Perkembangan Pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB-B) Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara (YRTRW) di Surakarta Tahun 1981-2000 Anton Cahyono C0506009
Abstract The title of this research is “Perkembangan Pendidikan Luar Biasa Sekolah Luar Biasa (SLB-B) Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara (YRTRW) di Surakarta”. The SLB-B YRTRW Surakarta is a school for the deaf child's first speech in Surakarta. Occurrences SLB-B YRTRW Surakarta provided fresh air for children with disabilities, speech impairment that does not get more attention and feel marginalized by society. After the school was openned in 1981, disabled children had received medical care and have a 9-years compulsory education as stipulated by the government. SLB-B School Surakarta YRTRW growing from year to year and forward. Conclusions can be drawn that the School SLB-B YRTRW has an important role in shaping the character of their students, so that after they graduate can directly socialize with people and become an independent person and strong in the face of a different life. The role of the school SLB-B YRTRW Surakarta, among others: Intellectual and Academic Development, Improving the Development of Children's Emotions and Self-Acceptance, Increases Sense of Harmony and Solidarity, Enhance Moral and Religious, and Improve Your SelfExpression. This research used historical methode. Keyword : History of SLB-B YRTRW, Development,Children
Pendahuluan Manusia pada dasarnya mempunyai bakat dan kelebihan tersendiri. Bakat itu diasah dan dicari melalui pendidikan karena pendidikan merupakan unsur dari pencarian jati diri, penalaran ilmu, pengetahuan dan bakat sampai akhirnya manusia menemukan dan bisa menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena pendidikan merupakan sarana ataupun alat untuk mengubah kehidupan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Untuk itu pendidikan 1
diharuskan dapat dirasakan oleh setiap manusia dimanapun berada, karena tujuan dan pendidikan adalah mengeluarkan unsur-unsur kemanusian yang sama. Unsurunsur itu pada dasarnya tidak berbeda meski tempat dan waktu berlainan.1 Pendidikan juga dipandang sebagai pencipta sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa dalam rangka mempersiapkan masa depan generasi muda yang lebih baik menuju ke arah yang bertujuan untuk mencapai kemampuan dan daya saing bangsa pada lingkungan regional dan global.2 Dewasa ini peran lembaga pendidikan sangat menunjang tumbuh kembang anak dalam berolah pikir maupun cara bergaul dengan orang lain. Selain itu, lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup yang nanti di harapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat. Sementara itu lembaga pendidikan tidak hanya ditujukan kepada anak yang memiliki
kelengkapan
fisik
tetapi
juga
kepada
anak
yang
memiliki
keterbelakangan mental. Mereka dianggap sosok yang tidak berdaya, sehingga perlu dibantu dan dikasihani sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu disediakan berbagai bentuk layanan pendidikan atau sekolah khusus bagi mereka. Pada dasarnya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan bagi anak-anak pada umumnya. Sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, maka semua warga Negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Oleh sebab itu secara terus menerus Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dan memperluas kesempatan belajar bagi anak usia sekolah. Tidak terkecuali anak-anak yang menyandang kelainan baik bersifat jasmani, rokhani maupun kelainan sosial atau tingkah laku.
1
Paulo Frere, Ivan Illich, dkk., Menggugat Pendidikan: Konservatif, Liberal, Anarki (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan VI, 2006), hlm. 135. 2 Wadiman Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), hlm. 2. 2
Mereka itulah biasa disebut dengan “anak-anak luar biasa”, sedang lembaga yang melayani pendidikan dan pengajarannya dinamakan Sekolah Luar Biasa (SLB).3 Kata-kata luar biasa banyak dipakai dalam masyarakat dan mempunyai arti yang berbeda dengan luar biasa pada anak luar biasa. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mendengar kata-kata luar biasa lalu memperoleh tanggapan yang beragam, berbeda dengan arti yang terkandung didalamnya.4 Sekolah Luar Biasa yang lebih populer dengan singkatan SLB merupakan unit lembaga pendidikan yang dipersiapkan untuk menangani dan memberi pelayanan pendidikan kepada anak-anak penyandang kelainan. Kelainan yang dimaksud adalah baik kelainan phisik, kelainan mental, maupun kelainan emosi dan sosial.5 Salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) yang terdapat di Surakarta adalah SLB-B Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara (YRTRW), didirikan pada tahun 1981. Sekolah ini merupakan lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mendidik anak-anak cacat tuna rungu. Sistem pendidikan yang digunakan di SLB-B YRTRW adalah dengan menggunakan metode oral. Murid-murid tuna rungu dilatih untuk berbicara dengan bahasa lisan, seperti masyarakat umum yang berkomunikasi satu sama lainnya secara lisan. Anak-anak tuna rungu yang bersekolah di SLB- B YRTRW juga dilatih agar dapat berkomunikasi secara wajar seperti masyarakat umum. Dalam penelitian ini yang hendak dibahas adalah sejarah berdirinya Sekolah Luar Biasa YRTRW, perkembangan Sekolah Luar Biasa YRTRW serta cara pembelajaran yang diterapkan terhadap anak tuna rungu wicara di Sekolah Luar Biasa YRTW.
Metode Penelitian Bahasan penelitian ini ialah mengenai Perkembangan Pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB-B) Yayasan Rehabilitasi Tuna Rungu Wicara 3
Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 1977), hlm. 18. 4 Ibid., hlm. 9. 5 A. Lasikun Notoatmodjo, Dasar-dasar Pendidikan Luar Biasa (Yogyakarta: t.p, 1987),hlm. 40. 3
(YRTRW) di Surakarta
Tahun 1981-2000. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode sejarah. Metode sejarah mempunyai empat tahapan penelitian, yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Tahap pertama adalah Heuristik, yaitu suatu proses mencari dan menemukan sumbersumber atau data-data baik dokumen hasil wawancara maupun buku-buku. Tahap penelitian kedua adalah kritik sumber, yaitu usaha pencarian keaslian data yang diperoleh melalui kritik intern maupun ekstern. Kritik intern dilakukan untuk mencari keaslian isi sumber, sedang kritik ekstern dilakukan untuk mencari keabsahan tentang keaslian sumber atau otentitas. Tahap penelitian ketiga adalah interpretasi. Usaha
ini merupakan
penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh dari data-data yang telah diseleksi dan telah dilakukan kritik sumber. Proses ini memegang peranan penting bagi terjalinnya fakta-fakta menjadi kisah sejarah yang integral. Tahapan penelitian keempat adalah historiografi. Historiografi merupakan penulisan sejarah dengan merangkai fakta-fakta menjadi kisah sejarah. Historiografi merupakan klimaks dari sebuah metode sejarah. Dari sini pemahaman dan interprestasi dari fakta-fakta sejarah ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan masuk akal. Dalam menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah.6
PEMBAHASAN Sekolah Luar Biasa untuk anak tuna rungu (SLB-B) ini berada dibawah Yayasan Rehabilitasi Anak Tuna Rungu Wicara (YRTRW) dengan akte notaris tertanggal 6 Juli 1981 No. 1 notaris Moeldjatmo atas rintisan Bapak Misdi, Bapak Sarono dan Bapak Suharno. Latar belakang berdirinya SLB-B YRTRW berdasarkan: 1. UUD 1945 (pasal 31) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapat 6
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58. 4
pengajaran. 2. Anggapan masyarakat yang negatif, bahwa anak tidak perlu pendidikan karena anak yang normal saja belum bisa tertampung secara keseluruhan. 3. Kesulitan guru mengajar anak-anak cacat bila ditampung di sekolah umum. 4. Anak cacat bila diberi kesempatan bisa berprestasi seperti anak normal.7 Sekolah Luar Biasa untuk anak tuna rungu (SLB-B) YRTRW didirikan di Baluwarti Rt 14 Rw XIII No. 12 Pasar Kliwon Surakarta. Tahun ajaran baru dibuka pada bulan Juni 1981 atas pengesahan dari Kanwil Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jateng. Pertama kali dibuka berupa kelas persiapan dan kelas dasar dengan jumlah murid untuk tingkat persiapan 10 anak dan untuk tingkat dasar 17 anak dengan 2 orang tenaga pengajar. Selanjutnya pada tahun ajaran 1982-1983 dibuka kelas kejuruan dengan jumlah murid sebanyak 7 anak sehingga jumlah seluruhnya 34 anak dan penambahan satu tenaga pengajar, sebagai Kepala Sekolah Pertama Ibu Remiyati.8 Dengan banyaknya kelas yang dibuka pada tahun 1983, maka pihak sekolah menambah 6 tenaga guru honorer wiyata bakti, dan tidak begitu lama keenam guru tersebut diangkat sebagai guru negeri dan menjadi guru tetap di SLB-B. Pada tahun itu pula sekolah dipindah ke Sambeng Sidorejo Banjarsari Surakarta dengan gedung masih menyewa. Dengan perpindahan sekolah tersebut maka terjadi pula perubahan kepengurusan yang semula Bapak Sarono sebagai ketua diganti oleh Bapak Suharno. Seiring dengan perkembangannya, SLB-B YRTRW kemudian melakukan penambahan guru dan murid serta membuka kelas kejuruan, yakni ketrampilan menjahit dan ketrampilan sablon. Pada tahun 1985 sekolah pindah dari Sambeng ke SD Cinderejo. Pada tahun itu pula terjadi perubahan kepengurusan, yaitu Sekretaris I diganti oleh bapak Drs. Wachid dan Kepala Sekolah diserahterimakan dari Bapak Suratno kepada Ibu Remiyati. Pada tahun 1986 sekolah mendapat bantuan dari walikota berupa sebidang tanah yang luasnya 410 m. Pada tahun 1989 sekolah dapat membeli tanah yang 7
8
Arsip SLB-B YRTRW. Akta Pendirian Sekolah YRTRW. 1981. Wawancara dengan Remiyati, tanggal 21 November 2011. 5
bersebelahan dengan tanah yang lama, sekaligus dibangun gedung dan ditempati pada tahun 1989 dengan memiliki gedung baru yayasan merintis panti asuhan/asrama yang bernaung pada Departemen Sosial. Tujuan didirikannya asrama ini adalah untuk menampung anak-anak yang sekolah di SLB-B YRTRW yang berasal dari luar daerah Surakarta. Asrama dibangun satu lokasi dengan sekolah sehingga dapat memberikan layanan dan kemudahan murid dalam belajar. Pada tahun 1996 sekolah meningkatkan pelayanan pendidikan dengan menambah ketrampilan ukir kayu/pertukangan dan rias/potong rambut, dengan terbitnya
SK.
Kepala
Sekolah
Bapak
Wahid
maka
Kepala
Sekolah
diserahterimakan dari Ibu Remiyati kepada Bapak Drs Wahid. Setelah Bapak Wahid pensiun, pada bulan Agustus 1998 untuk sementara Kepala Sekolah dijalankan oleh Ibu Sri Padmi Handayani bersamaan dengan tahun itu pula salah satu pengurus meninggal dunia, yaitu Dra. Salbini. Perubahan pengurus ini dilakukan dihadapan notaris Ny. Murniyati SH, pada tanggal 20 Desember 1999. Tidak lama kemudian tanggal 26 Januari 2000, terbitlah SK. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 2134/A2,I2/KP.2000. Bapak Misdi, S.Pd diangkat sebagai kepala sekolah yang definitif di SLB-B YRTRW Surakarta. Adapun perkembangan pendidikan di SLB-B YRTRW mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut terutama berupa skiil dan penambahan aktifitas Bina Wicara dan Bina Persepsi Bunyi Irama dengan ditunjang adanya penambahan Speak Trainer, Loop System, Hearing Aid, alat-alat ketrampilan kayu dan jahit yang dapat meningkatkan skiil kerja anak utamanya anak-anak kelas kejuruan SLTPLB. Pada tahun ajaran baru 1999/2000 terjadi peningkatan jumlah siswa baru yang sangat tajam. Akibatnya, pihak SLB-B YRTRW terpaksa meminjam gedung bekas SD Sidorejo II yang jaraknya dari induk sekolah sekitar 1 km, yang digunakan untuk tingkat SLTPLB dan praktek pertukangan. Pembelajaran anak tuna rungu di kelas inklusi tidaklah mudah. Sebelum anak tuna rungu dimasukan dalam kelas inklusi terlebih dahulu harus memiliki bahasa yang dapat menjembatani pembelajaran yang dilakukan di kelas inklusi dan mampu berkomunikasi dengan baik. Hal ini sangat diperlukan agar anak tuna 6
rungu mampu mengikuti pembelajaran dengan anak regular lainnya tanpa harus menjadi penonton di dalam kelas. Tanpa bahasa yang cukup anak tuna rungu hanya sebagai hiasan di kelas inklusi tanpa bisa mencerna dan memahami pembelajaran yang diberikan oleh guru. Pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tuna rungu dapat dilakukan. Pembelajaran tuna rungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa ini diperoleh melalui percakapan. Untuk mencapai kepada pembelajaran yang bermakna bagi tuna rungu dibutuhkan pendekatan khusus yaitu metode maternal reflektif (MMR).9 Pembelajaran bagi tuna rungu berbeda dari pembelajaran yang ada pada umumnya. Hal ini dikarenakan tuna rungu tidak dapat menerima informasi melalui pendengarannya dan untuk itu maka diperlukan adanya visualisasi untuk lebih memudahkan tuna rungu menyerap informasi. Melalui metode maternal reflektif ini tuna rungu diolah bahasanya. Mulai dari mengeluarkan suara, mengucapkan kata dengan benar sesuai dengan artikulasinya, hingga tuna rungu mampu berkomunikasi dengan menggunakan beberapa kalimat yang baik dan benar. Secara garis besar, kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini terdiri atas kegiatan percakapan, termasuk didalamnya menyimak, membaca dan menulis yang dikemas secara terpadu dan utuh. Dengan ini anak memahami dan dapat menemukan sendiri kaidah-kaidah percakapan. Kegiatan percakapan menjadi ciri utama dalam menggunakan metode maternal reflektif, karena penyampaian materi ajar semua bidang studi dilakukan melalui percakapan. Dalam metode ini dikenal dua jenis percakapan, yaitu percakapan dari hati ke hati atau conversation form heart to heart dan percakapan linguistik atau linguistic conversation.10 Percakapan dari hati ke hati merupakan percakapan yang spontan, fleksibel untuk mengembangkan empati anak. Ungkapan yang dimaksud anak melalui kata-kata atau suara yang kurang jelas, gesti atau gerakan-gerakan lainnya dan isyarat ditangkap oleh guru (seizing
9
Ibid. Gatty, Mengajarkan Wicara kepada anak-anak Tunarungu, Alih bahasa Hartotanojo (Wonosobo: Yayasan Karya Bakti, 1994), hlm. 64. 7 10
method) dan dibahasakan sesuai dengan maksudnya kemudian meminta anak untuk mengucapkannya kembali (play a double part). Namun dalam kegiatan ini guru tetap menjaga lajunya percakapan dan pertukaran yang terjadi di antara anggota yang bercakap (anak dengan anak atau anak dengan guru) misalnya berupa persetujuan, penyangkalan, imbauan, atau komentar atau pertanyaan untuk memperjelas pesan komunikasi. Membaca dan menulis penyandang tuna rungu dikembangkan melalui percakapan. Pada awalnya perilaku berbahasa mereka berada pada taraf pengungkapan diri melalui gesti atau gerakan-gerakan lainnya, isyarat, dan suarasuara yang kurang jelas maknanya yang kemudian dibahasakan oleh guru melalui seizing method dan play a double part. Anak menerima masukan bahasa tersebut melalui membaca ujaran dan atau melalui pemanfaatan sisa pendengarannya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang belum ditangkap secara sempurna dari diucapkannya dalam kegiatan percakapan itu dituliskan atau divisualkan dalan bentuk tulisan yang kemudian dibacanya. Bacaan visualisasi hasil percakapan dipahami anak secara global intutif karena apa yang ditulisi dan dibacanya merupakan ide-ide mereka sendiri. Oleh karena itu, membaca permulaan pada anak tuna rungu menurut MMR merupakan membaca video visual. Pengenalan bunyi fonem (vokalisasi dan konsonan) diberikan menyatu dalam kata dan pengucapannya sehingga lebih bermakna yang pada akhirnya anak mengenal huruf, kata, cara pengucapan, dan cara penulisannya.
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
perkembangan
kemampuan berbahasa anak berlangsung secara serempak. Pelaksanaan pembelajaran di kelas inklusi bagi guru reguler hendaknya mengikuti
teknik
atau
kaidah-kaidah
guru
sekolah
luar
biasa
dalam
membelajarkan anak tuna rungu. Prinsip-prinsip MMR harus dipahami oleh guru reguler, sehingga sekalipun di dalam kelas regular anak tuna rungu tetap dilibatkan dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Kemampuan guru dalam melibatkan anak tuna rungu dalam proses pembelajaran memang tidak semudah membelajarkan anak-anak yang mendengar, dikarenakan setiap kata yang diucapkan oleh guru harus dimengerti dan dipahami anak terlebih dahulu 8
sebelum masuk ke dalam substansi materi yang akan diberikan. Pembelajaran anak tuna rungu di kelas inklusi haruslah benar-benar terprogram dan selalu berbasis
pada
pengembangan
bahasa
anak
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan, karena tanpa bahasa yang dikuasai anak tuna rungu, maka pembelajaran di kelas inklusi tidak akan bermanfaat.11 Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tuna rungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram; tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter atau halilintar, kemudian guru membahasakannya.12 Dalam hal kemampuan berbicara, BKPBI dapat membantu agar anak tuna rungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas. Sekolah yang didalamnya terdapat anak tuna rungu, hendaknya memiliki ruang BKPBI sebagai pendukung dalam membelajarkan anak tuna rungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak tuna rungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang. Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian tuna rungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tuna rungu melalui BKPBI dan Bina Wicara. Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tuna rungu tetap mendapatkan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. strong>BKPBI dan Bina Wicara ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.13
11
Ibid. Wawancara dengan Remiyati, tanggal 30 November 2011. 13 Ibid. 9 12
Pembelajaran anak tuna rungu di kelas inklusi yang dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan anak tuna rungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tuna rungu tersebut diberikan latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah bahasa yang sudah dimilkinya melalui pendekatan MMR lalu ditunjang dengan latihan strong>BKPBI dan Bina Wicara. Memasukan anak tuna rungu ke dalam kelas inklusi tanpa memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia dan menambah penderitaan anak tuna rungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi penderitaan anak tuna rungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua kebutuhan anak tuna rungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan pendekatan MMR melalui percakapan dengan didukung strong>BKPBI dan Bina Wicara.14 Dengan demikian pembelajaran anak tuna rungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak tuna rungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun juga terlayani kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya. Mengenai jenjang pendidikan di SLB-B YRTRW adalah seperti yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan antara lain: TKL-B, SDL-B, SMPL-B, dan SMUL-B.15 Perlu diketahui bahwa keberadaan SLB-B YRTRW ternyata mampu mencapai kualitas pendidikan dan pengajarannya dalam berintegrasi dengan sekolah umum. Pada umumnya tidak mudah bagi penderita tuna rungu untuk berintegrasi ke sekolah umum. Selain tingkat kecerdasannya harus baik, dibutuhkan pula kepercayaan dirinya yang tinggi. Di Sekolah SLB-B YRTRW tersedia seperangkat kurikulum dengan semua pedoman pelaksanaannya, namun hal yang lebih penting adalah memberikan kesempatan dan perhatian khusus pada anak didik di sekolah SLB-B YRTRW untuk mengoptimalkan perkembangan intelektual dan akademiknya, 14 15
Wawancara dengan Misdi, tanggal 21 November 2011. Gatty. op.cit. hlm. 20. 10
agar setelah mereka lulus apa yang mereka pelajari di sekolah dapat berguna dan menjadikan mereka anak yang optimis dan pantang putus asa dikarenakan mempunyai bekal inteletual dan akademik.16 Dalam proses belajar mengajar para guru di SLB-B YRTRW bekerja sama dengan psikolog, agar anak didik di sekolah SLB-B YRTRW dapat ditanamkan konsep diri yang positif terhadap kecacatannya, sehingga dapat menerima apa yang terjadi pada dirinya.17 Peningkatan kebersamaan dan kesetiakawanan selalu dikembangkan oleh sekolah SLB-B YRTRW Surakarta dengan pemberian peran kepada anak-anak didiknya agar turut serta bertanggung jawab atas tugas yang diberikan serta dapat bekerja sama dengan kelompoknya.18 Peningkatan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan di sekolah SLB-B YRTRW Surakarta dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar dan ekstrakulikuler. Dalam proses belajar mengajar di sekolah SLB- B YRTRW, para guru juga mengajarkan kepada anak-anak didiknya tentang nilai dan norma yang ada di masyarakat, agar mereka bisa membedakan perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk di masyarakat dan dengan pembekalan pelajaran budi pekerti mereka akan menjadi anak-anak yang berguna bagi dirinya, orang tua, dan masyarakat. Peningkatan ekspresi diri anakanak didik di sekolah SLB-B YRTRW Surakarta dilakukan dengan cara adanya mata pelajaran menggambar dan juga adanya ekstrakulikuler seni tari. Peran serta pemerintah terhadap keberadaan sekolah SLB-B YRTRW Surakarta, yakni adanya bantuan-bantuan yang berbentuk fisik maupun nonfisik. Bantuan pemerintah sejak didirikannya sekolah SLB-B YRTRW dimulai pada tahun 1986 dengan pemberian sebidang tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor: 1130/Gilingan Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta, yang luasnya kurang lebih 410 meter persegi
yang letaknya berada di daerah Kampung
Gumunggung yang dibuat oleh Raden Hari Poerwanto, SH, Pejabat Pembuat Akta
16
Wawancara dengan Remiyati, tanggal 2 Februari 2012. Wawancara dengan Sri Sumarsih, tanggal 2 Februari 2012. 18 Wawancara dengan Sri Padmi Handayani, tanggal 2 Februari 2012. 17
11
Tanah Wilayah Kotamadya Surakarta.19 Bantuan berupa sebidang tanah tersebut membuat SLB-B YRTRW memiliki gedung sendiri.20 Peranan pendidikan anak tuna rungu bagi masyarakat Surakarta sangat penting, karena Sekolah SLB-B YRTRW Surakarta ikut mengambil bagian dalam memajukan pendidikan di Surakarta. Keberadaan Sekolah Luar Biasa membantu pemerintah dalam memeratakan pendidikan di masyarakat khususnya bagi anak cacat yang awalnya mereka tersingkir oleh ketidaknormalan tubuh mereka. Sekolah SLB-B YRTRW Surakarta membantu anak-anak cacat untuk memperoleh kesempatan belajar seperti anak normal lainnya. Melihat hal tersebut Sekolah SLB-B YRTRW Surakarta harus mampu tampil dalam peran serta terutama dibidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Anak-anak tuna rungu tersebut dididik menjadi anak yang berkualitas mampu mandiri dan memiliki ketrampilan kerja serta dapat membaur di kehidupan bermasyarakat. Untuk mengoptimalkan peranan pendidikan luar dalam usaha meningkatkan kualitas masyarakat Surakarta.21 Sayangnya, seiring dengan kondisi Indonesia yang pada waktu itu mengalami kekacauan berimbas pada yayasan YRTRW yang tidak mampu melaksanakan operasionalnya. Pada tanggal 18 Desember 2000 yayasan diserahkan pengelolaannya kepada Yayasan Majelis Tafsir Al Qur’an (MTA) hingga sekarang.22
Kesimpulan Lembaga SLB-B YRTRW adalah sebuah lembaga sosial
yang
berkecimpung dalam bidang pendidikan anak tuna rungu wicara (bisu-tuli). Lembaga pendidikan yang berdiri atas rintisan Bapak Misdi, Bapak Sarono dan 19
Arsip SLB-B YRTRW Surakarta, “Sertipikat Hak Milik NO: 1130/Gilingan tahun 1987”. 20 Wawancara dengan Remiyati, tanggal 10 Februari 2012. 21 Wawancara dengan Remiyati, tanggal 12 Februari 2012. 22 Wawancara dengan Misdi, tanggal 30 November 2011. 12
Bapak Suharno, berdasarkan: UUD 1945 (pasal 31): Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; anggapan masyarakat yang negatif, bahwa anak tidak perlu pendidikan karena anak yang normal saja belum bisa tertampung secara keseluruhan; kesulitan guru mengajar anak-anak cacat bila ditampung disekolah umum; anak cacat bila diberi kesempatan bisa berprestasi seperti anak normal. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi warga Surakarta khususnya. Begitu besar pengabdian dan keuletan lembaga tersebut dalam menciptakan atau berkarya di bidang kemanusian. Melalui pendidikan, pengajaran dan pelatihan di lembaga ini maka anak-anak bangsa yang kurang beruntung karena kelainan dapat tumbuh wajar dan berkembang. Dengan perhatian khusus anak-anak itu akhirnya dapat berkembang terarah serta optimal baik jasmani, rohani maupun kehidupan sosialnya. Memang secara kualitas sumber daya manusia (SDM) dari anak-anak tersebut akan mengalami hambatan untuk berkembang jika dibandingkan dengan anak lain yang normal. Namun demikian mereka itu adalah warga negara dan bagian dari masyarakat pada umumnya yang memiliki kewajiban, kedudukan, hak, dan peran yang sama, tentunya diharapkan dapat tumbuh seimbang dan dapat berpartisipasi sebagai mana kelompok masyarakat yang lain. Untuk itu keberadaannya harus mendapat perhatian dan pelajaran sepadan dengan masyarakat lain yang tidak menyandang kelainan. Perlu juga diketahui di sini, orang tua anak-anak tersebut mengakui bahwa mereka tidak mampu mendewasakan anaknya kemudian menyekolahkan ke SLBB YRTRW. Mereka mengharap agar anaknya mendapat kesempatan belajar sehingga akhirnya akan dapat berintegrasi dalam lingkungan dan masyarakat. Selama kurang lebih 31 tahun keberadaannya lembaga tersebut berusaha memenuhi keinginan orang tua dan selalu mencari yang terbaik, sehingga tujuan itu dapat tercapai. Baik di sekolah maupun di asrama para pendidik berusaha menjalankan tugas atau karya baktinya dengan rasa tulus, ikhlas dan bukan sebagai orang-orang upahan. Sekolah SLB-B YRTRW mempunyai peran yang penting dalam pembentukan karakter anak didiknya, agar setelah mereka lulus dapat langsung 13
bersosialisasi dengan masyarakat dan menjadi pribadi yang mandiri dan kuat di dalam menghadapi kehidupan yang berbeda. Adapun peranan dari sekolah SLB-B YRTRW Surakarta, antara lain: pengembangan intelektual dan akademik, meningkatkan perkembangan emosi dan penerimaan diri anak, meningkatkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan, meningkatkan moral dan keagamaan, dan meningkatkan ekspresi diri. Memang menangani dan membina anak-anak yang mempunyai kelainan pendengaran itu bukan pekerjaan yang ringan dan mudah. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya kesabaran, ketekunan dan dedikasi yang tinggi serta komunitas yang baik. Pada akhirnya pendidikan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, merupakan upaya yang sangat strategis bagi peningkatan sumber daya manusia, termasuk anak-anak penyandang kelainan pendengaran.
DAFTAR PUSTAKA A. Arsip : Arsip YRTRW. 1981. Akta Pendirian Yayasan TunaRungu Wicara (YRTRW). Arsip YRTRW. 1987. Sertifikat Tanda Bukti Hak Milik Tanah YRTRW.
B. Buku :
Bunawan, dkk. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama. Djadja Rahardja. 2005. Paradigma Baru Pendidikan Luar Biasa di Indonesia. Bandung: UPI Pers. Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Frere, Paulo, Ivan Illich, dkk. 2006. Menggugat Pendidikan: Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gatty. 1994. Mengajarkan Wicara Kepada Anak-anak Tunarungu, Alih Bahasa Hartotanojo. Wonosobo: Yayasan Karya Bakti.
14
Identifikasi dan Evaluasi Anak Luar Biasa. 1977. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Lasikun Notoatmodjo. 1987. Dasar-Dasar Pendidikan Luar Biasa. Yogyakarta: t.p. Sunardi. 2010. Kurikulum Pendidikan Luar Biasa di Indonesia dari Masa ke Masa. Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional. Tina, dkk. 1993. Laporan Kegiatan Internship di SLB-B YRTRW Surakarta. Bandung: IKIP Bandung. Wardiman Djojonegoro. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
C. Skripsi Rini Endah Setyowati. 2001. “Dinamika Perkembangan Pendidikan Anak Tuna Daksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) di Surakarta Tahun 1977 – 1997”. Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
15