PERKEMBANGAN INFRASTRUKTUR KERETA API TAHUN 1950 – 1970 M. Zuhri Pribadi Sarkawi Abstrak Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke dua puluh pernah mencanangkan moda kereta api sebagai moda transportasi utama di negeri jajahan Indonesia. Sayangnya kebijakan itu tidak berlanjut setelah zaman kemerdekaan dengan makin menyusutnya jaringan kereta api yang beroperasi maupun infrastruktur pendukungnya. Rendahnya daya operasional infrastruktur yang ada menyebabkan Djawatan Kereta Api atau DKA mengalami kerugian. Minimnya pendapatan dan meningkatnya beban operasional menyebabkan daya saing kereta api dengan moda transportasi lain menjadi rendah. DKA kemudian menggagas revitalisasi infrastruktur salah satunya adalah dengan mengajukan pinjaman pada pemerintah dan bank dunia. Revitalisasi ini diharapkan mampu merubah keadaan perkeretaapian khususnya di Pulau Jawa. Secara bertahap DKA mendatangkan lokomotif, kereta penumpang dan barang, juga infrastruktur pendukung seperti sinyal, jalan dan rel secara periodik dan berkala. Tidak hanya infrastrukturnya, tapi kualitas pelayanan dan sumber daya manusia. Kata Kunci : Kereta Api, Infrastruktur, Revitalisasi, Implementasi Abstract Dutch East Indies government in the twentieth century had declared mode trains as the main mode of transportation in the colony Indonesia. Unfortunately, the policy was not continued after independence with increasingly shrinking era railway network operating and supporting infrastructure. Low power operation of existing infrastructure caused or DKA Djawatan Railways suffered losses. The lack of revenue and increased operating expenses caused rail competitiveness from other transportation modes to be low. DKA then plan infrastructure revitalization one is to apply for a loan from the government and the World Bank. Revitalization is expected to change the state of the railways, especially in Java. Gradually bring DKA locomotives, train passengers and freight, as well as supporting infrastructure such as signals, road and rail periodically and regularly. Not only the infrastructure, but the quality of service and human resources. Keywords: Railways, Infrastructure, Revitalization, Implementation
Pendahuluan Pengangkutan baik di darat maupun laut, merupakan hal yang penting bagi kelancaran lalu lintas ekonomi. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan bidang usaha seperti pertanian, industri dan perdagangan mengalami peningkatan. Hal ini sekaligus merubah pola hidup masyarakat yang sebelumnya statis menjadi dinamis. Dalam usaha untuk
mengadakan suatu sistem transportasi yang dapat memenuhi kebutuhan, sangat dibutuhkan penambahan alat untuk meningkatkan daya angkut. Pengangkutan yang sangat vital bagi penduduk khususnya di pulau Jawa adalah pengangkutan di darat yakni kereta api. Infrastruktur Staatspoorwagen sejak pertama kali kereta api beroperasional terbagi atas empat ratus
1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya 2 Dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya
72
tujuh puluh tujuh lokomotif, dua ribu seratus empat puluh tujuh kereta penumpang dan sepuluh ribu dua ratus lima puluh lima kereta barang. Selama periode tahun 1912 sampai 1930, jumlah infrastruktur semakin bertambah yakni mencapai tujuh ratus enam puluh satu lokomotif, dengan dua puluh dua ribu tujuh puluh tujuh kereta penumpang dan dua puluh ribu empat ratus tujuh puluh satu kereta barang. Selain itu, infrastuktur kereta api juga meliputi kereta yang dioperasikan khusus untuk mengangkut korban perang. Ada juga kereta yang digunakan untuk mengangkut tim dari organisasi kemanusiaan Palang Merah Internasional. Sebuah kereta khusus yang pernah di miliki oleh Staatspoorwagen. Pemerintah Hindia - Belanda juga pernah mendatangkan kereta barang digunakan untuk mengangkut hasil tambang seperti batu bara dan minyak bumi (Djawatan Kereta Api: 1953, 78). Perkembangan infrastruktur kereta api pada masa kolonial sangat signifikan, karena kereta api dipandang sangat penting dalam menunjang perekonomian, sehingga pihak Hindia - Belanda terus berusaha merevitalisasi infrastruktur kereta api. Tiga tahun setelah kereta api beroperasi di Indonesia, kereta api mulai digunakan untuk mengangkut penumpang. Pada masa itu, jaringan rel dibangun dengan cepat, sehingga tahun 1939, panjang rel telah mencapai 6.811 kilometer. Jika di tinjau dari motif ekonomi, kereta api merupakan salah satu jenis transportasi massal untuk mengangkut manusia dan barang dalam waktu yang bersamaan. Tumbuhnya transportasi kereta api adalah salah satu dari upaya menuju perbaikan daya angkut. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke dua puluh pernah mencanangkan kereta api sebagai model transportasi utama di negeri jajahan Indonesia. Sayangnya kemajuan tersebut harus berhenti, ketika Jepang datang ke Indonesia. Sepeninggal pemerintah Hindia-Belanda perkeretaapian mulai mengalami masa
suram. Salah satu penyebabnya adalah selama penjajahan Jepang banyak dilakukan alih fungsi jalur kereta api untuk kepentingan perang. Kondisi Infrastruktur Kereta Api Periode Tahun 1950 – 1953 Secara historis penyelenggaraan kereta api dimulai sejak zaman Pemerintah kolonial Hindia Belanda (1840-1942), kemudian dilanjutkan pada masa penjajahan Jepang (1942- 1945) dan setelah itu diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia. Pada pasca Proklamasi Kemerdekaan (1945-1949) setelah terbentuknya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) pada tanggal 28 September 1945 masih terdapat beberapa perusahaan kereta api swasta yang tergabung dalam S t a a t s s p o o r w a g e n / Ve r e n i n g d e Spoorwagenbedrij yang ada di Pulau Jawa masih menghendaki untuk beroperasi. Berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat (2), angkutan kereta api dikategorikan sebagai cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karena itu pengusahaan angkutan kereta api harus dikuasai negara. Maka pada tanggal 1 Januari 1950 dibentuklah Djawatan Kereta Api (DKA). Infrastruktur kereta api pada masa DKA merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Akibat gejolak dan pertikaian politik menyebabkan kerusakan pada infrastruktur kereta api. Selain itu, segala dana dan daya dicurahkan untuk keperluan perang Jepang. Perawatan infrastruktur tidak lagi dapat dilakukan secara wajar, persediaan suku cadang untuk mengganti yang rusak atau aus semakin sulit. Kondisi jalan rel, lokomotif, kereta penumpang, alat-alat persinyalan dan telekomunikasi tidak memenuhi standar kelayakan operasional.
73
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Tabel 1 Perkembangan Aset Infrastruktur Kereta Api Periode Tahun 1939 – 1953 Tahun
Panjang Jumlah jumlah jumlah lintasan lokomotif kereta kereta rel penumpang barang
1939
6.811
1.314
3.553
27.201
1945
6.702
1.263
2.813
25.332
1953
6.018
825
2.362
21.156
21). Pemerintah Hindia – Belanda selalu mengupayakan penyempurnaan armada lokomotif agar mampu menjawab tantangan kebutuhan angkutan barang dan penumpang yang semakin meningkat. Lokomotif jenis ini termasuk unik karena lokomotif dengan enam roda penggerak yang dihubungkan menjadi satu poros hanya dapat dijumpai di empat negara yaitu Indonesia, Jerman, Swiss dan Perancis. Gambar 1 Lokomotif Uap seri F-10 di Dipo Lokomotif Ambarawa
Sumber : Humas PT Kereta Api dan Harun Al Rasyid Lubis, Studi Mobilisasi Sumber Daya dalam Pengembangan Perkeretaapian Indonesia. (Bandung: PT KAI, 22)
Salah satu keunikan dari kereta api adalah terpisahnya unit penggerak kereta api dan peralatan pengangkut yang dipergunakan. Pemisahan ini mengakibatkan kereta api memiliki kelebihan yaitu peralatan pengangkut dapat di rangkaikan dan di lepas sesuai kebutuhan. Unit penggerak biasanya disebut lokomotif. Salah satu lokomotif yang pernah di operasionalkan pada masa Staats-Spoorwegen sampai Djawatan Kereta Api adalah lokomotif uap seri F-10. Pada awal abad ke dua puluh sebagian besar angkutan barang yang diangkut oleh kereta api melalui jalur pegunungan terutama di wilayah Jawa Barat. Berdasarkan tuntutan teknis ini, pabrik Hanomag (Jerman) berhasil merancang lokomotif F-10 yang memiliki enam roda penggerak yang dihubungkan menjadi satu poros. Staats- spoorwagen membeli lokomotif F-10 sejumlah dua puluh delapan buah dari dua pabrik yang berbeda. Delapan belas lokomotif F-10 dibeli dari pabrik Hanomag, Jerman dan sepuluh lokomotif dibeli dari pabrik Werkspoor, Belanda. Lokomotif ini didatangkan secara periodik pada tahun 1915 sampai 1925 (Rusdi Santosa: 1984,
74
Lintasan Rel Kereta Api Teknologi jalan rel sulit dijelaskan tanpa mengetahui sejarah perkembangan teknologi jalan rel, salah satunya adalah tentang pembangunan jalan rel. Jalan rel pertama dibangun oleh perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij dimulai dari Semarang menuju Tanggung sepanjang 26 kilometer dan di resmikan pada tanggal 10 Agustus 1867. Lebar spoor yang digunakan yaitu 1435 m i l i m e t e r. P e m b a n g u n a n j a l u r dilanjutkan menuju Solo dan Yogyakarta kemudian diresmikan pada tanggal 10 Juni 1872. Mengingat topografi Indonesia yang bergunung maka pemerintah Hindia-Belanda menetapkan lebar spoor 1067 milimeter sebagai lebar
spoor yang lebih sesuai untuk topografi Indonesia. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, tepatnya sampai 1939 panjang jalan rel di Indonesia telah mencapai 6811kilometer. Namun sejarah jalan rel di Indonesia mencatat adanya masa yang memprihatinkan yaitu pada masa pemerintah Jepang. Sepanjang kurang lebih 901 kilometer diperkirakan raib karena rel yang dibongkar dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan rel di sana. Jalan rel kereta api merupakan modalitas utama dalam perkeretaapian karena rangkaian kereta api hanya dapat melintas di atas jalan yang dibuat secara khusus untuknya. Lebar jalan rel yang pernah ada pada masa DKA dibedakan dengan lebar lintasan mencapai 1435 dan 1067 milimeter sedangkan tipe rel yang pernah digunakan dan dipertahankan sampai pada tahun 1953 meliputi tipe R25, R33, R42 dan R54. Hampir seluruh jalan rel baik jalan rel yang aktif maupun tidak aktif di Pulau Jawa saat merupakan aset dari peninggalan masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda. Gambar 2 Lintasan Rel Kereta Api Pada Masa Kolonial Belanda
Stasiun Banyaknya kota-kota di Pulau Jawa yang dilalui jalur kereta api diikuti pula dengan pembangunan stasiun-stasiun dengan rancangan arsitektur yang menunjukkan berbagai era sejak jaman pemerintah
Hindia Belanda. Stasiun pertama yang di bangun adalah Stasiun Kedungjati. Stasiun yang terletak di Kabupaten Grobogan Jawa Tengah ini adalah bagian dari awal sejarah perkeretaapian di Indonesia. Stasiun ini dibangun oleh perusahaan Nederland Indische Spoorweg Maatschappij kurang lebih enam tahun setelah jalur kereta api Samarang Tanggung yang merupakan jalur pertama di pulau Jawa beroperasi pada tahun 1867. Gambar 3 Stasiun Kedungjati Tahun 1868
Salah satu stasiun kereta api besar tertua kedua di Indonesia yang melayani pengangkutan penumpang setelah stasiun Kedungjati adalah Stasiun Semarang Tawang. Pada awal beroperasi, stasiun Semarang Tawang melayani kereta api dari dan ke timur yakni Solo dan Yogyakarta. Hal ini dikarenakan bahwa kedua stasiun tersebut milik dua perusahaan kereta api yang berbeda yaitu NIS dan SCS atau Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij. Akibat jaringan kereta api yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi juga untuk angkutan barang. Baru ketika awal pemerintah Jepang masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942/1943, kedua stasiun itu dapat dihubungkan dengan jalur kereta api karena kedua perusahaan kereta api itu digabungkan oleh pemerintahan Jepang di Indonesia.
75
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109
Gambar 4 Stasiun Semarang Tawang
Gambar 5 Persinyalan Peninggalan Staatspoorwagen Dipakai Tahun 1930 – 1953
Sumber : Dokumentasi Stasiun Ambarawa
Sinyal Telekomunikasi Peralatan Persinyalan adalah seperangkat fasilitas yang berfungsi untuk memberikan isyarat berupa warna atau bentuk yang ditempatkan pada suatu tempat tertentu dan memberikan isyarat dengan arti tertentu untuk mengatur dan mengontrol pengoperasian kereta api. Peralatan persinyalan yang pernah dipergunakan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan masih digunakan pada masa DKA adalah persinyalan Alkmaar. Persinyalan alkmaar digerakkan dengan tuas penggerak sinyal secara mekanik/manual dengan tenaga manusia. Tuas penggerak dengan palang sinyal pada tiang sinyal dihubungkan dengan kawat atau rantai. Ciri stasiun menggunakan persinyalan alkmaar adalah seluruh wesel menggunakan tuas penggerak wesel manual yang berada di dekat setiap wesel atau dengan kata lain wesel tidak dioperasionalkan secara terpusat. Sistem persinyalan alkmaar ini tidak bisa dirangkai dengan sinyal blok, sehingga tidak dapat dipakai pada stasiun yang berbatasan dengan stasiun lain.
76
Aspek Revitalisasi Infrastruktur Kereta Api Kereta api di Indonesia sudah ada sejak 138 tahun yang lalu. Infrastruktur kereta api khususnya di Pulau Jawa sebagian besar merupakan peninggalan jaman Belanda dan Jepang. Infrastruktur yang diwarisi DKA pada umumnya sudah melewati masa operasional lima puluh sampai tujuh puluh tahun. Kerusakan Infrastruktur Infrastruktur DKA kondisinya tidak sepenuhnya dapat digunakan sesuai dengan tingkat beban, jenis, kecepatan, keandalan dan jumlah lalu lintas kereta api sebagaimana yang diharapkan untuk mencapai tingkat keselamatan yang memadai. Berikut ini adalah tabel kondisi infrastruktur DKA sampai akhir tahun 1952 jika ditinjau dari aspek operasionalnya. Permasalahan yang dihadapi DKA dari kondisi infrastruktur sebagaimana ditinjau dari laporan di atas adalah potensi terjadinya kecelakaan. Berikut adalah trend kecelakaan kereta api selama periode tahun 1940 sampai 1953 yang diperlihatkan pada tabel 3 yang sekaligus memberi gambaran bahwa tingkat
keselamatan kereta api yang buruk. Kecelakaan kereta api yang terjadi selama periode tahun 1940 – 1953 di dominasi karena kereta anjlok dan terguling. Data tersebut jelas menunjukkan adan ya masalah pada infrastruktur kereta api. Berdasarkan data mekanik yang dilaporkan bengkel besar DKA bahwa komponen infrastruktur mulai dari rel, bantalan rel, kereta penumpang, lokomotif, hingga persinyalan yang tidak berfungsi secara optimal. Hal inilah yang menyebabkan kecelakaan pada transportasi kereta api. Cukup tingginya korban jiwa dan kerugian sosial ekonomi akibat kecelakaan telah menyebabkan kemampuan operasional infrastruktur kereta api menurun. Keselamatan transportasi menjadi prioritas DKA sehingga perlu segera ditingkatkan. Penyebab tingginya kecelakaan kereta api merupakan akumulasi dari banyak faktor, diantaranya kondisi infrastruktur yang merupakan peninggalan Pemerintah Hindia – Belanda sehingga dalam hal ini revitalisasi sangat diperlukan. Tabel 2 Kondisi Kereta Pada Tahun 1950 Kerta Lama (masa operasi lebih dari 50 tahun
Kereta masih baik (masa operasi antara 15 sampai 30 tahun )
1.608
695
522
99
2.130
794
12.713
84.349
3.079
1.185
jumlah 15.782
jumlah 9.624
Sumber : Bengkel Besar PNKA Manggarai, Jakarta, 1950, hal 86
Tabel 3 Jumlah Kecelakaan Kereta Api 19401953
Kategori Kacelakan
Jumlah Kecelakaan
Jumlah
1940
1945
1950
1953
Tabrakan antar kereta
6
7
9
5
27
Tabrakan dg kendaraan umum
8
4
12
17
41
Anjlok atau terguling
17
24
30
32
103
Banjir dan longsor
3
7
12
6
28
Lain-lain
35
48
60
56
199
Jumlah
69
90
123
116
796
Sumber : Laporan Tahunan DKA, Balai Besar DKA, 1955, hal 67
Permintaan Kebutuhan Pengangkutan Transportasi merupakan sarana perkembangan yang penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan. Perkeretaapian merupakan salah satu moda yang memiliki karakteristik dan keunggulan khusus terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut baik penumpang maupun barang secara massal. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk Pulau Jawa yang terjadi pada tahun 1953 mencapai 54,5 juta jiwa. Hal ini menyebabkan permintaan akan kebutuhan pengangkutan baik penumpang maupun barang dalam waktu bersamaan, melalui kereta api meningkat. Data
77
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 statistik DKA pada tahun 1955 menunjukkan, bahwa angkutan penumpang kereta api mencapai angka 146,922 ribu jiwa. Tingginya permintaan kebutuhan pengangkutan ini membuat DKA harus menyediakan infrastruktur yang memadai, baik dari segi jumlah maupun tingkat keamanan dan keselamatannya. Prioritas DKA pada saat itu adalah meminimalkan agar tidak terjadi resiko penumpukan akibat lonjakan penumpang yang pada akhirnya akan memperparah tingkat kerusakan infrastruktur. DKA sebenarnya tidak begitu mampu dalam menyelenggarakan sistem pengangkutan yang baik karena tingginya kebutuhan pengangkutan tidak sebanding dengan jumlah dan infrastruktur yang tersedia. Apalagi sebagian besar telah melampaui umur teknis sehingga tidak memenuhi kelayakan operasional. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat, perlu bagi DKA untuk revitalisasi infrastruktur demi keamanan dan kenyamanan pengguna jasa transportasi kereta api. Tabel 4 Perkembangan Angkutan Penumpang dan Barang Periode Tahun 1937 – 1959
78
Persaingan antar Moda Transportasi Pengangkutan oleh kereta api di Pulau Jawa pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada saat itu tengah berada dalam persaingan ketat antara DKA selaku operator tunggal perkeretapian dengan perusahaan penyedia moda transportasi darat. Pesaing utama kereta api periode tahun 1951 sampai 1960 untuk angkutan penumpang jarak jauh adalah truk, sedangkan untuk angkutan barang DKA harus bersaing dengan kapal laut yang mempunyai jangkauan yang lebih luas dan dapat melayani angkutan antar pulau. Kereta api sebagai sebuah layanan transportasi akan tetap mempunyai beberapa keterbatasan sehingga tidak mampu secara individu memenuhi atau mengikuti kebutuhan transportasi masyarakat. Perlu diakui bahwa kondisi geografis Pulau Jawa yang meliputi dataran maupun kepulauan, menuntut moda transportasi yang dapat mengakses dan menjangkau berbagai daerah. Tentunya dalam hal ini kereta api tidak mampu mengakomodasi. Jasa angkutan truk mengambil peranan ini. Akibat adanya perkembangan yang pesat dari moda transportasi pada awal tahun 1953 dalam hal ini truk dan kapal laut, menyebabkan jumlah pengangkutan barang oleh DKA mengalami penurunan. Saham bergulir DKA pada tahun 1954 sampai 1957 menunjukkan angka penurunan pengangkutan dari 5074 ton menjadi 4940 ton, bahkan pada tahun 1958 mengalami penurunan lagi pada angka transaksi mencapai 4641 ton. Menurunnya okupansi pengangkutan ini member dampak pada menurunnya pendapatan DKA. Permasalahan mendasar yang dihadapi DKA adalah masih kurang memadainya infrastruktur jika dibandingkan dengan tinnginya
permintaan pelayanan jasa transportasi. Penyediaan, pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur kereta api pada masa setelah kemerdekaan masih didominasi oleh pemerintah yang tarif pelayanannya cenderung di bawah harga pasar. Hal itu terjadi karena kebijakan tarif yang diambil masih lebih menekankan pertimbangan politis daripada pertimbangan finansial. Akibatnya, kinerja DKA dalam menyediakan sistem transportasi yang aman dan nyaman tidak terlaksana. Hal itu diperparah dengan ketidakmampuan pendanaan Pemerintah untuk melakukan revitalisasi terhadap aset yang sudah terbangun, serta ketidakmampuan melakukan investasi untuk memenuhi pertambahan permintaan pelayanan khususnya kereta api. Revitalisasi infrastruktur perkeretaapian merupakan syarat utama dalam peningkatan layanan pengangkutan sekaligus menjadi salah satu pemeran penting dalam sistem logistik dan distribusi penumpang. Revitalisasi perkeretaapian diarahkan pada penggunaan teknologi infrastruktur yang berdaya angkut massal, yang menjamin keselamatan transportasi dan menempatkan kereta api sebagai moda transportasi utama dalam system transportasi nasional. Implementasi Infrastruktur Kereta Api Pada tahun 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 tahun 1963 DKA diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut maka sifat dan tujuan PNKA adalah sebagai 1. Sifat usaha adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan; 2. Maksud dan tujuan adalah mengusahakan pelayanan jasa angkutan kereta api dalam
rangka memperlancar arus perpindahan orang dan barang secara massal. Pembangunan dan pergerakan ekonomi Indonesia tidak dapat lagi dibebankan secara tidak proporsional kepada jaringan jalan. Moda kereta api sebagai moda transportasi masal yang hemat energi harus mendapatkan peran yang lebih strategis. Oleh karena itu PNKA meluncurkan program revitalisasi perkeretaapian, untuk menjadikan kereta api sebagai moda angkutan utama. D.I. Revitalisasi dari Segi Teknis Panjang rel Lintasan jalan rel merupakan infrastruktur vital bagi transportasi kereta api yang mendukung kelancaran operasional kereta api. Investasi untuk pembangunan rel sebenarmya tidak sebesar pembangunan jalan raya, karena pembangunan rel hanya membutuhkan lahan yang sedikit dan tidak merusak ekosistem lingkungan di daerah. Selama periode tahun 1963 sampai 1970 revitalisasi rel dengan seri R.14 telah mencapai 1.754 kilometer dari seluruh lintas utama sepanjang 2.823 kilometer (PNKA: 1970, 122-123). Keterbatasan anggaran yang dimiliki PNKA menyebabkan revitalisasi rel tidak sepenuhnya terlaksana, tetapi untuk memenuhi kebutuhan rel PNKA melakukan sebuah rekayasa teknis berupa pengelasan. Bertempat di Balai Yasa Surabaya Gubeng dan bengkel Manggarai, dilakukan pengelasan rel seri R. 3. Rel hasil rekayasa itu dipasang di lintas-lintas utama di Pulau Jawa. Rel dengan seri R.3 dari lintas utama yang kondisinya masih cukup baik, dipindahkan ke lintasan yang tidak memerlukan R.14 digantikan rel yang pernah ada sebelumnya.
79
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Sinyal dan Telekomunikasi. Revitalisasi sinyal dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan frekuensi perjalanan kereta. Revitalisasi PNKA selama periode 1963 – 1970 adalah untuk memberikan pengamanan yang lebih baik pada stasiun dengan persinyalan Siemens and Halske serta blok All Relay Interlocking, dan pada emplasemen langsir dengan Automatic Shunting Movements. Sistem pengamanan persinyalan yang merupakan All Relay Interlocking dan Automatic Shunting Movements harus dipesan dari luar negeri. Hal ini merupakan salah satu kendala dalam revitalisasi sinyal, karena sulitnya mendatangkan peralatan tersebut. Akibat keterbatasan anggaran, PNKA hanya mampu mengadakan persinyalan Siemens and Halske yang di tempatkan pada stasiun utama dengan sistem All Relay Interlocking untuk stasiun induk seperti Bandung dan SoloBalapan. Perlengkapan sinyal yang diperlukan PNKA sesungguhnya telah mencapai 360 sinyal, dengan 18 stasiun All Relay Interlocking, dan 2 stasiun menggunakan sistem Automatic Shunting Movements. Pembangunan pengaman di Bandung dimulai tahun 1965 dibawah pimpinan seorang ahli dari Jerman, dibantu beberapa pegawai PNKA yang pernah belajar di Jerman mengenai persinyalan modern tersebut. Meskipun revitalisasi bisa dilaksanakan, namun kendalanya ada pada sulitnya mendapatkan peralatan untuk membuat perlengkapan sinyal seperti kawat baja, rantai, dan kaca sinyal, karena barang tersebut di datangkan dari Eropa yakni Jerman. Kalaupun beberapa perlengkapan dapat didatangkan dari luar negeri, perlengkapan itu masih harus tertahan di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta sehingga pekerjaan revitalisasi menjadi tertunda.
80
Lokomotif. Revitalisasi tidak hanya dilakukan pada lintasan kereta api dan persinyalan saja, tetapi juga diarahkan pada lokomotif. Revitalisasi sangat diperlukan mengingat lokomotif yang ada pada masa sebelum tahun 1960 sebagian masih menggunakan lokomotif uap yang merupakan peninggalan pemerintah Hindia – Belanda. Berdasarkan ketentuan keselamatan transportasi maka lokomotif yang masa operasionalnya telah mencapai empat puluh tahun atau lebih, maka harus di non aktifkan. Pada tahun 1963 PNKA mendatangkan seratus lokomotif diesel seri CC-200 dari pabrik lokomotif terkemuka di Amerika Serikat, General Electric. Lokomotif ini memiliki bobot 96 ton dengan mesin penggerak diesel ALCO 244E, mampu melaju dengan kecepatan seratus kilometer per jam. Sebuah kereta diesel tercanggih yang dimiliki PNKA 7 pada masa itu. Agar lokomotif CC-200 dapat ditangani secara detail dan baik, sumber daya manusia yang setelah melalui proses pendidikan yang diselenggarakan PNKA dikirim ke divisi pelatihan General Electric di Amerika Serikat. Mereka menjalani studi mengenai lokomotif diesel selama enam bulan. Pada tahun 1965 PNKA juga mendatangkan lokomotif diesel seri D-300 yang merupakan lokomotif diesel hidrolik dari Krupp, Jerman Barat. Dua tahun kemudian yakni pada tahun 1968 PNKA mendatangkan lagi lokomotif seri BB-300 dari negara yang sama dengan jumlah dua puluh tiga lokomotif. Dalam peresmian operasional lokomotif diesel terbaru seri BB-300 pada tahun 1969, presiden Republik Indonesia, Ir Soekarno bersama beberapa menteri turut mencoba menikmati rangkaian kereta penumpang yang ditarik oleh lokomotif tersebut. Selama masa operasionalnya, lokomotif diesel pernah
digunakan untuk menarik rangkaian kereta penumpang seperti ekspres Bandung (Bandung – Jakarta), Bintang Senja (Surabaya Kota - Solo - Semarang Jakarta), Bintang Fajar (Jakarta Semarang - Solo - Surabaya Kota) dan Jaya (Surabaya Pasar Turi - Cepu Semarang – Gambir). Pada tahun 1969, lokomotif diesel PNKA secara rutin menarik kereta penumpang Bintang Fajar (Surabaya – Jakarta). Selain untuk menarik kereta penumpang, lokomotif ini juga digunakan untuk menarik angkutan barang dan minyak bumi.
Segi Sumber Daya Manusia Revitalisasi sumber daya manusia di PNKA meliputi dua aspek yakni regulator dan aspek operator. Aspek regulator terdiri dari penguji infrastruktur, auditor/inspektur keselamatan, serta pembina perkeretaapian yang tercakup di dalam perhubungan transportasi sedangkan aspek operator meliputi regulator pelaksana yakni PNKA. Dalam rangka menjamin keselamatan perkeretaapian, PNKA memprioritaskan arah pengembangan sumber daya manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan kuantitas dan kualitas dengan standar kualifikasi dan kompetensi yang sesuai dengan bidang penugasannya. Pada saat pergantian nama dari DKA menuju PNKA, kondisi pegawai saat itu belum mencapai taraf sebagaimana yang ditetapkan dalam kurikulum revitalisasi. Oleh karena itu perlu disiapkan program pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan di wilayah PNKA. Pendidikan yang dimaksud antara lain: 1). Sekolah Ahi Teknik Kereta Api (SATKA) di Bandung. Sekolah ini didirikan pada tanggal 1 November 1965 untuk mendidik lulusan dari Sekolah Teknik Mesin menjadi teknisi dari tingkat semi akademis
dalam pendidikan kejuruan sipil, mesin dan listrik. 2). Pada 1 Desember 1966 Sekolah Opseter Kereta Api (SOKA) didirikan di Bandung. Untuk mendidik menjadi lulusan teknisi yang terampil dalam tiga tahun yaitu menjadi teknik mesin dan listrik. 3). Untuk membentuk kader pemimpin di bidang lalu lintas, pada 7 September 1967 didirikan Akademi Lalu Lintas DKA (ADKA) di Bandung. Programnya adalah mendidik para lulusan dari sekolah menengah atas dalam kurun waktu empat tahun yang di prioritaskan menjadi inspektur lalu lintas dan perniagaan yang setingkat dengan tenega–tenaga akademis. 4). Kursus diesel. Kursus ini diadakan di Bengkel Besar Kereta Api di wilayah Manggarai, Jakarta untuk mendididk tenaga-tenaga khusus sebagai masinis, mekanik dan pegawai untuk menangani bidang mesin diesel. Selain pendidikan formal, juga diprogramkan pendidikan non formal untuk meningkatkan keterampilan pegawai dalam melaksanakan tugasnya seperti; 1). Kursus A1-A4 untuk pegawai administrasi. 2). Kursus L1-L4 untuk pegawai lalu lintas. 3). Kursus De1-De4 untuk pegawai jalan dan bangunan. 4). Kursus Dkd1- Dkd4 untuk pegawai jembatan. 5). Kursus Ds1-Ds4 untuk pegawai sinyal. 6). Kursus Dt1-Dt4 untuk pegawai telekomunikasi. 7). Kursus Pg1-Pg4 untuk pegawai pergudangan. 8). Kursus Tld1-Tld4 untuk pegawai traksi lintas dan kursus Tbd1-Tbd4 untuk traksi balai yasa. Lembaga pendidikan non formal ini jumlahnya mencapai enam puluh dua. Selain menyelenggarakan pendidikan non formal, PNKA juga menyiapkan program pendidikan melalui tugas belajar kepada para pegawai untuk mengikuti kuliah pada suatu universitas dengan ikatan dinas. Pemberian tugas belajar ini terbatas di kalangan PNKA.
81
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Ada juga pegawai yang memiliki keahlian dan potensi khusus yang kemudian mereka mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan hingga ke luar negeri seperti pendidikan teknik maupun sistem administrasi negara, yakni di ICA (International Corporation Administration) di negara Nigeria dan Colombo Plan di Swiss (DKA: 1961). Segi Kelembagaan Pada tahun 1963 berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.22 tahun 1963 DKA diubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Selaku badan usaha maka PNKA mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan usaha (Tim Telaga Bhakti Nusantara: 1997, 30): 1). Usaha Pengangkutan Orang dan barang dengan kereta api; 2). Kegiatan perawatan prasarana perkeretaapian; 3). Pengusahaan prasarana perkeretaapian; 4). Pengusahaan usaha penunjang prasarana dan sarana kereta api. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1960 tentang Perkeretaapian latar belakang diaturnya salah satu armada transportasi massal ini dalam suatu undang- undang karena perkeretaapian mempunyai nilai karasteristik yang khusus sebagaimana lengkapnya adalah: Perkeretaapian merupakan salah satu modal transportasi yang memiliki karakteristik dan keunggulan khusus terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut baik penumpang maupun barang secara masal, hemat energi, hemat dalam penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, dan tingkat pencemaran yang rendah serta lebih efisien dibanding dengan moda transportas jalan raya untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat
82
lalu lintas, seperti angkutan kota. Keunggulan dan karakteristik p e r k e re t a a p i a n t e r s e b u t p e r l u dimanfaatkan dalam upaya pengembangan sistem transportasi secara terpadu, maka penyelenggaraannya mulai dari perencanaan dan pembangunan, pengusahaan, pemeliharaan, dan pengoperasiannya perlu diatur dengan sebaik-baiknya, sehingga terdapat keterpaduan dan keserasian serta keseimbangan beban antar modal transportasi yang pada akhirnya mampu meningkatkan penyediaan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang secara aman, nyaman, cepat, tepat, teratur dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pada prinsipnya undang-undang ini menganut negara mempunyai kekuasaan atas kegiatan penyelenggaraan perkeretaapian. Dengan kekuasaannya tersebut negara, melalui Pemerintah melakukan pembinaan dalam bentuk berupa pengaturan, pengendalian dan pengawasan. Negara berkuasa atas kegiatan perkeretaapian, tetapi undangundang menyebutkan ada dua pihak yang mempunyai peranan besar dalam perkeretaapian yaitu Pemerintah dan badan penyelenggara. Badan penyelenggara perkeretaapian adalah badan usaha milik negara yang melaksanakan penyelenggaraan angkutan kereta api. Undang-undang kereta api memberikan hak atau kewenangan kepada PNKA dalam hal: 1). Pengusahaan infrastruktur; 2). Menyediakan dan merawat infrastruktur kereta api; 3). Melakukan pelarangan dalam hal: berada di daerah manfaat jalan kereta api; menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api; menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api; berada
di luar tempat yang disediakan untuk angkutan penumpang dan/atau barang; mengganggu ketertiban dan / atau pelayanan umum. 5). Menetapkan syaratsyarat umum penyelenggaraan pelayanan angkutan orang atau barang yang dibuat berdasarkan undang-undang. 6). Melaksanakan pemeriksaan terhadap pemenuhan syarat-syarat umum angkutan bagi perumpang dan/atau barang dan melaksanakan penindakan atas pelanggaran terhadap syarat-syarat umum angkutan. 7). Membatalkan perjalanan kereta api apabila dianggap dapat membahayakan ketertiban dan kepentingan umum; 8). Menertibkan penumpang kereta api atau masyarakat yang mengganggu perjalanan kereta api. Selain hak atau kewenangan tersebut, PNKA mempunyai kewajiban : a) Kewajiban mengangkut penumpang dan atau barang yang telah memenuhi syarat-syarat umum angkutan; b) Kewajiban mengembalikan jumlah biaya yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan perjalanan kereta api oleh Badan Penyelenggara; c) Bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan pelayanan angkutan kereta api; d) Mengasuransikan tanggung jawabnya atas kerugian yang diderita pengguna jasa dan/atau pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan pelayanan angkutan kereta api;
kemerdekaan Republik Indonesia mengakibatkan mobilitas masyarakat meningkat. Pulihnya situasi politik dan ekonomi negara pada tahun 1950 secara tidak langsung menciptakan iklim mobilitas masyarakat yang dinamis akibat teknologi sistem transportasi yang tercipta semakin maju dan lebih baik. Akibat adanya permintaan kebutuhan pengangkutan dan barang dalam jumlah massal, DKA harus bersiap menghadapi pesaing dari moda transportasi darat lain seperti truk dan angkutan laut pelni. Modalitas DKA dengan infrastruktur pendukungnya yang tidak memadai, terbukti tidak cukup mampu bersaing dan menampung kebutuhan pengangkutan. Akibatnya DKA mengalami kerugian. Revitalisasi menjadi sebuah kebutuhan. Berbagai langkah ditempuh DKA yang salah satunya adalah revitalisasi di bidang kelembagaan. Semenjak berganti nama menjadi PNKA pada tahun 1963 baru revitalisasi yang sesungguhnya bisa dilaksanakan khususnya pada bidang revitalisasi infrastruktur kereta api dan sumber daya manusia. Revitalisasi ini sebagai komitment PNKA dalam melayani masyarakat pengguna jasa kereta api dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang aman dan nyaman.
Kesimpulan Infrastruktur kereta api pada masa DKA merupakan warisan dari peninggalan dari pemerintah Hindia – Belanda. Secara umum kondisinya tidak memenuhi standarisasi keamanan dan keselamatan transportasi. Pada satu sisi, DKA berhadapan dengan memulihnya kegiatan perekonomian pasca
83
Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 - 109 Nederlandsch 1929.
Daftar Pustaka Jaarverslagen NV. Deli Spoorweg Maatschappij Gevestigd te Amsterdam (Jaarverslag 1883, Jaarverslag 1885, Jaarverslag 1887, Statistieken 1920, Jaarverslag 1923, Statistieken 1929, Jaarverslag 1939, Jaarverslag 1949). Amsterdam : Druk van J.H De Bussy. Kompas, Orgaan Oentoek Inlandsch Personeel Deli Spoorweg Maatsthappij, Tahun I No. 2 (1925)Tahun I No. 5 (1925). Medan : Inlandsch Personeel Deli Spoorweg Maatsthappij Vereniging, 1925. Kereta Api. Orgaan “Persatoean Pegawe Spoor dan Tram”. Tahun 7 No. 7 (1933)-Tahun 10 No. 10 (1936). Bandoeng : Persatoean Pegawe Spoor danTram, 1933-1936. Laporan tahunan DKA, PNKA Reglemen no 20 dan 21
Abdullah, Taufik (ed). Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif. Jakarta : PT. Gramedia, 1985. Berto, O. “Permasalahan dan Strategi Pengembangan Perkeretaapian Indonesia” dalam Seminar Nasional Masa Depan Perkeretaapian di Indonesia. Universitas Soegijopranoto, Semarang, 17 Februari 2004.
84
--------------, Perundang-undangan Kereta Api di Indonesia 1928. Jilid 1/2, (terjemahan Pranoto), Semarang : PJKA Eksploitasi tengah, 1976. Booth, Anne (ed). Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta LP3ES, 1988. Creutzberg, P dan J.T.M van Laanen. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1987. Departemen Perhubungan (2007), Informasi Transportasi. Jakarta: Departemen Perhubungan. Djoyohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LP3ES, 1994. Gani, Mohammad. Kereta Api Indonesia. Jakarta : Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Buku dan Artikel
Beyen, K.H. De Spoor Tr a m w e a w e t a e v i n g
Indie. Batavia,
en in
Hidayat, H. & Rachmadi. 2001. Rekayasa Jalan Rel. Catatan Kuliah. Penerbit ITB. Bandung Hoyle, BS. Transport and Development. New York : Barness & Noble Books, 1973. Houben, J.H. Vincent. Labour Conditions in Java and the Duter Provinces 1900-1940. Paper KNAW Colloqouium Historical
Foundations of national Economy in Indonesia. 190-1990, Amsterdam : 20-22 September 1994. Imam Asya‟ari, Sapari. Sosiologi : Kota dan Desa. Surabaya : Usaha Nasional, 1993. Kreel, B.H.A Van. De Deli Spoorweg maatschapii 28 Juni 1883-28 Juni 1 9 3 3 . Ti j d s c r i f t S p o o r e n Trawengen No. 9, 9 Mei 1933. Santoso, Roesdi. Kereta Api dari Masa ke Masa. Semarang PJKA Eksploitasi Tangah,1979.
Soenyoto. Peranan Transportasi Kereta Api dalam Perkembangan Kotakota di Indonesia. Yogyakarta : Fak. Sosial Politik UGM, Cetakan ke 2, 1970. Simeon, R. Derip. Kisah Kereta Api Indonesia : SS/SS-VS/DKARI/DKA. Bandung : Pengurus Besar Persatuan Buruh Kereta Api. 1953. Subarkah, Iman. Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita. 1867-1992. Bandung, 1992.
85