentang tersebut. Kondisi ini menunjukkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah tetapi lebih banyak menjadi limpasan permukaan (Ro). Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang tinggi (1.314 mm) pada Percobaan I dengan Eta + Ro (1.378 mm), dan Ro juga tinggi (816 mm) menyebabkan simpanan kadar air selama pertumbuhan tanaman mengalami penurunan. Penurunan besar KAT secara umum terjadi pada semua perlakuan, pada waktu 70 hari setelah tanam. Gambar 6 menunjukkan perubahan kadar air tanah total sampai kedalaman 100 cm menurut waktu dari semua perlakuan pada Percobaan I, II dan III. Kadar air tanah Percobaan I pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 215 – 431 mm m-1 sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 116 – 345 mm m-1.
45
(a)
(b)
(c) Gambar 6.
Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua perlakuan menurut waktu, pada (a) Percobaan I, (b) percobaan II, dan (c) percobaan III.
Percobaan II, nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 260 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 48 hari pangukuran, atau setara dengan 6 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini sama dengan rata-rata ETp sebesar 5 mm hari-1 (Tabel 5). Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 0 mm.hari-1 (Tabel 5) menunjukkan tidak terjadi limpasan permukaan selama pertumbuhan tanaman disebabkan oleh lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 5%). Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang juga rendah (261 mm) pada Percobaan II, juga menjadi salah satu penyebab tidak terjadi aliran permukaan (Ro = 0). Meskipun curah hujan rendah, ETa + Ro (260 mm), karena Ro (0 mm) pada Percobaan II, menyebabkan simpanan kadar air secara umum cenderung konstan selama pertumbuhan tanaman (Gambar 6). Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 263 – 309 mm m-1, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 243 – 341 mm m-1.
46
Percobaan III nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 823 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 52 hari pangukuran, atau setara dengan 16 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata ETp sebesar 8 mm hari-1 (Tabel 5). Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari-1 (Tabel 5) tersebut menunjukkan nilai Ro selama pertumbuhan tanaman yang sedikit lebih rendah dari Percobaan I, tetapi lebih tinggi dari Percobaan II. Hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 10%, lebih banyak curah hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah, sehingga lebih sedikit yang menjadi aliran permukaan. Tabel 5 menunjukkan curah hujan sebesar 757 mm pada Percobaan III, ETa + Ro (823 mm), Ro (407 mm) menyebabkan simpanan kadar air secara umum juga menurun selama pertumbuhan tanaman, tapi tidak setinggi penurunan pada Percobaan I (Gambar 6). Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 158 – 388 mm m-1, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 102 – 336 mm m-1. Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting karena dapat mengurangi simpanan air dalam tanah dan tanaman. Ferreira dan Carr (2002) menemukan bahwa evapotranspirasi total (ETa) dari tanaman kentang pada daerah beriklim panas kering di Timur Laut Portugal berkisar 150 – 550 mm, tergantung pada perlakuan irigasi dan masa pertumbuhan. Kisaran ini setara dengan yang ditemukan Onder et al. (2005) yaitu berkisar 166 – 473 mm, akan tetapi jauh lebih kecil dari pada total kehilangan air dalam percobaan I (ETa + Ro = 1.378 mm), Percobaan III (ETa + Ro = 823 mm), yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang besar. Total kehilangan air dalam percobaan II (ETa + Ro = 260 mm) masuk dalam kisaran, yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang kecil atau tidak terjadi limpasan permukaan. Evapotranspirasi dapat menurunkan kadar air tanah yang ada, untuk itu diperlukan upaya penambahan air melalui pengairan tambahan seperti penyiraman dan irigasi. Laureti dan Marras (1995) mendapatkan hubungan linier antara peningkatan hasil tanaman pada aplikasi pemberian air sampai 100% evapotranspirasi.
47
Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan Nilai curah hujan dan limpasan permukaan yang diukur pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai curah hujan dan limpasan permukaan (Ro) yang terukur pada Percobaan I, II dan III. Percobaan I Curah hujan (mm) Ro (mm) (%) Percobaan II Curah hujan (mm) Ro (mm) (%) Percobaan III Curah hujan (mm) Ro (mm) (%)
U1J1 1.314 853 65 U1J1 261 0 0 J1V1 757 353 47
U2J1 1.314 787 60 U2J1 261 0 0
Perlakuan U3J1 U1J2 1.314 1.314 927 784 70 60 U3J1 U1J2 261 261 0 0 0 0 J1V2 J2V1 757 757 418 326 55 43
Rata-rata U2J2 1.314 787 60 U2J2 261 0 0
U3J2 1.314 757 58 U3J2 261 0 0 J2V2 757 531 70
1.314 816 62 261 0 0 757 407 54
Tabel 6 menunjukkan curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan I (1.314 mm) menyebabkan limpasan permukaan yang besar, yaitu 816 mm atau 62%. Sebaliknya, curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan II (261 mm) menyebabkan Ro tidak terjadi. Curah hujan yang juga cukup tinggi selama pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan III (757 mm) menyebabkan limpasan permukaan 407 mm atau 54%, tapi tidak setinggi pada Percobaan I. 3.5. Kesimpulan 1.
Pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan aktivitas perakaran paling tinggi dalam penyerapan air tanah. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan.
2.
Peningkatan curah hujan menyebabkan kehilangan air yang makin besar khususnya melalui limpasan permukaan (Ro). Perhitungan neraca air lahan pada Percobaan I dengan curah hujan 1.314 mm menghasilkan rata-rata kehilangan air dalam bentuk evapotranspirasi dan limpasan permukaan
48
(ETa + Ro) dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm selama 75 hari pengukuran, atau setara dengan 18 mm hari-1. Percobaan II dengan curah hujan 261 mm tidak menghasilkan limpasan permukaan (Ro), melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan air untuk evapotranspirasi tanaman kentang (ETa) sebesar 260 mm selama 48 hari pengukuran, atau setara dengan 5 mm hari-1. Percobaan III dengan curah hujan 757 mm menghasilkan rata-rata ETa + Ro yang lebih rendah dari Percobaan I, yaitu 823 mm selama 52 hari pengukuran atau atau setara dengan 16 mm hari-1. 3.
Curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan pertama menyebabkan limpasan permukaan yang tinggi, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 62%. Curah hujan yang juga tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan ketiga menyebabkan limpasan permukaan tidak sebesar Percobaan I, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 54%. Kondisi curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan kedua menyebabkan tidak terjadinya aliran permukaan.