EDISI 2010
PERKEMBANGAN KURIKULUM SMP ( DARI MASA HINDIA BELANDA, PENDUDUKAN JEPANG DAN ZAMAN KEMERDEKAAN )
SAID HAMID HASAN
2010
EDISI 2010
Reviewers: 1. Benny Karyadi 2. Mujiyem 3. Achmad Riyanto 4. Agus Suhardono 5. Juandanilsyah
UCAPAN TERIMAKASIH
Buku ini mencapai bentuknya seperti sekarang melalui banyak uluran tangan dan kebijakan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada pengambil kebijakan dan pemberi uluran tangan dalam menyempurnakan buku yang ada di hadapaan pembaca. Pengambil kebijakan yang sangat menentukan kehadiran buku ini adalah pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Mansyur Ramly. Buku ini dimunginkan hadir karena program kerja Balitbang yang beliau pimpin . Oleh karena itu ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada beliau disertai harapan semoga buku ini memenuhi tujuan program yang dikembangkan. Pengambil kebijakan yang juga sangat menentukan kehadiran buku ini adalah pimpinan Pusat Kurikulum (PUSKUR) yaitu Ibu Dra Diah Harianti, M.Pd. Secara programatik keberadaan buku ini disebabkan oleh program langsung yang dikembangkan Puskur. Dalam proses penulisan kebijakan pimpinan Puskur dalam mengendalikan
kegiatan
penulisan
baik
pada
pertemuan
awal
ketika
memformulasikan pokok pikiran, pengendalian waktu penulisan dan pertemuan agar penulisan dapat selesai pada waktunya, dan pengendalian berbentuk masukan selama masa penulisan. Oleh karenanya, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada beliau dengan penuh hormat dan dari hati penulis yang paling dalam. Selain Ketua Puskur, pimpinan Puskur lainnya banyak berkontribusi dalam penulisan ini. Mereka adalah Dr Herry
Widyastono yang secara langsung
mengatur pertemuan untuk kepentingan penulisan, Erry Utomo, Ph.D, Drs Sutjipto, M.Pd,
Drs.N.S.Vijaya,M.Ed.,
dan ibu Dr Sumiyati. Nama yang
terakhir ini bahkan secara teknis mengatur segala keperluan penulisan baik dalam bentuk pertemuan, melengkapi dokumen yang diperlukan, serta hal-hal lain yang sangat membantu memperlancar pekerjaan penulisan. Staf Puskur lain yang banyak memberikan bantuan dalam kegiatan ini adalah Dra Neda Kasim dan Dra Veronika. Secara khusus pak Ujang yang telah banyak membantu penulis dalam
i
proses menemukan naskah/dokumen kurikulum. Kepada mereka semua penulis ingin menyampikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang tulus. Kepada tema-teman sesama penulis untuk kurikulum SD, SMA, SMK, PAUD yang telah bahu membahu membantu mengatasi berbagai kesulitan penulisan, penulis ucapkan banyak terimakasih dari hati yang paling dalam. Demikian pula dengan teman di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS-UPI yang telah membantu mencarikan,
meminjamkan,
dan
mengkopikan
berbagai
sumber
penulis
sampaikan ucapan terima kasih. Secara khusus mereka adalah Prof. Dr Rochiati Wiraatmadja, Prof. Dr. Helius Sjamsuddin, Prof. Dr. Dadang Supardan, M.Pd., Dra. Murdiyah Winarti, M.Hum, Drs Sjarief Moeis, Dr Nana Supriatna, Dra. Erlina ,M.Pd, Dra. Yani Kusmarni, M.Pd. Kepada teman dari Nagoya University, Jepang yaitu Prof. Dr Mina Hattori dan Dr Murni Ramly penulis menyampaikan terimakasih yang mendalam. Mereka yang banyak membantu dalam penyediaan dokumen pendidikan di masa Pendudukan Jepang yaitu dokumen yang diberi nama “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa” sangat berharga dalam penulisan ini. Teman-teman yang mereviu tulisan awal yaitu Benny Karyadi, Mujiyem, Achmad Riyanto, Agus Suhardono dan Juandanilsyah memberikan sumbangan yang berharga untuk penyempurnaan penulisan buku ini. Kepada mereka penulis sampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya. Kepada mereka yang namanya tak tersebutkan tetapi banyak memberikan kontribusi dalam penyempurnaan buku, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sama nilainya dengan yang telah disebutkan di atas. Semoga amal dan bantuan tersebut mendapatkan limpahan rahmatNya. Amin.
Bandung, Desember 2010
Penulis
ii
KATA SAMBUTAN KEPALA BALITBANG
iii
KATA SAMBUTAN KEPALA PUSAT KURIKULUM
iv
KATA PENGANTAR
Buku ini disusun sebagai upaya untuk memberikan gambaran perkembangan pemikiran kurikulum SMP yang pernah dilakukan selama masa Penjajahan Belanda, Pendudukan Jepang, dan Masa Kemerdekaan. Masa Kemerdekaan adalah masa yang paling panjang dilihat dari kurun waktu dan jumlah naskah kurikulum SMP yang pernah dikembangkan. Pengembangan Kurikulum pada Masa Kemerdekaan yang dikaji dimulai dari awal kemerdekaan bangsa Indonesia ketika suasana kehidupan kenegaraan Indonesia masih berada dibawah ancaman agresi meliter Belanda, dilanjutkan dengan pengembangan kurikulum SMP pada masa Pemerintahan Parlementer, Masa Orde Lama, Masa Orde Baru, dan diakhiri pada masa Reformasi. Kerangka perkembangan kehidupan kebangsaan Indonesia digunakan sebagai periodesasi kajian pengembangan kurikulum SMP karena pengembangan keberlakuan suatu kurikulum selalu dipengaruhi oleh kebijakan politik selain faktor-faktor yang bersifat akademik dan perkembangan di bidang ilmu dan teknologi. Gambaran perkembangan kurikulum selama masa yang dikemukakan di atas terutama diutamakan pada kajian terhadap dokumen kurikulum. Kajian ini paling dimungkinkan mengingat ketersediaan sumber informasi dalam hal ini dokumen kurikulum. Dimensi kurikulum yang lain yaitu implementasi kurikulum yang disebut juga dengan istilah “implemented curriculum”, “observed curriculum” atau “taught curriculum” tidak dikaji mengingat ketersediaan sumber yang dapat dikatakan sangat tidak memungkinkan membangun rekonstruksi yang dapat memberikan gambaran yang adil. Laporan, hasil evaluasi, atau pun hasil penelitian tentang implementasi kurikulum hanya berkenaan dengan kejadian yang terbatas pada suatu wilayah tertentu. Untuk menghindari gambaran yang tidak adil maka buku ini tidak melakukan kajian mengenai dimensi implementasi kurikulum. Dimensi kurikulum yang ketiga yaitu hasil tidak pula dikaji dalam buku ini sehingga gambaran mengenai kualitas tamatan SMP dari setiap dokumen kurikulum yang dikaji tidak direkonstruksi dalam buku ini. Alasan yang sama
v
dengan ketiadaan kajian terhadap dimensi kedua kurikulum, implementasi kurikulum, berlaku pula bagi ketiadaan kajian dimensi hasil kurikulum. Hasilhasil yang diperoleh peserta didik dari ujian nasional baik yang dinamakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) mau pun Ujian Nasional (UN) memiliki kelemahan mendasar dalam validitas kurikulum. Soal-soal ujian yang dikembangkan untuk evaluasi nasional tersebut tidak memiliki validitas kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan walau pun memiliki validitas isi yang dapat dipertanggungjawabkan. 1 Dalam analisis yang dilakukan untuk setiap kurikulum diupayakan untuk mengungkapkan landasan filosofis dan
teoritik yang digunakan dalam
pengembangan kurikulum. Keberlanjutan dan perubahan yang terjadi dalam landasan filosofis dan teoritik memberikan gambaran tentang terjadinya perbedaan dalam struktur, organisasi konten kurikulum, beban belajar, dan juga format dokumen kurikulum yang dikembangkan. Dari analisis yang dilakukan tersebut berbagai hal yang terkait dengan masalah miskonsepsi diungkapkan agar pembaca buku dapat mengambil makna dan memberikan penilaian yang lebih baik terhadap kurikulum. Dilihat dari aspek kelembagaan yang telah mengembangkan kurikulum pada masa kemerdekaan, pengembangan kurikulum pada masa kemerdekaan dapat dibagi atas tiga periode yaitu periode pengembangan oleh lembaga teknis, periode pengembangan lembaga pengembang kurikulum khusus yaitu Puskur, dan periode dimana pengembangan kurikulum menjadi wewenang satuan pendidikan . Sampai tahun 1968, kurikulum SMP dikembangkan oleh lembaga teknis yang sekarang bernama Direktorat SMP. Kurikulum SMP 1975 adalah kurikulum pertama yang dikembangkan oleh lembaga yang didirikan dengan tugas khusus untuk pengembangan kurikulum yang sekarang dikenal dengan nama Pusat Kurikulum 1
Validitas kurikulum berkenaan dengan pengukuran kualitas tamatan yang dinyatakan dalam tujuan kurikulum, bukan hanya terbatas pada aspek pengetahuan. Kualitas dalam kemampuan intelektual, afektif dan psikomotor yang tercantum dalam tujuan kurikulum tidak terujikan dalam ujian nasional yang disebutkan di atas. Validitas konten dalam ujian nasional yang disebutkan di atas terbatas pada pokok bahasan yang diujikan dan pada tujuan dlam aspek pengetahuan dari pokok bahasan terkait.
vi
(PUSKUR). Periode ini berlangsung sampai tahun 2004 yaitu ketika pusat ini berhasil mengembangkan kurikulum yang awalnya bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2001 dan naskah terakhir dinamakan Kurikulum 2004. Pada masa Reformasi pengembangan kurikulum menjadi tanggungjawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan satuan pendidikan. Kurikulum tingkat nasional yang dikembangkan Pemerintah berbentuk Struktur Kurikulum berlaku secara nasional. Pemerintah daerah memiliki kewenangan mengawasi dan memberikan arahan terhdap pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan. Kurikulum lengkap dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Ucapan Terimakasih..............................................................................
i
Sambutan Kabalitang. ...........................................................................
iii
Sambutan Ka Puskur .............................................................................
iv
Kata Pengantar ......................................................................................
v
DAFTAR ISI.........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL.................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xii
DAFTAR FOTO ...................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................
1
A. Istilah Kurikulum Sebagai Pengganti Leerpla ....................
1
B. Perubahan Nama SMP dari MULO, Shoto Chu Gakko, SLTP, SMP .........................................................................
4
C. Kurikulum Sebagai “Public Policy” dan “Academic/ Educational Innovation”......................................................
6
D. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pengembangan Kurikulum ...........................................................................
BAB II
9
KURIKULUM SMP (MULO) PADA MASA HINDIA BELANDA .........................................................................
15
A. Kelahiran MULO Dalam Sistem Persekolahan Zaman Hindia Belanda...................................................................
15
B. Tujuan Pendidikan MULO .................................................
21
C. Mata Pelajaraan dalam Leerplan MULO............................
21
viii
BAB III
KURIKULUM SMP (SHOTO CHU GAKKO) PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG ....................................
26
A. Kebijakan Pendidikan Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang..................................................................................
26
B. Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum Shoto Chu Gakko ..................................................................................
BAB IV
27
KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN..............................................................
33
A. Perkembangan dalam Kebijakan Pendidikan .....................
33
B. Daftar Pelajaran ..................................................................
43
BAB V
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN KABINET PARLEMENTER .............................................
49
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................
49
B. Filsafat Kurikulum SMP 1954............................................
52
C. Tujuan Kurikulum SMP 1954 ............................................
53
D. Rencana Pelajaran SMP 1954.............................................
63
E. Komponen Rencana Pelajaran SMP 1954 ..........................
65
BAB VI
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA .................................................................................
71
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................
71
B. Kurikulum SMP Gaya Baru................................................
74
C. Tujuan Pendidikan SMP .....................................................
81
D. Mata Pelajaran Kurikulum SMP Gaya Baru ......................
81
ix
BAB VII
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU .....................................................................
85
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................
85
B. Kurikulum SMP 1968.........................................................
87
C. Kurikulum SMP 1975.........................................................
95
D. Kurikulum SMP 19841.......................................................
26
E. Kurikulum SMP 19941.......................................................
44
BAB VIII KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI............
155
A. Perkembangan Kebijakan Pendidikan ................................
155
B. Kurikulum 2004..................................................................
157
C. KTSP...................................................................................
156
BAB IX MENATAP KURIKULUM SMP MASA DEPAN...............
187
DAFTAR BACAAN.............................................................................
193
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Leerplan MULO....................................................................
22
Tabel 3.1 Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Kuriku Shoto Chu Gakko
29
Tabel 3.2 Hari Libur Sekolah................................................................
30
Tabel 3.3 Buku Pelajaran Untuk Shoto Chu Gakko di Jakarta .............
32
Tabel 4.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 19471950.......................................................................................
45
Tabel 5.1 Kelompok dan Tujuan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1954..............................................................................
57
Tabel 5.2 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1954 .
63
Tabel 6.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1962 .
82
Tabel 7.1 Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP 1968 .
91
Tabel 7.2 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1975 .............
114
Tabel 7.3 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 .............
133
Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1994 .............
151
Tabel 8.1 Struktur Program Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah 2001 ......................................................................................
169
Tabel 8.2 Struktur Kurikulum SMP dan Madrasah Tsanawiyah 2004 .
171
Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP/MTs dalam Standar Isi ................
180
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sistem Pendidikan dan Persekolahan Hindia-Belanda.........
22
Gambar 2 Heirarki Tujuan Pendidikan .................................................
100
xii
DAFTAR FOTO
Foto 1 Gedung MULO...................................................................................
15
Foto 2 Gedung Shoto Chu Gakko ..................................................................
26
Foto 3 Gedung Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ........................................
43
Foto 4 Sekolah Menengah Pertama ................................................................
150
xiii
PENDAHULUAN A. ISTILAH
KURIKULUM
SEBAGAI
PENGGANTI
LEERPLAN
(RENCANA PELAJARAN) Istilah kurikulum merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka dan menyatakan dirinya berdaulat atas wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda dunia pendidikan di Indonesia belum menggunakan istilah kurikulum. Istilah yang digunakan pada awal kemerdekaan sampai dengan tahun enampuluhan adalah rencana pelajaran dan daftar mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda leerplan dan leervak. Memang tidak dapat disangkal bahwa literatur kurikulum menyebutkan daftar mata pelajaran (list of courses) sebagai salah satu makna awal dari istilah kurikulum. Istilah kurikulum baru digunakan di Inggeris pada awal abad ke 19 (1820) oleh Galsgow University dari bahasa Latin curere ( Tanner dan Tanner, 1980; Henderson dan Gornik, 2007:2) yang secara harfiah artinya adalah lari tetapi pada awal abad ke 19 tersebut berubah maknanya menjadi daftar mata pelajaran. Istilah kurikulum mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad ke 20 1 (Tanner dan Tanner, 1980:4) setelah mengalami perubahan makna yang sangat berbeda dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran. Istilah kurikulum mulai masuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat menjelang akhir tahun 60-an abad ke 20. Menurut Longstreet dan Shane (1993:21) istilah kurikulum di Amerika baru dikenal umum pada awal abad ke 20 walau pun seperti mereka akui bahwa filosof Jerman Johann Friedrich Herbatt telah mengembangkan pikiran tentang kurikulum sebagai “a systematic approach to the organization and selection of content as well as to instructional delivery” pada pertengahan abad ke 19. Di Amerika Serikat, pemikiran tentang kurikulum pada mulanya berkembang pada akhir abad ke 19 1
Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah istilah umum yang digunakan bersamaan dengan istilah didaktik.
1
dengan pembentukan Committee of Ten yang antara lain diketuai oleh Charles Eliot dari Harvard University (Longstreet dan Shane, 1993: 22-23). Pada tahun 1918 tokoh pendidikan Amerika Serikat yang bernama Franklin Bobbitt dari University of Chicago menerbitkan buku yang berjudul The Curriculum, buku pertama yang menggunakan judul kurikulum. Pada tahun 1924 Bobbitt menerbitkan buku baru yang diberi judul How to Make a Curriculum (Longstreet dan Shane, 1993:29). Pada tahun 1927 National Society for the Study of Education (NSSE) menerbitkan buku tahunan ke 26 organisasi ini dengan nama Curriculum Making:Past and Present yang menurut kedua penulis tadi (Longsreet dan Shane, 1993:32) kebangkitan awal bidang studi kurikulum sebagai suatu pekerjaan profesional. Dalam buku tahunan NSSE, Harold Rugg sebagai editor menyatakan tugas pengembangan kurikulum adalah (1) menentukan objektif kurikulum, (2) seleksi materi dan aktivitas yang sesuai, dan (3) menentukan organisasi dan tata urut materi dan aktivitas (Longstreet dan Shane, 1993:32). Secara implisit buku tersebut menuntut adanya studi yang ilmiah dalam pengembangan rencana dan evaluasi menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk menentukan efektivitas kurikulum. Meski pun Bobbitt dianggap bapak kurikulum di Amerika Serikat,
tokoh
pendidikan seperti John Dewey (1916) dan terutama Ralph Tyler (1942) dianggap oleh banyak akhli sebagai pelopor pemikir
kurikulum modern dalam dunia
pendidikan di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler mengubah makna kurikulum secara mendasar dan membedakannya secara mendasar pula dari pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran atau pun sebagai pengalaman belajar. Tyler (1942) memperbaiki komponen kurikulum yang dikembangkan oleh Harold Rugg dengan mengemukakan empat komponen yang terkait dengan kurikulum yaitu tujuan, konten, organisasi konten, dan penilaian hasil belajar. Komponen penilaian hasil belajar merupakan penyempurnaan yang dilakukan Tyler terhadap pemikiran Harold Rugg.
Sejak itu berbagai definisi kurikulum dirumuskan oleh mereka
yang secara khusus mendalami dan mengembangkan bidang studi kurikulum
2
tetapi keempat komponen yang dikemukakan Tyler tetap menjadi fokus pengembangan utama kurikulum dalam setiap konstruksi dokumen kurikulum. Pada tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar buku-buku pendidikan dari Amerika Serikat dan Inggeris dan banyak pula di antara mereka melanjutkan studi di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Mereka membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris tersebut dan berkenalan dengan istilah kurikulum. Istilah kurikulum mulai masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan Indonesia tetapi secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia baru digunakan pada tahun 1968 (Dokumen Kurikulum 1968) ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968
menggantikan
kurikulum yang berlaku sebelum 1964 yang masih berjudul Rencana Pelajaran (Dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru). Sejak 1968, istilah kurikulum digunakan secara meluas dalam berbagai kebijakan pendidikan dan literatur pendidikan di Indonesia. Berbagai akhli kurikulum yang secara akademik belajar tentang bidang ini mulai dimiliki bangsa Indonesia memperkaya kelompok yang telah berpengalaman dalam mengembangkan Rencana Pelajaran (kurikulum). Kehadiran Pusat Pengembangan Kurikulum dan Alat Pendidikan, yang ketika naskah ini ditulis bernama Pusat Kurikulum, serta kehadiran program studi Kurikulum di berbagai IKIP memperkuat kelompok yang bekerja dan melakukan studi akademik dalam bidang kurikulum. Meski pun demikian, harus diakui bahwa meninggalkan makna kurikulum sebagai daftar mata pelajaran bukanlah sesuatu yang mudah. Dalam realita pengembangan kurikulum dan kebijakan kurikulum seringkali masih dikungkung oleh makna kurikulum sebagai daftar mata pelajaran walau pun ada usaha nyata yang dilakukan dalam kurikulum 1954. Dalam pelaksanaan atau implementasi kurikulum di sekolah, kurikulum masih diperlakukan sebagai daftar mata pelajaran. Memang mengubah sebuah kerangka berpikir dan pola tindakan bukan merupakan sesuatu yang mudah, perlu kesadaran tinggi tentang makna baru secara konsisten dan membangun pola tindakan baru yang sesuai dengan makna baru itu
3
merupakan perubahan yang seringkali baru terjadi dalam waktu yang panjang apabila diupayakan secara konsisten. Pada saat sekarang, secara resmi kurikulum diartikan sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU RI nomor 20 tahun 2003, Pasal 1 ayat (19)). Rumusan pengertian kurikulum yang digunakan dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatukan tiga dimensi utama kurikulum yaitu dimensi rencana (curriculum as intended, planned, document) dan dimensi proses (implementasi) dan kurikulum sebagai hasil (product) dalam satu kesinambungan. B. PERUBAHAN NAMA SMP DARI MULO, SHOTO CHU GAKKO, SLTP, SMP Sejak kemerdekaan, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami perubahan nama beberapa kali. Pada zaman penjajahan Belanda ada sekolah yang bernama MULO 2 (untuk mereka yang sudah menyelesaikan pendidikan di HIS 3 , HCS, dan ELS 4 ), serta HBS 5 (untuk lanjutan tamatan ELS dan HCS). Pada masa Pendudukan Meliter Jepang dikenal adanya Shoto Chu Gakko 6 . Shoto Chu Gakko adalah sekolah yang dianggap sederajat dengan MULO dan yang pada masa awal kemerdekaan dan sekarang dikenal dengan nama SMP. Perbedaan yang mendasar dengan Mulo adalah Shoto Chu Gakko boleh menggunakan bahasa Indonesia tetapi bahasa Belanda dilarang. Meski pun demikian, nama
2
MULO = Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Rendah yang Diperluas), bahasa pengantar Bahasa Belanda 3 HIS = Hollandsch Inlandsche School (Sekolah Dasar untuk pribumi), bahasa pengantar Bahasa Belanda 4 ELS = Europesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa), bahasa pengantar Bahasa Belanda 5 HBS = Hogere Burger School (Sekolah Lanjutan Tinggi) untuk mereka yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi dikembangkan dari seksi B Gymnasium Koning Willem III pada tahun 1867 di Jakarta (Nasution,1983:130; Djumhur dan Danasaputra, 1974:128). 6 Gunawan (1986), Kebijakan‐Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta. Bina Aksara
4
MULO tetap tercantum dalam salah satu dokumen Jepang tentang pendidikan di pulau Jawa yang berjudul “Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô”. Setelah Indonesia berdiri sebagai negara merdeka, nama Sekolah Menengah Pertama (SMP) mengalami berbagai pergantian. Barangkali dapat dikatakan bahwa perubahan nama SMP yang terjadi di Indonesia menunjukkan dinamika yang lebih tinggi dibandingkan negara mana pun di dunia, apalagi jika diingat bahwa SMP sebagai suatu satuan pendidikan yang berdiri sendiri merupakan suatu yang unik Indonesia. Pewarisan sistem persekolahan dari zaman penjajahan Belanda yang kemudian diteruskan oleh pendudukan meliter Jepang dan diformalkan dalam berbagai ketetapan legal di Indonesia memberikan dasar hukum yang kuat bagi esksistensi SMP sebagai satuan pendidikan yang mandiri. Berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1950, sekolah yang disebut dengan istilah Mulo atau pun Shoto Chu Gakko, disebut dengan nama Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama disingkat SMP. Kata atau istilah umum pada nama SMP digunakan karena sampai tahun 1973 Indonesia masih mengenal adanya sekolah kejuruan seperti Sekolah Teknik Tingkat Pertama (STP), Sekolah Menengah Ekonomi tingkat Pertama (SMEP), Sekolah Menengah Pertanian Pertama (SMPP), Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP), dan sekolah menengah keguruan yaitu Sekolah Guru B (SGB). Nama-nama sekolah kejuruan dan keguruan tersebut sangat eksplisit sehingga sangat kecil menimbulkan salah persepsi bahwa sekolah-sekolah tersebut berkenaan dengan persiapan peserta didik dalam satu vokasi tertentu. Untuk SMP adanya kata umum memperjelas posisi
sekolah
tersebut
sebagai
sekolah
yang
tidak
dirancang
untuk
mengembangkan pendidikan dalam vokasi. Dalam UU RI nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) SMP adalah singkatan dari Sekolah Menengah Pertama, sudah tidak lagi menggunakan kata umum di dalam nama penuhnya.
Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) walau pun pada waktu Indonesia
5
hanya memiliki satu jenis sekolah pada jenjang ini. Jadi, SLTP adalah nama diri sekolah seperti halnya SMP, dan bukan nama kelompok sekolah/satuan pendidikan di jenjang lanjutan pertama. SMA yang dalam undang-undang yang sama diubah menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) sebagai anggota dari SLTA atau Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebagai nama kelompok satuan pendidikan. Anggota lain dari SLTA adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Perubahan nama SLTP terjadi lagi sebagaimana ditetapkan dalam UndangUndang nomor 20 tahun 2003 yaitu ketika SLTP
kembali menjadi SMP,
singkatan dari Sekolah Menengah Pertama (UU nomor 20 tahun 2003, Pasal 17) tanpa ada kata umum.
Sedangkan sekolah dibawah Departemen Agama yang
sederajat dengan SMP dan diakui oleh Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 adalah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memberikan nama kelompok satuan baik untuk jenjang menengah pertama mau pun menengah atas.
C. KURIKULUM SEBAGAI “PUBLIC POLICY” DAN “ACADEMIC/ EDUCATIONAL INNOVATION ” Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah
berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar
masyarakat langsung atau tidak langsung, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang harus dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum secara langsung. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan pendidikan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable) bangsa. Aspek kurikulum yang paling banyak berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum. Aspek ini menyatakan secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan dikembangkan melalui pengembangan potensi setiap individu peserta didik.
6
Aspek ide kurikulum merupakan ketentuan tentang filosofi, teori serta model kurikulum untuk mengembangkan potensi peserta didik. Artinya, jika pendidikan untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun (Wajib Belajar 9 Tahun) maka kualitas minimal yang harus dimiliki setiap anak bangsa Indonesia mereka miliki setelah mengikuti proses pendidikan selama 9 tahun (SD/MI dan SMP/MTs). Oleh karenanya, kurikulum pendidikan dasar harus mampu mengembangkan materi dan proses pendidikan dimana setiap peserta didik memiliki kesempatan dan kemampuan mengembangkan potensi dirinya menjadi kualitas yang dimaksudkan. Posisi yang menempatkan kurikulum pendidikan dasar menyandang peran penting dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas dasar bagi seluruh manusia Indonesia, menjadikan kurikulum SD/MI dan SMP/MTs sebagai suatu kebijakan pendidikan yang kritikal dan fundamental. Kegagalan dalam upaya mengembangkan potensi menjadi kualitas yang diperlukan akan menimbulkan dampak yang sangat mungkin tidak diinginkan, dalam kehidupan pribadi yang bersangkutan dan bangsa di berbagai dimensi kehidupan pribadi, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
Pendidikan
menengah apalagi pendidikan tinggi tidak dalam posisi yang kritikal dan fundamental sebagaimana kurikulum pendidikan dasar karena pendidikan menengah dan tinggi tidak dalam posisi untuk mengembangkan kualitas minimal yang dipersyaratkan bagi seluruh bangsa Indonesia tapi bagi mereka yang terpilih berdasarkan kemampuan dan minat yang dimiliki seseorang warganegara. Tentu saja suatu bangsa memerlukan warga yang memiliki kualitas dasar, kualitas lanjutan, dan kualitas tinggi dan karenanya secara keseluruhan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sangat diperlukan bangsa. Kurikulum sebagai kebijakan publik dituangkan dalam bentuk dokumen,
direalisasikan dalam bentuk dimensi proses kurikulum yaitu pembelajaran, dan diwujudkan dalam bentuk hasil belajar. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai rancangan bagi landasan pengembangan dimensi proses kurikulum sedangkan dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang dimiliki peserta didik sebagai hasil langsung dari pengalaman belajar mereka dalam dimensi proses pembelajaran. Keempat dimensi kurikulum tersebut yaitu sebagai “curriculum ideas, a written
7
plan where the ideas are planned and documented, the experiences the students have as teachers realize the ideas in the document into reality or learning process, and the product, outcomes or the competencies the students have as the direct result from the experiences ( Hasan, 2009) merupakan satu keseluruhan proses pengembangan kurikulum (curriculum development). Kurikulum adalah suatu hasil pemikiran inovatif para pengembang sebagai jawaban terhadap apa yang diperlukan masyarakat (hasil dari “need analysis”). Seperti dikemukakan Oliva (1992) curriculum is a product of its time. . . Curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Oleh karena setiap terjadi perkembangan dalam masyarakat yang berdampak luas dan menghendaki adanya kualitas baru dari anggota masyarakatnya maka diperlukan suatu kurikulum baru. Kurikulum adalah jawaban atau hipotesis pendidikan terhadap kebutuhan pengembangan potensi peserta didik menjadi kualitas baru yang diperlukan untuk kehidupan dirinya sebagai warganegara. Dalam jawaban tersebut yaitu kurikulum baru selalu terkandung suatu inovasi. Ruang lingkup atau “magnitude” inovasi suatu kurikulum baru beragam, dapat berkenaan dengan sesuatu yang besar dan meliputi aspek filosofis, teoritik, model sampai ke berbagai komponen dokumen kurikulum. Ruang lingkup inovasi kurikulum baru tersebut dapat pula merupakan sesuatu yang sangat kecil dan hanya berkenaan dengan satu komponen kurikulum tapi memiliki nilai pendidikan yang signifikan. Semakin rumit dan luas kualitas baru yang dibutuhkan masyarakat maka semakin besar pula ruang lingkup inovasi suatu kurikulum baru.
8
D. FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM Suatu kurikulum diganti, diubah atau dipertahankan tergantung pada tiga kelompok utama faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum. Ketiga faktor tersebut adalah perubahan politik, perkembangan ilmu dan teknologi, dan perkembangan
sosial-budaya-ekonomi.
Ketiga
kelompok
faktor
tersebut
berpengaruh terhadap kebijakan kurikulum sebagai kebijakan publik/pendidikan di negara mana pun, dan ketika salah satu dari ketiga faktor tersebut berubah terutama faktor politik maka kurikulum sebagai suatu kebijakan publik/ pendidikan akan berubah. 1. Faktor Politik Sebagaimana telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan kekuatan politik dari kehidupan politik yang semulanya didominasi oleh kekuatan komunis ke kekuatan politik yang didominasi kekuatan anti komunis. Ketika terjadi perubahan kekuatan politik tersebut maka pemerintah segera mengeluarkan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968 menggantikan kurikulum sebelumnya yaitu Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru tahun 1964. Penggantian kurikulum Gaya Baru menjadi kurikulum 1968 bersifat sementara untuk mengatasi masalah ideologi komunis, demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin yang dianggap sudah tidak sesuai untuk kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada dasarnya secara teknis perubahan tersebut terjadi hanya dengan menghapus bagian-bagian tertentu konten kurikulum yang berkenaan dengan ajaran komunisme. Perubahan tersebut memang membuktikan adanya pengaruh politik yang sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri terhadap kurikulum (Appel, 1979: 13; Giroux, 1981: 21-22; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu kekuatan yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses pendidikan dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa
9
kekuatan resmi yang dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat dan secara langsung berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan. Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil kebijakan
di
bidang
kurikulum
(presiden,
menteri,
BSNP,
kepala
sekolah/komite sekolah). Kemauan politik dimiliki pula oleh sejumlah orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan itu mungkin para politisi, “pressure groups”, akademisi, orang tua, atau komunitas tertentu di masyarakat. Pengaruh politik atau kekuatan politik (termasuk tekanan sosial) tidak dapat dilepaskan atau pun diabaikan dalam proses pengembangan kurikulum mana pun dan di negara mana pun. Pengaruh politik atau kekuatan politik paling kecil adalah pengaruh terhadap kurikulum akademik perguruan tinggi karena lembaga perguruan tinggi dilindungi dan dikembangkan sebagai lembaga yang memiliki otonomi penuh di bidang akademik. Berbeda dari kurikulum akademik, kurikulum profesi dan vokasional yang dikembangkan di perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh kekuatan masyarakat yang menjadi pemegang profesi dan tergabung dalam organisasi profesi. Untuk mengurangi pengaruh politik dan masyarakat terhadap pengembangan kurikulum di jenjang pendidikan dasar dan menengah, di berbagai negara kurikulum perekolahan dikembangkan oleh perguruan tinggi. Kebijakan tersebut tidak menyebabkan para pengembang kurikulum dapat melepaskan diri dari pengaruh politik dan kekuatan masyarakat. Pengaruh politik dan masyarakat paling kecil adalah dalam bentuk apa yang tidak boleh dikembangkan kurikulum baik terutama dalam komponen konten, proses pendidikan atau pun penilaian hasil belajar. Pengaruh tersebut menyebabkan suatu kurikulum hanya dapat digunakan oleh satuan pendidikan jika
10
kurikulum
tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan politik dan
masyarakat (politically viable). 2. Pengaruh ilmu dan teknologi Ilmu dan teknologi merupakan faktor kuat yang banyak berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Termasuk dalam disiplin ilmu yang dimaksudkan di sini adalah disiplin ilmu seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi,antropologi, politik dan ilmu pendidikan. Sudah sejak awal, sejak istilah kurikulum belum digunakan, perkembangan ilmu selalu berpengaruh terhadap kurikulum (Benjamin, 1939; Taba, 1962; Saylor dan Alexander, 1967;
Kliebard, 1965; Henderson dan Kesson, 2004)
Perkembangan materi suatu disiplin ilmu baik materi substantif mau pun materi ketrampilan, terutama materi disiplin ilmu yang langsung menjadi materi mata pelajaran tentu akan mengharuskan terjadinya perubahan kurikulum. Contoh dalam dunia pendidikan Indonesia misalnya adalah ketika matematika memperkenalkan apa yang dinamakan matematika modern. Mata pelajaran yang dulunya namanya aljabar, ilmu ukur dan ilmu pasti menjadi matematik. Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Hewan, Ilmu Tubuh Manusia digabungkan menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Perkembangan dalam teknologi mengubah kurikulum baik dalam konten mau pun dalam proses pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi akhir-akhir ini menunjukkan kebutuhan akan pentingnya perubahan kurikulum. Teknologi informasi dan komunikasi memberikan peluang besar dalam penerapannya dalam kurikulum untuk memudahkan peserta didik mengakses sumber informasi, berbagai jenis informasi tetapi juga menuntut agar peserta didik menguasai berbagai ketrampilan teknis yang terkait dengan aplikasi alat-alat teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan dalam dunia ilmu pendidikan termasuk filsafat berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Filosofi kurikulum sebagaimana dikatakan
11
oleh Schubert (1986:113) adalah jantung pengembangan kurikulum. Ia mengatakan: Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. . . . John Dewey (1916) supported this emphasis when he suggested that education is the testing ground of philosophy itself Pendapat serupa dikemukakan oleh Tanner dan Tanner (1980) dan Oliva (1997). Tanner dan tanner (1980: 103) bahkan menyatakan bahwa filosofi kurikulum berpengaruh dan menjadi sumber dalam proses pengembangan kurikulum.
Sedangkan
Oliva
(1997:190)
mengatakan
bahwa
setiap
pengembang kurikulum harus sadar filosofi yang berpengaruh pada dirinya ketika mereka mengembangkan ide dan dokumen kurikulum. Sebagai contoh, filosofi kurikulum essensialisme dan perenialisme sangat menekankan pada pandangan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mengembangkan kemampuan intelektual dan berpikir rasional. Atas dasar filosofi ini, kurikulum harus mengembangkan pendidikan disiplin ilmu sehingga konten kurikulum adalah konten disiplin ilmu dan tentu saja setiap perkembangan yang terjadi dalam konten disiplin ilmu menghendaki perubahan kurikulum. Ketika filosofi lain seperti eksperimentalisme, humanisme dan rekonstruksi sosial menjadi landasan pengembangan kurikulum maka pengetahuan dan ketrampilan yang berasal dari disiplin ilmu tetap diperlukan. Pengetahuan dari disiplin ilmu berupa fakta, konsep, generalisasi atau juga teori merupakan persyaratan awal untuk mengenal dan memahami ketrampilan atau pun nilai yang akan dikembangkan. Pengetahuan merupakan sesuatu yang diperlukan otak untuk mengembangkan kemampuan kognitif tetapi juga kegiatan kognitif memberikan hasil berupa pengetahuan baru. Kemampuan kognitif seperti memahami, menggunakan/ menerapkan, menganalisis, dan mengevaluasi menjadi dasar kuat bagi seseorang untuk mengembangkan kemampuan kognitif tertinggi yaitu
menghasilkan suatu
pengetahuan baru atau produk baru dalam berbagai bentuk.
12
3. Perkembangan sosial-budaya-ekonomi Sosial-budaya adalah landasan pengembangan suatu kurikulum. Pewarisan nilai-nilai budaya adalah salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum sebab pada dasarnya kurikulum adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Smith, Stanley, dan Shores, 1957; Taba, 1962). Perkembangan fokus dan unsur nilai yang harus diwariskan pendidikan kepada generasi muda akan memberikan dasar yang kuat untuk suatu kurikulum berubah. Ketika fokus dan unsur nilai berhimpit dengan kepentingan politik maka perubahan pada fokus dan unsur nilai semakin tinggi frekuensinya. Pada saat itu maka adanya perubahan kurikulum semakin tinggi pula. Kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat selalu berubah. Pengaruh politik, ilmu, dan teknologi akan lebih mempercepat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat. Perubahan yang terjadi melahirkan berbagai kebutuhan akan kemampuan baru yang harus dimiliki anggota masyarakat. Kemampuan baru yang dituntut oleh perubahan kehidupan sosial-budaya-ekonomi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan baru, ketrampilan kognitif baru, sikap baru, nilai baru, dan kebiasaan baru. Hal-hal baru itu merupakan tambahan, penyempurnaan atau bahkan mengganti hal-hal lama yang sudah ada. Ketrampilan baru yang dihasilkan oleh hal-hal baru merupakan dorongan atau faktor yang kuat untuk mengubah kurikulum. Perubahan yang dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan sosial-budayaekonomi tak bisa dihindari kurikulum. Kurikulum mempunyai peran yang sangat penting untuk melayani kepentingan masyarakat (Taba, 1962; Saylor dan Alexander, 1974). Dinamika masyarakat adalah dinamika kurikulum dan masyarakat berkembang jika kurikulum memberikan hasil dengan kualitas peserta didik yang mampu mengembangkan masyarakat. Pada gilirannya, masyarakat
memerlukan
kualitas
baru
akibat
dari
kemajuan
atau
perkembangan yang mereka miliki. Oleh karena itu apa yang terjadi di
13
masyarakat akan berpengaruh terhadap kurikulum dan sebaliknya apa yang diberikan kurikulum kepada masyarakat akan menimbulkan perubahanperubahan baru dalam masyarakat.
14
KURIKULUM SMP (MULO) PADA ZAMAN HINDIA BELANDA
Foto 1: MULO di Bandung pada tahun 1919 Sumber: Foto dari Priambodo, tersedia pada http://djawatempodoeloe.multiply.com/photos/album/190 A. KELAHIRAN MULO DALAM SISTEM PERSEKOLAHAN ZAMAN HINDIA BELANDA Pendidikan barat di Indonesia sudah diperkenalkan sejak masa awal kekuasaan Portugis di Indonesia yaitu dengan pendirian sekolah seminari di Ternate pada tahun 1536 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976: 115). Tujuan dari pendirian sekolah itu adalah untuk menyebarkan agama Katolik, sesuai dengan semboyan “gold, glory, and gospel” ketika bangsa Portugis menjelajah dan menjajah wilayah di luar benua Eropa. Pendidikan
15
barat dalam skala yang lebih luas dari sekolah seminari,
diperkenalkan
kongsi
Oost-Indische
dagang
Belanda
yang
bernama
“Vereenigde
Compagnie” (VOC) di Ambon pada tahun 1607 (Nasution, 2008:4; Djumhur dan Danasaputra, 1976:116). Ajaran agama yang diperkenalkan adalah Kristen Protestan (Calvinisme, Lutherian) yang telah berkembang di Eropa sejak awal abad ke 16 termasuk Belanda dan di Indonesia secara resmi dinamakan Kristen untuk membedakannya dari Katolik. Baik Portugis mau pun Belanda (VOC) berkonsentrasi mendirikan sekolah di daerah Maluku di masa awal kekuasaan mereka karena Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang terkenal di Eropa pada masa itu, dan menjadi daerah tujuan utama Portugis
dan
Belanda
ke
Indonesia.
Kurikulum
pada
waktu
itu
mengembangkan proses pembelajaran yang berkenaan dengan ajaran-ajaran agama. Setelah VOC menduduki Jayakarta, mengubah namanya menjadi Batavia, VOC mulai membangun sistem administrasi pemerintahan dan perdagangan. Untuk itu VOC memerlukan tenaga kerja trampil terutama di bidang administrasi. Pada tahun 1630 VOC membuka sekolah di Jakarta dengan pelajaran yang utama adalah membaca, menulis, berhitung ditambah dengan pendidikan agama Kristen seperti “memupuk rasa takut kepada Tuhan, dasardasar agama Kristen, berdo’a, bernyanyi, pergi ke gereja, mematuhi orang tua, penguasa dan guru” (Nasution, 2008:5). Kurikulum seperti itu adalah sesuatu yang umum pada masa itu dan untuk sekolah VOC ditetapkan oleh lembaga pimpinan tertinggi VOC yang dinamakan De Heeren XVII. Kebijakan pendidikan VOC pada masa itu tidak sepenuhnya memisahkan sekolah untuk anak-anak Eropa dengan pribumi terpilih. Mereka bersekolah bersama terutama disebabkan karena jumlah anak-anak Eropa masih terbatas dan misi untuk menyebarkan agama Kristen (Nasution, 2008:6; Djumhur dan Danasuparta, 1976:116) yang ditujukan kepada anak Indonesia 7 . Pada bulan Desember 1799 VOC dibubarkan dan kekuasaan di Indonesia langsung berada 7
Nama Indonesia dan pribumi digunakan silih berganti dengan pengertian yang sama karena pada masa VOC nama Indonesia belum dikenal/digunakan.
16
di bawah parlemen Belanda. Pemerintahan Belanda di Indonesia dinamakan Pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Berbagai kebijakan pendidikan baru pun dikembangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak keturunan Eropa, Cina, dan pribumi dengan sekolah yang berbeda pula. Pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs) dikembangkan khusus dengan jenis sekolah yang berbeda dari anak-anak keturunan Eropa yang bersekolah di dalam sistem pendidikan Eropa (Europees Onderwijs) (Poeze, 1982: xx). Pada tahun 1817 sekolah pertama bagi anak-anak Belanda dan Eropa lainnya dibuka di Jakarta diikuti dengan pendirian sekolah serupa di berbagai kota di pulau Jawa (Nasution, 2008:9). Sedangkan untuk anak Indonesia didirikan sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse-school = sekolah ongko loro), Sekolah Desa (Dessa-school), dan Sekolah Rakyat (Vervolgschool). Ketiganya adalah dalam kelompok sekolah dasar (lager onderwijs). Secara keseluruhan sistem persekolahan tingkat dasar dan menengah tergambarkan pada Gambar 1 sebagaimana dikemukakan oleh Poeze (1982:xx) Politik Etis dan pengaruh faham liberal yang berkembang di Belanda membuka kesempatan pendidikan barat yang lebih besar bagi anak Indonesia. Tekanan politik dalam negeri menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan kepada anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih luas tetapi baik politik Etis mau pun faham liberal tidak memberikan kesempatan yang sama antara anak Indonesia dengan anak Belanda. Pemisahan pendidikan terjadi pada jalur dan jenjang. Pada jenjang pendidikan dasar terjadi pemisahan pendidikan untuk anak pribumi (inlands onderwijs), dan anak Eropa (Europees onderwijs) dan anak Cina. Dalam jangka waktu yang cukup panjang bagi anak Indonesia hanya tersedia sekolah pada jenjang pendidikan dasar sedangkan bagi anak Belanda tersedia sekolah pada jenjang pendidikan menengah. Anak Indonesia yang cerdas dan jumlah mereka semakin banyak tetapi mereka tidak memiliki melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan menengah. Beberapa anak priyayi tinggi dan terpilih memang
dibolehkan
melanjutkan
ke
jenjang
pendidikan
menengah.
17
Kesempatan itu baru terbuka ketika Pemerintah Hindia Belanda membuka Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), pendidikan dasar yang diperluas.
Gambar 1: Sistem Pendidikan dan PersekolahanHindia-Belanda
Inheemse M.U.L.O 4 jr
Opl. Volkson‐ opl Derwijzer 2 jr
Stovia 6 jr
Kw Rechtsch. 3 jr
Hoogere Kweek. 2 jr Kweeksch. KKKK 3 jr
A.M.S 3 jr
Mosvia MM 2jr
Middelbaar Onderwijs
Midd.Landb.school 3 jr Bestuursscchool 2 jrl
Hoger Onderwijs
M.U.L.O 3 jr M.U.L.
Normaal‐ School 3 jr
Voorklas 1 jr
H.B.S 3/5 jr
Lager Onderwijs
Tweede‐ Klasse‐ School 5/6 jr
Vervolg‐ school 2/3 jr Dessa‐ School 3 jr
Schakel‐ school 5 jr H.I.S 7 jr
Inlands Onderwijs
E.L.S EE.L. 7 jr
Europese Onderwijs Sumber: Poeze (1982:xx)
Mulo atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Pendidikan Dasar yang Diperluas) didirikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914 (Djumhur
18
dan Danasuparta, 1959:137; van der Wal, 1963:224). Sebelumnya sudah ada bentuk kursus lanjutan yang dinamakan mulocursussen (Van der Wal, 1963:228) dan tergabung pada ELS (sekolah dasar untuk orang Belanda) untuk mereka yang bersekolah di ELS. Van der Wal (1963:224) menyebutkan bahwa pendirian MULO didasarkan atas surat Direktur Pendidikan dan Agama ( Directeur van onderwijs en eredienst, G.A.J Hazeu) kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda (A.W.F. Idenburg, 1909-1916) pada tanggal 17 Maret 1913. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.W.F. Idenburg menjadi Menteri Tanah Jajahan (1902-1905; 1908-1909) dan sesudah menjadi Gubernur Jenderal kembali menjadi Menteri Tanah Jajahan (1918-1919). Adanya keinginan yang besar di kalangan pribumi tamatan HIS yang cerdas untuk melanjutkan studi lebih lanjut setelah menyelesaikan studi HIS mereka merupakan salah satu pertimbangan yang dikemukakan dalam surat Direktur Pendidikan dan Agama Hazeu kepada Gubernur Jenderal Idenburg untuk membuka MULO sebagai lembaga yang berdiri sendiri (als een zelfstandig instituut). Pribumi tamatan HIS yang cerdas tersebut tidak mungkin melanjutkan ke mulocursussen yang bagian ELS dan tidak pula ke HBS, karena keduanya diperuntukkan bagi orang Eropa. 8 Pada tahun 1914 kursus-kursus tersebut disetujui untuk dikembangkan menjadi Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) sebagai sekolah yang berdiri sendiri, lepas dari ELS. Pendirian MULO tersebut dikukuhkan berdasarkan Ind. Stbl. 9 1914 nomor 447 junto nomor 672 dan 687 tentang Reglement op de openbare scholen van voortgezet en uitgebreid lager onderwijs in Netherlands Indie” (Van der Waal, 1963:230).
Istilah meer
uitgebreid (lanjutan lebih luas) memberikan indikasi tentang kedudukan 8
Dalam kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda dipisahkan sekolah untuk orang Eropa, Cina, dan Indonesia yang dinamakan pribumi (istilah orang atau bangsa Indonesia belum digunakan). Untuk anak pribumi disediakan inlands onderwijs sedangkan untuk Eropa disediakan europees onderwijs (Poeze,1982:xx) 9 Ind. Stbl adalah singkatan Indische Staatblad yang masih berlaku dalam sistem hukum Indonesia, dinamakan Lembar Negara yang mencatat sebuah undang‐undang. Sebuah undang‐ undang baru dinyatakan resmi berlaku setelah tercatat dan diundangkan dalam Lembar Negara. Lembar Negara ditandatangani oleh Sekertaris Negara (dulu oleh Menteri Kehakiman) dan diberi nomor khusus.
19
sekolah yang semula kursus dan bagian dari sekolah dasar tersebut, demikian pula dengan istilah onderwijs (pendidikan) dan bukan school yang digunakan, seolah-olah
pelaksanaan
pendidikan
dilakukan
bukan
oleh
lembaga
pendidikan yang dinamakan sekolah. Lama belajar MULO yang semula 2 tahun ketika masih menjadi kursus dan bagian dari ELS, dikembangkan menjadi 3 tahun setelah menjadi MULO yang lepas dari ELS 10 . MULO terbuka bagi anak Indonesia yang sudah menyelesaikan HIS (Hollandsch Inlandsche School = Sekolah Pribumi berbahasa Belanda). Sejak berdiri sendiri, Mulo menjadi lembaga/sekolah resmi sesudah sekolah dasar dan menjadi persyaratan untuk memasuki AMS (Algemeene Middlebare School) yang setelah Indonesia merdeka disebut SMA. Berbeda dari ELS, HIS, apalagi HBS, MULO tidak didasarkan pada model sekolah Eropa (Nasution, 2008:123; Poeze, 1982:XIX). Dalam struktur persekolahan di Belanda dan di banyak negara Eropa, tidak ada sekolah pada jenjang menengah yang berdiri sendiri seperti MULO. Di berbagai negara Eropa, sekolah menengah diorganisasikan dalam satu manajemen dan terdiri atas program menengah junior (setara SMP) dan menengah senior (setara SMA).
Pada masa kemudian, tamatan MULO dapat melanjutkan pelajaran
ke sekolah kejuruan tingkat menengah (hogere vakscholen) dan ke AMS (Algemeene Middlebare School) 3 tahun. Seperti juga MULO, menurut Poeze AMS merupakan bentuk khusus sekolah menengah (awal) di daerah Hindia Belanda (de specifiek Indische vorm van voorbereidend hoger onderwijs). Tamatan MULO dapat juga melanjutkan studi mereka ke Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen 6 tahun = Sekolah Dokter Jawa), Mosvia (Middlebare Opleidingsschool vor Indische Ambtenaaren = Sekolah Menegah Pamong Praja Pribumi 2 tahun), Rechtschool (Sekolah Hukum 3 tahun),
10
Menurut Poeze (1982: 20) ada MULO yang merupakan sekolah dalam sistem pendidikan Belanda (3 tahun) dan ditambah satu tahun bagi anak Indonesia yang melanjutkan sekolah ini dari Schakel‐school dan ada MULO Pribumi (Imheese MULO) yang masuk dalam sistem pendidikan pribumi (Inlands Onderwijs) yang lamanya 4 tahun.
20
Kweekschool (Sekolah Guru 3 tahun), dan Middle Landsbouw School (Sekolah Menengah Pertukangan 3 tahun). B. TUJUAN PENDIDIKAN MULO Tujuan pendidikan MULO adalah untuk menghasilkan tamatan yang mampu bekerja dalam administrasi pemerintahan Kolonial Belanda, melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan (Sekolah Pertanian, Sekolah Pamong Praja, Sekolah Guru, Sekolah Hukum, Sekolah Kedokteran), dan ke sekolah menengah umum yang lebih tinggi (AMS). C. MATA PELAJARAN DAN LEERPLAN MULO Bahasa instruksional yang digunakan dalam proses belajar di MULO adalah bahasa Belanda. Oleh karena itu tamatan HIS diterima di MULO karena HIS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa instruksional. Selain digunakan sebagai bahasa instruksional, bahasa Belanda adalah mata pelajaran yang harus dipelajari setiap peserta didik. Keseluruhan mata pelajaran yang terdapat pada Rencana Pelajaran Mulo adalah:
Tabel 2.1. Leerplan (Rencana Pelajaran) MULO
KELAS DAN JAM
MATA PELAJARAN I
II
III
Membaca
3
3
2
Bahasa Belanda (Taal)
5
4
4
Aljabar (Algebra)
6
7
5
Ilmu Ukur (Geometri, Stereometri)
2
2
2
Ilmu Alam (Natuurkunde)
3
3
4
Ilmu Hayat (Plant-en Dierkunde)
3
3
3
Sejarah (Volks geschiedenis, Vaderlanse
1
1
2
1
1
1
geschiedenis) Sejarah Umum (Algemene geschiedenis)
21
KELAS DAN JAM
MATA PELAJARAN I
II
III
Ilmu Bumi (Aarderijkskunde)
3
3
3
Olahraga (Gymnastik)
2
2
2
Menggambar (Tekenen)
2
2
2
Bahasa Perancis 11
2
2
4
Bahasa Inggeris (Engels)
4
4
3
Bahasa Jerman (Deutsch)
4
3
4
Bahasa Melayu (elektif)
1
1
1
Menyanyi (Zingen)(elektif)
1
1
1
Sumber: Pelaku (peserta didik) dan Nasution (2004)
Dalam ilmu bumi peserta didik MULO belajar terutama geografi negara Belanda, Eropa, dan sedikit mengenai Hindia-Belanda (Indonesia). Pengetahuan tentang letak negara, bentuk dan karakteristik permukaan tanah, nama dan letak kota (peta buta), dan bahkan nama-nama gedung penting serta alamatnya di berbagai kota di Belanda merupakan pengetahuan penting dan harus menjadi pengetahuan siap (paratekennis) yaitu pengetahuan hafalan. Pengetahuan hafalan (paratekennis) adalah pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik dan mereka harus selalu siap dengan jawaban di luar kepala apabila ditanyakan. Pada saat sekarang, walau pun nama pengetahuan siap sudah tidak digunakan, dunia pendidikan Indonesia masih mengandalkan pengetahuan siap. Soal-soal yang dibuat untuk ulangan dan ujian berpijak pada pemikiran dasar bahwa peserta didik harus memiliki pengetahuan siap untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Sama halnya dengan ilmu bumi adalah mata pelajaran sejarah. Pengetahuan sejarah yang diutamakan adalah pengetahuan sejarah tentang kerajaan Belanda dan dinasti Oranye, asal-usul dinasti Oranye beserta raja dan ratu yang berkuasa, perjuangan bangsa Belanda dalam percaturan kekuatan politik negara-negara Eropa, keunggulan Belanda sebagai bangsa serta perjuangan bangsa Belanda 11
Bahasa Perancis nantinya dihapus ketika Belanda tidak lagi dikuasai Louis Bonaparte,
22
memerdekakan dirinya dari kekuasaan Jerman. Pengetahuan sejarah juga mencakup pengetahuan tentang pelayaran bangsa Belanda ke Indonesia, pendirian VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), tokoh-tokoh VOC yang berjasa dalam membangun kekuasaan Belanda di Indonesia, pembentukan kekuasaan dan pemerintah Belanda di Nederlandsche Indie (Hindia Belanda = Indonesia). Para tokoh yang berkedudukan sebagai gubernur jenderal (wakil pemerintah Belanda di wilayah Hindia-Belanda), usaha pemerintah Hindia Belanda mengembangkan kekuasaan dan pengaruh di wilayah Nusantara (Indonesia) terutama dalam memepertahankan kekuasaan dari para “pemberontak” (pemimpin Indonesia yang melawan pemerintahan Hindia Belanda dalam mempertahankan wilayah kekuasaan para pemimpin/raja tersebut ). Sejarah kekuasaan Belanda di Indonesia diikuti dengan berbagai tindakan pemerintah Hindia Belanda dalam membangun berbagai aspek kehidupan lain seperti budaya dan ekonomi termasuk programprogram kemanusiaan untuk masyarakat pribumi (Indonesia). Politik Etis (Etische Politiek) pemerintah Hindia Belanda menjadi pokok bahasan penting karena melalui pokok bahasan poliitik etis yang dianggap sebagai program kemanusiaan, Pemerintah Belanda membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang “lebih baik” terutama dalam membangun sekolah untuk menghasilkan golongan terpelajar dan tenaga terlatih bangsa Indonesia. Mata pelajaran sejarah umum untuk MULO mengajarkan mengenai asal-usul peradaban dunia yang dimulai dengan asal-usul peradaban bangsa-bangsa Eropa yaitu peradaban bangsa Yunani dan Romawi. Pelajaran tentang kebudayaan bangsa Yunani dan Romawi berkenaan dengan budaya, seni dan pemerintahan serta kekuasaan sampai kepada dongeng dan mitologi para dewa yang dikenal dalam teologi kepercayaan Yunani dan Romawi sangat penting. Peserta didik MULO sangat hapal mengenai pengaruh kedua peradaban tua tersebut terhadap peradaban Eropa dan dunia barat. Peradaban bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya yang mereka miliki sekarang
memang banyak dipengaruhi
kebudayaan Yunani dan Romawi, oleh karena itu mempelajari kedua kebudayaan tersebut memiliki makna yang penting bagi orang Belanda dan Eropa lainnya.
23
Mata pelajaran Ilmu Alam berkenaan dengan berbagai hukum alam yang telah dihasilkan oleh para sarjana Eropa dan menjadi dasar dari ilmu pengetahuan modern. Berbagai teori yang sampai sekarang masih dibahas dalam khasanah ilmu alam seperti hukum Archimedes, Boyle dan sebagainya merupakan pelajaran penting dalam Ilmu Alam. Tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dari belahan dunia lain apalagi dari dunia Asia tak tersentuhkan bahkan hingga saat kini ketika Indonesia sudah merdeka selama 65 tahun materi pelajaran IPA masih tidak banyak berubah dari apa yang telah diperkenalkan Belanda. Dari pelajaran Ilmu Alam, peserta didik MULO mengenal dan dilatih dalam cara berpikir empirik dan rasional. Halhal yang tidak terkait dengan alam nyata dan tidak dapat dibuktikan secara empirik dinyatakan sebagai tahayul dan dianggap bertentangan dengan cara berpikir manusia modern. Bahasa Melayu tidak diajarkan pada waktu kursus MULO didirikan pada tahun 1910, dan tidak juga ketika MULO sudah memiliki status sebagai sekolah menengah (lanjutan) yang berdiri sendiri (Nasution,2008:123). Selanjutnya Nasution (2008:124) mengatakan bahwa mata pelajaran Bahasa Melayu baru ada dalam kurikulum MULO pada tahun 1919. Pembelajaran bahasa Melayu dalam kurikulum MULO memberikan pengaruh yang kuat terhadap pada kelompok terpelajar Indonesia dalam membangun dan mengembangkan semangat kebangsaan. Ketika para pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi pemuda daerah (Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatra Bond, Jong Sunda, Jong Celebes, dan sebagainya) berkongres di Jakarta, mereka menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk bangsa yang mereka cita-citakan. Pada waktu Indonesia mengeluarkan undang-undang pendidikan pertama dan dikokohkan dalam undang-undang pendidikan sesudahnya, aspirasi para pemuda tersebut dikukuhkan dalam bentuk keputusan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa instruksional dalam setiap jenjang pendidikan di Indonesia.
24
KURIKULUM SHOTO CHU GAKKO (SMP) PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG
Foto 2: SMPN 1 Yogya, pada tanggal 11 September 1942 didirikan oleh Pemerintah Pendudukan Militer Jepang sebagai Shoto Chu Gakko (SMP) Sumber: Website SMP N 1 Yogyakarta
A. KEBIJAKAN PENDIDIKAN PENDUDUKAN JEPANG Pada masa pendudukan militer Jepang, wilayah Indonesia dibagi atas 3 wilayah administratif yang terpisah dan memiliki jurisdiksi sendiri yaitu pulau Jawa, Sumatera, dan wilayah Indonesia lainnya (termasuk Kalimantan dan Sulawesi). Meski pun bukan pemerintahan sipil, pemerintahan militer Jepang memberikan perhatian kepada pendidikan. Dari pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang mempersiapkan generasi baru Indonesia yang mendukung kekuasaan Jepang dan menghasilkan mereka yang terlatih dalam kemiliteran. Kebijakan Jepang tentang pendidikan, terutama kebijakan pendidkan di pulau Jawa dapat diketahui dari berbagai sumber tetapi yang utama adalah dokumen yang dinamakan Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô (Kebijakan Pendidikan Jepang
25
di pulau Jawa)(Kurasawa, 1991:16). Menurut Kurasawa dokumen tersebut adalah dokumen rahasia yang dikumpulkan oleh personil militer Jepang, dan berisikan doktrin, ideologi, prinsip dasar serta petunjuk pelaksanaan kebijakan pendidikan Jepang di pulau Jawa. Dokumen serupa berkenaan dengan wilayah lain di Indonesia merupakan sesuatu yang masih perlu ditelusuri untuk dapat membandingkan kebijakan pendidikan Pemerintahan Pendudukan Militer Jepang. Pada masa kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, sekolah-sekolah untuk rakyat yang didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda (volks school dan vervolg school) dihapus, digantikan dengan sekolah bergaya Jepang yang dinamakan kokumin gakkô dengan masa belajar 6 tahun. MULO diganti dengan Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu GakkO) dan didirikan di banyak kota di Indonesia. Di pulau Jawa terdapat Shoto Chu Gakko di Serang (1 sekolah), Jakarta (3 sekolah), Bogor (1 sekolah), Bandung (1 sekolah), Garut (1 sekolah), Cirebon (1 sekolah), Pekalongan (1 sekolah), Kediri (1 sekolah), Jember (1 sekolah), Pamekasan (1 sekolah), Jogja (2 sekolah), Solo (2 sekolah), Magelang (1 sekolah), Purwokerto (1 sekolah), Semarang (2 sekolah), Pati (1 sekolah), Malang (1 sekolah), Bojonegoro (1 sekolah), Madiun (1 sekolah), dan Surabaya (2 sekolah). Selain itu ada Sekolah Menengah Pertama Poetri di Jakarta, Bandung, Jogja, Solo, Semarang, Malang, dan Madiun. Sekolah Menengah Pertama Putri menerima siswa khusus putri dan memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dari Sekolah Menengah Pertama biasa (Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô).
B. MATA PELAJARAN Mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum Shoto Chu Gakko mencerminkan kebijakan
pendidikan
Pemerintahan
Pendudukan
Militer
Jepang
untuk
menjepangkan bangsa Indonesia. Selain mata pelajaran yang bersifat eksakta materi mata pelajaran lain disesuaikan dengan kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia termasuk menarik hati bangsa Indonesia. Mata pelajaran bahasa Belanda dihapus dan digantikan oleh mata pelajaran Bahasa Jepang. Selain mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Jepang, dalam kurikulum Shoto Chu Gakko ditambahkan mata pelajaran Pendidikan Semangat (Moral) dan bahasa
26
Indonesia menjadi mata pelajaran resmi. Olahraga atau Latihan Badan mendapatkan tempat yang penting sehingga diberikan jam pelajaran yang cukup besar yaitu 5 jam per minggu. Kedudukan penting Latihan Badan ini mudah dipahami karena militer Jepang memerlukan pemuda dengan badan yang sehat dan terlatih secara fisik. Senam pagi dilakukan sebelum sekolah dimulai dengan menghadap ke arah matahari terbit. Selain latihan fisik mereka juga diajar lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo) serta berbagai doktrin mengenai kedudukan Jepang sebagai pemimpin dunia (Hakko ichi U) dan pemimpin Asia. Tambahan mata pelajaran dalam kurikulum adalah Kaligrafi. Kedudukan tulisan indah (kaligrafi) huruf kanji sangat dihargai oleh masyarakat dan budaya Jepang. Tradisi yang turun temurun dalam kaligrafi dimaksudkan untuk diwariskan juga bagi bangsa Indonesia yang juga tidak asing dengan tradisi kaligrafi huruf Arab. Tulisan indah huruf Arab telah berkembang sejak awal Islam masuk ke Indonesia dan oleh karena itu adanya mata pelajaran kaligrafi dalam kurikulum Shoto Chu Gakko bukan sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Unsur barunya adalah kalau sebelumnya yang digunakan untuk tulisan indah itu huruf Arab maka pada masa ini huruf yang ditulis indah itu huruf kanji yang masuk dalam kelompok huruf gambar (pictograph) 12 . Tabel 3.1. mencantumkan mata pelajaran, kelas dan jam pelajaran untuk masingmasing mata pelajaran di setiap kelas.
Tabel 3.1.: Mata Pelajaran dan Jam Pelajaran Dalam Kurikulum 12
Pictograph adalah huruf yang menggunakan gambar (picto) untuk mewakili suatu pokok pikiran/ide karena itu disebut juga ideograph. Tulisan ini berkembang di Cina dengan nama hanzi, di Mesir dengan nama hieroglyph, di Sumeria dengan nama tulisan paku. Tulisan Hanzi masih digunakan sampai hari ini di Cina, Korea dan Jepang bahkan seluruh negara Cina yang memiliki banyak bahasa dipersatukan dalam komunikasi tulisan melalui huruf Hanzi. Huruf Hanzi di Jepang dinamakan Kanji.
27
Shoto Chu Gakko Kelas dan Jam pelajaran Mata Pelajaran
1
2
3
Pendidikan Semangat (Moral)
1
1
1
Bahasa Jepang (Nippon)
9
9
9
Bahasa Indonesia
6
6
6
Ilmu Pasti
6
6
6
Ilmu Bumi
2
2
1
Latihan Badan (Pend. Jasmani)
5
5
5
Sejarah
2
1
1
Gambar Tangan (Menggambar)
2
2
2
Ilmu Alam
-
2
3
Kesenian
1
1
1
Kaligrafi (Jepang)
2
2
2
Jumlah jam pelajaran
36
37
37
Sumber: diadaptasi dari Ramli, 2010, halaman 70 Dari beban belajar atau jam belajar untuk mata pelajaran Bahasa Jepang 9 jam per minggu, Bahasa Indonesia 6 jam per minggu serta Ilmu Pasti juga 6 jam per minggu menunjukkan pikiran pokok kurikulum yang ingin menghasilkan “manusia baru” yang bebas dari pengaruh pendidikan Belanda. Memang jam belajar Ilmu Pasti sedikit berkurang dari kurikulum MULO tetapi pengurangan tersebut tidak membawa dampak yang berarti bagi kualitas manusia tamatan SMP yang diinginkan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Penghapusan bahasa Inggeris dan bahasa Jerman memperkuat ide kurikulum yang ingin menhapuskan pengaruh budaya Belanda khususnya dan barat umumnya. Memang menarik bahwa bahasa Jerman dihapus sedangkan bangsa Jepang pada waktu itu bersekutu dengan bangsa Jerman. Tampaknya, kerjasama militer dalam perang antara pemerintah Jerman dan Jepang di masa Perang Dunia II tidak berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan SMP di masa pendudukan militer
28
Jepang di Indonesia. Pentingnya pelajaran bahasa yang mengajarkan ketrampilan berkomunikasi
dan
cara
berpikir
berdasarkan
nilai-nilai
budaya
yang
menghasilkan bahasa tersebut disadari benar Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Oleh karena itu adanya pelajaran bahasa Jerman apalagi bahasa Belanda akan menjadikan generasi muda Indonesia berpikir seperti orang barat dan mereka akan tercabut dari akar budayanya. Selain itu cara berpikir barat akan menimbulkan masalah politik bagi misi pendudukan Jepang di Indonesia. Berdasarkan dokumen Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, sekolah dimulai setiap tanggal 1 April setiap tahun. Kantor Pengajaran (Bunkyo Kyoku) setiap Syuu berwewenang menetapkan buku pelajaran yang digunakan untuk setiap mata pelajaran dan hari libur sekolah. Berdasarkan dokumen yang sama, hari libur untuk sekolah ditetapkan untuk jangka waktu satu tahun ajaran. Hari besar agama mendapatkan porsi utama sebagai hari libur sekolah. Pada umumnya sekolah libur pada hari besar agama Islam sebagaimana dikemukakan dalam tabel 3.2 berikut ini: Tabel 3.2.: Hari Libur Sekolah HARI LIBUR Mi’raj Nabi Puasa Grebeg Besar (pulau Jawa) Asyura Maulud Nabi Tahun Baru Cina Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, p 38
LAMANYA LIBUR 1 hari 40 hari 7 hari 1 hari 14 hari 1 hari
Dari ketetapan mengenai hari libur di atas ada kesan kuat bahwa kekuasaan pendudukan Jepang di pulau Jawa sangat memperhatikan agama mayoritas penduduk. Mayoritas penduduk pulau Jawa beragama Islam dan oleh karenanya hari libur sekolah adalah hari besar yang terkait dengan agama Islam termasuk perayaan Grebeg Besar. Perayaan Grebeg Besar di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon berkenaan dengan Maulud Nabi Muhammad dan oleh karenanya ditetapkan secara menjadi hari libur. Sementara itu hari libur puasa dan perayaan
29
Idul Fitri ditetapkan selama 40 hari, hari raya Idul Adha tidak ditetapkan sebagai hari libur. Hal ini mungkin saja terkait dengan pandangan budaya di banyak tempat di pulau Jawa yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi orangorang yang sudah melaksanakan ibadah haji. Dengan adanya pandangan budaya yang demikian maka tentu saja idul adha bukan hari libur bagi anak sekolah yang pada umumnya belum melaksanakan ibadah haji. 13 Perhatian yang sangat besar terhadap hari besar agama Islam tersebut bukan saja bersifat realistik karena pendidikan berakar pada budaya dan agama serta lingkungan terdekat peserta didik tetapi juga merupakan upaya politis Pemerintah Pendudukan Jepang untuk menarik simpati masyarakat.
Masyarakat yang
mendapatkan keleluasaan merayakan hari-hari besar tersebut akan merasa senang. Penetapan tahun baru Cina sebagai hari libur tidak terlepas dari upaya untuk menarik simpati masyarakat Cina di Indonesia. Kebijakan tersebut sukar diukur keberhasilannya mengingat masa pendudukan Jepang yang singkat tetapi libur bulan Ramadhan dan idul Fitri selama 40 hari berlangsung sampai masa pemerintahan Orde Baru, dan baru disesuaikan pada tahun 80-an. Buku merupakan sumber materi pelajaran yang penting dan ditetapkan oleh Kepala Bagian Buku-buku pada Kantor Pengajaran (Bunkyô Kyoku). Untuk Kantor Pengajaran Jakarta, Kepala bagian Buku-buku, Sadarjoen pada tanggal 11 Desember 2603 (1944) mengeluarkan daftar buku pelajaran sebagai berikut:
Tabel 3.3. Buku Pelajaran untuk kurikulum Shoto Chu Gakko di Jakarta Mata pelajaran Bahasa Indonesia Ilmu Tumbuh-tumbuhan Ilmu Alam Ilmu Aljabar
Ilmu Ukur
Buku Yang Digunakan Matahari Terbit Ilmu Tumbuh-tumbuhan I Ilmu Alam I Ilmu Aljabar I, kelas 1 Ilmu Aljabar 2, kelas 2 Ilmu Aljabar 3, kelas 3 Ilmu Ukur 1, kelas 1 dan 2 Ilmu Ukur 2, kelas 2 dan 3
Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô 13
Pandangan masyarakat yang beranggapan bahwa Idul Adha adalah hari raya bagi mereka yang sudah haji masih terdapat di banyak kelompok tertentu di pulau Jawa.
30
Sayangnya daftar buku di atas tidak disertai dengan nama pengarangnya. Suatu yang jelas, buku Matahari Terbit digunakan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia sampai pada masa awal pemerintahan Orde Baru walau pun penulis buku sudah berbeda dari buku dengan judul yang sama pada tahun 50-an. Kebijakan
tentang buku pelajaran memberikan keuntungan bagi pemerintah
Pendudukan Militer Jepang untuk mengontrol kualitas bahan pelajaran dan isi dari materi pelajaran. Pemerintah Pendudukan Militer Jepang harus mengawasi apa yang terjadi di sekolah dan jangan sampai materi pelajaran menjadi “boomerang” bagi kekuasaan mereka di Indonesia pada waktu itu. Isi buku pelajaran tidak boleh memuat bahan yang mengecam atau menimbulkan permusuhan kepada Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Hal ini wajar dan berlaku di banyak negara sampai hari ini tetapi keadaannya tentu lebih sensitif untuk pemerintah pendudukan dan penjajahan dibandingkan untuk pemerintah nasional.
31
KURIKULUM SMP PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN A. PERKEMBANGAN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN Perhatian pemerintah Indonesia terhadap pendidikan diberikan terus menerus sejak awal kemerdekaan. Kedudukan pendidikan yang dianggap teramat penting oleh para pendiri bangsa, mereka adalah sekelompok kecil anak bangsa yang beruntung dapat mengenyam pendidikan di masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, menyebabkan mereka berpandangan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang tak boleh ditelantarkan dan harus menjadi hak setiap warganegara. Oleh karena itu selang beberapa bulan setelah kemerdekaan diproklamasikan walau pun bangsa yang muda ini masih menghadapi tantangan agresi militer Belanda, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) mengusulkan adanya pembaharuan pendidikan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73). Berbagai pikiran dikemukakan BP-KNIP kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) agar ada perubahan pikiran dan visi yang mendasar dari pendidikan pada zaman Belanda ke pendidikan untuk bangsa Indonesia yang baru merdeka. Diantara pikiran yang dikemukakan dalam pandangan BP-KNIP dinyatakan bahwa pendidikan liberal yang mengagungkan kemampuan intelektual semata harus diubah menjadi pendidikan yang mengutamakan “kesusilaan dan peri kemanusiaan yang tinggi” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:73). Pengertian kesusilaan pada waktu itu sangat luas dan mencakup apa yang pada saat sekarang dikenal dengan istilah karakter. Dengan tujuan ini maka diharapkan pendidikan mengembangkan kepribadian yang berdasarkan kemanusiaan yang tinggi dan warganegara yang bertanggungjawab. Pikiran bahwa pendidikan adalah hak setiap warganegara dan nantinya dikenal dengan istilah demokratisasi pendidikan tertuang dalam usulan agar hanya ada satu macam sekolah yang
32
terbuka untuk setiap orang tanpa ada perbedaan dalam gender, latar belakang budaya, sosial dan ekonomi. Dalam usulan itu dihendaki agar pendidikan pesantren diakui sebagai bagian dari pendidikan nasional walau pun kurikulumnya berbeda dari sekolah pemerintah dan swasta (non pesantren). Posisi pesantren tersebut baru nantinya mendapat pengakuan hukum yang lebih tegas pada tahun 2003 setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan usulan BP-KNIP agar ada peraturan tentang pendidikan dan pengajaran,
Menteri PPK, Mr Soewardi membentuk Penitia Penyelidik
Pendidikan Pengajaran (Sjamsuddin, Kosoh, dan Hasan, 1993:11) yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dengan sekertaris Soegarda Poerbakawatja pada tahun 1946. Tugas panitya adalah untuk meninjau ulang “dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan/pengajaran (Djumhur dan Danasuparta, 1959:202). Berdasarkan hasil kerja panitya, ditetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran bagi guru-guru di Indonesia (Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951): 1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Perasaan cinta kepada alam 3. Perasaan cinta kepada negara 4. Perasaan cinta dan hormat kepada ibu dan bapak 5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan 6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuatannya 7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan masyarakat 8. Keyakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib
33
9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri 10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warganegara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam pikiran dan tindakan. Jelas bahwa pandangan pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Soegarda Poerbakawatja sangat berpengaruh dalam kesepuluh rumusan yang telah dihasilkan. Pemahaman keduanya yang mendalam tentang pendidikan telah diterjemahkan dengan baik dalam posisi seorang peserta didik sebagai dirinya, anggota keluarga, anggota masyarakat, warganegara, dan ummat manusia. Oleh karena itu, kesepuluh prinsip yang dirumuskan tersebut sangat menekankan pada karaktervorming yang meliputi seluruh potensi kemanusiaan seorang peserta didik. Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi yang memuat 10 tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu lebih banyak berkenaan dengan dimensi ide kurikulum dan dinyatakan dalam istilah pedoman dasar-dasar pengajaran. Pedoman dasar-dasar pengajaran yang ditetapkan Menteri PPK memuat berbagai landasan pendidikan yang masih aktual bahkan untuk masa sekarang walau pun harus diakui bahwa dalam kenyataan kurikulum pada masamasa akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pengajaran yang telah dikemukakan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan perenialisme) sebagai ide dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin meninggalkan dasar-dasar pengajaran yang tercantum dalam pedoman tahun 1946 tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena sebagaimana dirumuskan dalam pedoman pengajaran tahun 1946 pendidikan seharusnya berkenaan dengan memanusiakan manusia, membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai
34
mahluk religious, sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi, bukan sekedar hanya mengembangkan kemampuan ingatan dan pemahaman semata. Kedua kemampuan ranah kognitif tersebut penting tetapi manusia tidak bisa hidup hanya dengan kedua kemampuan kognitif itu. Meski pun situasi negara penuh dengan peperangan melawan agresi militer Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan, Ki Hajar Dewantara dan panitya yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka dengan penuh pikiran dan visi yang mendalam mengenai pendidikan bangsa. Kesepuluh ketetapan yang telah dikemukakan di atas menunjukkan kerja panitya yang sangat sungguh-sungguh dan mengena pada hakiki pendidikan. Hasil kerja itu, sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya telah disahkan dengan Keputusan Menteri PKK untuk digunakan di sekolah. Sayangnya, hasil kerja panitya yang dipimpin Ki Hajar Dewantara tidak dapat langsung dinikmati oleh bangsa Indonesia karena situasi kehidupan bangsa yang masih belum aman dari ancaman agresi militer Belanda. Dalam keadaan negara dan bangsa yang terancam, kepeduliaan pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap pendidikan tak pernah terputus. Pada tanggal 4-7 Maret 1947 diadakan Kongres Pendidikan Indonesia di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kolopaking (Djumhur dan Danasuparta, 1959: 202) untuk mengkaji berbagai masalah pendidikan nasional yang muncul di masyarakat. Kongres Pendidikan ini dapat dikatakan sebagai kongres pendidikan pertama yang diadakan pada tingkat nasional. Hasil Kongres dijadikan masukan untuk memperkaya hasil kerja tim yang dipimpin Ki Hajar Dewantara. Kongres mengeluarkan rekomendasi agar pemerintah memiliki undang-undang pendidikan sebagai landasan bagi kebijakan pendidikan dalam masa-masa mendatang. Sebagai jawaban atas perhatian rakyat terhadap pendidikan dan sebagai tindak lanjut dari hasil Kongres Nasional Pendidikan maka pada tahun 1948 Menteri PPK, Mr Ali Sostroamidjojo, membentuk
“Panitia Pembentukan Rencana
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran”. Ki Hajar Dewantara
35
kembali dimintakan jasanya untuk memimpin panitia baru ini. Berbagai pemikiran yang telah dikembangkan dalam kerja paniitia pada tahun 1946 dan berbagai masukan dari kongres dijadikan dasar untuk mengembangkan naskah undangundang pendidikan. Pada tahun 1948 itu juga panitia telah dapat menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran, hasilnya dijadikan naskah dasar untuk dibahas dalam rapat BP-KNIP. Pembahasan dalam sidang BP-KNIP dilakukan secara rutin dalam semangat kebangsaan dan kepedulian terhadap pendidikan yang tinggi. Pada tahun 1948 pembahasan naskah dasar pendidikan dan pengajaran sudah hampir selesai tetapi terhalang oleh kondisi bangsa dalam menghadapi agresi militer Belanda. Oleh karena itu tindak lanjut dari hasil rapat BP-KNIP ditunda untuk sementara dan ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta. Pada tahun 1949 diadakan Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Djumhur dan Danasuparta, 1974:203) . Ini adalah kongres pendidikan kedua yang dilakukan ketika suasana negara masih belum aman, sebagaimana halnya kongres yang pertama. Semangat dan harapan bangsa yang besar terhadap pendidikan tidak mengendur dan menyebabkan keinginan membahas dunia pendidikan dalam satu kongres nasional dilaksanakan. Serangan militer Belanda ke Yogya menyebabkan hasil kerja kongres tidak langsung dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah. Ketika keadaan sudah memungkinkan maka BP-KNIP melanjutkan pembahasan mengenai hasil kerja
Panitia Pembentukan Rencana Undang-Undang Pokok
Pendidikan dan Pengajaran di Yogyakarta ditambah dengan masukan dari hasil Kongres Pendidikan Yogya.
Sidang pertama dihadiri oleh 22 orang anggota
diketuai oleh Mr Assaat serta Menteri PP dan K yaitu S. Mangunsarkoro yang menggantikan Mr Ali Sostroamidjojo. Pada tanggal 17 Oktober 1949 rapat pertama membahas kembali naskah undang-undang pokok pendidikan dimulai oleh BP-KNIP. Pemerintah memasukan naskah yang sudah direvisi berdasarkan masukan-masukan dari anggota BP-KNIP sebelumnya dan kongres.
36
Pembahasan yang dilakukan anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 14 terhadap rancangan yang telah dihasilkan panitia yang dipimpin Ki Hajar sangat kritis. Berbagai isu yang dianggap penting untuk kemajuan pendidikan dibahas dengan berbagai argumentasi. Penekanan tujuan pendidikan pada pembentukan
manusia susila, misalnya,
dianggap sangat penting dan
demikian pula dengan kualitas sebagai warganegara yang demokratis. Perhatian terhadap tujuan pendidikan menghasilkan perdebatan yang amat menarik untuk masa itu karena para pemimpin tersebut adalah mereka yang mempunyai latar belakang pendidikan yang jauh di atas rata-rata anggota masyarakat kebanyakan. Meski pun mereka adalah golongan yang dinamakan intelekktual, mereka tidak beranggapan bahwa intelektualitas semata menjadi kualitas utama yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Dalam tujuan yang mereka namakan karaktervorming maka susila, demokratis, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat adalah kualitas yang penting untuk dimiliki setiap warganegara. Selain perdebatan mengenai tujuan untuk menghasilkan manusia yang susila, perdebatan yang sengit mengenai Rencana Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran terjadi pula mengenai tujuan pendidikan dan pengajaran menghasilkan warganegara yang demokratis, status pendidikan agama, dan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Ketidaksepahaman mengenai pengertian manusia susila, ketidaksetujuan mengenai kehadiran pendidikan agama dan penggunaan bahasa daerah diperdebatkan dan dipertanyakan oleh beberapa anggota BP KNIP. Sekelompok anggota setuju bahwa pendidikan menghasilkan manusia susila, sebagian mempertanyakan kejelasan pengertian manusia susila dan sebagian lain menentang. Dr D.S. Diapari, salah seorang anggota KNIP dari Serikat Sekerja Indonesia mendukung manusia susila menjadi tujuan pendidikan bahkan mengatakan ”bahwa untuk pembangunan negara yang terutama sekali, ialah peribudi dan akhlak pada umumnya dan bukan kepintaran” (ejaan disesuaikan dengan EYD; 14
KNIP adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum DPR yang sesungguhnya terbentuk.
37
dokumen notulen pembicaraan rapat, 1954). Mohd. Sjafei, tokoh pendidik yang terkenal dengan sekolah Kayu Tanamnya, menyetujui tujuan pendidikan yang menghasilkan manusia susila tetapi ia mengingatkan bahwa pekerjaan itu bukanlah pekerjaan mudah dan memerlukan biaya besar. Kobarsih, anggota dari Buruh tidak setuju dengan tujuan menghasilkan manusia susila karena ketidakjelasan pengertian susila yang dimaksudkan. Kobarsih beranggapan bahwa pengertian susila bersifat multi makna dan tidak seharusnya menjadi tujuan pendidikan persekolahan. Perbedaan
pendapat
tersebut
berlangsung
lama
dan
Kobarsih
tetap
mempertahankan pendapatnya sehingga tampaknya tidak akan mencapai kata sepakat. Hal inilah yang menyebabkan Ketua Sidang menanyakan kepada anggota yang hadir apakah ada yang mendukung pendapat Kobarsih yang tidak setuju pendidikan menghasilkan manusia susila. Ada beberapa orang menyatakan dukungannya dan ada beberapa yang menolak pandangan Kobarsih sehingga Ketua Sidang memberikan kesempatan kepada anggota BP-KNIP lainnya menyatakan pendapat mereka. Tanggapan kemudian diberikan oleh M.L. Latjuba, Sadjarwo,
Mr
Sartono,
Mr
dicantumkannya kata susila.
Kasman
Singodimedjo
yang
mendukung
Asarudin menolaknya, demikian pula dengan
Kobarsih tetap menolak pencantuman kata susila. Untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut, Ketua Sidang, Mr Assaat melakukan pemilihan suara pada tanggal 26 Oktober 1949. Hasil pemilihan suara adalah 6 suara setuju tujuan menghasilkan manusia susila dihapus sedangkan 15 suara setuju untuk dipertahankan. Oleh karena itu tujuan pendidikan menghasilkan manusia susila menjadi keputusan sidang. Pembahasan rencana undang-undang yang dilakukan di Yogya dimulai pada bulan Oktober tahun 1949, sebelum Konperensi Meja Bundar, dan keputusankeputusan kesepakatan BP-KNIP baru dapat diselesaikan pada bulan Desember 1949, dan ditetapkan sebagai undang-undang di Jogjakarta pada tanggal 2 April 1950. Ketika itu, berdasarkan persetujuan Konperensi Meja Bundar, Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian di dalam negara yang dinamakan
38
Republik Indonesia Serikat. Oleh karena itu, Undang-Undang ini ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Mr Assaat 15 dan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia S. Mangunsarkoro, di ibukota negara RI di Yogyakarta. Setelah disahkan dengan nama Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah maka undang-undang itu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara dan diundangkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia, A.G. Pringgodigdo, pada tanggal 5 April 1950 serta dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia (yang hanya meliputi pulau Sumatera, Jawa, dan Madura). Pada tahun itu juga, 1950 bertepatan dengan perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan negara Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan. Dengan bubarnya RIS tidak ada lagi negara bagian yang bernama Republik Indonesia atau pun negara bagian lainnya karena semuanya menjadi satu negara kembali yaitu Republik Indonesia. Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 yang dihasilkan oleh negara ‘Republik Indonesia Dahulu” dan dinyatakan berlaku untuk wilayah “republik Indonesia Dahulu” dibahas oleh DPR-RI dan disetujui untuk diberlakukan sebagai undang-undang pendidikan bagi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 27 Januari 1954.
Pada tanggal 12 Maret tahun 1954, UU pendidikan tahun 1950 itu
ditandatangi oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan Menteri PP dan K Muhammad Yamin di
ibukota negara yang sudah kembali ke Jakarta.
Diundangkan dalam Lembaran Negara nomor 38 tahun 1954 tanggal 18 Maret 1954 dan ditandatangani Menteri Kehakiman Djody Gondokoesoemo, sebagai Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya UndangUndang No. 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Dahulu Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia 15
Pada waktu Undang‐Undang ini mulai dirancang oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP‐KNIP) pada pertengahan bulan Oktober 1949, Mr Assaat adalah ketua BP‐KNIP. Rancangan Undang‐Undang itu adalah draft baru yang diusulkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada waktu itu S. Mangunsarkoro berdasarkan ingatan pada draft yang telah dibuat dan dibahas setahun sebelumnya tetapi hilang ketika terjadi aksi meliter Belanda
39
Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan kebudayaan menetapkan tentang tujuan lembaga pendidikan. Ketetapan dalam pasal 7 dalam UU nomor 4 1950 junto UU nomor 12 tahun 1954 menyebutkan : 1. Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah 2. Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rokhani dan jasmani kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannya, kecakapannya, dan ketangkasannya, baik lahir maupun bathin 3. Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi. 4. Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada pelajar untuk mendjadi orang yang dapat memberi pimpinan didalam masyarakat dan yang memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan. 5. Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan baik jasmani maupun rokhaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin yang layak.
Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa pengantar terkecuali di TK dan kelas 1, 2, dan 3 Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). TK dan ketiga kelas awal SD boleh menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar. Pasal 9 secara tegas mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada pasal ini ”pendidikan jasmani yang menuju kepada keselarasan antara tumbuhnya badan dan perkembangan jiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala jenis sekolah”. Selain pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran dalam kurikulum di setiap sekolah mata pelajaran lain yang dinyatakan secara tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya
40
akan mengikuti pelajaran tersebut”. Pendidikan campuran (co-education) diterima sebagai suatu keharusan untuk sekolah negeri terkecuali sekolah khusus yang menghendaki hanya peserta didik laki-laki atau perempuan saja maka pendidikan campuran tidak dilakukan (separated education). Undang-undang tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran menetapkan pula mengenai wajib belajar. Dalam Bab VII Pasal 10 ayat (1) ditetapkan “semua anakanak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya”. Pengertian wajib belajar dalam pasal ini lebih dekat dengan pengertian “compulsory education” dan bukan kepada pengertian pendidikan minimal (basic education) yang ddigunakan dalam Wajib Belajar 9 Tahun. Meski pun demikian adanya ketetapan ini memperlihatkan semangat demokratisasi pendidikan yaitu pendidikan bagi semua warganegara dan bukan bagi sekelompok orang yang dianggap memiliki keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan. Dasar pemikiran demokratisasi pendidikan masih tetap diberlakukan dalam kebijakan pendidikan pemerintah sampai saat kini.
Foto 3: SMP Negeri 1 Jakarta berdiri pada tahun 1947, sedangkan bangunan yang digunakan merupakan bangunan bekas EERSTE SCHOOL D yang dibangun pada tahun 1907. EERSTE SCHOOL D merupakan sekolah milik pemerintah Hindia-Belanda untuk orang pribumi pertama yang ada di Batavia.Tahun 1947, Pemerintah Republik Indonesia
41
mengambil alih gedung tersebut untuk digunakan sebagai Sekolah yang bernama SMP Negeri 1 Djakarta (ejaan pada saat itu). Sumber: available at http://blog-smpn1.blogspot.com/
B. MATA PELAJARAN DALAM RENCANA PELAJARAN SMP 1947 - 1950 Daftar Pelajaran adalah istilah yang digunakan untuk kurikulum, menggantikan istilah Rencana Pelajaran sejalan dengan berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1950. Mata pelajaran yang terdapat dalam Daftar Pelajaran tersebut tidak jauh berbeda dari SMP pada masa Jepang terkecuali bahasa Jepang tidak lagi diajarkan. Menulis indah yang semulanya diarahkan untuk menulis indah huruf kanji digantikan dengan menulis indah huruf latin. Bahasa Inggeris kembali diajarkan. Sejarah diajarkan dengan menghilangkan peristiwa yang terkait dengan sejarah bangsa Jepang dan digantikan dengan peristiwa pendudukan Jepang di Indonesia. Sebaliknya materi sejarah yang terkait dengan peristiwa sejarah Indonesia dan sudah diajarkan pada Rencana Pelajaran SMP di masa Jepang, diperbesar dengan berbagai peristiwa sejarah Indonesia yang dinyatakan sebagai peristiwa dalam sejarah nasional. Selain ada mata pelajaran sejarah (Indonesia) di SMP dikenal ada mata pelajaran sejarah dunia yang befokus pada sejarah Eropa dan Asia. Apa yang terjadi dengan mata pelajaran sejarah terjadi pula dengan mata pelajaran geografi dimana bagian-bagian dari geografi Jepang dihilangkan sedangkan materi pelajaran wilayah geografis Indonesia ditambah dari yang sudah ada pada masa Jepang. Mata pelajaran moral diganti dengan mata pelajaran budi pekerti sedangkan mata pelajaran seperti pekerjaan tangan, olahraga dan kesenian tetap dipertahankan. Bahasa Melayu yang terkadang pada dokumen lain disebutkan dengan bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu tidak lagi diajarkan karena Indonesia sudah secara resmi menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi.
42
Hakekat kurikulum tetap berorientasi pada aplikasi dan pemanfaatan apa yang sudah dipelajari untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Pandangan filosofi rekonstruksi sosial dan humanisme untuk kurikulum tetap digunakan sampai pada kurikulum tahun 1954 dan kemudian digantikan oleh filosofi kurikulum yang lebih berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan berpikir rasional (esensialisme dan perenialisme). Sejak kurikulum 1954 terlebihlebih sejak kurikulum 1975, filosofi esensialisme dan perenialisme mendominasi raancangan kurikulum di Indonesia. Untuk SMP, sejak Kurikulum 1975 filosofi perenialisme lebih banyak digunakan dibandingkan filosofi esensialisme. Selain Daftar Pelajaran (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:99), kurikulum SMP pada masa ini mengenal pembagian jurusan di kelas III yaitu bagian A (sosial-ekonomi) dan bagian B (Ilmu Pasti). Pembagian jurusan di kelas III SMP tersebut berjalan terus sampai tahun 1962 ketika ada pandangan atau ide baru mengenai tujuan pendidikan SMP.
Tabel 4.1: STRUKTUR DAN MATA PELAJARAN RENCANA PELAJARAN SMP 1947-1950 Kelompok
I Bahasa
II Ilmu Pasti
III
Mata Pelajaran I
II
IIIA
IIIB
Bahasa Indonesia
5
5
6
5
Bahasa Inggeris
4
4
4
4
Bahasa Daerah
2
2
2
1
Sub Jumlah
11
11
12
10
Berhitung dan Aljabar
4
3
2
4
Ilmu Ukur
4
3
-
4
Sub Jumlah
8
6
2
8
Ilmu Alam/Kimia
2
3
2
2
2
2
2
2
4
5
4
4
2
2
3
3
Pengetahuan Ilmu Hayat Alam Sub Jumlah IV
Kelas dan JamPelajaran
Ilmu Bumi
43
Kelompok
Mata Pelajaran
Kelas dan JamPelajaran I
II
IIIA
IIIB
2
2
2
2
4
4
5
5
Hitung Dagang
-
1
2
-
Pengetahuan Dagang
-
-
2
-
Sub Jumlah
-
1
4
-
Seni Suara
1
1
1
1
Menggambar
2
2
2
2
Pek. Tangan/Ker. Wanita
2
2
2
2
Sub Jumlah
5
5
5
5
VII
Pendidikan Jasmani
3
3
3
3
VIII
Budi Pekerti (bukan
2
2
2
2
37
37
37
37
Pengetahuan Sejarah Sosial Sub Jumlah V Pelajaran Ekonomi VI Pelajaran Ekspresi
IX
mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah)
Agama Jumlah
Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996:100) Daftar Pelajaran di atas menampilkan karakteristik kurikulum yang berbeda dari kurikulum MULO atau pun Shoto Chu Gakko. Pendidikan SMP pada masa kemerdekaan mengenal adanya penjurusan pada kelas terakhir yaitu jurusan A (sosial-ekoonomi) dan B (ilmu Pasti). Pembagian ini memposisikan kurikulum SMP sebagai dasar untuk melanjutkan pelajaran ke SMA, dan SMA pada masa itu sudah sejak awal dibedakan dalam jurusan sehingga dikenal adanya SMA-A, SMA-B, dan SMA-C. Mereka yang lulus dari jurusan A di kelas III SMP boleh melanjutkan pelajaran ke SMA A (Bahasa) atau ke SMA C (ekonomi) sedangkan mereka yang lulus dari jurusan B (Ilmu Pasti) boleh masuk ke SMA B (Ilmu Pasti) dan pada masa kemudian boleh pula melanjutkan ke SMA C. Pada masa tersebut nama jurusan yang sebenarnya merupakan jalur program studi menjadi nama unik sekolah
44
karena satu SMA dibedakan dari SMA lainnya berdasarkan jurusan yang dibinanya (SMA-A, SMA-B, SMA-C). Penjurusan pun sudah dilakukan pada waktu peserta didik mendaftar untuk masuk ke SMA. Tentu saja pemisahan SMA yang demikian sudah tidak dikenal pada masa sekarang karena juruan-jurusan yang ada (IPA, IPS, Bahasa) adalah program dalam satu SMA dan penjurusan baru dilakukan di tahun kedua ketika peserta didik naik kelas XI. Konsep kurikulum yang menarik dari Daftar Pelajaran SMP pada masa ini adalah pelajaran Budi Pekerti yang tidak diajarkan sebagai suatu mata pelajaran terpisah tapi diintegrasikan ke dalam semua kegiatan mata pelajaran lain dan kegiatan sekolah. Konsep ini menggambarkan pemahaman materi kurikulum yang mendalam dan penerapannya dalam suatu desain kurikulum yang sesuai dengan karakteristik materi kurikulum. Konten/materi kurikulum terdiri atas pengetahuan, ketrampilan (intelektual, motorik, sosial) dan nilai/moral/sikap. Materi pelajaran Budi
Pekerti
bukan
hanya
sekedar
pengetahuan
tetapi
sarat
dengan
nilai/moral/sikap yang harus dikembangkan dalam cara berpikir, bertindak, berkomunikasi, dan melakukan kegiatan sehari-hari seorang peserta didik. Materi pelajaran yang demikian, sebagaimana halnya dengan materi ketrampilan, harus dikembangkan secara konsisten dan berkelanjutan selama seorang peserta didik belajar di sebuah satuan pendidikan atau jenjang pendidikan. Tidak seperti pengetahuan yang dapat dipelajari dan dikuasai dalam setiap pertemuan kelas, materi pelajaran dalam ranah nilai/moral/sikap memerlukan penguatan yang terus menerus baik secara sekuensial dari suatu mata pelajaran mau pun penguatan horizontal dari berbagai mata pelajaran. Penguatan-penguatan itu dilakukan baik dalam proses interaksi di kelas tetapi juga dalam proses interaksi sesama teman, dengan guru dan pegawai sekolah di lingkungan sekolah (luar kelas). Konsep pendidikan nilai yang demikian telah diterapkan dalam mata pelajaran Budi Pekerti pada kurikulum SMP di awal masa kemerdekaan. Pemahaman mengenai prinsip pendidikan nilai/moral/sikap dan karakteristik materi nilai/moral/sikap tersebut dirancang dan diterapkan dengan baik untuk
45
berbagai mata pelajaran dalam Daftar Pelajaran SMP tahun 1950. Sayangnya, materi pelajaran agama yang juga sarat dengan nilai/moral/sikap dikembangkan dengan tidak menggunakan prinsip untuk materi nilai/moral/sikap tersebut sehingga pendidikan agama cenderung menjadi mata pelajaran tentang pengetahuan agama. Materi mata pelajaran agama yang didominasi oleh materi pengetahuan menjadikan pelajaran agama lebih mengutamakan hafalan dan kurang pada pengembangan perilaku beragama. Semestinya, prinsip yang sama sebagaimana digunakan untuk pendidikan Budi Pekerti dapat juga diterapkan pada pendidikan agama sehingga materi pelajaran mengenai pengetahuan tentang berbagai ajaran, kaedah dan ketrampilan dalam menjalan ibadah dikembangkan melalui mata pelajaran agama sedangkan aspek perilaku beragama dikembangkan melalui mata pelajaran agama dan mata pelajaran lainnya. Kondisi pendidikan agama yang terjadi pada masa awal kemerdekaan masih berlanjut sampai masa kini. Kondisi yang ada pada masa itu adalah pendidikan agama bukan wajib bagi seluruh peserta didik (Bab XII Pasal 20 undang-undang pendidikan nomor 12 tahun 1954) dan materi pendidikan agama dikembangkan oleh Kementerian Agama, terpisah dari pengembangan materi mata pelajaran lain. Kedua hal ini kiranya menjadi penyebab perilaku beragama tidak menjadi materi mata pelajaran lain di luar mata pelajaran agama. Pada saat sekarang kebijakan tentang pendidikan agama sudah berubah dan pendidikan agama menjadi pendidikan wajib bagi seluuruh peserta didik. Kiranya, perencanaan kurikulum SMP masa kini sudah dapat menerapkan prinsip pengembangan konten kurikulum yang membedakan organisasi konten pengetahuan, nilai dan ketrampilan.
46
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN KABINET PARLEMENTER
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN Di akhir tahun 1949 terjadi persetujuan antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia dalam pertemuan yang dinamakan Konperensi Meja Bundar (KMB). Pemerintah Belanda mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia dan tidak lagi melakukan agresi militer tetapi Indonesia menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Republik Indonesia Serikat terdiri atas Republik Indonesia dan berbagai kerajaan yang ada di Nusantara dan yang dibentuk Belanda. Negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama dan dalam bulan Agustus 1950, negara Republik Indonesia Serikat dibubarkan, negara Republik Indonesia kembali menjadi negara kesatuan tetapi dasar hukum negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945 diganti dengan UndangUndang Dasar 1950. Berdasarkan UUD 1950, sistem pemerintahan berubah dari pemerintahan
presidensiil
ke
pemerintahan
parlementer.
Dalam
sistem
parlementer, Presiden adalah kepala negara dengan wewenang pemerintahan yang sangat terbatas. Pemimpin pemerintahan adalah perdana menteri. Pada masa pemerintahan parlementer ini, bangsa Indonesia berhasil melaksanakan pemilihan umum pertama yang dianggap sebagai pemilihan umum yang paling demokratis dan bersih. Pada masa ini juga bangsa Indonesia berhasil menyelenggarakan konperensi yang bertarap Internasional yaitu Konperensi Asia Afrika yang sangat besar pengaruhnya terhadap gerakan kemerdekaan di banyak negara di benua Asia dan Afrika. Pada masa antara 1954 – 1959 adalah masa di mana bangsa Indonesia mulai menerapkan Undang-undang nomor 20 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah yang merupakan pemberlakuan kembali Undang-undang nomor 4 tahun 1950. Nomor baru yaitu Nomor 12 tahun 1954 diberikan untuk menyatakan berlakunya Undang-undang nomor 4 tahun 1950 di wilayah seluruh Indonesia setelah melalui proses persetujuan di DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada tanggal 12 Maret 1954. Oleh karena
47
itu masa antara 1954 – 1959 adalah masa yang penting bagi kehidupan pendidikan di Indonesia dan bagi perkembangan kurikulum. Kurikulum yang sudah digunakan pada tahun 1947 untuk SMP (Departemen Pendidikan Nasional, 2009) diganti dengan kurikulum baru yang dilaksanakan sejak 1954/1955 tetapi diundangkan secara resmi pada tahun 1954 yaitu setelah dilaksanakan selama 3 tahun.
Walau pun dilaksanakan mulai tahun ajaran
1954/1955 karena
diundangkan pada tahun 1954 kurikulum ini dikenal dengan nama Rencana Pelajaran 1954. Pada masa antara 1954 – 1959 Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) baru memiliki bagian-bagian yang berkenaan dengan pelayanan tetapi belum memiliki bagian yang berkenaan dengan penelitian dan pengembangan. Oleh karena itu tidak ada lembaga/kantor khusus yang bertugas untuk penelitian dan pengembangan kurikulum (istilah yang digunakan masih Rencana Pelajaran). Rencana Pelajaran SMP 1954 diterbitkan dan diundangkan oleh Jawatan Pendidikan Umum, Kementerian PP dan K. Kurikulum SMP 1954 yang dihasilkan pada masa ini yaitu Rencana Pelajaran SMP 1954 dikembangkan dan dihasilkan oleh para inspektur SMP, sebagai hasil kerja mereka dalam sebuah konperensi yang dilaksanakan di Bandung pada tahun 1953. Ketiadaan lembaga khusus yang memiliki tugas resmi mengembangkan kurikulum, seperti Pusat Kurikulum (PUSKUR) pada masa kini, tidak harus berarti mereka memiliki keterbatasan dalam wawasan teoritik pengembangan kurikulum. Pada masa itu para inspektur dianggap orang yang paling berpengalaman dalam dunia pendidikan (SMP) dan oleh karenanya dianggap kelompok yang paling mampu untuk mengembangkan rencana pelajaran baru sesuai dengan undang-undang pendidikan yang baru. Pengalaman mereka yang panjang dalam dunia pendidikan menjadi dasar kuat dalam wawasan dan kemampuan pengembangan kurikulum. Kebebasan berpikir yang dipayungi oleh kehidupan politik parlementer masa itu menyebabkan para inspektur memiliki kebebasan dalam memikirkan dan merencanakan rencana pelajaran yang baru. Kelompok pengembang tersebut bebas dari pengarahan dari para atasan termasuk dari menteri PP dan K.
48
Kurikulum yang dikembangkan dalam Rencana Pelajaran 1954 dapat dikatakan memang masih terbatas baik dalam dimensi ide mau pun dalam pengembangan rincian komponen serta format/model yang digunakan. Meski pun demikian, dasar-dasar dan komponen penting yang harus dimiliki sebuah dokumen kurikulum sebagai rencana telah tertuang dalam rumusan yang singkat dan padat. Ide tentang pembelajaran setiap mata pelajaran dirumuskan dalam maksud dan tujuan, petunjuk didaktik (cara mengajar) serta pokok bahasan yang terpisah. Tampaknya,
kesederhanaan
dalam
pemikiran
dan
format/model
adalah
kecenderungan masa itu. Lagipula dapat dikatakan bahwa kesederhanaan mencerminkan nilai yang tinggi dalam sistem nilai budaya bangsa Indonesia pada waktu itu. Oleh karenanya, kesederhanaan dalam format dianggap sebagai standar yang baik pula. Hal lain yang jelas ialah apa yang telah dirumuskan dalam rencana pelajaran sangat mewakili kualitas pemahaman para pengembang Rencana Pelajaran tentang suatu ide serta tradisi pendidikan yang berlaku saat itu. Pokok-pokok bahasan setiap mata pelajaran diirinci dalam bentuk suatu tabel yang berisikan kolom mengenai informasi tentang jumlah jam pelajaran dalam satu minggu untuk suatu pokok bahasan, pokok bahasan yang dinamakan pokok/bagian, pelajaran yang merupakan rincian materi pokok bahasan (pokok/bagian), dan keterangan. Buku yang harus digunakan guru sebagai pegangan dalam pembelajaran dan buku yang harus dibaca peserta didik untuk setiap kelas ditetapkan di bagian bawah tabel.
Rancangan tersebut memiliki
keterbacaan yang tinggi, didukung oleh penggunaan istilah yang umum dan dikenal dengan baik oleh guru. Keuntungan lain dari rencana pelajaran yang dikembangkan oleh para inspektur adalah kemudahan dalam sosialisasi dan implementasi. Keterpautan emosional para inspektur terhadap kelompok yang telah menghasilkan kurikulum tersebut, menyebabkan mereka memiliki dedikasi yang tinggi untuk menjaga keberhasilan pelaksanaan rencana pelajaran yang telah dihasilkan kelompok inspektur menjadi suatu kenyataan di kelas. Apalagi inspektur adalah mereka yang memiliki wewenang formal dan “kekuasaan” untuk memonitor dan membantu kesulitan guru dalam pelaksanaan implementasi rencana pelajaran.
49
B. FILOSOFI KURIKULUM SMP 1954 Pada
masa
pemerintahan
Kabinet
Parlementer,
Pemerintah
Indonesia
menghasilkan kurikulum yang dikenal dengan nama Rencana Pelajaran SMP 1954. Dari tujuan yang dirumuskan untuk setiap mata pelajaran dapat dikatakan adanya indikasi yang kuat bahwa filosofi kurikulum yang dianut adalah gabungan antara filosofi experimentalisme-rekonstruksi sosial (Tanner dan Tanner, 1980). Setiap tujuan yang dirumuskan menekankan pada kegunaan praktis dari materi mata pelajaran bagi peserta didik agar dapat digunakan ketika mereka masuk menjadi anggota masyarakat yang aktif.
Walau pun berorientasi pada
pemanfaatan praktis yaitu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, suatu kenyataan yang harus diingat bahwa orientasi praktis tersebut tidak mengabaikan pengembangan aspek intelektualitas peserta didik. Posisi filosofi gabungan antara experimentalisme-rekonstruksi dan essensialisme adalah sesuatu yang wajar dan mudah dipahami jika diingat bahwa kurikulum SMP 1954 dihasilkan berdasarkan undang-undang pertama pendidikan Indonesia yang sangat kuat dalam pandangan bahwa pendidikan adalah alat untuk mensejahterakan
masyarakat.
Pendidikan
yang
hanya
berfokus
pada
pengembangan intelektual atau pun kemampuan berpikir rasional semata ditolak oleh para penentu undang-undang tersebut yaitu anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ketika merumuskan UU nomor 4 tahun 1950, yang nota bene adalah generasi pertama pendiri bangsa ini, dan oleh anggota DPR-RI ketika UU nomor 4 tahun 1950 ditelaah kembali dan kemudian diundangkan sebagai UU nomor 12 tahun 1954. Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954, pelajaran bahasa Indonesia ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan menimbulkan keinsyafan peserta didik sebagai bangsa warga bangsa Indonesia, bahasa Inggeris ditujukan untuk mampu menggunakan bahasa tersebut dalam hubungan dengan dunia luar baik secara aktif mau pun pasif, ilmu pasti untuk membentuk jiwa yang kritis serta memupuk kebiasaan bersih, teliti, tabah, dan tanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menyelesaikan pekerjaan. Pelajaran pengetahuan alam
50
ditujukan untuk mengenal dan memperhatikan alam di sekitar peserta didik dan menambah pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam serta menggunakan pengetahuan tersebut dalam praktek kehidupan keseharian. Untuk kelompok Pengetahuan Sosial ( mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah) tujuannya adalah agar dapat membangun keinsyafan pada peserta didik sebagai warganegara yang demokratis, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit. Sedangkan tujuan pelajaran ekonomi adalah mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan pelajaran dan untuk hidup di masyarakat dengan pengetahuan yang berguna dalam pembangunan ekonomi nasional.
C. TUJUAN MATA PELAJARAN Istilah tujuan yang digunakan dalam Rencana Pelajaran 1954 adalah Maksud dan Tujuan. Maksud menggambarkan apa yang diinginkan sedangkan tujuan menyatakan apa yang akan dicapai/dimiliki. Kedua kata tersebut menjadi satu istilah teknis yang digunakan kurikulum 1954 dan sebelumnya
untuk
menggambarkan apa yang dimaksudkan dengan istilah tujuan yang dipakai kurikulum pada masa kini. Rencana Pelajaran SMP 1954 tidak mencantumkan tujuan yang akan dicapai oleh kurikulum. Kurikulum 1954 atau lebih tepatnya dinamakan Rencana Pelajaran SMP yang diimplementasikan pada 1954/1955 untuk kelas I SMP (tahun 1955/1956 untuk kelas II dan tahun 1956/1957 untuk kelas III. Dokumen Rencana Pelajaran SMP 1954 diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP dan K pada tahun 1958. Rencana Pelajaran atau kurikulum 1954 tersebut disusun berdasarkan Konperensi Inspektur-inspektur SMP tahun 1953 di Bandung. Ide kurikulum belum tampak sebagai kesatuan tetapi sudah ada dalam bentuk pikiran tentang setiap mata pelajaran, sebelum rincian materi ajar (pokok bahasan) suatu mata pelajaran untuk setiap kelas. Dokumen kurikulum terdiri dari hanya satu buku yang berisikan struktur mata pelajaran dan dinamakan ikhtisar daftar jam pelajaran diikuti dengan ide/pikiran kurikulum untuk setiap mata pelajaran, dan kemudian rincian bahan ajar untuk setiap kelas.
51
Ide kurikulum (mata pelajaran) berisikan pokok-pokok pikiran tentang tujuan (diistilahkan dengan maksud dan tujuan), dan petunjuk didaktik (istilah yang diwarisi dari bahasa Belanda). Petunjuk didaktik terdiri atas strategi dan proses pencapaian tujuan (bagaimanakah mencapai tujuan), dan pokok-pokok materi pelajaran.Dalam strategi dan proses pencapaian tujuan dikemukakan peran guru, aspek-aspek kemampuan belajar peserta didik yang harus diperhatikan guru, dan kegiatan yang harus dilakukan peserta didik (istilah yang digunakan pada waktu itu adalah murid). Dalam kurikulum 1954 mata pelajaran dibagi dalam 6 kelompok dan 3 mata pelajaran berdiri sendiri (tidak masuk kelompok). Kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok bahasa, ilmu pasti, pengetahuan alam, pengetahuan sosial, pelajaran ekonomi, pelajaran ekspresi. Sedangkan mata pelajaran yang tidak membentuk kelompok dan berdiri sendiri adalah mata pelajaran pendidikan jasmani, budi pekerti, agama. Mata pelajaran agama bukan mata pelajaran wajib karena Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa pelajaran agama diberikan di sekolah negeri tetapi orang tua memiliki hak menentukan apakah anaknya ikut pelajaran agama atau tidak. Dalam struktur kurikulum ditentukan pula jumlah jam pelajaran untuk tahun pertama, tahun kedua, dan tahun ketiga. Kurikulum SMP tahun 1954 memiliki jalur atau jurusan. Peserta didik harus mengikuti pelajaran yang sama selama 2 tahun dan pada kenaikan ke kelas 3 ditentukan apakah seseorang naik ke kelas III A (bahasa, ekonomi, sosial) atau ke kelas III B (Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam). Nilai rapor peserta didik dalam mata pelajaran terkait menentukan apakah seseorang naik ke kelas A atau B. Mereka yang memiliki nilai rapor yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran kelompok bahasa, ekonomi dan sosial akan naik ke kelas III A sedangkan mereka yang memiliki nilai yang memenuhi syarat untuk mata pelajaran kelompok Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam naik ke kelas III B.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam dokumen Rencana Pelajaran SMP 1954 tidak merumuskan tujuan kurikuler atau pun tujuan instruksional
52
umum. Model (kurikulum) yang berlaku pada masa itu belum mengenal “nomenclature” tujuan rencana pelajaran (tujuan kurikulum) . Pada masa itu pengertian kurikulum sebagai daftar mata pelajaran masih sangat kuat dan oleh karenanya istilah yang dikenal adalah tujuan mata pelajaran. Mata pelajaran lah yang memiki materi pelajaran dan dengan demikian maka mata pelajaran pulalah yang memiliki tujuan. Rencana pelajaran adalah rencana dari setiap mata pelajaran dan bukan merupakan satu kesatuan rencana yang ditopang oleh berbagai materi yang dikemas dalam mata pelajaran, sebagaimana yang dikenal dalam pengembangan kurikulum (modern). Disamping tujuan mata pelajaran, Rencana Pelajaran SMP 1954 juga memiliki tujuan kelompok mata pelajaran. Beberapa mata pelajaran dijadikan satu dalam kelompok seperti kelompok Ilmu Pasti, Pengetahuan Alam, dan Pengetahuan Sosial. Hakekat pengelompokkan ini adalah adanya kesamaan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Bahasa Indonesia, bahasa Inggeris, dan bahasa daerah masing-masing mata pelajaran memiliki tujuan dan tidak ada rumusan tujuan untuk kelompok bahasa. Tampaknya hal tersebut disebabkan karena posisi dan karakter materi pelajaran bahasa Indonesia berbeda dari bahasa Inggeris sebagai bahasa asing, dan bahasa daerah yang berlaku hanya untuk daerah tertentu. Sedangkan mata pelajaran berhitung, aljabar, dan ilmu ukur dalam kelompok ilmu pasti karena memiliki persamaan posisi teoritik keilmuan dan karakter materi pelajaran sehingga ada tujuan kelompok mata pelajaran sedangkan tujuan mata pelajaran disebut dengan istilah tujuan khusus. Dalam kelompok Pengetahuan Alam ada mata pelajaran ilmu alam, ilmu kimia, ilmu hayat, dan hanya ada tujuan kelompok pengetahuan alam sedangkan tujuan khusus untuk setiap mata pelajaran tidak ada. Untuk kelompok Pengetahuan Sosial yang terdiri dari mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah ada tujuan kelompok dan tujuan masing-masing mata pelajaran. Jadi terdapat ketidakajegan (inkonsistensi) dalam konseptualisasi rencana pelajaran.
Ketidakajegan dalam merumuskan tujuan tampaknya disebabkan karena masingmasing kelompok dikembangkan oleh kelompok inspektur yang khusus dan
53
masing-masing kelompok inspektur memiliki kebebasan dalam mengembangkan rencana pelajaran untuk kelompoknya. Meski pun demikian, sesuatu yang disepakati ialah adanya komponen tujuan yang dinamakan maksud dan tujuan. Keseragaman hanya terjadi bahwa mereka (tim inspektur) merumuskan rencana pelajaran dalam aspek kelas, jam per minggu, pokok/bagian mata pelajaran, materi pelajaran yang diistilahkan dengan pelajaran dan keterangan dalam suatu bangunan tabel atau matriks. Dari dokumen yang diterbitkan oleh Jawatan Pendidikan Umum Kementerian PP dan K, maksud dan tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan sebagai berikut:
Tabel 5.1: Kelompok, Maksud dan Tujuan Rencana Pelajaran SMP 1954 Kelompok Mata Pelajaran dan Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Inggeris
Maksud dan Tujuan
A.membentuk penguasaan bahasa yang sedemikian hingga murid2 dengan teliti dan lancar dapat mengeluarkan pikiran dan perasaan mereka serta dengan teliti dan lancar pula dapat memahami orang lain B. harus menimbulkan di hati murid2 keinsyafan sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan dan bahasa resmi yaitu Bahasa Indonesia, yang harus dipelihara sebaik-baiknya dan dihargai setinggi-tingginya A.Tujuan umum mempelajari bahasa Inggeris ialah memperoleh suatu alat hubungan dengan dunia luar (dalam lapangan politik, kebudayaan, pengetahuan, ekonomi, dan sebagainya). Oleh karena bagian besar di dunia mempergunakan bahasa Inggeris, maka pentinglah bagi kita untuk menguasai bahasa ini sebaik-baiknya. B.Tujuan khusus pelajaran bahasa Inggeris pada sekolah menengah pertama ialah supaya murid dapat mempergunakan bahasa Inggeris yang sederhana baik pasif mau pun aktif.
Bahasa Daerah Kelompok Pasti
Ilmu 1. Mengajar berpikir secara logis, agar terbentuklah jiwa yang kritis 2. Memupuk kebiasaan untuk menyelesaikan tiap pekerjaan dengan kebersihan, ketelitian, ketabahan hati serta penuh
54
Kelompok Mata Pelajaran dan Mata Pelajaran
1.Berhitung
2.Aljabar
3. Ilmu Ukur
Maksud dan Tujuan
rasa tanggung jawab 3. Mengajar mempergunakan segala kecakapan dan kebiasaan itu dalam kehidupan sehari-hari ----------------------------------------------------------------------a.Memelihara dan mempertinggi ketangkasan dan ketelitian terutama mengenai berhitung angka b. Membantu pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur -----------------------------------------------------------------------a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Aljabar dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Ukur, Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang aljabar agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA ------------------------------------------------------------------------a.Memberi pengetahuan dasar tentang Ilmu Ukur dan penggunaannya berhubung dengan Ilmu Bumi, Ilmu Hayat, Menggambar, dan lain-lain b.Meletakkan dasar-dasar pengertian dan pokok pengetahuan tentang Ilmu Ukur, agar murid2 dapat mengikuti pelajaran sebaik-baiknya di SLA c.Belajar menyusun suatu uraian yang logis, singkat dan tepat
Kelompok 1.umumnya bertujuan mengenal dan memperhatikan alam di Pengetahuan Alam sekitar kita dan menambah pengetahuan dan pengertian tentang gejala-gejala dalam alam, berdasarkan sifat-sifatnya dan hukum-hukunya yang tertentu 2.memberikan pengertian tentang alat-alat dan sebagainya yang dipergunakan dalam praktek hidup sehari-hari yang kerjanya berdasarkan hukum-hukum alam tersebut. 3.pada umumnya untuk menarik perhatian murid-murid akan alam di sekitar kita dan memberi dasar untuk pelajaran pada SLA Kelompok 1.Memberi pengetahuan dan pengertian dasar tentang cara Pengetahuan hidup manusia berhubung dngan keadaan alam Sosial sekelilingnya, perkembangan dan susunan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia khususya, dan negara-negara lain umumnya 2.Memberi pengetahuan dasar tentang kebudayaan bangsa
55
Kelompok Mata Pelajaran dan Mata Pelajaran
Ilmu Bumi
Sejarah
Kelompok Pelajaran Ekonomi
Maksud dan Tujuan
Indonesia dan bangsa lain 3.Membangun akan keinsyafan kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala kebangsaan yang sempit 4.Memberi pengertian tentang perhubungan antara bangsa dengan bangsa yang lain yang menjadi syarat mutlak untuk menuju ke arah pelaksanaan kemakmuran dan kesejahteraan bersama ------------------------------------------------------------------------1.Memberi pengetahuan dan pengertian tentang keadaan geografis indonesia dan negara-negara lain di dunia ini yang menentukan keadaan dan perkembangan cara hidup manusia dalam segala lapangan 2.Memperbesar kecakapan murid-murid untuk mempergunakan alat-alat Ilmu Bumi (peta, globe, angkaangka, statistik, gambar2, grafik-grafik) agar dapat memberi manfaat kepadanya dalam kehidupannya sehari-hari ------------------------------------------------------------------------1.Memberi pengertian elementer tentang pertumbuhan dan perkembangan di dalam kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa sendiri pada khususnya; atau dengan kata-kata lain: memberi sekedar pengertian tentang terjadinya masyarakat dan susunannya dewasa ini 2.Menarik pelajaran-pelajaran yang berguna dari peristiwaperistiwa luhuran budi dan sifat dari pada orang-orang yang besar yang berjasa dalam sejarah 3.Mempertinggi budi-pekerti murid2 dengan jalan menunjukkan kejadian yang telah terjadi di waktu yang lampau 4.Membangkitkan dan memelihara serta memupuk rasa cinta akan bangsa dan tanah air 5.Memahami cara dan susunan pemerintahan di negeri kita dan di samping itu juga di negeri lain
1.Memperkenalkan murid-murid dengan gejala-gejala dalam lapangan ekonomi yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari 2.Memberi pengetahuan pokok tentang hal yang tersebut di atas dan ketangkasan2 di dalam soal-soal hitung dagang untuk mempersiapkan murid:
56
Kelompok Mata Pelajaran dan Mata Pelajaran
Maksud dan Tujuan
a.melanjutkan pelajaran ke jurusan ekonomi b.memasuki masyarakat di hari kelak dengan pengetahuan yang berguna dalam pembangunan ekonomi nasional -----------------------------------------------------------------------Hitung Dagang 1.Memberi pengetahuan dasar tentang menghitung hal-hal yang terpenting dalam transaksi perdagangan 2.Menambah kecakapan berhitung terutama untuk keperluan Perdagangan -----------------------------------------------------------------------Pengetahuan 1.Mempersiapkan murid untuk melanjutkan pelajaran ke Dagang jurusan ekonomi 2.Memberi pengetahuan dan pengertian pokok tentang halhal yang terdapat dalam dunia ekonomi dan perdagangan, supaya murid dapat mengerti dalam garis besar, apa yang terjadi dalam dunia ekonomi di sekitar mereka Kelompok Mata 1.Mendidik dan membimbing murid-murid untuk Pelajaran Ekspresi menyetakan perasaan dan fikiran dengan bebas dan untuk mencipta sesuatu yang sesuai dengan kewajibannya (aktif kreatif) 2.Membangun dan mengembangkan rasa keindahan dan mendidik murid menghargai ciptaan orang lain khusus karena sifat keindahannya 3.Memberi pendidikan yang menjamin keseimbangan antara pendidikan fikiran (intelek), perasaan (emosi) dan jasmani 4.Memberikan perintang waktu 5.Melatih murid dalam ketangkasan -----------------------------------------------------------------------Seni Suara a.Mengembangkan perasaan dan membangun minat terhadap Seni-Suara (vokal dan instrumental), dapat menghargai dan mengikuti ciptaan seni suara b.Memberi pengetahuan dasar dan melatih murid menyanyi lagu-lagu sederhana dengan tepat dan suara murni c.Turut menghidupkan perasaan kebangsaan, persatuan dan persaudaraan d.Sedapat mungkin murid harus dapat mempergunakan alat musik atau gamelan ------------------------------------------------------------------------Menggambar 1.Mendidik mengamat-amati alam sekitarnya dengan teliti 2.Mengembangkan perasaan tentang perbandingan antara benda-benda dan bagian-bagiannya 3.Melatih murid dalam ketangkasan
57
Kelompok Mata Pelajaran dan Mata Pelajaran
Pekerjaan Tangan
Budi
Maksud dan Tujuan
4.menggambar untuk mata pelajaran lain (Ilmu Bumi, Sejarah, Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan sebagainya) 5.Mengembangkan perasaan keindahan dan keseimbangan warna dan bentuk -----------------------------------------------------------------------1. Mendidik murid untuk mewujudkan perasaan dan fikiran dalam rupa yang berukuran tiga 2. Membangunkan dan mengembangkan aktivitas dan daya cipta murid2 3. Memupuk rasa indah 4. Menghidupkan hasrat kerja praktis 5. Memperkuat rasa tata tertib dan susunan teratur 6. Mengadakan keseimbangan (harmoni) antara rohani dan jasmani 7. Memberikan perintang waktu yang berfaedah bagi murid2
Pekerti 1. Mendidik murid-murid agar menjadi anggota masyarakat yang bersifat dan berperasaan sosial 2. Mendidik murid2 menjadi manusia yang berakhlak baik 3. Mendidik murid2 menjadi warganegara yang baik dan Bertanggungjwab Dibuat oleh Kementerian Agama
(terjalin dalam semua mata pelajaran dan dalam semua usaha sekolah)
Agama
Keterangan: Hasrat = kemauan Keinsyafan = kesadaran Ketangkasan=Ketrampilan Perintang waktu = penggunaan waktu senggang Ilmu Alam = Fisika Ilmu Bumi = Geografi Ilmu Hayat = Biologi Dari setiap rumusan maksud dan tujuan pada kurikulum SMP 1954 yang dikemukakan dalam Tabel 5.1 di atas terdapat petunjuk yang jelas bahwa apa yang sudah dipelajari peserta didik di sekolah harus berguna bagi kehidupan sehari-hari peserta didik. Masalah yang terjadi di masyarakat digunakan sebagai pokok kajian/bahasan.
58
Pemanfaatan suatu ketrampilan untuk mata pelajaran lain dinyatakan secara eksplisit. Ketrampilan dalam ilmu ukur, misalnya, digunakan untuk menggambar, geografi dan biologi sedangkan kemampuan menggambar digunakan untuk geografi, sejarah, biologi, dan fisika. Konsep keterkaitan ketrampilan yang dikembangkan oleh satu mata pelajaran dan terkait dengan mata pelajaran lain memberikan petunjuk bahwa para pengembang rencana pelajaran tersebut memahami secara mendalam karakteristik materi kurikulum/pelajaran yang dinamakan ketrampilan. Pemahaman yang mendalam mengenai karaktersitik materi nilai ditunjukkan oleh pernyataan mengenai budi pekerti dimana disebutkan pendidikan budi pekerti “terjalin dalam semua mata pelajaran dan dalam semua usaha sekolah”. Sementara penguasaan pengetahuan yang bersifat berbeda dari materi ketrampilan dan nilai tidak dijalin dengan mata pelajaran lain karena memang sifat dari pengetahuan yang spesifik dan sulit digunakan untuk mempelajari materi pengetahuan mata pelajaran lain yang juga bersifat spesifik. Dari apa yang tersurat pada maksud dan tujuan, selain mencerminkan pemahaman yang mendalam dari para pengembang Rencana Pelajaran SMP 1954 tetapi juga mencerminkan konsep kurikulum modern. Indikasi yang ditunjukkan oleh maksud dan tujuan pada Rencana Pelajaran tersebut mencerminkan pengertian kurikulum bukan lagi sekedar daftar mata pelajaran. Jadi walau pun istilah yang digunakan adalah Rencana Pelajaran tetapi pengertian kurikulum yang digunakan adalah pengertian modern kurikulum. Dalam pengertian modern, kurikulum adalah suatu rancangan pendidikan yang dikembangkan dalam bentuk rencana, dilaksanakan dalam berbagai proses interaksi,
untuk mempersiapkan peserta didik bagi
kehidupannya sebagai anggota masyarakat/bangsa dan sebagai dirinya. Sedangkan mata pelajaran hanyalah sekedar organisasi materi kurikulum yang karena terlalu luas maka diikat dalam suatu kesatuan organisasi yang dinamakan mata pelajaran. Oleh karena itu, secara hakiki setiap mata pelajaran adalah bagian integral kurikulum dan bersifat saling menunjang antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Organisasi konten kurikulum dalam kemasan mata-mata pelajaran itu menyebabkan proses pembelajaran menjadi terkendali (manageable) dan terencana dengan baik.
59
Perlu dikemukakan bahwa dalam setiap mata pelajaran terdapat materi kurikulum yang sifatnya spesifik untuk suatu mata pelajaran dan materi kurikulum yang sifatnya umum dan untuk semua mata pelajaran. Materi kurikulum yang bersifat spesifik adalah pengetahuan. Pengetahuan terdiri atas pengetahuan tentang fakta, istilah, kategori atau klasifikasi, prinsip, generalisasi, teori, model, strukture, prosedur, cara-cara, pendapat, dan menggunakan sesuatu.Materi kurikulum yang bersifat umum dan menjadi milik semua mata pelajaran berkenaan dengan kemampuan berpikir, berkomunikasi, menerapkan ketrampilan, cara kerja, nilai dan sikap, serta kebiasaan (Airasian, 2001). Prinsip yang digunakan dalam rumusan tujuan dan maksud pada tabel 5.1 di atas jelas memperlihatkan penerapan kedua kelompok materi kurikulum yang dikemukakan sebelumnya dengan baik. Berbagai ketrampilan dan nilai diterapkan pada berbagai mata pelajaran sedangkan pengetahuan yang spesifik mata pelajaran menjadi materi kajian untuk mata pelajaran terkait. Pendekatan yang digunakan untuk menyatakan keterkaitan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pendekatan yang dilakukan oleh Rencana Pelajaran SMP 1954 menempatkan keterkaitan antar mata pelajaran dalam rumusan maksud dan tujuan. Format lain yang dapat digunakan adalah merumuskan keterkaitan itu dalam elemen pengorganisasian (organizing element) seperti konsep, tema, ketrampilan dan nilai, atau lainnya.
D. STRUKTUR RENCANA PELAJARAN DAN MATA PELAJARAN Struktur dan mata pelajaran yang terdapat dalam Rencana Pelajaran SMP tahun 1954 tercantum pada tabel berikut:
Tabel 5.2: Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Tahun 1954
60
Kelompok
Mata Pelajaran
Kelas dan JamPelajaran I
II
IIIA
IIIB
Bahasa Indonesia
5
5
6
5
Bahasa Inggeris
5
4
5
4
Bahasa Daerah
2
2
2
1
Sub Jumlah
12
11
13
10
Berhitung dan Aljabar
4
3
2
4
Ilmu Ukur
3
3
-
4
Sub Jumlah
7
6
2
8
Ilmu Alam/Kimia
2
4
2
5
Ilmu Hayat
2
2
2
2
Sub Jumlah
4
6
4
7
Ilmu Bumi
2
2
3
2
Sejarah
2
2
3
2
Sub Jumlah
4
4
6
4
Hitung Dagang
-
1
2
-
Pengetahuan Dagang
-
-
2
-
Sub Jumlah
-
1
4
-
Seni Suara
1
1
1
1
Menggambar
2
2
2
2
Pek. Tangan/Ker. Wanita
2
2
2
2
Sub Jumlah
5
5
5
5
VII
Pendidikan Jasmani
3
3
3
3
VIII
Budi Pekerti (bukan mata pelajaran berdiri sendiri tapi terintegrasi dalam kegiatan semua mata pelajaran dan kegiatan sekolah) Agama
2
2
2
2
37
37
39
39
I Bahasa
II Ilmu Pasti
III Pengetahuan Alam IV Pengetahuan Sosial V Pelajaran Ekonomi VI Pelajaran Ekspresi
IX
Jumlah
Rencana pelajaran SMP 1954 menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa mendapatkan alokasi waktu yang paling banyak (46 jam), diikuti oleh kelompok Ilmu Pasti (23 jam), Ilmu Alam (21 jam), Ekspresi (20 jam) dan Pengetahuan Sosial (18 jam). Alokasi waktu untuk bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris bahkan lebih tinggi dari mata pelajaran lainnya, lebih dari dua kali dari kelompok
61
lainnya.. Alokasi waktu tersebut dapat dimaknai sebagai prioritas yang diberikan terhadap pendidikan bahasa terutama bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris. Posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional amat penting dalam mengembangkan jati diri bangsa peserta didik dan oleh karenanya mereka harus memiliki kesempatan yang luas dalam menguasai bahasa persatuan tersebut. Bahasa Inggeris
digunakan
untuk
memberi
kesempatan
kepada
peserta
didik
berkomunikasi dengan bangsa lain. Suatu yang mengundang pertanyaan adalah posisi bahasa daerah. Mata pelajaran bahasa daerah memang tidak berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia tetapi bahasa daerah adalah wahana bagi peserta didik untuk mengenal dirinya dan masyarakat
terdekat
lebih
baik.
Berdasarkan
prinsip
pendidikan
yang
dikemukakan Ki Hajar Dewantara (1977) maka pendidikan harus berakar pada budaya dan agama. Artinya, peserta didik seharusnya mendapatkan keleluasaan belajar bahasa daerah lebih besar dari alokasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum SMP 1954. Memang jika prinsip pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara ingin diterapkan maka pelajaran kebudayaan daerah yang didalamnya terdapat bahasa daerah, budaya dan nilai) menjadi nama mata pelajaran menggntikn nama bahasa daerah. Kelompok mata pelajaran ilmu pasti, pengetahuan alam, ekspresi, dan pengetahuan sosial diberikan alokasi waktu yang berimbang. Perbedaan antara satu dengan lainnya dalam keempat kelompok tersebut tidak terlalu mencolok jika dibandingkan dengan perbedaan keempatnya dengan kelompok mata pelajaran bahasa. Posisi kelompok ekspresi memang menarik karena kelompok ini diharapkan dapat mengembangkan kreativitas, kecerdasan emosional, rasa indah serta membangun keseimbangan antara ketiganya dengan kemampuan intelektual, kessimbangan antara perkembangan jasmani dan rokhani, memberi kesempatan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan vokasional dan menggunakan waktu dengan kegiatan yang berguna. Oleh karena itu kelompok ekspresi mendapat alokasi waktu yang cukup. Ketiga kelompok lainnya, secara tradisional berkenaan dengan pengembangan kemampuan intelektual walau pun
62
pandangan itu tidak lagi dianut secara ketat oleh para pengembang kurikulum SMP 1954.
E. KOMPONEN RENCANA PELAJARAN SMP 1954 Struktur Rencana Pelajaran SMP 1954 mirip dengan Rencana Pelajaran 1950. Sebagaimana sebelumnya, pendidikan SMP di kelas I dan II adalah pendidikan dasar tingkat menengah pertama kemudian dilanjutkan di kelas III dengan pendidikan spesialisasi yang dinamakan jurusan. Di kelas III dikenal ada jurusan A (sosial-ekonomi) dan B (Ilmu Pasti), sama seperti Rencana Pelajaran sebelumnya. Perubahan dalam ide kurikulum sangat sedikit. Perbedaan yang mendasar terutama dalam pemberian makna terhadap pendidikan jurusan dan konsekuensinya dalam beban belajar jurusan. Dalam pandangan tersebut untuk jurusan A diperlukan penguasaan bahasa Inggeris yang lebih baik sehingga jam pelajaran bahasa Inggeris untuk jurusan A ditambah dari 4 menjadi 5 jam. Demikian pula pelajaran sejarah untuk jurusan A ditambah dari 2 menjadi 3 jam. Sementara itu untuk jurusan B dirasakan perlu penambahan jam pelajaran untuk bidang terkait dengan jurusan B (Pasti-Alam) yaitu Ilmu Alam/Kimia ditambah dari 2 menjadi 5 jam sedangkan materi ilmu bumi dianggap tidak perlu terlalu banyak sehingga dikurangi dari 3 menjadi 2 jam. Konsekuensi dari pandangan yang berbeda tentang pendidikan jurusan menyebabkan beban belajar untuk kelas III lebih besar dibandingkan dari pendidikan dasar di kelas I dan II SMP. Tampaknya bagi para pengembang kurikulum,
pendidikan
spesialisasi
dipandang
sebagai
pendidikan
yang
memerlukan pendalaman tertentu yang terkait dengan jurusan tersebut. Berdasarkan pandangan tersebut pula maka untuk setiap jurusan diberikan tambahan mata pelajaran baru yang dianggap perlu untuk memperkuat kemampuan peserta didik di masing-masing jurusan. Untuk jurusan A (Sosialekonomi) ada penambahan mata mata pelajaran Pengetahuan Dagang sedangkan pada jurusan B (Ilmu Pasti) ada penambahan mata pelajaran Ilmu Kimia yang di kelas I dan II dimasukkan dalam pelajaran Pengetahuan Alam tetapi di kelas III B ilmu Kimia diajarkan sebagai mata pelajaran berdiri sendiri. Pandangan mengenai
63
perlunya kajian yang lebih mendalam untuk beberapa mata pelajaran dan perlu adanya mata pelajaran baru menyebabkan jumlah jam belajar di kelas III menjadi lebih besar dibandingkan di kelas I dan II. Dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 ditetapkan jam belajar sebagai berikut: jumlah jam belajar satu minggu untuk
untuk kelas I dan II adalah 37 jam
pelajaran terdiri atas hari Senin – Rabu diberikan 7 jam pelajaran, hari Kamis dan Sabtu 6 jam pelajaran, sedangkan hari Jum’at hanya diberikan 4 jam pelajaran. Sedangkan jumlah jam belajar untuk kelas III adalah 39 jam terdiri atas 7 jam pelajaran untuk hari Senin – Kamis dan Sabtu sedangkan untuk hari Jum’at tetap 4 jam pelajaran. Setiap hari disediakan 2 kali jam istirahat, masing-masing 15 menit kecuali pada hari Jum’at hanya disediakan satu kali jam istirahat. Rencana Pelajaran SMP 1954 menyediakan petunjuk pelaksanaan pembelajaran setiap kelompok mata pelajaran dan mata pelajaran, dan dinamakan Petunjuk Didaktik. Dalam petunjuk tersebut dikemukakan apa yang diharapkan dilakukan oleh para peserta didik dan bagaimana guru harus berbuat sehingga perilaku yang diharapkan dari peserta didik tadi dapat diwujudkan. Misalkan untuk kelompok bahasa maka peserta didik diharapkan dapat “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan, ialah bercakap-cakap, bercerita, berpidato, menguraikan sesuatu, bersoal-jawab, menilpon dan sebagainya”. Untuk itu guru harus memimpin prose belajar di kelas dengan: a. Memberikan kesempatan kepada murid untuk berlatih mengeluarkan pikiran dan perasaan secara lisan b. Latihan ini hendaklah berisi pula latihan percaya akan diri sendiri dan berani mengucapkan sesuatu sehingga tumbuh suatu peribadi yang bebas dan tahu harga diri c. Isi daripada yang diucapkan itu hendaklah tersusun secara logis sehingga ucapan itu menjadi teliti dan jelas. Bentuk ucapan itu (susunan kalimat dan pemakaian kata-kata) seperti yang lazim dalam Bahasa Indonesia d. Lancar atau tidak keluarnya ucapan itu tergantung pada latihan yang cukup e. Hal yang dijadikan pokok pembicaraan dapat diambil dari lapangan kehidupan masyarakat. Syarat yang harus dipenuhi ialah bahwa murid tahu betul-betul seluk-beluknya, sehingga murid biasa mengucapkan pikiran dan perasaan secara teliti dan lancar (Djawatan Pendidikan Umum Kementerian P.P dan K, 1954:6)
64
Petunjuk didaktik untuk ketrampilan berbahasa tulis dikemukakan adalah sebagai berikut: “mengeluarkan pikiran dan perasaan secara tulisan ialah pada hakekatnya mengarang, yang terdiri dari membuat ceritera pendek, membuat laporan sesuatu kejadian, membuat surat, membuat ikhtisar, menyusun iklan, menyusun tilgram, dan sebagainya”. a. Secara teliti dan lekas menuliskan buah pikiran, baru dapat setelah melewati latihan yang banyak. Berikan murid2 kesempatan yang cukup untuk berlatih b. Isi karangan hendaklah logis dan tersusun baik sehingga terang segala yang dimakud untuk membaca. Pakailah kalimat yag sederhana c. Bentuknya harus menurut jalan Bahasa Indonesia dan tertulis dalam ejaan yang teratur. Orientasi kurikulum pada kehidupan keseharian dan pemanfaatan apa yang sudah dipelajari terungkapkan dengan jelas dalam petunjuk didaktik setiap kelompok/ mata pelajaran. Dalam pelajaran bahasa Indonesia kegiatan belajar membuat surat, menyusun iklan dan menyusun telegram (pada masa itu telegram adalah komunikasi tertulis tercepat) menunjukkan orientasi kurikulum terhadap kehidupan keseharian. Dalam pelajaran bahasa Inggeris ada 9 petunjuk didaktik yaitu
“intonation”,
“pronounciation”,
kepercayaan
diri
peserta
didik 16 ,
penggunaan gambar, cerita pendek, perbendaharaan kata yang terkait dengan kehidupan sehari-hari peserta didik, kata digunakaan dalam konteks dan demikian juga tes, terjemahan dilakukan dari bahasa Inggeris ke bahasa Indonesia, dan pengenalan budaya. Jelas 9 petunjuk tersebut menekankan pada pemanfaatan bahasa dan kemampuan berbahasa keseharian. Lagipula kepercayaan peserta didik bahwa mereka mampu berbahasa Inggeris menjadi suatu dasar didaktik yang sangat kuat dan masih perlu dikembangkan pada masa kini. Banyak peserta didik yang sudah merasa tidak mampu ketika diminta membaca atau berbicara dalam 16
Kepercayaan diri dalam berbahasa asing adalah modal dasar untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Setiap orang yang mau mengungkapkan pikirannya dalam bahasa asing harus diawali dengan kepercayaan diri, dan berdasarkan kepercayaan diri yang dimilikinya yang bersangkutan menata pikirannya dalam struktur kalimat yang sesuai dengan kaedah bahasa terkait. Dengan kepercayaan diri itu pula yang bersangkutan memiliki “keberanian” untuk mengucapkan kalimat yang ada pada pikirannya. Oleh karena itu membangun kepercayaan diri peserta didik untuk mampu berbahasa Inggeris adalah petunjuk didaktik yang sangat fundamental, dan perlu diberlakukan bagi setiap orang yang belajar bahasa di luar bahasa ibunya.
65
bahasa Inggeris dan tentu saja sikap yang demikian penjadi penghambat dalam belajar bahasa dan belajar mata pelajaran mana pun. Dalam petunjuk didaktik mengenai Aljabar dikemukakan 4 pedoman. Pedoman nomor 3 menyebutkan “taraf terakhir dalam pelajaran aljabar adalah pemecahan persamaan2 tersamar. Hendaklah dipilih soal-soal yang mengenai kehidupan sehari-hari dengan tidak terlalu hipotetis”. Sedangkan dalam petunjuk didaktik keempat (d) dikemukakan “hendaknya ada hubungan yang rapat antara aljabar dengan matapelajaran2 lainnya (umpamanya membaca grafik dalam aljabar merupakan suatu soal yang penting, karena besar hubungannya dengan matapelajaran2 lainnya). Orientasi pada kehidupan keseharian juga jelas terungkap
pada
petunjuk
didaktik
kelompok
Pengetahuan
Alam
yang
mengemukakan 8 petunjuk. Tujuh petunjuk berkenaan dengan cara belajar akkti dimana peserta didik belajar menemukan dalam suasana “mmenarik perhatian, menimbulkan minat terutama untuk pengamatan dan penyelidikan sendiri”. Petunjuk didaktik kedua menyebutkan “bahan pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga murid-murid mengetahui penggunaannya dalam prraktek hidup seharihari”. (Dokumen Rencana Pelajaran SMP, hal40). Dalam kelompok Pengetahuan Sosial terdapat petunjuk didaktik yang terpisah untuk mata pelajaran Ilmu Bumi dan Sejarah. Ilmu Bumi memiliki petunjuk sebanyak 4 buah sedangkan sejarah memiliki petunjuk sebanyak 13 buah. Petunjuk Ilmu Bumi yang pertama berkenaan dengan keeterkaitan antara Ilmu Bumi dan Sejarah dimana dikatakan “ilmu sejarah mempelajari riwayat hidup manusia, ilmu Bumi mempelajari keadaan manusia pada suatu waktu. Oleh karena itu kedua mata pelajaran ini harus diajarkan dalam hubungan yang erat”. Tampaknya istilah “hubungan yang erat” sama maksdunya dengan “correlated curriculum content”. Tidak seperti mata pelajaran kelompok bahasa, ilmu pasti dan ilmu alam yang menyatakan secara keterkaitan dan pemanfaatan mata pelajaran dalam kehidupan sehari-hari peserta didik secara eksplisit, tidak demikian halnya dengan petunjuk didaktik ilmu bumi. Tidak ada pernyataan eksplisit tentang hal tersebut dan mungkin hal ini disebabkan karena dalam makksud dan tujuan sudah dinyatakan
66
bahwa
kelompok
Pengetahuan
Sosial
“membangun
akan
keinsyafan
kewarganegaraan dalam suatu negara yang demokratis dan membangun keinsyafan nasional, bebas dari segala perasaan kebangsaan yang sempit”. Pernyataan ini tampaknya sudah cukup mewakili orientasi pelajaraan sosial kepada kehidupan keseharian. Dalam petunjuk didaktik mata pelajaran sejarah terdapat pernyataan yang menunjukkan perlunya keterkaitan mata pelajaran sejarah dengan kehidupan sehari-hari. Dalam petunjuk didaktik nomor 2 disebutkan “harus diinsyafi oleh murid2 bahwa nasib dan kebahagiaan tanah air dan bangsa kita bergantung kepada sifat-sifat dan cita2 mereka (pelaku sejarah, pen.), dengan kata-kata lain: kita bertanggung jawab dan ikut serta dalam pembentukan masyaraat dikemudian hari”, dan pada petunjuk didaktik nomor 5 dikatakan “sejarah bukan rentetan fakta-fakta belaka, tetapi harus diinsyafi sebab-musabab dan akibatnya bagi masyarakat”. Oleh karena itu pendekatan rekonstruksi yang selalu mengkaitkan pendidikan dengan masalah sosial dan kehidupan peserta didik di masyarakat sangat kental digunakan dalam kurikulum SMP 1954.
Setiap kelompok mata pelajaran atau mata pelajaran memiliki tujuan dan petunjuk didaktik, diikuti dengan tabel atau matriks yang berisikan kolom kelas, jumlah jam pelajaran per minggu, pokok/bagian dari pelajaran, pelajaran dan keterangan. Walau pun berbeda dan terutama ketiadaan kolom evaluasi atau asesmen hasil belajar pada dasarnya format ini mirip dengan format Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) yaang digunakan kurikulum 1975, 1984 dan 1994. Dalam kolom keterangan terdapat informasi mengenai buku yang digunakan untuk pokok/bagian dan pelajaran tertentu.
67
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE LAMA (1959 – 1965)
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN Pada tahun 1959 Indonesia mengalami perubahan politik yang sangat mendasar ketika UUD tahun 1950 dinyatakan tidak lagi berlaku dan Indonesia kembali menggunakan UUD 1945. Proses pengembalian penggunaan UUD 1945 tersebut dinyatakan dalam dekrit Presiden Soekarno pada tahun 1959. Bersamaan dengan kembali ke UUD 1945 Presiden Soekarno memperkenalkan konsep kehidupan bangsa yang baru yaitu Manipol Usdek (Manipol = Manifesto Politik ; USDEK = Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Dengan Manipol Usdek maka semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan haruslah disesuaikan dengan konsep baru itu termasuk pendidikan. Menanggapi perubahan politik yang terjadi maka Menteri Muda Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Dr Prijono (Priyono) mengeluarkan instruksi pada tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal dengan nama Sapta Usaha Tama (Tujuh Usaha Utama). Dalam konsideran instruksi Sapta Usaha Tama disebutkan “sesudah Presiden/Panglima Tertinggi pada tanggal 5 Juli 1959 mendekritkan, bahwa bangsa Indonesia kembali kepada Undang-undang Dasar ’45, maka sudah sewajarnyalah, bahwa kaum pendidik dan para pelajarnya wajib memiliki kembali semangat dan jiwa proklamasi untuk dapat memberi contoh kepada seluruh masyarakat” (Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200). Selanjutnya dikatakan bahwa “para pendidik harus sanggup menjadi pelopor dari perubahan jiwa dan sikap bangsa”. Kemudian ditetapkan “untuk menjelmakan maksud di atas saya umumkan tindakan-tindakan jangka pendek yang segera harus dikerjakan dalam lingkungan Kementerian P.P. dan K. dan dalam masyarakat, yang saya namakan SAPTA USAHA TAMA, sebagai berikut: 1. penertiban aparatur dan usaha-usaha Kementerian P.P. dan K.
68
2. menggiatkan kesenian dan olah raga 3. mengharuskan “usaha halaman”, 4. mengharuskan penabungan, 5. mewajibkan usaha-usaha koperasi, 6. mengadakan “Klas masyarakat” 7. membentuk “Regu Kerja” di kalangan SLA dan universitas (Sastradinata, Sjamsuddin, Hasan, 1993:200-201) Sapta Usaha Tama adalah program jangka pendek Menteri. Sekolah sudah harus menerapkan kegiatan nomor 2, 3, 4 dan 5 untuk SD dan SMP sedangkan SMA dan universitas ditambah dengan Usaha Tama nomor tujuh. Dua tahun setelah itu terjadi perubahan kabinet dan Dr Prijono menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Dalam Kabinet Kerja III, Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dengan Prof Dr Prijono sebagai menterinya. Selanjutnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan 17
Dr Prijono
mengeluarkan instruksi baru yang dinamakan yaitu Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan nomor 2 yang dikenal dengan nama Panca Wardhana (Pantja Wardhana) pada tanggal 17 Agustus 1961. Panca Wardhana adalah tindak lanjut dari instruksi Sapta Usaha Tama. Dalam instruksi tentang Panca Wardhana tahun 1961 tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PDK) menegaskan: (1) Pantjasila dengan Manipol sebagai pelengkapnja, sebagai asas pendidikan nasional (2) Menetapkan Pantja Wardhana sebagai sistem pendidikan yang berisikan prinsip-prinsip: 17
Pada waktu itu terdapat 2 kementerian yaitu Kementerian Pendididkan Dasar dan Kebudayaan dan Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan. Dr Prijono adalah Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan sedangkan Prof.Dr. Ir. Thajib Hadiwidjaja adalah Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.
69
a. perkembangan tjinta bangsa dan tanah-air, moral nasional/internasional/ keagamaan; b. perkembangan ketjerdasan; c. perkembangan emosil-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahirbatin, d. perkembangan keprigelan atau keradjinan tangan; e. perkembangan djasmani. (3) Menjelenggarakan ”hari Krida” atau hari untuk kegiatan-kegiatan dalam lapangan kebudayaan, kesenian, olahraga dan permainan pada tiap-tiap hari Sabtu.
Terlepas dari suasana dan pengaruh politik yang melahirkan instruksi Pantja Wardhana tersebut tetapi apa yang dinyatakan dalam ketetapan titik 2.a, 2.b, 2.c, 2.d, dan 2.e instruksi tersebut merupakan inti ketetapan yang sarat dengan pemikiran pendidikan, bersesuaian pula dengan konsep cipta, rasa, dan karsa yang dianjurkan Ki Hajar Dewantara. Berbagai potensi peserta didik (kecerdasan, emosional, ketaqwaan, ketrampilan, dan kesegaran jasmani) menjadi kepedulian pendidikan. Cinta tanah air dan bangsa pada generasi baru bangsa dan yang nantinya menjadi warganegara sudah seharusnya menjadi tugas pendidikan yang sama dengan tugas mengembangkan potensi peserta didik dalam ranah lainnya. Sedangkan ketetapan dalam titik 3 memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik untuk mengembangkan minat mereka dalam seni, budaya, dan berbagai permainan tetapi juga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai ketrampilan dan sikap yang diperoleh di kelas. Sebaliknya, sikap dan nilai-nilai yang diperoleh peserta didik dari kegiatan seni, budaya dan permainan (sebagai produk budaya) akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar mereka di kelas dan sekolah. Antara kedua wilayah tersebut terjadi kesinambungan yang saling memperkuat yang memperkuat pengembangan sikap dan nilai serta ketrampilan seni dan pengetahuan tentang nama, peraturan, dan cara main.
70
B. RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU Sejalan dengan perubahan politik dan kebijakan pendidikan yang telah dikemukakan di atas maka terjadi perubahan kurikulum SMP (juga kurikulum SD dan SMA). Pada bulan Agustus 1962 pemerintah menetapkan kurikulum baru untuk SMP menggantikan kurikulum SMP 1954. Kurikulum SMP tahun 1962 dihasilkan oleh Rapat Kerja Para Pengawas SMP seluruh Indonesia di Tugu dari tanggal 3 – 10 Juli 1962 (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964). Pertemuan para pengawas SMP seluruh Indonesia tersebut dilakukan di Yogya (19 Oktober 1961), pertemuan kedua di Tugu (21 Nopember – 4 Desember 1961), pertemuan ketiga di Yogya (15 -25 Januari 1962) dan pertemuan keempat di Tugu (3 – 10 Juli 1962). Pertemuan terakhir di Tugu dianggap menghasilkan naskah final kurikulum baru (1962) untuk SMP dan wajib dilaksanakan di seluuruh Indonesia mulai tanggal 1 Agustus 1962. Pada tanggal 7 – 13 Juli 1963 dilakukan Rapat Kerja Pengawas SMP seluruh Indonesia di Tawangmangu. Rapat kerja Tawangmangu membahas Rencana Pelajaran baru SMP dan pelaksanaannya di seluruh Indonesia selama tahun ajaran 1962/1963. Selain membahas laporan pelaksanaan kurikulum SMP yang dihasilkan di Tugu pada tahun 1962, Rapat Kerja Para Pengawas SMP di Tawangmangu masukan dari Pembantu Menteri bidang Pendidikan, Direktorium Jawatan Pendidikan Umum, gagasan dari Urusan Pendidikan Menengah Umum Tingkat Pertama, saran dari para pengawas SMP, dan saran dari berbagai urusan di lingkungan Jawatan Pendidikan Umum. Rapat Kerja para pengawas SMP seluruh Indonesia di Tawangmangu tersebut menghasilkan dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru. Kata Pengantar Dokumen Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru ditandatangani oleh Kepala Urusan Pendidikan Menengah Umum Tingkat Pertama, Zainuddin, di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1963 (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964) Selain perubahan politik, perubahan dalam pandangan mengenai fungsi pendidikan yang dilaksanakan suatu
sekolah pada jenjang tertentu turut
menentukan perubahan kurikulum. Tentu tidak dapat disangkal bahwa perubahan politik memberikan pengaruh terhadap pandangan pendidikan yang harus
71
dikembangkan dan pada gilirannya kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap kurikulum. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada kejadian dimana faktor politik tidak berpengaruh terhadap pandangan pendidikan dan kedua faktor tersebut (politik dan pandangan pendidikan) secara bersama-sama tidak memberikan dampak terhadap terjadinya perubahan kurikulum. Oleh karena itu kenyataan perubahan politik dan perubahan pandangan pendidikan berpengaruh terhadap perubahan kurikulum adalah suatu keadaan yang tak mungkin dihindari dalam konteks politik mana pun di negara mana pun. Dalam Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan bahwa perubahan kurikulum tersebut disebabkan adanya TAP MPRS nomor II/MPRS/1960, instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tentang Sapta Usaha Tama dan Panca Wardhana, dan Haluan Negara. Kurikulum SMP 1962 dan kemudian diperbaiki menjadi Kurikulum SMP Gaya Baru berubah dalam struktur kurikulum dibandingkan Kurikulum SMP 1954. Perubahan pertama adalah penghapusan terhadap penjurusan yang dikenal dalam kurikulum SMP 1954 dan sebelumnya. Pembagian jurusan di kelas III SMP yang terbagi atas jurusan A (sosial-budaya) dan B (ilmu Pasti) pada kurikulum SMP 1954, ditiadakan oleh kurikulum SMP Gaya Baru. (Kosoh, Sjamsuddin, Hasan, 1993:96). Penghapusan jurusan A dan B pada kelas III SMP didasarkan pada pandangan pedagogik bahwa pendidikan SMP bukan pendidikan disiplin ilmu dan lagipula masyarakat belum memerlukan tenaga kerja tamatan SMP yang memiliki spesialisasi yang dikembangkan pada jurusan di kelas III SMP. Tamatan SMP yang bekerja tidak ditempatkan berdasarkan jurusan yang mereka ikuti pada waktu SMP. Oleh karena itu, adanya jurusan tersebut tidak memberikan nilai apa pun bagi peserta didik baik dari segi keilmuan mau pun dari pemanfaatan di masyarakat. Lagipula, pada tingkat SMP dikenal adanya berbagai sekolah kejuruan yang memberikan berbagai ketrampilan vokasional yang diperlukan masyarakat (Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama = SKKP; Sekolah Teknik = ST; Sekolah Menengah Ekonomi Pertama = SMEP, dan sebagainya).
72
Struktur kurikulum SMP Gaya Baru didasarkan pada konsep Panca Wardhana. Struktur kurikulum terdiri atas kelompok dasar, cipta, rasa/karya, dan krida. Kelompok dasar adalah untuk mengembangkan wardhana pertama yaitu pengembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional/ internasional/ keagamaan; kelompok cipta untuk mengembangkan wardhana kecerdasan; kelompok rasa/karya untuk mengembangkan wardhana emosional-artistik atau rasa keharuan dan keindahan lahir-batin; kelompok krida untuk mengembangkan wardhana keprigelan atau kerajinan tangan; sedangkan pendidikan jasmani untuk mengembaangkan wardhana perkembangan jasmani. Pengelompokkan ini diikuti dengan pengelompokkan mata pelajaran. Masa antara 1959 – 1965 atau disebut juga Masa Orde Lama adalah awal pengaruh politik yang semakin kuat dalam pendidikan di Indonesia, melebihi pengaruh politik terhadap kurikulum yang terjadi pada masa sebelumnya. Pada masa ini ideologi negara menjadi mata pelajaran dalam kurikulum setiap sekolah dengan tujuan untuk membekali peserta didik dengan dasar-dasar filosofi bangsa dan ideologi politik yang dianut oleh pemerintah. Mata pelajaran civics diperkenalkan dan menjadi mata pelajaran utama, menjadi mata pelajaran yang memiliki tugas untuk mengemban amanat pendidikan ideologi bangsa, dikelompokkan dalam kelompok wardhana pertama yaitu perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasiona/internasional/keagamaan. Dalam mata pelajaran civics dibahas ideologi politik pemerintah sebagai landasan manusia baru Indonesia sehingga civics harus ditempatkan dalam wardhana pertama dan menjadi mata pelajaran bagi seluruh peserta didik (dari SD sampai ke sekolah di atas SMP). Selain mata pelajaran Civics, dalam kelompok wardhana pertama yang disebut Kelompok Dasar, terdapat mata pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah Kebangsaan, Ilmu Bumi Indonesia, Pendidikan Agama/Budi Pekerti (Sejarah Nasional Indonesia jilid VI:278; Kosoh, Sjamsuddin, dan Hasan, 1993:96; Departemen Pendidikan Nasional, 1996:129). Mata pelajaran Pendidikan Jasmani/Kesehatan dimasukkan sebagai bagian dari Kelompok Dasar walau pun pendidikan jasmani berkenaan dengan pengembangan wardhana kelima. Jelas tujuan kelompok
73
pertama wardhana yaitu Kelompok Dasar adalah untuk membangun kesadaran sebagai satu bangsa dan pengetahuan serta kesadaran akan ideologi bangsa. Bangsa baru haarus memperhatikan generasi muda yang akan meneruskan perjuangan ideologi para pemimpin bangsa pada waktu itu. Dalam Kelompok Cipta terdapat mata pelajaran Bahasa Daerah, Bahasa Inggeris, Ilmu Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Hayat, Ilmu Bumi Dunia, Sejarah Dunia, dan ilmu Administrasi. Kelompok Cipta adalah kelompok yang memberikan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Pengetahuan yang dipelajari dalam berbagai mata pelajaran dalam Kelompok Cipta merupakan bahan utama untuk menggerakkan kemampuan otak dalam ranah kognitif (mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, menilai, dan menciptakan pengetahuan baru). Suatu hal yang tidak jelas adalah alasan mengapa mata pelajaran Bahasa Daerah masuk dalam Kelompok Citra dan bukan dalam kelompok Dasar padahal bahasa Daerah merupakan medium pendidikan yang dapat mengembangkan rasa kebangsaan menjadi lebih kuat. Mungkin ada kekhawatiran pengembangan
bahwa
pengajaran
perasaan
Bahasa
kedaerahan
Daerah
yang
disalahgunakan
berlebihan
sehingga
untuk dapat
membahayakan persatuan nasional. Pertimbangan lainnya mungkin karena hanya beberapa daerah saja di Indonesia yang menghendaki adanya pengajaran Bahasa Daerah sehingga akan sangat janggal apabila Bahasa Daerah ada dalam Kelompok Dasar yang berlaku untuk seluruh peserta didik dan di wilayah atau komunitas masyarakat mana pun. Apalagi jika diingat bahwa SMP di daerah perkotaan melayani masyarakat yang berasal dari berbagai kelompok etnis dan pemakai bahasa daerah yang beragam sehingga akan menimbulkan banyak kesulitan teknis. Dalam kelompok Cipta mata pelajaran matematika tidak dikenal. Secara tradisional, sebagaimana diwariskan Belanda yang dikenal adalah kelompok ilmu Pasti bukan matematika. Dalam kelompok ini terdapat mata pelajaran ilmu Aljabar dan ilmu Ukur.
Pemikiran bahwa pendidikan haruslah berdasarkan
disiplin ilmu dan diberi label sebagaimana label disiplin ilmu (menurut pandangan filosofi esensialisme) belum berkembang sepenuhnya. Pada masa belakangan
74
ketika pandangan filosofis perenialisme semakin kuat pengaruhnya dalam pengembangan kurikulum maka pemikiran pendidikan disiplin ilmu semakin menjadi andalan sejak dari SD sampaai ke SMA. Sesuai dengan pandangan perenialisme maka label untuk pendidikan disiplin ilmu tidak perlu menggunakan nama resmi disiplin ilmu yang bersangkutan dan penggabungan beberapa disiplin ilmu
diperkenankan.
Pendekatan
perenialisme
yang
memperkenankan
penggabungan berbagai disiplin melahirkan label mata pelajaran seperti IPA dan IPS. Dalam kelompok Rasa/Karsa terdapat mata pelajaran Menggambar, Kesenian, Prakarya, dan Kesejahteraan Keluarga. Kelompok mata pelajaran ini jelas bertujuan mengembangkan perasaan yang halus dan kemampuan berkreasi yang tinggi. Keejahteraan Keluarga tidak terbatas pada kesejahteraan ekonomi tetapi teutama pada kesejahteraan batin, kesehatan, dan pembinaan generasi muda dalam membentuk kperibadian. Oleh karena itu adalah wajar jika Kesejahteraan Keluarga menjadi mata pelajaran dalam kelompok Rasa/Karsa. Sedangkan kedudukan mata pelajaran lain seperti Menggambar, Kesenian, Prakarya dalam kelompok Rasa/Karsa adalah amat jelas. Dalam kelompok wardhana keempat yaitu Ketrampilan terdaapat mata pelajaran Krida. Mata pelajaran Krida memberikan kesempatan yang luas kepada peserta didik SMP untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Banyak nilai yang dapat dikembangkan dalam mata pelajaran Krida. Perbedaan ide kurikulum yang berbeda antara kurikulum SMP Gaya Baru dengan kurikulum SMP tahun 1950 dan 1954 adalah mengenai posisi mata pelajaran dalam kurikulum. Dalam kurikulum sebelumnya kurikulum tidak dianggap identik dengan daftar mata pelajaran dan mata pelajaran adalah organisasi konten kuurikulum berdasarkan kedekatan materi/bahan ajar. Oleh karena itu suatu mata pelajaran dapat mengembangkan materi ajar dari mata pelajaran lain seperti materi budi pekerti yang tidak dijadikan mata pelajaran tetapi materi budi pekerti dikembangkan dalam setiap mata pelajaran lain. Pemikiran yang mmendasari ide kurikulum SMP tahun 1954 mencerminkan pandangan kurikulum modern, tidak lagi dianut dalam kurikulum SMP Gaya Baru atau terkadang disebut juga dengan
75
nama kurikulum Panca Wardhana. Setiap mata pelajaran memiliki materi pelajaran yang hanya dikembangkan oleh mata pelajaran tersebut dan tidak berbagi dengan mata pelajaran lain. Materi pelajaran budi pekerti yang dekat dengan pendidikan Agama digabungkan menjadi satu mata pelajaran dengan menggunakan label Pendidikan Agama/Budi Pekerti. Materi kesehatan yang seharusnya dapat dikembangkan dalam berbagai mata pelajaran menjadi tanggungjawab mata pelajaran pendidikan Jasmani sehingga dinamakan Pendidikan Jasmani/Kesehatan. Tampaknya pandangan kurikulum yang demikian masih berlaku sampai kini. Konten kurikulum yang terdiri atas pengetahuan, kemampuan kognitif, kemampuan afektif, dan kemampuan psikomotorik tidak mendapat perlakuan yang seimbang. Konten kurikulum yang mendaptkan pertimbangan utama adalah konten pengetahuan ( tentang fakta, istilah, lambang, prosedur, kemampuan, nilai, sikap dan sebagainya) dan bersifat sangat spesifik milik suatu disiplin ilmu atau gabungan disiplin ilmu yang dijadikan mata pelajaran. Konten yang bersifat ketrampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang bersifat dasar/fundamental dan tidak spesifik milik disiplin ilmu tidak mendapatkan perlakuan yang selayaknya. Padahal, pada hakekatnya konten kurikulum yang bersifat ketrampilan akan menyebabkan peserta didik mampu belajar sepanjang hayat, berpikir kritis dan kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, kebiasaan belajar yang tinggi, sikap yang positif dan produktif, dan menjadi kemampuan dasar yang mampu mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dirinya sepanjang hayat. Konten kurikulum yang demikian memberikan kemampuan kepada peserta didik mengolah berbagai informasi yang terdapat pada pengetahuan dan menghasilkan pengetahuan baru dari hasil olahan kemampuan kognitif. Konten kurikulum yang demikian
memberikan
pula
dorongan
kepada
peserta
didik
untuk
mengembangkan rasa ingin tahu, kebiasaan membaca dan belajar. Dengan konten kurikulum seperti itu menjadikan peserta didik manusia yang mampu mengembangkan segala potensi kemanusiaannya dan bukan mesin penghapal pengetahuan.
76
Oleh karena perubahan ide kurikulum yang terjadi pada kurikulum SMP Gaya Baru terkait pada pengaruh aspek politik dan juga berkenaan dengan aspek akademis ide kurikulum. Penciutan pengertian konten kurikulum hanya pada aspek pengetahuan menyebabkan desain dan organisasi konten kurikulum menjadi terbatas pada desain kurikulum akademik dan organisasi konten yang teoritik keilmuan. Pengaruh lebih lanjut adalah pada pengertian hasil belajar yang terkerdilkan menjadi hapalan tentang pengetahuan, ketrampilan, dan sikap bukan pada perilaku yang didasarkan pada sikap yang harus dikembangkaan kurikulum mau pun pada ketrampilan dalam menerapkan berbagai prosedur, kemampuan memecahkan masalah, berkomunikasi, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, dan ketrampilan belajar.
C. TUJUAN PENDIDIKAN SMP Dalam Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964 disebutkan tujuan pendidikan SMP adalah sebagai berikut: Pendidikan di SMP harus menyiapkan anak-didik menjadi warganegara patriotik, manusia susila, bertanggungjawab, supaya menjadi potensi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia, masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dasar idiologis tujuan pendidikan di atas adalah bahwa “pendidikan harus berazaskan Pancasila dengan pelengkapnya Manipol” (Dokumen Rentjana Pelajaran SMP Gaya Baru, 1964). Revolusi masih dianggap belum selesai dan dalam suasana yang demikian maka tujuan pendidikan sebagaimana yang dirumuskan di atas merupakan suatu yang sangat beralasan.
D. MATA PELAJARAN RENCANA PELAJARAN SMP GAYA BARU Sebagaimana telah dikemukakan di atas, mata pelajaran dalam kurikulum SMP Gaya Baru dikelompokkan berdasarkan kelompok ranah wardhana yang terdapat pada Panca Wardhana kecuali kesehatan jasmani yang disatukan dalam kelompok Dasar atau
cinta bangsa tanah air, moral nasional/internasional/keagamaan.
Sesuai dengan Panca Wardhana, selain kelompok Dasar dikenal adanya kelompok
77
Cipta dan kelompok Krida. Kelompok Cipta merupakan kelompok paling besar baik dalam pengertian jumlah mata pelajaran mau pun dalam beban belajar. Kelompok Dasar adalah kelompok kedua terbesar sedangkan kelompok krida adalah kelompok yang memiliki mata pelajaran tunggal. Selengkapnya, struktur dan pesebaran mata pelajaran serta beban belajar kurikulum SMP Gaya Baru adalah sebagai berikut:
Tabel 6.1: Struktur dan Mata Pelajaran Rencana Pelajaran SMP Gaya Baru Kelompok
A Kelompok Dasar
B
Kelompok Cipta
C Kelompok
Mata Pelajaran
Kelas dan JamPelajaran I
II
III
Civics
2
2
2
Bahasa Indonesia
5
5
5
Sejarah Kebangsaan
1
1
1
Ilmu Bumi Indonesia
1
1
1
Pendidikan Agama/Budi Pekerti
2
2
2
Pendidikan Jasmani/Kesehatan
2
2
2
Sub Jumlah
13
13
12
Bahasa Daerah
2
2
2
Bahasa Inggeris
4
4
4
Ilmu Aljabar
3
3
3
Ilmu Ukur
3
3
3
Ilmu Alam
2
2
2
Ilmu Hayat
2
2
2
Ilmu Bumi Dunia
1
1
1
Sejarah Dunia
1
1
1
Ilmu Administrasi
1
1
1
Sub Jumlah
19
19
19
Menggambar
2
2
2
78
Kelompok
Rasa/Karya
D
Mata Pelajaran
Kelas dan JamPelajaran I
II
III
Kesenian
1
1
1
Prakarya
2
2
2
Kesejahteraan Keluarga
1
1
1
Sub Jumlah
6
6
6
Krida
2
2
2
40
40
40
Krida Jumlah
Orientasi kurikulum yang kuat pada kepentingan politik telah menyebabkan kurikulum tidak mampu mengembangkan berbagai prinsip pendidikan yang dasar dan telah diggunakan serta dikembangkan dalam kurikulum sebelumnya (Rencana Pelajaran SMP 1954). Keterkaitan antar materi pelajaran, terutama materi kelompok ketrampilan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain sudah tidak lagi menjadi pendekatan yang digunakan dalam kurikulum SMP 1962. Materi suatu mata pelajaran dirancang hanya untuk mata kuliah tersebut dan tidak dikaitkan dengan mata pelajaran lainnya. Pendekatan konten kurikulum suatu mata pelajaran yang khusus dan terpisah dari mata pelajaran lainnya yang dilakukan kurikulum SMP 1962 menjadi awal dalam sejarah pengembangan kurikulum SMP. Pendekatan yang demikian dianggap sebagai pendekatan terbaik oleh banyak para akhli ilmu pengetahuan (Tanner dan Tanner, 1980; Unruh dan Unruh, 1984). Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir intelektual dan kemampuan berpikir rasional. Kedua kemampuan ini hanya dapat dikembangkan melalui pendidikan disiplin ilmu karena disiplin ilmu memiliki cara berpikir intelektual yang rasional dan sistematis. Disiplin ilmu pula yang dapat membebaskan orang dari cara berpikir dan orientasi berpikir yang tidak logis.
79
Filosofi esensialisme yang menyatakan bahwa pendidikan disiplin ilmu dalam dunia pendidikan harus dilaksanakan sesuai dengan hakekat ilmu itu sendiri. Nama mata pelajaran pun harus disesuaikan dengan nama disiplin ilmu. Penggabungan beberapa disiplin ilmu menjadi nama satu mata pelajaran sangat ditentang oleh filosofi esensialisme walau pun diperkenankan oleh filosofi perenialisme. Nama-nama mata pelajaran yang terdapat dalam Kurikulum SMP 1962 sseperti sejarah, ilmu bumi, ilmu aljabar, ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya jelas menunjukkan orientasi kurikulum pada filosofi esensialisme. Pengaruh politik yang kuat terlihat pada mata pelajaran kelompok dasar terutama mata pelajaran civics, sejarah, ilmu bumi. Untuk mata pelajaran Civics peserta didik mempelajari berbagai pidato Presiden, manusia sosialisme Indonesia, Manipol, revolusi Indonesia termasuk musuh-musuh revolusi. Materi mata pelajaran sejarah berkewajiban untuk “mewujudkan dan memperteguh cita-cita revolusi bangsa Indonesia. Oleh karena itu pengajaran Sejarah Kebangsaan haruslah (a) Proklamasi- sentris dan (b) ber-eskatologi masyarakat sosialis Indonesia. Dalam kewajiban untuk mewujudkan dan memperteguh cita-cita revolusi Indonesia, materi pelajaran ilmu bumi Indonesia bertujuan mewujudkan masyarakat sosialisme Indonesia.
80
KURIKULUM SMP PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU (1967 – 1994)
A. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN Masa Pemerintahan Orde Baru adalah masa yang ditandai oleh berbagai kebijakan pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan politik Orde Baru yang anti komunisme, perkembangaan dalam teori belajar yang menekankan pada kegiatan ssiwa yaang aktif dalam belajar, pendekatan kurikulum yaang digabungkan dengan model desain instruksional. Perkembangan politik dan akademik yang demikian menghasilkan berbagai kurikulum selama masa hampir 30 tahun tersebut. Dimulai dengan kurikulum 1968 sebagai kurikulum yang dirancang untuk mengikis pengaruh komunisme dalam dunia pendidikan dan merupakan awal penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan Indonesia, dilanjutkan dengan kurikulum 1975 yang merupakan kurikulum pertama di Indonesia yang secara resmi memperkenalkan istilah pendekatan “integrated curriculum” yang melahirkan mata pelajaran IPA sebagai pengganti kelompok Ilmu Alam dan mata pelajaran IPS yang menggantikan mata pelajaran Pengetahuan Sosial dalam Rencana Pelajaran 1954. Pada kurun waktu hampir 10 tahun Kurikulum 1975 digantikan oleh Kurikulum 1984 yang menggunakan model kurikulum yang sama dengan kurikulum SMP sebelumnya tetapi mengalami perubahan pada kurikulum SMA dimana pendekatan “discrete disciplinary approach diperkenalkan kembali. Sepuluh tahun kemudian yakni pada tahun 1994, kurikulum SMP diganti dengan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1994. Beberapa perubahan dalam pendekatan kurikulum terjadi tetapi masih menyesisakan berbagai masalah terkait jika dilihat dari organisasi konten kurikulum yang menggunakan pendekatan integrated dan posisi pendidikan ketrampilan (skills) masih belum mendapatkan tempat yang sesuai dengan karakteristik materi ketrampilan yang bersifat “developmental”. Demikian pula halnya dengan materi yang termasuk kategori nilai/sikap masih belum berhasil dikembangkan sesuai dengan hakekat nilai/sikap yang juga termasuk kelompok “developmental content”.
81
Dalam kurun waktu kurang lebih 30 tahun, Pemerintahan Orde Baru telah berhasil mengembangkan 4 kurikulum untuk SMP dan sekolah lainnya. Keempat kurikulum yaitu Kurikulum 1968, 1975, 1984 dan 1994. Hampir menjadi tradisi bahwa setiap 10 tahun terjadi perubahan kurikulum. Kenyataan semacam itu dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang berlangsung sampai akhir Pemerintahan Orde Baru. Upaya untuk menjadikan kurikulum responsi terhadap perkembangan kehidupan
mayarakat
di
bidang
sosial-budaya-politik-ilmu-teknologi-seni-
ekonomi menyebabkan masa sepuluh tahun merupakan masa yang cukup panjang untuk menjawab tantangan perkembangan kehidupan masyarakat. Dilihat dari ruang lingkup pengembangan kurikulum (curriculum development) yang meliputi pengembangan ide dan rancangan pembelajaran (curriculum construction) yang terwujud dalam bentuk dokumen kurikulum, sosialisasi dan implementasi kurikulum (curriculum implementation) serta evaluasi kurikulum (curriculum evaluation) maka sangat adekuat untuk dikatakan bahwa tidak keseluruhan
pekerjaan
pengembangan
kurikulum
tersebut
terlaksana.
Implementasi kurikulum yang merupakan pekerjaan yang rumit dan memerlukan strategi implementasi yang harus meliputi keragaman kualitas dan kesiapan sekolah merupakan aspek pengembangan yang sangat terabaikan. Sama halnya dengan implementasi adalah pekerjaan evaluasi kurikulum yang sistematis dan terus-menerus (kontinyu) memberikan informasi baik kepada pengembangan kurikulum ketika dokumen disiapkan apalagi pada waktu implementasi merupakan dimensi pekerjaan pengembangan kurikulum yang tidak terlaksana sebagaimana seharusnya maka waaktu sepuluh tahun untuk perubahan kurikulum terasa amat singkat. Berdasarkan laporan yang tersedia terjadi suatu kenyataan yang cukup memperihatinkan karena belum lagi suatu rancangan kurikulum (dokumen) terlaksana maka sekolah sudah harus melaksanakan kurikulum baru yang nota bene tidak juga mampu mereka laksanakan. Kelemahan dalam sosialisasi dan pelatihan yang harus diterima guru dalam pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan melaksanakan kurikulum menyebabkan mereka berada dalam posisi yang tidak siap melaksanakan kurikulum baru.
82
Selain faktor politik, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan kurikulum pada masa ini adalah perkembangan dalam berbagai teori belajar, model dan orientasi kurikulum, serta kemajuan dalam teknologi yang berdampak pada aplikasinya dalam dunia pendidikan membawa berbagai pemikiran baru dalam kurikulum.
Inovasi berbagai aspek kurikulum dilakukan dalam setiap
perubahan kurikulum tersebut terutama sejak Kurikulum 1975. Oleh karena itu masa Pemerintahan Orde Baru merupakan masa yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia bukan saja dilihat dari banyaknya kurikulum yang dihasilkan pada masa ini tetapi terlebih dari pemikiran-pemikiran baru pendidikan yang diperkenalkan dalam setiap kurikulum. Pada masa ini dapat dikatakan Indonesia mengalami dinamika pengembangan kurikulum yang cukup signifikan dalam menjawab perkembangan masyarakat walau pun ada jurang yang cukup
luas
pengembangan Kesenjangan
antara
pemikiran
kurikulum yang
kependidikan
dengan
demikian
pengelola
memang
yang dan
dikembangkan pelaksana
disayangkan
dan
para
kurikulum.
menyebabkan
pengurangan nilai responsif para pemikir kurikulum.
B. KURIKULUM SMP 1968 Perkembangan kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1968 sudah mulai membaik, pemerintahan sudah mulai stabil walau pun bahaya komunis masih dianggap pemerintah dan rakyat masih sebagai bahaya “latent” . Upaya penumpasan gerakan yang secara resmi dikenal dengan nama G.30.S/PKI dianggap sudah dianggap mencapai titik yang dapat memberikan peluang bagi bangsa untuk memikirkan berbagai hal yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan lain di luar keamanan.
Dalam penataan kehidupan kebangsaan
pendidikan dianggap menjadi ujung tombak untuk mengikis pengaruh dan penyebaran paham komunisme. Generasi muda harus mendapatkan perlindungan dari ancaman bahaya “latent” komunisme. Untuk itu, Pemerintah mengeluarkan kurikulum baru untuk SMP yang dikenal dengan nama Kurikulum SMP 1968 sebagai pengganti Kurikulum SMP 1964. Kurikulum SMP 1968 dikeluarkan oleh
83
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan Perubahan politik yang mendasar terjadi pada tahun 1965 terutama diakibatkan oleh peristiwa yang dikenal dengan nama Pemberontakan G30S/PKI. Peralihan kekuasaan dari pemerintah Presiden Soekarno kepada mandataris Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) kepada Major Jenderal Soeharto dan kemudian pengangkatan beliau sebagai presiden Republik Indonesia oleh MPRS mengubah banyak kebijakan pendidikan masa sebelumnya.
Ajaran Manipol dan ajaran
komunis dilarang, dan dengan demikian kurikulum sekolah harus bebas dari upaya memperkenalkan dan menyebarkan ajaran-ajaran tersebut. Pada tahun 1966, MPRS mengeluarkan ketetapan TAP XXVII/MPRS/1966. Dalam TAP tersebut dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk ”menghasilkan manusia
Pancasila
sejati
berdasarkan
ketentuan-ketentuan
seperti
yang
dikehendaki oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi UndangUndang Dasar 1945”. Dengan adanya TAP tersebut maka arah dan tujuan pendidikan Indonesia berubah dari menghasilkan ”manusia susila yang cakap dan warganegara yang demokratis” menjadi manusia Pancasila sejati. Perubahan ini sangat fundamental dilihat dari pandangan pendidikan karena tujuan pendidikan sebelumnya adalah untuk menghasilkan manusia revolusioner berdasarkan ajaran MANIPOL-USDEK sedangkan tujuan yang ditetapkan oleh MPRS adalah untuk mengikis tujuan tersebut. TAP MPRS ini memang merupakan manifestasi adanya pengaruh politik yang kuat sebagai reaksi pengaruh politik Orde Lama. Meski pun demikian, haruslah diingat bahwa pengaruh politik terhadap pendidikan bukan merupakan sesuatu yang unik dan ekslusif Indonesia tetapi sesuatu yang terjadi di berbagai negara di dunia lagipula perubahan politik yang terjadi sangat fundamental dan dapat dianggap sebagai suatu tuntutan kebutuhan masyarakat (politik) yang baru. Oleh karena itu perubahan kurikulum adalah sesuatu yang tak terhindarkan.
84
2. Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1968 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, MPRS menetapkan perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia yang menghapus pendidikan tentang Manipol-Usdek dari kurikulum sekolah. TAP MPRS nomor XXVII tahun 1966 Bab II Pasal 4 menetapkan isi pendidikan sebagai berikut: (1) Mempertinggi mental modal budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama; (2) Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan; (3) Membina/memperkembangkan physik yang kuat dan sehat. Isi pendidikan di atas dapat dianggap sebagai rincian dari manusia Pancasila sejati yang dinyatakan sebagai tujuan pendidikan Indonesia dan dinyatakan dalam Pasal 3 pada Bab II dari TAP MPRS tersebut. Berdasarkan TAP MPRS itu maka disusunlah kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 1968 menggantikan Kurikulum 1964. Dalam sejarah kurikulum di Indonesia, Kurikulum 1964 dapat dikatakan sebagai kurikulum yang paling singkat masa berlakunya. Struktur Kurikulum SMP 1968 berbeda dari Kurikulum SMP Gaya Baru (1962) atau pun dari Kurikulum SMP 1954. Struktur Kurikulum SMP 1968 lebih sederhana dibandingkan kedua kurikulum yang mendahuluinya. Struktur Kurikulum SMP 1968 terdiri atas Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar, dan Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Adanya kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila disesuaikan dengan tujuan pendidikan ”menghasilkan manusia Pancasila sejati” yang telah ditetapkan oleh MPRS, menggantikan Kelompok Dasar yang ditetapkan dalam Kurikulum SMP Gaya Baru. Jumlah mata pelajaran dalam kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit dibandingkan jumlah mata pelajaran Kelompok Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru. Demikian pula dengan beban belajar untuk kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila lebih sedikit yaitu 11 jam dibandingkan 13 jam pada kelompok Dasar Kurikulum SMP Gaya Baru. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dihilangkan dari kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila
85
sementara itu mata pelajaran Civics (Kewargaan Negara) diantikan oleh Pendidikan Kewargaan Negara yang didalamnya terdapat unsur Sejarah Indonesia, Ideologi Negara Pancasila, Politik dan Tata Hukum Indonesia. Kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar adalah kelompok mata pelajaran yang memberikan pengetahuan dasar dalam bahasa, ilmu pasti, ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Kelompok ini menjadi dasar bagi mereka yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SMA) dan dasar untuk berbagai ketrampilan yang diperlukan masyarakat. Pada kelompok ketiga yaitu Kelompok
Pembinaan
Kecakapan
Khusus
adalah
kelompok
untuk
mengembangkan keckapan khusus yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja tertentu tetapi juga untuk mengembangkan minat seseorang yang dapat digunakan dalam mengembangkan pekerjaan yang lepas dari “formal vocation” di pemerintah mau pun swasta. Pada dasarnya Kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus dalam Kurikulum SMP 1968 mirip atau bahkan dapat dikatakan sama dengan kelompok Rasa/Karsa dalam Kurikulum SMP Gaya Baru. Sebagaimana dengan kurikulum Kurikulum SMP Gaya Baru, Kurikulum SMP 1968 tidak mengenal adanya penjurusan pada kelas III SMP. Pendidikan SMP adalah pendidikan umum dan oleh karenanya kurikulum SMP tidak perlu menyiapkan peserta didik dalam spesialisasi pendidikan keilmuan (disiplin ilmu) yang khusus. Pandangan bahwa pendidikan di jenjang SMP ini merupakan bagian dari pendidikan umum bagi banga Indonesia dianut sampai sekarang bahkan diperkuat posisinya dalam program Wajib Belajar 9 Tahun (WAJAR 9 Tahun) yang dicanangkan Pemerintah sejak 1984. Tabel 7.1. di bawah ini menggambarkan keseluruhan struktur kurikulum, mata pelajaran, beban belajar serta distribusinya untuk setiap kelas. Sebagaimana kurikulum sebelumnya masa belajar belajar satu tahun akademik dibagi dalam kuartal dan beban belajar untuk setiap kuartal sama. Distribusi beban belajar nantinya berbeda ketika sistem semester digunakan menggantikan sistem kuartal. Tabel 7.1: Struktur dan Mata Pelajaran
86
Rencana Pelajaran SMP Tahun 1968
KELOMPOK
KELAS
MATA PELAJARAN I
II
III
1.Pendidikan Agama
3
3
3
2.Pendidikan Kewargaan Negara
3
3
3
3.Bahasa Indonesia (I)
3
3
3
4.Olahraga
2
2
2
11
11
11
1.Bahasa Indonesia (II)
2
2
2
Pembinaan
2.Bahasa Daerah
2
2
2
Pengetahuan
3.Bahasa Inggeris
3
3
3
4.Ilmu Aljabar
3
3
3
5.Ilmu Ukur
3
3
3
6.Ilmu Alam
3
3
3
7.Ilmu Hayat
2
2
2
8.Ilmu Bumi
2
2
2
9.Sejarah
2
2
2
10.Menggambar
2
2
2
24
24
24
1.Administrasi
1
1
1
Pembinaan
2.Kesenian
2
2
2
Kecakapan
3.Prakarya
2
2
2
4.Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
1
1
1
6
6
6
41
41
41
A Pembinaan Jiwa Pancasila
Sub Jumlah B
Dasar
Sub Jumlah C
Khusus
Sub Jumlah Jumlah
Jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1968 (18) lebih sedikit dibandingkan kurikulum SMP Gaya Baru.(19). Perbedaan jumlah satu mata pelajaran tidak menyebabkan beban belajar peerta didik berkurang. Pada
87
kurikulum SMP Gaya Baru jumlah beban belajar keseluruhan peserta didik 40 jam seminggu sedangkan dalam kurikulum SMP 1968 dengan jumlah mata pelajaran lebih sedikit tetapi jumlah jam belajar lebih banyak yaitu 41 jam seminggu. Penambahan jam terjadi dengan memberikan jam belajar yang lebih besar kepada Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewargaan Negara masingmasing dari 2 jam menjadi 3 jam. Dalam kelompok kedua, penambahan jam belajar terjadi pada mata pelajaran bahasa Inggeris dan Ilmu Alam masing satu jam. Sedangkan mata pelajaran lain tidak bertambah atau pun tidak berkurang. Organisasi konten yang dinamakan mata pelajaran pun berubah terutama untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, Sejarah, dan Ilmu Bumi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia yang semula terdiri atas satu mata pelajaran dalam kurikulum SMP Gaya Baru dalam kurikulum SMP 1968 dipecah menjadi 2 yaitu bahasa Indonesia I dan bahasa Indonesia II dan keduanya ditempatkan dalam kelompok yang berbeda. Bahasa Indonesia I masuk dalam kelompok Pembinaan Jiwa Paancasila sedangkan Bahasa Indonesia II masuk dalam kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar. Berbeda dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi yang dalam kurikulum SMP Gaya Baru terpisah dalam dua mata pelajaran, dalam kurikulum SMP 1968 masing-masing dijadikan satu mata pelajaran. Mata Pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Sejarah Dunia digabungkan menjadi mata pelajaran Sejarah. Mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia dan Ilmu Bumi Dunia digabungkan
menjadi
satu
dengan
nama
mata
pelajaran
Ilmu
Bumi.
Penggabungan kedua mata pelajaran tersebut tidak mengubah jam pelajaran karena jika sebelumnya terdiri atas 1 jam masing-masing untuk Sejarah Kebangsaan dan Sejaarah Dunia sekarang menjadi 2 jam pelajaran untuk mata pelajaran Sejarah. Demikian pula dengan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia yang digabungkan dengan Ilmu Bumi Dunia menjadi Ilmu Bumi dengan jam belajar yang juga digabungkan sehingga menjadi 2 jam.
88
Perbedaan lain untuk kedua mata pelajaran tersebut yaitu penempatannya dalam kelompok. Jika dalam kurikulum SMP Gaya Baru mata pelajaran Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia dimasukkan dalam kelompok Dasar sedangkan Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia dalam kelompok Cipta maka setelah digabungkan mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi masuk dalam kelompok Pembinaan Pengetahuan Dasar. Hal ini mencerminkan adanya pemikiran kurikulum yang berbeda antara pengembang kurikulum SMP Gaya Baru dengan SMP 1968. Ide para pengembang kurikulum SMP 1968 tidak lagi memandang mata pelajaran Sejarah Kebangsaan dan mata pelajaran Ilmu Bumi Indonesia sebagai bagian dari dasar pembentukan kebangsaan atau Jiwa Pancasila. Tampaknya penggabungan itu didasarkan pada pemikiran bahwa materi Sejarah Kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia tidak berbeda dari materi Sejarah Dunia dan Ilmu Bumi Dunia yaitu bagian dari pendidikan akademik. Oleh karenanya, materi masing-masing kedua mata pelajaran tersebut dapat digabungkan dan fungsinya menjadi mata pelajaran akademik semata. Para pengembang kurikulum SMP 1968 mungkin saja lupa bahwa persyaratan untuk menjadi warganegara Indonesia adalah memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai sejarah nasional, ilmu bumi (geografi) Indonesia, bahasa Indonesia dan ideologi negara. Oleh karena itu menjadikan materi Sejarah Kebangsaan (nasional) dan Ilmu Bumi Indonesia menjadi materi kajian akademik tampaknya melupakan persyaratan warganegara tersebut. Tentu saja orang dapat berargumentasi bahwa yang terpenting adalah peserta didik dapat mempelajari dan memiliki pengetahuan mengenai materi Sejarah kebangsaan dan Ilmu Bumi Indonesia bagaimana pun keduanya diorganisasikan dan ditempatkan dalam struktur kurikulum. Pandangan demikian melemahkan makna dan fungsi dari kelompok mata pelajaran dalam struktur kurikulum karena pembagian mata pelajaran dalam kelompok tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai tujuan dan fungsi struktur yang ada.
89
Perubahan kelompok terjadi dengan mata pelajaran Ilmu Administrasi yang dalam kurikulum SMP Gaya Baru masuk dalam kelompok Cipta sedangkan dalam kurikulum SMP 1968 dimasukkan dalam kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Berbeda dari mata pelajaran Sejarah dan Ilmu Bumi, perubahan kelompok menyebabkan nama mata pelajaran nya pun berbeda yaitu dari Ilmu Administrasi yang masuk kelompok Cipta menjadi Administrasi yang masuk kelompok Pembinaan Kecakapan Khusus. Dalam hal ini, perubahan kelompok tidak menimbulkan permasalahan dalam struktur kurikulum karena mater pelajaran administrasi sebagai ilmu berbeda dari materi pelajaran administrasi sebagai ketrampilan. C. KURIKULUM SMP 1975 Kurikulum 1968 dianggap sudah mulai usang. Perkembangan kehidupan politik, sosial, budaya, teknologi dan terutama ekonomi dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kurikulum yang ada. Sementara itu keberadaan lembaga resmi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Badan Pengembangan Pendidikan dimana ada bagian Pengembangan Kurikulum memberikan arahan pengembangan kurikulum yang lebih fokus, sistematis, dan sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan terutama kurikulum. Pakar yang belajar khusus dalam kurikulum menambah kekuatan bangsa Indonesia dalam memikirkan kurikulum lebih serius. Pada tahun 1975 Pemerintah mensyahkan kurikulum baru untuk SMP yang diberi nama Kurikulum SMP 1975. Hasil kajian penilaian telah menunjukkan bahwa kualitas tamatan SMP sebagaimana yang dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1968 sudah dianggap tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Masyarakat menghendaki tamatan SMP yang mampu belajar aktif, menjadi manusia yang mampu mencari, mengolah, dan mengembangkan pengetahuan baru. Untuk itu peserta didik tidak lagi menjadi orang yang pasif menerima berbagai informasi yang disajikan guru dan buku teks tetapi sudah harus menjadi subjek yang mampu membelajrkan dirinya dengan cara belajar aktif.
90
Untuk mendukung posisi peserta didik sebagai subjek dalam belajar berbagai inovasi pendidikan telah tersedia. Inovasi dalam proses pembelajaran yang mengarah kepada pendekatan teknologi pembelajaran yang terencana, terarah dan jelas memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk menguasai pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap yang harus mereka miliki. Inovasi pembelajaran dengan menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional dianggap lebih efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu Pemerintah telah menyelesaikan penulisan buku-buku pelajaran yang memerlukan kurikulum baru karena berbagai pokok bahasan dan informasi baru yang terdapat pada buku-buku tersebut. 1.Perkembangan Kebijakan Pendidikan Perubahan dalam tujuan pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru terus berkembang. Dapat dikatakan hampir pada setiap sidang MPR lima tahunan menghasilkan tujuan pendidikan baru. Dalam Sidang Umum MPRS pada tahun 1973 MPRS menghasilkan TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 yaitu mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam bagian mengenai Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembinaan Generasi Muda dinyatakan bahwa “pembangunan dibidang pendidikan didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang berPancasila dan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.” (Dokumen TAP MPRS No. IV Tahun 1973; Gunawan, 1986: 52).
Istilah manusia Pancasila sejati tidak lagi digunakan. Situasi politik pada tahun 1973 kiranya sudah lebih stabil dibandingkan tahun 1966 dalam menangkal
91
pengaruh negatif faham dan gerakan komunis di Indonesia. Oleh karena itu katakata Pancasila sejati dalam tujuan pendidikan tidak perlu dinyatakan secara ekspilisit. Sebagai gantinya jargon politik yang populer pada waktu itu adalah manusia pembangunan. Semua kegiatan diarahkan untuk pembangunan dan suasana pembangunan fisik dan non fisik mendominasi kehidupan kebangsaan. Pembentukan manusia pembangunan sesuai dengan kebijakan politik pada waktu itu yang menempatkan pembangunan sebagai jargon politik penting dalam kehidupan bangsa. Sesuai dengan arah pembangunan bangsa maka pendidikan sebagai salah satu upaya pembangunan bangsa harus menghasilkan manusia sesuai dengan ciri kehidupan bangsa pada waktu itu. Perubahan lain yang cukup menonjol dari rumusan tujuan dalam TAP MPRS IV tahun 1973 dibandingkan TAP MPR sebelumnya adalah pada TAP MPRS IV tahun 1973 posisi pengetahuan dan ketrampilan cukup penting dibandingkan rumusan TAP MPRS nomor XXVII/MPRS/1966. Penempatan posisi pengetahuan dan ketrampilan memang sudah sewajarnya karena adalah suatu kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa manusia memang tidak mungkin hidup tanpa ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan yang dirumuskan TAP MPRS IV tahun 1973 memperlihatkan tugas pendidikan yang cukup mendasar dalam mengembangkan potensi peserta didik di berbagai bidang untuk menjadi manusia yang “sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, dapat mengembangkan kreaktivitas dan tanggung-jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.”
Dalam tujuan yang dirumuskan TAP MPRS nomor IV Tahun 1973 manusia Indonesia adalah manusia yang selain sehat jasmani dan rokhani, memiliki pengetahuan dan ketrampilan tetapi memiliki pula berbagai kualitas afektif yang
92
masih tetap aktual untuk masa kini. Sikap demokrasi dan tanggungjawab adalah sesuatu yang masih diperlukan hingga saat kini dan untuk masa panjang selama negara Indonesia dan bangsa Indonesia menegakkan kehidupan kebangsaannya atas dasar demokrasi, sesuatu yang tidak saja dominan tetapi juga menjadi alternatif terbaik dalam kehidupan kebangsaan. Cara merumuskan yang memberikan keseimbangan antara kemampuan kognitif dan afektif (demokrasi dan bertanggungjawab) digunakan pula dalam rumusan berikutnya. Kualitas kognitif yaitu kecerdasan yang tinggi diseimbangkan dengan kualitas afektif yaitu budi pekerti yang luhur. Prinsip keseimbangan digunakan pula dalam rumusan mengenai usaha pendidikan untuk menghasilkan manusia yang mencintai bangsanya dan juga sesama manusia untuk tidak menimbulkan sikap chauvinistis atau nasionalisme yang sempit. Untuk merealisasikan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, TAP MPRS Nomor IV tahun 1973 telah pula menetapkan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai pengganti Civics atau Kewargaan Negara pada kurikulum sebelumnya. Pada bagian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Tenologi dan Pembinaan Generasi Muda titik 2 TAP MPRS tersebut dirumuskan arah bagi kurikulum TK sampai Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA). Dalam titik 2 itu dirumuskan sebagai berikut: “untuk mencapai cita-cita tersebut maka kurikulum disemua tingkat pendidikan, mulai dari Taman kanak-kanak sampai perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta harus berisikan Pendidikan Moral Pancasila dan unsur unsur yang cukup untuk meneruskan Jiwa dan Nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda”. Kedudukan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai mata pelajaran wajib berlaku sampai saat kini walau pun nama mata pelajaran ini mengalami perubahan nama beberapa kali, disesuaikan dengan TAP-TAP MPR pada masa berikutnya.
Disamping perubahan politik yang terutama dalam keputusan mengenai tujuan pendidikan nasional terjadi pula berbagai pemikiran baru tentang kurikulum. Kehadiran
beberapa
sarjana
yang
memfokuskan
dirinya
pada
bidang
93
pengembangan kurikulum dan bidang studi kurikulum memperkenalkan berbagai pemikiran baru untuk kurikulum 1975. Berbagai teoori dan pemikiran mengenai pengembangan kurikulum (curriculum development) yang mereka pelajari dan dianggap bermanfaat bagi dunia pendidikan Indonesia mereka aplikasikan dalam pekerjaan pengembangan Kurikulum 1975.
Mereka memperkenalkan pikiran
inovatif mengenai desain kurikulum, posisi peserta didik dalam belajar, proses pembelajaran, dan evaluasi atau asesmen hasil belajar. Desain kurikulum yang mengarah kepada model pendekatan tujuan menghasilkan struktur tujuan lebih jelas dan keterkaitan antara berbagai jenjang tujuan dinyatakan secara eksplisit. Jika dalam Kurikulum SMP 1954 tujuan setiap mata pelajaran dirumuskan terpisah dari materi yang dipelajari maka pada Kurikulum SMP 1975 dirumuskan dalam sebuah matriks sehingga jelas keterkaitan antara tujuan kurikuler dan tujuan instruksional. Selain itu, Kurikulum SMP 1975 memperlihatkan keterkaitan yang jelas antara Tujuan Kurikuler, Tujuan Instruksional Umum, materi, metode, dan penilaian hasil belajar.
Kurikulum sebelumnya tidak memperlihatkan
keterkaitan berbagai komponen itu dalam satu matriks. Pemikiran inovatif yang juga dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1975 adalah adanya penjelasan mengenai berbagai hal yang dianggap inovatif atau pun yang merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilaksanakan seebelumnya. Diantara pikiran-pikiran
itu
penggunaan
model
Prosedur
Pengembangan
Sistem
Instruksional (PPSI) dan sistem penilaian yang berkelanjutan merupakan aspek inovasi, pedoman pelaksanaan kurikulum banyak berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum berikutnya. Sebagian dari pemikiran inovatif yaitu pengunaan filosofi perenialisme masih dipertahankan untuk jenjang pendidikaan dasar sedangkan penerapan filosofi perenialisme untuk kurikulum SMA mendapatkan tantangan politis yang kuat sehingga pada tahun 1984 Kurikulum SMA kembali dikembangkan berdasarkan filosofi esensialisme sampai hari ini.
Tentang tujuan, Kurikulum 1975 menggunakan pendekatan hierarkis antara tujuan pendidikan nasional, tujuan pendidikan institusional, tujuan pendidikan kurikuler, tujuan pendidikan instruksional umum, dan tujuan pendidikan instruksional
94
khusus. Keterkaitan antar tujuan tersebut masih berlangsung sampai kurikulum 1994 dan menjadi petunjuk kuat mengenai keterkaitan antara apa yang dikehendaki bangsa Indonesia dengan apa yang dikembangkan kurikulum. Secara diagramatik keterkaitan itu digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Heirarki Tujuan Pendidikan
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
TUJUAN INSTITUSIONAL (LEMBAGA)
TUJUAN KURIKULER
TIU
TIU
TUJUAN KURIKULER
TIU
TUJUAN KURIKULER
TIU
TIU
TIU
Di bawah setiap TIU terdapat sejumlah TIK yang harus dirumuskan guru. Hierarchi keterkaitan tujuan pendidikan tersebut berdasarkan asumsi bahwa apabila tujuan pendidikan di bawah dirumuskan dengan benar dan tercapai maka tujuan pendidikan di atasnya akan tercapai. Artinya, jika kualitas hasil belajar yang dirumuskan guru dalam TIK tercapai maka TIU yang menjadi dasar pengembangan TIK tersebut diasumsikan tercapai. Jika berbagai kualitas hasil
95
belajar yang dirumuskan dalam berbagai TIU tercapai maka Tujuan Kurikuler untuk bidang tudi tersebut tercapai. Jika kualitas hasil belajar yang dirumuskan dalam berbagai Tujuan Kurikuler dimiliki peserta didik maka tamatan SMP akan memiliki kualitas hasil belajar yang dirumuskan dalam Tujuan Institusional (SMP) tersebut. Apabila semua tujuan institusional semua lembaga pendidikan tercapai maka kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional tercapai pula.
2. Tujuan Institusional SMP Dalam bab III Buku I Kurikulum SMP 1975 ditetapkan adanya Tujuan Umum dan Tujuan Khusus. Tujuan Umum menggambarkan tujuan pendidikan SMP yang terdiri atas tiga tujuan yang mencakup wewenang yang dimiliki seorang tamatan pendidikan SMP. Ketiganya adalah menjadi “warganegara yang baik sebagai manusia yang utuh, sehat, kuat lahir dan batin; menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari hasil pendidikan di Sekolah Dasar; dan memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan untuk terjun ke masyarakat”. Tujuan nomor satu jelas merupakan tujuan yang dirancang untuk menjadi kualitas peserta didik yang belajar dari kurikulum SMP sehingga kurikulum SMP diharapkan mampu mengembangkan berbagai pengetahuan, ketrampilan dan nilai untuk menjadi warganegara yang baik. Tujuan nomor dua menggambarkan keterkaitan antara kurikulum SD – SMP sehingga ketiga kualitas yang dirumuskan dalam tujuan pertama merupakan suatu upaya lanjutan dari apa yang sudah dikembangkan dalam kurikulum SD. Sedangkan tujuan ketiga menggambarkan apa yang dapat dilakukan peserta didik dari hasil yang dirumuskan pada tujuan pertama dan kedua yaitu peserta didik dapat menggunakan kemampuan yang sudah dimiliki untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi atau menjadi anggota masyarakat yang memiliki keutuhan kemampuan serta sehat lahir-batin.
Tujuan khusus pendidikan SMP menjadi tujuan yang secara operasional harus terjamin ketercapaiannya dalam rancangan dokumen kurikulum, dalam proses
96
implementasi kurikulum berupa kegiatan proses belajar-mengajar, dan terbukti dalam informasi yang dikumpulkan oleh asesmen hasil belajar dan bahkan evaluasi kurikulum. Tujuan khusus tersebut mencakup bidang pengetahuan, ketrampilan, dan nilai.
Ketiga ranah ini merupakan ranah penting karena
pengetahuan adalah landasan untuk mengembangkan ketrampilan (belajar, berpikir, kinestetik, estetika, kesehatan, kepemimpinan, dan vokasional), dan untuk mengembangkan nilai yang berkenaan dengan ideologi dan dasar hukum/ filosofi negara, agama, kemanusiaan; sikap demokratis dan tenggang rasa, tanggungjawab, apresiasi budaya dan karya, percaya diri, rasa ingin tahu (minat), disiplin dan patuh, jujur, mandiri, berinisiatif, kreativitas, kritis, rasional, objektif, menghargai pekerjaan ; kebiasan hidup hemat, produktif, sehat dan berolahraga, menghargai waktu. Dari tujuan khusus yang dirumuskan dalam Buku I Bab III Pasal 5 jelas menunjukkan pemahaman para pengembang kurikulum dalam berbagai teori tentang intelegensia, sikap dan nilai, serta tujuan. Rumusan tujuan khusus tersebut jelas membedakan ranah pengetahuan dari kemampuan/ketrampilan dan nilai. Pada masa belakangan para pelaksana kurikulum dan pengambil kebijakan dalam kurikulum tidak memberikan perhatian yang sungguh dalam mengembangkan ranah kemampuan/ketrampilan serta sikap dan nilai tetapi terfokuskan pada pengembangan pengetahuan. Ranah kemampuan/ketrampilan yang meliputi berbagai
aspek
inteleligensia
yang
lebih
luas
dibandingkan
“multiple
intelligences” Howard Gardner tidak mendapatkan perhatian dan pengembangan yang seharusnya. Ranah sikap dan nilai terabaikan dalam kadar yang sama dengan ranah kemampuan/ketrampilan. Kedua ranah yang disebutkan belakangan ini diperlakukan seperti ranah pengetahuan sehingga proses belajar dan materi pelajaran kedua ranah tersebut dikerdilkan menjadi ranah pengetahuan.
Ketrampilan dan nilai serta sikap yang dikembangkan Kurikulum 1975 masih relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia masa kini dan masih relevan dengan kebijakan pendidikan Pemerintah
akhir-akhir ini yang diterjemahkan
dalam kebijakan pendidikan budaya dan karakter bangsa, belajar aktif, mandiri-
97
kreatif dan kewirausahaan. Pelajaran yang muncul dari pengalaman Kurikulum SMP 1975 adalah kekurangan dalam perhatian dan kemampuan mengembangkan proses belajar yang dapat membangun kemampuan, sikap dan nilai yang telah dirumuskan sebagai tujuan menjadi perilaku peserta didik. Kelemahan dalam mengembangkan proses pembelajaran dan keterpurukaa proses pembelajaran kemampuan (skills), sikap dan nilai menyebabkan pengembangan ranah ketrampilan intelektual dan afektif tersebut menjadi pengembangan pengetahuan sehingga peserta didik mengenai apa yang dimaksudkan dengan berbagai ketrampilan, sikap dan nilai yang dibahas di kelas tapi mereka tidak mampu melakukannya dalam perilaku keseharian mereka di sekolah dan masyarakat. Kelemahan lain adalah dalam penilaian hasil belajar peserta didik yang sebagaimana halnya dengan proses pembelajaran terfokuskan dan terpuruk pada upaya mencari informasi tentang kemampuan peserta didik dalam ranah pengetahuan. Pengaruh dari asesmen hasil belajar yang terpuruk pada pengetahuan maka proses pembelajaran semakin memusatkan perhatiannya pada upaya pengembangan pengetahuan. Sayangnya, kelemahan ini berlanjut pada kurikulum SMP berikutnya. Kenyataan ini merupakan pelajaran terbaik agar bangsa ini tidak lagi dan lagi mengulang kesalahan yang sama.
3. Prinsip Yang Melandasi Pengembangan Kurikulum SMP 1975 Prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum SMP 1975 adalah sebagai berikut: -
Prinsip Fleksibilitas Program Prinsip efisiensi dan efektivitas Prinsip berorientasi pada Tujuan Prinsip Kontinuitas Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Kelima prinsip tersebut digunakan dalam aspek pengembangan kurikulum yang berbeda. Prinsip fleksibilitas program memberikan kemungkinan bagi sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan ketrampilan yang berbeda baik pendidikan ketrampilan wajib mau pun pilihan. Sekolah harus menentukan proram pendidikan mana yang akan dikembangkan disesuaikan dengan fasilitas yang
98
dimiliki sekolah dan kebutuhan masyarakat akan ketrampilan yang ada pada program yang ditawarkan kurikulum. Sekolah harus menghindari kejenuhan yang terjadi di masyarakat akan kebutuhan suatu ketrampilan tertentu sehingga peserta didik dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mencari pekerjaan. Prinsip efisiensi dan efektivitas digunakan untuk memanfaatkan waktu yang tersedia di kelas dengan sebaik-baiknya dan kemampuan belajar peserta didik diukur dari beban tugas yang harus dilakukannya. Kurikulum mendesain agar proses belajar-mengajar di kelas tidak menghabiskan waktu belajar untuk menyalin materi pelajaran dari papan tulis. Penerapan prinsip efisiensi dan efektiitas kedua adalah dengan cara mengurangi jam belajar per minggu dari 42 jam menjadi 36. Pengurangan jam belajar tersebut dilakukan dengan landasan pikiran bahwa jam belajaar yang terlalu padat tidak memberikan peluang bagi peserta didik untuk mencernakan materi pelajaran dengan baik karena jenuh, dan memungkinkan peserta didik menggunakan waktu untuk mengembangkan kreativitas di luar kegiatan kelas. Prinsip berorientasi pada tujuan digunakan untuk mengembangkan proe belajarmengajar sehingga setiap guru dan peserta didik memahami apa yang akan mereka capai dengan materi pelajaran yang ada. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan materi pelajaran maka guru haru dapat menentukan proses belajar yang paling efektif. Prinsip kontinuitas dirancang dan dikembangkan dalam pengertian bahwa adanya kontinuitas antara apa yang sudah dipelajari di SD dengan apa yang dipelajari di SMP dan juga dasar untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Prinsip ini merapakan prinsip kurikulum yang cukup penting yang sering diistilahkan dengan “vertical organization”. Kontinuitas dalam “vertical organization” tidak saja berkenaan dengan materi pengetahuan (knowledge) yang sudah dipelajari di sebuah jenjang pendidikan tetapi juga kontinuitas antara materi ketrampilan (intelektual, emosional, sosial, psikomotorik) dan materi afekti (nilai dan sikap) dari kelas/sekolah ke kelas/sekolah yang lebih tinggi. Prinsip pendidikan seumur hidup menyatakan bahwa apa yang sudah dipelajari di sekolah dapat digunakan dan dikembangkan lebih lanjut ketika eseorang sudah
99
tidak lagi belajar di jalur sekolah atau pun luar sekolah. Ia memiliki kemandirian untuk belajar terus bagi pengembangan kemampuan dan kepribadian dirinya. Sebetulnya untuk bisa belajar sepanjang hiddup seseorang memerlukan ketrampilan belajar, kebiasaan dan ketrampilan membaca, rasa ingin tahu yang tinggi serta disiplin. Sayangnya, nilai-nilai ini yang juga dinatakan dalam tujuan kurikulum tidak dikembangkan sebagaimana seharusnya. Tneu saja dengan demikian, belajar sepanjang hidup tidak tampak dalam realita kehidupan peserta didik di sekolah dan masyarakat.
4. Pikiran Pokok Kurikulum 1975 Pada tanggal 17 Januari tahun 1975, melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 008-D/U/1975, Pemerintah menetapkan kurikulum baru untuk SMP dan dinamakan Kurikulum 1975, sesuai dengan tahun penetapan berlakunya kurikulum tersebut. Dapat dikatakan bahwa Kurikulum 1975 memberikan landasan baru bagi kebijakan pengembangan kurikulum di Indonesia. Kurikulum 1975 merupakan kurikulum pertama di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan teori, model, dan desain kurikulum modern. Pikiran teoritik tentang peserta didik, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar dijadikan dasar-dasar utama dalam pemikiran pengembangan kurikulum. Model pembelajaran yang dikenal dengan nama Perencanaan Sistem Instruksional menjadi model baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum 1975 pikiran teoritik dan prosedur pengembangan kurikulum modern dilaksanakan dalam pengembangan ide kurikulum, rancangan pembelajaran dan pedoman pelaksanaan. Ide kurikulum memuat landasan filosofis, teoritis dan model kurikulum dan sebenarnya adalah jawaban kependidikan Pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat sebagaimana yang dipersepsi oleh para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan dan terjemahan dari kebijakan tersebut oleh para pengembang kurikulum secara teknis. Ide kurikulum tersebut dirancang sedemikian rupa dan ditulis dalam Buku I dokumen kurikulum yang dinamakan Ketentuan-ketentuan Pokok. Rancangan pembelajaran yang dinamakan Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) untuk setiap mata pelajaran dikembangkan dalam Buku II. Untuk melaksanakan Kurikulum 1975 dikembangkan Pedoman Pelaksanaan Kurikulum berkenaan dengan hal khusus dan model satuan pelajaran, penilaian, bimbingan dan
100
penyuluhan, serta administrasi dan supervisi dalam Buku III. Model pengembangan dokumen kurikulum yang terdiri atas 3 buku ini nantinya dilanjutkan terus pada pengembangan kurikulum berikutnya dan baru berubah ketika kebijakan pendidikan memberikan wewenang pengembangan kurikulum kepada daerah dan sekolah.
Buku I Kurikulum 1975 memuat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 008-D/U/1975 tentang pikiran-pikiran pokok (curriculum ideas) dari Kurikulum 1975. Pikiran pokok tersebut berisikan ketentuan umum, dasar dan tujuan pendidikan , tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan SMP, susunan kurikulum (struktur kurikulum), susunan program pengajaran dan metode penyampaian, dan strategi implementasi yang dinyatakan dalam bagian lain-lain/ penutup. Dalam bagian umum dirumuskan berbagai istilah yang digunakan dalam kurikulum seperti GBPP, model satuan pelajaran, jam pelajaran, semester, program
pendidikan
umum,
program
pendidikan
akademis,
pendidikan
ketrampilan pilihan terikat, pendidikan ketrampilan pilihan bebas, lama waktu belajar di SMP, dan guru bidang studi (Kurikulum SMP 1975 menggunakan istilah bidang studi dan bukan mata pelajaran dan oleh karena itu maka guru pun adalah guru bidang studi dan bukan lagi guru mata pelajaran. Beberapa dari istilah tersebut merupakan istilah yang sudah dikenal dan diartikan sama dengan pengertian yang sudah dikenal kepala sekolah, guru, dan masyarakat. Beberapa istilah adalah istilah baru yang dikembangkan dan digunakan oleh Kurikulum 1975. Rumusan istilah-istilah yang digunakan dalam kurikulum baik yang sudah umum mau pun yang baru, memiliki makna yang penting. Rumusan itu menyampaikan pengertian yang digunakan oleh para pengembang ketika mereka mendesain dan mengembangkan dokumen kurikulum (curriculum as a written plan). Pengertian tersebut mengikat dan menjadi patokan bagi kepala sekolah, guru dan pengawas sehingga terjadi kesamaan bahasa dalam komunikasi antara para pelaksana kurikulum dengan pengembang kurikulum. Kesamaan bahasa antara para pengembang dan pelaksana dipersyaratkan dalam banyak literatur tentang pengembang kurikulum karena kesamaan bahasa tersebut menjadi satu kunci
101
keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Meski pun demikian harus diingat bahwa adanya rumusan istilah yang telah dilakukan para pengembang kurikulum bukanlah pengganti sosialisasi sebagai salah satu strategi implementasi kurikulum. Rumusan yang telah dikembangkan menjadi titik berangkat dalam membangun persamaan bahasa dalam sosialisasi. Lagipula, sosialisasi mempunyai fungsi untuk membangun pemahaman dan mengembangkan ketrampilan baru yang diperlukan guru bidang studi. Sayangnya, kelemahan dalam sosialisasi untuk implementasi terutama berkenaan dengan aspek ketrampilan yang harus dimiliki guru seperti pengembangan PPSI, merumuskan tujuan instruksional khusus berdasarkan kaategori atau taksonomi tujuan pendidikan Bloom (Taxonomy of Educational Objectives), pengembangan tes objektif, dan bahkan ketrampilan dalam belajar dengan Cara Belajar Siswa Aktif serta pengembangan strategi dan proses pembelajaran yang menyebabkan peserta didik belajar aktif,
menjadi
faktor yang cukup menentukan kelemahan kalau tidak dapat disebut sebagai kegagalan implementasi Kurikulum SMP 1975. Pelatihan yang dilakukan tidak sampai kepada setiap guru dan tidak mampu mengembangkan ketrampilan yang diperlukan guru. Lagipula, banyak dari pelatihan tersebut dilakukan sepanjang perjalanan implementasi dan bukan di awal tahun sebelum implementasi di kelas I dilakukan. Dalam Ketentuan Umum Kurikulum 1975 istilah baru yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 yaitu Garis Besar Program Pengajaran (GBPP), model satuan pelajaran yang nantinya menggunakan model Program Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), semester sebagai pengganti sistem kuartalan, guru bidang studi sebagai pengganti guru mata pelajaran, tujuan instruksional (umum dan khusus). Garis Besar Program Pengajaran dirumuskan sebagai “ikhtisar dari pada keseluruhan program pengajaran yang terdiri atas tujuan-tujuan kurikuler, tujuan-tujuan instruksionil (sic!) dengan ruang lingkup bahan-bahan pengajaran yang diatur dan disusun secara berurutan menurut semester dan kelas”. Secara khusus GBPP dikembangkan sebagai dokumen khusus untuk setiap bidang studi yang ada dalam struktur Kurikulum 1975 berisikan rumusan tujuan kurikuler,
102
tujuan isntruksional umum (TIU), pokok-pokok bahasan, dan tata urut penyampaian bahasan (sequence) di setiap semester, dan dari satu semester ke semester berikutnya. Guru berkewajiban mengembangkan GBPP menjadi satuan pelajaran untuk setiap TIU dan pokok bahasan yang perlu dipelajari untuk menguasai kemampuan yang tertuang dalam rumusan TIU 18 . Setiap rumusan TIU mengandung komponen peserta didik, kemampuan/ketrampilan (intelektual, afektual, psikomotorik), dan aspek substantif yang harus dipelajari dan dikuasai peserta didik. Aspek substantif dipelajari dan digunakan untuk melatih peserta didik dalam menguasai aspek kemampuan tetapi aspek kemampuan/ketrampilan juga digunakan dalam mempelajari aspek substantif sehingga peserta didik mencapai tingkat mahir dalam menggunakan kemampuan/ketrampilan. Kedua proses tersebut bersifat timbal balik dan menyebabkan terjadinya proses belajar bermakna. Model satuan pelajaran dirumuskan sebagai “pedoman tentang proses belajarmengajar yang meliputi tujuan-tujuan instruksionil (khusus), pokok-bahasan, uraian kegiatan belajar-mengajar murid dan guru, alat/media pelajaran, dan alat evaluasi yang digunakan”. Sebagaimana dikemukakan di atas model satuan pelajaran yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 dinamakan Program Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Model PPSI dikembangkan dari wilayah Desain Instruksional (Instructional Design) dan bukan bidang kurikulum. Meski pun demikian, PPSI cukup efektif untuk mengimplementasi kurikulum sebagai dokumen menjadi kurikulum sebagai suatu proses. Pemanfaatan PPSI sebagai salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 18
Dalam Buku I Kurikulum SMP 1975 titik 2.3 di halaman 21 dikatakan bahwa “pokok bahasan yang telah disusun secara berurutan ini selanjutnya perlu dikembangkan menjadi suatu program instruksionil yang jelas sasarannya (dalam bentuk rumusan tujuan instruksionil yang lebih khusus), perincian pokok‐pokok bahasan, alat‐alat pelajaran yang harus disediakan dan digunakan, cara mengajar dan belajar yang harus ditempuh, lamanya pelajaran itu diadakan, alat evaluasi yang perlu disusun untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan para siswa. Petunjuk tersebut agak “menyesatkan” karena model yang digunakan adalah pendekatan tujuan sebagaimana dinyatakan dalam buku yang sama di halam 17 (prinsip berorientasi pada tujuan) dan pada halaman 21 tentang kedudukan tujuan. Dengan pendekatan tujuan maka seharusnya TIK dirumuskan sebagai operasionalisasi TIU terutama yang berkenaan aspek kemampuan intelektual, afektif, dan psikomotorik dan rincian materi pembelajaran dari materi TIU yang sesuai dengan materi pokok bahasan.
103
memiliki dampak yang cukup positif dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Memang harus diakui bahwa model PPSI memberikan keterbatasan dalam arti pencapaian tujuan yang sangat terbatas tetapi hal tersebut dapat dihindari jika rumusan TIU dan terutama rumusan TIK tidak diarahkan kepada persyaratan pandangan behavioristik Mager yang dikenal dengan persyaratan ABCD (audience, behavior, conditions, degree). Sayangnya, rumusan ABCD ini merupakan salah satu aspek inovatif yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 dalam merumuskan TIK. Bersamaan dengan penerapan PPSI maka diperkenalkan pula istilah instruksional umum (TIU) dan instruksional khusus (TIK) sebagai upaya membedakan dengan pengertian tujuan kurikuler yang digunakan dalam Garis Besar Program Pengajaran. Selain sebagai pembeda yang disebabkan oleh fungsi dan ruang lingkup yang berbeda antara tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus, penggunaan istilah instruksional umum dan khusus memberikan landasan pengembangan yang lebih jelas. Tujuan kurikuler merumuskankan kualitas hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari sebuah bidang studi, tujuan instruksional umum merumuskan kualitas hasil hasil belajar/kemampuan yang akan dicapai peserta didik dari beberapa pokok bahasan sebuah bidang studi sedangkan TIK merumuskan kualitas hasil belajar/kemampuan peserta didik setelah mempelajari suatu pokok bahasan. Pikiran pokok lain yaang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 mengenai sistem penilaian. Kurikulum SMP 1975 menghendaki adanya perubahan dari pandangan lama bahwa penilaian hanya dapat dilakukan pada akhir catur wulan/kuartalan atau pada akhir tahun maka Kurikulum SMP 1975 dilaksanakan pada akhir setiap satuan pelajaran. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah frekuensi pengukuran pencapaian hasil belajar menjadi lebih sering sehingga peserta didik mengikuti tes atau ulangan untuk ruang lingkup materi yang lebih terbatas. Lagipula, ketika asesmen itu dilakukan pada setiap saat peserta didik membahas suatu pokok bahasan maka daya ingat akan lebih kuat dan segar dibandingkan apabila tes atau ulangan itu dilakukan pada beberapa saat setelah materi pelajaran itu dikaji.
104
Semakin lama suatu pengetahuan bersifat asing atau tidak menjadi bagian integral dari schema seseorang dan semakin lama jarak waktu antara saat ketika materi tersebut dipelajari dengan saat ulangan/tes maka semakin banyak pengetahuan itu tersimpan dalam memori dan sukar dipanggil untuk menjawab pertanyaan yang ada dalam tes/ulangan. Semakin sering sebuah pengetahuan digunakan maka semakin mudah tinggi tingkat kemampuan untuk memanggilnya. Pengetahuan yang digunakan setiap hari menjadi pengetahuan yang selalu siap dipanggil setiap saat dan dengan demikian ia akan tersimpan dalam memori di tempat yang mudah terjangkau. Jika alat asesmen hasil belajar digunakan tidak saja untuk mengumpulkan informasi tentang kemampuan peserta didik tetapi juga menjadi fasilitas bagi peserta didik untuk mengakses pengetahuan dan menggunakannya maka semakin sering diadakan ulangan/tes semakin tinggi tingkat pemanfaatan pengetahuan dan pada gilirannya semakin mudah memanggil pengetahuan yang bersangkutan. Dari suudut pandang teoritis ini maka pikiran yang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 merupakan suatu pendekatan yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengatasi kelemahan peserta didik dalam menghafal. Dalam bidang penilaian hail belajar Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan dua jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan sumatif. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Penilaian formatif dilakukan untuk memperbaiki kemampuan peserta didik sedangkan penilaian sumatif digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik. Istilah formatif dan sumatif diperkenalkan oleh Michael Scriven tahun 1967 untuk bidang evaluasi kurikulum dan oleh Benjamin Bloom dan kawan-kawannya untuk bidang evaluasi hasil belajar. Sejak diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 kedua istilah itu menjadi nomenclature yang dikenal oleh guru, masyarakat pendidik, dan juga orang tua terkadang dalam penggunaan makna yang salah. Kesalahan yang terjadi ialah penilaian formatif tidak digunakan untuk memperbaiki kemampuan peserta didik yang rendah baik kemampuan kelas (dengan adanya ketentuan lebih dari 75% peserta didik di suatu kelas menguasai kurang dari 75% kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan
105
instruksional khusus) apalagi secara individual dimana guru harus melakukan analisis jawaban peserta didik secara khusus untuk menentukan kelemahan yang masih dimiliki seorang peserta didik. Kalaulah tradisi penilaian formatif ini berjalan sebagaimana seharusnya dan berkelanjutan sampai masa kini banyak kelemahan proses pembelajaran dapat diperbaiki dan peserta didik akan selalu mendapatkan bantuan belajar yang diperlukannya. Hal lain yang berkenaan dengan asesmen hasil belajar ialah asesmen itu harus menckup keseluruhan aspek tingkah laku. Artinya, asesmen yang dilakukan tidak boleh hanya membatasi diri pada upaya mendapatkan informasi mengenai penguasaan pengetahuan semata tetapi juga aspek lain dari kemampuan yang harus dimiliki peserta didik. Asesmen harus berkenaan dengan kemampuan/ ketrampilan intelektual, afeksi, dan juga psikomotor. Prinsip menyeluruh dalam asesmen hasil belajar diaplikasikan oleh Kurikulum SMP 1975 dan ini hanya dapat dilakukan jika guru paham dan memiliki ketrampilan menerapkannya. Kembali masalah sosialisasi jadi masalah sehingga guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk melaksanakan kurikulum. Prinsip belajar tuntas merupakan pikiran pokok yang dikembangkan dalam Kurikulum SMP 1975 adalah mengenai pendekatan belajar tuntas. Dalam pedoman dinyatakan bahwa apabila 75% peserta didik tidak menguasai 75% kemampuan yang dirumuskan dalam TIK maka guru harus mengulang pembelajaran pokok bahasan tersebut. Prinsip belajar tuntas mengatakan bahwa setiap peserta didik dapat menguasai kemampuan dan pengetahuan apa pun yang dikehendaki kurikulum asalkan mereka diberi waktu yang sesuai dengan tingkat kecepatan belajar mereka. Metode mengajar dapat membantu peserta didik dapat memperpendek waktu untuk menguasai kemampuan dan pengetahuan asalkan dilakukan dalam suatu proses pembelajaran yang tepat bagi seorang peserta didik. Penerapan prinsip dan pendekatan belajar tuntas tidak saja memerlukan perubahan kemampuan pada diri guru tetapi terlebih lagi perubahan dalam cara pandang mengenai belajar dan posisi peserta didik dalam belajar. Pendekatan belajar tuntas
106
menhendaki suatu keyakinan pada diri guru bahwa setiap peserta didik akan mampu menguasai kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan. Mengubah cara pandang guru lebih sulit dibandingkan dengan mengembangkan ketrampilan baru dan tentu saja lebih sulit lagi dibandingkan dengan penguasaan pengetahuan. Pikiran pokok yang dikembangkan Kurikulum 1975 yang telah dikemukakan di atas memberi petunjuk yang kuat bahwa Kurikulum 1975 mencoba mengubah banyak tradisi yang sudah berakar dalam dunia pendidikan Indonesia. Model kurikulum yang berorientasi pada tujuan, model penerapan proses pembelajaran yang juga berorientasi pada tujuan serta asesmen yang mengukur pencapaian kemampuan yang terumuskan dalam tujuan menjadikan Kurikulum 1975 sebagai tonggak pengembangan kurikulum modern di Indonesia. Kurikulum 1975 dikembangkan untuk mengubah berbagai tradisi dengan hal-hal baru. 5. Struktur Kurikulum dan Bidang Studi Buku I Pasal 6 dan 7 menetapkan struktur Kurikulum SMP 1975 terdiri atas program pendidikan umum, program pendidikan akademis, dan program pendidikan ketrampilan. Program Pendidikan Umum harus diikuti oleh eluruh peserta didik. Demikian pula dengan program Pendidikan Akademis yang akan menjadi dasar bagi mereka yang akan melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. Program Ketrampilan terdiri atas dua kelompok yaitu Program Ketrampilan pilihan terikat yang berkenaan dengan berbagai ketrampilan vokasional dan Program Ketrampilan pilihan bebas yang berkenaan dengan berbagai kegiatan keilmuan, olahraga, kesenian dan kesehatan. Dua kelompok proram Ketrampilan yang dikembangkan Kurikulum SMP 1975 memberikan keleluasaan kepada peserta
didik
untuk
mendapatkan
ketrampilan
yang
berguna
untuk
mengembangkan minat mereka untuk memasuki dunia kerja berbekal ketrampilan vokasional yang bersifat pilihan terikat dan ketrampilan untuk memperdalam suatu bidang minat tertentu. Keterkaitan dengan TAP MPRS tahun 1973 yang memberikan perhatian khusus kepada ketrampilan diterjemahkan dalam bentuk kedua pilihan ketrampilan ini.
107
Tabel 7.2 Struktur dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1975 K E L A S
No. Bidang Studi Program Pendidikan Pendidikan Umum
Pendidikan Akademis
Pendidikan Ketrampilan
I Semester
II
III
1
2
3
4
5
6
1.Pendidikan Agama
2
2
2
2
2
2
2.Pendidikan Moral Pancasila
2
2
2
2
2
2
3.Olahraga dan Kesehatan
3
3
3
3
3
3
4.Pendidikan Kesenian
2
2
2
2
2
2
5. Bahasa Indonesia
5
5
5
5
5
5
-
-
6. Bahasa Daerah
(2) (2) (2) (2)
7. Bahasa Inggeris
4
4
4
4
4
4
8. Ilmu Pengetahuan Sosial
4
4
4
4
4
4
9. Matematika
5
5
5
5
5
5
10.Ilmu Pengetahuan Alam
4
4
4
4
4
4
11.Pilihan terikat
6
-
6
-
6
-
12.Pilihan bebas
-
6
-
6
-
6
37
37 37
Jumlah jam pelajaran per minggu 37
37 37
(39) (39) (39) (39)
Struktur dan bidang studi Kurikulum 1975 memiliki beberapa perubahan dari Kurikulum 1968 SMP. Perubahan pertama adalah pada label nama kelompok yaitu nama Pembinaan Jiwa Pancasila sudah tidak digunakan dan digantikan dengan Pendidikan Umum. Perubahan nama atau label ini jelas memperlihatkan orientasi keilmuan yang lebih kuat pada Kurikulum 1975 dibandingkan Kurikulum 1968. Penggantian nama yang sangat bersifat politis dan sensitif tersebut tentu saja sudah berdasarkan analisis kondisi masyarakat dan pemerintahan pada waktu itu yang sudah lebih dapat menerima tidak digunakannya istilah Pancasila. Kajian terhadap rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPRS nomor IV tahun 1973 yang sudah mengganti istilah manusia
108
Pancasila sejati (TAP MPRS XXVII tahun 1966) menjadi manusia pembangunan yang ber-Pancasila menunjukkan adanya sikap yang lebih akomodatif terhadap penggunaan istilah lain selain Pancasila. Dalam kelompok Pendidikan Umum bahasa Indonesia tidak lagi menjadi anggotanya karena Bahasa Indonesia menjadi bidang studi dalam kelompok Pendidikan Akademis. Artinya, dengan perubahan posisi ini maka pendidikan Bahasa Indonesia bukan lagi merupakan salah satu landasan pokok, bersamaan dengan Pendidikan Agama dan Pancasila, untuk pendidikan kewargaannegara. Kebijakan serupa terjadi ketika Kurikulum 1954 digantikan oleh Kurikulum 1962, 1964 dan 1968 dimana mata pelajaran sejarah Indonesia diubah posisinya menjadi menjadi mata pelajaran akademis semata. Padahal untuk menjadi warganegara seseorang harus mengetahui ideologi negaranya, sejarah bangsanya, wilayah, tatanegara dan bahasa nasional/bahasa resmi. Untuk warganegara yang dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia pendidikan, dalam hal ini kurikulum, adalah upaya untuk mengembangkan wawasan dan kesadaran kewarganegara- annya.
Oleh
karena itu perubahan posisi Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 1975 dan mata pelajaran Sejarah Indonesia serta Ilmu Bumi/Geografi Indonesia menjadi bidang kajian akademis jelas didasarkan pada pertimbangan ilmu dan bukan didasarkan pada konsep kewargaannegaraan yang dimaksudkan. Kelompok Pengetahuan Dasar dalam Kurikulum 1968 diganti namanya menjadi kelompok Pendidikan Akademis. Penggantian nama kelompok ini jelas menunjukkan konsep Kurikulum 1975 yang didasarkan pada pemikiran kurikulum pendidikan disiplin ilmu. Dalam kelompok ini maka bidang studi yang tercantum memiliki fungi utama untuk mengembangkan kemampuan akademis peserta didik dalam cara berpikir, bersikap, rasa ingin tahu, dan belajar. Meski pun demikian, ada hal yang rancu yaitu bidang studi Bahasa Daerah yang dimasukkan sebagai bidang kajian akademis. Sebagaimana halnya dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah dalam kurikulum diarahkan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa dan apresiasi terhadap karya sastra yang dihasilkan dalam bahasa daerah. Dengan memaukkan Bahasa Daerah sebagai bidang studi dalam kelompok
109
Pendidikan Akademis tentu saja mengurangi tujuan yang dimaksudkan. Meskipun disadari bahwa pada waktu Kurikulum 1975 digunakan, SMP belum menjadi bagian dari pendidikan dasar karena pendidikan dasar 9 tahun (SD dan SMP) baru ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) sedangkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 Dari Republik Indonesia Terdahulu Tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran Disekolah Untuk Seluruh Indonesia menetapkan SMP sebagai pendidikan menengah dan bukan bagian dari pendidikan dasar, dan mungkin ini yang memberikan justifikasi memasukkan bidang studi Bahasa Daerah sebagai anggota kelompok Pendidikan Akademis. Suatu kenyataan menarik dalam kelompok Pendidikan Akademis adalah pemikiran para pengembang kurikulum untuk menggunakan organisasi “broadfields” yaitu dengan menggabungkan mata pelajaran Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi bidang studi Matematika, mata pelajaran Ilmu Alam dan Ilmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam serta mata Ilmu Bumi dan mata pelajaran Sejarah menjadi bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Perkembangan pemikiran kurikulum sekolah menengah ketika upaya memperkenalkan pendekatan ini untuk kurikulum perguruan tinggi dianggap berhasil mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak (Tanner dan Tanner, 1980:428; Longstreet dan Shane, 1993:82). Keberhasilan tersebut menarik perhatian para pengembang kurikulum sekolah menengah dan sekolah dasar di Amerika Serikat (Longstreet dan Shane, 1993:82) dan pada saat sekarang dunia menyaksikan bahwa organisasi “broad-fields” menjadi pendekatan yang banyak dilakukan untuk kurikulum sekolah dasar dan menengah di berbagai negara (NIER, 1999; O’Donnel dkk, 2002). Walau pun di Indonesia terjadi perkembangan baru dalam pemikiran pengembang kurikulum dan pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia dengan membatasi penerapan organisasi “broad-fields” terbatas pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP), apa yang sudah diperkenalkan Kurikulum 1975 merupakan titik awal sejarah perkembangan
110
kurikulum di Indonesia dalam menerapkan pemikiran organisasi konten “broadfields”. Organisasi “broad-fields” pada dasarnya adalah pendekatan dalam pendidikan disiplin ilmu. Pada saat sekarang pendekatan ini telah berkembang sedemikian rupa dan dianggap merupakan titik berangkat untuk mengembangkan kemampuan berpikir komprehensif, analitik, evaluatif dan sintesis/mencipta sehingga memberikan kemungkinan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik. Keleluasaan dalam berpikir dan melihat masalah yang tidak terbatasi oleh dinding-dinding ilmu yang “discrete” memberikan dasar yang kuat untuk mengembangkan kreativitas. 19
Oleh karena itu pendekatan “broad-fields”
mengubah tradisi kurikulum di Indonesia yang sebelumnya selalu berdasarkan pendekatan “discrete disciplinary” sesuai dengan pandangan essensialisme. Permasalahan yang muncul adalah ketika pendekatan ini diperkenalkan Kurikulum SMP 1975, guru yang ada di sekolah dididik untuk mengembangkan materi dan proses pembelajaran berdasarkan pendekatan “discrete disiciplinary”. Pada tahun-tahun awal implementasi kurikulum dan bahkan untuk waktu 5 tahun setelah Kurikulum SMP 1975 dinyatakan resmi berlaku masih banyak di antara guru yang mengajar bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial Pengetahuan Alam
(IPS) dan Ilmu
(IPA) secara terpisah. Guru yang terdidik dalam bidang
geografi mengajar geografi, guru yang terdidik dalam sejarah tetap mengajar sejarah, dan guru yang terdidik dalam ekonomi mengajarkan materi pelajaran ekonomi. Hal yang sama terjadi pula dengan bidang studi IPA yang terdiri atas komponen materi terutama berasal dari biologi dan fisika. Masing-masing guru biologi dan fisika mengajar bidang studi IPA dengan cara mengajar materi masing-masing disiplin ilmu secara terpisah. 19
Dalam revisi yang dilakukan oleh Airisian dan kawan‐kawan terjadi pemberian makna baru dan restrukturisasi taksonomi tujuan pendidikan ranah kogniti yang dikembangkan Bloom dan kawan‐ kawan. Dalam revisi ini kemampuan synthesis ditetapkan sebagai kemampuan kognitif tertinggi, di atas kemampuan evaluasi yang ditetapkan sebagai kemampuan di bawah sintesis tetapi yang hasil evaluasi itu diperlukan untuk membangun sinthesis. Istilah sinthesis diganti menjadi “create” kemampuan menciptakan yang merupakan kemampuan untuk menghasilkan kreativitas.
111
Kenyataan bahwa guru IPS dan IPA masih mengajar dengan menggunakan pendekatan “discrete disciplinary” dapat dikatakan sebagai indikator yang menyebabkan ketidakberhasilan upaya Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan pendekatan ini. Tampaknya, sosialisasi kurikulum yang kurang mampu mempersiapkan lapangan dalam melaksanakan pendekatan ini dan kurangnya koordinasi yang lebih baik dan terarah antara para pengembang kurikulum dan pengambil kebijakan kurikulum dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan kurang berhasil. Pikiran-pikiran baru yang akan dikembangkan oleh sebuah kurikulum baru sudah sepatutnya dikomunikasikan dan mesti dibicarakan dengan lembaga penghasil tenaga kependidikan secara menyeluruh dan mendalam sehingga lembaga pendidikan tenaga kependidikan dapat mengembangkan wawasan baru dan ketrampilan baru yang dikehendaki kurikulum dalam program pendidikan calon guru yang dibina dalam bentuk pendidikan pra-jabatan dan kepada guru yang sudah ada di lapangan dalam bentuk pendidikan dalam jabatan. 6.Satuan Pelajaran dan Taksonomi Tujuan Pendidikan Implementasi atau penerapan Kurikulum SMP 1975 di sekolah melalui perenanaan yang dilakukan guru yaitu dengan mengembangkan Satuan Pelajaran (Satpel). Satuan pelajaran pada dasarnya adalah rencana guru dalam mengembangkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) menjadi kurikulum guru dalam bentuk rencana tertulis guru. Satuan pelajaran yang harus dikembangkan guru masih terbatas pada pengembangan satu pokok bahasan yang terdapat pada GBPP dan belum menjadi rencana pembelajaran guru untuk satu semester.
Pemikiran
bahwa
implementasi
kurikulum
dilakukan
melalui
perencanaan guru dalam bidang studi secara terpisah masih mendominasi pemikiran para pengembang kurikulum. Oleh karena itu Satuan Pelajaran dibuat oleh guru bidang studi tersebut baik yang dilakukan guru secara individual mau pun dalam kelompok Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi. Guru bidang studi IPS mengembangkan Satuan pelajaran untuk kelas yang diajarnya demikian pula guru bidang studi IPA, Matemateka, Bahasa Inggeris dan seterusnya. Pada waktu pertemuan di Musyawarah Kerja Guru Bidang Studi mereka berkelompok pada
112
kelas yang diajar oleh guru dari berbagai sekolah dan menghasilkan Satuan Pelajaran untuk bidang studi kelas yang menjadi tanggungjawab mereka. Sebagaimana kurikulum sebelumnya, pemikiran bahwa kurikulum adalah kurikulum sekolah dan bidang studi atau pun mata pelajaran adalah bagian dari kurikulum sekolah belum menjadi fokus perhatian para pengembang kurikulum. Konsekuensi dari pemikiran bahwa kurikulum adalah kurikulum sekolah menghendaki perencanaan dokumen kurikulum yang menggambarkan adanya keutuhan tersebut. Oleh karena itu materi kurikulum yang masuk dalam kategori ketrampilan (ketrampilan kognitif, ketrampilan sosial, ketrampilan kinestetik, dan sebagainya), dan materi kurikulum yang masuk dalam kategori nilai dan sikap harus diorganisasikan sebagai materi kurikulum yang dikembangkan melalui materi pengetahuan yang diorganisasikan dalam label mata pelajaran atau bidang studi. Pemikiran semacam itu pernah dimunculkan dalam rancangan kurikulum berbasis kompetensi dengan label kompetensi lintas kurikulum. Label itu salah nama karena tidak ada kurikulum mata pelajaran tetapi label itu dapat dimengerti karena
tradisi
ebelumnya
memperlakukan
mata
pelajaran
sebagai
kurikulum.Sayangnya pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan kompetensi lintas kurikulum adalah pendekatan induktif padahal seharusnya dilakukan di awal proses pengembangan/konstruksi dokumen kurikulum. Sejalan dengan kebijakan mengenai Satuan Pelajaran dan penggunaan tes objektif yang bersifat terukur, rumusan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang terukur dan spesifik dengan persyaratan ABCD yang dikemukakan Mager maka diperkenalkan juga taksonomi tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom, dan kawan-kawan (1957). Istilah teknis yang mulai diberlakukan adalah kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan istilah yang digunakan. Istilah teknis ini berkembang sampai saat kini walau pun dalam penggunaannya banyak kalangan yang mencampuradukkan antara pengetahuan dengan kognitif, antara nilai dan sikap dengan jenjang afektif, dan antara gerak motorik dengan ketrampilan psikomotorik. Tidak jarang terdengar para pengambil keputusan atau pelaksana pendidikan menyamakan pengetahuan dengan kognitif.
113
Pengetahuan adalah unsur subtantif yang dihasilkan oleh ilmu dan kegiatan lainnya terdiri atas pengetahuan tentang istilah, konsep, teori, prosedur, nilai, moral, ketrampilan (intelektual dan motorik). Kognitif adalah kemampuan akal dalam memeroses pengetahuan dalam berbagai jenjang kemampuan kognitif 20 sehingga menghasilkan pengetahuan baru. Demikian pula menyamakan nilai/moral/sikap dengan jenjang afektif padahal nilai/moral/sikap adalah materi yang dikembangkan dalam berbagai jenjang afektif (menerima, merespon, menilai, mengorganisasikan, dan menjadikan kebiasaan). Gerak motorik adalah gerak yang harus dilakukan otot dengan kendali psikologis dan kognitif untuk mencapai jenjang psikomotorik yang paling tinggi. Rumusan TIK yang dikembangkan guru dalam menyusun TIK dan butir soal menggunakan kata kerja yang terkait dengan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kata kerja tersebut dikenal dengan istilah Kata Kerja Operasional (KKO) digunakan untuk merinci perilaku terukur dalam rumusan TIK dari kata kerja yang masih bersifat umum yang terdapat pada rumusan Tujuan Instruksional Umum
(TIU).
Pemanfaatan
Kata
Kerja
Operasional
(KKO)
dalam
mengembangkan tujuan masih menjadi tradisi dalam penerapan kurikulum masa kini. Orientasi pengukuran dalam penilaian hasil belajar masih cukup dominan dan oleh karena itu rumusan TIK yang terukur dan butir soal yang terkait dengan keterukuran perilaku peserta didik masih merupakan tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam melaksanakan kurikulum.
7. Asesmen Hasil Belajar Ada beberapa prinsip yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 berkenaan dengan asesmen hasil belajar. Pertama diperkenalkan adanya asesmen formatif 20
Jenjang kognitif yang dikembangkan Bloom dan kawan dan diterbitkan dalam buku yang berjudul Taxonomy of Educational Objectives direvisi oleh Airasian, dan kawan‐kawan dimana untuk menghilangkan kesalahpahaman maaka pengetahuan digambarkan secara terpisah dari kognitif, sintesis ditempatkan sebagai jenjang kognitif tertinggi, dan label untuk setiap jenjang diganti menjadi mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menilai (evaluate), mencipta (create).
114
dan sumatif. Kedua adanya kebijakan mengenai frekuensi asesmen yang dilakukan terus menerus setiap suatu pokok bahasan selesai dipelajari sehingga prinsip asesmen modern yaitu asesmen dilakukan secara kontinu diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Melalui penerapan prinsip ini maka dapat dikatakan peserta didik selalu berada dalam keadaan siap belajar dan mengikuti asesmen bahkan ada kesan bahwa peserta didik belajar untuk tes. Secara teoretik, asesmen formatif adalah asesmen untuk mengenal kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam menguasai pengetahuan dan kemampuan tertentu. Berdasarkan informasi mengenai kelemahan yang dimiliki peserta didik guru melakukan berbagai tindakan perbaikan (remedial) sehingga peserta didik yang bersangkutan dapat memiliki pengetahuan dan kemampuan yang diharapkan. Asesmen sumatif berfungsi untuk menentukan tingkat keberhasilan peserta didik baik dalam bentuk kenaikan kelas atau pun keberhasilan menyelesaikan pendidikannya di sebuah satuan pendidikan. Kedua fungsi asesmen ini saling melengkapi tetapi asesmen formatif lebih penting bagi membantu peserta didik dalam keberhasilan belajar. Sayangnya, dalam pelaksanaan kurikulum asesmen sumati lebih dominan dibandingkan asesmen formatif. Tentu saja praktek yang lebih mementingkan asesmen sumatif kesan tersebut tidak menguntungkan karena dengan menerapkan fungsi formatif dalam asesmen hasil belajar maka guru dan peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki penguasaannya. Melalui penerapan fungsi formatif maka dari hasil tes atau ulangan guru dan juga peserta didik mendapat informasi tentang materi pelajaran yang belum mereka kuasai dan guru serta peserta didik dapat menggunakan informasi tersebut untuk memperbaiki tingkat penguasaan. Memang kebijakan ini memberikan tugas yang tidak ringan kepada para guru tetapi memberikan keuntungan edukatif yang tinggi kepada peserta didik. Perpindahan kajian dari satu pokok bahasan ke pokok bahasan berikutnya dapat dilanjutkan tanpa ada akumulasi ketidakmampuan yang dimiliki peserta didik pada akhir satu semester.
115
Dalam Buku III B tentang Pedoman Penilaian, Kurikulum SMP 1975 memperkenalkan inovasi lain yaitu tes objektif dan pendekatan norms-referenced pada pengolahan data asesmen. Pengembangan butir soal objektif merupakan sesuatu yang baru karena sebelumnya guru menggunakan soal uraian. Perubahan dari tes uraian yang dianggap terlalu banyak mengandung hal-hal yang subjektif ke tes objektif menghendaki ketrampilan baru yang harus dimiliki guru. Guru harus memiliki kemampuan dalam menyusun kisi-kisi soal yang didalamnya melibatkan berbagai keputusan mengenai tingkat kesulitan butir soal dan tes, bentuk-bentuk butir soal serta kemampuan yang diukur soal tersebut, dan proporsi kemampuan yang diukur oleh tes. Penentuan setiap komponen yang tercantum dalam kisi-kisi memerlukan pertimbangan pedagogis dan profesional guru yang hanya diperoleh jika guru mendapatkan pelatihan dalam jabatan (inservice). Sayangnya, pelatihan yang diterima guru dalam mengembagkan tes objekti dan menyusun soal objektif
hanya berkenaan dengan aspek teknis-
administratif tetapi tidak cukup adekuat untuk memberikan ketrampilan terlatih dalam mnentukan pertimbangan pedagogis. Akibatnya, apa yang terjadi terutama terkait dalam kemampuan guru dalam menyusun kisi-kisi soal secara teknis dan memenuhi berbagai persyaratan dari sudut pandang tes tetapi tidak dari sudut pandang pedagogis kependidikan. Kemampuan lain yang mendasar dan diperlukan guru adalah kemampuan mengkontruksi butir soal objektif dalam ragam yang banyak digunakan yaitu pilihan ganda (multiple choice), benar – salah (true-false), dan menjodohkan (matching). Konstruksi soal-soal dalam kelompok butir soal objektif, baik dalam merekonstruksi pernyataan (statement) mau pun dalam pilihan (options) memerlukan ketrampilan khusus yang hanya diperoleh melalui pelatihan yang cukup. Guru yang akan melaksanakan Kurikulum 1975 sudah harus memiliki ketrampilan yang diperlukan dalam mekonstruksi butir soal objektif sebelum mereka mengimplementasikan kurikulum tersebut. Kiranya tak perlu dikatakan bahwa ketidakmampuan guru dalam merekonstruksi butir soal dan tes objektif, karena mereka tidak mendapatkan pelatihan, menyebabkan keampuhan alat
116
asesmen ini dalam menghasilkan informasi yang diperlukan dan valid menjadi masalah besar. Butir soal yang dikonstruksi tanpa mengindahkan persyaratan yang standar akan menghasilkan informasi yang menyesatkan. Strategi implementasi yang lemah dan yang menyebabkan guru sebagai pelaksana utama kurikulum dalam posisi yang tidak siap untuk merealisasikan rancangan yang tercantum dalam dokumen menjadi suatu kenyataan atau proses pembelajaran yang diharapkan akan menimbulkan berbagai masalah kurikulum, guru dan masyarakat/bangsa yang menggunakan kurikulum tersebut. Kebijakan lain mengenai asesmen hasil belajar yang dianjurkan Kurikulum SMP 1975 yaitu penerapan prosedur norms-referenced dalam menentukan nilai bagi peserta didik. Melalui pendekatan “norms-referenced assessment”, nilai seorang peserta didik ditentukan berdasarkan posisi skornya dibandingkan kelompok “norms”nya yaitu teman sekelasnya. Pendekatan “norms-referenced assessment” menyebabkan guru harus menghitung angka rata-rata matematis kelas (means) dan simpangan baku (standar deviasi) kelas yang dijadikan kelompok “norms”. Atas dasar hitungan angka rata-rata dan simpangan baku guru harus membangun tabel sigma untuk mengkonversikan skor individu yang diperoleh seorang peserta didik menjadi nilai peserta didik yang bersangkutan.
Cara ini menyebabkan
seorang peserta didik di suatu kelas atau sekolah menjadi sangat sulit mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya adalah kelompok peserta didik yang cemerlang. Cara ini pula menyebabkan seorang peserta didik di suatu kelas atau sekolah menjadi mudah mendapatkan nilai baik jika kelompok “norms”nya terdiri atas peserta didik dengan kemampuan rendah. Oleh karena itu nilai seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah tertentu yang sama dengan seseorang peserta didik dari suatu kelas atau sekolah lain tidak memiliki makna bahwa kualitas hasil belajar kedua peserta didik tersebut sama atau “comparable”. 8. Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Inovasi lain yang tak kalah pentingnya yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1975 adalah buku khusus yang disebut Buku II Garis-Garis Besar Program Pengajaran
117
(GBPP). Buku II berkenaan dengan aspek didaktik dari suatu mata pelajaran. Untuk SMP ada GBPP bidang studi Pendidikan Agama (Islam, Kristen-Protestan, Katolik, Budha, Hindu), Pendidikan Moral Pancasila, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggeris), Olahraga dan Kesehatan, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, Kesenian (Seni Tari, Seni Rupa, Seni Musik), Ketrampilan (Jasa, Teknik, Kerajinan, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Pertanian, dan Maritim). Ketrampilan Maritim merupakan ketrampilan baru yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975 dan merupakan ketrampilan penting bagi masyarakat dan peserta didik di banyak wilayah Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki garis pantai terpanjang di dunia . Dalam GBPP setiap bidang studi dan mata pelajaran terdapat komponen tujuan kurikuler, tujuan instruksional, bahan pengajaran (pokok bahasan dan uraian), program (kelas, semester, jam pelajaran), metode, sarana/sumber, penilaian dan kolom keterangan. Secara prinsip GBPP adalah pengembangan lebih lanjut dari pedoman dalam Rencana Pelajaran SMP 1954 meski pun format yang digunakan berbeda. GBPP yang digunakan Kurikulum SMP 1975 sepenuhnya berbentuk matriks sedangkan untuk rencana Pelajaran SMP 1954 terdiri atas deskripsi dan matriks. Perbedaan kedua adalah jika pada Renana Pelajaran SMP 1954 petunjuk yang diberi judul Rencana Pelajaran bersatu dengan struktur kurikulum dan mata pelajaran yang dinamakan Ikhtisar Daftar Jam Pelajaran maka pada Kurikulum SMP 1975 GBPP yang diberi judul Buku II terpisah dari Buku I yang berisikan ketentuan-ketentuan pokok dan di dalamnya terdapat struktur dan mata pelajaran. Inovasi GBPP dirancang agar rincian program pengajaran untuk setiap bidang studi dan mata pelajaran menjadi lebih jelas. Guru dengan mudah dapat mengembangkan Satuan Pelajaran dari GBPP masing-masing bidang studi. Sayangnya, guru kemudian terpaku pada GBPP sehingga mereka melupakan Buku I yang merupakan aspek ide dari kurikulum. Aspek ide kurikulum sangat penting untuk memahami dan mengembangkan wawasan mengenai GBPP. GBPP yang merupakan tabel yang lebih mudah untuk digunakan guru tetapi karena ide kurikulum dalam Buku I tidak dipelajari dan dipahami guru maka kurikulum tidak
118
berhasil diterjemahkan dengan baik. Ketika guru mengembangkan GBPP menjadi Satuan Pelajaran mereka mampu menterjemahkannya secara teknis tetapi kehilangan roh kurikulum. Posisi GBPP yang demikian terfokus pada hal teknis menyebabkan banyak guru yang bahkan hanya memperhatikan GBPP untuk kelas yang diajarkannya, bukan lagi GBPP bidang studi yang mencakup program pengajaran kelas I – III (7 – 9) SMP. Kenyataan yang demikian berlanjut untuk kurikulum yang menggantikan Kurikulum SMP 1975.
D. KURIKULUM SMP 1984 Adanya berbagai perkembangan baru dalam masyarakat dan dunia pendidikan menyebabkan pada tahun 1984 Pemerintah mengganti Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984. Berbeda dari Kurikulum SMP 1975 yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, keberlakuan Kurikulum SMP 1984 tidak berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dasar yang digunakan adalah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 tentang perlunya perbaikan Kurikulum SMP 1975 disebabkan adanya kebijakan tentang Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa; penyesuaian tujuan dan struktur program; pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kognitif, afektif dan psikomotorik; pembelajaran yang mengarah kepada belajar tuntas; dan program studi baru untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa kini dan masa mendatang (Dokumen Kurikulum 1975: Landasan, Program, dan Pengembangan, halaman 2)
Selain disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dinyatakan dalam keputusan menteri di atas, enggantian ini disebabkan adanya berbagai faktor yang bersifat eksternal atau makro. Faktor eksternal atau makro adalah faktor politik, sosial, budaya,
ekonomi,
teknologi,
ilmu
yang
berkembang
di
masyarakat.
Perkembangan yang terjadi di masyarakat tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan antara “program kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan
119
pembangunan” (Kurikulum 1984 SMP: Landasan, Program, dan Pengembangan: hal 1).
1.Perubahan Kebijakan Pendidikan Ketika suasana politik sudah lebih kondusif, MPRS sudah diganti dengan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR, perwakilan daerah, dan perwakilan golongan/profesi. Dalam sidang tahun 1978 di bawah pimpinan Adam Malik sebagai ketua didampingi oleh wakil ketua yang terdiri atas K.H. Masykur, R. Kartidjo, H.Achmad Lamo, Mh Isnaeni, MPR menghasilkan TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Ketiga. Keadaan negara pada waktu itu dianggap sudah lebih baik sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 bahwa “Setelah Pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965 dapat digagalkan, berkat lindungan dan Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa serta berkat kesadaran dan keteguhan Rakyat pada landasan Falsafah Pancasila, maka Orde Baru dengan perjuangan yang sungguh-sungguh telah berhasil menciptakan stabilitas Nasional, baik di bidang ekonomi maupun di bidang politik, untuk selanjutnya melakukan serangkaian Pembangunan Nasional yang harus dilaksanakan secara terus-menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap dan berencana, sebagai satu-satunya jalan untuk mengisi kemerdekaan serta mencapai tujuan Nasional”. Dalam TAP MPR nomor IV/MPR/1978 tujuan pendidikan dirumuskan sesuai dengan nilai kehidupan bangsa yang didasarkan pada Pancasila, dan bukan pada program politik atau ekonomi pemerintah semata. TAP MPR nomor IV/MPR/1978 menetapkan tujuan pendidikan adalah untuk ”meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya
sendiri
serta
bersama-sama
bertanggungjawab
atas
pembangunan bangsa”. Dibandingkan dengan rumusan tujuan pendidikan dalam TAP sebelumnya rumusan tujuan pendidikan dalam TAP MPR nomor
120
IV/MPR/1978 ini lebih sederhana tetapi idealisme bahwa pendidikan adalah untuk menghasilkan manusia yang dicita-citakan oleh bangsa masih terpelihara. Rumusan yang sama kemudian digunakan ketika lima tahun kemudian MPR menghasilkan TAP MPR nomor II/MPR/1983. Selain merumuskan tujuan pendidikan nasional, TAP MPR nomor IV/MPR/1978 memutuskan pula tentang Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Moral Pancasila. Dalam bagian Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial, Budaya ditetapkan bahwa “dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat”. Selanjutnya ditetapkan “Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan moral Pancasila dan unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimaksudkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanakkanak sampai universitas,baik negeri maupun swasta”. Ketetapan ini tentu saja membawa konsekuensi adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila dalam kurikulum dan tentu saja termasuk kurikulum SMP. Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1983 MPR kembali melakukan sidang lima tahunan sebagai awal dari sidang MPR baru yang terpilih dari hasil pemilihan umum. Pada tahun 1983 itu yang menjadi Ketua MPR adalah H. Amir Machmud, dibantu Wakil Ketua M. Kharis Suhud, Haji Amir Murtono, SH, Drs. Hardjantho Sumodisastro, H. Nuddin Lubis, dan H. Soenandar Prijosoedarmo. Tap tentang GBHN berubah nomornya dari IV menjadi II yaitu TAP MPR nomor II/MPR/1983. Sebagaimana telah dikemukakan di ata rumuan tujuan pendidikan nasional dalam TAP MPR nomor II/MPR/1983 tidak berbeda dari TAP MPR nomor IV/MPR/1978 yaitu “pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-
121
manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersamasama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”.
2. Tujuan Institusional SMP Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam dokumen kurikulum tentang Landasan, Program, dan Pengembangan maka terjadi perubahan tujuan institusional SMP. Penekanan pada menghasilkan manusia pembangunan, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional menjadi kepedulian utama pendidikan SMP selainmemberikan bekal untuk melanjutkan studi dan bekerja di masyarakat. Secara konseptual, sejak Kurikulum 1975 pendidikan di SMP selalu menempatkan lembaga pendidikan ini sebagai lembaga pendidikan dengan model “comprehensive school” dan bukan lagi sekedar pendidikan umum. Pemikiran demikian memang dirasakan perlu mengingat pada jenjang sekolah menengah sistem persekolahan Indonesia sudah tidak lagi mengenal adanya sekolah-sekolah kejuruan sehingga SMP harus mengambil alih fungsi mengembangkan pendidikan vokasional tersebut. Berikut adalah tujuan yang dinyatakan dalam dokumen yang disebutkan di atas. Pertama, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan mendidik siswa untuk menjadi manusia pembangunan sebagai warganegara Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan yang diperlukan siswa untuk dapat melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Ketiga, Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar untuk memasuki kehidupan di masyarakat, khususnya bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikannya setelah tamat SMP.
122
3. Pikiran Pokok Kurikulum SMP 1984 Kurikulum SMP 1984 dikembangkan sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975 berdasarkan tiga pertimbangan yaitu politik, perkembangan sosial, dan akademik.. Perubahan dalam kebijakan politik ditetapkan oleh TAP MPR nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib di semua jenjang dan jalur pendidikan menyebabkan kurikulum 1975 harus diubah untuk menampung keputusan politik tersebut. Ketetapan MPR adalah suatu keputusan politik yang lebih tinggi bahkan dari keputusan pada tingkat presiden apalagi menteri. Secara politis dan hukum ketatanegaraan, Ketetapan (TAP) MPR merupakan perwujudan dari suara rakyat Indonesia. Secara operasional TAP MPR 1983 tersebut dijabarkan dalam Keputusan Menteri nomor 0461/U/1983 tertanggal 22 Oktober 1983 yang menyatakan perlunya perbaikan kurikulum dan perbaikan tersebut harus mencakup: a. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa b. Penyesuaian tujuan dan struktur program kurikulum yang berpola Program Inti dan program Pilihan c. Pemilihan kemampuan dasar, keterpaduan, dan keserasian antara matra kogniti, afektif, dan psikomotorik d. Melaksanakan pengajaran yang mengarah pada belajar tuntas dan disesuaikan dengan kecepatan belajar masing-masing anak didik e. Mengadakan program studi baru yang merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja masa kini mau pun masa mendatang.
Faktor kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi makro terhadap perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan itu. Perkembangan kehidupan yang
123
mulai memanfaatkan teknologi informasi, perkembangan kehidupan politik yang sudah mulai tidak lagi sensitif terhadap bahaya komunisme, menyebabkan kurikulum SMP 1975 dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia pada awal dekade delapanpuluhan. Perkembangan lain yang cepat dalam masyarakat terutama dalam bidang ilmu dan teknologi menghendaki adanya berbagai penyempurnaan terhadap Kurikulum SMP 1975. Faktor ketiga yang menyebabkan terjadinya perubahan kurikulum adalah hasil evaluasi terhadap kurikulum 1975 yang dilakukan pada tahun 1981. Hasil evaluasi tersebut menunjukkan
“ belum sesuainya materi kurikulum berbagai mata
pelajaran dengan taraf kemampuan belajar siswa, dan terlalu beratnya materi pelajaran
untuk
beberapa
mata
pelajaran
tertentu.
Dengan
demikian
pengembangan kurikulum SMP (Sekolah Menengah Umum Pertama) perlu berorientasi pada landasan pada pendekatan proses belajar-mengajar yang diarahkan agar siswa memiliki kemampuan untuk memeroses perolehannya” (Dokumen Kurikulum 1984:1). Kemampuan untuk memeroses perolehan tersebut dikenal dengan nama Ketrampilan Proses. Pendekatan Ketrampilan Proses menggantikan pendekatan yang dikenal dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang diperkenalkan oleh Kurikulum SMP 1975. Pada dasarnya, kedua pendekatan itu memiliki langkah-langkah yang tidak jauh berbeda karena keduanya menghendaki peran aktif peserta didik dalam mencari, mengolah, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Melalui pendekatan ini peserta didik diposisikan sebagai subjek dalam belajar dan mereka mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan merumuskan masalah yang diidentifikasikan dari suatu pokok bahasan, mencari berbagai sumber informasi yang diperlukan, melakukan analisis sumber untuk mendapatkan
informasi yang diperlukan, mengolah informasi yang telah
dikumpulkan dari sumber, dan merekonstruksi hasil olahan informasi sehingga menghasilkan pengetahuan (baru bagi peserta didik). Sayangnya, pendekatan Ketrampilan Proses sebagaimana pendekatan CBSA tidak terlaksana dengan baik di lapangan.
124
Ketidakberhasilan pelaksanaan Ketrampilan Proses, dan juga CBSA, di lapangan disebabkan oleh paling tidak tiga faktor. Faktor pertama adalah kemampuan guru yang tidak terlatih untuk melaksanakan pendekatan tersebut. Faktor kedua, fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku dan sumber lainnya tidak tersedia di sekolah. Faktor ketiga, pengertian konten kurikulum yang dianut masih terpaku pada pengertian tradisional dan hanya menganggap pengetahuan sebagai konten kurikulum. Ketrampilan yang perlu dipelajari dan dikuasai peserta didik untuk mampu memeroses informasi tidak dianggap konten kurikulum dan tidak diajarkan pada peserta didik. Dalam keadaan demikian, peerta didik tidak memiliki ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya untuk merumuskan pertanyaan/masalah, mencari dan mengumpulkan sumber informasi, mempelajari sumber informasi untuk mendapatkan inormasi yang diperlukan, mengolah informasi untuk menjawab pertanyaan/masalah yang diajukan, dan untuk menyusun inormasi menjadi sebuah bentuk komunikasi. 4.Struktur Dan Mata Pelajaran Kurikulum SMP 1984 Struktur Kurikulum SMP 1984 sama dengan struktur Kurikulum SMP 1975 yaitu terdiri dari Pendidikan Umum, Pendidikan Akademis, dan Pendidikan Ketrampilan. Meski pun demikian, beban belajar setiap semester berbeda karena Kurikulum SMP 1984 menggunakan pemikiran bahwa beban belajar di kelas lebih tinggi harus lebih rendah dibandingkan kelas sebelumnya (kelas I 38/40, kelas II 37/39, kelas III 36/38).
Tabel 7.3 Struktur Kurikulum dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984
KELAS/SEMESTER
JAM PELAJARAN PROGRAM
PENDIDIKAN UMUM
I
II
JUMLAH
III
BIDANG STUDI
1
2
3
4
5
6
1.Pendidikan Agama
2
2
2
2
2
2
12
2.Pendidikan Moral Pancasila
2
2
2
2
2
2
12
3.Pendidikan Sejarah Perjuang-
-
2
-
2
-
2
6
125
JAM PELAJARAN
KELAS/SEMESTER
PROGRAM
I BIDANG STUDI
II
JUMLAH
III
1
2
3
4
5
6
3
3
3
3
3
3
18
5.Pendidikan Kesenian
2
2
2
2
2
2
12
6. Bahasa Indonesia
5
5
5
5
5
5
30
7. Bahasa Daerah*)
(2)
(2)
(2)
(2)
(2)
(2)
(12)
8. Bahasa Inggeris
4
4
4
4
4
4
24
9. Ilmu Pengetahuan Sosial
4
4
4
4
3
3
22
10.Matematika
6
4
6
4
6
4
30
a. Biologi
3
3
2
2
2
2
14
b. Fisika
3
3
3
3
3
3
18
4
4
4
4
4
4
24
38 40
38 40
37 39
37 39
36 38
36 38
222 234
an Bangsa 4.Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
PENDIDIKAN AKADEMIS
11.Ilmu Pengetahuan Alam
PENDIDIKAN KETRAMPILAN
12.Pendidikan Ketrampilan**)
JUMLAH JAM PELAJARAN PER MINGGU
*) Bagi daerah atau sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah **) Pada setiap semester dipilih 1 (satu) Paket Bahan Pengajaran
Ada dua bidang studi yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dengan Kurikulum SMP 1984 yaitu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan pemisahan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi mata pelajaran Biologi dan Fisika. Adanya bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa didasarkan pada TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983. Berdasarkan TAP MPR nomor II/MPR/1983 bidang studi ini adalah bagian dari Pendidikan Pancasila bersama-sama dengan
126
Pendidikan Moral Pancasila. Dengan demikian maka bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah bagian dari pendidikan kewargaan negara dan bukan kajian akademis. Oleh karena itu maka Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dikelompokkan sebagai bidang studi dan Program Pendidikan Umum. Kata sejarah dalam bidang studi ini menggambarkan bahwa materi utama sebagai bahan ajar terdiri atas berbagai peristiwa sejarah nasional yang dimulai dengan kebangkitan perjuangan kebangsaan. Tampaknya, keberadaan bidang studi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dipersyaratkan setiap warganegara memiliki pengetahuan mengenai sejarah kelahiran dan perkembangan kehidupan bangsanya untuk membentuk memori kolektif sebagai warganegara, ideologi dan tatanegara, bahasa Indonesia, dan geografi Indonesia. Materi sejarah dalam Program Pendidikan Akademis yang diorganisasikan dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial tampaknya dianggap belum cukup untuk memenuhi persyaratan tersebut. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa bukan dianggap sebagai pendidikan akademis sejarah tetapi sebagai pendidikan kewargaannegara. Konsep Program Pendidikan Umum sebagai pendidikan kewargaannegara sangat menarik tetapi tampaknya tidak dikembangkan dalam satu kesatuan yang utuh. Jika
Program
Pendidikan
Umum
dimaksudkan
sebagai
pendidikan
kewargaannegara, pernah dikembangkan maka bahasa Indonesia dan Geografi Indonesia seharusnya dimaksukkan ke dalam kelompok Program Pendidikan Umum. Apabila materi pendidikan Geografi Indonesia dikemas dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bersamaan dengan materi Sejarah Indonesia maka sudah sepantasnya jika IPS menjadi bagian dari kelompok Pendidikan Umum ebagaimana ditetapkan dalam Dasar dan Tujuan Pendidikan yang tercantum dalam Buku I tentang Ketentuan Pokok. Tampaknya, ide kurikulum tersebut tidak diterjemahkan secara utuh dalam struktur kurikulum dan pengelompokkan bidang studi.
127
Kedudukan IPS sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang tidak diarahkan untuk pendidikan kewargaannegara walau pun terjadi ketidaksinambungan antara tujuan dan fungsi bidang studi IPS sebagaimana dinyatakan dalam GBPP Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Dalam
GBPP
disebutkan
bahwa
bidang
studi
IPS
bertujuan
“untuk
mengembangkan cara berpikir kritis dan kreatif siswa dalam melihat hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya”. Rumusan tujuan tersebut jelas memperlihatkan posisi bidang kajian akademis yaitu kemampuan berpikir dalam melihat fenomena bidang kajian (hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya). Warna akademik yang dinyatakan dalam tujuan bidang studi IPS bersesuaian dengan pendekatan yang dirumuskan dalam dua pendekatan yaaitu (1) “pendekatan integratif sesuai dengan realita kehidupan”, dan (2) “pendekatan struktural untuk meningkatkan pengertian konsep-konsep dari generalisasi secara luas dan mendalam”. Terlepas dari adanya konflik dalam berpikir antara pendekatan integrati dan pendekatan struktural tetapi kedua pendekatan tersebut merupakan aplikasi kurikulum dari pendidikan disiplin ilmu. Artinya, IPS dalam posisi sebagai bidang studi dalam kelompok Program Pendidikan Akademis memang
dirancang
sebagai
pendidikan
akademis,
bukan
pendidikan
kewargaannegara (bukan kewarganegaraan yang menjadi label mata pelajaran). Landasan berpikir demikian menyebabkan kelahiran bidang studi Sejarah Pendidikan Perjuangan Bangsa dalam kelompok Program Pendidikan Umum merupakan sesuatu yang wajar walau pun menimbulkan masalah dalam ide kurikulum tentang pendidikan kewargaannegara. Sikap mendua dalam organisasi konten kurikulum yang diberi label bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam tetapi dipecah menjadi dua yaitu biologi dan fisika dengan masing-masing beban belajar berbeda, mencerminkan adanya tarik ulur dalam konsep pendidikan ilmu alamiah (science). Secara filosofis tampak ada tarik ulur antara pengembang kurikulum yang beraliran perenialisme yang memperkenankan adanya pendidikan disiplin ilmu yang terintegrasi dengan label
128
berbeda dari label disiplin ilmu dengan mereka yang beraliran esensialisme yang kokoh dalam posisi bahwa pendidikan disiplin ilmu harus sesuai dengan kaedah disiplin ilmu termasuk nama mata pelajaran. Menurut pandangan perenialisme pendidikan biologi, fisika, kimia dapat disatukan dalam sebuah organisasi konten kurikulum yang dinamakan IPA (science). Bagi pengikut esensialisme penggabungan dengan label seperti IPA sedangkan bagi pengikut perenialisme penggabungan eperti IPA adalah sesuatu yang wajar dan dapat diterima. Penyelesaian yang dilakukan dengan mencantumkan nama bidang studi IPA dalam tradisi perenialisme (IPA) dan yang kemudian untuk memenuhi filosofi esensialisme dibagi atas biologi dan fisika mungkin dianggap sebagai penyelesaian terbaik. Garis-garis Besar Program Pengajaran IPA tidak merinci mengenai pendekatan sebagaimana yang tercantum dalam Struktur Program dan Bidang Studi Kurikulum SMP 1984. Memang sangat disayangkan ketiadaan informasi mengenai proses yang menyebabkan terjadinya keputusan tersebut untuk lebih dapat memahami ide kurikulum pengembangan bidang studi IPA, apalgi hal tersebut tidak terjadi dalam bidang studi IPS. Jadi, terjadi perbedaan ide kurikulum yang cukup mendasar antara pengembang bidang studi IPA dan IPS yaitu bidang studi IPA menggunakan pemikiran “discrete disciplinary approach” sedangkan IPS menggunakan pendekatan “integrated approach”. Dalam konteks banyaknya mata pelajaran untuk Kelompok Umum dan Akademis, Kurikulum SMP 1984 tidak lebih sederhana dibandingkan Kurikulum SMP 1975. Dengan adanya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan IPA yang terbagi dua atas Biologi dan Fisika maka jumlah mata pelajaran dalam Kurikulum SMP 1984 menjadi dua lebih banyak dari Kurikulum SMP 1975. Kesederhanaan Kurikulum SMP 1984 dibandingkan Kurikulum SMP 1975 hanya tejadi pada mata pelajaran Ketrampilan yang hanya mengenal satu jenis dibandingkan dua jenis pada Kurikulum SMP 1975 (pilihan wajib dan bebas). Dalam Buku I tentang Landasan, Program, dan Pengembangan dikemukakan bahwa mata pelajaran ketrampilan diarahkan pada ketrampilan yang terkait dengan perkembangan terakhir yang terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Oleh
129
karena itu disarankan ketrampilan untuk perkotaan dalam bidang perbengkelan otomotif dan elektronika karena semakin banyaknya mobil dan pemakaian komputer. Sedangkan untuk daerah pedesaan disarankan ketrampilan dalam bidang bioteknologi, kelistrikan, pembangunan desa, perkoperasian, dan penyuluhan pertanian. Prinsip yang mirip, walau pun tidak sama, dengan kebijakan tentang bidang studi IPA diterapkan juga untuk IPS. Jika dalam bidang studi IPA struktur kurikulum secara eksplisit memecah IPA dalam dua subbidang studi yaitu Biologi dan Fisika, IPS melakukannya dalam cara yang berbeda. Dalam Buku II Ilmu Pengetahuan Sosial Kurikulum SMP 1984 disebutkan “bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang terintegrasi atau terpadu, dan sejarah sebagai subbidang studi. Pelaksanaan Subbidang Studi Sejarah mengambil waktu dari jatah waktu yang tersedia untuk Bidang Studi Ilmu Pengetahuan Sosial sebanyak 1 jam pelajaran (sic!) per minggu dan diberikan mulai dari kelas I sampai dengan kelas III” (Buku II, 1986:4). Akibat dari adanya kebijakan atau ide kurikulum yang demikian, tentu saja terjadi ketidaksinambungan (inkonsistensi) atau bahkan dapat dikatakan sebagai suatu “contradictio in terminis” bidang studi IPS yaitu antara definisi IPS dengan ketentuan menjadikan sejarah sebagai sub-bidang studi dengan GBPP yang terpisah dari GBPP IPS yang berisikan materi geografi, kependudukan, ekonomi, sosiologi dan anthropologi. Kiranya adanya pengaruh pengambil kebijakan kurikulum yang cukup dominan dalam bidang sejarah dan menginginkan pendidikan sejarah dalam konsep pendidikan esensialisme menyebabkan terjadinya keputusan kurikulum yang demikian. Penyelesaian dua GBPP yaitu IPS dan Sejarah tentu saja menyebabkan persoalan konseptual yang cukup mengganggu mengenai pendidikan IPS yang menjadi komponen materi Kurikulum SMP 1984. Hal yang terjadi pada bidang studi IPS dalam inkonsistensi antara pengertian dan pemecahan subbidang studi tidak terjadi pada bidang studi IPA karena GBPP IPA tidak menyebutkan IPA sebagai suatu bidang studi terpadu.
130
Ketentuan kurikulum tentang adanya mata pelajaran ketrampilan tentu memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang kesenian, olahraga, dan vokasional yang mungkin dimaksukinya setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan SMP dan tidak melanjutkan pada pendidikan di atasnya. Perbedaan mata pelajaran ketrampilan yang disarankan untuk lingkungan pendidikan yang berbeda adalah kebijakan yang mengarah kepada diversifikasi kurikulum. Keterkaitan kurikulum dengan lingkungan menjadi suatu yang didukung oleh mata pelajaran pilihan. Sayangnya, kebijakan tentang mata pelajaran ketrampilan dalam Kurikulum SMP 1984, sebagaimana kurikulum sebelumnya dan sesudahnya, tidak diikuti dengan kewajiban penyelenggara pendidikan dan pemilik sekolah (dalam hal ini terutama pemerintah) untuk melengkapi fasilitas yang diperlukan dalam mata kuliah pilihan, apabila dukungan dana operasional dan pemeliharaan. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa SMP tidak memiliki fasilitas olahraga, kesenian, dan ketrampilan yang memadai sampai hari ini sebagaimana halnya dengan biaya operasional dan pemeliharaan. Kebijakan kurikulum yang tidak didukung oleh kebijakan pengadaan fasilitas belajar berkelanjutan sampai masa kini menyebab sekolah sebenarnya tidak dalam keadaan siap untuk melaksanakan kurikulum. Dengan perkataan lain, sekolah tidak mungkin melaksanakan apa yang telah direncanakan dalam dokumen kurikulum (curriculum as plan) menjadi suatu realita kurikulum (implemented, observed, atau taught curriculum). Hal lain yang membedakan antara Kurikulum SMP 1975 dan sebelumnya dengan Kurikulum SMP 1984 adalah dalam memberikan penawaran mata pelajaran antar semester (alternate semester offering). Dalam konsep ini suatu mata pelajaran tertentu diberikan pada semester tertentu dan tidak pada tiap semester. Kurikulum SMP 1975 menerapkan konsep penawaran antar semester untuk bidang studi ketrampilan pilihan terikat dan pilihan bebas sedangkan untuk Kurikulum SMP 1984 penawaran antar semester diberlakukan untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Walau pun keduanya menerapkan konsep antar semester, konsep penawaran antar semester untuk bidang studi Ketrampilan
131
Terikat dan Ketrampilan Pilihan (Kurikulum SMP 1975) memiliki perbedaan dengan penawaran antar semester bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (Kurikulum SMP 1984). Penawaran antar semester dalam Kurikulum SMP 1975 didasarkan pada pemikiran bahwa bidang studi Ketrampilah Pilihan Terikat dan Ketrampilan Pilihan Bebas memiliki materi pelajaran ketrampilan yang dapat diselesaikan dalam satu semester sebagai satu kesatuan utuh dan tidak berlanjut pada semester lain. Konsep demikian banyak digunakan dalam kurikulum perguruan tinggi karena hakekat materi
satu mata kuliah yang
sepenuhnya dikemas secara utuh dalam Sistem Credit System (SKS) sehingga materi satu semester suatu mata kuliah merupakan satu kesatuan utuh (terkecuali mata kuliah prasyarat) dan tersedianya banyaknya mata kuliah pilihan pengganti mata kuliah yang tidak ditawarkan pada semester terkait. Kurikulum SMP 1984 tidak menggunakan prinsip di atas dalam mengembangkan bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa walau pun ditawarkan dalam model antar semester. Sebagaimana bidang studi lainnya, materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 4 adalah kelanjutan semester 2 dan materi semester 6 adalah kelanjutan materi semester 4 dan 2.
Kembali
ketiadaan dokumen mengenai proses pengembangan ide kurikulum dan dalam hal ini berkenaan dengan ide kurikulum bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa menyebabkan kesulitan kita memahami ide kurikulum yang digunakan. Suatu hal yang jelas bahwa materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa semester 2 berkaitan dengan materi semester 4 dan materi semester 6 sehingga penawaran pembelajaran yang bersifat selang semester (alternate) semester mengundang masalah yang berkaitan dengan prinsip (sequence)
dalam
pengembangan
materi
kurikulum
dan
tata urut
dalam
proses
pembelajaran. Memang harus diakui bahwa untuk unit kelas atau tahun akademik penawaran materi pembelajaran yang bersifat selang semester mungkin bukan masalah besar tetapi harus pula diingat bahwa kurikulum bukan berkenaan dengan kelas tapi sekolah dan keberhasilan penguasaan materi pembelajaran bersifat menyeluruh.
132
Penilaian hasil belajar bidang studi yang digunakan Kurikulum SMP 1984 dalam bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak sama dengan kurikulum perguruan tinggi yang menggunakan SKS. Suatu mata kuliah diakhiri dengan penilaian hasil belajar yang menentukan keberhasilan seorang mahasiswa dalam mata kuliah tersebut dan tidak lagi terkait dengan mata kuliah lain yang akan dikontrak oleh mahasiswa yang bersangkutan. Kebijakan kurikulum di SMP tidaklah demikian karena materi bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dipelajari di semester 2 dan 4 akan masuk dalam ujian akhir sekolah. Oleh karena itu sistem penawaran selang semester (alternate semester) tidak sesuai dengan prinsip kurikulum tingkat persekolahan. Pertimbangan yang mungkin digunakan untuk mengembangkan pembelajaran yang bersifat selang semester untuk bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah beban belajar keseluruhan per semester. Ada pertimbangan yang cukup kuat agar beban belajar setiap semester tidak melebihi 38 jam untuk kelas I, 37 jam untuk kelas II, dan 36 jam untuk kelas III sehingga beban belajar keseluruhan Kurikulum SMP 1984 sama dengan Kurikulum SMP 1975 yaitu 222 jam atau 234 bagi sekolah yang memberikan pelajaran Bahasa Daerah. Pertimbangan mengenai beban belajar semester ini berakibat pada alokasi beban belajar bidang studi Matematika. Bidang studi Matematika menggunakan alokasi beban belajar yang tidak sama antara semester ganjil (1,3,dan 5) dengan semester genap (2,4, dan 6). Di setiap semester ganjil dimana Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa tidak ditawarkan maka bidang studi Matematika memiliki beban belajar 6 sedangkan di setiap semester genap ketika bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ditawarkan dengan beban belajar 2 jam maka beban belajar bidang studi Matematika berkurang dari 6 menjadi 4 jam. Akibatnya, distribusi jam belajar bidang studi Matematika Kurikulum SMP 1984 berbeda dari Kuurikulum SMP 1975 yang memiliki beban belajar sama di setiap semester yaitu masing-masing 5 jam.
133
Dalam pemikiran kurikulum beban belajar adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan secara serius. Peserta didik yang terlalu lelah tidak mungkin menghasilkan kualitas belajar yang baik. Banyak studi yang menunjukkan bahwa kelelahan merupakan faktor mediasi (mediating variable) yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang. Meski pun demikian, pemikiran bahwa beban belajar yang berbeda antara kelas I, II, III cukup mengundang permasalahan jika pengurangan beban belajar dilakukan hanya untuk mempersiapkan peserta didik untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Oleh karena peserta didik yang akan menempuh ujian pada jamaknya harus memiliki jam belajar yang lebih banyak dan intensif dibandingkan sebelumnya. Pikiran baru yang dikembangkan oleh Kurikulum SMP 1984 adalah materi muatan lokal. Muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan masyarakat setempat. Pemikiran tentang materi muatan lokal didasarkan pada pemikiran bahwa kurikulum harus relevan dengan masyarakat yang dilayani kurikulum. Pengembangan materi nasional kurikulum untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat dan komunitas yang berdiam di mana pun di Indonesia bahkan di luar negeri. Sedangkan kebutuhan masyarakat setempat yang dilayani kurikulum harus diberi alokasi dan program dalam bentuk kurikulum muatan lokal. Dalam kebijakan kurikulum mengenai materi muatan lokal ditentukan bahwa keputusan mengenai mata pelajaran muatan lokal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapatkan masukan dari Kantor Departemen
Kabupaten
dan
Kotamadya 21 .
Berdasarkan
pertimbangan
kepentingan daerah kabupaten dan kotamadya maka Kantor Wilayah Departemen 21
Pada masa itu sistem pemerintahan bersifat sentralistis. Di setiap propinsi ada perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dinamakan Kantor Wilayah untuk tingkat propinsi dan Kantor Departemen untuk tingkat Kabupaten dan Kotamadya. Kotamadya adalah istilah yang digunakan pada masa itu dan sekarang berubah menjadi Kota.
134
Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan mata pelajaran untuk materi muatan lokal. Pada umumnya penetapan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk materi muatan lokal adalah bahasa daerah dan kesenian. Selain itu mata pelajaran materi muatan lokal lainnya berkenaan dengan kemampuan vokasional yang berkenaan dengan pekerjaan yang banyak di masyarakat seperti pertanian, peternakan, perikanan, dan jasa. Kebijakan mengenai materi muatan lokal yang diperkenalkan Kurikulum SMP 1984 sebenarnya dapat memberikan orientasi baru kurikulum. Dengan adanya materi muatan lokal, terlebih materi yang berkenaan dengan ketrampilan vokasional, Kurikulum SMP 1984 memberikan kemungkinan kepada tamatan SMP untuk memasuki dunia kerja dengan bekal kemampuan vokasional yang cukup sehingga dunia kerja mendapatkan tenaga kerja yang siap untuk melaksanakan pekerjaannya. Adanya ketetapan mengenai bahasa dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran dalam muatan lokal memberikan dasar pendidikan yang kuat karena peserta didik tidak tercabut dari akar budaya masyarakat darimana mereka berasal. Konsekuensi dari materi muatan lokal ini tentu saja sekolah harus melakukan kajian kebutuhan (need analysis) masyarakat. Kajian tersebut untuk melihat ketersediaan vokasi yang memerlukan tenaga kerja dan kemampuan yang diperlukan oleh vokasi tersebut. Kajian kebutuhan ini penting agar kurikulum tidak menyediakan tenaga kerja di bidang vokasi yang sudah jenuh atau dengan ketrampilan yang tidak sesuai dengan tuntutan vokasi. Untuk mampu melakukan kajian kebutuhan (need analysis) maka bagian kurikulum di setiap sekolah atau yang bertanggungjawab dalam mengembangkan materi muatan lokal harus terlatih untuk melalukan kajian kebutuhan. Konsekuensi lain dari kebijakan tentang muatan lokal terutama berkenaan dengan mata pelajaran yang sifatnya mengembangkan ketrampilan vokasional tertentu, sekolah memerlukan fasilitas belajar yang cukup dan dari jenis yang digunakan di masyarakat. Artinya, sekolah memerlukan dana khusus untuk pengadaan fasilitas
135
belajar bagi vokasional tertentu karena sebelumnya SMP tidak dilengkapi dengan fasilitas demikian. Ketersediaan fasilitas belajar untuk materi muatan lokal yang berorientasi vokasional merupakan masalah besar bagi pemerintah. Dana yang tersedia untuk itu dapat dikatakan terbatas sedangkan kebijakan materi muatan lokal dalam Kurikulum SMP 1984 bersifat nasional. E. KURIKULUM SLTP 22 1994 Pada tahun 1994 Pemerintah memberlakukan kurikulum baru menggantikan Kurikulum SMP 1984. Sesuai dengan tradisi penamaan kurikulum di Indonesia, kurikulum baru yang diberlakukan mulai tahun 1994 dinamakan Kurikulum SMP 1994. Pemberlakuan kurikulum baru ini disebabkan paling tidak oleh tuntutan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993. Undang-Undang nomor 2 tahun 1989, yaitu undang-undang kedua mengenai pendidikan yang dihasilkan bangsa Indonesia,
memperkenalkan jenjang
pendidikan dasar yang terdiri atas pendidikan Sekolah Dasar (6 tahun) dan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (3 tahun). Pengertian Pendidikan Dasar 9 tahun sebagaimana yang ditetapkan dalam UU nomor 2 tahun 2003 digunakan sampai saat sekarang. Konsekuensi dari pengertian pendidikan dasar yang ditetapkan UU nomor 20 tahun 1989 maka pemikiran kurikulum untuk Pendidikan Dasar berubah, meliputi kurikulum untuk SD dan kurikulum SLTP. 1.Perubahan Kebijakan Pendidikan
Pada tahun 1988 MPR bersidang untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara yang tercantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988. Mengenai 22
Berdasarkan ketetapan dalam Undang‐undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan Pasal 13 Ayat (1) disebutkan “Pendidikan dasar merupakan pendidikan yang lamanya 9 (sembilan) tahun yang diselenggarakan selama 6 (enam) tahun di Sekolah Dasar (SD) dan 3 (tiga) tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau satuan pendidikan yang sederajat”. Istilah SLTP tidk digunakan dalam pasal‐pasal yang terdapat pada Ketetapan.
136
pendidikan TAP MPR nomor II/MPR/1988 merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut: a.Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada Tanah Air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial. g.Pendidikan Pancasila termasuk Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan khususnya nilai-nilai 1945 kepada generasi muda, dilanjutkan dan makin ditingkatkan di semua jenis dan jenjang pendidikan mulaai daari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta Titik (g) jelas menunjukkan apa yang harus ada dalam kurikulum yaitu Pendidikan Pancasila. Dalam Pendidikan Pancasila terdapat materi P4, PMP dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa. Lima tahun kemudian ketika MPR bersidang pada tahun 1993 maka TAP MPR nomor II/MPR/1993 tentang GBHN telah merumuskan tujuan pendidikan nasional berbeda dari apa yang telah ditetapkan dalam TAP nomor II/MPR/1988. Pendidikan dirumuskan untuk: mewujudkan manusia yang beriman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif dan profesional;makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan martabat manusia Indonesia, dan memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa. Ada perbedaan yang cukup konseptual dan bukan hanya sekedar redaksional antara tujuan yang dirumuskan TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993. Diantara perbedaan kualitas antara keduanya adalah
137
semangat
kebangsaan
dan
rasa
kesetiakawanan
sosial,
kerja
keras,
bertanggungjawab, mandiri, serta bertanggungjawab tidak lagi menjadi tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993. Perbedaan kualitas yang diinginkan sebagai tujuan pendidikan nasional antara kedua TAP tersebut mencerminkan adanya perubahan suasana politik yang cukup mendasar. Pembangunan ekoonomi menjadi semakin kuat walau pun fokus pada pembangunan pada bidang lainnya tetap menjadi perhatian, dan pendidikan adalah salah satu fokus penting Pemerintah dalam pembangunan. Dalam kedua TAP MPR yang disebutkan terkait dengan pendidikan, TAP MPR nomor II/MPR/1988 dan TAP MPR nomor II/MPR/1993 di atas, nama pendidikan sejarah perjuangan bangsa masih disebutkan. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 sebagaimana dikutip di atas telah secara jelas menunjukkan bahwa pendidikan sejarah perjuangan bangsa adalah bagian dari Pendidikan Pancasila. Dalam TAP MPR nomor II/MPR/1993 pendidikan sejarah perjuangan bangsa juga dinyatakan yaitu titik e pada bagian Pendidikan, dinyatakan sebagai berikut: Penyelenggaraan pendidikan nasional harus mampu meningkatkan memperluas, dan memantapkan usaha penghayatan dan pengamalan Pancasila serta membudayakan nilai-nilai Pancasila agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di segenap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), pendidikan moral Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur unsur yang dapat meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat, dan nilai kejuangan, khususnya nilai 1945, dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis, danjenjang pendidikan termasuk prasekolah. Ketetapan tersebut tidak menyatakan bahwa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila
(P4),
pendidikan
moral
Pancasila,
pendidikan
kewarganegaraan, dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa sebagai bidang studi atau pun mata pelajaran. Pada masa Prof. Dr Nugroho Notosusanto yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maka pendidikan sejarah perjuangan bangsa menjadi bidang studi dan kemudian dicantumkan dalam Kurikulum SMP 1984. Setelah beliau wafat dan digantikan Prof. Dr. Fuad Hassan, kebijakan tentang
138
Pendidikan Pancasila berbeda dari kebijakan sebelumnya. Pendidikan Pancasila tercantum dalam mata pelajaran di Kurikulum SMP 1994 sebagai mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Unsur pendidikan moral Pancasila dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tetapi unsur pendidikan sejarah perjuangan bangsa tidak menjadi bagian dari mata pelajaran tersebut dan tidak pula menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri walau pun TAP MPR tentang Pendidikan Pancasila tidak berubah. Memang materi Pendidikan Pancasila tidak perlu selalu menjadi nama mata pelajaran tetapi kebijakan yang tercantum dalam TAP MPR adalah suatu keharusan politik untuk memuat unsur-unsur Pendidikan Pancasila sebagai materi suatu mata pelajaran (Pendidikan Pancasila). Dengan hilangnya unssur pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unssur lain dari mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terjadi diskontinuitas antara TAP MPR dengan kebijakan kurikulum. Pada tahun 1989 ketika pemerintah memberlakukan Undang-Undang nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 maka tujuan pendidikan nasional mempunyai arah baru. Pendidikan dipandang sebagai suatu upaya yang memiliki tujuan ”mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan” 23 (UU nomor 2 tahun 1989). Dari rumusan ini jelas bahwa pendidikan tidak hanya memiliki tujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik semata sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 atau pun Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 atau TAP MPRS XXVI/MPRS/1966. Dokumen itu jelas menunjukkan bahwa tujuan pendidikan berkonsentrasi pada pengembangan potensi peserta didik sedangkan dalam UU nomor 2 tahun 1989 pendidikan memiliki dua tujuan yaitu berkenaan dengan kehidupan bangsa dan manusia. Entah bagaimana caranya 23
Rumusan tujuan pendidikan nasional yang ada dalam UU nomor 2 tahun 2003 berbeda dari rumusan tujuan dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 .
139
pendidikan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa
mengembangkan
kehidupan manusia yang cerdas. Pada dasarnya, hanya kehidupan manusia yang cerdas yang dapat membawa pada kehidupan bangsa yang cerdas. Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tidak menganut paham bahwa kecerdasan kehidupan bangsa hanya dapat dikembangkan melalui kehidupan manusianya. Oleh karena itu pada tujuan pendidikan kedua yang berkenaan dengan manusia tidak dirangkumkan sebagai kualitas kehidupan bangsa yang diinginkan. Manusia Indonesia seutuhnya yaitu yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan, budi pekerti, berpengetahuan dan berktrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri tidak harus menjadikan kualitas kehidupan bangsa berkembang. Tampaknya, rumusan itu menganut faham bahwa kualitas kehidupan bangsa yang cerdas menjadi sesuatu yang terpisah dari kualitas manusia yang ingin dihasilkan oleh proses pendidikan. Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam UU nomor 2 tahun 1989 ini tidak pernah pula diketahui pencapaiannya. Evaluasi terhadap pencapaian hasil pendidikan lebih diarahkan pada ketentuan mengenai kelulusan seseorang dari suatu unit atau lembaga pendidikan tertentu. Kualitas yang harus dikuasai seorang peserta didik tidak pula didasarkan pada tujuan pendidikan nasional sehingga alat evaluasi nya pun tidak dikembangkan untuk mengumpulkan informasi mengenai pencapaian tujuan pendidikan. Soal-soal yang dikembangkan untuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), Ujian Akhir Nasional (UAN) atau pun Ujian Nasional (UN) adalah untuk menentukan kelulusan seorang siswa, bukan untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan nasioanal. Oleh karena itu sifat tujuan pendidikan yang mendua itu pun seolah-olah tidak menimbulkan masalah kependidikan. Dalam ketetapan pada Pasal 39 ayat (2) dan (3) Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Isi Kurikulum maka dicantumkan materi pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan sebagai materi wajib dan bahan kajian wajib. Materi Pendidikan Moral Pancasila dan pendidikan sejarah perjuangan bangsa serta unsur-unsur lain yang terantum dalam TAP MPR nomor II/MPR/1988 tidak tercantum dalam undang-undang tersebut. Dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) dan
140
(3) tidak tercantum unsur pendidikan Moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan unsur-unsur lainnya sebagai materi Pendidikan Pancasila atau pun pneididkan Kewarganegaraan. Dengan demikian terjadi disharmoniasasi ketetapan antara TAP MPR, UU Sisdiknas, dan kebijakan kurikulum. Kebijakan kurikulum hanya memperdulikan ketentuan dari UU Sisdiknas tapi tidak TAP MPR
Foto 4: Nama Sekolah ini Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), menggantikan SMP. Nama SLTP adalah nama yang digunakan UU nomor 2 tahun 1989. Sumber: Website SMPN 8 Yogyakarta
2.Struktur Kurikulum SLTP 1994
141
Struktur Kurikulum SLTP 1994 lebih sederhana dibandingkan struktur kurikulum sebelumnya. Tabel berikut, tabel 7.4 memperlihatkan Struktur Kurikulum SMP 1994
Tabel 7.4 Struktur dan Mata Pelajaran Kurikulum SLTP 1994
No.
Kelas
Mata Pelajaran I
II
III
1.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
2
2
2
2.
Pendidikan Agama
2
2
2
3.
Bahasa Indonesia
6
6
6
4.
Matematika
6
6
6
5.
Ilmu Pengetahuan Alam
6
6
6
6.
Ilmu Pengetahuan Sosial
6
6
6
7.
Kerajinan Tangan dan Kesenian
2
2
2
8.
Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
2
2
2
9.
Bahasa Inggeris
4
4
4
10.
Muatan Lokal (sejumlah mata pelajaran)
6
6
6
Jumlah
42
42
42
Kesederhanaan struktur Kurikulum SMP 1994 terlihat pada penempatan semua mata pelajaran dalam satu kelompok dan dengan demikian mata pelajaran yang satu sama dengan mata pelaajaran lain dalam fungsinya. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bersama-sama dengan mata pelajaran Pendidikan Agama yang dalam kurikulum sebelumnya dimasukkan dalam kelompok dasar atau pembinaan jiwa Pancasila. Kurikulum SMP 1994 tidak mengenal kelompok dan dengan demikian tidak memisahkan posisi kedua mata pelajaran tersebut dari mata pelajaran lainnya. Biasanya dalam struktur kurikulum
142
mata pelajaran dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam fungsi dan tujuan yang hendak dicapai oleh sejumlah mata pelajaran. Kesederhanaan
struktur
Kurikulum
SMP
1994
ditunjukkan
pula
oleh
penggabungan mata pelajaran/bidang studi PMP dan PSPB menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Penggabungan juga dilakukan antara biologi dan fisika yang dijadikan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan alokasi waktu yang satu yaitu 6 jam belajar. Penggabungan dalam Kurikulum SMP 1994 dilakukan juga terhadap mata pelajaran kesenian dan mata pelajaran ketrampilan menjadi mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Kurikulum SMP 1994 tetap menggunakan filosofi perenialisme yang masih dalam kelompok pendidikan disiplin ilmu tetapi memperoleh organisasi “broadfield” yaitu mata pelajaran IPS dan IPA. Artinya secara filosofis tidak ada perubahan antara Kurikulum SMP 1994 dari Kurikulum SMP 1984 walaupun haru diakui bahwa Kurikulum SMP 1994 menerapkan filosofi perenialisme lebih utuh dibndingkan Kurikulum SMP 1984. Dalam Kurikulum SMP 1994 mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tidak dipecah menjadi Biologi dan Fisika seperti yangg dilakukan Kurikulum SMP 1984. Terlepas dari kesederhanaan yang ditunjuk dalam struktur, Kurikulum SMP 1994 memberikan beban belajar yang lebih tinggi kepada peserta didik. Dengan jumlah mata pelajaran sebanyak 10, lebih sedikit dibandingkan Kurikulum SMP 1984 (yang terbanyak dalam bidang studi) dan Kurikulum SMP 1975, jam belajar peserta didik dalam Kurikulum SMP 1994 lebih tinggi yaitu 42 jam setiap semester dibandingkan Kurikulum SMP 1975 yang 37 jam setiap semester dan Kurikulum SMP 1984 yang dimulai dengan 38 jam di kelas I kemudian menurun ke 37 jam di kelas II dan menurun lagi menjadi 36 jam di kelas III.
Perubahan yang ditunjukkan oleh Kurikulum SMP 1994 adalah pendekatan mata pelajaran, bukan bidang studi. Dengan pendekatan mata pelajaran maka pendekatan bidang studi hanya digunakan oleh Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Pendekatan mata pelajaran untuk organisasi konten kurikulum memang lebih umum dan melalui Kurikulum SMP 1994 pendekatan
143
mata pelajaran yang digunakan kurikulum SMP sebelum Kurikulum 1975 dihidupkan kembali oleh Kurikulum 1994. Mata pelajaran lebih sederhana dan tidak mengundang tafsiran yang berbeda antara pengembang dan pelaksana kurikulum. Pemaknaan yang sama dalam istilah kurikulum antara pengembang dan pelaksana kurikulum sangat penting untuk keberhasilan implementasi kurikulum. Guru sebagai pelaksana tahu secara tepat apa yang dimaksudkan pengembang kurikulum sehingga ketika guru mengembangkan dokumen kurikulum menjadi kurikulum sebagai suatu realita atau “observed curriculum” maka ide pengembang kurikulum dapat dilaksanakan dengan tepat pula. Kurikulum SMP 1994 tidak menganut paham penawaran selang semester (alternate semester), perbedaan beban belajar semester atau kelas sebagaimana yang digunakan Kurikulum SMP 1984. Kurikulum SMP 1994, sebagai kurikulum sebelum 1984, mengembangkan sistem penawaran setiap semester dan beban belajar setiap semester untuk setiap mata pelajaran. Konstruksi struktur kurikulum yang demikian memang memberikan kemudahan kepada sekolah dalam merencanakan implementasi terutama dalam mengatur jam pelajaran. Kesamaan beban belajar setiap semester menyebabkan guru lebih mudah memberikan pertimbangan mengenai kedalam materi yang akan dipelajari peserta didik setiap semester. Kuurikulum 1994 memiliki beban belajar/jam belajar yang lebih besar yaitu 42 jam tanpa menghitung mata pelajaran Bahasa Daerah yaitu 42 jam per semester. Beban belajar ini lebih tinggi dari Kurikulum SMP 1984 yang memiliki jam belajar tertinggi 38 jam dan kemudian menurun pada tahun berikutnya. Jumlah jam 42 untuk Kurikulum SMP 1994 sama untuk seluruh kelas dan tidak ada pengurangan jam belajar untuk mata pelajaran tertentu sebagaimana yang ada pada Kurikulum SMP 1984. Baik mata pelajaran Matematika mau pun IPS memiliki jam pelajaran yang sama untuk setiap tahun untuk masing-masing mata pelajaran. Kurikulum
SMP
1994
memandang
mata
pelajaran
Bahasa
Indonesia,
Maatematika, IPA dan IPS dalam kedudukan yang sama dan mendapatkan alokasi jam belajar yang sama yaitu masing-masing 6 jam. Sedangkan untuk kesenian dan
144
ketrampilan tangan digabungkan dalam satu mata pelajaran dengan label mata pelajaran Kesenian dan Kerajinan Tangan. Alokasi jam untuk mata pelajaran ini sangat rendah dibandingkan alokasi dalam Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Tampaknya pikiran (ide) kurikulum para pengembang Kurikulum SMP 1994 tidak memandang pendidikan Kesenian dan Kerajinan Tangan sama pentingnya dibandingkan pikiran (ide) para pengembang Kurikulum SMP 1975 dan Kurikulum SMP 1984. Mata pelajaran muatan lokal yang diperkenalkan sejak Kurikulum SMP 1984 masih tetap dipertahankan dalam Kurikulum SMP 1994. Pendekatan mata pelajaran untuk materi muatan lokal pun masih digunakan. Kebijakan bahwa keputusan tentang mata pelajaran muatan lokal oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan masih tetap dipertahankan. Sebagaimana yang terjadi pada Kurikulum SMP 1984, penetapan materi muatan lokal sebagai mata pelajaran wajib yang terjadi hampir di setiap daerah tidak berbeda yaitu bahasa daerah dan kesenian daerah. Posisi mata pelajaran bahasa daerah dan kesenian daerah sebagai mata pelajaran wajib dalam Keadaan seperti ini masih dipertahankan pada saat pemerintah memberikan wewenang yang lebih besar kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum sekolah masing-masing dan dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
145
KURIKULUM SMP PADA MASA REFORMASI (OTONOMI DAERAH)
A. PERUBAHAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian diikuti dengan krisis politik. Kepemimpinan Presiden Soeharto mendapat tantangan dari masyarakat dan terutama mahasiswa. Gelombang unjuk rasa dan tuntutan agar Presiden Soeharto mundur semakin gencar dan masif setelah terjadi pembunuhan beberapa mahasiswa Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia. Pergantian kepala pemerintahan dan kepala negara tersebut terjadi
karena Presiden Soeharto
mengundurkan diri mendapatkan tekanan mahasiswa dan masyarakat yang tidak puas lagi atas kepemimpinan Presiden Soeharto dan ketika beberapa anggota kabinet yang melihat suasana politik yang tidak menguntungkan mengundurkan diri, dan beberapa pimpinan masyarakat menolak untuk membantu menyelesaikan kemelut politik. Masa pemerintahan Presiden Habibie ditandai dengan upaya mengembalikan kehidupan demokrasi di Indonesia yang dianggap sudah tercabikcabik pada masa pemerintaha Orde Baru dan upaya membangun kehidupan kenegaraan yang didasarkan pada otonomi daerah yang lebih nyata. Pemerintahan Presiden Habibie digantikan oleh Presiden Abdurrachman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) pada tahun. Tidak sampai dua tahun menjabat sebagai
Presiden
Republik
Indonesia,
Presiden
Abdurachman
Wahid
dimakzulkan oleh MPR dan digantikan oleh Presiden Megawati (223 Juli 2001 – 20 September 2004). Presiden Megawati adalah presiden terakhir yang diangkat oleh MPR dan bukan dipilih langsung oleh rakyat, SESUAI DENGAN UndangUndang Dasar 1945 sebelum dilakukan amandemen. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dibentuk tim Reformasi Pendidikan yang merancang berbagai reformasi di sejumlah aspek pendidikan yang dirasakan harus disesuaikan dengan kebijakan nasional mengenai otonomi daerah. Pendidikan tidak lagi menjadi wewenang Pemerintah (Pusat) tetapi dilimpahkan sebagai bagian dari Pemerintah
146
Daerah. Rancangan tim Reformasi Pendidikan ini kemudian dijadikan dasar dalam pengembangan undang-undang baru tentang pendidikan nasional. Pada tahun 2003 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas tahun 2003) disyahkan. Undang-undang Sisdiknas 2003 membawa perubahan tujuan pendidikan dan konsep pendidikan. Perubahan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 dapat dikatakan merupakan koreksi terhadap tujuan pendidikan sebelumnya. Pemikiran baru tentang pendidikan, posisi peserta didik dalam pendidikan dan proses pembelajaran menyebabkan pengertian pendidikan dirumuskan sesuai dengan perkembangan baru tersebut. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistis ke otonomi membawa pemikiran baru mengenai wewenang pengembangan kurikulum. Dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional maka pendidikan fungsi pendidikan dirumuskan untuk
”mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sedangkan tujuan pendidikan dirumuskan untuk ”berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab” . Koreksi ini sangat fundamental karena menyangkut hakiki kegiatan pendidikan. Dalam pikiran baru ini, kegiatan pendidikan berfungsi untuk mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik, baik potensi pengembangan pengetahuan, ketrampilan intelektual, nilai dan sikap dan fisik. Dalam mengembangkan potensi tersebut proses pendidikan memiliki kemampuan mengarahkannya kepada suatu kualitas tertentu seperti keimanan, ketaqwaan, kemuliaan akhlak, kesehatan fisik, dan sebagainya. Oleh karena itu perkembangan tujuan pendidikan di Indonesia
147
mencapai titik yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik, pedagogik, dan politik 24 . B. KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (KURIKULUM 2004) Pada awal tahun 2000, Pemerintah mulai merintis pengembangan kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Beberapa sarjana kurikulum yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang studi kurikulum dan diantaranya baru kembali dari pendidikan di luar negeri dengan gelar tertinggi (S3) di bidang kurikulum. Mereka belajar tentang kurikulum berbasis kompetensi dan landasan pemikiran kurikulum berbasis kompetensi untuk kurikulum SD, SLTP, SLTA dan SMK.
Kurikulum berbasis kompetensi direncanakan untuk menggantikan
kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum SMP 1994 walau pun rencana tersebut tidak dapat direalisasikan karena adanya perubahan kebijakan mengenai wewenang penyelenggaraan pendidikan yang diberikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyempurnakan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Meski pun demikian, Kurikulum Berbasis Kompetensi perlu dikemukakan sebagai suatu peristiwa dalam sejarah pengembangan kurikulum di Indonesia. Sebenarnya, pemikiran kurikulum berbasis kompetensi bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Di jenjang pendidikan tinggi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi telah dikembangkan untuk program pendidikan guru pada tahun 70an. Sebelumnya, kurikulum di lembaga pendidikan perhotelah telah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi untuk berbagai program studi yang dimilikinya. Di program pendidikan profesi seperti kedokteran, apoteker, psikolog, insinyur, dan sebagainya kurikulum berbasis kompetensi telah pula digunakan. Di jenjang pendidikan menengah, kurikulum berbasis kompetensi telah diterapkan untuk 24
Pertanggungjawaban politik (political viability and accountability) dibuktikan oleh semua rumusan tujuan yang telah dibicarakan sejak 1950 yaitu dengan pencantuman tujuan tersebut dalam suatu ketetapan resmi seperti undang‐undang. Meski pun demikian sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara politk bukanlah jaminan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik atau pun pedagogic.
148
sekolah kejuruan. Pada tahun 2002 melalui Surat Keputusan Mendiknas nomor 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi mengemukakan pengertian kompetensi. Dalam SK tersebut dikemukakan "Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu". Untuk sekolah umum seperti SD, SLTP, dan SLTA memang penerapan kurikulum berbasis kompetensi masih merupakan barang baru. Dalam kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum 2004, kompetensi diartikan sebagai “pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual”. Lebih lanjut dikemukakan bahwa “kompetensi dikembangkan secara berkesinambungan sejak Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal, Kelas I sampai dengan Kelas XII yang menggambarkan suatu rangkaian kemampuan yang bertahap, berkelanjutan, dan konsisten seiring dengan perkembangan psikologis peserta didik” (Dokumen power point, Depdiknas, hal 4). Walau pun tidak dinyatakan secara eksplisit, pengertian ketrampilan mencakup ketrampilan intelektual, emosional, kinestetik, sosial, intrapersonal, komunikasi, dan sebagainya. Kurikulum Berbasis Kompetensi mulai dikembangkan pada tahun 2000, tahun terakhir abad ke 20. Pada tahun pertama abad berikutnya, yaitu tahun 2001, tim pengembang sudah berhasil mengembangkan draft pertama sampai kepada buku acuan untuk guru, orang tua dan pembina yang terdiri atas buku untuk setiap mata pelajaran. Pada tahun akademik 2001/2002 dilakukan “mini piloting” di beberapa sekolah di Sidoarjo, Bandung, Serang, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Sekolah yang ikut serta dalam “mini piloting” harus memenuhi kriteria-kriteria antara lain: 1. Memiliki sumber daya manusia yang lengkap 2. Memiliki sarana pendidikan yang lengkap 3. Memiliki dana yang cukup
149
4. Memiliki nara sumber dari luar sekolah Dalam “piloting” tersebut menggunakan sekolah yang termasuk kriteria ideal. Melalui “piloting” dengan kriteria sekolah yang demikian dapat diamati kemampuan kurikulum bekerja secara maksimal sehingga berbagai masalah dapat segera diidentifikasi sebagai masalah yang sudah “exhausted”. Sayangny, pendekatan yang demikian hanya dapat menggambarkan kurikulum bekerja dalam kondisi yang seharusnya sedangkan demikian banyak sekolah yang tidak memiliki kondisi yang sama dengan kondisi sekolah “mini piloting”. Hal yang demikian sering dilakukan dalam sejarah pengembangan kurikulum di Indonesia sehingga pada waktu terjadi desiminasi secara nasional maka kegagalan implementasi kurikulum secara nasional sudah dapat diprediksi, sejalan dengan banyaknya sekolah yang memiliki persyaratan di bawah kriteria sekolah “piloting”. Keadaan yang demikian sangat disayangkan karena akibatnya kurikulum yang telah dikembangkan dengan baik tidak terlaksana dengan baik sehingga tidak mampu menghasilkan tamatan sesuai dengan kualitas yang direncanakan dalam dokumen kurikulum. Dilihat dari prosedur dalam mengkonstruksi kurikulum (curriculum construction) untuk menghasilkan suatu dokumen kurikulum yang baik, prosedur yang dilakukan dalam mengembangkan dokumen kurikulum sudah memenuhi standar prosedur. Dengan pemenuhan standar prosedur tersebut tidak pula diragukan bahwa dokumen kurikulum yang dihasilkan adalah dokumen kurikulum yang baik dan berkualitas. Sayangnya keberhasilan konstruksi kurikulum (curriculum construction) baru sebagian keberhasilan pengembangan kurikulum (curriculum development) karena masih ada satu dimensi kurikulum yang sama pentingnya dengan konstruksi kurikulum yaitu implementasi kurikulum. Sayangnya lagi, suatu dokumen kurikulum baru dapat memberikan hasil dengan kualitas tamatan sebagaimana yang direncanakannya hanya apabila dokumen kurikulum berhasil dilaksanakan dengan baik dalam bentuk proses atau implementasi kurikulum atau “taught curricculum”. Dokumen Kurikulum 2004 tidak pernah menjadi “implemented curriculum” atau “taught curriculum” karena kebijakan pendidikan
150
yang memberikan wewenang pegembangan kurikulum tingkat sekolah kepada pemerintah daerah.
1.Pemikiran Kurikulum Berbasis Kompetensi Dalam rasional pengembangan kurikulum berbasis kompetensi dikemukakan bahwa tuntutan GBHN 1999, perkembangan IPTEK, dan globalisasi telah menyebabkan dan menuntut perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dirasakan adanya keperluan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam berbagai dimensi kehidupan sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dan berbudi luhur. Untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan kurikulum yang bersifat lebih fleksibel, dinamis, mampu mengakomodasi keanekaragaman kemampuan peserta didik. Kebutuhan itu disebabkan oleh kenyataan bahwa “kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan modal yang bersifat fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual, modal sosial dan kredibilitas” (Dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Lebih lanjut dikemukakan bahwa perkembangan yang pesat di masyarakat telah menyebabkan tumbuhnya industri baru berbasis kompetensi tinggi. Perkembangan industri dan masyarakat menuntur adanya sumber daya manusia dengan kemampuan atau kompetensi tinggi pula. Untuk menjawab keperluan tersebut maka diperlukan pendidikan dengan standar mutu yang tinggi agar bangsa Indonesia memiliki warganegara dengan keunggulan kompetitif dan komparatif pada tingkat nasional dan bahkan internasional (Dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Atas dasar pemikiran demikian maka perlu dikembangkan kurikulum baru untuk masa depan yaitu kurikulum
berbasis kompetensi.
Kemudian dikatakan lebih lanjut dokumen tersebut bahwa kompetensi dikembangkan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya.
151
Selanjutnya dikemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi harus menjamin pertumbuhan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penguasaan ketrampilan hidup, akademik, seni, pengembangan kepribadian Indonesia yang kuat dan berakhlak mulia (Dokumen Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Dalam proses pengembangan dokumen kurikulum (curriculum construction) tingkat nasional maka dikembangkan buku untuk setiap mata pelajaran. Buku tersebut diberi judul Kurikulum Berbasis Kompetensi dan diikuti dengan nama mata pelajaran untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Dalam setiap buku terdapat nama-nama tim pengembang, rasional, pengertian mata pelajaran, fungsi dan tujuan, materi pokok, pendekatan dan organisasi penyajian, kompetensi umum, dan rambu yang menjadi bagian dari bab I Pendahuluan buku. Dalam Bab 2 terdapat Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator Pencapaian Hasil belajar untuk setiap kelas dan catur wulan. Pencantuman nama tim pengembang tampaknya merupakan suatu kebijakan baru untuk memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada tim pengembang. Dalam rasional buku Kurikulum Berbasis Kompetensi disebutkan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan pada dua jenjang yaitu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dikarenakan adanya TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan UU nomor 22/1999 tentang otonomi pemerintahan. Berdasarkan TAP dan UU maka Buku Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan realisasi dari wewenang pemerintah pusat dalam “menentukan kompetensi umum secara nasional yang berlaku di seluruh daerah” (Buku Kurikulum Berbasis Kompetensi, 2001). Berdasarkan kompetensi umum nasional yang telah ditetapkan Pemerintah maka pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah masing-masing. Berdasarkan rambu-rambu yang ada daerah pada dasarnya diberi wewenang mengembangkan silabus yang akan digunakan guru dalam mengelola proses pembelajaran.
152
Dalam bagian kedua, buku Kurikulum Berbasis Kompetensi memuat kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. Dalam satu tahun/ kelas terdapat beberapa kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik kelas tersebut. Istilah kelas tidak secara konsisten digunakan dalam dokumen Kurikulum SLTP Berbasis Kompetensi. Kajian antara buku-buku Kurikulum Berbasis Kompetensi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam penamaan kelas: pada beberapa dokumen kurikulum disebutkan kelas I, II, dan III tetapi di beberapa dokumen kurikulum lain disebutkan kelas VII, VIII, dan IX. Tampaknya ada kegalauan mengenai konsep kelas yang disebabkan kegalauan dalam menempatkan posisi SLTP yang dalam UU nomor 2 tahun 1989 adalah bagian dari pendidikan dasar 9 tahun. Jika SLTP merupakan bagian dari pendidikan dasar 9 tahun maka adalah wajar apabila penamaan kelas di SLTP merupakan kelanjutan dari kelas di SD yaitu kelas VII, VIII dan IX. Dalam struktur persekolahan yang dikemukakan dalam Materi Diskusi KBK berkenaan dengan kebijakan umum penamaan kelas yaitu “ (1) Kelas 0 untuk pendidikan prasekolah, (2) Kelas I sampai dengan Kelas VI untuk pendidikan dasar, dan (3) Kelas VII sampai dengan Kelas XII untuk pendidikan menengah”. Walau pun bahan diskusi tersebut belum bersifat final tampaknya para pengembang kurikulum KBK tahun 2001 tidak sepenuhnya mengikuti apa yang tercantum dalam materi tersebut.
2. Prinsip Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi Dalam dokumen pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi dikemukakan ada 12 prinsip yang digunakan dalam mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi tahun 2001 dan prinsip yang sama tetap digunakan dalam revisi terakhir kurikulum yang dilakukan pada akhir tahun 2003. Keduabelas prinsip tersebut adalah sebagai berikut: a. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika Kurikulum merupakan input instrumental yang digunakan untuk menyeimbangkan pengalaman belajar yang mengembangkan etika, estetika, logika, dan kinestika.Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan
153
mengangkat nilai-nilai pluralitas dan nilai-nilai universal.Pengembangan estetika menempatkan pengalaman belajar dalam konteks holistik dan total untuk memberikan ruang bagi pengalaman estetik dengan melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan termasuk berpikir kreatif dan inovatif dengan keseimbangan yang nyata antara kognisi dan emosi dapatmemberikan keterampilan kognitif sekaligus dengan keterampilan interpersonal. b. Kesamaan Memperoleh Kesempatan Setiap orang berhak menerima pendidikan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya. Untuk itu perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul. Hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan upaya untuk menjamin persamaan memperoleh kesempatan pendidikan. c.Memperkuat Identitas Nasional Kurikulum harus menanamkan dan mempertahankan kebanggaan menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman terhadap pentumbuhan peradaban bangsa Indonesia dan sumbangan bangsa Indonesia terhadap peradaban dunia. Dengan demikian kunikulum harus mempertahankan keberlanjutan tradisi budaya yang bermanfaat dan mengembangkan kesadaran, semangat, dan kesatuan nasional. Materi tentang pemeliharaan identitas nasionat patriotisme, sikap nonsektarian, kemampuan untuk bertoleransi terhadap perbedaan yang ditimbulkan oleh agama, ideologi, wilayah,bahasa, dan jender perlu diperhatikan dalam kurikulum. d. Menghadapi Abad Pengetahuan Globalisasi dalam bidang informasi, komunikasi, dan teknologi menyebabkan semakin meningkatnya fenomena perkembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pasar bebas, kemampuan bersaing, serta penguasaan pengetahuan dan teknologi menjadi makin penting untuk kemajuan suatu bangsa. Sumber daya alam yang makin terbatas tidak lagi dapat menjadi tumpuan modal karena sumber kesejahteraan suatu bangsa telah bergeser dan modal fisik ke modal intelektual, pengetahuan, sosial, dan kredibilitas. Pada abad pengetahuan ini dipenlukan masyarakat yang berpengetahuan yang diperoleh dengan cara belajar sepanjang hayat. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai oleh masyarakat sangat beragam dan berkualitas, sehingga diperlukan kunikulum yang mendorong untuk meningkatkan 4/18 kemampuan metakognitif dan kemampuan berpikir dan belajar dalam mengakses, memilih, menilai pengetahuan, dan mengatasi situasi yang membingungkan dan penuh ketidakpastian.
154
e. Menyongsong Tantangan Teknologi Informasi dan Komunikasi Revolusi dalam teknologi informasi dan komunikasi merupakan tantangan fundamental yang dapat mengubah masyarakat biasa ke dalam masyarakat informasi dan masyarakat pengetahuan. Teknologi informasi dan komunikasi berpotensi untuk menyediakan kemudahan belajar elektronik atau belajar dengan kabel on-line yang memperrnudah akses ke dalam informasi dan ilmu pengetahuan baru yang tidak tertulis dalam kunikulum. Oleh karena itu diperlukan kurikulum yang luwes dan adaptif terhadap berbagai pengetahuan baru sesuai dengan keadaan zaman. f. Mengembangkan Keterampilan Hidup Pendidikan perlu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan keterampilan hidup untuk menghadapi tantangan hidup yang terjadi di masyarakatnya. Beberapa aspek utama keterampilan hidup antara lain kerurnahtanggaan, pemecahan masalah, berpikir kritis, komunikasi, kesadaran diri, menghindari stres, membuat keputusan, berpikir kreatif, hubungan interpersonal dan pemahaman tentang berbagai bentuk pekerjaan serta kemampuan vokasional disertai sikap positif terhadap kerja. Oleh karena itu, di dalam kunikulum perlu dimasukan ketenampilan hidup agar peserta didik memiliki kemampuan bersikap dan berpenilaku adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari-hari secara efektif. g. Mengintegrasikan Unsur-unsur Penting ke Dalam Kurikuler Kurikulum perlu memuat dan mengintegrasikan pengetahuan dan sikap tentang budi pekerti, hak asasi manusia, pariwisata, lingkungan hidup dan kependudukan, kehutanan, home economics, pencegahan konsumerisme, pencegahan HIV/AIDS, penangkalan penyalahgunaan narkoba, perdamaian, demokrasi, dan peningkatan konsensus pada nilai-nilai universal. Pengintegrasian unsur-unsur tensebut perlu disesuaikan dengan sifat rnata pelajaran pokok yang relevan dan perkembangan kernampuan peserta didik. h. Pendidikan Alternatif Pendidikan tidak hanya terjadi sccara formal di sekolah tetapi juga harus terjadi di mana saja. Hal itu sangat penting terutama dalam rangka mencapai universalisasi dan demokratisasi pendidikan. Pendidikan alternatif meliputi antara lain pendidikan non-formal, pendidikan terbuka, pendidikan jarak jauh, sistem lain yang lentur yang diselenggarakan oleh pemenintah atau organisasi non-pemerintah. i. Berpusat Pada Anak Sebagai Pembangun Pengetahuan
155
Upaya untuk memandinikan peserta didik untuk belajar, benkolaborasi, membantu teman, mengadakan pengamatan, dan penilaian din untuk suatu refleksi akan mendonong rnereka untuk membangun pengetahuannya sendiri. Dengan demikian pandangan baru akan diperoleh melalui pengalaman langsung secana lebih efektif. Dalam hal ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator belajar. j. Pendidikan Multikultur dan Multibahasa Indonesia terdiri atas masyarakat dengan beragam budaya, bahasa, dan agama. Implikasi dari hal tersebut yaitu bahwa dalam pendidikan perlu menerapkan metodik yang produktif dan kontekstual untuk mengakomodasikan sifat dan sikap masyarakat pluraristik dalam kerangka pembentukan jati diri bangsa. j. Penilaian Berkelanjutan dan Komprehensif Kurikulum harus menanggapi kebutuhan belajar peserta didik untuk mengetahui hasil belajarnya. Hassil belajar dipandang sebagai umpan balik untuk perbaikan lebih lanjut terhadap segala kekurangan dan kelebihan peserta didik selama belajar dalam kurun waktu tertentu. Oleh karenanya penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia pendidikan. Hasil dan suatu penilaian umumnya tergantung pada identifikasi jenis dan alat penilaian yang digunakan serta tujuan, kritenia penilaian. dan interpretasi hasil. Relevansi, reliabilitas, dan validitas penilaian merupakan prosedur yang menentukan kualitas umpan balik. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan. Penilaian harus dilakukan secara komprehensif yang mencakup aspek kompetensi akademik dan keterampilan hidup. k. Pendidikan Sepanjang Hayat Pendidikan harus berlanjut sepanjang hidup manusia dalam rangka untuk mengembangkan, menambah kesadaran, dan selalu belajar tentang dunia yang berubah dalam segala bidang. Dengan demikian, kerusakan dan keusangan pengetahuan dapat dihindari. Dalam hal ini, kurikulum harus menyediakan kompetensi dan materi yang berguna bagi peserta didik bukan hanya untuk kepentingannya di masa sekarang, tetapi juga kepentingannya di masa yang akan datang dengan memberikan fondasi yang kuat untuk inkuiri dan memecahkan masalah yang merupakan titik awal untuk menguasai cara berpikir bagaimana berpikir dan belajar sepanjang hidupnya.
156
Memang harus diakui bahwa beberapa dari yang dikemukakan sebagai prinsip di atas pada dasarnya bukanlah prinsip pengembangan kurikulum. Ada diantaranya berupa tantangan yang harus dijawab oleh kurikulum seperti mengembangkan keterampilan hidup, menyongsong tantangan teknologi informasi dan komunikasi, menghadapi abad pengetahuan, pendidikan sepanjang hayat dan memperkuat identitas nasional. Beberapa yang lain memang merupakan prinsip yang harus digunakan dalam mengembangkan kurikulum seperti penilaian berkelanjutan dan komprehensif, pendidikan multikultur dan multibahasa,
berpusat pada anak
sebagai pembangun pengetahuan, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika. Sedangkan yang dinamakan prinsip pendidikan alternatif bukan prinsip pengembangan kurikulum tetapi lebih mengarah kepada prinsip pengembangan pendidikan. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikuler bukan prinsip dan bukan pula tantangan tetapi merupakan pekerjaan yang harus diselesaikan oleh para pengembang kurikulum. Pekerjaan yang tertinggal demikian digunakan juga dalam Kurikulum SMP 1975 sebagai prinsip walau pun seharusnya pengembang kurikulum tidak seharusnya memberikan pekerjaan yang mendasar dalam pengembangan materi dan organisasi materi kurikulum kepada para guru.
3. Visi dan Misi SMP Kurikulum Berbasis Kompetensi memperkenalkan adanya visi dan misi yang harus dinyatakan dalam kurikulum. Pikiran ini dikembangkan terus sampai pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk SMP (isitlah ini digunakan walau pun berdasarkan UU nomor 2 tahun 2003 seharusnya istilah yang digunakan adalah SLTP) yang menjadi bagian dari pendidikan dasar maka visi dan misinya adalah visi dan misi pendidikan dasar. Tentu saja visi dan misi lembaga menjadi bagian penting dalam pengembangan kurikulum karena kurikulum harus mendukung pencapaian visi dan misi tersebut. Visi untuk pendidikan dasar dirumuskan sebagai berikut:
157
Penyelenggaraan
pendidikan
dasar
adalah
dalam
rangka
menghasilkan lulusan yang mempunyai dasar-dasar karakter, kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan yang kuat dan memadai untuk mengembangkan potensi dirinya secara optimal sehingga memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam pendidikan lanjutan atau dalam kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sedangkan misi pendidikan dasar dirumuskan sebagaimana tercantum di bawah ini:
• Menanamkan dasar-dasar perilaku berbudi pekerti dan berakhlak mulia. • Menumbuhkan dasar-dasar kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. • Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif. • Menumbuhkan sikap toleran, tanggung jawab, kemandirian dan kecakapan emosional. • Memberikan dasar-dasar keterampilan hidup, kewirausahaan, dan etos kerja. • Membentuk rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.
Visi dan misi yang dikembangkan untuk pendidikan dasar sangat fundamental sebagai kualifikasi minimal bangsa Indonesia. Seyogyanya warganegara Indonesia yang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan minimal 9 tahun memiliki kualitas yang menjadi visi dan misi pendidikan dasar sehingga mereka dapat
dan
mampu
berpartisipasi
sebagai
warganegara
yang
produktif,
bertanggungjawab, dan berkemampuan untuk mengembangkan diri sepanjang hayatnya. Kurikulum sebelumnya tidak mengembangkannya dalam bentuk visi dan misi tetapi dalam rumusan yang dinamakan tujuan yang memiliki kualitas serupa atau mirip dengan visi dan misi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jadi terdapat kontinuitas dalam upaya kurikulum untuk mengembangkan kualitas manusia Indonesia walaupun terdapat pula berbagai perubahan yang disebabkan oleh adanya untuk kehidupan di suatu periode waktu dan proyeksi kehidupan pada periode waktu mendatang.
158
4. Struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP Naskah awal Kurikulum Berbasis Kompetensi SMP yang dikembangkan pada tahun 2001 memiliki struktur kurikulum sebagai berikut:
Tabel 8.1. Struktur Program Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Jenis dan Jumlah Mata pelajaran Pokok
Alokasi Waktu Kelas VII 2
Kelas VIII 2
Kelas IX 2
2.Kewarganegaraan dan Sejarah
3
3
3
3.Bahasa dan Sastera Indonesia
6
6
6
4.Matematika
6
6
6
5.Sains
6
6
6
6.Ilmu Sosial
3
3
3
7.Bahasa Inggeris
4
4
4
8.Pendidikan Jasmani
2
2
2
9.Kesenian dan Kerajinan Tangan
2
2
2
Jumlah
34
34
34
1.Agama
Struktur Kurikulum Bebrasis Kompetensi yang ditunukkan dalam tabel 8.1 sangat sederhana dan banyak mengurangi beban belajar. Jika pada Kurikulum SMP 1994 beban belajar setiap semester
Dominasi pandangan filosofis esensialisme pada
para pengembang Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat kuat walau pun fenomena tersebut agak mengherankan karena pada umumnya kurikulum berbasis kompetensi tidak mendasarkan diri pada pendidikan disiplin ilmu.
Sejarah
pendidikan kompetensi yang awalnya adalah mempersiapkan peserta didik untuk memiliki ketrampilan atau kemampuan yang diperlukan dunia kerja menyebabkan pengaruh pandangan filosofi pendidikan disiplin ilmu tidak menonjol. Kenyataan
159
yang ditunjukkan dalam struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tabel 8.1 di atas berbeda dari tradisi umum kurikulum berbasis kompetensi. Nama-nama mata pelajaran seperti Sains dan Ilmu Sosial menggambarkan pengaruh pendidikan disiplin ilmu yang sangat kuat. Tentu saja dominasi pendidikan disiplin ilmu agak kurang sesuai dengan tujuan dan misi kelembagaan SMP dan Madrasah Tsanawiyah kecuali untuk misi yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan berpikir logis, kritis dan kreatif. Alokasi waktu yang sangat besar untuk mata pelajaran yang dikenal sebagai mata pelajaran yang melatih peserta didik dalam berpikir logis, kritis, dan kreatif seperti matematika, sains menambah kuatnya kesan ketidakajegan antara kurikulum sebagaimana yang dinyatakan dalam struktur dengan misi kelembagaan. Tampaknya, hasil “mini piloting” dan uji publik meredam pandangan pendidikan disiplin ilmu yang terasa dominan pada struktur tabel 8.1. Setelah dilakukan “mini piloting” dan taggapan masyarakat maka struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi
sebagaimana
yang
tercantum
pada
tabel
8.1.
mengalami
penyempurnaan. Jumlah SKS yang sudah lebih merata dengan mengurangi sks untuk mata pelajaran matematika dan pengetahuan alam memberi indikasi adanya perubahan dalam ide kurikulum para pengembang. Pandangan pendidikan disiplin ilmu yang didasarkan pada filosofi esensialis juga mendapat koreksi yang cukup kuat sehingga mata pelajaran sains dan ilmu sosial diubah menjadi label bidang studi dan mata pelajaran yang lebih menyesuaikan diri dengan pandangan filosofis perenialisme.
Hasil dari penyempurnaan struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi tercantum pada tabel 8.2. berikut ini.
160
Tabel 8.2. Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama Dan Madrasah Tsanawiyah Alokasi Waktu
Kelas VII
VIII
IX
2
2
2
Pendidikan Kewarganegaraan
2
2
2
Bahasa dan Sastra Indonesia
5
5
5
Bahasa Inggeris
4
4
4
Matematika
5
5
5
Pengetahuan Sosial
4
4
4
Pengetahuan Alam
5
5
5
Kesenian
2
2
2
Pendidikan Jasmani
3
3
3
Ketrampilan/Teknologi
2
2
2
A.Mata Pelajaran Pendidikan Agama
Informasi dan Komunikasi B.Pembiasaan
Kegiatan pembiasaan
2
2
2
C.Muatan Lokal
Kegiatan atau Mata pelajaran
-
-
-
36
36
36
Jumlah
Adanya mata pelajaran baru yaitu Ketrampilan dalam teknologi informasi dan komunikasi memberikan warna inovasi yang kuat pada Kurikulum SMP 2004. Masyarakat Indonesia yang sudah sangat mengenal komputer sebagai produk teknologi informasi sudah sepantasnya mendapat tanggapan dari kurikulum. Sudah saatnya sekolah mempersiapkan calon warganegara produktif untuk mengenal, mampu dan mahir menggunakan komputer beserta fasilitas internet terutama untuk SMP dan masyarakat kota. Untuk masyarakat dan SMP di daerah pedalamam keberadaan mata pelajaran khusus dalam kurikulum mengundang masalah yang cukup serius. Pertama, mereka tidak memiliki fasilitas yang diperlukan sedangkan peserta didik tidak mungkin dapat dinyatakan telah menyelesaikan program belajar di SMP jika
161
mereka tidak pernah mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dengan demikian, mereka yang tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi tidak akan pernah dapat menyelesaikan pendidikan mereka di SMP. Ini adalah sesuatu yang bersifat berbahaya bagi kurikulum karena dengan demikian kurikulum sudah memberikan perlakuan yang tidak “fair” kepada seluruh peserta didik. Kedua, kurikulum dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada kelompok peserta didik yang beruntung. Artinya, kurikulum melanggar prinsip yang diletakkan untuk mengembangkan kurikulum itu sendiri yaitu “perlu adanya jaminan keberpihakan kepada peserta didik yang kurang beruntung dan segi ekonomi dan sosial, yang memerlukan bantuan khusus, berbakat, dan unggul”. Kalau pun mereka yang tidak mengikuti mata pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi boleh dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan mereka di SMP tetapi terjadi diskriminasi karena mereka tidak memiliki kemampuan yang sama dengan sebaya mereka yang mengikuti mata pelajaran tersebut padahal ketidakikutsertaan mereka bukan disebabkan oleh kemampuan mereka yang tidak sesuai dengan materi pelajaran. Kenyataan seperti ini merupakan pelajaran berharga dari sejarah kurikulum. Kurikulum telah mengkianati prinsipnya dan peserta didik diperlakukan tidak adil. Sayangnya, kita tidak belajar dari pengalaman ini dan kejadian seperti ini masih juga diulangi oleh Kurikulum KTSP dalam struktur Kurikulum yang dinyatakan dalam Standar Isi (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2003 tentang Standar Isi). Sejujurnya, ketimpangan dan ketidakajegan kurikulum dalam prinsip serta perlakuan kurikulum yang berbeda terhadap peserta didik tidak hanya terjadi pada mata pelajaran ketrampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Demikian pula dengan mata pelajaran kesenian dan pendidikan olahraga dan kesehatan dimana banyak SMP yang tak mungkin melaksanakan sesuai dengan apa yang dikehendaki kurikulum karena ketiadaan fasilitas belajar. Lebih lanjut, jika Standar Kompetensi Lulusan untuk setiap mata pelajaran yang diberlakukan
162
melalui Peraturan Menteri Pendidikan dikaji maka kita akan menemui ketimpangan yang sama yaitu adanya Standar Kompetensi Lulusan yang tidak mungkin dikuasai peserta didik karena ketiadaan fasilitas di SMP dimana mereka belajar. Hal yang sama ditemukan pula dalam Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada mata pelajaran tertentu. Permasalahan kurikulum yang dikemukakan di atas dapat dikatakan masalah menahun yang terjadi pada setiap penggantian kurikulum baik yag menggunakan buku sebagai sumber belajar apalagi yang memerlukan fasilitas belajar lain yang canggih, mahal, dan sarat teknologi. Sukar untuk diingkari bahwa dengan demikian maka hasil belajar yang dimiliki peserta didik di SMP yang demikian adalah mereka yang dinyatakan berhasil dengan kemampuan yang kurang dari apa yang dipersyaratkan kurikulum. Ketimpangan ini tentu saja merugikan mereka karena mereka telah kehilangan daya saing dan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan ketika dunia kerja menghendaki kemampuan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai persyaratan. Suatu kenyataan yang menyenangkan dari struktur kurikulum di atas ialah Kurikulum SMP 2004 (dan kurikulum lainnya) telah mampu menyatukan SMP dengan Madrasah Tsanawiyah karena secara hitam di atas putih dinyatakan bahwa kurikulum adalah Kurikulum Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Penyatuan ini senafas dengan berbagai pasal dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengakui kesejajaran antara SMP dengan MTs (SD dengan MI, SMA dengan MA, SMK dengan MAK). Tentu saja untuk Madrasah Tsanawiyah yang memiliki misi berbeda dari SMP struktur kurikulum tersebut perlu disesuaikan.
5. Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 untuk SMP dan MTs terdiri atas Buku Kerangka Dasar, Buku Standar Kompetensi Bahan Kajian, Buku Standar kompetensi Mata Pelajaran, dan Buku-Buku Pedoman. Keseluruhan dokumen kurikulum ini menunjukkan pengembangan pikiran kurikulum yang berbeda dari kurikulum sebelumnya walau pun secara materiil Buku Standar Kompetensi Mata
163
pelajaran dapat dikatakan sama dengan GBPP pada Kurikulum SMP 1975, 1984, dan 1994. Buku Kerangka Dasar berisikan landasan pengembangan, Buku Standar Kompetensi Bahan Kajian dan Mata pelajaran berisikan struktur kompetensi, Buku Pedoman berisikan pedoman pengelolaan KBK, kegiatan belajar-mengajar, dan penilaian berbasis kelas. Buku Standar Kompetensi Mata Pelajaran edisi Agustus 2001 yang berjudul “Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama” mengalami revisi setelah melalui piloting (istilah yang digunakan dalam dokumen), uji publik dan penyesuaian dengan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Buku baru diberi judul Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran (nama mata pelajaran) Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jadi terjadi perubahan yang mendasar dalam judul buku tidak saja berkenaan dengan nama kurikulum dari Kurikulum Berbasis Kompetensi menjadi Kurikulum 2004 tetapi juga secara eksplisit dinyatakan isi buku yaitu standar kompetensi. Juga secara eksplisit dinyatakan bahwa kurikulum diberlakukan untuk dua jenis sekolah yaitu SMP (nama yang digunakan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas) dan Madrasah Tsanawiyah. Ini untuk pertama kali Pusat Kurikulum menghasilkan kurikulum yang secara eksplisit mencantumkan sekolah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dalam sebuah dokumen kurikulum, sesuai dengan ketetapan pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 25 Buku Standar Kompetensi ditandatangani oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dalam buku ini dikemukakan mengenai rasional mengenai pentingnya mata pelajaran yang dimaksud, pengertian, tujuan dan fungsi, ruang lingkup, standar kompetensi lintas kurikulum, standar kompetensi bahan ajar, standar kompetensi mata pelajaran, dan rambu-rambu 25
Ini juga menjadi kurikulum terakhirr yang dihasilkan Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional setelah ada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang memberikan wewenang mengembangkan sstruktur kurikulum kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) .
164
pada bagian I Pendahuluan. Bagian II menguraikan kompetensi dasar, indikator, materi pokok mata pelajaran yang dimaksud untuk kelas VII, VIII, dan IX. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum adalah standar yang berlaku untuk seluruh mata pelajaran. Seharusnya nama standar ini adalah standar lintas mata pelajaran atau standar kurikulum karena kurikulum hanya ada satu untuk satu satuan pendidikan, bukan untuk setiap mata pelajaran. Dalam Buku Standar Kompetensi terdapat 9 Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Sedangkan pada bagian II Buku yang sama terdapat Standar Kompetensi yang harus diselesaikan untuk kelas tertentu. Setiap kelas memilikilebih dari satu Standar Kompetensi, beragam dalam jumlah untuk setiap kelas dan setiap mata pelajaran. Setiap Standar Kompetensi dirinci dalam beberapa Kompetensi Dasar, jumlahnya beragam tergantung keluasan dari Standar Kompetensi. Satu Kompetensi Standar memiliki sejumlah indikator yang merupakan rincian perilaku dan pengetahuan yang harus dimiliki peserta didik. Berdasarkan indikator maka dikembangkan Materi Pokok. Setiap Kompetensi Dasar memiliki satu materi pokok yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan tunggal seperti “penggunaan mikroskop” , “proses sosialisasi” atau dapat pula dirumuskan dalam suatu pernyataan yang menyatakan keterkaitan antara dua konsep atau lebih seperti ‘keanekaragaman hidup dan upaya pelestariannya”, “atmosfer dan pengaruhnya terhadap kehidupan”. Guru dan sekolah mengembangkan silabus berdasarkan Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, dan Materi Pokok yang terdapat pada buku Standar Kompetensi.
C. KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN Kurikulum 2004 atau yang semula bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi tidak pernah diimplementasikan secara nasional. Kurikulum 2004 tidk mendapat dukungan politis karena terjadi perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dari sentralistik ke otononomi daerah. Naskah terakhir Kurikulum 2004 telah mencoba mengakomodasi perubahan tersebut
tetapi upaya yang
dimaksudkan tidak cukup kuat. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang
165
Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 20 thun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebabkan Departemen Pendidikan
dan
Kebudayaan
tidak
mempunyai
pilihan
lain
terkecuali
melaksanakan ketetapan dalamundang-undang tersebut. Proses pengembangan Kurikulum 2004 dilakukan bersamaan dengan masa pengembangan UndangUndang nomor 20 tahun 2000 dan masa proses Undang-Undang nomor 20 tahun 2003. Ketika Kurikulum 2004 mencapai dinyatakan sebagai kurikulum yang sudah siap dilaksanakan, dinyatakan dapat diimplementasikan oleh evaluasi sumatif, Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah dinyatakan berlaku dan Departemen Pendidikan Nasional adalah kementerian yang paling bertanggungjawab dalam keberhasilan pelaksanaan undang-undang tersebut. Oleh karenanya kementerian yang paling terdepan dalam melaksanakan undang-undang tersebut tidak memiliki pilihan lain terkecuali tidak mengimplementasikan Kurikulum 2004 yang baru selesai dikembangkannya.
1. Perubahan Kebijakan Pendidikan Sebagaimana telah dikemukakan di atas sejak 1999 telah terjadi perubahan kewenangan pemerintah yang dikenal dengan nama Otonomi PemerintahDaerah. Pendidikan dasar dan menengah adalah wewenang yang dilimpahkan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah. Dalam kewenangan mengenai pengembangan kurikulum Pasal 36 ayat (2) UU nomor 20 tahun 2003 menyebutkan “kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”. Untuk memenuhi ayat ini kurikulum tidak lagi mungkin dikembangkan pada tingkat nasional karena adalah sangat tidak mungkin bagi pengembang kurikulum di tingkat nasional untuk menyesuaikan dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan pesert didik di satu satuan pendidikan. Keragaman yang dimiliki oleh setiap satuan pendidikan dan daerah memberikan ruang yang sangat tipis dan hampir dapat dikatakan tidak mungkin untuk menyusun satu kurikulum nasional. Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memperjelas dan memperkuat wewenang pengembangan
166
kurikulum. Pasal tersebut menyebutkan “kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”. Ayat (2) ini didahului oleh ayat (1) yang menegaskaan bahwa “kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah”. Ketentuan ini menyebabkan Kurikulum 2004 yang telah dikembangkan Pemerintah (Dediknas-Puskur) tidak mungkin dilaksanakan di satuan-satuan pendidikan. Pemerintah mengambil kebijakan untuk menyelamatkan pikiran kurikulum kompetensi yang telah dikembangkan dalam Kurikulum 2004 dan biaya besar yang telah dikeluarkan untuk pengembangan naskah atau dokumen kurikulum. Oleh karena itu ide-ide tersebut dimasukkan dalam berbagai ketentuan seperti Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dimasukkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional mengenai Standar Isi. Demikian pula halnya dengan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Kompetensi Lintas Kurikulum, dan Standar Kompetensi Mata Pelajaran dikemas dalam bentuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Sedangkan Struktur Kurikulum untuk SMP dan Madrasah Tsanawiyah dikemas dalam bentuk Standar Isi. Berdasarkan kebijakan baru maka kurikulum dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan dan dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Struktur KTSP mengacu kepada Struktur Kurikulum yang ditetapkan oleh PeraturanMenteri Pendidikan Nasional. Dalam hal ini terjadi kerancuan penetapan karena Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum bukan Standar Isi dan berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, wewenang mengembangkan standar dan kurikulum dilakukan oleh lembaga yang berbeda. Standar dikembangkan oleh lembaga independen yang dinamakan Badan Standar Nasional Pendidikan sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum dikembangkan oleh lembaga yang diberi wewenang secara institusional yaitu
167
Pusat Kurikulum. Kedua produk dari kedua lembaga tersebut dinyatakan berlaku resmi melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
2.Struktur Kurikulum KTSP untuk SMP/MTs Berdasarkan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2005 yang dimaksudkan dengan Standar Isi adalah: 1. kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan, 2. beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah, 3. kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan 4. kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Pengertian di atas merupakan turunan dari apa yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Seperti yang telah dikemukakan di atas sebenarnya ketetapan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 dimana dinyatakan bahwa struktur kurikulum adalah taggungjawab Pemerintah dan bukan BSNP, berdasarkan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan adalah tanggung jawab dan dikembangkan BSNP, ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Struktur Kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah ditetapkan sebagai berikut yang ditetapkan dalam Standar Isi adalah sebagai berikut:
168
Tabel 8.3 Struktur Kurikulum SMP /MTs dalam Standar Isi
Kelas dan Alokasi Waktu Komponen
VII
VIII
IX
1. Pendidikan Agama
2
2
2
2. Pendidikan Kewarganegaraan
2
2
2
3. Bahasa Indonesia
4
4
4
4. Bahasa Inggris
4
4
4
5. Matematika
4
4
4
6. Ilmu Pengetahuan Alam
4
4
4
7. Ilmu Pengetahuan Sosial
4
4
4
8. Seni Budaya
2
2
2
9. Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
2
2
2
10. Keterampilan/Teknologi Informasi dan Komunikasi
2
2
2
2
2
2
2*)
2*)
2*)
32
32
32
A. Mata Pelajaran
B. Muatan Lokal C. Pengembangan Diri Jumlah 2*) Ekuivalen 2 jam pembelajaran
169
Ada ketidaksamaan antara struktur kurikulum SMP/Madrasah Tsanawiyah yang ditetapkan dalam Standar Isi dengan struktur kurikulum yang ditetapkan dalam Kuurikulum SMP/MTs 2004. Dalam pengelompokkan struktur kurikulum SMP/MTs Standar Isi mengenal Pengembangan Diri sedangkan sturktur pada Kurikulum 2004 tidak ada tetapi ada kelompok Pembiasaan yang dalam struktur di atas tidak dikenal. Selain itu terjadi perubahan dalam beban belajar untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia (5 menjadi 4), maatematika (5 menjadi 4), IPA (5 menjadi 4), Pendidikan Jasmani (3 menjadi 2). Oleh karena itu beban belajar keseluruhan pun menjadi lebih sedikit pada Struktur Kurikulum Standar Isi dibandingkan Kurikulum 2004 yaitu dari 36 menjadi 32 walau pun Standar Isi memberi kelonggaran bagi satuan pendidikan untuk menambah 4 sks setip semester jika dianggap penting. Semangat filosofi perenialisme dikembangkan lagi dalam struktur kurikulum pada tabel 8.3 di atas dibandingkan struktur kurikulum 2004 pada tabel 8.2. Oleh karena itu nama mata pelajaran Pengetahuan Sosial diganti menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial, Pengetahuan Alam diganti menjadi Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa dan Sastra Indonesia diganti menjadi Bahasa Indonesia. Pengembangan Diri merupakan sesuatu yang baru dari Struktur Kurikulum SMP/MTs yang ditetapkan dalam Standar Isi. Walau pun Pengembangan Diri diberi sks 2 tetapi pada pelaksanaannya Pengembangan Diri yang dimaksudkan pada Struktur Kurikulum SMP/MTs Standar Isi di atas sama dengan Pembiasaan yang
tercantum
dalam
Struktur
Kurikulum
2004.
Tampaknya
nama
Pengembangan Diri dianggap lebih sesuai dibandingkan Pembiasaan. Pemikiran tentang adanya Pengembangan Diri yang dinyatakan secara eksplisit dan terpisah dari mata pelajaran lain dalam Struktur Kurikulum SMP/MTs berdasarkan Standar Isi memang mengundang masalah kurikulum. Sebagaimana dikemukakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005
170
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik. Permasalahan pertama adalah adanya istilah Pengembangan Diri merupakan “contradictio in terminis” karena keseluruhan kurikulum harus merupakan pengembangan potensi peserta didik dan setiap kuriulum harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan minat, bakat, keunggulannya serta berbagai karakter yang berkenaan dengan nilai umum dan pribadi, sikap umum dan pribadi serta berbagai kemampuan pribadi yang diperlukan dirinya sebagai seorang mahluk. Kegiatan pengembangan diri yang dibatasi pada kegiatan ekstrakurikuler dan konseling memberi keterbatasan yang tidak seharusnya terhadap pengembangan diri peserta didik oleh kurikulum.
3. Prinsip Pengembangan KTSP untuk SMP/MTs Standar Isi memuat tujuh prinsip pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Ketujuh prinsip tersebut tidak khusus untuk KTSP SMP/MTs tetapi juga untuk sekolah lainnya. Selanjutnya dikemukakan “Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.” (Permendiknas nomor 22 tahun 2005) Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kepentingan peserta didik dan lingkungannya
kebutuhan,
dan
171
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. b. Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
172
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan. e. Menyeluruh dan berkesinambungan Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan. f. Belajar sepanjang hayat Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
173
Ada penyempurnaan prinsip pengembangan kurikulum yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 di atas dibandingkan dengan prinsip pengembangan Kurikulum 2004. Selain jumlahnya yang lebih sedikit tetapi juga ketujuh ketetapan tersebut lebih menggambarkan pengertian suatu prinsip pengembangan kurikulum terkecuali prinsip belajar sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat adalah suatu tujuan dalam mengembangkan perhatian, kemauan, kemampuan untuk dapat belajar sepanjang hayat dan oleh karenanya lebih kepada tujuan pendidikan dibandingkan prinsip pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, konsep Belajar Sepanjang Hayat sebaiknya menjadi landasan kriteria, bukan prinsip, untuk mengembangkan materi kurikulum.
Salah satu prinsip pengembangan kurikulum yang baik, dari tujuh yang dinyatakan dalam pedoman tersebut, tapi tampaknya akan sangat sulit dilakukan yaitu keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Prinsip ini sangat bagus dan harus menerus menjadi prinsip pengembangan kurikulum di Indonesia mengingat keragaman budaya, sosial, ekonomi, historis, dan geografis masyarakat Indonesia. Sayangnya, dalam konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan permasalahan muncul pada pengertian keseimbangan. Apabila kepentingan nasional diartikan sebagai apa yang telah ditetapkan dalam struktur dan isi kurikulum dan kepentingan daerah dikembangkan dalam mata pelajaran muatan lokal sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005, dan
apabila pengertian keseimbangan dipatok dengan
ukuran sks maka sks yang telah ditetapkan pusat lebih besar dari alokasi sks untuk muatan lokal. Dalam pengertian jumlah sks maka prinsip keeimbangan tidak pernah dapat dilaksanakan satuan pendidikan dalam mengembangan KTSP. Prinsip keseimbangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan baik melalui dua cara. Pertama, materi muatan lokal yang dikembangkan satuan pendidikan dikemas tidak hanya menjadi materi mata pelajaran-mata pelajaran muatan lokal
174
yang berdiri sendiri tetapi jugadikembangkan sebagai materi pelajaran untuk mata pelajaran lain yang telah ditetapkan dalam struktur kurikulum. Kedua, dalam menetapkan materi Standar Isi Pemerintah mengembangkan materi yang dipandang penting dari sudut kepentingan nasional, bukan semua materi yang harus dikuasai peserta didik untuk suatu mata pelajaran.
Apabila Pemerintah
menempuh
sebagaimana
kebijakan
tentang
materi
muatan
lokal
yang
dikemukakan disini maka baik Pemerintah mau pun satuan pendidikan memiliki kemungkinan untuk menerapkan prinsip keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Pemerintah dapat menerapkan isi dan kompetensi minimal untuk setiap mata pelajaran sedangkan satuan pendidikan dapat menambah isi dan kalau perlu kompetensi baru untuk mata pelajaran yang dimaksudkan. Jika satuan pendidikan berpendapat bahwa kompetensi tidak perlu atau perlu ditambah dan untuk menguasai kompetensi tersebut dapat ditambah dengan materi dari lokal maka satuan pendidikan dapat memberikan pertimbangan edukatif mengenai keseimbangan antara kepentingan nasional dan daerah. Orientasi lingkungan dan penerapan prinsip pendidikan yang dimulai dari lingkungan terdekat (Ki Hajar Dewantara) dapat diterapkan dengan pendekatan pengembangan materi lokal yang dimasukkan ke dalam mata pelajaran yang sudah ditetapkan Pemerintah.
175
MENATAP MASA DEPAN
Sejarah selalu terkait dengan masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang. Masa lalu adalah masa dimana berbagai peristiwa sejarah terjadi, menjadi dasar bagi lahirnya kehidupan masa kini, dan masa kini memiliki potensi menentukan masa yang akan datang. Apa yang dialami masa kini dan bagaimana persepsi tentang masa depan membangun berbagai kegiatan yang akan memberikan arah kehidupan masa depan. Tiga dimensi waktu sejarah dengan demikian akan terus berlangsung. Pengembangan kurikulum selalu berorientasi ke masa depan. Setiap pengembang kurikulum selalu didasarkan pada visi tentang kualitas masyarakat bangsa yang diperlukan 12 tahun mendatang atau paling pendek untuk masa 6 tahun mendatang. Semakin jauh masa yang dapat diperkirakan pengembang kurikulum dan semakin akurat prediksi kuaitas manusia yang diperlukan semakin tinggi tingkat
relevansi
suatu
kurikulum.
Pengalaman
masa
lampau
dalam
pengembangan kurikulum, analisis mengenai kekuatan yang berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan kurikulum masa kini dapat dijadikan landasan untuk membangun kurikulum yang tinggi tingkat relevansinya dan tinggi tingkat prediksi kualitas yang diperlukan bangsa di masa depan. Oleh karena itu berbagai pengalaman di masa lampau memberikan pelajaran yang berharga untuk pengembangan kurikulum masa kini dan masa mendatang. Peristiwa dalam pengelaman pengembangan kurikulum di Indonesia terutama sesudah masa kemerdekaan merupakan kekayaan intelektual bangsa yang tak ternilaikan. Jatuh bangun dalam pengalaman pengembangan kurikulum adalah pelajaran yang dapat digunakan untuk pengembangan kurikulum pada masa-masa berikutnya. Keberlanjutan dan perubahan pemikiran (ide) kurikulum yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal seperti keputusan politik, dari jenjang paling tinggi hingga jenjang yang operasional, serta berbagai faktor internal yang bersifat filosofis dan teoritis pendidikan dan kurikulum menghasilkan masyarakat Indonesia yang ada pada saat kini. Kurikulum yang telah dikembangkan memberikan hasil berupa warganegara yang memiliki kualitas sesuai dengan yang
176
dikembangkan oleh kurikulum tertentu bertemu dengan
warganegara dengan
kualitas yang dihasilkan. Interaksi antar generasi yang dihasilkan kurikulum memberikan kesempatan kepada masing-masing untuk belajar satu sama lainnya dan memperkaya kualitas masing-masing yang sudah dipunyai. Tentu saja dalam kesempatan saling memberi tersebut ada yang memiliki pengaruh yang besar terhadap lainnya tetapi sayangnya belum ada pengetahuan dan cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai interaksi tersebut. Walau pun demikian, faktor eksternal sering kali menjadi faktor yang lebih dominan sehingga upaya untuk melakukan kajian tersebut tidak boleh melepaskan diri dari kajian terhadap faktor kekuasaan (power atau pun social pressure) yang dominan pada saat kajian dilakukan dan pada masa ketika kurikulum akan memberikan hasilnya berupa warganegara yang berkualitas. Kualitas akhir masyarakat Indonesia adalah hasil pertarungan berbagai kelompok generasi kurikulum dan kekuasaan. Dari segi filosofi dan teori pengembangan kurikulum di masa depan tampaknya akan lebih bijaksana apabila konseptualisasi kurikulum didasarkan pada kebijakan pemerintah mengenai tujuan dan fungsi serta tujuan setiap pendidikan. Kiranya pada masa mendatang kurikulum untuk pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) perlu dikembangkan dalam satu kesatuan dan berdasarkan visi pendidikan umum yang berlaku untuk semua warganegara. Visi pendidikan umum yang dimaksudkan adalah pendidikan dasar bukan pendidikan untuk menghasilkan manusia dalam bidang ilmu tertentu atau beberapa jalur bidang keilmuan tetapi untuk pengmbangan potensi kemanusiaannya. Kualitas yang diharapkan bukanlah mereka yang unggul dalam satu bidang studi atau disiplin ilmu tetapi mereka yang mampu mengembangkan dirinya untuk belajar sepanjang hayat dan berkonstribusi terhadap kehidupan bangsa dalam kapasitasnya sebagai warganegara. Kualitas yang akan dihasilkan kurikulum adalah kualitas minimal warganegara Indonesia pendidikan dalam pengetahuan, kemampuan kognitif, nilai dan sikap, berbagai ketrampilan motorik, dan kebiasaan yang memberi bekal kuat kepada setiap warganegara untuk mengembangkan diri. Ketrampilan membaca, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, kebiasaan dan kemampuan belajar, kemampuan berpikir logis-kritis-analitis-kreatif, cinta tanah air dan rasa kebangsaan, mampu
177
hidup dalam perbedaan (bhineka), religious dalam menjalankan agama merupakan kualitas dasar bagi setiap warganegara setelah mereka menyelesaikan pendidikan 9 tahun. Pengetahuan dasar yang mampu mengembangkan memori bersama (collective memory) sebagai bangsa, tentang wilayah tanah air, suku dan kelompok budaya yang membentuk bangsa, potensi alam, seni dan manusia yang menjadi kekayaan bangsa kiranya harus dimiliki peserta didik yang telah menyelesaikan pendidikan di SMP/MTs. Kurikulum SMP masa mendatang sudah seharusnya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai pengetahuan dasar tersebut. Konseptualisasi kurikulum pendidikan dasar yang demikian menghendaki penerapan berbagai filsofi kurikulum dan tidak lagi terbatas pada perenialisme. Eklektisme filosofi dalam pengembangan kurikulum adalah suatu praktek yang umum dilakukan dan pendekatan yang demikian memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan potensi intelektual, emosional dan ketrampilan mereka. Pengembangan potensi-potensi tersebut tidak lagi terbatas pada pengetahuan dan jenjang pemahaman tetapi sudah harus dikembangkan menjadi kebiasaan yang mereka implementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kurikulum SMP melanjutkan, memantapkan, dan mengembangkan lebih lanjut kebiasaan yang sudah dikuasai peserta didik dari kurikulum SD dan memberikan kesempatan untuk menerapkan hasil belajar tersebut dalam prilaku keseharian mereka. Desain konten kurikulum harus pula mengalami perubahan sesuai dengan hakekat tujuan, karakteristik konten, proses belajar, dan asesmen hasil belajar. Tujuan didasarkan pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan kelembagaan secara seimbang. Untuk tujuan kelembagaan SMP maka kualitas yang diperlukan bagi mereka yang akan langsung menjadi warganegara aktif dan produktif berimbang dengan kualitas yang diperlukan bagi mereka yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Kedua kualitas itu memiliki ruang singgung yang luas terutama berkenaan dengan kualitas manusia yang memiliki kemampuan dasar berupa kemampuan belajar, kebiasaan membaca, rasa ingin tahu, religiusitas, rasa kebangsaan serta pengetahuan dasar yang berkenaan dengan dirinya, masyarakat, bangsa, tanah airnya (geografis, biologis) dan negaranya (filosofi, sistem dan
178
struktur pemerintahan, aturan/hukum, cara dan prosedur untuk berkontribusi dalam kehidupan kenegaraan). Pengetahuan dasar ini yang akan memberikan jawaban mengenai siapa dirinya, bangsanya, dan negaranya (memori kolektif bangsa) sebagai hasil perkembangan yang dialami oleh generasi terdahulu. Konten dan organisasi konten untuk kurikulum masa mendatang perlu memperhatikan karakteristik konten. Secara kategorial konten kurikulum terbagi atas pengetahuan, kemampuan intelektual dan manual, nilai dan sikap. Konten pengetahuan bersifat “mastery” yaitu konten yang dapat dikuasai pada akhir suatu pertemuan kelas. Konten kemampuan intelektual dan manual, nilai serta sikap bersifat “developmental” dan hanya dapat dikuasai melalui suatu proses panjang dan saling menunjang antara satu pertemuan kelas dengan pertemuan kelas lainnya antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Apabila kualitas pengetahuan diukur dari banyaknya pengetahuan yang harus dimiliki seorang peserta didik dari setiap mata pelajaran dan satu satuan atau jenjang pendidikan. Sedangkan kualitas penguasaan konten yang bersifat kemampuan intelektual, manual, nilai, sikap bersifat selalu meningkat dari satu jenjang kemampuan ke jenjang kemampuan yang lebih tinggi. Jenjang tertinggi yang dimiliki seorang peserta didik adalah hasil belajar dalam aspek kemampuan, nilai, dan sikap. Hasil ini menggambarkan kualitas dan keberhasilan pendidikan/kurikulum untuk satuan pendidikan SMP. Oleh karena itu pengukuran keberhasilan belajar dalam kemampuan, nilai, dan sikap tidak diukur sebagai hasil tambah sebagaimana yang dilakukan terhadap hasil belajar pengetahuan. Kurikulum SMP masa mendatang didasarkan pada dua prinsip yaitu kurikulum bukan daftar mata pelajaran dan setiap peserta didik dapat memiliki pengetahuan dasar, kemampuan dasar dan nilai serta sikap dasar yang merupakan kualitas minimal bangsa Indonesia. Prinsip pertama menghendaki pengembangan konten kurikulum untuk satu mata pelajaran dengan mata pelajaran dalam satu kaitan yang saling memperkuat. Prinsip saling memperkuat ini sudah harus tercermin dalam dokumen kurikulum secara jelas, terlaksana dalam proses pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Dalam dokumen kurikulum SMP keterkaitan konten satu mata pelajaran dinyatakan secara eksplisit dengan mata pelajaran lainnya.
179
Dalam proses pelaksanaan, perencanaan pembelajaran dilakukan dalam suatu rencana bersama di masing-masing SMP sebagai rencana induk satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum. Dalam rencana bersama yang dapat disebut sebagai rencana induk (grand design) satuan pendidikan, kualitas tamatan satuan pendidikan tersebut sudah terumuskan, kaitan pengembangan konten kemampuan intelektual, manual, nilai dan sikap sudah terencana dan tertulis. Kepala sekolah dan guru duduk bersama sebagai komunitas pendidik (community of educators) dalam pengembangan rencana induk pada setiap awal tahun untuk setiap angkatan. Pengetahuan yang dikembangkan dalam konten kurikulum SMP terdiri atas pengetahuan tingkat nasional, daerah dan satuan pendidikan. Pengetahuan tingkat nasional adalah pengetahuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara di mana pun mereka bertempat tinggal. Pengetahuan nasional ini memberikan dasar bagi pengembangan memori kolektif sebagai bangsa dan kemudahan bagi yang bersangkutan untuk bepergian ke berbagai wilayah di negaranya, bertemu dan berkomunikasi dengan sesama warganegara Indonesia lainnya. Pengetahuan tentang wilayah, penduduk, kultur yang berbeda akan memberikan kenyamanan ketika berkomunikasi dengan sesama warganegara dan memberik kemudahan untuk mencari kehidupan di wilayah di luar propinsi. Pengetahuan tentang daerah propinsi, kabupaten/kota di lokasi suatu SMP akan memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kehadiran wilayah, karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, hasil-hasil tambang dan pertanian yang menjadi keunggulan daerah dan memberikan kontribusi terhadap kehidupan bangsa dan negara. Pengenalan wilayah sendiri yang mendalam dibandingkan wilayah lainnya akan memberikan dasar untuk mengenal berbagai fenomena alam, budaya, dan ekonomi sehingga peserta didik SMP akan memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerahnya lebih baik lagi. Pengetahuan tentang daerah akan mampu membangun wawasan kebangsaan yang lebih baik karena mereka akan bangga pada wilayahnya dan memhami kontribusi wilayahnya terhadap kehidupan kebangsaan.
180
Pengetahuan yang berkenaan dengan lingkungan terdekat SMP dimana peserta didik belajar akan sangat bermanfaat untuk mengenal komunitasnya. Mereka akan memiliki pengetahuan yang baik tentang kehadiran komunitas/masyarakat bahkan keluarganya, karakteristik wilayah, ekonomi, budaya, bahasa, seni, transportasi, hasil-hasil tambang dan pertanian yang menjadi keunggulan daerah di mana peserta didik tersebut tinggal. Pengetahuan tentang lingkungan terdekat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyayangi, memelihara dan mengembangkan lingkungan di sekitarnya. Konten kemampuan intelektual dan manual dapat dikembangkan pada tingkat nasional tetapi penerapan kemampuan pada lingkungan terdekat, propinsi, dan nasional. Sedangkan konten yang bersifat nilai dan sikap dikembangkan berdasarkan nilai, moral, dan sikap yang berlaku di masyarakat di sekitarnya sehingga tidak terjadi konflik antara apa yang dipelajari di sekolah dengan masyarakat. Nilai dan sikap itu kemudian dikembangkan kepada wilayah yang lebih luas yaitu kota/kabupaten, propinsi dan nasional. Nilai dan sikap nasional pada dasarnya adalah nilai dan sikap yang hidup di setiap komunitas etnis, sosial, dan budaya bangsa Indonesia.
181
DAFTAR BACAAN
Airasian, P.W. dkk (2001). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. Abridges Edition. New York: Longman Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul. Bradjanegara, S. (1956). Sedjarah Pendidikan Indonesia. Yogyakarta Benjamin, H. (1939). The Saber-tooth Curriculum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University Depdikbud (1965). 20 tahun Indonesia Merdeka. VIII. Jakarta Depdikbud (1976). Pendidikan Indonesia 1900 – 1970. Jakarta: Balitbang Depdikbud (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983. Jakarta: Depdiknas Depdikbud (1989). Statistik Pendidikan Menengah Umum: Sekolah, Murid, Guru dan Pembina SMP dan SMA seluruh Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Sejarah TNI – AD (1976). Sumbangan TNI Angkatan Darat Dalam Pemantapan Orde Baru. Bandung: Angkasa Offset Djumhur, I dan Danasaputra (1976). Sedjarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu Bandung Gay, G. (2000). Culturally Responsive Teaching: Theory, Research, and Practice. New York and London: Teachers College, Columbia University Giroux, H.A. (1981). Ideology, Culture, and the Process of Schooling. Philadelphia: Temple University Press Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara Hasan, S.H. (2009). The Use of Project-Based Learning in the Implementation of the Senior Secondary Social Studies Curriculum. Makalah dipresentasi
182
pada Seminar International tentang Social Studies Education, PPS-UPI, Bandung, January 15, 2009 Henderson, J.G. dan Kesson, K.R. (2004). Curriculum Wisdom: Educational Decisions in Democratic Society. New Jersey: Prentice-Hall Henderson, J.G. dan Gornik, R. (2007). Transformative Curriculum Leadership. Third edition. Columbus, Ohio: Pearson Prentice-Hall. Kartodirjo, S. dkk. (1977). Sejarah Nasional Indonesia. VI. Jakarta: Balai Pustaka Ki Hadjar Dewantara (1977). Karya Ki Hadjar Dewantara. Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa Kliebard, H.M. (1965). Structure of the Disciplines as an Educational Slogan, dalam Readings in Curriculum. (Second edition).(editor Glen Hass, Kimball Wiles, dan Joseph Bondi) Klein, M.F. (1989). Curriculum Reform in the Elementary School: Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University. Longstreet,W.S. dan Shane, H.G. (1993). Curriculum for a New Millennium. Needham Heights. MA: Allyn & Bacon. Mestoko, S. (1979). Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta: Depdikbud Nasution, S. (2008). Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Jenmars NIER (1999): An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: NIER O’Donnell, S. dkk. (2002) (Eighth ed.). International Review of Curriculum and Assessment Frameworks: Comparative tables and factual summaries – 2002. London: National Foundation for Educational Research Poerbakawatja, S. (1970). Pendidikan Dalam Alam Terbuka. Jakarta: Gunung Agung Poeze, H.A. (1982). Politiek-Politioneele Overzichten van Nederlandsch-Indie. Deel I 1927 – 1928. The Hague: Martinus Nijhoff
183
Post, T.R. dkk. (1997). Interdisciplinary Approaches to Curriculum: Themes for Teaching. Columbus, Ohio: Prentice Hall, Inc. Said, M. (1981). Pendidikan Abad Ke Duapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya. Jakarta: Mutiara Said, M. dan Dahlan Mansyur (1953). Pendidikan dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Pustaka Rakyat Santoso, Slamet Imam (1987). Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. Jakarta: CV Haji Masagung Saylor, J.G. dan Alexander, W.M. (1974). Planning Curriculum for Schools. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc Sekertariat Negara (1984). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Tira Indonesia Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Banddung: Angkasa Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti Smith, B.O., Stanley,W.O. dan Shores, J.H. (1957). Cultural Roots o the Currciulum, dalam The Curriculum: Context, Design & Development.(1971)( Editor Richard Hooper). Bungay, Suffolk: The Open University Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional Taba, H. (1962). The Development of Curriculum: Theory into Practice. New York: Hardcourt Brace and World Tanner, D dan Tanner, L.N (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co.,Inc. Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation. Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.
184
Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya Waring, M. (1979). Social Pressures and Curriculum Innovation: A Study of the Nuffield Foundation Science Teaching Project. London: Methuen
185
DOKUMEN
1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah 2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran Disekolah untuk Seluruh Indonesia 3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 5. Dokumen Kurikulum 1964 6. Dokumen Kurikulum 1968 7. Dokumen Kurikulum 1975 8. Dokumen Kurikulum 1984 9. Dokumen Kurikulum 1994 10. Dokumen Kurikulum 2004 11. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 12. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 13. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 23 tahun 2005 14. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 15. TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 16. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973 17. TAP MPR Nomor II/MPR/1978 18. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 19. TAP MPR Nomor II/MPR/1983 20. TAP MPR Nomor II/MPR/1988 21. Jawa ni okeru Bunkyô no Gaikyô, Kurasawa 1991
186