PERKAWINAN KELOMPOK TARBIYAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP KETAHANAN KELUARGA DI KOTA BENGKULU Abdul Hafiz* Abstrak Pola perkawinan yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan memungkinkan berkembang pola-pola perkawinan. Undang-Undang menyebutkan secara implisit dan eksplisit bahwa kehendaknya bisa muncul dari wali calon mempelai dan bisa pula dari calon mempelai sendiri. Perbedaan dalam kehendak untuk menikah melahirkan perbedaan pula dalam pendekatan untuk menikah. Pendekatan untuk menikah hanyalah satu dari aspek-aspek dalam pola perkawinan. Namun wajah suram kehidupan keluarga di Kota Bengkulu seperti ditunjukkan oleh tingginya angka perceraian sedikit tercerahkan oleh munculnya suatu pola perkawinan yang dijalankan oleh orang-orang yang sering disebut kelompok Tarbiyah. Pola perkawinan yang digunakan oleh kelompok ini tampaknya lebih efektif dalam menekan angka perceraian. Seorang aktivis dari kelompok ini yang baru beberapa bulan menikah mengatakan bahwa sepengetahuannya hanya ada satu kasus perceraian yang terjadi dalam kelompoknya di Kota Bengkulu ini. Kata kunci: Pola perkawinan, Kelompok Tarbiyah, Ketahanan Keluarga
PENDAHULUAN Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan itu, Undang-Undang tersebut dan peraturan-peraturan perundang-undangan terkait telah mengatur berbagai ketentuan, misalnya, ketentuan tentang syarat-syarat menikah yang membentuk apa yang disebut pola perkawinan. Pola perkawinan yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan memungkinkan berkembang pola-pola perkawinan lainnya. Misalnya, untuk membentuk sebuah rumah tangga atau menikah, Undang-Undang menyebutkan secara implisit dan eksplisit bahwa kehendaknya bisa muncul dari wali calon mempelai dan bisa pula dari calon mempelai sendiri. Kehendak untuk menikah yang berasal dari wali tersirat dalam ”Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.”(UU No 1/1974, Pasal 6, Ayat 1) Kehendak untuk menikah yang berasal dari calon mempelai secara jelas dinyatakan dalam ”Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” (UU No 1/1974, Pasal 6, Ayat 2). Perbedaan dalam kehendak untuk menikah melahirkan perbedaan pula dalam pendekatan untuk menikah. Dalam kehendak untuk menikah yang datang dari wali, pendekatan terhadap calon pasangan tidak dilakukan oleh calon mempelai. Pendekatan untuk menikah yang umum dipakai dalam beberapa dekade terakhir adalah pendekatan yang dilakukan oleh calon mempelai sendiri terhadap * Penulis adalah dosen IAIN Bengkulu
calon pasangannya yang disebut pacaran. Pendekatan ini patut dipertanyakan efektifitasnya bagi pembentukan keluarga bahagia terutama untuk Kota Bengkulu. Di kota ini, dalam lima tahun terakhir angka perceraian terus meningkat. Dalam catatan kepaniteraan Pengadilan Agama Bengkulu, pada tahun 2008 perkara perceraian yang terdaftar sebanyak 370 perkara, 2009; 390 perkara, 2010; 511 perkara, 2011; 630 perkara, dan 2012; 716 perkara (Adriani, wawancara). Angka ini cukup besar jika diprosentasekan terhadap angka perkawinan. Ambil contoh perceraian pada tahun 2010. Pada tahun ini perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama berjumlah 511 perkara. Pada tahun yang sama tercatat 2803 perkawinan (Yurlan, wawancara). Ini berarti bahwa 18% dari 2083 pasangan yang menikah di Kota Bengkulu pada tahun 2010 mengalami kegagalan berumahtangga. Wajah suram kehidupan keluarga di Kota Bengkulu seperti ditunjukkan oleh tingginya angka perceraian sedikit tercerahkan oleh munculnya suatu pola perkawinan yang dijalankan oleh orang-orang yang sering disebut kelompok Tarbiyah. Pola perkawinan yang digunakan oleh kelompok ini tampaknya lebih efektif dalam menekan angka perceraian. Seorang aktivis dari kelompok ini yang baru beberapa bulan menikah mengatakan bahwa sepengetahuannya hanya ada satu kasus perceraian yang terjadi dalam kelompoknya di Kota Bengkulu ini. Aktivis lain menyebutkan bahwa ada beberapa kasus perceraian lainnya, tetapi tidak banyak. Pendekatan untuk menikah hanyalah satu dari aspek-aspek dalam pola perkawinan. Aspek lainnya adalah pembinaan kehidupan berumah tangga. Dalam kelompok Tarbiyah, pembinaan terhadap anggota tidak mengenal henti. Sekali seorang telah masuk ke
Manhaj, Vol. 2, Nomor 1, Januari - April 2014
dalam halaqah,ia berkewajiban mengikuti liqa` dengan rutin. Demikian pula halnya anggota yang telah menikah. Baginya tetap tersedia murabbi yang siap mendampinginya dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Sama dengan sebelum menikah, setelah menikah anggota itu tetap mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari murabbinya. Gambaran sepintas tentang pola perkawinan kelompok Tarbiyah seperti telah dikemukan penting untuk dilihat kaitannya dengan konsep ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah kemampuan keluarga dalam menjalankan fungsifungsinya secara optimal (Achir, 1992). Fungsifungsi tersebut—reproduksi, afeksi, perlindungan, sosialisasi dan pendidikan, keagamaan, sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan (Ketahanan, 2008, h. 15-22)—kemungkinan besar telah dijalankan semuanya oleh kelompok Tarbiyah. Persoalannya adalah bagaimana mereka menjalankan fungsi-fungsi itu. Kuat dugaan, untuk beberapa fungsi keluarga, mereka telah melaksanakannya secara optimal. Indikator yang tidak terbantahkan adalah bahwa mereka berhasil melaksanakan pengajian kelompok secara rutin dan konsisten. Merekajuga berhasil membangun lembaga pendidik berlabel Islam Terpadu yang tengah digandrungi banyak wali murid dewasa ini. Secara sederhana, Undang-Undang Perkawinan melihat pernikahan hanya sebagai urusan antara dua pihak; wali dan mempelai. Jika wali tidak berkenan dengan pernikahan calon mempelai yang terakhir ini dapat meminta wali hakim. Ketika pernikahan telah terlaksana, tinggallah mempelai menjalani kehidupan berdua saja dengan pasangan tanpa ada harapan dapat bantuan dari wali karena wali sedari awal tidak berkenan dengan pernikahannya. Pola perkawinan kelompok Tarbiyah menawarkan alternative pemecahan masalah tersebut yaitu dengan melibatkan pihak ketiga dalam perkawinan—dalam hal ini murabbi. Untuk itu, masalah yang hendak diteliti dirumuskan; bagaimanakah penerapan pola perkawinan kelompok Tarbiyah di Kota Bengkulu dan bagaimanakah dampak penerapan pola perkawinan tersebut terhadap ketahanan keluarga? Pola perkawinan meliputi banyak hal yang jika diurai bagian perbagian akan melahirkan banyak kajian. Sebuah penelitian pada pola perkawinan boleh jadi melahirkan banyak masalah penelitian. Oleh karena itu, penelitian pada pola perkawinan ini dibatasi pada masalah kehendak menikah pada mutarabbi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga yang dimulai dari awal proses pernikahan sampai menjalani kehidupan awal berumah tangga— tiga sampai tiga tahun setelah menikah.
2
Ketahanan keluarga meliputi banyak unsur yang merupakan fungsi-fungsi keluarga. Fungsifungsi keluarga itu tidaklah baku, fungsi keluarga menurut seorang pakar berbeda menurut pakar lainnya. Namun, ada hal yang paling menentukan terhadap ketahanan keluarga, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi pendidikan. Kedua fungsi inilah yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. MASALAH PENELITIAN Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penerapan pola perkawinan kelompok Tarbiyah di Kota Bengkulu dan bagaimana dampak penerapan pola itu pada ketahanan keluarga kelompok tersebut. Secara teoritis, penelitian berguna untuk melihat bagaimana teori, asumsi,dan norma yang dianut banyak orang diterapkan dalam kelompok Tarbiyah. Misalnya, norma tentang wali sebagai rukun nikah. Juga, teori tentang kematangan jiwa sebagai landasan keluarga bahagia seperti dianut oleh Undang-Undang Perkawinan. Di samping itu, dilihat pula bagaimana aspek-aspek ketahanan keluarga dibangun dalam keluarga kelompok Tarbiyah. Secara praktis, penelitian ini berguna bagi pengambil kebijakan di bidang pembangunan keluarga. Banyak instansi yang berkepentingan dengan penelitian ini: Kemenag, BP4, BKKBN, Kementerian UPW,dan Kementerian Sosial. Penelitian ini juga berguna bagi orang-orang berkeinginan untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. KAJIAN TERDAHULU Beberapa aspek dari kelompok Tarbiyah sudah diteliti oleh para peneliti terdahulu. Misalnya, Esti Darmawati meneliti di bawah judul penelitian , ”Aktivitas Mahasiswa Kelompok Dakwah Tarbiyah Ikhwanul-Muslimin (Studi Tentang Konstruksi Sosial Keagamaan Pada Aktivis Dakwah Mahasiswa Universitas Airlangga)”, Penelitian bertujuan untuk memahami secara mendalam realitas ideolog keagamaan dalam proses penerimaan sebagai suatu proses dialektik Peter L Berger dan untuk mengetahui bagaimana pola-pola pemikiran gerakan Ikhwanul Muslimin yang dibangun sebagai realita oleh para aktivis dakwah kampus Universitas Airlangga. Penelitian menggunakan metode kualitatif. Peneliti berusaha memahami secara holistic misi para aktivis yang dikaitkan dengan pola tingkah laku dalam muamalah dan dakwah keagamaan. Peneliti melakukan pengamatan terlibat dan melakukan pula wawancara dan menggunakan
Abdul Hafiz: Pola Perkawinan Kelompok
dokumen. Peneliti menemukan bahwa proses dialektika Berger mengacu pada bagaimana seorang individu mampu mengkonstruksikan realitas social yang dialaminya melalui tiga tahapan yakni Eksternalisasi, Obyektifikasi, dan Internalisasi. Faktor terbesar bagi konstruksi social Berger hingga individu berhasil melalui tiga momen tahapan adalah pola pengkaderan di Tarbiyah yang cukup baik dilihat dari bagaimana terstruktur dan rapinya pola dakwah yang ditawarkan. (AntroUnairDotNet, Vol.2/No. 1/Jan.-Pebruari 2013,h. 189-196). METODE PENELITIAN Penelitian bertujuan untuk melihat penerapan pola perkawinan kelompok di Kota Bengkulu dan dampaknya terhadap upaya pembentukan ketahanan keluarga. Pola perkawinan dan dampaknya dilihat secara kualitatif. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan tiga alat untuk mengumpulkan data; dokumentasi, wawancara, dan observasi. Pembahasan hasil penelitian akan dituangkan dalam sebuah laporan penelitian yang terdiri dari lima bab yang meliputi pendahuluan, konsep-konsep yang berkenaan dengan kelompok Tarbiyah, ketahanan keluarga, dan penerapan konsep pola perkawinan kelompok Tarbiyah di Kota Bengkulu dalam hubungannya dengan upaya perwujudan ketahanan keluarga. TEMUAN PENELITIAN 1. Perkawinan Dalam Kelompok Tarbiyah Tarbiyah merupakan salah satu kata dari beberapa kata yang dikenal dalam dunia pendidikan Islam yang diterjemahkan menjadi pendidikan. Adapun tarbiyah, ketika dipakai untuk nama sebuah kelompok, banyak rumusan dibuat orang untuk menjelaskannya. Ada yang menyebut, tarbiyah merupakan kegiatan pembinaan yang lebih khusus terhadap pribadi-pribadi muslim dalam berbagai aspeknya. Dalam perkembangannya, tarbiyah lebih diidentikkan dengan pendidikan Islam yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang duduk melingkar (Silvianasalsabilla). Tarbiyah adalah satu proses mengetahui dan memahami, kemudian merasai dan impelentasinya ke dalam bentuk perilaku sebagai hasil dari latih jiwa yang berterusan, sukar dan menyulitkan (http://maalimfitariq.wordpress.com/2013/05/31/.). Tarbiyah mengarahkan orang-orang yang menginginkan interaksi lebih jauh ke dalam Islam agar mereka dapat melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara terarah dan kelak mampu mengemban amanah-amanah yang dibebankan kepadanya demi kemaslahatan
umat(http://wahdah.or.id/berita/umum/taa8217limdan-tarbiyah-dalam-aktivitas-lembaga-dakwah.html). Pembinaan terhadap peserta Tarbiyah meliputi banyak aspek pembinaan yaitu aspek pembinaan akal, ruhani dan jasmani pesertanya dengan tujuan agar peserta tarbiyah dapat langsung mengamalkan seperti memahami cara salat dan melaksanakannya. Lebih dari itu, peserta tarbiyah pun suatu ketika dapat dievaluasi aktivitas salatnya (http://wahdah.or.id/berita/umum/taa8217lim-dantarbiyah-dalam-aktivitas-lembaga-dakwah.html). Aktivitas Kelompok Tarbiyah berusat pada dakwah Islam dalam bentuk berbagai kegiatan tarbiyah. Kegiatan-kegiatan tersebut merujuk pada praktek bimbingan spiritual oleh pimpinan spiritual kelompok Sufi, murshid, yang bertujuan meningkatkan kualitas spiritual murid di bawah bimbingan guru. Istilah ini diadopsi oleh Hasan alBanna, bukan hanya untuk peningkatan spiritualitas tetapi juga membangun jalan untuk transfer pengetahuan keislaman dan keterampilan lainnya yang dibutuhkan oleh para pengikut (Hasan AlBanna, 2004: h. 46). Sebagai sebuah grakan, Kelompok Tarbiyah merupakan kelompok dakwah yang berkembang di Indonesia tiga dekade terakhir. Pada mulanya kelompok ini disebut pula kelompok Usrah. Namun, karena kata Usrah digunakan pula oleh gerakangerakan subversif, kata tersebut tidak dipakai lagi, seperti dijelaskan oleh Hidayat Nurwahid, mantan Presiden PKS dan Ketua MPR RI. Menurutnya, istilah usrah memiliki konotasi negatif sejak digunakan untuk menunjukkan kelompok-kelompok subversif (Yon Machmudi, 2010). Kelompok Tarbiyah terbuka untuk umum, tetapi gaungnya terasa lebih besar di kampuskampus, terutama kampus-kampus sekular. Tidak semua anggota Kelompok Tarbiyah mahasiswa dan dosen tetapi halaqah dan liqa yang banyak tersebar di Indonesia pada umumnya diisi oleh segmen masyarakat tersebut. Di berbagai universitas negeri sekular di beberapa kampus di Jawa dan luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku berkembang pengaruh Kelompok Tarbiyah pada mahasiswa-mahasiswanya(Yon Machmudi, 2010). Sebagai gerakan yang, setidak-tidaknya, terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin, Kelompok Tarbiyah pada dasarnya adalah gerakan dakwah. Ikhwanul Muslimin sendiri adalah salah satu jamaah dari umat Islam yang mengajak dan menuntut ditegakkannya syariat Allah, bekerja dengannya dan untuknya, keyakinan yang bersih menghujam dalam sanubari, pemahaman yang benar yang merasuk dalam akal dan fikrah, syariah yang mengatur aljawarih (anggota tubuh), perilaku dan politik. 3
Manhaj, Vol. 2, Nomor 1, Januari - April 2014
Ikhwanul Muslimin merupakan salah satu jamaah dari beberapa jamaah yang ada pada umat Islam, yang memandang bahwa Islam adalah dien yang universal dan menyeluruh, bukan sekedar agama yang mengurusi ibadah ritual (salat, puasa, haji, zakat, dll) saja. Tujuan Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan terbentuknya sosok individu muslim, rumah tangga Islami, bangsa yang Islami, pemerintahan yang Islami, negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam, menyatukan perpecahan kaum muslimin dan negara mereka yang terampas, kemudian membawa bendera jihad dan dakwah kepada Allah sehingga dunia mendapatkan ketentraman dengan ajaran-ajaran Islam. Di kemudian hari, gerakan Ikhwanul Muslimin tersebar ke seluruh dunia(“Ikhwanul Muslimin” dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas). Mengikuti Ikhwanul Muslimin, Kelompok Tarbiyah berkembang pesat di Indonesia dalam tiga dekade terakhir. Salah satu faktor penentu perkembangan dakwah Kelompok Tarbiyah adalah semangat mereka untuk berbagi kebaikan, seluas mungkin, sebanyak mungkin. Para aktivis Tarbiyah tak menunggu sampai memiliki bertumpuk-tumpuk ilmu, beratus-ratus hafalan hadits atau berjuz-juz hafalan Alquran untuk berdakwah. Satu hadits yang mereka dapatkan dalam pertemuan mingguan, atau satu ayat yang mereka bahas dalam liqa akan segera mereka sebarkan dengan semangat berbagi kebaikan, berbagi ilmu, dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Mereka mencoba benar-benar mengaplikasikan sebuah hadis dan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, Ballighu ‘anni walau ayah, sampaikan dariku walau hanya satu ayat. Gerakan dakwah semacam itu mereka pahami dari Rasulullah saw yang diperintahkan oleh Allah swt untuk mengajak umatnya agar menjadi orangorang yang Rabbani yakni mereka yang selalu belajar dan mengajarkan Al-Quran sehingga hidup mereka menjadi rabbani pula. Dakwah adalah aktivitas belajar dan mengajarkan Al-Quran baik dalam membacanya, memahaminya, mengamalkannya, memperjuangkan tegaknya hukum-hukumnya, dan konsisten dalam melakukan itu semua. Kelompok Tarbiyah dikesankan sebagai kelompok yang menjunjung tinggi moralitas sekalipun kesan itu agak menurun dalam beberapa tahun belakangan sehubungan dengan terjatuhnya sebagian anggota mereka ke dalam beberapa skandal moral dan pidana korupsi. Partai Keadilan Sosial yang merupakan partai yang dibangun oleh Kelompok Tarbiyah beberapa tahun yang lalu tidak hanya diakui oleh masyarakat tetapi juga oleh para peneliti dan akademisi sebagai partai yang memiliki moralitas tinggi berdasarkan semangat keagamaan.
4
Bahkan semangat keagamaan ini disalahfahami oleh banyak kalangan bahwa PKS bermaksud mengimplementasikan syariat Islam dan tidak mengakomodasi penganut agama lainnya. Bagi beberapa kalangan, semangat untuk bekerja keras untuk ideal Islam dan usaha-usaha untuk mengangkat keadilan hukum dan ekonomi ke masyarat kelas bawah tidak memiliki basis argumentasi memadai meskipun gerakan-gerakan Islam sendiri sedang mengalami perubahan paradigma dan strategi. Tarbiyah sebagai gerakan moral dijelaskan dalam sebuah tulisan seorang tokoh awal Kelompok Tarbiyah di Indonesia yaitu Rahmat Abdullah yang merupakan santri dan anak didik kesayangan ulama besar betawi, yaitu Kiyai Haji Abdullah Syafi’i, yang punya Asy-Syafi’iyah, ayahanda dari Kiyai Haji Abdurrasyid Abdullah Syafi’i (Ahmad Sarwat, Tarbiyah, Nasibmu Kini… http://www.ikhwahgaul.com/tarbiyah-nasibmu-kini/). Pertama, Rahmat mengkritik formalisme agama yang banyak dipraktikkan umat Islam. Kedua, Rahmat mengkritik orang-orang alim tetapi tetapi kealiman itu tidak tampak pada perilaku. Ketiga, Rahmat mengingatkan orang tiba-tiba populer sebagai dai yang digandrungi orang banyak. Ia ingatkan orang itu untuk tidak mabuk oleh pujapuji. Keempat, macam-macam orang beramal. Kelima, keburukan-keburukan yang dilakukan oleh umat tidak lain akibat kehilangan teladan dari pemimpin agama. Para pemimpin agama dengan sengaja mempermainkan agama untuk mengikuti hawa nafsu. Keenam, Rahmat mengkritik gaya hidup tokoh-tokoh Islam dengan ukuran-ukuran materi dan duniawi yang menyebabkan suaranya tidak lagi didengar oleh umat. Ketujuh, bagi Rahmat menjadi pemimpin atau menjadi teladan bukanlah persoalan ajaran tetapi persoalan harga diri. Banyak pemimpin Islam telah kehilangan harga diri yang menyebabkan mereka diabaikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kelompok Tarbiyah merupakan kelompok yang lahir dari gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Banna. Dapat dikatakan bahwa Kelompok Tarbiyah merupakan perwujudan Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Untuk menyiapkan kader-kader yang berjiwa besar dan berakhlak mulia, Ikhwanul Muslimin memiliki sistem tarbiyah atau pendidikan yang dirumuskan oleh sang imam sendiri. Sistem tarbiyah tersebut berdasarkan disiplin tarbiyah yang sering kali disebut dengan al-Iltizamu al-Kamil atau tingkat kedisiplinan yang sempurna. Disiplin itu berisi prinsip-prinsip yaitu: Setiap kader Ikhwanul Muslimin harus memulainya dari tangga kepahaman. Tahap berikutnya adalah ikhlas. Pemahaman yang sempurna dan baik akan melahirkan jiwa-jiwa yang ikhlas
Abdul Hafiz: Pola Perkawinan Kelompok
untuk mewujudkan cita-cita. Keikhlasan pada akhirnya akan mengantarkan setiap kader pada amal yang maksimal. Tanpa keikhlasan, amal hanya menjadi beban yang memberatkan. Amal pun dirumuskan pada beberapa tahapan dan tingkat: Pertama, memperbaiki diri sendiri. Kedua, memperbaiki lingkungan trekecil dari masyarakat, yakni keluarga. Ketiga, membentuk masyarakat Islami. Keempat, membebaskan tanah air dari cengkraman penjajah. Kelima, memperbaiki pemerintahan dan negara. Keenam, mempersiapkan seluruh aset yang dimiliki untuk kebaikan kaum Muslim. Ketujuh, menegakkan kepemimpinan umat di seluruh dunia dan menyebarkan dakwah Islam yang mulia. Tahap berikutnya berjihad di jalan-Nya. Berikutnya, kader yang baik dalam Ikhwanul Muslimin adalah kader yang mampu memupuk ketaatan kepada pemimpin dan kebenaran. Bersungguh-sungguh meniti dan mewujudkan cita-cita dan tujuan mulia juga merupakan hasil yang ingin dicapai dalam sistem tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Sistem Tarbiyah menghendaki para kadernya selalu membersihkan diri dari godaangodaan yang bersifat paham dan pemikiran selain Islam. Perjalanan yang panjang menuju cita-cita yang mulia selalu berat dan terjal. Karena itu, satusatunya yang bisa menjadi lampu pertolongan dalam perjalanan ini adalah tongkat ukhuwah dan persaudaraan yang menyejukkan. Setiap Muslim adalah saudara yang selalu siap memberi pertolongan kepada saudaranya. Tidak ada pertolongan yang lebih indah seperti pertolongan yang diberikan atas dasar rasa kepercayaan. Kepercayaan bahwa kita berada di jalan yang sama dan menuju titik akhir yang sama pula. Kepercayaan akan melahirkan rasa cinta, saling menghargai, dan penghormatan, bahkan pengorbanan. Dengan sistem seperti itu, Ikhwanul Muslimin seperti mendekati manusia dengan cara yang mereka inginkan. Ikhwanul Muslimin terus berkembang. Pelan tapi pasti, membesar dan memberikan pengaruh, tidak saja di Mesir, tapi kelak juga lebih dari 40 negara di seluruh dunia (Green Leaves, “Antara PKS, Tarbiyah, dan Ikhwanul Muslimin dalam perjalanan sejarah”, http://mujahidsamurai.multiply.com/journal/item/44 , 45 , 46.). Kelompok Tarbiyah tidak mengikatkan diri pada pandangan tertentu dalam Hukum Islam. Kelompok Tarbiyah, sama dengan kelompokkelompok lain, mengikuti Hukum Islam yang telah diwariskan oleh ulama-ulama masa lalu melalui kitab-kitab fikih. Tidak ada sesungguhnya ajaran hukum khusus yang digunakan oleh Kelompok
Tarbiyah dalam mengukur tingkah laku. Menurut H. M. Syamlan, kalaupun tampak ada perbedaan maka itu sesungguhnya karena Kelompok Tarbiyah lebih konsisten dengan norma-norma hukum Islam yang sudah ditulis oleh para ulama sejak berabad-abad yang lalu. Misalnya, tidak ada pacaran dalam Kelompok Tarbiyah. Norma hukum ini merupakan norma yang dianut oleh semua mazhab atau kelompok Islam. Hanya saja karya-karya fikih dari al-Sayyid Sabiq dan Yusuf Qardhawi menjadi rujukan favorit. Hal itu, karena Fiqh al-Sunnah ditulis oleh al-Sayyid Sabiq atas permintaan Hasan al-Banna (H.M. Syamlan, Wawancara). Seperti disebutkan oleh Syamlan, isi kitab fikih yang ditulis oleh al-Sayyid Sabiq sama saja dengan beberapa kitab fikih lainnya. Namun, Sabiq memberikan penekanan pada hal-hal tertentu;1. Kesempurnaan Perkawinan. 2. Pilihan Pasangan. 3. Peminangan. 4. Rukun Esensial dalam Akad Nikah. 5. Kesetaraan dalam Pernikahan. 6. Publikasi Perkawinan (Sabiq: 1983, h. 197). 2. Ketahanan Keluarga dan Pola Perkawinan Sebuah keluarga yang dikatakan sudah memiliki ketahanan dapat dipertanyakan ketahanan pada tingkat mana karena ketahanan keluarga dipahami sebagai kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materiil dan psikismental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin. Definisi ini menyebut keuletan, ketangguhan, kemampuan, hidup mandiri tetapi tidak menyebutkan parameter yang dapat dimaknai bahwa kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin yang dituju oleh ketahanan keluarga beragam tingkatannya. Ketahanan keluarga dalam definisi Achir adalah kemampuan keluarga untuk berperan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggotaanggotanya (Achir, 1992). Peran itu menuntut tanggung jawab keluarga untuk menjalankan fungsifungsinya yaitu fungsi cinta kasih, perlindungan atau proteksi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pengembangan lingkungan. Kembali kepada definisi ketahanan keluarga menurut Achir, maka sebuah keluarga dikatakan memiliki ketahanan bila mana ia mampu menjalankan fungsi-fungsinya. Ketahanan itu semakin tinggi tingkatannya bila keluarga semakin intensif dalam menjalankan fungsinya. Pola perkawinan yang dianut oleh UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah pola perkawinan yang tunduk kepada agama. Namun, secara umum undang-undang mengatur 5
Manhaj, Vol. 2, Nomor 1, Januari - April 2014
bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Untuk menjamin tercapainya tujuan tersebut, undang-undang menetapkan hal-hal sebagai berikut: 1.Keabsahan Perkawinan, 2. Pencatatan Perkawinan, 3. Kematangan Jiwa Calon Mempelai, 4. Kehendak Menikah, 5. Prinsip Monogami, 6. Mempersulit Terjadinya Perceraian, 7. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, dan 8. Tanggung-jawab Anak Terhadap Orang Tua. 3.
Ketahanan Keluarga dalam Keluarga Kelompok-kelompok Tarbiyah di Kota Bengkulu Sebagai kota Urban, Kota Bengkulu disesaki oleh tidak kurang dari 300.000 jiwa penduduk dengan tingkat heterogenitas sangat tinggi. Tidak ada segmen masyarakat yang mendominasi komposisi penduduk selain latar belakang agama. Sebagaimana Indonesia, untuk ukuran yang lebih luas, lebih dari 90% penduduk Kota Bengkulu beragama Islam. Namun, dari latar belakang yang lain penduduk beragam. Penduduk asli tidak sampai separuh jumlah keseluruhan dan mereka terdiri dari suku yang berbeda-beda; Lembak dan Melayu. Para pendatang pun banyak ragamnya; Aceh, Batak, Melayu, Minang, Lintang, Rejang, Serawai, Jawa, Sunda, Bugis, Cina, dll. Dari segi keagamaan, penduduk Kota Bengkulu, bersemangat membangun sarana peribadatan baik penduduk beragama Islam ataupun beragama Kristen. Di banyak tempat, dalam radius satu km2, berdiri tidak kurang dari masjid/mushalla. Di satu dua tempat, terdapat pula beberapa gereja yang berdekatan. Di Bengkulu terdapat pula beberapa kuil Hindu dan Vihara Budha. Banyaknya jumlah masjid/mushalla pada umumnya tidak berbanding lurus dengan aktivitas keagamaan. Hampir tidak ada masjid yang jamaahnya meluber ke luar masjid di kala melaksanakan salat Jumat, misalnya, yang di beberapa tempat di luar Bengkulu menjadi pemandangan yang jamak. Sebagian besar masjid, jamaahnya hanya mampu mengisi separuh masjid lebih sedikit. Demikian pula kegiatan majlis taklim ibu-ibu tidak sesemarak di tempat lain. Di bidang pendidikan, sampai saat ini Kota Bengkulu masih menjadi andalan untuk mendapat pendidikan tinggi, bukan saja bagi tamatan SLTA yang berasal dari provinsi Bengkulu maupun luar Bengkulu terutama Lubuk Linggau, Pagar Alam, dan 1
Himpuran Peraturan Perundang-undangan Perkawinan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2010), h. 17. 6
Pesisir Selatan. Di Bengkulu mereka menjadi mahasiswa di IAIN Bengkulu, Universitas Bengkulu, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Universitas Hazairin, Universitas Dehasen, dan beberapa sekolah tinggi dan akademi di bidang kesehatan, teknik, komputer, dan administrasi. Meskipun anggota-anggota Kelompokkelompok Tarbiyah bukan hanya terdiri dari mahasiswa, sebagian besarsi formal, tidak mudah mendapat data tentang jumlah anggotanya yang pasti. Jumlah yang didapat hanyalah berdasarkan perkiraan. Di Kota Bengkulu, hanya ada tiga perguruan tinggi yang menjadi sumber perekrutan anggota yang utama; IAIN Bengkulu, UMB, dan Unib. Di antara ketiganya, yang terakhir menjadi penyuplai anggota terbesar. Menurut seorang sumber, perekrutan setiap tahun mencapai 200-250 anggota baru (Ridwan, wawancara). Dalam sepuluh tahun terakhir, di Kota Bengkulu ada sedikitnya 300 pasangan suami isteri yang merupakan anggota Kelompok Tarbiyah. Dari jumlah itu, hampir tidak ada yang putus di tengah jalan. Hampir semua pasangan suami isteri dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga. Ada terjadi perceraian di kalangan Kelompok Tarbiyah tapi hanya terjadi pada satu atau dua pasangan. Dalam bahasa Triono, angka perceraian di kalangan hanyalah nol koma sekian persen (Triono, Wawancara). Akan tetapi tidak semua pasangan suami isteri dari Kelompok Tarbiyah yang ada saat ini di Kota Bengkulu menikah melalui proses yang lazim berlaku pada kelompok. Beberapa pasangan mengikuti dan masuk ke lingkaran Kelompok Tarbiyah setelah menikah seperti yang dilakukan oleh Maini dan suaminya, Yos Sudarto. Hanya saja suaminya ini tidak lama mengikuti liqa lalu keluar tetapi tidak melarang Maini untuk aktif mengikuti liqa. Kehendak menikah di kalangan Kelompok Tarbiyah berasal dari calon mempelai. Kehendak itu dapat dinyatakan melalui beberapa cara; Pertama, mutarabbi menyatakan kehendaknya kepada murabbi atau sesama anggota liqa lalu tersebarlah kabar kehendak menikah itu di internal kelompok. Hal ini dilakukan oleh, misalnya, calon isteri Siska Purwanto sebelum menikah. Kedua, mutarabbi yang ingin menikah menyatakan kehendaknya dalam sebuah prososal pernikahan yang diajukan kepada murabbi. Tidak ada ketentuan baku mengenai isi proposal. Ada proposal pernikahan yang berisi latar belakang pentingnya segera menikah, dalil-dalil dari Alquran dan alHadits tentang pernikahan, dan mudharat yang timbul akibat kelalaian menikah seperti terlihat pada
Abdul Hafiz: Pola Perkawinan Kelompok
proposal pernikahan yang dilampirkan dalam laporan penelitian ini. Ada pula proposal pernikahan yang berisi keterangan kondisi objektif pembuat proposal yang hendak menikah itu. Cara ketiga untuk menyatakan kehendak menikah adalah dengan mencari atau menemukan sendiri calon pasangan. Cara ini tidak masuk ke dalam pengertian pacaran karena pacaran dilarang. Melalui cara ini, boleh jadi mutarabbi yang sudah berketatapan hati untuk menikah bertemu dengan seorang perempuan lalu ia jatuh hati. Manapun di antara ketiga cara untuk menyatakan kehendak untuk menikah tersebut yang digunakan, mutarabbi harus meminta persetujuan murabbinya atas rencana pernikahannya. Tidak meminta persetujuan murabbi diakui oleh Siska sebagai sebuah kekeliruan (Purwanto, wawancara) yang berakibat pelakunya mendapat catatan, menurut istilah Syamlan (Syamlan, wawancara). Keharusan untuk meminta persetujuan murabbi ini, tampaknya, hanyalah kaedah moral, bukan kaedah hukum. Seorang mutarabbi bisa saja menikah tanpa persetujuan murabbinya dan tidak ada sanksi hukum yang harus diterimanya. Namun, secara moral apa yang disebut oleh Syamlan sebagai catatan sangatlah membebani. Mutarabbi setidak-tidaknya merasa bersalah terhadap murabbi jika menikah tanpa persetujuannya. Padahal murabbi di mata mutarabbi adalah sosok yang sangat dihormati dan dipatuhi (Iniarti, wawancara). Kelompok Tarbiyah tidak mengabaikan orang tua. Seperti diajarkan Islam tentang birrul-walidain, Kelompok Tarbiyah sangat menghormati orang tua. Oleh karena itu, Kelompok Tarbiyah tidak meletakkan murabbi dan orang tua dalam posisi bertentangan dalam memberikan persetujuan untuk menikah bagi anak atau mutrabbi mereka. Kalaupun muncul pertentangan antara keduanya maka harus diadakan dialog antara orang tua dan murabbi. Dialog antara keduanya terus diupayakan sampai keduanya menyetujui pernikahan (Iniarti, wawancara). Perkawinan tanpa izin orang tua di kalangan Kelompok Tarbiyah di Kota Bengkulu belum terdengar kejadiannya. Ini berarti bahwa terjadinya pernikahan anggota Kelompok Tarbiyah lebih ditentukan oleh murabbi. Hal itu disebabkan oleh, setidak-tidaknya, dua alasan. Pertama, orang tua memandang positif anak-anak mereka aktif dalam kegiatan Kelompok Tarbiyah sehingga mereka tidak punya alasan menolak bila murabbi telah menyetujui calon pasangan anak mereka. Kedua, orang tua menyerahkan urusan mencari calon isteri/suami kepada anak mereka. Mereka hanya menentukan kriteria calon mantu mereka dan kriteria itu tidak sulit. Inilah yang dialami Ridwan yang segera
memperoleh persetujuan menikah dari orang tuanya karena calon isterinya telah memenuhi kriteria yang mereka tentukan yaitu berakhlak karimah (Ridwan Sumardi, wawancara). Dalam hal pernikahan dilakukan melalui proposal, keterlibatan murabbi dalam prosesi pernikahan mutarabbinya berakhir saat ia telah mempertemukan mutarabbi dengan calon isterinya. Sebagaimana ditentukan dalam hukum Islam, calon suami berhak melihat calon isterinya sebelum ia menikahinya. Hak itulah yang diberikan oleh murabbi kepada mutarabbinya dengan mempertemukannya dengan calon isterinya. Pertemuan itu berguna bagi kedua calon untuk saling melihat dan mengkonfirmasi data pribadi yang terdapat dalam proposal pernikahan. Setelah pertemuan, kedua calon masih memiliki hak pilih; meneruskan rencana pernikahan atau menghentikannya. Boleh jadi, setelah bertemu langsung kedua calon mempelai merasa kurang cocok satu sama lain atau salah satunya kurang merasa cocok, maka proses pernikahan tidak dilanjutkan. Adanya hak pilih bagi calon mempelai sesungguhnya sudah ada dari dulu karena seperti itulah ketentuan hukum Islam. Hanya saja, dulu hak itu tidak banyak digunakan oleh mutarabbi yang hendak menikah karena ketaatan dan rasa hormat yang tinggi kepada murabbi. Mutarabbi berkeyakinan bahwa apa yang diputuskan oleh murabbi, itulah yang terbaik bagi mutarabbi termasuk putusan murabbi tentang calon isterinya. Namun, belakangan hak pilih itu banyak digunakan oleh mutarabbi (Triono, Wawancara) yang dapat diartikan bahwa pilihan murabbi belum tentu pilihan mutarabbi pula. Dapat pula diartikan bahwa bentuk kepercayaan dan ketaatan mutarabbi terhadap murabbi sudah berubah. Prosesi pernikahan berikutnya adalah urusan orang tua. Orang tualah, beserta anggota keluarga yang lain, pergi melamar calon isterinya. Orang tua pula yang merencanakan, menyiapkan, dan melaksanakan akad nikah dan perayaannya. Kalaupun murabbi hadir dalam acara pernikahan mutarabbi, kehadirannya itu hanyalah sekedar tamu undangan. Itulah sebabnya pesta pernikahan pasangan kelompok Tarbiyah tidak banyak berbeda dengan pesta perkawinan masyarakat pada umumnya. Sungguhpun penyelenggaraan perkawinan sepenuhnya merupakan urusan orang tua, posisi mempelai sebagai anggota Kelompok Tarbiyah kadang kala tampak pula dalam resepsi pernikahan. Misalnya pengantin menolak mengikuti bagian tertentu dari adat perkawinan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Kongkritnya, seorang mempelai perempuan menolak memakai pakaian adat 7
Manhaj, Vol. 2, Nomor 1, Januari - April 2014
yang tidak sesuai tata busana yang diatur Syariat Islam. Sering pula mempelai perempuan menolak untuk dirias sehingga tamu-tamu pesta yang belum mengenalnya tidak tahu mana mempelai perempuan. Hubungan mutarabbi dengan murabbinya tidaklah berakhir dengan terjadinya perkawinan. Liqa dan halaqah yang menjadi sarana pendidikan mutarabbi oleh murabbinya adalah proses berkesinambungan yang tak mengenal akhir untuk meningkatkan kapasitas pribadi. Dalam ungkapan Ridwan, liqa bukan bertujuan untuk mendapatkan jodoh tetapi mendapatkan jodoh harus dapat meningkatkan aktivitas liqa ( Ridwan Sumardi, wawancara). agar kehidupan berumah tangga berjalan dengan baik. Liqa merupakan jaminan keutuhan rumah tangga. Triono menunjukkan bahwa pasangan suami isteri yang bercerai dari Kelompok Tarbiyah adalah pasangan yang jarang mengikuti liqa (Triono, Wawancara). Mutarabbi yang mengikuti liqa adalah mutarabbi yang bersedia dibina dan mutarabbi yang membuka dirinya untuk dipantau dan dievaluasi oleh pihak ketiga yaitu murabbi. Keuntungan bagi mutarabbi dalam hal ini adalah bahwa ada pihak yang dapat menilai secara objektif permasalahan yang dihadapinya. Ia memiliki pendamping ketika dilanda masalah dan pendamping itu orang yang dihormati dan ditaatinya dan orang yang ia yakini mampu membantunya. Murabbi yang tidak punya kepentingan kecuali mewujudkan perkembangan positif bagi mutarabbinya dapat memberikan solusi yang tepat untuk memecahkan persoalan yang tengah dihadapi oleh mutarabbi. Murabbi berkewajiban untuk memantau perkembangan mutarabbinya dengan bertanya kepada mutarabbi tentang keadaan dirinya dan keluarganya dalam setiap liqa. Murabbi pastilah mengamati setiap tingkah laku mutarabbi. Bila dilihatnya mutarabbi murung maka ia segera bertanya ada apa di balik kemurungannya itu. Bila dilihatnya mutarabbi bertingkah di luar kebiasaan, pastilah ditanyakannya pula. Murabbi berkewajiban pula mendengar curhat dan keluh kesah mutarabbi. Ia harus berperan sebagai pendengar yang baik untuk segala persoalan yang dikemukakan oleh mutarabbi dan kemudian membantu menyelesaikannya. Murabbi dengan besar hati juga harus mau membantu mutarabbi yang mengecewakannya. Murabbi boleh jadi kecewa terhadap mutarabbi yang tidak meminta persetujuannya untuk menikah. Manusiawi sesungguhnya bila ia tersinggung oleh perilaku mutarabbi yang tidak meminta izin kepadanya dalam memutuskan hendak menikah. Manusiawi pula bila berlepas diri dari “pelecehan” dari muridnya itu. Namun, murabbi harus bisa menahan diri dalam 8
ketersinggungannya itu. Bagaimanapun, ia berkewajiban membina mutarabbi. Oleh karena itu ia harus mendoakan agar kehidupan berumah tangga yang akan dijalani mutarabbi yang tidak meminta izin menikah kepadanya itu dapat berjalan dengan baik dan keluarga baru itupun dapat hidup rukun (Triono, Wawancara). Ia pun harus bersedia menerima dengan tangan terbuka mutarabbi yang telah membuatnya tersingggung itu bila ia datang meminta tolong menyelesaikan persoalan rumah tangganya. Keikutsertaan seseorang dalam aktivitas Tarbiyah sesungguhnya telah memberinya ketahanan keluarga dalam beberapa fungsi yaitu; Pertama, fungsi afeksi. Fungsi ini berjalan dengan baik seperti terlihat adanya sikap saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah. Saling tolong menolong ini bukan hanya terjadi dalam internal keluarga, tetapi juga antaranggota halaqah, terutama pertolongan dari murabbi. Kedua, fungsi perlindungan yaitu fungsi pertahanan keluarga dalam hal kesehatan, penyalahgunaan minuman keras dan obat terlarang, dan tindakan kriminal. Kelompok Tarbiyah memiliki sarana kesehatan seperti klinik yang dikelola anggota. Pengadaan sarana kesehatan itu tentu ditujukan untuk melindungi kesehatan para anggota khuusnya dan masyarakat umumnya. Ketiga, fungsi sosialisasi dan pendidikan. Oleh karena Kelompok Tarbiyah lebih merupakan gerakan dakwah yang mengacu kepada nilai-nilai moral Islam, maka seluruh anggota keluarga dapat mengetahui apa yang baik dan yang buruk menurut kaidah moral Islam. Itulah sebabnya, dalam interaksi antarmereka atau antardmereka dan pihak lain seringkali muncul ungkapan-ungkapan yang berisi nilai-nilai moral tersebut. Keempat, fungsi keagamaan. Tidak diragukan bahwa anggota-anggota Kelompok Tarbiyah dapat digolongkan sebagai kelompok masyarakat yang melaksanakan ibadah secara teratur. Suara azan bagi mereka merupakan pertanda dihentikannya suatu acara baik sementara maupun seterusnya. Bukan hanya ibadah-ibadah yang hukumnya wajib, ibadahibadah yang hukumnya sunnah pun mereka biasakan untuk dijalankan dengan teratur seperti salat Tahajjud, puasa Senin-Kamis, dan membaca Alquran. Kelima, fungsi ekonomi. Umumnya kepala keluarga pada kalangan Kelompok Tarbiyah sudah memiliki penghasilan tetap sebelum menikah.
Abdul Hafiz: Pola Perkawinan Kelompok
KESIMPULAN Secara normatif, anggota Kelompok Tarbiyah memiliki kebebasan untuk menentukan calon pasangannya. Secara moral, kebebasan itu minim karena pertimbangan kelompok dan hubungan dengan murabbi. Pola perkawinan Kelompok Tarbiyah sangat mungkin mencapai ketahanan keluarga berkat kepatuhan pada semangat kelompok dan pendampingan oleh murabbi. Penelitian ini hanya menjangkau dampak pola perkawinan terhadap ketahanan keluarga. Para peneliti lainnya disarankan meneliti kualitas ketahanan itu. Keluarga dan instansi yang berkait dengan pengaturan dan pembinaan keluarga disarankan untuk mempromosikan pola perkawinan yang berpegang kepada nilai-nilai agama.
http://wahdah.or.id/berita/umum/taa8217lim-dantarbiyah-dalam-aktivitas-lembagadakwah.html http://maalimfitariq.wordpress.com/2013/05/31/tarbi yah-antara-manhaj-dan-murobbi/ Husaini, Ishak Musa. 1986. The Moslem Brethren: The Greatest of Modern Islamic Movements. Westport: Hyperion Press. Imdadun, Muhammad. 2003. “Tansmisi Gerakan Revivalisme Islam Timur Tengah keI nd o nesia 1 9 8 0 -2 0 02 : Stud i Atas Ger akan Tar b iya h d an Hizb ut Tahr ir I nd o nesia.” Master’s thesis: University of Indonesia. Iniarti, wawancara, Bengkulu, 19 Juni 2013.
DAFTAR PUSTAKA Achir,
Yaumil Agus, 1992, ”Pembangunan Kesejahteraan Keluarga: Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa”, dalam Prisma, Nomor 6 tahun 1992, Jakarta: LP3ES.
Abaza, Mona. 1994. Islamic Education: Perception and Exchanges Indonesian Studentsin Cairo.Paris: Cahier Archipel. Ahmad Sarwat, Tarbiyah, Nasibmu Kini… http://www.ikhwahgaul.com/tarbiyahnasibmu-kini/
Jones, Sidney. 2003. “Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizbut-Tahrir,” ICG Asia Report no. 58, (30 June). _______. 2004. “Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’tMix,” ICG Asia Report no. 83 (13 September). Ketahanan Sosial Keluarga Permasalahan dan Fungsi-fungsi Keluarga, 2008, Direktorat Pemberdayaan Keluarga Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial RI.
Aminuddin, Hilmi. 2003. Strategi Dakwah Gerakan Islam. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna.
Lia, Brynjar. 1992. The Society of the Muslim Brothers in Egypt: the Rise of an Islamic Mass Movement 1928-1942. Readings: Ithaca Press.
Bruinessen, Martin Van. 2002. “Genealogies of Islamic Radicalism in PostSuhartoIndonesia,” South East Asia Research 10 no. 2 .
Mahmud, Ali Abdul Halim. 1999. PerangkatPerangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin, trans. Wahid Ahmadi, et.al. Solo: Era Intermedia.
Green Leaves, “Antara PKS, Tarbiyah, dan Ikhwanul Muslimin - dalam perjalanan sejarah”, http://mujahidsamurai.multiply.com/journal/it em/44 , 45 , 46.
Mandaville, Peter. 2001. Tra n sna tio na l Mu slim Po litics: Reima g in ing the Umma . London and New York: Routledge.
Hasan Al-Banna, 2004, Memoar Hasan Al-Banna Untuk Dakwah dan Para Dainya, terjemahan Salafuddin Abu Sayyid dan Hawin Murtadho, Solo: Era Intermedia, h. 46. Hassan, M. Zein. 1980. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri: Perjuangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah. Jakarta: Bulan Bintang. Hefner, Robert W. 1987. “Islamising Java? Religion and Politics in Rural East Java,” Journal of Asian Studies 46 no. 3 (Augustus).9
Mehden, Fred R. von der. 1993. Two Worlds of Islam: Interaction between Southeast Asia and the Middle East. Gainesville: the University Press of Florida.Mitchell, Richard. 1993. The Society of the Muslim Brothers. New York and Oxford:Oxford University Press. Miranda, ”Kelekatan (attachment) dengan penyesuaian perkawinan: studi penjajakan mengenai pengaruh kelekatan terhadap penyesuaian perkawinan suami-isteri pada masa perkawinan dua tahun pertama”, skripsi, Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995. 9
Manhaj, Vol. 2, Nomor 1, Januari - April 2014
Prayitno, Irwan. 2001. Tarbiyah Islamiyah Harakiyah. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna. Pusat Informasi Islam. 1988. Buku Islam Sejak 1945. Jakarta: Yayasan Masagung. Qodari, M., ”Sikap keterbukaan-ketertutupan sistem kepercayaan peserta gerakan tarbiyah di kalangan mahasiswa Universitas Indonesia”, skripsi, Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997. Qardhawi, Yusuf. 2001. Umat Islam Menyongsong Abad 21. trans. Yogi Prana Izza andAhsan Takwim. Solo: Era Intermedia. Rahardjo, M. Dawam. 2001. Foreword to Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran IslamTimur Tengah by M. Aunul Abied Shah, ed. Bandung: Mizan. Ridwan Sumardi, wawancara, Bengkulu, Rabu 5 Juni 2013. Roff, William R. 1980. The Origins of Malay Nationalism. Kuala Lumpur: UniversitiMalaya. Roy, Olivier. 1994. The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk. Massachusetts:Harvard University Press. Rubin, Barry. 2002. Islamic Fundamentalism in Egyptian Politics. New York: PalgraveMacmillan. Sabiq, Al-Sayyid 1983, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr), Jilid II. Silvianasalsabilla, “Seberapa Penting Tarbiyah Untukmu?”, http://silvianasalsabilla. wordpcress. com/2013/03/25/seberapapenting-tarbiyah-untukmu/ Siska Purwanto, wawancara, Bengkulu, 17 Juni 2013. Sri Adriani, Panitera Pengganti Pengadilan Agama Bengkulu, wawancara , Maret 2013. Syamlan, H.M.Wawancara, Bengkulu, 6 Juni 2013.
Ma’had
Rabbani,
Triono, Wawancara, Bengkulu, 15 Juni 2013. Uhlin, Anders. 1993. “Indonesian Democracy Discourses in a Global Context. TheTr ans-natio nal Diff usio n of De mo cr atic I d eas,” Wo r king P ap er 8 3 , The Ce ntr e o f Southeast Asian Studies Monash University. Yasmin, Ummu. 2002. Materi Tarbiyah: Panduan Kurikulum bagi Da’i dan Murabbi. Solo: Media Insani. 10
Yon Machmudi, PhD, “Islamism and Political Participation: A Case Study of Jemaah Tarbiyah in Indonesia” makalah, disajikan dalam The International Workshop on Islamism and Political Participation in Southeast Asia: Global Contexts and Trends, diselenggarakan oleh Lowy Institute for International Policy, Sydney, 8-9 April 2010. Yurlan, Pegawai Kemenag wawancara, Maret 2013.
Kota
Bengkulu,